isbn 978-602-235-540-3 - pusat2.litbang.kemkes.go.id · hasil akhir riskesdas 2013 tingkat provinsi...

237
Cetakan Pertama, Desember 2013 Hak Cipta dilindungi oleh Undang Undang All right reserved Kementerian Kesehatan RI, Pokok Pokok Hasil Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013 Penulis : Sahat Ompusunggu, Dkk Layout : Ade Rian Hidayat Desain Sampul : Suci Wiji Lestari Editor : Susilowati Herman, Nurul Puspasari C-1 Jakarta Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes, 2013, 293 hlm. Uk 21 cm x 29,7 cm ISBN 978-602-235-540-3 Diterbitkan oleh : Lembaga Penerbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Anggota IKAPI No. 468/DKI/XI/2013 Jl. Percetakan Negara No 29 Jakarta 10560 Kotak Pos 1226 Telepon : (021) 4261088 Ext.123 Faksimilie (021) 4243933 Email: [email protected]; Website: terbitan.litbang.depkes.go.id Didistribusikan oleh : Tim Riskesdas 2013 Copyright (C) 2013 pada Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes Jakarta Sanksi Pelanggaran Undang undang Hak Cipta 2002 1. Barang siapa dengan sengaja tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil Hak Cipta Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

Upload: phungnga

Post on 04-Apr-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Cetakan Pertama, Desember 2013

Hak Cipta dilindungi oleh Undang Undang

All right reserved

Kementerian Kesehatan RI, Pokok Pokok Hasil Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013

Penulis : Sahat Ompusunggu, Dkk

Layout : Ade Rian Hidayat

Desain Sampul : Suci Wiji Lestari

Editor : Susilowati Herman, Nurul Puspasari

C-1 Jakarta

Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes, 2013, 293 hlm. Uk 21 cm x 29,7 cm

ISBN 978-602-235-540-3

Diterbitkan oleh :

Lembaga Penerbitan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI

Anggota IKAPI No. 468/DKI/XI/2013

Jl. Percetakan Negara No 29 Jakarta 10560 Kotak Pos 1226

Telepon : (021) 4261088 Ext.123 Faksimilie (021) 4243933

Email: [email protected]; Website: terbitan.litbang.depkes.go.id

Didistribusikan oleh :

Tim Riskesdas 2013

Copyright (C) 2013 pada Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes Jakarta

Sanksi Pelanggaran Undang undang Hak Cipta 2002

1. Barang siapa dengan sengaja tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil Hak Cipta Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

RISET KESEHATAN DASAR

RISKESDAS 2013

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Disusun Oleh: drh. Sahat Ompusunggu, M.Sc

Syachroni, S.Si Umi Syarifah, S.Kom

Aris Yulianto, S.Si Rosiana Kalikulla, SKM

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI

TAHUN 2013

i

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum wr.wb.

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga Riskesdas 2013 telah selesai dilaksanakan. Riskesdas merupakan kegiatan riset kesehatan dasar berbasis masyarakat, yang dilaksanakan secara berkala. Riskesdas menghasilkan indikator kesehatan yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan pembangunan kesehatan.

Hasil akhir Riskesdas 2013 tingkat provinsi disajikan dalam dua buku yaitu buku 1: Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 dan buku 2: Riskesdas 2013 Dalam Angka . Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 berisi hasil analisis variabel utama pembangunan kesehatan, dilengkapi dengan filosofi, teori dan justifikasi pengumpulan variabel dan indikator. Riskesdas 2013 dalam Angka menyajikan hasil lebih rinci dalam bentuk tabel. Kedua buku ini merupakan satu kesatuan, pembaca disarankan membaca buku 1 untuk mendapatkan gambaran komprehensif mengenai Riskesdas dan buku 2 untuk memperoleh informasi lebih rinci dalam bentuk tabel.

Analisis disajikan secara deskriptif dan kecenderungan untuk melihat perubahan indikator 2007 – 2013.Informasi kecenderungan dapat dimanfaatkan program untuk mengevaluasi strategi yang telah diterapkan, sehingga dapat diidentifikasi kemajuan kinerja provinsi dan perbaikan yang dibutuhkan. Laporan Riskesdas 2013 dapat diunduh melalui website Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan www.litbang.depkes.go.id

Ucapan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada Gubernur, Bupati, Walikota, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Poltekkes, Perguruan Tinggi, Lembaga PenelitianDaerah, dan berbagai institusi yang membantu kelancaran Riskesdas 2013. Kontribusi semua pihak dari tahap persiapan, pembuatan instrumen, pengumpulan dan analisis data serta penulisan laporan sangat kami apresiasi. Ungkapan serupa juga kami tujukan kepada para koordinator wilayah beserta jajaran administratornya, para penanggung jawab operasional, para enumerator di lapangan, sehingga pelaksanaan Riskesdas 2013 dapat berjalan lancar.

Semoga laporan ini dapat dimanfaatkan bagi para pembaca dan semoga Allah SWT melimpahkan barokah-Nya kepada kita.

Wassalamu‟alaikum wr.wb.

Kepala Pusat Teknologi Terapan dan Epidemiologi Klinik

dr.Siswanto ,MHP ,DTM

ii

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

Dalam lima tahun terakhir ini Pembangunan Kesehatan telah diperkuat dengan tersedianya data dan informasi yang dihasilkan oleh Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas. Tiga Riskesdas telah dilaksanakan di Indonesia, masing–masing pada tahun 2007, 2010, dan 2013.

Riskesdas 2013 berbasis komunitas, mencakup seluruh provinsi di Indonesia dan menghasilkan data serta informasi yang bermanfaat bagi para pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan. Dengan adanya data dan informasi hasil Riskesdas, maka perencanaan dan perumusan kebijakan kesehatan serta intervensi yang dilaksanakan akan semakin terarah, efektif dan efisien.

Saya minta agar segenap pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan memanfaatkan data dan informasi yang dihasilkan Riskesdas dalam merumuskan kebijakan dan mengembangkan program kesehatan, demi terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi–tingginya. Saya juga mengundang para pakar perguruan tinggi, para pemerhati kesehatan, para peneliti Badan Litbangkes, dan para anggota APKESI (Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia) untuk mengkaji hasil Riskesdas 2013, guna mengindentifikasi asupan bagi peningkatan Pembangunan Kesehatan dan penyempurnaan Sistem Kesehatan Nasional. Dengan demikian dapat dikembangkan tatanan kesehatan yang semakin baik bagi Rakyat Indonesia.

Ucapan selamat dan apresiasi saya sampaikan kepada para responden, enumerator, para penanggung jawab teknis Badan Litbangkes dan Poltekkes, para penanggung jawab operasional dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, para pakar dari universitas dan BPS, serta semua pihak yang terlibat dalam Riskesdas 2013 ini. Peran dan dukungan anda sangat penting dalam mendukung upaya menyempurnakan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi Pembangunan Kesehatan di negeri ini.

Semoga buku ini bermanfaat.

Billahitaufiq walhidayah, Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 1 Desember 2013 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI

Dr. dr. Trihono, MSc

iii

RINGKASAN EKSEKUTIF

A. RINGKASAN EKSEKUTIF

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 di Indonesia, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan riset kedua yang mengumpulkan data dasar dan indikator kesehatan setelah tahun 2007, yang merepresentasikan gambaran wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Indikator yang dihasilkan antara lain status kesehatan dan faktor penentu kesehatan yang bertumpu pada konsep Henrik Blum. Pertanyaan penelitian yang menjadi dasar pengembangan Riskesdas 2013 adalah: 1) bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat provinsi, dan kabupaten/kota; 2) Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik di setiap kabupaten/kota; 3) Apa dan bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di tingkat provinsi dan kabupaten/kota; 4) Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan; dan 5) Bagaimana korelasi antar faktor terhadap status kesehatan? Laporan ini baru dapat menjawab pertanyaan penelitian 1 dan 2, sedangkan pertanyaan penelitian 3, 4, dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk analisis lanjut. Untuk menjawab kelima pertanyaan tersebut, dirumuskan tujuan antara lain yaitu penyediaan data dasar dan status kesehatan dan faktor penentu kesehatan, baik di tingkat rumah tangga maupun tingkat perorangan, dengan ruang lingkup sebagai berikut: 1) Akses dan pelayanan kesehatan; 2) Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional; 3) Kesehatan lingkungan; 4) Pemukiman dan ekonomi; 5) Penyakit menular; 6) Penyakit tidak menular; 7) Cedera; 8) Gigi dan mulut; 9) Disabilitas; 10) Kesehatan jiwa; 11) Pengetahuan, sikap dan perilaku; 12) Pembiayan kesehatan; 13) Kesehatan reproduksi; 14) Kesehatan anak; 15) Pengukuran antropometri (berat badan, tinggi/panjang badan, lingkar lengan atas, lingkar perut) dan tekanan darah; 16) Pemeriksaan indera mata dan telinga; 17) Pemeriksaan status gigi permanen; 18) Pengambilan spesimen darah dan urin, garam dan air rumah tangga. Disain Riskesdas 2013, termasuk di NTT, merupakan survei cross sectional yang bersifat deskriptif. Populasi di NTT adalah seluruh rumah tangga di 21 kabupaten/kota. Sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga dirancang terpisah dengan daftar sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga Susenas 2013. Riskesdas 2013 berintegrasi dengan SUSENAS yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Di NTT berhasil dikunjungi seluruh (100 %) dari 436 blok sensus (BS) yang ditargetkan, 10.747 dari 10.900 RT (98,6 %), dan 43.732 dari 46.206 ART (94,6 %). Juga telah dikumpulkan 986 spesimen darah ART umur ≥ 1 tahun untuk pemeriksaan hemoglobin, malaria, glukosa, dan beberapa parameter kimia klinis. Untuk mengetahui status iodium, dilakukan tes cepat iodium dari seluruh sampel garam RT (10.747). Keterbatasan Riskesdas 2013 NTT mencakup: 1) non-sampling error antara lain: RT yang tidak dijumpai, anggota RT yang tidak bisa diwawancarai karena tidak ada di tempat sampai waktu pengumpulan data selesai, 2) estimasi tingkat kabupaten tidak bisa berlaku untuk semua indikator karena keterbatasan jumlah sampel untuk dianalisis. Seluruh hasil Riskesdas NTT ini bermanfaat sebagai masukan dalam pengembangan kebijakan dan perencanan program kesehatan. Dengan 1.060 variabel yang dikelompokkan berdasarkan dua jenis kuesioner (RKD13.RT dan RKD13.IND), maka hasil Riskesdas 2013 NTT telah dan dapat digunakan antara lain untuk melihat kecenderungan perubahan beberapa indikator yang sama dengan Riskesdas 2007, pengembangan riset dan analisis lanjut, penelusuran hubungan kausalefek, dan pemodelan statistik.

iv

Riskesdas 2013 NTT menghasilkan berbagai peta masalah kesehatan dan kecenderungannya, dari bayi lahir sampai dewasa, yang dapat dirinci dalam penjelasan berikut ini. Catatan berat badan bayi waktu lahir yang diperlukan dalam pemantauan tumbuh-kembang anak, ternyata tidak dimiliki oleh hampir dua pertiga (66,1 %) bayi dan catatan panjang bayi tidak dimiliki hampir empat perlima (78,8 %). Di Sumba Barat Daya, > 90 % bayi tidak memiliki catatan. Di antara yang memiliki catatan, terdapat 15,5 persen bayi dengan berat bayi lahir rendah (BBLR). NTT merupakan provinsi tertinggi keduaBBLR pada tingkat nasional dan 28,6 persen lahir pendek (provinsi tertinggi pada tingkat nasional). Dari kenyataan tersebut diperlukan perbaikan catatan bayi dan perhatian khusus pada bayi yang BBLR dan lahir pendek agar tidak mengalami masalah penyakit tidak menular di masa depannya. Sebagian besar balita di provinsi itu sudah menerima vaksinasi dengan cakupan tertinggi adalah campak, BCG (83,1 %) dan terendah DPT-HB3 (63,8 %) Cakupan imunisasi dasar lengkap tidak sampai separuh (45 %), bahkan terdapat 12,4 persen anak yang tidak diimunisasi. Sumba Barat Daya mempunyai cakupan imunisasi terendah, baik untuk masing-masing jenis imunisasi maupun iminisasi lengkap. Kabupaten itu memang baru terbentuk dalam beberapa tahun terakhir sehingga keterbatasan sumber daya manusia, sarana dan prasarana merupakan salah satu hambatan dalam pelayanan. Kunjungan neonatal di provinsi itu cenderung menurun dari KN-1 ke KN-2 tetapi meningkat dari KN-2 ke KN-3. Sumba Barat Daya merupakan kabupaten yang terendah kunjungan KN-1 dan Ngada selalu menempati urutan teratas jumlah kunjungan, baik KN-1, KN-2 maupun KN-3. Kunjungan lengkap hanya dilakukan oleh seperempat (25,2 %) di antara seluruh neonatal, dimana urutan terbawah ditempati Kabupaten Sumba Barat Daya dan tertinggi Ngada. Sebagian besar alasan tidak melakukan kunjungan adalah: bayi tidak sakit. Dapat disimpulkan bahwa masih terdapat kesalah pahaman pada orang tua bayi bahwa kunjungan neonatal ke unit pelayanan kesehatan hanya perlu bila bayi sedang sakit. Menyusui bayi, yang tidak hanya bermanfaat bagi bayi tetapi juga bagi ibu menyusui, ternyata hanya dilakukan pada bayi dengan jumlah kurang dari separuh, baik pada bayi yang disusui mulai kurang dari satu jam (40,5 %) maupun pada bayi yang disusui 1-6 jam setelah bayi lahir (40,3 %). Manggarai Timur adalah kabupaten terendah persentase anak yang disusui kurang dari satu jam (22,1 %). Rendahnya kesadaran ibu bayi untuk menyusui bayinya bisa disebabkan oleh berbagai alasan. Cakupan pemberian kapsul vitamin A untuk bayi dan anak balita, di NTT mencapai 72 persen, terendah di Kabupaten Sabu Raijua sekitar separuh (50,1 %) dan Kabupaten Nagekeo mencapai 90 persen. Di NTT penimbangan sebagai salah satu bentuk pemantauan tumbuh-kembang anak, belum pernah dilakukan oleh sepertiga jumlah anak (32,3 %) bahkan di Sumba Barat Daya hampir empat perlima (78,8 %). Berbagai alasan dikemukakan oleh keluarga yang tidak melakukannya dan alasan paling umum adalah “sibuk/repot”, “anak sudah besar” atau “tempatnya jauh”. Kartu Menuju Sehat (KMS) dan buku KIA yang berguna untuk dokumentasi pemantauan anak tidak dimiliki oleh hampir seperempat (24,5 %) keluarga anak di NTT dan lebih dari separuh (61,7 %) di Sabu Raijua. Di kabupaten/kota lain persentasenya cukup beragam. Bagi yang pernah memiliki, sebagian kartu malah sudah hilang atau disimpan di tempat lain sehingga tidak bisa ditunjukkan. Dalam pelayanan kesehatan ibu, terutama dalam hal pola pengunaan KB saat ini , diperlihatkan bahwa lebih dari sepertiga (35,1 %) WUS kawin tidak pernah menggunakan KB, seperempat (25,3 %) pernah menggunakannya dan sisanya yang 39,6 persen sedang menggunakan KB. Di Sabu Raijua dan Flores Timur, lebih dari separuh WUS kawin tidak pernah menggunakan KB. Cara/alat

v

KB modern yang terbanyak diminati adalah suntikan (22,4 %), lalu susuk/implan (6,5 %) dan sisanya menggunakan cara/alat lain dengan jumlah yang lebih sedikit dan yang paling tidak diminati adalah steril, baik steril pria maupun steril wanita. Tenaga kesehatan yang paling banyak (87,5 %) melayani KB adalah bidan. Karena suntikan merupakan cara/alat KB yang paling diminati, yang berkaitan dengan kemudahan dan tidak merepotkan pengguna, maka hal itu bisa dijadikan sebagai isue pokok dalam penyuluhan oleh bidan. Angka infeksi penyakit menular di NTT masih tergolong relatif tinggi. Period prevalence ISPA tahun 2013 dijumpai sebesar 41,7 persen penduduk (tertinggi di Indonesia) dan tidak berbeda jauh dengan keadaan tahun 2007. Di Sumba Tengah jumlahnya mencapai lebih dari separuh (69 %) penduduk. Prevalensi pneumonia 4,6 persen dan period prevalence 1,4 persen dengan insiden tertinggi Manggarai Timur. Penderita tuberkulosis hasil diagnosis dalam < 1 tahun terakhir 0,3 permil dan dalam > 1 tahun terakhir 1,1 permil. Cakupan pengobatan tuberkulosis baru 34,8 persen dan terkecil di Ende (8,1 %). Prevalensi hepatitis 4,3 persen (tertinggi di Indonesia) atau hampir 4 kali prevalensi nasional (1,2 %) dan tertinggi di Manggarai Timur. Insiden diare sebesar 4,3 persen, period prevalence-nya 10,9 persen dan Manggarai Timur menduduki urutan teratas, khusus pada balita insidennya 6,7 persen dan pemberian oralit baru separuh (51,5 %) sedangkan zinc jauh lebih sedikit (3,3 %). NTT menempati urutan kedua penderita malaria setelah Papua, dengan insiden 2,6 persen dan period prevalence 1 bulan terakhir 6,8 persen. Karena perilaku penduduk dan keadaan lingkungan berkaitan dengan penularan, maka pengendaliannya memerlukan kerjasama lintas sektor. Penyakit tidak menular, di antaranya asma, masih diderita oleh 7,3 persen penduduk NTT (kedua tertinggi di Indonesia) dan prevalensi tertinggi terdapat di Manggarai Timur, Sumba Barat Daya dan Sumba Barat. Terdapat 10 persen penderita penyakit paru obstruksi kronis/PPOK (tertinggi di Indonesia) dan tiga kabupaten dengan persentase tertinggi adalah Manggarai Timur, Sumba Barat dan Sumba Timur. Karena di NTT prevalensi diabetes mellitus (3,3 %) dan hipertiroid (0,4 %) sangat kecil, rincian menurut kabupaten/kota tidak dianalisis. Prevalensi hipertensi hasil wawancara besarnya 7,4 persen dan di tiga kabupaten (Sikka, Ende dan Ngada) > 11 persen. Hipertensi menurut hasil pengukuran, prevalensinya lebih tinggi (23,3 %) dan perbedaan antar kabupaten tidak begitu besar. Penyakit tidak menular lainnya yang relatif kecil prevalensinya antara lain adalah: jantung koroner (4,4 %), gagal jantung (0,8 %), gagal ginjal kronis (0,3 %) dan batu ginjal (0,7 %). Prevalensi penyakit sendi 33,1 persen, untuk tingkat kabupaten/kota prevalensinya cukup beragam, berkisar antara 17 persen di Alor hingga 60,8 persen di Manggarai Timur. Meskipun prevalensi penyakit tidak menular tertentu relatif kecil, namun pengendaliannya memerlukan kerjasama dengan pihak keluarga. Prevalensi kebutaan di NTT sekitar 1 persen, katarak 2,3 persen, pterygium 8,2 persen dan kekeruhan kornea 4,9 persen. Sebagian besar penderita katarak (41,1 %) tidak tahu bahwa dirinya menderita. Prevalensi ketulian sebesar 0,1 persen, gangguan pendengaran 3,7 persen dan yang mengandung sekret di liang telinga 21,7 persen. Disabilitas dialami lebih separuh penduduk berumur > 15 tahun, dengan rincian 22 persen kesulitan berdiri selama 30 menit (termasuk 6,2 % level sedang dan 5,8 % level berat), 20,3 persen kesulitan berjalan jauh dan 19,2 persen kesulitan mengerjakan kegiatan rumah tangga. Akibatnya penderita kehilangan 6,6 hari produktif. Besarnya prevalensi skizofrenia (pskosis) di NTT adalah 1,6 permil. Yang mengalami gangguan mental emosional tergolong tinggi dengan prevalensi 7,8 permil. Seperempat (25,9 %) penduduk NTT berumur > 10 tahun merupakan perokok aktif yang terbagi atas 19,7 persen perokok setiap hari dan 6,2 persen perokok kadang-kadang. Hampir semua perokok adalah laki-laki dan menyebar merata di semua kabupaten/kota. Pengunyah tembakau setiap hari 17,7 persen dan yang kadang-kadang 12,2 persen.

vi

Di seluruh NTT lebih sekitar dua pertiga (67.9 %) sumber air minum berjarak < 10 meter dari tempat penampungan tinja. Rumah tangga yang memiliki akses ke sumber air minum yang improved baru sekitar dua pertiga dari jumlah rumah tangga (69,7 %).

B. RINGKASAN HASIL

Akses dan Pelayanan Kesehatan Pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas kesehatan yang terbanyak adalah tentang Puskesmas atau Puskesmas Pembantu (86,4 %) dan paling rendah persentasenya di seluruh provinsi adalah Poskesdes/Poskestren (5,8 %). Terdapat tiga jenis unit fasilitas kesehatan yang lebih tinggi persentasenya di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, yaitu Puskesmas/Pustu, Poskesdes/Poskestren dan Polindes. Pengetahuan rumah tangga menuju ke rumah sakit pemerintah yang terbanyak menggunakan kendaraan umum (41,6 %) dan yang paling jarang digunakan adalah sepeda, perahu, transportasi udara dan ”lainnya” (masing-masing < 0,5 %). Di antara 41,6 % pengguna kendaraan umum tersebut, persentase terbesar adalah di Manggarai Timur dan terkecil di Kabupaten Kupang (14,1 %). Ada tiga jenis moda transportasi yang lebih banyak digunakan rumah tangga di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan yaitu mobil pribadi, jalan kaki dan sepeda motor, sedangkan kendaraan umum, perahu dan “lainnya” adalah sebaliknya. Adapun sepeda dan transportasi udara sama-sama sangat jarang atau tidak pernah sama sekali digunakan baik di perkotaan maupun perdesaan. Semua moda transportasi tidak menunjukkan adanya hubungan yang linier dengan Kuintil Indeks Kepemilikan kecuali sepeda motor menunjukkan hubungan linier dimana makin tinggi kuintil makin tinggi penggunaannya Dua moda transportasi ke RS swasta di Nusa Tenggara Timur yang terbanyak digunakan adalah kendaraan umum (39,5 %) dan sepeda motor (39,4 %) dan yang paling jarang atau bahkan tidak digunakan adalah sepeda (0 %) Di antara 39,5 % pengguna kendaraan umum, persentase terbesar digunakan di Manggarai Timur (91,3 %) dan terkecil di Kabupaten Kupang (4,6 %) dan di antara 39,4 % pengguna sepeda motor, persentase terbesar digunakan di Sumba Tengah (63,6 %) dan terkecil di Manggarai (14,8 %). Di beberapa kabupaten/kota tidak diketahui moda transportasi yang digunakan, antara lain moda transportasi sepeda, perahu, transportasi udara dan moda ”lainnya”. Semua moda transportasi tersebut lebih banyak digunakan di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, kecuali pada moda transportasi sepeda, perahu, transportasi udara dan “lainnya” yang tidak jelas gambarannya. Hanya transportasi sepeda motor yang menunjukkan hubungan linier yang positif dengan Kuintil Indeks Kepemilikan, dimana makin tinggi kuintil makin tinggi persentase penggunanya sedangkan moda transportasi lain cukup beragam persentasenya atau tidak menunjukkan hubungan linier. Moda transportasi utama yang digunakan penduduk Nusa Tenggara Timur ke Puskesmas/Pustu adalah sepeda motor (39,4 %) lalu disusul dengan jalan kaki (28,8 %) dan kendaraan umum (23,6 %) sedangkan moda transportasi sisanya sangat kecil persentasenya. Di antara ketiga moda transportasi utama tersebut, persentase terbesar pengguna sepeda motor adalah di Rote Ndao (68,9 %) dan terkecil di Flores Timur (19,1 %) sementara yang jalan kaki terbanyak adalah di Manggarai Timur (64,8 %) dan terjarang di Sumba Barat (6,5 %) dan selanjutnya yang terbanyak menggunakan kendaraan umum adalah di Flores Timur (57,3 %) dan terkecil di Sumba Tengah (4,5 %). Waktu tempuh menuju rumah sakit pemerintah memiliki persentase yang hampir sama, yaitu 28,8 persen untuk 16-30 menit dan 29 persen untuk > 60 menit. Waktu tempuh rumah tangga menuju Pukesmas dan Puskesmas Pembantu terbanyak adalah ≤ 15 menit (39,6 %) dan paling jarang pada

vii

> 60 menit (10,2 %), atau dengan perkataan lain makin singkat waktu tempuh, makin banyak penduduk mengunjungi Puskesmas/Pustu. Makin tinggi waktu tempuh makin rendah persentasenya, namun untuk tingkat kabupaten/kota, gambaran yang sama hanya terjadi di enam kabupaten/kota saja, yaitu Timor Tengah Utara, Belu, Sikka, Manggarai Barat, Sumba Tengah dan Nagekeo, sedangkan untuk yang lainnya tidak ada korelasi dan bahkan di dua kabupaten, Alor dan Rote Ndao, tidak ada jawaban responden sama sekali. Biaya transportasi menuju rumah sakit pemerintah menunjukkan bahwa lebih separuh (57,7 %) penduduk mengeluarkan biaya Rp. < 10.000,- menuju RS Pemerintah dan juga terlihat bahwa makin tinggi biaya transportasi makin kecil persentase penduduk yang mengeluarkan biaya itu. Biaya transportasi sekali jalan menuju Puskesmas atau Puskesmas Pembantu dan Posyandu sebagian besar adalah Rp. < 10.000,-, dimana persentasenya berturut-turut 92,7 persen dan 97,2 persen. Hanya sebagian kecil saja penduduk yang menggunakan biaya di atasnya.

Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Sebanyak 17,2 % rumah tangga di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi), dengan proporsi tertinggi rumah tangga di Kabupaten Rote Ndao (28,9 %) dan terendah di Kabupaten Kupang (3,2 %). Rerata jumlah obat yang disimpan hampir 3 jenis, dimana yang tertinggi adalah di Alor (4 jenis) dan terendah di Nagekeo (1,8 jenis). Pada semua jenis obat, persentase rumah tangga yang menyimpan obat adalah lebih besar di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, kecuali obat tradisional. Pada obat keras, obat bebas dan antibiotik sama-sama cenderung lebih besar persentase rumah tangga yang menyimpannya pada kuintil teratas, sedangkan pada dua jenis obat sisanya, kecenderungannya tidak sama. Di seluruh provinsi Nusa Tenggara Timur obat keras dan antibiotik bisa diperoleh dan disimpan rumah tangga tanpa resep dokter, yang persentasenya masing-masing oleh 78 persen rumah tangga. Kabupaten/kota yang tertinggi persentase yang menyimpan obat keras adalah Manggarai (97,2 %) dan terendah di Sumba Tengah (63,7 %), sementara yang menyimpan antibiotik terbanyak di Sabu Raijua (95,8 %) dan terendah di Sumba Tengah (57,3 %). Di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, fasilitas pelayanan kesehatan formal dan apotek merupakan sumber utama mendapatkan obat rumah tangga dengan proporsi masing-masing 39,8 persen dan 32,4 persen. Tiga jenis sumber obat (pemberian orang lain, yankes tradisional dan penjual obat keliling) tidak berperan sama sekali sebagai sumber obat. Pada semua jenis sumber obat, untuk mendapatkan obat, lebih besar persentasenya di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, kecuali pada apotik. Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, cenderung semakin tinggi persentase memperoleh obat dari apotik dan sebaliknya dari toko obat/warung, sedangkan pada sumber obat yankes formal dan nakes, tidak memperlihatkan adanya hubungan linier. Di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, separuh (50,2 %) rumah tangga menyimpan obat untuk persediaan, lalu persentase kedua tertinggi adalah menyimpan obat karena sedang digunakan (39,8 %) dan sisanya tersimpan sebagai obat sisa (27,1 %). Persentase rumah tangga yang menyimpan obat yang sedang digunakan dan obat sisa lebih tinggi di perdesaan daripada di perkotaan dan sebaliknya obat untuk persediaan. Semakin tinggi kuintil, semakin banyak rumah tangga yang menyimpan obat untuk persediaan, sedangkan untuk dua kategori sumber obat lainnya, tidak menunjukkan adanya hubungan yang linier dengan kuintil. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya 12 persen rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai obat generik (OG). Dari jumlah tersebut, hanya sebagian kecil (23,5 %) yang berpengetahuan benar tentang OG sedangkan sisanya berpengetahuan salah. Persentase terbesar yang mengetahui atau pernah mendengar adalah di Kota Kupang (53,1 %) dan terendah di Manggarai Timur (1,9 %). Di antara yang mengetahui tersebut, persentase tertinggi berpengetahuan

viii

benar justru di Timor Tengah Utara (43,5 %) dan terendah di Ngada (1,1 %). Bagi rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG, jauh lebih besar persentasenya di perkotaan daripada di perdesaan. Semakin tinggi kuintil, semakin tinggi persentase yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG, tetapi di antara yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG tersebut, persentase yang berpengetahuan benar tentang OG tidak berkorelasi linier dengan kuintil. Sebanyak 73 persen rumah tangga mempunyai persepsi bahwa OG merupakan obat murah dan 62 persen sebagai obat program pemerintah, sedangkan pada kategori persepsi lainnya, proporsinya lebih rendah. Hanya 47,3 persen rumah tangga yang berpersepsi bahwa OG berkhasiat sama dengan obat bermerek. Rumah tangga dengan persepsi bahwa OG adalah obat tanpa merek dagang adalah yang paling rendah proporsinya (30 %). Semua kategori persepsi tersebut lebih besar proporsinya di perkotaan daripada di perdesaan. Proporsi persepsi yang berkorelasi linier positif dengan Kuintil Indeks Kepemilikan hanya persepsi bahwa OG sebagai “obat murah” dan “obat program pemerintah”, sedangkan proporsi persepsi lainnya tidak berkorelasi linier dengan kuintil. Sumber informasi tentang OG paling banyak diperoleh dari tenaga kesehatan (75,3 %) dan paling jarang dari pendidikan (26,8 %). Semua sumber informasi tersebut merata lebih besar proporsinya di perkotaan daripada di perdesaan. Hanya proporsi sumber informasi dari media cetak dan media elektronik saja yang berkorelasi linier positif dengan kuintil indeks kepemilikan, sedangkan pada sumber informasi lainnya, tidak ada korelasinya dengan kuintil. Sebanyak 19,6 persen penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur pernah memanfaatkan Yankestrad dengan kisaran antara 2,1 persen di Sabu Raijua hingga 43,3 persen di Sumba Tengah. Di antara rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad tersebut, jenis yang terbanyak digunakan adalah jenis keterampilan tanpa alat (80,3 %). Di antara 2,1 persen rumah tangga di Sabu Raijua yang pernah memanfaatkan Yankestrad, semuanya (100 %) menggunakan jenis keterampilan tanpa alat. Di antara pemanfaat jenis ramuan, yang merupakan proporsi kedua (30,2 %) setelah pemanfaat keterampilan tanpa alat, proporsi tertinggi adalah di Manggarai (96,2 %) dan terendah (0 %) di Sabu Raijua. Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad lebih tinggi di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan. Di antara yang memanfaatkan Yankestrad tersebut, semua jenis Yankestrad yang digunakan juga selalu lebih banyak di perdesaan, kecuali pada jenis keterampilan dengan alat adalah sebaliknya. Adapun kuintil indeks kepemilikan tidak berkorelasi linier dengan pemanfaatan Yankestrad, baik dengan proporsi yang pernah memanfaatkan maupun dengan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan.

Kesehatan Lingkungan Air minum untuk keperluan rumah Tangga Di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, sumber air paling tinggi persentasenya digunakan penduduk adalah air ledeng/PDAM (28,2 %) dan yang paling rendah adalah sumur bor/pompa (28,2 %). Kabupaten/kota yang tertinggi persentase penduduknya menggunakan air ledeng/PDAM adalah Kota Kupang (60,8 %) dan terendah adalah Sumba Barat (4 %) dan Sabu Raijua (4,1 %). Ada beberapa kabupaten yang penduduknya tidak menggunakan sumber air tertentu, antara lain adalah sumur bor/pompa di Ngada, penampungan air hujan di enam kabupaten dan air sungai/danau/irigasi di Flores Timur. Terdapat empat jenis sumber air untuk rumah tangga yang penggunaannya lebih tinggi persentasenya di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, yaitu air ledeng/PDAM, air ledeng eceran/membeli, sumur bor/pompa dan sumur gali terlindung, sedangkan jenis sumber air lainnya adalah sebaliknya atau lebih tinggi di perdesaan daripada di perkotaan. Pada pemanfaatan air ledeng/PDAM dan air ledeng eceran/membeli, makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, makin tinggi persentasenya, sedangkan pada tiga sumber air (sumur gali tidak terlindung, mata air tidak

ix

terlindung dan air sungai/danau/irigasi), adalah sebaliknya. Adapun pada empat sumber air lainnya, tidak menunjukkan adanya hubungan linier dengan Kuintil Indeks Kepemilikan. Di antara 11 jenis sumber air minum yang ditanyakan, sumber air yang paling tinggi persentasenya digunakan penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah air ledeng/PDAM (26,7 %) dan yang paling rendah adalah air kemasan (0,6 %), Separuh (50 %) penduduk Kabupaten Lembata menggunakan air ledeng/PDAM sebagai sumber air minum dan itu merupakan persentase terbesar di antara seluruh kabupaten/kota di NTT sedangkan persentase terkecil adalah Sumba Barat (4,1 %). Beberapa jenis sumber air minum tidak digunakan penduduk di kabupaten tertentu, misalnya air kemasan di Belu, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya dan Sabu Raijua, air ledeng eceran/membeli di Manggarai Barat, sumur bor/pompa di Ngada, mata air tak terlindung di Flores Timur dan sebagainya. Rumah tangga cenderung menggunakan air yang lebih bersih dibandingkan dengan sumber air untuk keperluan Rumah tangga dan persentase sumber air minum yang lebih bersih tersebut lebih besar persentasenya di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan. Pada empat jenis sumber air minum (air kemasan, air isi ulang, air ledeng dan air ledeng eceran/membeli), persentasenya lebih besar di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan, sedangkan pada jenis sumber air minum lainnya adalah sebaliknya. Pada tiga jenis sumber air minum (air isi ulang, air ledeng dan air ledeng eceran/membeli), semakin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, semakin tinggi persentasenya, sedangkan pada tiga jenis sumber air minum lainnya (sumur gali tak terlindung, mata air tak terlindung dan air sungai/danau/irigasi) adalah sebaliknya. Sementara itu pada jenis sumber air minum sisanya, gambarannya adalah variatif, atau tidak menunjukkan hubungan yang linier dengan Kuintil Indeks Kepemilikan. Volume pemakaian air per orang per hari penduduk NTT sangat beragam mulai dari < 7,5 liter (0,1 %) hingga > 300 liter (0,9 %), namun mayoritas (37,9 %) adalah antara 20-50 liter. Kabupaten/kota yang paling tinggi persentase penduduknya menggunakan air dengan volume antara 20-50 liter per orang per hari adalah Sikka (65,1 %) dan terendah adalah Ende (20,1 %). Persentase tertinggi kabupaten/kota yang menggunakan > 300 liter per orang per hari adalah Sabu Raijua (0,9 %). Hanya pada penggunaan air bersih antara 7,5 – 20 dan 20-50 liter per orang per hari yang menunjukkan persentase yang lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan, sedangkan pada volume pemakaian lainnya adalah sebaliknya, kecuali pada volume pemakaian < 7,5 persen, persentasenya kurang lebih sama di perkotaan dan perdesaan. Terdapat keragaman persentase antar kuintil di tiap volume air yang digunakan, atau dengan perkataan lain, tidak ada hubungan yang linier antara kuintil dengan volume pemakaian air bersih. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih terdapat 14,6 persen sumber air minum yang jaraknya < 10 meter dari tempat penampungan tinja. Kabupaten yang jarak air minumnya dengan penampungan tinja < 10 meter dengan persentase tertinggi adalah Ngada (46,7 %) dan terendah Sumba Barat (4,6 %). Terdapat 67,9 persen rumah tangga yang sumber air minumnya berjarak > 10 meter dari penampungan tinja dan sisanya (17,4 %) menjawab tidak tahu. Di antara kabupaten/kota yang sumber air minumnya berjarak < 10 meter dari penampungan tinja tersebut, persentase tertinggi adalah Timor Tengah Selatan (89,2 %) dan terendah Sumba Barat Daya (39,4 %). Persentase rumah tangga yang air minumnya berjarak < 10 meter, kebanyakan (30,9 %) terdapat di perkotaan atau hampir tiga kali persentase di perdesaan. Yang menjawab tidak tahu lebih banyak di perdesaan (18,5 %). Semakin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, cenderung semakin tinggi persentase rumah tangga yang air minumnya berjarak < 10 meter dari penampungan tinja dan sebaliknya untuk air minum yang berjarak > 10 meter, kecuali pada kuintil terbawah. Sumber air minum di seluruh Provinsi NTT hanya 23,3 persen berada di dalam rumah dan sisanya di luar rumah. Sebagian besar sumber air minum adalah di luar rumah berjarak < 100 meter dari rumah (49,1 %) dan sebagian kecil (4,1 %) berjarak > 1000 meter. Jarak tempuh ke sumber air minum kebanyakan < 6 menit (43,7 %) dan 6-30 menit (42,3 %) dan sebagian kecil (3 %) berjarak tempuh > 60 menit. Di antara 23,3 persen rumah tangga yang sumber air minumnya berada di

x

dalam rumah, kabupaten/kota yang persentasenya tertinggi adalah Kota Kupang (62,9 %) dan di antara 4,1 persen yang berjarak > 1000 meter dari rumah, persentase tertinggi adalah di Sumba Tengah (31,4 %). Di antara rumah tangga yang jarak waktu tempuhnya < 6 menit yang besarnya 43,7 persen, kabupaten/kota yang tertinggi persentasenya adalah Kota Kupang (80,6 %) dan di antara rumah tangga yang berjarak waktu tempuh > 60 meter yang seluruhnya hanya 3 persen, persentase tertinggi adalah di Sumba Tengah (80,6 %). Hanya sumber air minum di dalam rumah dan sumber yang berjarak tempuh < 6 meter saja yang lebih tinggi persentasenya di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, sedangkan sumber air minum berjarak lainnya adalah sebaliknya. Pada dua kategori jarak sumber air minum (< 100 meter dan > 100-1000 meter) dan dua kategori waktu tempuh (31-60 menit dan > 60 menit), makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan makin rendah persentasenya, sedangkan pada kategori waktu tempuh < 6 menit adalah sebaliknya. Gambaran pada kategorijarak atau waktu tempuh lainnya agak beragam, namun cenderung paling besar persentasenya pada kuintil menegah atau menengah bawah. Anggota rumah tangga yang paling sering mengambil air di seluruh Provinsi NTT adalah dewasa perempuan (62,5 %) dan selanjutnya persentasenya menurun berturut-turut ke dewasa laki-laki, anak perempuan dan yang paling jarang adalah anak laki-laki (3,2 %). Di antara dewasa perempuan, persentase tertinggi menurut kabupaten/kota adalah di Ende (87,7 %) dan terendah di Kota Kupang (33,1 %), sementara persentase tertinggi anak laki-laki yang mengambil air adalah di Manggarai (98,1 %). Hanya ART dewasa laki-laki yang persentasenya lebih tinggi di perkotaan daripada di perdesaan sedangkan di tiga kategori ART lainnya, persentasenya lebih besar di perdesaan. Juga hanya pada ART dewasa laki-laki yang persentasenya berhubungan linier dengan Kuintil Indeks Kepemilikan, yaitu makin tinggi kuintil makin tinggi persentasenya, sedangkan pada tiga kategori ART lainnya, polanya cukup Lebih dari 90 persen rumah tangga menjawab bahwa air minum yang dimiliki tidak keruh/berwarna/ berasa/berbusa/berbau dan bahkan di beberapa kabupaten/kota, semua (100 %) rumah tangga menjawab ya untuk komponen kualitas tertentu. Persentase terendah menurut kabupaten/kota yang menjawab ya untuk masing-masing komponen kualitas adalah 74,1 persen untuk “tidak keruh” di Sumba Barat Daya, 89,6 persen untuk “tidak berwarna” di Manggarai Timur, 76,2 persen untuk “tidak berasa” di Nagekeo, 96,2 persen untuk “tidak berbusa” di Manggarai Timur dan 94,7 persen untuk “tidak berbau” di Sumba Barat Daya. Dengan demikian terdapat 85,3 persen rumah tangga di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur yang air minumnya berkualitas baik dengan kisaran antara 61,1 persen (Sumba Barat Daya) hingga 99,5 persen (Kota Kupang). Untuk semua komponen kualitras air minum, lebih tinggi persentasenya di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan. Pada semua komponen kualitas air minum, makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan makin tinggi persentasenya, namun dengan perbedaan persentase antar kuintil yang sangat kecil. Belum semua rumah tangga melakukan pengolahan air minum sebelum diminum di provinsi itu karena masih terdapat 9,4 persen yang belum melakukannya dengan kisaran pada kabupaten/kota antara 0,7 persen di Ngada hingga 59,9 persen di Sabu Raijua. Air minum yang diolah sebelum diminum lebih tinggi persentasenya di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan. Berdasarkan Persentase tertinggi air minum yang diolah adalah pada kuintil menengah lalu menurun ke kuintil di atasnya dan ke bawahnya. Di antara lima macam cara pengolahan air minum sebelum diminum, pemanasan/dimasak merupakan cara pengolahan yang terbanyak (97,1 %) dipilih rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur sedangkan yang paling jarang dipilih adalah “disaring dan tambah larutan tawas (0,2 %) Kisaran persentase cara pengolahan dengan pemanasan/dimasak tersebut adalah antara 95,2 % di Sikka hingga 99,2 persen di Sabu Raijua, yang berarti kisarannya cukup sempit. Cara pengolahan air minum dengan pemanasan/dimasak dan penyinaran mata hari sedikit lebih besar persentasenya di perdesaan dibandingkan dengan perdesaan dan sebaliknya pada dua cara pengolahan laiannya. Kuintil indeks kepemilikan hanya pada katagori cara pengolahan disaring saja

xi

yang menunjukkan hubungan linier positif atau makin tinggi kuintil makin tinggi persentasenya, sementara pada pengolahan ”disaring dan tambah larutan tawas” menonjol persentasenya (dua kali persentase di kuintil lain) sedangkan pada dua cara pengolahan lainnya polanya tidak jelas. Tempat penyimpanan air siap minum di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur kebanyakan (81,2 %) adalah teko/ceret/termos/jerigen, lalu disusul dengan ember/panci tertutup (15,5 %), dispenser (1,7 %), kendi (0,9 %) dan yang paling kecil persentasenya badalah ember/panci terbuka ((0,6 %). Kisaran persentase penyimpanan di teko/ceret/ termos/jerigen adalah antara 54 persen (TTU, Sikka, Manggarai Barat dan Sabu Raijua) hingga 81,2 persen (Sumba Timur, Alor, Ngada dan Sumba Barat Daya). Hanya tempat penyimpanan air siap minum yang berupa dispenser yang lebih tinggi persentasenya di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, sedangkan yang lainnya adalah sebaliknya. Hanya tempat penyimpanan air siap minum yang berupa dispenser yang ada hubungannya dengan Kuintil Indeks Kepemilikan, yaitu makin tinggi kuintil makin tinggipersentasenya, sedangkan pada tempat penyimpanan air siap minum berupa ember/panci terbuka justru sebaliknya sementara yang lainnya tidak menunjukkan pola yang jelas. Adapun akses ke sumber air minum di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih besar yang improved (69,7 %) dibandingkan dengan yang unimproved (30,3 %). Kisaran yang improved adalah antara 24,1 persen di Sumba Barat hingga 94,2 persen di Flores Timur. Untuk mengakses sumber air minum yang improved, persentasenya lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan namun sebaliknya untuk akses yang unimproved. Ada kecenderungan, makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, makin tinggi persentase mengakses sumber air minum yang improved. Fasilitas Buang Air Besar Di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur masih terdapat 21,3 persen rumah tangga yang belum memiliki fasilitas buang air besar dengan kisaran antara 0,2 persen di Kupang hingga 57,2 persen di Sumba Timur. Sebanyak 2 persen rumah tangga di provinsi itu memiliki fasilitas buang air besar umum, 6,5 persen fasilitas buang air besar milik bersama dan hanya 70,2 persen yang merupakan milik sendiri. Persentase terbesar milik sendiri tersebut adalah di Timor Tengah Selatan (91,3 % ) dan Timor Tengah Utara (91,4 %). Hanya rumah tangga yang tidak mempunyai fasilitas tempat buang air yang persentasenya lebih besar di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, sedangkan semua rumah tangga yang memiliki, baik milik sendiri, milik bersama maupun milik umum adalah sebaliknya. Semakin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, semakin tinggi persentase rumah tangga yang fasilitas tempat buang air besarnya milik sendiri dan sebaliknya untuk rumah tangga yang tidak memiliki, sedangkan untuk fasilitas milik bersama dan milik umum tidak berhubungan dengan kuintil. Di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur kebanyakan (58 %) tempat buang air besar adalah jenis leher angsa dan hanya sebagian kecil (7,4 %) yang berjenis cemplung/cubluk/lubang dengan lantai. Pada jenis leher angsa, persentasde terbesar menurut kabupaten/kota adalah di Kota Kupang (90,8 %) dan terkecil di Sumba Tengah (15,3 %). Jenis leher angsa lebih banyak persentasenya di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan sedangkan jenis lainnya adalah sebaliknya. semakin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, semakin tinggi persentase jenis buang air besar leher angsa dan sebaliknya untuk jenis plengsengan (mulai kuintil menengah bawah), cemplung/cubluk tanpa lantai dan cemplung/cubluk dengan lantai. Untuk tempat pembuangan akhir tinja, dua tempat pembuangan dengan persentase tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah lubang tanah (39,4 %) dan tangki septik (34,7 %) dan sisanya di tempat lainnya dengan persentase terkecil kolam/sawah (0,2 %). Kabupaten/kota dengan persentase tertinggi menggunakan lubang tanah adalah di Timor Tengah Selatan (80,1 %) dan terendah di 16,4 persen (Kota Kupang). Di antara 34,7 persen yang menggunakan tangki septik, persentase tertinggi adalah di Kota Kupang (76,7 %) dan terendah di Sabu Raijua (1,6 %). Hanya

xii

tempat pembuangan akhir tinja tangki septik dan SPAL yang persentasenya lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, sedangkan sisanya adalah sebaliknya, kecuali pada kolam/sawah, dimana persentasenya adalah sama. Selanjutnya hanya pada tangki septik yang korelasinya positif dengan Kuintil Indeks Kepemilikan, atau makin tinggi kuintil makin tinggi persentasenya, sedangkan pada sungai/danau/laut berkorelasi negatif, sementara pada tempat pembuangan akhir tinja lainnya tidak jelas korelasinya. Di Provinsi di Nusa Tenggara Timur, rumah tangga yang mampu mengakses fasilitas sanitasi yang improve hanya 30,5 persen saja dan sisanya belum. Di antara yang 30,5 persen tersebut, kabupaten/kota yang tertinggi persentasenya adalah Kota Kupang (61,6 %) dan terendah Sabu Raijua (1,4 %). Akses ke fasilitas sanitasi yang improved tersebut lebih besar di perkotaan daripada di perdesaan. Terdapat korelasi positif antara Kuintil Indeks Kepemilikan dengan akses ke fasilitas sanitasi yang improved tersebut. Sarana Pembuangan Air Limbah Rumah Tangga Sebagian besar (72,7 %) rumah tangga di provinsi itu tanpa penampungan (di tanah) atau belum mempunyai tempat penampungan air limbah, sebagian kecil (5,3 %) dengan penampungan di luar pekarangan dan sisanya dengan penampungan cara lain masing-masing dengan persentase yang hampir sama (7,2 – 7,4 %). Kabupaten dengan persentase terbesar tanpa penampungan (di tanah) adalah Sumba Tengah (95,8 %) dan terkecil Kota Kupang (32,1 %). Hanya pada yang tanpa penampungan (di tanah) yang lebih besar persentasenya di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan sedangkan jenis penampungan lainnya adalah sebaliknya. Makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, makin rendah persentase yang tanpa penampungan (di tanah) dan sebaliknya pada SPAL, penampungan terbuka di lapangan dan penampungan di luar pekarangan sedangkan jenis yang langsung ke got/sungai tidak ada hubungan liniernya dengan kuintil, hanya saja paling banyak pada kuintil teratas. Dalam hal pembuangan air limbah dari kamar mandi/tempat cuci/dapur, sebagian besar (91,4 %) dilakukan sendiri/rumah tangga dan sebagian kecil (8,6 %) yang merupakan sisanya, dilakukan secara bersama/komunal. Kabupaten/kota yang tertinggi persentase yang melakukan sendiri/rumah tangga adalah Sumba Barat Daya (99,7 %) dan terendah di Nagekeo (61 %). Pada pembuangan air limbah dari kamar mandi/tempat cuci/dapur yang dilakukan sendiri/rumah tangga tersebut, lebih banyak persentasenya di perdesaan (93, 7%) daripada di perkotaan ((88,2 %) dan sebaliknya pada pembuangan secara bersama/komunal. Kuintil Indeks Kepemilikan tidak berhubungan linier dengan pembuangan air limbah dari kamar mandi/tempat cuci/dapur, namun yang dilakukan sendiri/rumah tangga sebagian besar terjadi pada kuintil teratas (93,3 %) sementara yang dilakukan bersama/komunal terjadi pada kuintil menengah atas (11,4 %). Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Di Nusa Tenggara Timur lebih dari separuh rumah tangga (51,2 %) belum memiliki tempat penampungan sampah organik, sebanyak 44,4 persen mempunyai tempat penampungan terbuka, 7,9 persen mempunyai tempat penampungan tertutup dan sisanya yang merupakan persentase terkecil (3,5 %) mempunyai tempat penampungan tertutup dan terbuka. Kabupaten/kota yang tertinggi persentasenya tidak mempunyai tempat pembuangan sampah organik adalah Alor (92,3 %) dan yang terkecil, Kabupaten Kupang (92,3 %). Pada rumah tangga di perdesaan, persentasenya hampir dua kali persentase di perkotaan yang tidak memiliki tempat pembuangan sampah organik. Bagi rumah tangga yang mempunyai tempat penampungan, semua jenis lebih banyak di perkotaan. Makin tinggi Kuintil Indeks Lepemlikan, makin tinggi yang mempunyai tempat penampungan sampah organik, baik yang tertutup, terbuka maupun yang tertutup dan terbuka dan sebaliknya bagi rumah tangga yang tidak mempunyai tempat penampungan.

xiii

Di antara enam cara pengelolaan sampah rumah tangga, pengelolaan yang paling sering dipakai di Nusa Tenggara Timur adalah dibakar (56,2 %), disusul dengan cara dibuang sembarangan (28,9 %) dan yang paling jarang adalah dibuang ke laut (2,2 %). Kabupaten/kota yang paling tinggi persentase rumah tangga di wilayahnya dalam pengelolaan secara dibakar adalah di Kabupaten Kupang (89,9 %) dan terendah di Manggarai Timur (19,4 %), sementara cara dibuang sembarangan tertinggi di Sumba Barat Daya (76,4 %) dan terendah di Kota Kupang (4,1 %). Di antara tiga cara pengelolaan sampah rumah tangga (diangkut petugas, persentase yang dibakar dan dibuang ke kali/parit/laut), tangga yang melakukannya lebih tinggi pesentase rumah di perkotaan daripada di perdesaan sedangkan pada tiga cara lainnya adalah sebaliknya. Makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, ada kecenderungan makin tinggi persentase rumah tangga yang melakukan dengan tiga cara pengelolaan sampah: ”diangkut petugas”, ”dibakar” dan ”dibuang ke kali/parit/laut” tetapi sebaliknya untuk cara ”dibuang sembarangan”, sedangkan pada dua cara sisanya, tidak ada hubungan liniernya dengan kuintil. Kesehatan Perumahan dan Pemukiman Dalam hal penguasaan bangunan tempat tinggal di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebagian besar (91,5 %) bangunan tempat tinggal merupakan milik sendiri dan persentase status lainnya sangat kecil dan yang terkecil persentasenya (0,4 %) adalah status lainnya. Kabupaten/kota yang paling tinggi persentasenya adalah Sabu Raijua (97,2 %) dan terendah Kota Kupang (70,3 %). Penguasaan bangunan tempat tinggal lebih besar persentasenya di perdesaan daripada di perkotaan untuk status milik sendiri, rumah dinas dan “lainnya”, sedangkan untuk status kontrak, sewa dan bebas sewa adalah sebaliknya. Yang menyolok adalah status sewa, dimana persentase di perkotaan adalah 7,4 kali di perdesaan. Kepadatan hunian di Nusa Tenggara Timur sebagian besar (64 %) berkepadatan > 8m2/orang dan sisanya (36 %) berkepadatan < 8 m

2/orang. Kabupaten/kota yang kepadatan hunian warganya > 8

m2/orang berkisar antara 39,3 persen di Sumba Barat Daya hingga 81,3 persen di Kota Kupang.

Hunian berkepadatan > 8 m2/orang sedikit lebih besar persentasenya di perkotaan dibandingkan

dengan perdesaan dan sebaliknya untuk yang berkepadatan < 8 m2/orang. Semakin tinggi Kuintil

Indeks Kepemilikan, semakin tinggi persentase hunian > 8 m2/orang dan sebaliknya semakin rendah

persentase hunian < 8 m2/orang.

Sebagian besar (83,8 %) rumah hunian di Provinsi Nusa Tenggara Timur tidak mempunyai plafon, dan selanjutnya urutan jenis plafon rumah di provinsi itu adalah kayu/tripleks (10,7 %), anyaman bambu (3,3 %) dan jenis-jenis lainnya dengan persentase < 1 persen. Kisaran persentase hunian yang tidak berplafon menurut kabupaten/kota adalah antara 53 persen di Kota Kupang hingga 94,2 persen di Timor Tengah Selatan. Bangunan hunian yang tidak berplafon lebih banyak di perdesaan (89,2 %) daripada di perkotaan (61,9 %), demikian juga dengan plafon asbes/GRC board dan anyaman bambu, tetapi sebaliknya untuk jenis plafon lainnya. Tidak ada hubungan linier antara hunian tidak berplafon dengan kuintil, namun persentasenya paling banyak pada kuintil menengah lalu menurun ke kuintil di bawah dan di atasnya. Untuk hunian yang berplafon, hanya yang berplafon kayu/tripleks saja yang berkorelasi linier dengan kuintil yaitu adanya kecenderungan makin tinggi persentasenya seiring dengan meningkatnya kuintil, sementara plafon anyaman bambu mendominasi pada kuintil terbawah sedangkan pada jenis plafon lainnya sulit dianalisis sehubungan dengan terlalu kecilnya presentasenya. Dalam hal dinding bangunan hunian, secara keseluruhan persentase jenis dinding tembok, kayu/ papan/tripleks dan bambu relatif sama di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan kalaupun ada perbedaan, perbedaan tersebut sangat kecil (Tabel 3.3.45). Meskipun persentasenya sangat kecil (1 %), ada juga bangunan hunian di provinsi itu yang berdinding seng. Dilihat dari keragaman antar kabupaten/kota, memang terdapat hal-hal yang menyolok persentasenya, baik karena mayoritas maupun minoritas. Di antara ketiga jenis dinding tersebut, yang sangat dominan tembok adalah di

xiv

Flores Timur, Rote Ndao dan Kota Kupang, yang sangat dominan kayu/papan/triplek adalah di Timor Tengah Utara, Belu, Manggarai dan Sabu Raijua dan yang sangat dominan bambu adalah di Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya. Hanya dinding tembok yang dominan di perkotaan sedangkan jenis dinding lainnya dominan di perdesaan. Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan semakin jarang bangunan hunian berdinding tembok namun sebaliknya semakin banyak yang berdinding jenis lainnya. Kebanyakan (73,5 %) lantai rumah di seluruh provinsi itu bukan tanah, dan sisanya yang 26,5 persen masih terbuat dari tanah. Kota Kupang merupakan kabupaten/kota yang tertinggi persentase rumah berlantai bukan tanah (97,5 %) dan Timor Tengah Selatan yang terendah (35,7 %). Bangunan hunian berlantai bukan tanah lebih banyak di perkotaan sedangkan yang berlantai tanah adalah sebaliknya dan bahkan yang berlantai tanah di perdesaan lebih dari tiga kali persentasenya dibandingkan dengan yang di perkotaan.Bangunan hunian yang berlantai bukan tanah cenderung semakin banyak seiring dengan semakin tingginya Kuintil Indeks Kepemilikan, namun sebaliknya semakin sedikit yang berlantai tanah. Masih ada rumah di provinsi itu yang berlokasi di daerah kumuh, meskipun persentasenya relatif kecil (14,6 %) dan sisanya yang 85,4 persen berlokasi tidak di daerah kumuh. Sumba Timur adalah kabupaten yang terbanyak (38,1 %) yang memiliki rumah berlokasi di daerah kumuh dan Sabu Raijua yang paling sedikit (0,8 %). Rumah yang berlokasi di daerah kumuh lebih banyak di perdesaan daripada di perkotaan, dan sebaliknya untuk rumah yang berlokasi di daerah tidak kumuh, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3.3.50. Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah rumah yang berlokasi di daerah kumuh dan sebaliknya di daerah tidak kumuh. Sebanyak 73 persen penerangan di provinsi itu bersumber dari listrik dan sisanya yang 37 persen dari non listrik. Hampir seluruhnya (99,1 %) penerangan di Kota Kupang bersumber dari listrik dan itu merupakan kabupaten/kota yang tertinggi persentasenya di provinsi itu. Kabupaten/kota yang terendah persentase penerangannya yang bersumber listrik adalah Sumba Barat Daya. Dibandingkan dengan perdesaan yang persentase sumber penerangannya dari listrik hanya 66,7 persen, penerangan di perkotaan lebih banyak, dan mencapai 98,3 persen. Semakin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, semakin banyak rumah tangga yang penerangannya bersumber listrik dan sebaliknya yang non listrik. Hanya 22 persen rumah tangga di provinsi itu yang penggunaan bahan bakarnya aman dan sisanya tidak. Kota Kupang merupakan kabupaten/kota yang tertinggi persentasenya (88,2 %) menggunakan bahan bakar yang aman di antara ke-21 kabupaten/kota yang ada d provinsi tersebut dan Sumba Tengah yang terendah (hanya 4 %). Yang menggunakan bahan bakar yang aman jauh lebih tinggi persentasenya di perkotaan (73,2 %) atau lebih dari tujuh kali persentasenya terhadap persentase di perdesaan. Makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, makin tinggi persentase rumah tangga yang menggunakan bahan bakar secara aman. Urutan persentase yang tertinggi ke yang terendah pada lima keadaan tempat tidur (keterpisahan, kebersihannya, rutinitas pembukaanh jendela, ventilasi dan pencahayaan alaminya) adalah: terpisah (89,4 %), bersih (72,9 %), pencahayaannya cukup (68,5 %), jendelanya dibuka tiap hari (53,8 %) dan ventilasinya cukup (39,3 %). Kisaran tiap keadaan adalah sebagai berikut: antara 55,1 persen (Sabu Raijua) hingga 98,2 persen (Ngada) untuk yang tempat tidurnya terpisah; antara 30,4 persen (Sumba Barat) hingga 96,8 persen (Kota Kupang) untuk yang bersih; antara 13,8 persen (Sumba Barat) hingga 86,2 persen (Kota Kupang) untuk yang jendelanya dibuka tiap hari; antara 7,1 persen (Sumba Tengah) hingga 86,2 persen (Kota Kupang) untuk yang ventilasinya cukup; dan antara 18,4 persen (Sumba Barat) hingga 90 persen (Ende) untuk yang pencahayaannya cukup. Dengan perkataan lain, Kota Kupang merupakan kabupaen/kota yang tertinggi persentasenya untuk tiga kategori. Perkotaan mendominasi perdesaan untuk semua kategori yang menyangkut tempat tidur.

xv

Untuk semua kategori tempat tidur tersebut, makin tinggi persentasenya seiring dengan makin tingginya Kuintil Indeks Kepemilikan. Urutan keadaan ruangan masak/dapur tidak berbeda jauh dengan keadaan tempat tidur. Urutan dari yang tertinggi ke yang terendah keadaan ruangan masak/dapur di seluruh provinsi itu sama dengan urutan keadaan pada ruangan tidur, hanya persentasenya yang berbeda. Demikian juga untuk persentase yang tertinggi, yang mana Kota Kupang menduduki urutan teratas pada tiga keadaan (”bersih”, ”jendela dibuka tiap hari” dan “ventilasi cukup”), untuk tempat masak/dapur juga menempati urutan tertinggi untuk “bersih” dan “ventilasi cukup” tetapi untuk “jendela dibuka tiap hari” diduduki Ngada. Ngada yang menempati persentase tertinggi untuk keadaan tempat tidur yang terpisah, demikian juga untuk tempat masak/dapur yang terpisah (97,6 %). Sumba Tengah yang menempati persentase terendah untuk “ventilasi cukup” pada tempat tidur, demikian juga untuk tempat masak/dapur adalah terendah (4,6 %). Untuk keadaan “pencahayaan cukup”, dimana pada tempat tidur adalah Sumba Barat yang terendah dan Ende yang tertinggi, demikian juga dengan tempat masak/dapur, Sumba Barat terendah (13,9 %) dan Ende tertinggi (89,9 %). Keadaan karakteristik rumah tangga untuk tempat masak/dapur juga menyerupai katakteristik rumah tangga untuk tempat tidur, yaitu sama-sama mendominasi di perkotaan untuk semua keadaan dan sama-sama makin tinggi persentasenya pada semua keadaan seiring dengan makin meningkatnya Kuintil Indeks Kepemilikan. Keadaan ruang keluarga di Nusa Tenggara Timur juga tidak berbeda jauh dengan keadaan tempat tidur maupun tempat masak/dapur, dimana urutan persentase dari yang tertinggi ke yang terendah adalah keadaan ”terpisah”, ”bersih”, ”pencahayaan cukup”, ”jendela dibuka tiap hari” dan ”ventilasi cukup”. Keadaan menurut kabupaten/kota juga banyak persamaannya, hanya saja urutan terendah dan tertinggi bergeser pada kabupaten/kota tertentu, tetapi tetap saja 3 kabupaten/kota (Kota Kupang, Ende dan Ngada) selalu silih berganti menempati urutan tertinggi dan 2 kabupaten (Sumba Barat dan Sumba Tengah) selalu silih berganti menempati urutan terendah. Gambaran karakteristik ruangan keluarga rumah tangga menurut tempat tinggal maupun menurut kuintil indeks kepemilikan juga sama dengan katakteristik tempat tidur dan tempat masak/dapur, yaitu sama-sama mendominasi di perkotaan untuk semua keadaan dan sama-sama makin tinggi persentasenya pada semua keadaan seiring dengan makin meningkatnya Kuintil Indeks Kepemilikan. Perilaku Pencegahan Gigitan Nyamuk dan Penyimpanan Bahan Berbahaya Di seluruh Nusa Tenggara Timur, dalam hal pencegahan gigitan nyamuk, di antara enam cara pencegahan yang dapat dilakukan, persentase terbesar adalah memakai kelambu (57,9 %), selanjutnya makin kecil persentasenya dengan cara pencegahan lainnya dan yang paling kecil persentasenya adalah minum obat. Kabupaten yang tertinggi persentasenya dalam pemakaian kelambu adalah Manggarai Barat (92,9 %) dan terendah Kota Kupang (27,8 %). Hanya pemakaian kelambu yang lebih tinggi persentasenya di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, sedangkan pada pencegahan lima cara lainnya adalah sebaliknya dan sangat mendominasi di perkotaan. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, cenderung makin tinggi persentasenya pada cara pencegahan obat nyamuk bakar, kasa nyamuk, repelen dan insektisida; sedangkan pada pemakaian kelambu dan minum obat tidak berhubungan linier dengan kuintil. Sebanyak 60,3 persen rumah tangga di provinsi itu tidak menggunakan bak mandi, 20,4 persen menguras bak mandinya satu kali seminggu, 15,4 persen lebih dari satu kali dalam seminggu dan meskipun persentasenya kecil, hanya 4 persen, ada juga rumah tangga yang tidak pernah membersihkan bak mandi sama sekali. Kabupaten/kota yang terbanyak tidak menggunakan bak mandi adalah Sumba Tengah (88,2 %) dan terjarang Kota Kupang (24,2 %). Yang tertinggi persentasenya menguras bak mandi lebih dari satu kali seminggu adalah Kota Kupang (40,5 %) dan persentase tertinggi tidak pernah menguras bak mandi adalah di Flores Timur (13,2 %). Rumah tangga yang tidak menggunakan bak mandi dan yang tidak pernah menguras bak mandi lebih

xvi

banyak di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, sedangkan rumah tangga yang menguras bak mandi, baik sekali maupun lebih dari satu kali seminggu, adalah sebaliknya atau lebih banyak di perkotaan. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, makin sedikit rumah tangga yang tidak menggunakan bak mandi dan sebaliknya makin banyak yang menguras bak mandi, baik satu kali maupun lebih dari satu kali seminggu. Adapun rumah tangga yang tidak pernah menguras bak mandi tidak berhubungan linier dengan kuintil. Di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, 8,5 persen rumah tangga menyimpan pestisida/ insektisida/pupuk kimia. Rote Ndao merupakan kabupaten/kota yang terbanyak penduduknya menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia dan Sumba Barat Daya yang paling jarang, hanya 2,1 persen. Penggunaan/penyimpanan pestisida/insektisida/pupuk kimia lebih banyak di perdesaan daripada di perkotaan Semakin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, cenderung semakin tinggi penggunaannya oleh rumah tangga.

Penyakit Menular Penyakit menular yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 berdasarkan media/cara penularan yaitu: 1) melalui udara (Infeksi Saluran Pernafasan Akut/ISPA, pneumonia, dan TB paru); (2) melalui makanan, air dan lainnya (hepatitis, diare); (3) melalui vektor (malaria). Ditularkan melalui udara Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi yang tertinggi period prevalence ISPA dalam 1 tahun terakhir di antara semua provinsi di Indonesia yaitu sebesar 41,7 persen. Kabupaten/kota yang tertinggi prevalensi ISPA-nya adalah Sumba Tengah (69 %) dan terendah Manggarai (22 %). Kelompok umur yang paling banyak penderitanya adalah umur 1-4 tahun (54,6 %) dan paling jarang pada umur 15-24 tahun (35 %), dan penderita perempuan (42,4 %) sedikit lebih tinggi daripada laki-laki (41,1 %). Makin tinggi tingkat pendidikan cenderung makin rendah infeksinya. Petani/ nelayan/buruh merupakan kelompok pekerjaan yang tertinggi infeksinya dibandingkan dengan kelompok pekerjaan lain. Penderita yang tinggal di perdesaan lebih banyak daripada yang tinggal di perkotaan. Mulai dari kuintil indeks kepemilikan menengah bawah, terlihat adanya hubungan linier linier antara kuintil indeks kepemilikan dengan infeksi ISPA. Period prevalensi pnemonia di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2013 yang sebesar 4,6 ‰ dan 10,3 ‰ menempati urutan tertinggi di seluruh Indonesia. Kabupaten/kota yang tertinggi insiden pneumonianya di provinsi itu adalah Sumba Tengah (0,9 ‰) dan yang tertinggi period prevalence-nya adalah Manggarai Timur (27,2 ‰). insiden maupun period prevalence pneumonia tertinggi pada umur > 75 tahun (masing-masing 7,9 ‰ dan 18,4 ‰), sama-sama lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan pada perempuan, sama-sama ada kecenderungan hubungan linier terbalik dengan tingkat pendidikan serta sama-sama ada kecenderungan hubungan linier terbalik dengan kuintil indeks kepemilikan (mulai dari kuintil indeks kepemilikan menengah bawah). Di Nusa Tenggara Timur, banyaknya penderita tuberkulosis hasil diagnosis dalam kurun waktu < 1 tahun terakhir adalah 0,3 permil dan yang didiagnosis > 1 tahun terakhir adalah 1,1 permil dan yang diobati dengan obat anti tuberkulosis adalah 34,8 persen. Tiga kabupaten/kota dengan jumlah penderita tertinggi dalam < 1 tahun terakhir adalah Sumba Barat (1,2 ‰), Sumba Timur (0,7 ‰) dan Sumba Tengah (0,7 ‰) dan dalam > 1 tahun terakhir adalah Nagekeo (2,3 ‰), Sumba Tengah (2 ‰) dan Kabupaten Kupang (1,9 ‰), sementara tiga kabupaten/kota dengan pengobatan tertinggi adalah Sumba Barat (62,9 %), Sumba Timur (52,7 %) dan Timor Tengah Utara (50,5 %). Penderita yang menunjukkan gejala batuk > 2 minggu di seluruh provinsi itu adalah 8,8 % dengan kisaran antara 2,9 persen di Manggarai dan 20,1 persen di Sumba Barat Daya dan yang batuk darah adalah sepertiga (33 %) dari seluruh penderita dengan kisaran antara 0,1 persen di Sabu Raijua dan 57,6 persen di Kota Kupang. Tidak ada hubungan linier antara umur dengan penderita tuberkulosis yang

xvii

didiagnosis < 1 tahun terakhir dan yang diobati, tetapi untuk penderita yang didiagnosis > 1 tahun terakhir, ada kecenderungan makin tinggi jumlah penderitanya seiring dengan bertambahnya umur. Makin tinggi umur, cenderung makin tinggi jumlah penderita dengan gejala batuk > 2 minggu, tetapi tidak dengan gejala batuk darah. Penderita yang didiagnosis < 1 tahun terakhir lebih banyak di perkotaan diandingkan dengan perdesaan, tetapi untuk yang didiagnosis > 1 tahun terakhir sama banyak di kedua jenis tempat tinggal. Makin tinggi tingkat pendidikan, cenderung makin rendah jumlah penderita, pengobatan dan kategori gejala. Wiraswasta atau petani/nelayan/buruh merupakan kelompok pekerjaan yang tertinggi jumlahnya untuk kategori tertentu dalam hal jumlah penderita, pengobatan atau gejala. Ditularkan melalui makanan, air dan lainnya Prevalensi hepatitis di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2013 yang sebesar 4,3 % menempati urutan teratas di antara semua provinsi di Indonesia dan hampir 4 kali prevalensi nasional yang sebesar 1,2 persen. Kabupaten/kota yang tertinggi prevalensi hepatitisnya adalah Manggarai Timur (20,8 %) dan terendah di Sabu Raijua (0,7 %). Ada kecenderungan, makin tinggi infeksinya seiring dengan pertambahan umur, cenderung lebih tinggi infeksi pada perempuan daripada laki-laki dan makin tinggi tingkat pendidikan cenderung makin rendah infeksinya. Juga terlihat bahwa infeksi di perdesaan (5 %) sebesar 4 kali infeksi di perkotaan (1,3 %) serta ada kecenderungan, semakin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan semakin rendah infeksinya. Di antara 4 jenis hepatitis yang dikenal, jenis hepatitis yang terbanyak penderitanya di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah hepatitis B (29,6 %) lalu disusul oleh hepatitis A (27,9 %) sedangkan hepatitis C dan hepatitis lainnya sangat kecil proporsinya dan bahkan kedua jenis hepatitis terakhir ini hanya ditemukan di 1 atau 2 kabupaten/kota saja. Kabupaten/kota yang tertinggi proporsi hepatitis B adalah Sabu Raijua (100 %) dan hanya jenis hepatitis tersebut yang ditemukan di kabupaten itu. Adapun proporsi hepatitis A yang tertinggi adalah di Manggarai (74,6 %). Pada penderita yang didiagnosis hepatitis, hepatitis A dan hepatitis B cenderung tertinggi infeksinya pada dua kelompok umur tertua (65-74 dan > 75 tahun), hepatitis A lebih banyak pada perempuan namun sebaliknya untuk hepatitis B dan hepatitis C. Hepatitis A terbanyak pada kelompook pendidikan tidak sekolah, tetapi hepatitis B pada kelompok tamat SMP. Pekerjaan penderita hepatitis A mendominasi pada kelompok pekerjaan “lainnya” sementara hepatitis B pada wiraswasta. Kedua jenis hepatitis tersebut sama-sama mendominasi di perkotaan. Makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, makin tinggi proporsi hepatitis B, tetapi hepatitis A tidak berhubungan linier dengan kuintil. Insiden diare di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2013 adalah 4,3 persen dan period prevalence sebesar 10,9 persen. Kabupaten/kota yang tertinggi insiden diarenya adalah Manggarai Timur (11,1 %) dan terendah Flores Timur (1 %), sementara period prevalence tertinggi juga di Manggarai Timur (21,8 %) namun terendah di Kota Kupang (4,1 %). Khusus pada balita, insiden diare tahun 2013 adalah 6,7 persen dengan kisaran antara 1,7 persen di Timor Tengah Utara dan Flores Timur hingga 11,9 persen di Sumba Tengah. Diare balita tertinggi pada kelompok 12-23 bulan (9,5 %), sedikit lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dan mendominasi di perdesaan. Tidak ada hubungan linier antara Kuintil Indeks Kepemilikan dengan insiden, tetapi infeksi tertinggi cenderung pada kuintil menengah. Insidensi dan prevalensi malaria di provinsi itu masing-masing adalah 2,6 persen hasil diagnosis oleh nakes dan 6,8 persen hasil gabungan diagnosis dan gejala. Tiga kabupaten/kota dengan insidensi tertinggi adalah Manggarai Timur (17,5 %), Sumba Barat Daya (15 %) dan Sumba Barat (14,4 %) dan tiga kabupaten/kota dengan prevalensi tertinggi adalah Sumba Barat Daya (58,3 %), Lembata (48,5 %) dan Sumba Timur (47,9 %). Hanya sekitar separuh (55 %) kasus malaria di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang diobati dengan obat program dengan kisaran antara 7,1 persen di Sumba Timur hingga 94 persen di Nagekeo. Tidak ada hubungan linier antara umur dengan

xviii

insidensi malaria, prevalensi malaria maupun dengan pengobatan dengan obat program, namun paling rendah pada kelompok umur < 1 tahun. Insidensi malaria sama pada laki-laki dan perempuan, sementarea prevalensinya sedikit lebih tinggi pada laki-laki, demikian juga dengan pengobatan dengan obat program. lebih tinggi pada laki-laki. Makin tinggi pendidikan, ada kecenderungan makin rendah insidensi dan prevalensi malaria, namun sebaliknya makin banyak yang diobati. Petani/Nelayan/Buruh merupakan kelompok pekerjaan yang paling tinggi insidensi maupun prevalensinya dibandingkan dengan pekerjaan lain, namun dalam hal pengobatan, hanya menduduki urutan kedua terendah setelah kelompok tidak bekerja. Baik insidensi maupun prevalensi jauh lebih banyak di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, tetapi pengobatan hanya sedikit lebih tinggi di perdesaan. Makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, makin tinggi insidensi maupun prevalensi malaria, tetapi dengan pengobatan tidak berkorelasi linier.

Penyakit Tidak Menular Prevalensi penyakit tidak menular adalah gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis tenaga medis/kesehatan dan kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM. Asma diderita oleh 7,3 persen penduduk Nusa Tenggara Timur dan tiga kabupaten/kota dengan asma tertinggi adalah Manggarai Timur (26,3 %), Sumba Barat Daya (15,4 %) dan Sumba Barat (13,7 %). Ssma terbanyak terjadi pada kelompok umur 25-34 dan 35-44 tahun (masing-masing 11,1 %) lalu menurun ke umur secara berangsur-angsur ke umur yang lebih muda dan lebih tua. Kedua jenis kelamin hampir sama jumlah responden asmanya. Penderita asma terbanyak ditemukan pada yang berpendidikan tamat SD lalu menurun secara berangsur-angsur ke yang berpendidikan ke bawahdan ke atasnya. Petani/ nelayan/buruh merupakan pekerjaan yang paling banyak penderita asma dibandingkan dengan kelompok pekerjaan lain. Asma sangat dominan di perdesaan, bahkan dua kali dibandingkan dengan perkotaan. Makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, makin rendah jumlah responden asma. Terdapat 10 persen penderita PPOK dan merupakan provinsi tertinggi jumlah penderita asmanya. Tiga kabupaten/kota dengan persentase tertinggi penderita PPOK adalah Manggarai Timur (26,3 %), Sumba Barat (25,7 %) dan Sumba Timur (19,4 %). Prevalensi PPOK yang sebenarnya bisa lebh tinggi karena manifestasi klinis baru terlihat ketika fungsi paru sudah menurun. Penderita asma semakin banyak seiring dengan semakin bertambahnya umur, sedikit lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, makin jarang seiring dengan makin tingginya tingkat pendidikan dan paling banyak pada petani/nelayan/buruh dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain. Ada hubungan linier terbalik jumloah kasus asma dengan Kuintil Indeks Kepemilikan.

Cedera Di Nusa Tenggara Timur besarnya prevalensi cedera adalah 12,1 persen dengan kisaran menurut kabupaten/kota antara 4,5 persen di Alor hingga 25,2 persen di Ende. Tiga penyebab cedera langsung yang utama di provinsi itu adalah jatuh (55,5 %), sepeda motor (30,4 %) dan benda tajam/tumpul (6,1 %). Kisaran persentase ”jatuh” menurut kabupaten/kota adalah antara 25,7 persen di Sumba Barat hingga 76,8 persen di Manggarai Timur, persentase “sepeda motor” antara 12,4 persen di Manggarai Timur hingga 62,7 persen di Rote Ndao dan ”benda tajam/tumpul” antara 1,3 persen di Lembata hingga 13,3 persen di Sumba Barat. Cedera paling banyak terjadi pada dewasa muda dan remaja dan paling jarang pada bayi. Cedera pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dominan pada yang berpendidikan tamat SD/MI dan paling jarang pada tamat Diploma/Perguruan Tinggi. Cedera dominan pada kelompok orang yang tidak bekerja dan di perdesaan. Makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, makin banyak kejadian cedera. Penyebab cedera sepeda motor kebanyakan terjadi pada dewasa muda dan dewasa di atasnya, dan paling jarang pada bayi, anak-anak dan lanjut usia. Sebaliknya jatuh sebagai penyebab cedera justru paling banyak pada bayi, anak-anak dan lanjut usia. Terbakar juga kebanyakan pada bayi. Hampir semua penyebab cedera lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan, kecuali dua

xix

penyebab (kejatuhan dan ”lainnya”) yang persentasenya sama di kedua kelompok jender dan hanya satu penyebab cedera (jatuh) yang dominan pada perempuan. Makin tinggi pendidikan makin banyak cedera yang disebabkan sepeda motor tetapi sebaliknya makin sedikit cedera karena jatuh, sedangkan penyebab cedera sisanya tidak jelas hubungannya dengan pendidikan. Hubungan kuintil indeks kepemilikan dengan penyebab cedera tidak jelas polanya, kecuali dengan transportasi darat lain, makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan makin kecil persentase transportasi darat lain sebagai penyebab cedera. Penyebab cedera tidak langsung terlihat kebanyakan karena kelalaian/ketidaksengajaan (94,5 %) dan sangat mendominasi dibandingkan dengan penyebab tidak langsung lainnya seperti tindak kekerasan yang hanya 1,8 persen, bencana alam (1,3 %), usaha bunuh diri (0,8 %) dan ”lainnya” (1,6 %). Kabupaten/kota yang tertinggi persentase karena kelalaian/ketidaksengajaan adalah Lembata (98,6 %) dan terendah di Timor Tengah Utara dan Sumba Barat Daya (87,5 %). Urutan bagian tubuh yang terkena cedera dari yang terbanyak hingga yang tersedikit adalah anggota gerak bawah (61,9 %), anggota gerak atas (18,5 %), kepala (17,8 %), punggung (13,8 %), dada (6,2 %) dan perut/organ dalam (3,7 %). Kisaran persentase yang terkena tiga bagian tubuh terbanyak menurut Kabupaten/kota adalah antara 44 persen di Manggarai hingga 71,7 persen di Kota Kupang untuk anggota gerak bawah, antara 25,4 persen di Manggarai Barat hingga 51,5 persen di Kabupaten Kupang untuk anggota gerak atas dan antara 9,4 persen di Kabupaten Kupang hingga 29,2 persen di Sumba Barat Daya untuk cedera kepala. Tiga jenis cedera terbanyak di Nusa Tenggara Timur adalah lecet/memar (72,4 %), luka robek (36,4 %) dan terkilir (19,8 %), sedangkan persentase jenis cedera lainnya sangat kecil (masing-masing < 5 %). Lecet/memar terbanyak di Belu (84,7 %) dan terjarang di Timor Tengah Selatan (54 %); luka robek tertinggi persentasenya di Sumba Barat (53,1 %) dan terendah di Manggarai Barat (18,3 %), sementara terkilir paling sering di Sumba Timur (30,4 %) dan paling jarang di Kota Kupang (8,7 %). Tiga tempat utama terjadinya cedera adalah rumah (40,5 %), jalan raya (35,5 %) dan pertanian (12,7 %), sementara di beberapa tempat lain terjadinya cedera, persentasenya sangat kecil (masing-masing < 10 %). Sabu Raijua merupakan kabupaten/kota yang tertinggi persentase terjadinya cedera di rumah (57,9 %) dan Rote Ndao terendah (22,2 %). Untuk tempat cedera di jalan raya, justru Rote Ndao tertinggi (66,5 %) dan Manggarai Timur terendah (20,6 %). Yang tempat terjadinya cedera di pertanian, persentase tertinggi justru di Manggarai Timur (29,5 %) dan terendah di Kota Kupang (0,3 %).

Gigi dan Mulut Proporsi EMD di seluruh provinsi itu adalah 7,3 persen, yang bermasalah gigi dan mulut 27,2 persen dan hampir sama dengan yang menerima perawatan dari tenaga medis gigi (27 %). Empat Kabupaten yaitu Manggarai Barat, Manggarai Timur, Ende, Flores Timur dan Ngada mempunyai masalah gigi dan mulut yang cukup tinggi (>30%), dengan masing – masing EMD 16,2 persen, 4,6 persen, 11,5 persen dan 12,3 persen. Proporsi tertinggi yang bermasalah gigi dan mulut adalah pada umur produktif 35 - 44 tahun (36,5 persen) dan 45 - 54 tahun (38,6 %). Demikian pula proporsi EMD, juga tertinggi pada kedua kelompok umur tersebut, masing-masing 11,3 persen dan 11,1 persen. Proporsi EMD pada laki-laki (7,0 %) tidak ada perbedaan dengan perempuan (7,7 %). Terdapat kecenderungan peningkatan proporsi EMD pada kelompok pendidikan paling tinggi (12,2 %). Berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok pegawai memiliki EMD terbesar (12,8 %). Berdasarkan tempat tinggal, EMD di daerah perkotaan (8,4 %) lebih tinggi dibandingkan perdesaan (7,1%). Makin tinggi Kuintil Indeks kepemilikan, makin tinggi EMD.

xx

Kebanyakan (39,7 %) penduduk Nusa Tenggara Timur berobat ke Perawat Gigi, selanjutnya ke Paramedik lainnya (34,4 %) dan Dokter Gigi (27,4 %) dan sisanya, dengan persentase yang sangat kecil (< 3 %) berobat bke tenaga pelayanan di luar ketiga yang sudah disebutkan. Proporsi penduduk terbanyak yang berobat ke Perawat Gigi adalah di Belu (75,2 %) dan terjarang di Sumba Barat (4,1 %), namun sebaliknya yang berobat ke dokter gigi terbanyak di Sumba Barat (54,8 %) dan terjarang di Sabu Raijua (4,5%). Proporsi penduduk berobat gigi berdasarkan jenis tenaga pelayanan menurut karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT. Perilaku benar dalam menyikat gigi berkaitan dengan faktor gender, ekonomi, dan daerah tempat tinggal. Sebagian besar (74,7%) penduduk provinsi itu sudah berperilaku menyikat gigi setiap hari, dengan kisaran menurut Kabupaten antara 49,4 persen di Alor hingga 99,1 persen di Kota Kupang. Waktu yang digunaan menyikat gigi dari urutan tertinggi ke yang terendah adalah pada waktu mandi pagi (80,7 %), mandi sore (57,1 %), mandi pagi dan sore (51,8 %) dan seterusnya dengan persentase yang semakin kecil dan yang paling jarang dilakukan adalah sesudah siang (3 %). Secara keseluruhan persentase kebiasaan yang benar menyikat gigi penduduk Nusa Tenggara Timur hanya 4,8 persen. Kabupaten/kota tertinggi untuk berperilaku menyikat gigi dengan benar adalah Kota Kupang yaitu 17,5 persen, kemudian diikuti Flores Timur 10,5 persen, sedangkan yang terendah adalah di Sumba Tengah 0,2 persen. Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi. Indeks DMF-T merupakan penjumlahan dari indeks D-T, M-T, dan F-T. Indeks DMF-T ini meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Antara laki-laki dan perempuan tidak banyak berbeda kerusakan giginya. Tingkat pendidikan tidak berkorelasi linier dengan kerusakan gigi permanen, namun kerusakan paling parah (Indeks DMF-T = 7) terjadi pada pendididikan tidak sekolah. Petani/nelayan/buruhmerupakan kelompok pekerjaan yang terparah kerusakan giginya (Indeks DMF-T = 4,9) dibandingkan pekerjaan lain. Kerusakan gigi penduduk yang tinggal di perdesaan (Indeks DMF-T = 3,3) sangat kecil perbedaannya dengan yang tinggal di perkotaan (Indeks DMF-T = 2,9). Makin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, cenderung makin rendah tingkat kerusakan giginya.

Disabilitas Di Nusa Tenggara Timur kesulitan berdiri selama 30 menit terjadi pada 22 persen penduduk, termasuk 6,2 persen dengan level sedang dan 5,8 persen level berat, diikuti oleh kesulitan berjalan jauh dialami oleh 20,3 persen dan sulit mengerjakan kegiatan rumah tangga pada 19,2 persen penduduk. Manggarai Timur merupakan kabupaten dengan prevalensi tertinggi (48,3 %) dan Kabupaten Kupang terendah. Rata-rata penduduk Nusa Tenggara Timur tidak dapat berfungsi optimal selama 6,6 hari karena disabilitas. Jumlah hari produktif yang hilang terbesar di Sabu Raijua (18,8 hari) dan terendah di Belu (3,1 hari).

Kesehatan Jiwa Besarnya prevalensi skizofrenia (psikosis) di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 1,6 permil dengan prevalensi tertinggi di Kabupaten Nagekeo (5,5 ‰) dan terendah di Kabupaten Ngada (0,04 ‰). Psikosis di desa (1,6 ‰) lebih tinggi daripada di kota (1,6 ‰) dan ada kecenderungan semakin tinggi Kuintil Indeks Kepemilikan, semakin rendah kejadian psikosis. Di provinsi itu terdapat 24,4 % rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga mengalami gangguan jiwa berat, yang menyatakan bahwa ART yang skizofrenia pernah mengalami pemasungan. Prevalensi orang yang mengalami gangguan mental emosional di Nusa Tenggara Timur terjadi pada 7,8 persen penduduk. Kabupaten/kota yang tertinggi jumlah penduduk mengalami gangguan mental emosional adalah Manggarai Timur (48,4 ‰) dan terendah Belu (0,8 ‰).

xxi

Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Proporsi penduduk Nusa Tenggara Timur umur > 10 tahun yang berperilaku benar buang air besar (BAB) adalah 77 persen dan yang berperilaku benar cuci tangan 38 persen. Seluruh (100 %) penduduk Kota Kupang sudah berperilaku benar dalam BAB. Kota Kupang juga menduduki urutan tertinggi berperilaku benar dalam cuci tangan. Seperempat (25,9 %) penduduk provinsi itu adalah perokok, baik perokok aktif setiap hari maupun perokok kadang-kadang. Disamping itu sebanyak 17,7 persen adalah pengunyah tembakau setiap hari dan 12,1 persen pengunyah kadang-kadang. Sementara itu terdapat 28,7 persen penduduk yang aktivitas fiisiknya tergolong kurang aktif dan dua pertiga (66,6 %) beraktifitas sedentary kurang dari 3 jam.

Pembiayaan Kepemilikan Jaminan Kesehatan Di Nusa Tenggara Timur, sekitar sepertiga (31,7 %) penduduknya belujm memiliki jaminan kesehatan. Bagi yang sudah memiliki, persentase tertinggi berupa Jamkesmas (58,6 %) dan persentase terendah berupa Jamsostek dan tunjangan kesehartan (masing-masing 0,1 persen). Mengobati sendiri Sebanyak 19,9 persen dari seluruh penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur melakukan pengobatan sendiri bila sakit. Rata-rata biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 5.000,00. Sumba Barat Daya merupakan kabupaten yang penduduknya terbanyak melakukan pengobatan sendiri. Rawat jalan dan Rawa Inap Yang memanfaatkan biaya rawat jalan di provinsi itu sebanyak 11,1 persen penduduk dengan biaya rata-rata sebesar Rp. 15.000,00. Sementara itu yang memanfaatkan biaya rawat inap sebesar 2,3 persen penduduk dengan biaya rata-rata Rp. 350.000,00. Sumber biaya terbesar rawat jalan adalah Jamkesmas (50,9 %), lalu biaya sendiri (35,3 %) dan yang terkecil adalah Jamsostek, asuransi swasta dan perusahaan (masing-masing 0,2 %). Pada pengguna Jamkesmas sebagai sumber biaya rawat jalan, tertinggi persentasenya di Belu dan terendah di Manggarai Barat, sementara untuk biaya sendiri, tertinggi di Manggarai Barat dan terendah di Sabu Raijua. Adapun sumber biaya terbesar rawat inap juga adalah Jamkesmas (42,6 %) , lalu biaya sendiri (35,7 %). Sumber biaya bersumber lainnya, persentasenya jauh lebih kecil.

Kesehatan Reproduksi Sebanyak 39,6 persen WUS di provinsi itu sedang menggunakan alat KB, 25,3 persen pernah ber-KB dan 35,1 persen tidak pernah. Kabupaten/kota yang tertinggi “sedang menggunakan alat KB” adalah di Manggarai Barat dan terendah di Sabu Raijua Sebaliknya proporsi WUS kawin yang tidak pernah menggunakan KB tertinggi di Sabu Raijua (62 %) dan terendah di Manggarai Barat (17.4%) persen. Adapun CPR memperlihatkan bahwa pada CPR satu cara dan cara modern, perbedaannya tidak besar, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. CPR cara tradisional sangat kecil persentasenya dan bahkan di kabupaten/kota tertentu tidak ada. Besarnya proporsi yang menggunakan cara KB modern hormonal di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 39,2 persen, yang terdiri atas yang hormonal 33,2 persen dan yang non

xxii

hormonal 6 persen. Yang menggunakan cara KB modern hormonal berkisar dari 16,5 persen di Sabu Raijua hingga 47,5 persen di Manggarai Barat. Adapun proporsi tertinggi WUS kawin yang menggunakan KB modern non hormonal adalah di Kabupaten Manggarai (15,1 %) dan terendah di Sabu Raijua (0,7 persen). Ditinjau dari jangka efektifitas alat/cara KB, proporsi yang berjangka panjang (12,4 %) kurang dari separuh dari yang berjangka pendek (26,8 %). Kisaran proporsi yang berjangka panjang adalah antara 3 persen di Sabu Raijua hingga 33,3 % di Sumba Barat Daya, sementara yang berjangka pendek adalah antara 5,9 persen di Sumba Barat Daya hingga 42,8 persen di Manggarai Timur Di antara 4 macam tenaga kesehatan yang melayani KB modern, yang paling sering melayani KB modern di Nusa Tenggara Timur adalah bidan (87,5 %), diikuti oleh dokter kandungan (4,8 %), lalu perawat (4,2 %) dan paling jarang oleh dokter umum (2,2 %). Kisaran persentase bidan adalah antara 77,5 persen di Sumba Barat Daya hingga 97,4 persen di Lembata. Urutan tempat dari yang paling sering hingga paling jarang dalam pelayanan alat KB adalah Puskesmas/Pustu (62,7 %), lalu Polindes/Poskesdes (15 %), selanjutnya RS (6,8 %), Posyandu (6,6 %) dan seterusnya hingga yang paling jarang adalah Klinik/BP (0,2 %). Kabupaten/kota yang tertinggi persentase Puskesmas/Pustunya sebagai tempat pelayanan kontrasepsi adalah Kota Kupang (94,3 %) dan terendah Timor Tengah Utara (27 %). Di beberapa kabupaten/kota tidak ada pelayanan alat kontrasepsi di tempat tertentu. Di Nusa Tenggara Timur hanya 88,1 persen kehamilan yang dilakukan pemeriksaan ANC K1 dengan kisaran menurut kabupaten/kota antara 62,5 persen di Sabu Raijua hingga 100 persen di Belu dan Ngada. Adapun cakupan K1 ideal di seluruh provinsi itu lebih kecil lagi, hanya 68,4 persendengan kisaran antara 39 persen di Sabu Raijua hingga 92,9 persen di Lembata. Sementara itu, cakupan ANC minimal 4 kali hanya 72,4 persen, dimana yang tertinggi di Sikka (92,6 %) dan terendah di Sumba Barat Daya (28,4 %). Besarnya cakupan ANC K4 semakin kecil, yaitu sekitar separuh (55,5 %) dari seluruh kehamilan yang berkisar antara 20,5 persen di Sumba Raijua hingga 82,2 persen di Manggarai Barat. Mayoritas (88,4 %) tenaga kesehatan yang memberi pelayanan ANC di Nusa Tenggara Timur adalah bidan, urutan kedua adalah dokter kebidanan/kandungan (8,6 %) dan sisanya oleh dokter umum (2 %) dan perawat (0,9 %), Persentase tertinggi menurut kabupaten/kota yang dilakukan oleh bidan adalah di Sabu Raijua (seluruh atau 100 % kehamilan) dan terendah di Sumba Barat Daya (74,6 %). Yang dilakukan dokter kebidanan/kandungan, tertinggi di Kota Kupang (18 %).

Kesehatan Anak Sebanyak 66,1 persen anak balita Provinsi Nusa Tenggara Timur tidak memiliki catatan berat badan lahir bayidan yang tidak memiliki catatan panjang bayi lahir lebih tinggi lagi, yaitu 78,8 persen. Pada anak balita yang memiliki catatan berat badan bayi, persentase anak balita yang berat badan lahir < 2500 gram (BBLR) adalah 15,5 %, yang lahir dengan berat badan 2500-3999 gram adalah 80,6 persen dan yang lahir dengan berat ≥ 4000 gram 3,9 persen. Pada anak balita yang memiliki catatan panjang badan bayi, persentase anak balita yang panjang lahir < 48 cm (bayi lahir pendek) adalah 28,6 %, yang lahir dengan panjang badan 48-52 cm sebanyak 65,7 persen dan yang lahir dengan panjang > 52 cm adalah 5,7 persen. Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 4,7 persen, yang merupakan urutan ke-7 di antara 33 provinsi di Indonesia. Berhubung jumlah sampel menurut kabupaten/kota kurang memadai untuk dianalisis, maka distribusi menurut kabupaten/kota tidak dapat disajikan. Berdasarkan jenis imunisasi, anak umur 12-59 bulan yang menerima vaksin dengan persentase dari yanjg btertinggi ke yang terendah adalah campak (83,1 %), BCG (82,8 %), Polio-4 (68,7 %), HB-0

xxiii

(67,4 %) dan DPT-HB3 (63,8 %). Sumba Barat Daya mempunyai cakupan imunisasi terendah untuk semua jenis imunisasi, meliputi HB-0 (31,5 %), BCG (53,2 %), DPT-HB 3 (33 %), Polio 4 (37,7 %), dan campak (55,7 %). Kabupaten Ngada mempunyai cakupan imunisasi tertinggi, yaitu HB-0 (97,6 %), BCG (99,5 %), DPT-HB 3 (96,3 %), polio 4 (94,9 %) dan campak (98,7). Cakupan imunisasi dasar lengkap di Provinsi Nusa Tenggara Timur 45 persen, 42,1 persen tidak lengkap dan bahkan terdapat 12,4 persen yang tidak diimunisasi. Imunisasi dasar lengkap yang tertinggi persentasenya adalah di Ngada (83,5 %) dan terendah di Sumba Barat Daya (17,1 %). Di antara semua anak yang menerima vaksin (lengkap dan tidak lengkap) yang seluruhnya 87,6 persen, sebanyak 54,6 persen di antaranya mengeluh pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Jenis keluhan yang dialami adalah kemerahan (39,8 %), bengkak (38,5 %), demam tinggi (10,5 %), bernanah (4,4 %) dan “lainnya” (0,5 %). Kunjungan neonatal yang dilakukan dalam 6-48 jam pertama (KN-1) sebesar 51,3 persen, dalam 3-7 hari (KN-2) 35,6 persen dan dalam 8-28 hari (KN-3) adalah 36,2 persen. Kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) pada anak umur 0-59 bulan mecapai 54,5 persen, kunjungan tidak lengkap 33,7 persen dan yang tidak pernah dikunjungi 41,4 persen. Dalam hal perawatan tali pusar anak umur 0-59 bulan, 26,7 persen dengan cara “tidak diberi apa-apa”, 49,7 persen dengan “diberi betadine/alkohol”; 4,8 persen dengan “diberi obat tabur” dan 18,8 persen dengan “diberi ramuan/obat tradisional”. Dalam proses dimulainya ibu menyusu bayi pada anak umur 0-23 bulan, sebanyak 40,5 persen ibu bayi menjawab memulai menyusui dalam waktu < 1 jam setelah lahir, 40,3 persen memulainya dalam waktu 1-6 jam, 3,2 persen dalam waktu 7-23 jam dan 9,1 persen dalam waktu > 48 jam. Persentase anak umur 0-23 bulan yang diberi makanan prelakteal di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur besarnya 22,2 persen, dengan kisaran 8,6 persen di Timor Tengah Utara dan 62 persen di Sabu Raijua. Jenis makanan prelakteal yang diberikan kepada bayi dari yang tertinggi persentasenya hingga ke yang lebih rendah adalah susu formula (46 %), air putih (29,5 %), air gula (23,8 %), madu/madu dan air (13,7 %) dan lainnya yang persentasenya < 10 persen. Cakupan pemberian vitamin A selama enam bulan terakhir di provinsi itu besarnya 72 persen. Persentase tertinggi terdapat di Nagekeo (90 %) dan terendah di Sabu Raijua (50,1 %). Frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan yang dilakukan > 4 kali, dialami oleh 54,7 persen anak, penimbangan 1-3 kali dialami 13 persen anak dan yang tidak pernah ditimbang dialami 32,3 persen anak.

Biomedis Hanya 52,4 persen garam di RT yang dikonsumsi masyarakat Nusa Tenggara Timur yang mengandung Yodium dengan kadar cukup; 26,5 persen dengan kadar kurang dan 21,1 persen tidak mengandung yodium. Kabupaten/kota yang tertinggi persentase garam di RT mengandung yodium berkadar cukup adalah Alor (98 %) dan terendah Rote Ndao (11,9 %).

xxiv

DAFTAR ISI Kata Pengantar .................................................................................................................... i

SAMBUTAN ........................................................................................................................ ii

RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................................. iii

RINGKASAN HASIL ........................................................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................................... xxiv

DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xxvii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... xxxiii

DAFTAR SINGKATAN .................................................................................................. xxxix

BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ........................................................................................................ 1

1.2. Ruang Lingkup Riskesdas 2013 .............................................................................. 2

1.3. Pertanyaan Penelitian ............................................................................................. 2

1.4. Tujuan Riskesdas 2013 ........................................................................................... 2

1.5. Kerangka Pikir ......................................................................................................... 3

1.6. Alur Pikir Riskesdas 2013 ....................................................................................... 4

1.7. Pengorganisasian Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur2013 ......................... 5

1.8. Manfaat Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013........................................ 5

1.9. Persetujuan Etik Riskesdas 2013 ............................................................................ 5

BAB 2. METODOLOGI RISKESDAS .................................................................................. 7

2.1. Desain ........................................................................................................................ 7

2.2. Lokasi ........................................................................................................................ 7

2.3. Populasi dan Sampel ................................................................................................. 7

2.4. Variabel ...................................................................................................................... 9

2.5. Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data ................................................ 10

2.6. Manajemen Data ...................................................................................................... 10

2.7. Keterbatasan Data Riskesdas 2013 ......................................................................... 12

2.8. Pengolahan dan Analisis Data ................................................................................. 13

BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................. 14

3.1 Akses Pelayanan Kesehatan ....................................................................................... 14

3.1.1 Keberadaan Fasilitas Kesehatan .................................................................... 14

3.1.2 Keterjangkauan Fasilitas Kesehatan ............................................................... 16

3.2. Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional ......................................................... 19

xxv

3.2.1. Obat dan Obat Tradisional (OT) di Rumah Tangga ....................................... 19

3.2.2. Pengetahuan Rumah Tangga tentang Obat Generik (OG) ............................ 23

3.2.3 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) ....................... 26

3.3 Kesehatan Lingkungan ................................................................................................ 27

3.3.1 Air Minum........................................................................................................ 28

3.3.2 Sanitasi ........................................................................................................... 35

3.3.3 Perumahan ..................................................................................................... 42

3.4 Penyakit Menular ......................................................................................................... 48

3.4.1Penyakit yang ditularkan melalui Udara ........................................................... 49

3.4.2 Penyakit yang ditularkan melalui Makanan, Air dan lainnya ............................ 54

3.4.3 Penyakit yang ditularkan oleh Vektor (Malaria) ............................................... 58

3.5 Penyakit Tidak Menular ............................................................................................... 63

3.5.1 Asma .............................................................................................................. 64

3.5.2 Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) ......................................................... 65

3.5.3 Kanker ............................................................................................................ 66

3.5.4 Diabetes Melitus ............................................................................................. 66

3.5.5. Penyakit Hipertiroid........................................................................................ 68

3.5.6 Hipertensi/Tekanan Darah Tinggi ................................................................... 68

3.5.7 Penyakit Jantung ............................................................................................ 71

3.5.8 Stroke ............................................................................................................. 72

3.5.9 Penyakit Ginjal ................................................................................................ 74

3.5.10 Penyakit Sendi/Rematik/Encok ..................................................................... 76

3.6.Cedera ........................................................................................................................ 76

3.6.1.Prevalensi Cedera dan Penyebabnya ............................................................ 76

3.6.2 Jenis Cedera .................................................................................................. 78

3.6.3 Tempat Terjadinya Cedera ............................................................................. 81

3.7. Kesehatan Gigi dan Mulut .......................................................................................... 83

3.7.1 Effective Medical Demand ............................................................................. 83

3.7.2 Perilaku Menyikat Gigi Penduduk Umur ≥ 10 Tahun ...................................... 87

3.7.3 Indeks DMF-T dan Komponen D-T,M-T,F-T, .................................................. 90

3.8 Status Disabilitas ......................................................................................................... 91

3.9 Kesehatan Jiwa ........................................................................................................... 93

3.9.1 Gangguan Jiwa Berat ..................................................................................... 93

3.9.2 Gangguan Mental Emosional.......................................................................... 95

3.10 Pengetahuan, Sikap dan Perilaku ............................................................................. 99

xxvi

3.10.1 Perilaku Higienis ........................................................................................... 99

3.10.2 Penggunaan Tembakau ............................................................................. 100

3.10.3 Perilaku Aktifitas Fisik ................................................................................. 104

3.10.4 Perilaku Konsumsi Buah dan Sayur ............................................................ 107

3.10.5 Pola Konsumsi Makanan Tertentu .............................................................. 107

3.10.6 Konsumsi Makanan dari Olahan Tepung .................................................... 109

3.10.7 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) ................................................... 110

3.11 Pembiayaan Kesehatan ........................................................................................ 113

3.11.1 Kepemilikan Jaminan Kesehatan .......................................................... 114

3.11.2 Mengobati Sendiri ....................................................................................... 116

3.11.3 Rawat Jalan ................................................................................................ 117

3.11.4 Rawat Inap ................................................................................................. 118

3.12 Kesehatan Reproduksi ........................................................................................... 122

3.12.1 Kehamilan ................................................................................................... 122

3.12.2 Pelayanan Program Keluarga Berencana (KB).......................................... 123

3.12.3 Pelayanan Kesehatan Masa Kehamilan, Persalinan dan Nifas .................. 129

3.13 Kesehatan Anak ...................................................................................................... 146

3.13.1 Berat dan Panjang Badan Lahir .................................................................. 146

3.13.2 Kecacatan ................................................................................................... 150

3.13.3 Status imunisasi........................................................................................ 151

3.13.4 Kunjungan neonatal ................................................................................. 155

3.13.5 Perawatan tali pusar ................................................................................. 158

3.13.6 Pola pemberian ASI .................................................................................. 160

3.13.7 Cakupan kapsul vitamin A ........................................................................ 161

3.13.8 Pemantauan pertumbuhan ....................................................................... 161

3.13.9 Sunat perempuan ..................................................................................... 162

3.14.Status Gizi ............................................................................................................... 164

3.14.1. Status Gizi Balita ....................................................................................... 164

3.14.2. Status gizi anak umur 5-18 tahun .............................................................. 171

3.14.3. Status Gizi Dewasa ................................................................................... 176

3.15. Kesehatan Indera ................................................................................................... 180

3.15.1. Kesehatan Mata ........................................................................................ 180

3.15.2 Kesehatan Telinga ...................................................................................... 187

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 191

xxvii

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Nama Tabel Hal

Tabel 2.1. Distribusi sampel kesehatan masyarakat dan biomedis yang dapat dikunjungi menurut Kabupaten/Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

6

Tabel 2.2. Distribusi rumah tangga dan anggota rumah tangga sampel kesehatan masyarakat yang dapat dikunjungi (respon rate) menurut Kabupaten/Kota Propinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

7

Tabel 3.2.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata jumlah obat yang disimpan menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur ,Riskesdas 2013

20

Tabel 3.2.2 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat berdasarkan jenis obat menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

20

Tabel 3.2.3 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

21

Tabel 3.2.4 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat menurut Karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

22

Tabel 3.2.5 Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat yang disimpan menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

22

Tabel 3.2.6 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG ) menurut kabupaten/ kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

23

Tabel 3.2.7 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar Tentang obat generik (OG ) menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

23

Tabel 3.2.8 Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsinya tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

24

Tabel 3.2.9 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

24

Tabel 3.2.10 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut kabupaten/ kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

26

Tabel 3.2.11 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

26

Tabel 3.3.1 Proporsi rumah tangga berdasarkan akses ke sumber air minum berdasarkan kriteria JMP WHO – Unicef 2006 menurut Karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

28

Tabel 3.3.2 Proporsi rumah tangga berdasarkan rerata pemakaian air per orang per hari menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

29

Tabel 3.3.3 Proporsi rumah tangga berdasarkan rerata pemakaian air per orang per hari menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

29

Tabel 3.3.4 Proporsi Rumah Tangga berdasarkan Kualitas Fisik Air Minum menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

31

Tabel 3.3.5 Proporsi Rumah Tangga berdasarkan Kualitas Fisik Air Minum menurut Karakteristik,Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

32

xxviii

Tabel 3.3.6 Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air minum sebelum diminum menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

33

Tabel 3.3.7 Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air minum sebelum diminum menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

34

Tabel 3.3.8 Proporsi rumah tangga berdasarkan penggunaan fasilitas buang air besar menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

35

Tabel 3.3.9 Proporsi rumah tangga berdasarkan penggunaan fasilitas buang air besar menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

35

Tabel 3.3.10 Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

37

Tabel 3.3.11 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi berdasarkan kriteria JMP WHO – UNICEF 2006 menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

37

Tabel 3.3.12 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi berdasarkan kriteria JMP WHO – Unicef 2006 menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

38

Tabel 3.3.13 Proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

39

Tabel 3.3.14 Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengelolaan sampah menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

40

Tabel 3.3.15 Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengelolaan sampah menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

40

Tabel 3.3.16 Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan tempat tinggal menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

41

Tabel 3.3.17 Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan tempat tinggal menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

42

Tabel 3.3.18 Proporsi rumah tangga berdasarkan kondisi fisik bangunan rumah menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

43

Tabel 3.3.19 Proporsi rumah tangga berdasarkan kondisi fisik bangunan rumah menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

44

Tabel 3.3.20 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan rumah menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

45

Tabel 3.3.21 Proporsi rumah tangga menurut jenis sumber penerangan dan karakteristik rumah tangga, Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013

46

Tabel 3.4.1. Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita dan prevalensi pneumonia menurut Kabupaten/Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

49

Tabel 3.4.2 Period prevalence ISPA, pneumonia dan prevalensi pneumonia menurut karaktristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

50

Tabel 3.4.3. Prevalensi TB berdasarkan diagnosis dan gejala TB menurut Kabupaten/Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

51

Tabel 3.4.4 Prevalensi TB berdasarkan diagnosis dan gejala TB menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

52

Tabel 3.4.5 Prevalensi hepatitis, Insiden dan Period prevalence Diare menurut Kabupaten/Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

53

xxix

Tabel 3.4.6 Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

54

Tabel 3.4.7 Proporsi penderita hepatitis A, B, C, dan hepatitis lain menurut kabupaten/kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

55

Tabel 3.4.8 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut kabupaten/kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

56

Tabel 3.4.9 Insiden dan point prevalent malaria menurut kabupaten/kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

57

Tabel 3.4.10 Insiden dan prevalen malaria menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

58

Tabel 3.4.11 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut kabupaten/kota,Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

60

Tabel 3.4.12 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

61

Tabel 3.5.1. Prevalensi penyakit asma, penyakit paru obstruktif kronis, kanker menurut kabupaten/kota di Propinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

64

Tabel 3.5.2. Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik responden, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

66

Tabel 3.5.3 Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥ 15 tahun dan hipertensi pada umur ≥ 18 tahun menurut Kabupaten/Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

68

Tabel 3.5.4. Prevalensi diabetes, hipertiroid, hipertensi menurut karakteristik responden, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

69

Tabel 3.5.5. Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥ 15 tahun menurut Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

71

Tabel 3.5.6 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik responden, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

72

Tabel 3.5.7. Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun menurut Kabupaten/Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013

73

Tabel 3.5.8. Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik responden, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

74

Tabel 3.6.1 Prevalensi dan proporsi penyebab cedera langsung menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas, Riskesdas 2013

76

Tabel 3.6.2. Prevalensi dan proporsi cedera dan penyebab cedera langsung menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013

77

Tabel 3.6.3. Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

78

Tabel 3.6.4. Proporsi jenis cedera menurut karakteristik responden, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

79

Tabel 3.6.5. Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

80

Tabel 3.6.6. Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik responden, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

81

xxx

Tabel 3.7.1 Proporsi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir dan Effective Medical Demand menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

83

Tabel 3.7.2 Proporsi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir dan Effective Medical Demand menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013

84

Tabel 3.7.3 Penduduk yang menyatakan menerima perawatan/pengobatan gigi dalam 12 bulan terakhir menurut jenis tenaga pelayanan dan kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

85

Tabel 3.7.4 Proporsi penduduk 10 tahun ke atas yang menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 20013

87

Tabel 3.7.5 Proporsi penduduk 10 tahun ke atas yang menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut karakterisitk responden, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

88

Tabel 3.7.6 Komponen D, M, F, dan Indeks DMF-T menurut karakteristik responden, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

89

Tabel 3.8.1. Proporsi tingkat kesulitan menurut komponen disabilitas, Provinsi Nusa TenggaraTimur, Riskesdas 2013

91

Tabel 3.8.2. Indikator disabilitas menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

91

Tabel 3.9.1. Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur 15 tahun ke atas (berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20)* menurut kabupaten/kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

95

Tabel 3.9.2. Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur 15 tahun ke atas (berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20)* menurut menurut karakteristik responden, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

96

Tabel 3.9.3. Persentase cakupan pengobatan penderita gangguan mental emosional menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

97

Tabel 3.10.1. Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang berperilaku benar dalam buang air besar dan cuci tangan menurut menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

98

Tabel 3.10.2 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kebiasaan merokok dan kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

100

Tabel 3.10.3 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan karakteristik responden, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

101

Tabel 3.10.4. Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau menurut kabupaten/kota di provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

102

Tabel 3.10.5. Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas dengan perilaku konsumsi berisiko >1 kali sehari menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

107

Tabel 3.10.6. Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas dengan konsumsi makanan dari olahan tepung menurut kabupaten/kota di provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

109

Tabel 3.11.1 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

113

Tabel 3.11.2 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

114

xxxi

Tabel 3.11.3 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biayanya menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

116

Tabel 3.11.4 Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

118

Tabel 3.11.5 Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

120

Tabel 3.11.6 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap berdasarkan karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

121

Tabel 3.12.1. Proporsi penggunaan KB pada WUS kawin saat ini menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

124

Tabel 3.12.2. Proporsi WUS kawin yang menggunakan KB saat ini menurut jenis kandungan hormon dan jangka efektivitas alat/cara KB yang digunakan serta Karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

127

Tabel 3.12.3. Distribusi persentase kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut riwayat pemeriksaan kehamilan pada masa kehamilannya serta cakupan indikator ANC menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

131

Tabel 3.12.4. Proporsi pelayanan kesehatan ibu hamil menurut tenaga yang memberi pelayanan kesehatan ibu hamil dari semua kelahiran yang dilaporkan 1 Januari 2009 sd wawancara menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur Riskesdas 2013

132

Tabel 3.12.5. Proporsi pelayanan kesehatan ibu hamil menurut tempat yang memberi pelayanan kesehatan ibu hamil dari semua kelahiran yang dilaporkan 1 periode Januari 2009 sd wawancara menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur Riskesdas, Riskesdas 2013

133

Tabel 3.12.6 Proporsi konsumsi zat besi selama hamil dari riwayat kelahiran yang dilaporkan 1 periode Januari 2009 sd wawancara menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

136

Tabel 3.12.7 Distribusi persentase kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut hasil pendataan kepemilikan buku KIA dan observasi Isian Amanat Persalinan pada Buku KIA yang ditunjukkan oleh ibu dan karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

138

Tabel 3.12.8. Proporsi persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dengan kualifikasi tertinggi dari seluruh kelahiran periode 1 Januari 2009 sampai wawancara menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

140

Tabel 3.12.9. Proporsi persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dengan kualifikasi terendah dari seluruh kelahiran periode 1 Januari 2009 sampai wawancara menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

141

Tabel 3.13.1 Persentase berat badan lahir anak usia 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

147

Tabel 3.13.2. Persentase panjang badan lahir anak usia 0-59 bulan menurut karakteristik,Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

149

Tabel 3.13.3. Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara timur, Riskesdas 2013

151

xxxii

Tabel 3.13.4 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara timur, Riskesdas 2013

152

Tabel 3.13.5. Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

155

Tabel 3.13.6 Persentase kunjungan neonatal pada anak anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

156

Tabel 3.13.7 Persentase kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) pada anak anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

157

Tabel 3.13.8 Persentase cara perawatan tali pusar pada anak usia 0-59 bulan menurut Kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

158

Tabel 3.13.9 Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut Kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

159

Tabel 3.14.1 Prevalensi Balita menurut Tiga Indikator Status Gizi menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013

169

Tabel 3.15.1 Prevalensi Ketersediaan Koreksi Refraksi, Kebutaan, dan Low Vision pada Responden 6 Tahun Keatas Tanpa/Dengan Koreksi Optimal Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

181

Tabel 3.15.2 Proporsi Ketersediaan Koreksi Refraksi, Kebutaan, dan Low Vision pada Responden Usia 6 Tahun Ke atas Tanpa/Dengan Koreksi Optimal Menurut Karakteristik Responden, Provinsi Nusa Tenggara Timur Riskesdas 2013

182

Tabel 3.15.3 Prevalensi Pterygium dan Kekeruhan Kornea pada Responden Semua Umur Menurut Karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur Riskesdas 2013

184

Tabel 3.15.4 Prevalensi Gangguan Pendengaran dan Ketulian Responden Usia 5 Tahun Keatas Sesuai Tes Konversasi Menurut Karakteristik, Riskesdas 2013

188

xxxiii

DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar Nama Gambar Hal.

Gambar 1.1. Kerangka pikir Riskesdas 2013 dikembangkan dari Gabungan Sistem Kesehatan WHO dengan konsep model BLUM

3

Gambar 1.2. Alur Pikir Riskesdas 2013 4

Gambar 3.1.1 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

13

Gambar 3.1.2 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan bidan praktek atau rumah bersalin menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

14

Gambar 3.1.3 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan posyandu menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

14

Gambar 3.1.4 Proporsi moda transportasi ke rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

15

Gambar 3.1.5 Proporsi moda transportasi ke Puskesmas berdasarkan karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

16

Gambar 3.1.6 Waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan terdekat menurut pengetahuan rumah tangga, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

16

Gambar 3.1.7 Waktu tempuh menuju rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

17

Gambar 3.1.8 Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan terdekat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

17

Gambar 3.1.9 Biaya transportasi menuju UKBM terdekat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

18

Gambar 3.2.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang disimpan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

19

Gambar 3.2.2 Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

25

Gambar 3.3.1 Proporsi Rumah Tangga Yang Memiliki Akses terhadap Sumber Air Minum berdasarkan Kriteria JMP WHO – Unicef 2006 menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

27

Gambar 3.3.2 Proporsi Rumah Tangga berdasarkan Anggota Rumah Tangga Yang Biasa Mengambil Air dalam Rumah Tangga, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

30

Gambar 3.3.3 Proporsi Rumah Tangga berdasarkan Anggota Rumah Tangga Yang Biasa Mengambil Air dalam Rumah Tangga menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

30

xxxiv

Gambar 3.3.4 Proporsi Rumah Tangga berdasarkan Pengolahan Air Minum Sebelum

Diminum menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

32

Gambar 3.3.5 Proporsi Rumah Tangga berdasarkan Pengolahan Air Minum Sebelum

Diminum menurut Karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013

33

Gambar 3.3.6 Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

36

Gambar 3.3.7 Proporsi Rumah Tangga berdasarkan Penampungan Air Limbah menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

38

Gambar 3.3.8 Proporsi Rumah Tangga berdasarkan Kepadatan Hunian menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

42

Gambar 3.3.9 Proporsi rumah tangga berdasarkan ketersediaan ruang tidur, ruang keluarga dan ruang dapur dengan kebersihan, keberadaan jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

44

Gambar 3.3.10 Proporsi Rumahtangga berdasarkan Penggunaan Jenis Bahan Bakar/Energi Utama, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

46

Gambar 3.3.11 Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku mencegah gigitan nyamuk, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

47

Gambar 3.3.12 Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

47

Gambar 3.7.1 Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta mendapat perawatan dan EMD, Riskesdas 2013

83

Gambar 3.9.1

Prevalensi Gangguan Jiwa Barat Menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

93

Gambar 3.9.2

Prevalensi Gangguan Jiwa Berat Menurut Karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

93

Gambar 3.10.1

Rerata jumlah batang rokok tiap/hari dihisap penduduk umur 10 tahun ke atas menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

102

Gambar 3.10.2

Proporsi aktivitas fisik penduduk umur 10 tahun ke atas menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

103

Gambar 3.10.3

Proporsi aktivitas duduk dan berbaring (sedentary) penduduk 10 tahun ke atas menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

104

Gambar 3.10.4

Proporsi aktivitas duduk dan berbaring (sedentary) penduduk 10 tahun ke atas menurut karakteristik responden di provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

105

xxxv

Gambar 3.10.5 Kecenderungan proporsi penduduk ≥10 tahun kurang makan sayur dan buah menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

106

Gambar 3.10.6 Proporsi penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan berisiko >1 kali sehari, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

108

Gambar 3.10.7 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut frekuensi konsumsi makanan bersumber tepung terigu ≥1 kali/hari

108

Gambar 3.10.8

Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

111

Gambar 3.10.9

Proporsi Rumah Tangga Memenuhi Kriteria Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) menurut Karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

112

Gambar 3.11.1 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biayanya menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

115

Gambar 3.11.2 Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

117

Gambar 3.11.3 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

118

Gambar 3.11.4

Proporsi sumber biaya untuk rawat jalan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

119

Gambar 3.11.5

Proporsi sumber biaya untuk rawat inap, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

120

Gambar 3.12.1

Proporsi (%) penduduk yang sedang hamil berdasarkan laporan rumah tangga menurut kelompok umur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

122

Gambar 3.12.2 Pengggunaan KB saat ini menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

123

Gambar 3.12.3 Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini WUS kawin dan kelompok umur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

123

Gambar 3.12.4

Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern menurut jenis kandungan hormon dan Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

125

Gambar 3.12.5 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok jangka waktu efektivitas KB dan Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

126

Gambar 3.12.6 Proporsi pemanfaatan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan dalam mendapatkan pelayanan KB, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

128

xxxvi

Gambar 3.12.7 Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut Kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

129

Gambar 3.12.8 Cakupan indikator ANC K1 ideal dan ANC K4 (ANC 1-1-2) menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

130

Gambar 3.12.9 Proporsi kelahiran yang melakukan pemeriksaan kehamilan menurut tenaga dan tempat mendapat pelayanan ANC, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

132

Gambar 3.12.10 Proporsi kelahiran menurut konsumsi zat besi (Fe) dan jumlah hari mengonsumsi, Provinsi Nusa Tenggara Timur Riskesdas, Riskesdas 2013

135

Gambar 3.12.11 Proporsi kelahiran menurut kepemilikan buku KIA dan isian 5 Komponen P4K berdasarkan hasil observasi lembar Amanat Persalinan dari yang dapat menunjukkan Buku KIA, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

137

Gambar 3.12.12 Proporsi kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara menurut penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan terendah, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

139

Gambar 3.12.13 Proporsi kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut tempat bersalin dan kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

142

Gambar 3.12.14 Proporsi kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut tempat bersalin di faskes dan polindes/poskesdes vs di rumah/lainnya dan karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

142

Gambar 3.12.15 Proporsi kelahiran hidup periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut pelayanan pemeriksaan masa nifas, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

143

Gambar 3.12.16 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

143

Gambar 3.12.17 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

144

Gambar 3.12.18 Proporsi kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara menurut pelayanan KB pasca salin dan kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

145

Gambar 3.13.1 Kecenderungan berat badan lahir rendah (BBLR) pada balita menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

146

Gambar 3.13.2 Kecenderungan panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013*)

148

Gambar 3.13.3 Persentase anak dengan berat badan <2500 gram dan panjang badan lahir <48 cm menurut karakteristik, kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

148

Gambar 3.13.4 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas

153

xxxvii

2013

Gambar 3.13.5 Persentase keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur 12-23 bulan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

153

Gambar 3.13.6 Persentase KN 1 dan KN lengkap menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

155

Gambar 3.13.7 Persentase cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

160

Gambar 3.13.8 Persentase frekuensi pemantauan pertumbuhan balita dalam 6 bulan terakhir menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

161

Gambar 3.13.9 Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

162

Gambar 3.13.10 Persentase anak perempuan umur 0 - 11 tahun yang pernah disunat menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

162

Gambar 3.14.1 Prevalensi status gizi BB/U < -2,0 SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

166

Gambar 3.14.2 Prevalensi status gizi TB/U < -2,0 SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

167

Gambar 3.14.3 Kecenderungan prevalensi status gizi BB/TB < -2,0 SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

168

Gambar 3.14.4 Prevalensi pendek anak umur 5–12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

171

Gambar 3.14.5 Prevalensi kurus (IMT/U) anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

171

Gambar 3.14.6 Prevalensi pendek remaja umur 13–15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

172

Gambar 3.14.7 Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

173

Gambar 3.14.8 Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

173

Gambar 3.14.9

Prevalensi pendek (TB/U) remaja umur 16–18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

174

Gambar 3.14.10 Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

174

Gambar 3.14.11 Prevalensi status gizi gemuk (IMT/U) remaja umur 16–18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas

175

xxxviii

2013

Gambar 3.14.12 Prevalensi status gizi kurus, BB lebih, obesitas penduduk dewasa (>18 tahun) menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

176

Gambar 3.14.13 Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT>25) pada laki-laki dan perempuan umur >18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

177

Gambar 3.14.14 Kecenderungan prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

177

Gambar 3.14.15 Prevalensi risiko KEK wanita umur 15-49 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

178

Gambar 3.15.1 Prevalensi kebutaan pada responden umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

180

Gambar 3.15.2 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

183

Gambar 3.15.3 Prevalensi katarak menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

185

Gambar 3.15.4 Proporsi tiga alasan utama penderita katarak belum menjalani operasi menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

185

Gambar 3.15.5 Prevalensi gangguan pendengaran penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

187

Gambar 3.15.6 Prevalensi ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013 (Tanda bintang (*) menyatakan tidak ada data)

187

xxxix

DAFTAR SINGKATAN µg/L : microgram per Liter ACT : Artemisinin-based combination therapy ADA : American Diabetes Assocation Amanat Persalinan : Menyambut Persalinan Agar Aman dan Selamat ANC : Antenatal care ANC 4x + : proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil

minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan. APN : Asuhan Persalinan Normal ART : Anggota Rumah Tangga Asabri : Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ASI : Air Susu Ibu Askes : Asuransi kesehatan BAB : Buang air besar Badan Litbangkes : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Balita : Bawah lima tahun BB : Berat Badan BB/TB : Berat badan/Tinggi Badan BB/U : Berat badan/umur BBLR : Berat Badan Lahir Rendah BP : Balai Pengobatan BPS : Badan Pusat Statistik BS : Blok Sensus Buku KIA : Buku Kesehatan Ibu dan Anak CPR : Contraceptive Prevalence Rate D : Diagnosis dokter/tenaga kesehatan D1 : Diploma 1 D3 : Diploma 3 DG : Diagnosis atau gejala Dinkes : Dinas Kesehatan DM : Diabetes Mellitus DO : Diagnosis tenaga kesehatan atau minum obat sendiri EIU : Eksresi Iodium Urin EKG : Elektro Kardio Gram EMD : Effective Medical Demand FKM : Fakultas Kesehatan Masyarakat G : Gejala klinis spesifik penyakit GAKI : Gangguan Akibat Kekurangan Iodium GATS : Global Adults Tobacco Survey GDP : Glukosa Darah Puasa GDPP : Glukosa Darah Pasca Pembebanan GDS : Glukosa Darah Sewaktu GGK : Gagal ginjal kronik Hb : Hemoglobin HDL : High-Density Lipoprotein HIV/ AIDS : Human Immunodeficiency Virus Infection / Acquired Immunodeficiency

Syndrome ICCIDD : International Council for Control of Iodine Deficiency Disorders ICF : International Classification of Functioning IFCC : International Federation of Clinical Chemistry IMD : Inisiasi Menyusu Dini

xl

IMT : Indeks Massa Tubuh Indeks DMF-T : Penjumlahan dari D(Decay), M(Missing), F(Filling)-T (teeth) IPKM : Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut IU : International Unit IUD : Intra Uterine Device Jamkesda : Jaminan Kesehatan Daerah Jamkesmas : Jaminan Kesehatan Masyarakat Jamsostek : Jaminan Sosial Tenaga Kerja JMP : Joint Monitoring Programme JNC : Joint National Committee JPK : Jaminan Pemeliharaan Kesehatan K1 : Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil

minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan K1 ideal : Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil

pertama kali pada trimester 1 K4 : Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil

selama 4 kali dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1 kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3.

Kadinkes : Kepala Dinas Kesehatan Kasie litbang : Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Kasie Litbangda : Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Daerah Kasie puldata : Kepala Seksi Pengumpulan Data Kasubdin : Kepala Sub Dinas Katim : Ketua Tim KB : Keluarga Berencana KDRT : Kekerasan Dalam Rumah Tangga KEK : Kurang Energi Kronis KEPK : Komisi Etik Penelitian Kesehatan Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan Kespro : Kesehatan Reproduksi KF : Pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu selama periode 6 jam

sampai 42 hari setelah melahirkan. KIA : Kesehatan Ibu dan Anak KIO3 : Kalium Iodat KIPI : Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi KK : Kepala Keluarga KLB : Kejadian Luar Biasa KMS : Kartu Menuju Sehat KN : Kunjungan Neonatal Korwil : Koordinator Wilayah Lansia : Lanjut usia LDL : Low-Density Lipoprotein LH : Lahir Hidup LiLA : Lingkar Lengan Atas Linakes : Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (dokter spesialis

kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan) LM : Lahir Mati LN : Luar Negeri LP : Lingkar Perut MDGs : Millennium Development Goals Menkes : Menteri Kesehatan

xli

MI : Missing Indeks MKJP : Metode Kontrasepsi Jangka Panjang MPASI : Makanan Pendamping Air Susu Ibu Nakes : Tenaga Kesehatan NCEP-ATP III : National Cholesterol Education Program- Adult Treatment Panel III NLIS : Nutrition Landscape Information System Non MKJP : Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang OAT : Obat Anti Tuberkulosis OG : Obat Generik OT : Obat Tradisional P4K : Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi PB : Panjang Badan PBTDK : Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan PCA : Principal Component Analysis PD3I : Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi PDBK : Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan PERDAMI : Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia PERHATI : Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan Perpres : Peraturan Presiden PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat PJK : Penyakit Jantung Koroner PM : Penyakit Menular PMT : Pemberian Makanan Tambahan PNS : Pegawai Negeri Sipil Polindes : Pondok Bersalin Desa Poltekkes : Politeknik Kesehatan Poskesdes : Pos Kesehatan Desa Poskestren : Pos Kesehatan Pesantren Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu PPI : Program Pengembangan Imunisasi Ppm : Part per million PPS : Probability Proportional To Size PPOK : Penyakit Paru Obstruksi Kronis PSU : Primary Sampling Unit PT : Perguruan Tinggi PTI : Performance Treatment Index PTM : Penyakit Tidak Menular PUS : Pasangan Usia Subur Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat Pustu : Puskesmas Pembantu PWS KIA : Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak RB : Rumah Bersalin RDT : Rapid Diagnostic Test RI : Republik Indonesia Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar RKD : Riskesdas RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RS : Rumah Sakit RT : Rumah Tangga RTI : Required Treatment Index SD/MI : Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah SDM : Sumber Daya Manusia

xlii

SKN : Sistem Kesehatan Nasional SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SMA/MA : Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah SMP/MTS : Sekolah Menengah Pertama/MadrasahTsanawiyah SP 2010 : Sensus Penduduk 2010 SPK : Standar Pelayanan Kebidanan SRQ : Self Reporting Questionnaire STIKES : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Susenas : Survei Sosial Ekonomi Nasional TB : Tinggi Badan TB : Tuberkulosis TB/U : Tinggi badan/Umur TGT : Toleransi Glukosa Terganggu TKP : Tempat Kejadian Perkara TNI/Polri : Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian RI U : Ukur UI : Universitas Indonesia UKBM : Upaya kesehatan Bersumberdaya Masyarakat UNAIR : Universitas Airlangga UNHAS : Universitas Hasanuddin UNICEF : United Nations Children’s Fund USI : Universal Salt Iodization UU : Undang – Undang WG : Washington Group WHO : World Health Organization WHODAS 2 : WHO Disability Assessment Schedule 2 WUS : Wanita Usia Subur Yankestrad : Pelayanan Kesehatan Tradisional

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Visi rencana pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025 adalah Indonesia yang maju, adil, dan makmur. Visi tesebut direalisasikan pada delapan misi pembangunan. Misi pembangunan kesehatan 2010-2014 adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik.Sistem kesehatan nasional pada tahun 2012 memasukkan penelitian dan pengembangan dalam salah satu sub sistem dari tujuh sub sistem yang ada.

Untuk mencapai visi dan misi di atas, maka salah satu strategi Kementerian Kesehatan RI adalah “Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif”. Untuk itu diperlukan data kesehatan berskala nasional berbasis fasilitas maupun komunitas yang dikumpulkan secara berkesinambungan dan dapat dipercaya

i.

Dalam upaya menyediakan data kesehatan yang berkesinambungan maka Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI melaksanakan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Riskesdas merupakan Riset Kesehatan berbasis komunitas yang dirancang dapat berskala nasional, propinsi dan kabupaten/kota. Riskesdas dilaksanakan secara berkala dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian program kesehatan sekaligus sebagai bahan untuk perencanaan kesehatan. Pada buku ini laporan difokuskan pada hasil pelaksanaan Riskesdas di provinsi Nusa Tenggara Timur.

Pada tahun 2007, Riskesdas pertama telah dilakukan, meliputi indikator kesehatan utama, yaitu status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas, dan status gizi), kesehatan lingkungan, konsumsi gizi rumahtangga, pengetahuan-sikap-perilaku kesehatan (Flu Burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol, aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan) dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan (akses, cakupan, mutu layanan, pembiayaan kesehatan), termasuk sampel darah anggota rumah tangga (kecuali bayi) pada sub sampel daerah perkotaan.

Hasil Riskesdas 2007 telah banyak dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan dan penyelenggara program kesehatan baik di pusat maupun daerah. Selain telah digunakan sebagai bahan penyusunan RPJMN 2010-2014, data Riskesdas juga telah digunakan sebagai dasar penyusunan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang berguna untuk membuat peringkat kabupaten/kota berdasarkan hasil pembangunan kesehatan serta sebagai dasar Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK).

Pada tahun 2013 dilakukan kembali Riskesdas yang serupa dengan tahun 2007 yaitu dengan keterwakilan sampelhingga tingkat Kabupaten/Kota.Untuk pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut mewakili tingkat provinsi dan sampel biomedis mewakili tingkat nasional.

Tahapan persiapan Riskesdas 2013 telah dilakukan selama satu tahun pada 2012, diawali dengan meninjau kembali indikator kesehatan yang dikumpulkan pada Riskesdas 2007 untuk meningkatkan kualitas data. Selanjutnya beberapa indikator ditambahkan seperti Pemukiman dan Ekonomi, Farmasi, Kesehatan Mental ditambah informasi mengenai gangguan jiwa berat dan pasung, Kesehatan Reproduksi,Frekuensi Konsumsi Makanan Olahan yang Bersumber dari Tepung Terigu,

2

Kesehatan Indera Pendengaran, Pemeriksaan Iodium dalam Air dan Pemeriksaan Iodium Urin pada Wanita Usia Subur (WUS). Indikator status ekonomi dikembangkan dari komposit variabel aset yang termasuk dalam blok Pemukiman dan Ekonomi. Untuk merespon polemik mengenai sunat perempuan, pada Riskesdas 2013 Sebaliknya ada satu indikator Riskesdas 2007 yang tidak dikumpulkan seperti konsumsi gizi rumah tangga dengan alasan akan dilakukan survei tersendiri. Demikian pula ada beberapa variabel yang tidak dikumpulkan antara lain ketanggapan pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang HIV/AIDS, kebiasaan minum minuman beralkohol, pengetahuan tentang flu burung, dan kebisingan di sekitar rumah tangga.

Riskesdas diselenggarakan di seluruh Provinsi di Indonesia termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur berfungsi menyediakan informasi kesehatan yang mewakili kabupaten/kota di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur.

1.2. Ruang Lingkup Riskesdas 2013

Seperti telah diuraikan sebelumnya, fokus Riskesdas 2013 di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini adalah untuk mengumpulkan data berbasis masyarakat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi perubahan status kesehatan di tingkat Kabupaten/kota, termasuk IPKM dan indikator MDGs kesehatan.

1.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian untuk Riskesdas 2013 Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu:

1) Bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat provinsi, dan kabupaten/kota tahun 2013?

2) Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik di setiap kabupaten/kota? 3) Apa dan bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di

tingkat provinsi, dan kabupaten/kota? 4) Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan? 5) Bagaimana korelasi antar faktor terhadap status kesehatan?

Laporan ini baru dapat menjawab pertanyaan penelitian 1 dan 2 sedangkan pertanyaan penelitian 3, 4 dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk analisis lanjut.

1.4. Tujuan Riskesdas 2013 Tujuan Umum: Menyediakan informasi berbasis bukti untuk perumusan kebijakan pembangunan kesehatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Tujuan Khusus:

1) Menyediakan informasi untuk perencanaan kesehatan termasuk alokasi sumber daya di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

2) Menyediakan peta status dan masalah kesehatan di tingkat kabupaten/kota Provinsi Nusa Tenggara Timurpada tahun 2013.

3) Menyediakan informasi perubahan status kesehatan masyarakat yang terjadi dari 2007 ke 2013.

4) Menilai kembali disparitas wilayah kabupaten kota menggunakan IPKM. 5) Mengkaji korelasi antar faktor yang menyebabkan perubahan status kesehatan.

1.5. Kerangka Pikir Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur menggunakan kerangka pikir Riskesdas 2013 Nasional.

FUNGSI SISTEM KESEHATAN TUJUAN SISTEM KESEHATAN

-------: tidak dikumpulkan dalam Riskesdas 2013

Gambar 1.1. Kerangka pikir Riskesdas 2013 dikembangkan dari Gabungan Sistem Kesehatan WHO dengan konsep model BLUM

Manajemen Sumber daya

Akses Pelayanan Kesehatan Derajat Kesehatan

Pembiayaan Kesehatan Pemerataan & Keadilan

Pembiayaan Kesehatan

- Status Gizi - Kesehatan Reproduksi - Kesehatan Bayi dan Balita - Morbiditas Penyakit Menular - Penyakit Tidak Menular - Penyakit Bawaan, - Gangguan Indera - KesehatanJiwa dan gangguan

emosional - Gigi dan Mulut

- Cedera, - disabilitas - Kecacatan -Pemeriksaan Spesimen Darah - Status Iodium

- Pendidikan, Pekerjaan, Status Ekonomi

- Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Kesehatan - Farmasi dan Pelayanan Kesehatan

Tradisional

Kesehatan Lingkungan

Visi, Misi, strategi dan kebijakan

4

1.6. Alur Pikir Riskesdas 2013

Alur pikir (Gambar 1.2) ini secara skematis menggambarkan enam tahapan penting dalam Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2007 dan 2013. Keenam tahapan ini terkait erat dengan ide dasar Riskesdas untuk menyediakan data kesehatan yang sahih, akurat dan dapat dibandingkan serta dapat menghasilkan estimasi yang dapat mewakili rumah tangga dan individu sampai ke tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Siklus yang dimulai dari Tahapan 1 hingga Tahapan 6 menggambarkan sebuah pemikiran yang sistematis dan berlangsung secara berkesinambungan. Dengan demikian, hasil Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur2013 bukan saja harus mampu menjawab pertanyaan kebijakan, namun dapat memberikan arah bagi pengembangan kebijakan berikutnya.

Untuk menjamin kelayakan dan ketepatgunaan dalam penyediaan data kesehatan yang sahih, akurat dan dapat dibandingkan, maka pada setiap tahapan Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur2013 dilakukan upaya penjaminan mutu yang ketat. Substansi pertanyaan, pengukuran dan pemeriksaan Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur2013 mencakup data kesehatan yang mengadaptasi sebagian pertanyaan World Health Survey

iitahun 2002 yang dikembangkan

oleh World Health Organization dan diacu oleh 70 negara di dunia.

Gambar 1.2

Alur Pikir Riskesdas 2013

5

1.7. Pengorganisasian Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur2013 Dasar hukum persiapan Riskesdas 2013 adalah Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 113/MENKES/SK/III/2012 tentang Tim Riset Kesehatan Nasional Berbasis Komunitas Tahun 2012-2014. Organisasi persiapan pelaksanaan Riskesdas 2013 dikukuhkan dengan Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan No. HK.02.04/I.4/15/2013, tanggal 2 Januari 2013 tentang Tim Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013.

Organisasi pengumpulan data Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013 adalah sebagai berikut:

1. Di tingkat provinsi dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi:

Tim Pelaksana di tingkat provinsi diketuai oleh Kadinkes Provinsi, Kasubdin Bina Program, Peneliti Badan Litbangkes, dan Kasie Litbang/ Kasie Puldata Dinkes Provinsi.

2. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Kabupaten/Kota :

Tim Pelaksana di tingkat kabupaten/ kota diketuai oleh Kadinkes Kabupaten, Kasubdin Bina Program tingkat kabupaten, Peneliti Badan Litbangkes, Politeknik Kesehatan (Poltekkes), dan Kasie Litbangda Dinkes Kab/Kota.

Di tingkat kabupaten/ kota dibentuk tim pengumpul dan manajemen data. Setiap tim pengumpul data mencakup 6 BS (150 Rumah Tangga). Tiap tim pengumpul data terdiri dari 5 orang yang diketuai oleh seorang ketua tim (Katim). Kualifikasi tim pengumpul dan manajemen data termasuk Katim, minimal mempunyai pendidikan D3 Kesehatan.

Tenaga pengumpul dan manajemen data direkrut dari Poltekkes, STIKES, Universitas (Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kedokteran Gigi), dll. Di beberapa daerah yang kekurangan tenaga pengumpul dan manajemen data digunakan staf dinas kesehatan kabupaten/ kota dengan persetujuan kepala bidang masing-masing untuk dibebaskan dari tugas rutin.

1.8. Manfaat Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013

Manfaat Penelitian 1. Untuk kabupaten/kota:

a. Mampu menyusun perencanaan program lebih akurat sesuai perkembangan masalah kesehatan dalam enam tahun terakhir.

b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti. c. Mampu merencanakan dan melaksanakan survei kesehatan lanjutan di wilayahnya.

2. Untuk provinsi dan pusat: a. Mampu memetakan perubahan masalah kesehatan dan menajamkan prioritas

pembangunan kesehatan antar wilayah. b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti. c. Mampu merencanakan penelitian lanjutan sesuai dengan permasalahan kesehatan.

3. Untuk Peneliti a. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut. b. Sebagai sumber data untuk pengembangan indeks kesehatan.

4. Untuk Institusi Pendidikan a. Sebagai sumber data untuk bahan penulisan tugas akhir. b. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut dikaitkan dengan sumber data lainnya.

1.9. Persetujuan Etik Riskesdas 2013 Pelaksanaan Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2013, telah memperoleh persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK), Badan Litbangkes Kementerian

6

Kesehatan RI dengan nomor LB.02.01/5.2/KE.006/2013. Persetujuan etik, naskah penjelasan serta formulir Informed Consent (Persetujuan Setelah Penjelasan) dapat dilihat pada Lampiran.

7

BAB 2. METODOLOGI RISKESDAS

2.1. Desain Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sebuah survei dengan desain cross sectional. Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013 terutama dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di Povinsi Nusa Tenggara Timur, yang terwakili oleh penduduk di tingkat provinsi dan kabupaten.

2.2. Lokasi Sampel Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013 di tingkat kabupaten/kota berasal dari 21 kabupaten/kota yang tersebar merata di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

2.3. Populasi dan Sampel Populasi dalam Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013 adalah seluruh rumah tangga biasa yang mewakili 21 kabupaten/kota. Sampel rumah tangga dalam Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk (SP) 2010 Provinsi Nusa Tenggara Timur. Proses pemilihan rumah tangga dilakukan BPS dengan two stage sampling, sama dengan metode pengambilan sampel Riskesdas 2007/Susenas 2007. Berikut ini adalah uraian singkat proses penarikan sampel dimaksud.

Tabel 2.1 Distribusi sampel kesehatan masyarakat dan biomedis yang dapat dikunjungi menurut

kabupaten/kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota

Blok Sensus Target Sampel Kesehatan Masyarakat yang dikunjungi

Kesehatan Masyarakat Blok Sensus Rumah Tangga Anggota Rumah Tangga

Sumba Barat 18 18 436 2147 Sumba Timur 21 21 523 2118 Kupang 24 24 596 2124 Timor Tengah Selatan 26 26 637 2356 Timor Tengah Utara 21 21 511 1909 Belu 24 24 600 2772 Alor 19 19 475 1856 Lembata 19 19 473 1660 Flores Timur 21 21 522 1914 Sikka 22 22 542 2748 Ende 21 21 525 2075 Ngada 19 19 467 1556 Manggarai 22 22 550 2467 Rote Ndao 19 19 468 1766 Manggarai Barat 21 21 509 2054 Sumba Tengah 16 16 400 2023 Sumba Barat Daya 22 22 497 2167 Nagekeo 18 18 450 1879 Manggarai Timur 21 21 523 2113 Sabu Raijua 18 18 449 1576 Kota Kupang 24 24 594 2452

Nusa Tenggara Timur 436 436 10747 43732

8

Penarikan sampel Blok Sensus Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur memilih BS yang telah dikumpulkan SP 2013. Pemilihan BS dilakukan sepenuhnya oleh BPS dengan memperhatikan status ekonomi, dan rasio perkotaan/perdesaan. Untuk sampel biomedis, penarikan sampel dilakukan secara stratified random sampling dengan strata berdasarkan besarnya angka prevalensi malaria dan TB-paru hasil Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2007. Jumlah sampel yang dipilih untuk kesehatan masyarakat adalah sebesar 436 BS dengan 10.747 rumah tangga. Dari setiap kabupaten/kota diambil sejumlah BS yang representatif (mewakili) rumah tangga/anggota rumah tangga di kabupaten/kota tersebut. Dengan demikian dari 436 BS yang terpilih, semua BS berhasil dikunjungi (100%). Jumlah sampel BS, Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga yang dapat dikunjungi disetiap propinsi dapat dilihat pada Tabel 2.1. dan 2.2.

Tabel 2.2

Distribusi rumah tangga dan anggota rumah tangga sampel kesehatan masyarakat yang dapat dikunjungi (respon rate) menurut kabupaten/kota Propinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas

2013

Kabupaten/Kota Jumlah

Blok Sensus Dikunjungi

Jumlah Rumah Tangga Anggota Rumah Tangga

Target Dikunjungi Respon

rate (%)

Jumlah yang

terdata Diwawancara

Respon Rate (%)

Sumba Barat 18 450 436 96.9 2231 2147 96.2 Sumba Timur 21 525 523 99.6 2316 2118 91.5 Kupang 24 600 596 99.3 2131 2124 99.7 Timor Tengah Selatan 26 650 637 98.0 2531 2356 93.1 Timor Tengah Utara 21 525 511 97.3 1939 1909 98.5 Belu 24 600 600 100.0 2791 2772 99.3 Alor 19 475 475 100.0 1918 1856 96.8 Lembata 19 475 473 99.6 1663 1660 99.8 Flores Timur 21 525 522 99.4 2244 1914 85.3 Sikka 22 550 542 98.5 2753 2748 99.8 Ende 21 525 525 100.0 2307 2075 89.9 Ngada 19 475 467 98.3 1709 1556 91.0 Manggarai 22 550 550 100.0 2469 2467 99.9 Rote Ndao 19 475 468 98.5 1786 1766 98.9 Manggarai Barat 21 525 509 97.0 2269 2054 90.5 Sumba Tengah 16 400 400 100.0 2065 2023 98.0 Sumba Barat Daya 22 550 497 90.4 2318 2167 93.5 Nagekeo 18 450 450 100.0 1906 1879 98.6 Manggarai Timur 21 525 523 99.6 2484 2113 85.1 Sabu Raijua 18 450 449 99.8 1843 1576 85.5 Kota Kupang 24 600 594 99.0 2533 2452 96.8

Nusa Tenggara Timur 436 10900 10747 98.6 46206 43732 94.6

Penarikan sampel Rumah Tangga /Anggota Rumah Tangga

Dari setiap blok sensus terpilih kemudian dipilih 25 (dua puluh lima) rumah tangga secara acak sederhana (simple random sampling). Pemilihan sampel rumah tangga ini dilakukan oleh Penanggung Jawab Tehnis Kabupaten yang sudah dilatih.

Penarikan sampel Biomedis

Pada BS yang terpilih untuk biomedis, rumah tangganya dan anggota rumah tangganya selain dikumpulkan variabel kesehatan masyarakat juga dilakukan pemeriksaan biomedis.

9

Pemeriksaan biomedis meliputi pemeriksaan glukosa darah, hemoglobin dan malaria. Pemeriksaan dilakukan langsung di lapangan sedangkan untuk pengambilan sampel biomedis meliputi pengambilan sampel darah, urin, dan air.

2.4. Variabel

Berbagai pertanyaan terkait dengan indikator bidang kesehatan dioperasionalisasikan menjadi pertanyaan riset dan akhirnya dikembangkan menjadi variabel yang dikumpulkan dengan menggunakan berbagai cara. Dalam Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013 terdapat kurang lebih 315 variabel yang tersebar dalam 2 (dua) jenis kuesioner (lihat file terlampir), dengan rincian variabel pokok sebagai berikut:

Blok I. Pengenalan tempat

Blok II. Keterangan Rumah Tangga

Blok III. Keterangan Pengumpul Data

Blok IV. Keterangan Anggota Rumah Tangga

Blok V. Akses dan Pelayanan Kesehatan

Blok VI. Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional

Blok VII. Gangguan Kesehatan Jiwa Berat dalam Keluarga

Blok VIII. Kesehatan Lingkungan

Blok IX. Pemukiman dan Ekonomi.

Blok X. Keterangan Wawancara Individu

Blok XI, Keterangan Individu

a. Penyakit Menular

b. Penyakit tidak Menular

c. Cedera

d. Gigi dan Mulut

e. Ketidakmampuan/Disabilitas

f. Kesehatan Jiwa

g. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku

h. Pembiayaan Kesehatan

i. Kesehatan Reproduksi

j. Kesehatan Anak dan Imunisasi

k. Pengukuran dan Pemeriksaan

l. Pemeriksaan mata

m. Pemeriksaan THT

n. Pemeriksaan Status Gigi Permanen

o. Pengambilan Spesimen Darah dan Sampel Urin.

10

2.5. Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013 menggunakan alat dan cara pengumpul data yang sama dengan Riskesdas 2013 nasional dengan rincian sebagai berikut:

1) Pengumpulan data rumah tangga dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan Kuesioner RKD13.RT dan Pedoman Pengisian Kuesioner

a. Responden untuk Kuesioner RKD13.RT adalah Kepala Keluarga atau Ibu rumah Tangga atau Anggota Rumah Tangga yang dapat memberikan informasi.

b. Dalam Kuesioner RKD13.RT terdapat keterangan tentang apakah seluruh anggota rumah tangga diwawancarai langsung, didampingi, diwakili, atau sama sekali tidak diwawancarai.

2) Pengumpulan data individu pada berbagai kelompok umur dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan Kuesioner RKD13.IND dan Pedoman Pengisian Kuesioner.

a. Responden untuk Kuesioner RKD13.IND adalah setiap anggota rumah tangga.

b. Khusus untuk anggota rumah tangga yang berusia kurang dari 15 tahun, dalam kondisi sakit maka wawancara dilakukan terhadap anggota rumah tangga yang menjadi pendampingnya.

3) Instrumen yang akan digunakan pada Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut:

a. Timbangan badan

b. Alat ukur tinggi badan

c. Alat ukur Lingkar pinggang dan Lengan atas

d. Lup, senter, pinhole, tali ukur 6 meter, snellen chart

e. Spekulum

f. Kaca mulut, antiseptik, tisu, sarung tangan, masker

g. Peralatan pemeriksaan dan pengiriman spesimen biomedis (darah, urin, air dan

garam)

4) Untuk data biomedis, hasil pemeriksaan darah dan pengambilan spesimen dikumpulkan

dengan menggunakan formulir tersendiri.

2.6. Manajemen Data

Proses manajemen data Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013 terdiri dari Receiving Batching, Edit, Entri, Penggabungan Data, Cleaning, dan Imputasi. Proses manajemen data dilakukan di lokasi pengumpulan data dan juga dipusat yaitu di Balitbangkes Jakarta. Proses yang dilakukan di lokasi pengumpulan data adalah Receiving Batching, Edit, Entri, pengiriman data, sedangkan proses lainnya dilakukan oleh tim manajemen data di Pusat. Tim Manajemen Data yang dipusatkan di Jakarta mengkoordinir manajemen data Riskesdas 2013 secara keseluruhan, baik proses maupun asal data. Terobosan manajemen data Riskesdas 2013 adalah hasil entri di lokasi pengumpulan data dikirim ke tim manajemen data melalui email dan laporan kemajuan pengumpulan data dan manajemen data dapat dikomunikasikan dan dilihat dalam web. Urutan kegiatan manajemen data secara rinci sebagai berikut.

11

2.6.1 Receiving Batching

Proses Receiving Batching adalah pencatatan penerimaan kuesioner hasil wawancara. Pencatatan dilakukan pada elektronik file yang berisi tentang identitas wilayah yang telah diwawancarai, jumlah Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga yang diwawancarai dan jumlah yang telah dientri. Manfaat dari proses ini untuk mencocokkan konsistensi jumlah data yang diwawancarai, dientri, dikirim, dan diterima oleh tim manajemen data. Selain itu untuk memantau sampel yang belum diwawancarai. Hal ini untuk menghindari adanya data yang hilang karena proses-proses input atau pengiriman elektronik.

2.6.2 Editing

Pengumpulan data Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013 dilaksanakan oleh tim yang terdiri dari empat pewawancara dan salah satunya merangkap menjadi Ketua Tim. Tim tersebut didampingi oleh penanggung jawab teknis (PJT) Kabupaten/Kota yang berfungsi sebagai supervisor yang terlibat langsung di lapangan selama kurang lebih satu bulan.

Dalam pelaksanaan pengumpulan data Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur2013, editing merupakan salah satu mata rantai yang secara potensial dapat menjadi kontrol kualitas data. Editing mulai dilakukan oleh supervisor atau PJT Kabupaten/Kota semenjak pewawancara selesai melakukan wawancara dengan responden. PJT Kabupaten/Kota harus memahami makna dan alur pertanyaan.

PJT Kabupaten/Kota melakukan editing kuesioner meliputi pemeriksaan kembali kelengkapan jawaban, termasuk konsistensi alur jawaban, untuk setiap responden pada setiap Blok Sensus. Kelengkapan jawaban dan konsistensi alur jawaban, antara lain seperti :

• Semua pertanyaan terisi sesuai dengan kelompok kriteria yang ditentukan, contoh pertanyaan kesehatan reproduksi hanya diperuntukkan bagi perempuan berumur 15-59 tahun.

• Blok pemeriksaan dan pengukuran sudah terisi • Memeriksa kesesuaian kode bahan makanan • Kelengkapan formulir TB dan formulir Malaria (T1 dan T2), termasuk stiker nomor

laboratorium, sebelum dilakukan entri data.

2.6.3 Entri

Program entri data Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013 dikembangkan menggunakan software CSPro 4.0. Program entri tersebut mencakup kuesioner Rumah Tangga, individu, Konsumsi, dan Pemeriksaan Malaria-TB yang dapat diintegrasikan. Entri Data kuesioner kesmas dan hasil pemeriksaan RDT malaria dilakukan oleh tim pengumpul data di lokasi pengumpulan data. Sedangkan data hasil pemeriksaan spesimen TB dari PRM di-entri oleh PJT Kabupaten/Kota. Hasil pemeriksaan apusan darah tebal malaria dilakukan oleh Tim Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan di Jakarta, maka entri data juga dilakukan oleh tim tersebut.

Pertanyaan pada kuesioner Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013 ditujukan untuk responden dengan berbagai kelompok umur yang berbeda. Kuesioner tersebut juga banyak mengandung skip questions (pertanyaan lompatan) yang secara teknis memerlukan ketelitian untuk menjaga konsistensi dari satu blok pertanyaan ke blok pertanyaan berikutnya. Oleh karena itu maka dibuat program entri yang diperkuat dengan batasan-batasan entri secara komputerisasi. Prasyarat ini menjadi penting untuk menekan kesalahan entri. Hasil pelaksanaan entri data ini menjadi salah satu bagian penting dalam proses manajemen data, khususnya yang berkaitan dengan cleaning data.

Data elektronik yang berupa file hasil entri data diserahkan oleh pengumpul data kepada PJT Kabupaten/Kota. PJT Kabupaten/Kota menerima data elektronik tersebut dan mengirimnya ke Tim Manajemen Data melalui email bersama file Receiving Batching bernama “Formulir Kontrol Data.xls”. Pengiriman dilakukan setiap selesai entri 1 (satu) Blok Sensus. Setelah mengirim data elektronik dan file formulir kontrol data, PJT Kabupaten/Kota

12

mengisi laporan kemajuan (progress report) berbasis web di http://puldata.litbang.depkes.go.id/adminweb/. Hasil kemajuan pengumpulan data, penerimaan data dan cleaning data dapat di akses melalui web di alamat http://puldata.litbang.depkes.go.id.

2.6.4 Penggabungan Data

File-file data yang telah dikirim oleh PJT Kabupaten/Kota, digabung oleh tim manajemen data. Setiap anggota tim manajemen data di Pusat, bertanggung jawab untuk menangani data dari 1 sampai dengan 2 provinsi. Penanggung jawab data melakukan penggabungan data, kemudian transfer data dari *.dat menjadi *.sav. Langkah selanjutnya cleaning sementara agar dapat segera memberi umpan balik pada tim pewawancara untuk memperbaiki data. Setelah seluruh data mempunyai status bersih sementara selesai digabung, dilanjutkan dengan penggabungan data elektronik secara nasional. Hasil penggabungan data dari 436 Blok Sensus terdiri dari file Rumah Tangga, file daftar Anggota Rumah Tangga, file Individu, file bahan makanan, file kandungan bahan makanan, dan file pemeriksaan TB paru.

2.6.5 Cleaning

Tahapan cleaning dalam manajemen data merupakan proses yang penting untuk menunjang kualitas. Proses ini dilakukan juga dalam Riskesdas 2013. Tim Manajemen Data di Pusat sudah melakukan cleaning awal pada data elektronik setiap provinsi pada saatmenerima data elektronik dari PJT Kabupaten/Kota. Apabila ada data yang perlu dikonfirmasi ke tim pengumpul data di Kabupaten, maka tim Manajemen Data Pusat akan berkoordinasi dengan PJT Kabupaten untuk entri ulang bila perlu dan mengirimkan kembali yang sudah diperbaiki melalui email.

Cleaning sementara hanya dilakukan pada variabel-variabel tertentu yang dianggap sangat berisiko untuk salah. Setelah penggabungan keseluruhan provinsi, dilakukan cleaning variabel secara keseluruhan.

Tim Manajemen Data menyediakan pedoman khusus untuk melakukan cleaning data Riskesdas. Perlakuan terhadap missing values, no responses, outliers amat menentukan akurasi dan presisi dari estimasi yang dihasilkan Riskesdas 2013.

2.6.6 Imputasi

Imputasi adalah proses untuk penanganan data-data missing dan outlier. Tim Manajemen Data melakukan imputasi data elektronik secara nasional. Pada data Riskesdas 2013 imputasi dilakukan untuk data-data kontinu yang outlier. Sedangkan data missing hanya ada pada pertanyaan blok perilaku seksual dan tetap dipertahankan missing dengan keterangan tidak bersedia menjawab.

2.7. Keterbatasan Data Riskesdas 2013 Keterbatasan data Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur2013 mencakup keterbatasan metodologis dan keterbatasan manajemen. Keterbatasan metodologi Beberapa indikator MDGs Kesehatan tidak dapat dikumpulkan dalam Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013 karena besar sampel yang tidak memadai dan cara pengumpulan/ pengukuran/pemeriksaan yang tidak dapat dilaksanakan dalam survai kesehatan rumah tangga, yaitu :

a. Angka Kematian Bayi AKB), Angka Kematian Balita (AKABA) dan Angka Kematian Ibu (AKI)

b. Prevalensi HIV/AIDS ibu hamil yang berusia antara 15-24 tahun

13

c. Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi d. Rasio kehadiran disekolah anak yatim piatu berusia 10-14 tahun karena

HIV/AIDS terhadap kehadirandi sekolah anak yatim piatu berusia 10-14 tahun. e. Angka kematian karena malaria f. Angka kematian karena TB g. Angka kesembuhan penderita TB

Keterbatasan manajemen operasional Beberapa keterbatasan yang disebabkan faktor manajemen antara lain adalah :

1) Blok sensus tidak terjangkau, karena ketidak-tersediaan alat transportasi menuju lokasi dimaksud, atau karena kondisi alam yang tidak memungkinkan.

2) Sejumlah rumah tangga yang menjadi sampel ternyata tidak seluruhnya dapat dijumpai oleh Tim Enumerator 2013. Rumah tangga yang berhasil dikunjungi Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013 adalah sebanyak 98,6 persen(lihat Tabel 2.2).

3) Sejumlah anggota rumah tangga dari rumah tangga yang terpilih tidak seluruhnya bisa diwawancarai oleh Tim Enumerator Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013. Pada saat pengumpulan data dilakukan sebagian anggota rumah tangga tidak ada di tempat. Jumlah anggota rumah tangga yang berhasil dikumpulkan adalah 94,6 persen. (lihat Tabel 2.2).

2.8. Pengolahan dan Analisis Data

Hasil pengolahan dan analisis data dipresentasikan pada Bab Hasil dan Pembahasan Riskesdas yang mengikuti blok kuesioner Riskesdas. Jumlah sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur2013 yang terkumpul seperti tercantum pada tabel 2.2.

Pada laporan ini seluruh analisis dilakukan berdasarkan jumlah sampel rumah tangga maupun anggota rumah tangga setelah missing values dan outlier dikeluarkan. Seluruh variabel Riskedas pada saat analisis dilakukan prosedur yang sama, yaitu mengeluarkan missing values dan outlier serta dilakukan pembobotan sesuai dengan jumlah masing-masing sampel.

Jumlah sampel Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur2013cukup untuk kepentingan analisis yang menberikan gambaran nasional maupun provinsi. Pada bab hasil dari masing-masing blok menjelaskan jumlah sampel yang digunakan untuk kepentingan analisis.

14

BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sesuai dengan tujuan dari Riskesdas 2013 yaitu memberikan informasi terkini keadaan kesehatan masyarakat, maka hasil dan pembahasan berikut khusus menyajikan indikator untuk menjawab. Beberapa indikator terkait goal dimaksud juga disajikan agar informasi yang dibahas menjadi lebih lengkap.

3.1 Akses Pelayanan Kesehatan Akses Pelayanan Kesehatan dalam Riskesdas 2013 mengetahui keberadaan fasilitas kesehatan yang terdiri dari rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, posyandu, poskesdes atau poskestren dan polindes. Moda transportasi yang dapat digunakan oleh rumah tangga menuju fasilitas kesehatan yang terdiri dari mobil pribadi, kendaraan umum, jalan kaki, sepeda motor, sepeda, perahu, transportasi udara dan lainnya serta penggunaan lebih dari dari satu moda transportasi atau kombinasi. Waktu tempuh dengan moda transportasi tersebut yang paling sering digunakan oleh rumah tangga dalam bentuk menit. Kemudian yang terakhir memperoleh gambaran tentang biaya atau ongkos transportasi oleh rumah tangga menuju fasilitas kesehatan dalam satu kali pergi.

3.1.1 Keberadaan Fasilitas Kesehatan

Pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas kesehatan (faskes) yang terdiri dari rumah sakit pemerintah dan swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu (pustu), praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, posyandu, poskesdes atau poskestren, dan polindes, terkait erat dengan akses rumah tangga terhadap faskes. Sampel rumah tangga yang dianalisis sebanyak 10.747 rumah tangga yang diwawancarai. Data yang ditampilkan berupa persentase rumah tangga dengan pengetahuan tentang keberadaan faskes tertentu.

Keberadaan fasilitas kesehatan provinsi menurut per kabupaten/kota pada hasil ini diuraikan tentang pengetahuan rumah tangga pada rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, bidan praktek dan posyandu. Data secara lengkap tentang fasilitas kesehatan ini secara per kabupaten/kota dan berdasarkan karakteristik yang diuraikan tentang tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan dapat dilihat pada buku Riskesdas Provinsi 2013 dalam angka.

Gambar 3.1.1 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah dan rumah sakit

swasta menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

42,8

23

,7

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

Man

ggar

ai B

arat

Sum

ba T

enga

h

Man

ggar

ai T

imur

Nag

ekeo

Sik

ka

Alo

r

Kup

ang

Man

ggar

ai

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Sab

u R

aiju

a

Sum

ba T

imur

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Nga

da

Rot

e N

dao

Tim

or T

enga

h U

tara

Sum

ba B

arat

Day

a

Bel

u

Flo

res

Tim

ur

End

e

Lem

bata

Kot

a K

upan

g

Sum

ba B

arat

RS Pemerintah RS Swasta

15

Gambar 3.1.1, menunjukkan secara provinsi 42,8 persen rumah tangga mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah, sedangkan rumah sakit swasta diketahui oleh 23,7 persen rumah tangga. Rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah tertinggi di Sumba Barat (93,1%) sedangkan terendah di Manggarai Barat (1,2%). Sedangkan pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan rumah sakit swasta tertinggi juga masih di Sumba Barat (91,7%) dan terendah di Manggarai Barat (0,6%).

Gambar 3.1.2 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan bidan praktek atau rumah bersalin

menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013 Tanda (*) dimaksudkan tidak ada data.

Pada gambar 3.1.2 menunjukkan pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan praktek bidan atau rumah bersalin secara provinsi sangat rendah yaitu10,3 persen, namun jika dilihat antar kabupaten/kota, maka tertinggi di Kota Kupang (44,6%) dan terendah di Sabu Raijua (0,0%).

Gambar 3.1.3 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan posyandu menurut kabupaten/kota,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

10,3

44,6

0,0

10,0

20,0

30,0

40,0

50,0

Sab

u R

aiju

a

Man

ggar

ai B

arat

Sum

ba T

enga

h

Tim

or T

enga

h U

tara

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Nag

ekeo

Sik

ka

Rot

e N

dao

Kup

ang

Sum

ba B

arat

Day

a

Alo

r

Flo

res

Tim

ur

Man

ggar

ai

Nga

da

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Man

ggar

ai T

imur

Sum

ba T

imur

Sum

ba B

arat

End

e

Bel

u

Lem

bata

Kot

a K

upan

g

42,1

82,1

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

Man

ggar

ai B

arat

Kup

ang

Tim

or T

enga

h U

tara

Nag

ekeo

Sik

ka

Sum

ba B

arat

Day

a

Nga

da

Sum

ba T

enga

h

Rot

e N

dao

Man

ggar

ai

Alo

r

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Bel

u

Flo

res

Tim

ur

Sum

ba T

imur

Kot

a K

upan

g

End

e

Lem

bata

Sab

u R

aiju

a

Man

ggar

ai T

imur

Sum

ba B

arat

* *

16

Pengetahuan rumah tentang keberadaan posyandu secara provinsi yaitu 42,1 persen. Jika dilihat menurut kabupaten/kota, maka tertinggi di Sumba Barat (82,1%) dan terendah di Manggarai Barat (3,9%).

3.1.2 Keterjangkauan Fasilitas Kesehatan

Keterjangkauan faskes dalam Riskesdas 2013 ini dilihat dari aspek moda transportasi yang digunakan, waktu tempuh (dalam satuan menit), dan biaya transportasi menuju faskes. Moda transportasi yang digunakan menuju faskes dapat berupa mobil pribadi, kendaraan umum, jalan kaki, sepeda motor, sepeda, perahu, transportasi udara (kecuali ke posyandu, poskesdes, dan polindes) dan yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi. Waktu tempuh rumah tangga menuju faskes dihitung dalam satuan menit dan dibagi menjadi 4 kategori, yaitu ≤15 menit; 16 – 30 menit; 31-60 menit; dan >60 menit. Biaya transportasi menuju faskes dikelompokkan dalam 3 kategori untuk pengobatan modern (rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas, praktek dokter atau klinik dan praktek bidan atau rumah bersalin, yaitu ≤ Rp.10.000; >Rp.10.000 – 50.000 dan >Rp.50.000,- dan 2 kategori untuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yaitu di posyandu, poskesdes atau poskestren dan polindes yaitu ≤ Rp.10.000 dan >Rp.10.000.

Gambar 3.1.4

Proporsi moda transportasi ke rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Proporsi rumah tangga yang menggunakan berbagai moda transportasi sepeda motor menuju rumah sakit pemerintah berdasarkan tempat tinggal di perkotaan 53,3 persen dan perdesaan 27,4 persen. Untuk penggunaan kendaraan umum di perkotaan 30,2 persen dan perdesaan 52,3 persen. Sedangkan yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi di perkotaan 10,1 persen sedangkan di perdesaan 17,2 persen. Dalam hal karakteristik kuintil indeks kepemilikan, semua moda transportasi tidak menunjukkan adanya hubungan yang linier dengan kuintil, kecuali sepeda motor menunjukkan hubungan linier mulai kuintil menengah bawah dimana makin tinggi kuintil makin tinggi penggunaannya. Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

Perkotaan Perdesaan Terbawah Menengahbawah

Menengah MenengahAtas

Teratas

Kendaraan umum Jalan kaki Sepeda motor Lebih dari 1 moda

17

Gambar 3.1.5

Proporsi moda transportasi ke Puskesmas berdasarkan karakteristik, Provinsi Nusa TenggaraTimur, Riskesdas 2013

Proporsi rumah tangga menuju puskesmas yang dapat menggunakan kendaraan umum di perkotaan 21,5 persen dan perdesaan 23,0 persen. Sedangkan yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi di perkotaan 6,1 persen dan perdesaan 7,1 persen. Rumah tangga yang menggunakan sepeda motor di perkotaan 55,3 persen dan perdesaan 33,6 persen, sedangkan yang jalan kaki di perkotaan 10,4 persen dan perdesaan 35,5 persen. Menurut kuintil indeks kepemilikan bahwa yang tertinggi adalah dengan sepeda motor, tertinggi pada rumah tangga teratas (64,6%) dan terendah rumah tangga menengah bawah (25,6%). Sedangkan pada pemakaian kendaraan umum tertinggi pada rumah tangga menengah (31,1%) dan terendah di rumah tangga teratas (16,0%). Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.Adapun karakteristik Kuintil Indeks Kepemilikan menunjukkan bahwa hanya moda transportasi sepeda motor yang jelas kaitannya dengan kuintil dimana makin tinggi kuintil makin tinggi penggunaannya sedangkan moda transportasi lainnya tidak jelas kaitannya. Beberapa gambar yang dikemukakan berikut ini adalah tentang waktu tempuh ke fasilitas kesehatan. Penghitungan waktu tempuh ini hanya dilakukan secara umum saja dan tidak mempertimbangkan moda transportasi yang digunakan.

Gambar 3.1.6

Waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan terdekat menurut pengetahuan rumah tangga, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

Perkotaan Perdesaan Terbawah Menengahbawah

Menengah MenengahAtas

Teratas

Kendaraan umum Jalan kaki Sepeda motor Lebih dari 1 moda

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

≤15 menit 16-30 menit 31-60 menit >60 menit

18

Gambar 3.1.6 menunjukkan waktu tempuh rumah tangga menuju fasilitas kesehatan di rumah sakit pemerintah tertinggi pada > 60 menit (29,0%) dan 16-30 menit (28,8 %) serta terendah 31-60 menit (19,1 %). Pola ini hampir sama dengan waktu tempuh menuju rumah sakit swasta dimana tertinggi pada 16-30 menit (29,5 %) dan terendah 31-60 menit (17,2 %). Sedangkan pada fasilitas kesehatan di puskesmas atau pustu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, poskesdes atau poskestren, polindes dan posyandu terbanyak pada waktu tempuh ≤ 15 menit. Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

Gambar 3.1.7

Waktu tempuh menuju rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Gambar 3.1.7, waktu tempuh rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik tempat tinggal, waktu tempuh ≤ 15 menit dan 16-30 menit lebih tinggi persentasenya di perkotaan sedangkan waktu 31-60 menit dan > 60 menit lebih tinggi di perdesaan. Karakteristik kuintil indeks kepemilikan memperlihatkan bahwa makin tinggi kuintil, makin tinggi persentase waktu tempuh ≤ 15 menit dan 16-30 menit dan sebaliknya untuk waktu tempuh 31-60 menit dan > 60 menit. Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

Gambar 3.1.8 Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan terdekat, Provinsi Nusa Tenggara Timur,

Riskesdas 2013

0,0

10,0

20,0

30,0

40,0

50,0

60,0

Perkotaan Perdesaan Terbawah Menengahbawah

Menengah MenengahAtas

Teratas

≤ 15’ 16-30’ 31-60’ >60’

19

Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin dengan 3 kategori yaitu ≤ Rp.10.000,-; >Rp.10.000 – Rp.50.000 dan > Rp.50.000,-. Gambar 3.1.8 menunjukkan biaya transportasi masih didominasi pada ≤ Rp.10.000,- di rumah sakit pemerintah (57,7%), rumah sakit swasta (65,2%), puskesmas atau puskesmas pembantu (92,7%), dokter praktek atau klinik (77,9%) dan praktek bidan atau rumah bersalin (80,0%). Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

Gambar 3.1.9 Biaya transportasi menuju UKBM terdekat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Biaya transportasi menuju Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat seperti Poskesdes atau poskestren, polindes dan posyandu dibuat dalam 3 kategori yaitu ≤ Rp.10.000,-; >Rp.10.000 – Rp.50.000 dan > Rp,50.000,-. Pada biaya transportasi ini masih banyak yang ≤Rp.10.000,- yaitu di poskesdes atau poskestren (92,1%), polindes (96,0%) dan posyandu (97,2%). Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

3.2. Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional

Bahasan Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) bertujuan mengetahui proporsi rumah tangga (RT) yang menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi), proporsi rumah tangga yang memiliki pengetahuan benar tentang Obat Generik (OG) dan sumber informasi tentang OG. Pertanyaan Yankestrad mencakup jenis dan alasan memanfaatkan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir. Sampel yang dianalisis dikelompokkan menjadi tiga: 1) Obat dan Obat Tradisional (OT); 2) Pengetahuan rumah tangga tentang obat generik (OG), dan 3) Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad). Farmasi dan Yankestrad merupakan bahasan baru yang dikumpulkan informasinya pada Riskesdas 2013. Data rinci mengenai farmasi dan yankestrad dapat ditemui pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

3.2.1. Obat dan Obat Tradisional (OT) di Rumah Tangga

Gambar 3.2.1 menunjukkan bahwa dari 17,2 persen rumah tangga menyimpan obat untuk swamedikasi, terdapat obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obat yang tidak teridentifikasi.

20

Gambar 3.2.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang disimpan, Provinsi Nusa

Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan penggunaan obat yang tidak rasional. Tabel 3.2.1 menunjukkan variasi RT yang menyimpan obat untuk keperluan swamedikasi, dengan proporsi tertinggi rumah tangga di Kabupaten Rote Ndao (28,9 %) dan terendah di Kabupaten Kupang (3,2 %). Rerata sediaan obat yang disimpan hampir 3 macam, dimana yang tertinggi adalah di Alor (4 macam) dan terendah di Nagekeo (1,8 macam).

Berdasarkan karakteristik tempat tinggal terlihat bahwa pada semua jenis obat, persentase rumah tangga yang menyimpan obat lebih besar di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, kecuali obat tradisional (Tabel 3.2.2). Karakteristik kuintil indeks kepemilikan memperlihatkan bahwa obat keras, obat bebas dan antibiotik sama-sama cenderung lebih besar persentase rumah tangga yang menyimpannya pada kuintil teratas, sedangkan pada dua jenis obat sisanya, kecenderungannya tidak sama.

Obat keras dan antibiotik semestinya diperoleh berdasarkan resep dokter. Ternyata kedua jenis obat tersebut di seluruh kabupaten/kota bisa diperoleh dan disimpan rumah tangga tanpa resep dokter masing-masing oleh 78 persen rumah tangga (Tabel 3.2.3). Kabupaten/kota yang tertinggi persentase yang menyimpan obat keras adalah Manggarai (97,2 %) dan terendah di Sumba Tengah (63,7 %), sementara yang menyimpan antibiotik terbanyak di Sabu Raijua (95,8 %) dan terendah di Sumba Tengah (57,3 %).

OK = obat keras OB = obat bebas AB = antibiotika OT = obat tradisional OTT= obat tidak teridentifikasi

17,2%

82,8%

21

Tabel 3.2.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan reratajumlah obat yang disimpan menurut

kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Menyimpan obat

Ya (%) Rerata jumlah obat

Sumba Barat 17,8 2,9 Sumba Timur 24,9 3,4 Kupang 3,2 3,3 Timor Tengah Selatan 13,7 2,4 Timor Tengah Utara 21,6 2,9 Belu 15,7 2,6 Alor 6,1 4,0 Lembata 27,1 2,8 Flores Timur 26,7 2,6 Sikka 25,2 3,4 Ende 23,4 2,8 Ngada 18,0 2,4 Manggarai 6,8 1,9 Rote Ndao 28,9 2,9 Manggarai Barat 18,8 2,9 Sumba Tengah 10,7 2,8 Sumba Barat Daya 7,9 2,5 Nagekeo 16,6 1,8 Manggarai Timur 16,2 3,3 Sabu Raijua 8,9 3,3 Kota Kupang 25,6 3,0

Nusa Tenggara Timur 17,2 2,9

Tabel 3.2.2 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat berdasarkan jenis obat menurut karakteristik,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik

Obat keras Obat bebas

Antibiotika Obat tradisional

Obat tidak teridentifikasi

Tempat tinggal

Perkotaan 47,5 78,8 51,1 7,7 2,8

Perdesaan 41,7 73,6 41,6 10,7 3,4

Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 41,8 62,4 42,5 12,5 2,9 Menengah bawah 30,6 70,8 42,1 13,0 2,5

Menengah 45,5 77,3 39,4 7,7 3,0 Menengah atas 42,0 76,9 43,6 8,6 3,9 Teratas 51,5 79,6 50,7 9,1 3,4

22

Tabel 3.2.3 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut

kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/ Kota Jenis obat tanpa resep

Obat keras Antibiotika

Sumba Barat 78,5 65,9 Sumba Timur 70,6 78,7

Kupang 95,0 91,9 Timor Tengah Selatan 79,8 83,1 Timor Tengah Utara 85,3 76,6 Belu 84,2 70,9

Alor 91,5 79,6

Lembata 69,7 79,2 Flores Timur 76,8 75,9 Sikka 75,0 78,1

Ende 74,8 68,8 Ngada 75,2 71,9 Manggarai 97,2 92,8 Rote Ndao 67,5 78,5

Manggarai Barat 71,0 79,9 Sumba Tengah 63,7 57,3 Sumba Barat Daya 86,2 73,5 Nagekeo 84,5 79,8

Manggarai Timur 75,2 71,0 Sabu Raijua 80,9 95,8 Kota Kupang 81,3 84,3

Nusa Tenggara Timur 77,9 77,7

Di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, fasilitas pelayanan kesehatan formal dan apotek merupakan sumber utama mendapatkan obat rumah tangga dengan proporsi masing-masing 39,8 persen dan 32,4 persen, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.2.4. Tiga jenis sumber obat (pemberian orang lain, yankes tradisional dan penjual obat keliling) tidak berperan sama sekali sebagai sumber obat. Menurut karakteristik tempat tinggal, semua jenis sumber mendapatkan obat lebih besar persentasenya di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, kecuali pada apotik. Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, cenderung semakin tinggi persentase memperoleh obat dari apotik dan sebaliknya dari toko obat/warung, sedangkan pada sumber obat yankes formal dan nakes, tidak memperlihatkan adanya hubungan linier.

Tabel 3.2.5 menunjukkan status obat yang ada di rumah tangga untuk tujuan swamedikasi. Status obat dikelompokkan menurut obat yang “sedang digunakan”, obat “untuk persediaan” jika sakit, dan “obat sisa”. Obat sisa dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat sisa dari penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan. Di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, ternyata separuh (50,2 %) rumah tangga menyimpan obat untuk persediaan, lalu persentase kedua tertinggi adalah menyimpan obat untuk persediaan (39,8 %) dan lainnya menyimpan obat sisa (27,1 %). Karakteristik tempat tinggal memperlihatkan bahwa persentase rumah tangga yang menyimpan obat yang sedang digunakan dan obat sisa lebih tinggi di perdesaan daripada di perkotaan dan sebaliknya obat untuk persediaan. Dalam hal kuintil indeks kepemilikan, makin tinggi kuintil makin banyak rumah tangga yang menyimpan obat untuk persediaan, sedangkan untuk dua kategori sumber obat lainnya, tidak menunjukkan adanya hubungan yang linier dengan kuintil.

23

Tabel 3.2.4 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat menurut Karakteristik, Provinsi

Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Apotek Toko obat/

warung Yankes formal

Nakes

Tempat tinggal

Perkotaan 56,2 12,5 30,6 18,5

Perdesaan 22,0 18,7 40,3 24,0 Terbawah 12,5 23,3 39,8 23,5

Menengah bawah 13,9 19,0 43,0 23,7

Menengah 18,5 18,6 45,8 22,9 Menengah atas 38,0 17,3 34,9 22,7

Teratas 55,4 11,7 29,7 20,5

Tabel 3.2.5

Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat yang disimpan menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Status obat di rumah tangga

Sedang digunakan Untuk persediaan Obat sisa

Tempat tinggal Perkotaan 36,7 59,5 26,0 Perdesaan 41,1 46,1 27,6

Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 43,5 41,1 23,9 Menengah bawah 46,3 42,9 23,4 Menengah 39,7 49,8 25,6 Menengah atas 39,0 51,0 24,8 Teratas 35,1 57,4 33,5

3.2.2. Pengetahuan Rumah Tangga tentang Obat Generik (OG)

Tabelpada sub-blok ini menyajikan informasi proporsi rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar dan ”berpengetahuan benar”, serta persepsi mengenai obat generik (OG). Definisi rumah tangga ”berpengetahuan benar” tentang OG adalah rumah tangga yang mengetahui bahwa obat generik merupakan obat yang khasiatnya sama dengan obat bermerek dan tanpa menggunakan merek dagang. Selain itu pada sub-blok ini juga disajikan proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi OG.

Tabel 3.2.6 menunjukkan bahwa di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya 12 % rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG. Dari jumlah tersebut, hanya sebagian kecil (23,5 %) yang berpengetahuan benar tentang OG sedangkan sisanya adalah berpengetahuan salah. Persentase terbesar yang mengetahui atau pernah mendengar adalah di Kota Kupang (53,1 %) dan terendah di Manggarai Timur (1,9 %). Di antara yang mengetahui tersebut, persentase tertinggi berpengetahuan benar justru di Timor Tengah Utara (43,5 %) dan terendah di Ngada (1,1 %).

.

24

Tabel 3.2.6 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG )

menurut kabupaten/ kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Mengetahui tentang OG Berpengetahuan benar tentang OG

Sumba Barat 12,3 24,7 Sumba Timur 9,1 13,2 Kupang 7,6 23,7 Timor Tengah Selatan 3,5 21,4

Timor Tengah Utara 11,0 43,5 Belu 13,2 12,4 Alor 5,5 8,1 Lembata 15,5 7,2

Flores Timur 12,9 8,3

Sikka 10,2 8,0 Ende 14,7 19,5 Ngada 7,9 1,1

Manggarai 9,4 6,4 Rote Ndao 14,4 1,2 Manggarai Barat 4,8 3,6 Sumba Tengah 23,5 24,4

Sumba Barat Daya 2,6 8,8 Nagekeo 3,7 5,3 Manggarai Timur 1,9 11,2 Sabu Raijua 8,4 38,4

Kota Kupang 53,1 40,5

Nusa Tenggara Timur 12,0 23,5

Dalam hal karakteristik tempat tinggal, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.2.7, yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG jauh lebih besar persentasenya di perkotaan daripada di perdesaan. Karakteristik kuintil kepemilikan memperlihatkan bahwa makin tinggi kuintil, makin tinggi persentaseyang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG, tetapi di antara yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG tersebut, persentase yang berpengetahuan benar tentang OG tidak berkorelasi linier dengan kuintil.

Tabel 3.2.7

Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar Tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Mengetahui tentang OG Berpengetahuan benar tentang OG

Tempat tinggal Perkotaan 36,7 30,0 Perdesaan 5,9 13,5

Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 1,4 1,1 Menengah bawah 2,1 12,0 Menengah 7,3 10,3 Menengah atas 16,7 22,2 Teratas 40,3 29,1

Tabel 3.2.8 menunjukkan bahwa 73 persen rumah tangga mempunyai persepsi OG sebagai obat murah dan 62 persen sebagai obat program pemerintah, sedangkan pada kategori persepsi lainnya, proporsinya lebih rendah. Hanya 47,3 persen rumah tangga yang berpersepsi bahwa OG berkhasiat sama dengan obat bermerek. Persepsi tersebut perlu dipromosikan lebih gencar

25

untuk mendorong penggunaan OG lebih luas dan lebih baik dimasyarakat. Rumah tangga dengan persepsi bahwa OG adalah obat tanpa merek dagang adalah yang paling rendah proporsinya (30 %), padahal persepsi tersebut adalah salah satu persepsi benar yang diharapkan diketahui masyarakat luas. Semua kategori persepsi tersebut lebih besar proporsinya di perkotaan daripada di perdesaan. Proporsi persepsi yang berkorelasi linier positif dengan kuintil indeks kepemilikan hanya persepsi bahwa OG sebagai “obat murah” dan “obat program pemerintah”, sedangkan proporsi persepsi lainnya tidak berkorelasi linier dengan kuintil.

Tabel 3.2.8 Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsinya tentang obat generik (OG)menurut

karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik

Persepsi rumah tangga tentang OG

Obat gratis

Obat murah

Obat bagi pasien miskin

Dapat dibeli di warung

Obat tanpa merek dagang

Khasiat sama dg obat ber merek

Obat program

pemerintah

Tempat tinggal Perkotaan 59,1 80,9 56,7 55,1 36,6 55,3 64,3 Perdesaan 53,4 60,8 48,1 35,2 19,8 35,2 58,6

Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 64,6 40,8 48,9 33,5 3,4 3,3 38,5 Menengah bawah 50,1 53,9 54,8 21,0 24,5 34,4 40,1 Menengah 63,8 65,0 53,6 38,1 15,4 28,5 48,4 Menengah atas 56,4 68,4 49,4 44,8 27,6 47,3 59,5 Teratas 55,7 80,1 55,2 53,2 36,2 54,7 69,2

Sumber informasi tentang OG paling banyak diperoleh dari tenaga kesehatan (75,3 %) dan paling jarang dari pendidikan (26,8 %) sebagaimana diperlihatkan padaTabel 3.2.9. Semua sumber informasi tersebut merata lebih besar proporsinya di perkotaan daripada di perdesaan. Hanya proporsi sumber informasi dari media cetak dan media elektronik saja yang berkorelasi linier positif dengan kuintil indeks kepemilikan, sedangkan pada sumber informasi lainnya, tidak ada korelasinya dengan kuintil.

Tabel 3.2.9 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat generik (OG) menurut

karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas2013

Karakteristik Sumber informasi tentang OG

Media cetak

Media elektronik

Tenaga kesehatan

Kader, toma

Teman, kerabat

Pendidikan

Tempat tinggal Perkotaan 56,6 71,3 77,9 33,9 39,1 31,1 Perdesaan 38,4 41,0 71,3 30,3 26,5 20,3

Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 10,3 6,1 70,5 39,7 22,8 3,9 Menengah bawah 21,6 12,1 69,6 39,4 26,2 7,4 Menengah 35,6 38,1 74,9 41,5 32,6 16,7 Menengah atas 51,0 61,2 74,1 36,4 39,1 30,8 Teratas 55,8 69,3 76,6 27,5 33,1 3,9

26

3.2.3 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad)

Yankestrad terdiri dari 4 jenis, yaitu Yankestrad ramuan (pelayanan kesehatan yang menggunakan jamu, aromaterapi, gurah, homeopati dan spa), keterampilan dengan alat (akupunktur, chiropraksi, kop/bekam, apiterapi, ceragem, dan akupresur), keterampilan tanpa alat (pijat-urut, pijat-urut khusus ibu/bayi, pengobatan patah tulang, dan refleksi), dan keterampilan dengan pikiran (hipnoterapi, pengobatan dengan meditasi, prana, dan tenaga dalam).

Gambar dan Tabel pada sub-blok ini menyajikan informasi proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam satu tahun terakhir, jenis-jenis Yankestrad yang dimanfaatkan serta alasan utama memanfaatkannya.

Gambar 3.2.2 Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis

Yankestrad yang dimanfaatkan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Sejumlah 19,6 persen rumah tangga di Indonesia memanfaatkan yankestrad dalam 1 tahun terakhir. Jenis yankestrad yang dimanfaatkan oleh rumah tangga terbanyak adalah keterampilan tanpa alat (80,3%) dan ramuan (30,2%) (Gambar 3.2.2).

Tabel 3.2.10 menunjukkan bahwa 19,6 persen penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur pernah memanfaatkan Yankestrad dengan kisaran antara 2,1 persen di Sabu Raijua hingga 43,3 persen di Sumba Tengah. Di antara rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad tersebut, jenis yang terbanyak digunakan adalah jenis keterampilan tanpa alat (80,3 %). Di antara 2,1 persen rumah tangga di Sabu Raijua yang pernah memanfaatkan Yankestrad, semuanya (100 %) menggunakan jenis keterampilan tanpa alat.Di antara pemanfaat jenis ramuan, yang merupakan proporsi kedua (30,2 %) setelah pemanfaat keterampilan tanpa alat, proporsi tertinggi adalah di Manggarai (96,2 %) dan terendah (7,1 %) di Flores Timur.

Karakteristik rumah tangga menurut tempat tinggal memperlihatkan bahwa proporsi yang pernah memanfaatkan Yankestrad lebih tinggi di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan (Tabel 3.2.11). Di antara yang memanfaatkan Yankestrad tersebut, semua jenis Yankestrad yang digunakan juga selalu lebih banyak di perdesaan, kecuali pada jenis keterampilanj dengan alat adalah sebaliknya. Adapun kuintil indeks kepemilikan tidak berkorelasi linier dengan pemanfaatan Yankestrad, baik dengan proporsi yang pernah memanfaatkan maupun dengan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan.

30,2

1,6

80,3

7,2

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

Ramuan Denganalat

Tanpa alat Denganpikiran

19,6%

80,4%

27

Tabel 3.2.10 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis

Yankestrad yang dimanfaatkan menurut kabupaten/ kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota

Pernah memanfaatkan

yankestrad

Jenis Yankestrad

Ramuan Keterampilan

Dengan alat Tanpa alat Dengan pikiran

Sumba Barat 6,0 21,9 87,2 Sumba Timur 40,4 40,0 97,1 0,5 Kupang 5,9 7,2 2,0 79,8 13,0 Timor Tengah Selatan 42,7 18,2 95,9 0,9 Timor Tengah Utara 28,4 11,6 2,0 86,9 17,1 Belu 6,7 90,5 15,1 1,3 Alor 9,8 9,7 95,1 Lembata 16,8 54,0 0,9 60,1 17,4 Flores Timur 26,2 7,1 2,4 86,8 14,0 Sikka 22,3 47,3 7,0 57,3 3,9 Ende 21,4 18,0 64,7 28,4 Ngada 24,8 16,9 0,9 83,9 5,2 Manggarai 14,7 96,2 14,1 0,4 Rote Ndao 17,6 74,4 65,2 Manggarai Barat 5,0 27,0 74,7 Sumba Tengah 43,3 55,0 1,1 82,8 0,7 Sumba Barat Daya 28,8 29,8 6,3 95,3 10,8 Nagekeo 17,6 25,7 58,0 33,6 Manggarai Timur 6,0 46,1 62,3 3,2 Sabu Raijua 2,1 100,0 Kota Kupang 11,3 11,7 5,1 92,0

Nusa Tenggara Timur 19,6 30,2 1,6 80,3 7,2

Tabel 3.2.11

Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur,

Riskesdas 2013

Karakteristik

Pernah memanfaatkan

yankestrad

Jenis Yankestrad

Ramuan Keterampilan

Dengan alat Tanpa alat Dengan pikiran

Tempat tinggal Perkotaan 13,0 29,4 3,2 79,3 4,7 Perdesaan 21,2 30,4 1,4 80,4 7,5

Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 22,1 35,7 2,1 83,9 9,0 Menengah bawah 24,3 27,9 0,2 84,2 3,0 Menengah 20,1 26,4 1,0 76,7 9,5 Menengah atas 15,8 29,9 3,0 75,5 10,0 Teratas 13,3 32,6 3,5 75,6 5,3

3.3 Kesehatan Lingkungan

Topik kesehatan lingkungan pada Riskesdas 2013 ditujukan untuk mengevaluasi program yang sudah ada, menindaklanjuti upaya perbaikan yang akan dijalankan, dan mengidentifikasi faktor risiko lingkungan berbagai jenis penyakit dan gangguan kesehatan. Dengan diperolehnya data kesehatan lingkungan termutakhir, diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan dalam upaya pengendalian penyakit berbasis lingkungan.Pada Riskesdas 2013 disajikan data

28

kesehatan lingkungan yang meliputi, air minum, sanitasi (jamban dan sampah), dan kesehatan perumahan. Data kesehatan perumahan meliputi jenis bahan bangunan, lokasi rumah dan kondisi ruang rumah, kepadatan hunian, jenis bahan bakar untuk memasak, dan penggunaan atau penyimpanan pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah. Disamping itu disajikan data perilaku rumah tangga dalam menguras bak mandi berkaitan dengan risiko penyebaran penyakit tular vektor (DBD, malaria).

Sebagai unit analisis adalah rumah tangga. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan.Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menyajikan keadaan kesehatan lingkungan menurut kabupaten, tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan.

3.3.1 Air Minum

Ruang lingkup air dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi, jenis sumber air untuk keperluan rumah tangga dan minum. Rerata pemakaian air per orang per hari, jarak sumber air terhadap penampungan tinja, jarak dan waktu tempuh ke sumber air minum, anggota rumah tangga yang mengambil air, kualitas fisik air, pengelolaan (pengolahan dan penyimpanan) air minum. Tabel secara lengkap disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT. Untuk akses terhadap sumber air minum digunakan kriteria JMP WHO - Unicef tahun 2006. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga memiliki akses ke sumber air minum improved adalah rumah tangga dengan sumber air minum dari air ledeng/PDAM, sumur bor/pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung, penampungan air hujan, dan air kemasan (HANYA JIKA sumber air untuk keperluan rumah tangga lainnya improved).

Gambar 3.3.1 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum

berdasarkan kriteria JMP WHO – UNICEF 2006 menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Hasil menunjukkan bahwa sumber air minum rumah tangga di Nusa Tenggara Timur adalah air kemasan, air isi ulang/depot air minum, air ledeng baik dari PDAM maupun membeli eceran, sumur bor/pompa, sumur terlindung, mata air baik terlindung maupun tidak terlindung), penampungan air hujan dan air sungai/irigasi.

24,1

58,2

70

53,5

80,2

71,5 78,1

89,4 94,2

69,3

70,4

85,8

82,1

70,7

74,6

40,3

57,6

70,7

61,5

80,1

67,9

75,9

41,8

30

46,5

19,8

28,5 21,9

10,6 5,8

30,7

29,6

14,2

17,9

29,3

25,4

59,7

42,4

29,3

38,5

19,9

32,1

69,7

30,3

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Su

ba

r

Su

tim

Ku

pa

ng

TT

S

TT

U

Be

lu

Alo

r

Le

mb

ata

Flo

rtim

Sik

ka

En

de

Ng

ad

a

Ma

ng

ga

rai

Ro

te N

da

o

Ma

ba

r

Su

ten

g

SB

D

Na

ge

ke

o

Ma

tim

Sa

bu

Ra

iju

a

Ko

ta K

up

an

g

NT

T

Kabupaten/Kota

Akses k

e s

um

ber

air

min

um

(%)

Improved Unimproved

29

Adapun akses ke sumber air minum di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih besar yang improved (69,7 %) dibandingkan dengan yang unimproved (30,3 %). Kisaran yang improved adalah antara 24,1 persen di Sumba Barat hingga 94,2 persen di Flores Timur, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.3.1.

Karakteristik tempat tinggal rumah tangga untuk mengakses sumber air minum yang improved lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan namun sebaliknya untuk akses yang unimproved (Tabel 3.3.1). Dalam hal karakteristik kuintil indeks kepemilikan, ada kecenderungan, makin tinggi kuintil makin tinggi persentasenya.

Tabel 3.3.1

Proporsi rumah tangga berdasarkanakses ke sumber air minum berdasarkan kriteria JMP WHO – UNICEF 2006 menurut karakteristik,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Akses Ke Sumber Air Minum

Improved Unimproved

Tempat tinggal

Perkotaan 74,7 25,3

Perdesaan 68,4 31,6

Indeks kepemilikan

Terbawah 51,3 48,7

Menengah bawah 64,2 35,8

Menengah 80,1 19,9

Menengah atas 81,5 18,5

Teratas 73,8 26,2 *)JMP WHO – Unicef 2006

Volume pemakaian air per orang per hari penduduk NTT sangat beragam mulai dari < 7,5 liter (0,1 %) hingga > 300 liter (0,9 %), namun mayoritas (37,9 %) adalah antara 20-50 liter (Tabel 3.3.2). Kabupaten/kota yang paling tinggi persentase penduduknya menggunakan air dengan volume antara 20-50 liter per orang per hari adalah Sikka (65,1 %) dan terendah adalah Ende (20,1 %). Persentase tertinggi kabupaten/kota yang menggunakan > 300 liter per orang per hari adalah Sabu Raijua (0,9 %).

Menurut karakteristik tempat tinggal, penggunaan air bersih diperkotaan lebih dari 20-50 liter per orang per hari sedangkan penduduk di perdesaan menggunakan air bersih sekitar 7,5-20 liter per hari (Tabel 3.3.3).Menurut Kuintil Indeks kepemilikan, terdapat keragaman persentase antar kuintil di tiap volume air yang digunakan, atau dengan perkataan lain, tidak ada hubungan yang linier antara kuintil dengan volume pemakaian air bersih.

30

Tabel 3.3.2 Proporsi rumah tangga berdasarkan rerata pemakaian air perorang per hari menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Rerata pemakaian air bersihper orang per hari (liter)

<7,5 7,5-19,9 20-49,9 50-99,9 100-300 > 300

Sumba Barat 1,0 63,0 26,0 7,9 1,6 0,6

Sumba Timur 0,2 29,7 39,9 21,7 7,9 0,6

Kupang

9,4 40,7 36,9 12,2 0,8

Timor Tengah Selatan

55,5 36,4 5,8 2,0 0,3

Timor Tengah Utara

9,3 40,1 36,8 13,4 0,4

Belu

29,0 49,6 14,5 3,8 3,2

Alor

17,4 51,8 23,5 6,2 1,0

Lembata

22,7 30,2 34,8 11,8 0,6

Flores Timur

2,8 26,3 40,8 26,5 3,7

Sikka

15,0 65,1 17,3 2,3 0,3

Ende 0,5 43,8 20,1 20,8 14,5 0,3

Ngada

18,3 37,4 23,3 19,8 1,2

Manggarai 0,1 47,9 42,5 5,7 3,6 0,1

Rote Ndao

2,6 46,3 41,4 8,5 1,2

Manggarai Barat 0,8 52,7 39,6 5,7 1,1 0,2

Sumba Tengah

70,0 28,6 1,4

Sumba Barat Daya 1,1 67,9 26,8 2,5 1,7

Nagekeo 0,3 46,5 28,6 8,0 14,3 2,3

Manggarai Timur

53,7 36,5 8,2 0,9 0,7

Sabu Raijua

20,8 48,6 19,8 9,8 0,9

Kota Kupang

12,0 26,5 31,4 29,5 0,7

Nusa Tenggara Timur 0,1 30,3 37,9 20,6 10,1 0,9

Tabel 3.3.3

Proporsi rumah tangga berdasarkan rerata pemakaian air per orang per hari menurut karakteristik,Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik

Rerata pemakaian air bersih per orang per hari (liter)

<7,5 7,5-19,9 20-49,9 50-99,9 100-300 >300

Tempat tinggal

Perkotaan 0,0 17,5 33,1 28,2 19,8 1,5

Perdesaan 0,2 33,9 39,3 18,4 7,4 0,8

Kuintil Indeks kepemilikan

Terbawah 0,3 44,9 35,6 14,3 4,4 0,4

Menengah bawah 0,2 45,6 35,4 13,7 4,2 0,8

Menengah 0,0 27,5 39,7 21,0 11,1 0,7

Menengah atas 0,1 20,1 41,4 24,3 13,3 0,8

Teratas 0,2 13,2 36,8 30,0 18,0 1,8

31

Pada Gambar 3.3.2 terlihat bahwa anggota rumah tangga yang terbanyak mengambil air di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah dewasa perempuan (62,5 %) dan selanjutnya persentasenya menurun berturut-turut ke dewasa laki-laki, anak perempuan dan terendah anak laki-laki (3,2 %). Menurut karakteristik tempat tinggal rumahtangga ditunjukkan bahwa hanya persentase ART dewasa laki-laki yang lebih tinggi di perkotaan daripada di perdesaan sedangkan di tiga kategori ART lainnya, persentasenya lebih besar di perdesaan

Gambar 3.3.2 Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa mengambil

air dalam rumah tangga, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013 Karakteristik kuintil indeks kepemilikan memperlihatkan bahwa hanya persentase ART dewasa laki-laki yang berhubungan linier dengan kuintil yaitu makin tinggi kuintil makin tinggi persentasenya, sedangkan pada tiga kategori ART lainnya, polanya cukup beragam (Gambar 3.3.3).

Gambar 3.3.3

Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa mengambil air dalam rumah tangga menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Nusa Tenggara Timur,

Riskesdas 2013

Dewasa perempuan Dewasa laki-laki

Anak perempuan Anak laki-laki

62,5%

5,5%

28,8%

3,2%

32

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI (Permenkes RI) No.492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Kualitas Air Minum disebutkan bahwa air minum harus memenuhi persyaratan kesehatan secara fisik, kimia, dan mikrobiologi. Dalam laporan ini air minum yang dikonsumsi dikategorikan baik apabila memenuhi persyaratan kualitas fisik; yaitu tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau. Pada umumnya air minum rumah tangga di Indonesia (94,1%) termasuk dalam kategori baik (tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau).

Tabel 3.3.4 memperlihatkan hampir seluruh rumah tangga (85,3%) di Provinsi Provinsi Nusa Tenggara Timur mempunyai kualitas air minum baik. Berurutan terendah kualitas air minum tidak keruh dijumpai di Sumba Barat Daya dan tidak berwarna di Manggarai Timur.

Tabel 3.3.4 Proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas fisik air minum menurut kabupaten/kota, Provinsi

Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Kualitas fisik air minum

Tidak keruh

Tidak berwarna

Tidak berasa

Tidak berbusa

Tidak berbau

Baik

Sumba Barat 95,2 98,5 94,6 100,0 100,0 90,0

Sumba Timur 84,7 98,0 90,1 99,9 99,3 80,6

Kupang 96,7 97,8 92,7 100,0 100,0 89,9

Timor Tengah Selatan 89,6 96,4 95,4 98,4 98,3 88,0

Timor Tengah Utara

99,4 97,4 100,0 99,3 96,6

Belu 87,7 99,0 94,2 99,8 99,3 85,0

Alor 94,1 99,8 97,2 100,0 100,0 91,2

Lembata 91,6 94,1 99,0 99,5 99,3 89,9

Flores Timur 93,1 94,9 79,4 99,8 100,0 74,7

Sikka 93,0 99,5 90,4 99,8 99,0 85,8

Ende 98,2 99,0 90,9 99,7 99,5 88,6

Ngada 94,5 99,2 91,8 99,1 99,7 88,7

Manggarai 88,5 99,6 85,0 100,0 96,9 81,8

Rote Ndao 92,1 97,5 95,9 97,9 95,3 89,8

Manggarai Barat 76,8 95,2 90,9 99,6 99,0 70,1

Sumba Tengah 95,0 98,4 97,1 99,0 99,0 92,4

Sumba Barat Daya 74,1 93,8 83,5 96,9 94,7 61,1

Nagekeo 94,2 95,3 76,2 99,9 96,8 75,3

Manggarai Timur 83,6 89,6 94,7 96,2 96,0 81,6

Sabu Raijua 100,0 99,9 99,4 100,0 100,0 99,3

Kota Kupang 99,5 99,7 99,7 99,7 100,0 99,5

Nusa Tenggara Timur 90,9 97,3 92,1 99,2 98,6 85,3

* baik = tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa dan tidak berbau

Karakteristik tempat tinggal rumah tangga menunjukkan bahwa untuk semua komponen kualitas air minum lebih tinggi persentasenya di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan (Tabel 3.3.5). Berdasarkan Kuintil Indeks kepemilikan ditunjukkan bahwa pada semua komponen kualitas air minum, makin tinggi Kuintil Indeks kepemilikan makin tinggi persentasenya, namun dengan perbedaan persentase antar kuintil yang sangat kecil.

33

Tabel 3.3.5 Proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas fisik air minum menurut karakteristik,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik

Kualitas fisik air minum

Tidak keruh

Tidak berwarna

Tidak berasa

Tidak berbusa

Tidak berbau

Baik

Tempat tinggal

Perkotaan 97,9 99,8 97,6 99,8 99,6 95,9

Perdesaan 89,1 96,7 90,7 99,1 98,4 82,6

Indeks kepemilikan

Terbawah 78,9 94,5 84,6 98,7 96,8 69,1

Menengah bawah 89,1 95,9 91,0 98,9 98,8 83,9

Menengah 93,3 98,0 93,8 99,3 98,5 87,9

Menengah atas 96,3 99,2 94,8 99,6 99,4 91,6

Teratas 99,1 99,8 97,8 99,8 100,0 97,1

* baik = tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa dan tidak berbau

Gambar 3.3.4, memperlihatkan proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum menurut kabupaten. Ternyata belum semua rumahtangga melakukan pengolahan air minum sebelum diminum di provinsi itu karena masih terdapat 9,4 persen yang belum melakukannya dengan kisaran pada kabupaten/kota antara 0,7 persen di Ngada hingga 59,9 persen di Sabu Raijua.

Gambar 3.3.4 Proporsi rumah tangga berdasarkanpengolahan air minum sebelum

diminum menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013 Dalam hal karakteristik tempat tinggal rumah tangga ditunjukkan bahwa air minum yang diolah sebelum diminum lebih tinggi persentasenya di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan (Gambar 3.3.5). Berdasarkan Kuintil Indeks kepemilikan ditunjukkan bahwa persentase tertinggi air minum yang diolah adalah pada kuintil menengah lalu menurun ke kuintil di atasnya dan ke bawahnya.

40,1

69 70,7

77,679,8 81

89,6 90,6 91,3 92,594,8 95,6 95,8 96,9 97,2 97,8 97,8 97,9 98,6 98,6 98,7 99,3

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Sabu R

aiju

a

Sutim

Rote

Ndao

Sute

ng

SB

D

Kota

Kupang

Subar

NT

T

Sik

ka

Ende

Manggara

i

Belu

Flo

rtim

Mabar

Alo

r

TT

S

Matim

TT

U

Kupang

Lem

bata

Nagekeo

Ngada

Kabupaten/Kota

Air

min

um

ya

ng

h d

iola

h s

eb

elu

m d

imin

um

(%

)

34

Gambar 3.3.5

Proporsi rumah tangga berdasarkan pengolahan air minum sebelum diminum menurut karakteristik,Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Tabel 3.3.6

Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air minum sebelum diminum menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota

Cara pengolahan air

Pemanasan/ dimasak

Penyinaran matahari

Disaring dan tambah larutan tawas

Disaring saja

Sumba Barat 96,8 2,7 0,1 0,4 Sumba Timur 97,2 0,6 0,9 1,3

Kupang 96,3 2,0 0,2 1,5 Timor Tengah Selatan 95,4 4,4 0,1 Timor Tengah Utara 95,6 4,4 Belu 95,5 3,8 0,7

Alor 97,9 2,0 0,1 Lembata 98,0 0,5 1,2 0,2 Flores Timur 97,9 2,0 0,1 Sikka 95,2 0,2 0,5 4,1

Ende 97,6 1,6 0,6 0,2 Ngada 97,0 2,5 0,5 Manggarai 98,5 1,5 Rote Ndao 96,7 2,1 0,8 0,3

Manggarai Barat 98,5 1,1 0,2 0,1 Sumba Tengah 98,2 1,6 0,2 Sumba Barat Daya 97,5 1,4 0,2 0,8 Nagekeo 98,5 1,5

Manggarai Timur 98,3 1,7 0,0 0,0 Sabu Raijua 99,2 0,1 0,7 Kota Kupang 98,9 1,0 0,2

Nusa Tenggara Timur 97,1 2,1 0,2 0,5

Di antara lima macam cara pengolahan air minum sebelum diminum, pemanasan/dimasak merupakan cara pengolahan yang terbanyak (97,1 %) dipilih rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur sedangkan yang paling jarang dipilih adalah “disaring dan tambah tawas

87,591,3

78

95,3 97,2 94,8

86,5

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Pe

rko

taa

n

Pe

rde

sa

an

Te

rba

wa

h

Me

ne

ng

ah

ba

wa

h

Me

ne

ng

ah

Me

ne

ng

ah

ata

s

Te

rata

s

Tempat Tinggal Kuintil Indeks Kepemilikan

Karakteristik

Air m

inum

yang d

iola

h s

ebelu

m d

imin

um

(%

)

35

(0,2 %) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.3.6. Kisaran persentase cara pengolahan dengan pemanasan/dimasak tersebut berkisar antara 95,2 persen di Sikka hingga 99,2 persen di Sabu Raijua, yang berarti kisarannya cukup sempit.

Karakteristik tempat tinggal rumah tangga menurut cara pengolahan air minum sebelum diminum menunjukkan bahwa pemanasan/dimasak dan penyinaran mata hari sedikit lebih besar persentasenya di perdesaan dibandingkan dengan perdesaan dan sebaliknya pada dua cara pengolahan lainnya (Tabel 3.3.7). Kuintil indeks kepemilikan hanya pada katagori cara pengolahan disaring saja yang menunjukkan hubungan linier positif atau makin tinggi kuintil makin tinggi persentasenya, sementara pada pengolahan ”disaring dan tambah larutan tawas”menonjol persentasenya (dua kali persentase di kuintil lain) sedangkan pada dua cara pengolahan lainnya polanya tidak jelas.

Tabel 3.3.7

Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air minum sebelum diminum menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik

Cara pengolahan air

Pem

anas

an/

dim

asak

Pen

yina

ran

mat

ahar

i

Dis

arin

g da

n ta

mba

h la

ruta

n ta

was

Dis

arin

g sa

ja

Tempat tinggal

Perkotaan 96,9 1,8 0,3 1,0

Perdesaan 97,2 2,2 0,2 0,4

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 97,1 2,5 0,2 0,2

Menengah bawah 96,9 2,5 0,2 0,4

Menengah 97,2 2,1 0,4 0,4

Menengah atas 97,9 1,4 0,2 0,6

Teratas 96,5 2,0 0,2 1,3

3.3.2 Sanitasi

Ruang lingkup sanitasi dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi penggunaan fasilitas buang air besar (BAB), jenis tempat BAB, tempat pembuangan akhir tinja, jenis tempat penampungan air limbah, jenis tempat penampungan sampah, dan cara pengelolaan sampah. Tabel secara lengkap disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT. Untuk akses terhadap fasilitas tempat buang air besar (sanitasi) digunakan kriteria JMP WHO - Unicef tahun 2006. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved adalah rumah tangga yang menggunakanfasilitas fasilitas BAB milik sendiri, jenis tempat BAB jenis leher angsa atau plengsengan, dan tempat pembuangan akhir tinja jenis tangki septik.

Di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur masih terdapat 21,3 persen rumah tangga yang belum memiliki fasilitas buang air besar dengan kisaran antara 0,2 persen di Kupang hingga 57,2 persen di Sumba Timur (Tabel 3.3.8). Sebanyak 2 persen rumah tangga memiliki fasilitas buang air besar umum, 6,5 persen fasilitas buang air besar milik bersama dan hanya 70,2 persen yang merupakan milik sendiri. Persentase terbesar milik sendiri tersebut adalah di Timor Tengah Selatan (91,3 %) dan Timor Tengah Utara (91,4 %).

36

Tabel 3.3.8 Proporsi rumah tangga berdasarkan penggunaan fasilitas buang air besar menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota

Fasilitas tempat buang air besar

Milik sendiri

Milik bersama

Umum Sembarangan

Sumba Barat 35,3 8,7 4,2 51,8

Sumba Timur 37,6 4,0 1,1 57,2

Kupang 89,7 3,2 0,4 6,7

Timor Tengah Selatan 91,3 5,1 0,3 3,3

Timor Tengah Utara 91,4 6,5 0,7 1,4

Belu 68,4 4,1 1,6 25,9

Alor 72,7 10,9 5,3 11,1

Lembata 80,2 5,3 4,0 10,5

Flores Timur 74,4 5,7

19,9

Sikka 72,7 4,7 1,3 21,3

Ende 67,9 6,4 4,5 21,2

Ngada 77,4 9,2 1,0 12,4

Manggarai 67,0 5,0 3,8 24,2

Rote Ndao 58,6 6,8 0,6 34,0

Manggarai Barat 62,2 4,0 2,2 31,6

Sumba Tengah 67,3 2,4 0,4 29,8

Sumba Barat Daya 41,7 2,9 0,8 54,6

Nagekeo 72,3 10,1 1,1 16,5

Manggarai Timur 68,1 5,5 1,5 24,9

Sabu Raijua 46,9 4,2 1,0 47,9

Kota Kupang 74,2 19,5 6,1 0,2

Nusa Tenggara Timur 70,2 6,5 2,0 21,3

Tabel 3.3.9

Proporsi rumah tangga berdasarkan penggunaan fasilitas buang air besar menurut karakteristik,Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik

Fasilitas tempat buang air besar

Milik Sendiri Milik Bersama Umum Sembarangan

Tempat tinggal

Perkotaan 83,0 12,2 3,6 1,2

Perdesaan 67,0 5,1 1,6 26,3

Indeks kepemilikan

Menengah bawah 8,2 3,1 0,5 88,1

Menengah 79,6 6,7 2,6 11,1

Menengah atas 85,2 10,2 2,8 1,8

Teratas 88,4 7,9 3,4 0,3

Menengah bawah 95,3 4,2 0,5

37

Menurut karakteristik tempat tinggal sekitar seperempat dari rumah tangga yang diteliti diperdesaan menunjukkan tidak mempunyai fasilitas tempat buang air besar dibandingkan dengan di perkotaan, sedangkan semua rumahtangga yang memiliki, baik milik sendiri, milik bersama maupun milik umum adalah sebaliknya (Tabel 3.3.9). Dalam hal Kuintil Indeks kepemilikan, makin tinggi kuintil makin tinggi persentase rumah tangga yang fasilitas tempat buang air besarnya milik sendiri dan sebaliknya untuk rumah tangga yang tidak memiliki, sedangkan untuk fasilitas milik bersama dan milik umum tidak berhubungan dengan kuintil.

Gambar 3.3.6 menunjukkan bahwa pembuangan akhir tinja rumah tangga di Indonesia sebagian besar tindak menggunakan tangki septik (65,3%). Lima kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja berupa tangki septik adalah Kota Kupang (76,7%), Ende (69,6%), Alor (64,7%), Nagekeo (61,9%) dan Flores Timur (53,8%). Masih terdapat rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja tidak ke tangki septik (SPAL, kolam/sawah, langsung ke sungai/danau/laut, langsung ke lubang tanah, atau ke pantai/kebun). Lima provinsi dengan proporsi pembuangan akhir tinja tidak ke tangki septik tertinggi adalah Sabu Raijua (98,4%), Sumba Barat Daya (96,8%), Manggarai Timur (90,8%), Timor Tengah Selatan (88,9%) dan Sumba Barat (84,6%).

Gambar 3.3.6

Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik tempat tinggal rumah tangga memperlihatkan bahwa hanya tempat pembuangan akhir tinja tangki septik dan SPAL yang persentasenya lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, sedangkan sisanya adalah sebaliknya, kecuali pada kolam/sawah, dimana persentasenya adalah sama (Tabel 3.3.10). Selanjutnya karakteristik Kuintil Indeks kepemilikan memperlihatkan bahwa hanya pada tangki septik yang korelasinya positif atau makin tinggi kuintil makin tinggi persentasenya, sedangkan pada sungai/danau/laut berkorelasi negatif, sementara pada tempat pembuangan akhir tinja lainnya tidak jelas korelasinya.

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

Ko

ta K

up

ang

End

e

Alo

r

Nag

eke

o

Flo

res

Tim

ur

Tim

or

Ten

gah

Uta

ra

Sikk

a

Be

lu

Nu

sa T

engg

ara

Tim

ur

Nga

da

Ro

te N

dao

Lem

bat

a

Man

ggar

ai B

arat

Man

ggar

ai

Sum

ba

Tim

ur

Ku

pan

g

Sum

ba

Ten

gah

Sum

ba

Bar

at

Tim

or

Ten

gah

Se

lata

n

Man

ggar

ai T

imu

r

Sum

ba

Bar

at D

aya

Sab

u R

aiju

a

Tangki Septik Tangki Tidak Septik

65,3

%

37

,4%

38

Tabel 3.3.10 Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja

menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Tempat pembuangan akhir tinja

Tangki septik

SPAL Kolam/ sawah

Sungai/ danau/laut

Lubang tanah

Pantai/ kebun

Lainnya

Tempat tinggal

Perkotaan 70,1 5,4 0,2 0,6 22,6 1,0 0,1

Perdesaan

25,9 4,1 0,2 1,5 43,5 23,7 1,0

Indeks kepemilikan

Terbawah 0,1 0,5 0,1 2,8 12,7 81,0 2,9

Menengah bawah 3,3 2,6 0,4 2,4 82,0 8,3 0,9

Menengah 36,0 7,3 0,4 0,4 53,5 2,2 0,1

Menengah atas 64,8 6,8 0,2 0,3 27,8 0,1

Teratas 86,4 5,2 0,2 8,3

Tabel 3.3.11

Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitassanitasi berdasarkan kriteria JMP WHO – UNICEF 2006 menurut kabupaten/kota, ProvinsiNusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Akses Fasilitas sanitasi

Improved Unimproved

Sumba Barat 11,2 88,8

Sumba Timur 17,1 82,9

Kupang 19,3 80,7

Timor Tengah Selatan 10,9 89,1

Timor Tengah Utara 47,3 52,7

Belu 38,1 61,9

Alor 51,7 48,3

Lembata 27,9 72,1

Flores Timur 49,7 50,3

Sikka 47,3 52,7

Ende 58,5 41,5

Ngada 31,1 68,9

Manggarai 18,7 81,3

Rote Ndao 27,7 72,3

Manggarai Barat 20,0 80,0

Sumba Tengah 16,5 83,5

Sumba Barat Daya 2,1 97,9

Nagekeo 55,8 44,2

Manggarai Timur 8,1 91,9

Sabu Raijua 1,4 98,6

Kota Kupang 61,6 38,4

Nusa Tenggara Timur 30,5 69,5 *) Fasilitas sendiri, sarana jamban leher angsa dan atau plengsengan, pembuangan akhir tinja di tangki septik **) Tidak memiliki fasilitas, sarana jamban cemplung, pembuangan akhir tinja di tangki septic

39

Tabel 3.3.11 menyajikan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi improved sesuai dengan kriteria JMP WHO - Unicef tahun 2006, Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved di Nusa Tenggara Timurtahun 2013 adalah hanya 30,5 % saja dan sisanya belum. Di antara yang 30,5 % tersebut, kabupaten/kota yang tertinggi persentasenya adalah Kota Kupang (61,6 %) dan terendah Sabu Raijua (1,4 %), sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3.3.29.

Berdasarkan karakteristik tempat tinggal, akses ke fasilitas sanitasi yang improved* tersebut lebih besar di perkotaan daripada di perdesaan (Tabel 3.3.12). Dalam hal Kuintil Indeks kepemilikan, terdapat korelasi positif antara kuintil dengan akses ke fasilitas sanitasi yang improved tersebut.

tabel 3.3.12

proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi berdasarkan kriteria JMP WHO – UNICEF 2006 menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Akses ke Fasilitas sanitasi

Improved Unimproved

Tempat tinggal

Perkotaan 60,9 39,1

Perdesaan 23,0 77,0

Indeks kepemilikan

Terbawah

100,0

Menengah bawah 1,6 98,4

Menengah 28,1 71,9

Menengah atas 56,9 43,1

Teratas 82,6 17,4 *) Fasilitas sendiri, sarana jamban leher angsa dan atau plengsengan, pembuangan akhir tinja di tangki septik **) Tidak memiliki fasilitas, sarana jamban cemplung, pembuangan akhir tinja di tangki septik

Gambar. 3.3.7 Proporsi Rumah Tangga berdasarkanPenampungan Air Limbah

menurut Kabupaten/Kota, ProvinsiNusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Persentase rumah tangga menurut penampungan air limbah di Nusa Tenggara Timur dapat dilihat pada Gambar 3.3.9. Terlihat bahwa sebagian besar (72,7 %) rumah tangga di provinsi itu tanpa penampungan (di tanah) atau belum mempunyai tempat penampungan air limbah, sebagian kecil (5,3 %) dengan penampungan di luar pekarangan dan sisanya dengan penampungan cara lain masing-masing dengan persentase yang hampir sama (7,2 – 7,4 %).

7,2%

7,4% 5,3%

72,7%

7,4%

40

Karakteristik jenis tempat pembuangan air limbah memperlihatkan bahwa hanya yang tanpa penampungan (di tanah) yang lebih besar di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan sedangkan jenis penampungan lainnya adalah sebaliknya (Tabel 3.3.13). Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, makin rendah persentase yang tanpa penampungan (di tanah) dan sebaliknya pada SPAL, penampungan terbuka di lapangan dan penampungan di luar pekarangan sedangkan jenis yang langsung ke got/sungai tidak ada hubungan liniernya dengan kuintil, hanya saja paling banyak pada kuintil teratas.

Tabel 3.3.13

Proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik

Pembuangan air limbah kamar mandi/cuci/dapur T

ertu

tup

di

peka

rang

an/ S

PA

L

Pen

ampu

ngan

te

rbuk

a di

lapa

ngan

Pen

ampu

ngan

di l

uar

peka

rang

an

Tan

pa p

enam

pung

an

(di t

anah

)

Lang

sung

ke

got/s

unga

i

Tempat tinggal

Perkotaan 22,7 11,7 8,4 41,4 15,8

Perdesaan 3,4 6,3 4,6 80,4 5,3

Indeks kepemilikan

Terbawah 0,3 2,9 3,2 88,7 4,9

Menengah bawah 1,6 6,3 4,6 83,6 3,9

Menengah 3,9 7,9 5,4 77,2 5,6

Menengah atas 10,9 8,4 7,2 63,8 9,6

Teratas 23,8 12,9 6,7 41,5 15,1

Di antara enam cara pengelolaan sampah rumah tangga, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3.3.14, pengelolaan yang paling sering dipakai di Nusa Tenggara Timur adalah dibakar (56,2 %), disusul dengan cara dibuang sembarangan (28,9 %) dan yang paling jarang adalah dibuang ke laut (2,2 %). Kabupaten/kota yang paling tinggi persentase rumah tangga di wilayahnya dalam pengelolaan secara dibakar adalah di Kabupaten Kupang (89,9 %) dan terendah di Manggarai Timur (19,4 %), sementara cara dibuang sembarangan tertinggi di Sumba Barat Daya (76,4 %) dan terendah di Kota Kupang (4,1 %).

Di Nusa Tenggara Timur, ada tiga cara pengelolaan sampah rumah tangga (diangkut petugas, dibakar dan dibuang ke kali/parit/laut) yang lebih tinggi pesentase rumah tangga yang melakukannya di perkotaan daripada di perdesaan sedangkan tiga cara lainnya adalah sebaliknya (Tabel 3.3.15). Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, ada kecenderungan makin tinggi persentase rumah tangga yang melakukan tiga cara pengelolaan sampah: ”diangkut petugas”, ”dibakar” dan ”dibuang ke kali/parit/laut”tetapi sebaliknya untuk cara ”dibuang sembarangan”, sedangkan pada dua cara sisanya, tidak ada hubungan liniernya dengan kuintil.

41

Tabel 3.3.14 Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengelolaan sampah menurut kabupaten/kota,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas2013

Kabupaten/Kota

Cara pengelolaan sampah rumahtangga

Diangkut petugas

Ditimbun dalam tanah

Dibuat kompos

Dibakar Dibuang ke kali/parit/laut

Dibuang sembarangan

Sumba Barat 6,4 2,5 4,0 26,8 0,6 59,8

Sumba Timur 3,8 1,7

33,1 0,8 60,6

Kupang 1,7 2,3 0,9 89,9 0,1 5,0

Timor Tengah Selatan 2,3 10,1 8,8 38,2 0,5 40,2

Timor Tengah Utara 2,6 8,1 1,8 73,0 1,9 12,6

Belu 3,7 1,8 1,4 79,4 1,4 12,4

Alor 1,0 3,8

86,2 3,8 5,3

Lembata 9,3 2,7 0,1 47,4 5,7 34,8

Flores Timur 5,7 3,4 1,1 55,5 25,5 8,8

Sikka 4,5 1,6 0,2 66,3 15,5 11,9

Ende 8,9 5,4 0,2 58,9 9,1 17,5

Ngada 6,3 2,8 2,4 80,9 4,1 3,6

Manggarai 1,3 5,3 5,4 46,5 3,1 38,4

Rote Ndao 1,5 2,0 1,1 77,3 1,3 16,8

Manggarai Barat 2,7 2,8 1,5 43,1 0,4 49,5

Sumba Tengah

2,1 8,4 15,8 1,3 72,4

Sumba Barat Daya 0,7 1,0 0,2 20,5 1,2 76,4

Nagekeo 1,5 5,3 1,0 70,6 1,8 19,8

Manggarai Timur 2,2 3,0 3,2 19,4 4,7 67,5

Sabu Raijua 0,1 0,0 1,9 64,6

33,4

Kota Kupang 21,2 2,8 0,9 67,3 3,8 4,1

Nusa Tenggara Timur 4,6 3,8 2,2 56,2 4,3 28,9

Tabel 3.3.15

Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengelolaan sampah menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik

Cara pengelolaan sampah rumahtangga

Diangkut petugas

Ditimbun dalam tanah

Dibuat kompos

Dibakar Dibuang ke

kali/parit/ laut Dibuang

sembarangan

Tempat tinggal

Perkotaan 19,4 3,5 1,3 63,8 6,2 5,9

Perdesaan 1,0 3,9 2,4 54,3 3,9 34,5

Indeks kepemilikan

Terbawah 0,2 1,2 0,8 36,8 3,3 57,7

Menengah bawah 0,5 4,9 5,3 42,5 2,7 44,2

Menengah 1,6 5 1,7 67,5 4,6 19,6

Menengah atas 5,8 4,1 1,5 72,6 5,6 10,4

Teratas 18,7 3,6 1,1 66,6 6,2 3,8

42

3.3.3 Perumahan

Data perumahan yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 adalah data status penguasaan bangunan, kepadatan hunian, jenis bahan bangunan (plafon/langit-langit, dinding, lantai), lokasi rumah, kondisi ruang rumah (terpisah, kebersihan, ketersedian dan kebiasaan membuka jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami), penggunaan bahan bakar untuk memasak,perilaku rumah tangga dalam menguras bak mandi dan penggunaan/penyimpanan bahan berbahaya dan beracun seperti pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah,Tabel secara lengkap disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT,

Penguasaan bangunan tempat tinggal di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat dilihat pada Tabel 3.3.16. Terlihat bahwa sebagian besar (91,5 %) bangunan tempat tinggal di provinsi itu merupakan milik sendiri dan persentase status lainnya sangat kecil dan yang terkecil persentasenya (0,4 %) adalah statuslainnya.Kabupaten/kota yang paling tinggi persentasenya adalah Sabu Raijua (97,2 %) dan terendah Kota Kupang (70,3 %).

Tabel 3.3.16

Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan tempat tinggal menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota

Status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati

Milik sendiri

Kontrak Sewa Bebas sewa

(milik org lain)

Bebas sewa (milik orang

tua/sanak/saudara

Rumah dinas

Lainnya

Sumba Barat 88,0 0,9 4,0

1,8 5,3

Sumba Timur 92,5 0,8 0,9 0,4 4,3 1,2

Kupang 95,7 0,3 0,2 0,4 0,7 2,7

Timor Tengah Selatan 97,0 0,7 0,1 0,1 1,6 0,3 0,0

Timor Tengah Utara 92,7 2,2 0,9 0,2 2,9 0,7 0,4

Belu 90,4 0,2 0,4 0,2 3,6 0,3 4,8

Alor 95,3 1,6 0,6 0,2 1,3 0,9

Lembata 89,4 2,5 0,7 0,8 6,3 0,4

Flores Timur 96,6 2,0

0,2 1,2

Sikka 90,6 1,9 0,5 1,3 4,6 1,1

Ende 90,0 2,7 0,5 0,1 5,1 1,4 0,2

Ngada 91,1 3,9 0,4 0,9 2,2 1,4

Manggarai 91,0 1,9 1,5 1,2 3,9 0,3 0,1

Rote Ndao 89,7 2,3 0,9 0,4 5,8 0,9 0,0

Manggarai Barat 89,5 3,3 0,1 1,3 2,7 2,7 0,5

Sumba Tengah 96,3 0,6 0,2 0,2 1,1 1,7

Sumba Barat Daya 95,2 1,3 0,4 1,5 1,2 0,3

Nagekeo 96,7 1,3 0,1 0,2 0,4 1,3

Manggarai Timur 96,2 0,5

0,3 2,5 0,4 0,1

Sabu Raijua 97,2 0,2 0,1 0,5 1,5 0,5

Kota Kupang 70,3 9,2 14,2 1,3 4,7

0,4

Nusa Tenggara Timur 91,5 2,1 1,6 0,6 2,9 0,9 0,4

Sebagaimana tertera pada Tabel 3.3.17, karakterisitik rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam hal penguasaan bangunan tempat tinggal lebih besar persentasenya di perdesaan daripada di perkotaan untuk status milik sendiri, rumah dinas dan “lainnya”, sedangkan untuk

43

status kontrak, sewa dan bebas sewa adalah sebaliknya. Yang menyolok adalah status sewa, dimana persentase di perkotaan adalah 7,4 kali di perdesaan.

Tabel 3.3.17 Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan tempat tinggal menurut

karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik

Status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati

Milik sendiri Kontrak Sewa Bebas sewa

(milik org lain)

Bebas sewa (milik orang

tua/sanak/saudara

Rumah dinas

Lainnya

Tempat tinggal

Perkotaan 80,1 6,6 7,4 0,8 4,2 0,7 0,3

Perdesaan 94,3 1,0 0,1 0,5 2,6 1,0 0,5

Indeks kepemilikan Terbawah 95,2 0,5 0,1 1,0 3,1 0,1 0,0

Menengah bawah 95,9 0,6 0,1 0,3 2,4 0,6 0,2

Menengah 92,8 1,0 1,3 0,5 2,3 1,3 0,7

Menengah atas 85,6 3,7 4,3 0,5 3,4 1,5 1,1

Teratas 85,8 5,6 2,7 0,6 3,5 1,5 0,2

*) milik orang lain **) milik orang tua/sanak/ saudara

Gambar 3.3.8 Proporsi rumah tangga berdasarkan kepadatan hunian menurut

kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kepadatan hunian merupakan salah satu persyaratan rumah sehat, Dalam Keputusan Menteri Kesehatan no 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, disebutkan bahwa kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m

2 perorang dikategorikan sebagai

tidak padat dan sebaliknya. Hasil Riskesdas 2013 diketahui kepadatan hunian di Nusa Tenggara

44

Timur sebagian besar (64 %) berkepadatan > 8m2/orang dan sisanya (36 %) berkepadatan

< 8 m2/orang (Tabel 3.3.25). Kabupaten/kota yang kepadatan hunian warganya > 8 m

2/orang

berkisar antara 39,3 persen di Sumba Barat Daya hingga 81,3 persen di Kota Kupang.

Tabel 3.3.18 memperlihatkan kondisi fisik bangunan rumah (jenis bahan) yang meliputi plafon/ langit-langit, dinding dan lantai terluas. Proporsi rumah tangga dengan atap rumah terluas berplafon adalah sebesar 16,1 persen, dinding terbuat dari tembok sebesar 32,4 persen, dan lantai bukan tanah sebesar 73,5 persen.

Tabel 3.3.18

Proporsi rumah tangga berdasarkan kondisi fisik bangunan rumah menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota atap plafon dinding tembok Lantaibukan tanah

Sumba Barat 13,1 17,5 92,8 Sumba Timur 11,7 26,0 83 Kupang 17,9 42,9 71,2 Timor Tengah Selatan 5,9 18,0 35,7 Timor Tengah Utara 9 28,3 62,2 Belu 11,7 19,3 66,6 Alor 7,3 51,4 70 Lembata 12,7 50,0 70,6 Flores Timur 8,8 62,5 79,1 Sikka 12,8 33,8 81,2 Ende 17 28,2 87,4 Ngada 15 38,9 79,1 Manggarai 15 23,5 75,7 Rote Ndao 33,2 65,4 71,4 Manggarai Barat 9,3 16,5 75 Sumba Tengah 9,5 10,0 91,1 Sumba Barat Daya 37,5 15,8 86,7 Nagekeo 14,5 34,3 84 Manggarai Timur 6,4 12,6 57,4 Sabu Raijua 10,1 25,5 88,9 Kota Kupang 46,9 67,9 97,5

Nusa Tenggara Timur 16,1 32,4 73,5

Dari tabel tersebut juga terlihat bahwa proporsi rumah dengan atap terluas berplafon di perkotaan lebih tinggi (38,0%) dibandingkan di perdesaan (10,8%). Demikian juga untuk dinding dari lantai bukan tanah untuk wilayah perkotaan lebih tinggi (dinding tembok: 59,6%; lantai bukan tanah: 92,8%) dibandingkan perdesaan (dinding tembok: 26,3%; lantai bukan tanah: 68,7%) (Tabel 3.3.19).Selanjutnya dalam hal karakteristik tempat tinggal, bangunan hunian yang beratap plafon, berdinding tembok dan berlantai bukan tanah cenderung semakin banyak seiring dengan semakin tingginya kuintil indeks kepemilikan.

45

Tabel 3.3.19 Proporsi rumah tangga berdasarkan kondisi fisik bangunan rumah menurut karakteristik, Provinsi

Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Atap plafon Dinding tembok Lantaibukan tanah

Tempat tinggal

Perkotaan 38,0 59,6 92,8

Perdesaan 10,8 26,3 68,7

Indeks kepemilikan

Terbawah 10,4 7,8 61,4

Menengah bawah 4,7 14,0 51,7

Menengah 8,9 31,6 73,9

Menengah atas 17,4 49,2 91,8

Teratas 47,5 74,2 98,0

Pada Gambar 3.3.11 di bawah ini disajikan kondisi ruangan dalam rumah seperti ketersediaan ruang tidur, ruang dapur dan ruang keluarga dilihat dari keadaan, kebersihan, tersediaan jendela, ventilasi dan pencahayaannya. Sebagian besar ruangan-ruangan tersebut terpisah dari ruang lainnya. Dalam hal kebersihan, sekitar tiga perempat rumah tangga kondisi ruang tidur, ruang keluarga maupun dapurnya bersih dan berpencahayaan cukup. Tetapi kurang dari 50 persen rumah tangga yang ventilasinya cukup dan dilengkapi dengan jendela yang dibuka setiap hari.

Gambar 3.3.9 Proporsi rumah tangga berdasarkan ketersediaan ruang tidur, ruang keluarga dan ruang dapur

dengan kebersihan, keberadaan jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Tabel 3.3.20 memperlihatkan jenis sumber penerangan di Nusa Tenggara Timur. Sebanyak 73 persen penerangan di provinsi itu bersumber dari listrik dan sisanya yang 37 persen dari non listrik. Hampir seluruhnya (99,1 %) penerangan di Kota Kupang bersumber dari listrik dan itu merupakan kabupaten/kota yang tertinggi persentasenya di provinsi itu. Kabupaten/kota yang terendah persentase penerangannya yang bersumber listrik adalah Sumba Barat Daya.

89,4 80,8

87,4

72,9 73,8

60,5 53,8 55,7

40,1 39,3 40,2

30,2

68,5 72,2

59,1

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

Ruang Tidur Ruang Keluarga Ruang Dapur

Terpisah Bersih Jendela dibuka tiap hari Ventilasi cukup Pencahayaan Cukup

46

Tabel 3.3.20 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan rumah

menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Jenis sumber penerangan rumah

Listrik Non listrik

Sumba Barat 53,9 46,1

Sumba Timur 54,9 45,1

Kupang 85,9 14,1

Timor Tengah Selatan 63,3 36,7

Timor Tengah Utara 80,5 19,5

Belu 65,3 34,7

Alor 65,5 34,5

Lembata 85,6 14,4

Flores Timur 97,4 2,6

Sikka 80,9 19,1

Ende 95,3 4,7

Ngada 78,7 21,3

Manggarai 71,2 28,8

Rote Ndao 90,4 9,6

Manggarai Barat 62,1 37,9

Sumba Tengah 75,4 24,6

Sumba Barat Daya 31,4 68,6

Nagekeo 81,1 18,9

Manggarai Timur 58,7 41,3

Sabu Raijua 47,5 52,5

Kota Kupang 99,1 0,9

Nusa Tenggara Timur 73,0 27,0

Listrik: Listrik PLN dan non PLN : Non listrik:Petromaks/ aladin, Pelita/sentir/ obor, lainnya

Dibandingkan dengan karakteristik tempat tinggal perdesaan yang persentase sumber penerangannya dari listrik hanya 66,7 persen, penerangan di perkotaanlebih banyak, karena mencapai 98,3 persen (Tabel 3.3.32). Karakteristik kuintil indeks kepemilikan memperlihatkan bahwa semakin tinggi kuintil, semakin banyak rumahtangga yang penerangannya bersumber listrik dan sebaliknya yang non listrik.

Jenis penggunaan bahan bakar di rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 3.3.20. Menurut Keputusan Menterian Kesehatan Republik Indonesia (Kepmenkes RI) No 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, jenis bahan bakar/energi utama dalam rumah tangga per provinsi dikelompokan menjadi dua, yaitu yang aman artinya tidak berpotensi menimbulkan pencemaran (listrik dan gas/elpiji) dan tidak aman yaitu yang berpotensi menimbulkan pencemaran (minyak tanah, arang dan kayu bakar). Ternyata hanya hanya 22 persen rumah tangga di seluruh kabupaten/kota yang penggunaan bahan bakarnya aman dan sisanya tidak. Menurut karakteristik rumah tangga, yang menggunakan bahan bakar yang aman jauh lebih tinggi persentasenya di perkotaan (73,2 %) atau lebih dari tujuh kali persentasenya terhadap persentase di perdesaan.

47

Tabel 3.3.21 Proporsi rumah tangga menurut jenis sumber penerangan dan karakteristik rumah tangga,

Provinsi Nusa Tenggara Timur , Riskesdas 2013

Karakteristik

Jenis sumber penerangan rumah

Listrik PLN Non listrik

Tempat tinggal

Perkotaan 98,4 1,6

Perdesaan 66,7 33,3

Indeks kepemilikan

Terbawah 30,4 69,6

Menengah bawah 54,7 45,3

Menengah 90,2 9,8

Menengah atas 99,7 0,3

Teratas 99,8 0,2

Gambar3.3.10

Proporsi Rumahtangga berdasarkan Penggunaan Jenis Bahan Bakar/Energi Utama, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Gambar 3.3.13 memperlihatkan proporsi rumahtangga dalam upaya mencegah gigitan nyamuk baik secara mekanis (kelambu, kasa nyamuk) maupun kimiawi (insektisida, obat anti nyamuk bakar, repelen). Di seluruh Nusa Tenggara Timur, dalam hal pencegahan gigitan nyamuk memperlihatkan bahwa di antara enam cara pencegahan yang dapat dilakukan, persentase terbesar adalah memakai kelambu (57,9 %), selanjutnya makin kecil persentasenya dengan cara pencegahan lainnya dan yang paling kecil persentasenya adalah minum obat.Karakteristik rumah tangga menunjukkan bahwa hanya pemakaian kelambu yang lebih tinggi persentasenya di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, sedangkan pada pencegahan lima cara lainnya adalah sebaliknya dan sangat mendominasi di perkotaan.

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

PenggunaanBahan Bakar

Perkotaan Perdesaan

22,2

73,2

9,5

77,8

26,8

90,5

Aman Tidak Aman

48

Gambar 3.3.11 Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku mencegah gigitan nyamuk, Provinsi Nusa

Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Pestisida/Insektisida/pupuk kimia adalah senyawa yang dibutuhkan oleh rumah tangga tertentu dan ternyata di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, 8,5 persen rumah tangga menyimpan senyawa tersebut (Gambar 3.3.14). Berdasarkan karakteristik, penggunaan/penyimpanan pestisida/insektisida/pupuk kimia lebih banyak di perdesaan daripada di perkotaan.

Gambar 3.3.12 Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

3.4 Penyakit Menular

Informasi mengenai penyakit menular pada Riskesdas 2013 diperoleh dari seluruh kelompok umur di 21 kabupaten/kota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Informasi yang diperoleh berupa insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit yang digali melalui teknik wawancara

57,9%

19,1%

1,8%

4,0%

3,7%

0,7%

49

menggunakan kuesioner baku (RKD13,IND), dengan pertanyaan terstruktur secara klinis dan informasi laboratorium bila diperlukan,Responden ditanya apakah pernah didiagnosis menderita penyakit tertentu oleh tenaga kesehatan (D: diagnosis),Responden yang menyatakan tidak pernah didiagnosis, ditanyakan lagi apakah pernah/sedang menderita gejala klinis spesifik penyakit tersebut (G: gejala), Jadi insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit merupakan data yang didapat dari D maupun G (DG) yang ditanyakan dalam kurun waktu tertentu.

Data penyakit menular yang dikumpulkan terbatas pada beberapa penyakit, yaitu penyakit yang ditularkan melalui udara (infeksi saluran pernapasan atas/ISPA, pneumonia, dan tuberkulosis), penyakit yang ditularkan oleh vektor (malaria), penyakit yang ditularkan melalui makanan, air, dan lewat penularan lainnya (diare dan hepatitis), Penyakit-penyakit tersebut berhubungan dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), MDG‟s dan program pengendalian hepatitis di Indonesia yang pertama kali dilakukan di dunia.

3.4.1Penyakit yang ditularkan melalui Udara

Tabel 3.4.1 menunjukkan period prevalence dan prevalensi penyakit yang ditularkan melalui udara meliputi ISPA, pneumonia, dan Tuberkulosis menurut provinsi dan Tabel 3.4.2 hal yang sama menurut karakteristik. Semua penyakit ini juga didata pada Riskesdas 2007. Agar hasil Riskesdas 2013 bisa dibandingkan dengan Riskesdas 2007, beberapa penyakit disesuaikan waktunya. Informasi kurun waktu tertentu seperti pneumonia ditambahkan untuk menyesuaikan kebutuhan program.

3.4.1.1 ISPA

Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Period prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi yang tertinggi period prevalence-nya di antara semua provinsi di Indonesia yaitu sebesar 41,7 %. Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi period prevalence ISPA. Period prevalence ISPA di Provinsi Nusa Tenggara Timur menurut Riskesdas 2013 (41,7 %) tidak jauh berbeda dengan 2007. Kabupaten/kota yang tertinggi prevalensi ISPA-nya adalah Sumba Tengah (69 %) dan terendah Manggarai (22 %) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.4.1.

Sesuai yang tertera pada Tabel 3.4.2, karakteristik penderita ISPA menunjukkan bahwa kelompok umur yang paling banyak penderitanya adalah umur 1-4 tahun (54,6 %) dan paling jarang pada umur 15-24 tahun (35 %), dan penderita perempuan (42,4 %) sedikit lebih tinggi daripada laki-laki (41,1 %). Makin tinggi tingkat pendidikan cenderung makin rendah infeksinya. Petani/nelayan/buruh merupakan kelompok pekerjaan yang tertinggi infeksinya dibandingkan dengan kelompok pekerjaan lain. Penderita yang tinggal di perdesaan lebih banyak daripada yang tinggal di perkotaan. Mulai dari kuintil indeks kepemilikan menengah bawah, terlihat adanya hubungan linier linier antara kuintil indeks kepemilikan dengan infeksi ISPA.

50

Tabel 3.4.1 Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita dan prevalensi pneumonia menurut

Kabupaten/Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota

Periode prevalence ISPA

Periode prevalence Pneumonia

Prevalensi pneumonia

Periode prevalence Pneumonia

Balita (permil)

D DG D DG D DG D DG

Sumba Barat 8,8 35,7 1,7 13,1 0,4 5,3 0,3 4,9

Sumba Timur 6,8 52,0 1,1 14,3 0,2 5,0 3,8

Kupang 38,3 50,8 1,8 6,1 0,6 3,0 1,2 6,4

Timor Tengah Selatan 17,2 46,6 1,1 11,3 0,3 5,5 3,2

Timor Tengah Utara 15,4 35,7 1,3 9,2 0,5 4,9 0,8

Belu 24,7 36,7 0,7 2,1 0,1 0,7

Alor 19,9 31,2 1,5 7,7 0,2 3,2 1,3

Lembata 30,9 50,1 3,5 22,4 0,4 8,5 6,2

Flores Timur 11,0 29,6 0,6 4,8 0,1 1,5 2,3

Sikka 20,3 50,4 0,7 4,3 0,1 1,7 1,0

Ende 31,9 49,7 0,8 13,8 0,1 6,2 4,9

Ngada 45,0 54,3 3,0 13,2 0,1 5,9 4,3

Manggarai 16,2 22,0 0,8 6,0 0,2 4,1 4,1

Rote Ndao 11,0 45,3 1,4 9,7 0,4 4,7 2,8

Manggarai Barat 12,3 37,7 0,4 3,4 0,1 1,6 2,8

Sumba Tengah 39,1 69,0 2,3 14,6 0,9 7,7 2,2 7,9

Sumba Barat Daya 9,0 37,8 4,1 19,1 0,5 5,5 0,9 4,2

Nagekeo 21,0 48,1 2,5 19,6 0,1 6,0 6,4

Manggarai Timur 17,1 57,8 1,6 27,2 0,5 15,9 0,2 11,3

Sabu Raijua 8,4 41,6 1,3 9,4 0,1 4,2 0,3 4,1

Kota Kupang 13,5 27,6 0,6 5,8 0,1 2,8 3,5

Nusa Tenggara Timur 19,2 41,7 1,4 10,3 0,3 0,3 0,2 3,8

3.4.1.2 Pneumonia

Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit), sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang). Pneumonia ditanyakan pada semua penduduk untuk kurun waktu 1 bulan atau kurang dan dalam kurun waktu 12 bulan atau kurang. Period prevalence penumonia di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2013 yang sebesar 4,6 ‰ dan 10,3 ‰ menempati urutan tertinggi di seluruh Indonesia. Kabupaten/kota yang tertinggi prevalensi pneumonianya di provinsi itu adalah Sumba Tengah (0,9 ‰) dan yang tertinggi period prevalence-nya adalah Manggarai Timur (27,2 ‰) sebagaimana tertera pada Tabel 3.4.1. Pada Tabel 3.4.2 berdasarkan kelompok umur penduduk, terlihat bahwa prevalensi maupun period prevalence pneumonia tertinggi pada umur > 75 tahun (masing-masing 7,9 ‰ dan 18,4 ‰), sama-sama lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan pada perempuan, sama-sama ada kecenderungan hubungan linier terbalik dengan tingkat pendidikan serta sama-sama ada kecenderungan hubungan linier terbalik dengan kuintil indeks kepemilikan (mulai dari kuintil indeks kepemilikan menengah bawah).

51

Tabel 3.4.2 Period prevalence ISPA, pneumonia dan prevalensi pneumonia menurut karaktristik,Provinsi

Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik

Period prevalence ISPA

Period prevalencePneumoni

a

Prevalensi Pneumonia

Periode prevalence Pneumonia Balita

(permil)

D DG D DG D DG D DG

Kelompok umur (tahun)

< 1 23,1 47,6 0,9 5,9 0,0 2,8

1-4 26,9 54,6 1,1 7,4 0,2 4,1

5-14 19,6 43,1 1,0 7,7 0,2 3,4

15-24 16,2 35,0 1,3 9,3 0,2 4,0

25-34 16,7 37,2 1,4 10,9 0,3 4,8

35-44 18,1 38,3 1,5 11,5 0,3 5,5

45-54 18,5 42,0 1,9 13,5 0,5 6,1

55-64 20,6 44,3 2,2 15,9 0,5 6,0

65-74 22,1 49,9 2,5 18,0 0,6 7,8

≥75 19,6 44,7 3,3 18,4 0,7 7,9

Balita

0-11 bulan 0,0 2,8

12-23 bulan 0,2 4,1

24-35 bulan 4,1

36-47 bulan 0,7 4,9

48-59 bulan 3,3

Jenis Kelamin

Laki-laki 18,4 41,1 1,5 10,8 0,3 4,7 0,3 3,8

Perempuan 20,1 42,4 1,3 9,9 0,3 4,5 0,1 3,9

Pendidikan

Tidak sekolah 19,9 45,2 1,7 13,7 0,4 5,7

Tidak tamat SD/MI 18,6 43,5 1,4 11,5 0,2 4,9

Tamat SD/MI 18,7 41,1 1,6 11,7 0,4 5,5

Tamat SMP/MTS 17,6 36,1 1,1 8,7 0,2 3,8

Tamat SMA/MA 16,6 32,5 1,5 8,2 0,3 3,4

Tamat D1-D3/PT 14,3 28,0 1,3 6,5 0,3 2,7

Pekerjaan

Tidak bekerja 17,0 37,2 1,4 9,6 0,3 4,4

Pegawai 15,7 31,2 1,7 8,3 0,2 3,5

Wiraswasta 16,0 30,9 1,1 6,5 0,1 1,6

Petani/Nelayan/Buruh 18,7 43,4 1,8 15,0 0,4 6,4

Lainnya 19,4 38,5 1,1 7,1 0,1 3,0

Tempat Tinggal

Perkotaan 16,3 32,0 0,9 5,4 0,2 2,3 2,3

Perdesaan 19,9 44,1 1,5 11,6 0,3 5,2 0,2 4,2

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 15,1 43,6 1,7 12,9 0,2 5,3 0,2 3,9

Menengah Bawah 18,8 46,5 1,3 13,7 0,3 6,6 0,0 6,6

Menengah 24,3 44,6 1,6 9,9 0,5 4,6 0,5 2,9

Menengah Atas 21,0 39,5 1,1 7,8 0,2 3,5 0,2 2,4

Teratas 16,5 32,1 1,3 5,9 0,2 2,3 2,0

52

3.4.1.3 Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) yang dalam hal ini adalah TB Paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Gejala utamanya adalah batuk selama 2 minggu atau lebih, batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak, dahak bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1 bulan.

Penyakit TB ditanyakan pada responden untuk kurun waktu ≤ 2 tahun berdasarkan diagnosis yang ditegakkan oleh tenaga kesehatan baik melalui pemeriksaan dahak, foto thoraks atau ke duanya, Berbeda dengan penyakit-penyakit menular yang lain, gejala TB tidak ikut dimasukkan dalam total jumlah penduduk dengan TB.

Tabel 3.4.3

Prevalensi TB berdasarkan diagnosis dan gejala TB menurut Kabupaten/Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota

Diagnosis TB dan yang diobati program Gejala TB

Ya, ≤ 1 thn Ya, > 1 thn OAT

Program Batuk ≥ 2minggu

Batuk darah

Sumba Barat 1,2 0,5 62,9 13,0 52,9

Sumba Timur 0,7 0,7 52,7 14,4 48,5

Kupang 0,4 1,9 37,5 4,7 34,2

Timor Tengah Selatan 0,4 1,7 31,8 11,4 30,6

Timor Tengah Utara 0,2 1,0 50,5 9,7 45,1

Belu 0,3 0,6 31,5 3,1 37,7

Alor 0,3 1,6 33,3 4,1 36,9

Lembata 0,3 0,8 48,1 13,2 33,3

Flores Timur 0,0 0,9 2,3 7,6 12,0

Sikka 0,2 1,0 44,0 3,1 30,4

Ende 0,1 0,9 8,1 7,2 48,9

Ngada 0,0 1,6 30,3 8,5 30,3

Manggarai 0,3 0,6 24,7 2,9 21,9

Rote Ndao 0,4 0,8 52,3 12,3 55,1

Manggarai Barat 0,2 0,9 37,9 6,5 30,9

Sumba Tengah 0,7 2,0 37,8 12,4 30,2

Sumba Barat Daya 0,5 1,3 27,2 20,1 27,6

Nagekeo 0,2 2,3 24,4 11,8 15,0

Manggarai Timur 0,3 1,0 38,4 16,8 17,4

Sabu Raijua 1,1 21,6 11,1 0,1

Kota Kupang 0,0 0,7 47,1 4,1 57,6

Nusa Tenggara Timur 0,3 1,1 34,8 8,8 33,0

Di seluruh Nusa Tenggara Timur, banyaknya penderita tuberkulosis hasil diagnosis dalam kurun waktu < 1 tahun terakhir adalah 0,3 permil dan yang didiagnosis > 1 tahun terakhir adalah 1,1 permil dan yang diobati dengan obat anti tuberkulosis adalah 34,8 persen (Tabel 3.4.3). Tiga kabupaten/kota dengan jumlah penderita tertinggi dalam < 1 tahun terakhir adalah Sumba Barat (1,2 ‰), Sumba Timur (0,7 ‰) dan Sumba Tengah (0,7 ‰) dan dalam > 1 tahun terakhir adalah Nagekeo (2,3 ‰), Sumba Tengah (2 ‰) dan Kabupaten Kupang (1,9 ‰), sementara tiga kabupaten/kota dengan pengobatan tertinggi adalah Sumba Barat (62,9 %), Sumba Timur (52,7 %) dan Timor Tengah Utara (50,5 %). Penderita yang menunjukkan gejala batuk > 2 minggu di seluruh provinsi itu adalah 8,8 persen dengan kisaran antara 2,9 persen di Manggarai dan 20,1

53

persen di Sumba Barat Daya dan yang batuk darah adalah sepertiga (33 %) dari seluruh penderita dengan kisaran antara 0,1 persen di Sabu Raijua dan 57,6 persen di Kota Kupang.

Tabel 3.4.4

Prevalensi TB berdasarkan diagnosis dan gejala TB menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Responden

Diagnosis TB dan yang diobati program Gejala TB

Ya, ≤ 1 thn Ya, > 1 thn OAT Program Batuk ≥ 2 minggu Batuk darah

Kelompok umur (tahun)

< 1 0,8 7,3

1-4 0,0 0,6 17,7 7,0 10,5

5-14 0,1 0,8 14,6 7,8 7,4

15-24 0,1 0,8 3,6 6,7 10,0

25-34 0,3 0,9 38,8 8,1 32,3

35-44 0,4 1,4 46,5 9,7 44,1

45-54 0,7 1,8 56,0 10,5 49,8

55-64 0,9 1,7 43,9 12,8 54,5

65-74 0,8 1,8 58,5 14,6 57,3

≥75 0,3 2,8 16,8 18,0 29,0

Jenis Kelamin

Laki-laki 0,4 1,1 37,3 8,7 32,5

Perempuan 0,2 1,1 32,0 8,9 33,7

Pendidikan

Tidak sekolah 0,8 1,5 38,2 12,6 38,3

Tidak tamat SD 0,3 1,1 31,4 10,0 31,5

Tamat SD 0,4 1,4 42,6 9,4 39,4

Tamat SMP 0,1 0,9 25,8 7,6 29,3

Tamat SMA 0,2 0,7 38,5 5,7 33,3

Tamat D1/D2/D3/PT 0,0 0,9 24,9 4,0 9,2

Pekerjaan

Tidak bekerja 0,2 0,9 33,4 8,1 32,0

Pegawai 0,1 1,0 28,0 4,7 30,5

Wiraswasta 0,0 1,4 50,7 5,8 43,5

Petani/Nelayan/Buruh 0,6 1,6 41,3 11,7 40,6

Lainnya 0,2 1,0 27,1 7,1 27,0

Tempat Tinggal

Perkotaan 0,1 0,7 40,5 5,3 44,2

Perdesaan 0,3 1,2 34,0 9,6 31,5

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 0,4 1,0 38,4 11,6 37,7

Menengah Bawah 0,3 1,2 32,2 11,2 25,4

Menengah 0,4 1,3 34,0 8,2 31,1

Menengah Atas 0,2 1,2 41,9 6,2 43,4

Teratas 0,1 0,8 22,4 5,6 27,2

54

Tidak ada hubungan linier antara umur dengan penderita tuberkulosis yang didiagnosis < 1 tahun terakhir dan yang diobati, tetapi untuk penderita yang didiagnosis > 1 tahun terakhir, ada kecenderungan makin tinggi jumlah penderitanya seiring dengan bertambahnya umur (Tabel 3.4.4). Makin tinggi umur, cenderung makin tinggi jumlah penderita dengan gejala batuk > 2 minggu, tetapi tidak dengan gejala batuk darah. Penderita yang didiagnosis < 1 tahun terakhir lebih banyak di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan, tetapi untuk yang didiagnosis > 1 tahun terakhir sama banyak di kedua jenis tempat tinggal. Makin tinggi tingkat pendidikan, cenderung makin rendah jumlah jumlah komponen penderita, pengobatan dan kategori gejala. Wiraswasta atau petani/nelayan/buruh merupakan kelompok pekerjaan yang tertinggi jumlahnya.

3.4.2 Penyakit yang ditularkan melalui Makanan, Air dan lainnya

Penyakit yang ditularkan melalui makanan, air dan lainnya pada Riskesdas 2013 adalah diare dan hepatitis, Pertanyaan diare ditambahkan dalam kurun waktu < 2 minggu, sesuai dengan kebutuhan program.

3.4.2.1 Hepatitis

Hepatitis adalah penyakit infeksi hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis A, B, C, D atau E. Hepatitis dapat menimbulkan gejala demam, lesu, hilang nafsu makan, mual, nyeri pada perut kanan atas, disertai urin warna coklat yang kemudian diikuti dengan ikterus (warna kuning pada kulit dan/sklera mata karena tingginya bilirubin dalam darah), Hepatitis dapat pula terjadi tanpa menunjukkan gejala (asimptomatis).

Tabel 3.4.5 Prevalensi Hepatitis, Insiden dan Period prevalence Diare menurut Kabupaten/Kota

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota

Prevalensi Hepatitis

Insiden Diare Period prevalence

Diare Insiden Diare

Balita

D DG D DG D DG D DG

Sumba Barat 0,3 2,6 2,3 5,1 5,3 13,2 3,5 5,3

Sumba Timur 0,4 1,2 0,7 2,9 3,6 11,0 1,0 5,0

Kupang 0,1 1,3 6,2 7,5 13,9 16,6 10,2 11,2

Timor Tengah Selatan 0,2 1,8 3,3 5,8 8,6 15,8 6,8 10,2

Timor Tengah Utara 0,3 1,9 3,0 5,4 6,8 11,9 0,7 1,7

Belu 0,1 1,1 2,2 2,9 6,1 8,4 4,9 8,6

Alor 0,1 2,7 2,6 4,1 5,3 9,1 5,8 8,4

Lembata 0,1 12,0 3,0 4,5 8,6 12,7 2,4 3,8

Flores Timur 0,2 1,9 0,8 1,0 3,8 5,4 1,7 1,7

Sikka 0,1 1,0 1,5 2,3 3,7 5,4 2,4 4,5

Ende 0,1 2,7 3,6 5,5 8,5 12,9 6,6 8,7

Ngada 0,6 9,7 5,3 6,2 10,4 12,4 7,6 7,6

Manggarai 0,2 4,9 2,5 3,1 4,3 5,3 7,9 9,8

Rote Ndao 0,1 1,9 1,4 3,6 4,1 8,7 5,3 9,3

Manggarai Barat 0,2 0,8 1,3 1,8 3,6 6,0 3,6 5,0

Sumba Tengah 0,4 1,6 6,5 8,0 12,6 15,7 11,2 11,9

Sumba Barat Daya 0,5 13,8 2,2 3,6 7,6 18,3 2,7 2,9

Nagekeo 0,8 8,4 0,8 1,9 2,8 6,8 1,4 1,8

Manggarai Timur 0,4 20,8 5,2 11,1 8,4 21,8 7,5 10,3

Sabu Raijua 0,0 0,7 0,9 2,4 2,4 8,0 1,9 3,9

Kota Kupang 0,4 1,3 0,8 2,0 1,7 4,1 2,3 5,7

Nusa Tenggara Timur 0,3 4,3 2,6 4,3 6,3 10,9 4,6 6,7

55

Tabel 3.4.6 Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare

menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Prevalensi Hepatitis

Insiden Diare Insiden diare

balita Period prevalence

Diare

D DG D DG D DG D DG

Kelompok umur (tahun)

< 1 1,6 3,4 5,4 8,1 12,6 1-4 0,1 2,3 4,9 7,0 10,7 16,3 5-14 0,1 3,4 2,5 3,8 6,1 10,5 15-24 0,2 3,8 1,9 3,4 4,9 8,5 25-34 0,5 5,2 2,4 4,0 5,7 10,3 35-44 0,4 5,7 2,2 4,2 5,4 10,8 45-54 0,4 5,3 2,9 5,0 5,9 11,3 55-64 0,4 5,6 2,5 3,8 6,7 11,4 65-74 0,2 6,1 2,3 3,9 5,9 9,9 ≥75 0,5 4,4 3,2 4,5 8,3 12,4

Kelompok umur balita

0-11 bulan 0,0 2,8 12-23 bulan 0,2 4,1 24-35 bulan 4,1 36-47 bulan 0,7 4,9 48-59 bulan 3,3

Jenis Kelamin

Laki-laki 0,3 4,1 2,4 4,0 0,3 3,8 6,4 11,3 Perempuan 0,2 4,4 2,9 4,5 0,1 3,9 6,1 10,5

Pendidikan

Tidak sekolah 0,2 5,1 3,2 5,0 7,4 12,9 Tidak tamat SD/MI 0,2 4,9 2,5 4,1 6,2 11,4 Tamat SD/MI 0,4 5,4 2,6 4,4 6,0 10,8 Tamat SMP/MTS 0,3 4,1 1,9 3,3 5,8 9,4 Tamat SMA/MA 0,3 2,5 1,5 2,8 3,5 6,6 Tamat D1-D3/PT 0,4 2,9 1,2 1,9 3,7 6,1

Pekerjaan

Tidak bekerja 0,3 3,8 1,9 3,4 5,1 8,7 Pegawai 0,6 3,5 0,7 1,4 2,6 5,2 Wiraswasta 0,4 2,4 1,7 2,6 4,5 8,4 Petani/Nelayan/Buruh 0,4 6,7 2,9 4,9 6,8 12,8 Lainnya 0,0 1,9 2,2 3,0 5,3 7,3

Tempat Tingggal

Perkotaan 0,2 1,3 1,1 2,3 2,3 2,9 5,6 Perdesaan 0,3 5,0 3,0 4,7 0,2 4,2 7,1 12,2

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 0,3 5,9 2,8 4,7 0,2 3,9 6,7 13,3 Menengah Bawah 0,2 6,2 3,1 5,5 0,0 6,6 7,7 14,3 Menengah 0,2 3,8 3,4 4,7 0,5 2,9 7,7 11,1 Menengah Atas 0,2 2,9 2,1 3,4 0,2 2,4 5,2 8,2 Teratas 0,3 1,9 1,3 2,5 2,0 3,4 6,2

56

Prevalensi hepatitis di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2013 yang sebesar 4,3 % menempati urutan teratas di antara semua provinsi di Indonesia dan hampir 4 kali prevalensi nasional yang sebesar 1,2 %. Sesuai dengan yang tertera pada Tabel 3.4.5, kabupaten/kota yang tertinggi prevalensi hepatitisnya adalah Manggarai Timur (20,8 %) dan terendah di Sabu Raijua (0,7 %).

Dalam hal karakteristik penderita hepatitis terlihat bahwa ada kecenderungan makin tinggi infeksinya seiring dengan pertambahan umur, cenderung lebih tinggi infeksi pada perempuan daripada laki-laki dan makin tinggi tingkat pendidikan cenderung makin rendah infeksinya (Tabel 3.4.6). Juga terlihat bahwa infeksi di perdesaan (5 %) sebesar 4 kali infeksi di perkotaan (1,3 %) serta ada kecenderungan, semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan semakin rendah infeksinya.

Di antara 4 jenis hepatitis yang dikenal, jenis hepatitis yang terbanyak penderitanya di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah hepatitis B (29,6 %) lalu disusul oleh hepatitis A (27,9 %) sedangkan hepatitis C dan hepatitis lainnya sangat kecil proporsinya dan bahkan kedua jenis hepatitis terakhir ini hanya ditemukan di 1 atau 2 kabupaten/kota saja (Tabel 3.4.7). Kabupaten/kota yang tertinggi proporsi hepatitis B adalah Sabu Raijua (100 %) dan hanya jenis hepatitis tersebut yang ditemukan di kabupaten itu. Adapun proporsi hepatitis A yang tertinggi adalah di Manggarai (74,6 %).

Tabel 3.4.7

Proporsi penderita hepatitis A, B, C, dan hepatitis lain menurut kabupaten/kota , Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Jenis Hepatitis yang Diderita

Hepatitis A Hepatitis B Hepatitis C Hepatitis Lainnya

Sumba Barat 13,1 16,1

Sumba Timur 23,7

Kupang 36,3

Timor Tengah Selatan 17,3 34,1

Timor Tengah Utara 20,5 54,2

Belu 72,5 27,5

Alor 36,2 53,5

Lembata

53,6

Flores Timur

39,0

Sikka 55,9

Ende

85,0

Ngada 48,1

Manggarai 74,6 7,4

Rote Ndao 32,1 30,9 29,0

Manggarai Barat 35,4 64,6

Sumba Tengah

10,1

Sumba Barat Daya 12,2 6,7

7,8

Nagekeo 6,4 73,2

Manggarai Timur 29,0 27,7 37,0

Sabu Raijua

100,0

Kota Kupang 42,7 41,1

Nusa Tenggara Timur 27,9 29,6 3,2 1,0

Indonesia 19,3 21,8 2,5 1,8

57

3.4.2.2 Diare

Diare adalah gangguan buang air besar/BAB ditandai dengan BAB lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja cair, dapat disertai dengan darah dan atau lendir,

Riskesdas 2013 mengumpulkan informasi insiden diare agar bisa dimanfaatkan program, dan period prevalencediare agar bisa dibandingkan dengan Riskesdas 2007.

Sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3.4.5, insiden diare di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2013 adalah 4,3 persen dan period prevalence sebesar 10,9 persen. Kabupaten/kota yang tertinggi insiden diarenya adalah Manggarai Timur (11,1 %) dan terendah Flores Timur (1 %), sementara period prevalence tertinggi juga di Manggarai Timur (21,8 %) namun terendah di Kota Kupang (4,1 %).

Khusus pada balita, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.4.6, insiden diare tahun 2013 adalah 6,7 % dengan kisaran antara 1,7 % di Timor Tengah Utara dan Flores Timur hingga 11,9 % di Sumba Tengah.

Karakteristik umur responden diare balita memperlihatkan bahwa diare tertinggi adalah pada kelompok 12-23 bulan (9,5 %), sedikit lebih banyak pada laki-lakidibandingkan dengan perempuan dan mendominasi di perdesaan (Tabel 3.4.6). Adapun karakteristik kuintil indeks kepemilikan memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan linier antara kuintil dengan insiden, tetapi infeksi tertinggi cenderung pada kuintil menengah.

Tabel 3.4.8 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut kabupaten/kota,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Oralit Zn

Sumba Barat 35,6 1,9

Sumba Timur 38,9 1,2

Kupang 93,8 5,1

Timor Tengah Selatan 63,5 3,8

Timor Tengah Utara 43,0 3,1

Belu 84,3 3,3

Alor 50,0 4,8

Lembata 70,5 1,1

Flores Timur 36,0 2,5

Sikka 38,2 4,2

Ende 44,5 1,8

Ngada 45,9 3,2

Manggarai 22,8 2,9

Rote Ndao 35,2 2,3

Manggarai Barat 22,0 6,6

Sumba Tengah 84,2 11,8

Sumba Barat Daya 35,5 0,6

Nagekeo 65,4 1,9

Manggarai Timur 46,8 2,5

Sabu Raijua 26,7

Kota Kupang 70,4 11,8

Nusa Tenggara Timur 51,5 3,3

Oralit dan zinc sangat dibutuhkan pada pengelolaan diare balita. Oralit dibutuhkan sebagai rehidrasi yang penting saat anak banyak kehilangan cairan akibat diare dan Kecukupan zinc di dalam tubuh balita akan membantu proses penyembuhan diare. Pengobatan dengan pemberian

58

oralit dan zinc terbukti efektif dalam menurunkan tingginya angka kematian akibat diare sampai 40 persen. Pemakaian oralit dalam mengelola diare pada penduduk Nusa Tenggara Timur adalah 51,5 persen (Tabel.3.4.8). Tiga kabupaten/kota tertinggi yang menonjol penggunaan oralit adalah Kabupaten Kupang (93,8 %), Belu (84,3 %) dan Sumba Tengah (84,2 %). Pengobatan diare dengan menggunakan zinc pada penduduk Nusa Tenggara timur adalah 3,3 persen. Dua kabupaten/kota tertinggi yang menyolok pemakaian zinc pada pengobatan diare adalah Sumba Tengah dan Kota Kupang, masing-masing 11,8 persen.

3.4.3 Penyakit yang ditularkan oleh Vektor (Malaria)

Malaria merupakan penyakit menular yang menjadi perhatian global, Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena sering menimbulkan KLB, berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi, serta dapat mengakibatkan kematian, Penyakit ini dapat bersifat akut, laten atau kronis. Kepada responden yang menyatakan “tidak pernah didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan” ditanyakan apakah pernah menderita panas disertai menggigil atau panas naik turun secara berkala, dapat disertai sakit kepala, berkeringat, mual, muntah dalam waktu satu bulan terakhir atau satu tahun terakhir. Ditanyakan pula apakah pernah minum obat malaria dengan atau tanpa gejala panas, Untuk responden yang menyatakan “pernah didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan” ditanyakan apakah mendapat pengobatan dengan obat program kombinasi artemisinin dalam 24 jam pertama menderita panas atau lebih dari 24 jam pertama menderita panas dan apakah habis diminum dalam waktu 3 hari.

Tabel 3.4.9

Insiden dan point prevalent malaria menurut kabupaten/kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Insiden Malaria Prevalensi Malaria

D DG D DG

Sumba Barat 4,5 7,4 24,2 35,5

Sumba Timur 2,4 7,3 17,7 47,9

Kupang 3,3 5,8 9,2 16,1

Timor Tengah Selatan 2,4 6,1 7,2 20,3

Timor Tengah Utara 0,9 5,6 4,6 14,5

Belu 1,1 2,1 5,8 12,1

Alor 1,3 3,3 6,5 16,0

Lembata 9,3 13,1 30,9 48,5

Flores Timur 1,5 2,7 6,7 11,7

Sikka 2,6 5,5 14,4 21,4

Ende 4,0 7,5 15,4 23,8

Ngada 3,5 9,3 10,6 25,3

Manggarai 0,6 3,8 2,0 7,5

Rote Ndao 0,7 4,7 4,7 16,3

Manggarai Barat 1,4 6,4 4,5 15,8

Sumba Tengah 9,7 14,4 30,4 45,4

Sumba Barat Daya 7,9 15,0 28,1 58,3

Nagekeo 3,7 9,5 11,5 29,8

Manggarai Timur 1,2 17,5 3,8 36,2

Sabu Raijua 2,1 7,1 9,6 28,2

Kota Kupang 0,8 2,4 2,8 7,2

Nusa Tenggara Timur 2,6 6,8 10,3 23,3

59

Tabel 3.4.10 Insiden dan prevalen malaria menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur,

Riskesdas 2013

Karakteristik Insiden Malaria Prevalensi Malaria

D DG D DG

Kelompok umur (tahun)

< 1 1,2 4,7 3,9 11,6

1-4 2,3 6,9 9,8 23,5

5-14 3,0 7,1 10,6 23,6

15-24 2,3 5,6 10,1 21,6

25-34 2,7 7,2 10,5 22,8

35-44 2,7 7,3 11,4 25,2

45-54 2,6 7,4 10,3 24,1

55-64 2,8 6,7 10,5 24,2

65-74 2,1 7,1 9,7 25,2

≥75 2,1 5,4 7,9 22,9

Jenis Kelamin

Laki-laki 2,6 6,9 10,9 24,1

Perempuan 2,6 6,8 9,7 22,5

Pendidikan

Tidak sekolah 3,2 7,7 9,7 25,9

Tidak tamat SD 2,8 7,5 10,6 26,1

Tamat SD 2,7 7,5 10,3 24,6

Tamat SMP 2,6 5,7 11,7 21,2

Tamat SMA 2,2 4,9 10,3 17,8

Tamat D1/D2/D3/PT 2,2 4,0 9,6 15,1

Pekerjaan

Tidak bekerja 2,6 6,6 10,1 22,0

Pegawai 2,1 4,5 10,0 17,8

Wiraswasta 2,0 4,3 8,8 14,9

Petani/Nelayan/Buruh 2,7 8,0 11,2 28,0

Lainnya 2,8 4,9 9,7 16,2

Tempat Tinggal

Perkotaan 1,5 3,3 8,1 13,8

Perdesaan 2,9 7,7 10,8 25,6

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 3,3 9,4 12,6 33,1

Menengah Bawah 2,3 8,2 9,0 26,3

Menengah 3,0 6,5 10,4 20,8

Menengah Atas 2,4 5,2 10,2 18,2

Teratas 2,1 4,0 9,2 15,8

Insidensidan prevalensi malaria pada penduduk Nusa Tenggara Timur tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 3.4.9. Terlihat bahwa insidensidan prevalensi malaria di provinsi itu masing-masing adalah 2,6 persen dan 6,8 persen dan di Indonesia merupakan urutan kedua setelah Papua.Tiga kabupaten/kota dengan insidensi tertinggi adalah Manggarai Timur (17,5 %), Sumba Barat Daya

60

(15 %) dan Sumba Barat (14,4 %) dan tiga kabupaten/kota dengan prevalensi tertinggi adalah Sumba Barat Daya (58,3 %), Lembata (48,5 %) dan Sumba Timur (47,9 %). Hanya sekitar separuh (55 %) kasus malaria di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang diobati dengan obat program dengan kisaran antara 7,1 persen di Sumba Timur hingga 94 persen di Nagekeo.

Karakteristik umur responden dengan malaria di Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa tidak ada hubungan linier antara umur dengan insidensi malaria, prevalensi malaria maupun dengan pengobatan dengan obat program, namun paling rendah pada kelompok umur < 1 tahun (Tabel 3.4.10). Hal itu berarti bahwa malaria bisa terjadi pada sembarang kelompok umur kecuali pada kelompok umur < 1 tahun adalah yang paling kecil risikonya. Hal itu berkaitan dengan lebih terlindunginya bayi (< 1 tahun) dari gigitan vektor. Insidensi malaria sama pada laki-laki dan perempuan, sementara prevalensinya sedikit lebih tinggi pada laki-laki, demikian juga dengan pengobatan dengan obat program lebih tinggi pada laki-laki. Makin tinggi pendidikan, ada kecenderungan makin rendah insidensi dan prevalensi malaria di Nusa Tenggara Timur, namun sebaliknya makin banyak yang diobati. Petani/Nelayan/Buruh merupakan kelompok pekerjaan yang paling tinggi insidensi maupun prevalensinya dibandingkan dengan pekerjaan lain, namun dalam hal pengobatan, hanya menduduki urutan kedua terendah setelah kelompok tidak bekerja. Baik insidensi maupun prevalensi jauh lebih banyak di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, tetapi pengobatan hanya sedikit lebih tinggi di perdesaan. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, makin tinggi insidensi maupun prevalensi malaria, tetapi dengan pengobatan tidak berkorelasi linier. Ada beberapa hal yang merupakan komponen pengobatan dalam penanganan malaria sebagaimana dikemukakan pada Tabel 3.4.11. Ternyata di Provinsi Nusa Tenggara Timur tidak satu komponenpun yang mencapai 100 persen, bahkan yang tertinggi, 88 persen, hanya pada komponen” minum obat selama 3 hari” saja sedangkan persentase komponen lainnya jauh di bawahnya. Sebagian kecil (2,7 %) penderita malaria masih berusaha minum obat antimalaria dengan/tanpa gejala khas, yang secara langsung bisa menambah cakupan pengobatan, tetapi bisa juga dianggap sebagai pemborosan karena belum tentu positif malaria. Karakteristik responden malaria yang berkaitan dengan pengobatan penanganan malaria memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan linier antara umur dengan kewaspadaan dan kepedulian tersebut, juga dengan minum obat anti malaria dengan/tanpa gejala khas malaria (Tabel 3.4.12). Hanya “mendapatkan obat dalam 24 jam pertama” yang lebih tinggi persentasenya pada perempuan dibandingkan dengan lak-laki, sedangkan yang lainnya adalah sebaliknya. Pendidikan juga tidak berhubungan dengan kewaspadaan dan kepedulian tersebut dan juga tidak ada tingkat pedidikan tertentu yang mendominasinya. Hanya ada sedikit perbedaan kewaspadaan dan kepedulian penanganan malariadi perkotaan dan di perdesaan, baik perbedaan yang berupa mayoritas maupun minoritas. Dalam hal karakteristik kuintil indeks kepedulian, juga tidak ada hubungan linier antara kuintil dengan pengobatan penyakit malaria, tetapi menunjukkan adanya hubungan linier terbalik dengan responden malaria yang minum obat anti malaria dengan/tanpa gejala khas malaria.

61

Tabel 3.4.11 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut Kabupaten/Kota,ProvinsiNusa Tenggara Timur,

Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota

Pengobatan malaria sesuai program

Mengobati sendiri

Mendapatkan obat ACT program

Mendapatkan obat dalam 24 jam

pertama

Minum obat selama 3 hari

Sumba Barat 56,5 55,7 87,4 2,8

Sumba Timur 17,6 65,3 89,3 6,1

Kupang 72,9 60,0 75,9 1,7

Timor Tengah Selatan 31,8 22,3 81,0 3,0

Timor Tengah Utara 39,5 36,7 45,6 2,3

Belu 68,9 45,5 93,0 1,3

Alor 41,0 64,3 94,1 3,2

Lembata 35,3 84,5 95,4 4,5

Flores Timur 33,5

100,0 1,6

Sikka 67,6 86,4 94,1 2,2

Ende 66,5 44,3 86,3 5,3

Ngada 42,8 75,2 93,7 2,5

Manggarai 16,3 79,6 79,6 0,6

Rote Ndao 48,2

73,0 1,1 Manggarai Barat 59,7 77,4 91,8 1,4

Sumba Tengah 67,7 82,6 97,9 1,6

Sumba Barat Daya 73,1 56,4 91,3 8,5

Nagekeo 84,8 68,0 89,3 2,5

Manggarai Timur 38,6 67,9 50,6 3,5

Sabu Raijua 77,2 24,4 85,8 2,2

Kota Kupang 75,9 78,4 72,2 1,2

Nusa Tenggara Timur 54,9 61,3 88,0 2,7

62

Tabel 3.4.12 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita

malaria yang mengobati sendiri menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Responden

Pengobatan penyakit malaria

mengobati sendiri Mendapatkan obat ACT program

Mendapatkan obat dalam 24 jam

pertama

Minum obat selama 3 hari

Kelompok umur (tahun)

<1 46,9 89,6 100,0 0,9

1-4 56,6 55,6 92,5 2,4

5-14 56,2 62,7 93,0 2,5

15-24 51,4 54,7 83,4 2,1

25-34 56,8 53,7 86,8 2,6

35-44 51,5 62,9 77,4 3,3

45-54 61,0 72,7 87,1 3,7

55-64 52,5 74,4 89,9 3,2

65-74 52,3 44,5 100,0 3,3

≥75 53,9 79,6 71,2 3,2

Jenis Kelamin

Laki-laki 55,3 60,2 91,7 2,8

Perempuan 54,6 62,5 84,2 2,6

Pendidikan

Tidak sekolah 49,7 67,3 94,3 2,7

Tidak tamat SD 55,1 56,6 91,1 3,1

Tamat SD 56,6 65,4 85,7 3,4

Tamat SMP 54,9 60,0 78,4 2,3

Tamat SMA 54,3 57,8 83,7 2,0

Tamat D1/D2/D3/PT 60,1 60,2 82,4 0,7

Pekerjaan

Tidak bekerja 53,2 63,2 83,7 2,3

Pegawai 55,0 72,0 85,2 1,2

Wiraswasta 56,6 68,1 74,4 2,0

Petani/Nelayan/Buruh 56,6 58,2 87,4 3,8

Lainnya 51,7 41,3 96,7 2,7

Tempat tinggal

Perkotaan 44,2 68,2 81,2 1,6

Perdesaan 57,1 60,5 88,9 3,0

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 56,2 54,7 89,8 3,7

Menengah Bawah 52,0 67,5 88,4 3,4

Menengah 61,6 60,6 84,4 2,5

Menengah Atas 53,6 62,9 91,7 2,0

Teratas 49,9 64,6 86,7 1,6

63

3.5 Penyakit Tidak Menular

Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis tidak ditularkan dari orang ke orang. PTM mempunyai durasi yang panjang dan perkembangan yang umumnya lambat. Empat jenis PTM utama menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner, stroke,. Kanker, penyakit pernafasan kronis (asma, penyakit paru obstrukstif kronis) dan diabetes (DM).

Tujuan Riskesdas 2013 dalam bidang PTM adalah untuk memperoleh gambaran penduduk dengan penyakit tidak menular. Data penyakit tidak menular didapat melalui pertanyaan/ wawancara responden tentang penyakit tidak menular yang terdiri dari: (1) asma (2) penyakit paru obstrukstif kronis (PPOK) (3) kanker (4) DM (5) hipertiroid (6) hipertensi (7) jantung koroner (8) gagal jantung (9) stroke (10) gagal ginjal kronis (11) batu ginjal (12) penyakit sendi/rematik. Jenis pertanyaan meliputi: besaran PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan. Besaran PTM berdasarkan keluhan/gejala tertentu yang dialami oleh responden dan onset PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan atau yang dialami responden.

Prevalensi penyakit adalah gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis tenaga medis/kesehatan dan kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM. Pada kanker, gagal ginjal kronis dan batu ginjal hanya berdasarkan yang terdiagnosis dokter. Data penyakit asma/ mengi/bengek dan kanker diambil dari responden semua umur. Untuk penyakit paru obstruksi kronis umur > 30 tahun. Untuk penyakit kencing manis/diabetes mellitus, hipertiroid, hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit sendi/rematik/encok dan stroke ditanya pada umur ≥ 15 tahun. Riwayat penyakit ditanyakan mengenai umur mulai serangan atau tahun pertama didiagnosis. sedangkan pertanyaan gejala ditanyakan mengenai pernah atau dalam kurun waktu 1 bulan mengalami gejala. Hipertensi dinilai melalui 2 cara yaitu wawancara dan pengukuran. Untuk hipertensi wawancara ditanyakan mengenai riwayat didiagnosis oleh nakes, dan kondisi sedang minum obat anti-hipertensi saat diwawancara. Untuk hipertensi berdasarkan hasil pengukuran, dilakukan pengukuran tekanan darah/tensi menggunakan alat pengukur/tensimeter digital. Setiap responden diukur tensinya minimal 2 kali. Jika hasil pengukuran ke-dua berbeda ≥10 mmHg dibanding pengukuran pertama maka dilakukan pengukuran ke-tiga. Dua data pengukuran dengan selisih terkecil dengan pengukuran terakhir dihitung reratanya sebagai hasil ukur tensi.

Terdapat beberapa perbedaan pertanyaan dalam kuesioner Riskesdas (RKD) 2013 dibandingkan RKD 2007. Untuk kasus asma pada RKD 2007 ditanyakan apakah pernah didiagnosis asma oleh tenaga kesehatan, kemudian untuk yang menjawab tidak dilanjutkan dengan pertanyaan apakah ada mengalami gejala asma seperti sesak dengan disertai mengi, dada rasa tertekan di pagi hari atau waktu lainnya? Pada RKD 2013 pertanyaan asma berdasarkan pertanyaan yang lebih komplit, seperti sesak yang timbul bila terpapar udara dingin/rokok/debu/infeksi/kelelahan/alergi obat/makanan. Ada gejala mengi/sesak lebih berat malam hari atau menjelang pagi/ gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan. PPOK hanya ada pada RKD 2013. Pertanyaan PPOK berdasarkan gejala meliputi sesak, batuk berdahak, dan merokok dengan Indek Brinkman ≥ 200. Sesak bertambah ketika beraktifitas dan bertambah dengan meningkatnya usia. Pertanyaan kanker pada RKD 2007. Apakah pernah didiagnosis tumor/kanker oleh tenaga kesehatan? Hasilnya dinilai agak bias karena pertanyaan tumor/ kanker meliputi tumor jinak dan ganas. RKD 2013 menanyakan apakah pernah didiagnosis kanker oleh dokter. Jadi lebih memfokuskan pada tumor ganas/kanker. Pertanyaan tentang hipertiroid tidak ada dalam RKD 2007 namun pada RKD 2013 ditanyakan apakah pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter? Prevalensi yang didapat berdasar pertanyaan tentu akan lebih rendah dari kenyataan sebenarnya karena biasanya penduduk berobat ke tenaga medis setelah ada gejala dimana penyakit sebenarnya sudah berlanjut. Tekanan darah pada waktu RKD 2007 diukur dengan tensimeter digital merk Omron tipe IA2 dan pengukuran dilakukan pada lengan kanan sesuai pedoman. RKD 2013 mengggunakan tensimeter digital merk Omron tipe IA1 karena tipe IA2 diskontinu dan sesuai pedoman, diukur pada lengan kiri. Orang Indonesia umumnya menggunakan lengan kanan yang lebih banyak gerak dari pada lengan kiri dan telah diketahui hasil pengukuran lengan kanan sedikit lebih tinggi dari lengan kiri. Pada RKD 2007 pertanyaan penyakit jantung digabung (kongenital/jantungkoroner/gagaljantung/jantung reumatik. dll) yaitu apakah pernah didiagnosis penyakit jantung oleh tenaga kesehatan? Pada

64

RKD 2013 pertanyaan berupa apakah pernah didiagnosis menderita penyakit jantung koroner oleh dokter ? Bagi yang belum terdiagnosis dilanjutkan dengan pertanyaan gejala sesuai kriteria “Rose Quesionnaire”. Untuk penyakit gagal jantung pertanyaan yang diajukan adalah apakah pernah didiagnosis penyakit gagal jantung oleh dokter ? Bagi yang belum terdiagnosis dilanjutkan dengan pertanyaan gejala terkait gagal jantung. Pada RKD 2013 juga terdapat pertanyaan apakah pernah didiagnosis penyakit gagal ginjal kronis dan batu ginjal oleh dokter ? Pertanyaan untuk stroke dan rematik sama dengan tahun 2007 yaitu apakah pernah didiagnosis oleh tenaga kesehatan dan dilanjutkan dengan pertanyaan gejala terkait penyakit.

Informasi hasil analisis penyakit tidak menular (PTM) meliputi (1) asma (2) PPOK (3) kanker (4) DM (5) hipertiroid (6) hipertensi (7) jantung koroner (8) gagal jantung (9) stroke (10) gagal ginjal kronis (11) batu ginjal (12) penyakit sendi/rematikdisajikan dalam bentuk tabel. Tabel menunjukkan prevalensi provinsi dan kabupaten/kota, serta karakteristik sosiodemografi. Istilah D dalam tabel berarti telah didiagnosis tenaga kesehatan. D/G adalah hasil diagnosis ditambah gejala (yang belum terdiagnosis). Untuk kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes diberi inisial D. Dan gabungan kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes dengan kasus hipertensi berdasarkan riwayat sedang minum obat hipertensi sendiri diberi istilah DO (diagnosis atau minum obat sendiri). Hasil berdasarkan pengukuran diberi inisial U.

3.5.1 Asma

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik di jalan napas. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dan obstruksi jalan napas. Gejala asma adalah gangguan pernapasan (sesak). Batuk produktif terutama pada malam hari atau menjelang pagi dan dada terasa tertekan. Gejala tersebut memburuk pada malam hari. Adanya alergen (seperti debu, asap rokok). Sedang menderita sakit seperti demam. Gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan. Didefinisikan sebagai asma jika pernah mengalami gejala sesak napas yang terjadi pada salah satu atau lebih kondisi: terpapar udara dingin dan/atau debu dan/atau asap rokok dan/atau stres dan/atau flu atau infeksi dan/atau kelelahan dan/atau alergi obat dan/atau alergi makanan dengan disertai salah satu atau lebih gejala : mengi dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang dengan pengobatan dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang tanpa pengobatan dan/atau sesak napas lebih berat dirasakan pada malam hari atau menjelang pagi. jika pertama kali merasakan sesak napas saat berumur < 40 tahun (usia serangan terbanyak).

Pada Tabel 3.5.1 terlihat bahwa asma diderita oleh 7,3 persen penduduk Nusa Tenggara Timur dan menempati urutah kedua setelah Sulawesi Tengah (7,8 %). Tiga kabupaten/kota dengan asma tertinggi adalah kisaran di Manggarai Timur (26,3 %), Sumba Barat Daya (15,4 %) dan Sumba Barat (13,7 %).

Karakteristik responden asma memperlihatkan bahwa asma terbanyak terjadi pada kelompok umur 25-34 dan 35-44 tahun (masing-masing 11,1 %) lalu menurun ke umur secara berangsur-angsur ke umur yang lebih muda dan lebih tua (Tabel 3.5.2). Kedua jenis kelamin hampir sama jumlah responden asmanya. Penderita asma terbanyak ditemukan pada yang berpendidikan tamat SD lalu menurun secara berangsur-angsur ke yang berpendidikan ke bawah dan ke atasnya. Petani/nelayan/buruh merupakan pekerjaan yang paling banyak penderita asma dibandingkan dengan kelompok pekerjaan lain. Asma sangat dominan di perdesaan, bahkan dua kali dibandingkan dengan perkotaan. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, makin rendah jumlah responden asma.

65

Tabel 3.5.1 Prevalensi penyakit asma, penyakit paru obstruktif kronis, kanker

menurut kabupaten/kota di Propinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Asma* PPOK** Kanker(‰)***

Sumba Barat 13,7 25,7

Sumba Timur 11,1 19,4 0,1

Kupang 3,8 4,6

Timor Tengah Selatan 6,7 15,2 0,1

Timor Tengah Utara 5,1 6,1 0,3

Belu 3,0 4,4 0,0

Alor 4,0 4,4 0,1

Lembata 8,4 10,0 0,1

Flores Timur 6,3 6,7 0,2

Sikka 4,8 4,6 0,1

Ende 7,7 10,0 0,1

Ngada 8,9 11,8 0,3

Manggarai 2,4 3,1 0,1

Rote Ndao 5,1 9,8 0,2

Manggarai Barat 9,2 9,9 0,2

Sumba Tengah 10,1 18,0 0,1

Sumba Barat Daya 15,4 18,4 0,1

Nagekeo 6,0 7,9 0,1

Manggarai Timur 18,8 26,3 0,0

Sabu Raijua 7,2 8,0

Kota Kupang 4,2 1,9 0,1

Nusa Tenggara Timur 7,3 10,0 0,1

*Semua umur berdasar wawancara gejala **Usia > 30 tahun berdasar wawancara gejala ***Semua umur menurut diagnosis dokter

3.5.2 Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)

PPOK adalah penyakit kronik saluran napas yang ditandai dengan hambatan aliran udara khususnya udara ekspirasi dan bersifat progresif lambat (semakin lama semakin memburuk). disebabkan oleh pajanan faktor risiko seperti merokok. polusi udara di dalam maupun di luar ruangan. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang dengan pengobatan. Didefinisikan sebagai PPOK jika pernah mengalami sesak napas yang bertambah ketika beraktifitas dan/atau bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk berdahak atau sesak napas disertai batuk berdahak dan nilai Indeks Brinkman ≥ 200. Indeks Brinkman adalah jumlah batang rokok yang diisap. Dihitung sebagai lama merokok (dalam tahun) dikalikan dengan jumlah rokok yang diisap per hari. Hasil yang didapat melalui kuesioner akan lebih rendah dibanding pemeriksaan spirometri, karena PPOK baru ada keluhan bila fungsi paru sudah menurun banyak.

Sesuai yang tertera pada Tabel 3.5.1, di seluruh Nusa Tenggara Timur terdapat 10 persen penderita PPOK dan merupakan provinsi tertinggi jumlah penderita asmanya. Tiga kabupaten/kota dengan persentase tertinggi penderita PPOK adalah Manggarai Timur (26,3 %), Sumba Barat (25,7 %) dan Sumba Timur (19,4 %). Prevalensi PPOK yang tercantum dalam tabel tersebut lebih rendah dari kejadian sebenarnya, karena manifestasi klinis baru terlihat ketika fungsi paru sudah menurun.

66

Dalam hal karakteristik, sebagaimana tercantum pada Tabel 3.5.2, penderita asma semakin banyak seiring dengan semakin bertambahnya umur, sedikit lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, makin jarang seiring dengan makin tingginya tingkat pendidikan dan paling banyak pada petani/nelayan/buruh dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain. Adapun karakteristik kuintil indeks kepemilikian menunjukkan adanya hubungan linier terbalik atau makin rendah penderitanya seiring dengan makin tingginya kuintil.

3.5.3 Kanker

Kanker atau tumor ganas adalah pertumbuhan sel/jaringan yang tidak terkendali terus bertumbuh/bertambah immortal (tidak dapat mati). Sel kanker dapat menyusup ke jaringan sekitar dan dapat membentuk anak sebar. Diagnosis kanker maupun jenis kanker ditegakkan berdasarkan hasil wawancara terhadap pertanyaan pernah didiagnosis menderita kanker oleh dokter.

Prevalensi kanker di Nusa Tenggara Timur sangat jarang, hanya 0,1 permil, sebagaimana tercantumj pada Tabel 3.5.1. Karena prevalensi penderitanya sangat rendah, keragaman menurut kabupaten/kota tidak kelihatan atau dengan perkataan lain hampir sama di semua kabupate/kota, bahkan di kabupaten tertentu (Belu dan Manggarai Timur) tidak ada penderita dan di tiga kabupaten tertentu lainnya tidak tercatat adanya penderita.

Demikian juga karena terlalu kecilnya prevalensi kanker di provinsi itu, gambaran karakteristik penderita kankernya juga sulit ditentukan untuk karakteristik tertentu. Yang dapat dikemukakan hanya bahwa penderita kanker cenderung tinggi di kelompok umur > 45 tahun, seluruhnya perempuan, tertinggi pada wiraswasta, di perkotaan adalah dua kali di perdesaan serta tertinggi di kelompok kuintil indeks kepemilikan menengah atas (Tabel 3.5.2).

3.5.4 Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe I/ diabetes juvenile yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe II yang didapat setelah dewasa. Gejala diabetes antara lain: rasa haus yang berlebihan (polidipsi) sering kencing (poliuri) terutama malam hari, sering merasa lapar (poliphagi), berat badan yang turun dengan cepat, keluhan lemah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, impotensi, luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan kulit. Dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi besar dengan berat badan > 4 kg. Didefinisikan sebagai DM jika pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala: sering lapar dan sering haus dan sering buang air kecil & jumlah banyak dan berat badan turun.

Pada Tabel 3.5.3, di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur besarnya prevalensi diabetes mellitus yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 1,2 persen yang berarti berada di bawah angka nasional yang prevalensinya 1,5 persen. Ditambah dengan penderita yang menunjukkan gejala, prevalensi seluruh diabetes mellitus di provinsi itu adalah 3,3 persen dan berada di atas prevalensi nasional. Karena terlalu kecilnya prevalensi tersebut, maka prevalensi menurut kabupaten/kota dan gambaran karakteristik penderita tidak dapat dianalisis (Tabel 3.5.4).

67

Tabel 3.5.2 Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut

karakteristik responden, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Responden Asma* PPOK** Kanker***

Umur

< 1 Tahun 3,7

1-4 Tahun 6,6

0,0

5-14 Tahun 4,9

0,0

15-24 Tahun 8,6

0,1

25-34 Tahun 11,1 6,0 0,1

35-44 Tahun 11,1 6,4 0,1

45-54 Tahun 6,6 9,5 0,3

55-64 Tahun 4,5 13,9 0,3

65-74 Tahun 3,5 19,3 0,3

75+ Tahun 3,6 22,9 0,2

Jenis Kelamin

Laki-Laki 7,4 10,9 0,0

Perempuan 7,2 9,1 0,2

Pendidikan*

Tidak Sekolah 7,7 17,0 0,1

Tidak Tamat SD 7,0 13,7 0,1

Tamat SD 9,3 9,8 0,1

Tamat SMP 7,9 6,7 0,1

Tamat SMA 5,9 4,2 0,1

Tamat D1- D3, PT 3,6 1,0 0,1

Pekerjaan**

Tidak Kerja 6,5 9,8 0,1

Pegawai 4,5 2,6 0,0

Wiraswasta 6,5 3,7 0,2

Petani/Nelayan/Buruhh 10,8 12,1 0,1

Lainnya 4,1 4,7 0,1

Tempat Tinggal

Perkotaan 4,1 3,9 0,2

Perdesaan 8,1 11,4 0,1

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 10,7 13,9 0,0

Menengah bawah 9,5 6,8 0,1

Menengah 6,2 4,7 0,1

Menengah atas 4,8 3,6 0,2

Teratas 4,4 1,2 0,1

68

3.5.5. Penyakit Hipertiroid

Penyakit hipertiroid adalah suatu keadaan ketika fungsi kelenjar gondok (tiroid) menjadi berlebihan. Kelebihan fungsi kelenjar tersebut meningkatkan produksi hormon tiroid yang mempengaruhi metabolisme tubuh. Gejala penyakit hipertiroid antara lain: jantung berdebar-debar.berkeringat banyak, penurunan berat badan, cemas, tidak tahan terhadap udara dingin, dan lain-lain. Didefinisikan sebagai hipertiroid jika pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter. Besarnya prevalensi hipertiroid di kabupaten/kota sangat kecil, hanya 0,4 persen dan seluruhnya merupakan penderita hasil diagnosis oleh dokter (Tabel 3.5.3). Sama seperti diabetes Melitus, karena prevalensinya terlalu kecil, maka gambaran karakteristik penderita tidak dapat dianalisis (Tabel 3.5.4).

3.5.6 Hipertensi/Tekanan Darah Tinggi

Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal. Didefinisikan sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis menderita hipertensi/penyakit tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita hipertensi tetapi saat diwawancara sedang minum obat medis untuk tekanan darah tinggi (minum obat sendiri). Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus merujuk pada kriteria diagnosis JNC VII 2003 yaitu hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku untuk umur ≥ 18 tahun. maka prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah dihitung hanya pada penduduk umur ≥ 18 tahun. Mengingat pengukuran tekanan darah dilakukan pada penduduk umur ≥ 15 tahun maka temuan kasus hipertensi pada umur 15-17 tahun sesuai kriteria JNC VII 2003 akan dilaporkan secara garis besar sebagai tambahan informasi.

Sesuai dengan yang tertera pada Tabel 3.5.3, prevalensi hipertensi hasil wawancara di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 7,2 persen dan berada di bawah angka nasional yang mencapai 9,4 persen. Ditambah dengan penderita yang sedang minum obat hipertensi sendiri meskipun belum pernah didiagnosis dokter, prevalensi seluruh hipertensi di provinsi itu adalah 7,4 persen dan berada di bawah prevalensi nasional yang mencapai 9,5 persen. Tiga kabupaten/kota dengan prevalensi tertinggi semua kasus hipertensi adalah Sikka (11,4 %), Ende (11,1 %) dan Ngada (11,1 %). Adapun prevalensi hipertensi hasil pengukuran pada usia 15 - <18 tahun menurut JNC VII 2003 adalah 23,3 persen atau berada di bawah prevalensi nasional (25,8 %). Tiga kabupaten/kota dengan prevalensi tertinggi hipertensi hasil pengukuran adalah Ngada (29,8 %), Flores Timur (28,3 %) dan Manggarai Timur (28,1 %).

Pada analisis karakteristik didapatkan bahwa prevalensi hipertensi meningkat seiring dengan meningkatnya umur, baik hipertensi hasil diagnosis tenaga kesehatan, seluruh hipertensi gabungan diagnosis tenaga kesehatan dan yang makan obat hipertensi maupun hipertensi terbatas pada usia 15 - <18 tahun menurut JNC VII 2003 (Tabel 3.5.4). Hipertensi pada usia 15 - <18 tahun menurut JNC VII 2003 menunjukkan bahwa laki-laki mendominasi, pendidikan tidak menunjukkan pola kecenderungan yang jelas, cenderung lebih banyak pada wiraswasta dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain, lebih tinggi di perkotaan serta makin tinggi prevalensinya seiring dengan makin tinggi tingkat kuintil indeks kepemilikan.

69

Tabel 3.5.3 Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥ 15 tahun dan hipertensi pada umur ≥ 18 tahun

menurut kabupaten/kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Diabetes Hipertiroid

Hipertensi

Wawancara Pengukuran

D D/G D D O U

Sumba Barat 1,2 3,4 0,1 5,4 5,5 17,3

Sumba Timur 0,8 1,3 0,9 8,0 8,1 18,2

Kupang 1,4 2,9 0,1 5,5 5,9 23,2

Timor Tengah Selatan 1,4 2,4 1,0 4,4 4,8 18,2

Timor Tengah Utara 1,0 2,8 0,0 5,5 5,6 25,1

Belu 0,5 0,5 0,2 2,5 2,5 25,9

Alor 0,9 1,7 0,1 3,2 3,2 18,2

Lembata 2,3 5,7 0,2 7,3 7,5 20,9

Flores Timur 0,6 0,9 0,2 8,1 8,1 28,3

Sikka 1,1 1,4 0,5 11,4 11,4 24,3

Ende 3,0 5,2 0,5 11,0 11,2 24,4

Ngada 1,2 3,0 0,9 9,8 11,2 29,8

Manggarai 0,6 1,7 0,3 9,0 9,3 25,2

Rote Ndao 0,9 6,3 0,5 9,8 9,8 20,7

Manggarai Barat 0,9 1,6 0,2 11,3 11,3 24,4

Sumba Tengah 0,8 4,5 1,0 6,9 7,2 17,8

Sumba Barat Daya 0,7 2,7 0,6 6,1 6,5 16,4

Nagekeo 2,2 4,7 0,6 8,5 8,9 27,2

Manggarai Timur 2,2 19,2 0,8 9,2 9,8 28,1

Sabu Raijua 0,0 0,1 0,2 4,2 4,3 26,3

Kota Kupang 1,0 1,5 0,1 6,8 7,0 25,4

Nusa Tenggara Timur 1,2 3,3 0,4 7,2 7,4 23,3

70

Tabel 3.5.4 Prevalensi diabetes, hipertiroid, hipertensimenurut karakteristik responden,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Responden Diabetes * Hipertiroid* Hipertensi**

Wawancara Pengukuran

D D/G D D D/O U

Umur

15-24 Tahun 0,6 1,9 0,2 1,2 1,2 9,0

25-34 Tahun 0,8 3,2 0,2 3,6 3,9 13,5

35-44 Tahun 1,0 3,6 0,6 6,7 7,0 22,0

45-54 Tahun 2,0 3,9 0,6 11,1 11,3 30,8

55-64 Tahun 1,8 3,9 0,9 13,2 13,6 38,6

65-74 Tahun 2,0 4,3 0,7 16,1 16,3 49,8

75+ Tahun 2,3 5,1 0,7 15,8 15,9 53,2

Jenis Kelamin

Laki-Laki 1,1 3,2 0,2 6,1 6,2 22,1

Perempuan 1,2 3,3 0,7 8,3 8,6 24,4

Pendidikan

Tidak Sekolah 0,9 2,8 0,5 6,2 6,3 31,8

Tidak Tamat SD 0,9 3,6 0,6 8,5 8,6 27,5

Tamat SD 1,4 4,1 0,4 7,9 8,1 23,7

Tamat SMP 0,8 2,3 0,4 5,8 6,4 17,6

Tamat SMA 1,5 2,7 0,2 6,2 6,3 18,4

Tamat PT 1,4 2,4 0,2 8,1 8,2 23,8

Pekerjaan

Tidak Kerja 1,4 2,8 0,4 7,7 7,9 23,1

Pegawai 1,2 2,5 0,2 8,6 8,7 23,1

Wiraswasta 1,4 2,4 0,1 7,1 7,3 26,5

Petani/Nelayan/Buruh 1,0 3,9 0,5 6,7 6,9 23,1

Lainnya 0,9 2,2 0,3 8,4 8,6 23,0

Tempat Tinggal

Perkotaan 1,4 1,9 0,3 9,1 9,3 25,6

Perdesaan 1,1 3,6 0,5 6,7 7,0 22,7

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 0,6 3,5 0,3 5,2 5,4 20,1

Menengah bawah 1,0 4,9 0,7 5,9 6,3 21,9

Menengah 1,3 3,2 0,4 7,7 7,9 23,6

Menengah atas 1,3 2,2 0,3 7,4 7,6 25,3

Teratas 1,7 2,2 0,2 10,2 10,4 25,9

*Usia > 15 tahun**Umur 18 tahun

71

3.5.7 Penyakit Jantung

Penyakit jantung pada orang dewasa yang sering ditemui adalah penyakit jantung koroner dan gagal jantung. Responden biasanya mengetahui penyakit jantung yang diderita sebagai penyakit jantung saja. Cara membedakannya dengan menanyakan gejala yang dialami responden.

3.5.7.1 Penyakit jantung koroner

Penyakit jantung koroner adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Secara klinis ditandai dengan nyeri dada atau terasa tidak nyaman di dada atau dada terasa tertekan berat ketika sedang mendaki/kerja berat ataupun berjalan terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan jauh. Didefinisikan sebagai PJK jika pernah didiagnosis menderita PJK (angina pektoris dan/atau infark miokard) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita PJK tetapi pernah mengalami gejala/riwayat: nyeri di dalam dada/rasa tertekan berat/tidak nyaman di dada dan nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan di dada bagian tengah/dada kiri depan/menjalar ke lengan kiri dan nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan ketika mendaki/naik tangga/berjalan tergesa-gesa dan nyeri/tidak nyaman di dada hilang ketika menghentikan aktifitas/istirahat.

Di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, besarnya prevalensi penyakit jantung koroner adalah 4,4 persen dan merupakan provinsi yang tertinggi prevalensinya di Indonesia. Prevalensi tersebut sudah termasuk penyakit jantung koroner yang didiagnosis oleh dokter sebesar 0,3 persen (Tabel 3.5.5). Prevalensi sebesar 2,4 persen tersebut berada di atas prevalensi nasional yang besarnya 1,5 persen. Dua kabupaten yang menyolok prevalensinya dan menempati urutan teratas di provinsi itu adalah Sumba Barat Daya (15,5 %) dan Manggarai Timur (12,6 %).

Karakteristik penyakit jantung koroner memperlihatkan bahwa semakin tinggi umur, semakin tinggi prevalensinya, hampir sama pada laki-laki (4,2 %) dan pada perempuan (4,5 %), semakin rendah prevalensinya seiring dengan meningkatnya pendidikan responden, sangat dominan pada petani/nelayan/buruh dibandingkan dengan pekerjaan lain, lebih banyak di perdesaan dan semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah prevalensinya (Tabel 3.5.6).

3.5.7.2 Penyakit gagal jantung

Gagal Jantung/Payah Jantung (fungsi jantung lemah) adalah ketidakmampuan jantung memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh yang ditandai dengan sesak nafas pada saat beraktifitas dan/atau saat tidur terlentang tanpa bantal dan/atau tungkai bawah membengkak. Didefinisikan sebagai penyakit gagal jantung jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung (decompensatio cordis) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung tetapi mengalami gejala/riwayat: sesak napas pada saat aktifitas dan sesak napas saat tidur terlentang tanpa bantal dan kapasitas aktivitas fisik menurun/mudah lelah dan tungkai bawah bengkak.

Gambaran prevalensi penyakit gagal jantung di Nusa Tenggara Timur juga tercantum pada Tabel 3.5.5 dan terlihat bahwa prevalensi penyakit gagal jantung di provinsi itu adalah 0,8 persen, yang menempati urutan jauh di atas prevalensi nasional yang besarnya 0,3 persen. Prevalensi sebesar 0,8 persen tersebut sudah termasuk penyakit gagal jantung hasil diagnosis dokter yang besarnya 0,1 persen. Manggarai Timur merupakan kabupaten/kota yang tertinggi prevalensinya (2,5 %) atau 2 kali prevalensi provinsi atau 8 kali prevalensi nasional.

Karakteristik responden memperlihatkan bahwa penyakit gagal jantung meningkat seiring dengan meningkatnya umur, sama prevalensinya pada laki-laki dan perempuan, sangat mendominasi pada pendidikan tidak sekolah dibandingkan dengan kelompok pendidikan lainnya, tertinggi pada kelompok pekerjaan petani/nelayan/buruh, di perdesaan (0,9 %) mencapai 3 kali di perkotaan (0,3 %) dan cenderung makin rendah prevalensinya di kelompok kuintil indeks kepemlikan yang semakin tinggi (Tabel 3.5.6) ,

72

Tabel 3.5.5 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥ 15 tahun menurut

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Jantung Koroner Gagal jantung Stroke(‰)

D D/G D D/G D D/G

Sumba Barat 0,3 7,0 0,3 1,2

9

Sumba Timur 0,4 3,2 0,3 0,6 5 8 Kupang 0,3 1,7 0,1 0,3 3 5 Timor Tengah Selatan 0,1 8,1

1,5 2 20

Timor Tengah Utara 0,4 2,8 0,1 0,5 2 10 Belu 0,3 0,3

1 5 Alor

1,2 0,1 0,3 2 12

Lembata 0,2 6,2

0,3 1 11 Flores Timur 0,1 1,0 0,1 0,1 7 9 Sikka 0,3 1,9 0,3 0,4 9 12 Ende 0,4 5,3 0,0 1,8 7 15 Ngada 0,4 5,4 0,2 1,3 7 11 Manggarai 0,1 1,0

0,4 8 12

Rote Ndao 0,4 6,8 0,1 0,9 1 15 Manggarai Barat 0,3 1,5 0,0 0,2 7 14 Sumba Tengah 0,3 3,3 0,1 0,4 5 12 Sumba Barat Daya 0,4 15,5 0,3 2,5 2 16 Nagekeo 0,4 5,3 0,0 0,9 5 20 Manggarai Timur 0,6 12,6 0,1 2,2 0 15 Sabu Raijua

1,0 0,1 0,1 3 5

Kota Kupang 0,8 2,0 0,2 0,2 6 14

Nusa Tenggara Timur 0,3 4,4 0,1 0,8 4 12

3.5.8 Stroke

Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal dan/atau global. munculnya mendadak, progresif dan cepat. Gangguan fungsi syaraf pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan syaraf tersebut menimbulkan gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan dan lain-lain. Didefinisikan sebagai stroke jika pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh nakes tetapi pernah mengalami secara mendadak keluhan kelumpuhan pada satu sisi tubuh atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang disertai kesemutan atau baal satu sisi tubuh atau mulut menjadi mencong tanpa kelumpuhan otot mata atau bicara pelo atau sulit bicara/komunikasi dan atau tidak mengerti pembicaraan.

Tabel 3.5.5 menunjukkan prevalensi stroke berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Nusa Tenggara Timur sebesar 4 permil, dan berdasar terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 12permil. Dua kabupaten/kota dengan prevalensi tertinggi stroke berdasarkan terdiagnosis dokter adalah di Sikka (9 ‰) dan Manggarai (8 ‰) sedangkan berdasarkan gabungan terdiagnosis dokter dan gejala adalah di Timor Tengah Selatan dan Nagekeo, masing-masing 20 permil.

73

Tabel 3.5.6 menunjukkan bahwa prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis nakes serta yang didiagnosis nakes dan gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, prevalensi pada laki-laki mendominasi perempuan, serta tidak berkorelasi dengan pendidikan meskipun stroke yang didiagnosis nakes dan gejala paling tinggi di kelompok pendidikan tidak sekolah. Baik stroke yang didiagnosis nakes maupun yang didiagnosis nakes dan gejala, sama-sama tertinggi di kelompok tidak bekerja dan sama-sama mendominasi di perkotaan dan sama-sama tidak berkorelasi dengan kuintil indeks kepemlikan.

Tabel 3.5.6

Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan strokepada umur ≥ 15 tahunmenurut karakteristik responden, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Jantung Koroner Gagal jantung Stroke(‰)

D D/G D D/G D D/G

Umur 15-24 Tahun 0,0 1,5 0,4 1 5

25-34 Tahun 0,3 4,2 0,4 1 5

35-44 Tahun 0,3 4,7 0,1 0,5 1 8

45-54 Tahun 0,3 5,1 0,3 1,0 5 14

55-64 Tahun 0,7 6,9 0,2 1,2 12 21

65-74 Tahun 0,8 8,4 0,1 2,6 20 41

75+ Tahun 0,8 8,6 0,3 3,0 27 65

Jenis Kelamin

Laki-Laki 0,3 4,2 0,1 0,8 6 14

Perempuan 0,3 4,5 0,1 0,8 3 10

Pendidikan

Tidak Sekolah 0,4 9,1 0,1 1,9 4 25

Tidak Tamat SD 0,2 6,5 0,1 1,3 5 17

Tamat SD 0,3 4,5 0,1 0,7 3 9

Tamat SMP 0,2 2,6 0,1 0,3 4 6

Tamat SMA 0,4 2,2 0,1 0,4 6 11

Tamat PT 0,3 1,0 0,2 0,2 7 8

Pekerjaan

Tidak Kerja 0,3 3,0 0,1 0,7 8 18

Pegawai 0,5 1,9 0,2 0,3 5 7

Wiraswasta 0,6 1,9 0,2 0,7 5 8

Petani/Nelayan/Buruh 0,3 6,2 0,1 0,9 2 9

Lainnya 0,4 2,4 0,1 0,4 5 9

Tempat Tinggal

Perkotaan 0,5 1,9 0,2 0,3 9 15

Perdesaan 0,3 5,0 0,1 0,9 3 11

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 0,3 6,7 0,1 0,9 2 12

Menengah bawah 0,1 6,5 0,0 1,1 4 15

Menengah 0,3 4,0 0,0 0,8 3 9

Menengah atas 0,2 2,3 0,1 0,6 3 11

Teratas 0,8 2,0 0,3 0,4 10 13

74

3.5.9 Penyakit Ginjal

Penyakit ginjal adalah kelainan yang mengenai organ ginjal yang timbul akibat berbagai faktor. misalnya infeksi, tumor, kelainan bawaan, penyakit metabolik atau degeneratif dan lain-lain. Kelainan tersebut dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Pasien mungkin merasa nyeri, mengalami gangguan berkemih dan lain-lain. Terkadang pasien penyakit ginjal tidak merasakan gejala sama sekali. Pada keadaan terburuk, pasien dapat terancam nyawanya jika tidak menjalani hemodialisis (cuci darah) berkala atau transplantasi ginjal untuk menggantikan organ ginjalnya yang telah rusak parah. Di Indonesia penyakit ginjal yang cukup sering dijumpai antara lain adalah penyakit gagal ginjal dan batu ginjal. Didefinisikan sebagai gagal ginjal kronis jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal ginjal kronis (minimal sakit selama 3 bulan berturut-turut) oleh dokter. Didefinisikan sebagai penyakit batu ginjal jika pernah didiagnosis mengalami penyakit batu ginjal oleh dokter.

Pada Tabel 3.5.7 terlihat bahwa di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur besarnya prevalensi gagal ginjal kronis adalah 0,3 persen dan prevalensi batu ginjal 0,7 persen dan hanya kecil perbedaannya dengan prevalens nasional yang besarnya masing-masing 0,2 dan 0,6 persen. Tiga kabupaten/kota yang tertinggi prevalensi gagal ginjal kronis adalah Sumba Barat Daya (0,7 %) Flores Timur (0,6 %) dan Manggarai Timur (0,5 %) dan untuk batu ginjal tertinggi di Sumba Barat Daya (2,8 %), Rote Ndao (1,9 %) dan Ngada (1,5 %).

Tabel 3.5.7

Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota ProvinsiNusa Tenggara Timur2013

Kabupaten GagalGinjal Kronis Batu Ginjal Penyakit Sendi

D D D D/G

Sumba Barat 0,3 0,6 8,7 31,9

Sumba Timur 0,4 0,5 9,6 48,0

Kupang 0,3 0,9 20,0 36,5

Timor Tengah Selatan 0,1 0,3 8,7 40,1

Timor Tengah Utara 0,3 0,9 14,8 36,0

Belu 0,1 0,4 10,8 18,4

Alor 0,1 0,2 6,4 17,7

Lembata 0,1 0,8 20,5 41,1

Flores Timur 0,6 0,6 11,4 22,8

Sikka 0,3 0,4 15,0 29,8

Ende 0,2 0,6 18,8 43,0

Ngada 0,2 1,5 20,8 38,0

Manggarai

8,3 16,7

Rote Ndao 0,2 1,9 9,5 36,2

Manggarai Barat 0,4 0,7 29,9 45,8

Sumba Tengah 0,1 1,1 31,9 45,3

Sumba Barat Daya 0,7 2,8 10,8 36,2

Nagekeo 0,3 0,6 11,0 29,3

Manggarai Timur 0,5 0,7 7,6 60,8

Sabu Raijua 0,1 0,2 5,1 46,2

Kota Kupang 0,4 0,3 4,8 13,0

Nusa Tenggara Timur 0,3 0,7 12,6 33,1

75

Karakteristik responden memperlihatkan bahwa prevalensi gagal ginjal kronis tertinggi di umur tua (65-74 tahun) sedangkan batu ginjal pada umur > 75 tahun, sama-sama mendominasi pada laki-laki, gagal ginjal kronis tidak berkorelasi dengan tingkat pendidikan tetapi gagal ginjal semakin menurun prevalensinya seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan dan tidak ada kecenderungan menyerang kelompok pekerjaan tertentu (Tabel 3.5.8). Gagal ginjal kronis sama prevalensinya di perkotaan dan perdesaan tetapi gagal ginjal lebih banyak di perdesaan. Adapun kuintil indeks kepemilikan tidak berkorelasi linier dengan prevalensi gagal ginjal kronis maupun batu ginjal meskipun ada kecenderungan lebih banyak menyerang kuintil indeks kepemilikan menengah.

Tabel 3.5.8 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik responden, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Gagal Ginjal Kronis Batu Ginjal Penyakit Sendi*

D D D D/G

Umur

15-24 Tahun 0,1 0,3 2,4 11,0

25-34 Tahun 0,2 0,5 7,6 23,5

35-44 Tahun 0,4 1,0 13,0 36,6

45-54 Tahun 0,1 0,7 18,0 46,4

55-64 Tahun 0,6 1,0 24,7 57,9

65-74 Tahun 0,9 1,2 31,8 62,0

75+ Tahun 0,5 1,3 34,5 71,8

Jenis Kelamin Laki-Laki 0,4 0,9 11,9 30,3

Perempuan 0,2 0,5 13,2 35,8

Pendidikan Tidak Sekolah 0,2 1,1 21,2 51,7

Tidak Tamat SD 0,4 0,7 17,3 46,6

Tamat SD 0,3 0,6 14,0 37,9

Tamat SMP 0,3 0,8 7,4 20,3

Tamat SMA 0,2 0,6 7,6 18,8

Tamat PT 0,4 0,5 7,3 15,9

Pekerjaan Tidak Kerja 0,3 0,4 9,1 24,2

Pegawai 0,3 0,7 8,6 19,7

Wiraswasta 0,4 0,7 8,8 22,4

Petani/Nelayan/Buruh 0,2 0,8 16,0 43,2

Lainnya 0,3 0,9 13,7 26,6

Tempat Tinggal Perkotaan 0,3 8,5 8,5 18,0

Perdesaan 0,3 13,7 13,7 37,1

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 0,2 0,7 13,4 42,5

Menengah bawah 0,1 0,5 12,3 40,2

Menengah 0,4 1,1 14,8 34,1

Menengah atas 0,3 0,6 12,8 26,7

Teratas 0,3 0,6 9,3 20,4

76

3.5.10 Penyakit Sendi/Rematik/Encok

Penyakit sendi/rematik/encok adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik pada sendi-sendi tubuh. Gejala klinik penyakit sendi/rematik berupa gangguan nyeri pada persendian yang disertai kekakuan, merah, dan pembengkakan yang bukan disebabkan karena benturan/ kecelakaan dan berlangsung kronis. Gangguan terutama muncul pada waktu pagi hari. Didefinisikan sebagai penyakit sendi/rematik/encok jika pernah didiagnosis menderita penyakit sendi/rematik/encok oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau ketika bangun tidur pagi hari pernah menderita salah satu gejala: sakit/nyeri atau merah atau kaku atau bengkak di persendian yang timbul bukan karena kecelakaan.

Prevalensi penyakit sendi yang didiagnosis tenaga kesehatan di Nusa Tenggara Timur adalah 12,6 persen dan gabungan yang didiagnosis tenaga kesehatan dan yang menunjukkan gejala adalah 33 persen dan merupakan prevalensi tertinggi di Indonesia. Prevalensi tertinggi penyakit sendi yang didiagnosis tenaga kesehatan menurut kabupaten.kota adalah Sumba Tengah (31,9 %) dan terendah Kota Kupang (4,8 %), sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3.5.7. Untuk penyakit sendi gabungan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala, tertinggi di Manggarai Timur (60,8 %) dan terendah juga di Kupang (13 %).

Karakteristik responden penyakit sendi menunjukkan bahwa prevalensinya meningkat seiring dengan bertambahnya umur, baik pada penyakit sendi yang didiagnosis tenaga kesehaan maupun gabungan diagnosis oleh tenaga kesehatan dan yang menunjukkan gejala (Tabel 3.5.8). Kedua prevalensi tersebut sama-sama dominan di perdesaan, sama-sama menurun prevalensinya seiring dengan peningkatan pendidikan, sama-sama dominan pada kelompok pekerjaan petani/nelayan/buruh, sama-sama dominan di perdesaan, tetapi hubungan liniernya dengan kuintil indeks kepemilikan lebih jelas pada penyakit sendi gabungan diagnosis oleh tenaga kesehatan dan yang berdasar gejala.

3.6.Cedera

Cedera merupakan kerusakan fisik pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh kekuatan yang tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga sebelumnya (WHO. 2004). Kasus cedera diperoleh berdasarkan wawancara. Cedera yang ditanyakan adalah peristiwa yang dialami responden selama 12 bulan terakhir untuk semua umur. Yang dimaksud dengan cedera dalam Riskesdas adalah kejadian atau peristiwa yang mengalami cedera yang menyebabkan aktivitas sehari-hari terganggu. Untuk kasus cedera yang kejadiannya lebih dari 1 kali dalam 12 bulan. kasus cedera yang ditanyakan adalah cedera yang paling parah menurut pengakuan responden.

3.6.1.Prevalensi Cedera dan Penyebabnya

Penyebab terjadinya cedera meliputi penyebab yang disengaja (intentional injury), penyebab yang tidak disengaja (unintentional injury) dan penyebab yang tidak bisa ditentukan (undeterminated intent) (WHO, 2004). Penyebab cedera yang disengaja meliputi bunuh diri, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) seperti dipukul orang tua/suami/istri/anak), penyerangan, tindakan kekerasan/pelecehan dan lain-lain. Penyebab cedera yang tidak disengaja antara lain: terbakar/tersiram air panas/bahan kimia, jatuh dari ketinggian, digigit/diserang binatang, kecelakaan transportasi darat/laut/udara, kecelakaan akibat kerja, terluka karena benda tajam/tumpul/mesin, kejatuhan benda, keracunan, bencana alam, radiasi, terbakar dan lainnya. Penyebab cedera yang tidak dapat ditentukan (undeterminated intent) yaitu penyebab cedera yang sulit untuk dimasukkan kedalam kelompok penyebab yang disengaja atau tidak disengaja. Penyebab cedera yang dituliskan dalam laporan ini adalah penyebab yang tidak disengaja. Prevalensi dan proporsi penyebab cedera menurut kabupaten/kota disajikan pada Tabel 3.6.1

77

Tabel 3.6.1 Prevalensi dan proporsi penyebab cedera langsung menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa

Tenggara Timur, Riskesdas, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota

Cedera

Penyebab Cedera Langsung

Sepeda motor

Trans. darat lain

Jatuh Benda tajam/ tumpul

Terbakar Gigit-

an hewan

Keja-tuh-an

Ke racunan

Lain-nya

Sumba Barat 10,2 48,7 3,1 25,7 13,3 0,2 3,6 4,7 0,7

Sumba Timur 12,0 43,6 3,9 45,8 3,8 0,3 2,0 0,6

Kupang 9,7 32,1 4,0 55,5 2,1 1,0 5,0 0,3

Timor Tengah Selatan 11,6 40,6 3,4 40,3 12,3 1,1 1,8 0,5

Timor Tengah Utara 14,3 27,7 6,3 45,6 12,7 1,9 4,8 1,1

Belu 8,6 18,3 7,5 64,3 7,3 0,9 1,6

Alor 4,5 37,9 8,2 45,9 4,6 2,8 0,5

Lembata 9,1 19,5 4,0 71,7 1,3 0,5 2,0 1,1

Flores Timur 8,9 25,9 5,1 47,7 11,1 0,4 8,1 1,6

Sikka 7,8 42,0 0,9 48,5 5,7 1,1 1,0 0,8

Ende 25,2 26,5 2,5 66,0 3,5 1,0 0,1 0,4

Ngada 20,2 26,3 3,7 55,1 7,3 0,2 1,4 5,8 0,2

Manggarai 6,5 18,8 1,3 71,1 5,0 0,4 3,4

Rote Ndao 6,6 62,7 1,7 26,9 4,5 4,3

Manggarai Barat 15,2 21,0 1,6 68,8 5,3 0,8 0,6 2,0

Sumba Tengah 16,5 38,1 5,9 47,0 6,3 0,2 1,3 1,1 0,2

Sumba Barat Daya 14,8 44,0 3,8 44,4 3,0 0,4 2,2 2,1

Nagekeo 12,6 29,2 2,1 58,5 6,3 0,3 0,4 2,7 0,4

Manggarai Timur 20,8 12,4 2,9 76,8 3,4 0,4 0,1 4,0

Sabu Raijua 4,9 31,9 9,0 44,1 8,1 2,8 4,1

Kota Kupang 13,2 33,4 5,9 53,4 5,8 0,1 0,3 1,1

Nusa Tenggara Timur 12,1 30,4 3,8 55,5 6,1 0,4 0,7 2,7 0,1 0,3

Pada Tabel 3.6.1 diperlihatkan bahwa di seluruh Nusa Tenggara Timur besarnya prevalensi cedera adalah 12,1 persen dengan kisaran menurut kabupaten/kota antara 4,5 persen di Alor hingga 25,2 persen di Ende. Tiga penyebab cedera langsung yang utama di provinsi itu adalah jatuh (55,5 %), sepeda motor (30,4 %) dan benda tajam/tumpul (6,1 %). Kisaran persentase ”jatuh” menurut kabupaten/kota adalah antara 25,7 persen di Sumba Barat hingga 76,8 persen di Manggarai Timur, persentase “sepeda motor” antara 12,4 persen di Manggarai Timur hingga 62,7 persen di Rote Ndao dan ”benda tajam/tumpul” antara 1,3 persen di Lembata hingga 13,3 persen di Sumba Barat.

Tentang karakteristik responden seperti yang diperlihatkan pada Tabel 3.6.2, ternyata cedera paling banyak terjadi pada dewasa muda dan remaja dan paling jarang pada bayi. Cedera pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dominan pada yang berpendidikan tamat SD/MI dan paling jarang pada tamat Diploma/PT. Cedera dominan pada kelompok orang yang tidak bekerja dan di perdesaan. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, makin banyak kejadian cedera. Penyebab cedera sepeda motor kebanyakan terjadi pada dewasa muda dan dewasa di atasnya, dan paling jarang pada bayi, anak-anak dan lanjut usia. Sebaliknya jatuh sebagai penyebab cedera justru paling banyak pada bayi, anak-anak dan lanjut usia. Terbakar juga kebanyakan pada bayi. Hampir semua penyebab cedera lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan, kecuali dua penyebab (kejatuhan dan ”lainnya”) yang persentasenya sama di kedua kelompok jender dan hanya satu penyebab cedera (jatuh) yang dominan pada perempuan. Makin tinggi pendidikan makin banyak cedera yang disebabkan sepeda motor tetapi sebaliknya makin sedikit cedera karena jatuh, sedangkan penyebab cedera sisanya tidak jelas hubungannya dengan pendidikan. Hubungan kuintil indeks kepemilikan dengan penyebab cedera tidak jelas polanya,

78

kecuali dengan transportasi darat lain, makin tinggi kuintil indeks kepemilikan makin kecil persentase transportasi darat lainsebagai penyebab cedera.

Tabel 3.6.2

Prevalensi dan proporsi cedera dan penyebab cedera langsung menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013

3.6.2 Jenis Cedera

Jenis cedera merupakan jenis atau macam luka akibat trauma yang telah dialami yang dapat menyebabkan terganggunya aktifitas sehari-hari.

Kabupaten/Kota

Cedera

Penyebab Cedera Langsung

Sepeda motor

Trans. darat lain

Jatuh Benda tajam/ tumpul

Terbakar Gigit-an hewan

Keja-tuh-an

Ke racun

an

Lain-nya

Umur (tahun) < 1 2,2 96,3 3,7 1 – 4 11,3 3 2,1 87,6 2,9 1 0,1 3,3 5 – 14 14,8 8,1 4,8 75,9 6,7 0,4 0,5 3,5 0,2 15 – 24 15,8 58 3 32,1 3,6 0,4 0,2 2,2 0,5 25 – 34 11,5 59,3 3,1 28,5 4,7 0,5 1,4 1,5 0,4 0,6 35 – 44 9,4 44,9 4,2 38,2 9,4 0,1 1,6 1,6 0,1 45 – 54 10 33,9 3,9 50,1 7,1 1,8 3,1 0,1 55 – 64 8,7 20,7 3,3 58 13,4 1 3,5 0,1 65 – 74 8,9 10,5 6 70,5 9,1 3 0,9 75+ 8,5 5,9 4,1 78 7,5 1,5 1,5 1,4

Jenis Kelamin Laki-laki 15,2 37,5 4 47,3 6,7 0,5 1 2,6 0,1 0,3 Perempuan 9,2 18,9 3,6 68,7 5,2 0,3 0,2 2,8 0,3

Pendidikan Tidak sekolah 10,7 15,3 3 67,7 8,9 0,8 3,9 0,5 Tidak tamat

SD/MI 13,4 16,2 4,8 68 6,6 0,3 0,8 3,1 0,2 Tamat SD/MI 12,7 34,9 4 50,2 6,5 0,4 0,8 2,4 0,2 0,4 Tamat SMP/MTS 12,8 54,7 3,5 31,6 6,1 0,5 0,5 3 0 0,1 Tamat SMA/MA 11,8 65,2 4,1 24,2 4,5 0,3 0,4 0,9 0,4 Tamat

Diploma/PT 8 70,3 1 15,9 7,6 2,9 2,2 Pekerjaan

Tidak bekerja 13,1 32,9 4,9 53,5 5,4 0,3 0,3 2,5 0,3 Pegawai 10,8 66,7 3,8 18,5 5,4 2,2 3,3 Wiraswasta 10 73,6 0,5 16,4 6,5 2,6 0,3 Petani/nelayan/

buruh 11,6 38,5 3,6 45,4 7,7 0,3 1,4 2,2 0,2 0,6 Lainnya 9,8 61,9 3,1 24,9 6,9 2,3 0,8

Tempat tinggal Perkotaan 11,2 35,7 4,6 51,5 5,5 0,1 0,2 2 0,3 Perdesaan 12,4 29,2 3,6 56,3 6,3 0,5 0,8 2,8 0,1 0,3

Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 22,3 3,4 63,7 5,6 0,5 1,1 3,2 0,3 0,3

Menengah bawah 25,4 4 58,4 7,6 0,7 0,4 3,1 0,4 0,4

Menengah 31,5 3,9 54,7 6,1 0,2 1 2,2 0,3 0,1 0,1 Menengah atas 34 3,2 52,8 5,4 0,5 0,8 2,9 0,4 0,4 Teratas 42,6 4,7 44,8 5,5 0,2 0,2 1,8 0,3 0,3

79

Tiga jenis cedera terbanyak di Nusa Tenggara Timur adalah lecet/memar (72,4 %), luka robek (36,4 %) dan terkilir (19,8 %), sedangkan persentase jenis cedera lainnya sangat kecil (masing-masing < 5 %) sebagaimana tertera pada Tabel 3.6.3. Lecet/memar terbanyak di Belu (84,7 %) dan terjarang di Timor Tengah Selatan (54 %); luka robek tertinggi persentasenya di Sumba Barat (53,1 %) dan terendah di Manggarai Barat (18,3 %), sementara terkilir paling sering di Sumba Timur (30,4 %) dan paling jarang di Kota Kupang (8,7 %).

Tabel 3.6.3

Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota

Jenis Cedera

Lecet/ Memar

Luka robek

Patah Tulang

Terkilir Anggota Tubuh

terputus

Cedera Mata

Gegar otak

Lainnya

Sumba Barat 70,9 53,1 10,6 14,0 0,6 0,5 0,5 0,4

Sumba Timur 72,0 45,7 10,2 30,4 0,1 0,9

Kupang 75,8 26,4 6,0 12,5 0,6 1,0 2,4

Timor Tengah Selatan 54,0 39,2 5,2 32,6 0,8 0,4 0,8

Timor Tengah Utara 55,7 44,7 6,7 29,7 0,1 0,2 0,6

Belu 84,7 48,8 2,8 25,4 0,8

Alor 69,1 33,1 8,0 19,9 1,3 2,3

Lembata 70,7 21,9 5,8 30,3 0,9 1,2 0,3

Flores Timur 64,4 38,6 6,2 17,8 1,0 0,6 0,6

Sikka 67,3 24,9 5,4 29,7 0,7 0,9

Ende 81,7 32,2 1,5 20,7 0,4 1,5

Ngada 73,9 29,4 2,1 26,2 0,3 0,3 0,1

Manggarai 80,7 25,5 2,2 16,5 0,5 2,0

Rote Ndao 71,6 30,5 8,4 11,0 0,6 1,2

Manggarai Barat 81,5 18,3 2,2 11,7 1,5

Sumba Tengah 83,3 52,8 7,7 29,2 0,2 0,6 0,6

Sumba Barat Daya 71,6 49,9 5,4 5,6 0,4 1,0 1,0 0,8

Nagekeo 67,3 31,7 5,0 17,6 0,3 0,4 3,8

Manggarai Timur 71,3 39,6 3,8 15,8 0,6 0,6 0,3

Sabu Raijua 63,2 35,9 13,2 26,0 4,6

Kota Kupang 79,6 35,9 6,1 8,7 0,1 0,5 1,6

Nusa Tenggara Timur 72,4 36,4 4,9 19,8 0,2 0,3 0,4 1,0

Karakteristik responden cedera memperlihatkan bahwa yang dialami bayi di seluruh Nusa Tenggara Timur seluruhnya (100 %) adalah lecet/memar, lalu cenderung semakin kecil dengan bertambahnya umur; luka sobek cenderung pada umur dewasa muda lalu bertambah kecil persentasenya ke umur yang lebih muda dan lebih tua (Tabel 3.6.4). Terkilir cenderung makin tinggi persentasenya seiring dengan bertambahnya umur. Hanya luka robek yang jelas lebih banyak di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, sedangkan jenis cedera lainnya tidak banyak perbedaan dan kalaupun ada, perbedaan tersebut sangat kecil. Lecet/memar, luka robek dan patah tulang paling tinggi persentasenya pada kelompok berpendidikan tamat Diploma/PT, sedangkan terkilir pada kelompok pendidikan tamat SMA/MA. Petani/nelayan/buruh merupakan kelompok pekerjaan yang terbanyak menderita patah tulang dan terkilir, sementara lecet/memar terbanyak pada pegawai dan luka robek pada orang yang tidak bekerja.

80

Tabel 3.6.4 Proporsi jenis cedera menurut karakteristik responden, Provinsi Nusa Tenggara Timur,

Riskesdas 2013

Karakteristik Responden

Jenis Cedera

Lecet/ Memar

Luka robek

Patah Tulang

Terkilir Anggota Tubuh

terputus

Cedera Mata

Gegar otak

Lainnya

Kelompok umur (thn)

< 1 100,0

1 – 4 78,2 20,3 3,3 14,5 0,1

5 – 14 73,7 36,7 3,9 14,6 0,4 0,4 0,5 0,9

15 – 24 76,4 44,0 4,5 20,6 0,2 0,5 0,7

25 – 34 74,3 40,7 4,5 20,5 0,2 0,2 0,2 1,2

35 – 44 66,7 38,5 5,4 22,4 0,3 0,7 0,6 1,8

45 – 54 62,5 33,5 8,6 29,3 0,6 2,2

55 – 64 62,0 29,1 8,2 32,0 0,9

65 – 74 64,5 27,7 10,9 34,5 0,4 0,9 0,6 1,1

75+ 62,6 22,1 4,6 33,6 0,3 2,0 3,2

Jenis Kelamin

Laki-laki 72,7 41,4 5,4 19,3 0,3 0,5 0,3 1,0

Perempuan 71,8 28,3 4,2 20,6 0,1 0,2 0,5 1,1

Pendidikan

Tidak sekolah 70,9 35,9 5,2 22,8 0,6 1,3 0,5

Tidak tamat SD/MI 70,4 38,0 5,1 18,1 0,3 0,3 0,2 1,1

Tamat SD/MI 69,2 37,1 5,1 20,6 0,4 0,3 0,4 1,3

Tamat SMP/MTS 74,4 41,8 4,2 19,0 0,1 0,5 0,2 0,0

Tamat SMA/MA 76,9 37,9 5,9 26,5 0,3 0,3 0,8 2,5

Tamat Diploma/PT 78,6 47,0 6,7 23,2 1,1

Status pekerjaan

Tidak bekerja 72,2 39,4 5,2 18,3 0,3 0,4 0,4 0,8

Pegawai 79,5 34,4 4,1 25,9 0,7 0,7 0,7 1,6

Wiraswasta 77,5 37,0 4,5 20,0 1,3 0,5 1,5

Petani/nelayan/ buruh 68,8 38,7 6,0 24,9 0,1 0,2 0,4 1,4

Lainnya 73,4 32,9 3,3 24,4 0,5 1,6 2,6

Tempat tinggal

Perkotaan 77,5 36,2 4,6 17,0 0,1 0,2 0,7 1,3

Perdesaan 71,3 36,5 5,0 20,4 0,3 0,4 0,3 1,0

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 71,8 37,2 5,5 18,4 0,4 0,3 0,2 0,9

Menengah bawah 69,3 34,2 4,2 21,6 0,2 0,3 0,2 0,8

Menengah 69,4 37,5 6,3 20,7 0,1 0,6 0,6 1,4

Menengah atas 75,8 36,3 4,2 20,9 0,1 0,4 0,1 0,9

Teratas 77,3 37,8 4,3 16,6 0,4 0,2 0,9 1,2

*Responden biasanya mempunyai lebih dari 1 jenis cedera (multiple injury)

81

3.6.3 Tempat Terjadinya Cedera

Tempat terjadinya cedera adalah lokasi atau area dimana peristiwa atau kejadian yang mengakibatkan cedera terjadi atau disebut juga dengan istilah TKP (Tempat Kejadian Perkara). Tempat kejadian cedera hanya menginformasikan data tentang lokasi/tempat tanpa disertai keterangan aktivitas yang sedang dilakukan responden pada saat kejadin cedera di lokasi tersebut. Keterangan tempat rumah dan sekolah termasuk lingkungan sekitarnya (indoor dan outdoor). Ruang lingkup pertanian termasuk perkebunan dan sejenisnya.

Pada Tabel 3.6.5 terlihat bahwa tiga tempat utama terjadinya cedera adalah rumah (40,5 %), jalan raya (35,5 %) dan pertanian (12,7 %), sementara di beberapa tempat lain terjadinya cedera, persentasenya sangat kecil (masing-masing < 10 %). Sabu Raijua merupakan kabupaten/kota yang tertinggi persentase terjadinya cedera di rumah (57,9 %) dan Rote Ndao terendah (22,2 %). Untuk tempat cedera di jalan raya, justru Rote Ndao tertinggi (66,5 %) dan Manggarai Timur terendah (20,6 %). Yang tempat terjadinya cedera di pertanian, persentase tertinggi justru di Manggarai Timur (29,5 %) dan terendah di Kota Kupang (0,3 %).

Tabel 3.6.5 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur,

Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota

Tempat terjadinya cedera

Rumah Sekolah Olah raga

Jalan raya

Tempat umum

Industri

Pertanian Lainnya

Sumba Barat 28,1 2,2 1,7 50,5 0,8 15,3 1,3

Sumba Timur 36,2 3,2 0,7 49,2 0,4 9,2 1,1

Kupang 42,5 8,3 2,2 38,4 1,1 0,3 7,3

Timor Tengah Selatan 39,8 5,5 0,8 40,9 13,1

Timor Tengah Utara 35,8 8,7 1,3 35,7 0,9 1,5 16,0

Belu 37,9 18,7 1,2 24,6 0,0 0,9 16,7

Alor 28,5 6,0 0,7 48,1 2,1 14,5

Lembata 45,7 6,1 0,6 32,5 1,6 13,0 0,4

Flores Timur 50,6 4,0 2,9 29,3 1,3 2,2 8,5 1,1

Sikka 41,3 2,4 0,5 43,8 4,5 0,2 7,0 0,3

Ende 44,9 8,0 2,7 30,2 1,9 0,1 11,6 0,7

Ngada 40,2 12,6 5,0 31,3 0,2 9,8 1,0

Manggarai 47,2 7,0 2,0 25,7 1,0 16,4 0,6

Rote Ndao 22,2 6,0 66,5 4,0 1,4

Manggarai Barat 40,5 8,6 1,2 24,3 0,6 21,6 3,1

Sumba Tengah 34,2 3,8 2,0 42,9 1,9 0,7 13,9 0,6

Sumba Barat Daya 40,3 2,5 0,9 49,6 6,3 0,3

Nagekeo 37,9 11,0 3,5 32,7 0,0 0,8 14,2

Manggarai Timur 34,9 10,6 3,2 20,6 0,7 29,5 0,5

Sabu Raijua 57,9 1,4 38,0 2,7

Kota Kupang 48,7 4,9 4,7 39,3 0,9 1,0 0,3 0,3

Nusa Tenggara Timur 40,5 7,4 2,1 35,5 0,9 0,4 12,7 0,6

Sesuai dengan yang tercantum pada Tabel 3.6.6 tentang karakteristik tempat cedera, terlihat bahwa jenis tempat terjadinya cedera pada umur paling muda (bayi) sangat sederhana, hanya di dua tempat saja, lalu seiring dengan pertambahan umur, tempat terjadinya cedera secara berangsur-angsur makin kompleks dan baru pada umur 15-24 tahun cedera terjadi di semua tempat cedera. Tempat terjadinya cedera di rumah terutama terjadi pada umur paling muda (bayi dan balita) dan umur paling tua (umur > 75 tahun), dan bayi hanya mengalami cedera selain di rumah adalah di pertanian, atau tidak pernah mengalami cedera di luar kedua tempat tersebut.

82

Tempat cedera di jalan raya paling banyak terjadi pada umur dewasa (15-24 dan 25-34 tahun) dan berkurang ke umur di bawahnya dan di atasnya.

Tabel 3.6.6 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik responden,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik

Tempat terjadinya cedera

Rumah Sekolah Olah raga

Jalan raya

Tempat umum

Industri Pertanian Lainnya

Kelompok umur (thn)

< 1 94,6 5,4

1 – 4 88,9 1,6 1,6 5,7 2,0 0,2

5 – 14 57,4 17,5 3,2 13,5 0,3 7,8 0,4

15 – 24 20,7 5,2 2,5 62,7 0,9 0,1 7,1 0,7

25 – 34 16,1 1,9 1,5 64,8 1,4 1,0 12,5 0,8

35 – 44 24,1 1,0 0,7 48,2 1,1 0,9 22,8 1,1

45 – 54 28,1 0,0 1,3 40,5 1,5 1,0 27,3 0,3

55 – 64 30,9 0,1 0,9 26,6 3,6 0,9 35,6 1,4

65 – 74 43,5 0,5 21,2 0,8 1,1 32,9

75+ 66,7 1,4 11,4 19,7 0,8

Jenis Kelamin

Laki-laki 34,1 6,5 2,7 42,0 1,0 0,6 12,6 0,5

Perempuan 50,9 8,7 1,2 24,8 0,7 0,1 12,9 0,7

Pendidikan

Tidak sekolah 51,2 9,0 2,7 18,7 0,3 17,9 0,0

Tidak tamat SD/MI 48,2 12,2 1,8 21,5 0,6 0,1 15,1 0,6

Tamat SD/MI 26,8 7,5 2,3 41,0 1,3 0,7 19,1 1,1

Tamat SMP/MTS 22,5 4,2 2,3 60,0 1,6 0,9 8,0 0,5

Tamat SMA/MA 18,7 1,7 2,6 69,3 1,2 0,6 5,5 0,4

Tamat Diploma/PT 17,5 0,4 80,4 0,2 1,4

Status pekerjaan

Tidak bekerja 36,2 11,0 3,4 38,4 0,7 10,0 0,3

Pegawai 19,9 0,7 0,9 74,4 1,0 0,6 2,4

Wiraswasta 13,7 0,8 2,6 75,1 4,6 3,2

Petani/nelayan/ buruh

22,9 1,3 1,0 44,7 1,0 1,3 26,3 1,5

Lainnya 25,1 1,2 0,3 59,8 4,4 9,1

Tempat tinggal

Perkotaan 45,6 5,8 3,2 40,8 1,8 1,0 1,5 0,4

Perdesaan 39,4 7,7 1,9 34,3 0,7 0,3 15,2 0,6

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 43,1 7,0 2,2 27,2 0,2 0,1 19,1 1,1

Menengah bawah 38,0 8,0 1,4 30,5 0,7 0,2 20,5 0,7

Menengah 40,5 8,9 1,3 35,6 0,6 0,6 12,1 0,4

Menengah atas 43,0 6,5 2,6 39,0 1,8 0,4 6,2 0,4

Teratas 38,0 5,9 3,4 49,0 1,1 0,9 1,3 0,3

83

Cedera di tempat pertanian sampai dengan umur 65-74 tahun terdapat kecenderungan hubungan linier dengan umur, yaitu meningkatnya persentase cedera seiring dengan meningkatnya umur. Cedera di sekolah didominasi oleh anak umur sekolah (5-14 tahun). Menurut jenis kelamin, terlihat bahwa dominasi laki-laki terjadi di tempat kejadian cedera olah raga, jalan raya, tempat umum dan industri, sedangkan di tempat kejadian sisanya adalah sebaliknya. Pendidikan berkorelasi linier dengan tiga tempat kejadian cedera, yaitu di rumah (sepenuhnya linier terbalik) di sekolah (linier terbalik mulai tidak tamat SD/MI) dan di jalan raya (sepenuhnya linier positif), sedangkan dengan tempat cedera sisanya tidak jelas polanya.

Pada karakteristik pekerjaan, tempat kejadian cedera di rumah, sekolah dan olah raga semuanya didominasi oleh yang tidak bekerja, cedera di jalan raya dan tempat umum didominasi oleh wiraswasta dan yang di pertanian didominasi oleh petani/nelayan/buruh. Dalam hal tempat tinggal, lima tempat kejadian cedera lebih banyak di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, yaitu yang di rumah, olah raga, jalan raya, tempat umum dan industri, sedangkan sisanya adalah sebaliknya. Kuintil indeks kepemilikan yang jelas pola hubungannya dengan tempat kejadian hanya pada kejadian di jalan raya dan pertanian saja, dimana makin tinggi kuintil makin banyak kejadian cedera di jalan raya dan sebaliknya makin sedikit kejadian cedera di pertanian.

3.7. Kesehatan Gigi dan Mulut

Survei kesehatan gigi pertama kali dilaksanakan oleh Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan melalui Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, selanjutnya secara periodik dilaksanakan melalui survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, SKRT 2001, SKRT 2004, Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas) 2007, dan Riskesdas 2013. (Kristanti, 1986, SKRT,1995, WHO, 1995, SKRT,2001, Riskesdas, 2007)

Riskesdas 2013 mengumpulkan data kesehatan gigi secara komprehensif yang meliputi indikator status kesehatan gigi, indikator jangkauan pelayanan dan perilaku kesehatan gigi. Pengumpulan data melalui wawancara maupun pemeriksaan gigi dan mulut dengan jumlah sampel keseluruhan 43.732 responden. Wawancara dilakukan terhadap responden semua umur. Pertanyaan perilaku ditanyakan kepada kelompok umur ≥10 tahun. Pemeriksaan gigi dan mulut dilakukan pada kelompok umur ≥12 tahun.

3.7.1 Effective Medical Demand

Effective Medical Demand (EMD) didefinisikan sebagai persentase penduduk yang bermasalah dengan gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir x persentase penduduk yang menerima perawatan atau pengobatan gigi dari tenaga medis.

Berdasarkan hasil wawancara sebesar 27,2 persen penduduk Nusa Tenggara Timur mempunyai masalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir (potential demand). Diantara mereka, terdapat 27,0 persen yang menerima perawatan dan pengobatan dari tenaga medis (perawat gigi, dokter gigi atau dokter gigi spesialis), sementara 73,0 persen lainnya tidak dilakukan perawatan. Secara keseluruhan keterjangkauan/kemampuan untuk mendapatkan pelayanan dari tenaga medis gigi/EMD hanya 7,3 persen (lihat gambar 3.7.1).

84

Gambar 3.7.1 Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut

serta mendapat perawatandan EMD, Riskesdas 2013

Tabel 3.7.1 Proporsi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir dan Effective Medical Demand menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Bermasalah

gigi dan mulut (%) Menerima perawatan dari

tenaga medis gigi (%) Effective Medical

Demand (%)

Sumba Barat 21,7 15,6 3,4 Sumba Timur 29,4 12,9 3,8 Kupang 24,2 32,8 7,9 Timor Tengah Selatan 26,4 18,9 5,0 Timor Tengah Utara 27,1 27,8 7,5 Belu 14,5 34,9 5,1 Alor 19,3 20,3 3,9 Lembata 25,2 33,0 8,3 Flores Timur 31,2 30,1 9,4 Sikka 28,0 40,2 11,3 Ende 31,7 36,2 11,5 Ngada 30,6 40,3 12,3 Manggarai 28,9 20,9 6,0 Rote Ndao 23,2 19,4 4,5 Manggarai Barat 43,9 36,9 16,2 Sumba Tengah 29,4 22,2 6,5 Sumba Barat Daya 27,8 11,1 3,1 Nagekeo 27,4 26,5 7,3 Manggarai Timur 36,4 12,6 4,6 Sabu Raijua 25,1 15,0 3,8 Kota Kupang 23,6 44,6 10,5

Nusa Tenggara Timur 27,2 27,0 7,3

85

Tabel 3.7.2 Proporsi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir dan

Effective Medical Demand menurut karakteristik responden, Riskesdas 2013

Karakteristik Bermasalah

gigi dan mulut (%) Menerima perawatan dari

tenaga medis gigi (%) Effective Medical

Demand (%)

Kelompok Umur (tahun)

< 1 0,2 66,8 0,1

1-4 5,9 16,0 0,9

5-9 23,3 28,4 6,6

10-14 24,4 23,8 5,8

15-24 26,3 26,0 6,8

25-34 32,3 29,6 9,6

35-44 36,5 30,8 11,3

45-54 38,6 28,7 11,1

55-64 34,8 21,9 7,6

65+ 29,2 19,2 5,6

Indeks Umur (WHO)

12 23,1 19,6 4,5

15 23,8 35,3 8,4

18 27,7 28,1 7,8

35-44 36,5 30,8 11,3

45-54 38,6 28,7 11,1

55-64 34,8 21,9 7,6

65+ 29,2 19,2 5,6

Jenis Kelamin

Laki-laki 27,3 25,7 7,0

Perempuan 27,2 28,3 7,7

Pendidikan

Tidak sekolah 28,5 20,9 6,0

Tidak tamat SD 29,0 22,3 6,5

Tamat SD 33,5 26,7 9,0

Tamat SLTP 31,3 30,9 9,7

Tamat SLTA 28,5 36,1 10,3

Tamat PT 27,0 45,1 12,2

Pekerjaan

Tidak kerja 26,8 27,4 7,3

Pegawai 29,4 43,7 12,8

Wiraswasta 28,2 34,5 9,7

Petani/nelayan/buruh 36,9 23,3 8,6

Lainnya 30,2 38,7 11,7

Tempat tinggal

Perkotaan 22,9 36,4 8,4

Perdesaan 28,3 25,1 7,1

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 28,0 17,7 5,0

Menengah bawah 29,6 22,5 6,7

Menengah 27,0 28,1 7,6

Menengah atas 25,9 33,5 8,7

Teratas 24,8 38,1 9,4

Tabel 3.7.1 menggambarkan proporsi penduduk dengan masalah gigi dan mulut yang menerima perawatan dari tenaga medis gigi dalam 12 bulan terakhir menurut kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur. Proporsi EMD di seluruh provinsi itu adalah 7,3 persen, yang bermasalah gigi

86

dan mulut 27,2 persen dan hampir sama dengan yang menerima perawatan dari tenaga medis gigi (27 %). Empat Kabupaten yaitu Manggarai Barat, Manggarai Timur, Ende, Flores Timur dan Ngada mempunyai masalah gigi dan mulut yang cukup tinggi (>30%), dengan masing – masing EMD 16,2 persen, 4,6 persen, 11,5 persen dan 12,3 persen.

Tabel 3.7.2 menunjukkan proporsi penduduk dengan masalah gigi dan mulut (potential demand) menurut karakteristik di Nusa Tenggara Timur. Proporsi tertinggi yang bermasalah gigi dan mulut adalah pada umur produktif 35 - 44 tahun (36,5 persen) dan 45 - 54 tahun (38,6 persen). Demikian pula proporsi EMD, juga tertinggi pada kedua kelompok umur tersebut, masing-masing 11,3 persen dan 11,1 persen. Proporsi EMD pada laki-laki (7,0%) tidak ada perbedaan dengan perempuan (7,7%). Terdapat kecenderungan peningkatan proporsi EMD pada kelompok pendidikan paling tinggi (12,2%). Berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok pegawai memiliki EMD terbesar (12,8%). Berdasarkan tempat tinggal, EMD didaerah perkotaan (8,4%) lebih tinggi dibandingkan perdesaan (7,1%). Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, makin tinggi EMD.

Tabel 3.7.3 Persentase tenaga perawatan dan atau pengobatan gigi dalam 12 bulan terakhir menurut

kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota

Tenaga perawatan dan/atau pengobatan gigi

Dokter gigi Spesialis

Dokter Gigi

Perawat Gigi

Paramedik lainnya

Tukang gigi

Lainnya

Sumba Barat 3,6 54,8 23,9 4,9 2,0 14,9 Sumba Timur 11,0 36,2 25,0 25,7 0,5 5,6 Kupang 2,2 25,3 69,4 17,5

Timor Tengah Selatan 14,1 24,3 61,8 1,4

Timor Tengah Utara 0,4 19,4 27,5 54,9 4,9 2,4

Belu 0,6 21,3 75,2 11,3 2,6

Alor 0,8 30,0 42,1 38,9 0,7

Lembata 4,6 30,7 51,8 13,3 1,9 1,5

Flores Timur 0,9 24,7 41,3 35,1 3,0 4,3

Sikka 18,0 22,1 58,3 1,4 1,3

Ende 0,9 26,3 43,8 32,9 0,3 4,0

Ngada 0,1 19,6 51,5 26,4 1,1 4,2

Manggarai 4,8 45,4 21,3 20,1 14,9

Rote Ndao 30,0 38,7 29,0 5,3

Manggarai Barat 0,8 28,7 12,4 61,6 0,7

Sumba Tengah 23,0 53,5 32,7 0,6

Sumba Barat Daya 3,4 35,3 30,2 20,7 8,0 8,0

Nagekeo 0,8 20,7 59,1 25,2

Manggarai Timur 22,6 25,6 52,2 2,7

Sabu Raijua 0,8 4,5 72,7 24,3

Kota Kupang 2,4 44,8 58,7 6,0 0,1 1,1

Nusa Tenggara Timur 1,5 27,4 39,7 34,4 1,0 2,9

Tabel 3.7.3 memperlihatkan proporsi penduduk berobat gigi berdasarkan jenis tenaga pelayanan menurut kabupaten/kota. Kebanyakan (39,7 %) penduduk Nusa Tenggara Timur berobat ke Perawat Gigi, selanjutnya ke Paramedik lainnya (34,4 %) dan Dokter Gigi (27,4 %) dan sisanya, dengan persentase yang sangat kecil (< 3 %) ke tenaga pelayanan di luar ketiga yang sudah disebutkan. Proporsi penduduk terbanyak yang berobat ke Perawat Gigi adalah di Belu (75,2 %) dan terjarang di Sumba Barat (4,1 %), namun sebaliknya yang berobat ke dokter gigi terbanyak

87

di Sumba Barat (54,8 %) dan terjarang di Sabu Raijua (4,5%). Proporsi penduduk berobat gigi berdasarkan jenis tenaga pelayanan menurut karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

3.7.2 Perilaku Menyikat Gigi Penduduk Umur ≥ 10 Tahun

Setiap orang perlu menjaga kesehatan gigi dan mulut dengan cara menyikat gigi dengan benar untuk mencegah terjadinya karies gigi. Pertanyaan tentang perilaku menyikat gigi dalam Riskesdas 2013 bertujuan untuk mengetahui kebiasaan dan waktu menyikat gigi. Jumlah sampel untuk kelompok umur ≥ 10 tahun berjumlah 24.931 responden. Definisi berperilaku benar dalam menyikat gigi adalah kebiasaan menyikat gigi setiap hari sesudah makan pagi dan sebelum tidur malam.

Tabel 3.7.4 memuat perilaku menyikat gigi penduduk umur ≥ 10 tahun di Nusa Tenggara Timur. Ternyata bahwa sebagian besar (74,7%) penduduk provinsi itu sudah berperilaku menyikat gigi setiap hari, dengan kisaran menurut Kabupaten antara 49,4 persen di Alor hingga 99,1 persen di Kota Kupang. Waktu yang digunaan menyikat gigi dari urutan tertinggi ke yang terendah adalah waktu mandi pagi (80,7 %), mandi sore (57,1 %), mandi pagi dan sore (51,8 %) dan seterusnya dengan persentase yang semakin kecil dan yang paling jarang dilakukan adalah sesudah siang (3 %). Karena persentase kekeliruan yang tinggi dalam pemilihan waktu yang benar menyikat gigi, maka secara keseluruhan persentase kebiasaan yang benar menyikat gigi penduduk Nusa Tenggara Timur hanya 4,8 persen. Kabupaten/kota tertinggi untuk berperilaku menyikat gigi dengan benar adalah Kota Kupang yaitu 17,5 persen, kemudian diikuti Flores Timur 10,5 persen, sedangkan yang terendah adalah di Sumba Tengah 0,2 persen.

Kisaran persentase yang menyikat gigi pada pagi hari menurut kabupaten/kota adalah antara 38,3 persen di Timor Tengah Utara hingga 97,6 persen di Sumba Barat Daya dan yang menyikat gigi pada waktu mandi sore adalah antara 17,9 persen di Timor Tengah Selatan hingga 78,0 persen di Ende. Yang menyikat gigi pada waktu mandi pagi dan sore, berkisar antara 16,5 persen di Timor Tengah Selatan hingga 74,1 persen di Ende.

Tabel 3.7.5 menggambarkan proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menurut karakteristik. Dari segi umur terlihat bahwa makin meningkat umur, ada kecenderungan makin rendah yang melakukan sikat gigi setiap hari dan yang melakukan sikat gigi waktu mandi pagi. Untuk hal-hal lainnya, kelihatannya faktor umur tidak berkaitan, termasuk terhadap kebiasaan yang benar melakukan sikat gigi. Dalam hal karakteristik jenis kelamin, hanya dalam melakukan sikat gigi setiap hari dan melakukan sikat gigi waktu mandi pagi hari saja yang lebih banyak dilakukan laki-laki, sedangkan hal-hal lainnya, termasuk kebiasaan yang benar melakukan sikat gigi, lebih banyak dilakukan perempuan. Makin tinggi pendidikan, makin banyak yang melakukan sikat gigi setiap hari, makin banyak yang melakukan sikat gigi waktu mandi sore, waktu sesudah makan pagi, waktu sebelum tidur malam, waktu sesudah makan siang, waktu sesudah mandi pagi dan sore; demikian juga bertambah banyak yang melakukan kebiasaan sikat gigi dengan benar seiring dengan bertambah tingginya pendidikan. Pegawai merupakan pekerjaan yang mendominasi sebagai pelaku utama (persentase tertinggi) hampir semua kegiatan yang berkaitan dengan sikat gigi, baik yang benar maupun yang keliru, kecuali hanya kebiasaan menyikat gigi waktu bangun pagi saja yang didominasi oleh petani/nelayan/buruh. Responden yang tinggal di perkotaan lebih banyak persentase pelakunya dibandingkan dengan di perdesaan untuk hampir semua kegiatan yang berkaitan dengan sikat gigi, baik yang benar maupun yang keliru, kecuali hanya kebiasaan menyikat gigi waktu mandi pagi saja yang lebih tinggi persentasenya di perdesaan (Tabel 3.7.5). Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, ada kecenderungan makin tinggi persentase pelaku yang berkaitan dengan sikat gigi.

88

Tabel 3.7.4 Proporsi penduduk 10 tahun ke atas yang menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa

Tenggara Timur, Riskesdas 20013

Kabupaten/Kota Menyikat gigi

tiap hari

Waktu menyikat gigi Berperilaku benar menyikat

gigi Mandi Pagi Mandi Sore Sesudah

Makan Pagi Sesudah

Bangun Pagi Sebelum

Tidur Malam Sesudah

makan siang Mandi

Pagi dan sore

Sumba Barat 67,1 89,9 46,5 2,3 9,8 9,7 2,2 43,0 1,3 Sumba Timur 51,1 90,5 60,7 3,9 7,8 17,0 2,5 56,8 2,0 Kupang 84,1 87,5 43,8 3,5 15,6 20,6 2,1 41,4 2,3 Timor Tengah Selatan 53,1 47,1 17,9 3,2 54,4 7,8 1,2 16,5 0,8 Timor Tengah Utara 87,6 38,3 31,9 4,4 66,7 12,0 2,2 19,3 1,8 Belu 89,8 93,6 76,9 7,0 11,7 5,6 2,3 73,6 2,6 Alor 49,4 94,7 65,1 1,3 2,6 11,7 0,4 61,7 0,7 Lembata 79,0 84,4 45,4 13,5 7,7 27,2 1,6 43,8 9,4 Flores Timur 89,2 83,5 55,4 21,3 9,6 29,2 9,9 49,7 10,5 Sikka 86,0 85,2 64,9 12,1 4,0 13,0 2,3 55,0 2,9 Ende 83,1 93,7 78,0 4,6 6,7 12,7 2,5 74,1 2,4 Ngada 70,4 83,9 48,5 11,2 1,7 12,5 0,8 41,2 1,8 Manggarai 79,6 95,5 65,0 11,0 2,1 16,7 0,8 62,6 4,3 Rote Ndao 85,3 76,2 63,9 2,9 28,1 18,7 2,5 53,8 1,6 Manggarai Barat 86,5 91,4 70,1 4,8 1,3 11,6 4,0 65,4 2,1 Sumba Tengah 56,0 90,8 55,3 1,3 3,9 3,0 0,2 50,3 0,2 Sumba Barat Daya 44,5 97,6 56,3 5,7 5,8 18,4 2,5 55,6 3,7 Nagekeo 73,2 90,5 60,7 8,6 6,5 7,8 2,6 56,9 2,0 Manggarai Timur 62,5 77,9 72,9 17,2 8,1 13,8 9,3 56,8 6,8

Sabu Raijua 51,0 55,5 31,6 1,6 44,2 11,1 0,4 27,0 0,7

Kota Kupang 99,1 67,0 55,4 21,0 29,2 43,2 3,9 51,2 17,5

Nusa Tenggara Timur 74,7 80,7 57,1 9,2 17,0 17,3 3,0 51,8 4,8

89

Tabel 3.7.5 Proporsi penduduk 10 tahun ke atas yang menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut karakterisitk responden, Provinsi

Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Menyikat gigi tiap

hari

Waktu menyikat gigi Berperilaku benar

menyikat gigi Mandi Pagi Mandi Sore Sesudah Makan

Pagi Sesudah Bangun

Pagi Sebelum Tidur

Malam Sesudah makan

siang Mandi Pagi dan

sore

Kelompok Umur (Tahun) 10-14 82,0 84,2 50,5 7,7 15,1 12,6 2,2 47,7 3,3 15-24 90,4 80,6 61,5 10,7 18,0 21,9 4,0 56,9 6,2 25-34 82,2 80,1 61,2 9,9 17,3 18,6 2,7 54,7 5,2 35-44 74,9 80,0 58,0 7,7 16,5 16,4 2,8 51,6 3,9 45-54 65,1 78,4 54,3 9,1 18,0 15,4 2,9 47,5 4,4 55-64 49,6 78,8 49,3 10,5 18,1 16,7 3,6 44,5 5,6 65+ 32,1 78,6 51,2 8,6 16,8 13,3 3,2 45,4 3,9

Indeks Umur (WHO) 12 82,8 86,8 51,1 6,8 12,7 12,5 1,8 48,4 3,1 15 89,5 84,6 57,8 10,6 14,6 20,2 3,7 55,6 6,2 18 94,7 82,9 66,7 8,7 17,4 18,9 2,6 60,5 5,0 35-44 74,9 80,0 58,0 7,7 16,5 16,4 2,8 51,6 3,9 45-54 65,1 78,4 54,3 9,1 18,0 15,4 2,9 47,5 4,4 55-64 49,6 78,8 49,3 10,5 18,1 16,7 3,6 44,5 5,6 65+ 32,1 78,6 51,2 8,6 16,8 13,3 3,2 45,4 3,9

Jenis Kelamin Laki-laki 73,8 82,0 56,4 8,6 15,3 15,5 2,1 51,2 4,3 Perempuan 75,5 79,4 57,8 9,8 18,6 19,0 3,8 52,4 5,2

Pendidikan Tidak sekolah 41,3 79,1 47,0 6,4 17,1 8,8 2,3 42,9 2,5 Tidak tamat SD 61,9 82,5 49,3 6,8 14,9 10,6 2,2 44,8 2,6 Tamat SD 74,8 79,1 55,5 7,5 17,1 12,1 2,8 49,0 2,9 Tamat SLTP 87,4 81,6 60,1 9,1 17,1 18,9 3,3 55,1 5,0 Tamat SLTA 94,5 80,2 63,8 12,8 19,0 28,3 3,5 59,1 8,1 Tamat PT 98,1 83,4 70,2 18,4 16,6 36,9 5,3 66,2 13,1 Pekerjaan

Tidak kerja 82,0 80,7 55,5 10,0 18,4 18,9 3,5 51,4 5,4 Pegawai 95,2 82,9 66,3 16,3 16,7 34,1 4,5 63,1 12,0 Wiraswasta 92,8 79,8 64,0 12,4 20,0 27,0 3,3 59,9 7,6 Petani/nelayan/buruh 60,6 80,4 55,4 5,8 14,3 9,5 2,0 48,1 1,8 Lainnya 85,3 79,9 61,9 10,0 18,3 18,3 3,0 56,0 4,4

Tempat tinggal Perkotaan 93,9 80,2 66,1 15,9 19,2 31,9 3,8 61,7 10,6 Perdesaan 69,7 80,8 54,0 6,9 16,3 12,3 2,8 48,5 2,7

Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 54,5 84,9 51,2 5,6 10,7 9,3 2,4 45,9 2,1 Menengah bawah 61,8 76,4 48,4 5,3 19,1 8,4 2,8 42,6 1,8 Menengah 77,6 79,5 54,7 8,4 18,0 12,7 2,2 49,3 3,4 Menengah atas 88,1 81,8 61,1 10,9 17,6 20,2 3,5 55,8 5,4 Teratas 95,0 81,3 66,1 13,8 17,8 31,3 3,9 61,6 9,5

3.7.3 Indeks DMF-T dan Komponen D-T,M-T,F-T, menurut Karakteristik Responden

Jumlah sampel untuk usia ≥ 12 tahun, berjumlah 7.649 responden. X adalah rata-rata dari D, rata-rata M, rata-rata F dan rata-rata DF.Indeks DMF-T merupakan penjumlahan dari komponen D-T, M-T, dan F-T yang menunjukkan banyaknya kerusakan gigi yang pernah dialami seseorang, baik berupa Decay/D (merupakan jumlah gigi permanen yang mengalami karies dan belum diobati atau ditambal), Missing/M (jumlah gigi permanen yang dicabut atau masih berupa sisa akar), dan Filling/F adalah jumlah gigi permanen yang telah dilakukan penumpatan atau ditambal. Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi permanen.

Tabel 3.7.6 Komponen D, M, F, dan Indeks DMF-T menurut karakteristik responden, Provinsi Nusa Tenggara

Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik D – T ( X ) M – T ( X ) F – T ( X ) DF-T ( X ) DMF – T ( X )

Kelompok Umur (Tahun) 12-14 0,92 0,27 0,02 0,02 1,2 15-24 1,27 0,35 0,03 0,00 1,6 25-34 1,84 0,85 0,09 0,00 2,8 35-44 1,94 1,69 0,05 0,01 3,7 45-54 2,00 3,03 0,09 0,01 5,1 55-64 2,13 6,52 0,06 0,03 8,7 65+ 1,52 13,46 0,02 0,00 15,0

Kelompok Umur (WHO) 12 0,93 0,24 0,00 0,00 1,2 15 1,07 0,33 0,02 0,01 1,4 18 1,42 0,39 0,00 0,00 1,8 35 – 44 1,94 1,69 0,05 0,01 3,7 45 – 54 2,00 3,03 0,09 0,01 5,1 55 – 64 2,13 6,52 0,06 0,03 8,7 65 + 1,52 13,46 0,02 0,00 15,0

Jenis Kelamin Laki – laki 1,47 1,62 0,05 0,01 3,1 Perempuan 1,49 1,78 0,04 0,01 3,3

Pendidikan Tidak Sekolah 1,39 5,64 0,02 0,00 7,0 Tidak tamat SD 1,20 2,16 0,03 0,02 3,4 Tamat SD 1,60 1,46 0,02 0,01 3,1 Tamat SLTP 1,45 0,70 0,04 0,01 2,2 Tamat SLTA 1,75 1,29 0,11 0,01 3,1 Tamat PT 1,29 0,92 0,28 0,02 2,5

Pekerjaan Tidak bekerja 1,19 1,01 0,04 0,01 2,2 Pegawai 1,48 1,22 0,25 0,01 2,9 Wiraswasta 1,93 1,63 0,25 0,03 3,8 Petani / Nelayan/ Buruh 1,95 2,91 0,02 0,01 4,9 Lainnya 1,22 2,08 0,01 0,00 3,3

Tempat Tinggal Perkotaan 1,40 1,38 0,14 0,01 2,9

Perdesaan 1,49 1,78 0,02 0,01 3,3 Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 1,39 2,00 0,01 0,01 3,4 Menengah Terbawah 1,71 1,88 0,01 0,00 3,6 Menengah 1,43 1,61 0,03 0,01 3,1 Menengah Atas 1,46 1,45 0,08 0,01 3,0 Teratas 1,38 1,46 0,12 0,02 2,9

91

Tabel 3.7.6, menunjukkan indeks DMF-T menurut karakteristik. Index DMF-T meningkat seiring dengan bertambahnya umur yaitu sebesar 1,2 pada kelompok umur 12 tahun, kemudian 1,4 pada umur 15 tahun, 1,8 pada umur 18 tahun, 3,7 pada umur 35-44 tahun, 5,1 pada umur 45-54 tahun, 8,7 pada umur 55-64 tahun dan 15,0 pada umur 65 tahun keatas. Dengan perkataan lain, rata-rata jumlah gigi permanen per orang di Nusa Tenggara Timur yang mengalami kerusakan berturut-turut adalah 1,2 gigi per orang untuk umur 12-14 tahun, 1,6 gigi per orang untuk umur 15-24 tahun dan seterusnya 15 gigi per orang untuk umur > 65 tahun. Antara laki-laki dan perempuan tidak banyak berbeda kerusakan gigi yang terjadi. Tingkat pendidikan tidak berkorelasi linier dengan kerusakan gigi permanen, namun kerusakan paling parah (Indeks DMF-T= 7) terjadi pada pendididikan tidak sekolah. Petani/nelayan/buruh merupakan kelompok pekerjaan yang terparah kerusakan giginya (Indeks DMF-T= 4,9) dibandingkan pekerjaan lain. Kerusakan gigi penduduk yang tinggal di perdesaan (Indeks DMF-T= 3,3) sangat kecil perbedaannya dengan yang tinggal di perkotaan (Indeks DMF-T= 2,9). Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, cenderung makin rendah tingkat kerusakan giginya.

3.8 Status Disabilitas

Bahasan disabilitas bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya pengalaman hidup penduduk karena kondisi kesehatan, termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Setiap orang memiliki peran tertentu dalam hidup sehingga diharapkan dapat bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin. Kuesioner disabilitas dikembangkan oleh WHO untuk mendapatkan informasi sejauh mana seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial lain, juga hal yang tidak mampu dilakukan dan kesulitan melakukan aktivitas rutin (WHO 2010).Informasi disabillitas dapat dimanfaatkan untuk menyusun prioritas, mengukur dampak dan mengevaluasi efektivitas dan kinerja sistem kesehatan.

Informasi diperoleh dengan menggunakan adaptasi WHODAS 2, suatu instrumen yang dikembangkan tim WHO sebagai operasionalisasi dari konsep International classification of functioning (ICF). Ditanyakan 12 pernyataan pada responden berusia 15 tahun mengenai adanya kesulitan yang dialami terkait kondisi kesehatan dalam kurun waktu satu bulan sebelum survei. Terdapat lima opsi jawaban responden, yaitu 1. tidak ada kesulitan, 2. sedikit kesulitan, 3. cukup mengalami kesulitan, 4. kesulitan berat dan 5. tidak mampu melakukan. Selanjutnya bagi responden dengan jawaban berkode 2,3,4 atau 5 ditanyakan lama hari mengalami kesulitan yang terdiri dari jumlah hari sama sekali tidak mampu melakukan aktivitas rutin dan jumlah hari yang masih dapat melakukan aktivitas rutin walaupun tidak optimal.

Tabel 3.8.1 menunjukkan kesulitan berdiri selama 30 menit pada 22 persen penduduk Nusa Tenggara Timur termasuk 6,2 persen dengan level sedang dan 5,8 persen level berat, diikuti oleh kesulitan berjalan jauh dialami oleh 20,3 persen dan sulit mengerjakan kegiatan rumah tangga pada 19,2 persen penduduk.

Tabel 3.8.2 menunjukkan beberapa indikator disabilitas. Prevalensi yang diperoleh dari identifikasi komponen nomor 3,4,5 pada salah satu dari 12 komponen disabilitas menunjukkan 19,2 persen penduduk mengalami kesulitan. Manggarai Timur merupakan kabupaten dengan prevalensi tertinggi (48,3 %) dan Kabupaten Kupang terendah. Rerata hari produktif hilang adalah rerata lama hari tidak dapat berfungsi optimal karena disabilitas. Rata-rata penduduk Nusa Tenggara Timur tidak dapat berfungsi optimal selama 6,6 hari karena disabilitas. Tertinggi di Sabu Raijua (18,8 hari) dan terendah di Belu (3,1 hari).

92

Tabel 3.8.1 Proporsi tingkat kesulitan menurut komponen disabilitas, Provinsi Nusa TenggaraTimur, Riskesdas

2013

Komponen disabilitas Tidak Ada Ringan Sedang Berat Sangat Berat

1. Sulit berdiri dalam waktu lama misalnya 30 menit? 77,9 9,2 6,2 5,8 0,9 2. Sulit mengerjakan kegiatan rumah tangga yang menjadi

tanggung jawabnya 80,8 9,7 4,9 4,0 0,6

3. Sulit mempelajari/ mengerjakan hal-hal baru, seperti untuk menemukan tempat/alamat baru, mempelajarai permainan, resep baru

83,6 8,6 4,1 3,2 0,6

4. Sulit dapat berperan serta dalam kegiatan kemasyarakatan (misalnya dalam kegiatan keagamaan, sosial)

86,0 8,1 3,2 2,1 0,6

5. Seberapa besar masalah kesehatan yang dialami mempengaruhi keadaan emosi?

84,0 8,6 4,6 2,2 0,5

6. Seberapa sulit memusatkan pikiran dalam melakukan sesuatu selama 10 menit?

85,2 8,5 3,6 2,2 0,5

7. Seberapa sulit dapat berjalan jarak jauh misalnya 1 kilometer?

79,8 7,7 5,2 5,9 1,5

8. Seberapa sulit membersihkan seluruh tubuh? 90,1 7,3 1,5 0,8 0,3 9. Seberapa sulit mengenakan pakaian? 90,9 6,9 1,3 0,6 0,3 10. Seberapa sulit berinteraksi/ bergaul dengan orang yang

belum dikenal sebelumnya? 88,8 7,7 2,1 1,0 0,4

11. Seberapa sulit memelihara persahabatan? 89,4 7,8 1,7 0,9 0,3 12. Seberapa sulit mengerjakan pekerjaan sehari-hari? 85,1 8,6 3,4 2,4 0,6

Tabel 3.8.2

Indikator disabilitas menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Prevalensi

Rerata hari produktif hilang

Total Tidak

mampu Masih

mampu

Sumba Barat 18,9 14,2 5,4 8,8 Sumba Timur 15,6 8,0 2,9 5,2 Kupang 8,0 7,6 1,4 6,2 Timor Tengah Selatan 23,2 7,3 1,5 5,9 Timor Tengah Utara 21,7 5,9 2,5 3,5 Belu 10,4 3,1 1,7 1,4 Alor 13,8 10,9 1,8 9,1 Lembata 31,6 3,9 2,0 1,9 Flores Timur 17,8 10,3 1,2 9,1 Sikka 18,1 5,8 2,8 3,0 Ende 23,1 3,9 1,8 2,1 Ngada 22,5 5,1 2,3 2,8 Manggarai 15,0 7,3 2,8 4,5 Rote Ndao 24,2 7,0 1,4 5,6 Manggarai Barat 27,4 4,6 1,0 3,6 Sumba Tengah 12,5 6,4 3,1 3,3 Sumba Barat Daya 18,9 6,5 1,9 4,6 Nagekeo 13,4 8,6 2,3 6,3 Manggarai Timur 48,3 6,6 4,1 2,5 Sabu Raijua 10,5 18,0 3,9 14,1 Kota Kupang 12,8 5,0 0,9 4,0

Nusa Tenggara Timur 19,2 6,6 2,2 4,4

93

3.9 Kesehatan Jiwa

Indikator kesehatan jiwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 antara lain gangguan jiwa berat. gangguan mental emosional serta cakupan pengobatannya. Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis dan salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia.

Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah. Keluarga serta masyarakat oleh karena produktivitas pasien menurun dan akhirnya menimbulkan beban biaya yang besar bagi pasien dan keluarga. Dari sudut pandang pemerintah. gangguan ini menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang besar. Sampai saat ini masih terdapat pemasungan serta perlakuan salah pada pasien gangguan jiwa berat di Indonesia. Hal ini akibat pengobatan dan akses ke pelayanan kesehatan jiwa belum memadai. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan adalah menjadikan Indonesia bebas pasung oleh karena tindakan pemasungan dan perlakukan salah merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia.

Disamping gangguan jiwa berat. Riskesdas 2013 juga melakukan penilaian gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia seperti pada Riskesdas 2007. Gangguan mental emosional adalah istilah yang sama dengan distres psikologik. Kondisi ini adalah keadaan yang mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis. Berbeda dengan gangguan jiwa berat psikosis dan skizofrenia. Gangguan mental emosional adalah gangguan yang dapat dialami semua orang pada keadaan tertentu. Tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan ini dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil ditanggulangi.

Prevalensi gangguan mental emosional penduduk Indonesia berdasarkan Riskesdas 2007 adalah 11.6% dan bervariasi di antara provinsi dan kabupaten/kota. Pada Riskesdas tahun 2013, prevalensi gangguan mental emosional dinilai kembali dengan menggunakan alat ukur serta metode yang sama. Gangguan mental emosional diharapkan tidak berkembang menjadi lebih serius apabila orang yang mengalaminya dapat mengatasi atau melakukan pengobatan sedini mungkin kepusat pelayanan kesehatan atau berobat ke tenaga kesehatan yang kompeten.

Cakupan pengobatan ditanyakan berdasarkan kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan termasuk dikunjungi oleh tenaga kesehatan.

3.9.1 Gangguan Jiwa Berat

Gangguan jiwa berat dinilai melalui serangkaian pertanyaan yang ditanyakan oleh pewawancara (enumerator) kepada kepala rumah tangga atau ART yang mewakili kepala rumah tangga. Inti pertanyaan adalah mengenai ada tidaknya anggota rumah tangga (tanpa melihat umur) yang mengalami gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) pada rumah tangga tersebut. Angka prevalensi yang diperoleh merupakan prevalensi gangguan jiwa berat seumur hidup (life time prevalence). Rumah tangga yang memiliki ART dengan gangguan jiwa, ditanya mengenai riwayat pemasungan yang mungkin pernah dialami ART selama hidupnya. Pewawancara telah dilatih mengenai cara melakukan wawancara serta pengetahuan singkat mengenai ciri-ciri gangguan jiwa. Pelatihan singkat tersebut memberikan keterampilan kepada pewawancara tentang cara melakukan klarifikasi atau verifikasi terhadap jawaban yang diberikan oleh kepala rumah tangga atau orang yang mewakilinya.

Keterbatasan pengumpulan data dengan cara wawancara adalah adanya kemungkinan kasus tidak dilaporkan serta diagnosis yang kurang tepat mengenai gangguan jiwa berat. Upaya untuk mengatasi kelemahan ini dilakukan dengan cara menetapkan batasan operasional bahwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 adalah gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) yang dapat dikenali oleh masyarakat umum sehingga gangguan jiwa berat dengan diagnosis tertentu dan memerlukan kemampuan diagnostik oleh dokter spesialis jiwa kemungkinan tidak terdata.

94

Berdasarkan Gambar3.9.1, terlihat bahwa besarnya prevalensi psikosis di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 1,6 ‰ dengan prevalensi tertinggi di Kabupaten Nagekeo (5,5 ‰) dan terendah di Kabupaten Ngada (0,04 ‰). Adapun prevalensi psikosis secara nasional adalah 1,7 per mil. Angka prevalensi seumur hidup skizofrenia di dunia bervariasi berkisar 1 sampai dengan 18 per mil. Beberapa kepustakaan menyebutkan secara umum angka prevalensi skizofrenia sebesar 1 persen penduduk.

Gambar 3.9.1 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Menurut karakteristik tempat tinggal penderita terlihat bahwa psikosis di desa (1,6 ‰) lebih tinggi daripada di kota (1,6 ‰) sementara menurut kuintil indeks kepemilikan, ada kecenderungan makin tinggi kuintil, makin rendah kejadian psikosis (Gambar 3.9.2).

Gambar 3.9.2 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut karakteristik,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Untuk seluruh Indonesia, persentase rumah tangga yang memiliki ART gangguan jiwa berat yang pernah dipasung dihitung dari 1655 rumah tangga yang memiliki keluarga yang menderita gangguan jiwa berat. Tindakan pemasungan yang ditanyakan adalah riwayat mengalami pemasungan yaitu

5,5

5

3,2

2,7 2,62,4

2

1,5 1,4

1 1 0,90,6 0,6 0,5 0,5

0,3 0,3 0,2 0,20,04

1,6

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

4,5

5

5,5

6

Nagekeo

SB

D

Ende

Sute

ng

TT

S

Alo

r

Sutim

NT

T

Manggara

i

Sik

ka

Belu

Flo

rtim

Sabu R

aiju

a

Subar

Mabar

Lem

bata

Matim

Rote

Ndao

Kota

Kupang

Kupang

TT

U

Ngada

Kabupaten/Kota

Gan

gg

uan

Jiw

a b

era

t/p

sik

osis

/skiz

ofr

en

ia(

0/0

0)

1,3

1,6

2,12

1,4

1,7

0,4

0

0,25

0,5

0,75

1

1,25

1,5

1,75

2

2,25

2,5

Pe

rko

taa

n

Pe

rde

sa

an

Te

rba

wa

h

Me

ne

ng

ah

ba

wa

h

Me

ne

ng

ah

Me

ne

ng

ah

ata

s

Te

rata

s

Tempat Tinggal Kuintil Indeks Kepemilikan

Karakteristik

Ga

ng

gu

an

Jiw

a B

ara

t/P

sik

os

is/S

kiz

ofr

en

ia (

0/0

0)

95

pengalaman menjalani pemasungan selama hidup. Metode pemasungan tidak terbatas pada pemasungan secara tradisional (menggunakan kayu atau rantai pada kaki), tetapi juga tindakan pengekangan lain yang membatasi gerak, pengisolasian termasuk mengurung dan penelantaran yang menyertai salah satu metode pemasungan.

Untuk seluruh Indonesia, terdapat 14,3 % rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga mengalami gangguan jiwa berat, menyatakan bahwa pernah mengalami pemasungan. Adapun untuk seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, besarnya adalah 24,4 %, yang berarti jauh lebih tinggi daripada angka nasional.Karena jumlah kasus di tingkat provinsi terlalu kecil, maka analisis untuk tingkat kabupaten tidak dapat dilakukan.

3.9.2 Gangguan Mental Emosional

Di dalam kuesioner Riskesdas 2013, pertanyaaan mengenai gangguan mental emosional terdapat pada kuesioner individu F01–F20. Gangguan mental emosional dinilai dengan Self Reporting Questionnaire (SRQ) yang terdiri dari 20 butir pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan SRQ diberikan kepada anggota rumah tangga (ART) yang berusia ≥ 15 tahun. Ke-20 butir pertanyaan ini mempunyai pilihan jawaban “ya” dan “tidak”.Nilai batas pisah yang ditetapkan pada survei ini adalah 6 yang berarti apabila responden menjawab minimal 6 atau lebih jawaban “ya”, maka responden tersebut diindikasikan mengalami gangguan mental emosional. Nilai batas pisah tersebut sesuai penelitian uji validitas yang pernah dilakukan (Hartono, Badan Litbangkes, 1995). SRQ memiliki keterbatasan karena hanya mengungkap status emosional individu sesaat (± 30 hari) dan tidak dirancang untuk diagnostik gangguan jiwa secara spesifik. Dalam Riskesdas 2013 pertanyaan dibacakan petugas wawancara kepada seluruh responden.

Jumlah ART yang dianalisis untuk gangguan mental emosional adalah yang berumur > 15 tahun. Jumlah tersebut merupakan responden yang menjawab langsung atas pertanyaan yang dibacakan petugas wawancara. Jawaban yang diberikan oleh ART yang diwakili atau didampingi oleh keluarganya tidak dianalisis pada laporan ini. Alasan ART terpaksa diwakili atau didampingi oleh keluarganya oleh karena menderita gangguan jiwa berat dengan kemampuan komunikasi sangat buruk, menderita penyakit fisik berat atau disabilitas lainnya yang menyebabkan ketidakmampuan menjawab pertanyaan yang diberikan.

Prevalensi orang yang mengalami gangguan mental emosional secara nasional dalam riset ini adalah 6,0% (37.728 orang dari subjek yang dianalisis). Sementara untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur, jumlah orang yang mengalami gangguan mental emosional tergolong tinggi dengan prevalensi sebesar 7,8 %, yang berarti sedikit lebih tinggi daripada angka nasional (Tabel 3.9.1). Karena jumlah kasusnya sangat kecil, maka analisis untuk tingkat kabupaten/kota tidak dapat dilakukan.

Berdasarkan Tabel 3.9.2, prevalensi gangguan mental emosional tinggi didapatkan mulai umur 15 tahun, dengan prevalensi paling tinggi pada kelompok umur ≥75 tahun. Semakin bertambah usia, semakin banyak yang menderita ganguan mental emosional. Prevalensi gangguan mental emosional lebih banyak ditemukan pada perempuan, tingkat pendidikan yang lebih rendah, status pekerjaan sebagai nelayan, dan kuintil terbawah. Sedangkan gangguan mental emosional sama di pedesaan dua kali dibandingkan di perkotaan.

96

Tabel 3.9.1 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur 15 tahun ke atas (berdasarkan

Self Reporting Questionnaire-20)* menurut Kabupaten/Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten Gangguan Mental Emosional (%)

Sumba Barat 6,0

Sumba Timur 9,8 Kupang 1,7 Timor Tengah Selatan 2,8 Timor Tengah Utara 5,5 Belu 0,8 Alor 5,2 Lembata 15,2

Flores Timur 2,8 Sikka 7,3

Ende 10,8

Ngada 7,2

Manggarai 1,0

Rote Ndao 13,5

Manggarai Barat 3,8

Sumba Tengah 10,0

Sumba Barat Daya 8,3

Nagekeo 9,3

Manggarai Timur 48,4

Sabu Raijua 1,5

Kota Kupang 5,8

Nusa Tenggara Timur 7,8

Indonesia

3.9.3 Cakupan Pengobatan Ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Cakupan pengobatan yang ditanyakan kepada responden adalah cakupan terhadap pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan, Fasilitas pelayanan kesehatan yang dimaksud meliputi strata 1, 2 dan 3, Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah tenaga kesehatan sesuai PP No 36 Pasal 2, Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan.

Adapun cakupan pengobatan gangguan mental emosional di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 19,1 persen untuk jawaban yang mengaku pernah diobati, sedangkan yang diobati dalam 2 minggu terakhir adalah 8,1 persen (Tabel 3.9.3). Cakupan nasional adalah 26,6 persen dan 11,9 persen masing-masing untuk kedua kategori, yang berarti bahwa cakupan pengobatangangguan mental emosional di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur jauh lebih kecil dibandingkan dengan cakupan nasional. Berhubung jumlah sampel cakupan pengobatan gangguanmental emosional di Nusa Tenggara Timur tersebut terlalu kecil, maka analisis distribusi menurut kabupaten/kota tidak dapat dilakukan.

97

Tabel 3.9.2 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur 15 tahun ke atas (berdasarkan

Self Reporting Questionnaire-20)* menurut menurut Karakteristik Responden, Provinsi Nusa Tenggara Timur,Riskesdas 2013

Karakteristik Responden Gangguan Mental Emosional(%)

Kelompok Umur (tahun)

15 – 24 6,0

25 – 34 6,5

35 – 44 7,7

45 – 54 8,2

55 – 64 10,4

65 -74 14,2

75+ 16,3

Jenis kelamin

Laki-laki 6,3

Perempuan 9,3

Pendidikan Tidak Sekolah 10,3

Tidak Tamat SD 10,6

Tamat SD 8,9

Tamat SLTP 5,5

Tamat SLTA 5,4

Tamat D1-D3/PT 3,3

Pekerjaan

Tidak Bekerja 7,5 Pegawai 3,8 Wiraswasta 2,9 Petani/nelayan/buruh 9,6 Lainnya 4,1

Tempat Tinggal Perkotaan 4,7

Pedesaan 8,7

Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 10,7

Menengah Bawah 11,0

Menengah 7,1

Menengah Atas 5,3

Teratas 4,6

98

Tabel 3.9.3 Persentase cakupan pengobatan penderita gangguan mental emosional menurut karakteristik,

Provinsi Nusa Tenggara Timur,Riskesdas 2013

Karakteristik Cakupan Pengobatan Gangguan Mental Emosional

Seumur hidup 2 minggu

Kelompok Umur (tahun) 15-24 tahun 15,3 4,0

25-34 tahun 18,1 7,5

35-44 tahun 23,2 10,7

45-54 tahun 21,7 11,8

55-64 tahun 17,1 6,3

65-74 tahun 17,7 8,6

75+ tahun 20,3 5,0

Jenis kelamin

Laki-laki 15,7 5,2

Perempuan 21,3 9,9

Pendidikan

Tidak Sekolah 15,5 6,0

Tidak Tamat SD 19,7 8,0

Tamat SD 18,3 8,2

Tamat SLTP 21,7 10,7

Tamat SLTA 19,6 6,5

Tamat D1-D3/PT 29,0 12,8

Pekerjaan

Tidak Bekerja 20,2 8,2

Pegawai 34,0 13,9

Wiraswasta 9,0 0,7

Petani/nelayan/buruh 17,4 7,6

Lainnya 35,9 17,1

Tempat Tinggal

Perkotaan 20,9 8,3

Pedesaan 18,8 8,0

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 16,2 6,4

Menengah Bawah 13,3 5,8

Menengah 27,2 11,2

Menengah Atas 26,1 11,5

Teratas 20,1 8,9

99

3.10 Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Pengetahuan, sikap dan perilaku dikumpulkan pada penduduk kelompok umur 10 tahun atau lebih. Topik yang dikumpulkan meliputi perilaku higienis, penggunaan tembakau, aktivitas fisik, perilaku konsumsi buah, sayur, makanan berisiko (makan/minum manis, makanan asin, makanan berlemak, makanan dibakar, makanan olahan dengan pengawet, bumbu penyedap, kopi dan minuman berkafein buatan bukan kopi) dan konsumsi makanan olahan dari tepung terigu. 3.10.1 Perilaku Higienis Perilaku higienis yang dikumpulkan meliputi kebiasaan/perilaku buang air besar (BAB) dan perilaku mencuci tangan. Perilaku BAB yang dianggap benar adalah bila penduduk melakukannya di jamban, mencuci tangan yang benar adalah bila penduduk mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan, setiapkali tangan kotor (antara lain memegang uang, binatang, berkebun), setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak,setelah menggunakan pestisida/insektisida, dan sebelum menyusui bayi. (Promkes,2011)

Tabel 3.10.1 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang berperilaku benar dalam buang air besar dan cuci tangan

menurut menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas2013

Kabupaten/Kota Berperilaku benar dalam hal BAB*

Berperilaku benar dalam hal cuci tangan**

Sumba Barat 42,1 29,7

Sumba Timur 44,1 25,3 Kupang 88,5 46,5 Timor Tengah Selatan 95,6 25,7 Timor Tengah Utara 90,1 45,0

Belu 69,6 45,5 Alor 88,9 18,1 Lembata 92,9 33,1 Flores Timur 83,4 44,4

Sikka 85,2 44,5 Ende 84,5 25,3 Ngada 88,1 37,5 Manggarai 74,3 54,0

Rote Ndao 69,2 40,1 Manggarai Barat 60,5 37,6 Sumba Tengah 69,3 32,5 Sumba Barat Daya 41,4 19,3 Nagekeo 88,2 26,8 Manggarai Timur 69,9 30,9 Sabu Raijua 51,4 20,3

Kota Kupang 100,0 71,1

Nusa Tenggara Timur 77,5 38,1

*Perilaku benar dalam BAB bila BAB di jamban; **Perilaku benar dalam cuci tangan bila cuci tangan pakai sabun sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor (memegang uang, binatang dan berkebun), setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak, setelah menggunakan pestisida/insektisi, sebelum menyusui bayi, dan sebelum makan.

100

Dalam Tabel 3.10.1 terlihat bahwa rerata proporsi berperilaku cuci tangan secara benar di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 77,5 persen dan tiga kabupaten/kota terendah adalah Sumba Barat Daya (41,4 %), Sumba Barat (42,1 %) dan Sumba Timur (44,1 %). Rerata proporsi berperilaku buang air besar secara benar adalah 38,1 persen dan tiga kabupaten/kota terendah adalah Alor (18,1 %), Sumba Barat Daya (19,3 %) dan Sabu Raijua (20,3 %).

3.10.2 Penggunaan Tembakau Informasi perilaku penggunaan tembakau dalam Riskesdas tahun 2013 dibagi menjadi dua kelompok yaitu perilaku merokok dengan hisap dan perilaku penggunaan tembakau dengan mengunyah, karena efek samping yang ditimbulkan akibat merokok dengan hisap dan dengan metode kunyah berbeda. Perokok hisap menimbulkan polusi pada perokok pasif dan lingkungan sekitarnya, sedangkan kunyah tembakau hanya berdampak pada dirinya sendiri. Pada Tabel 3.10.2 terlihat bahwa 25,9 persen penduduk Nusa Tenggara Timur adalah perokok saat ini, yang terbagi atas 19,7 persen sebagai perokok setiap hari dan 6,2 persen perokok kadang-kadang. Tiga kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi perokok saat ini berada di Sumba Timur (34,2 %), Sumba Tengah (28 %) dan Menggarai Timur (26,5 %) dan yang terendah adalah di Belu (11,7 %).

Sebagaimana tertera pada Tabel 3.10.3, karakteristik umur memperlihatkan bahwa perokok aktif setiap hari tertinggi proporsinya pada kelompok umur 30-34 tahun (30,3 %) dan perokok kadang-kadang pada umur 20-24 tahun (9,2 %), semua sangat didominasi oleh laki-laki. Pendidikan tamat SMA merupakan tingkat pendidikan yang terbanyak sebagai perokok aktif setiap hari dan perokok kadang-kadang. Kelompok pekerjaan yang tertinggi proporsi sebagai perokok aktif setiap hari dan perokok kadang-kadang dalah wiraswasta. Perokok aktif setiap hari dan perokok kadang-kadang lebih banyak di perdesaan dibanding dengan di perkotaan. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, ada kecenderungan makin sedikit perokok aktif setiap hari dan perokok kadang-kadang.

Dari Gambar 3.10.1 tampak bahwa rerata batang rokok yang dihisap perhari per orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 10,8 batang (setara satu bungkus), Jumlah rerata batang rokok terbanyak yang dihisap ditemukandi Sabu Raijua (13 batang)dan Manggarai (12 batang). Tabel 3.10.4, proporsi kebiasaan mengunyah tembakau atau smokeless setiap hari di Nusa Tenggara Timur sebesar 17,7 persen, mengunyah tembakau kadang-kadang sebesar 12,1 persen dan mantan pengunyah tembakau 2,1 persen. Lima kabupaten dengan proporsi mengunyah tembakau setiap hari diatas proporsi provinsi adalah Kabupaten Alor (43,7%), Kupang (33,8%), Sumba Tengah (26,4%), Sumba Barat Daya (24,4%) dan Timor Tengah Utara (23,7%).

101

Tabel 3.10.2 Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kebiasaan merokok dan kabupaten/kota, Provinsi

Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota

Perokok saat ini Tidak merokok

Perokok setiap hari

Perokok kadang-kadang

Mantan perokok

Bukan perokok

Sumba Barat 22,6 6,4 4,2 66,8 Sumba Timur 34,2 5,0 3,2 57,6 Kupang 15,6 6,0 1,4 77 Timor Tengah Selatan 12,9 10,2 2 74,9 Timor Tengah Utara 21 7,2 2,8 69,1 Belu 11,7 11,2 2,5 74,7 Alor 22,6 5,9 3,1 68,4 Lembata 17,4 6,7 3,0 73,0 Flores Timur 24,9 2,5 2,6 70,0 Sikka 20,2 6,1 2,4 71,3 Ende 21,5 5,1 4,2 69,2 Ngada 19,8 5,6 2,7 71,9 Manggarai 22,3 3,3 1,3 73,1 Rote Ndao 19,2 9,0 3,8 68 Manggarai Barat 22,9 4,1 2,0 71 Sumba Tengah 28 6,2 1,8 64 Sumba Barat Daya 16,9 6,0 1,6 75,6 Nagekeo 21,3 6,1 2,7 69,8 Manggarai Timur 26,5 4,8 1,6 67 Sabu Raijua 17,9 4,8 1,5 75,7 Kota Kupang 14,6 5,1 2,5 77,9

Nusa Tenggara Timur 19,7 6,2 2,4 71,6

102

Tabel 3.10.3 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan karakteristik responden,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Perokok saat ini

Perokok setiap hari Perokok kadang-kadang

Kelompok umur (tahun) 10-14 0,2 0,6 15-19 8,3 7,1 20-24 24,2 9,2 25-29 29,5 7,2 30-34 30,3 7,1 35-39 28,8 6,9 40-44 27,2 7,9 45-49 25,9 8,6 50-54 25,4 7,4 55-59 23,7 8,1 60-64 19,8 5,4 65+

17,3 5,9 Jenis kelamin Laki-laki 39,5 12,5 Perempuan

0,6 0,2 Pendidikan Tidak sekolah 16,7 4,8 Tidak tamat SD 16 5,2 Tamat SD 21,2 6 Tamat SMP 21,2 7,3 Tamat SMA 22,7 8 Tamat PT

18,3 7,6 Pekerjaan Tidak bekerja 5,8 3,4 Pegawai 26 7 Wiraswasta 35 9,1 Petani/nelayan/buruh 32 9,1 Lain-lain

23,4 5 Tempat tinggal Perkotaan 16,6 5,5 Perdesaan

20,5 6,4 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 22,3 6 Menengah bawah 20,1 7,6 Menengah 20,3 6,1 Menengah atas 19,2 5,6 Teratas 16,2 5,6

103

Gambar 3.10.1 Rerata jumlah batang rokok tiap/hari dihisap penduduk umur 10 tahun ke atas menurut

kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Tabel 3.10.4

Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau menurut kabupaten/kota di provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Pengunyah Tembakau saat ini

setiap hari kadang-kadang

Sumba Barat 21,5 16,7

Sumba Timur 8,2 3,0 Kupang 33,8 19,2 Timor Tengah Selatan 29,0 10,5

Timor Tengah Utara 23,7 29,8 Belu 21,7 21,2 Alor 43,7 16,3 Lembata 10,6 12,4

Flores Timur 7,3 9,0 Sikka 2,5 1,8 Ende 13,6 8,9 Ngada 16,1 17,2 Manggarai 14,7 4,9 Rote Ndao 14,6 13,9

Manggarai Barat 7,3 3,5

Sumba Tengah 26,4 24,9

Sumba Barat Daya 24,4 8,2 Nagekeo 11,4 11,3 Manggarai Timur 20,5 12,2

Sabu Raijua 18,9 9,0 Kota Kupang 5,2 13,3

Nusa Tenggara Timur 17,7 12,1

13,3

12,2

11,9

11,8

11,7

11,7

11,4

11,3

11,3

11,2

11,2

11

10,8

10,8

10,5

9,9

9,7

9,2

9 9

7,6

10,8

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

Sabu R

aiju

a

Mabar

Ngada

TT

U

Sutim

Kota

Kupang

Kupang

Subar

Rote

Ndao

Belu

Flo

rtim

Manggara

i

Sute

ng

Matim

NT

T

Sik

ka

Ende

Nagekeo

SB

D

Alo

r

Lem

bata

TT

S

Kabupaten/Kota

Re

rata

ju

mla

h b

ata

ng

ro

ko

k d

iis

ap

/ h

ari

*

104

3.10.3 Perilaku Aktifitas Fisik

Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan serta menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Dikumpulkan data frekuensi beraktivitas fisik dalam seminggu terakhir untuk penduduk umur >10 tahun. Aktivitas fisik berat adalah kegiatan yag secara terus menerus melakukan kegiatan fisik minimal 10 menit sampai meningkatnya denyut nadi dan napas lebih cepat dari biasanya (misalnya menimba air, mendaki gunung, lari cepat, menebang pohon, mencangkul, dll) selama minimal tiga hari dalam satu minggu dan total waktu beraktivitas ≥1500 MET minute. MET minute aktivitas fisik berat adalah lamanya waktu (menit) melakukan aktivitas dalam satu minggu dikalikan bobot sebesar 8 kalori. Aktivitas fisik sedang apabila melakukan aktivitas fisik sedang (menyapu, mengepel, dll) minimal lima hari atau lebih dengan total lamanya beraktivitas 150 menit dalam satu minggu. Selain dari dua kondisi tersebut termasuk dalam aktivitas fisik ringan (WHO GPAQ, 2012; WHO STEPS, 2012). Dalam Riskesdas 2013 ini kriteria aktivitas fisik "aktif" adalah individu yang melakukan aktivitas fisik berat atau sedang atau keduanya, sedangkan kriteria 'kurang aktif' adalah individu yang tidak melakukan aktivitas fisik sedang ataupun berat.

Pada Gambar 3.10.2 terlihat bahwa proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif di seluruh Nusa

Tenggara Timur adalah 28,7 persen Ada 8 kabupaten dengan penduduk aktivitas fisik tergolong

kurang aktif atau berada diatas rata-rata provinsi dan lima tertinggi adalah Sumba Barat Daya

(54,2%), Manggarai (52,7%), Lembata (43,6%), Belu (40,2%) dan Sumba Tengah (38,3%).

Gambar 3.10.2

Proporsi aktivitas fisik penduduk umur 10 tahun ke atas menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

78,4 83,1

77,6

77,7

66

59,8

72,9

56,4

76,8

70,1

72,2

83,2

47,3

82,3 87,9

61,7

45,8

82,9

66,2

85,5

82,1

21,6 16,9

22,4

22,3

34

40,2

27,1

43,6

23,2

29,9

27,8 1

6,8

52,7

17,7 12,1

38,3

54,2

17,1

33,8

14,5

17,9

71,3

28,7

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Su

ba

r

Su

tim

Ku

pa

ng

TT

S

TT

U

Be

lu

Alo

r

Le

mb

ata

Flo

rtim

Sik

ka

En

de

Ng

ad

a

Ma

ng

ga

rai

Ro

te N

da

o

Ma

ba

r

Su

ten

g

SB

D

Na

ge

ke

o

Ma

tim

Sa

bu

Ra

iju

a

Ko

ta K

up

an

g

NT

T

Kabupaten/Kota

Mela

ku

kan

akti

fita

s f

isik

(%

)

Aktif Kurang Aktif*)

105

Perilaku sedentari adalah perilaku duduk-duduk atau berbaring dalam sehari-hari baik di tempat

kerja (kerja di depan computer, membaca, dan lain-lain), di rumah (nonton TV, main game, dan lain-

lain), di perjalanan/transportasi (bis, kereta, motor), tetapi tidak termasuk waktu tidur. Penelitian di

Amerika tentang perilaku sedentari yang menggunakan nilai cut of point< 3 jam, 3- 6 jam, > 6jam,

menunjukkan bahwa pengurangan aktifitas sedentari sampai dengan < 3 jam dapat meningkatkan

umur harapan hidup sebesar 2 tahun (Katzmarzyk, P & Lee, 2012). Perilaku sedentari merupakan

perilaku berisiko terhadap salah satu terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah, penyakit

jantung dan bahkan mempengaruhi umur harapan hidup.

Berdasarkan Gambar 3.10.3 terlihat bahwa proporsi penduduk Nusa Tenggara Timur dengan

perilaku sedentaridari yang tertinggi ke yang terendah adalah pada < 3 jam (66,6 %), lalu 3-6 jam

(29,9 %) dan terendah pada > 6 jam (3,5 %). Tiga kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi aktifitas

sedentary> 6 jam adalah Sabu Raijua (11,1 %), Rote Ndao (10,9 %) dan Kabupaten Kupang

(9,8 %).

Gambar 3.10.3

Proporsi aktivitas duduk dan berbaring (sedentary) penduduk 10 tahun ke atas menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik memperlihatkan bahwa sampai dengan umur 54 tahun, semakin tinggi umur semakin

tinggi proporsi yang beraktifitas sedentari < 3 jam dan sebaliknya semakin berkurang proporsi yang

beraktifitas sedentari 3-6 jam (Gambar 3.10.4). Di atas batas umur itu, proposinya menurun pada

yang beraktifitas sedenteri < 3 jam dan sebaliknya meningkat padayang beraktifitas sedenteri 3-6

jam. Yang beraktifitas sedenteri < 3 jam agak lebih banyak dilakukan perempuan dibandingkan

dengan laki-laki, sebaliknya yang beraktifitas sedenteri 3-6 jam agak lebih banyak dilakukan oleh

laki-laki, sementara yang beraktifitas sedenteri > 6 jam, hampir sama pada kedua jenis kelamin.

Tingkat pendidikan sedikit berkorelasi linier terbalik dengan aktifitas sedenteri, dimana yang

beraktifitas sedenteri < 3 jam paling banyak dilakukan oleh yang berpendidikan tamat PT, antara 3-6

jam oleh tamatan SLTP dan yang > 6 jam oleh yang tidak tamat SD; dengan perkataan lain,

semakin rendah tingkat pendidikan, semakin banyak yang melakukan aktifitas sedenteri yang lebih

48,4

45,6 56,8

78,8

46,8

41,8

43

44,6

29,7

37,8

43,2

73,3

24

27,4

32,3

30,2 2

0,5

27,1 16,9

42,1

30,3

29,9

68,1 79,3

60,2

51,3

81,5

24,5

82,8

73,9

71,3 96,9

68,2 8

4,7

78,8

68,7

66,4

66,6

56,2

17,2

17,8

2,7

15,6

14,4

3,5

3,3

11,1

4,3

4,20,7

0,91,6

10,9

0,41,3

2,11,6

2,20,72 8,6

9,8 2,2

3,5 2 5,5

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Su

ba

r

Su

tim

Ku

pa

ng

TT

S

TT

U

Be

lu

Alo

r

Le

mb

ata

Flo

rtim

Sik

ka

En

de

Ng

ad

a

Ma

ng

ga

rai

Ro

te N

da

o

Ma

ba

r

Su

ten

g

SB

D

Na

ge

ke

o

Ma

tim

Sa

bu

Ra

iju

a

Ko

ta K

up

an

g

NT

T

Kabupaten/Kota

Me

lak

uk

an

ak

tifi

tas

se

de

nta

ry (

%)

< 3 jam 3-6 jam > 6 jam

106

lama. Petani/nelayan/buruh merupakan kelompok pekerjaan yang terbanyak melakukan aktifitas

sedenteri < 3 jam, sedangkan > 3 jam oleh yang tidak bekerja. Yang tinggal di perdesaan lebih

banyak melakukan aktifitas sedenteri < 3 jam dibandingkan dengan yang di perkotaan, sedangkan

yang > 3 jam adalah yang di perkotaan. Kuintil indeks kepemlikan sedikit berkorelasi linier positif

dengan aktifitas sedenteri, dimana makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, makin banyak yang

melakukan aktifitas sedenteri yang lebih lama.

Gambar 3.10.4 Proporsi aktivitas duduk dan berbaring (sedentary) penduduk 10 tahun ke atas menurut karakteristik

responden di provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

63,5

64,2

64,9

71,3

68,2

67,2

64,4

65,8

70,8

68,8

67,2

62,5

68,4

66,8

64,6

67,9

65,4

66,9

67,5

65,7

58,7

63

66,8

71,2

72,3

71,2

71

70,2

69,6

67,3

64,4

59,4

31,8

31,7

31,8

26,3

28,7

29,5

31,5

30,9

27,1

28,2

30,4

32,6

28,4

29,6

32,3

29,2

30,2

29,3

29

30,9

32

32

30,6

26,8

25,2

26,4

27,7

28,1

28,1

29

32,6

35,1

4,7

4,1

3,3

2,4

3,1

3,3

4,1

5,5

3

3,7

2,3

1,7

1,3

2,4

2,5

2

2,6

5

9,3

3,4

3,5

3,8

4,4

2,9

3,1

3,6

3,2

4,9

2,4

3

2,1

3,3

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Teratas

Menengah Atas

Menengah

Menengah baw ah

Terbaw ah

Perdesaan

Perkotaan

Lainnya

Petani/Nelayan/Buruh

Wirasw asta

Pegaw ai

Tidak bekerja

Tamat D1/D2/D3/PT

Tamat SMA

Tamat SMP

Tamat SD

Tidak tamat SD

Tidak pernah sekolah

Perempuan

Laki-laki

> 65

60-64

55-59

50-54

45-49

40-44

35-39

30-34

25-29

20-24

15-19

10-14

Kuin

til Indeks

Kepem

ilikan

Tem

pat

Tin

ggal

Pekerjaan K

KP

endid

ikan K

K

Jenis

Kela

min

Um

ur

(tahun)

Kara

kte

risti

k

Melakukan kegiatan sedentary (%)

< 3 jam 3-6 jam > 6 jam

107

3.10.4 Perilaku Konsumsi Buah dan Sayur

Data frekuensi dan porsi asupan sayur dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah hari

konsumsi dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari, Penduduk dikategorikan „cukup‟ konsumsi sayur dan/atau buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu, Dikategorikan ‟kurang‟ apabila konsumsi sayur dan/atau buah kurang dari ketentuan di atas. Pada gambar 3.10.5 terlihat bahwa secara kabupaten/kota terdapat 12 kabupaten/kota yang tingkat kurang konsumsi sayur dan buah diatas nilai rata-rata Provinsi dengan proporsi tertinggi di Manggarai (99,7%). Proporsi kurang konsumsi sayur dan buah paling rendah di Sabu Raijua (78,4%).

Gambar 3.10.5

Kecenderungan proporsi penduduk ≥10 tahun kurang makan sayur dan buah menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

3.10.5 Pola Konsumsi Makanan Tertentu

Penduduk yang “sering” makan makanan/minuman manis, makanan asin, makanan berlemak, jeroan, makanan dibakar/panggang, makanan yang diawetkan, minuman berkafein, dan bumbu penyedap dianggap sebagai berperilaku konsumsi makanan berisik. Perilaku konsumsi makanan berisiko dikelompokkan “sering” apabila penduduk mengonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari. Gambar 3.10.6 mempresentasikan proporsi penduduk ≥10 tahun dengan makanan tertentu menurut provinsi. Konsumsi makanan/minuman manis ≥1 kali dalam sehari secara provinsi adalah 30,0 persen. Lima kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi dilaporkan di Sabu Raijua (74,4%), Sumba Barat (59,2%), Flores Timur (56,5%), Rote Ndao (52,1%) dan Sikka (46,8%). (Lihat Tabel 3.10.5)

108

Tabel 3.10.5 Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas dengan perilaku konsumsi tertentu>1 kali sehari menurut

kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Perilaku konsumsi tertentu≥ 1 kali/hari

Manis Asin Berlemak Dibakar Hewani

berpengawet Penyedap kopi

Kopi non kafein

Sumba Barat 59,2 4,4 5,4 6,3 1,3 66,4 57,4 1,5

Sumba Timur 16,2 5,3 9,5 5,6 1,8 82,5 60,9 3,8

Kupang 32,4 5,6 11,8 1,9 1,4 52,8 54,7 8,1

Timor Tengah Selatan 20,2 4,9 3,7 3,5 3,0 64,1 37,9 3,4

Timor Tengah Utara 25,9 12,8 16,0 4,5 3,0 85,4 34,6 3,7

Belu 21,2 12,9 4,7 6,3 5,3 77,9 45,2 5,4

Alor 45,5 16,9 6,9 8,0 1,6 54,1 45,1 6,2

Lembata 35,1 15,8 2,5 1,0 1,0 51,0 23,5 6,9

Flores Timur 56,5 1,7 26,9 1,5 0,4 88,8 35,5 1,1

Sikka 46,8 11,9 10,5 4,6 2,3 75,7 41,2 3,0

Ende 20,4 6,0 8,9 4,5 0,4 80,0 39,5 7,4

Ngada 26,7 19,7 3,8 14,0 1,5 80,4 53,2 2,8

Manggarai 18,6 3,8 1,0 0,7 1,5 35,8 77,8 1,8

Rote Ndao 52,1 5,4 4,8 1,4 0,8 52,1 21,4 2,2

Manggarai Barat 17,9 4,9 2,8 1,7 0,4 88,3 75,7 2,7

Sumba Tengah 21,8 6,0 1,8 2,2 0,5 78,0 71,4 3,4

Sumba Barat Daya 23,4 15,4 3,2 6,5 2,5 50,4 53,6 3,6

Nagekeo 5,8 2,2 2,3 7,9 1,0 78,4 55,5 2,2

Manggarai Timur 12,2 5,3 4,8 3,2 1,5 70,4 76,7 5,0

Sabu Raijua 74,4 2,5 1,8 0,3 0,4 35,6 22,4 1,9

Kota Kupang 41,4 8,3 15,5 2,9 8,2 88,4 23,8 5,0

Nusa Tenggara Timur 30,0 8,2 7,9 4,1 2,4 69,6 47,6 4,1

Proporsi provinsi penduduk dengan perilaku konsumsi makanan berlemak, berkolesterol dan makanan gorengan ≥1 kali per hari 7,9 persen (Gambar 3.10.6). Lima kabupaten/kota tertinggi di atas rerata provinsi adalah Flores Timur (26,9%), Timor Tengah Utara (16,0%), Kota Kupang (15,5%), Kupang (11,8%) dan Sikka (10,5%). (Lihat Tabel 3.10.5) Hampir tiga dari lima penduduk Nusa Tenggara Timur mengonsumsi penyedap ≥1 kali dalam sehari (69,6%), tertinggi di Kota Kupang (8,2%) dan terendah di Sabu Raijua, Flores Timur, Ended an Manggarai Barat (masing-masing 0,4%). (Lihat Tabel 3.10.5) Untuk mengetahui karakteristik penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan tertentu dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

109

Gambar 3.10.6

Proporsi penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan tertentu>1 kali sehari, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

3.10.6 Konsumsi Makanan dari Olahan Tepung Perilaku mengonsumsi makanan jadi dari olahan tepung juga dikumpulkan pada Riskesdas 2013. Contoh makanan jadi olahan dari tepung adalah mi instan, mi basah, roti dan biskuit. Analisis jenis makanan ini dapat dilihat pada Gambar 3.10.7.

Gambar 3.10.7

Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut frekuensi konsumsi makanan bersumber tepung terigu ≥1 kali/hari

Gambar 3.10.7 dan Tabel 3.10.6 menunjukkan proporsi penduduk Nusa Tenggara Timur berperilaku mengonsumsi mi instan sebanyak 7,7 persen. Tiga kabupaten/kota tertinggi yang mengonsumsi mi instan ≥1 kali per hari di atas rerata provinsi adalah Kota Kupang (21,4%), Kupang (13,2%), Belu (12,3%) dan Timor Tengah Selatan (10,3%). Proporsi konsumsi mie basah di Nusa Tenggara Timur

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

7,0

8,0

9,0

10,0

Mie instant Mie basah Roti Biskuit

7,7

2,4

8 7,3

110

lebih sedikit dibandingkan mie instant yaitu 2,4 persen. Proporsi penduduk konsumsi roti dan biskuit tidak tampak ada perbedaan di Nusa Tenggara Timur. Informasi yang sama menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

Tabel 3.10.6 Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas dengan konsumsi makanan dari olahan tepung menurut

kabupaten/kota di provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Perilaku konsumsi olahan tepung >= 1 kali/hari

Mie instant Mie basah Roti Biskuit

Sumba Barat 5,2 1,1 3,9 4,2 Sumba Timur 6,5 1,2 5,7 3,9 Kupang 13,2 1,6 10,9 9,4 Timor Tengah Selatan 10,3 4,1 6,3 6,7 Timor Tengah Utara 5,7 2,0 5,2 5,1 Belu 12,3 5,6 13,4 13,0 Alor 5,7 0,7 2,1 2,0 Lembata 1,8 0,7 3,2 2,1 Flores Timur 4,0 1,0 14,3 12,0 Sikka 5,2 1,5 13,6 9,2 Ende 4,1 1,6 7,7 5,8 Ngada 3,8 1,8 3,5 2,2 Manggarai 3,0 1,8 1,4 1,0 Rote Ndao 4,5 1,1 1,5 1,6 Manggarai Barat 4,2 0,3 5,9 8,9 Sumba Tengah 3,6 0,4 1,1 1,1 Sumba Barat Daya 6,5 4,0 4,5 3,8 Nagekeo 2,4 1,4 2,7 2,3 Manggarai Timur 6,7 2,7 4,3 5,1 Sabu Raijua 4,1 0,3 2,1 2,4 Kota Kupang 21,4 4,7 22,6 21,5

Nusa Tenggara Timur 7,7 2,4 8,0 7,3

3.10.7 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)1 terdiri dari sepuluh indikator yang mencakup

perilaku individu dan gambaran rumah tangga. Data PHBS pada tahun 2007 mengacu pada indikator PHBS yang sudah ditetapkan tahun 2004. Pada Indikator individu meliputi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, bayi 0-6 bulan mendapat ASI eksklusif, kepemilikan/ketersediaan jaminan pemeliharaan kesehatan, penduduk tidak merokok, penduduk cukup beraktivitas fisik, dan penduduk cukup mengonsumsi sayur dan buah. Indikator Rumah Tangga meliputi rumah tangga memiliki akses terhadap air bersih. akses jamban sehat. Kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni (≥ 8m

2/ orang), dan rumah tangga dengan lantai rumah bukan tanah. Pada PHBS tahun

2007 untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10;

1Program PHBS adalah upaya untuk memberi pengalaman belajar atau menciptakan kondisi bagi

perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan edukasi, untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat, melalui pendekatan pimpinan, bina suasana dan pemberdayaan masyarakat.

111

sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 8 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah delapan (8). PHBS diklasifikasikan “kurang” apabila mendapatkan nilai kurang dari enam (6) untuk rumah tangga mempunyai balita dan nilai kurang dari lima (5) untuk rumah tangga tanpa balita.

Pada Tahun 2011 telah dibuat indikator PHBS yang baru dan sedikit berbeda dengan indikator PHBS ditetapkan sebelumnya. Indikator PHBS yang ditetapkan pada tahun 2011 oleh Pusat Promosi Kesehatan Kementrian Kesehatan mencakup 10 indikator yang meliputi : 1) Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan; 2) melakukan penimbangan bayi dan balita; 3) memberikan ASI ekslusif; 4) penggunaan air bersih; 5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun; 6) memberantas jentik nyamuk; 7) memakai jamban sehat; 8) makan buah dan sayur setiap hari; 9) melakukan aktifitas fisik setiap hari; 10) tidak merokok dalam rumah. Pada PHBS tahun 2013 untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 7 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah tujuh (7). Penilaian PHBS rumah tangga baik diukur dengan batasan yang sama dengan penilaian rumah tangga PHBS tahun 2007 dimana kriteria rumah tangga dengan PHBS baik adalah rumah tangga yang memenuhi indikator baik sebesar 6 indikator atau lebih untuk rumah tangga yang punya balita dan 5 indikator atau lebih untuk rumah tangga yang tidak mempunyai balita.

Dalam RISKESDAS 2013 indikator yang dapat digunakan untuk PHBS sesuai dengan kriteria PHBS yang ditetapkan oleh Pusat Promkes pada tahun 2011, yaitu mencakup delapan indikator individu (cuci tangan, BAB dengan jamban, konsumsi sayur dan buah, aktifitas fisik, merokok dalam rumah, memberi ASI eksklusif, menimbang balita)dan dua indikator rumah tangga (sumber air bersih dan memberantas jentik nyamuk). Pengertian indikator yang digunakan dalam PHBS RISKESDAS 2013 ini adalah sebagai berikut:

1. Persalinan oleh tenaga kesehatan. Data ini didapatkan dari data persalinan yang terakhir yang ditolong oleh tenaga kesehatan dari riwayat persalinan dalam tiga tahun terakhir sebelum survey (kurun waktu tahun 2010 sampai tahun 2013)

2. Melakukan penimbangan bayi dan balita. Indikator ini menggunakan variabel individu usia 0- 59 bulan yang mempunyai riwayat pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir.

3. Memberikan ASI eksklusif. Indikator ini menggunakan data dari riwayat pernah diberikan ASI eksklusif diantara individu baduta usia 0 – 23 bulan. Pengertian pemberian ASI eksklusif dalam analisa ini adalah bayi usia ≤ 6 bulan yang hanya mendapatkan ASI saja dalam 24 jam terakhir saat wawancara atau individu baduta yang pertama kali diberi minuman atau makanan berumur enam bulan atau lebih.

4. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun. Indikator mencuci tangan dengan benar mencakup mencuci tangan air bersih dan sabun saat sebelum menyiapkan makanan. setiap kali tangan kotor. setelah buang air besar, setelah menggunakan pestisida (bila menggunakan), setelah menceboki bayi dan sebelum menyusui bayi (bila sedang menyusui).

5. Memakai jamban sehat. Perilaku menggunakan jamban sehat diukur dari perilaku buang besar menggunakan jamban saja.

6. Melakukan aktivitas fisik setiap hari. Indikator ini diukur berdasarkan individu yang biasa melakukan aktifitas fisik berat atau sedang dalam tujuh hari seminggu.

7. Konsumsi buah dan sayur setiap hari. Perilaku konsumsi buah dan sayur diukur berdasarkan individu yang biasa konsumsi buah dan sayur selama tujuh hari dalam seminggu.

8. Tidak merokok dalam rumah.

112

Pengertian tidak merokok di dalam rumah adalah individu yang tidak mempunyai kebiasaan merokok di dalam rumah pada saat ada anggota rumah tangga lainnya serta memperhitungkan juga rumah tangga yang tidak ada anggota rumah tangga yang merokok.

9. Penggunaan air bersih. Perilaku menggunakan air bersih didapatkan dari data rumah tangga yang menggunakan sumber air bersih dengan kategori baik untuk seluruh keperluan rumah tangga.

10. Memberantas jentik nyamuk. Rumah tangga dengan perilaku memberantas jentik nyamuk dalam indikator ini adalah rumah tangga yang menguras bak mandi satu kali atau lebih dalam seminggu atau yang tidak menggunakan bak mandi dan tidak mandi di sungai.

Beberapa indikator yang digunakan dalam RISKESDAS 2013 ini berbeda dengan indikator yang digunakan dalam RISKESDAS 2007 sehingga tidak bisa menggambarkan kecenderungan kenaikan atau penurunan proporsi rumah tangga ber-PHBS.

Catatan: PHBS baik adalah ruta yang memenuhi kriteria ≥6indikator untuk rumah tangga dengan balita dan ≥5 indikator

untuk rumah tangga tidak punya balita.

Gambar 3.10.8

Proporsirumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut

Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Gambar 3.10.7, menunjukkan bahwa persentase rumah tangga di Nusa Tenggara Timur dengan PHBS baik adalah 20,0%, dengan persentase tertinggi pada Kota Kupang (46,2%) dan persentase terendah pada Kabupaten Sumba Tengah (1,4%). Kabupaten Ende merupakan kabupaten yang persentase PHBS baik setara dengan rerata PBHS Provinsi Nusa Tenggara Timur. Terdapat 12 kabupaten/kota dari 21 kabupaten/kota yang masih memiliki rumah tangga PHBS baik di bawah persentase Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu Kabupaten Nagekeo (17,7%), Alor (17,5%), Lembata (17,4), Sabu Raijua (17,0%), Belu (16,2%), Timor Tengah Selatan (15,0%), Sumba Timur (14,8%), Manggarai (11,9%), Manggarai Timur (8.5%), Sumba Barat (7,3%), Sumba Barat Daya (5,8%) dan Sumba Tengah (1,4%).

Gambar 3.10.8 menyajikan proporsi rumah tangga dengan PHBS baik lebih tinggi di perkotaan

(35,9%) dibandingkan di perdesaan (16,0%). Proporsi rumah tangga dengan PHBS baik meningkat

dengan semakin tingginya kuintil indeks kepemilikan (terbawah 3,6% dan teratas 36,6%).

113

Gambar 3.10.9

Proporsi Rumah Tangga Memenuhi Kriteria Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) menurut

Karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

3.11 Pembiayaan Kesehatan Salah satu tujuan sistem kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan (health status), ketanggapan (responsiveness), dan keadilan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan (fairness of financing) (WHO, 2000). Pada topik ini dikumpulkan informasi tentang jenis kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan, pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan, dan sumber pembiayaan yang paling sering dimanfaatkan penduduk beserta besaran biaya yang dikeluarkannya. Pembiayaan kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan upaya kesehatan/memperbaiki keadaan kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah (Perpres no 12 tahun 2013). Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 130 bahwa pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Unsur-unsur pembiayaan terdiri atas sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan. Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, dan sumber lain. Syarat pokok pembiayaan kesehatan meliputi: (1) jumlah harus memadai untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan tidak menyulitkan masyarakat yang memanfaatkan; (2) distribusinya harus sesuai dengan kebutuhan untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan masyarakat; serta (3) pemanfaatannya harus diatur setepat mungkin agar tercapai efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang optimal (UU No. 36, 2009).

35,9

16

3,6

12,9

22,4 29,4

36,6

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

PERKOTAAN PEDESAAN terbawah menengahbawah

menengah menengahatas

teratas

114

Pada Riskesdas 2013, analisis pembiayaan kesehatan meliputi kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan serta pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap berikut sumber dan besaran biayanya. Sumber biaya dibedakan menjadi Biaya sendiri, Asuransi Kesehatan Sosial (meliputi Askes PNS, Pensiun, Veteran, TNI/Polri), Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), Asuransi kesehatan Swasta, Tunjangan kesehatan dari Perusahaan, Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

3.11.1 Kepemilikan Jaminan Kesehatan

Hasil analisis memberikan informasi tentang proporsi penduduk yang telah tercakup maupun yang tidak tercakup jaminan kesehatan, Jenis jaminan kesehatan terdiri dari; asuransi kesehatan (PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementrian Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda, Untuk kepentingan analisis Askes dan ASABRI dimasukkan dalam satu kelompok dikarenakan pemerintah juga membayar sebagian dari iuran jaminan tersebut.

Tabel 3.11.1 menunjukkan bahwa 31,7 persen penduduk Nusa Tenggara Timur belum memiliki jaminan kesehatan dan jenis jaminan kesehatan yang paling banyak dimiliki adalah Jamkesmas (58,6 %) dan yang paling sedikit adalah Jamsostek dan tunjangan kesehatan perusahaan (masing-masing hanya 0,1 persen).

Tabel 3.11.1 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan kabupaten/kota, Provinsi Nusa

Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Jenis Jaminan Kesehatan

Askes/ ASABRI

Jamsostek Askes Swasta

Perusahaan Jamkesmas Jamkesda Tidak punya

Sumba Barat 4,4 0,1 4,0 0,1 69,5 0,4 21,8 Sumba Timur 5,4 0,1 0,1 0,1 68,3 1,0 25,5 Kupang 6,7 0,0 0,0 0,3 63,9 4,1 26,4 Timor Tengah Selatan 3,2 0,0 71,2 1,9 24,0 Timor Tengah Utara 7,2 0,1 0,2 45,8 0,1 46,7 Belu 5,9 0,1 0,7 0,0 71,6 1,3 20,6 Alor 6,8 0,3 0,3 0,3 74,4 0,1 18,8 Lembata 11,3 0,1 44,3 0,0 44,5 Flores Timur 5,2 0,1 0,1 0,1 51,6 0,6 42,5 Sikka 6,0 0,1 0,6 0,3 42,2 0,3 50,9 Ende 9,9 0,1 0,0 42,7 0,7 46,8 Ngada 8,2 41,2 52,1 8,5 Manggarai 6,1 0,0 0,2 0,2 69,3 1,4 22,9 Rote Ndao 7,3 0,2 0,2 0,1 60,6 0,1 31,7 Manggarai Barat 4,5 0,0 0,1 55,2 1,1 39,4 Sumba Tengah 3,8 0,4 0,1 85,0 0,3 11,0 Sumba Barat Daya 1,4 0,1 0,2 0,1 75,8 0,4 22,6 Nagekeo 4,7 0,2 0,1 39,2 0,2 55,8 Manggarai Timur 1,8 0,1 0,1 0,0 45,9 0,4 52,0 Sabu Raijua 5,5 0,0 71,4 0,3 23,0 Kota Kupang 27,1 0,9 1,0 0,6 43,8 4,8 25,0

Nusa Tenggara Timur 7,1 0,1 0,3 0,1 58,6 2,8 31,7

115

Kepemilikan jaminan kesehatan penduduk menurut kabupaten/kota sangat bervariasi. Kabupaten Ngada merupakan kabupaten yang paling tinggi cakupan kepemilikan jaminan di antara kabupaten/kota lain, yaitu sekitar 91,5 persen penduduk memiliki atau hanya 8,5 persen yang tidak punya jaminan apapun, namun jenis jaminan kesehatan yang dimiliki adalah yang paling sederhana yaitu hanya tiga jenis saja. Nagekeo merupakan kabupaten yang paling rendah cakupan jaminan kesehatannya sebab 55,8 % penduduknya tidak memiliki jaminan kesehatan.

Tabel 3.11.2 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan karakteristik,Provinsi Nusa

Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Jenis Jaminan Kesehatan

Askes/ ASABRI

Jamsostek Askes swasta

Perusahaan Jamkesmas Jamkesda Tidak punya

Kelompok umur (tahun) 0 - 4 4,4 0,0 0,3 0,2 63,3 2,8 29,6 5-14 7,7 0,3 0,2 0,1 57,4 2,6 32,6 15-24 6,9 0,3 0,6 0,1 59,6 3,2 30,5 25-34 9,1 0,1 0,5 0,2 64,7 3,1 23,3 35-44 13,0 0,1 0,3 0,1 59,8 2,6 25,5 45-54 11,0 0,1 0,2 0,0 59,0 2,0 28,4 55-64 9,6 0,0 0,1 0,0 55,1 2,7 32,9 65-74 7,1 55,8 3,0 34,6 75+ 4,4 0,0 0,3 0,2 63,3 2,8 29,6

Pekerjaan Tidak bekerja 8,8 0,1 0,3 0,1 58,1 3,0 30,6 Pegawai 55,5 0,9 1,2 0,5 20,7 2,3 20,7 Wiraswasta 8,8 0,7 1,1 0,2 46,1 3,9 40,6 Petani/nelayan/buruh 1,0 0,1 0,2 0,1 71,2 2,5 25,8 Lainnya 9,0 0,0 0,2 0,0 50,1 2,0 39,4

Tempat tinggal Perkotaan 21,5 0,5 0,9 0,3 39,5 3,6 35,2 Perdesaan 3,6 0,0 0,2 0,1 63,3 2,6 30,8

Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 0,2 0,0 0,1 0,1 75,1 1,0 23,9 Menengah bawah 0,5 0,0 0,2 0,0 70,2 3,1 26,7 Menengah 3,3 0,1 0,3 0,1 64,2 2,8 30,1 Menengah atas 7,2 0,2 0,2 0,2 49,4 3,9 40,2 Teratas 29,4 0,5 1,1 0,3 26,3 3,5 40,3

Seperti ditunjukkan pada Tabel 3.11.2, terdapat keragaman kondisi kepemilikan jaminan menurut kelompok umur, baik pada kelompok bayi, balita, anak, remaja, dewasa dan lanjut usia. Kelompok umur lanjut usia adalah kelompok tertinggi yang tidak memiliki jaminan (34,6 %) dan kelompok dewasa umur > 25 tahun yang terendah (23,3 %), namun kelompok dewasa umur > 25 tahun tersebut yang paling banyak mendapat Jamkesmas (64,7 %). Kelompok kedua tertinggi yang memiliki Jamkesmas adalah bayi dan lanjut usia > 75 tahun. Menurut karakteristik pekerjaan, Askes/ Asabri paling banyak (55,5 %) dimiliki oleh pegawai dan Jamkesmas paling banyak (71,2 %) dimiliki oleh petani/nelayan/buruh.

Karakteristik tempat tinggal memperlihatkan bahwa di Nusa Tenggara Timur semua jenis jaminan kesehatan lebih besar persentase kepemilikannya di perkotaan daripada di perdesaan, kecuali pada

116

Jamkesmas. Adapun yang tidak mempunyai jaminan kesehatan lebih banyak di perkotaan (35,2 %) dibandingkan dengan perdesaan (30,8 %).

Menurut kuintil indeks kepemilikan, makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, makin rendah persentase kepemilikannya dan sebaliknya untuk Askes/Asabri. Pada jaminan kesehatan lainnya, karena persentanya sangat kecil, sulit menentukan adanya hubungan liniernya dengan kuintil indekis kepemilikan. Penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan mempunyai korelasi positif dengan kuintil indeks kepemilikan, yaitu makin tinggi indeks, makin tinggi yang tidak memiliki.

3.11.2 Mengobati Sendiri Pola pencarian pengobatan seseorang dikategorikan dalam mengobati sendiri, memanfaatkan rawat jalan, dan memanfaatkan rawat inap. Informasi mengobati sendiri didapatkan dengan mengetahui perilaku seseorang yang pernah mengobati sendiri dengan cara membeli obat di apotik atau toko obat tanpa resep dalam satu bulan terakhir.

Pada Gambar 3.11.1 diperlihatkan bahwa hanya 19,9 persen dari seluruh penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur yang melakukan pengobatan sendiri bila sakit dengan rata-rata biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 5.000,-. Kabupaten/kota yang tertinggi persentasenya adalah Sumba Barat Daya (44,8 %) dan terendah Sabu Raijua (6 %) sementara biaya yang tertinggi dikeluarkan adalah di Manggarai (Rp. 15.000,-) dan terendah di Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan (Rp. 2.000,-).

Gambar 3.11.1 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biaya menurut

kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

117

Karakteristik penduduk yang melakukan pengobatan sendiri, seperti yang tertera pada Tabel 3.11.3, menunjukkan bahwa penduduk di perdesaan lebih banyak melakukan pengobatan sendiri dibandingkan dengan perkotaan tetapi biayanya hanya setengah biaya di perkotaan. Pengobatan sendiri tidak berkorelasi linier dengan kuintil indeks kepemilikan dan biaya yang dikeluarkan, tetapi paling banyak yang melakukannya pada kuintil terbawah.

Tabel 3.11.3

Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biaya menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Mengobati diri sendiri

% Rp

Tempat tinggal Perkotaan 19,6 10.000,- Perdesaan 20,0 5.000,-

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 21,4 5.000,- Menengah bawah 20,3 5.000,- Menengah 20,4 5.000,- Menengah atas 17,9 10.000,- Teratas 19,4 10.000,-

3.11.3 Rawat Jalan Pelayanan rawat jalan adalah semua pelayanan kepada pasien untuk observasi, diagnosis, pengobatan dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa tinggal dirawat inap. Pemanfaatan atau utilisasi fasilitas kesehatan ditanyakan dalam satu bulan terakhir termasuk besaran biaya. Hasil analisis disajikan secara umum tanpa melihat jenis fasilitas kesehatan dan besar biaya merupakantotal besar biaya dalam sebulan terakhir (rawat jalan) dengan menggunakan median. Pemanfaatan rawat jalan menurut fasilitas kesehatan dapat dibaca dalam Buku Laporan Riskedas 2013 dalam angka.

Pemanfaatan biaya rawat jalan di Nusa Tenggara Timur sebesar 11,1 persen penduduk yang berkisar antara 3,5 persen di Manggarai Timur hingga 28,8 persen di Sumba Tengah (Gambar 3.11.2). Biaya yang dikeluarkan untuk rawat inap rata-rata Rp. 15.000,- dengan kisaran antara Rp. 5.000,- di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Alor hingga Rp. 60.000,- di Sikka.

Adapun biaya rawat jalan pada Gambar 3.11.13, dimanfaatkan oleh 2,3 persen penduduknya dengan kisaran antara 0,5 persen di Belu hingga 9,6 persen di Sumba Barat dengan biaya rata-rata Rp. 350.000,- yang berkisar antara Rp. 50.000,- di Kabupaten Kupang dan Sabu Raijua hingga Rp. 800.000,- di Sumba Barat.

118

Gambar 3.11.2

Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta median biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

3.11.4 Rawat Inap

Rawat Inap menurut Azwar Azrul (1996:73) adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan kedokteran intensif (hospitalization) yang diselenggarakan oleh rumah sakit, rumah sakit bersalin, maupun rumah bersalin. Pemanfaatan rawat inap ditanyakan dalam kurun waktu dua belas bulan terakhir. Hasil analisis dsajikan secara umum tanpa melihat jenis fasilias kesehatan dan besar biaya merupakan rerata total besar biaya dalam dua belas bulan terakhir dengan menggunakan median. Pemanfaatan rawat inap menurut fasilitas kesehatan dapat dibaca dalam Buku Riskedas 2013 dalam angka.

Dalam hal karakteristik diperlihatkan bahwa umur tidak berkorelasi linier dengan banyaknya penduduk yang memanfaatkan biaya rawat jalan, namun paling banyak dimanfaatkan oleh balita dan lanjut usia dan paling jarang dimanfaatkan kelompok anak-anak dan remaja (Tabel 3.11.4). Umur juga tidak berkorelasi linier dengan banyaknya biaya rawat inap, meskipun kelompok usia lanjut merupakan kelompok umur paling besar biaya rawat jalannya. Rawat jalan lebih banyak di perdesaan, tetapi biayanya lebih besar di perkotaan. Kuintil indeks kepemilikan tidak berkorelasi linier dengan banyaknya penduduk yang dirawat jalan tetapi terbanyak di kuintil menengah lalu menurun ke kuintil di bawah dan di atasnya.

119

Gambar 3.11.3 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta median biaya yang dikeluarkan (Rp) kabupaten/kota,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Tabel 3.11.4 Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta median biaya yang dikeluarkan (Rp)

berdasarkan karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Rawat Jalan Rawat Inap

% Rp % Rp

Kelompok umur 0-4 tahun 16,1 13.000,- 2,4 350.000,- 5-14 tahun 9,6 10.000,- 1,4 150.000,- 15-24 tahun 7,6 15.000,- 2,5 300.000,- 25-34 tahun 10,8 15.000,- 3 400.000,- 35-44 tahun 11,5 15.000,- 2,5 250.000,- 45-54 tahun 11,9 20.000,- 2 350.000,- 55-64 tahun 13,1 25.000,- 3,1 600.000,- 65-74 tahun 13,5 25.000,- 2,4 600.000,- 75+ tahun 16,1 30.000,- 5,6 1.000.000,-

Tempat tinggal

Perkotaan 9,9 27.500,- 3,2 500.000,- Perdesaan 11,4 15.000,- 2,1 250.000,-

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 9,7 15.000,- 2,7 245.000,- Menengah bawah 10,2 15.000,- 1,6 145.000,- Menengah 13,3 10.000,- 2 300.000,- Menengah atas 11,5 15.000,- 2,4 350.000,- Teratas 10,7 30.000,- 3,1 600.000,-

120

3.11.5 Sumber Pembiayaan Sumber biaya kesehatan menurut SKN terdiri dari biaya pemerintah dan masyarakat. Riskesdas 2013 memberikan informasi tentang proporsi sumber biaya kesehatan penduduk yang memanfaatkan rawat jalan dalam satu bulan terakhir dan atau rawat inap dalam satu tahun terakhir, Sumber biaya dikelompokkan menjadi: biaya sendiri, asuransi kesehatan (PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementerian Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda.

Pada Riskesdas 2013, penduduk diminta menyebutkan total biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat jalan (satu bulan terakhir) dan rawat inap (satu tahun terakhir). Hasil analisis besar biaya merupakan rerata total besar biaya dalam sebulan terakhir (rawat jalan) atau satu tahun terakhir (rawat inap) dengan menggunakan median.

Pada Gambar 3.11.4 terlihat bahwa sumber biaya terbesar rawat jalan di Nusa Tenggara Timur adalah Jamkesmas (50,9 %), lalu biaya sendiri (35,3 %) dan yang terkecil adalah Jamsostek, asuransi swasta dan perusahaan (masing-masing 0,2 %). Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan kabupaten/kota dapat dibaca dalam Buku Laporan Riskesdas 2013 dalam angka.

Gambar 3.11.4 Proporsi sumber biaya untuk rawat jalan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Berdasarkan Tabel 3.11.5, terdapat empat sumber biaya rawat jalan yang tertinggi persentasinya di perkotaan seperti: biaya sendiri, Askes/Asabri, Jamsostek dan asuransi swasta, sedangkan sumber lainnya sebaliknya. Keempat sumber biaya rawat jalan yang disebutkan tersebut juga semuanya terbanyak digunakan oleh penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan teratas.

121

Tabel 3.11.5 Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan karakteristik,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik

Sumber Biaya Rawat Jalan Semua Fasilitas

Biaya Sendiri

Askes/ Asabri

Jam-sostek

Asuransi Swasta

Jam-kesmas

Perusahaan

Sumber Lainnya

Lebih dari 1

sumber

Jam-kesda

Tempat tinggal

Perkotaan 49,6 12,4 0,8 0,3 31,2 2,9 1,2 1,7 Perdesaan 32,4 1,9 0,0 0,2 55,0 0,2 6,1 1,4 2,8

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 30,0 0,3 62,8 0,2 4,4 1,7 0,5 Menengah bawah 29,5 0,3 0,2 61,5 0,1 4,0 1,6 2,7

Menengah 29,6 1,5 0,1 0,1 59,5 0,1 4,7 1,1 3,3

Menengah atas 40,4 3,7 0,1 0,3 41,0 0,1 9,6 1,0 3,9

Teratas 51,5 15,5 0,7 0,8 22,8 0,3 4,9 1,4 2,1

Gambar 3.11.5

Proporsi sumber biaya untuk rawat inap, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Sama halnya dengan sumber biaya rawat jalan, sumber utama biaya rawat inap di seluruh Nusa Tenggara Timur juga adalah Jamkesmas (42,6 %), lalu biaya sendiri (35,7 %) dan yang paling kecil adalah Jamsostek (Gambar 3.11.5). Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan kabupaten/kota dapat dibaca dalam Buku Laporan Riskesdas 2013 dalam angka.

Sesuai yang tertera di Tabel 3.11.6, karakteristik umur memperlihatkan bahwa persentase tertinggi pengguna Jamkesmas dan Askes/Asabri adalah kelompok umur 45-54 tahun dan terendah kelompok lanjut usia, sementara pengguna biaya sendiri terbanyak pada balita. asuransi swasta, Jamkesmas, perusahaan dan sumber lainnya lebih banyak dimanfaatkan di perdesaan sedangkan sumber sisanya lebih banyak di perkotaan. Kuintil indeks kepemilikan tidak menunjukkan pola hubunbgan yang jelas dengan sumber biaya inap, kecuali pada Jamkesmas, yaitu semakin rendah persentasenya seiring dengan semakin tingginya kuintil Indeks kepemilikan.

122

Tabel 3.11.6

Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap berdasarkan karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Sumber Biaya Rawat Inap

Biaya Sendiri

Askes/ Asabri

Jam-sostek

Asuransi Swasta

Jam-kesmas

Perusahaan Sumber Lainnya

Lebih dari 1 sumber

Jam-kesda

Tempat tinggal

Perkotaan 38,2 12,4 0,3 0,2 31,8 0,1 5,1 7,1 5

Perdesaan 34,7 4,3 0,1 0,5 46,6 0,3 8,1 2 3,4

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 25,7 0,4 0,2 65,2 6,3 1,4 0,7 Menengah bawah 38 0,4 50,6 0,6 5,9 1,8 2,6 Menengah 33,7 2,7 0,4 0,3 44,7 0,5 10,7 2,4 4,6 Menengah atas 38,1 6 1,7 31,9 10,8 4,1 7,3 Teratas 44,3 21,1 0 20 0,1 3,2 7 4,2

3.12 Kesehatan Reproduksi

Dalam Riskesdas 2013 informasi tentang KB, riwayat kehamilan, persalinan dan masa nifas, dikumpulkan dalam Blok Kesehatan Reproduksi. Tujuan blok kesehatan reproduksi adalah mendapatkan informasi terkait dengan MDGs ke lima yang berkaitan dengan upaya meningkatkan status kesehatan ibu dan isu kesehatan reproduksi, antara lain:

1. Penggunaan KB.

2. Riwayat kesehatan reproduksi seumur hidup; umur kawin pertama, umur melakukan hubungan seksual pertama, umur saat hamil pertama, riwayat kehamilan seumur hidup.

3. Cakupan pelayanan kesehatan selama kehamilan, persalinan dan masa nifas pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara.

Blok Kesehatan Reproduksi ditanyakan khusus pada perempuan usia 10 – 54 tahun.

3.12.1 Kehamilan Riskedas 2013 mengumpulkan informasi tentang karakteristik seluruh Anggota Rumah Tangga (ART) dengan menggunakan kuesioner rumah tangga (RKD2013, Ruta). Kepala rumah tangga atau yang mewakili selain ditanya tentang informasi karakteristik seluruh ART, juga ditanya tentang adanya ART perempuan 10-54 tahun yang sedang hamil, Informasi tentang kehamilan ini memberi gambaran proporsi penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur yang sedang hamil (Gambar 3.12.1).

123

Gambar 3.12.1 Proporsi (%) penduduk yang sedang hamil berdasarkan laporan rumah tangga

menurut kelompok umur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013 Proporsi penduduk Wanita Usia Subur (WUS) di Nusa Tenggara Timur yang sedang hamil sewaktu dilakukan wawancara adalah 5 persen, proporsi di perkotaan (2,2%) hampir sama dengan di perdesaan (2,8%) (lihat buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT). Pola kehamilan berbeda menurut kelompok umur dan tempat tinggal. Di antara penduduk perempuan umur 10-54 tahun tersebut, tidak terdapat kehamilan pada umur sangat muda (<15 tahun). Proporsi kehamilan pada umur remaja (15-19 tahun) adalah 2,9 persen, perdesaan (2,2%) lebih tinggi dibanding perkotaan (0,7%). Umur WUS tidak berkorelasi linier dengan proporsi kehamilan WUS. Proporsi kehamilan tersebut berkurang ke umur yang lebih muda dan ke yang lebih tua. Kelompok umur tertinggi yang masih menunjukkan adanya kehamilan adalah umur 50-54 tahun.

3.12.2 Pelayanan Program Keluarga Berencana (KB) Pelayanan KB merupakan upaya untuk mendukung kebijakan Program Keluarga Berencana Nasional. Salah satu indikator program KB adalah penggunaan KB saat ini dan CPR. CPR adalah persentase penggunaan cara/alat KB oleh pasangan usia subur (PUS) yang dalam hal ini adalah WUS kawin/hidup bersama (Rajaguguk, Omas Bulan, 2010).

Analisis penggunaan KB ini dilakukan pada kelompok WUS berstatus kawin dan hidup bersama. Pada saat analisis, penetapan jenis alat/cara KB merujuk pada efektivitas alat/cara KB yang digunakan. Apabila responden menggunakan lebih dari 1 alat/cara KB maka yang dipilih adalah yang paling efektif.

Indikator penggunaan KB dan CPR KB modern ini memungkinkan untuk memberikan gambaran sampai tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota yang disajikan dalam Laporan Riskesdas Provinsi. Khusus untuk tempat dan tenaga yang memberi pelayanan KB, analisis dilakukan dari penduduk yang menggunakan KB modern.

a. Pola Penggunaan KB Saat ini

Proporsi Penggunaan alat/cara KB oleh WUS di Provinsi Nusa Tenggara Timur diperlihatkan pada Gambar 3.12.1. Sebanyak 39,6 persen WUS sekarang menggunakan alat KB, 25,3 persen pernah KB dan 35,1 persen tidak pernah. Kabupaten/kota yang tertinggi “sekarang menggunakan alat KB” adalah di Manggarai Barat (57,9 %) dan terendah di Sabu Raijua (17,3 %). Sebaliknya proporsi WUS kawin yang tidak pernah menggunakan KB tertinggi di Sabu Raijua (62 %) dan yang

124

terendah di Kabupaten Manggarai Barat (17,4 %). (lihat Buku Laporan Riskesdas 2013 dalam angka)

Gambar 3.12.2 Pengggunaan KB saat ini menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas2013

Penggunaan alat/cara KB terdiri dari alat KB modern dan KB cara tradisional. Penggunaan menurut alat atau cara tersebut juga mencerminkan CPR KB modern dan CPR KB tradisional. Indikator CPR modern merupakan salah satu indikator MDGs kelima dengan target peningkatan CPR modern sebesar 65 persen (Kemenkes RI, 2011).

Gambar 3.12.3 Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini WUS kawin dan kelompok umur, Provinsi Nusa Tenggara

Timur, Riskesdas 2013

39,6%

25,3%

35,1%

39,2%

0,5%

WUS

KAWIN

125

Gambar 3.12.3 menunjukkan dominasi penggunaan alat/cara KB modern (39,2%). Kabupaten/kota dengan penggunaan KB modern adalah tertinggi di Manggarai Barat (57,3%) dan terendah di Sabu Raijua (17,2%). Penggunaan KB menurut kabupaten/kota secara lengkap dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

Menurut Gambar 3.12.3 juga memperlihatkan karakteristik WUS kawin yang “sekarang menggunakan KB”, terbanyak pada kelompok umur 30-34 tahun (47,7%), sedangkan pada kelompok umur berisiko masih rendah yaitu pada 45-49 tahun (18,2%) dan kelompok umur 15-19 tahun (20,7%).

Tingkat pendidikan tidak berkorelasi linier dengan hal tersebut, kaitannya dengan pekerjaan juga tidak jelas polanya, mendominasi di perdesaan serta tidak menunjukkan hubungan linier dengan kuintil indeks kepemilikan (Tabel 3.12.1). Adapun pada WUS kamin yang pernah KB, semakin tinggi umur semakin tinggi proposinya dan mendominasi di perkotaan, sedangkan dengan karakteristik lainnya tidak menunjukkan kecenderungan tertentu atau hubungan linier. Karakteristik CPR satu cara banyak persamaannya dengan CPR cara modern pada WUS berstatus kawin. Kedua CPR ini sama-sama tertinggi persentasenya pada kelompok umur 30-34 tahun, sama-sama terbanyak pada pendidikan tamat SMP, sama-sama dominan di kelompok pekerjaan petani/nelayan/buruh, sama-sama lebih banyak di perdesaan serta sama-sama tertinggi persentasenya di kuntil indeks kepemilikan terbawah.

Tabel 3.12.1

Proporsi penggunaan KB pada WUS kawin saat ini menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik

Penggunaan KB saat ini CPR

Ya Pernah Tidak

pernah Total Modern Tradisional Total

Pendidikan

Tidak sekolah 26,0 21,0 53,0 100 25,2 0,8 26,0 Tidak tamat SD 36,3 22,8 40,9 100 35,4 0,9 36,3

Tamat SD 41,4 27,8 30,8 100 39,9 1,5 41,4 Tamat SMP 44,6 25,5 29,9 100 42,7 1,9 44,6 Tamat SMA 41,0 23,6 35,3 100 39,2 1,8 41,0 Tamat PT 34,7 21,8 43,5 100 30,5 4,1 34,7

Pekerjaan

Tidak bekerja 37,7 26,0 36,3 100 35,3 2,4 37,7 Pegawai 34,7 25,3 40,0 100 32,0 2,7 34,7 Wiraswasta 40,3 23,8 35,8 100 39,0 1,3 40,3

Petani/nelayan/buruh 41,7 24,4 34,0 100 40,4 1,2 41,7

Lainnya 37,4 29,1 33,5 100 37,4 37,4

Tempat Tinggal

Perkotaan 35,0 30,0 35,0 100 32,6 2,3 35,0 Perdesaan 40,8 24,1 35,1 100 39,3 1,4 40,8

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 41,2 23,3 35,5 100 39,5 1,7 41,2 Menengah bawah 39,8 26,1 34,1 100 38,8 1,0 39,8 Menengah 37,9 26,1 36,0 100 36,6 1,3 37,9 Menengah atas 30,7 35,3 34,1 100 27,2 3,5 30,7 Teratas 38,5 26,3 35,2 100 37,1 1,4 38,5

126

b. Penggunaan KB Jenis Kandungan Hormonal dan Jangka Waktu Efektivitas

Jenis alat/cara KB yang digunakan dapat dikelompokkan menurut kelompok KB modern dan KB tradisional. Pada jenis alat KB modern tersebut, dapat dikelompokkan menurut kandungan hormonal dan non hormonal dan menuruit jangka waktu efektivitas alat KB modern yang digunakan.

Alat/cara KB hormonal adalah KB modern jenis susuk, suntikan dan pil sedangkan non hormonal adalah sterilisasi pria, sterilisasi wanita, spiral/IUD, diafragma dan kondom. Pengelompokan jenis alat KB modern menurut jangka waktu efektivitas untuk MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) adalah susuk, sterilisasi pria, sterilisasi wanita serta, spiral/IUD, sedangkan non MKJP adalah jenis suntikan, pil, diafragma dan kondom.

Pada Riskesdas 2013, besarnya proporsi yang menggunakan cara KB modern hormonal di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 39,2 persen, yang terdiri atas yang hormonal 33,2 persen dan yang non hormonal 6 persen (Gambar 3.12.4). Yang menggunakan cara KB modern hormonal berkisar dari 16,5 persen di Sabu Raijua hingga 47,5 persen di Manggarai Barat. Adapun proporsi tertinggi WUS kawin yang menggunakan KB modern non hormonal adalah di Kabupaten Manggarai (15.1 %) dan terendah di Sabu Raijua (0,7 persen).

Gambar 3.12.4

Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern menurut hormon dan menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Pada Gambar 3.13.5 juga diperlihatkan bahwa ditinjau dari jangka efektifitas alat/cara KB, proporsi yang berjangka panjang (12,4 %) kurang dari separuh dari yang berjangka pendek (26,8 %). Kisaran proporsi yang berjangka panjang adalah antara 3 persen di Sabu Raijua hingga 33,3 % di Sumba Barat Daya, sementara yang berjangka pendek adalah antara 5,9 persen di Sumba Barat Daya hingga 42,8 persen di Manggarai Timur.

127

Gambar 3.12.5 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok jangka waktu

efektivitas KB dan Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik WUS kawin pengguna alat/cara KB modern memperlihatkan bahwa persentase tertinggi pengguna alat/cara KB modern adalah pada umur 30-34 tahun (47,5 %) lalu dengan berangsur-angsur berkurang ke umur di bawah dan di atasnya (Tabel 3.12.2). Pengguna KB hormonal maupun non hormonal sama-sama kecil proporsinya di kelompok umur termuda dan tertua, juga yang MKJP maupun non MKJP.

Pada Tabel 3.12.2 juga memperlihatkan pengguna alat/cara KB modern terbanyak pada yang berpendidikan SMP lalu dengan berangsur berkurang ke tingkat pendidikan di bawah dan di atasnya. Yang hormonal dan non MKJP tertinggi pada yang berpendidikan tamat SMP sedangkan yang non hormonal dan MKJP) pada yang berpendidikan tamat PT. Selanjutnya ditunjukkan bahwa proporsi pengguna KB cara modern tertinggi pada pekerjaan petani/nelayan/buruh, demikian juga hormonal dan non MKJP sedangkan pengguna yang non hormonal dan MKJP pada pegawai. Pengguna KB modern terbanyak di perdesaan dibandingkan dengan perkotaan, demikian juga pengguna yang hormonal, MKJP dan non MKJP, sedangkan yang non hormonal diperkotaan. Pengguna KB modern dan pengguna yang hormonal serta yang non MKJP, cenderung makin rendah seiring dengan semakin tingginya kuintil indeks kepemilikan namun sebaliknya pada pengguna yang non hormonal, sementara pada yang MKJP, tidak jelas korelasinya.

128

Tabel 3.12.2 Proporsi WUS kawin yang menggunakan KB saat ini menurut jenis kandungan hormon dan jangka

efektivitas dan menurut Karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Cara

Modern

Kandungan Hormon Jangka waktu Efektivitas

Hormonal Non Hormonal MKJP Non MKJP

Kelompok Umur

15-19 th 20,7 19,6 1,1 20,7

20-24 th 42,7 39,1 3,6 13,1 29,5

25-29 th 44,6 40,6 4,0 10,3 34,3

30-34 th 47,5 41,7 5,7 14,1 33,4

35-39 th 45,2 36,9 8,3 16,7 28,5

40-44 th 34,5 25,8 8,7 13,6 20,9

45-49 th 17,7 13,1 4,5 6,3 11,4

Pendidikan

Tidak sekolah 25,9 21,9 3,9 12,1 13,8

Tidak tamat SD 36,3 30,6 5,6 13,3 22,9

Tamat SD 41,0 35,8 5,2 11,5 29,4

Tamat SMP 44,2 39,8 4,5 11,5 32,7

Tamat SMA 40,1 31,7 8,5 13,9 26,2

Tamat PT 32,6 20,9 11,8 13,8 18,8

Pekerjaan

Tidak bekerja 36,7 31,3 5,4 10,6 26,1

Pegawai 37,1 25,5 11,6 14,8 22,3

Wiraswasta 37,4 31,8 5,7 9,9 27,5

Petani/nelayan/buruh 41,5 36,1 5,4 13,6 27,9

Lainnya 37,3 29,5 7,8 10,9 26,4

Tempat Tinggal

Perkotaan 33,6 24,9 8,6 11,5 22,1

Perdesaan 40,5 35,1 5,4 12,6 27,9

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 42,6 38,2 4,4 15,3 27,3

Menengah bawah 41,0 35,6 5,5 11,3 29,8

Menengah 39,9 33,3 6,6 12,5 27,4

Menengah atas 37,7 32,7 5,0 10,5 27,2

Teratas 33,0 23,9 9,2 12,2 20,8

c. Tenaga dan Tempat untuk Pelayanan KB Modern

Informasi tenaga dan tempat pelayanan KB modern bermanfaat untuk evaluasi pelaksanaan program pelayanan KB. Pada Gambar 3.12.6 terlihat bahwa di antara 4 macam tenaga kesehatan yang tersedia, yang paling sering melayani KB modern di Nusa Tenggara Timur adalah bidan (87,5 %), diikuti oleh dokter kandungan (4,8 %), lalu perawat (4,2 %) dan paling jarang oleh dokter umum (2,2 %).

129

Gambar 3.12.6 Proporsi pemanfaatan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan dalam mendapatkan pelayanan

KB, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013 Gambar 3.12.6 memperlihatkan penggunaan tempat dan tenaga yang memberi pelayanan KB. Terlihat bahwa puskesmas/pustu banyak perperan dalam pelayanan KB. Proporsi tersebut bervariasi menurut karakteristik. Tempat yang banyak dikunjungi adalah puskesmas (62,7%) dan paling kecil adalah klinik/BP (0,2%). Proporsi WUS kawin berdasarkan tempat mendapatkan pelayanan KB modern menurut provinsi dan karakteristik yang dapat dilihat secara lengkap pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

3.12.3 Pelayanan Kesehatan Masa Kehamilan, Persalinan dan Nifas Setiap kehamilan memiliki risiko untuk menghadapi kematian ibu. Pemantauan dan perawatan kesehatan yang memadai selama kehamilan sampai masa nifas sangat penting untuk kelangsungan hidup ibu dan bayinya.Dalam upaya mempercepat penurunan kematian ibu, Kementerian Kesehatan menekankan pada ketersediaan pelayanan kesehatan ibu di masyarakat.

Riskesdas 2013 menanyakan kepada semua perempuan 10-54 tahun yang pernah melahirkan. Selanjutnya pada responden yang pernah melahirkan (lahir hidup dan lahir mati) pada periode1 Januari 2010 sampai dengan wawancara ditanyakan lebih lanjut tentang pengalaman mendapat pelayanan kesehatan selama periode hamil sampai masa nifas.

Terdapat 2 indikator MDGs yang diperoleh dari bagian ini yaitu cakupan ANC minimal 1 kali dan ANC minimal 4 kali dan proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.

Tenaga Kesehatan

Fasilitas Kesehatan

Definisi operasional indikator ANC K1 atau ANC minimal 1 kali adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan. K1 ideal adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil pertama kali pada trimester 1. K4 adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil selama 4 kali dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1 kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3. ANC minimal 4 kali adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan.

130

a. Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil dan Indikator Cakupan ANC

ANC (Antenatal Care) adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama kehamilannya dan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan/ SPK (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010). Tenaga kesehatan yang dimaksud di atas adalah dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat. Pada laporan ini disajikan indikator ANC yang sesuai dengan MDGs maupun indikator ANC untuk program pelayanan kesehatan ibu di Indonesia seperti cakupan K4.

Pada laporan ini disajikan indikator ANC yang sesuai dengan MDGs (K1 dan ANC minimal 4 kali) maupun indikator ANC untuk evaluasi program pelayanan kesehatan ibu di Indonesia seperti cakupan K1 ideal dan K4.

Gambar 3.12.7 menunjukkan bahwa 88,1 persen dari kelahiran melakukan ANC (K1). Persentase K1 dan ANC minimal 4 kali merupakan indikator ANC tanpa memperhatikan periode trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Cakupan K1 bervariasi dengan rentang antara 53,8 persen (Sumba Barat) dan 100 persen (Belu dan Ngada). Namun untuk cakupan ANC minimal 4 kali, Sikka (92,6%) lebih tinggi dibandingkan dengan Belu (88,0%) dan Ngada (85,6%). Selisih antara K1 dan ANC 4 kali menunjukkan adanya kehamilan yang tidak optimal melakukan ANC.

Gambar 3.12.8 menyajikan cakupan K1 ideal dan K4. Indikator K1 ideal dan K4 adalah indikator untuk melihat frekuensi yang merujuk pada periode trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Kementerian Kesehatan menetapkan K4 sebagai salah satu indikator ANC (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010).

Gambar 3.12.7 Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa

Tenggara Timur, Riskesdas 2013

131

Gambar 3.12.8

Cakupan indikator ANC K1 ideal dan ANC K4 (ANC 1-1-2) menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Indikator K1 ideal dan K4 yang merujuk pada frekuensi dan periode trimester saat dilakukan ANC menunjukkan adanya keberlangsungan pemeriksaan kesehatan semasa hamil. Setiap ibu hamil yang menerima ANC pada trimester 1 (K1 ideal) seharusnya mendapat pelayanan ibu hamil secara berkelanjutan dari trimester 1 hingga trimester 3. Hal ini dapat dilihat dari indikator ANC K4. Cakupan K1 ideal secara provinsi adalah 68,4 persen dengan cakupan terendah di Sumba Barat (34,2%) dan tertinggi di Lembata (92,9%). Cakupan K4 secara provinsi adalah 55,5 persen dengan cakupan terendah adalah Sumba Barat (20,5%) dan tertinggi di Manggarai Barat (82,2%). Berdasarkan penjelasan di atas, selisih dari cakupan K1 ideal dan K4 secara nasional memperlihatkan bahwa terdapat 12 persen dari ibu yang menerima K1 ideal tidak melanjutkan ANC sesuai standar minimal (K4). Karakteristik responden memperlihatkan bahwa yang melakukan ANC K1 sama persentasenya (88,4 %) pada umur < 20 tahun dan 20-34 tahun saat bersalin dan menjadi menurun (86,8 %) pada umur > 35 tahun (Tabel 3.12.3). Demikian juga dengan ANC K1 ideal hampir sama persentasenya pada kedua kelompok umur termuda tersebut dan menurun pada kelompok umur > 35 tahun. Sedikit berbeda pada ANC minimal 4 kali, justru menurun persentasenya dari umur < 20 tahun ke kedua kelompok umur di atasnya, yang persentasenya juga hampir sama. Pada ANC K4 secara berangsur-angsur persentasenya menurun seiring dengan bertambahnya umur. Pendidikan berkorelasi positif dengan persentase yang melakukan ANC K1 yaitu persentasenya meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Gambaran yang sama (korelasi positif) juga terjadi antara tingkat pendidikan dengan cakupan ANC, baik K1 ideal, ANC K4 maupun ANC minimal 4 kali. Kelompok pegawai merupakan kelompok pekerjaan yang tertinggi persentasenya untuk melakukan ANC K1 dengan cakupan ketiga kategori juga paling tinggi persentasenya. Yang melakukan ANC K1 maupun cakupan ketiga kategori ANC semuanya lebih tinggi persentasenya di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, makin tinggi persentase yang melakukan ANC K1 serta makin tinggi cakupan ANC-nya di ketiga kategori cakupan.

132

Tabel 3.12.3 Distribusi persentase melakukan pemeriksaan kehamilan dan cakupanANC

menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Melakukan ANC Cakupan ANC

Ya (K1) Tidak Total K1 Ideal ANC K4 ANC Min 4x

Umur (tahun) saat bersalin < 20 88,4 11,6 100 68,5 58,4 74,6 20-34 88,4 11,6 100 68,9 55,7 72,2 ≥ 35 86,8 13,2 100 66,2 53,7 72,5

Pendidikan Tidak sekolah 63,7 36,3 100 42,8 34,1 45,2 Tidak tamat SD 75,2 24,8 100 60,6 46,9 60,2 Tamat SD 88,5 11,5 100 65,3 52,0 71,1 Tamat SLTP 92,9 7,1 100 71,7 59,7 78,2 Tamat SLTA 95,6 4,4 100 79,6 64,6 80,1 Tamat PT 98,8 1,2 100 81,9 75,0 92,5

Pekerjaan Tidak berkerja 91,9 8,1 100 72,1 57,6 74,8 Pegawai 96,6 3,4 100 84,1 75,5 87,1 Wiraswasta 93,7 6,3 100 79,2 69,4 83,5 Petani/nelayan/buruh 82,8 17,2 100 62,0 49,3 66,4 Lainnya 94,5 5,5 100 74,2 62,7 84,1

Tempat tinggal Perkotaan 96,6 3,4 100 78,8 68,5 85,2 Perdesaan 86,1 13,9 100 65,9 52,5 69,5

Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 73,0 27,0 100 53,5 38,9 55,0 Menengah bawah 85,8 14,2 100 63,1 49,0 64,7 Menengah 91,1 8,9 100 68,8 55,0 76,4 Menengah atas 98,6 1,4 100 79,6 70,2 88,5 Teratas 97,9 2,1 100 84,9 73,6 86,4

b. Tenaga dan Tempat Pemeriksaan Kehamilan

Tenaga kesehatan yang kompeten memberi pelayanan pemeriksaan kesehatan ibu hamil adalah dokter kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2009). Fasilitas kesehatan disediakan untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil dari rumah sakit hingga posyandu. Gambar 3.12.9 adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan ANC menurut tenaga dan tempat menerima ANC. Bidan merupakan tenaga kesehatan yang paling berperan (88,4%) dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu hamil dan fasilitas kesehatan yang banyak dimanfaatkan ibu hamil adalahPuskesmas/Pustu (58,2%), Poskesdes (17,2%) dan Posyandu (13,7%). Hal ini juga terlihat di semua provinsi.

133

Gambar 3.12.9 Proporsi kelahiran yang melakukan pemeriksaan kehamilan menurut tenaga dan tempat mendapat

pelayanan ANC, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Tabel 3.12.4 Proporsi tenaga yang memberi pelayanan kesehatan ibu hamil

menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Tenaga yang memberi pelayanan ANC

Total Dokter kebidanan dan kandungan

Dokter umum

Bidan Perawat

Umur saat bersalin < 20 th 0,8 98,0 1,2 100 20-34 th 6,3 0,7 91,5 1,5 100 > 35 th 6,7 1,0 90,5 1,8 100

Pendidikan Tidak sekolah 2,9 2,1 94,1 0,9 100 Tidak tamat SD 3,8 0,4 93,1 2,7 100 Tamat SD 2,2 0,2 96,2 1,3 100 Tamat SLTP 5,8 0,7 91,5 1,9 100 Tamat SLTA 10,2 1,2 87,6 1,0 100 Tamat PT 20,2 1,4 76,4 2,0 100

Pekerjaan Tidak berkerja 5,6 0,6 93,1 0,7 100 Pegawai 20,8 0,3 76,9 1,9 100 Wiraswasta 17,5 0,4 80,4 1,7 100 Petani/nelayan/buruh 3,4 0,8 93,4 2,5 100 Lainnya 4,8 1,0 94,1 100

Tempat tinggal Perkotaan 14,5 0,9 84,3 0,3 100 Perdesaan 3,9 0,6 93,6 1,9 100

Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 3,3 0,7 93,7 2,3 100 Menengah bawah 5,1 0,6 93,6 0,7 100 Menengah 4,4 0,9 93,6 1,0 100 Menengah atas 20,8 0,6 78,2 0,4 100 Teratas 39,4 60,6 100

134

Proporsi tenaga kesehatan yang dipilih ibu hamil seperti yang disajikan pada Tabel 3.12.4 menunjukkan bahwa ANC yang dilayani bidan semakin kecil persentasenya seiring dengan semakin bertambahnya umur saat bersalin, namun sebaliknya semakin besar persentase yang dilayani dokter kebidanan dan kandungan dan yang dilayani perawat. Semakin tinggi tingkat pendidikan, cenderung semakin tinggi persentase ANC yang dilayani dokter kebidanan dan kandungan, sementara yang dilayani bidan, tidak berkorelasi dengan pendidikan, tetapi tertinggi persentasenya pada pendidikan tamat SD (96,2 %). Pekerjaan responden tidak menunjukkan pola hubungan yang jelas dengan persentase yanhg dilayani bidan, tetapi yang dilayani dokter kebidanan dan kandungan tertinggi persentasenya pada pegawai (20,8 %). Bidan dan perawat lebih banyak melayani di perdesaan, sebaliknya dokter kebidanan dan kandungan dan dokter umum di perkotaan. Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, cenderung semakin rendah persentase yang dlayani bidan dan sebaliknya semakin tinggi persentase yang dilayani dokter kebidanan dan kandungan. Fasilitas kesehatan disediakan untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil dari RS hingga posyandu yang merupakan salah satu upaya untuk mendekatkan tenaga kesehatan yang memberi pelayanan kepada masyarakat. Puskesmas/Pustu yang melayani ANC, yang terbanyak adalah pada kelompok umur saat bersalin < 20 tahun (65,6 %) dan berkurang ke kelompok umur di atasnya dengan persentase yang hampir sama, dan sebaliknya di Poskesdes/Polindes, terbanyak di umur > 35 tahun (19,7 %) dan berkurang ke umur yang lebih muda dengan persentase yang juga hampir sama (Tabel 3.12.5). Pada Tabel 3.12.5 juga memperlihatkan responden yang dilayani oleh posyandu hampir sama persentasenya pada umur < 20 tahun (14,1 %) dan 20-34 tahun (14,3 %) dan berkurang pada umur > 35 tahun (11,8 %). Tingkat pendidikan tidak berkorelasi linier dengan tempat pelayanan, kecuali di RS, dimana persentase yang dilayani meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan; sementara di tiga tempat pelayanan yang tertinggi persentase pelayanannya, tingkat pendidikan yang mendominasi adalah tamat SD di Puskesmas/Pustu dan Poskesdes/Polindes (masing-masing 61,2 % dan 21 %) dan yang tidak sekolah di Posyandu (26,4 %). Lebih lanjut pada Tabel 3.12.5, pegawai merupakan kelompok pekerjaan yang terbanyak dilayani di RS (12,9 %), RB (3,6 %) dan Praktek dokter/klinik (15,6 %) sedangkan yang tidak bekerja terbanyak di Puskesmas/Pustu (61,9 %), wiraswasta di praktek bidan (10,8 %) dan Petani/Nelayan/Buruh di Posyandu (16,5 %). Pekerjaan “lainnya” hanya terbanyak di Poskesdes/Polindes (24,1 %) saja. Yang bertempat tinggal di perkotaan lebih tinggi persentasenya pada pelayanan di RS, RB, praktek dokter/klinik dan praktek bidan, sedangkan yang dilayani di Puskesmas/Pustu, Poskesdes/Polindes dan Posyandu lebih banyak di perdesaan. Makin tinggi kuintil indeks kepemilikan, makin tinggi persentase yang dilayani di RS, RB dan Praktek dokter/klinik, sedangkan di tempat layanan yang lain, meskipun tidak berkorelasi linier, persentase tertinggi terdapat di kuintil menengah untuk Puskesmas/Pustu, kuintil menengah bawah untuk Poskesdes/Polindes, kuintil terbawah untuk Posyandu dan kuintil teratas untuk praktek bidan.

135

Tabel 3.12.5 Proporsi tempat yang memberi pelayanan kesehatan ibu hamil

menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur Riskesdas, Riskesdas 2013

Karakteristik RS RB Puskes-

mas/ Pustu

Praktek dokter/ klinik

Praktek bidan

Poskesdes/ Polindes

Posyandu Lainnya Total

Umur saat bersalin < 20 th 1,9 65,6 0,1 1,1 16,9 14,1 0,2 100 20-34 th 4,6 1,3 57,8 3,1 1,9 16,5 14,3 0,5 100 > 35 th 4,3 1,6 57,3 3,6 1,4 19,7 11,8 0,5 100

Pendidikan Tidak sekolah 2 3,1 54,5 4,1 9 26,4 0,8 100 Tidak tamat SD 2,7 1,2 50,6 0,1 1,7 20,6 22,5 0,6 100 Tamat SD 2,9 0,8 61,2 0,2 0,7 21 13 0,3 100 Tamat SLTP 4,9 0,8 57,1 1,9 2,9 16,7 15,5 0,3 100 Tamat SLTA 5,2 1,9 59,7 6,5 2,2 13,8 9,8 0,8 100 Tamat PT 12 3,3 54,6 17,1 2,6 6,2 3,7 0,4 100

Pekerjaan Tidak berkerja 4,3 0,9 61,9 3 1,6 14,8 13,1 0,5 100 Pegawai 12,9 3,6 50,7 15,6 1,4 8,9 6 1 100 Wiraswasta 6,7 0,7 50 14 10,8 12,1 4,5 1,2 100 Petani/Nelayan/Buruh 2,9 1,5 57,5 0,5 1,1 19,8 16,5 0,3 100 Lainnya 3,4 1 54,4 1,5 3 24,1 12 0,6 100

Tempat Tinggal Perkotaan 8,8 2,3 57,5 10,5 3,4 7 9,6 0,9 100 Perdesaan 3,1 1,1 58,3 1,1 1,4 19,8 14,8 0,4 100

Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 2,2 0,8 57 0,5 1,1 18,5 19,5 0,4 100 Menengah bawah 4,8 1,6 60,9 1,9 2,3 20,1 8 0,5 100 Menengah 6,3 2,4 63,2 3 1,9 14,5 7,8 1 100 Menengah atas 10,2 2 56,2 15,9 3 6,9 5,4 0,4 100 Teratas 18,5 3,6 35,8 30,7 7,1 3,4 0,8 100

136

c. Konsumsi Zat Besi

Konsumsi zat besi sangat dibutuhkan oleh ibu hamil untuk mencegah terjadinya anemia pada ibu hamil dan menjaga pertumbuhan janin secara optimal. Kementerian Kesehatan menganjurkan agar ibu hamil mengkonsumsi paling sedikit 90 pil zat besi selama kehamilannya (Depkes RI, 2001). Pada Riskesdas 2013 ditanyakan berapa hari mengkonsumsi zat besi selama hamil. Zat besi yang dimaksud adalah semua konsumsi zat besi selama masa kehamilannya termasuk yang dijual bebas maupun multivitamin yang mengandung zat besi.

Gambar 3.12.10

Proporsi kelahiran menurut konsumsi zat besi (Fe) dan jumlah hari mengonsumsi, Provinsi Nusa Tenggara Timur Riskesdas, Riskesdas 2013

Gambar 3.12.10 menunjukkan konsumsi zat besi dan variasi jumlah asupan zat besi selama hamil di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 86,2 persen. Di antara yang mengonsumsi zat besi tersebut, terdapat 37,3 persen mengonsumsi minimal 90 hari selama kehamilannya. Kabupaten/kota dengan asupan zat besi minimal 90 hari tertinggi di Manggarai Barat (82,3%) dan terendah di Sumba Tengah (1,8%) (lihat Buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT).

Tabel 3.12.6 menunjukkan konsumsi zat besi dan variasi jumlah asupan zat besi selama hamil menurut karakteristik responden yang menunjukkan bahwa persentase yang mengkonsumsi zat besi berkurang seiring dengan bertambahnya umur, demikian juga dengan persentase yang mengkonsumsinya < 90 hari, sementara yang mengkonsumsinya selama ≥90 hari juga berkurang persentasenya, tetapi hanya dari umur < 20 tahun ke umur 20-34 tahun saja sedangkan pada umur 20-34 dan > 35 tahun hampir sama persentasenya. Yang menyatakan lupa berapa lama mengkonsumsi zat besinya justru meningkat persentasenya seiring dengan meningkatnya umur. Makin tinggi pendidikan, makin tinggi persentase yang mengkonsumsi zat besi, demikian juga persentase yang mengkonsumsinya > 90 hari, sedangkan untuk yang mengkonsumsi < 90 hari dan yang menyatakan lupa tidak jelas hubungannya. Wirasawasta merupakan kelompok pekerjaan yang terbanyak mengkonsumsi zat besi dan yang mengkonsumsinya < 90 hari, sementara pegawai adalah terbanyak mengkonsumsi > 90 hari dan pekerjaan “lainnya” terbanyak menyatakan lupa tentang lamanya mengkonsumsi zat besi. Responden yang tinggal di perkotaan lebih banyak yang mengkonsumsi zat besi dan yang mengkonsumsinya > 90 hari dibandingkan dengan yang tinggal di perdesaan dan sebaliknya untuk yang mengkonsumsi < 90 hari, sedangkan yang menyatakan lupa, sama persentasenya di kedua tempat tinggal. Hanya responden yang mengkonsumsi zat besi > 90 hari yang berkorelasi linier positif dengan kuintil indeks kepemilikan, sedangkan persentase lainnya tidak jelas korelasinya dengan kuintil.

137

Tabel 3.12.6

Proporsi konsumsi dan jumlah mengkonsumsi zat besi selama hamil menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Mengkonsumsi zat besi Jumlah hari mengkonsumsi *)

Ya Tidak Total 90+ < 90 Lupa

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Umur saat bersalin

< 20 th 87,6 12,4 100 41,2 35,8 10,7

20-34 th 86,9 13,1 100 37,1 32 17,8

≥ 35 th 83,4 16,6 100 37 27,2 19,2

Pendidikan

Tidak sekolah 58,3 41,7 100 15,6 32,1 10,6

Tidak Tamat SD 75,5 24,5 100 25,8 30,8 19

Tamat SD 86,7 13,3 100 37,9 31,3 17,4

Tamat SLTP 91 9 100 44 27,8 19,2

Tamat SLTA 93,5 6,5 100 40,8 33,5 19,2

Tamat PT 95,5 4,5 100 49,7 33 12,8

Pekerjaan

Tidak berkerja 90,2 9,8 100 44,4 31,3 14,4

Pegawai 90,3 9,7 100 47,5 29,2 13,7

Wiraswasta 93,3 6,7 100 36,6 38,9 17,8

Petani/Nelayan/Buruh 81,1 18,9 100 31,2 30,8 19,2

Lainnya 94,1 5,9 100 32,9 32,9 28,3

Tempat Tinggal

Perkotaan 94 6 100 50,4 26,2 17,4

Perdesaan 84,4 15,6 100 34,3 32,4 17,7

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 80 20 100 32,8 32,3 14,8

Menengah bawah 94,4 5,6 100 40,7 30,7 23

Menengah 96,5 3,5 100 41,9 30,5 24,1

Menengah atas 96,5 3,5 100 52,4 27,7 16,4

Teratas 84,4 15,6 100 51,6 23,7 9,1

*Kolom 5, 6 dan 7 merujuk pada jawaban responden yang mengkonsumsi zat besi (kolom 2)

d. Kepemilikan Buku KIA dan Pelaksanaan P4K

Buku KIA berisi catatan kesehatan ibu (hamil, bersalin dan nifas) dan anak (bayi baru lahir, bayi dan anak balita). Buku KIA juga memuat informasi tentang cara memelihara dan merawat kesehatan ibu dan anak. Setiap kehamilan mendapat 1 buku KIA.

Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) merupakan program terobosan Kementerian Kesehatan bidang kesehatan ibu sebagai upaya untuk menurunkan tingkat kematian ibu. P4K adalah suatu kegiatan yang difasilitasi bidan di desa dalam rangka meningkatkan peran aktif suami, keluarga dan masyarakat dalam merencanakan persalinan yang aman dan persiapan menghadapi komplikasi bagi ibu hamil, termasuk perencanaan penggunaan KB pasca

138

persalinan, menggunakan media stiker (Factsheet Dit. Bina Kes Ibu). Selain pada stiker, komponen P4K juga dituliskan di buku KIA yaitu pada lembar “Amanat Persalinan” yang merupakan kependekan dari “Menyambut Persalinan Agar Aman dan Selamat” (Kementerian Kesehatan, 1997). Terdapat 5 komponen utama yang dituliskan terkait perencanaan persalinan, persiapan kegawatdaruratan dan perencanaan KB yaitu :

1. Penolong persalinan (nama-nama tenaga kesehatan yang akan menangani saat bersalin). 2. Dana persalinan (rencana sumber pembiayaan yang akan digunakan untuk biaya persalinan). 3. Kendaraan/ambulans desa (kendaraan yang disiapkan untuk membawa ibu hamil menuju tempat

bersalin jika sewaktu-waktu akan melahirkan/perlu rujukan). 4. Metode KB (rencana jenis KB yang akan dipilih setelah melahirkan) dan 5. Sumbangan darah (nama-nama calon donor darah apabila sewaktu-waktu terjadi kasus

perdarahan/komplikasi lain yang memerlukan sumbangan darah).

Pada Riskesdas 2013. enumerator menanyakan kepemilikan Buku KIA. Jika bisa menunjukkan maka dilanjutkan dengan melakukan observasi terhadap isian 5 komponen tersebut pada Lembar Amanat Persalinan.

Gambar 3.12.11 Proporsi kelahiran menurut kepemilikan buku KIA dan isian 5 Komponen P4K berdasarkan hasil

observasi lembar Amanat Persalinan dari yang dapat menunjukkan Buku KIA, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Hasil analisis menunjukkan bahwa 74,6 persen mempunyai buku KIA, namun yang bisa menunjukkan hanya 27,5 persen. Variasi kepemilikan buku KIA dan bisa menunjukkan buku KIA menurut provinsi antara cakupan terendah di Sumba Barat (5,3%) dan tertinggi di Manggarai Barat (56,5%).

Gambar 3.12.11 menunjukkan hasil observasi buku KIA terhadap 5 komponen P4K menunjukkan bahwa isian penolong persalinan sebesar 33,8 persen, dana persalinan sebesar 12,4 persen, kendaraan/ambulans desa sebesar 10,3 persen, metode KB pasca salin sebesar 12,2 persen dan 6,7 persen untuk isian sumbangan darah. Kelengkapan isian pada semua komponen sebesar 5,6 persen dan 66,0 persen tidak ada isian. Kepemilikan buku KIA dan isian 5 komponen hasil observasi menurut kabupaten/kota dapat dilihat pada Buku Riskesdas 2013.

27,5%

25,4%

47,1%

139

Tabel 3.12.7 Distribusi kepemilikan buku KIA dan observasi Isian Amanat Persalinan Buku KIA dan menurut

karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik

Memiliki Buku KIA Hasil observasi isian buku KIA

Ya,

men

unju

kan

Ya,

tida

k m

enun

jukk

an

Tid

ak p

unya

Tot

al

P

enol

ong

pers

alin

an

Dan

a P

ersa

linan

Ken

dara

an

Met

ode

KB

Don

or d

arah

Leng

kap

Tid

ak a

da is

ian

Umur saat bersalin (tahun) < 20 29,4 53,8 16,8 100 39,1 19,3 15,9 14,6 19,3 14,6 60,9 20-34 28,4 46,6 25 100 35,7 12,9 10,7 13 6,1 5,1 64,3 > 35 23,9 46,9 29,2 100 24,1 7,9 6,6 8,3 4,8 4,3 74,9

Pendidikan Tidak sekolah 14,4 33,2 52,4 100 21,9 78,1 Tidak Tamat SD 19,8 45,6 34,6 100 32,8 10,2 4,6 11,8 2,9 1,2 66 Tamat SD 25,4 45,2 29,4 100 24,3 9,5 5 8 3,8 3,8 75,6 Tamat SLTP 34,1 49,5 16,4 100 45,7 16,1 17,7 18,3 8,6 7,1 54,3 Tamat SLTA 31,9 52,4 15,7 100 37,6 18,3 16,3 18 12,2 10 62,3 Tamat PT 38 50,7 11,3 100 40,8 6,8 9,2 4,2 5,3 4,2 59,2

Pekerjaan Tidak berkerja 28,8 51,8 19,5 100 33,6 11,7 8,1 10,9 4,3 2,4 66,3 Pegawai 38,9 53,3 7,8 100 34,8 9,5 4,7 7,1 3,5 2,5 65,2 Wiraswasta 30 45,8 24,1 100 48,5 34,9 36,7 28,6 19 19 51,5 Petani/nelayan/buruh 22,9 43,6 33,4 100 29 13,8 11,4 13,6 9,8 9,1 70,5 Lainnya 41,9 40,9 17,1 100 48 3,8 10,2 10,2 1,3 1,3 52

Tempat tinggal Perkotaan 34,7 49,9 15,4 100 39,4 17,7 12,8 18,6 6,8 4,7 60,6 Perdesaan 25,8 46,4 27,7 100 32,1 10,8 9,6 10,2 6,6 5,8 67,6

Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 21,7 43,8 34,5 100 26,4 10,7 8,4 11 1,8 1,8 73,6 Menengah bawah 36,7 50,7 12,5 100 26,9 11,4 9,2 11,4 8,5 7 73,1 Menengah 37,9 52 10,1 100 38,2 13,3 12,1 11,5 9,1 7 61,6 Menengah atas 29,7 53,5 16,8 100 40,7 14,9 11,5 16,8 6,4 5,6 58,8 Teratas 30 52,5 17,5 100 33,1 10,7 9,4 9,2 6 5,2 66,8

Pada Tabel 3.12.7 tentang karakteristik responden diperlihatkan bahwa makin tinggi umur responden yang bersalin, makin rendah persentase semua hal-hal yang semestinya dilakukan (memiliki Buku KIA dan melakukan isian Amanat Persalinan), dan makin tinggi persentase yang seharusnya tidak dilakukan (tidak memiliki Buku KIA dan tidak ada isian). Dalam hal pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan, ada kecenderungan semakin tinggi persentase yang memiliki Buku KIA dan bisa menunjukkannya, tetapi semakin rendah persentase yang tidak memiliki buku KIA. Yang punya buku KIA tetapi tidak bisa menunjukkannya, juga semakin tinggi persentasenya, tetapi hanya sampai pendidikan tamat SLTA saja dan menurun kembali pada pendidikan tamat PT. Tentang isian Amanat Persalinan, persentasenya cukup beragam di semua tingkat pendidikan dengan persentase tertinggi dan terendah yang juga beragam. Pegawai merupakan kelompok pekerjaan yang terbanyak memiliki dan bisa menunjukkan Buku KIA dan petani/nelayan/buruh sebagai kelompok yang terbanyak tidak memiliki Buku KIA. Wiraswasta adalah kelompok pekerjaan yang terbanyak melakukan isian Amanat Persalinan dan merata untuk semua komponen isian dan

140

secara otomatis, juga sebagai kelompok yang paling kecil persentasenya tidak melakukan isian. Yang tinggal di perkotaan lebih tinggi persentasenya dibandingkan dengan di perdesaan dalam hal kepemilikan Buku KIA, baik yang bisa menunjukkannya maupun yang tidak dan sebaliknya yang tinggal di perdesaan lebih banyak yang tidak memiliki Buku KIA. Semua komponen isian Amanat Persalinan juga lebih banyak dilakukan oleh responden yang tinggal di perkotaan, tetapi justru isian yang lengkap sedikit lebih tinggi persentasenya di perdesaan (5,8 %) dibandingkan dengan di perkotaan (4,7 %). Yang tidak ada isian, lebih banyak di perdesaan. e. Penolong Persalinan

Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten merupakan salah satu indikator MDGs. Tenaga yang kompeten sebagai tenaga persalinan menurut PWS KIA adalah dokter kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan. Departemen Kesehatan menetapkan target bahwa 90 persen persalinan ditolong oleh tenaga medis pada tahun 2012 (Depkes, 2000c). Untuk mengukur kemajuan dalam mencapai target ini, responden ditanya mengenai siapa saja yang menolong selama proses persalinan. Dalam analisis Riskesdas penolong persalinan dinyatakan dalam penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah. Apabila penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi apabila lebih dari 1 maka dipilih yang paling tinggi dan sedangkan penolong persalinan dengan kualifikasi terendah apabila lebih dari 1 penolong maka dipilih tenaga dengan kualifikasi yang paling rendah.

Gambar 3.12.12 menunjukkan bahwa pada persalinan kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah, sebagian besar persalinan ditolong oleh bidan (58,2% dan 56,9%). Sehingga penolong linakes (dokter atau bidan) untuk kualifikasi tertinggi sebesar 66,8 persen dan kualifikasi terendah adalah 62,1 persen. Proporsi kelahiran menurut penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan terendah per kabupaten/kota dapat dilihat pada Buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

Gambar 3.12.12 Proporsi penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan terendah, Provinsi Nusa Tenggara Timur,

Riskesdas 2013

Tabel 3.12.8 dan Tabel 3.13.9 memperlihatkan distribusi kelahiran yang ditolong oleh tenaga berkualifikasi tertinggi dan terendah menurut karakteristik di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tabel tersebut menunjukkan bahwa persalinan oleh penolong linakes (persalinan dengan tenaga kesehatan) kualifikasi tertinggi sebesar 66,0 persen, dengan rincian 6,5 persen oleh dokter

141

kebidanan dan kandungan, 1,3 persen oleh dokter umum dan 58,2 persen oleh bidan. Terdapat persalinan yang ditolong oleh perawat (0,8%), sedangkan penolong persalinan oleh dukun sebesar 27,0 persen dan 5,1 persen penolong lainnya. Terlihat bahwa secara umum bidan merupakan tenaga utama sebagai penolong persalinan di Nusa Tenggara Timur. Masyarakat dengan pendidikan tinggi, bekerja sebagai pegawai, tinggal di perkotaan dan memiliki indeks kepemilikan teratas cenderung pergi kebidan untuk menolong persalinannya. Sebaliknya penggunaan dukun sebagai tenaga penolah persalinan mempunyai pendidikan rendah/tidak sekolah, petani/ nelayan/buruh, tinggal di perdesaan dan memiliki indeks kepemilikan terbawah.

Tabel 3.12.8

Proporsi penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik

Penolong persalinan kualifikasi tertinggi*)

Penolong Linakes Dr Kebid &

kandungan Dokter umum

Bidan Perawat Duku

n Keluarga/ lainnya

Tidak ada penolong

Total

Pendidikan

Tidak sekolah 1,0 3,4 30,3 3,2 53,3 8,1 0,8 100 34,7

Tidak Tamat SD 4,0 1,0 47,1 0,4 37,1 9,0 1,4 100 52,1

Tamat SD 4,2 1,2 54,3 0,8 32,2 6,0 1,2 100 59,7

Tamat SLTP 5,6 0,8 66,4 0,1 23,1 3,4 0,5 100 72,8

Tamat SLTA 11,5 1,2 70,0 0,7 13,1 2,9 0,6 100 82,7

Tamat D1-D3/PT 16,9 2,5 72,6 1,4 4,4 0,2 2,1 100 92

Pekerjaan

Tidak berkerja 7,5 1,3 62,0 0,8 22,7 4,7 0,9 100 70,8

Pegawai 18,4 3,1 69,7 0,1 5,1 1,7 2,0 100 91,2

Wiraswasta 12,3 1,9 67,4 0,7 12,3 5,3 100 81,6

Petani/Nelayan/Buruh 3,7 0,8 51,5 0,8 35,7 6,4 1,1 100 56

Lainnya 6,2 3,4 71,5 0,9 15,5 2,0 0,4 100 81,1

Tempat Tinggal

Perkotaan 16,4 1,4 72,1 0,9 7,9 1,0 0,3 100 89,9

Perdesaan 4,2 1,3 55,0 0,8 31,4 6,1 1,2 100 60,5

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terendah 2,0 0,1 37,1 1,3 48,9 9,4 1,1 100 39,2

Menengah bawah 4,1 1,5 45,0 0,9 38,5 7,9 2,1 100 50,6

Menengah 5,7 0,9 67,6 0,4 21,6 3,2 0,6 100 74,2

Menengah atas 6,0 1,9 80,6 0,5 9,2 1,6 0,3 100 88,5

Teratas 18,8 2,6 72,2 0,6 4,1 1,1 0,6 100 93,6

Keterangan: Jika penolong persalinan > 1, maka dipilih penolong dengan kualifikasi tertinggi; penolong linakes adalah dokter kebidanan & kandungan, dokter umum dan bidan.

142

Tabel 3.12.9 Proporsi penolong persalinan dengan kualifikasi terendah menurut karakteristik,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik

Penolong persalinan kualifikasi terendah Penolong Linakes Dr kebid&

kandungan Dokter umum

Bidan Perawat Dukun Keluarga/ lainnya

Tidak ada penolong

Total

Pendidikan

Tidak sekolah 0,3 34,3 0,8 45,1 18,8 0,8 100 34,6

Tidak Tamat SD 3,0 0,4 44,8 1,8 32,3 16,4 1,4 100 48,2

Tamat SD 2,7 0,6 53,1 1,3 29,8 11,4 1,2 100 56,4

Tamat SLTP 3,8 0,6 64,0 2,9 23,8 4,3 0,5 100 68,4

Tamat SLTA 7,6 0,8 68,3 5,0 13,2 4,5 0,6 100 76,7

Tamat D1-D3/PT 15,6 0,5 72,7 3,5 5,4 0,2 2,1 100 88,8

Pekerjaan

Tidak berkerja 4,9 0,9 61,0 3,3 22,4 6,5 0,9 100 66,8

Pegawai 15,5 0,5 71,5 2,4 6,4 1,7 2,0 100 87,5

Wiraswasta 11,7 64,4 4,7 11,4 7,8 100 76,1

Petani/Nelayan/Buruh 2,2 0,1 49,5 1,7 32,0 13,4 1,1 100 51,8

Lainnya 6,2 2,7 71,0 2,1 15,5 2,0 0,4 100 79,9

Tempat Tinggal

Perkotaan 12,4 1,0 71,2 4,6 8,1 2,4 0,3 100 84,6

Perdesaan 2,7 0,5 53,6 2,0 29,1 10,9 1,2 100 56,8

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terendah 1,6 0,1 36,0 1,1 42,7 17,5 1,1 100 37,7

Menengah bawah 2,5 0,1 41,9 2,1 36,0 15,1 2,1 100 44,5

Menengah 3,4 0,1 67,6 1,9 21,6 4,7 0,6 100 71,1

Menengah atas 3,5 1,2 80,5 3,1 9,6 1,7 0,3 100 85,2

Teratas 15,2 1,9 70,1 4,9 4,8 2,6 0,6 100 87,2

f. Tempat Persalinan

Tempat persalinan yang ideal adalah di rumah sakit karena apabila sewaktu-waktu memerlukan penanganan kegawatdaruratan tersedia fasilitas yang dibutuhkan atau minimal bersalin di fasilitas kesehatan lainnya sehingga apabila perlu rujukan dapat segera dilakukan. Sebaliknya jika melahirkan di rumah dan sewaktu-waktu membutuhkan penanganan medis darurat maka tidak dapat segera ditangani. Gambar 3.12.16 menunjukkan 57,4 persen kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara terjadi di fasilitas kesehatan dan polindes/poskesdes dengan persentase tertinggi di puskesmas/pustu (27,1%) dan terendah di Poskesdes/Polindes (4,3%). Namun masih terdapat 42,6 persen yang melahirkan di rumah/lainnya. Provinsi dengan persentase melahirkan di rumah yang paling tinggi adalah Sabu Raijua (84,8%).

143

Gambar 3.12.13 Proporsi tempat bersalin menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Gambar 3.12.14 menunjukkan tempat bersalin menurut karakteristik. Kelahiran pada ibu berumur risiko tinggi (umur ibu 35 tahun ke atas) lebih banyak di rumah (39,6%) dibanding di rumah sakit (26,0%). Pendidikan ibu dan kuintil indeks kepemilikan menunjukkan hubungan yang positif dengan tempat persalinan. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, dan semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan semakin rendah persentase ibu yang melahirkan di rumah. Pemanfaatan di setiap fasilitas kesehatan, baik milik pemerintah ataupun swasta, untuk persalinan jauh lebih tinggi di daerah perkotaan dibanding di perdesaan.

Gambar 3.12.14

Proporsi tempat bersalin menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Umur Saat Bersalin

144

g. Pelayanan Kesehatan Masa Nifas

Masa nifas merupakan masa kritis bagi kelangsungan hidup ibu baru bersalin. Menurut Studi Tindak Lanjut Kematian Ibu SP 2010, sebagai besar kematian ibu terjadi pada masa nifas sehingga pelayanan kesehatan masa nifas berperan penting dalam upaya menurunkan angka kematian ibu. Pelayanan Masa nifas adalah pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu selama periode 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan, Kementerian Kesehatan menetapkan program pelayanan atau Kontak Ibu Nifas yang dinyatakan dalam indikator :

1) KF1, kontak ibu nifas pada periode 6 jam sampai 3 hari setelah bersalin, 2) KF2, kontak ibu nifas pada periode 7-28 hari setelah melahirkan, dan 3) KF3, kontak ibu nifas pada periode 29-42 hari setelah melahirkan.

Gambar 3.12.15 Proporsi pelayanan pemeriksaan masa nifas, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Gambar 3.12.15 memperlihatkan bahwa cakupan pelayanan kesehatan masa nifas seiring dengan periode waktu setelah bersalin cenderung semakin menurun. Kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan masa nifas secara lengkap yang meliputi KF1, KF2 dan KF3 hanya 25,1 persen.

Gambar 3.12.16 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan menurut kabupaten/kota,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

145

Periode masa nifas yang berisiko terhadap komplikasi pasca persalinan terutama terjadi pada periode 3 hari pertama setelah melahirkan. Cakupan pelayanan kesehatan masa nifas periode 3 hari pertama setelah melahirkan bervariasi menurut kabupaten/kota (Gambar 3.12.16) yaitu tertinggi di Ngada (95,3%) dan terendah di Sumba Barat Daya (21,6%) Berdasarkan karakteristik, semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, dan semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan semakin tinggi pula persentase ibu nifas yang kontak dengan nakes (Gambar 3.12.17).

Gambar 3.12.17

Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan (KF1)menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

h. Pelayanan KB Pasca Salin

Selain kontak ibu nifas, KB pasca salin juga merupakan pelayanan masa nifas.Salah satu program terobosan Kementerian Kesehatan dalam upaya melakukan percepatan penurunan angka kematian ibu adalah peningkatan KB pasca persalinan yaitu penggunaan metode kontrasepsi pada masa nifas sampai dengan 42 hari setelah melahirkan sebagai langkah untuk mencegah kehilangan kesempatan ber-KB. Dalam Riskesdas 2013 menanyakan tentang pelayanan KB yang diterima pada periode masa nifas sampai 42 hari setelah melahirkan. Gambar 3.12.18 menunjukkan bahwa cakupan pelayanan KB pasca salin di Nusa Tenggara Timur sebesar 32,8 persen dan bervariasi menurut kabupaten/kota, dengan rentang 13,0 persen (Sumba Timur) dan 64,8 persen (Manggarai). Proporsi terbanyak tentang pelayanan KB yang diterima pada periode masa nifas sampai 42 hari setelah melahirkanmenurut karakteristik pada kelompok umur 20-34 tahun (34,5%), berpendidikan tamat SLTP (39,0%), pegawai (38,5%) dan tinggal di perkotaan (35,3%). Tidak ada variasi mengenai kuintil indeks kepemilikan terhadap ibu nifas sampai 42 hari setelah melahirkan mendapatkan pelayanan KB pasca salin. Tabel KB pasca salin menurut kabupaten/kota dan karakteristik secara lengkap dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

146

Gambar 3.12.18

Proporsi pelayanan KB pasca salin menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

3.13 Kesehatan Anak Topik kesehatan anak bertujuan untuk memberikan informasi berbagai indikator kesehatan anak yang meliputi status kesehatan anak dan cakupan pelayanan. Indikator status kesehatan anak meliputi prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR), panjang badan lahir pendek, gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatal, cacat lahir atau kecacatan pada anak balita. Sedangkan indikator yang terkait dengan cakupan pelayanan kesehatan anak meliputi perilaku perawatan tali pusar bayi baru lahir, pemeriksaan bayi baru lahir, imunisasi, kepemilikan akte kelahiran, kepemilikan buku KMS dan KIA, pemantauan pertumbuhan, pemberian kapsul vitamin A, pemberian ASI dan MPASI, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal, ASI eksklusif, dan sunat perempuan.

Indikator yang terkait dengan prevalensi gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatal, kepemilikan akte kelahiran anak balita, cakupan kepemilikan KMS dan buku KIA, pemberian kolostrum dan pemberian makanan prelakteal akan ditampilkan dalam buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

3.13.1 Berat dan Panjang Badan Lahir

Berat dan panjang badan lahir dicatat atau disalin berdasarkan dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota rumah tangga, seperti buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak lainnya. Persentase anak balita yang memiliki catatan berat badan lahir adalah 33,9 persen.

Kategori berat badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu < 2500 gram (BBLR), 2500-3999 gram, dan ≥4000 gram. Persentase BBLR di Propinsi Nusa Tenggara Timur(15,5%) lebih tinggi dibandingkan angka nasional yaitu 10,2 persen. Persentase BBLR tertinggi terdapat di Kabupaten Sabu Raijua (25,2%). (lihat Gambar 3.13.1)

147

*) Berdasarkan 33,9 % sampel balita yang punya catatan

Gambar 3.13.1 Kecenderungan berat badan lahir rendah (BBLR) pada balita menurut kabupaten/kota, Provinsi

Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013*)

Tabel 3.13.1 menyajikan persentase berat badan bayi baru lahir anak balita menurut karakteristik. Karakteristik pendidikan dan pekerjaan adalah gambaran dari kepala rumah tangga. Menurut kelompok umur, persentase BBLR tidak menunjukkan pola kecenderungan yang jelas. Persentase BBLR pada perempuan (17,4%) lebih tinggi daripada laki-laki (13,5%), namun persentase berat lahir ≥4000 gram pada laki-laki (4,3%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (3,6%).

Menurut pendidikan terlihat tidak adanya kecenderungan semakin tinggi pendidikan terhadap prevalensi BBLR, namun pada kuintil indeks kepemilikan terlihat adanya kecenderungannya. Menurut jenis pekerjaan, persentase BBLR tertinggi pada anak balita dengan kepala rumah tangga yang tidak bekerja (17,6%), sedangkan persentase terendah pada kelompok pekerjaan wiraswasta (9,3%). Persentase BBLR di perdesaan (17,0%) lebih tinggi daripada di perkotaan (11,1%). (lihat Tabel 3.13.1)

Gambar 3.13.2 menyajikan persentase panjang badan lahir anak usia 0-59 bulan menurut kabupaten/kota. Katagori panjang badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: <48 cm, 48-52 cm, dan >52 cm. Persentase anak balita yang memiliki catatan panjang badan lahir adalah 21,2 persen. Persentase panjang badan lahir < 48 cm diketahui sebesar 28,6 persen, 48-52 cm sebesar 65,7 persen dan >52 cm sebesar 5,7 persen. Persentase panjang badan lahir <48 cm tertinggi di Kabupaten Sumba Tengah (69,5%) dan terendah di Flores Timur (6,2%).

Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik disajikan pada Tabel 3.13.2. Menurut kelompok umur, bayi lahir pendek tidak menunjukkan adanya pola yang jelas. Persentase bayi lahir pendek pada anak perempuan (29,2%) hampir sama pada anak laki-laki (28,1%).

Menurut pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan terlihat adanya kecenderungan semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah persentase anak lahir pendek. Menurut jenis pekerjaan, persentase anak lahir pendek tertinggi pada anak balita dengan kepala rumah tangga sebagai petani/nelayan/buruh (31,5%). Persentase anak lahir pendek di perdesaan (30,4%) lebih tinggi daripada di perkotaan (24,4%).

25,2

15,5

4,1

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

Sab

u R

aiju

a

Nga

da

Alo

r

Sum

ba B

arat

Kup

ang

Rot

e N

dao

Nag

ekeo

Sik

ka

Kot

a K

upan

g

Sum

ba T

imur

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Bel

u

Lem

bata

Sum

ba T

enga

h

Man

ggar

ai

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Man

ggar

ai B

arat

Flo

res

Tim

ur

Tim

or T

enga

h U

tara

Man

ggar

ai T

imur

Sum

ba B

arat

Day

a

End

e

148

Tabel 3.13.1 Persentase berat badan lahir anak usia 0-59 bulan menurut karakteristik,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Berat badan lahir

<2500 gr >2500 - 3999 gr >4000 gr

Kelompok Umur 0 – 5 bulan 12,2 81,2 6,6

6 – 11 bulan 15,5 80,1 4,4

12 – 23 bulan 18,4 77,5 4,1

24 – 35 bulan 17,2 78,0 4,8

36 – 47 bulan 13,3 85,3 1,4

48 – 59 bulan 13,7 84,4 1,8

Jenis Kelamin

Laki-laki 13,5 82,2 4,3

Perempuan 17,4 79,0 3,6

Pendidikan KK

Tidak pernah sekolah 13,1 84,3 2,7

Tidak tamat SD 19,6 77,5 3,0

Tamat SD 15,4 80,2 4,4

Tamat SMP 16,6 79,7 3,7

Tamat SMA 13,1 81,7 5,2

Tamat D1/D2/D3/PT 13,9 84,0 2,1

Pekerjaan KK

Tidak bekerja 17,6 75,6 6,8

Pegawai 15,7 81,8 2,5

Wiraswasta 9,3 88,2 2,6

Petani/Nelayan/Buruh 16,5 79,6 3,9

Lainnya 15,1 78,9 6,0

Tempat Tinggal

Perkotaan 11,1 86,7 2,2

Perdesaan 17,0 78,5 4,5

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 25,2 69,3 5,5

Menengah bawah 14,7 77,8 7,4 Menengah 15,5 82,6 1,9 Menengah Atas 12,0 83,9 4,1

Teratas 14,4 83,7 1,9

149

*) Berdasarkan 21,2% sampel balita yang punya catatan

Gambar 3.13.2 Kecenderungan panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa

Tenggara Timur, Riskesdas 2013*)

Gambar 3.13.3 menyajikan persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR menurut karakteristik. Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR pada kelompok umur 6-11 bulan paling tinggi dibanding kelompok umur lainnya. Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR pada perempuan (5,9%) lebih tinggi daripada laki-laki (3,5%).

Gambar 3.13.3 Persentase anak dengan berat badan <2500 gram dan panjang badan lahir <48 cm menurut

karakteristik, kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

28,6

65,7

5,7

0,0

25,0

50,0

75,0

100,0

Sum

ba T

enga

h

Kup

ang

Sum

ba B

arat

Man

ggar

ai T

imur

Sab

u R

aiju

a

Man

ggar

ai

Sum

ba T

imur

Lem

bata

Kot

a K

upan

g

Man

ggar

ai B

arat

Bel

u

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Nga

da

End

e

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Rot

e N

dao

Nag

ekeo

Tim

or T

enga

h U

tara

Sik

ka

Sum

ba B

arat

Day

a

Alo

r

Flo

res

Tim

ur

< 48 cm 48 - 52 cm > 52 cm

4,6

9,1

5,2 4,5

2,5 2

3,5

5,9 5,5

3,9 4 4,9

6,3

3,9

7,6 7,6

3,1 4,1

3,4

5,3 4,5

6,1

3,3

4,8 4,9 4,7

0123456789

10

0 –

5 bu

lan

6 –

11 b

ulan

12 –

23

bula

n

24 –

35

bula

n

36 –

47

bula

n

48 –

59

bula

n

Laki

-laki

Per

empu

an

Tid

ak p

erna

h se

kola

h

Tid

ak ta

mat

SD

Tam

at S

D

Tam

at S

MP

Tam

at S

MA

Tam

at D

1/D

2/D

3/P

T

Tid

ak b

eker

ja

Peg

awai

Wira

swas

ta

Pet

ani/N

elay

an/B

uruh

Lain

nya

Per

kota

an

Per

desa

an

Ter

baw

ah

Men

enga

h ba

wah

Men

enga

h

Men

enga

h A

tas

Ter

atas

Umur JenisKelamin

Pendidikan KK Pekerjaan KK TempatTinggal

Kuintil IndeksKepemilikan

BB

LR d

an P

BL

< 4

8 cm

(%

)

150

Tabel 3.13.2 Persentase panjang badan lahir anak usia 0-59 bulan menurut karakteristik,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik panjang badan lahir

< 48 cm 48 - 52 cm > 52 cm

Kelompok Umur 0 – 5 bulan 26,8 67,1 6,1

6 – 11 bulan 28,4 69,1 2,5

12 – 23 bulan 25,2 69,3 5,5

24 – 35 bulan 32,0 60,4 7,6

36 – 47 bulan 34,1 63,8 2,1

48 – 59 bulan 27,1 63,2 9,7

Jenis Kelamin

Laki-laki 28,1 66,6 5,3

Perempuan 29,2 64,7 6,0

Pendidikan KK

Tidak pernah sekolah 30,4 69,6 0,0

Tidak tamat SD 29,3 67,9 2,8

Tamat SD 28,3 66,7 5,1

Tamat SMP 29,3 65,8 4,9

Tamat SMA 29,0 62,6 8,4

Tamat D1/D2/D3/PT 25,7 63,2 11,1

Pekerjaan KK

Tidak bekerja 22,8 65,9 11,3

Pegawai 23,4 68,5 8,2

Wiraswasta 27,2 64,4 8,5

Petani/Nelayan/Buruh 31,5 64,5 4,0

Lainnya 25,2 74,8

Tempat Tinggal

Perkotaan 24,4 69,3 6,3

Perdesaan 30,4 64,2 5,4

Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 28,5 70,8 0,7

Menengah bawah 35,7 61,4 3,0

Menengah 26,4 69,7 3,9

Menengah Atas 29,8 62,0 8,1

Teratas 24,4 67,1 8,5

3.13.2 Kecacatan

Riskesdas 2013 menyajikan informasi prevalensi anak umur 24-59 bulan yang mengalami kecacatan. Kecacatan yang dimaksud adalah semua kecacatan yang dapat diobservasi termasuk karena penyakit atau trauma/kecelakaan. Anak yang mempunyai kecacatan termasuk anak berkebutuhan khusus, seperti di bawah ini:

151

a. Tuna netra (penglihatan/buta) adalah anak yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan (Kaufman & Hallahan).

b. Tuna wicara (berbicara/bisu) adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam berbicara, sehingga mereka biasa disebut tuna wicara. Gangguan berbicara pada anak balita (<5 tahun) bisanya terjadi karena anak mengalami hambatan pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen yang berakibat anak mengalami hambatan berbicara. Jadi anak mengalami gangguan pendengaran dan berbicara (tuli bisu).

c. Down syndrom adalah kelainan genetik yang terjadi pada masa pertumbuhan janin (pada kromosom 21/trisomi 21) dengan gejala yang sangat bervariasi dari gejala minimal sampai muncul tanda khas berupa keterbelakangan mental dengan tingkat IQ kurang dari 70 serta bentuk muka (Mongoloid) dan garis telapak tangan yang khas (Simian crease). Ciri-ciri anak down syndrome adalah muka rata, hidung tipis (pesek), jarak antara kedua mata tampak lebih dekat, jarak ibu jari dan telunjuk pada jari kaki lebih lebar, garis tangan melengkung tidak terputus.

d. Tuna daksa (tubuh/cacat anggota badan) adalah anak yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuromuskular (syaraf otot) dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit, atau akibat kecelakaan termasuk polio dan lumpuh.

e. Bibir sumbing adalah kelainan pada bibir, langit-langit atas mulut atau kedua-duanya.

f. Tuna rungu (pendengaran/tuli) adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen.

Cakupan nasional menunjukkan persentase jenis kecacatan yang tertinggi adalah tuna netra (cacat penglihatan/buta) sebesar 0,17 persen dan terendah adalah tuna rungu 0,07 persen. Data ini menunjukkan persentase anak tuna wicara 2 kali lebih tinggi daripada persentase anak tuna rungu. Berhubung jumlah sampel cakupan pengobatan gangguan mental emosional di Nusa Tenggara Timur tersebut terlalu kecil, maka analisis distribusi tidak dapat dilakukan.

3.13.3 Status imunisasi

Program imunisasi dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1956.Kementerian Kesehatan melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada anak dalam upaya menurunkan kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus serta hepatitis B. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1611/MENKES/SK/XI/2005, program pengembangan imunisasi mencakup satu kali HB-0, satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan; imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu; imunisasi DPT-HB pada bayi umur dua bulan, tiga bulan empat bulan dengan interval minimal empat minggu; dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan.

Informasi cakupan imunisasi pada Riskesdas 2013 ditanyakan kepada ibu yang mempunyai balita umur 0-59 bulan, Informasi imunisasi dikumpulkan berdasarkan empat sumber informasi, yaitu wawancara kepada ibu balita atau anggota rumah tangga yang mengetahui, catatan dalam KMS, catatan dalam buku KIA, dan catatan dalam buku kesehatan anak lainnya. Apabila salah satu dari keempat sumber tersebut menyatakan bahwa anak sudah diimunisasi, disimpulkan bahwa anak tersebut sudah diimunisasi untuk jenis yang ditanyakan.

Selain setiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi lengkap bila sudah mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali

152

polio, dan satu kali imunisasi campak. Jadwal imunisasi untuk HB-0, BCG, polio, DPT-HB, dan campak berbeda, sehingga bayi umur 0-11 bulan tidak dianalisis. Analisis dilakukan pada anak umur 12-23 bulan, yang telah melewati masa imunisasi dasar.

Analisis imunisasi hanya dilakukan pada anak umur 12-23 bulan karena beberapa alasan, yaitu: (1) hasil analisis dapat mendekati perkiraan “valid immunization”; (2) survei-survei lain juga menggunakan kelompok umur 12-23 bulan untuk menilai cakupan imunisasi, sehingga dapat dibandingkan dan; (3) bias karena ingatan ibu yang diwawancara pada saat pengumpulan data lebih rendah dibanding kelompok umur di atasnya. Analisis menggunakan data anak umur 12-23 bulan hanya untuk menggambarkan tingkat provinsi. Namun karena keterbatasan jumlah sampel, untuk dapat memberikan gambaran tingkat kabupaten/kota maka digunakan data anak umur 12-59 bulan.

Tidak semua balita dapat diketahui status imunisasinya (missing). Hal ini disebabkan beberapa alasan, yaitu ibu lupa anaknya sudah diimunisasi atau belum, ibu lupa berapa kali sudah diimunisasi, ibu tidak mengetahui secara pasti jenis imunisasi, catatan dalam KMS/ buku KIA tidak lengkap/tidak terisi, tidak dapat menunjukkan karena hilang atau tidak disimpan oleh ibu. Alasan lainnya karena subyek yang ditanya tentang imunisasi bukan ibu balita, memory recall bias dari ibu, ataupun ketidakakuratan pewawancara saat proses wawancara dan pencatatan. Oleh karena itu, perlu menjadi catatan bahwa dalam interpretasi hasil cakupan imunisasi terdapat kekurangan metode survei (desain potong lintang) dalam Riskesdas 2013.

Tabel 3.13.3

Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Jenis Imunisasi Dasar

HB-0 BCG DPT-HB 3 Polio 4 Campak

Sumba Barat 60,9 83,8 40,9 52,4 82,0

Sumba Timur 78,0 85,7 64,4 67,9 82,1

Kupang 90,1 91,9 68,0 84,6 89,1

Timor Tengah Selatan 28,3 69,7 36,6 44,1 73,1

Timor Tengah Utara 86,4 87,0 71,5 76,8 95,1

Belu 91,6 94,2 85,8 86,7 97,6

Alor 38,9 64,7 36,4 44,5 63,8

Lembata 78,3 86,5 73,0 78,2 91,4

Flores Timur 95,7 95,3 80,7 87,6 97,8

Sikka 90,2 97,1 86,5 89,1 93,9

Ende 85,2 89,9 83,7 83,7 93,6

Ngada 97,6 99,5 96,3 94,9 98,7

Manggarai 79,0 91,7 89,5 89,2 92,3

Rote Ndao 47,1 62,3 39,6 44,1 51,9

Manggarai Barat 61,0 91,6 70,1 76,6 92,8

Sumba Tengah 46,2 76,7 56,4 61,1 76,6

Sumba Barat Daya 31,5 53,2 33,0 37,7 55,7

Nagekeo 85,8 94,4 87,2 85,5 94,8

Manggarai Timur 47,6 78,6 40,9 44,0 78,9

Sabu Raijua 34,9 47,5 32,0 41,0 50,9

Kota Kupang 86,7 95,0 82,0 87,6 87,9

Nusa Tenggara Timur 67,4 82,8 63,8 68,7 83,1

153

Tabel 3.13.3 menunjukkan cakupan tiap jenis imunisasi yaitu HB-0, BCG, polio empat kali (polio 4), DPT-HB kombo tiga kali (DPT-HB 3), dan campak menurut kabupaten/kota. Berdasarkan jenis imunisasi persentase tertinggi adalah Campak (83,1 %) dan terendah adalah Polio 4 (63,8%). Sabu Raijua mempunyai cakupan imunisasi terendah untuk semua jenis imunisasi, meliputi HB-0 (34,9%), BCG (47,5%), DPT-HB 3 (32,0%), Polio 4 (41,0%), dan campak (50,9%). Kota Kupang mempunyai cakupan imunisasi tertinggi untuk jenis imunisasi dasar HB-0 (86,7%), BCG (95,0%), DPT-HB 3 (82,0%), dan campak (87,9%) sedangkan cakupan imunisasi polio 4 tertinggi di Ngada (94,9%).

Tabel 3.13.4

Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Persentase Imunisasi Dasar

HB-0 BCG DPT-HB Polio Campak

Jenis Kelamin

Laki-laki 68,7 84,6 64,7 69,2 83,9

Perempuan 66,0 80,9 62,9 68,1 82,4

Pendidikan KK

Tidak pernah sekolah 51,1 69,9 48,6 52,6 68,4

Tidak tamat SD 59,5 79,5 56,5 59,9 79,0

Tamat SD 63,6 80,4 63,5 68,4 83,1

Tamat SMP 75,8 90,1 67,6 75,3 89,8

Tamat SMA 80,9 91,2 76,9 80,5 89,9

Tamat D1/D2/D3/PT 86,4 89,2 68,9 77,0 87,1

Pekerjaan KK

Tidak bekerja 75,8 83,0 65,8 68,8 85,3

Pegawai 85,6 89,8 72,2 80,0 85,1

Wiraswasta 77,1 89,9 76,7 80,6 90,9

Petani/Nelayan/Buruh 61,3 80,1 59,8 64,6 81,2

Lainnya 89,3 93,3 75,9 79,3 87,4

Tempat Tinggal

Perkotaan 86,0 93,1 80,2 84,7 90,1

Perdesaan 62,9 80,3 59,9 64,9 81,5

Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 47,5 66,4 47,0 51,0 66,5

Menengah Bawah 54,6 79,4 53,2 59,3 81,8

Menengah 74,3 87,0 67,6 73,3 88,7

Menengah Atas 83,8 92,8 80,2 84,5 92,8

Teratas 88,2 94,7 81,2 84,7 91,6

Tabel 3.13.4 menunjukkan cakupan jenis imunisasi dasar menurut karakteristik. Cakupan imunisasi tidak berbeda menurut jenis kelamin. Persentase semua jenis imunisasi lebih tinggi di perkotaan dibandingkan di perdesaan. Terlihat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi cakupan jenis imunisasi. Tidak ada kecenderungan dalam cakupan jenis imunisasi menurut kelompok pekerjaan.

154

Cakupan imunisasi lengkap pada anak umur 12-23 bulan merupakan gabungan dari satu kali imunisasi HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Gambar 3.13.4 menunjukkan cakupan imunisasi lengkap di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 45,5 persen dengan cakupan tertinggi berada di Kabupaten Ngada (83,5%)

Gambar 3.13.4 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi

Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Tabel 3.13.5 menunjukkan cakupan imunisasi dasar lengkap menurut karakteristik. Persentase imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (65,4%) daripada di perdesaan (40,9%) dan terdapat 14,0 persen anak umur 12-23 bulan di perdesaan yang tidak diberikan imunisasi sama sekali. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula cakupan imunisasi dasar lengkapnya. Menurut pekerjaan, terlihat kelompok pekerjaan petani/nelayan/buruh dan tidak bekerja merupakan kelompok yang persentase tidak diberikan imunisasi paling tinggi dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya.

Gambar 3.13.5 menunjukkan bahwa terdapat 54,6 persen yang pernah mengalami KIPI. Keluhan yang sering terjadi adalah kemerahan dan bengkak, sedangkan keluhan demam tinggi dialami oleh 10.5 persen anak.

Gambar 3.13.5 Persentase keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur 12-59 bulan, Provinsi

Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

45,5

42,1 12,4

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0T

imor

Ten

gah

Sel

atan

Sum

ba B

arat

Day

a

Alo

r

Rot

e N

dao

Man

ggar

ai T

imur

Sum

ba B

arat

Sab

u R

aiju

a

Sum

ba T

enga

h

Kup

ang

Sum

ba T

imur

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Man

ggar

ai B

arat

Lem

bata

Tim

or T

enga

h U

tara

Nag

ekeo

Man

ggar

ai

End

e

Bel

u

Sik

ka

Flo

res

Tim

ur

Kot

a K

upan

g

Nga

da

Lengkap Tidak Lengkap Tidak Imunisasi

54,6

10,5

38,5 39,8

4,4 0,5 0,0

15,0

30,0

45,0

60,0

Pernahmengalami

KIPI

KIPI DemamTinggi

KIPIBengkak

KIPIKemerahan

KIPIBernanah

KIPI Lainnya

155

Tabel 3.13.5

Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi

Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Kelengkapan Imunisasi Dasar

Lengkap Tidak Lengkap Tidak Imunisasi

Jenis Kelamin

Laki-laki 46,6 41,2 12,2

Perempuan 44,4 43,0 12,6

Pendidikan KK Tidak pernah sekolah 32,4 42,7 25,0

Tidak tamat SD 37,7 47,4 14,9

Tamat SD 42,2 44,5 13,4

Tamat SMP 50,5 42,0 7,6

Tamat SMA 61,1 32,6 6,3

Tamat D1/D2/D3/PT 60,2 34,8 5,0

Pekerjaan KK Tidak bekerja 52,2 34,7 13,1

Pegawai 62,0 31,9 6,1

Wiraswasta 62,3 32,5 5,2

Petani/Nelayan/Buruh 39,6 45,8 14,6

Lainnya 56,5 38,4 5,1

Tempat Tinggal Perkotaan 65,4 29,3 5,2

Perdesaan 40,9 45,0 14,0

Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 27,7 46,1 26,2

Menengah Bawah 32,3 52,8 14,9

Menengah 50,2 42,1 7,6

Menengah Atas 63,5 32,7 3,8

Teratas 66,3 29,8 3,9

3.13.4 Kunjungan neonatal

Pada Riskesdas 2013 dilakukan pengumpulan data kunjungan neonatal yang meliputi kunjungan pada saat bayi saat berumur 6-48 jam (KN1), 3-7 hari (KN2), dan 8-28 hari (KN3) melalui riwayat kunjungan neonatal pada anak yang sekarang berusia 0-59 bulan. Persentase KN1 (6-48 jam) sebesar 51,3 persen, KN2 (3-7 hari) sebesar 35,6 persen dan KN3 (8-28 hari) sebesar 36,2 persen. KN1 dan KN2 paling tinggi terdapat di Ngada (94,7% dan 82,9%) dan KN3 terdapat di Nagekeo (74,1%). (lihat Buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT). Setiap bayi baru lahir sebaiknya mendapatkan semua kunjungan neonatal, yaitu pada saat bayi berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Bayi yang mendapat kunjungan neonatal tiga kali yaitu pada saat berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari, dapat dinyatakan melakukan kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3). Persentase kunjungan neonatal menurut kelengkapannya di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah KN lengkap 25,2 persen, KN tidak lengkap 33,7 persen dan

156

tidak pernah KN sebesar 41,1 persen. (lihat Buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT). Persentase KN1 dan KN lengkap pada anak balita menurut kabupaten/kota disajikan pada Gambar 3.13.6

Gambar 3.13.6 Persentase KN 1 dan KN lengkap menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur,

Riskesdas 2013

Persentase kunjungan neonatal menurut karakteristik disajikan pada Tabel 3.13.6. Dari Tabel tersebut persentase kunjungan neonatal 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari setelah lahir semakin rendah seiring dengan bertambahnya umur anak. Persentase kunjungan neonatal menurut jenis kelamin anak hampir tidak ada perbedaan, sedangkan menurut tempat tinggal, persentase kunjungan neonatal di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula persentase kunjungan neonatal pada bayi berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga, persentase kunjungan neonatal pada umur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari tertinggi pada kelompok pekerjaan pegawai. Tabel 3.13.7 menunjukkan bahwa hampir tidak ada perbedaan persentase kunjungan neonatal lengkap menurut jenis kelamin anak. Menurut tempat tinggal, persentase kunjungan neonatal lengkap di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Di perdesaan, 45,7 persen anak balita tidak pernah melakukan kunjungan neonatal. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi pula persentase kunjungan neonatal lengkap. Menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga, kunjungan neonatal lengkap tertinggi pada jenis pekerjaan pegawai (39,0%) dan terendah pada kelompok pekerjaan petani/buruh/nelayan (21,3%). Persentase balita 0-59 bulan yang tidak pernah atau tidak punya riwayat melakukan kunjungan neonatal (KN) semakin meningkat seiring dengan semakin rendahnyanya tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut jenis pekerjaan, balita yang tidak pernah melakukan kunjungan neonatal tertinggi pada jenis pekerjaan petani/nelayan/buruh (46,6%) dan terendah pada kelompok pekerjaan lainnya (21,2%)

51,3

25,2

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

Sum

ba B

arat

Day

a

Sab

u R

aiju

a

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Man

ggar

ai T

imur

Sum

ba B

arat

Man

ggar

ai

Sum

ba T

enga

h

Alo

r

Rot

e N

dao

Sum

ba T

imur

Kup

ang

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Bel

u

Man

ggar

ai B

arat

Tim

or T

enga

h U

tara

End

e

Nag

ekeo

Lem

bata

Kot

a K

upan

g

Flo

res

Tim

ur

Sik

ka

Nga

da

KN 1 KN Lengkap

157

Tabel 3.13.6 Persentase kunjungan neonatal menurut karakteristik, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas

2013

Karakteristik

Kunjungan Neonatal

KN1 (6 – 48 jam) KN2 (3 – 7 hari) KN3 (8 – 28 hari)

Kelompok Umur

0- 5 bln 55,9 37,5 31,9

6-11 bln 60,4 42,6 42,2

12-23 bln 55,5 39,6 39,3

24-35 bln 50,4 35,2 36,6

36-47 bln 45,3 31,5 37,1

48-59 bln 46,8 31,3 30,7

Jenis kelamin

Laki-laki 51,8 35,8 35,9

Perempuan 50,8 35,4 36,6

Pendidikan KK

Tidak sekolah 31,8 21,5 26,8

Tidak tamat SD 40,5 26,9 31,6

Tamat SD 48,8 33,3 32,8

Tamat SMP 58,1 43,0 38,7

Tamat SMA 66,4 46,1 47,3

Tamat PT 74,0 53,7 51,0

Pekerjaan KK

Tidak bekerja 55,1 41,3 40,9

Pegawai 69,6 51,7 49,6

Wiraswasta 63,3 50,8 39,0

Petani/nelayan/buruh 45,4 29,6 32,9

Lainnya 72,3 53,4 45,9

Tempat Tinggal

Perkotaan 72,8 54,3 48,7

Perdesaan 46,2 31,2 33,3

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 28,0 18,5 23,1

Menengah bawah 39,6 27,1 29,0

Menengah 56,1 37,4 38,2

Menengah Atas 68,1 46,5 46,1

Teratas 77,7 59,1 52,6

158

Tabel 3.13.7 Persentase kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) menurut karakteristik,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Karakteristik Kunjungan Neonatal

Tidak pernah KN KN Tidak Lengkap KN Lengkap

Kelompok Umur 0- 5 bln 40,0 36,0 24,0

6-11 bln 33,4 34,4 32,2

12-23 bln 35,9 37,2 26,9

24-35 bln 42,6 32,4 25,0

36-47 bln 44,5 31,9 23,6

48-59 bln 46,1 31,8 22,1

Jenis kelamin

Laki-laki 41,1 33,1 25,7

Perempuan 41,0 34,3 24,7

Pendidikan KK

Tidak sekolah 60,0 24,2 15,8

Tidak tamat SD 51,3 29,8 18,9

Tamat SD 42,8 35,0 22,2

Tamat SMP 35,4 35,4 29,2

Tamat SMA 26,8 37,9 35,3

Tamat PT 21,3 36,3 42,4

Pekerjaan KK

Tidak bekerja 39,0 30,4 30,6

Pegawai 23,2 37,7 39,0

Wiraswasta 29,2 39,0 31,8

Petani/nelayan/buruh 46,6 32,1 21,3

Lainnya 21,2 45,0 33,8

Tempat Tinggal

Perkotaan 21,4 39,4 39,2

Perdesaan 45,7 32,4 21,9

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 19,7 45,9 34,3

Menengah bawah 16,0 38,6 45,5

Menengah 14,0 38,8 47,3

Menengah Atas 12,7 39,6 47,7

Teratas 10,8 34,3 54,9

3.13.5 Perawatan tali pusar

Riskesdas 2013 menyediakan informasi tentang cara perawatan tali pusar bayi baru lahir. Menurut standar Asuhan Persalinan Normal (APN) tali pusar yang telah dipotong dan diikat, tidak diberi apa-apa, sebelum metode APN diterapkan, tali pusar dirawat dengan alkohol atau antiseptik lainnya,

159

Tabel 3.13.8 menyajikan persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut provinsi. Dari tabel tersebut diketahui bahwa persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa sebesar 26,7 persen, diberi betadine/alkohol sebesar 49,7 persen, diberi obat tabur sebesar 4,8 persen dan diberi ramuan tradisional 18,8 persen. Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa tertinggi di Ngada (62,5%) dan terendah di Sabu Raijua (3,2%),

Tabel 3.13.8

Persentase cara perawatan tali pusar pada anak usia 0-59 bulan menurut Kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota

Cara perawatan tali pusar

Tidak diberi apa-apa

Betadine/alkohol Obat tabur Ramuan/obat tradisional

Sumba Barat 40,0 38,7 1,1 20,3

Sumba Timur 16,2 47,5 2,0 34,4

Kupang 31,7 50,1 12,6 5,5

Timor Tengah Selatan 26,3 31,7 22,3 19,7

Timor Tengah Utara 33,0 63,2 1,4 2,4

Belu 59,4 21,5 10,6 8,5

Alor 7,8 51,8 3,9 36,5

Lembata 14,5 75,9 0,0 9,5

Flores Timur 10,1 83,8 0,8 5,3

Sikka 30,2 61,6 2,4 5,8

Ende 15,2 70,3 3,1 11,4

Ngada 62,5 32,3 2,7 2,5

Manggarai 27,9 57,1 0,4 14,6

Rote Ndao 50,9 32,8 1,8 14,5

Manggarai Barat 48,5 43,2 0,6 7,8

Sumba Tengah 12,1 37,2 2,1 48,5

Sumba Barat Daya 33,1 22,2 5,8 38,9

Nagekeo 14,4 80,6 0,0 5,1

Manggarai Timur 11,7 52,1 2,8 33,3

Sabu Raijua 3,2 24,0 0,0 72,8

Kota Kupang 16,8 77,5 2,0 3,6

Nusa Tenggara Timur 26,7 49,7 4,8 18,8

160

3.13.6 Pola pemberian ASI Dalam Riskesdas 2013 dikumpulkan data tentang pola pemberian ASI dan pola pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak umur 0-23 bulan yang meliputi: proses mulai menyusu, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal, menyusu eksklusif, dan pemberian MP-ASI. Dalam buku ini ditampilkan proses menyusui dan menyusu ekslusif. Kriteria menyusu ekslusif ditegakkan bila anak umur 0-6 bulan hanya diberi ASI saja pada 24 jam terakhir dan tidak diberi makanan prelakteal. Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya. Bagi bayi, menyusui mempunyai peran penting untuk menunjang pertumbuhan, kesehatan, dan kelangsungan hidup bayi karena ASI kaya dengan zat gizi dan antibodi. Sedangkan bagi ibu, menyusui dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas karena proses menyusui akan merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan (postpartum).

Tabel 3.13.9 Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut Kabupaten/kota, Provinsi

Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Prosesmulai menyusu

<1 jam (IMD) 1-6 jam 7-23 jam 24-47 jam ≥48 jam

Sumba Barat 69,1 17,6 0,0 4,7 8,6

Sumba Timur 30,4 55,3 2,2 8,3 3,8

Kupang 27,4 60,8 5,8 2,8 3,2

Timor Tengah Selatan 30,2 50,5 3,9 11,4 3,9

Timor Tengah Utara 41,4 47,1 1,1 3,7 6,7

Belu 57,2 26,7 8,5 7,6

Alor 36,5 40,4 1,0 10,8 11,3

Lembata 35,9 34,5 7,9 12,6 9,2

Flores Timur 67,8 18,0 4,1 6,9 3,1

Sikka 55,4 22,6 16,3 0,6 5,0

Ende 35,0 23,1 0,9 17,8 23,1

Ngada 55,4 42,5 0,0 1,3 0,8

Manggarai 55,2 35,3 1,6 3,5 4,3

Rote Ndao 29,4 40,6 5,7 19,5 4,9

Manggarai Barat 23,5 62,6 0,6 9,6 3,7

Sumba Tengah 59,9 26,5 2,6 5,7 5,4

Sumba Barat Daya 44,4 37,1 0,7 13,0 4,7

Nagekeo 54,1 37,4 0,0 3,4 5,1

Manggarai Timur 22,1 55,2 6,2 9,4 7,2

Sabu Raijua 36,3 18,0 2,4 28,8 14,6

Kota Kupang 28,6 60,7 1,4 6,8 2,5

Nusa Tenggara Timur 40,5 40,3 3,2 9,1 6,8

Menyusui dalam jangka panjang dapat memperpanjang jarak kelahiran karena masa amenorhoe lebih panjang. UNICEF dan WHO membuat rekomendasi pada ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Sesudah umur 6 bulan, bayi baru dapat diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan ibu tetap memberikan ASI sampai anak berumur minimal 2 tahun. Pemerintah

161

Indonesia melalui Kementerian Kesehatan juga merekomendasikan para ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya.

Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota disajikan pada Tabel 3.13.9. Persentase provinsi proses mulai menyusu kurang dari satu jam (IMD) setelah bayi lahir adalah 40,5 persen, dengan persentase tertinggi di Sumba Barat (69,1%) dan terendah di Manggarai Timur (22,1%).

3.13.7 Cakupan kapsul vitamin A

Kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak berusia enam bulan. Kapsul merah (dosis 100,000 IU) diberikan untuk bayi umur 6-11 bulan dan kapsul biru (dosis 200,000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan.

Gambar 3.13.7 menyajikan persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir menurut kabupaten/kota. Dari Tabel 3.13.7 diketahui bahwa persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir sebesar 72,0 persen, tertinggi di Nagekeo (90,0%) dan terendah di Sabu Raijua (50,1%).

Gambar 3.13.7 Persentase cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulanmenurut kabupaten/kota,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

3.13.8 Pemantauan pertumbuhan

Pemantauan pertumbuhan balita sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan pertumbuhan (growth faltering) secara dini. Untuk mengetahui pertumbuhan tersebut, penimbangan balita setiap bulan sangat diperlukan. Penimbangan balita dapat dilakukan di berbagai tempat seperti posyandu, polindes, puskesmas atau sarana pelayanan kesehatan yang lain.

Pada Riskesdas 2013, informasi tentang pemantauan pertumbuhan anak diperoleh dari frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir. Idealnya dalam enam bulan anak balita ditimbang minimal enam kali atau setiap bulan pada hari penimbangan di posyandu.

Gambar 3.13.8 menyajikan persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir menurut kabupaten/kota. Frekuensi penimbangan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

50,1

72 90

40,0

50,0

60,0

70,0

80,0

90,0

100,0

Sab

u R

aiju

a

Man

ggar

ai T

imur

Sum

ba B

arat

Day

a

Alo

r

Kot

a K

upan

g

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Man

ggar

ai

Sum

ba B

arat

Sum

ba T

enga

h

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Man

ggar

ai B

arat

Rot

e N

dao

Sum

ba T

imur

Kup

ang

Flo

res

Tim

ur

Tim

or T

enga

h U

tara

Lem

bata

End

e

Nga

da

Sik

ka

Bel

u

Nag

ekeo

162

≥ 4 kali, 1-3 kali, dan tidak pernah. Dari Gambar 3.13.8 diketahui bahwa persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak ≥ 4 kali sebesar 54,7 persen, 1-3 kali sebesar 32,3 persen dan tidak pernah ditimbang sebesar 13,0 persen. Persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak ≥ 4 kali tertinggi di Sikka(84,9%).

Gambar 3.13.8 Persentase frekuensi pemantauan pertumbuhan balita dalam 6 bulan terakhir menurut

kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

3.13.9 Sunat perempuan

Riskesdas 2013 menyajikan data atau informasi tentang kebiasaan/perilaku sunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun berupa presentase pernah disunat dan presentase kategori umur ketika disunat. Selain itu juga disajikan data tentang presentase orang yang menyarankan untuk melakukan sunat dan presentase yang melakukan sunat anak perempuan, keduanya disajikan lengkap dalam buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

54,7

13

32,3

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

Sum

ba B

arat

Day

a

Man

ggar

ai

Alo

r

Sum

ba T

enga

h

Rot

e N

dao

Man

ggar

ai T

imur

Kup

ang

Sum

ba B

arat

Man

ggar

ai B

arat

Bel

u

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Sab

u R

aiju

a

Kot

a K

upan

g

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Nga

da

End

e

Sum

ba T

imur

Lem

bata

Flo

res

Tim

ur

Nag

ekeo

Tim

or T

enga

h U

tara

Sik

ka

≥ 4 Kali 1-3 Kali Tidak Pernah

163

Gambar 3.13.9 Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat menurut kabupaten/kota,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun menurut kabupaten/kota disajikan pada Gambar 3.13.9. Menurut kabupaten/kota, persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun sebesar 2,7 persen, dengan persentase tertinggi di Flores Timur (11,4%) dan terendah di Kupang, Timor Tengah Utara, Belu dan Sabu Raijua yaitu masing-masing 0,0 persen.

Gambar 3.13.10 Persentase anak perempuan umur 0 - 11 tahun yang pernah disunat menurut karakteristik,Provinsi

Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Gambar 3.13.10 menyajikan persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun menurutkarakteristik. Menurut pendidikan dan pekerjaan kepala rumah tangga, persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun bervariasi antar tingkat pendidikan, maupun jenis

2,7

11,4

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

12,0

Kup

ang

Tim

or T

enga

h U

tara

Bel

u

Sab

u R

aiju

a

Rot

e N

dao

Sum

ba B

arat

Day

a

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Sum

ba T

enga

h

Man

ggar

ai

Kot

a K

upan

g

Sum

ba B

arat

Nga

da

Sum

ba T

imur

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Nag

ekeo

Man

ggar

ai T

imur

Sik

ka

Alo

r

End

e

Man

ggar

ai B

arat

Lem

bata

Flo

res

Tim

ur

1,4 1,7 2,5 2,8

5

2,7 2,2

4

5,4

2,1

5,9 6,3

1,9 2,1 1,5 1,9

3,5

5,9

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

Tid

ak s

ekol

ah

Tid

ak T

amat

SD

Tam

at S

D

Tam

at S

LTP

Tam

at S

LTA

Tam

at D

1-D

3/P

T

Tid

ak b

eker

ja

Peg

awai

Wira

swas

ta

Pet

ani/N

elay

an/B

uruh

Lain

nya

Per

kota

an

Per

desa

an

Ter

baw

ah

Men

enga

h ba

wah

Men

enga

h

Men

enga

h at

as

Ter

atas

Pendidikan Pekerjaan KK TempatTinggal

Kuintil IndeksKepemilikan

164

pekerjaan kepala rumah tangga. Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun di perkotaan sebesar 6,3 persen, lebih tinggi 6 kali lipat daripada di perdesaan (1,3%). Menurut kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan semakin tinggi persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun.

3.14. Status Gizi Uraian status gizi terdiri dari: (1) status gizi balita; (2) status gizi anak umur 5 – 18 tahun; (3) status gizi penduduk dewasa; (4) risiko kurang energi kronis (KEK); dan (5) wanita hamil risiko tinggi (risti). Informasi lengkap status gizi secara lengkap menurut kabupaten/kota maupun karakteristik disajikan di buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

3.14.1. Status Gizi Balita

1. Cara Penilaian Status Gizi Balita

Status gizi penduduk pada Riskesdas 2013 terdiri dari status gizi anak balita (0-59 bulan), anak umur 5-18 tahun (umur 5-12 tahun, remaja umur 13-15 tahun, remaja umur 16-18 tahun), dewasa (≥ 18 tahun), wanita usia subur (15-49 tahun) dan ibu hamil.

Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore dari masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi anak balita dengan batasan sebagai berikut :

a. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator berat badan menurut umur (BB/U) :

Gizi Buruk : Zscore< -3,0

Gizi Kurang : Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore< -2,0

Gizi Baik : Zscore ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0

Gizi Lebih :Zscore> 2,0

b. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator tinggi badan menurut umur (TB/U):

Sangat pendek :Zscore<-3,0

Pendek : Zscore ≥- 3,0 s/d Zscore< -2,0

Normal : Zscore ≤-2,0

c. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator berat badan menurut tinggi badan (BB/TB):

Sangat kurus : Zscore<-3,0

Kurus : Zscore ≥- 3,0 s/d Zscore< -2,0

Normal : Zscore ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0

Gemuk : Zscore> 2,0

165

d. Klasifikasi status gizi berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB:

Pendek-kurus : Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0

Pendek-normal : Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d 2,0

Pendek-gemuk : Zscore ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0

TB Normal-kurus : Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0

TB Normal-normal : Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d 2,0

TB Normal-gemuk : Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB > 2,0

Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut:

Berdasarkan indikator BB/U:

Prevalensi gizi buruk : (∑ Balita gizi buruk/∑ Balita) x 100%

Prevalensi gizi kurang : (∑ Balita gizi kurang/∑ Balita) x 100%

Prevalensi gizi baik : (∑ Balita gizi baik/∑ Balita) x 100%

Prevalensi gizi lebih : (∑ Balita gizi lebih/∑ Balita) x 100%

Berdasarkan indikator TB/U :

Prevalensi sangat pendek : (∑ Balita sangat pendek/∑ Balita) x 100%

Prevalensi pendek : (∑ Balita pendek/∑ Balita) x 100%

Prevalensi normal : (∑ Balita normal/∑ Balita) x 100%

Berdasarkan indikator BB/TB:

Prevalensi sangat kurus : (∑ Balita sangat kurus/∑ Balita) x 100%

Prevalensi kurus : (∑ Balita kurus/∑ Balita) x 100%

Prevalensi normal : (∑ Balita normal/∑ Balita) x 100%

Prevalensi gemuk : (∑ Balita gemuk/∑ Balita) x 100%

Berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB :

Prevalensi pendek-kurus : (∑ Balita pendek-kurus/ ∑ Balita) x 100%

Prevalensi pendek-normal : (∑ Balita pendek-normal/∑ Balita) x 100%

Prevalensi pendek-gemuk : (∑ Balita pendek-gemuk/∑ Balita) x 100%

Prevalensi TB normal-kurus : (∑ Balita normal-kurus/∑ Balita) x 100%

Prevalensi TB normal-normal : (∑ Balita normal-normal/∑ Balita) x 100%

Prevalensi TB normal-gemuk : (∑ Balita normal-gemuk/∑ Balita) x 100%

166

Dalam laporan ini ada beberapa istilah status gizi yang digunakan, yaitu:

Berat Kurang : istilah untuk gabungan gizi buruk dan gizi kurang (underweight)

Kependekan : istilah untuk gabungan sangat pendek dan pendek (stunting)

Kekurusan : istilah untuk gabungan sangat kurus dan kurus (wasting)

2. Sifat-Sifat Indikator Status Gizi Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain sehingga kehilangan berat badan (masalah gizi akut). Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola asuh atau asuhan makan yang kurang dalam waktu lama sejak bayi yang mengakibatkan anak menjadi pendek. Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Misalnya: terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk. Masalah kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif pada saat dewasa (Teori Barker). Masalah gizi akut-kronis adalah masalah gizi yang memiliki sifat masalah gizi akut dan kronis. Sebagai contoh adalah anak yang kurus dan pendek. 3. Status Gizi Balita menurut Indikator BB/U Prevalensi berat-kurang (underweight) secara nasional pada tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari 5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Gambar 3.14.1 menyajikan prevalensi status gizi balita berdasarkan indikator BB/U menurut Kabupaten/Kota. Rata-rata prevalensi gizi berat-kurang menurut BB/U di Nusa Tenggara Timur sebesar 33,0 persen, terdiri dari gizi buruk 11,5 persen dan gizi kurang 21,5 persen. (Lihat buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT)

167

Gambar 3.14.1

Prevalensi status gizi BB/U <-2,0SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Diantara 21 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, 10 kabupaten memiliki prevalensi gizi buruk-kurang di atas angka prevalensi provinsi yaitu berkisar antara 33,4 persen sampai dengan 46,5 persen. Urutan ke 19 provinsi tersebut dari yang tertinggi sampai terendah adalah (1) Timor Tengah Selatan; (2) Rote Ndao; (3) Flores Timur; (4) Sabu Raijua; (5) Sumba Barat Daya; (6) Lembata; (7) Sumba Barat; (8) Sumba Tengah; (9) Manggarai Barat; (10) Kupang.

Bila dibandingkan dengan pencapaian sasaran MDG tahun 2015 yaitu 15,5 persen maka prevalensi gizi berat kurang di Provinsi Nusa Tenggara Timur harus diturunkan minimal sebesar 17,5 persen dalam periode 2013 sampai 2015.

Atas dasar sasaran MDG 2015, tidak terdapat kabupaten/kota yang memiliki prevalensi gizi berat kurang di bawah sasaran MDG atau sudah mencapai sasaran. Menurut WHO 2010 masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi BB/U berat kurang pada prevalensi antara 20 persen - 29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila prevalensi berat kurang lebih besar atau sama dengan 30 persen. Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi buruk-kurang antara 20,0-29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥30 persen (WHO, 2010). Pada tahun 2013, Provinsi Nusa Tenggara Timur prevalensi BB/U berat kurang pada balita sebesar 33,0 persen pada tahun 2013 yang berarti masalah gizi berat-kurang di Provinsi Nusa Tenggara Timur telah merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi sangat tinggi.

4. Status Gizi Balita Berdasarkan Indikator TB/U Prevalensi pendek (stunting) secara nasional tahun 2013 adalah 37,2 persen, terdiri dari 18,0 persen sangat pendek dan 19,2 persen pendek. Gambar 3.14.2 menyajikan prevalensi pendek menurut Kabupaten/Kota. Rata-rata prevalensi pendekdi Nusa Tenggara Timur sebesar 51,7 persen, terdiri dari sangat pendek 26,2 persen dan pendek 25,5 persen. (Lihat buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT)

23,3

33

46,5

0,0

10,0

20,0

30,0

40,0

50,0

60,0

End

e

Nga

da

Kot

a K

upan

g

Man

ggar

ai T

imur

Man

ggar

ai

Nag

ekeo

Sum

ba T

imur

Bel

u

Alo

r

Sik

ka

Tim

or T

enga

h U

tara

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Kup

ang

Man

ggar

ai B

arat

Sum

ba T

enga

h

Sum

ba B

arat

Lem

bata

Sum

ba B

arat

Day

a

Sab

u R

aiju

a

Flo

res

Tim

ur

Rot

e N

dao

Tim

or T

enga

h S

elat

an

168

Gambar 3.14.2

Prevalensi status gizi TB/U <-2,0 SD menurut kabupaten/kota,Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Prevalensi kependekan diatas prevalensi provinsi terdapat di 11 kabupaten/kota, dengan urutan dari prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu: (1) Timor Tengah Selatan; (2) Sumba Tengah; (3) Sabu Raijua; (4) Ngada; (5) Sumba Barat Daya; (6) Manggarai Timur; (7) Manggarai; (8) Alor; (9) Sumba Barat; (10) Rote Ndao; dan (11) Lembata.

Menurut WHO 2010, masalah kesehatan masyarakat dianggap prevalensi tinggi bila prevalensi kependekan sebesar 30-39 persen dan prevalensi sangat tinggi bila ≥40 persen. Pada tahun 2013, Provinsi Nusa Tenggara Timur prevalensi TB/U pendek pada balita sebesar 51,7 persen pada tahun 2013 yang berarti masalah balita pendek di Provinsi Nusa Tenggara Timur telah merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi sangat tinggi.

5. Status Gizi Balita Berdasarkan Indikator BB/TB Prevalensi sangat kurus secara nasional tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3 persen, dengan prevalensi kurus sebesar 6,8 persen. Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah keadaan sangat kurus yaitu anak dengan nilai Z-score < -3,0 SD. Gambar 3.14.3 menyajikan prevalensi kekurusan menurut kabupaten/kota. Prevalensi status gizi balita BB/TB menurut kabupaten/kota rata-rata propinsi NTT kategori sangat kurus 7,4 persen, kurus 8,1 persen. Prevalensi status gizi balita BB/TB sangat kurus tertinggi Kabupaten Kupang 24,7 persen dan terendah 1,7 persen Kabupaten Ngada. Prevalensi status gizi balita BB/TB kurus tertinggi 13,6 persen Kabupaten Flores Timur dan terendah Kabupaten Ngada.

36

51,7

70,5

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

End

e

Kot

a K

upan

g

Bel

u

Tim

or T

enga

h U

tara

Sik

ka

Flo

res

Tim

ur

Nag

ekeo

Kup

ang

Man

ggar

ai B

arat

Sum

ba T

imur

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Lem

bata

Rot

e N

dao

Sum

ba B

arat

Alo

r

Man

ggar

ai

Man

ggar

ai T

imur

Sum

ba B

arat

Day

a

Nga

da

Sab

u R

aiju

a

Sum

ba T

enga

h

Tim

or T

enga

h S

elat

an

169

Gambar 3.14.3

Kecenderungan prevalensi status gizi BB/TB < -2,0 SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Pada tahun 2013 prevalensi gemuk secara nasional di Indonesia adalah 11,9 persen sedangkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 8,0 persen. Prevalensi status gizi balita BB/TB gemuk tertinggi Kabupaten Belu 14,7 persen dan terendah Kabupaten Sumba Timur 3,3 persen. (Lihat buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT) Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10,0-14,0 persen, dan dianggap kritis bila ≥ 15,0 persen (WHO 2010). Pada tahun 2013, Provinsi Nusa Tenggara Timur prevalensi TB/U kurus (Z score< -2,0 SD) pada balita sebesar 15,5 persen yang berarti masalah balita pendek di Provinsi Nusa Tenggara Timur telah merupakan masalah kesehatan masyarakat yang kritis. Diantara 21 kabupaten/kota, terdapat 9 kabupaten/kota yang masuk kategori serius, dan 8 kabupaten termasuk kategori kritis, yaitu (1) Sikka; (2) Timor Tengah Utara; (3) Lembata; (4) Manggarai Barat; (5) Sumba Barat Daya; (6) Flores Timur; (7) Belu; dan (8) Kupang. 6. Status gizi balita berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB

Tabel 3.14.1 di bawah ini menyajikan gabungan prevalensi balita menurut ke tiga indikator status gizi yang digunakan yaitu BB/U (Gizi Buruk dan Kurang), TB/U (kependekan), BB/TB (kekurusan). Indikator TB/U memberikan gambaran masalah gizi yang sifatnya kronis dan BB/TB memberikan gambaran masalah gizi yang sifatnya akut.

7,4

24,7

8,1

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

Nga

da

Sum

ba T

imur

Nag

ekeo

Alo

r

Sab

u R

aiju

a

Rot

e N

dao

Sum

ba B

arat

End

e

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Sum

ba T

enga

h

Sik

ka

Kot

a K

upan

g

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Man

ggar

ai T

imur

Man

ggar

ai

Man

ggar

ai B

arat

Flo

res

Tim

ur

Tim

or T

enga

h U

tara

Lem

bata

Sum

ba B

arat

Day

a

Bel

u

Kup

ang

Sangat Kurus Kurus

170

Tabel 3.14.1 Prevalensi balita menurut Tiga Indikator Status Gizi menurut Kabupaten/Kota,ProvinsiNusa

Tenggara Timur 2013

Kabupaten/Kota BB/U

(Buruk+Kurang)

TB/U ( Sangat Pendek+

Pendek)

BB/TB (Sangat Kurus+

Kurus) Akut* Kronis**

Sumba Barat 37,7 55,4 9,2 √

Sumba Timur 29,4 51,3 9,8

Kupang 33,4 46,3 35,3 √

Timor Tengah Selatan 46,5 70,5 14,0 √ √

Timor Tengah Utara 29,9 39,9 15,5 √

Belu 29,7 38,6 28,2 √

Alor 29,7 55,7 8,1 √

Lembata 37,9 55,1 15,5 √ √

Flores Timur 39,7 44,2 22,4 √

Sikka 29,8 41,3 15,4 √

Ende 23,3 36,0 11,8 √

Ngada 26,3 62,2 6,4 √

Manggarai 27,4 58,8 13,7 √ √

Rote Ndao 41,1 55,3 14,0 √ √

Manggarai Barat 33,8 49,3 17,4 √

Sumba Tengah 34,0 63,6 10,9 √ √

Sumba Barat Daya 38,7 61,2 18,7 √ √

Nagekeo 28,6 44,3 11,4 √

Manggarai Timur 27,4 59,0 14,1 √ √

Sabu Raijua 39,1 62,5 13,3 √ √

Kota Kupang 27,3 36,7 14,9 √ √

Nusa Tenggara Timur 33,0 51,7 15,5 * Permasalahan gizi akut adalah apabila BB/TB >10 (UNHCR) ** Permasalahan gizi kronis adalah apabila TB/U di atas prevalensi provinsi (51,7)

Tujuh belas kabupaten/kota masih menghadapi permasalahan gizi akut dan 9 kabupaten/kota menghadapi permasalahan gizi akut dan kronis. Hanya 1 kabupaten/kota yang masalah gizi kronisnya lebih kecil dari angka Provinsi Nusa Tenggara Timur dan masalah gizi akutnya belum mencapai kondisi serius.

Memperhatikan jumlah sampel balita yang bisa dianalisis sampai tingkat kabupaten/kota, uraian berikut ini mengkaji urutan (rangking) dari yang terbaik sampai yang terburuk terhadap seluruh kabupaten/kota,

Berdasarkan BB/U: underweight (gabungan gizi buruk + gizi kurang berdasarkan BB/U),

Berdasarkan TB/U: stunting (gabungan antara sangat pendek dan pendek)

Berdasarkan BB/TB: wasting (gabungan antara sangat kurus dan kurus)

171

Berdasarkan BB/U, daftar 3 kabupaten/kota dengan balita underweight (gizi sangat buruk dan buruk) gambaran terbaik dan terburuk adalah sebagai berikut: Terbaik Terburuk 1. Ende 23,3 persen 1. Flores Timur 39,7 persen 2. Ngada 26,3 persen 2. Rote Ndao 41,1 persen 3. Kota Kupang 27,3 persen 3. Timor Tengah Selatan 46,5 persen Berdasarkan TB/U, daftar 3 kabupaten/kota dengan balita stunting (sangat pendek + pendek gizi sangat buruk dan buruk) gambaran terbaik dan terburuk adalah sebagai berikut: Terbaik Terburuk 1. Ende 36,0 persen 1. Sabu Raijua 62,5 persen 2. Kota Kupang 36,7 persen 2. Sumba Tengah 63,5 persen 3. Belu 38,6 persen 3. Timor Tengah Selatan 70,5 persen Berdasarkan BB/TB, daftar 3 kabupaten/kota dengan balita wasting (gabungan sangat kurus dan kurus) gambaran terbaik dan terburuk adalah sebagai berikut: Terbaik Terburuk 1. Ngada 6,4 persen 1. Flores Timur 22,4 persen 2. Alor 8,1 persen 2. Belu 28,2 persen 3. Sumba Barat 9,2 persen 3. Kupang 35,3 persen

3.14.2. Status gizi anak umur 5-18 tahun Status Gizi anak umur 5-18 tahun dikelompokkan menjadi tiga kelompok umur yaitu 5-12 tahun, 13-15 tahun dan 16-18 tahun, Indikator status gizi yang digunakan untuk kelompok umur ini didasarkan pada hasil pengukuran antropometri berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang disajikan dalam bentuk tinggi badan menurut umur (TB/U) dan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U), Berdasarkan baku antropometri anak 5-19 tahun WHO 2007 dihitung nilai ZscoreTB/U dan IMT/U masing-masing anak. Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore ini status gizianak dikategorikan sebagai berikut: Klasifikasi indikator TB/U: Sangat pendek :Zscore < -3,0 Pendek : Zscore ≥ -3,0 s/d < -2,0 Normal : Zscore ≥ -2,0 Klasifikasi indikator IMT/U: Sangat kurus : Zscore < -3,0 Kurus : Zscore ≥ -3,0 s/d < -2,0 Normal : Zscore ≥-2,0 s/d ≤1,0 Gemuk : Zscore > 1,0 s/d ≤ 2,0 Obesitas : Zscore > 2,0

1. Status Gizi Anak Umur 5 -12 Tahun Gambar 3.14.4 menunjukkan bahwa secara nasional prevalensi pendek pada anak umur 5-12 tahun adalah 43,9 persen (18,1% sangat pendek dan 25,8% pendek). Kategori sangat pendek tertinggi

172

kabupaten Timor Tengah Selatan 35,3 persen, terendah Kabupaten Sabu Raijuan 7,9 persen. Status gizi pendek tertinggi adalah Timor Tengah Utara 36,3 persen dan terendah 6,8 persen Kabupaten Belu.

Gambar 3.14.4

Prevalensi pendek anak umur 5–12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Gambar 3.14.5 Prevalensi kurus (IMT/U) anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara

Timur, Riskesdas 2013 Gambar 3.14.5 menunjukkan prevalensi status gizi IMT/U usia 5 -12 tahun menurut kabupaten kota. Provinsi Nusa Tenggara Timur rata-rata sangat kurus 7,8 persen dan kurus 11,6 persen. Prevalensi status gizi IMT/U sangat kurus yang tertinggi Kabupaten Kupang 15,5 persen dan terendah 3,2

18,1

25,8

0,0

10,0

20,0

30,0

40,0

50,0

60,0

70,0

80,0S

abu

Rai

jua

Flo

res

Tim

ur

Bel

u

Sum

ba T

imur

Alo

r

Kot

a K

upan

g

End

e

Sik

ka

Tim

or T

enga

h U

tara

Sum

ba T

enga

h

Nga

da

Man

ggar

ai B

arat

Lem

bata

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Kup

ang

Nag

ekeo

Man

ggar

ai T

imur

Sum

ba B

arat

Rot

e N

dao

Sum

ba B

arat

Day

a

Man

ggar

ai

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Sangat Pendek Pendek

7,8

11,6

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

35,0

Sum

ba B

arat

Tim

or T

enga

h S

elat

an

End

e

Sum

ba T

imur

Man

ggar

ai B

arat

Man

ggar

ai T

imur

Sum

ba B

arat

Day

a

Man

ggar

ai

Nga

da

Sum

ba T

enga

h

Sab

u R

aiju

a

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Bel

u

Sik

ka

Rot

e N

dao

Alo

r

Kot

a K

upan

g

Nag

ekeo

Lem

bata

Flo

res

Tim

ur

Tim

or T

enga

h U

tara

Kup

ang

Sangat Kurus Kurus

173

persen Kabupaten Sumba Barat. Prevalensi status gizi IMT/U kurus tertinggi Kabupaten Flores Timur 17,4 persen dan terendah Kabupaten Belu 4,6 persen. 2. Status gizi remaja umur 13 -15 tahun

Sama halnya dengan anak umur 5-12 tahun, untuk kelompok umur 13-15 tahun penilaian status gizi berdasarkan TB/U dan IMT/U. Gambar 3.14.6 menyajikan prevalensi pendek pada remaja umur 13-15 tahun. Prevalensi status gizi TB/U usia 13-15 tahun menurut kabupaten/ kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur perhitungan sangat pendek 26,9 persen dan pendek 29,6 persen.

Gambar 3.14.6 Prevalensi pendek remaja umur 13–15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara

Timur, Riskesdas 2013

Angka tertinggi sangat pendek berada di Kabupaten Timor Tengah Selatan (44,3%) dan terendah di Kabupaten Alor 12,9 persen. Angka tertinggi pendek berada di Kabupaten Sumba Barat (40,0%) dan terendah di Kabupaten Belu (18,6%).

Gambar 3.14.7 menunjukkan prevalensi kurus pada remaja umur 13-15 tahun adalah 25,9 persen terdiri dari 9,2 persen sangat kurus dan 16,7 persen kurus. Prevalensi sangat kurus terlihat paling rendah di Manggarai Barat (1,5 %) dan paling tinggi di Belu (15,4%). Sebanyak 10 kabupaten/kota dengan prevalensi anak sangat kurus (IMT/U) diatas prevalensi provinsi yaitu Timor Tengah Utara, Flores Timur, Timor Tengah Selatan, Sumba Barat Daya, Nagekeo, Rote Ndao, Kupang, Sumba Tengah, Sabu Raijua dan Belu.

26,9

29,6

0,0

15,0

30,0

45,0

60,0

75,0

90,0

Alo

r

Kot

a K

upan

g

Bel

u

Sum

ba T

enga

h

Sum

ba T

imur

End

e

Man

ggar

ai B

arat

Sab

u R

aiju

a

Lem

bata

Nag

ekeo

Sum

ba B

arat

Flo

res

Tim

ur

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Sik

ka

Tim

or T

enga

h U

tara

Kup

ang

Nga

da

Sum

ba B

arat

Day

a

Rot

e N

dao

Man

ggar

ai T

imur

Man

ggar

ai

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Sangat Pendek Pendek

174

Gambar 3.14.7 Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa

Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Gambar 3.14.8 menunjukkan prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 3,5 persen, terdiri dari 2,9 persen gemuk dan 0,6 persen sangat gemuk (obesitas). Sebanyak 9 kabupaten/kota dengan prevalensi gemuk diatas rata-rata provinsi, yaitu Lembata, Sabu Raijua, Sumba Barat, Manggarai, Kota Kupang, Kupang, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya dan Ende.

Secara lebih rinci, data status gizi remaja umur 13-15 tahun menurut kabupaten/kota dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

Gambar 3.14.8 Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut

kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

9,2

16,7

0,05,0

10,015,020,025,030,035,040,0

Man

ggar

ai B

arat

Nga

da

Sum

ba T

imur

Sum

ba B

arat

End

e

Man

ggar

ai

Man

ggar

ai T

imur

Alo

r

Sik

ka

Lem

bata

Kot

a K

upan

g

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Tim

or T

enga

h U

tara

Flo

res

Tim

ur

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Sum

ba B

arat

Day

a

Nag

ekeo

Rot

e N

dao

Kup

ang

Sum

ba T

enga

h

Sab

u R

aiju

a

Bel

u

Sangat Kurus Kurus

2,9

0,6

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

Man

ggar

ai T

imur

Rot

e N

dao

Sum

ba T

imur

Flo

res

Tim

ur

Nga

da

Tim

or T

enga

h U

tara

Alo

r

Bel

u

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Man

ggar

ai B

arat

Nag

ekeo

Sik

ka

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Lem

bata

Sab

u R

aiju

a

Sum

ba B

arat

Man

ggar

ai

Kot

a K

upan

g

Kup

ang

Sum

ba T

enga

h

Sum

ba B

arat

Day

a

End

e

Gemuk Obesitas

175

3.Status Gizi Remaja Umur 16 – 18 Tahun

Gambar 3.14.9 menyajikan status gizi remaja umur 16–18 tahun. Secara provinsi prevalensi pendek adalah 47,3 persen (15,1% sangat pendek dan 32,2% pendek). Sebanyak 8 kabupaten dengan prevalensi pendek diatas prevalensi provinsi yaitu Rote Ndao, Ngada, Sikka, Manggarai, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Manggarai Timur dan Kupang.

Gambar 3.14.9

Prevalensi pendek (TB/U) remaja umur 16–18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Gambar 3.14.10

Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

15,1

32,2

0,0

10,0

20,0

30,0

40,0

50,0

60,0

70,0

Sum

ba T

imur

Alo

r

Man

ggar

ai B

arat

Sab

u R

aiju

a

Sum

ba T

enga

h

End

e

Nag

ekeo

Kot

a K

upan

g

Flo

res

Tim

ur

Bel

u

Sum

ba B

arat

Lem

bata

Sum

ba B

arat

Day

a

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Rot

e N

dao

Nga

da

Sik

ka

Man

ggar

ai

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Tim

or T

enga

h U

tara

Man

ggar

ai T

imur

Kup

ang

Sangat Pendek Pendek

5,9

10,8

0,05,0

10,015,020,025,030,035,040,045,0

Man

ggar

ai B

arat

Flo

res

Tim

ur

End

e

Sum

ba T

imur

Nga

da

Tim

or T

enga

h U

tara

Sum

ba B

arat

Man

ggar

ai T

imur

Kot

a K

upan

g

Man

ggar

ai

Nag

ekeo

Kup

ang

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Lem

bata

Sik

ka

Rot

e N

dao

Sum

ba T

enga

h

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Sab

u R

aiju

a

Alo

r

Sum

ba B

arat

Day

a

Bel

u

Sangat Kurus Kurus

176

Gambar 3.14.10 menyajikan prevalensi kurus pada remaja umur 16-18 tahun secara provinsi sebesar 16,7 persen (5,9% sangat kurus dan 10,8% kurus). Sebanyak 9 kabupaten dengan prevalensi kurus diatas nasional, yaitu Lembata, Sikka, Rote Ndao, Sumba Tengah, Timor Tengah Selatan, Sabu Raijua, Alor, Sumba Barat Daya dan Belu.

Gambar 3.14.11

Prevalensi status gizi gemuk (IMT/U) remaja umur 16–18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Gambar 3.1.4.11 menunjukkan prevalensi gemuk pada remaja umur 16-18 tahun sebanyak 3,8 persen yang terdiri dari 3,0 persen gemuk dan 0,8 persen obesitas. Kabupaten dengan prevalensi gemuk tertinggi adalah Kupang (7,9%) dan terendah adalah Rote Ndao (0,0%). Delapan kabupaten dengan prevalensi gemuk diatas prevalensi provinsi, yaitu Lembata, Sumba Tengah, Manggarai Timur, Ngada, Sumba Timur, Nagekeo, Sumba Barat Daya dan Kupang.

Secara lebih rinci, data status gizi remaja umur 16-18 tahun menurut kabupaten/kota dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

3.14.3. Status Gizi Dewasa

Status gizi dewasa penduduk berumur >18 tahun terdiri dari 1). status gizi menurut Indeks Masa Tubuh (IMT) dan kecenderungan komposit TB dan IMT/U; 2). status gizi menurut lingkar perut (LP); 3). risiko kurang energi kronis (KEK) wanita usia subur wanita hamil dan tidak hamil; 4). wanita hamil risiko tinggi (TB<150 cm).

1. Status gizi dewasa menurut indeks masa tubuh (IMT)

Status gizi menurut IMT dinilai dengan rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

IMT = Berat Badan (Kg) ÷ Tinggi (m)2

Batasan IMT yang digunakan untuk menilai status gizi penduduk dewasa adalah sebagai berikut: Kategori kurus IMT < 18,5 Kategori normal IMT ≥18,5 - <24,9 Kategori BB lebih IMT ≥25,0 - <27,0 Kategori obesitas IMT ≥27,0

3

0,8

0,01,02,03,04,05,06,07,08,09,0

10,0

Rot

e N

dao

Bel

u

End

e

Sab

u R

aiju

a

Tim

or T

enga

h U

tara

Flo

res

Tim

ur

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Alo

r

Sum

ba B

arat

Kot

a K

upan

g

Man

ggar

ai

Man

ggar

ai B

arat

Sik

ka

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Lem

bata

Sum

ba T

enga

h

Man

ggar

ai T

imur

Nga

da

Sum

ba T

imur

Nag

ekeo

Sum

ba B

arat

Day

a

Kup

ang

Gemuk Obesitas

177

Gambar 3.14.12

Prevalensi status gizi kurus, BB lebih, obesitas penduduk dewasa (>18 tahun) menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Gambar 3.14.12 menyajikan prevalensi penduduk umur dewasa kurus, gizi lebih dan obesitas menurut IMT/U di masing masing kabupaten/kota. Prevalensi penduduk dewasa kurus 19,5 persen, berat badan lebih 6,7 persen dan obesitas 6,2 persen. Prevalensi penduduk kurus terendah di Manggarai (10,7%) dan tertinggi di Sabu Raijua (32,6%). Prevalensi penduduk obesitas terendah di Sumba Tengah (2,0%) dan tertinggi di Kota Kupang (12,1%). Gambar 3.14.13 menyajikan kecenderungan prevalensi obesitas penduduk laki-laki dewasa dan perempuan dewasa (>18 tahun) di masing-masing kabupaten/kota. Prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 4,3 persen, lebih rendah dibandingkan dengan perempuan dewasa (8,0%).

Secara lebih rinci, data status gizi dewasa menurut kabupaten/kota dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

19,5

6,7

6,2

0,0

10,0

20,0

30,0

40,0

50,0

Man

ggar

ai

Kup

ang

Man

ggar

ai B

arat

Man

ggar

ai T

imur

Nga

da

Kot

a K

upan

g

End

e

Flo

res

Tim

ur

Sik

ka

Nag

ekeo

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Lem

bata

Bel

u

Alo

r

Sum

ba B

arat

Day

a

Sum

ba T

imur

Rot

e N

dao

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Sum

ba T

enga

h

Sum

ba B

arat

Tim

or T

enga

h U

tara

Sab

u R

aiju

a

Kurus BB Lebih Obesitas

178

Gambar 3.14.13 Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT>25) pada laki-laki dan perempuan umur >18 tahun

menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

2. Status gizi dewasa berdasarkan indikator lingkar perut (LP)

Gambar 3.14.14 menyajikan informasi prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun menurut kabupaten/kota. Obesitas sentral dianggap sebagai faktor risiko yang berkaitan erat dengan beberapa penyakit kronis. Untuk laki-laki dengan LP >90 cm atau perempuan dengan LP >80 cm dinyatakan sebagai obesitas sentral (WHO Asia-Pasifik, 2005).

Gambar 3.14.14 Kecenderungan prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun menurut kabupaten/kota,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

4,3

8,0

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

12,0

14,0

16,0

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Sum

ba T

enga

h

Bel

u

Man

ggar

ai T

imur

Sab

u R

aiju

a

Tim

or T

enga

h U

tara

Man

ggar

ai B

arat

Sum

ba B

arat

Man

ggar

ai

Sum

ba T

imur

Sum

ba B

arat

Day

a

Kup

ang

Alo

r

Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Rot

e N

dao

End

e

Nag

ekeo

Nga

da

Lem

bata

Flo

res

Tim

ur

Sik

ka

Kot

a K

upan

g

Laki-laki Perempuan

4,3

15,2

26,3

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

Sum

ba T

enga

h

Man

ggar

ai T

imur

Sum

ba B

arat

Sab

u R

aiju

a

Sum

ba T

imur

Sum

ba B

arat

Day

a

Tim

or T

enga

h U

tara

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Alo

r

Bel

u

Nag

ekeo

Kup

ang

 Nus

a T

engg

ara

Tim

ur

Man

ggar

ai B

arat

Sik

ka

Rot

e N

dao

End

e

Nga

da

Man

ggar

ai

Kot

a K

upan

g

Flo

res

Tim

ur

Lem

bata

179

Secara provinsi, prevalensi obesitas sentral adalah 15,2 persen. Prevalensi obesitas sentral terendah di Sumba Tengah (4,3 %) dan tertinggi di Lembata (26,3 %). Secara lebih rinci, data status gizi dewasa berdasarkan indikator lingkar perut (LP) menurut kabupaten/kota dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas dalam Angka.

2. Status risiko kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) 15–49

tahun

Gambar 3.14.15 menyajikan informasi masalah kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia 15-49

tahun, berdasarkan indikator Lingkar Lengan Atas (LiLA). Untuk menggambarkan adanya risiko

(KEK) dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi pada wanita digunakan ambang batas nilai

rerata LILA <23,5 cm.

Gambar 3.14.15

Prevalensi risiko KEK wanita umur 15-49 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Gambar 3.14.15 menunjukkan prevalensi risiko KEK wanita usia subur (tidak hamil). Secara provinsi prevalensi risiko KEK WUS sebanyak 46,5 persen. Prevalensi terendah di Kupang dan prevalensi tertinggi di Timor Tengah Selatan dan Sumba Barat Daya. Secara lebih rinci, data status gizi WUS menurut kabupaten/kota dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas dalam Angka.

46,5

0,0

10,0

20,0

30,0

40,0

50,0

60,0

70,0

Kup

ang

Flo

res

Tim

ur

Man

ggar

ai

Man

ggar

ai B

arat

Sik

ka

Lem

bata

Kot

a K

upan

g

Alo

r

Sum

ba T

imur

Rot

e N

dao

Nus

a T

enga

ra T

imur

End

e

Nag

ekeo

Bel

u

Nga

da

Sab

u R

aiju

a

Sum

ba B

arat

Tim

or T

enga

h U

tara

Sum

ba T

enga

h

Man

ggar

ai T

imur

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Sum

ba B

arat

Day

a

180

3.15. Kesehatan Indera

Sistem indera merupakan salah satu sistem yang sangat berperan dalam mengoptimalkan proses perkembangan setiap individu. Sejak bayi sistem indera merupakan alat utama manusia untuk mengumpulkan berbagai informasi visual, audio, olfaktoris, rasa, dan fisik. Informasi visual ditangkap oleh mata (indera penglihatan), informasi audio ditangkap oleh telinga (indera pendengaran), informasi olfaktoris diterima oleh hidung (indera penciuman), informasi rasa ditangkap oleh lidah (indera perasa) dan informasi fisik diterima melalui permukaan kulit (indera peraba). Sekitar 90% informasi berupa informasi visual dan audio, yang dikumpulkan melalui indera penglihatan dan pendengaran. Pengukuran fungsi indera yang lazim dilakukan secara objektif adalah pengukuran fungsi penglihatan (tajam penglihatan/visus) dan fungsi pendengaran (tajam pendengaran).

Data nasional yang menggambarkan besaran masalah gangguan indera penglihatan dan pendengaran terakhir dikumpulkan antara tahun 1993-1997 dan belum diperbarui hingga saat ini. Riskesdas 2007 bermaksud menyediakan data tentang prevalensi kebutaan yang lebih mutakhir, tetapi karena metoda pengumpulan data masih dianggap tidak adekuat oleh organisasi profesi, maka data angka kebutaan yang dihasilkan dari Riskesdas 2007 juga dinilai kontroversial. Pada Riskesdas 2007, data termutakhir untuk prevalensi gangguan pendengaran masyarakat tidak dikumpulkan.

Riskesdas 2013 kembali mengumpulkan data prevalensi kebutaan dengan metoda yang serupa dengan Riskesdas 2007, tetapi sudah disempurnakan dan merupakan hasil diskusi dengan organisasi profesi. Organisasi profesi Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan Indonesia (Perhati) juga melengkapi Riskesdas dengan studi validasi yang akan dilaksanakan segera setelah semua data Riskesdas 2013 terkumpul. Studi validasi tersebut dimaksudkan untuk memperkuat reliabilitas pengukuran prevalensi kebutaan dan ketulian dalam survei nasional berbasis komunitas.

3.15.1. Kesehatan Mata

Data yang dikumpulkan untuk mengetahui indikator kesehatan mata pada Riskesdas 2013 meliputi pengukuran tajam penglihatan menggunakan kartu tumbling-E (dengan dan tanpa pin-hole) pada responden usia 6 tahun keatasserta pemeriksaan segmen anterior mata terhadap responden semua umur. Pemeriksaan visus dan observasi morbiditas permukaan mata dilakukan di luar ruangan dengan sumber cahaya matahari, tetapi pemeriksaan lensa dilakukan dalam ruangan redup dengan bantuan pen-light. Pemeriksaan visus dilakukan dengan jarak pengukuran 6 atau 3 meter, dengan kartu E disesuaikan setinggi posisi mata responden yang diperiksa. Responden yang sakit berat dan tidak memungkinkan untuk duduk dan diperiksa visus dieksklusi dalam penghitungan prevalensi kebutaan, begitu pula responden yang menolak atau tidak dapat bekerja sama dengan tim enumerator.

Prevalensi low vision dan kebutaan dihitung berdasarkan hasil pengukuran visus dengan atau tanpa kaca mata/lensa kontak koreksi. Kebutaan didefinisikan sebagai visus pada mata terbaik <3/60 atau dengan kata lain buta bilateral. Low vision didefinisikan sebagai visus pada mata terbaik ≤6/60 atau mencakup low vision bilateral dan buta unilateral yang disertai low vision unilateral. Prevalensi pterygium. kekeruhan kornea dan katarak dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan dan observasi nakes.

Keterbatasan pengumpulan data visus adalah tidak dilakukannya koreksi visus, tetapi dilakukan pemeriksaan visus tanpa pin-hole dan jika visus tidak normal (6/6 atau 20/20) dilanjutkan dengan pin-hole. seperti yang dilakukan saat Riskesdas 2007. Keterbatasan pengumpulan data prevalensi morbiditas permukaan mata dan lensa adalah kemampuan klinis pengumpul data (surveyor) yang bervariasi dalam menilai permukaan mata dan lensa menggunakan alat bantu pen-light, sehingga prevalensi tersebut cenderung kurang valid.

181

3.15.1.1. Prevalensi Kebutaan

Alat yang dipergunakan untuk pemeriksaan visus adalah tali pengukur jarak sepanjang 6 meter, satu set

kartu tumbling E (ukuran besar untuk visus 6/60, sedang untuk visus 6/18 dan kecil untuk visus 6/6). serta penutup mata dengan pinhole. Disediakan 6 pilihan jawaban untuk kategori visus, yaitu:

1. Dapat melihat E kecil (jarak 6m) 2. Tidak dapat melihat E kecil. tetapi dapat melihat E sedang (jarak 6m) 3. Tidak dapat melihat E sedang. tetapi dapat melihat E besar (jarak 6m) 4. Tidak dapat melihat E besar (jarak 6m). tetapi dapat melihat E besar (jarak 3m) 5. Tidak dapat melihat E besar pada jarak 3m 6. TIDAK DIPERIKSA

Interpretasi kode visus adalah sebagai berikut kode 1 berarti visus normal (6/6), kode 2 berarti gangguan visus ringan (6/6<visus x≤6/18), kode 3 berarti low vision (6/18<visus x≤6/60), kode 4 berarti severe low vision (6/60<visus x≤3/60) dan kode 5 berarti buta(<3/60). Visus tidak diperiksa jika responden berusia6 tahun keatas, tetapi tidak kooperatif atau tidak memungkinkan untuk diperiksa visusnya, seperti responden dengan kelainan jiwa berat atau mengalami kelumpuhan total.

Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas secara nasional adalah 0,4 persen dan prevalensi severe low vision 0,9 persen.

Gambar 3.15.1 revalensi kebutaan pada responden umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut

kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Gambar 3.15.1 menunjukkan bahwa prevalensi kebutaan pada Riskesdas 2013. Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas tertinggi ditemukan di Timor Tengah Utara (2,0%) dan terendah di Sumba Timur (0,2%).

Tabel 3.15.1 memperlihatkan distribusi ketersediaan kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh menurut kabupaten/kota. Proporsi ketersediaan kaca mata atau lensa kontak paling tinggi ditemukan di Kabupaten Alor (4,8%) diikuti oleh Flores Timur (3,7%). Prevalensi severelow visionpenduduk umur 6 tahun keatas secara di Nusa Tenggara Timur sebesar 1,6 persen. Prevalensi severe low vision tertinggi terdapat di Kabupaten Ngada (4,6%) dan Ende (4,3%). Kabupaten/kota dengan prevalensi severe low vision terendah adalah Kota Kupang (0,1%).

182

Tabel 3.15.1

Prevalensi ketersediaan koreksi refraksi, kebutaan, dan low vision padaresponden 6 tahun keatas tanpa/dengan koreksi optimal menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas

2013

Kabupaten/Kota Pakai Kacamata/

Lensa kontak Severe Low vision

Sumba Barat 1,8 1,4

Sumba Timur 1,4 1,0

Kupang 2,3 2,0

Timor Tengah Selatan 2,0 1,1

Timor Tengah Utara 2,6 0,5

Belu 1,2 1,5

Alor 4,8 2,2

Lembata 1,9 1,9

Flores Timur 3,7 1,8

Sikka 0,8 1,8

Ende 2,9 4,3

Ngada 2,7 4,6

Manggarai 0,3 0,8

Rote Ndao 0,8 0,3

Manggarai Barat 2,1 0,9

Sumba Tengah 1,4 1,3

Sumba Barat Daya 2,1 1,3

Nagekeo 1,7 2,8

Manggarai Timur 1,2 2,5

Sabu Raijua 2,1 2,1

Kota Kupang 3,2 0,1

Nusa Tenggara Timur 2,0 1,6

Tabel 3.15.2 menunjukkan kecenderungan prevalensi penderita severe low vision dan kebutaan yang meningkat pesat pada kelompok umur 45 tahun ke atas. Prevalensi kebutaan cenderung lebih tinggi pada perempuan dan pada penduduk perdesaan. Penduduk yang tidak bekerja atau bekerja sebagai petani/nelayan/buruh juga cenderung lebih banyak yang menderita severe low vision dan kebutaan. Prevalensi severe low vision dan kebutaan cenderung menurun pada kelompok penduduk dengan tingkat pendidikan formal dan kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi.

Tabel 3.15.2 juga menunjukkan proporsi pegawai yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak dua kali lebih banyak dibanding kelompok yang lain. Proporsi responden yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak di perkotaan sekitar dua kali lebih banyak dibandingkan responden di perdesaan. Responden perempuan tidak berbeda dengan laki-laki dalam menggunakan kaca mata atau lensa kontak. Makin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan responden, maka makin tinggi pula proporsi responden yang memiliki kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh.

183

Tabel 3.15.2 Proporsi ketersediaan koreksi refraksi, kebutaan, dan low vision pada responden usia 6 tahun

keatas tanpa/dengan koreksi optimal menurut karakteristik responden, Provinsi Nusa Tenggara Timur Riskesdas 2013

Karakteristik Responden Pakai Kacamata/

Lensa kontak Severe Low vision Kebutaan

Kelompok umur (tahun) 6-14 0,2 0,0 0,0 15-24 0,4 0,0 0,0 25-34 0,7 0,1 0,1 35-44 1,6 0,8 0,1 45-54 5,7 2,6 1,0 55-64 8,1 6,3 3,3 65-74 6,1 12,1 8,7 75+ 9,1 17,5 16,7

Jenis kelamin Laki-laki 2,0 1,5 0,7 Perempuan 2,1 1,7 1,2

Pendidikan Tidak sekolah 1,2 3,9 3,1 Tidak tamat SD 1,0 1,6 1,1 Tamat SD 2,1 1,8 0,8 Tamat SMP 2,1 0,6 0,4 Tamat SMA 3,5 0,6 0,1 Tamat PT 7,4 0,6 0,2

Status Pekerjaan Tidak bekerja 1,7 1,2 1,2 Pegawai 6,2 0,7 0,3 Wiraswasta 3,9 0,8 0,2 Petani/nelayan/buruh 2,1 2,9 1,4 Lainnya 3,8 1,5 0,9

Tipe daerah Perkotaan 3,5 0,9 0,6 Perdesaan 1,7 1,8 1,1

Tingkat kesejahteraan Terbawah 0,9 1,9 1,3 Menengah bawah 1,2 1,5 1,2 Menengah 2,1 2,0 1,3 Menengah atas 1,9 1,7 0,7 Teratas 4,5 0,9 0,4

184

3.15.1.2 Kelainan Permukaan Mata dan Lensa

Kelainan atau morbiditas permukaan mata yang diperiksa oleh surveyor adalah pterygium dan kekeruhan kornea. sedangkan kelainan lensa yang diharapkan dapat diidentifikasi oleh enumerator adalah kekeruhan lensa (katarak) yang tebal dan biasanya sudah disertai gangguan penglihatan. Pemeriksaan morbiditas permukaan mata dan lensa ini dilakukan pada semua responden.

Kekeruhan kornea adalah kelainan pada kornea berupa bercak berwarna putih keruh dan biasanya tidak terkait dengan faktor pertambahan usia. Prevalensi kekeruhan kornea yang meningkat seiring bertambahnya usia mungkin disebabkan karena kurangnya keahlian enumerator dalam melakukan penilaian untuk kekeruhan kornea. sehingga data yang dikumpulkan cenderung kurang valid.

Pterygium merupakan penebalan konjungtiva (bagian putih mata) pada sisi medial dan atau lateral, biasanya pada orang tua, tetapi bisa juga ditemukan pada dewasa muda. semakin lama semakin meluas kearah kornea.

Gambar 3.15.2 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara

Timur, Riskesdas 2013

Gambar 3.15.2menunjukkan bahwa prevalensi pterygium Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sebesar 8,2 persen dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Kabupaten Rote Ndao (20,6%), diikutiManggarai Timur (18,6%) dan Sabu Raijua (16,1%). Kabupaten Mangarai mempunyai prevalensi pterygium terendah (0,6%). Prevalensi kekeruhan kornea Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 4,9 persen dengan prevalensi tertinggi juga ditemukan di Rote Ndao (11,3%), diikuti prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan di Kota Kupang (1,8%). Tabel 3.15.3 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Tidak lazim pterygium terjadi pada anak umur 0-4 tahun. sehingga data prevalensi pterygium pada anak balita dalam analisis ini dinilai kurang valid.

185

Tabel 3.15.3 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada responden semua umur menurut karakteristik,

Provinsi Nusa Tenggara TimurRiskesdas 2013

Karakteristik Morbiditas Permukaan Mata

Pterygium Kekeruhan Kornea

Kelompok umur (tahun) 0-5 0,8 0,6 6-14 1,0 0,8 15-24 2,3 1,1 25-34 7,1 2,1 35-44 11,9 4,1 45-54 20,7 9,4 55-64 27,3 19,1 65-74 30,3 30,1 75+ 31,0 42,8

Jenis kelamin

Laki-laki 8,4 4,7 Perempuan 8,0 5,0

Pendidikan

Tidak sekolah 14,2 12,1 Tidak tamat SD 7,7 5,3 Tamat SD 12,2 5,8 Tamat SMP 6,7 3,5 Tamat SMA 6,2 2,5 Tamat PT 6,9 2,8

Status Pekerjaan

Tidak bekerja 6,6 4,5 Pegawai 7,8 3,5 Wiraswasta 9,7 3,8 Petani/nelayan/buruh 15,7 9,1 Lainnya 11,6 5,3

Tempat Tinggal

Perkotaan 6,0 3,0 Perdesaan 8,7 5,4

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 9,0 6,2 Menengah bawah 9,1 4,9 Menengah 8,3 5,1 Menengah atas 7,7 4,7 Teratas 6,5 3,2

Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada laki-laki cenderung sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi pada perempuan (Tabel 3.15.3).Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea yang paling tinggi (14,2% untuk pterygium dan 12,1% untuk kekeruhan kornea) ditemukan pada kelompok responden yang tidak sekolah. Petani/nelayan/buruh mempunyai prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea tertinggi (15,7% untuk pterygium dan 9,1% untuk kekeruhan kornea) dibanding kelompok pekerja lainnya. Tingginya prevalensi pterygium pada kelompok pekerjaan

186

tersebutmungkin berkaitan dengan tingginya paparan matahari yang mengandung sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kejadian pterygium.Prevalensi kekeruhan kornea yang tinggi pada kelompok pekerjaan petani/nelayan/buruh mungkin berkaitan dengan riwayat trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata, mengingat pemakaian alat pelindung diri saat bekerja belum optimal dilaksanakan di Indonesia termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur.Penduduk yang tinggal di perdesaan mempunyai prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea yang lebih besar dibandingkan penduduk di perkotaan. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea cenderung menurun seiring dengan meningkatnya kuintil indeks kepemilikan.

Gambar 3.15.3 Prevalensi katarak menurut kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Pada Gambar 3.15.3 terlihat bahwa prevalensi katarak di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 2,3 persen, tertinggi di Kabupaten Sumba Tengah 4,9 persen. Prevalensi katarak terendah ditemukan di Kabupaten Flores Timur (0,5%) diikuti Manggarai (0,6%).

Gambar 3.15.4 Proporsi tiga alasan utama penderita katarak belum menjalani operasi menurut kabupaten/kota,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

187

Sebagian besar penduduk dengan katarak di Provinsi Nusa Tenggara Timur belum menjalani operasi katarak karena faktor ketidaktahuan penderita mengenai penyakit katarak yang dideritanya dan mereka tidak dapat membiayai operasinya. Alasan kedua terbanyak penderita katarak belum dioperasi adalah tidak tahu bahwa buta katarak bisa dioperasi/direhabilitasi.

3.15.2 Kesehatan Telinga

Data yang dikumpulkan terkait status kesehatan telinga meliputi anatomi liang telinga. kelainan pada telinga tengah dan daerah retroaurikular. keutuhan gendang telinga. serta adanya gangguan fungsi pendengaran. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik oleh nakes terlatih pada responden berusia 2 tahun keatas dan untuk fungsi pendengaran dilakukan tes konversasi bagi responden yang kooperatif dan tidak tuna wicara.

Keterbatasan pengumpulan data terkait kesehatan telinga adalah kemampuan klinis nakes yang sangat bervariasi dalam mengenali kelainan telinga dan retroaurikular. Keterbatasan untuk pengukuran tajam pendengaran adalah tidak tersedianya alat audiometer di lapangan sehingga hanya dilakukan uji/tes konversasi.

3.15.2.1 Prevalensi Gangguan Pendengaran dan Ketulian

Pada survei ini interpretasi dari skor yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Pemeriksa membisikkan kalimat sederhana dan responden diminta mengulanginya. Jika

responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “0”. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu kalimat dengan volume suara normal dan responden kembali diminta mengulanginya. Jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa. maka skor responden adalah “1” pendengaran NORMAL.

2. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu kalimat dengan volume suara yang lebih keras dan responden kembali diminta mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “2” gangguan pendengaran ringan.

3. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa. pemeriksa akan meneriakkan satu kalimat pada telinga dengan fungsi pendengaran lebih baik dan responden kembali diminta mengulanginya dan jika responden dapatmengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “3 gangguan pendengaran sedang.

4. Jika responden tidak dapat mengikuti teriakan kata-kata pemeriksa maka skor responden adalah “4” ketulian.

Gambar 3.15.5 menjelaskan prevalensi gangguan pendengaran di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 3,7 persen, tertinggi di Sumba Barat Daya (9,5%) dan terendah di Kota Kupang (0,8%).

Gambar 3.15.6 menjelaskan prevalensi ketulian di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 3,7 persen dan terdapat satu kabupaten yang mempunyai prevalensi ketulian paling tinggi diatas angka Nusa Tenggara Timur yaitu Sumba Barat Daya (9,5%), sedangkan yang terendah diKota Kupang (0,8%).

Dalam Riskesdas 2013 diperoleh prevalensi gangguan pendengaran tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (34,4%), disusul oleh kelompok umur 65-74 tahun (19,3%). Angka prevalensi terkecil berada pada kelompok umur 15-24 tahun yaitu 1,4 persen (Tabel 3.15.4).

188

Gambar 3.15.5 Prevalensi gangguan pendengaran penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut

kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013

Gambar 3.15.6 Prevalensi ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi menurut kabupaten/kota,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Riskesdas 2013(Tanda bintang (*) menyatakan tidak ada data)

Tabel 3.15.4 juga memperlihatkan prevalensi tertinggi ketulian terdapat pada kelompok umur yang sama dengan gangguan pendengaran, yaitu umur 75 tahun ke atas (1,2%), begitu pula dengan prevalensi terkecil terdapat pada kelompok umur 5-14 tahun, 25-34 tahun dan 45-54 tahun (masing-masing 0,0%). Prevalensi responden dengan gangguan pendengaran pada perempuan cenderung sedikit lebih tinggi daripada laki-laki, namun prevalensi ketulian prevalensi perempuan dan laki-laki sama (0,1%).

189

Tabel 3.15.4 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian responden usia 5 tahun keatas sesuai tes

konversasi menurut karakteristik, Riskesdas 2013

Karakteristik Gangguan Pendengaran Ketulian

Kelompok umur (tahun) 5-14 1,9 0,0 15-24 1,4 0,1 25-34 1,6 0,0 35-44 1,9 0,1 45-54 4,0 0,0 55-64 10,1 0,4 65-74 19,3 0,7 75+ 34,4 1,2

Jenis kelamin Laki-laki 3,4 0,1 Perempuan 4,0 0,1

Pendidikan Tidak sekolah 10,2 0,3 Tidak tamat SD 3,7 0,2 Tamat SD 3,2 0,1 Tamat SMP 2,0 0,0 Tamat SMA 1,5 0,0 Tamat PT 1,7

Status Pekerjaan Tidak bekerja 3,3 0,2 Pegawai 1,6 0,2 Wiraswasta 2,3 Petani/nelayan/buruh 5,3 0,1 Lainnya 2,9

Tipe daerah Perkotaan 2,0 0,0 Perdesaan 4,1 0,1

Tingkat kesejahteraan Terbawah 5,8 0,1 Menengah bawah 3,6 0,1 Menengah 4,0 0,2 Menengah atas 3,0 0,1 Teratas 1,9 0,0

Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian tertinggi pada Tabel 3.15.4 ditemukan pada kelompok tingkat pendidikan tidak sekolah (10,2% gangguan pendengaran dan 0,3% ketulian). Gangguan pendengaran pada kelompok responden petani/nelayan/buruh memiliki angka prevalensi tertinggi, yaitu 5,3%, disusul oleh tidak bekerja sebesar 3,3%. Prevalensi gangguan pendengaran terendah ditemukan pada kelompok pegawai (1,6%). Prevalensi ketulian tertinggi ditemukan pada kelompok responden tidak bekerja dan pada pegawai(0,2%) dengan kelompok responden petani/nelayan/buruh berada pada posisi terendah (0,1%).

190

Terdapat perbedaan angka prevalensi ketulian dan gangguan pendengaran menurut tempat tinggal, di perdesaan diperoleh prevalensi gangguan pendengaran sebesar 4,1% dan prevalensi ketulian 0,1% dan cenderung sedikit lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan perkotaan (Tabel 3.15.4). Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian memiliki pola yang sama menurut kuintil indeks kepemilikan, yaitu semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin sedikit prevalensi gangguan pendengaran dan ketuliannya. Pada kuintil indeks kepemilikan terbawah ditemukan prevalensi gangguan pendengaran tertinggi (5,8%) dan prevalensi ketulian tinggi (0,2%) yang tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan menengah. Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian terendah ditemukan pada kuiintil indeks kepemilikan teratas (berturut-turut 1,9% dan 0,0%).

3.15.2.2 Morbiditas Telinga Lainnya

Untuk mengetahui prevalensi morbiditas (kejadian sakit) telinga, selain gangguan pendengaran dan ketulian, dilakukan pemeriksaan fisik/anatomis terhadap responden umur 2 tahun keatas. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan luar telinga untuk mengetahui keberadaan abses/fistel retroautrikular, serta pemeriksaan liang telinga untuk mengetahui adanya serumen maupun sekret dalam liang telinga. Sekret dalam liang telinga menandakan adanya infeksi akut/kronis, tumor, maupun kelainan telinga lainnya. Keberadaan abses/fistel retroaurikular dapat menunjukkan adanya infeksi telinga yang sedang berlangsung.

Kelompok umur ≥75 tahun mempunyai prevalensi tertinggi dalam hal keberadaan serumen, sekret dalam liang telinga, dan abses/fistel retroaurikular, yaitu berturut-turut 32,3 persen ; 7,1 persen ; dan 1,2 persen. Prevalensi terendah morbiditas telinga ditemukan pada kelompok umur 15-24 tahun, yaitu untuk prevalensi serumen (14,7%), sekret (2,1%), dan abses/fistel retroaurikular (0,0%).

Berdasarkan kabupaten/kota, prevalensi penduduk dengan serumen tertinggi terdapat di Sumba Timur (67,9%) dan terendah di Belu (0,3%). Laporan lengkap tentang morbiditas telinga lainnya menurut karakteristik dan kabupaten/kota disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam angka Provinsi NTT.

191

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Laporan Singkat Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2009,

2. Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan,Survei Demografi dan Kesehatan 2002-2003,ORC Macro 2002-2003,

3. Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan,Survei Demografi dan Kesehatan 2007,ORC Macro 2007,

4. Brown, Judith E, Et al,, "Nutrition Through the Life Cycle, 2002, New York,

5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas),2007

6. Departemen Kesehatan RI, SKRT 1995, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 1997

7. Departemen Kesehatan, Direktorat Epim-Kesma, Program Imunisasi di Indonesia, Bagian I, Jakarta, Depkes, 2003,

8. Departemen Kesehatan, 1995, Pedoman Umum Gizi Seimbang, Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan RI, Jakarta,

9. Departemen Kesehatan, Survey Kesehatan Nasional,Laporan,Depkes RI Jakarta,2001,

10. Departemen Kesehatan, Survey Kesehatan Nasional, Laporan,Depkes RI Jakarta 2004,

11. Depkes RI, 2003, Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA), Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Kesehatan Keluarga, Jakarta,

12. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia, 2009,

13. Djaja, S, et al, Statistik Penyakit Penyebab Kematian, SKRT 1995

14. Hardinsyah & D, Martianto, 1989, Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan, Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Institut Pertanian Bogor, Penerbit Wirasari, Jakarta,

15. Hardinsyah dan V, Tambunan, 2004, Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan, Dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi, Jakarta 17-19 Mei 2004,

16. Institute of Medicine, 2005, Dietary Reference Intakes for Energy, Carbohydrate,Fiber, Fatty Acids, National Academy Press,

17. Kramer, M,S, and Kakuma, R, The Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding, A Systimatic Review, WHO, 2001,

18. Kumar N, and Zheng H,Stage-specific gametocytocidal effect in vitro of the antimalaria drug qinghaosu on Plasmodium falciparum,Parasitol, Res 1990;76:214-218,

19. LA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R,I, Laporan SKRT 2001: Studi Kesehatan Ibu dan Anak,

20. Lembaga Demografi UI, 2013, Dasar-Dasar Demografi, Salemba Empat, Jakarta,

21. Papua Province Health Office, Case finding and treatment malaria patients 2006, Jayapura, Ministry of Health 2007,

192

22. Petunjuk Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal, Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan RI,, 2004

23. Policy Paper for Directorate General of Public Health, June 2002

24. Price RN, Nosten F, Luxemburger C ter Kuile FO, Paiphun L, Chongsuphajaisiddhi T, and White NJ,Effects of artemisinin derivatives on malaria transmissibility,Lancet 1996;347:1654-1658,

25. Rencana Strategis Departemen Kesehatan 2005-2009, Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2005

26. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, Pedoman Pewawancara Petugas Pengumpul Data, Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2013

27. Sandjaja, Titiek Setyowati, Sudikno, Cakupan penimbangan balita di Indonesia, Makalah disajikan pada Simposium Nasional Litbang Kesehatan,Jakarta, 7-8 Desember 2005,

28. Sandjaja, Titiek Setyowati, Sudikno, Cakupan viramin A untuk bayi dan balita di Indonesia, Prosiding temu Ilmiah dan Kongres XIII Persagi, Denpasar, 20-22 November 2005,

29. Seri Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI, ISSN: 0854-7971, No, 15 Th, 1999

30. Sikka District Health Office, Malaria cases in Sikka District, 2000-2006, Maumere, Ministry of Health 2007,

31. UNICEF, Breast Crawl, Initiation of Breastfeeding by Breast Crawl, 2007,

32. WHO, Report of the Expert Consultation on the Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding, Geneva, Switzerland, 28-30 March 2013,

33. World Health Organization, Antimalarial drug combination therapy,Report of WHO Technical Consultation, WHO/CDS/RBM/2001,35, Geneva,, WHO 2001,

34. World Health Organization, World Malaria Report 2008, WHO/HTM/GMP/2008,1, Geneva, WHO 2008,

iSistem Kesehatan Nasional (Peraturan pemerintah no. 72 tahun 2012)

iiWHO 2002. www.WHO.int/healthinfo/survey/en

193

LAMPIRAN 1. SK. Menkes untuk Riskesdas 2013

2. SK Riskesdas Korwil 1

3. Kuesioner Rumah Tangga (RKD 13. RT)

4. Kuesioner Individu (RKD 13. IND)

5. Informed consent