internalisasi nilai-nilai pancasila dalam teknologi “smart” sebagai people power demi menetaskan...

6
1 Internalisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Teknologi SMARTsebagai People Power demi Menetaskan Generasi Emas Menuju Konservasi Sosial Global Menumbuhkembangkan Adicita: Pancasila Bukan Fosil, juga Bukan Mitos Adicita 1 , ketika tidak ditumbuhkembangkan secara logis dan ilmiah hanya akan bernasib tekstual ataupun verbaltual. Ideologi purna, tidak lagi koheren di tengah-tengah masyarakat karena kedudukannya semata-semata dijadikan sebagai simbol belaka. Oleh sebab itu, perlu transformasi paradigma bahwa Pancasila jangan sekedar terucap manis di bibir saja (saat upacara), tidak pula sebatas untaian kata penuh makna (pada buku ajar dan diktat). Serta terakhir, tak sekedar lima prinsip mulia yang direpresentasikan dengan patung burung garuda yang kemudian tertempel rapi di dinding-dinding lembaga. Kalau diabaikan terus-menerus, deviasi dan reduksi nilai-nilai Pancasila bukan tidak mungkin akan semakin kronis sehingga rawan untuk terdistorsi. Misalnya saja menjadi instrumen legitimasi kekuasaan rezim 2 tertentu. Menurut George Sore dalam Reflection on Violence dan Karl Mannheim dalam Ideology and Utopia sebagaimana disitir oleh Kuntowijoyo, bahwa beda di antara mitos dan ideologi terletak pada sifat (mitos: irasional, ideologi: rasional) serta fungsi (mitos: konsensus, ideologi: kepentingan). 3 Hingga kini, Pancasila condong berasosiasi sebagai mitos ketimbang ideologi. Untuk itu, Pancasila harus “diteropong” secara skeptis (kritis) dan rasional agar terhindar dari sifat mitos yang irasional. Selanjutnya, internalisasi (penghayatan) Pancasila juga penting digiatkan. Sebab tanpa hal itu, Pancasila seolah hanya akan menjadi “fosil”. Tak ubahnya, seperti sebuah benda yang dulu hidup dengan penuh cita-cita, tetapi sekarang membatu tertanam dalam tanah. Pada “panggung akademis” (area kampus), nilai-nilai Pancasila wajib dihidupkan sebagai pedoman praksis dinamika berinteraksi antar sesama. Sila pertama, merupakan manifestasi prinsip “Ketuhanan yang Maha Esa”. Mahasiswa, jangan sampai memaknai 1 Pandangan hidup atau ideologi. 2 Seperti halnya contoh yang terjadi di Indonesia ketika rezim Orde Baru berkuasa. Pancasila disakralkan dan dikultuskan, sehingga tidak ada ruang bagi pemikiran-pemikiran progresif mengenai Pancasila meski tak ingkar dari Pancasila. Pengajaran (Pancasila)-pun bersifat monolitik serta indoktrinatif lewat P4 (Eka Prasetya Pancakarsa). Padahal, di dalam Pancasila sendiri terkandung dimensi fleksibilitas yang terbuka untuk gagasan-gagasan “segar” selama tidak kontradiktif dengan nilai dasar Pancasila. 3 Lebih lanjut, baca Listiyono Santoso, dkk, (de) Konstruksi Ideologi Negara, Ning-Rat, 2003, hlm. 4.

Upload: arie-hendrawan

Post on 25-Jun-2015

1.386 views

Category:

Education


1 download

DESCRIPTION

Internalisasi (penghayatan) Pancasila penting digiatkan. Sebab tanpa hal itu, Pancasila seolah hanya akan menjadi “fosil”. Tak ubahnya, seperti sebuah benda yang dulu hidup dengan penuh cita-cita, tetapi sekarang membatu tertanam dalam tanah. Pada “panggung akademis” (area kampus), nilai-nilai Pancasila wajib dihidupkan sebagai pedoman praksis dinamika berinteraksi antar sesama.

TRANSCRIPT

Page 1: INTERNALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM TEKNOLOGI “SMART” SEBAGAI PEOPLE POWER DEMI MENETASKAN GENERASI EMAS MENUJU KONSERVASI SOSIAL GLOBAL

1

Internalisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Teknologi “SMART”

sebagai People Power demi Menetaskan Generasi

Emas Menuju Konservasi Sosial Global

Menumbuhkembangkan Adicita: Pancasila Bukan Fosil, juga Bukan Mitos

Adicita1, ketika tidak ditumbuhkembangkan secara logis dan ilmiah hanya akan

bernasib tekstual ataupun verbaltual. Ideologi purna, tidak lagi koheren di tengah-tengah

masyarakat karena kedudukannya semata-semata dijadikan sebagai simbol belaka. Oleh

sebab itu, perlu transformasi paradigma bahwa Pancasila jangan sekedar terucap manis

di bibir saja (saat upacara), tidak pula sebatas untaian kata penuh makna (pada buku ajar

dan diktat). Serta terakhir, tak sekedar lima prinsip mulia yang direpresentasikan dengan

patung burung garuda yang kemudian tertempel rapi di dinding-dinding lembaga. Kalau

diabaikan terus-menerus, deviasi dan reduksi nilai-nilai Pancasila bukan tidak mungkin

akan semakin kronis sehingga rawan untuk terdistorsi. Misalnya saja menjadi instrumen

legitimasi kekuasaan rezim2 tertentu.

Menurut George Sore dalam Reflection on Violence dan Karl Mannheim dalam

Ideology and Utopia sebagaimana disitir oleh Kuntowijoyo, bahwa beda di antara mitos

dan ideologi terletak pada sifat (mitos: irasional, ideologi: rasional) serta fungsi (mitos:

konsensus, ideologi: kepentingan).3 Hingga kini, Pancasila condong berasosiasi sebagai

mitos ketimbang ideologi. Untuk itu, Pancasila harus “diteropong” secara skeptis (kritis)

dan rasional agar terhindar dari sifat mitos yang irasional.

Selanjutnya, internalisasi (penghayatan) Pancasila juga penting digiatkan. Sebab

tanpa hal itu, Pancasila seolah hanya akan menjadi “fosil”. Tak ubahnya, seperti sebuah

benda yang dulu hidup dengan penuh cita-cita, tetapi sekarang membatu tertanam dalam

tanah. Pada “panggung akademis” (area kampus), nilai-nilai Pancasila wajib dihidupkan

sebagai pedoman praksis dinamika berinteraksi antar sesama. Sila pertama, merupakan

manifestasi prinsip “Ketuhanan yang Maha Esa”. Mahasiswa, jangan sampai memaknai

1 Pandangan hidup atau ideologi. 2 Seperti halnya contoh yang terjadi di Indonesia ketika rezim Orde Baru berkuasa. Pancasila disakralkan dan dikultuskan, sehingga tidak ada ruang bagi pemikiran-pemikiran progresif mengenai Pancasila meski tak ingkar dari Pancasila. Pengajaran (Pancasila)-pun bersifat monolitik serta indoktrinatif lewat P4 (Eka Prasetya Pancakarsa). Padahal, di dalam Pancasila sendiri terkandung dimensi fleksibilitas yang terbuka untuk gagasan-gagasan “segar” selama tidak kontradiktif dengan nilai dasar Pancasila. 3 Lebih lanjut, baca Listiyono Santoso, dkk, (de) Konstruksi Ideologi Negara, Ning-Rat, 2003, hlm. 4.

Page 2: INTERNALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM TEKNOLOGI “SMART” SEBAGAI PEOPLE POWER DEMI MENETASKAN GENERASI EMAS MENUJU KONSERVASI SOSIAL GLOBAL

2

kata “Esa” secara rigid dengan mengartikannya sebagai bentuk penyeragaman. “Esa” itu

bermakna satu, dan merujuk kepada penyatuan (bukan penyeragaman: bedakan). Esensi

dari sila tersebut adalah anjuran untuk menjaga Tri Kerukunan Umat Beragama. Aspek

ini (religiusitas) tidak boleh dianggap remeh sebab di beberapa kasus, gerakan ekstrimis

maupun radikalis justru kerap tumbuh dan berkembang melalui bangku universitas. Jadi

celaka, ketika pengamalan sila pertama Pancasila ditafsirkan parsial. Padahal, mengutip

Jazim Hamidi, sila pertama yang nantinya “menjiwai” sila kedua, ketiga, keempat, serta

kelima Pancasila.4

Sila kedua, berarti sikap memanusiakan manusia (humanis). Salah satu cerminan

sikap tersebut, yakni mahasiswa mampu membedakan mana yang menjadi haknya dan

mana yang menjadi hak orang lain. Sebagai makhluk monopluralis5, manusia, demikian

pula mahasiswa, harus memiliki watak luhur berupa empat tabiat saleh. Masing-masing

terdiri atas watak kebijaksanaan, keadilan, kesederhanaan, dan keteguhan.6 Keempatnya

dapat diaktualkan dalam kegiatan pembelajaran kuliah, keorganisasian, hingga aktivitas

keseharian. Di sini kita bisa menangkap, humanis yang identik dengan perlakuan empati

lintas manusia, sebenarnya diawali oleh “pemanusiaan” diri kita sendiri lewat berbagai

watak adiluhung.

Sila ketiga, yaitu persatuan Indonesia, mempunyai konsekuensi pengakuan pada

pluralitas (secara vertikal dan horisontal) masyarakat Indonesia. Kampus, yang kiranya

juga cocok bila dikatakan “miniatur negara”, segenap civitasnya (termasuk mahasiswa)

perlu mengamalkan sila yang menghargai ke-bhineka tunggal ika-an ini. Sederhananya

para mahasiswa memposisikan kepentingan kampus di atas kepentingan pribadi. Sesuai

dengan adagium populer, jangan tanyakan apa yang telah kampus beri terhadapmu, tapi

tanyakanlah apa yang telah kamu berikan terhadap kampusmu. Dengan demikian, friksi

yang berakar dari keberagaman “penghuni” kampus sanggup ditekan. Di samping, tekad

mahasiswa untuk berkontribusi prestasi kian eskalatif.

Sila keempat, menyumbang paradigma deliberasi (musyawarah) sebagai resolusi

sebuah masalah. Hal tersebut merupakan “keunikan” demokrasi Indonesia yang berbasis

musyawarah, bukan voting. Internalisasi sila keempat Pancasila oleh mahasiswa, dapat

4 Coba cermati Jazim Hamidi, dkk, Civic Education, Gramedia Pusataka Utama, 2010, hlm. 56. 5 Meminjam istilah dari Notonagoro. Untuk lebih lengkap, dapat dilihat dalam Kaelan, Filsafat Pancasila,

Paradigma, 2002, hlm. 162. 6 Ibid, hlm. 168.

Page 3: INTERNALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM TEKNOLOGI “SMART” SEBAGAI PEOPLE POWER DEMI MENETASKAN GENERASI EMAS MENUJU KONSERVASI SOSIAL GLOBAL

3

diwujudkan melalui sikap berjiwa besar (legowo) dalam menyelesaikan setiap problema

kolektif. Entah itu pada saat rapat, bersidang, maupun kongres. Sehingga, efek anomali

demokrasi ala barat7 berhasil diminimalisir. Sesuai latar belakang ide “deliberasi” yang

dicetuskan Sokearno, yakni agar tidak timbul otoritarian mayoritas serta tirani minoritas

layaknya sketsa (baca: gambaran) demokrasi liberal.

Terakhir, sila kelima, menunjukkan keadilan yang tidak boleh memihak. Dalam

konteks “kiprah” kampus, nilai sila kelima Pancasila bisa diimplementasikan mahasiswa

lewat sikap adil secara perseorangan (dengan peer group), pada tataran kelompok, serta

terkait kepentingan umum (mengikuti tata tertib kampus). Sesuai pendapat Notonagoro

yang bersisi jika, penjelmaan keadilan sosial tidak hanya korelatif terhadap kepentingan

umum, tetapi juga kepentingan bersama, yang khusus dan perseorangan.8

Teknologi “SMART” sebagai People Power Menuju Konservasi Sosial Global

Guna mendukung “conservation movement” yang belum lama dicanangkan oleh

Unnes (Universitas Negeri Semarang), Fakultas Ilmu Sosial juga mengusung teknologi

SMART sebagai upaya menetaskan generasi berkualitas. Sesuai dengan pengertian pada

Kamus Besar Bahasa Indonesia, teknologi diartikan metode ilmiah untuk meraih tujuan

praktis.9 Sedangkan SMART

10 adalah singkatan dari metode ilmiah tersebut. Tujuannya

jelas, bahwa nantinya SMART dengan penghayatan nilai-nilai Pancasila, berupaya kuat

mencetak mahasiswa emas menuju “konservasi sosial global”. Berikut ini, penulis akan

mencoba menjabarkan role teknologi SMART menjadi people power dalam merealisasi

visi itu.

Pertama, “sehat”, yang dimaksud bukan hanya secara ragawi (jasmani) saja, tapi

juga sehat secara emosional dan spiritual (rohani). Sebagai contoh, mahasiswa yang kini

hanya sehat jasmaninya, perilakunya belum tentu pantas (bergaul larut malam, berfoya-

foya, serta bersikap hedonis lainnya). Begitu pula dengan mahasiswa, yang sebenarnya

dari segi religius telah kuat, ketika itu tidak sehat maka akan abuse ke gerakan ekstrimis

7 Demokrasi Indonesia yang saat ini diterapkan masih kental dengan unsur-unsur kebarat-baratan yang sesungguhnya tidak sesuai dengan “nilai luhur” bangsa Indonesia. Akibatnya, muncul beberapa anomali seperti kebebasan mengemukakan pendapat yang overdosis (cenderung anarkis). Jadi, demokrasi justru terkesan “candu” yang kebablasan, untuk kemudian membawa chaos. 8 Dikutip dalam Ibid, hlm. 226. 9 Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, 2008, hlm. 1654.

10 S: Sehat; M: Mandiri; A: Amanah; R: Religius; dan T; Tangguh, dalam bingkai konservasi sosial. Sedang “teknologi”, adalah kata imbuhan yang dibuat sendiri oleh penulis.

Page 4: INTERNALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM TEKNOLOGI “SMART” SEBAGAI PEOPLE POWER DEMI MENETASKAN GENERASI EMAS MENUJU KONSERVASI SOSIAL GLOBAL

4

dan radikalis (umpamanya: NII dan JI). Dalam hal ini, urgenitas sila pertama Pancasila

terinterpretasi pada motto Tri Kerukunan Umat Beragama-nya. Selain itu, makna sehat

dapat relevan di domain Organisasi Kampus. Misalkan, Unit Kegiatan Mahasiswa yang

sehat ialah organisasi yang menjunjung tinggi asas-asas demokratis (sesuai sila keempat

Pancasila). Kelesatarian nilai kerukunan dan kesehatan berorganisasi tersebut, akhirnya

bermuara menuju konservasi sosial global.

Kedua, “mandiri”, mengandung faedah agar mahasiswa bisa mandiri saat sedang

duduk di bangku perkuliahan maupun saat sudah lulus kuliah. Kemandirian melahirkan

pribadi yang kuat, tidak tergantung terhadap orang lain, namun juga tidak mengingkari

keniscayaan manusia sebagai makluk sosial yang perlu bersosialisasi. Bentuk dari nilai

tersebut misalnya, mahasiswa dapat mendirikan sebuah usaha berbasis ekonomi kreatif

yang berasal dari PKM. Mengingat, dukungan dan keyakinan pemerintah11

yang holistik

bagi generasi muda pada bidang industri kreatif menuju “pentas” global. Mandiri dalam

konteks ini ditopang oleh nilai sila ketiga Pancasila, yaitu “persatuan”. Berkat persatuan

mahasiswa beserta elemen kampus, akan semakin terbuka lebar jalan ke arah konservasi

sosial global.

Ketiga, “amanah”, ini bertalian erat dengan sikap integritas. Don Galer, beropini

bahwa integritas adalah what we say, what we do, what we say we do. Mahasiswa di sini

diminta untuk jujur antara ucapan dan perbuatannya, bukan ABS12

. Misalnya diterapkan

dalam praktik mengerjakan ujian semester semampu kemampuannya tanpa curang, atau

ketika pengajuan dana kegiatan organisasi yang tidak digelembungkan. Internalisasi dari

sila pertama (lewat aspek religius), kedua, dan kelima (berjiwa adil) Pancasila tercermin

sebagai pendorong sikap “amanah” tersebut. Kembali lagi, dengan begitu, people power

untuk mewujudkan visi konservasi sosial global dapat tercipta.13

Keempat, “religius”, bermakna melaksanakan dan memperteguh nilai-nilai religi

pada diri cendikia mahasiswa. Contoh, dengan mengadakan tadarus bersama atau kajian

rutin guna memperdalam ilmu ke-Islaman (bagi muslim), maupun persekutuan minggu

(bagi nasrani) serta aktivitas religi lainnya sesuai agama masing-masing. Secara internal

11 Cobalah lihat hasil Studi Industri Kreatif, Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2008, hlm. 40. 12 ABS (Asal Bapak Senang). 13

Pentingnya integritas bagi anak muda, dan (contoh) perannya dalam upaya melawan perilaku koruptif dapat dibaca pada Survei Integritas Anak Muda 2012, Transparency International Indonesia, 2012, hlm. 14.

Page 5: INTERNALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM TEKNOLOGI “SMART” SEBAGAI PEOPLE POWER DEMI MENETASKAN GENERASI EMAS MENUJU KONSERVASI SOSIAL GLOBAL

5

nilai ini memotivasi kita untuk senantiasa dekat kepada yang Maha Kuasa. Selanjutnya

secara eksternal, agar rasa dan sikap toleransi antar umat beragama selalu terpupuk. Sila

pertama, kedua, serta ketiga dari Pancasila yang menjadi landasan nilai tersebut. Lantas

kemudian, akan tetas insan yang cerdas spiritualnya menuju konservasi sosial global.

Kelima, “tangguh”, manifestasi dari sikap ulet dan tidak mudah putus asa. Setiap

mahasiswa memang dituntut untuk memiliki nilai serta sikap demikian. Semisal, dalam

ikhtiar mencapai prestasi yang optimal baik itu di tingkat universitas, nasional, maupun

global, mahasiswa perlu menanamkan prinsip tersebut sedari dini (ketika awal menjadi

mahasiswa). Sehingga, output yang mereka peroleh juga akan dapat maksimal. Sila dari

Pancasila yang menyemangati nilai “tangguh” di sini, yakni sila ketiga. Karena apabila

ditambah persatuan, maka ketangguhan terjaga pula konsistensinya.

Kelima nilai di atas (SMART) dengan internalisasi Pancasila di dalamnya, akan

menjadi people power untuk menetaskan generasi emas menuju konservasi sosial global

yang berawal dari Unnes. Selayaknya, teknologi SMART juga diterapkan pada seluruh

fakultas di Unnes tanpa terkecuali (tidak hanya di Fakultas Ilmu Sosial). Sebab, makna

konservasi sangat komprehensif, tak terbatas oleh aspek lingkungan semata. Melainkan

berkenaan pula dengan aspek-aspek lain, seperti aspek sosial. SMART diharapkan dapat

menciptakan mahasiswa yang bukan saja cerdas intelektual, namun juga cerdas spiritual

dan emosionalnya (karakternya). Betapa pentingnya kualitas “manusia” (SDM), bahkan

pernah diungkapkan Lee Kuan Yew (mantan PM Singapura), bahwa capital Singapura

sebagai negara maju adalah faktor “manusia”, tidak ada yang lain.

REFERENSI

_____ . 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

_____ . 2012. Survei Integritas Anak Muda 2012. Jakarta: Transparency International --

Indonesia.

Hamidi, Jazim, dkk. 2010. Civic Education. Jakarta: Gramedia Pusataka Utama.

Kaelan. 2002. Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Santoso, Listiyono, dkk. 2003. (de) Konstruksi Ideologi Negara. Yogyakarta: Ning-Rat.

Studi Industri Kreatif. 2008. Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025. Jakarta: -

Departemen Perdagangan Republik Indonesia.

Page 6: INTERNALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM TEKNOLOGI “SMART” SEBAGAI PEOPLE POWER DEMI MENETASKAN GENERASI EMAS MENUJU KONSERVASI SOSIAL GLOBAL

6

BIODATA PENULIS

a. Judul Esai : Internalisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Teknologi “SMART” -

sebagai People Power demi Menetaskan Generasi Emas Menuju

Konservasi Sosial Global

b. Nama Penulis : Arie Hendrawan

c. TTL : Kudus, 28 Agustus 1992

d. Nama PT : Universitas Negeri Semarang

e. Fak. & Jur. : Fakultas Ilmu Sosial & Politik dan Kewarganegaraan

f. Domisili : Ds. Jepang, RT05/ RW10, Kec. Mejobo, Kab. Kudus

g. Alamat Email : [email protected]

h. No. HP : 085740228837

i. Prestasi Menulis : 1). Juara 1 Lomba Esai Politik Unnes Tingkat Nasional 2012

2). Juara 1 Lomba Esai UGM Tingkat Nasional 2012

3). Juara 2 Artikel PPWI Tingkat Nasional 2012

4). Juara 3 Artikel Ilmiah UNY Tingkat Nasional 2012

5). 30 Besar Artikel ICI Tingkat Nasional 2012

6). Juara 1 Esai Undip Tingkat Jateng & DIY 2013

j. Scan KTM :

k. Scan Struk :