isi gambaran manajemen terapeutik pasien tb paru di rsud dr

15
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang menyerang organ paru-paru manusia yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. TB dijadikan sebagai suatu kedaruratan global bagi kemanusiaan oleh WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993 dan merupakan salah satu target pencapaian MDG’s dalam memberantas penyakit menular. Estimasi angka kejadian kasus TB di seluruh dunia masih tergolong tinggi yaitu sebesar 8,8 juta kasus dan sekitar 0,5 juta penderita TB meninggal setiap tahunnya (WHO, 2011). Indonesia yang merupakan salah satu negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara, memiliki kasus TB tertinggi di Asia Tenggara, dan merupakan negara dengan jumlah penderita TB tebanyak ke-empat di seluruh dunia setelah India, Cina, dan Afrika Selatan dengan jumlah total 302.861 penderita TB atau 189 per 100.000 populasi. Kondisi tersebut membuat Indonesia naik satu peringkat lebih tinggi dibandingkan laporan WHO tahun 2010 dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu wadah TB terbesar di dunia. Selama periode satu tahun belakangan, Indonesia telah melaporkan angka kematian akibat TB sebesar 64.000 kasus atau 27 kasus per 100.000 populasi (WHO, 2011).

Upload: rismawanadi

Post on 19-Oct-2015

27 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

isi

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang MasalahTuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang menyerang organ paru-paru manusia yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. TB dijadikan sebagai suatu kedaruratan global bagi kemanusiaan oleh WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993 dan merupakan salah satu target pencapaian MDGs dalam memberantas penyakit menular. Estimasi angka kejadian kasus TB di seluruh dunia masih tergolong tinggi yaitu sebesar 8,8 juta kasus dan sekitar 0,5 juta penderita TB meninggal setiap tahunnya (WHO, 2011). Indonesia yang merupakan salah satu negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara, memiliki kasus TB tertinggi di Asia Tenggara, dan merupakan negara dengan jumlah penderita TB tebanyak ke-empat di seluruh dunia setelah India, Cina, dan Afrika Selatan dengan jumlah total 302.861 penderita TB atau 189 per 100.000 populasi. Kondisi tersebut membuat Indonesia naik satu peringkat lebih tinggi dibandingkan laporan WHO tahun 2010 dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu wadah TB terbesar di dunia. Selama periode satu tahun belakangan, Indonesia telah melaporkan angka kematian akibat TB sebesar 64.000 kasus atau 27 kasus per 100.000 populasi (WHO, 2011). Program pemberantasan TB di Indonesia telah dilaksanakan secara nasional pada tahun 1995 yang lebih diintensifkan pada cara pengobatan dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) sesuai rekomendasi WHO. Namun pada kenyataan yang terjadi setelah program DOTS berjalan 18 tahun, angka TB di Indonesia masih tinggi dan keberhasilan untuk menurunkan jumlah kasus TB serta mencapai program Indonesia bebas TB 2015 semakin sulit seiring dengan munculnya berbagai tantangan. Tantangan yang menjadi penghambat adalah banyaknya drop out pengobatan TB serta resistensi obat anti TB (OAT) atau lebih dikenal dengan istilah Multi-drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) (Kemenkes RI, 2011). Drop out pengobatan TB terjadi apabila penderita menghentikan pengobatan < 6 bulan atau tidak teratur minum obat. Akibat yang akan muncul adalah munculnya kondisi resistensi obat anti TB atau Multi-drug resistant tuberculosis (MDR-TB). MDR-TB secara singkat dapat dijelaskan bahwa bakteri penyebab TB menjadi kebal terhadap obat anti TB. Riskesdas (2010) melaporkan bahwa persentase penderita TB di Indonesia yang menghentikan pengobatan < 6 bulan adalah sebesar 19,3 % dan persentase penderita yang tidak minum obat adalah 2,6%. Kasus MDR-TB dilaporkan sebesar 6.200 kasus dengan rincian 5.100 kasus terjadi pada penderita TB baru, sedangkan 1.100 kasus terjadi pada penderita TB lama dan diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya (WHO, 2011).Penelitian Simamora (2004), menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat penderita TB Paru adalah pengetahuan penderita tentang pengobatan TB Paru, ada tidaknya PMO, efek samping obat, perilaku petugas kesehatan, dan kurangnya penyuluhan kesehatan komprehensif. Pelayanan kesehatan memegang peranan terhadap fungsi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif terhadap pasien TB Paru. Rumah sakit sebagai salah satu sarana pemberi layanan kesehatan perlu memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan pasien TB di rumah paska perawatan di rumah sakit. Pengetahuan dan perubahan perilaku pasien TB Paru terhadap pengobatan memegang peranan penting dalam pencapaian kesembuhan. Proses edukasi tersebut dapat dilakukan dengan pemberian discharge palnning komprehensif pada pasien TB Paru (Siregar, 2004).Penelitian yang dilakukan oleh Rizka (2009) dengan judul Pengaruh Discharge Planning terhadap Kepatuhan Perawatan Pasien TB Setelah Dirawat di R. Paru Laki RSU Dr. Soetomo Surabaya didapatkan hasil bahwa discharge planning memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan berobat pasien TB paru. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengidentifikasi pengaruh pemberian discharge planning yang komprehensif terhadap kepatuhan berobat pasien TB paru setelah mendapatkan perawatan di RS. Hasil dari penelitian tersebut adalah didapatkan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan pengetahuan, sikap, dan praktek pengobatan TB yang dilakukan yang mengarah pada kepatuhan berobat pasien TB paru.Pelaksanaan discharge planning merupakan suatu rangkaian proses yang terdiri dari seleksi pasien, pengkajian intervensi, implementasi serta evaluasi. Sebagai implementasi utama dalam discharge planning adalah pemberian pendidikan kesehatan (health education) pada pasien dan keluarga yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman serta dukungan terhadap kondisi kesehatan pasien serta tindak lanjut yang harus dilakukan setelah pulang kerumah (Slevin, 1986).

Discharge planning yang komprehensif dan terintegrasi harus dilakukan dalam proses penatalaksanaan pasien TB, yaitu dengan pemberian health education agar terjadinya perubahan pengetahuan yang akhirnya akan mengarah pada perubahan perilaku pasien dan keluarga untuk mencegah terjadinya TB berulang, mencegah terjadinya komplikasi, membantu pemulihan, mencegah terjadinya kematian serta mengupayakan kecacatan seminimal mungkin dengan memberikan pengetahuan, pemahaman kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, cara penanganan, pengobatan regular terhadap penyakit TB Paru, efek putus obat, hingga kontrol rutin. Dengan demikian target pencapaian kesembuhan pada pasien TB paru dapat tercapai dengan maksimal (Shyu et al, 2008).

Fenomena TB di RUSD Abdoer Rahem

Survey yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Situbondo tahun 2005 didapatkan data bahwa kasus BTA (+) pada tahun 2005 sebanyak 551 Orang. RSUD dr. Abdoer Rahem yang merupakan satu-satunya RSUD di Kabupaten Situbondo memiliki angka kunjungan pasien TB Paru sebanyak selama pertengahan bulan September hingga Oktober 2013.Berdasarkan hasil studi lapangan dengan melakukan wawancara kepada perawat yang bekerja di RSUD dr. Abdoer Rahem Situbondo, didpatkan hasil bahwa discharge planning pada pasien TB Paru diberikan hanya berkisar tentang informasi waktu kontrol, cara minum obat dan beberapa perubahan gaya hidup yang harus dilakukan. Informasi ini diberikan dengan sangat terbatas pada saat pasien mau pulang, bukan dikemas dalam format pendidikan kesehatan yang memadai.Dari uraian diatas kelompok tertarik untuk melakukan telaah tentang Prevention and Control of Tuberculosis in Correctional and Detention Facilities: Recommendations from CDC (Centers for Disease Control and Prevention) pada poin Discharge Planning.1.2 TujuanTujuan dari telaah guidline ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep discharge planning yang tepat bagi pasien TB Paru setelah melakukan perawatan di rumah sakit.1.3 Manfaat1) Bagi Mahasiswa

Hasil telaah guidline ini dapat menambah pengetahuan tentang model discharge planning yang tepat pada pasien TB Paru sesuai dengan yang dianjurkan oleh CDC (Centers for Disease Control and Prevention). Hasil telaah ini juga dapat menjadi salah satu acuan untuk pengembangan penelitian selanjutnya dengan tema terkait bagi mahasiswa atau akademisi pada instansi pendidikan.2) Bagi Tenaga Kesehatan dan Tempat Pelayanan KesehatanHasil telaah guidline ini dapat menambah pengetahuan tentang model discharge planning yang tepat pada pasien TB Paru sesuai dengan yang dianjurkan oleh CDC (Centers for Disease Control and Prevention). Hasil telaah ini juga dapat menjadi salah satu acuan untuk dapat menerapkan metode yang tepat terkait pemberian discharge planning pada pasien TB Paru setelah mendapatkan perawatan di rumah sakit untuk mempermudah proses perawatan lanjutan di rumah.

3) Bagi MasayarakatHasil telaah guidline ini dapat memberikan kemudahan pada masyarakat, khususnya pada pasien TB paru untuk dapat melakukan perawatan serta proses pengobatan pasca perawatan di rumah sakit dengan tepat dan sesuai, sehingga mempermudah pasien untuk sembuh total tanpa gejala berulang.BAB III

3.1 Fenomena TB, Drop Out Pengobatan TB, dan MDR-TBKasus TB Paru di Indonesia berdasarkan Global Tuberculosis Control WHO Report tahun 2011 untuk angka insidensi dari semua tipe TB Paru adalah sebesar 302.861 kasus atau 189 per 100.000 populasi, angka prevalensi semua tipe TB adalah sebesar 690.000 kasus atau 289 kasus per 100.000 populasi, dan angka kematian TB Paru adalah sebesar 64.000 kasus atau 27 kasus per 100.000 populasi (WHO, 2011). Insidensi kasus TB Paru tersebut tersebar di seluruh wilayah Negara Indonesia dengan paling banyak berada pada wilayah DKI Jakarta dengan jumlah 61.010 kasus, disusul wilayah provinsi Jawa Tengah dengan 37.986 kasus serta Jawa Timur dengan 37.511 kasus (Depkes, 2010).

Tingginya kasus TB Paru di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah munculnya berbagai tantangan yang perlu dihadapi untuk mengatasi masalah TB Paru sesuai dengan yang tertulis oleh Kementerian Kesehatan RI dalam Stranas TB 2010-2014. Dari beberapa tantangan yang dituliskan salah satu yang berperan besar dalam menghambat penyembuhan TB Paru pada penderita adalah drop out pengobatan TB Paru serta resistensi obat anti TB (OAT) atau lebih popular dengan istilah Multi-drug resistant tuberculosis (MDR-TB) (Kemenkes RI, 2011). Drop out pengobatan TB Paru terjadi apabila penderita menghentikan pengobatan < 6 bulan atau penderita yang telah menjalani pengobatan 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. Resistensi obat anti TB Paru atau Multi-drug resistant tuberculosis (MDR-TB) terjadi apabila bakteri penyebab TB Paru menjadi kebal terhadap obat anti TB yang biasa digunakan.

Riskesdas (2010) melaporkan bahwa persentase penderita TB di Indonesia yang berobat < 5 bulan adalah sebesar 19,3 % dan persentase penderita yang tidak minum obat adalah 2,6%. Hasil survei secara global melaporkan telah terjadi kasus MDR-TB pada penderita TB sebanyak 290.000 kasus atau sekitar 3,3% dari total penderita TB di seluruh dunia. Di Indonesia kasus MDR-TB pada tahun 2010 dilaporkan sebesar 6.200 kasus dengan rincian 5.100 kasus terjadi pada penderita TB baru, sedangkan 1.100 kasus terjadi pada penderita TB lama dan diperkirakan terdapat sekitar 6300 kasus MDR TB setiap tahunnya (WHO, 2011). Dengan kecenderungan seperti ini, pencapaian target dalam mewujudkan Indonesia bebas TB pada tahun 2015 akan sulit terwujud.Penyebab utama dari terjadinya kasus drop out pengobatan dan MDR-TB adalah ketidakpatuhan minum obat dari penderita TB Paru sendiri. Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka drop out pengobatan penderita TB paru dan menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TB paru resisten terhadap OAT. Hal tersebut dapat terjadi karena pengobatan yang tidak teratur akan memberikan kesempatan pada bakteri penyebab TB Paru untuk bermutasi menjadi lebih kebal terhadap OAT. Penelitian Simamora (2004), menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat penderita TB Paru adalah pengetahuan penderita tentang pengobatan TB Paru, ada tidaknya PMO, efek samping obat, perilaku petugas kesehatan, dan kurangnya penyuluhan kesehatan komprehensif.Pelayanan kesehatan memegang peranan terhadap fungsi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif terhadap pasien TB Paru. Rumah sakit sebagai salah satu sarana pemberi layanan kesehatan perlu memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan pasien TB di rumah paska perawatan di rumah sakit. Pengetahuan dan perubahan perilaku pasien TB Paru terhadap pengobatan memegang peranan penting dalam pencapaian kesembuhan. Proses edukasi tersebut dapat dilakukan dengan pemberian discharge planning komprehensif pada pasien TB Paru (Siregar, 2004).

3.2 Discharge Planning pada Pasien TB Paru Discharge planning merupakan suatu proses dimulainya pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang diikuti dengan perawatan yang berkesinambungan baik dalam proses penyembuhan maupun dalam mempertahankan derajat kesehatannya sampai pasien merasa siap untuk kembali ke lingkungannya. Discharge planning yang efektif mencakup pengkajian berkelanjutan untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tentang kebutuhan pasien yang berubah-ubah, pernyataan diagnosa keperawatan, perencanaan untuk memastikan kebutuhan pasien sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan (Kozier, 2004).Perawat dianggap sebagai seseorang yang memiliki kompetensi lebih dan punya keahlian dalam melakukan pengkajian secara akurat, mengelola dan memiliki komunikasi yang baik dan memahami setiap kondisi dalam masyarakat (Caroll & Dowling, 2007). Discharge planning ini menempatkan perawat pada posisi yang penting dalam proses perawatan pasien dan dalam team discharge planner rumah sakit. Pengetahuan dan kemampuan perawat dalam proses keperawatan dapat memberikan kontinuitas perawatan melalui proses discharge planning. Discharge planning pada pasien TB Paru difokuskan pada persiapan perawatan pasien TB Paru selama di rumah. Dicharge planning pada pasien TB Paru sudah harus dipersiapkan sejak pasien terdiagnosa TB Paru. Hal ini dikarenakan TB Paru merupakan penyakit yang kompleks dan membutuhkan waktu penyembuhan yang cukup lama. Oleh karena itu, pemahaman tentang konsep TB Paru, pengobatan, hingga perawatan di rumah secara mandiri oleh keluarga maupun pasien perlu dipahami dengan matang. Berdasarkan Guideline for Preventing the Transmission of Mycobacterium Tuberculosis in Health-Care Settings (2005) dan Guideline of Tuberculosis: Information for Health Care Providers 4th Edition (2009), jika seorang pasien dirawat di rumah sakit yang telah dicurigai atau dikonfirmasi

Penyakit TBC dianggap stabil secara medis ( termasuk pasien

BTA sputum BTA positif menunjukkan hasil paru

Penyakit TBC ) , pasien dapat keluar dari rumah sakit

sebelum mengkonversi AFB sputum BTA hasil positif

AFB sputum hasil BTA negatif , jika parameter berikut

telah dipenuhi :

rencana spesifik ada untuk perawatan tindak lanjut dengan lokal

Program TB - kontrol;

pasien telah dimulai pada multidrug standar

pengobatan antituberkulosis rejimen , dan DOT telah

diatur ;

tidak ada bayi dan anak usia < 4 tahun atau orang dengan

kondisi immunocompromising yang hadir dalam

rumah tangga;

semua anggota rumah tangga imunokompeten telah

sebelumnya terkena pasien , dan

Kebanyakan individu dengan TB aktif dapat berhasil

diperlakukan sebagai pasien rawat jalan . Jika dirawat di rumah sakit , pasien dapat dipulangkan

ke masyarakat bahkan ketika mereka masih menular , dengan

isolasi di rumah sampai mereka memenuhi kriteria untuk pembebasan dari isolasi

(lihat 11.4 ) . Namun, ini harus terjadi hanya jika tidak ada anak-anak

di bawah usia 5 atau orang dengan kondisi immunocompromising

( misalnya , HIV ) yang berada di rumah tangga , kecuali orang-orang yang

sudah menerima pengobatan untuk penyakit TB atau LTBI . ( CTS , hal. 331 )

Perencanaan debit harus dimulai segera setelah diagnosis dibuat .

Kolaborasi dengan unit kesehatan umum setempat sangat penting untuk

pasien yang akan berhasil dialihkan ke masyarakat .

Sebelum debit , langkah-langkah berikut harus diatur untuk

transisi masyarakat :

Konfirmasi janji rawat jalan dengan penyedia yang akan

mengelola pasien sampai sembuh ;

Menyediakan individu dengan nomor telepon dokter dalam kasus

timbul komplikasi ;

Berikan obat TB yang cukup sampai pertemuan berikutnya ;

Beritahu Kesehatan Masyarakat debit pasien untuk melaksanakan

DOT dan tindak lanjut ;

Ulasan isolasi tindakan pencegahan dengan pasien menular dan

menyediakan masker untuk kewaspadaan isolasi udara ;

Menilai jika pasien membutuhkan dokumentasi absensi untuk

sekolah / majikan .