inkonstitusional pengangkatan kapolda di aceh...
TRANSCRIPT
INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH
DALAM OTONOMI KHUSUS
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MUHAMMAD ILHAM
NIM: 11150480000087
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2019 M
i
INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH
DALAM OTONOMI KHUSUS
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MUHAMMAD ILHAM
NIM: 11150480000087
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2019 M
v
ABSTRAK
Muhammad Ilham, Nim 11150480000087. INKONSTITUSIONAL
PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH DALAM OTONOMI KHUSUS. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta,1441 H/2019 M. ix- 89 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai pembatasan kewenangan
khusus yang dimiliki oleh Provinsi Aceh dalam pengangkatan Kapolda Aceh.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif . Dalam penelitian ini metode
pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi kepustakaan (Library Research) yaitu
dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan pengundang-undangan, buku-buku,
dokumen resmi, serta tulisan tulisan para sarjana yang berkaitan dengan skripsi ini..
Data yang telah dihimpun dan dianalisis menggunakan metode deskriptif eksplanatoris
atau penelitian non-doktrinal, yakni penelitian yang mengkhusus pada ilmu hukum
yang menggabungkan antara aspek normatif dan empiris. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan serta pendekatan
konseptual.
Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa seharusnya terdapat pembatasan atas
kewenangan khusus yang diberikan pemerintah Indonesia kepada Provinsi Aceh dalam
melaksanakan otonomi daerah, dalam hal ini pembatasan mengenai pengangkatan
Kapolda Aceh yang seharusnya merupakan kewenangan pusat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang mengatur, seperti yang diketahui dalam peraturan
perundang-undangan diatur batasan-batasan yang menjadi kewenangan pemerintah
pusat, yang antara lain kewenangan nya meliputi urusan pemerintahan yang bersifat
nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional
dan urusan tertentu dalam bidang agama, dalam penelitian ini menyinggung campur
tangan pemerintahan daerah dalam bidang keamanan. Seperti yang diungkapkan oleh
Bagir Manan bahwa “Tidak ada otonomi tanpa pengawasan dan otonomi bukanlah
kemerdekaan”.
Kata Kunci : Inkonstitusional, Otonomi Khusus, Pemerintah Pusat, Kepala
Kepolisian Daerah.
Pembimbing Skripsi : Abdul Qodir, S.H. M.Hum.
Daftar Pustaka : Tahun 1950 Sampai Tahun 2015.
vi
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بســــــــــــــــــم هللا الر
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan inayat-Nya
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Salawat beserta salam
tak luput dihaturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah berjasa bagi kita semua
dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.
Skripsi yang berjudul “Inkonstitusional Pengangkatan Kapolda Di Aceh
Dalam Otonomi Khusus” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi
peryaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilmu Hukum
Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara Fakultas Syarian dan Hukum Universitas
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan
mengatasi berbagai macam hambatan, rintangan, ujian, dan tantangan yang
mengganggu proses penyelesaian skripsi ini, Penulis banyak mendapatkan bimbingan,
arahan, serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi
dalam pembuatan skripsi ini.
3. Abdul Qodir, SH. M.Hum. pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing peneliti dalam menyelesaikan
skripsi, sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
4. Dr. JM Muslimin, M.A. Dosen Pembimbing Akademik yang telah mendukung dan
memberi dukungan kepada peneliti
vii
5. Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu
dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti mengadakan studi
kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Kepala urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah membantu peneliti dalam menyediakan fasilitas yang memadai
dalam segi kepustakaan.
7. Semua pihak terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu. Tidak ada yang
dapat peneliti berikan untuk membalas jasa-jasa kalian, kecuali dengan doa dan
ucapan terimakasih.
Peneliti menyadari dalam penelitian skripsi ini banyak terdapat kekurangan dan
perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan dan
penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Sekian dan terimakasih.
Jakarta, 19 September 2019
Muhammad Ilham
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .............. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................. ................. 6
D. Metode Penelitian .................................................................. 7
E. Sistematika Penulisan ........................................................... 10
BAB II TINJAUAN DAERAH OTONOMI KHUSUS DALAM NEGARA
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ................................. 12
A. Kerangka Konseptual ............................................................ 12
1. Inkontitusional ............................................................... 12
2. Kekhususan .................................................................... 12
3. Pengangkatan ………………………………………….. 12
4. Kapolda .......................................................................... 13
5. Povinsi Aceh .................................................................. 13
6. Desentralisasi ................................................................. 14
B. Kerangka Teoritis .................................................................. 14
1. Teori Negara Kesatuan ................................................... 14
2. Teori Otonomi Daerah ................................................... 19
3. Teori Hirarki Perundang-undangan .............................. 25
C. Kajian (Review) Studi Terdahulu .......................................... 28
ix
BAB III SEJARAH OTONOMI KHUSUS DAN LEMBAGA KEPOLISIAN
DI INDONESIA .......................................................................... 31
A. Sejarah Pemberian Otonomi Khusus di Indonesia ................ 31
1. Sejarah Pemberian Otonomi Khusus Papua ……………. 32
2. Sejarah Pemberian Otonomi Khusus Aceh …………….. 36
3. Sejarah Pemeberian Otonomi Daerah Istimewa Yogyakarta 40
4. Sejarah Pemberian Otonomi Khusus DKI Jakarta …….. 45
B. Otonomi Khusus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ..48
C. Kepolisian Republik Indonesia di Tinjau dari Konsep Lembaga
Negara .................................................................................... 61
BAB IV PENGANGKATAN KAPOLDA DI DAERAH OTONOMI DALAM
KHUSUS KERANGKA NEGARA KESATUAN ................... 66
A. Pengangkatan Kapolda dalam Negara Kesatuan ................... 66
B. Inkonstitusional Pengangkatan Kapolda Di Aceh dalam Otonomi
Khusus .................................................................................. 76
BAB V PENUTUP ................................................................................... 84
A. Kesimpulan ........................................................................... 84
B. Rekomendasi ......................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 86
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembagian kekuasaan dan penyelengaraan negara adalah salah satu ciri
dari negara demokrasi, terdapat berbagai badan penyelenggara kekuasaaan.
Pembagian kekuasaan menurut fungsinya menunjukkan perbedaan antara
fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang
lebih dikenal sebagai Trias Politika.
Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga
macam kekuasaan: Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat
Undang-Undang (dalam peristilahan baru sering disebut (rule making function);
kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan Undang-Undang (rule
application function). ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas
pelanggaran Undang-Undang (rule adjudication function). Trias politika adalah
suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak
diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan
kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian hak-hak asasi warga
negara lebih terjamin.1
Namun apabila dalam negara yang sedang berkembang dimana
kehidupan ekonomi dan sosial telah menjadi demikian kompleksnya serta badan
eksekutif mengatur hampir semua aspek kehidupan masyarakat, trias politica
dalam arti “pemisahan kekuasaan” yang dikemukakan oleh Montesquieu tidak
dapat dipertahankan lagi. Dengan perkembangan konsep mengenai negara
kesejahteraan (Welfare state) dimana pemerintah bertanggung jawab atas
kesejahteraan seluruh rakyat dank arena itu harus menyelenggarakan
perencanaan perkembangan ekonomi dan sosial secara menyeluruh, maka fungsi
kenegaraan sudah jauh melebihi tiga macam fungsi yang disebut oleh
Montesquieu.2
1 Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005),
h. 282 2 Y.W. Sunindhia, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1987), h. 55
2
Otonomi daerah merupakan salah satu upaya pemerintah dalam
mewujudkan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yang
berlandaskan Pancasila dan Pasal 18 Ayat (1) UUD 945 berbunyi : “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah
Provinsi dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan
Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Semaun berpendapat bahwa pemerintahan negara modern akan tersusun dari: (a)
pemerintah dan parlemen; (b) pemerintah provinsi dan dewan provinsi; (c)
pemerintah kota dan dewan kota. Selanjutnya Mohammad Hatta mengatakan,
bahwa pembentukan pemerintahan daerah (pemerintahan yang berotonomi)
merupakan salah satu aspek pelaksanaan kedaulatan rakyat (demokrasi), yakni
hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada puncak pimpinan
negeri, melainkan juga pada tiap tempat di kota, desa dan daerah.
Gagasan tersebut dapat dipahami mengingat kondisi geografis
Indonesia yang sangat luas dengan kemajemukanya menyebabkan tuntutan
kebutuhan untuk mengakomodasinya dalam penerapan desentralisasi dan
otonomi daerah. Pembentukan pemerintahan daerah sesuai dengan Pasal 18
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat disamping sebagai sarana pendidikan politik ditingkat lokal.
Pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui
otonomi seluas-luasnya daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan,
kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman dalam sistem NKRI.
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hal ini
3
sesuai dengan Pasal 1 Angka (5) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah.3
Otonomi daerah merupakan bagian dari desentralisasi yang berarti
pelimpahan wewenang pada badan-badan dan golongan dalam masyarakat
dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Kemudian di
dalam Pasal 18B Ayat 1 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
menyatakan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang”. Ketentuan Pasal 18B Undang-undang Dasar 1945 ini
menyiratkan bahwa Negara Republik Indonesia memberikan peluang kepada
daerah untuk menyelenggarakan otonomi khusus, daerah khusus maupun daerah
Istimewa seperti daerah Papua, Nanggroe Aceh Darusalam (NAD), Daerah
Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dan Daerah Istimewa (D.I. Yogyakarta), untuk
menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi
kepentingan nasional, pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam
wilayah provinsi dan /atau kabupaten/kota. Kawasan khusus adalah kawasan
strategis yang secara nasional menyangkut hajat orang banyak.
Dalam menjaga keamanan, daerah dapat membentuk lembaga
kepolisian di daerahnya masing-masing, lembaga kepolisian ini adalah lembaga
yang dibentuk untuk menjaga stabilitas dan keamanan kawasan, dalam setiap
daerah dikepalai oleh polisi yang berwenang, seperti daerah provinsi dikepalai
oleh Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), Kapolda adalah pimpinan kepolisian
di masing-masing daerah dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi
kepolisian di daerah yang bertanggung jawab langsung pada Kepala Kepolisian
Republik Indonesia (Kapolri).
Pengertian Kapolda terdapat pada Pasal 54 Peraturan Presiden Nomor
5 Tahun 2017 Tentang Susunan dan dan Tata kerja Kepolisian Negara Republik
Indonesia: “Kapolda merupakan jabatan eselon IIA setinggi-tingginya eselon
IB”, Kapolda diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri)
3 Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka
Mandiri, 2010), h. 81
4
setelah dikonsultasikan dengan presiden, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal
57 Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2017: “Pengangkatan dan pemberhentian
pejabat pada jabatan dan kepangkatan Perwira Tinggi (PATI) bintang dua keatas
atau yang termasuk dalam lingkup jabatan eselon IA dan IB ditetapkan oleh
Kapolri setelah dikonsultasikan dengan Presiden. Peraturan Presiden ini adalah
tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dapat dipahami bahwa pengangkatan Kapolda
dilakukan oleh Kapolri dengan berkonsultasi dengan Presiden, namum peraturan
ini berbeda dengan isi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh, didalam Pasal 205 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
“Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dilakukan oleh Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.
Jika melihat ketentuan dari Pasal 18B Ayat (2) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia: “Negara mengakui serta menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pasal ini merupakan dasar dari pembentukan otonomi daerah namun didalamnya
juga terkandung bahwa suatu kesatuan dan hak-hak tradisionalnya diakui dan
dihormati jika sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar di pimpin
oleh Presiden Pasal 4 Ayat (1) “Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar”, dalam hal
pengangkatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia diangkat oleh
Presiden sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara dikatakan bahwa: “Kapolri diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Kepolisian adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat bertugas melindungi, dan melayani masyarakat, serta menegakkan
hukum, hal ini tertuang dalam Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
5
Pengangkatan Kapolda dengan Persetujuan oleh Gubernur yang
terdapat di dalam Pasal 205 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintah Aceh bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (5) Undang-Undang Dasar
mengenai pembatasan urusan yang menjadi kewenangan antar pemefrintah pusat
dengan daerah menimbulkan kekhawatiran terjadinya balas jasa antara Kapolda
dengan Gubernur yang memberikan persetujuan, hal ini di khawatirkan akan
berdampak pada proses penegakan hukum yang dibebankan negara kepada
lembaga kepolisian, hal ini dikarenakan peraturan yang mengatur bahwa
pengangkatan Kapolda Aceh harus dengan persetujuan gubernur terkait,
kemudian dalam penyelesaian masalah atau penegakan hukum dianggap lambat
apabila masalah atau kasus tersebut menyangkut orang terdekat atau orang yang
berada disekitar gubernur, hal inilah yang menjadi kekhawatiran jika saja
Kapolda harus mendapatkan persetujuan Gubernur.
Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan
penilitian dengan judul “INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN
KAPOLDA DI ACEH DALAM OTONOMI KHUSUS”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah peneliti paparkan, maka
dapat diidentifikasi beberapa masalah dalam penelitian ini, adalah:
a. Adanya ketentuan bagi daerah otonomi Aceh mengenai pengangkatan
Kepala Kepolisian Aceh harus berdasarkan Persetujuan Gubernur yaitu
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
b. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak
sejalan dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri
c. Adanya Perbedaan dalam pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Aceh
dengan daerah lainnya.
d. Pengangkatan Kapolda Aceh harus dengan persetujuan Gubernur.
6
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini maka peneliti
membatasi yaitu, pengangkatan Kapolda Aceh harus dengan persetujuan
Gubernur.
3. Perumusan Masalah
Untuk mempertegas arah pembahasan dari permasalahan utama yang
telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan masalah skripsi ini adalah
Pengangkatan Kapolda Aceh harus ada persetujuan Gubernur? untuk
mempermudah peneliti, maka rumusan masalah tersebut dibuat pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana mekanisme pegangkatan Kapolda di otonomi daerah dalam
negara kesatuan?
b. Apakah mekanisme pengangkatan Kapolda Aceh dengan persetujuan
gubernur sudah sesuai dengan prinsip negara kesatuan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian kewenangan daerah Khusus Aceh dalam
pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Aceh atas persetujuan Gubernur
memiliki tujuan yaitu:
a. Mengetahui, memahami dan menganalisa kewenangan yang dimiliki oleh
Aceh dalam hal pengangkatan Kapolda Aceh.
b. Untuk mengetahui pengangkatan Kapolda Aceh dengan persetujuan
Gubernur sudah sesuai atau tidak dengan prinsip negara kesatuan
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk:
a. perkembangan dalam bidang ilmu hukum khususnya dalam hukum formil.
Secara teoritis penelitian ingin memberikan manfaat terhadap
b. Menerapkan teori-teori yang telah diperoleh dari bangku perkuliahan
untuk dipraktekan di lapangan.
7
c. Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat guna memberikan masukan
kepada lembaga legislatif agar lembaga legislatif membuat suatu undang-
undang untuk daerah khusus agar dapat memberikan hak yang sama
dengan daerah lain.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan
penulis sebgai berikut:
1. Pendekatan penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan
berbagai data dari berbagai macam sumber buku, artikel, atau berita.4
Penelitian hukum normatif didefinisikan sebagai penelitian yang mengacu
pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan dan putusan pengadilan. Disebut juga sebagai penelitian hukum
doctrinal, yaitu penelitian terhadap hukum yang dikonsepkan dan
dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut pengkonsep atau dalam
pengembangannya.5
Dalam penelitian ini digunakan analisis induktif, karena yang digarap
adalah norma-norma hukum. Menurut Seojono Soekanto penelitian hukum
normatif adalah Penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder belaka. Pada penelitian hukum jenis ini hukum
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan
(law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.
4 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) h. 23
5 Fahmi Muhamad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:
Lembaga Penelitian, 2010) h. 32
8
2. Jenis Penelitian
Penelitian menggunakan jenis penilitian normatif yang dimana
mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma
hukum yang ada dalam masyarakat.6
Metode penelitian normatif adalah metode atau cara yang dipergunakan
dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
yang ada.7 Metode penelitian hukum normative juga bisa disebut sebagai
penelitian terhadap asas-asas hukum atau norma, yaitu penelitian yang
dilakukan terhadap asas-asas hukum dan taraf sinkronisasi hukum.8
3. Sumber Bahan Hukum
Karakteristik utama penelitian ilmu hukum normative dalam
melakukan pengkajian hukum terletak pada sumber datanya.9 Sumber
utamanya adalah bahan hukum, karena dalam penelitian hukum normative
yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat
normative. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh peneliti
dari berbagai kepustakaan serta peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. Data yang diperoleh dan diolah
dalam penelitian ini berasal dari kepustakaan, yakni data yang didapatkan
melalui kegiatan studi dokumen berupa buku-buku, makalah dan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan pembahasan yang akan
disampaikan dalam penelitian ini. Bahan hukum yang hukum yang hendak
6 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 105
7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), cet. 11, h. 13–14
8 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1997), h. 41-42
9 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), h.
86
9
dikaji atau menjadi acuan berkaitan dengan permasalahannya dalam
penelitian10, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakam bahan hukun yang bersifat autoratif,
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri atas
perundang-undangan, atau catatan-catatan resmi.11 Adapun bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-undang Dasar Negara
Indonesia Tahun 1945, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia serta
Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Kepolisian Republik Indonesia.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum sekunder dalam penelitian ini yaitu menggunakan buku-
buku yang berkaitan dengan Politik Hukum buku mengenai Hukum Tata
Negara dan Politik, Skripsi Hukum Tata Negara dan Jurnal-Jurnal yang
berkaitan dengan sumber hukum materi.
c. Bahan Hukum Tersier
Merupakan bahan atau rujukan yang berupa petunjuk atau penjelasan
bermakna terhadap bahan hukum prmer dan sekunder seperti kamus
hukum, ensiklopedia, berita hukum, blog mengenai hukum dan lain-lain.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penulisan ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data
secara Studi Kepustakaan yang mana peneliti mengumpulkan buku-buku
yang berkaitan dengan pembahsan yang ingin di teliti (inventarisasi), dan
peneliti memilih data dan mengolah data yang telah di kumpulkan kedalam
10 Umu Ilmy, Metodologi Penelitian dari Konsep Ke Metode : Sebuah Pedoman Praktis
Menyusun Proposal dan Laporan Penelitian, (Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
2000), h. 35 11 Peter Muhammad Marzuki, Penelitian Hukum, Ed. Revisi, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia, 2005), h. 181
10
sumber dat hukum primer, sekunder, dan tersier (klasidikasi), dan peneliti
menyusun data-data yang diperoleh dan telah diklasifikasi menjadi uraian
yang teratur dan sistematis.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini mendeskripsikan data-data yang diperoleh selama
penelitian dalam bahan-bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam
penelitian hukum kepustakaan.12 Yang mana menjadi fokus penelitian ini
yaitu analisis kualitatif yang menggunakan fenomena kasus maupun
permasalahan yang tengah terjadi yaitu seputar pengangkatan Kapolda Aceh
atas Persetujuan Gubernur.
6. Teknik Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini peneliti mengacu pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.
E. Sistematika Penulisan
Untuk menjelaskan isi skripsi secara menyeluruh kedalam penulisan
yang sistematis dan tersrtuktur maka pada skripsi ini penulis susun denga
sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab yaitu sebagai berikut:
BAB I Berisi mengenai uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Dalam bab ini membahas tinjauan yang berisi teori-teori yang
digunakan untuk menganalisis dan mengintererpretasikan data
penelitian. Kajian Pustaka ini diawali dengan pemaparan kerangka
konsep yang kemudian diikuti dengan pemaparan dari kerangka
teori. Kajian Pustaka yang baik akan membantu peneliti dalam
merumuskan hipotesis dari penelitian tersebut. Selain itu, juga
12 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004), h. 52
11
terdapat review (tinjauan ulang) hasil studi terdahulu pada sub bab
kedua dari Bab II, dimana peneliti menelusuri dan mendeskripsikan
hasil penelusuran terhadap penelitian terdahulu yang serumpun.
BAB III Dalam bab ini akan membahas mengenai sejarah pemberian
otonomi khusus yang ada di Indonesia. Disamping itu juga
membahas mengenai sejarah pembentukan Kepolisian di Indonesia
serta tugas pokok dan fungsinya.
BAB IV Dalam bab ini akan memuat analisis dan interpretasi peneliti terkait
mekanisme pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah di Indonesia
berikut analisis terhadap aturan yang ada di Indonesia. Bab ini juga
membahas perbedaan mekanisme pengangkatan Kepala Kepolisian
Aceh terhadap aturan yang ada di Indonesia serta kewenangan
khusus yang dimiliki Aceh.
BAB V Bab ini berisikan kesimpulan dan rekomendasi atas temuan yang
diperoleh peneliti dari permasalahan yang diangkat pada penelitian
ini.
12
12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG DAERAH OTONOMI KHUSUS DALAM
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
A. Kerangka Konseptual
1. Inkonstitusional
Inkonstitusional menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan menurut para
ahli berasal dari kata –in-kon-sti-tu-si-o-nal arti kata inkonstitusional adalah
tidak berdasarkan konstitusi atau undang-undang dasar, bertentangan dengan
(melanggar) undang-undang dasar.1
2. Kekhususan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kekhususan berasal dari kata
khusus, kekhususan juga berarti keistimewaan2, kekhususan memeiliki arti dalam
kelas nomina atau kata benda, sehingga kekhususan dapat menyatakan nama dari
seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibedakan.
3. Pengangkatan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pengangkatan Nomina (kata
benda) proses, cara, perbuatan mengangkat3; ketetapan atau penetapan menjadi
pegawai (naik pangkat dan sebagainya), pengangkatan memiliki 2 arti.
Pengangkatan berasal dari kata dasar angkat. Pengangkatan adalah sebuah
homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi
maknanya berbeda. Pengangkatan memilili arti dalam kelas nomina atau kata
benda sehingga pengangkatan dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat,
atau semua benda dan segala yang dibendakan.
1 https://www.kbbi.web.id/inkonstitusional, diakses pada sabtu 28 September 2019, Pukul
21.08 WIB 2 https://kbbi.web.id/khusus, diakses pada senin 24 Juni 2019, Pukul 21.07 WIB 3https://kbbi.kata.web.id/pengangkatan/, diakses pada senin 24 Juni 2019, Pukul 21.07 WIB
13
4. Kapolda
Pengertian Kapolda terdapat pada Pasal 54 Peraturan Presiden Nomor 52
Tahun 2010 Tentang Susunan dan dan Tata kerja Kepolisian Negara Republik
Indonesia Kapolda adalah jabatan eselon IIA setinggi-tingginya eselon IB”,
Kapolda diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) setelah
dikonsultasikan dengan Presiden.
Kepolisian Daerah (Polda) merupakan satuan pelaksana utama
kewilayahan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berada di bawah
Kapolri. Polda bertugas menyelenggarakan tugas Polri pada tingkat kewilayahan
I seperti Provinsi atau Daerah Istimewa. Polda merupakan perpanjangan tangan
langsung dari Mabes Polri. Polda dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Daerah (Kapolda), yang bertanggung jawab kepada Kapolri.
Kapolda dibantu oleh Wakil Kapolda (Wakapolda).
5. Provinsi Aceh
Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum
yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai degan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarka Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh
seorang gubernur.
Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam system
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang dilakssanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
14
6. Desentralisasi
Menurut Logeman dan Livtack4, desentralisasi ialah sebagai pelimpahan
kewenangan dari pusat kedaerah. Salah satu permasalahan yang mendasar adalah
pendelegasian kewenangan kepada pemerintahan daerah serta seberapa besar
kewenangan yang dilimpahkan atau diserahkan kepada daerah dalam mengurus
dan mengatur pelaksanaan pemerintahan di daerah. Diferensiasi masalah yang
begitu kompleks didaerah tidak mungkin diurus (ditangani) semua oleh
pemerintah pusat. Untuk menjebarani hal ini, maka titik pemecahan melalui
pembagian kekuasaan atau kewenangan atntara pemeritah pusat dengan
pemerintah di daerah-daerah.
B. Kerangka Toritis
Kerangka Teori adalah kemampuan seorang peneliti dalam
mengaplikasikan pola berfikirnya dalam menyusun secara sistematis teori-teori
yang mendukung permasalahan penelitian.
1. Teori Negara Kesatuan
Negara Kesatuan adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara,
melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam
negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah,
yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi
dalam bidang pemerintahan Negara, menetapkan kebjakan pemerintahan dan
melaksanakan pemerintahan Negara baik di pusat maupun di daerah-daerah.5
Masing-masing negara di dunia memiliki bentuk negara, tidak terkecuali
Indonesia. Berangkat dari sejarah yang panjang atas perebutan kemerdekaan
bangsa Indonesia, dan melalui perdebatan panjang para the founding fathers
4 Agussalim Andi, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2007), h. 81 5 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2000), h. 224
15
republik ini, maka bersepakatlah Negara Kesatuan (unitaris) adalah keputusan
final dari bentuk Negara Indonesia. Walaupun di awal-awal menjelang
kemerdekaan, perdebatan yang begitu banyak menguras energi saat itu adalah
perdebatan tentang dasar negara Indonesia (philosofiche grondslag) dan bentuk
negara.
Terdapat dua kelompok pandangan dalam sidang BPUPKI yang berbeda
pandangan, yaitu kelompok nasionalis Islam yang menghendaki Indonesia
berdasarkan Agama (Islam). Sedangkan kelompok yang kedua dari kalangan
nasionalis sekuler, yang menghendaki dasar negara Indonesia harus ada
pemisahan antara hubungan agama dan negara. Kedua kelompok tersebut saling
mempertahankan pendapatnya masing-masing, sehingga menemui jalan buntu.
Akibat saling bersikukuh, pada akhirnya dibentuklah Panitia kecil yang
beranggotakan sembilan orang atau dikenal dengan sebutan (Panitia 9). Tepatnya
pada tanggal 22 Juni 1945, kedua kelompok tersebut mencapai sebuah
kesepakatan dalam bentuk kompromis, atau meminjam istilah Mahfud MD
mencapai modus vivendi (kesepakatan luhur) dari kedua pihak.6 Adapun hasil
dari kesepakatan kedua pihak terangkum ke dalam sebuah piagam yang
kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Berawal dari
perdebatan dasar negara hingga perumusan bentuk negara yang kemudian
menjadi rumusan dalam UUD nantinya.
Perubahan pembukaan UUD dan batang tubuh UUD hasil kerja BPUPKI
ini oleh PPKI mencerminkan kuatnya perdebatan mengenai paham yang
berkembang di tubuh panitia itu, yakni golongan kebangsaan atau nasionalis
sekuler dan golongan Islam atau golongan nasionalis religius. UUD 1945 yang
disahkan PPKI tersebut terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh dimana
6 Moh Mahfud MD, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: UII Press,
1993), h. 44
16
Batang Tubuh terdiri dari 16 Bab, dan 37 Pasal, empat pasal Aturan
Peralihan, dan dua ayat Aturan Tambahan.7 Dalam sejarah keberlakuan UUD
1945 ternyata tidak berlangsung lama. Belum lagi mencapai usia lima tahun
UUD ini diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang
berlaku sejak tanggal 27 Desember 1949. Pergantian UUD terjadi karena
terjadinya perubahan bentuk negara, dari negara kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan UUD 1945, diganti dengan negara Indonesia Serikat yang
berdasarkan konstitusi RIS. Hal itu diakibatkan oleh situasi dan kondisi politik
serta militer di tanah air. Akhirnya terbitlah Undang-undang Federal No. 7 Tahun
1950 pada tanggal 15 Agustus 1950. Yang isinya adalah Indonesia kembali
menjadi negara kesatuan dengan memberlakukan UUDS 1950 yang merupakan
hasil perubahan dari konstitusi RIS.
Adapun konsep dan gagasan tentang terbentuknya negara kesatuan sendiri
jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Hal demikian itu pernah dikemukakan
Yamin. Bahwa dasar unitarisme sejak Kongres Indonesia Muda (Sumpah
Pemuda) 28 Oktober 1928 membuang dasar federalisme dan kebusukan rasa
kepulauan atau kedaerahan (insularisme, provincialisme) dan menanam kesatuan
Indonesia atas dasar persatuan bangsa, daerah tanah air dan bahasa di bawah
lindungan satu bendera Merah-Putih.8
Kongres Pemuda yang dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober itu
merupakan gagasan awal tentang cita-cita negara kesatuan. Diantaranya hasil
dari kongres tersebut yang kemudian dikenal dengan sebutan “Sumpah Pemuda”
yang berisikan komitmen berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu
Indonesia. Dengan demikian komitmen persatuan di dalam negara kesatuan
merupakan bagian dari resultante politik para pendiri republik ini. walaupun
7 Slamet Effendy Yusuf & Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, (Jakarta: PIS, 2000),
h. 10 8 M. Yamin. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1951), h. 81
17
sejatinya ada beberapa kalangan berpendapat yang membedakan makna
“kesatuan” dan “persatuan”.
Jika mengacu pada teori–teori modern, maka bentuk negara terdapat dua
bentuk, yaitu bentuk negara kesatuan (unitarisme) dan bentuk negara serikat
(federal). Negara kesatuan ialah, suatu negara yang merdeka dan berdulat, dan
seluruh negara yang berkuasa hanya ada satu pemerintah (pusat) yang mengatur
seluruh daerah. Negara kesatuan pada umumnya menggunakan dua sistem
pemerintahan, ada kalanya menggunakan sistem sentralisasi dan ada pula yang
menggunakan sistem desentralisasi. Sistem desentralisasi, merupakan pilihan
asas yang tepat bagi negara kesatuan, dibandingkan asas otonomi.9 Sedangkan
Indonesia sendiri adalah negara kesatuan dengan menganut sistem desentralisasi.
Mengenai termenologi “kesatuan” dalam negara kesatuan. Dalam hal ini
diungkapkan oleh Jimly Asshiddiqie. Bahwa istilah kesatuan yang bersifat
persatuan itu harus dikembalikan kepada bunyi rumusan sila ketiga dalam
Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia”, bukan “Kesatuan Indonesia”. Karena
menurut Jimly, persatuan istilah filsafat dan prinsip bernegara, sedangkan
kesatuan adalah istilah bentuk negara yang bersifat teknis. Bentuk negara keatuan
telah termaktub dalam Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945“. Negara Indonesia adalah
Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Negara kesatuan merupakan
konsepsi tentang bentuk negara, dan republik adalah konsepsi mengenai bentuk
pemerintahan yang dipilih dalam rangka UUD 1945.10
Berbeda dengan pendapat Jimly. Kusnardi dan Harmaily11 Ibrahim
mempunyai pendapat yang berbeda mengenai istilah “bentuk” negara kesatuan.
Ia berpendapat, istilah “bentuk” ada kalanya digunakan sebagai kesatuan atau
federasi, dan ada kalanya juga digunakan sebagai istilah republik. Seharusnya
9 Ni’matul Huda, Berkayuh diantara Bentuk Negara Kesatuan dan Federal, Jurnal Konstitusi
PSHK UII, Vol.1. No. 01, h. 60 10 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 213 11 Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet ke-5
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, FH UI,1983), h.166
18
istilah “bentuk” digunakan dan ditujukan kepada pengertian republik. Sedangkan
istilah “susunan” lebih tepatnya digunakan dalam pengertian negara kesatuan
atau federasi. Sehingga akan mendapatkan pengistilahan bentuk negara adalah
republik, sedangkan susunan negaranya adalah negara kesatuan atau federasi.
Pendapat ini didasarkan kepada penyebutan bentuk di dalam UUD 1945, UUD
RIS, dan UUD Sementara 1950, serta dalam Mukadimahnya.
Apabila dilihat dalam UUD 1945 Pasal I ayat (1), bahwa Indonesia ialah
Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Sedangkan prinsip negara kesatuan
ialah, bahwa yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan
negara ialah pemerintahan pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan
kekuasaan kepada pemerintah daerah. Dalam negara kesatuan terdapat asas
bahwa seganap urusan-urusan negara tidak dibagi antara pemerintah pusat
(centarl government) dan pemerintah lokal (local government), sehingga urusan
–urusan negara dalam negara-negara kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan
(eenheid) dan pemegang kekuasaan tertinggi di negara tersebut ialah pemerintah
pusat.12
Dalam negara kesatuan, tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Akan
tetapi, sistem pemerintahan Indonesia yang salah satunya menganut asas negara
kesatuan yang didesentralisasikan, menyebabkan ada tugas-tugas tertentu yang
di urus sendiri, sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahikan
adanya hubungan kewenangan dan pengawasan.
Sedangkan menurut C.S.T. Kansil, negara kesatuan merupakan negara
yang merdeka dan berdaulat dimana di seluruh negara yang berkuasa hanyalah
satu pemerintah (pusat) yang mengatur seluruh daerah. Negara kesatuan dapat
pula berbentuk negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, dimana segala sesuatu
dalam negara tersebut langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, dan
12 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Grafindo Persada, 2005), h. 92
19
daerah-daerah tinggal melaksanakannya. Kemudian yang kedua, negara kesatuan
dengan sistem desentralisasi, dimana kepada daerah diberikan kesempatan dan
kekuasaan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri
(otonomi daerah) yang dinamakan swantara.13
Pada negara kesatuan ini terdapat juga dua model yaitu:
1. Negara kesatuan dengan sistim sentralisasi, yang artinya semua urusan
dalam negara tersebut langsung diatur oleh pemerintah pusat. Daerah tidak
punya hak untuk mengatur tetapi hanya punya kewajiban untuk
melaksanakan urusan yang telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah
pusat.
2. Negara kesatuan dengan sistim desentralisasi, yang artinya kepada daerah
diberi hak untuk ikut mengatur urusan rumah tangganya sendiri (otonomi
daerah). Kekuasaan untuk mengatur urusan pemerintahan daerah ada pada
pemerintah pusat, tetapi karena luasnya wilayah, banyaknya penduduk,
luasnya urusan pemerintahan yang akan dilaksanakan di seluruh negara
tersebut, maka sebagian urusan tersebut didistribusikan kepada daerah
(pendelegasian wewenang) dari pemerintah pusat kepada daerah.
Pendelegasian wewenang (pemberian otonomi daerah) tidak berarti
daerahnya mempunyai kedaulatan sendiri, yang dapat sebebas-bebasnya
mengatur pemerintahannya tanpa menghiraukan rambu-rambu hukum
sebagai negara kesatuan.14
2. Teori Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, autonomos atau autonomia
yang berarti “keputusan sendiri” (self-rulling). Otonomi dapat mengandung
beberapa penegertian sebagai berikut:
13 C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, cetakan kedua, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985), h. 71-72 14 Taufiqurrahman, dkk, Bahan Ajar Hukum Tata Negara, (Bengkulu: Universitas Bengkulu,
2006), h. 90
20
a. Otonomi adalah suatu kondisi atau ciri untuk “tidak” dikontrol oleh pihak
lain atau kekuatan luar.
b. Otonomi adalah bentuk “pemerintahan sendiri (self-government), yaitu hak
untuk memerintah atau menentukan nasib sendiri.
c. Pemerintahan sendiri yang dihormati, diakui dan dijamin tidak adanya
control dari pihak lain terhadap fungsi daerah (local or internal affair) atauu
terhadap minoritas suatu bangsa.
d. Pemerintah otonomi memiliki pendapatan yang cukup untuk menentukan
nasib sendiri, memenuhi kesejahteraan hidup mauapun dalam mencapai
tujuan hidup secara adil.15
Otonomi daerah merupakan esensi pelaksanaan pemerintahan yang
desentralistik, namun dalam perkembangan otonomi daerah, selain mengandung
arti zelfwetgeving (membuat perda), juga mencangkup zelfbestuur (pemerintahan
sendiri).
Van der pot16 memahami konsep otonomi daerah sebagai eigen
huishouding (menjalankan rumah tangga sendiri), otonomi adalah pemberian hak
kepada daerah untuk mengatur sendiri daerahnya. Daerah mempunyai kebebasan
inisiatif dalam penyelenggaraan rumah tangga dan pemerintahan di daerah.
Selain itu, bisa dimaknai sebagai kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan
zelfsandingheid) satuan pemerintah lebih rendah untuk mengatur dan mengurus
sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diaturdan
diurus secara bebas dan mandiri itu, menjadi tanggung jawab satuan
pemerintahan yang lebih rendah. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakikat
isi otonomi.
15 Ms. Shiddiq, Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita,
2003), h. 168. 16 Agussalim Andi, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2007), h. 108
21
Pengertian “otonomi daerah” menurut Pasal 1 Angka 6 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah untuk mengatur dan menggurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, R.D.H Koesomahatmadja
berpendapat bahwa dengan diberikannya hak dan kekuasaan” perundangan dan
pemerintah kepada daerah otonom seperti Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka
daerah tersebut dengan inisiatifnya sendiri dapat mengurus rumah tangganya
daerahnya. Untuk menggurus rumah tangga daerah tersebut dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu: Pertama, membuat produk-produk hukum daerah yang
tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 maupun perundang-
undangan lainnya. Kedua, menyelenggarakan kepentingan-kepentingan umum.17
Pengertian lebih jauh mengenai otonomi ialah penyerahan urusan sebanyak
mungkin yang dilakukan oleh pemerintah pusat ke daerah untuk menjadi rumah
tangga sendiri. Prinsip otonomi daerah dalam perkembangan sejarah
ketatanegaraan di Indonesia didasari pada landasan hukum yang berbeda-beda.
Pada masa pemerintahan Ir. Soekarno (Orde Lama) lain dengan masa
pemerintahan Soeharto (Orde Baru), demikian pula dengan masa pemerintahan
B.J Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang
Yudhoyono, serta masa Joko Widodo sekarang ini.
Konsep pemikiran tentang Otonomi Daerah, mengandung pemaknaan
terhadap eksistensi otonomi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pemikiran pertama, bahwa prinsip otonomi daerah dengan menggunaka prinsip
otonomi seluas-luasnya ini mengandung makna daerah diberikan kewenangan
membuat kebijakan daerah, untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran
serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan
kesejahteraan rakyat.
17 R.D.H. Koesomahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia,
(Bandung: Penerbit Bina Cipta, 1979), h. 16
22
Pemikiran kedua, bahwa prinsip otonomi daerah dengan menggunakan
prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata
adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada serta
berpotensi untuk tumbuh, hidup berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan
daerah. Dengan demikian, isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu
sama dengan daerah lainnya. Adapun otonomi yang bertanggung jawab adalah
otonomi yang dalam penyelengaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan
dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan
daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian
utama dari tujuan nasional.18
Jika dilihat dari pengertian yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014, terdapat perbedaan antara pengertian otonomi daerah dengan
desentralisasi, kita sering mengganggap pengertian keduanya mempunyai arti
yang sama, namun jika kita melihat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
terdapat perbedaan pengertian antara keduanya, jika kita melihat pengertian
otonomi daerah menurut Pasal 1 Angka 6 “ otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat dalam system Negara
Kesatuan Republik Indonesia”. Sedangkan, pengertian dari desentralisasi
terdapat didalam Pasal 1 Angka 8 “Desentralisasi adalah penyerahan urusan
pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas
otonomi”.
Mengacu pada definisi pengertian tersebut maka unsur dari otonomi daerah
adalah:
1. Hak.
18 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Sinar Grafika, Jakarta,
2012), h. 8
23
2. Wewenang.
3. Kewajiban.
Desentralisasi dalam Pasal 1 Angka 8 hanya berisi mengenai penyerahan
urusan yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Adapun tujuan dari pemberian otonomi daerah yaitu:
a. Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik.
b. Pengembangan kehidupan berdemokrasi.
c. Keadilan nasional.
d. Pemerataan wilayah daerah.
e. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dengan daerah serta
antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
f. Mendorong pembeerdayaan masyarakat.
g. Menumbuhkan prakara dan kreativitas meningkatkan peran serta
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD).
Didalam ototnomi daerah terdapat pengaturan mengenai otonomi khusus
atau kawasan khusus, jika kita melihat pengertian kawasan khusus menurut Pasal
1 Angka 42 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 “Kawasan Khusus adalah
bagian wilayah dalam Daerah provinsi dan/atau Daerah kabupaten/kota yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan
yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan
kepada daerah khusus, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar
masyaraka. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provins. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
24
yang bersifat khusus atau yang bersifat istimewa yang diatur dengan perundang-
undangan. Hal ini tercantum didalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 Amandemen
ke-4 menyatakan negara mengakui serta menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, pasal ini yang
merupakan dasar dari pembentukan pemerintahan desa dalam rangka efisiensi
kinerja penyelenggaraan pemerintahan desa dengan menempatkan kepala desa
beserta perangkatnya selaku pemerintah desa, yang dimaksud satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi
khusus. Daerah-daerah yang diberikan otonomi khusus ini adalah:
a. Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
b. Daerah Istimewa Yogyakarta
c. Provinsi Aceh
d. Provinsi Papua dan Papua Barat
Adapun menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, kriteria dalam menetapkan kawasan khusus suatu daerah
meliputi:
a. Kawasan perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas;
b. Kawasan hutan lindung;
c. Kawasan taman laut;
d. Kawasan hutan konservasi;
e. Kawasan buru
f. Kawasan ekonomi khusus;
g. Kawasan berikat;
h. Kawasan angkatan perang;
i. Kawasan industri;
j. Kawasan purbakala;
k. Kawasan cagar alam;
l. Kawasan cagar budaya;
25
m. Kawasan otorita; dan
n. Kawasan untuk kepentingan nasional lainya yang diatur dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Perbedaan antara otonomi daerah dan otonomi khusus dapat dilihat dari
dua segi yaitu:
1) Dari segi berlakunya otonomi
Secara umum otonomi daerah dalam penerapannya dilakukan di setiap
daerah atau semua daerah yang terdapat di negara tersebut, sedangkan
otonomi khusus hanya diterapkan di beberapa daerah saja, karena
terdapat factor-faktor tertentu yang menyebabkan suatu daerah
mendapatkan otonomi khusus.
2) Dari segi dasar hukum
Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah diatur apa saja kewenangan, hak dan
kewajibannya, sedangkan otonomi khusus diatur dalam suatu aturan yang
khusus atau undang – undang yang khusus yang sesuai dengan daerah
tersebut.
3. Teori Hierarki Perundang-Undangan
Teori Hierarki merupakan teori yang mengenai sisitem hukum yang
diperkenalkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum
merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang, dimana dalah hal ini
antara suatu aturan atau kaidah yang berada dibawah tidak boleh bertentangan
dengan lkaidah yang berada diatas. Hubungan antara norma yang mengatur
perbuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat disebut sebagai hubungan
super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial.19Norma yang menentukan
19 Asshidddiqie Jimly, dan Safa’at, M. Ali, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet I, (Jakarta:
Sekertaris Jendral & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h.110
26
perbuatan norma lain adalah superior, sedangkan norma yang dibuat inferior.
Pembuatan ditentukan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan validitas
keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan.
Seperti yang diungkapkan oleh Kelsen “The unity of these norm is
constituted by the fact that the creation of the norm-the lower one-is determined
by another-the higher-the creation of which oh determined by a still higher norm,
and that this regressus is termibated by a highest, the basic norm which, being
the supreme reason of validity of the whole legal order, norm which, being the
supreme reason of validity of the whole legal order, constitutes its unity.20
Berdasarkan hal tersebut, maka norma hukum yang paling rendah harus
berpegangan atau mengikuti norma yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang
tertinggi harus berpengangan kepada norma hukum yang paling dasar. Menurut
Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak konkrit
(abstrak), contoh nya seperti Pancasila.
Teori Hans Kelsen mengenai hierarki norma hukum ini diilhami oleh Adolf
Merkl dengan menggunakan teori das doppelte rech stanilits, yaitu norma
hukum yang memiliki dua wajah, yang dengan pengertiannya: Norma hukum itu
keatas ia bersumcer dan berdasar pada norma yang ada diatasnya; dan Norma
hukum kebawah, ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma yang
dibawahnya. Sehingga norma tersebut mempunyai masa berlaku (rechkracht)
yang relative karena masa berlakunya suatu norma itu tergantung pada norma
hukum yang diatasnya, sehingga apbila norma hukum yang berada diatasnya
dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada dibawahnya
tercabut atau terhapus pula.21
Teori Hans Kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma
hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie).
20 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, Harvard
University Printing Office Cambridge, Massachusetts, USA, 2009, h.124 21 Farida, Maria, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 25
27
Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah mulir Hans
Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von
stufenbau der rechtsdnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah: Norma
fundamental negara (Staatfundamenalnorm); Aturan dasar negara
(staatgrundgesetz); Undang-Undang Formal (Formell Gesetz); dan Peraturan
pelaksanaan dan peraturan otonom (Verordnung En Autonome Satzung).
Staatfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi
pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (Statsverfassung) dari satu
negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat
bagi berlakunya konstitusi. Staatfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari
konstitusi suatu negara.
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai
norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai
staatrundorm melainkan Staatfundamentalnorm, atau norma fundamental
negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma
tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi
membandingkan dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata
hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum
Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut,
struktur tata hukum Indonesia adalah.
1. Staatfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD RI Tahun 1945)
2. Staatgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan.
3. Formell gesetz: Undang-Undang.
4. Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarki mulai dari Peraturan
Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Sedangkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam Pasal 7 menyebutkan jenis
28
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah; Peraturan residen; Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Terdapat perbedaan yang membedakan apa yang menjadi fokus masalah
yang penulis teliti, adapun kajian atau Review studi terdahulu yang menjadi acuan
antara lain:
1. Nama : Hesti Alvionita
Tahun : 2014
Institusi : Universitas Bengkulu
Judul Skripsi : Pengaturan Otonomi Khusus Bagi Daerah Otonom di
Indonesia
Skripsi22 ini membahas mengenai pengaturan otonomi khusus bagi daerah
otonom di Indonesia, serta mengkaji mengenai kriteria dalam pemberian
otonomi khusus di Indonesia, sedangkan dalam penelitian ini membahas
tentang kewenangan daerah otonomi khusus Aceh dalam pengangkatan
Kapolda.
2. Nama : Andhika Yudha Pratama
Tahun : 2015
Institusi : Universitas Gadjah Mada
Judul Jurnal : Pelaksanaan Desentralisasi Asimetris dalam Tata Kelola
Pemerintahan Daerah di Era Demokrasi
22 Hesti Alvionita, Skripsi, Pengaturan Otonomi Khusus Bagi Daerah Otonom di Indonesia,
(Bengkulu: Universitas Bengkulu, 2014)
29
Jurnal23 ini membahas Tentang Desentralisasi Asimetris yaitu pemeberian
/ pelimpahan kewenangan khusus pada daerah tertentu dalam melaksanakan
tugas pembantuan, dan juga membahas tentang daerah apa saja yang diberikan
kekhususan dalam menjalankan pemerintahan serta latar belakang dari
pemeberian kekhususan pada daerah tersebut, sedangkan dalam penelitian ini
membahas tentang pelimpahan kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah
Aceh dalam pengangkatan Kapolda.
3. Nama : Sakinah Nadir
Tahun : 2013
Institusi : Universitas Hasanuddin Makassar
Judul Jurnal : Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa (Menuju
Pemberdayaan Mayarakat Desa)
Jurnal24 ini membahas tentang Desentralisasi atau pelimpahan wewenang
dari pusat kepada daerah untuk melaksananakan tugas pembantuan, kemudian
membahas tentang otonomi terwujudnya demokratisasi bagi masyarakat desa
menuju kepada sebuah kondisi yang dapat menunjang lahirnya kemampuan
masyarakat untuk dapat mendorong segala proses demokrasi diwilayahnya
sedapat mungkin dengan kemampuannya sendiri dalam sebuah skema
kebijakan Otonomi, sedangkan dalam penelitian ini membahas kewenangan
Aceh dalam pengangkatan Kapolda atas persetujuan Gubernur.
4. Nama : Sani Safitri
Tahun : 2016
Institusi : Universitas Sriwijaya
23 Andhika Yudha Pratama, Pelaksanaan Desentralisasi Asimetris dalam Tatat Kelola
Pemerintahan Daerah di Era Demokrasi, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Th 28,
Nomor 1, 2015, h. 8 24 Sakinah Nadir, “Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa: Menuju Pemberdayaan
Masyarakat Desa”, Jurnal Politik Profetik Vol 1, Nomor 1, 2013, h. 6
30
Judul Jurnal : Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
Jurnal25 ini membahas mengenai sejarah dari perkembangan otonomi di
Indonesi dari berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 hingga
berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, sedangkan dalam penilitian ini membahas kewenangan pemberian
persetujuan dalam pengangkatan Kapolda.
25 Sani Safitri, “Sejarah Perkembanagan Otonomi Daerah di Indonesia”, (Jurnal Crisektra, Vol
5, Nomor 9, 2016), h. 2
31
BAB III
SEJARAH OTONOMI KHUSUS DAN
LEMBAGA KEPOLISIAN DI INDONESIA
A. Sejarah Pemberian Otonomi Khusus di Indonesia
Indonesia adalah negara kesatuan yang terdiri dari berbagai macam suku
bangsa, ras, agama dan kepercayaan, kebudayaan, dan berbagai macam perbedaan
lainnya. Sehingga dapat dikatakan Indonesia adalah bangsa yang prulal. Dampak
dari banyaknya perbedaan ini, apabila tidak ditangani secara optimal oleh
pemerintah maka dapat menyebabkan berbagai macam permasalahan.
Seperti yang terjadi di Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pada
kedua daerah ini sering terjadi konflik berkepanjangan di dalam daerahnya masing-
masing, konflik iang terjadi akibat dari adanya perbedaan suku bangsa, agama, ras
dan konflik-konflik lainnya, serta kesenjangan opembangunan ekonomi, yang
menurut mereka pembangunan ekonomi hanya dipusatkan di pulau jawa. Hal ini
membuat kedua daerah ini ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia, selain itu juga terdapat ketidak merataan perkembangan ekonomi yang
terjadi daerah ini juga yang menyebabkan daerah ini ingin memisahkan daerah dari
Indonesia, kita bisa berkaca dari referendum Timor-Timor yang sekarang menjadi
negara Timor Leste, itu diakibatkan oleh pembangunan dan ekonomi yang tidak
merata.
Untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Pemerintah pusat memeberikan otonomi khusus kepada kedua daerah ini.
Pemberian otonomi khusus kepada dua daerah ini tidak bertentangan dengan
konstitusi yang ada di Indonesia, karena pada dasarnya terdapat Pasal 18B Undang-
undang Negara Republik Indonesia 1945 telah disebutkan bahwa negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dari
negara kepada dua daerah yakni Papua dan Nanggroe Aceh Darusslam (NAD).
32
1. Sejarah Pemberian Otonomi Khusus Papua
Negara Indonesia dijelaskan dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar
1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa. Peovinsi Papua adalahProvinsi Irian Jaya
yang merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
memiliki keagamaan suku dan lebih dari 250 (dua ratus lima puluh) bahasa
daerah serta dihuni juga oleh suku-suku di Indonesia.
Keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun
kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan,
belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum
sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)
di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua. Kondisi tersebut
mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan,
terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial
politik, pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli dan adanya
perbedaan pendapat menegenai sejarah penyatuan Papua kedalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah masalah-masalah yang perlu diselesaikan.
Upaya penyelesaian masalah tersebut selama ini dinilai kurang menyentih akar
masalah dan aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu berbagai bentuk
kekecewaan dan ketidakpuasan.
Momentum reformasi di Indonesian memberi peluang bagi timbulnya
pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar
bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih
baik. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia menetapkan perlunya pemberian status otonomi khusus kepada
Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor
IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab
33
IV huruf g angka 2, dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang
Rekomendasi Kebijakam Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara
lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan otonomi khusus
tersebut memalui penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi
Irian Jaya dengan memerhatikan aspirasi masyarakat, hal ini merupakan suatu
langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada
pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka
dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya
penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.1
Arti otonomi khusus menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam Bab 1 perihal Ketentuan
Umum Pasal 1 membatasi arti otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang
diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus
kpentingan masyarakat setempat prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-
hak dasar masyarakat Papua.
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk
mewujudkan keadilan, penegakan supremsi hukum, penghormatan terhadap
HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan
kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan
kemajuan provinsi lain. Otonomi khusus melalui Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya
sebagai subjek utama. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun
ras Melanesia yang terjadi dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang
yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.
Sedangkan penduduk Papua, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang
berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.
1 http://andhikafrancisco.wordpress.com/2013/01/15/makalah-otonomi-khusus-papua/,
“otonomi khusus papua”. Diakses pada hari Minggu tanggal 16 Maret 2014 Pukul 21.00 WIB.
34
Perjalanan sejarah Provinsi Papua memiliki keunikan tersendiri
dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia yang sama-sama merupakan
jajahan kolonial Belanda dan Jepang pada waktu itu. Ketika provinsi-provinsi
lain bersama-sama mereka dan berdaulat secara de facto dan de jure sebagai
bagian yang tidak terspisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1945, Provinsi Papua baru kembali ke
pangkuan ibu pertiwi pada tanggal 1 mei 1963. Itupun masih harus melewati
proses Penenyuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Hal tersebut tidak
dapat dilepaskan dari kontelasi politik dunia, terutama ditahun 1940an sampai
1960an, yaitu ketika banyak wilayah jajahan berjuang untuk bebas dari
cengkraman negara-negara penjajah.2
Eksistensi Papua menjadi bagian tidak terpisahkan dari NKRI, yang
dilandasi hasil Pepera, tidak serta merta menjawab semua persoalan. Terutama
masalah integrase nasional dan integrase politi di dalam NKRI, yang masih
ditentang oleh kelompok-kelompok yang menginginkan merdeka, yang
dilakukan oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka). Konflik bersenjata terjadi di
banyak tempat dengan adanya penyerangan bersenjata OPM menyerang berbagai
pos terdepan dari kesatuan TNI dan Polri. Bersamaan dengan itu, kekuatan-
kekuatan asing yang berada di Papua, dan di negara-negara lain dengan sistematis
membantu secara finansial dan dukungan politik di tengah masyarakat
internasional.
Sampai dengan berakhirnya periode pemerintahan Presiden Soeharto tahun
1998, persoalan gerakan separatis, di Papua belum dapat ditanggulangi.
Pendekatan keamanan (security approach) dan pendekatan kesejahteraan
(prosperity approach) yang dibarengi dengan pendekatan budaya (cultural
approach), telah gagal dalam menyelesaikan gerakan separatis di Papua.
2 Solosa, Jacobus Perbiddya. Otonomi Khusus Papua Mengangkat Martabat Rakyat Papua di
dalam NKRI (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 5
35
Tampilnya pemerintahan transisi demokrasi yang diawali oleh
kepemimpinan Presiden BJ Habibie dan dilanjutkan Presiden KH Abdurrahman
Wahid, serta diteruskan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, bersama DPR
menyepakati dan menegeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1),
“Kewenangan Provinsi Papua mencangkup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, moneter dan fiscal, agama, dan peradilan serta kewenanagan tertentu
di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi khusus di Papua sekaligus memberi keleluasan dalam bidang
ekonomi, politik, hukum, dan pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat di Papua dalam konteks NKRI. Keleluasan tersebut sangat jauh berbeda
dengan banyak hal serupa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah. Namun ternyata, gerakan separatis di Papua tidak
serta merta dapat direm dengan produk otonomi khusus. Paling tidak ada 3
persoalan yang harus diatasi oleh pemerintah pusat. Menurut ketua Institusi
Titian Perdamaian yang juga staf pengajar Psikologi Perdamaian Universitas
Indonesia Ichsan Malik, yaitu:3
Pertama, adanya distorsi sejarah. Ini sumber konfliknya, banyak warga
yang menyakini bahwa Belanda telah memberikan kemerdekaan pada Papua
tahun 1960, sedangkan RI baru masuk tahun 1969. Setelah perang dunia kedua
berakhir, Belanda melihat gelagat adanya yuntutan kemerdekaan pada tahun
1960. Sebagian kecil warga merasa mereka sudah merdeka. Barulah RI masuk
dan menyatakan semua jajahan Hindia Belanda masuk bagian Indonesia.
Menurut konflik Papua bercampur-baur mulai dari sejarah politik dan
sejarah bisnis, karena pada tahun 1967, dua tahun sebelum Pepera Papua tahun
3 Purwanto, Wawan H. Papua Meradang Siapa Bermain (Jakarta: Penerbit CMB Pers, 2013),
h. 7
36
1969 Freeport masuk bumi cendrawasih. Ketika itu Papua bisa dikatakan belum
sepenuhnya berada dibawah kekuasaan Republik Indonesia. Ketiak kekuasaan di
Papua kosong masuklah Freeport yang juga berkepentingan di Papua. Persoalan
distorsi sejarah hingga saat ini belum bisa diatasi sampai sekarang. Kedua,
adanya masalah ketidakadilan. Disadari atau tidak, masyarakat papua belum
mendapatkan banyak dari hasil kekayaan sumber daya alam yang dimiliki
mereka. Ini menyangkut persoalan ketidakadilan yang diterima oleh orang
Papua.
Ketiga, yang memebuat persoalan konflik Papua tidak pernah selesai
adalah persoalan tindakan reprensif pemerintah pusat. Tak jarang tindakan aparat
menimbulkan pelanggaran HAM berat.
2. Sejarah Pemberian Otonomi Khusus Aceh
Aceh merupakan salah satu daerah provinsi di Indonesia yang mempunyai
status “Otonomi Khusus” pada tahun 2001 melalui Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Aceh merupakan kawasan yang paling bergejolak dengan potensi
kepada disintegrasi dari Republik Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, Aceh
menghendaki menjadi kawasan dengan perlakuan khusus. Kehendak ini
diperjuangkan dengan sejumlah alasan penting, sejumlah alasan yang
berkembang, alasan yang paling kuat adalah alasan kesejarahan.
Sejak sebelum masehi, Aceh sudah menjadi perhatian para pedagang baik
dari India, Cina, maupun Timur Tengah. Tetapi setelah masehi, banyak pelaut
Cina, India, dan Timur Tengah singgah di Aceh guna mencari rempah-rempah.
Kehadiran bangsa asing ini membuat masyarakat setempat berinteraksi dengan
37
mereka, terutama dibidang ekonomi dan kebudayaan sekaligus membawa
peradaban baik Hindustan maupun Islam.4
Pada saat bangsa Indonesia meproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus
1945, masyrakat Aceh sangat mendukung proklamasi itu karena mereka merasa
senasib dan sepenanggungan dengan saudara-saudarnya yang lain. Dukungan ini
dinyatakan dengan kerelaan menyerahkan harta dan nyawa untuk Republik
Indonesia. Perjuangan untuk mengusir penjajah Belanda di Medan Area
Sumatera Utara dengan membeli dua pesawat terbang untuk perjuangan
menegakkan kedaulatan negara ini, merupakan bukti kesetiaan masyarakat Aceh
kepada Republik Indonesia. Selama revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya
wilayah yang tidak dapat diduduki Belanda sehingga Aceh disebut sebagai
“Daerah Modal” bagi perjuangan bangsa Indonesia. Sejak kemerdekaan itu pula
Aceh dijadikan sebagai sebuah kerisedan dalam wilayah Provinsi Sumatera
dengan Teuku Nyak Arief sebagai Residennya.5
Perjalanan Aceh di dalam NKRI sampai dengan Tahun 2004, diwarnai
berbagai gejolak politik yang memanas antara pemerintah pusat dan Aceh, yang
berakibat timbulnya konflik bersenjata. Gejolak politik dan konflik bersenjata
berkenaan dengan munculnya gerakan separatis bersenjata yang mengiginkan
Aceh berdiri sendiri sebagai negara merdeka dan berdaulat. Yang pada akhirnnya
menimbulkan korban tewas dari rakyat Aceh dan pasukan TNI dan Polri dalam
jumlah besar. Disamping itu, juga menimbulkan kerugian moril serta materil
yang sangat besar serta munculnya pelanggaran HAM berat.
Dari perspektif sejarah, konflik Aceh merupakan resultan dari usaha rakyat
Aceh untuk membangun profil ke-Aceh-an dalam konteks relasinya, baik dengan
kekuatan asing maupun dengan Republik Indonesia. Seperti dikonstruksikan oleh
4 Diakses dari Kemitraan Partnership Kebijakan Otonomi Khusus Papua, Kemitraan, Jakarta,
2008, h. 12 5 Diakses dari Kemitraan Partnership Kebijakan Otonomi Khusus Papua, Kemitraan, Jakarta,
2008, h. 14
38
Petter Riddell, untuk membangun persepsi dirinya (self percepion), rakyat Aceh
lebih melihat wilayahnya sebagai “Serambi Mekah”. Istilah ini membentuk
identitas (identity formation) bagi rakyat Aceh, baik dalam hubungannya dengan
dunia luar maupun dalam konteks internalnya, menawarkan katalis bagi
pemebntukan identitas mereka.6
Dalam bahasa lain, pembentukan identitas Aceh ini adalah hasil dari
pertautan antara fakta sejarah Aceh dan kesadaran sejarah yang berkembang
dikalangan masyarakat Aceh sendiri. Proses pembentukan identitas ini jugalah
yang pada akhirnya membangun kesadaran rakyat Aceh yang lebih sensitif dan
rentan terhadap setiap upaya pihak luar yang ingin mengeliminasi identitas itu.
Fakta sejarah dan kesadaran sejarah diyakini telah menentukan identitas yang
distingtif bagi rakyat Aceh dan pada gilirannya membangun sikap perlawanan
rakyat Aceh.7
Pemerintah Orde Baru mengedepankan pendekatan sentralistik melalui
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah, gagal
dalam menyelesaikan konflik bersenjata di Aceh. Tuntutan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) terus menerus berlangsung, untuk merdeka sebagain negara
berdaulat, terpisah dari NKRI. Tuntunan tersebut berlangsung sampai
berakhirnya era pemerintahan Orde Baru.
Munculnya Era Reformasi yang mengakhiri pemerintah Orde Baru, dan
tampilnya pemerintahan transisi demokrasi, secara nyata mulai menunjukkan
pergeseran pemerintahan yang sentralisasi menjadi desentralisasi dalam konteks
NKRI dan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, semakin dirasakan adanya
desentralisasi sesuai harapan dan kemauan seluruh rakyat Indonesia.
6 Suharyo, “Otonomi Khusus di Aceh dan Papua di Tengah Fenomena Korupsi, Suatu Strategi
Penindakan Hukum”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol. 18 No. 3, 2018, h. 308 7 Djumala, Darmansyah. Soft Power untuk Aceh Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi
(Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 17
39
Paradigma desentralisasi tersebut, ternyata tidak dapat menyelesaikan
konflik di Aceh. Kekerasan bersenjata kerap terjadi, walaupun upaya perdamaian
selalu ditempuh antara kedua pihak. Baik pemerintah pusat maupun GAM tidak
menemukan titik temu. Melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagi Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam juga ditolak oleh GAM. Sampai terjadinya suatu
fenomena alam yang sangat luar biasa. Pada tanggal 26 Desember 2004, terjadi
gempa bumi dengan kekuatan 9 skala Richter di bumi Aceh, dan beberapa
kawasan di Malaysia, Thailand, dan beberapa negara disekitarnya. Akibat adanya
gempa bumi tersebut, terjadi bencana tsunami dengan korban jiwa lebih dari
112.000 jiwa meninggal dunia dan kehancuran luar biasa di Kota Banda Aceh,
Meulaboh dan sepanjang daerah sekitarnya. Bencana tsunami juga terjadi dalam
skala terbatas di luar wilayah Indonesia dengan korban jiwa mencapai ribuan
orang, dengan kerusakan yang sifatnya lokal.
Akibat tsunami Aceh, konflik bersenjata di Aceh dan panasnya situasi
politik, langsung mereda bahkan hilang presiden saat itu Soesilo Bambang
Yudhoyono langsung melakukan upaya untuk menanggulangi bencana tsunami.
Kegiatan penanggulangan tersebut dibantu masyarakat internasional dan seluruh
komponen TNI, Polri serta seluruh komponen masyarakat. Pihak GAM juga
tidak melakukan aksi bersenjata, dan mulai memikirkan langkah memeberikan
pertolongan. Dari peristiwa bencana tsunami, mulai dirintis upaya perdamaian
terakhir, setelah beberapa kali upaya perdamaian yang selalu gagal, akhirnya
dilakukan upaya perdamaian yang diadakan di Helsinki Finlandia tahun 2005.
Sebagai tindak lanjut dari MoU Helsinki 2005 antara Pemerintah Indonesia
dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), berhasil dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Hal ini sebagai bentuk
rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, politik
dan hukum secara berkelanjutan.
40
Otonomi Khusus Aceh menemukan titik ideal dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh setelah sebelumnya sempet
berusaha menemukan pola sejak awal reformasi melalui TAP MPR IV/1999 yang
diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada pelaksanaan Undang-
Undang sebelumnya, Otonomi Khusus Aceh tak berjalan baik karena konflik
bersenjata masih tinggi dan masalah identitas belum tuntas. Hal ini terasa sangan
berbeda dengan pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang
disepakati semua pihak. Sekitar 87 persen kesepakatan dalam MoU Helsinki
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan
Aceh dengan beberapa penyesuaian.
Keberhasilan terbesar pelaksanaan otsus Aceh adalah transformasinya
kekuatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam struktur pemerintahan modern
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seluruh elemen sepakat bahwa
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh adalah titik
pijak untuk menciptakan Aceh yang sejahtera. Tidak ada lagi yang menginginkan
kondisi sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan
Aceh.
3. Sejarah Pemberian Otonomi Daerah Istimewa Yogyakarta
Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta berjalan cukup panjang, bahkan
sebelum masa kemerdekaan. Berawal dari Kerajaan Mataram yang dibagi dua
berdasarkan perjanjian Giyanti (Palihan Nagari) pada tanggal 13 Februari 1755,
hingga kini keistimewaan DIY masih diakui dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2012.
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta merupakan daerah yang
mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut Daerah Swapraja, yaitu
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Daerah
41
yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, dijaman penjajahan
Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen.
Baik Kesultanan maupun Pakualaman diakui oleh Pemerintah Hindia
Belanda sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua ini
dinyatakan dalam kontrak politik. Terakhir Kontrak Politik Kesultanan
tercantum dalam Staatsblad 1941 Nomor 577.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan kepada Presiden
Republik Indonesia, bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah
Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, bergabung
menjadi kesatuan yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri
Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualaman VIII sebagai Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden
Republik Indonesia. Hal tersebut dinyatakan dalam.
1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualaman
VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden Republik Indonesia;
2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII
tertanggal 5 September 1945 (dibuat secara terpisah); dan
3. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal
30 Oktober 1945 dibuat bersama dalam satu naskah).
` Pada awal tahun 1946, karena kondisi Jakarta tidak aman, ibukota
negara diindahkan ke Yogyakarta. Salah satu terpilihnya Yogyakarta adalah
karena tanggal 5 September 1945 Kesultanan dan Pakualaman bermaklumat
seluruh rakyat Yogyakarta setia kepada negara. Prof. Dr. Suhartono W. P.,
seorang penulis, mengatakan “Dari maklumat tersebut jelas bahwa para
pemimpin dan rakyat Yogyakarta adalah republiken dan dua kerajaan itu
terintegrasi dalam Republik Indonesia. Dukungan terhadap Reublik Indonesia
42
yang dilakukan kedua tokoh Yogyakarta itu adalah pertama kali dilakukan
penguasa lokal di Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atas keistimewaan suatu
daerah telah ada sejak jaman kemerdekaan. Hal ini terlihat dari Pasal 18 Undang-
undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menyatakan, “Pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul
dalam daerah yang bersifat istimewa”.
Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dibentuk Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan
Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah
Tangganya Sendiri, “Daerah-daerah yang mempunyai hak, asal-usul dan di
zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang
bersifat Istimewa yang setingkat Provinsi, Kabuaten atau Desa, yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.”
Selain ketentuan-ketentuan yang mengatur secara umum, dalam undang-
undang tersebut terdapat beberapa ketentuan yang secara khusus mengaur
tentang Daerah Istimewa. Dalam Pasal 18 ayat (5) undang-undang tersebut diatur
bahwa Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga
yang berkuasa didaerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang
masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, dan
kesetiaan dengan mengingat adat-istiadat di daerah itu. Lebih lanjut dalam ayat
(6) diatur bahwa untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala
Daerah oleh Presiden dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5).
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka Yogyakarta memenuhi
syarat sebagai sebuah daerah yang bersifat istimewa. Pemerintahan yang ada di
Yogyakarta telah ada sejak jauh sebelum Republik Indonesia. Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar
43
Sultan Hamengkubuwono I ada tahun 1755, sedangkan Kadipaten Pakualaman
didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan Hamengku buwono II)
yang bergelar Adipati Paku Alam I pada tahun 1813.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 ditindaklanjuti dengan
pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan
Daerah Istimewa Jogjakarta. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
Daerah Isyimewa Yogyakarta setingkat dengan provinsi, meliputi Kesultanan
Yogyakarta dan daerah Paku Alaman. Selain mengatur tentang wilayah dan
kedudukannya, undang-undang tersebut juga mengatur tentang Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY dan urusan rumah tangga Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Pasca berakhirnya Orde Baru, pengakuan legal atas keberadaan daerah
istimewa masih teta berlaku. Pasal 122 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah antara lain menyatakan bahwa keistimewaan
untuk Provinsi DIY, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974, adalah tetap. Lebih lanjut dalam penjelasan asal tersebut dinyatakan
bahwa pengakuan keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada
asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi
keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan
calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan
mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat
sesuai dengan undang-undang ini.
Berikutnya ketentuan mengenai pemerintahan daerah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam
konsiderannya “Menimbang” undang-undang ini dinyatakan bahwa salah satu
yang harus diberhatikan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah
adalah keistimewaan dan kekhuusan suatu daerah dalah sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Terdapat beberapa alasan terhadap pemberian status
keistimewaan, yaitu:
44
a. Alasan Filosofis
Pilihan sadar untuk menjadi bagian Indonesia meruakan refleksi filosofis
Kesultanan, Pakualaman, dan masyarakat Yogyakarta secara keseluruhan
yang mengagungkan ke-bhinekaan dakan ke-ika-an sebagaimana tertuang
dalam Pancasila dan UUD 1945. Keistimewaan Yogyakarta bisa menjadi
solusi bagi Indonesia yang dihadapkan pada masalah. Oleh karena itu,
rumusan keistimewaan Provinsi DIY harus menjadi dasar pengokohan lebih
lanjut masyarakat multi-kultural yang mampu membangun keharmonisan dan
kohesivitas sosial.
b. Alasan Kesejarahan-Politis
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki sejarah yang khas dalam dirinya
sendiri, yang sekaligus merupakan bagian dari sejarah survivalitas Indonesia
sebagai sebuah bangsa dan negara. Kekhasan ini tidak dimiliki daerah lainnya.
Status keistimewaan Yogyakarta merupakan pilihan politik sadar yang
diambil oleh penguasa Yogyakarta, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX
dan Paku Alam VIII, bukan pemberian dari entitas politik nasional. Hal ini
penting untuk dipahami karena dari sisi keorganisasian keduanya memiliki
stuktur yang lengkap dan lebih siap untuk menjadi sebuah negara yang
merdeka.
c. Alasan Yuridis
Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kanjeng Sultan dan Amanat Sri Paduka
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam dapat dideskrispsikan
sebagai novum hukum yang menyatakan bahwa status Yogyakarta telah
mengalami perubahan dari sebuah daerah Zelfbesturende Landschappen atau
Daerah Swaraja menjadi sebuah daerah yang bersifat istimewa didalam
teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam rentang waktu antara tahun 1950 sampai. 2004 (Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1950 sampai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004)
terdapat konsistensi pada level yuridis yang mengakui keberadaan suatu
45
daerah yang bersifat istimewa. Namun hal tersebut tidak diikuti dengan
peraturan yang bersifat komprehensif mengenai substansi keistimewaan
sebuah daerah. Kehadiran sebuah undang-undang tentang keistimewaan
Yogyakarta yang komprehensif ssangat diperlukan guna memberikan jaminan
hukum bagi pelaksanaan pemerintahan di Yogyakarta.
d. Alasan Sosio-Psikologis
Dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, Yogyakarta bisa dipastikan
akan terus mengalami perubahan sosial yang sangat dramatis. Perkrmbangan
tersebut tidak secara otomatis meminggirkan sentralisasi Kesultanan dan
Pakualaman sebagai sumber rujukan penting bagi mayoritas warga
Yogyakarta. Sebagian besar masyarakat tetap memandang dang mengakui
Kesultanan dan Pakualaman sebagai Pusat Budaya Jawa dan simbol
pengayom.
e. Alasan akademis-Komparatif
Pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah dari
beberapa daerah meruapakan praktek enyelenggaraan pemerintahan yang
cukup umum ditemui dalam pengalaman pengaturan politik di banyak negara.
Rasionalitas bagi pemberian status keistimewaan bagi Yogyakarta sebagai
wujud konkret dari kebijakan desentralisasi yang bercorak asimetris
mendapatkan pembenarannya.
Dengan berbagai pertimbangan dan alasan yang antara lain telah
dikemukakan di atas, serta melalui proses yang cukup panjang, akhirnya
Undang-Undnag Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) disahkan oleh DPR dalam Sidang
Paripurna yang diselenggarakan pada hari Kamis, 30 Agustus 2012. Berbeda
dengan Peraturan-Peraturan sebelumnya, undang-undang yang terdiri atas 16
bab dan 51 pasal ini mengatur keistimewaan DIY secara lebih menyeluruh.
4. Sejarah Pemberian Otonomi Khusus DKI Jakarta
46
Sejarah Kota Jakarta terkait erat dengan perjuangan bangsa telah ada sejak
tanggal 22 Juni 1527, yaitu pada saat Fatahillah mengalahkan armada asing, dan
kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Peristiwa ini
selanjutnya diperingati sebagai hari jadi kota Jakarta. Perkembangan selanjutnya
Jakarta mempunyai peranan penting dalam sejarah perjuangan bangsa. Banyak
momentum penting dalam sejarah kebangkitan nasional, kesatuan dan persatuan
bangsa, serta sejarah kebangkitan Indonesia yang terjadi di Kota Jakarta, seperti
lahirnya Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan serta
penetaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Nilai-nilai sejarah tersebut
sangat besar artinya bagi usaha pembinaan bangsa dan pengembangan lebih
lanjut Kota Jakarta.
UUD 1945 tidak menyebut secara spesifik mengenai pemerintahan Jakarta.
Pengaturan tentang Jakarta justru muncul di dalam Konstitusi RIS 1949 Pasal 50
Ayat (1), yang antara lain menetapkan bahwa pemerintahan atas distrik daerah-
daerah yang di luar lingkungan daerah sesuatu daerah Republik Indonesia Serikat
menurut aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang Federal.
Sesuai dengan ketentuan ini Pemerintah RIS menetapkan Undang-Undang
Darurat Nomor 20 Tahun 1950 (LN RIS 1950 Nomor 31. Penjelasan dalam TLN
Nomor 15) yang dinamakan Undang-Undang Pemerintahan Jakarta Raya.
Undang-Undang Darurat ini mengatur hal-ikhwal pemerintahan atas ibukota
Jakarta sesuai dengan ketentuan dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat
tersebut diatas. Dalam Undang-Undang Federal itu sekaligus diatur juga
kedudukan Kota Jakarta sebagai suatu daerah yang mengurus rumah tangganya
sendiri.
Undang-Undang Darurat Pasal 2 Nomor 20 Tahun 1950 ditetapkan bahwa
pemerintahan daerah dengan wilayah baru sebagaimana ditentukan dalam
Keputusan Presiden Nomor 125 Tahun 1950 dinamakan Kotapraja Jakarta Raya.
Pemerintahannya dijalankan atas nama Pemerintahan Republik Indonesia Serikat
oleh seorang Walikota. Walikota Jakarta menjalankan tugas pemerintahan itu
47
dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk menteri dalam negeri Republik
Indonesia Serikat. Penyelenggaraan pemerintahan daerah itu masih tetap
menurut perautan perundang-undangan desentralisasi yang sampai saat itu masih
berlaku, yaitu Stadsgmeente-ordanantie dan Ordonantie Tidjdelijke
Voorzieningen Bestuur Stadgemeenten Java. Selanjutnya ditetapkan bahwa
kekuasaan-kekuasaan, kewajiban-kewajiban, dan pekerjaan-pekerjaan yang
menurut peraturan perundang yang dahulu berada di tangan aparatur provincie
West Java dan Secretaris van Staat voor Binnenlandse Zaken (ini adalah tugas-
tugas yang bersifat pengawasan) kini semuanya dijalankan olh menteri dalam
negeri RIS. Dengan demikian pemerintahan daerah Kotapraja Jakarta Raya
berada di wilayah pengawasan kementrian Dalam Negeri RIS. Undang-undang
Darurat ini mulai berlaku pada hari diumumkan, dan berlaku surut sampai pada
tanggal 31 Maret 1950. Undang-Undang Darurat ini ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 13 Mei 1950 oleh Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Moh.
Hatta serta Menteri Dalam Negeri Ide Anak Agoeng Gde Agoeng.
Perubahan struktur negara dari Republik Indonesia Serikat menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950 tidak
mempengaruhi status Kotapraja Jakarta Raya karena negara kesatuan ini
bukanlah suatu negara bentukan baru, melainkan merupakan kelanjutan Negara
RIS yang diubah bentuknya dari suatu federasi, menjadi bentuk kesatuan yang
meliputi seluruh Indonesia.
Pemerintahan Daerah ketika itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1948 Tentang Pemerinthan Daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1948, provinsi merupakan Daerah tingkat teratas dan langsung berada
dibawah pengawasan pemerintah pusat (Menteri Dalam Negeri). Dalam
prakteknya, Pemerintahan Pusat memperlakukan Kotapraja Jakarta Raya sebagai
daerah otonom yang sejajar dengan provinsi. Demikian pula, Walikota Jakarta
Raya sebagai pejabat Pamongpraja pusat mempunyai kedudukan yang setingkat
dengan para gubernur dari segenap provinsi di seluruh Indonesia.
48
Dalam hubungannya dengan kota-kota lainnya yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri, Kota Praja Jakarta Raya selain mempunyai
derajat yang setingkat lebih atas daripada kota besar (dan bahkan 2 tingkat lebih
atas daripada kota kecil) juga memiliki suatu kelainan tersendiri, yaitu satu-
satunya kota otonom yang memakai sebutan “Kotapraja”.
Ketika pemerintahan pada tanggal 17 Januari mengesahkan Undang-
Undnag Nomor 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,
pertumbuhan pemerintahan daerah Kotapraja Jakarta Raya memasuki babaj baru.
Di dalam Bab VIII Peraturan Peralihan Pasal 73 ayat (3) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1957 dinyatakan Kotapraja Jakarta Raya yang berhak mengurus rumah
tangganya sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor Tahun 1956 tidak perlu
dibentuk lagi sebagai Kotapraja menurut ketentuan Pasal 3 UU Tentang Pokok-
pokok Pemerintahan Daerah 1956, akan tetapi daerah tersebut, sejak mulai
berlakunya Undang-Undang ini, menjadi Kotapraja Jakarta Raya termaksud
dalam pasal 2 undang-undang ini. Di dalan penjelasan Pasal 73 ditegaskan,
pembentukan daerah swntra berdasarkan undang-undnag ini sudah barang tentu
tidak dapat diadakan dengan sekaligus untuk semua daerah di wilayah Indonesia.
Begitu pula peraturan-peraturan penyelenggaraan menghendaki waktu yang
cukup. Pada waktu mulai berlakunya undang-undnag ini (Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1957) di Indonesia terdapat daerah-daerah swantantra yang
berdasarkan atas berbagai jenis peraturan perundangan pokok, misalnya
Kotapraja Jakarta Raya berdasarkan atas Stadsgemeente-oronantie (SGO) dan
Tijdelijke voorningennya junto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957.
B. Otonomi Khusus Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Sistim pemerintahan daerah di Indonesia, menurut konstitusi Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berdasarkan penjelasan
dinyatakan bahwa daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah
provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah – daerah yang
49
bersifat otonom (streek and locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah
adminidtrasi belaka. Semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan
undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan didakan badan
perwakilan daerah, oleh karena itu daerah itu pun pemerintah akan bersendi atas
dasar permusyawaratan.8
Dalam teritorial negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 zelfbesturende
landchappen dan volksgemeen schappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di
Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu
mempunyai susunan asli dan oleh karena dapat dianggap sebagai daerah yang
bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-
daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu
akan mengikat hak-hak usul daerah tersebut. Dalam Pasal 18B Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur didalam undang-undang. Negara juga mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masayarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
didalam undang-undang.
Dalam perubahan Kedua Undang-undang Dasar 1945 tentang
Pemerintahan Daerah dalam Pasal 18 dinyatakan sebagai berikut:
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan
undang-undang.
8 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012),
h. 1
50
2. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Daerah yang anggota-anggotana dipilih melalui Pemilihan
Umum.
4. Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undnag-undang ditentukan sebagai urusan
pemerintahan pusat.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan
lainnya untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
Undang-Undang.
Bagir Manan9 menyatakan bahwa perubahan Pasal 18 Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik secara struktur maupun
substansi perubahan tersebut sangatlah mendasar. Secara struktur, Pasal 18 (lama)
sama sekali diganti baru. Pasal 18 Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 setelaherubahan terlihat rinci dibandingkan dengan Pasal 18
sebelum perubahan. Selain itu, penjelasan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 yang selama ini juga merupakan bagian dari Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945 telah dihapus.
Bagir Manan10 menyatakan bahwa penjelasan Pasal 18 Undang-undang
Dasar Republik Indonesia 1945 tersebut merupaka suatu bentuk
“keganjilan”,”kerancuan”, bahkan “anomaly” bagi Pasal 18 itu sendiri, dalam
9 Dalam buku Rusdianto Sesung, Hukum Otonomi Daerah Negara Kesatuan, Daerah
Istimewa dan Daerah Otonomi Khusus, Refika Aditama, Jakarta, 2013, h. 45, dikutip dari buku
Bagir Manan, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. 49 (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FHUII,
2005), h. 5.
51
rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 maka kebijakan politik hukum
yang ditempuh oleh pemerintahan terhadap pemerintahan daerah yang dapat
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pmberdayaan dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah, dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam system
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan kebijakan politik
hukum pemerintah, penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan
penetapan strategi.
Pertama. Peningkatan pelayanan. Pelayanan bidang pemerintahan,
kemasyarakatan dan pembangunan adalah suatu hal yang bersifat esensial guna
mendorong dan menunjang dinamika interaksi kehidupan masyarakat baik sarana
untuk memperoleh hak-haknya, maupun sebagai sarana kewajiban masyarakat
sebagai warga negara yang baik. Bentuk bentuk pelayanan pemerintahan tersebut,
antara lain meliputi rekomendasi, perizinan, dispensasi, hak berusaha, surat
keterangan kependudukan dan sebagainya.
Kedua. Pemberdayaan dan Peran Serta Masyarakat. Konsep pembangunan
dalam rangka otonomi daerah ini, bahwa peran serta masyarakat lebih menonjol
yang dituntut kreativitas masyrakat baik pengusaha, perencana, pengusaha jasa,
pengembang, dalam menyususn konsep strategis pembangunan daerah, dimana
pemerintah hanya terbatas memfasilitasi dan mediasi. Di samping itu, dalam
kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara memeberikan kesempatan seluas-
luasnya kepada masyarakat khususnya partai politik untuk memberikan pendidikan
politik rakyat guna meningkatkan kesadaran bernegara dan berbangsa guna
tercapainya tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
52
Ketiga. Peningkatan Daya Saing Daerah. Peningkatan daya saing daerah
ini, guna tercapainya keunggulan local dan apabila di pupuk kekuatan ini secara
nasional akan terwujud resultan keunggulan daya saing nasional. Disamping itu,
daya saing nasional akan menunjang sistim ekonomi nasional yang bertumpu pada
strategi kebijakan perekonomian kerakyatan.
Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh
sebelum terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi besar-
besaran ditanah air. Namun, perumusan kebijakan otonomi daerah itu masih bersifat
setengah-setengah dan dilakukan tahap demi tahap yang sangat lamban. Setelah
terjadinya reformasi yang disertai pula dengan gelombang tuntutan ketidakpuasan
masyarakat di berbagai daerah mengenai pola hubungan pusat dan daerah yang
dirasakan tidak adil, maka tidak jalan lain kecuali mempercepat pelaksanaan
kebijakan otonomi daerah dan bahkan dengan skala yang sangat luas diletakkan di
atas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal.11
Berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945, Ketetapan MPR dan undang-undang, sistim pemerintahan kita telah
memberikan keleluasan yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan
otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-
prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat dan pemerataan keadilan
dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan
keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini dianggap sangat
penting, karena tantangan perkembangan, local, nasional, regional dan internasional
diberbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan
mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang sangat luas, nyata dan
bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah
itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya
11 Mhd. Shiddiq, Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita,
2003), h. 173
53
masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-
prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi
keanekaragaman antar daerah.
Dalam suasana reformasi, lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah, ini di harapkan dapat mengakomodir perubahan
paradigma pemerintahan dari yang sentralisasi menjadi desentralisasi,
mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan, memperhatikan perbedaan potensi dan keanekaragaman, serta dapat
mencegah terjadinya disintegrasi bangsa. Lahirnya undang-undang ini merupakan
respons atas tuntutan masyarakat di era reformasi yang menghendaki pelaksanaan
otonomi luas dengan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan,
peningkatan peran serta masyarakat, diakuinya potensi dan keanekaragaman daerah
serta terciptanya kemandirian daerah.12 Disamping itu, undang-undang ini
merupakan kontras atas pelaksanaan pemerintahan daerah yang sangat sentralistik.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah ini
merupakan politic will dari negara untuk melaksanakan otonomi luas dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang antara lain diwujudkan melalui
pemberian kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat daerah. Secara konsepsional, undang-undang ini
mengandung nilai positif dalam mendorong pelaksanaan demokrasi, peran serta
masyarakat, meningkatkan pemerataan dan keadilan, memperhatikan potensi dan
keanekaragaman, serta mendekatkan pelayanan pemerintah daerah kepada
masyarakat.
Terdapat 5 (lima) pikiran dasar yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999. Pertama, sebagai upaya mewujudkan landasan hukum yang
kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan keleluasan kepada
12 Agussalim Andi, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2007), h. 163
54
daerah untuk menjadikan daerah otonom yang mandiri dalam rangka menegakkan
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Kedua penyelenggaraan otonomi yang luas
yang dilaksanakan diatas dasar peinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Ketiga, meningkatkan peran dan fungsi DPRD sebagai badan legislative daerah dan
badan pengawas sebagai sarana pengembangan demokrasi serta mendudukan
kessejajaran dan kemitraan antar kepala daerah dan DPRD dalam
menyelenggarakan pemerintahan daerah. Keempat, untuk mengantisipasi
perkembanggan keadaan, baik dalam negeri maupun tantangan persaingan global
yang mau tidak mau pengaruhnya akan melanda daerah. Kelima, untuk mendudukan
kembali posisi desa atau dengan nama lain, sebagai kesatuan masyarakat sadar
hukum rendah yang memiliki hak asal-usul dan otonomi asli yang diakui dan
dihormati dalam sisitim pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah lahir sebagai antisipasi
pembaharuan dan penyempurnaan dari berbagai aturan yang melandasi pelaksanaan
pemerintahan daerah yang sudah tidak antisifatif dalam perkembangan. Disisi lain,
undang-undang ini merupakan implementasi dari beberapa aturan mendasar, dengan
tegas dan jelas memberikan batasan-batasan beberapa pengertian sebagai dasar
pelaksanaan pemerintahan di daerah, antara lain memisahkan secara tegas fungsi
dan peran pemerintahan daerah dan DPRD, yang satu sisi menempatkan kepala
daerah beserta perangkat daerah otonom sebagai badan eksekutif di daerah dan di
sisi lainnya, DPRD sebagai badan legislatif daerah.
Beberapa perubahan mendasar dalam pelaksanaan otonomi daerah dengan
undang-undang sebelumnya:13
13 M. Busrizalti, M. Busrizalti, Hukum Pemda Otonomi Daerah dan Implikasinya, (Yogyakarta:
Total Media, 2013), h. 122-123
55
1. Dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah memeberikan kewenangan yang
luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional
diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini
mengandung makna yang sangat dalam bahwa TAP MPR ini berkehendak
dan berkeinginan mengubah Undang-Undang Pemerintahan Daerah dengan
pelaksanaan daerah yang nyata dan tanggung jawab;
2. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip
demokrasi dengan memeperhatikan keanekaragaman daerah,
penyelenggaraan otonomi daerah segala sesuatunya ditentukan oleh
pemerintahan pusat yang melaksanakan penyeragaman dalam pelaksanaan
otonomi daerah;
3. Diaturnya perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang
sangat ditentukan oleh pemeintahan pusat tanpa ada kepastian daerah
memperoleh perimbangan keuangan;
4. Terdapat pemberdayaan DPRD dan masyarakat untuk ikut melaksanakan
penyelenggaraan otonomi daerah berdasasarkan asas kerakyatan dan
memperkuat fungsi pengawasan. Berbeda dengan Undang-Undang
sebelumnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1957, lembaga DPRD yang
merupakan bagian dari pemerintahan daerah sagat kurang peran dan fungsi
serta kewenangannya. Hal ini terjadi karena Kepala Daerah kududukannya
sangat kuat di samping sebagai perangkat daerah juga merupakan perangkat
pusat di dalam susunan pemerintahan sentralistik.
Melalui prinsip otonomi tersebut, maka penyelenggaraan desentralisasi di
Indonesia mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah ini. Materi muatan khusus nya menyangkut
pembentukan dan pemekaran daerah menurut Undang-Undang ini bahwa daerah
provinsi dibentuk berdasarkan asas desentralisasi, asas dekosentrasi, asas tugas
56
pembantuan, sedangkan daerah kabupaten dan daerah kota dibentuk berdasarkan
asas desentralisasi. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi berwenag
untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat. Otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang ini adalah
kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
perturan perundang-undangan.
Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam selurih bidang
pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenagan bidang lain
mencakup kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan
nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistim administrasi dan
lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya
manusia, pendayaguaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis,
konservasi dan standarnisasi nasional.
Penyelenggaraan otonomi daerah adalah dengan memeberikan
kewenangan luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional,
yang diwujudkan dengan peraturan, pembagian dan dengan pemanfaatan sumber
daya nsional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai dengan prinsip-
prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi
keanekaragamn daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan
Repunlik Indonesia.
Pengertian dan makna otonomi daerah telah mengalami pergeseran
mendasar semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.
Kemudian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
diganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
kemudian digantikan lagi dengan peraturan yang terbaru Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun
57
1999 diganti karena dianggap banyak memiliki kelemahan, dilakukan perubahan
dan penyempurnaan termasuk tentang Pemilihan Kepala Daerah secara langsung.
Otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah adalah bahwa Otonomi Daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatir dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 10 Pasal 4 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan:
1. Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1)
ditetapkan dengan Undang-Undang;
2. Undang-Undang Pemebentukan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1), antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas ibukota, kewenangan
penyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan pejabat kepala daerah,
pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan,
peralatan dan dokumen serta perangkat daerah;
3. Pembentukan daerah dapat berupa, penggabungan beberapa daerah atau
bagian daerah yang bersanding atau pemekaran diri satu daerah menjadi dua
daerah atau lebih;
4. Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana
dimaksud pada Ayat (3) dapat dilakukansetelah mencapai batas minimal usia
penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam pembagian urusan pemerintahan, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 menyatakan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Penyelenggaraan
pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi
dengan memperhatikan keserasian hubungan antar pusat dengan daerah.
58
Dalam hal menjalankan otonomi, daerah berkewajiban untuk mewujudkan
keamanan dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pasal 22 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 menyebutkan:
1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional;
2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
3. Mengembangkan kehidupan demokrasi;
4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
7. Menyediakan fassilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
8. Membangun sistim jaminan sosial;
9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
10. Mengembangkan sumberdaya produktif di daerah;
11. Melestarikan lingkungan hidup;
12. Mengelola administrasi kependudukan;
13. Melestarikan nilai sosial budaya;
14. Membentuk dan menerapkan peratuarn perundang-undangan sesuai
dengan kewenangannya; dan
15. Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam hal otonomi khusus ini, didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 ini terdapat didalam Pasal 225, yang berbunyi “Daerah-daerah yang memiliki
status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang
ini diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain.
Undang`-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalah hal otonomi khusus hanya
mengatur mengenai peraturan onotomi khusus diatur dalam undang-undang lain.
Namun, dapat dilihat adanya pengakuan terhadap kekhususan atau otonomi khusus
yang diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Didalam Undang-Undang ini yang
59
diakui mendapatkan pengakuan khusus ataupun istimewa diatur dalam Pasal 226
yang berbunyi:
1. Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak diatur khusus dalam
Undang-Undang tersendiri.
2. Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan
ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini.
3. Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah diselenggarakan sesuai ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Iatimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Disini dapat dilihat bahwa terhada pengaturan otonomi khusus di Indonesia
ini telah diatur menurut Undang-Undang, hal lain berlandaskan pada Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, didalam pasal 18B berbunyi
“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan khusus atau bersifat istimewa
yang diatur dengan Undang-Undang”. Yang kemudian direalisasikan oleh aturan-
aturan yang dibawahnya sesuai dengan hirarki perundang-undangan. Selain itu
Undang-Undang lainnya yang secara real mengatur mengenai Otonomi Khusus
sisetiap daerah yang mendapatkan pengajuan khusus oleh Negara.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
sudah tidak secara kopleks lagi mengatur mengenai otonomi khusus, karena telah
ada uandang-undang mengenai otonomi khusus daerah tersendiri yang dimiliki oleh
daerah yang mendapatkan otonomi khusus, undang undang ini hanya sebatas
membahas mengenai pembentukan kawasan khusus, yang terdapat di dalam Pasal
360 Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2014.
60
Dalam hal pembentukan kawasan khusus ini, diatur didalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah terdapat didalam
Pasal 360 yang berbunyi:
1. Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat strategis
bagi kepentingan nasional, pemerintah pusat dapat menetapkan kawasan
khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupetan/kota.
2. Kawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal (1) meliputi:
a. Kawasan perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas;
b. Kawasan hutan lindung;
c. Kawasan hutan konservasi;
d. Kawasan taman laut;
e. Kawasan buru;
f. Kawasan ekonomi khusus;
g. Kawasan berikat;
h. Kawasan angkatan perang;
i. Kawasan industry;
j. Kawasan purbakala;
k. Kawasan cagar alam;
l. Kawasan cagar budaya;
m. Kawasan otorita; dan
n. Kawasan untuk kepentingan nasional lainnya yang diatur dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3. Untuk membentuk kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pemerintah Pusat mengikutsertakan daerah yang bersangkutan.
4. Dalam kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap daerah
mempunyai kewenangan daerah yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5. Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah Pusat.
61
C. Kepolisian Republik Indonesia di Tinjau dari Konsep Lembaga Negara
Polisi adalah salah satu lembaga negara ysng terdapat di Indonesia ,
ditinjau dari segi etimologis istilah polisi di beberapa negara memiliki
ketidaksamaan, seperti Yunani istilah polisi dengan sebutan “politea”, di Inggris
“police” juga dikenal adanya istilah “constable”, di Jerman “polizei”, di Amerika
dikenal dengan “sheriff”, di Belanda “politie”, di jepang dengan istilah “koban”
dan ”chuzaisho”. Jauh sebelum istilah polisi lahir sebagai organisasi, kata “polisi”
telah dikenal dalam bahasa Yunani, yakni “politeia” digunakan sebagai judul buku
pertama plato, yakni “politea” yang mengandung makna suatu negara yang ideal
sekali dengan cita-citnya, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus
dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi.14.
Agar kehidupan masyarakat di kota tertata maka dibuatlah norma-norma.
Norma-norma tersebut ditegakkan melalaui suatu kekuatan, kekuatan inilah yang
yang dinamakan kepolisian.15 Dilihat dari sisi historis, istilah “polisi” di Indonesia
tampaknya mengikuti dan menggunakan istilah “politie” di Belanda. Hal ini sebagai
akibat dan pengaruh dari bangunan system hukum Belanda yang banyak dianut di
negara Indonesia. Istilah Polisi menurut Raymond B. Fosdick adalah sebagai
kekuatan utama untuk melindungi individu-individu dalam hak-hak hukum mereka.
Menurut Steinmentz bahwa untuk mengatur keamanan, pemerintah mengeluarkan
beberapa peraturan. Bagi mereka yang tidak menurutinya akan diberi hukum dan
diberi nasehat. Untuk melaksanakan peraturan tersebut, pemerintah mengangkat
beberapa pegawai untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum, untuk
melindungi penduduk dan harta bendanya serta untuk menjalankan peraturan-
peraturan yang diadakan oleh pemerintah. Mereka yang diberi tugas tersebut disebut
pegawai Polisi. Dari arti istilah Polisi tersebut diatas, bila diinterpretasikan maka
14 Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Terhadap Unsur-Unsurnya,
(Jakarta: UI Press,1995), h. 19. 15 Yesmil Anwar, Sistem Peradilan Pidana, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), h. 154
62
pengertian Polisi sebagai organ dalam mlaksanakan tugas organ Polisi serta
dilaksanakan oleh pejabat Polisi sebagai manusi dalam melaksanakan perturan
hukum baik sebagai hukum formal maupun sebagai hukum materil untuk
mewujudkan tujuan Kepolisian yang melaksanakan fungsi pemerintahan.
Seperti yang kita ketahui dulu kepolisian merupakan lembaga yang
menyatu dengan militer dalam menjalankan fungsi keamanan namun ditetapkan
Perubahan Kedua Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI No.
VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, maka secara
kontitusional peran Kepolisian serta pemisahan kelembagaan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Kepolisian NRI sesuai dengan peran dan fungsi masing-
masing. Salah satu tuntutan reformasi dan tantangan masa depan adalah
dilakukannya demokratisasi, maka diperlukan reposisi dan rektrukturisasi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia. Adanya kebijakan dalam bidang pertahanan /
keamanan telah dilakukan penggabungan Angakatan Darat, Angkatan Laut,
Angkatan Udara, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia.
Sebagai akibat dari penggabungan tersebut terjadi kerancuan dan tumpang
tindih antara peran dan fungsi TNI sebagai kekuatan pertahanan negara dengan
peran dan tugas Kepolisian sebagai kekuatan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
menyebabkan terjadinya peyimpangan peran dan fungsi TNI dan Kepolisian yang
berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi-sendi demokrasi dalam kehudupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Menimbang realitas tersebut “maka
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kemudian memutuskan TNI dan
Kepolisian secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-
masing. Ketika terdapat keterkaitan kegiatan pemerintahan dan kegiatan keamanan,
TNI dan Kepolisian harus bekerjasama dan saling membantu.
63
Berdasarkan perubahan secara kontitusional, maka Kepolisian merupakan
lembaga negara yang dibentuk betujuan dalam bidang keamanan di dalam negeri,
tugas pokok dari Kepolisisan yaitu memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani
masyarakat. Namun dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, Kepolisian NRI
secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan
bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui pengembanagan asas subsidiaritas
dan asas partisipasi.
Perubahan Kedua Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI
No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 telah melahirkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang kini menjadi landasan yuridis normative dari eksistensi Kepolisian
NRI.
Definisi menegenai kepolisian terdapat dalam Pasal Angka 1 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisisan Negara Republik Indonesia”
Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Salah satu peran Kepolisian adalah
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Pada Pasal 1 Angka 5 UU Nomor
2 Tahun 2002 dirumuskan “ Keamanan dan ketertiban masyarakat adaah suatu
kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu persyaratan terselenggaranya proses
pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh
terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum, serta terbinanya
ketentraman, yang mngandung kemampuan membina serta mengembangkan
potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi
segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat
meresahkan masyarakat”.
Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia menyatakan, Kepolisian Negara RI bertugas:
64
a) Menjalankan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patrol terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuia kebutuhan;
b) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban
dan kelancaran lalu lintas dijalan;
c) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga mesyarakat terhadap
hukum dan peraturan perundang-undangan;
d) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f) Melakukan kordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa;
g) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukumacara dan peraturan perundang-undangan lainnya;
melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda masyyarakat dari gangguan
ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
h) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan
dalam lingkup tugas kepolisian; serta
i) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Kepolisian Republik Indonesia dipimpin oleh Kepala Kepolisian Republik
Indonesia seperti yang tercantum didalam Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 “Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang
dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan
peraturan perundang-undangan”. Kemudian didalam Pasal 11 Ayat (1) “Kapolri
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Pewakilan
Rakyat”.
Dalam menjalankan tugasnya di daerah Kapolri dibantu oleh Kapolda
(Kepala Polisi Daerah), menegenai pengangkatan Kapolda terdapat di dalam Pasal
65
11 Ayat (8) “ Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemeberhentian dalam jabatan
selain yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri”.
Kemudian untuk lebih mengkhususkan pasal tersebut maka dikeluarkan lah
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2017 Ttentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kepolisian Republik Indonesia, terdapat didalam Pasal 54 Ayat (4) yaitu:”
Kapolda merupakan jabatan eselon IIA dan setinggi-tingginya eselon IB , kemudian
dalam Pasal 57 Ayat (1) disebutkan bahwa: “Pengangkatan dan pemberhentian pada
jabatan dan pengangkatan Perwira Tinggi (PATI) bintang dua keatas atau yang
termasuk dalam lingkup jabatan eselon IA dan IB ditetapkan oleh Kapolri setelah
dikonsultasikan dengan Presiden.
66
BAB IV
PENGANGKATAN KAPOLDA DI DAERAH OTONOMI DALAM
KERANGKA NEGARA KESATUAN
A. Pengangkatan Kapolda Dalam Negara Kesatuan
Banyak perbicangan mengenai bentuk Negara (staat vormen) terkait
dengan pilihan-pilihan antara bentuk Negara Kesatuan (unitary state,
eenheidsstaat), bentuk negara serikat (federal, bonds-staat), atau bentuk
konfederasi (confederation, staten-bond). Sedangkan perbincangan
mengenai bentuk pemerintahan (regering-vormen) berkaitan dengan pilihan
antara bentuk Kerajaan (Monarki), atau bentuk Republik. Sementara dalam
sistem pemerintahan (regering system) terkait pilihan-pilihan antara sistem
pemerintahan presidensil, sistem pemerintahan parlementer dan sistem
pemerintahan campuran, yaitu quasi perlementer seperti Perancis yang
dikebal dengan istilah hybrid system dan sistem pemerintahan collegial
seperti Swiss.1
Teori-teori bentuk negara yang dikembangkan para ahli dan
berkembang di zaman modern bermuara pada dua paham yang mendasar.
Pertama, paham yang menggembangkan bentuk Negara dengan bentuk
Pemerintahan.2 Paham ini menganggap bentuk pemerintahan dimana
terdapat hubungan yang erat antara eksekutif dan legislative, bentuk
pemerintahan dimana ada pemisahan yang tegas antara legislative, eksekutif,
dan yudikatif, bentuk pemerintahan dimana terdapat pengaruh dan
pengawasan langsung dari rakyat terhadap badan legislative. Kedua, paham
yang membahas bentuk Negara atas golongan demokrasi dan diktaktor.
1 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme. (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h.
259 2 Bouger, masalah-masalah demokrasi, (Jakarta: Yayasan Pembangunan, 1952), h. 32-33
67
Paham ini membahas bentuk negara atas golongan demokrasi dan diktaktor.
Paham ini juga memperjelas bahwa demokrasi dibagi dalam demokrasi
Konstitusional (liberal) dan demokrasi rakyat.
Dari teori-teori tersebut kemudian berkembang di zaman modern
ini, yaitu bentuk Negara Kesatuan (unitarisme) dan Negara Serikat
(Federalisme) yang dapat berbentuk sistem sentralisasi atau sistem
desentralisasi. Negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun dari
beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada
negara didalam negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada
satu pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang
tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijakan
pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik dipusat maupun
di daerah-daerah.
Bentuk negara sesungguhnya berkaitan dengan kekuasaan tertinggi
pada suatu negara yaitu kedaulatan. Dalam negara, kedaulatan merupakan
esensi terpenting dalam menjalankan negara dan pemerintahan. Teori
kedaulatan yang terkenal sampai sekarang, antara lain teori kedaulatan Tuhan
(dikembangkan oleh Agustinus dan Thomas Aquinas), teori kedaulatan
rakyat yaitu kekuasaan berasal dari rakyat (dikembankan oleh Johannes
Althusius. Montesque, dan Jhon Locke), teori kedaulatan negara yaituteori
kedaulatan tertinggi ada pada pemimpin negara yang melekat sejak negara
itu ada (dikembangkan oleh Paul Laband dan George Jelinek), dan teori
kedaulatan hukum yaitu teori kedaulatan dimana kekuasaan dijalankan oleh
pimpinan negara berdasarkan asas hukum dan yang berdaulat adalah hukum
(dikembangkan oleh Hugo De Groot, Krabbe, dan Immanuel Kant).3
Negara Indonesia adalah salah satu negara yang merupakan Negara
Kesatuan seperti yang tertera didalam Undang-Undang Dasar Negara
3 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2000), h .224
68
Republik Indonesia tahun 1945, terdapat didalam Pasal 1 Ayat (1) ”Negara
Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik” seperti yang
kita ketahui didalam negara kesatuan hanya ada satu pemerintahan pusat
yang mempunyai wewenang yang tertinggi dalam mengatur kebijakan
negara serta melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun
didaerah
Pemerintahan pusat mengatur semua kebijakan yang terdapat di
pusat maupun yang dilimpahkan kepada daerah, pemerintah pusat
mempunyai kedudukan dan wewenag yang tertinggi dalam membuat
kebijakan serta untuk mengatur jalannya pemerintahan agar dapat terlaksana
dengan baik. Dalam pemerintahan pusat yang berwenang dalam menjalankan
kebijakan ialah Presiden. Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
Republik maka sebutan untuk kepala negaranya adalah Presiden Republik
Indonesia. Presiden Indonesia adalah kepala negara yang merangkap menjadi
kepala pemerintahan.
Menurut Jimmliy Assidiqie, Presiden adalah organ lapis pertama
atau dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara, Bagir Manan
mengategorikan 3 (tiga) jenis lembaga negara yang dilihat berdasarkan
fungsinya, yakni:4
a. Lembaga Negara yang menjalankan fungsi negara secara langsung atau
bertindak untuk dan atas nama negara, seperti Lembaga Kepresidenan,
DPR, Lembaga Kekuasaan Kehakiman. Lembaga-lembaga yang
menjalankan fungsi ini disebut alat kelengkapan negara.
b. Lembaga Negara yang menjalankan fungsi administrasi negara dan tidak
bertindak untuk dan atas nama negara. Artinya, lembaga ini hanya
4 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt55f97e4ed1e36/perbedaan-lembaga-negara-
dan- alat-negara, diakses tanggal 28 Agustus 2019, Pukul 21.00 WIB
69
menjalankan tugas administrative yang tidak bersifat ketatanegaraan.
Lembaga yang menjalankan fungsi ini disebut sebagai lembaga
administrative.
c. Lembaga Negara penunjang atau badan penunjang yang berfungsi untuk
menunjang fungsi alat kelengkapan negara. Lembaga ini disebut auxiliary
organ/agency.
Berdasarkan kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada
pada lembaga yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya
berupa lembaga negara pendukung. Sebagai contoh pejabat negara adalah
anggota DPR, Presiden, dan Hakim. Pejabat-pejabat tersebut menjalankan
fungsinya untuk dan atas nama negara.
Menurut Jimly, hierarki antar lembaga negara penting untuk
ditentukan, karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan terhadap orang
yang menduduki jabatan dalam lembaga negara. Untuk itu, ada dua kriteria
yang dapat dipakai, yaitu kriteria hirarki bentuk sumber normative yang
menentukan kewenanngannya, dan kualitas fungsinya yang bersifat utama
atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara. Sehubungan dengan itu,
maka dari segi fungsinya, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula
yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary).5 Sedangkan dari segi
hirarkinya, dapat dibedakan kedalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat
disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai
lembaga negara, sedangkan lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Organ
lapis pertama atau lembaga tinggi negara, yaitu:
5 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer,
2009). h.467
70
1. Presiden dan Wakil Presiden;
2. Dewan Perwakilan Rakyat;
3. Dewan Perwakilan Daerah;
4. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
5. Mahkamah Konstitusi;
6. Mahkamah Agung;
7. Badan Pemeriksa Keuangan.
Organ lapis kedua atau lembaga negara, ada yang mendapatkan
kewenangannya dari Undang-Undang Dasar, adapula yang mendapatkan
kewenanagannya dari undang-undang. Walaupun kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar (memiliki constitutional importance) tapi belum
tentu merupakan lembaga negara utama, karena:6
1. Fungsinya hanya bersifat supporting atau auxiliary terhadap fungsi utama;
2. Pemberian kewenangan konstitusional yang eksplisit hanya dimaksudkan
untuk menegaskan kedudukan konstitusionalnya yang independen;
3. Penentuan kewenangan pokoknya dalam UUD 1945 hanya bersifat by
implication, bukan dirumuskan secara tegas. Lembaga-lembaga negara
sebagai organ konstitusi lapis kedua itu adalah:
1. Menteri Negara;
2. Tentara Nasional Indonesia;
3. Kepolisian Negara;
4. Komisi Yudisial;
5. Komisi Pemilihan Umum;
6. Bank Sentral.
Lembaga-lembaga daerah adalah:
1. Pemerintahan Daerah Provinsi;
6 Jimly Asshiddiqie, “Lembaga Negara” dalam http://www.jimly.com/pemikiran/view/13
diakses tanggal 28 Agustus 2019, Pukul 21.00 WIB
71
2. Gubernur;
3. DPRD Provinsi;
4. Pemerintah Daerah Kabupaten;
5. Bupati;
6. DPRD Kabupaten;
7. Pemerintah Daerah Kota;
8. Walikota;
9. DPRD Kota.
Presiden sebagai lembaga tertinggi negara didalam suatu negara
kesatuan mempunyai wewenang yang begitu luas, kewenangan itu semua
diatur dalam suatu peraturan-peraturan nya tersendiri, contohnya dalah hal
pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Presiden
mempunyai hak untuk memilih siapa anngota polisi yang sudah memenuhi
berbagai macam persyartaan menduduki posisi tersebut, hal ini sesuai dengan
Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia berbunyi: “Kapolri diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Dalam hal
pengangkatan Presiden mempunyai kewenangan untuk mengangkat Kapolri
setelah mendapat pertsetujuan oleh DPR.
Presiden sebagai lembaga tinggi negara mempunyai hak untuk
mengangkat dan juga memberhentikan Kapolri, hal itu sesuai dengan isi
Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri, jadi
dapat dipahami Polri adalah lembaga yang berada dibawah Presiden dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dalam Pasal 8 Ayat (1) dan
Ayat (2) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia disebutkan bahwa dalam Pasal 8 Ayat (1): “Kepolisian
Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden. Ayat (2): “Kepolisian
Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan
72
tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia di Pasal 1 Ayat (1) dan 2
yang berbunyi: Pasal 1 Ayat (1):”Kepolisian Negara Republik Indonesia,
yang selanjutnya disebut Polri, adalah Kepolisian Nasional yang merupakan
satu kesatuan dalam melaksanakan peran memelihara kemanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberi perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri”, kemudian didalam Pasal 1 Ayat (2) berbunyi:”Polri
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berkedudukan dibawah Presiden”.
seperti yang diungkapkan oleh bagair manan Kepolisian Republik Indonesia
adalah lembaga negara yang bersifat supporing axualiry atau sebagai
lembaga negara penunjang, Kepolisian Republik Indonesia mempunyai tugas
untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, hal ini sesuai
dengan bunyi Pasal 13 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Polri, tidak hanya masalah mengenai keamanan serta ketertiban
masyarakat, terdapat beberapa tugas Polri lainnya seperti yang tercantum
didalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri yaitu:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Untuk menjalankan tugasnya Kepolisian Negara Republik
Indonesia membentuk Kepolisian di tingkat daerah, yang disebut dengan
Polisi Daerah (Polda), guna untuk memaksimalkan tugas keamanan dan juga
menjaga ketertiban masyarakat, kepolisian membagi dalam daerah hukum
menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Republik Indonesia,
73
sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai berikut:
Pasal 6 Ayat 2: “Dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi
kepolisian, wilayah negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum
menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Ayat 3: “Ketentuan mengenai daerah hukum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Tujuan dibentuk dan pembagian daerah hukum dalam Kepolisian
Negara Republik Indonesia ialah untuk melaksanakan peran dan fungsinya
secara efektif dan efisien, wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam
daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenang
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memeperhatikan luas wilayah
keadaan penduduk, dan kemampuan Kepolisisan Negara Republik Indonesia.
Pembagian daerah hukum tersebut diusahakan serasi dengan pembagian
wilayah administrative pemerintahan di daerah dan perangkat sistem
peradilan pidana terpadu.
Dalam hal pembentukan daerah hukum Kepolisian Republik
Indonesia telah diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007
Tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia, dikatakan
bahwa pertimbangan dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2007 ini untuk melaksanakan ketentuan dari Pasal 6 Ayat (3) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yang dimaksud dengan daerah hukum Kepolisian Negara
Republik Indonesia adalah wilayah yuridiksi Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang meliputi wilayah darat, wilayah perairan dan wilayah udara
dengan batas-batas tertentu dalam rangka melakasanakan fungsi dan peran
kepolisian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
74
Dalam hal pembagian daerah hukum Kepolisian diatur di dalam
Pasal 2 Ayat (1), Ayat (2), Pasal 3 Ayat (1), Ayat (2) dan Pasal 4 Ayat (1),
Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007
Tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia, bunyi dari
pasal-pasal tersebut ialah:
Pasal 2:
1. Daerah hukum kepolisian dibagi berdasarkan kepentingan
penyelenggaraan fungsi dan peran kepolisian.
2. Pembagian daerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan pembagian wilayah
administrasi pemerintahan daerah dan perangkat sistem peradilan
pidana terpadu.
Pasal 3:
1. Pembagian dan perubahan daerah hukum kepolisian ditetapkan
dengan mempertimbangkan kepentingan, kemampuan, fungsi dan
peran kepolisian, luas wilayah, serta keadaan penduduk.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penetapan
pembagian daerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) diatur dengan Peraturan Kapolri.
Pasal 4:
1. Daerah hukum kepolisian meliputi:
a. Daerah hukum kepolisian markas besar untuk wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b. Daerah hukum kepolisian daerah untuk wilayah Provinsi;
c. Daerah hukum kepolisian resort untuk wilayah Kabupaten/Kota;
d. Daerah hukum kepolisian sektor untuk wilayah Kecamatan.
2. Berdasarkan pertimbangan kepentingan, kemampuan, fungsi dan
peran kepolisian, luas wilayah serta keadaan penduduk, Kapolri
dapat menentukan daerah hukum kepolisian ketetuan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) huruf b, huruf c dan huruf d.
3. Selain darerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) dan Ayat (2), daerah hukum kepolisian meliputi pula
kawasan diplomatik, yaitu Kedutaan Besar Indonesia serta kapal
laut dan pesawat udara berbendera Indonesia di luar negeri.
Selanjutnya daerah Kepolisian Republik Indonesia mempunyai
penanggung jawabnya sendiri-sendiri hal ini didalam Pasal 7 Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Daerah Hukum Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang berbunyi:
75
Pasal 7: “penanggung jawab darah hukum kepolisian adalah:
a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b. Kepala Kepolisian Daerah untuk wilayah Provinsi;
c. Kepala Kepolisian Resort untuk wilayah Kabupaten/Kota;
d. Kepala Kepolisian Sektor untuk wilayah Kecamatan.
Kepala Kepolisian Daerah yang selanjutnya disebut Kapolda adalah
pimpinan Polri di daerah Provinsi dan bertanggung jawab kepada Kapolri,
sesuai dengan ketentuan Pasal 7 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2007 Tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia.
dalam hal mengenai pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah telah diatur
dalam Pasal 11 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang berbunyi: “Ketentuan
mengenai pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan selain yang
dimaksud dalam Ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri, yang
berhak langsung mengangkat Kapolda menurut Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 ialah Kapolri sendiri, sebagai Kepala Kepolisian Negara
Kesatuan Republik Indonesia ia berwenang dalah pengangkatan Kepala
Kepolisian ditingkat Provinsi.
Kapolda adalah jabatan eselon IIA setinggi-tingginya eselon IB
sesuai dengan isi Pasal 54 Ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2017
Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik
Indonesia, kemudian didalam hal pengangkatan Kapolda sesuai dengan
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2017 diatur dalam Pasal 57 Ayat (1) yang
berbunyi: “Pengangkatan dan Pemberhentian pejabat pada jabatan
Kepangkatan Perwira Tinggi (PATI) bintang dua keatas atau yang termasuk
dalam lingkup jabatan eselon IA dan IB ditetapkan oleh Kapolri setelah
dikonsultasikan dengan Presiden”.
Kapolri dalam pengangkatan Kapolda sesuai dengan Pasal 57 Ayat
(1) Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2017 harus berkonsultasi terlebih
76
dahulu kepada Presiden. Presiden sebagai kepala pemerintahan mempunyai
wewenang dalam menentukan siapa calon yang dapat diangkat untuk
menjadi Kepala Kepolisian Daerah, hal ini mejadi intervensi dari pemerintah
pusat dalam hal bidang keamanan dan juga ketertiban masyarat. Dalam hal
keamanan dan juga ketertiban serta pertahanan negara, semua diserahkan
kepada pemerintah pusat untuk menentukan atau mengeluarkan kebijakan,
tidak adanya unsur campur tangan daerah dalam menentukan kebijakan
pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah, itu semua diserahkan kepada
Pemerintah Pusat yang mempunyai wewenang menurut peraturan perundang
undangan yang berlaku.
Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 30 Ayat (4) Undang –undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa: “Kepolisian Negara
Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan
ketertiban masyrakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum”, fungsi kepolisian sebagai alat negara
tercantum didalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut: “Kepolisian
Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam
m[emelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,
serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
B. Inkonstitusional Pengangkatan Kapolda Di Aceh Dalam Otonomi Khusus
Negara kesatuan Republik Indonesia yang terbagi atas daerah-
daerah provinsi mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang terdapat
didalam Pasal 18B Ayat (1), ketentuan ini mendukung keberadaan berbagai
satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau istimewa, contoh dari satuan
77
pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa adalah Daerah
Istimewa (D.I.) Yogyakarta, Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta,
Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Kemudian didalam pasal 18B Ayat (2) dijelaskan bahwa: “Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam terbitan resminya
mengenai Panduan dalam memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa ada 7 prinsip yang menjadi
paradigma dan arah politik yang mendasari Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal
18B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu:
1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan Pasal 18
Ayat (2)
2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya Pasal 18 Ayat (5);
3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah Pasal 18A Ayat (1);
4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak- hak tradisionalnya Pasal 18 B Ayat (2);
5. Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat
khusus dan istimewa Pasal 18B Ayat (1);
6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu Pemilihan
Umum Pasal 18 Ayat (3);
7. Prinsip hubungan pusat dan daerah dilaksanakan secara selaras dan adil
Pasal 18A Ayat (2).
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan
amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 maka
78
kebijakan politik hukum yang ditempuh oleh pemerintahan terhadap
pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pmberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah, dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam system Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, Ketetapan MPR dan Undang-Undang, sistem pemerintahan
kita telah memberikan keleluasan yang sangat luas kepada daerah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah
menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta
masyarakat dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai
aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah.
Menurut M Busrizalti7 dalam bukunya, Kewenangan daerah mencakup
kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan
fiscal, agama serta kewenagan bidang lain mencakup kebijakan tentang
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro,
dana perimbangan keuangan, sistim administrasi dan lembaga perekonomian
negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayaguaan
sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan
standarnisasi nasional.
Provinsi Aceh adalah salah satu provinsi yang ada didalam Negara
Kesatuan Republik Indonesi, perjalanan sejarah pembentukan Provinsi Aceh
7 M. Busrizalti, Hukum Pemda Otonomi Daerah dan Implikasinya, (Yogyakarta: Total Media,
2013), h. 122-123.
79
sangatlah panjang. Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
mempunyai status “Otonomi Khusus” pada tahun 2001 melalui Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Nanggroe Aceh Darussalam merupakan
kawasan yang paling bergejolak dengan potensi kepada disintegritas dari
Republik Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, Aceh menghendaki menjadi
kawasan dengan perlakuan khusus, kehendak ini diperjuangkan dengan
sejumlah alasan penting, dari semua alasan yang berkembang alasan yang
paling kuat adalah alasan kesejarahan.
Disatu sisi pemberian otonomi khusus pada Provinsi Aceh
memberikan sebuah dampak yang positif bagi pemerintah Indonesia, namun
pemberian otonomi khusus pada aceh juga memberikan kewenangan daerah
yang sangat luas pada Aceh dalam menjalankan fungi pemerintahan daerah,
hal ini terlihat dari Pasal 205 Undang-Undang nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh, sebagai berikut: “ Pengangkatan Kepala Kepolisian
Aceh dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
Persetujuan Gubernur” ini menjadi sebuah polemik didalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, hal ini berkaitan mengenai pengangkatan Kepala
Kepolisian Daerah yang harus mendapatkan persetujuan Gubernur dalam
pengangkatannya.
Pasal 18 Ayat (5) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 mengamanatkan pemerintah daerah dapat menjalankan otonomi seluas-
luasnya, kecuali urusan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat. Kewenanagan yang didapat Aceh dalah hal pengangkatan
Kapolda sudah melanggar dari prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
hal ini karena Aceh sudah mencampuri kewenagan dari pemerintah Pusat
dalah hal keamanan.
Jika dilihat dari yang dikemukakan M. Busrizalti bahwa
kewenangan pemerintahan pusat terletak kepada politik luar negeri,
80
pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, dalam hal
pengangkatan Kapolda atas persetujuan Gubernur telah melebihi kewenangan
dari pemerintah daerah, dalam teori stufenbow theory, atau teori hierarki
perundang-undangan maka penggangkatan Kapolda ini sudah melanggar
norma dasar , yaitu Undang-Undang Dasar, karena didalam Undang-Undang
Dasar pemerintah daerah dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya namun
terdapat batasan mana yang menjadi kewenanagan urusan pemerintah pusat
dan juga yang mana menjadi kewenangan pemerintah daerah, penjabaran
lebih lanjut mengenai pembatasan mengenai urusan yang menjadi
kewenangan dari pemerintah pusat terdapat didalam Pasal 10 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah daerah, urusan yang
menjadi kewenangan dari pemerintah pusat.
Dari hal ini perlunya pengaturan pembatasan mengenai kewenagan
pemberian otonomi kepada daerah. Kemudian dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia dinyatakan
bahwa pengangkatan Kapolda berada di bawah kekuasaan Kapolri, sesuai
dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (8) “Ketentuan mengenai pengangkatan dan
pemberhentian dalam jabatan selain yang dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan keputusan Kapolri”.
Kemudian didalam hal pengangkatan Kapolda sesuai dengan
Peraturan Pasal 57 Ayat (1) Presiden Nomor 5 Tahun 2017 yang berbunyi:
“Pengangkatan dan Pemberhentian pejabat pada jabatan Kepangkatan
Perwira Tinggi (PATI) bintang dua keatas atau yang termasuk dalam lingkup
jabatan eselon IA dan IB ditetapkan oleh Kapolri setelah dikonsultasikan
dengan Presiden”.
Kapolri dalam pengangkatan Kapolda sesuai dengan Pasal 57 Ayat
(1) Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2017 harus berkonsultasi terlebih
dahulu kepada Presiden, Presiden sebagai kepala pemerintahan mempunyai
wewenang dalam menentukan siapa calon yang dapat diangkat untuk menjadi
81
Kepala Kepolisian Daerah, hal ini mejadi intervensi dari pemerintah pusat
dalam hal bidang keamanan dan juga ketertiban masyarat. Dalam hal
keamanan dan juga ketertiban serta pertahanan negara, semua diserahkan
kepada pemerintah pusat untuk menentukan atau mengeluarkan kebijakan,
tidak adanya unsur campur tangan otonomi daerah dalam menentukan
kebijakan pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah, itu semua diserahkan
kepada Pemerintah Pusat yang mempunyai wewenang menurut peraturan
perundang undangan yang berlaku.
Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 30 Ayat (4) Undang –undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa: “Kepolisian Negara
Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan
ketertiban masyrakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum”, fungsi kepolisian sebagai alat negara
tercantum didalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut: “Kepolisian
Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Selain bertentangan denagan peraturan perundang-undangan diatas
Pasal 205 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan
Aceh juga terdapat kontradiksi pengaturan didalam undang-undang ini karena
pada Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) diatur mengenai kewenangan dari
pemerintah Aceh, sebagai berikut, Pasal 1” Pemerintahan Aceh dan
kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam semua sektor kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah”. Pasal 2” Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar
82
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan
urusan tertentu dalam bidang agama”.
Otonomi daerah yang mempunyai kewenangan yang sangat luas dan
harus dibatasi, agar tidak menimbulkan kekuasaan yang sangat luas yang
dapat merugikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal yang dapat
ditimbulkan dengan adanya persetujuan Gubernur atas diangkatnya seorang
Kapolda ialah dikhawatirkan akan adanya hubungan balas jasa yang
dilakukan kepada Gubernur yang akan mencalonkan diri kembali dalam
pemilihan kepala daerah yang selanjutnya disebut gubernur petahana atau
gubernur incumbent, dikarenakan dalam proses pemilihan atau pengangkatan
Kapolda daerah terkait diharuskan mendapatkan persetujuan dari Gubernur
yang sedang menjabat, dan juga dikhawatirkan dalam penindakan atau dalam
proses pelaksanaan penegakan hukum di daerah tersebut akan terganggu
dikarenakan dari proses pengangkatan Kapolda yang mengharuskan adanya
persetujuan Gubernur.
Hal tersebut dapat terjadi karena Gubernur mempunyai jasa dalam
pengangkatan Kapolda terpilih, hal inilah yang sangat dikhawatirkan timbul
jika pengangkatan kapolda harus dengan persetujuan Gubernur, sehingga
harus dibuatlah suatu aturan yang mengatur mengenai pembatasan dari
kewenangan yang dimiliki oleh otonomi khusus.
Teori hierarki peraturan perundang-undangan yang dikembangkan
oleh Hans Kelsen, meengatur mengenai peraturan yang ada dibawah haruslah
mengikuti aturan yang ada diatasnya, pada Pasal 205 dikatakan bahwa dalah
pengangkatan Kapolda haruslah dengan persetujuan Gubernur, namun bidang
keamanan bukanlah urusan yang menjadi kewenangan dari pemerintah
daerah, tapi urusan yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat
dikatakan bahwa Pasal 205 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 telah
bertentangan dengan Pasal 18 Undang-undang Tahun 1945, yang menyatakan
bahwa daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya namun dibatasi oleh
83
urusan pemerintah yang diatur oleh perundang-undangan, walaupun negara
Indonesia mengakui dan menghormati daerah yang bersifat khusus dan
istimewa terdapat batasan atas otonomi yang telah diberikan, dalah hal
melaksanakan otonomi harus mengikuti norma/peraturan yang berlaku.
Pembatasan mengenai urusan yang menjadi wewenang pemerintah
pusat dan daerah haruslah dipertegas, memang jika tidak bisa dibuat aturan
yang mengatur menegenai pembataan maka pasal tersebut harus direvisi oleh
DPR sebagai lembaga yang berwenang, seperti yang dikatakan oleh Bagir
manan8 bahwa “Tidak ada otonomi tanpa pengawasan dan otonomi bukanlah
kemerdekaan” bahwa batas otonomi adalah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan kata lain, pengawasan merupakan “symbol negara
kesatuan terhadap daerah otonomi”.
8 Bagir Manan, Hukum Tata Negara Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945, Jurnal
Ilmu Hukum volume 2 Nomor 3 Tahun 2015, h. 638
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah pembahasan dari bab-bab sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) ialah wewenang
daripada Presiden atau Pemerintah Pusat selaku kepala negara dan
kepala pemerintahan, hal ini dikarenakan konsep kepolisian
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945
merupakan alat negara dengan tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi)
menjaga keamanan negara yang dalam hal ini merupakan domain
daripada Presiden selaku kepala Pemerintahan dengan mengacu
kepada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, bahwa Presiden ialah pemegang
kekuasaan pemerintahan. Oleh karenanya sesuai dengan tafsiran
sistematis terhadap UUD 1945 demikian, maka pengangkatan kepala
kepolisian daerah, harus benar-benar menjadi wewenang Presiden
selaku pemerintah pusat dalam melaksanakan fungsi pemerintahan.
2. Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Pasal 18B Ayat (1)
Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa selama sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip-prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia,
terdapat hal yang menjadi urusan dari pemerintah yang menjadi batas
dari berlakunya ontonomi seluas-luasnya.
B. Rekomendasi
Setelah menganalisis mengenai pengangkatan Kapolda dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta problematika pengangkatan
Kapolda dlam otonomi khusus di dalam Negara Kesatuan, maka peneliti
menyarankan beberapa rekomendasi yang ingin disampaikan, yaitu:
85
1. Peneliti berharap kepada DPR sebagai lembaga Legislatif untuk
merevisi aturan tersebut dan mengembalikan kewenangan
pengangkatan Kapolda kepada Kepala Kepolisian Republik
Indonesia sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam Kepolisian.
2. Peneliti berharap konsep desentralisasi ditunjukkan untuk
meningkatkan pelayanan. Pelayanan bidang pemerintahan,
kemasyarakatan dan pembangunan adalah suatu hal yang bersifat
esensial guna mendorong dan menunjang dinamika interaksi
kehidupan masyarakat baik sarana untuk memeperoleh hak-haknya,
maupun sebagai sarana kewajiban masyarakat sebagai warga negara
yang baik. Kemudian peningkatan daya saing daerah, ini dilakukan
guna tercapainya keunggulan lokal dan disamping itu daya saing
nasional juga akan menunjang sistim ekonomi nasional yang
bertumpu pada strategi kebijakan perekonomian rakyat.
3. Peneliti berharap ada batasan-batasan khusus terhadap pelaksanaan
otonomi khusus agar tidak bertentangan dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
86
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku.
Agussalim Andi , Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum,(Bogor:
Ghalia Indonesia, 2007)
Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Terhadap
UnsurUnsurnya,( Jakarta: UI Press, 1995)
Asshiddiqie Jimly, Konstitusi dan Konstitualisme (Jakarta, Konstitusi Press,
2006)
Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2004).
Atmosudirjo Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia
Anwar Yesril, Sistem Peradilan Pidana, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009)
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Pt Citra
Aditya Bakti, 2004.
Bouger, masalah-masalah demokrasi,( Jakarta: yayasan pembangunan, 1952)
C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, cetakan kedua, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1985)
Budiarjo Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2005.
87
Busrizalti. M, Hukum Pemda Otonomi Daerah dan Implikasinya, Total Media,
Yogyakarta, 2013.
Djumala Darmansyah. Soft Power Untuk Aceh Resolusi Konflik dan Politik
Desentralisasi (Penerbit Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2013)
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal aripin, Metode Penelitian Hukum
(Ciputat: Lembaga Penelitian, 2010).
Echols John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta:
Gramedia, 2000)
Huda Ni’matul, Berkayuh Diantara Bentuk Negara Kesatuan Dan Federal,
Jurnal Konstitusi PSHK UII, Vol.1.No.01,
Hetifa Sj Sumarto, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, (Bandung:
Yayasan Obor Indonesia, 2003).
Koesomahatmadja R.D.H, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah
diIndonesia, (PenerbitBina Cipta,Bandung,1979)
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet
ke-5 (Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara, FH UI,1983)
MD Moh Mahfud, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia,
(Yogyakarta, UII Press, 1993)
Marzuki Peter Muhammad, Penelitian Hukum, Ed. Revisi, Jakarta: Kencana
88
Prenadamedia, 2005.
Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Pustaka
Mandiri, Jakarta, 2010.
Purwanto, Wawan H. Papua Meradang Siapa Bermain (Penerbit CMB Pers:
Jakarta, 2013)
Perbiddya Solosa, Jacobus. Otonomi Khusus Papua Mengangkat Martabat
Rakyat Papua di dalam NKRI (Penerbit Pustaka Sinar Harapan: Jakarta,
2006)
Sukriono Didik , Hukum Konstitusi dan Konsep Otonomi, Kajian Politik Hukum
tentang Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi,
Setara Press, Malang, 2013
Sunarno Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Sinar Grafika,
Jakarta, 2012)
Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan
Suharyo, “Otonomi Khusus Di Aceh dan Papua Di Tengah Fenomena Korupsi,
Suatu Strategi Penindakan Hukum”, Jurnal Penelitian Hukum DE JURE
Vol. 18 No. 3, 2018
Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2000)
89
Taufiqurrahman, dkk, Bahan Ajar Hukum Tata Negara,( Universitas Bengkulu,
2006)
Widjaja Haw, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, Raja Grafindo Persada
Jakarta, 2008.
W. Sunindhia Y, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah, Rineka
Cipta, Jakarta, 1987.
B. Jurnal
Nadir Sakinah.(2013) Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa Jurnal
Politik Profetik Universitas Hasanuddin Makassar, Volume 1 Nomor1
Tahun 2013
Pratama Andhika Yudha. (2015) Pelaksanaan Desentralisasi Asimetris
Dalam Tata Kelola Pemerintahan Daerah Di Era Demokrasi Jurnal
Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Univesitas Gadjah Mada,
Volume 28 Nomor 1 Tahun 2015
Safitri Sani,(2016) Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah Di Indonesia
Jurnal Criksetra Universitas Sriwijaya, Volume 5, Nomor 9,
Februari 2016
C. Undang-Undang
Lihat Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar UUD 1945 :
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
Provinsi dan daerah Provinsi dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-
tiap Provinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai Pemerintahan
Daerah, yang diatur dengan undang-undang.
90
D. Website
https://kbbi.web.id/daerah. : “Bagian permukaan bumi dalam
kaitannya dengan keadaan alam dan sebagainya yang khusus”
https://kbbi.web.id/khusus : “sifat khusus; keistimewaan, sesuatu yang
mempunyai ciri tersendiri.