isi referat
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Pendengaran memegang peranan yang sangat penting bagi semua orang, terutama anak
– anak dalam mempelajari bahasa dan bicara,sosialisasi dan perkembangan kognitif. Anak
belajar berbicara berdasarkan pada apa yang dia dengar,sehingga gangguan pendengaran yang
dialami anak sejak lahir akan mengakibatkan keterlambatan berbicara dan berbahasa.
Gangguan pendengaran adalah kecacatan yang tidak kelihatan. Berlainan dengan cacat
kelahiran yang lain, gangguan pendengaran mempunyai kesulitan dalam deteksi. Di Amerika
Serikat pada kasus gangguan pendengaran yang sedang sampai berat rata-rata dideteksi pada
usia 20 dan 24 bulan. Pada kasus gangguan pendengaran yang ringan ditemukan pada usia rata -
rata 48 bulan. Bahkan pada kasus gangguan pendengaran yang unilateral baru dapat
diidentifikasi pada usia sekolah.
Intervensi dini pada gangguan pendengaran dapat memberikan hasil yang lebih baik
dalam kemampuan untuk berbicara dan berbahasa. Penanganan gangguan pendengaran yang
dini terbaik dilakukan dibawah usia 6 bulan karena akan memberikan hasil intervensi yang
optimal.
Penggunaan alat pemeriksaan pendengaran dengan metode elektrofisiologik dan
teknologi modern sangat membantu dalam deteksi dini gangguan pendengaran. Auditory
Brainstem Response (ABR),OtoAcoustic Emission (OAE) dan Tympanometry digunakan
sebagai alat untuk melakukan deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir karena dapat
melakukan pengukuran secara akurat dan objektif.
Gangguan pendengaran adalah kasus kelainan bawaan tersering dengan angka kejadian
berkisar antara 1 sampai 3 kejadian setiap 1000 kelahiran hidup. Angka tersebut dapat
meningkat 10 hingga 50 kali lipat bila dilakukan survei pada kelompok dengan risiko tinggi.
Angka kejadian gangguan pendengaran pada neonatus yang diobservasi ketat di Neonatal
Intensive Care Unit (NICU) adalah 2,5setiap 100 bayi risiko tinggi . Survey Kesehatan Mata
dan Telinga di Indonesia didapatkan prevalensi gangguan pendengaran adalah 16,8%, tuli 0,4%
dan tuli kongenital 0.1%.
Pemeriksaan OAE sensitif untuk mengetahui adanya kerusakan pada disfungsi outer
haircell pada koklea. Pemeriksaan OAE juga cukup efektif sebagai alat screening karena selain
sensitif juga cukup murah.
Minesota Newborn Hearing Screening Program memakai OAE sebagai standar
pemeriksaan awal, apabila didapatkan abnormalitas baru diperiksa dengan ABR.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam terletak di dalam pars petrosa ossis temporalis, medial terhadap telinga
tengah dan terdiri atas (1) telinga dalam osseus, tersusun dari sejumlah rongga di dalam tulang;
dan (2) telinga dalam membranaceus, tersusun dari sejumlah saccus dan ductus membranosa di
dalam telinga dalam osseus.1,2
Gambar 1. Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibule yang terdiri dari 3 kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut
helikotrema,menghubungkan perilimfe skala timpani dan skala vestibuli.1,2
Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehingga disebut labirin. Derivat vesikel
otika membentuk suatu rongga tertutup yaitu labirin membran yang terisi endolimfe, satu –
satunya cairan ekstraseluler dalam tubuh yang tinggi kalium dan rendah natrium. Labirin
membran dikelilingi oleh cairan perilimfe ( tinggi natrium dan rendah kalium) yang terdapat
2
dalam kapsula otika bertulang. Labirin membran dikelilimgi oleh cairan perilimfe ( tinggi
natrium, rendah kalium ) yang terdapat dalam kapsula otika bertulang.3
Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga bagian :3,4
Skala vestibuli (bagian atas), Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran timpani
(Reissner‘s membrane). Pada skala ini berisi cairan perilimfe
Skala media (duktus koklearis) yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Pada
skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran
tektoria.Membran tektoria disekresi dan disokong oleh suatu panggung yang terletak di
media; disebut sebagai limbus
Skala timpani ( bagian bawah ) juga mengandung cairan perilimfe dan dipisahkan oleh
lamina spiralis oseus dan membrana basilaris. Pada membrana basilaris terletak organ
corti yang terdapat 4 lapisan sel rambut yang penting untuk mekanisme pendengaran, di
mana 1 lapisan sel rambut terletak pada sisi dalam dari terowong Corti (Tunnel of Corti)
dan dikenal sebagai sel rambut dalam sedangkan 3 lapisan sel rambut luar terletak pada
sisi luar terowong tersebut.
Gambar 2. Organ Corti
Vestibulum, merupakan bagian tengah telinga dalam osseus, terletak posterior terhadap
cochlea dan anterior terhadap canalis sennicircularis. Pada dinding lateralnya terdapat fenestra
vestibuli yang ditutupi oleh basis stapedis dan ligamentum annularenya, dan fenestra cochleae
3
yang ditutupi oleh membran timpani sekunder. Didalam vestibulum terdapat sacculus dan
utriculus telinga dalam membranaceus.3
Ketiga canalis semicircularis, yaitu canalis semicircularis superior, posterior, dan lateral
bermuara ke bagian posterior vetibulum. Setiap canalis mempunyai sebuah pelebaran di
ujungnya disebut ampulla. Canalis bermuara ke dalam vestibulum melalui lima lubang, salah
satunya dipergunakan bersama oleh dua canalis. Di dalam canalis terdapat ductus
semicircularis.1,5
Cochlea berbentuk seperti rumah siput, dan bermuara ke dalam bagian anterior
vestibulum. Umumnya terdiri atas satu pilar sentral, modiolus cochleae, dan modiolus ini
dikelilingi tabung tulang yang sempit sebanyak dua setengah putaran. Setiap putaran berikutnya
mempunyai radius yang lebih kecil sehingga bangunan keseluruhannya berbentuk kerucut.
Apex menghadap anterolateral dan basisnya ke posteromedial. Putaran basal pertama dari
cochlea inilah yang tampak sebagai promontorium pada dinding medial telinga tengah.1,2,5
Telinga dalam membranaceus terletak di dalam telinga dalam osseus, dan berisi
endolympha dan dikelilingi oleh perilympha. Telinga dalam membra-naceus terdiri atas
utriculus dan sacculus, yang terdapat di dalam vestibulum osseus; tiga ductus semicircularis,
yang terletak di dalam canalis semicircularis osseus; dan ductus cochlearis yang terletak di
dalam cochlea. Struktur-struktur ini sating berhubungan dengan bebas.3,1,2
Utriculus adalah yang terbesar dari dua buah saccus vestibuli yang ada, dan
dihubungkan tidak langsung dengan sacculus dan ductus endolymphaticus oleh ductus
utriculosaccularis.5 Sacculus berbentuk bulat dan berhubungan dengan utriculus, seperti sudah
dijelaskan di atas. Ductus endolymphaticus, setelah bergabung dengan ductus utriculosaccularis
akan berakhir di dalam kantung buntu kecil, yaitu saccus endolymphaticus. Saccus ini terletak
di bawah duramater pada permukaan posterior pars petrosa ossis temporalis.3,5
II.1.1. Vaskularisasi Telinga Dalam
Telinga dalam mendapatkan darah dari a. Auditori interna (a. Labitintin) yang
berasaldari a. Serebelli inferior anterior atau dari a. Basilaris yang merupakan suatu end artery
dan tidak mempunyai pembuluh darah anastomosis. Setelah memasuki meatus akustikus
internus,arteri ini bercabang menjadi tiga, yaitu:
Arteri vestibularis anterior yang mendarahi makula utrikula, sebagian macula sakuli,
krista ampularis, kanalis semisirkularis superior dan lateral serta sebagian dari utrikulus
dan sakulus
Arteri vestibulokoklearis, mendarahi makula sakuli, kanalis semisirkularis posterior, bag
ian inferior utrikulus dan sakulus serta putaran basal dari koklea.
4
Arteri koklearis yang memasuki modiolus dan menjadi pembuluh-pembuluh arteri
spiralyang mendarahi organ Corti, skala vestibuli, skala timpani sebelum berakhir pada
striavaskularis.
Aliran vena pada telinga dalam melalui tiga jalur utama yaitu vena auditori
internamendarahi putaran tengah dan apikal koklea. Vena akuaduktus koklearis
mendarahiputaran basiler koklea, sakulus dan utrikulus dan berakhir pada sinus petrosus
inferior. Vena akuadatus vestibularis mendarahi kanalis semisirkularis sampai utrikulus. Vena
ini mengikuti duktus endolimpatikus dan masuk ke sinus sigmoid.
II.1.2. Persarafan Telinga
N. akustikus dan N. fasialis masuk ke dalam porus dari meatus akustikus internus
dan bercabang dua sebagai N. vestibularis dan N. koklearis. Pada dasar meatus akustikus
internusterletak ganglion vestibulare dan pada modiolus terletak ganglion spirale.
II.2. Otoacoustic Emissions (OAE)
Emisi otoakustik pertama kali ditemukan oleh Gold pada tahun 1948 dan diperkenalkan
oleh Kemp pada tahun 1978. Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah yang
diproduksi oleh koklea baik secara spontan ataupun menggunakan stimulus, yang disebabkan
oleh gerakan sel-sel rambut luar di telinga bagian dalam.
Gerakan gerakanini adalah hasil mekanisme sel yang aktif, yang dapat terjadi baik
secara spontan, maupun oleh rangsangan bunyi dari luar.14
Bunyi click dengan intensitas sedang atau kombinasi yang sesuai dari dua tone dapat
mencetuskan pergerakan sel rambut luar, kemudian terjadi biomekanik dari membran basilaris
sehingga menghasilkan amplifikasi energi intrakoklear dan tuning koklear. Pergerakan sel
rambut luar menimbulkan energi mekanis dalam koklea yang diperbanyak keluar melalui sistem
telinga tengah dan membran timpani menuju liang telinga. Getaran dari membrana timpani
menghasilkan sinyal bunyi (Emisi otoakustik), yang dapat diukur dengan mikrofon.15
II.2.1. Anatomi dan fisiologi dasar emisi otoakustik
Ketika suara digunakan untuk memperoleh emisi, ditransmisikan melalui telinga luar,
pada saat rangsang auditori dirubah dari sinyal akustik menjadi sinyal mekanik di membran
timpani dan ditransmisikan melalui tulang-tulang pendengaran pada telinga tengah; footplate
dari tulang stapes akan bergerak pada foramen ovale yang akan menyebabkan pergerakan
gelombang cairan pada koklea. Pergerakan gelombang cairan tersebut menggetarkan membrana
5
basilaris dimana setiap bagian dari membran basilaris sensitif terhadap frekuensi yang terbatas
dalam rentang tertentu. Bagian yang paling dekat dengan foramen ovale lebih sensitif terhadap
rangsang suara dengan frekuensi tinggi, sementara bagian yang jauh dari foramen ovale lebih
sensitif terhadap rangsang suara dengan frekuensi rendah.
Pada emisi otoakustik, respon pertama yang kembali dan direkam menggunakan
mikrofon berasal dari bagian koklea dengan frekuensi paling tinggi.16 Pada saat membran
basilaris bergetar, sel-sel rambut turut bergerak dan respon elektromekanik terjadi, pada saat
yang bersamaan sinyal aferen ditransmisikan dan sinyal eferen diemisikan. Sinyal eferen
ditransmisikan kembali melalui jalur auditori dan sinyal tersebut diukur pada liang telinga.16
Dasar-dasar dari timbulnya keaktifan emisi ini adalah kemampuan telinga dalam untuk
mengadakan kompresi dinamis sinyal bunyi. Dengan kompresi ini tekanan dinamik suara dapat
diteruskan telinga bagian dalam kira-kira sebesar 0,7% ke sistem saraf yang mempunyai
kapasitas dinamis yang jauh lebih kecil. Kompresi ini merupakan kemampuan sel-sel rambut
yang tidak linear. Sel-sel rambut dalam yang sebenarnya adalah bagian aferen untuk sistem
pendengaran, baru terangsang pada tekanan bunyi yang lebih kecil, sel-sel rambut luar secara
serentak menambah energi kepada sel-sel rambut dalam dengan cara gerakan mekanis. Proses
gerakan inilah yang diperkirakan merupakan sumber aktifitas emisi telinga bagian dalam.14
II.2.2. Tujuan pemeriksaan
Tujuan utama pemeriksaan emisi otoakustik adalah guna menilai keadaan koklea,
khususnya fungsi sel rambut. Hasil pemeriksaan dapat berguna untuk : 16
a. Skrining pendengaran (khususnya pada neonatus, infan atau individu dengan gangguan
perkembangan).
b. Memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam rentang tertentu.
c. Membedakan gangguan sensori dan neural pada gangguan pendengaran sensorineural.
d. Pemeriksaan pada gangguan pendengaran fungsional (berpurapura).
Pemeriksaan dapat dilakukan pada pasien yang sedang tidur, bahkan pada keadaan
koma, karena hasil pemeriksaan tidak memerlukan respon tingkah laku.
II.2.3. Syarat – syarat untuk menghasilkan emisi otoakustik16
a. Liang telinga luar tidak obstruksi
b. Menutup rapat-rapat liang telinga dengan probe
c. Posisi optimal dari probe
d. Tidak ada penyakit telinga tengah
6
e. Sel rambut luar masih berfungsi
f. Pasien kooperatif
g. Lingkungan sekitar tenang
Audiometri nada murni dapat memeriksa telinga luar, telinga tengah, koklea, nervus
cranial VIII dan system auditori sentral. Emisi otoakusik hanya dapat menilai sistem auditori
perifer, meliputi telinga luar, telinga tengah dan koklea. Respon memang berasal dari koklea,
tetapi telinga luar dan telinga tengah harus dapat mentransmisikan kembali emisi suara sehingga
dapat direkam oleh mikrofon. Pemeriksaan emisi otoakustik sering digunakan untuk skrining
menentukan ada atau tidaknya fungsi koklea, meskipun sebenarnya pemeriksaan dapat
dilakukan pada daerah koklea dengan frekuensi tertentu. Emisi otoakustik tidak dapat
digunakan untuk menentukan ambang dengar individu.16
Emisi otoakustik dapat terjadi spontan sebesar 40-60% pada telinga normal, tetapi secara
klinis yang memberikan respon baik adalah evoked otoacoutic emission.15
II.2.4. Pembagian Emisi Otoakustik
Emisi otoakustik dibedakan menjadi 4 jenis, diantaranya : 16,17,18
a. Spontaneous otoacoustic emissions (SOAEs), merupakan emisi suara tanpa adanya
rangsangan bunyi ( secara spontan).
b. Transient otoacoustic emission (TOAEs) atau Transient evoked otoacoustic emissions
(TEOAEs), merupakan emisi suara yang dihasilkan oleh rangsangan bunyi menggunakan
durasi yang sangat pendek, biasanya bunyi click, tetapi dapat juga tonebursts.
c. Distortion product otoacoustic emission (DPOAEs), merupakan emisi suara sebagai respon
dari dua rangsang yang berbeda frekuensi.
d. Sustained-frequncy otoacoustic emission (SFOAEs), merupakan emisi suara sebagai respon
dari nada yang berkesinambungan (kontinyu).
7
Gambar 3. Alat Emisi otoakustik
II.2.5. Cara kerja OAE
Masukkan probe dengan ujung fleksibel lembut kedalam saluran telinga untuk
mendapatkan segel. Gunakan probe yang berbeda untuk neonatus dan orang dewasa; probe
harus di kalibrasi secara berbeda karena perbedaan yang signifikan pada volume kanal telinga.
Kanal telinga yang kecil menghasilkan tingkat tekanan suara yang lebih efektif (SPL), sehingga
digunakan probe yang berbeda untuk mengoreksi perbedaan.
Beberapa tanggapan dirata-ratakan. Semua OAEs dianalisis relatif terhadap kebisingan,
sehingga pengurangan kebisingan ambien fisiologis dan akustik sangat penting untuk rekaman
yang baik. Karena tidak dibutuhkan respon perilaku, OAEs dapat dilakukan walaupun pasien
dalam keadaan koma. Pada pasien yang tidak banyak biara dan kooperatif, perekaman biasanya
memerlukan waktu yang lebih lama atau mungkin tidak dapat didapatkan hasil dalam satu kali
kunjungan
II.2.5.1. Spontaneous Otoacoustic Emissions
Respon non stimulus ini biasanya diukur dalam rentang frekuensi perekaman yang
sempit ( < 30 Hz bandwidth) dalam liang telinga luar. Diperlukan perekaman multiple untuk
memastikan kemampuan replikasi dan untuk membedakan respon dari tingkat bising.
Perekaman SOAEs biasanya berada dalam rentang frekuensi 500 – 7000 Hz.16
Pada umumnya, SOAEs terjadi hanya pada 40-50% individu dengan pendengaran
normal. Pada dewasa sekitar 30-60%, pada neonatus sekitar 25-80%. SOAEs tidak ditemukan
pada individu dengan ambang dengar >30 dB HL. Karena itu tidak adanya SOAEs bukan
pertanda adanya ketidaknormalan pendengaran dan biasanya tidak berhubungan dengan adanya
tinnitus.16 SOAEs biasanya terjadi pada frekuensi 1000-2000 Hz, amplitudo antara -5 dan 15 dB
SPL. SOAEs biasanya terjadi secara bilateral, jika terjadi unilateral, biasanya lebih sering terjadi
pada sebelah kanan dibandingkan sebelah kiri, dan lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pria.16
II.2.5.2. Transient Evoked Otoacoustic Emission
8
TEOAE merupakan tes emisi otoakustik yang pertama kalinya digunakan dalam klinik.
Stimulus yang dipakai pada TEOAE adalah click, yang dapat merangsang seluruh partisi koklea
sehingga menghasilkan respons yang melibatkan beberapa frekuensi. Stimulus diberikan sekitar
60-80 dB SPL.19
Dalam tes TEOAE, suara Emisi otoakustik direkam selama waktu yang tenang antara
dua stimulus yang berlangsung pendek, sehingga status sel rambut luar dalam keadaan relaks
dapat dinilai. Seperti koklea pada umumnya yang dirangsang dengan ‘klik’, stimulus akan
diterima secara simultan di beberapa area di organ corti. TEOAE menunjukkan kondisi
beberapa bagian koklea dan sekaligus menilai status fungsi koklea pada tingkatan mendekati
ambang stimulus.19
Gambar 4. Diagram skematik dari sistem representatif alat
transient evoked otoacoustic emissions17
II.2.5.3. Distortion Product Otoacoustic Emissions
Stimulus terdiri dari dua bunyi murni pada dua frekuensi (contoh : f1, f2; f2>f1) dan dua
level intensitas (contoh : L1, L2). Hubungan antara L1-L2 dan f1-f2 menunjukkan respon
frekuensi.
Suatu rasio f1/f2 menghasilkan DPOAEs terbesar pada 1,2 untuk frekuensi tinggi dan
rendah pada 1,3 untuk frekuensi medium. Untuk menghasilkan respon optimal, atur
instensitasnya sehingga L1 menyamai atau melebihi L2. Merendahkan intensitas absolut dari
stimulus yang dibuat, DPOAE menjadi lebih sensitif terhadap abnormalitas. Setting 65/55 dB
SPL L1-L2 adalah yang sering digunakan. Respon biasanya lebih bagus atau kuat dan direkam
pada frekuensi yang dipancarkan dari 2f1-f2, hal tersebut dibuat dalam bentuk grafik sesuai
9
dengan f2, karena kawasan tersebut memperkirakan regio frekuensi koklea yang menghasilkan
respon.16
DPOAEs dapat memperoleh frekuensi yang spesifik dan dapat digunakan untuk
merekam frekuensi yang lebih tinggi daripada TEOAEs. DPOAEs dapat digunakan untuk
mendeteksi kerusakan koklea akibat obat-obat ototoksik dan akibat bising.16
II.2.5.4. Sustained Frequency Otoacoustic Emissions
SPOAEs merupakan emisi suara sebagai respon dari nada yang berkesinambungan
(kontinyu). Secara klinis tidak digunakan karena antara rangsang bunyi dan emisi otoakustik
tumpang tindih di liang telinga (overlap), sehingga mikrofon merekam keduanya.16
II.2.6. Aplikasi Klinis Pemeriksaan Emisi Otoakustik
Aplikasi Klinis dari pemeriksaan emisi otoakustik terfokus untuk identifikasi gangguan
sensorineural perifer, walaupun diketahui bahwa kelainan di telinga luar dan telinga tengah
sangat mempengaruhi transmisi hantaran suara.20
Pemeriksaan emisi otoakustik secara klinis dapat dibagi dalam beberapa kategori
yaitu:20, 21, 22
a. Aplikasi klinis Pada Anak
1) Skrining pendengaran bayi baru lahir
2) Diagnostik audiologi pediatrik
3) Monitoring ototoksik
4) Pengukuran gangguan proses auditori
5) Pengukuran kemungkinan tuli fungsional (nonorganik)
b. Aplikasi klinis Pada Dewasa
1) Deteksi dini dari disfungsi koklear akibat bising
2) Monitoring status koklear pada potensial ototoksik
3) Membedakan disfungsi koklear dengan retrokoklear
4) Pengukuran kemungkinan tuli fungsional (nonorganik)
5) Konfirmasi adanya disfungsi koklear pada pasien dengan Tinitus
II.2.7. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi emisi otoakustik16
a. Nonpatologi
1) Kesalahan meletakkan probe
2) Serumen yang menghalangi probe
3) Debris atau benda asing pada liang telinga
10
4) Vernix caseosa pada neonatus
5) Pasien yang tidak kooperatif
b. Patologi
1) Telinga luar :
a. Stenosis
b. Otitis eksterna
c. Kista
2) Membrana timpani: Perforasi
3) Telinga tengah
a. Tekanan telinga tengah yang abnormal
b. Otosklerosis
c. Disartikulasi telinga tengah
d. Kolesteatoma
e. Kista
f. Otitis media
4) Koklea
a. Pemaparan obat-obat ototoksik atau pemaparan bising
b. Patologi koklear lainnya
II.2.8. Keadaan yang tidak mempengaruhi koklea16
a. Patologi nervus VIII
b. Gangguan auditory sentral
II.2.9. Kondisi-kondisi yang menggambarkan abnormal emisi otoakustik16
a. Tinitus
b. Paparan bunyi bising yang berlebihan
c. Ototoksik
d. Kelainan vestibular
II.2.10. Kondisi yang menyebabkan normal emisi otoakustik16
a. Kehilangan pendengaran fungsional
b. Autisme
c. Neuropati pendengaran
d. Kerusakan pada sel rambut dalam tapi tidak pada sel rambut luar
11
II.2.11. Skrining Pendengaran Bayi
Skrining pendengaran pada bayi tidak saja dilakukan pada bayi lahir dengan faktor
risiko, tetapi seharusnya dilakukan pada seluruh bayi baru lahir. Hal ini karena dengan deteksi
dilakukan pada bayi dengan faktor risiko hanya menemukan 50% kasus dengan ketulian,
sedangkan telah dibuktikan bahwa 50% lagi bayi dengan ketulian terjadi pada bayi normal tanpa
faktor risiko.23
The Joint Committee on Infant Hearing (JCIH) mengeluarkan prinsip dan panduan
untuk deteksi dan intervensi terhadap bayi, dimana evaluasi audiologi dan klinis secara lengkap
dilaksanakan sampai umur 3 bulan dan intervensi dilakukan sebelum umur 6 bulan. Program ini
disebut Early Hearing Detection and Intervention (EHDI) yang merupakan program berbasis
keluarga dan komunitas yang dilaksanakan secara komprehensif, terkoordinir dan didasarkan
kepada semua bayi.24
Untuk melaksanakan skrining pendengaran bayi haruslah menggunakan alat yang
obyektif dan bersifat fisiologis. Tes yang dapat dipertanggung jawabkan dengan kriteria tersebut
adalah Emisi Otoakustik dengan teknik ransient evoked (TEOAE) atau distortion product
(DPOAE). Tes ini dapat dilaksanakan pada bayi dan klinisi tidak perlu mempunyai pengetahuan
untuk interpretasi hasil. Dengan hasil pass/refer maka klinisi dapat merencanakan tindak lanjut
dari hasil skrining. Tes kedua yang dianjurkan adalah dengan menggunakan auditory brainstem
response (ABR).25
Hasil skrining dinyatakan pass/refer. Pass dimaksudkan bahwa bayi sementara tidak
memerlukan tes lebih lanjut dan refer dimaksudkan bayi harus di tes ulang.2
II.3. Sensori-Neural Hearing Loss (SNHL)
II.3.1. Definisi
Sensori-neural hearing loss (SNHL) adalah gangguan pendengaran yang dapat bersifat
total maupun parsial yang dapat mempengaruhi salah satu telinga ataupun kedua – duanya.
Keadaan ini ditandai oleh hilangnya kemampuan mendengar yang dapat disebabkan oleh
gangguan di telinga dalam, gangguan pada jaras saraf dari telinga dalam ke otak serta gangguan
di otak.
Tuli sensorineural adalah tuli yang terjadi karena terdapatnya gangguan jalur hantaran
suara pada sel rambut koklea (telinga tengah), nervus VIII (vestibulokoklearis), atau pada pusat
pendengaran di lobus temporalis otak.1,6
12
Tuli sensorineural disebut juga dengan tuli saraf atau tuli perseptif. Tuli sensorineural ini
dibagi 2:6,7
Tuli koklea, yaitu apabila gangguan terdapat pada reseptor atau mekanisme penghantar
pada koklea (Dorland, ed 29). Biasanya disebabkan aplasia, labirinitis, intoksikasi obat
ototoksik atau alkohol. Pada tuli koklea ini terjadi suatu fenomena rekrutmen dimana
terjadi peningkatan sensitifitas pendengaran yang berlebihan di atas ambang dengar.
Pada kelainan koklea pasien dapat membedakan bunyi 1 dB, sedangkan orang normal
baru dapat membedakan bunyi 5 dB.
Tuli retrokoklea, yaitu apabila terdapat gangguan pada nervus vestibulokoklearis atau
satu dari area pendengaran di lobus temporalis otak. Pada tuli retrokoklea terjadi
kelelahan (fatigue) yang merupakan adaptasi abnormal, dimana saraf pendengaran cepat
lelah bila dirangsang terus menerus. Bila diberi istirahat, maka akan pulih kembali.
Untuk membedakan tuli koklea dan tuli retrokoklea diperlukan pemeriksaan audiologi
khusus.7
II.3.2. Etiologi
Penyebab tuli sensorineural dibagi menjadi:
II.3.2.1. Koklea
Penyebab tuli sensorineural yang berasal dari koklea terdiri dari:
A. Labirinitis (oleh bakteri/ virus)
Merupakan suatu proses radang yang melibatkan telinga dalam, paling sering
disebabkan oleh otitis media kronik dan berat. Penyebab lainnya bisa disebabkan oleh
meningitis dan infeksi virus. Pada otitis media maligna, kolesteatom paling sering menyebabkan
labirinitis, yang mengakibatkan kehilangan pendengaran mulai dari yang ringan sampai yang
berat.8
Pada labirintitis virus, terjadi kerusakan pada organ Corti, membrana tektoria dan
selubung myelin saraf akustik. Labirinitis serosa terjadi ketika toksin bakteri dan mediator
inflamasi host misalnya sitokin, enzim dan komplemen melewati membran tingkap bundar dan
menyebabkan inflamasi labirin. Kondisi ini dihubungkan dengan penyakit telinga tengah akut
atau kronis. Toksin, enzim dan produk inflamasi lainnya menginfiltrasi skala timpani dan
membentuk suatu presipitat halus di bagian medial dari membran tingkap bundar. Penetrasi
13
agen inflamasi ke endolimfe pada membran basilaris koklea mengakibatkan tuli sensorineural
frekuensi sedang-tinggi.8
B. Obat Ototoksik
Obat ototoksik merupakan obat yang dapat menimbulkan gangguan fungsi dan
degenerasi seluler telinga dalam dan saraf vestibuler. Gejala utama yang dapat timbul akibat
ototoksisitas ini adalah tinnitus, vertigo, dan gangguan pendengaran yang bersifat
sensorineural.1,5,9 Ada beberapa obat yang tergolong ototoksik, diantaranya:4,10
a. Antibiotik
Aminogliksida : streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin, Tobramisin,
Amikasin dan yang baru adalah Netilmisin dan Sisomisin.
Golongan macrolide: Eritromisin
Antibiotic lain: kloramfenikol
b. Loop diuretic : Furosemid, Ethyrynic acid, dan Bumetanides
c. Obat anti inflamasi: salisilat seperti aspirin
d. Obat anti malaria: kina dan klorokuin
e. Obat anti tumor : bleomisin, cisplatin
Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain:
1. Degenerasi stria vaskularis. Kelainan patologi ini terjadi pada penggunaan semua jenis obat
ototoksik
2. Degenerasi sel epitel sensori. Kelainan patologi ini terjadi pada organ korti dan labirin
vestibular, akibat penggunaan antibiotika aminoglikosida sel rambut luar lebih terpengaruh
daripada sel rambut dalam, dan perubahan degeneratif ini terjadi dimulai dari basal koklea
dan berlanjut terus hingga akhirnya sampai ke bagian apeks
3. Degenerasi sel ganglion. Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya degenerasi dari sel
epitel sensori
Umumnya efek yang ditimbulkan bersifat irreversible, kendatipun bila dideteksi cukup
dini dan pemberian obat dihentikan, sebagian ketulian dapat dipulihkan.
C. Presbikusis
Merupakan tuli sensorineural frekuensi tinggi yang terjadi pada orang tua, akibat
mekanisme penuaan pada telinga dalam. Umumnya terjadi mulai usia 65 tahun, simetris pada
kedua telinga, dan bersifat progresif.2,9 Pada presbikusis terjadi beberapa keadaan patologik
yaitu hilangnya sel-sel rambut dan gangguan pada neuron-neuron koklea. Secara kilnis ditandai
dengan terjadinya kesulitan untuk memahami pembicaraan terutama pada tempat yang ribut/
bising.4,12
14
Presbikusis ini terjadi akibat dari proses degenerasi yang terjadi secara bertahap oleh
karena efek kumulatif terhadap pajanan yang berulang. Presbikusis dipengaruhi oleh banyak
faktor, terutama faktor lingkungan, dan diperburuk oleh penyakit yang menyertainya.12
Adapun faktor- faktor tersebut diantaranya adalah :12
- adanya suara bising yang berasal dari lingkungan kerja
- lalu lintas,
- alat-alat yang menghasilkan bunyi,
- termasuk musik yang keras
- penyakit-penyakit seperti aterosklerosis,
- diabetes,
- hipertensi,
- obat ototoksik
- kebiasaan makan yang tinggi lemak.
Proses degenerasi yang terjadi secara bertahap ini akan menyebabkan perubahan struktur
koklea dan n.VIII. Pada koklea perubahan yang mencolok ialah atrofi dan degenerasi sel-sel
rambut penunjang pada organ Corti. Proses atrofi disertai dengan perubahan vascular juga
terjadi pada stria vaskularis, pada dinding lateral koklea. Selain itu terdapat pula perubahan,
berupa berkurangnya jumlah dan ukuran sel-sel ganglion dan saraf. Hal yang sama terjadi juga
pada myelin akson saraf.12
Ada 4 tipe presbikusis berdasarkan patologi tempat terjadinya perubahan/ degenerasi di
koklea, yaitu:14
a. Presbikusis sensorik
Pada tipe ini terjadi atrofi epitel yang disertai dengan hilangnya sel rambut sensoris pada
organ korti. Proses ini dimulai dari basal koklea dan secara perlahan berlanjut sampai ke bagian
apeks lapisan epitel koklea. Perubahan pada epitel ini menyababkan ketulian pada nada tinggi.
b. Presbikusis neural
Terjadi atrofi pada sel-sel saraf di koklea dan pada jalur hantaran suara ke saraf pusat.
Jadi gangguan primer terdapat pada sel-sel saraf, sementara sel-sel rambut di koklea masih
dipertahankan. Pada tipe ini, diskriminasi kata-kata relatif lebih terganggu dengan hanya sedikit
gangguan sel rambut.
c. Presbikusis metabolik (strial presbikusis)
Terjadinya atrofi pada stria vaskularis, dimana stria vaskularis tampak menciut akan
tetapi masih memberi skor diskriminasi yang bagus terhadap suara walaupun proses degenerasi
menyebabkan ketulian sedang hingga berat.
15
d. Presbikusis mekanik (presbikusis konduktif koklear)
Terjadi oleh karena penebalan dan pengerasan membran basalis koklea.
D. Tuli mendadak
Tuli mendadak merupakan tuli sensorineural berat yang terjadi tiba-tiba tanpa diketahui
pasti penyebabnya.Tuli mendadak didefinisikan sebagai penurunan pendengaran sensorineural
30 dB atau lebih paling sedikit tiga frekuensi berturut-turut pada pemeriksaan audiometri dan
berlangsung dalam waktu kurang dari tiga hari. Iskemia koklea merupakan penyebab utama tuli
mendadak, keadaan ini dapt disebabkan oleh karena spasme, trombosis atau perdarahan arteri
auditiva interna. Pembuluh darah ini merupakan suatu end artery sehingga bila terjadi gangguan
pada pembuluh darah ini koklea sangat mudah mengalami kerusakan. Iskemia mengakibatkan
degenerasi luas pada sel-sel ganglion stria vaskularis dan ligamen spiralis, kemudian diikuti
dengan pembentukan jaringan ikat dan penulangan. Kerusakan sel-sel rambut tidak luas dan
membrana basilaris jarang terkena.8,15
E. Kongenital
Menurut Konigsmark, pada tuli kongenital atau onset-awal yang disebabkan oleh faktor
keturunan, ditemukan bahwa 60-70 % bersifat otosom resesif, 20-30% bersifat otosom dominan
sedangkan 2% bersifat X-linked. Tuli sensorineural kongenital dapat berdiri sendiri atau sebagai
salah satu gejala dari suatu sindrom, antara lain Sindrom Usher (retinitis pigmentosa dan tuli
sensorineural kongenital) , Sindrom Waardenburg (tuli sensorineural kongenital dan canthus
medial yang bergeser ke lateral, pangkal hidung yang melebar, rambut putih bagian depan
kepala dan heterokromia iridis) dan Sindrom Alport (tuli sensorineural kongenital dan
nefritis).2,15
F. Trauma
Trauma pada telinga dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu trauma akustik dan trauma
mekanis. Trauma tertutup ataupun langsung pada tulang temporal bisa mengakibatkan
terjadinya tuli sensorineural. Diantara semua trauma, trauma akustik merupakan trauma paling
umum penyabab tuli sensorineural.
Fraktur tulang temporal dapat menyebabkan tuli sensorineural unilateral dan tuli
konduksi. Tuli sensorineural terjadi jika fraktur tersebut melibatkan labirin. Trauma dapat
menimbulkan perpecahan pada foramen ovale sehingga perilymph bocor ke telinga. Pasien tiba-
tiba mengalami kehilangan pendengaran, bersama dengan tinnitus dan vertigo.
G. Tuli akibat bising
Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu dan tidak dikehendaki. Hal ini
menunjukkan bahwa sebenarnya bising itu sangat subyektif, tergantung dari masing-masing
16
individu, waktu dan tempat terjadinya bising. Sedangkan secara audiologi, bising adalah
campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekwensi.
Bising dengan intensitas 80 dB atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan reseptor
pendengaran corti pada telinga dalam. Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan
bising biasanya sembuh setelah istirahat beberapa jam ( 1 – 2 jam ). Bising dengan intensitas
tinggi dalam waktu yang cukup lama ( 10 – 15 tahun ) akan menyebabkan robeknya sel-sel
rambut organ Corti sampai terjadi destruksi total organ Corti. Hal yang mempermudah
seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising antara lain intensitas bising yang lebih tinggi,
berfrekwensi tinggi, lebih lama terpapar bising, kepekaan individu dan faktor lain yang dapat
menimbulkan ketulian.7
Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut. Daerah
yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya degenerasi yang
meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-sel rambut luar
menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya
intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya
stereosilia. Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan hilangnya stereosilia,
sel-sel rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi intensitas paparan bunyi,
sel-sel rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan semakin luasnya kerusakan pada
sel-sel rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga dapat dijumpai di nukleus
pendengaran pada batang otak.7,13
II.3.2.2. Retrokoklea
A. Penyakit Meniere
Penyakit Meniere merupakan penyakit yang terdiri dari trias atau sindrom Meniere yaitu
vertigo, tinnitus dan tuli sensorineural. Penyebab pasti dari penyakit meniere belum diketahui,
tapi dipercaya penyebab dari penyakit ini berhubungan dengan hidrops endolimfe atau
kelebihan cairan di telinga dalam. Ini disebabkan cairan endolimfe keluar dari saluran yang
normal mengalir ke area lain yang menyebabkan terjadinya gangguan.Ini mungkin dihubungkan
dengan pembengkakan sakus endolimfatik atau jaringan di system vestibuler dari telinga dalam
yang merangsang organ keseimbangan.
Gejala klinis penyakit ini disebabkan adanya hidrops endolimfe pada koklea dan
vestibulum. Hidrops yang terjadi mendadak dan hilang timbul diduga disebabkan oleh:
1. Meningkatnya tekanan hidrostatik pada ujung arteri
17
2. Meningkatnya tekanan osmotik ruang kapiler
3. Berkurangnya tekanan osmotik di dalam kapiler
4. Tersumbatnya jalan keluar sakus endolimfatikus sehingga terjadi penimbunan cairan
endolimfe
Hal-hal di atas pada awalnya menyebabkan pelebaran skala media dimulai dari daerah
apeks koklea kemudian dapat meluas mengenai bagian tengah dan basal koklea. Hal inilah yang
menjelaskan terjadinya tuli sensorineural nada rendah penyakit Meniere.18
B. Neuroma Akustik
Neuroma akustik adalah tumor intrakrania yang berasal dari selubung sel Schwann
nervus vestibuler atau nervus koklearis. Lokasi tersering berada di cerebellopontin angel.
Neuroma akustik berasal dari saraf vestibularis dengan gambaran makroskopis
berkapsul, konsistensi keras, bewarna kuning kadang putih atau translusen dan bisa disertai
komponen kistik maupun perdarahan. Neuroma akustik ini diduga berasal dari titik dimana glia
(central) nerve sheats bertransisi menjadi sel Schwann dan fibroblast. Lokasi transisi ini
biasanya terletak di dalam kanalis auditoris internus. Tumor akan tumbuh dalam kanalis
auditoris internus dan menyebabkan pelebaran diameter dan kerusakan dari bibir bawah porus.
Selanjutnya akan tumbuh dan masuk ke cerebellopontin angel mendorong batang otak dan
cerebellum.
Tuli akibat neuroma akustik ini terjadi akibat:
a. trauma langsung terhadap nervus koklearis
b. gangguan suplai darah ke koklea
Trauma langsung yang progresif menyebabkan tuli sensorineural yang berjalan progresif
lambat sedangkan pada gangguan suplai darah koklea ditemukan tuli sensorineural mendadak
dan berfluktuasi.22
II.3.2.3. Diagnosis
II.3.2.3.1. Anamnesis
Anamnesis menunjukkan gejala penurunan pendengaran, baik yang terjadi secara
mendadak maupun yang terjadi secara progresif.Gejala klinis sesuai dengan etiologi masing-
masing penyakit.
II.3.2.3.2. Pemeriksaan Fisik
Penderita tuli sensorineural cenderung berbicara lebih keras dan mengalami gangguan
pemahaman kata sehingga pemeriksa sudah dapat menduga adanya suatu gangguan
18
pendengaran sebelum dilakukan pemeriksaan yang lebih lanjut. Pada pemeriksaan otoskop,
liang telinga dan membrana timpani tidak ada kelainan.
Pemeriksaan tambahan/penunjang lain yang biasa digunakan adalah :
A. Tes Penala
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif dengan menggunakan garpu tala 512 Hz.
Terdapat beberapa macam tes penala, seperti tes Rinne, tes Weber dan tes Schwabach.
Gambar 5. Garpu Tala
a) Tes Rinne
Gambar 6. Tes Rinne
Tujuan : membandingkan hantaran melalui udara dengan hantaran melalui tulang pada satu
telinga penderita.
Cara kerja : garpu tala digetarkan, letakkan tangkainya tegak lurus pada prosesus mastoid
penderita sampai penderita tidak mendengar, kemudian cepat pindahkan ke depan liang telinga
penderita kira-kira 2,5 cm.
Interpretasi :
Bila penderita masih mendengar disebut Rinne positif
Bila penderita tidak mendengar disebut Rinne negatif
Pada tuli sensorineural, Tes Rinne positif.
b) Tes Weber
19
Gambar 7. Tes Weber
Tujuan : Membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga penderita.
Cara kerja : Garpu tala digetarkan, letakkan di garis tengah kepala (verteks, dahi, pangkal
hidung, di tengah-tengah gigi seri atau di dagu).
Interpretasi :
Apabila bunyi garpu tala terdengar keras padasalah satu telinga disebut weber lateralisasi ke
telinga tersebut.
Bila tidak dapat dibedakan, kearah mana bunyi terdengar lebih keras disebut weber tidak
ada leteralisasi.
Pada tuli sensorineural, lateralisasi kearah telinga yang sehat.
c) Tes Schwabach
Tujuan : Membandingkan hantaran tulang penderita denganpemeriksa yang pendengarannya
normal.
Cara kerja : Garpu tala digetarkan, letakkan garpu tala pada prosesus mastoideus penderita
sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai penala segera dipindahkan pada prosesus
mastoideus pemeriksa.
Interpretasi :
Bila pemeriksa masih mendengar getaran garpu tala, disebut schwabach memendek. Ini
mempunyai arti klinis tuli semsorineural.
Bila pemeriksa tidak mendengar getaran garpu tala, maka pemeriksaan diulangi dengan
garpu tala diletakkan terlebih dahulu di prosesus mastoideus pemeriksa. Jika penderita
masih dapat mendengar disebut schwabach memanjang (tuli konduktif) dan jika penderita
tidak mendengar disebut schwabach normal.
B. Audiometri
20
Pada pemeriksaan audiometri, dibuat grafik (audigram) yang merupakan ambang
pendengaran penderita lewat hantaran tulang (bone conduction = BC) dan hantaran udara (air
condation = AC) dan pemeriksaan audiometri ini bersifat kuantitatif dengan frekuensi suara
125, 500, 1000, 2000, 4000, dan 8000 Hz.
Pada Tuli sensorineural, dari penilaian audiogram didapatkan :3
AC dan BC lebih dari 25 Db
AC dan BC tidak terdapat gap
Selain dapat menentukan jenis tuli yang diderita, dengan audiogram kita juga menentukan
derajat ketulian, yang dihitung hanya dengan ambang dengar (AD) hantaran udaranya (AC)
saja.
Ambang dengar (AD) : AD 500 Hz+ AD1000 Hz+ AD2000 Hz+ AD 4000 Hz
4
Interpretasi derajat ketulian menurut ISO :
0 – 25 db : normal
>25 – 40 dB : tuli ringan
>40 – 55 dB : tuli sedang
>55 – 70 dB : tuli sedang berat
>70 – 90 dB : tuli berat
>90 dB : tuli sangat berat
C. Brainstem Evoked Respone Audiometry (BERA)
BERA merupakan suatu pemeriksaaan untuk menilai fungsi pendengaran dan fungsi
N.VIII. Cara pemeriksaan ini bersifat objektif, tidak invasif. Pemeriksaan ini bermanfaat
terutama pada keadaan dimana tidak memungkinkannya dilakukan pemeriksaan pendengaran
biasa, misalnya pada bayi, anak dengan gangguan sifat dan tingkah laku, intelegensi rendahdan
kesadaran menurun. Pada orang dewasa juga bisa digunakan pada orang yang berpura-pura tuli
(malingering) atau pada kecurigaan tuli sensorineural retrokoklea.3
21
Gambar 8. Pemeriksaan BERA
Prinsip pemeriksaan BERA adalah menilai perubahan potensial listrik di otak setelah
pemberian rangsangsensoris berupa bunyi. Rangsang bunyi yang diberikan melalui headphone
akan menempuh perjalanan melalui N.VIII di koklea (gelombang I), nucleus koklearis
(gelombang II), nucleus olivarius superior (gelombang III), lemnikus lateralis (gelombang IV),
kolikulus inferior (gelombang V) kemudian menuju ke korteks auditorius di lobus temporal
otak. Perubahan potensial listrik di otak akan diterima oleh elektroda di kulit kepala, dari
gelombang yang timbul di setiap nucleus saraf sepanjang jalur saraf pendengaran tersebut dapt
dinilai bentuk gelombang dan waktu yang diperlukan dari saat pemberian rangsang suara
sampai mencapai nucleus-nukleus saraf tersebut. Dengan demikian setiap keterlambatan waktu
untuk mencapai masing-masing nucleus saraf dapat memeri arti klinis keadaan saraf
pendengara, maupun jaringan otak disekitarnya.3
Penilaian BERA :
o Masa laten absolute gelombang I, III, V
o Beda masing-masing masa laten absolute (interwave latency I – V, I – III, III – V)
o Beda masa laten absolute telinga kanan dan kiri (interneural latency)
o Beda masa laten pada penurunan intensitas bunyi (latency intensity function)
o Rasio amplitudo gelombang V/I yaitu rasio antara nilai puncak gelombang V ke
puncak gelombang I yang akan meningkat dengan menurunnya intensitas.
D. Otoacustic Emittion / OAE (Emisi Otoakustik)
II.3.2.4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tuli sensorineural disesuaikan dengan penyebab ketulian. Tuli karena
pemakaian obat-obatan yang bersifat ototoksik, diatasi dengan penghentian obat. Jika
22
diakibatkan oleh bising, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising. Bila
tidak memungkinkan dapat menggunakan alat pelindung telinga terhadap bising, seperti sumbat
telinga (ear plug), tutup teling (iear muff) dan pelindung kepala (helmet). Apabila gangguan
pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi bisa menggunakan alat bantu
dengar.3
A. Alat Bantu Dengar (ABD)
Rehabilitasi sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi pendengaran dilakukan dengan
pemasangan alat bantu dengar (hearing aid). Memasang suatu alat bantu dengar merupakan
suatu proses yang rumit yang tidak hanya melibatkan derajat dan tipe ketulian, namun juga
perbedaan antar telinga, kecakapan diskriinasi dan psikoakustik lainnya. Selain itu
pertimbangan kosmetik, tekanan sosial dan keluarga. Peraturan dari Food and Drug
Administration mengharuskan masa uji coba selam 30 hari untuk alat bantu dengr yang baru,
suatu masa untuk mengetahui apakah alat tersebut cocok dan efektif bagi pemakai.2
Gambar 9. Alat Bantu Dengar
Alat bantu dengar merupakan miniatur dari sistem pengeras untuk suara umum. Alat ini
memiliki mikrofon, suatu amplifier, pengeras suara dan baterei sebagai sumber tenaga.
Selanjutnya dilengkapi kontrol penerimaan, kontrol nada dan tenaga maksimum. Akhir-akhir ini
dilengkapi pula dengan alat pemproses sinyal otomatis dalam rangka memperbaiki rasio sinyal
bising pada latar belakang.2,4
Komponen-komponen ini dikemas agar dapat dipakai dalam telinga (DT), atau
dibelakang telinga (BT) dan pada tubuh. ABD dibedakan menjadi beberapa jenis :
- Jenis saku (pocket type, body worrn type)
- Jenis belakang telinga (BTE = behind the ear)
23
- Jenis ITE (In The Ear)
- Jenis ITC (In The Canal)
- Jenis CIC (Completely In the Canal)
Tipe dalam telinga yang terkecil adalah alat bantu dengar ’kanalis’ dengan beberapa
komponen dipasang lebih jauh didalam kanalis dan lebih dekat dengan membrana timpani. Alat
bantu tipe kanalis ini sangat populer karena daya tarik kosmetiknya. Alat ini dapat membantu
pada gangguan pendengaran ringan sampai sedang. Akan tetai alat ini kurang fleksibel dalam
respon frekuansi dan penerimaannya dibanding alat bantu DT dan BT. Kanalis juga tidak cocok
untuk telingan yang kecil karena ventilasi menjadi sulit.3,4
B. Implan Koklea
Implan koklea merupakan perangkat elektronik yang mempunyai kemampuan
menggantikan fungsi koklea untuk meningkatkan kemampuan mendengar dan berkomunikasi
pada pasien tuli sensorineural berat dan total bilateral.4
Gambar 10. Implan Koklea
Indikasi pemasangan implan koklea adalah :4
- Tuli sensorineural berat bilateral atau tuli total bilateral (anak maupun dewasa) yang
tidak / sedikit mendapat manfaat dari ABD.
- Usia 12 bulan – 17 tahun
- Tidak ada kontra indikasi medis
- Calon pengguna mempunyai perkembangan kognitif yang baik
Kontra Indikasi pemasangan implan koklea antara lain :8
- Tuli akibat kelainan pada jalur pusat (tuli sentral)
24
- Proses penulangan koklea
- Koklea tidak berkembang
Adapun cara kerja Implan koklea adalah, impuls suara ditangkap oleh mikrofon dan
diteruskan menuju speech processor melalui kabel penghubung. speech processor akan
melakukan seleksi informasi suara yang sesuai dan mengubahnya menajdi kode suara yang akan
disampaikan ke transmiter. Kode suara akan dipancarkan menembus kulit menuju stimulator.
Pada bagian ini kode suara akan dirubah menjadi sinyal listrik dan akan dikirim menuju
elektrode-elektrode yang sesuai di dalam koklea sehingga menimbulkan stimulasi serabut-
serabut saraf. Pada speech processor terdapat sirkuit khusus yang berfungsi untuk meredam
bising lingkungan.
Keberhasilan implan koklea ditentukan dengan menilai kemampuan mendengar,
pertambahan kosa kata dan pemahaman bahasa.12
II.3.2.5. Pencegahan
Menghindari paparan bising yang berlebihan, menghindari untuk mengkonsumsi obat –
obatn ototoksik, hidup sehat dan bersih, menghindari diri untuk terkena infeksi terutama infeksi
yang dapat menyebabkan SNHL.
II. 4. Otoacoustic Emission pada SNHL
II.4.1. Otoakustik Emisi dan Hakikat Dasar Sensory Hearing Lost
OAEs secara eksklusif dipancarkan dari Outer Hair Cell (OHC) yang berhubungan
dengan saraf auditori. Terdapat hubungan yang kuat antara ketidak-adaan OAEs dan hilangnya
pendengaran. Ini mendorong untuk mengkaji istilah “sensory hearing lost”
Sensory transmissive loss dapat didefinisiakn sebagai hilangnya pendengaran sebagai hasil
dari disfungsi grup sensorik OHC. Hilangnya ‘cockhlear amplifier’ memungkinkan redaman
alami untuk menghilangkan sebagian energi stimulus dari gelombang berjalan koklea
dan menurunkan resolusi mekanisme pencitraan koklea . Transmisi tidak efisien eksitasi
ke IHCs menyebabkan hilangnya pendengaran sensitivitas dan selektivitas frekuensi .
Karena masih ada jalur untuk stimulasi untuk mencapai IHCS , gangguan pendengaran
yang mendalam tidak dapat disebabkan oleh disfungsi OHC saja . Kegagalan total OHC
diperkirakan menyebabkan gangguan pendengaran yang tidak lebih dari 60dB .
Kehilangan OAEs dengan telinga tengah yang normal menunjukkan penurunan
transmissive sensorik .
25
Sensory transduction loss didefinisikan sebagai gangguan pendengaran akibat
kegagalan sel-sel rambut bagian dalam untuk merespon dan mengaktifkan saraf auditori
yang bersinaps. Hal ini dapat menimbulkan setiap tingkat gangguan pendengaran dari
ringan sampai sangat berat karena saraf pendengaran sendiri tidak memiliki kepekaan
terhadap suara simulasi.
Hal ini jelas terdapat korelasi yang tinggi antara kehilangan sensori dan tidak adanya
gelombang OAE. Gangguan sensorik terbanyak adalah dari jenis transmissive sensorik. Hal ini
cukup masuk akal, sebagai sel rambut luar adalah sangat khusus dan sangat rentan terhadap
degradasi oleh kebisingan yang berlebihan, anoksia atau agen ototoxic .
Tidak adanya OAEs tanpa gangguan patologi telinga tengah atau obstruksi akustik kuat
menunjukkan gangguan transmissive sensorik pendengaran. Tergantung pada jenis dan
intensitas rangsangan, OAEs dapat mengungkapkan peningkatan ambang sekecil 20 dB HL dan
frekuensi 'resolusi' dari OAEs dapat menjadi sebaik satu setengah oktaf. Jumlah elevasi ambang
batas tidak dapat diprediksi dengan akurasi yang baik, tetapi jika DPOAEs ada gelombang
dengan TEOAEs absen, hal ini menunjukkan gangguan ringan sampai sedang saja.
II.4.2. Ototoxcity
Di antara pasien yang menerima cisplatin untuk pengobatan kanker, Reavis et al. (2011)
berusaha untuk :
(1) mengidentifikasi kombinasi DPOAE metrik dan faktor risiko ototoxicity untuk
mengklasifikasikan telinga dengan dan tanpa gangguan pendengaran yang diinduksi
ototoxic,
(2) mengevaluasi kinerja uji dicapai oleh hasil gabungan maupun oleh DPOAEs saja.
Kemungkinan mengalami perubahan mendengar pada kunjungan pasien yang diberikan
ditentukan dengan menggunakan data yang dikumpulkan secara prospektif dari 24 veteran
yang menerima cisplatin. Para peneliti menyimpulkan bahwa DPOAEs telah berubah
sebagai akibat dari administrasi cisplatin
Al - Noury (2011) mengukur emisi otoacoustic pada pasien yang diobati dengan dosis
pertama cisplatin dalam studi prospektif dari 26 pasien ( usia rata-rata 11,3 tahun ) .
Audiogram, TEOAEs dan DPOAEs diukur sebelum dan setelah dosis pertama cisplatin .
Pembacaan awal dibandingkan dengan mereka yang tercatat setelah pemberian dosis pertama
cisplatin . dua pasien menunjukkan hilangnya TEOAEs pada frekuensi tinggi diatas 4 kHz , dan
ini konsisten kehilangan 25-dB pendengaran frekuensi tinggi yang terdeteksi dalam audiogram
26
mereka, ada yang signifikan pergeseran ambang batas untuk DPOAEs pada frekuensi > 3
sampai 4 kHz . Para penulis menyimpulkan bahwa DPOAE pengujian tampaknya menjadi
metode yang lebih sensitif untuk mendeteksi kerusakan koklea daripada Audiometri nada
murni konvensional . Para penulis menyatakan bahwa pengukuran ambang batas DPOAE
adalah pendekatan yang berguna untuk mendeteksi perubahan awal pendengaran yang
disebabkan oleh terapi cisplatin .
Yilmaz et al . (2009) menyelidiki ototoksisitas cisplatin dengan menggunakan TEOAE
dan Audiometer nada murni . Dua puluh pasien kanker paru-paru dewasa dan 20 pasien
kelompok kontrol dilibatkan dalam penelitian tersebut . Para peneliti membandingkan
pendengaran pasien yang menerima 100 mg/m(2) 4-siklus cisplatin untuk kanker paru-paru ,
dengan nada Audiometer murni dan TEOAE d frekuensi 1.000 , 2.000 dan 4.000 Hz . 55 %
pasien menderita pendengaran menurun dengan nada Audiometer murni pada pasien yang
menerima 100 mg/m(2) 4 – siklus cisplatin untuk kanker paru-paru .Amplitudo penurunan
dengan tes TEOAE adalah ditemukan pada 85 % pasien. Para peneliti menyimpulkan bahwa
hasil penelitian menunjukkan bahwa ototoxicity cisplatin dapat dideteksi dengan uji TEOAE
sebelum terlihat dengan nada Audiometer murni .
Delehaye et al. (2008) membandingkan efektivitas emisi otoacoustic (DPOAEs) dengan
Audiometri nada murni sebagai metode pemantauan audiologi pada 60 pasien yang menjalani
terapi Deferoxamine. DPOAEs diperoleh sebagai DP-gram. Perubahan Threshold dari awal
ditemukan signifikan secara statistik dari 4 sampai 8kHz pada 68,4% dari subyek. DPOAEs
menunjukkan pergeseran ambang secara signifikan dan amplitudo menurun pada frekuensi>
3kHz. Selanjutnya, amplitudo DPgram juga berkurang secara signifikan pada 3kHz tanpa
perubahan serupa pada Audiometri nada murni. Menurut para peneliti, alat skrining ototoxicity
DP-gram sangat sensitif dan lebih unggul dibanding Audiometri nada murni. Penggunaannya
direkomendasikan untuk pemantauan rutin fungsi koklea, bertujuan dalam pencegahan
kerusakan permanen
II.4.3. Identifikasi Awal Noise Induced Hearing Loss
Fetoni et al. (2009) mengevaluasi apakah produk distorsi emisi otoacoustic (DPOAEs)
dapat membedakan subjek normal dengan risiko kerusakan yang disebabkan oleh paparan suara,
memantau efek protektif Coenzyme Q10 terclatrate (QTer), dan parameter dalam memantau
terapi pencegahan NIHL. Dua puluh relawan secara acak dibagi menjadi dua kelompok: yang
pertama (n = 10) diberikan Q-Ter (200 mg oral sekali sehari) selama 7 hari sebelum noise
eksposur dan kelompok kedua diperlakukan dengan plasebo menggunakan jadwal yang sama.
27
Hasilnya disimpulkan bahwa peserta terkena white noise dari 90 dB HL selama 15 menit .
DPOAEs dan nada murni Audiometri ( PTA ) diukur sebelum dan 1 jam , 16 jam , dan 7 dan 21
hari setelah paparan . Inflamasi dan parameter stres oksidatif diukur sebelum paparan, 2 dan 24
jam setelah eksposur . Pada kelompok plasebo , DPOAE amplitudo berkurang 1 dan 16 jam
setelah paparan dibandingkan dengan nilai dasar . Pada kelompok Q - Ter , DPOAEs tidak
menunjukkan signifikan Perbedaan antara baseline dan post- exposure . Nilai ambang batas
PTA di Q - Ter dan kelompok plasebo tidak berbeda sebelum dan setelah terpapar . Tidak ada
perbedaan secara signifikan dari penanda inflamasi yang diamati pada kelompok Q - Ter dan
plasebo pada waktu yang berbeda . Para peneliti menyimpulkan bahwa studi percontohan ini
menegaskan bahwa DPOAEs merupakan tes yang sensitif untuk memantau efek kebisingan
dalam kondisi praklinis dan pengobatan farmakologis .
Korres et al . (2009) mengevaluasi gangguan pendengaran akibat kebisingan dalam
kelompok pekerja industri , menggunakan produk distorsi emisi otoacoustic ( DPOAEs ) dalam
hubungannya dengan nada murni standar Audiometri ( PTA ) . Sebanyak 105 subyek dilibatkan
dalam penelitian tersebut . PTA , tympanometry , dan DPOAEs dilakukan . Tingkat DPOAE
yang lebih rendah secara signifikan ditemukan di kelompok noiseexposed dibandingkan dengan
kelompok kontrol . Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa DPOAEs dan
PTA adalah kedua metode sensitif dalam mendeteksi noiseinduced gangguan pendengaran ,
dengan DPOAEs cenderung lebih sensitif pada frekuensi yang lebih rendah .
II.4.4. Sudden Hearing Loss
Mori et al. (2011) menyelidiki apakah produk distorsi emisi otoacoustic (DPOAEs)
dapat menjadi indikator prognostik dari 78 pasien dengan idiopathic sudden sensorineural
hearing loss (ISSNHL). Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa ada
korelasi yang signifikan antara recovery pendengaran dan DPOAEs yang diukur sebelum
pengobatan. Penulis menyatakan bahwa DPOAEs adalah sarana berpotensi yang berguna untuk
memprediksi prognosis pendengaran pada ISSNHL.
II.4.5. Tinitus dan Trauma Akustik
Kim et al . (2011) mendefinisikan secara klinis dan status audiologi pasien tinnitus
pendengaran normal pendengaran dengan emisi otoacoustic spontan. Tiga puluh dua pasien
dengan emisi otoacoustic spontan dibandingkan dengan 29 pasien tanpa emisi otoacoustic
spontan , mengenai keadaan klinis dan aspek audiologi. Menurut para peneliti , pasien tinitus
pendengaran normal dengan spontan otoacoustic emisi memiliki karakteristik klinis dan
28
audiologi yang berbeda, dibandingkan dengan mereka yang tidak dites emisi otoacoustic
spontan. Evaluasi dan pengobatan yang tepat harus dipertimbangkan pada tahap awal pada
pasien ini . Temuan ini memerlukan konfirmasi dalam penelitian yang lebih besar.
Zhou et al . ( 2011) menilai fungsi koklea , ambang persepsi dan produk distorsi emisi
otoacoustic ( DPOAEs ) yang diukur dengan frekuensi tinggi untuk pasien dengan tinnitus dan
subyek kontrol non - tinnitus ( n = 29 dan n = 18 ) dengan dan tanpa gangguan pendengaran.
Menurut penulis, fungsi koklea sangat terkait dengan persepsi tinitus dan pemeriksaan fungsi
koklea menggunakan DPOAEs memberikan tambahan informasi diagnostik atas ambang
persepsi saja .
II.4.6. Neuropati Auditory
Dengan adanya rekaman otoacustic emission(OAE), penelitian terhadap Neuropathy
Auditory menjadi lebih gampang. Neuropathy Auditory juga lebih umum daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Oleh karena itu, di bawah ini akan dijelaskan sedikt mengenai
Neuropathy Auditory .
Neuropathy Auditory ditandai dengan adanya respon terhadap AE,tetapi temuan ABR
tidak normal, dan, seringkali, tidak adarespon terhadap suara.(OAEs mungkin tidak ada bila
neuropathy auditory disertai adanya gangguan koklea. Terkadang respon OAEs dapat
menghilang dari waktu ke waktu pada pasien neuropathy auditory)
Gambaran ABR pada neuropathy auditory adalah tidak adanya semua bentuk gelombang
ABR atau terlihat latency interpeak berkepanjangan. Kadang – kadang terlihat respon
microphonic cochlear yang membesar yang diamati pada rekaman ABR untuk pasien. Pasien
dengan neuropathy auditory mungkin memiliki beberapa jenis konfigurasi audiometri, namun
konfigurasi rising atau flat yang paling umum. Seringkali, pasien mengakui sulit mendengarkan
kebisingan. Kemampuan mendengar pada pasien ini mungkin berfluktuasi. Seiring
waktu,pendengaran mungkin stabil, membaik, atau memburuk sampai tidak bisa mendengar
sama sekali. Jika etiologi diketahui, mungkin prognosis lebih baik, namun gangguan dapat
idiopatik. Penyebab neuropati pendengaran terkadang tidak diketahui, namun, beberapa kondisi
berikutdapat dikaitkan dengan neuropathy auditory pada anak:
· Hyperbilirubinemia
· Neurodegenerative diseases
· Neurometabolic diseases
· Demyelinating diseases
· Hereditary motor sensory neuropathologies (eg, Charcot-Marie-Tooth diseases with deafness)
29
· Inflammatory neuropathy
· Hydrocephalus
· Severe and/or pervasive developmental delay
· Ischemic-hypoxic neuropathy
· Encephalopathy
· Meningitis
· Cerebral palsy
BAB III
KESIMPULAN
30
Tujuan utama dari uji emisi otoacoustic (OAE) adalah untuk menentukan status
koklearis, khususnya fungsi sel rambut. Terdapat 4 tipe otoakustik emission, yaitu :
· Otoakustik spontan (SOAs) atau Spontaneous otoacoustic emissions (SOAEs). Suara
dipancarkan tanpa rangsangan akustik.SOAEs biasanyadianggap sebagai tanda dari kesehatan
koklea, tetapi tidak terdapatnya SOAEs belum tentu ada tanda kelainan.
· Pancaran otoakustik sementara. Suara dipancarkan terhadap respon akustik pada durasi yang
sangat singkat. biasanya berupa klik, tetapi bisa juga semburan nada. TOAEs biasanya
digunakan untuk skrining pada bayi, untuk memvalidasi ambang elektropsikologi pendengaran,
dan untuk menilai fungsi koklea relatif terhadap lokasi lesi.
· Pancaran produk Distorsi otoacoustic emissions (DPOAEs) – suara dipancarkan dalam
menanggapi 2 nada simultan frekuensi yang berbeda. DPOAEs mungkin sama sangat berguna
untuk deteksi dini kerusakan koklea karena mereka adalah untuk ototoksisitas dan kebisingan
yang menyebabkan kerusakan.
· Pancaran otoakustik dengan frekuensi terus menerus. Suara dipancarkan dalam menanggapi
nada terus. SFOAEs digunakan untuk merekam rangsangan terus menerus nada yang tumpang
tindih pada saluran telinga dan perekaman mendeteksi keduanya.
OAEs secara eksklusif dipancarkan dari Outer Hair Cell (OHC) yang berhubungan
dengan saraf auditori. Terdapat hubungan yang kuat antara ketidak-adaan OAEs dan hilangnya
pendengaran. Ini mendorong untuk mengkaji istilah “sensory hearing lost”
Sensory transmissive loss dapat didefinisiakn sebagai hilangnya pendengaran sebagai hasil
dari disfungsi grup sensorik OHC. Hilangnya ‘cockhlear amplifier’ memungkinkan redaman alami
untuk menghilangkan sebagian energi stimulus dari gelombang berjalan koklea dan
menurunkan resolusi mekanisme pencitraan koklea .
Sensory transduction loss didefinisikan sebagai gangguan pendengaran akibat
kegagalan sel-sel rambut bagian dalam untuk merespon dan mengaktifkan saraf auditori yang
bersinaps
DAFTAR PUSTAKA
1. Laughlin, ME. Sensorineural Hearing Loss. Diakses: www.hearing-loss –review.com
31
2. Moore,keith L. Anatomi Klinis Dasar.EGC. Jakarta .2002
3. Soetirto, I, et al. Gangguan Pendengaran (Tuli). Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 6. Jakarta. FKUI. 2007
4. Adam GL, Boies LR, Higler PA .Boies. Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. EGC.
Jakarta .1997
5. Sherwood Laurale; Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Penerbit: EGC.
Jakarta 2006.
6. Sjafruddin, et al. Tuli Koklea dan Tuli Retrokoklea. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 6. Jakarta. FKUI. 2007
7. Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss).
Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 6.
Jakarta. FKUI. 2007.
8. Suzuki J, et al. Hearing Impairment An Invisible Disability. Springer, Tokyo. 2004
9. Cummings,W Charles. Auditory Function Test. Otolaryngology Head and Neck Surgery.
Second edition. Mosby Year Book. St Louis. 1993;2698-2715
10. Roland PS, et al. Ototoxicity. Hamilton. London. 2004
11. Ballantyne J and Govers J : Scott Brown’s Disease of the Ear, Nose, and Throat.
Publisher: Butthworth Co.Ltd. : 1987, vol. 5
12. Suwento R, et al. Gangguan Pendengaran Pada Geriatri. Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 6. Jakarta. FKUI. 2007
13. Rambe, AY. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu
Penyakit THT. USU.
14. Suleh S. & Djelantik. Skrining Fungsi Pendengaran Pada Neonatus Dengan
Menggunakan Alat Emisi Otoakustik (Echo-screen). SMF Ilmu THT FK UNPAD /
RSUP Dr. Hasan Sadikin. Bandung. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS XII
PERHATI. Semarang. 1999 : 901-6.
15. Bellman S. & Vanniasegaram I. Testing Hearing In Children. In : Scott-Brown’s
Otolaryngology. Paediatric Otolaryngology. Vol. 6. 6th ed. Butterworth-Heinemann.
London. 1997 : 1-16
16. Campbell K.C.M. Otoacoustic Emissions. Department of Surgery, Division of
Otolaryngology, Southern Ilionis University School of Medicine. 2006.Available at :
http ://www.emedicine.com/ent/topic372.htm
32
17. Norton & Stover. Otoacoustic Emissions. An Emerging Clinical Tool. In : Katz
J.Handbook Of Clinical Audiology. 4th ed. Williams & Wilkins. Baltimore-USA. 1994:
448-61.
18. Lee K. J. & Peck J. E. Audiology. In : Lee K. J. Essential Otolaryngology. Head & Neck
Surgery. 8th ed. McGraw-Hill. 2003 : 24-64.
19. Abiratno S. F. Otoacoustic Emissions / OAE. Prinsip Dasar, Metodologi dan Aplikasi
Klinis. Subbag. Neurootologi. Departemen THT. RSPAD Gatot Soebroto. Jakarta. 2003
20. Agustian R. A. Aplikasi Klinis Emisi Oto Akustik (OAE). Bagian Ilmu Kesehatan THT-
KL FK UNPAD/RSHS Bandung. Dalam: Kumpulan Abstrak PIT Perhimpunan Dokter
Spesialis THT-KL ke VII. Bandung. 2008: 6
21. Ballenger J. J. Diagnostic Audiology, Hearing Aids, and Habilitation Options. In:
Ballenger’s. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 6th ed. 2003: 145 – 7
22. Hall & Antomelli. Assesment Of Peripheral And Central Auditory Function. In : Bailey
B. J. Head & Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelphia-USA. 2006 : 1927-42
23. Universal Newborn Hearing Screening Recommended Guidelines for Hospitals/Birthing
Facilities, Primary Care Physicians/ Medical Home and Audiologists Family and
Community Health Bureau Health Policy and Services Division Montana Department of
Public Health and Human Services. 2002.
24. Joint Committe on Infant Hearing, American Academy of Audiology, American
Academy of Pediatrics: Principles and Gudelines for Early Hearing Detection and
Intervention Programs Pediatrics. Vol. 106. No. 4. 2000: 798 – 817.
25. Suardana W. Deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. SMF Telinga
Hidung Tenggorok-Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP
Sanglah Denpasar. Dalam: Materi Simposium Pra PIT PERHATI THT Komunitas.
Bandung. 2008.
33