inkonstitusional pengangkatan kapolda di aceh...

101
INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH DALAM OTONOMI KHUSUS Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: MUHAMMAD ILHAM NIM: 11150480000087 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2019 M

Upload: others

Post on 17-Mar-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH

DALAM OTONOMI KHUSUS

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

MUHAMMAD ILHAM

NIM: 11150480000087

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2019 M

Page 2: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

i

INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH

DALAM OTONOMI KHUSUS

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

MUHAMMAD ILHAM

NIM: 11150480000087

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2019 M

Page 3: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi
Page 4: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi
Page 5: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi
Page 6: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

v

ABSTRAK

Muhammad Ilham, Nim 11150480000087. INKONSTITUSIONAL

PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH DALAM OTONOMI KHUSUS. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta,1441 H/2019 M. ix- 89 halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai pembatasan kewenangan

khusus yang dimiliki oleh Provinsi Aceh dalam pengangkatan Kapolda Aceh.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif . Dalam penelitian ini metode

pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi kepustakaan (Library Research) yaitu

dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan pengundang-undangan, buku-buku,

dokumen resmi, serta tulisan tulisan para sarjana yang berkaitan dengan skripsi ini..

Data yang telah dihimpun dan dianalisis menggunakan metode deskriptif eksplanatoris

atau penelitian non-doktrinal, yakni penelitian yang mengkhusus pada ilmu hukum

yang menggabungkan antara aspek normatif dan empiris. Pendekatan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan serta pendekatan

konseptual.

Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa seharusnya terdapat pembatasan atas

kewenangan khusus yang diberikan pemerintah Indonesia kepada Provinsi Aceh dalam

melaksanakan otonomi daerah, dalam hal ini pembatasan mengenai pengangkatan

Kapolda Aceh yang seharusnya merupakan kewenangan pusat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang mengatur, seperti yang diketahui dalam peraturan

perundang-undangan diatur batasan-batasan yang menjadi kewenangan pemerintah

pusat, yang antara lain kewenangan nya meliputi urusan pemerintahan yang bersifat

nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional

dan urusan tertentu dalam bidang agama, dalam penelitian ini menyinggung campur

tangan pemerintahan daerah dalam bidang keamanan. Seperti yang diungkapkan oleh

Bagir Manan bahwa “Tidak ada otonomi tanpa pengawasan dan otonomi bukanlah

kemerdekaan”.

Kata Kunci : Inkonstitusional, Otonomi Khusus, Pemerintah Pusat, Kepala

Kepolisian Daerah.

Pembimbing Skripsi : Abdul Qodir, S.H. M.Hum.

Daftar Pustaka : Tahun 1950 Sampai Tahun 2015.

Page 7: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

vi

KATA PENGANTAR

حيم حمن الر بســــــــــــــــــم هللا الر

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan inayat-Nya

akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Salawat beserta salam

tak luput dihaturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah berjasa bagi kita semua

dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.

Skripsi yang berjudul “Inkonstitusional Pengangkatan Kapolda Di Aceh

Dalam Otonomi Khusus” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi

peryaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilmu Hukum

Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara Fakultas Syarian dan Hukum Universitas

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan

mengatasi berbagai macam hambatan, rintangan, ujian, dan tantangan yang

mengganggu proses penyelesaian skripsi ini, Penulis banyak mendapatkan bimbingan,

arahan, serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum

dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi

dalam pembuatan skripsi ini.

3. Abdul Qodir, SH. M.Hum. pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan

waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing peneliti dalam menyelesaikan

skripsi, sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

4. Dr. JM Muslimin, M.A. Dosen Pembimbing Akademik yang telah mendukung dan

memberi dukungan kepada peneliti

Page 8: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

vii

5. Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu

dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti mengadakan studi

kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

6. Kepala urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah membantu peneliti dalam menyediakan fasilitas yang memadai

dalam segi kepustakaan.

7. Semua pihak terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu. Tidak ada yang

dapat peneliti berikan untuk membalas jasa-jasa kalian, kecuali dengan doa dan

ucapan terimakasih.

Peneliti menyadari dalam penelitian skripsi ini banyak terdapat kekurangan dan

perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini dapat memberikan

manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan dan

penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Sekian dan terimakasih.

Jakarta, 19 September 2019

Muhammad Ilham

Page 9: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iv

ABSTRAK ..................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .............. 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................. ................. 6

D. Metode Penelitian .................................................................. 7

E. Sistematika Penulisan ........................................................... 10

BAB II TINJAUAN DAERAH OTONOMI KHUSUS DALAM NEGARA

KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ................................. 12

A. Kerangka Konseptual ............................................................ 12

1. Inkontitusional ............................................................... 12

2. Kekhususan .................................................................... 12

3. Pengangkatan ………………………………………….. 12

4. Kapolda .......................................................................... 13

5. Povinsi Aceh .................................................................. 13

6. Desentralisasi ................................................................. 14

B. Kerangka Teoritis .................................................................. 14

1. Teori Negara Kesatuan ................................................... 14

2. Teori Otonomi Daerah ................................................... 19

3. Teori Hirarki Perundang-undangan .............................. 25

C. Kajian (Review) Studi Terdahulu .......................................... 28

Page 10: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

ix

BAB III SEJARAH OTONOMI KHUSUS DAN LEMBAGA KEPOLISIAN

DI INDONESIA .......................................................................... 31

A. Sejarah Pemberian Otonomi Khusus di Indonesia ................ 31

1. Sejarah Pemberian Otonomi Khusus Papua ……………. 32

2. Sejarah Pemberian Otonomi Khusus Aceh …………….. 36

3. Sejarah Pemeberian Otonomi Daerah Istimewa Yogyakarta 40

4. Sejarah Pemberian Otonomi Khusus DKI Jakarta …….. 45

B. Otonomi Khusus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ..48

C. Kepolisian Republik Indonesia di Tinjau dari Konsep Lembaga

Negara .................................................................................... 61

BAB IV PENGANGKATAN KAPOLDA DI DAERAH OTONOMI DALAM

KHUSUS KERANGKA NEGARA KESATUAN ................... 66

A. Pengangkatan Kapolda dalam Negara Kesatuan ................... 66

B. Inkonstitusional Pengangkatan Kapolda Di Aceh dalam Otonomi

Khusus .................................................................................. 76

BAB V PENUTUP ................................................................................... 84

A. Kesimpulan ........................................................................... 84

B. Rekomendasi ......................................................................... 84

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 86

Page 11: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembagian kekuasaan dan penyelengaraan negara adalah salah satu ciri

dari negara demokrasi, terdapat berbagai badan penyelenggara kekuasaaan.

Pembagian kekuasaan menurut fungsinya menunjukkan perbedaan antara

fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang

lebih dikenal sebagai Trias Politika.

Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga

macam kekuasaan: Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat

Undang-Undang (dalam peristilahan baru sering disebut (rule making function);

kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan Undang-Undang (rule

application function). ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas

pelanggaran Undang-Undang (rule adjudication function). Trias politika adalah

suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak

diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan

kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian hak-hak asasi warga

negara lebih terjamin.1

Namun apabila dalam negara yang sedang berkembang dimana

kehidupan ekonomi dan sosial telah menjadi demikian kompleksnya serta badan

eksekutif mengatur hampir semua aspek kehidupan masyarakat, trias politica

dalam arti “pemisahan kekuasaan” yang dikemukakan oleh Montesquieu tidak

dapat dipertahankan lagi. Dengan perkembangan konsep mengenai negara

kesejahteraan (Welfare state) dimana pemerintah bertanggung jawab atas

kesejahteraan seluruh rakyat dank arena itu harus menyelenggarakan

perencanaan perkembangan ekonomi dan sosial secara menyeluruh, maka fungsi

kenegaraan sudah jauh melebihi tiga macam fungsi yang disebut oleh

Montesquieu.2

1 Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005),

h. 282 2 Y.W. Sunindhia, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah, (Jakarta: Rineka

Cipta, 1987), h. 55

Page 12: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

2

Otonomi daerah merupakan salah satu upaya pemerintah dalam

mewujudkan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yang

berlandaskan Pancasila dan Pasal 18 Ayat (1) UUD 945 berbunyi : “Negara

Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah

Provinsi dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan

Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Semaun berpendapat bahwa pemerintahan negara modern akan tersusun dari: (a)

pemerintah dan parlemen; (b) pemerintah provinsi dan dewan provinsi; (c)

pemerintah kota dan dewan kota. Selanjutnya Mohammad Hatta mengatakan,

bahwa pembentukan pemerintahan daerah (pemerintahan yang berotonomi)

merupakan salah satu aspek pelaksanaan kedaulatan rakyat (demokrasi), yakni

hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada puncak pimpinan

negeri, melainkan juga pada tiap tempat di kota, desa dan daerah.

Gagasan tersebut dapat dipahami mengingat kondisi geografis

Indonesia yang sangat luas dengan kemajemukanya menyebabkan tuntutan

kebutuhan untuk mengakomodasinya dalam penerapan desentralisasi dan

otonomi daerah. Pembentukan pemerintahan daerah sesuai dengan Pasal 18

Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 bertujuan untuk

meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat disamping sebagai sarana pendidikan politik ditingkat lokal.

Pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah diarahkan untuk

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui

otonomi seluas-luasnya daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing

dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan,

kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman dalam sistem NKRI.

Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hal ini

Page 13: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

3

sesuai dengan Pasal 1 Angka (5) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah.3

Otonomi daerah merupakan bagian dari desentralisasi yang berarti

pelimpahan wewenang pada badan-badan dan golongan dalam masyarakat

dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Kemudian di

dalam Pasal 18B Ayat 1 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

menyatakan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan

Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur

dengan undang-undang”. Ketentuan Pasal 18B Undang-undang Dasar 1945 ini

menyiratkan bahwa Negara Republik Indonesia memberikan peluang kepada

daerah untuk menyelenggarakan otonomi khusus, daerah khusus maupun daerah

Istimewa seperti daerah Papua, Nanggroe Aceh Darusalam (NAD), Daerah

Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dan Daerah Istimewa (D.I. Yogyakarta), untuk

menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi

kepentingan nasional, pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam

wilayah provinsi dan /atau kabupaten/kota. Kawasan khusus adalah kawasan

strategis yang secara nasional menyangkut hajat orang banyak.

Dalam menjaga keamanan, daerah dapat membentuk lembaga

kepolisian di daerahnya masing-masing, lembaga kepolisian ini adalah lembaga

yang dibentuk untuk menjaga stabilitas dan keamanan kawasan, dalam setiap

daerah dikepalai oleh polisi yang berwenang, seperti daerah provinsi dikepalai

oleh Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), Kapolda adalah pimpinan kepolisian

di masing-masing daerah dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi

kepolisian di daerah yang bertanggung jawab langsung pada Kepala Kepolisian

Republik Indonesia (Kapolri).

Pengertian Kapolda terdapat pada Pasal 54 Peraturan Presiden Nomor

5 Tahun 2017 Tentang Susunan dan dan Tata kerja Kepolisian Negara Republik

Indonesia: “Kapolda merupakan jabatan eselon IIA setinggi-tingginya eselon

IB”, Kapolda diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri)

3 Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka

Mandiri, 2010), h. 81

Page 14: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

4

setelah dikonsultasikan dengan presiden, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal

57 Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2017: “Pengangkatan dan pemberhentian

pejabat pada jabatan dan kepangkatan Perwira Tinggi (PATI) bintang dua keatas

atau yang termasuk dalam lingkup jabatan eselon IA dan IB ditetapkan oleh

Kapolri setelah dikonsultasikan dengan Presiden. Peraturan Presiden ini adalah

tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, dapat dipahami bahwa pengangkatan Kapolda

dilakukan oleh Kapolri dengan berkonsultasi dengan Presiden, namum peraturan

ini berbeda dengan isi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang

Pemerintahan Aceh, didalam Pasal 205 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

“Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dilakukan oleh Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.

Jika melihat ketentuan dari Pasal 18B Ayat (2) Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia: “Negara mengakui serta menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang

masih hidup dan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pasal ini merupakan dasar dari pembentukan otonomi daerah namun didalamnya

juga terkandung bahwa suatu kesatuan dan hak-hak tradisionalnya diakui dan

dihormati jika sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar di pimpin

oleh Presiden Pasal 4 Ayat (1) “Presiden Republik Indonesia memegang

kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar”, dalam hal

pengangkatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia diangkat oleh

Presiden sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara dikatakan bahwa: “Kapolri diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Kepolisian adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban

masyarakat bertugas melindungi, dan melayani masyarakat, serta menegakkan

hukum, hal ini tertuang dalam Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 15: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

5

Pengangkatan Kapolda dengan Persetujuan oleh Gubernur yang

terdapat di dalam Pasal 205 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintah Aceh bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (5) Undang-Undang Dasar

mengenai pembatasan urusan yang menjadi kewenangan antar pemefrintah pusat

dengan daerah menimbulkan kekhawatiran terjadinya balas jasa antara Kapolda

dengan Gubernur yang memberikan persetujuan, hal ini di khawatirkan akan

berdampak pada proses penegakan hukum yang dibebankan negara kepada

lembaga kepolisian, hal ini dikarenakan peraturan yang mengatur bahwa

pengangkatan Kapolda Aceh harus dengan persetujuan gubernur terkait,

kemudian dalam penyelesaian masalah atau penegakan hukum dianggap lambat

apabila masalah atau kasus tersebut menyangkut orang terdekat atau orang yang

berada disekitar gubernur, hal inilah yang menjadi kekhawatiran jika saja

Kapolda harus mendapatkan persetujuan Gubernur.

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan

penilitian dengan judul “INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN

KAPOLDA DI ACEH DALAM OTONOMI KHUSUS”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah peneliti paparkan, maka

dapat diidentifikasi beberapa masalah dalam penelitian ini, adalah:

a. Adanya ketentuan bagi daerah otonomi Aceh mengenai pengangkatan

Kepala Kepolisian Aceh harus berdasarkan Persetujuan Gubernur yaitu

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh

b. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak

sejalan dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri

c. Adanya Perbedaan dalam pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Aceh

dengan daerah lainnya.

d. Pengangkatan Kapolda Aceh harus dengan persetujuan Gubernur.

Page 16: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

6

2. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini maka peneliti

membatasi yaitu, pengangkatan Kapolda Aceh harus dengan persetujuan

Gubernur.

3. Perumusan Masalah

Untuk mempertegas arah pembahasan dari permasalahan utama yang

telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan masalah skripsi ini adalah

Pengangkatan Kapolda Aceh harus ada persetujuan Gubernur? untuk

mempermudah peneliti, maka rumusan masalah tersebut dibuat pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana mekanisme pegangkatan Kapolda di otonomi daerah dalam

negara kesatuan?

b. Apakah mekanisme pengangkatan Kapolda Aceh dengan persetujuan

gubernur sudah sesuai dengan prinsip negara kesatuan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian kewenangan daerah Khusus Aceh dalam

pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Aceh atas persetujuan Gubernur

memiliki tujuan yaitu:

a. Mengetahui, memahami dan menganalisa kewenangan yang dimiliki oleh

Aceh dalam hal pengangkatan Kapolda Aceh.

b. Untuk mengetahui pengangkatan Kapolda Aceh dengan persetujuan

Gubernur sudah sesuai atau tidak dengan prinsip negara kesatuan

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk:

a. perkembangan dalam bidang ilmu hukum khususnya dalam hukum formil.

Secara teoritis penelitian ingin memberikan manfaat terhadap

b. Menerapkan teori-teori yang telah diperoleh dari bangku perkuliahan

untuk dipraktekan di lapangan.

Page 17: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

7

c. Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat guna memberikan masukan

kepada lembaga legislatif agar lembaga legislatif membuat suatu undang-

undang untuk daerah khusus agar dapat memberikan hak yang sama

dengan daerah lain.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan

penulis sebgai berikut:

1. Pendekatan penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif atau

penelitian hukum kepustakaan. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan

berbagai data dari berbagai macam sumber buku, artikel, atau berita.4

Penelitian hukum normatif didefinisikan sebagai penelitian yang mengacu

pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-

undangan dan putusan pengadilan. Disebut juga sebagai penelitian hukum

doctrinal, yaitu penelitian terhadap hukum yang dikonsepkan dan

dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut pengkonsep atau dalam

pengembangannya.5

Dalam penelitian ini digunakan analisis induktif, karena yang digarap

adalah norma-norma hukum. Menurut Seojono Soekanto penelitian hukum

normatif adalah Penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder belaka. Pada penelitian hukum jenis ini hukum

dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan

(law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang

merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.

4 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) h. 23

5 Fahmi Muhamad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:

Lembaga Penelitian, 2010) h. 32

Page 18: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

8

2. Jenis Penelitian

Penelitian menggunakan jenis penilitian normatif yang dimana

mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma

hukum yang ada dalam masyarakat.6

Metode penelitian normatif adalah metode atau cara yang dipergunakan

dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

yang ada.7 Metode penelitian hukum normative juga bisa disebut sebagai

penelitian terhadap asas-asas hukum atau norma, yaitu penelitian yang

dilakukan terhadap asas-asas hukum dan taraf sinkronisasi hukum.8

3. Sumber Bahan Hukum

Karakteristik utama penelitian ilmu hukum normative dalam

melakukan pengkajian hukum terletak pada sumber datanya.9 Sumber

utamanya adalah bahan hukum, karena dalam penelitian hukum normative

yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat

normative. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh peneliti

dari berbagai kepustakaan serta peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. Data yang diperoleh dan diolah

dalam penelitian ini berasal dari kepustakaan, yakni data yang didapatkan

melalui kegiatan studi dokumen berupa buku-buku, makalah dan peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan pembahasan yang akan

disampaikan dalam penelitian ini. Bahan hukum yang hukum yang hendak

6 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 105

7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), cet. 11, h. 13–14

8 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1997), h. 41-42

9 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), h.

86

Page 19: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

9

dikaji atau menjadi acuan berkaitan dengan permasalahannya dalam

penelitian10, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakam bahan hukun yang bersifat autoratif,

artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri atas

perundang-undangan, atau catatan-catatan resmi.11 Adapun bahan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-undang Dasar Negara

Indonesia Tahun 1945, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang

Pemerintahan Aceh dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun

2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia serta

Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi

dan Tata Kerja Kepolisian Republik Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum sekunder dalam penelitian ini yaitu menggunakan buku-

buku yang berkaitan dengan Politik Hukum buku mengenai Hukum Tata

Negara dan Politik, Skripsi Hukum Tata Negara dan Jurnal-Jurnal yang

berkaitan dengan sumber hukum materi.

c. Bahan Hukum Tersier

Merupakan bahan atau rujukan yang berupa petunjuk atau penjelasan

bermakna terhadap bahan hukum prmer dan sekunder seperti kamus

hukum, ensiklopedia, berita hukum, blog mengenai hukum dan lain-lain.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penulisan ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data

secara Studi Kepustakaan yang mana peneliti mengumpulkan buku-buku

yang berkaitan dengan pembahsan yang ingin di teliti (inventarisasi), dan

peneliti memilih data dan mengolah data yang telah di kumpulkan kedalam

10 Umu Ilmy, Metodologi Penelitian dari Konsep Ke Metode : Sebuah Pedoman Praktis

Menyusun Proposal dan Laporan Penelitian, (Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,

2000), h. 35 11 Peter Muhammad Marzuki, Penelitian Hukum, Ed. Revisi, (Jakarta: Kencana

Prenadamedia, 2005), h. 181

Page 20: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

10

sumber dat hukum primer, sekunder, dan tersier (klasidikasi), dan peneliti

menyusun data-data yang diperoleh dan telah diklasifikasi menjadi uraian

yang teratur dan sistematis.

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Penelitian ini mendeskripsikan data-data yang diperoleh selama

penelitian dalam bahan-bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam

penelitian hukum kepustakaan.12 Yang mana menjadi fokus penelitian ini

yaitu analisis kualitatif yang menggunakan fenomena kasus maupun

permasalahan yang tengah terjadi yaitu seputar pengangkatan Kapolda Aceh

atas Persetujuan Gubernur.

6. Teknik Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini peneliti mengacu pada buku “Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.

E. Sistematika Penulisan

Untuk menjelaskan isi skripsi secara menyeluruh kedalam penulisan

yang sistematis dan tersrtuktur maka pada skripsi ini penulis susun denga

sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab yaitu sebagai berikut:

BAB I Berisi mengenai uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah,

pembatasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Dalam bab ini membahas tinjauan yang berisi teori-teori yang

digunakan untuk menganalisis dan mengintererpretasikan data

penelitian. Kajian Pustaka ini diawali dengan pemaparan kerangka

konsep yang kemudian diikuti dengan pemaparan dari kerangka

teori. Kajian Pustaka yang baik akan membantu peneliti dalam

merumuskan hipotesis dari penelitian tersebut. Selain itu, juga

12 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2004), h. 52

Page 21: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

11

terdapat review (tinjauan ulang) hasil studi terdahulu pada sub bab

kedua dari Bab II, dimana peneliti menelusuri dan mendeskripsikan

hasil penelusuran terhadap penelitian terdahulu yang serumpun.

BAB III Dalam bab ini akan membahas mengenai sejarah pemberian

otonomi khusus yang ada di Indonesia. Disamping itu juga

membahas mengenai sejarah pembentukan Kepolisian di Indonesia

serta tugas pokok dan fungsinya.

BAB IV Dalam bab ini akan memuat analisis dan interpretasi peneliti terkait

mekanisme pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah di Indonesia

berikut analisis terhadap aturan yang ada di Indonesia. Bab ini juga

membahas perbedaan mekanisme pengangkatan Kepala Kepolisian

Aceh terhadap aturan yang ada di Indonesia serta kewenangan

khusus yang dimiliki Aceh.

BAB V Bab ini berisikan kesimpulan dan rekomendasi atas temuan yang

diperoleh peneliti dari permasalahan yang diangkat pada penelitian

ini.

Page 22: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

12

Page 23: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

12

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG DAERAH OTONOMI KHUSUS DALAM

NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

A. Kerangka Konseptual

1. Inkonstitusional

Inkonstitusional menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan menurut para

ahli berasal dari kata –in-kon-sti-tu-si-o-nal arti kata inkonstitusional adalah

tidak berdasarkan konstitusi atau undang-undang dasar, bertentangan dengan

(melanggar) undang-undang dasar.1

2. Kekhususan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kekhususan berasal dari kata

khusus, kekhususan juga berarti keistimewaan2, kekhususan memeiliki arti dalam

kelas nomina atau kata benda, sehingga kekhususan dapat menyatakan nama dari

seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibedakan.

3. Pengangkatan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pengangkatan Nomina (kata

benda) proses, cara, perbuatan mengangkat3; ketetapan atau penetapan menjadi

pegawai (naik pangkat dan sebagainya), pengangkatan memiliki 2 arti.

Pengangkatan berasal dari kata dasar angkat. Pengangkatan adalah sebuah

homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi

maknanya berbeda. Pengangkatan memilili arti dalam kelas nomina atau kata

benda sehingga pengangkatan dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat,

atau semua benda dan segala yang dibendakan.

1 https://www.kbbi.web.id/inkonstitusional, diakses pada sabtu 28 September 2019, Pukul

21.08 WIB 2 https://kbbi.web.id/khusus, diakses pada senin 24 Juni 2019, Pukul 21.07 WIB 3https://kbbi.kata.web.id/pengangkatan/, diakses pada senin 24 Juni 2019, Pukul 21.07 WIB

Page 24: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

13

4. Kapolda

Pengertian Kapolda terdapat pada Pasal 54 Peraturan Presiden Nomor 52

Tahun 2010 Tentang Susunan dan dan Tata kerja Kepolisian Negara Republik

Indonesia Kapolda adalah jabatan eselon IIA setinggi-tingginya eselon IB”,

Kapolda diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) setelah

dikonsultasikan dengan Presiden.

Kepolisian Daerah (Polda) merupakan satuan pelaksana utama

kewilayahan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berada di bawah

Kapolri. Polda bertugas menyelenggarakan tugas Polri pada tingkat kewilayahan

I seperti Provinsi atau Daerah Istimewa. Polda merupakan perpanjangan tangan

langsung dari Mabes Polri. Polda dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Daerah (Kapolda), yang bertanggung jawab kepada Kapolri.

Kapolda dibantu oleh Wakil Kapolda (Wakapolda).

5. Provinsi Aceh

Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum

yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

sesuai degan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarka Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh

seorang gubernur.

Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam system

Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan

yang dilakssanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.

Page 25: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

14

6. Desentralisasi

Menurut Logeman dan Livtack4, desentralisasi ialah sebagai pelimpahan

kewenangan dari pusat kedaerah. Salah satu permasalahan yang mendasar adalah

pendelegasian kewenangan kepada pemerintahan daerah serta seberapa besar

kewenangan yang dilimpahkan atau diserahkan kepada daerah dalam mengurus

dan mengatur pelaksanaan pemerintahan di daerah. Diferensiasi masalah yang

begitu kompleks didaerah tidak mungkin diurus (ditangani) semua oleh

pemerintah pusat. Untuk menjebarani hal ini, maka titik pemecahan melalui

pembagian kekuasaan atau kewenangan atntara pemeritah pusat dengan

pemerintah di daerah-daerah.

B. Kerangka Toritis

Kerangka Teori adalah kemampuan seorang peneliti dalam

mengaplikasikan pola berfikirnya dalam menyusun secara sistematis teori-teori

yang mendukung permasalahan penelitian.

1. Teori Negara Kesatuan

Negara Kesatuan adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara,

melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam

negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah,

yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi

dalam bidang pemerintahan Negara, menetapkan kebjakan pemerintahan dan

melaksanakan pemerintahan Negara baik di pusat maupun di daerah-daerah.5

Masing-masing negara di dunia memiliki bentuk negara, tidak terkecuali

Indonesia. Berangkat dari sejarah yang panjang atas perebutan kemerdekaan

bangsa Indonesia, dan melalui perdebatan panjang para the founding fathers

4 Agussalim Andi, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia,

2007), h. 81 5 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2000), h. 224

Page 26: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

15

republik ini, maka bersepakatlah Negara Kesatuan (unitaris) adalah keputusan

final dari bentuk Negara Indonesia. Walaupun di awal-awal menjelang

kemerdekaan, perdebatan yang begitu banyak menguras energi saat itu adalah

perdebatan tentang dasar negara Indonesia (philosofiche grondslag) dan bentuk

negara.

Terdapat dua kelompok pandangan dalam sidang BPUPKI yang berbeda

pandangan, yaitu kelompok nasionalis Islam yang menghendaki Indonesia

berdasarkan Agama (Islam). Sedangkan kelompok yang kedua dari kalangan

nasionalis sekuler, yang menghendaki dasar negara Indonesia harus ada

pemisahan antara hubungan agama dan negara. Kedua kelompok tersebut saling

mempertahankan pendapatnya masing-masing, sehingga menemui jalan buntu.

Akibat saling bersikukuh, pada akhirnya dibentuklah Panitia kecil yang

beranggotakan sembilan orang atau dikenal dengan sebutan (Panitia 9). Tepatnya

pada tanggal 22 Juni 1945, kedua kelompok tersebut mencapai sebuah

kesepakatan dalam bentuk kompromis, atau meminjam istilah Mahfud MD

mencapai modus vivendi (kesepakatan luhur) dari kedua pihak.6 Adapun hasil

dari kesepakatan kedua pihak terangkum ke dalam sebuah piagam yang

kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Berawal dari

perdebatan dasar negara hingga perumusan bentuk negara yang kemudian

menjadi rumusan dalam UUD nantinya.

Perubahan pembukaan UUD dan batang tubuh UUD hasil kerja BPUPKI

ini oleh PPKI mencerminkan kuatnya perdebatan mengenai paham yang

berkembang di tubuh panitia itu, yakni golongan kebangsaan atau nasionalis

sekuler dan golongan Islam atau golongan nasionalis religius. UUD 1945 yang

disahkan PPKI tersebut terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh dimana

6 Moh Mahfud MD, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: UII Press,

1993), h. 44

Page 27: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

16

Batang Tubuh terdiri dari 16 Bab, dan 37 Pasal, empat pasal Aturan

Peralihan, dan dua ayat Aturan Tambahan.7 Dalam sejarah keberlakuan UUD

1945 ternyata tidak berlangsung lama. Belum lagi mencapai usia lima tahun

UUD ini diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang

berlaku sejak tanggal 27 Desember 1949. Pergantian UUD terjadi karena

terjadinya perubahan bentuk negara, dari negara kesatuan Republik Indonesia

berdasarkan UUD 1945, diganti dengan negara Indonesia Serikat yang

berdasarkan konstitusi RIS. Hal itu diakibatkan oleh situasi dan kondisi politik

serta militer di tanah air. Akhirnya terbitlah Undang-undang Federal No. 7 Tahun

1950 pada tanggal 15 Agustus 1950. Yang isinya adalah Indonesia kembali

menjadi negara kesatuan dengan memberlakukan UUDS 1950 yang merupakan

hasil perubahan dari konstitusi RIS.

Adapun konsep dan gagasan tentang terbentuknya negara kesatuan sendiri

jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Hal demikian itu pernah dikemukakan

Yamin. Bahwa dasar unitarisme sejak Kongres Indonesia Muda (Sumpah

Pemuda) 28 Oktober 1928 membuang dasar federalisme dan kebusukan rasa

kepulauan atau kedaerahan (insularisme, provincialisme) dan menanam kesatuan

Indonesia atas dasar persatuan bangsa, daerah tanah air dan bahasa di bawah

lindungan satu bendera Merah-Putih.8

Kongres Pemuda yang dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober itu

merupakan gagasan awal tentang cita-cita negara kesatuan. Diantaranya hasil

dari kongres tersebut yang kemudian dikenal dengan sebutan “Sumpah Pemuda”

yang berisikan komitmen berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu

Indonesia. Dengan demikian komitmen persatuan di dalam negara kesatuan

merupakan bagian dari resultante politik para pendiri republik ini. walaupun

7 Slamet Effendy Yusuf & Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, (Jakarta: PIS, 2000),

h. 10 8 M. Yamin. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1951), h. 81

Page 28: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

17

sejatinya ada beberapa kalangan berpendapat yang membedakan makna

“kesatuan” dan “persatuan”.

Jika mengacu pada teori–teori modern, maka bentuk negara terdapat dua

bentuk, yaitu bentuk negara kesatuan (unitarisme) dan bentuk negara serikat

(federal). Negara kesatuan ialah, suatu negara yang merdeka dan berdulat, dan

seluruh negara yang berkuasa hanya ada satu pemerintah (pusat) yang mengatur

seluruh daerah. Negara kesatuan pada umumnya menggunakan dua sistem

pemerintahan, ada kalanya menggunakan sistem sentralisasi dan ada pula yang

menggunakan sistem desentralisasi. Sistem desentralisasi, merupakan pilihan

asas yang tepat bagi negara kesatuan, dibandingkan asas otonomi.9 Sedangkan

Indonesia sendiri adalah negara kesatuan dengan menganut sistem desentralisasi.

Mengenai termenologi “kesatuan” dalam negara kesatuan. Dalam hal ini

diungkapkan oleh Jimly Asshiddiqie. Bahwa istilah kesatuan yang bersifat

persatuan itu harus dikembalikan kepada bunyi rumusan sila ketiga dalam

Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia”, bukan “Kesatuan Indonesia”. Karena

menurut Jimly, persatuan istilah filsafat dan prinsip bernegara, sedangkan

kesatuan adalah istilah bentuk negara yang bersifat teknis. Bentuk negara keatuan

telah termaktub dalam Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945“. Negara Indonesia adalah

Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Negara kesatuan merupakan

konsepsi tentang bentuk negara, dan republik adalah konsepsi mengenai bentuk

pemerintahan yang dipilih dalam rangka UUD 1945.10

Berbeda dengan pendapat Jimly. Kusnardi dan Harmaily11 Ibrahim

mempunyai pendapat yang berbeda mengenai istilah “bentuk” negara kesatuan.

Ia berpendapat, istilah “bentuk” ada kalanya digunakan sebagai kesatuan atau

federasi, dan ada kalanya juga digunakan sebagai istilah republik. Seharusnya

9 Ni’matul Huda, Berkayuh diantara Bentuk Negara Kesatuan dan Federal, Jurnal Konstitusi

PSHK UII, Vol.1. No. 01, h. 60 10 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 213 11 Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet ke-5

(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, FH UI,1983), h.166

Page 29: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

18

istilah “bentuk” digunakan dan ditujukan kepada pengertian republik. Sedangkan

istilah “susunan” lebih tepatnya digunakan dalam pengertian negara kesatuan

atau federasi. Sehingga akan mendapatkan pengistilahan bentuk negara adalah

republik, sedangkan susunan negaranya adalah negara kesatuan atau federasi.

Pendapat ini didasarkan kepada penyebutan bentuk di dalam UUD 1945, UUD

RIS, dan UUD Sementara 1950, serta dalam Mukadimahnya.

Apabila dilihat dalam UUD 1945 Pasal I ayat (1), bahwa Indonesia ialah

Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Sedangkan prinsip negara kesatuan

ialah, bahwa yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan

negara ialah pemerintahan pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan

kekuasaan kepada pemerintah daerah. Dalam negara kesatuan terdapat asas

bahwa seganap urusan-urusan negara tidak dibagi antara pemerintah pusat

(centarl government) dan pemerintah lokal (local government), sehingga urusan

–urusan negara dalam negara-negara kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan

(eenheid) dan pemegang kekuasaan tertinggi di negara tersebut ialah pemerintah

pusat.12

Dalam negara kesatuan, tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas

pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Akan

tetapi, sistem pemerintahan Indonesia yang salah satunya menganut asas negara

kesatuan yang didesentralisasikan, menyebabkan ada tugas-tugas tertentu yang

di urus sendiri, sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahikan

adanya hubungan kewenangan dan pengawasan.

Sedangkan menurut C.S.T. Kansil, negara kesatuan merupakan negara

yang merdeka dan berdaulat dimana di seluruh negara yang berkuasa hanyalah

satu pemerintah (pusat) yang mengatur seluruh daerah. Negara kesatuan dapat

pula berbentuk negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, dimana segala sesuatu

dalam negara tersebut langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, dan

12 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Grafindo Persada, 2005), h. 92

Page 30: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

19

daerah-daerah tinggal melaksanakannya. Kemudian yang kedua, negara kesatuan

dengan sistem desentralisasi, dimana kepada daerah diberikan kesempatan dan

kekuasaan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri

(otonomi daerah) yang dinamakan swantara.13

Pada negara kesatuan ini terdapat juga dua model yaitu:

1. Negara kesatuan dengan sistim sentralisasi, yang artinya semua urusan

dalam negara tersebut langsung diatur oleh pemerintah pusat. Daerah tidak

punya hak untuk mengatur tetapi hanya punya kewajiban untuk

melaksanakan urusan yang telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah

pusat.

2. Negara kesatuan dengan sistim desentralisasi, yang artinya kepada daerah

diberi hak untuk ikut mengatur urusan rumah tangganya sendiri (otonomi

daerah). Kekuasaan untuk mengatur urusan pemerintahan daerah ada pada

pemerintah pusat, tetapi karena luasnya wilayah, banyaknya penduduk,

luasnya urusan pemerintahan yang akan dilaksanakan di seluruh negara

tersebut, maka sebagian urusan tersebut didistribusikan kepada daerah

(pendelegasian wewenang) dari pemerintah pusat kepada daerah.

Pendelegasian wewenang (pemberian otonomi daerah) tidak berarti

daerahnya mempunyai kedaulatan sendiri, yang dapat sebebas-bebasnya

mengatur pemerintahannya tanpa menghiraukan rambu-rambu hukum

sebagai negara kesatuan.14

2. Teori Otonomi Daerah

Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, autonomos atau autonomia

yang berarti “keputusan sendiri” (self-rulling). Otonomi dapat mengandung

beberapa penegertian sebagai berikut:

13 C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, cetakan kedua, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1985), h. 71-72 14 Taufiqurrahman, dkk, Bahan Ajar Hukum Tata Negara, (Bengkulu: Universitas Bengkulu,

2006), h. 90

Page 31: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

20

a. Otonomi adalah suatu kondisi atau ciri untuk “tidak” dikontrol oleh pihak

lain atau kekuatan luar.

b. Otonomi adalah bentuk “pemerintahan sendiri (self-government), yaitu hak

untuk memerintah atau menentukan nasib sendiri.

c. Pemerintahan sendiri yang dihormati, diakui dan dijamin tidak adanya

control dari pihak lain terhadap fungsi daerah (local or internal affair) atauu

terhadap minoritas suatu bangsa.

d. Pemerintah otonomi memiliki pendapatan yang cukup untuk menentukan

nasib sendiri, memenuhi kesejahteraan hidup mauapun dalam mencapai

tujuan hidup secara adil.15

Otonomi daerah merupakan esensi pelaksanaan pemerintahan yang

desentralistik, namun dalam perkembangan otonomi daerah, selain mengandung

arti zelfwetgeving (membuat perda), juga mencangkup zelfbestuur (pemerintahan

sendiri).

Van der pot16 memahami konsep otonomi daerah sebagai eigen

huishouding (menjalankan rumah tangga sendiri), otonomi adalah pemberian hak

kepada daerah untuk mengatur sendiri daerahnya. Daerah mempunyai kebebasan

inisiatif dalam penyelenggaraan rumah tangga dan pemerintahan di daerah.

Selain itu, bisa dimaknai sebagai kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan

zelfsandingheid) satuan pemerintah lebih rendah untuk mengatur dan mengurus

sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diaturdan

diurus secara bebas dan mandiri itu, menjadi tanggung jawab satuan

pemerintahan yang lebih rendah. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakikat

isi otonomi.

15 Ms. Shiddiq, Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita,

2003), h. 168. 16 Agussalim Andi, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, (Bogor: Ghalia

Indonesia, 2007), h. 108

Page 32: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

21

Pengertian “otonomi daerah” menurut Pasal 1 Angka 6 Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2014, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban

daerah untuk mengatur dan menggurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, R.D.H Koesomahatmadja

berpendapat bahwa dengan diberikannya hak dan kekuasaan” perundangan dan

pemerintah kepada daerah otonom seperti Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka

daerah tersebut dengan inisiatifnya sendiri dapat mengurus rumah tangganya

daerahnya. Untuk menggurus rumah tangga daerah tersebut dapat dilakukan

dengan dua cara yaitu: Pertama, membuat produk-produk hukum daerah yang

tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 maupun perundang-

undangan lainnya. Kedua, menyelenggarakan kepentingan-kepentingan umum.17

Pengertian lebih jauh mengenai otonomi ialah penyerahan urusan sebanyak

mungkin yang dilakukan oleh pemerintah pusat ke daerah untuk menjadi rumah

tangga sendiri. Prinsip otonomi daerah dalam perkembangan sejarah

ketatanegaraan di Indonesia didasari pada landasan hukum yang berbeda-beda.

Pada masa pemerintahan Ir. Soekarno (Orde Lama) lain dengan masa

pemerintahan Soeharto (Orde Baru), demikian pula dengan masa pemerintahan

B.J Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang

Yudhoyono, serta masa Joko Widodo sekarang ini.

Konsep pemikiran tentang Otonomi Daerah, mengandung pemaknaan

terhadap eksistensi otonomi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pemikiran pertama, bahwa prinsip otonomi daerah dengan menggunaka prinsip

otonomi seluas-luasnya ini mengandung makna daerah diberikan kewenangan

membuat kebijakan daerah, untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran

serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan

kesejahteraan rakyat.

17 R.D.H. Koesomahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia,

(Bandung: Penerbit Bina Cipta, 1979), h. 16

Page 33: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

22

Pemikiran kedua, bahwa prinsip otonomi daerah dengan menggunakan

prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata

adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan

berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada serta

berpotensi untuk tumbuh, hidup berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan

daerah. Dengan demikian, isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu

sama dengan daerah lainnya. Adapun otonomi yang bertanggung jawab adalah

otonomi yang dalam penyelengaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan

dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan

daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian

utama dari tujuan nasional.18

Jika dilihat dari pengertian yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014, terdapat perbedaan antara pengertian otonomi daerah dengan

desentralisasi, kita sering mengganggap pengertian keduanya mempunyai arti

yang sama, namun jika kita melihat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

terdapat perbedaan pengertian antara keduanya, jika kita melihat pengertian

otonomi daerah menurut Pasal 1 Angka 6 “ otonomi daerah adalah hak,

wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat dalam system Negara

Kesatuan Republik Indonesia”. Sedangkan, pengertian dari desentralisasi

terdapat didalam Pasal 1 Angka 8 “Desentralisasi adalah penyerahan urusan

pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas

otonomi”.

Mengacu pada definisi pengertian tersebut maka unsur dari otonomi daerah

adalah:

1. Hak.

18 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Sinar Grafika, Jakarta,

2012), h. 8

Page 34: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

23

2. Wewenang.

3. Kewajiban.

Desentralisasi dalam Pasal 1 Angka 8 hanya berisi mengenai penyerahan

urusan yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Adapun tujuan dari pemberian otonomi daerah yaitu:

a. Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik.

b. Pengembangan kehidupan berdemokrasi.

c. Keadilan nasional.

d. Pemerataan wilayah daerah.

e. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dengan daerah serta

antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.

f. Mendorong pembeerdayaan masyarakat.

g. Menumbuhkan prakara dan kreativitas meningkatkan peran serta

masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD).

Didalam ototnomi daerah terdapat pengaturan mengenai otonomi khusus

atau kawasan khusus, jika kita melihat pengertian kawasan khusus menurut Pasal

1 Angka 42 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 “Kawasan Khusus adalah

bagian wilayah dalam Daerah provinsi dan/atau Daerah kabupaten/kota yang

ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan

yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional yang diatur dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan

kepada daerah khusus, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar

masyaraka. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah

provins. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah

Page 35: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

24

yang bersifat khusus atau yang bersifat istimewa yang diatur dengan perundang-

undangan. Hal ini tercantum didalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 Amandemen

ke-4 menyatakan negara mengakui serta menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup

dan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, pasal ini yang

merupakan dasar dari pembentukan pemerintahan desa dalam rangka efisiensi

kinerja penyelenggaraan pemerintahan desa dengan menempatkan kepala desa

beserta perangkatnya selaku pemerintah desa, yang dimaksud satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi

khusus. Daerah-daerah yang diberikan otonomi khusus ini adalah:

a. Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta

b. Daerah Istimewa Yogyakarta

c. Provinsi Aceh

d. Provinsi Papua dan Papua Barat

Adapun menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, kriteria dalam menetapkan kawasan khusus suatu daerah

meliputi:

a. Kawasan perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas;

b. Kawasan hutan lindung;

c. Kawasan taman laut;

d. Kawasan hutan konservasi;

e. Kawasan buru

f. Kawasan ekonomi khusus;

g. Kawasan berikat;

h. Kawasan angkatan perang;

i. Kawasan industri;

j. Kawasan purbakala;

k. Kawasan cagar alam;

l. Kawasan cagar budaya;

Page 36: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

25

m. Kawasan otorita; dan

n. Kawasan untuk kepentingan nasional lainya yang diatur dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Perbedaan antara otonomi daerah dan otonomi khusus dapat dilihat dari

dua segi yaitu:

1) Dari segi berlakunya otonomi

Secara umum otonomi daerah dalam penerapannya dilakukan di setiap

daerah atau semua daerah yang terdapat di negara tersebut, sedangkan

otonomi khusus hanya diterapkan di beberapa daerah saja, karena

terdapat factor-faktor tertentu yang menyebabkan suatu daerah

mendapatkan otonomi khusus.

2) Dari segi dasar hukum

Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintah Daerah diatur apa saja kewenangan, hak dan

kewajibannya, sedangkan otonomi khusus diatur dalam suatu aturan yang

khusus atau undang – undang yang khusus yang sesuai dengan daerah

tersebut.

3. Teori Hierarki Perundang-Undangan

Teori Hierarki merupakan teori yang mengenai sisitem hukum yang

diperkenalkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum

merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang, dimana dalah hal ini

antara suatu aturan atau kaidah yang berada dibawah tidak boleh bertentangan

dengan lkaidah yang berada diatas. Hubungan antara norma yang mengatur

perbuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat disebut sebagai hubungan

super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial.19Norma yang menentukan

19 Asshidddiqie Jimly, dan Safa’at, M. Ali, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet I, (Jakarta:

Sekertaris Jendral & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h.110

Page 37: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

26

perbuatan norma lain adalah superior, sedangkan norma yang dibuat inferior.

Pembuatan ditentukan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan validitas

keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan.

Seperti yang diungkapkan oleh Kelsen “The unity of these norm is

constituted by the fact that the creation of the norm-the lower one-is determined

by another-the higher-the creation of which oh determined by a still higher norm,

and that this regressus is termibated by a highest, the basic norm which, being

the supreme reason of validity of the whole legal order, norm which, being the

supreme reason of validity of the whole legal order, constitutes its unity.20

Berdasarkan hal tersebut, maka norma hukum yang paling rendah harus

berpegangan atau mengikuti norma yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang

tertinggi harus berpengangan kepada norma hukum yang paling dasar. Menurut

Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak konkrit

(abstrak), contoh nya seperti Pancasila.

Teori Hans Kelsen mengenai hierarki norma hukum ini diilhami oleh Adolf

Merkl dengan menggunakan teori das doppelte rech stanilits, yaitu norma

hukum yang memiliki dua wajah, yang dengan pengertiannya: Norma hukum itu

keatas ia bersumcer dan berdasar pada norma yang ada diatasnya; dan Norma

hukum kebawah, ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma yang

dibawahnya. Sehingga norma tersebut mempunyai masa berlaku (rechkracht)

yang relative karena masa berlakunya suatu norma itu tergantung pada norma

hukum yang diatasnya, sehingga apbila norma hukum yang berada diatasnya

dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada dibawahnya

tercabut atau terhapus pula.21

Teori Hans Kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma

hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie).

20 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, Harvard

University Printing Office Cambridge, Massachusetts, USA, 2009, h.124 21 Farida, Maria, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 25

Page 38: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

27

Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah mulir Hans

Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von

stufenbau der rechtsdnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah: Norma

fundamental negara (Staatfundamenalnorm); Aturan dasar negara

(staatgrundgesetz); Undang-Undang Formal (Formell Gesetz); dan Peraturan

pelaksanaan dan peraturan otonom (Verordnung En Autonome Satzung).

Staatfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi

pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (Statsverfassung) dari satu

negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat

bagi berlakunya konstitusi. Staatfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari

konstitusi suatu negara.

Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai

norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai

staatrundorm melainkan Staatfundamentalnorm, atau norma fundamental

negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma

tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.

Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi

membandingkan dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata

hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum

Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut,

struktur tata hukum Indonesia adalah.

1. Staatfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD RI Tahun 1945)

2. Staatgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi

Ketatanegaraan.

3. Formell gesetz: Undang-Undang.

4. Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarki mulai dari Peraturan

Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Sedangkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam Pasal 7 menyebutkan jenis

Page 39: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

28

dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

Peraturan Pemerintah; Peraturan residen; Peraturan Daerah Provinsi; dan

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Terdapat perbedaan yang membedakan apa yang menjadi fokus masalah

yang penulis teliti, adapun kajian atau Review studi terdahulu yang menjadi acuan

antara lain:

1. Nama : Hesti Alvionita

Tahun : 2014

Institusi : Universitas Bengkulu

Judul Skripsi : Pengaturan Otonomi Khusus Bagi Daerah Otonom di

Indonesia

Skripsi22 ini membahas mengenai pengaturan otonomi khusus bagi daerah

otonom di Indonesia, serta mengkaji mengenai kriteria dalam pemberian

otonomi khusus di Indonesia, sedangkan dalam penelitian ini membahas

tentang kewenangan daerah otonomi khusus Aceh dalam pengangkatan

Kapolda.

2. Nama : Andhika Yudha Pratama

Tahun : 2015

Institusi : Universitas Gadjah Mada

Judul Jurnal : Pelaksanaan Desentralisasi Asimetris dalam Tata Kelola

Pemerintahan Daerah di Era Demokrasi

22 Hesti Alvionita, Skripsi, Pengaturan Otonomi Khusus Bagi Daerah Otonom di Indonesia,

(Bengkulu: Universitas Bengkulu, 2014)

Page 40: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

29

Jurnal23 ini membahas Tentang Desentralisasi Asimetris yaitu pemeberian

/ pelimpahan kewenangan khusus pada daerah tertentu dalam melaksanakan

tugas pembantuan, dan juga membahas tentang daerah apa saja yang diberikan

kekhususan dalam menjalankan pemerintahan serta latar belakang dari

pemeberian kekhususan pada daerah tersebut, sedangkan dalam penelitian ini

membahas tentang pelimpahan kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah

Aceh dalam pengangkatan Kapolda.

3. Nama : Sakinah Nadir

Tahun : 2013

Institusi : Universitas Hasanuddin Makassar

Judul Jurnal : Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa (Menuju

Pemberdayaan Mayarakat Desa)

Jurnal24 ini membahas tentang Desentralisasi atau pelimpahan wewenang

dari pusat kepada daerah untuk melaksananakan tugas pembantuan, kemudian

membahas tentang otonomi terwujudnya demokratisasi bagi masyarakat desa

menuju kepada sebuah kondisi yang dapat menunjang lahirnya kemampuan

masyarakat untuk dapat mendorong segala proses demokrasi diwilayahnya

sedapat mungkin dengan kemampuannya sendiri dalam sebuah skema

kebijakan Otonomi, sedangkan dalam penelitian ini membahas kewenangan

Aceh dalam pengangkatan Kapolda atas persetujuan Gubernur.

4. Nama : Sani Safitri

Tahun : 2016

Institusi : Universitas Sriwijaya

23 Andhika Yudha Pratama, Pelaksanaan Desentralisasi Asimetris dalam Tatat Kelola

Pemerintahan Daerah di Era Demokrasi, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Th 28,

Nomor 1, 2015, h. 8 24 Sakinah Nadir, “Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa: Menuju Pemberdayaan

Masyarakat Desa”, Jurnal Politik Profetik Vol 1, Nomor 1, 2013, h. 6

Page 41: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

30

Judul Jurnal : Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

Jurnal25 ini membahas mengenai sejarah dari perkembangan otonomi di

Indonesi dari berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 hingga

berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, sedangkan dalam penilitian ini membahas kewenangan pemberian

persetujuan dalam pengangkatan Kapolda.

25 Sani Safitri, “Sejarah Perkembanagan Otonomi Daerah di Indonesia”, (Jurnal Crisektra, Vol

5, Nomor 9, 2016), h. 2

Page 42: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

31

BAB III

SEJARAH OTONOMI KHUSUS DAN

LEMBAGA KEPOLISIAN DI INDONESIA

A. Sejarah Pemberian Otonomi Khusus di Indonesia

Indonesia adalah negara kesatuan yang terdiri dari berbagai macam suku

bangsa, ras, agama dan kepercayaan, kebudayaan, dan berbagai macam perbedaan

lainnya. Sehingga dapat dikatakan Indonesia adalah bangsa yang prulal. Dampak

dari banyaknya perbedaan ini, apabila tidak ditangani secara optimal oleh

pemerintah maka dapat menyebabkan berbagai macam permasalahan.

Seperti yang terjadi di Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pada

kedua daerah ini sering terjadi konflik berkepanjangan di dalam daerahnya masing-

masing, konflik iang terjadi akibat dari adanya perbedaan suku bangsa, agama, ras

dan konflik-konflik lainnya, serta kesenjangan opembangunan ekonomi, yang

menurut mereka pembangunan ekonomi hanya dipusatkan di pulau jawa. Hal ini

membuat kedua daerah ini ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia, selain itu juga terdapat ketidak merataan perkembangan ekonomi yang

terjadi daerah ini juga yang menyebabkan daerah ini ingin memisahkan daerah dari

Indonesia, kita bisa berkaca dari referendum Timor-Timor yang sekarang menjadi

negara Timor Leste, itu diakibatkan oleh pembangunan dan ekonomi yang tidak

merata.

Untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Pemerintah pusat memeberikan otonomi khusus kepada kedua daerah ini.

Pemberian otonomi khusus kepada dua daerah ini tidak bertentangan dengan

konstitusi yang ada di Indonesia, karena pada dasarnya terdapat Pasal 18B Undang-

undang Negara Republik Indonesia 1945 telah disebutkan bahwa negara mengakui

dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dari

negara kepada dua daerah yakni Papua dan Nanggroe Aceh Darusslam (NAD).

Page 43: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

32

1. Sejarah Pemberian Otonomi Khusus Papua

Negara Indonesia dijelaskan dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar

1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa. Peovinsi Papua adalahProvinsi Irian Jaya

yang merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang

memiliki keagamaan suku dan lebih dari 250 (dua ratus lima puluh) bahasa

daerah serta dihuni juga oleh suku-suku di Indonesia.

Keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian Negara Kesatuan

Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun

kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan,

belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum

sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)

di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua. Kondisi tersebut

mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan,

terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial

politik, pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli dan adanya

perbedaan pendapat menegenai sejarah penyatuan Papua kedalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia adalah masalah-masalah yang perlu diselesaikan.

Upaya penyelesaian masalah tersebut selama ini dinilai kurang menyentih akar

masalah dan aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu berbagai bentuk

kekecewaan dan ketidakpuasan.

Momentum reformasi di Indonesian memberi peluang bagi timbulnya

pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar

bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih

baik. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia menetapkan perlunya pemberian status otonomi khusus kepada

Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor

IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab

Page 44: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

33

IV huruf g angka 2, dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang

Rekomendasi Kebijakam Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara

lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan otonomi khusus

tersebut memalui penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi

Irian Jaya dengan memerhatikan aspirasi masyarakat, hal ini merupakan suatu

langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada

pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka

dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya

penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.1

Arti otonomi khusus menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam Bab 1 perihal Ketentuan

Umum Pasal 1 membatasi arti otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang

diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus

kpentingan masyarakat setempat prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-

hak dasar masyarakat Papua.

Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk

mewujudkan keadilan, penegakan supremsi hukum, penghormatan terhadap

HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan

kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan

kemajuan provinsi lain. Otonomi khusus melalui Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2001 menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya

sebagai subjek utama. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun

ras Melanesia yang terjadi dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang

yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.

Sedangkan penduduk Papua, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang

berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.

1 http://andhikafrancisco.wordpress.com/2013/01/15/makalah-otonomi-khusus-papua/,

“otonomi khusus papua”. Diakses pada hari Minggu tanggal 16 Maret 2014 Pukul 21.00 WIB.

Page 45: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

34

Perjalanan sejarah Provinsi Papua memiliki keunikan tersendiri

dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia yang sama-sama merupakan

jajahan kolonial Belanda dan Jepang pada waktu itu. Ketika provinsi-provinsi

lain bersama-sama mereka dan berdaulat secara de facto dan de jure sebagai

bagian yang tidak terspisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1945, Provinsi Papua baru kembali ke

pangkuan ibu pertiwi pada tanggal 1 mei 1963. Itupun masih harus melewati

proses Penenyuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Hal tersebut tidak

dapat dilepaskan dari kontelasi politik dunia, terutama ditahun 1940an sampai

1960an, yaitu ketika banyak wilayah jajahan berjuang untuk bebas dari

cengkraman negara-negara penjajah.2

Eksistensi Papua menjadi bagian tidak terpisahkan dari NKRI, yang

dilandasi hasil Pepera, tidak serta merta menjawab semua persoalan. Terutama

masalah integrase nasional dan integrase politi di dalam NKRI, yang masih

ditentang oleh kelompok-kelompok yang menginginkan merdeka, yang

dilakukan oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka). Konflik bersenjata terjadi di

banyak tempat dengan adanya penyerangan bersenjata OPM menyerang berbagai

pos terdepan dari kesatuan TNI dan Polri. Bersamaan dengan itu, kekuatan-

kekuatan asing yang berada di Papua, dan di negara-negara lain dengan sistematis

membantu secara finansial dan dukungan politik di tengah masyarakat

internasional.

Sampai dengan berakhirnya periode pemerintahan Presiden Soeharto tahun

1998, persoalan gerakan separatis, di Papua belum dapat ditanggulangi.

Pendekatan keamanan (security approach) dan pendekatan kesejahteraan

(prosperity approach) yang dibarengi dengan pendekatan budaya (cultural

approach), telah gagal dalam menyelesaikan gerakan separatis di Papua.

2 Solosa, Jacobus Perbiddya. Otonomi Khusus Papua Mengangkat Martabat Rakyat Papua di

dalam NKRI (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 5

Page 46: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

35

Tampilnya pemerintahan transisi demokrasi yang diawali oleh

kepemimpinan Presiden BJ Habibie dan dilanjutkan Presiden KH Abdurrahman

Wahid, serta diteruskan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, bersama DPR

menyepakati dan menegeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1),

“Kewenangan Provinsi Papua mencangkup kewenangan dalam seluruh bidang

pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan

keamanan, moneter dan fiscal, agama, dan peradilan serta kewenanagan tertentu

di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Otonomi khusus di Papua sekaligus memberi keleluasan dalam bidang

ekonomi, politik, hukum, dan pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan

rakyat di Papua dalam konteks NKRI. Keleluasan tersebut sangat jauh berbeda

dengan banyak hal serupa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Tentang Pemerintahan Daerah. Namun ternyata, gerakan separatis di Papua tidak

serta merta dapat direm dengan produk otonomi khusus. Paling tidak ada 3

persoalan yang harus diatasi oleh pemerintah pusat. Menurut ketua Institusi

Titian Perdamaian yang juga staf pengajar Psikologi Perdamaian Universitas

Indonesia Ichsan Malik, yaitu:3

Pertama, adanya distorsi sejarah. Ini sumber konfliknya, banyak warga

yang menyakini bahwa Belanda telah memberikan kemerdekaan pada Papua

tahun 1960, sedangkan RI baru masuk tahun 1969. Setelah perang dunia kedua

berakhir, Belanda melihat gelagat adanya yuntutan kemerdekaan pada tahun

1960. Sebagian kecil warga merasa mereka sudah merdeka. Barulah RI masuk

dan menyatakan semua jajahan Hindia Belanda masuk bagian Indonesia.

Menurut konflik Papua bercampur-baur mulai dari sejarah politik dan

sejarah bisnis, karena pada tahun 1967, dua tahun sebelum Pepera Papua tahun

3 Purwanto, Wawan H. Papua Meradang Siapa Bermain (Jakarta: Penerbit CMB Pers, 2013),

h. 7

Page 47: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

36

1969 Freeport masuk bumi cendrawasih. Ketika itu Papua bisa dikatakan belum

sepenuhnya berada dibawah kekuasaan Republik Indonesia. Ketiak kekuasaan di

Papua kosong masuklah Freeport yang juga berkepentingan di Papua. Persoalan

distorsi sejarah hingga saat ini belum bisa diatasi sampai sekarang. Kedua,

adanya masalah ketidakadilan. Disadari atau tidak, masyarakat papua belum

mendapatkan banyak dari hasil kekayaan sumber daya alam yang dimiliki

mereka. Ini menyangkut persoalan ketidakadilan yang diterima oleh orang

Papua.

Ketiga, yang memebuat persoalan konflik Papua tidak pernah selesai

adalah persoalan tindakan reprensif pemerintah pusat. Tak jarang tindakan aparat

menimbulkan pelanggaran HAM berat.

2. Sejarah Pemberian Otonomi Khusus Aceh

Aceh merupakan salah satu daerah provinsi di Indonesia yang mempunyai

status “Otonomi Khusus” pada tahun 2001 melalui Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam. Aceh merupakan kawasan yang paling bergejolak dengan potensi

kepada disintegrasi dari Republik Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, Aceh

menghendaki menjadi kawasan dengan perlakuan khusus. Kehendak ini

diperjuangkan dengan sejumlah alasan penting, sejumlah alasan yang

berkembang, alasan yang paling kuat adalah alasan kesejarahan.

Sejak sebelum masehi, Aceh sudah menjadi perhatian para pedagang baik

dari India, Cina, maupun Timur Tengah. Tetapi setelah masehi, banyak pelaut

Cina, India, dan Timur Tengah singgah di Aceh guna mencari rempah-rempah.

Kehadiran bangsa asing ini membuat masyarakat setempat berinteraksi dengan

Page 48: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

37

mereka, terutama dibidang ekonomi dan kebudayaan sekaligus membawa

peradaban baik Hindustan maupun Islam.4

Pada saat bangsa Indonesia meproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus

1945, masyrakat Aceh sangat mendukung proklamasi itu karena mereka merasa

senasib dan sepenanggungan dengan saudara-saudarnya yang lain. Dukungan ini

dinyatakan dengan kerelaan menyerahkan harta dan nyawa untuk Republik

Indonesia. Perjuangan untuk mengusir penjajah Belanda di Medan Area

Sumatera Utara dengan membeli dua pesawat terbang untuk perjuangan

menegakkan kedaulatan negara ini, merupakan bukti kesetiaan masyarakat Aceh

kepada Republik Indonesia. Selama revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya

wilayah yang tidak dapat diduduki Belanda sehingga Aceh disebut sebagai

“Daerah Modal” bagi perjuangan bangsa Indonesia. Sejak kemerdekaan itu pula

Aceh dijadikan sebagai sebuah kerisedan dalam wilayah Provinsi Sumatera

dengan Teuku Nyak Arief sebagai Residennya.5

Perjalanan Aceh di dalam NKRI sampai dengan Tahun 2004, diwarnai

berbagai gejolak politik yang memanas antara pemerintah pusat dan Aceh, yang

berakibat timbulnya konflik bersenjata. Gejolak politik dan konflik bersenjata

berkenaan dengan munculnya gerakan separatis bersenjata yang mengiginkan

Aceh berdiri sendiri sebagai negara merdeka dan berdaulat. Yang pada akhirnnya

menimbulkan korban tewas dari rakyat Aceh dan pasukan TNI dan Polri dalam

jumlah besar. Disamping itu, juga menimbulkan kerugian moril serta materil

yang sangat besar serta munculnya pelanggaran HAM berat.

Dari perspektif sejarah, konflik Aceh merupakan resultan dari usaha rakyat

Aceh untuk membangun profil ke-Aceh-an dalam konteks relasinya, baik dengan

kekuatan asing maupun dengan Republik Indonesia. Seperti dikonstruksikan oleh

4 Diakses dari Kemitraan Partnership Kebijakan Otonomi Khusus Papua, Kemitraan, Jakarta,

2008, h. 12 5 Diakses dari Kemitraan Partnership Kebijakan Otonomi Khusus Papua, Kemitraan, Jakarta,

2008, h. 14

Page 49: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

38

Petter Riddell, untuk membangun persepsi dirinya (self percepion), rakyat Aceh

lebih melihat wilayahnya sebagai “Serambi Mekah”. Istilah ini membentuk

identitas (identity formation) bagi rakyat Aceh, baik dalam hubungannya dengan

dunia luar maupun dalam konteks internalnya, menawarkan katalis bagi

pemebntukan identitas mereka.6

Dalam bahasa lain, pembentukan identitas Aceh ini adalah hasil dari

pertautan antara fakta sejarah Aceh dan kesadaran sejarah yang berkembang

dikalangan masyarakat Aceh sendiri. Proses pembentukan identitas ini jugalah

yang pada akhirnya membangun kesadaran rakyat Aceh yang lebih sensitif dan

rentan terhadap setiap upaya pihak luar yang ingin mengeliminasi identitas itu.

Fakta sejarah dan kesadaran sejarah diyakini telah menentukan identitas yang

distingtif bagi rakyat Aceh dan pada gilirannya membangun sikap perlawanan

rakyat Aceh.7

Pemerintah Orde Baru mengedepankan pendekatan sentralistik melalui

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah, gagal

dalam menyelesaikan konflik bersenjata di Aceh. Tuntutan Gerakan Aceh

Merdeka (GAM) terus menerus berlangsung, untuk merdeka sebagain negara

berdaulat, terpisah dari NKRI. Tuntunan tersebut berlangsung sampai

berakhirnya era pemerintahan Orde Baru.

Munculnya Era Reformasi yang mengakhiri pemerintah Orde Baru, dan

tampilnya pemerintahan transisi demokrasi, secara nyata mulai menunjukkan

pergeseran pemerintahan yang sentralisasi menjadi desentralisasi dalam konteks

NKRI dan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang

menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, semakin dirasakan adanya

desentralisasi sesuai harapan dan kemauan seluruh rakyat Indonesia.

6 Suharyo, “Otonomi Khusus di Aceh dan Papua di Tengah Fenomena Korupsi, Suatu Strategi

Penindakan Hukum”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol. 18 No. 3, 2018, h. 308 7 Djumala, Darmansyah. Soft Power untuk Aceh Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi

(Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 17

Page 50: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

39

Paradigma desentralisasi tersebut, ternyata tidak dapat menyelesaikan

konflik di Aceh. Kekerasan bersenjata kerap terjadi, walaupun upaya perdamaian

selalu ditempuh antara kedua pihak. Baik pemerintah pusat maupun GAM tidak

menemukan titik temu. Melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagi Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam juga ditolak oleh GAM. Sampai terjadinya suatu

fenomena alam yang sangat luar biasa. Pada tanggal 26 Desember 2004, terjadi

gempa bumi dengan kekuatan 9 skala Richter di bumi Aceh, dan beberapa

kawasan di Malaysia, Thailand, dan beberapa negara disekitarnya. Akibat adanya

gempa bumi tersebut, terjadi bencana tsunami dengan korban jiwa lebih dari

112.000 jiwa meninggal dunia dan kehancuran luar biasa di Kota Banda Aceh,

Meulaboh dan sepanjang daerah sekitarnya. Bencana tsunami juga terjadi dalam

skala terbatas di luar wilayah Indonesia dengan korban jiwa mencapai ribuan

orang, dengan kerusakan yang sifatnya lokal.

Akibat tsunami Aceh, konflik bersenjata di Aceh dan panasnya situasi

politik, langsung mereda bahkan hilang presiden saat itu Soesilo Bambang

Yudhoyono langsung melakukan upaya untuk menanggulangi bencana tsunami.

Kegiatan penanggulangan tersebut dibantu masyarakat internasional dan seluruh

komponen TNI, Polri serta seluruh komponen masyarakat. Pihak GAM juga

tidak melakukan aksi bersenjata, dan mulai memikirkan langkah memeberikan

pertolongan. Dari peristiwa bencana tsunami, mulai dirintis upaya perdamaian

terakhir, setelah beberapa kali upaya perdamaian yang selalu gagal, akhirnya

dilakukan upaya perdamaian yang diadakan di Helsinki Finlandia tahun 2005.

Sebagai tindak lanjut dari MoU Helsinki 2005 antara Pemerintah Indonesia

dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), berhasil dikeluarkan Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Hal ini sebagai bentuk

rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, politik

dan hukum secara berkelanjutan.

Page 51: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

40

Otonomi Khusus Aceh menemukan titik ideal dalam Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh setelah sebelumnya sempet

berusaha menemukan pola sejak awal reformasi melalui TAP MPR IV/1999 yang

diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi

Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada pelaksanaan Undang-

Undang sebelumnya, Otonomi Khusus Aceh tak berjalan baik karena konflik

bersenjata masih tinggi dan masalah identitas belum tuntas. Hal ini terasa sangan

berbeda dengan pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang

disepakati semua pihak. Sekitar 87 persen kesepakatan dalam MoU Helsinki

tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan

Aceh dengan beberapa penyesuaian.

Keberhasilan terbesar pelaksanaan otsus Aceh adalah transformasinya

kekuatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam struktur pemerintahan modern

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seluruh elemen sepakat bahwa

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh adalah titik

pijak untuk menciptakan Aceh yang sejahtera. Tidak ada lagi yang menginginkan

kondisi sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan

Aceh.

3. Sejarah Pemberian Otonomi Daerah Istimewa Yogyakarta

Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta berjalan cukup panjang, bahkan

sebelum masa kemerdekaan. Berawal dari Kerajaan Mataram yang dibagi dua

berdasarkan perjanjian Giyanti (Palihan Nagari) pada tanggal 13 Februari 1755,

hingga kini keistimewaan DIY masih diakui dengan berlakunya Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2012.

Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta merupakan daerah yang

mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut Daerah Swapraja, yaitu

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Daerah

Page 52: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

41

yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, dijaman penjajahan

Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen.

Baik Kesultanan maupun Pakualaman diakui oleh Pemerintah Hindia

Belanda sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua ini

dinyatakan dalam kontrak politik. Terakhir Kontrak Politik Kesultanan

tercantum dalam Staatsblad 1941 Nomor 577.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Sri Sultan

Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan kepada Presiden

Republik Indonesia, bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah

Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, bergabung

menjadi kesatuan yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri

Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualaman VIII sebagai Kepala Daerah

dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden

Republik Indonesia. Hal tersebut dinyatakan dalam.

1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualaman

VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden Republik Indonesia;

2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII

tertanggal 5 September 1945 (dibuat secara terpisah); dan

3. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal

30 Oktober 1945 dibuat bersama dalam satu naskah).

` Pada awal tahun 1946, karena kondisi Jakarta tidak aman, ibukota

negara diindahkan ke Yogyakarta. Salah satu terpilihnya Yogyakarta adalah

karena tanggal 5 September 1945 Kesultanan dan Pakualaman bermaklumat

seluruh rakyat Yogyakarta setia kepada negara. Prof. Dr. Suhartono W. P.,

seorang penulis, mengatakan “Dari maklumat tersebut jelas bahwa para

pemimpin dan rakyat Yogyakarta adalah republiken dan dua kerajaan itu

terintegrasi dalam Republik Indonesia. Dukungan terhadap Reublik Indonesia

Page 53: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

42

yang dilakukan kedua tokoh Yogyakarta itu adalah pertama kali dilakukan

penguasa lokal di Indonesia.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atas keistimewaan suatu

daerah telah ada sejak jaman kemerdekaan. Hal ini terlihat dari Pasal 18 Undang-

undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menyatakan, “Pembagian daerah

Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya

ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar

permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul

dalam daerah yang bersifat istimewa”.

Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dibentuk Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan

Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah

Tangganya Sendiri, “Daerah-daerah yang mempunyai hak, asal-usul dan di

zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang

bersifat Istimewa yang setingkat Provinsi, Kabuaten atau Desa, yang berhak

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.”

Selain ketentuan-ketentuan yang mengatur secara umum, dalam undang-

undang tersebut terdapat beberapa ketentuan yang secara khusus mengaur

tentang Daerah Istimewa. Dalam Pasal 18 ayat (5) undang-undang tersebut diatur

bahwa Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga

yang berkuasa didaerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang

masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, dan

kesetiaan dengan mengingat adat-istiadat di daerah itu. Lebih lanjut dalam ayat

(6) diatur bahwa untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala

Daerah oleh Presiden dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka Yogyakarta memenuhi

syarat sebagai sebuah daerah yang bersifat istimewa. Pemerintahan yang ada di

Yogyakarta telah ada sejak jauh sebelum Republik Indonesia. Kesultanan

Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar

Page 54: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

43

Sultan Hamengkubuwono I ada tahun 1755, sedangkan Kadipaten Pakualaman

didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan Hamengku buwono II)

yang bergelar Adipati Paku Alam I pada tahun 1813.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 ditindaklanjuti dengan

pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan

Daerah Istimewa Jogjakarta. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa

Daerah Isyimewa Yogyakarta setingkat dengan provinsi, meliputi Kesultanan

Yogyakarta dan daerah Paku Alaman. Selain mengatur tentang wilayah dan

kedudukannya, undang-undang tersebut juga mengatur tentang Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY dan urusan rumah tangga Daerah

Istimewa Yogyakarta.

Pasca berakhirnya Orde Baru, pengakuan legal atas keberadaan daerah

istimewa masih teta berlaku. Pasal 122 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Tentang Pemerintahan Daerah antara lain menyatakan bahwa keistimewaan

untuk Provinsi DIY, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1974, adalah tetap. Lebih lanjut dalam penjelasan asal tersebut dinyatakan

bahwa pengakuan keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada

asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi

keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan

calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan

mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat

sesuai dengan undang-undang ini.

Berikutnya ketentuan mengenai pemerintahan daerah diatur dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam

konsiderannya “Menimbang” undang-undang ini dinyatakan bahwa salah satu

yang harus diberhatikan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah

adalah keistimewaan dan kekhuusan suatu daerah dalah sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Terdapat beberapa alasan terhadap pemberian status

keistimewaan, yaitu:

Page 55: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

44

a. Alasan Filosofis

Pilihan sadar untuk menjadi bagian Indonesia meruakan refleksi filosofis

Kesultanan, Pakualaman, dan masyarakat Yogyakarta secara keseluruhan

yang mengagungkan ke-bhinekaan dakan ke-ika-an sebagaimana tertuang

dalam Pancasila dan UUD 1945. Keistimewaan Yogyakarta bisa menjadi

solusi bagi Indonesia yang dihadapkan pada masalah. Oleh karena itu,

rumusan keistimewaan Provinsi DIY harus menjadi dasar pengokohan lebih

lanjut masyarakat multi-kultural yang mampu membangun keharmonisan dan

kohesivitas sosial.

b. Alasan Kesejarahan-Politis

Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki sejarah yang khas dalam dirinya

sendiri, yang sekaligus merupakan bagian dari sejarah survivalitas Indonesia

sebagai sebuah bangsa dan negara. Kekhasan ini tidak dimiliki daerah lainnya.

Status keistimewaan Yogyakarta merupakan pilihan politik sadar yang

diambil oleh penguasa Yogyakarta, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX

dan Paku Alam VIII, bukan pemberian dari entitas politik nasional. Hal ini

penting untuk dipahami karena dari sisi keorganisasian keduanya memiliki

stuktur yang lengkap dan lebih siap untuk menjadi sebuah negara yang

merdeka.

c. Alasan Yuridis

Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kanjeng Sultan dan Amanat Sri Paduka

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam dapat dideskrispsikan

sebagai novum hukum yang menyatakan bahwa status Yogyakarta telah

mengalami perubahan dari sebuah daerah Zelfbesturende Landschappen atau

Daerah Swaraja menjadi sebuah daerah yang bersifat istimewa didalam

teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam rentang waktu antara tahun 1950 sampai. 2004 (Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1950 sampai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004)

terdapat konsistensi pada level yuridis yang mengakui keberadaan suatu

Page 56: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

45

daerah yang bersifat istimewa. Namun hal tersebut tidak diikuti dengan

peraturan yang bersifat komprehensif mengenai substansi keistimewaan

sebuah daerah. Kehadiran sebuah undang-undang tentang keistimewaan

Yogyakarta yang komprehensif ssangat diperlukan guna memberikan jaminan

hukum bagi pelaksanaan pemerintahan di Yogyakarta.

d. Alasan Sosio-Psikologis

Dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, Yogyakarta bisa dipastikan

akan terus mengalami perubahan sosial yang sangat dramatis. Perkrmbangan

tersebut tidak secara otomatis meminggirkan sentralisasi Kesultanan dan

Pakualaman sebagai sumber rujukan penting bagi mayoritas warga

Yogyakarta. Sebagian besar masyarakat tetap memandang dang mengakui

Kesultanan dan Pakualaman sebagai Pusat Budaya Jawa dan simbol

pengayom.

e. Alasan akademis-Komparatif

Pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah dari

beberapa daerah meruapakan praktek enyelenggaraan pemerintahan yang

cukup umum ditemui dalam pengalaman pengaturan politik di banyak negara.

Rasionalitas bagi pemberian status keistimewaan bagi Yogyakarta sebagai

wujud konkret dari kebijakan desentralisasi yang bercorak asimetris

mendapatkan pembenarannya.

Dengan berbagai pertimbangan dan alasan yang antara lain telah

dikemukakan di atas, serta melalui proses yang cukup panjang, akhirnya

Undang-Undnag Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah

Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) disahkan oleh DPR dalam Sidang

Paripurna yang diselenggarakan pada hari Kamis, 30 Agustus 2012. Berbeda

dengan Peraturan-Peraturan sebelumnya, undang-undang yang terdiri atas 16

bab dan 51 pasal ini mengatur keistimewaan DIY secara lebih menyeluruh.

4. Sejarah Pemberian Otonomi Khusus DKI Jakarta

Page 57: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

46

Sejarah Kota Jakarta terkait erat dengan perjuangan bangsa telah ada sejak

tanggal 22 Juni 1527, yaitu pada saat Fatahillah mengalahkan armada asing, dan

kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Peristiwa ini

selanjutnya diperingati sebagai hari jadi kota Jakarta. Perkembangan selanjutnya

Jakarta mempunyai peranan penting dalam sejarah perjuangan bangsa. Banyak

momentum penting dalam sejarah kebangkitan nasional, kesatuan dan persatuan

bangsa, serta sejarah kebangkitan Indonesia yang terjadi di Kota Jakarta, seperti

lahirnya Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan serta

penetaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Nilai-nilai sejarah tersebut

sangat besar artinya bagi usaha pembinaan bangsa dan pengembangan lebih

lanjut Kota Jakarta.

UUD 1945 tidak menyebut secara spesifik mengenai pemerintahan Jakarta.

Pengaturan tentang Jakarta justru muncul di dalam Konstitusi RIS 1949 Pasal 50

Ayat (1), yang antara lain menetapkan bahwa pemerintahan atas distrik daerah-

daerah yang di luar lingkungan daerah sesuatu daerah Republik Indonesia Serikat

menurut aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang Federal.

Sesuai dengan ketentuan ini Pemerintah RIS menetapkan Undang-Undang

Darurat Nomor 20 Tahun 1950 (LN RIS 1950 Nomor 31. Penjelasan dalam TLN

Nomor 15) yang dinamakan Undang-Undang Pemerintahan Jakarta Raya.

Undang-Undang Darurat ini mengatur hal-ikhwal pemerintahan atas ibukota

Jakarta sesuai dengan ketentuan dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat

tersebut diatas. Dalam Undang-Undang Federal itu sekaligus diatur juga

kedudukan Kota Jakarta sebagai suatu daerah yang mengurus rumah tangganya

sendiri.

Undang-Undang Darurat Pasal 2 Nomor 20 Tahun 1950 ditetapkan bahwa

pemerintahan daerah dengan wilayah baru sebagaimana ditentukan dalam

Keputusan Presiden Nomor 125 Tahun 1950 dinamakan Kotapraja Jakarta Raya.

Pemerintahannya dijalankan atas nama Pemerintahan Republik Indonesia Serikat

oleh seorang Walikota. Walikota Jakarta menjalankan tugas pemerintahan itu

Page 58: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

47

dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk menteri dalam negeri Republik

Indonesia Serikat. Penyelenggaraan pemerintahan daerah itu masih tetap

menurut perautan perundang-undangan desentralisasi yang sampai saat itu masih

berlaku, yaitu Stadsgmeente-ordanantie dan Ordonantie Tidjdelijke

Voorzieningen Bestuur Stadgemeenten Java. Selanjutnya ditetapkan bahwa

kekuasaan-kekuasaan, kewajiban-kewajiban, dan pekerjaan-pekerjaan yang

menurut peraturan perundang yang dahulu berada di tangan aparatur provincie

West Java dan Secretaris van Staat voor Binnenlandse Zaken (ini adalah tugas-

tugas yang bersifat pengawasan) kini semuanya dijalankan olh menteri dalam

negeri RIS. Dengan demikian pemerintahan daerah Kotapraja Jakarta Raya

berada di wilayah pengawasan kementrian Dalam Negeri RIS. Undang-undang

Darurat ini mulai berlaku pada hari diumumkan, dan berlaku surut sampai pada

tanggal 31 Maret 1950. Undang-Undang Darurat ini ditetapkan di Jakarta pada

tanggal 13 Mei 1950 oleh Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Moh.

Hatta serta Menteri Dalam Negeri Ide Anak Agoeng Gde Agoeng.

Perubahan struktur negara dari Republik Indonesia Serikat menjadi Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950 tidak

mempengaruhi status Kotapraja Jakarta Raya karena negara kesatuan ini

bukanlah suatu negara bentukan baru, melainkan merupakan kelanjutan Negara

RIS yang diubah bentuknya dari suatu federasi, menjadi bentuk kesatuan yang

meliputi seluruh Indonesia.

Pemerintahan Daerah ketika itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1948 Tentang Pemerinthan Daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1948, provinsi merupakan Daerah tingkat teratas dan langsung berada

dibawah pengawasan pemerintah pusat (Menteri Dalam Negeri). Dalam

prakteknya, Pemerintahan Pusat memperlakukan Kotapraja Jakarta Raya sebagai

daerah otonom yang sejajar dengan provinsi. Demikian pula, Walikota Jakarta

Raya sebagai pejabat Pamongpraja pusat mempunyai kedudukan yang setingkat

dengan para gubernur dari segenap provinsi di seluruh Indonesia.

Page 59: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

48

Dalam hubungannya dengan kota-kota lainnya yang berhak mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri, Kota Praja Jakarta Raya selain mempunyai

derajat yang setingkat lebih atas daripada kota besar (dan bahkan 2 tingkat lebih

atas daripada kota kecil) juga memiliki suatu kelainan tersendiri, yaitu satu-

satunya kota otonom yang memakai sebutan “Kotapraja”.

Ketika pemerintahan pada tanggal 17 Januari mengesahkan Undang-

Undnag Nomor 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,

pertumbuhan pemerintahan daerah Kotapraja Jakarta Raya memasuki babaj baru.

Di dalam Bab VIII Peraturan Peralihan Pasal 73 ayat (3) Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1957 dinyatakan Kotapraja Jakarta Raya yang berhak mengurus rumah

tangganya sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor Tahun 1956 tidak perlu

dibentuk lagi sebagai Kotapraja menurut ketentuan Pasal 3 UU Tentang Pokok-

pokok Pemerintahan Daerah 1956, akan tetapi daerah tersebut, sejak mulai

berlakunya Undang-Undang ini, menjadi Kotapraja Jakarta Raya termaksud

dalam pasal 2 undang-undang ini. Di dalan penjelasan Pasal 73 ditegaskan,

pembentukan daerah swntra berdasarkan undang-undnag ini sudah barang tentu

tidak dapat diadakan dengan sekaligus untuk semua daerah di wilayah Indonesia.

Begitu pula peraturan-peraturan penyelenggaraan menghendaki waktu yang

cukup. Pada waktu mulai berlakunya undang-undnag ini (Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1957) di Indonesia terdapat daerah-daerah swantantra yang

berdasarkan atas berbagai jenis peraturan perundangan pokok, misalnya

Kotapraja Jakarta Raya berdasarkan atas Stadsgemeente-oronantie (SGO) dan

Tijdelijke voorningennya junto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957.

B. Otonomi Khusus Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

Sistim pemerintahan daerah di Indonesia, menurut konstitusi Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berdasarkan penjelasan

dinyatakan bahwa daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah

provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah – daerah yang

Page 60: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

49

bersifat otonom (streek and locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah

adminidtrasi belaka. Semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan

undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan didakan badan

perwakilan daerah, oleh karena itu daerah itu pun pemerintah akan bersendi atas

dasar permusyawaratan.8

Dalam teritorial negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 zelfbesturende

landchappen dan volksgemeen schappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di

Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu

mempunyai susunan asli dan oleh karena dapat dianggap sebagai daerah yang

bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-

daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu

akan mengikat hak-hak usul daerah tersebut. Dalam Pasal 18B Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa negara mengakui

dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau

bersifat istimewa yang diatur didalam undang-undang. Negara juga mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masayarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur

didalam undang-undang.

Dalam perubahan Kedua Undang-undang Dasar 1945 tentang

Pemerintahan Daerah dalam Pasal 18 dinyatakan sebagai berikut:

1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi,

kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan

undang-undang.

8 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012),

h. 1

Page 61: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

50

2. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

3. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota memiliki Dewan

Perwakilan Daerah yang anggota-anggotana dipilih melalui Pemilihan

Umum.

4. Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah

daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.

5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh undnag-undang ditentukan sebagai urusan

pemerintahan pusat.

6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan

lainnya untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam

Undang-Undang.

Bagir Manan9 menyatakan bahwa perubahan Pasal 18 Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik secara struktur maupun

substansi perubahan tersebut sangatlah mendasar. Secara struktur, Pasal 18 (lama)

sama sekali diganti baru. Pasal 18 Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945 setelaherubahan terlihat rinci dibandingkan dengan Pasal 18

sebelum perubahan. Selain itu, penjelasan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945 yang selama ini juga merupakan bagian dari Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia 1945 telah dihapus.

Bagir Manan10 menyatakan bahwa penjelasan Pasal 18 Undang-undang

Dasar Republik Indonesia 1945 tersebut merupaka suatu bentuk

“keganjilan”,”kerancuan”, bahkan “anomaly” bagi Pasal 18 itu sendiri, dalam

9 Dalam buku Rusdianto Sesung, Hukum Otonomi Daerah Negara Kesatuan, Daerah

Istimewa dan Daerah Otonomi Khusus, Refika Aditama, Jakarta, 2013, h. 45, dikutip dari buku

Bagir Manan, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. 49 (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FHUII,

2005), h. 5.

Page 62: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

51

rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 maka kebijakan politik hukum

yang ditempuh oleh pemerintahan terhadap pemerintahan daerah yang dapat

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

melalui peningkatan pelayanan, pmberdayaan dan peran serta masyarakat, serta

peningkatan daya saing daerah, dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi,

pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam system

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan kebijakan politik

hukum pemerintah, penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan

penetapan strategi.

Pertama. Peningkatan pelayanan. Pelayanan bidang pemerintahan,

kemasyarakatan dan pembangunan adalah suatu hal yang bersifat esensial guna

mendorong dan menunjang dinamika interaksi kehidupan masyarakat baik sarana

untuk memperoleh hak-haknya, maupun sebagai sarana kewajiban masyarakat

sebagai warga negara yang baik. Bentuk bentuk pelayanan pemerintahan tersebut,

antara lain meliputi rekomendasi, perizinan, dispensasi, hak berusaha, surat

keterangan kependudukan dan sebagainya.

Kedua. Pemberdayaan dan Peran Serta Masyarakat. Konsep pembangunan

dalam rangka otonomi daerah ini, bahwa peran serta masyarakat lebih menonjol

yang dituntut kreativitas masyrakat baik pengusaha, perencana, pengusaha jasa,

pengembang, dalam menyususn konsep strategis pembangunan daerah, dimana

pemerintah hanya terbatas memfasilitasi dan mediasi. Di samping itu, dalam

kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara memeberikan kesempatan seluas-

luasnya kepada masyarakat khususnya partai politik untuk memberikan pendidikan

politik rakyat guna meningkatkan kesadaran bernegara dan berbangsa guna

tercapainya tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI).

Page 63: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

52

Ketiga. Peningkatan Daya Saing Daerah. Peningkatan daya saing daerah

ini, guna tercapainya keunggulan local dan apabila di pupuk kekuatan ini secara

nasional akan terwujud resultan keunggulan daya saing nasional. Disamping itu,

daya saing nasional akan menunjang sistim ekonomi nasional yang bertumpu pada

strategi kebijakan perekonomian kerakyatan.

Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh

sebelum terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi besar-

besaran ditanah air. Namun, perumusan kebijakan otonomi daerah itu masih bersifat

setengah-setengah dan dilakukan tahap demi tahap yang sangat lamban. Setelah

terjadinya reformasi yang disertai pula dengan gelombang tuntutan ketidakpuasan

masyarakat di berbagai daerah mengenai pola hubungan pusat dan daerah yang

dirasakan tidak adil, maka tidak jalan lain kecuali mempercepat pelaksanaan

kebijakan otonomi daerah dan bahkan dengan skala yang sangat luas diletakkan di

atas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal.11

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945, Ketetapan MPR dan undang-undang, sistim pemerintahan kita telah

memberikan keleluasan yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan

otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-

prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat dan pemerataan keadilan

dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan

keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini dianggap sangat

penting, karena tantangan perkembangan, local, nasional, regional dan internasional

diberbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan

mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang sangat luas, nyata dan

bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah

itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya

11 Mhd. Shiddiq, Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita,

2003), h. 173

Page 64: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

53

masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-

prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi

keanekaragaman antar daerah.

Dalam suasana reformasi, lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Tentang Pemerintahan Daerah, ini di harapkan dapat mengakomodir perubahan

paradigma pemerintahan dari yang sentralisasi menjadi desentralisasi,

mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan

keadilan, memperhatikan perbedaan potensi dan keanekaragaman, serta dapat

mencegah terjadinya disintegrasi bangsa. Lahirnya undang-undang ini merupakan

respons atas tuntutan masyarakat di era reformasi yang menghendaki pelaksanaan

otonomi luas dengan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan,

peningkatan peran serta masyarakat, diakuinya potensi dan keanekaragaman daerah

serta terciptanya kemandirian daerah.12 Disamping itu, undang-undang ini

merupakan kontras atas pelaksanaan pemerintahan daerah yang sangat sentralistik.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah ini

merupakan politic will dari negara untuk melaksanakan otonomi luas dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang antara lain diwujudkan melalui

pemberian kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mewujudkan

kesejahteraan masyarakat daerah. Secara konsepsional, undang-undang ini

mengandung nilai positif dalam mendorong pelaksanaan demokrasi, peran serta

masyarakat, meningkatkan pemerataan dan keadilan, memperhatikan potensi dan

keanekaragaman, serta mendekatkan pelayanan pemerintah daerah kepada

masyarakat.

Terdapat 5 (lima) pikiran dasar yang terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999. Pertama, sebagai upaya mewujudkan landasan hukum yang

kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan keleluasan kepada

12 Agussalim Andi, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, (Bogor: Ghalia

Indonesia, 2007), h. 163

Page 65: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

54

daerah untuk menjadikan daerah otonom yang mandiri dalam rangka menegakkan

sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Kedua penyelenggaraan otonomi yang luas

yang dilaksanakan diatas dasar peinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,

pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Ketiga, meningkatkan peran dan fungsi DPRD sebagai badan legislative daerah dan

badan pengawas sebagai sarana pengembangan demokrasi serta mendudukan

kessejajaran dan kemitraan antar kepala daerah dan DPRD dalam

menyelenggarakan pemerintahan daerah. Keempat, untuk mengantisipasi

perkembanggan keadaan, baik dalam negeri maupun tantangan persaingan global

yang mau tidak mau pengaruhnya akan melanda daerah. Kelima, untuk mendudukan

kembali posisi desa atau dengan nama lain, sebagai kesatuan masyarakat sadar

hukum rendah yang memiliki hak asal-usul dan otonomi asli yang diakui dan

dihormati dalam sisitim pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang Pemerintahan Daerah lahir sebagai antisipasi

pembaharuan dan penyempurnaan dari berbagai aturan yang melandasi pelaksanaan

pemerintahan daerah yang sudah tidak antisifatif dalam perkembangan. Disisi lain,

undang-undang ini merupakan implementasi dari beberapa aturan mendasar, dengan

tegas dan jelas memberikan batasan-batasan beberapa pengertian sebagai dasar

pelaksanaan pemerintahan di daerah, antara lain memisahkan secara tegas fungsi

dan peran pemerintahan daerah dan DPRD, yang satu sisi menempatkan kepala

daerah beserta perangkat daerah otonom sebagai badan eksekutif di daerah dan di

sisi lainnya, DPRD sebagai badan legislatif daerah.

Beberapa perubahan mendasar dalam pelaksanaan otonomi daerah dengan

undang-undang sebelumnya:13

13 M. Busrizalti, M. Busrizalti, Hukum Pemda Otonomi Daerah dan Implikasinya, (Yogyakarta:

Total Media, 2013), h. 122-123

Page 66: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

55

1. Dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah memeberikan kewenangan yang

luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional

diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang

berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini

mengandung makna yang sangat dalam bahwa TAP MPR ini berkehendak

dan berkeinginan mengubah Undang-Undang Pemerintahan Daerah dengan

pelaksanaan daerah yang nyata dan tanggung jawab;

2. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip

demokrasi dengan memeperhatikan keanekaragaman daerah,

penyelenggaraan otonomi daerah segala sesuatunya ditentukan oleh

pemerintahan pusat yang melaksanakan penyeragaman dalam pelaksanaan

otonomi daerah;

3. Diaturnya perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang

sangat ditentukan oleh pemeintahan pusat tanpa ada kepastian daerah

memperoleh perimbangan keuangan;

4. Terdapat pemberdayaan DPRD dan masyarakat untuk ikut melaksanakan

penyelenggaraan otonomi daerah berdasasarkan asas kerakyatan dan

memperkuat fungsi pengawasan. Berbeda dengan Undang-Undang

sebelumnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1957, lembaga DPRD yang

merupakan bagian dari pemerintahan daerah sagat kurang peran dan fungsi

serta kewenangannya. Hal ini terjadi karena Kepala Daerah kududukannya

sangat kuat di samping sebagai perangkat daerah juga merupakan perangkat

pusat di dalam susunan pemerintahan sentralistik.

Melalui prinsip otonomi tersebut, maka penyelenggaraan desentralisasi di

Indonesia mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Tentang Pemerintahan Daerah ini. Materi muatan khusus nya menyangkut

pembentukan dan pemekaran daerah menurut Undang-Undang ini bahwa daerah

provinsi dibentuk berdasarkan asas desentralisasi, asas dekosentrasi, asas tugas

Page 67: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

56

pembantuan, sedangkan daerah kabupaten dan daerah kota dibentuk berdasarkan

asas desentralisasi. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi berwenag

untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat. Otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang ini adalah

kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan

perturan perundang-undangan.

Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam selurih bidang

pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan

keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenagan bidang lain

mencakup kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan

nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistim administrasi dan

lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya

manusia, pendayaguaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis,

konservasi dan standarnisasi nasional.

Penyelenggaraan otonomi daerah adalah dengan memeberikan

kewenangan luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional,

yang diwujudkan dengan peraturan, pembagian dan dengan pemanfaatan sumber

daya nsional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai dengan prinsip-

prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi

keanekaragamn daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan

Repunlik Indonesia.

Pengertian dan makna otonomi daerah telah mengalami pergeseran

mendasar semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang

Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.

Kemudian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

diganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,

kemudian digantikan lagi dengan peraturan yang terbaru Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun

Page 68: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

57

1999 diganti karena dianggap banyak memiliki kelemahan, dilakukan perubahan

dan penyempurnaan termasuk tentang Pemilihan Kepala Daerah secara langsung.

Otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah adalah bahwa Otonomi Daerah adalah hak,

wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatir dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 10 Pasal 4 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan:

1. Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1)

ditetapkan dengan Undang-Undang;

2. Undang-Undang Pemebentukan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat

(1), antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas ibukota, kewenangan

penyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan pejabat kepala daerah,

pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan,

peralatan dan dokumen serta perangkat daerah;

3. Pembentukan daerah dapat berupa, penggabungan beberapa daerah atau

bagian daerah yang bersanding atau pemekaran diri satu daerah menjadi dua

daerah atau lebih;

4. Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana

dimaksud pada Ayat (3) dapat dilakukansetelah mencapai batas minimal usia

penyelenggaraan pemerintahan.

Dalam pembagian urusan pemerintahan, Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 menyatakan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang

oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Penyelenggaraan

pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi

dengan memperhatikan keserasian hubungan antar pusat dengan daerah.

Page 69: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

58

Dalam hal menjalankan otonomi, daerah berkewajiban untuk mewujudkan

keamanan dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pasal 22 Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 menyebutkan:

1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan

nasional;

2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;

3. Mengembangkan kehidupan demokrasi;

4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan;

5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;

6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;

7. Menyediakan fassilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;

8. Membangun sistim jaminan sosial;

9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;

10. Mengembangkan sumberdaya produktif di daerah;

11. Melestarikan lingkungan hidup;

12. Mengelola administrasi kependudukan;

13. Melestarikan nilai sosial budaya;

14. Membentuk dan menerapkan peratuarn perundang-undangan sesuai

dengan kewenangannya; dan

15. Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam hal otonomi khusus ini, didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 ini terdapat didalam Pasal 225, yang berbunyi “Daerah-daerah yang memiliki

status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang

ini diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain.

Undang`-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalah hal otonomi khusus hanya

mengatur mengenai peraturan onotomi khusus diatur dalam undang-undang lain.

Namun, dapat dilihat adanya pengakuan terhadap kekhususan atau otonomi khusus

yang diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Didalam Undang-Undang ini yang

Page 70: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

59

diakui mendapatkan pengakuan khusus ataupun istimewa diatur dalam Pasal 226

yang berbunyi:

1. Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak diatur khusus dalam

Undang-Undang tersendiri.

2. Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan

ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini.

3. Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pemilihan kepala daerah

dan wakil kepala daerah diselenggarakan sesuai ketentuan dalam Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

Daerah Iatimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Disini dapat dilihat bahwa terhada pengaturan otonomi khusus di Indonesia

ini telah diatur menurut Undang-Undang, hal lain berlandaskan pada Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, didalam pasal 18B berbunyi

“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan khusus atau bersifat istimewa

yang diatur dengan Undang-Undang”. Yang kemudian direalisasikan oleh aturan-

aturan yang dibawahnya sesuai dengan hirarki perundang-undangan. Selain itu

Undang-Undang lainnya yang secara real mengatur mengenai Otonomi Khusus

sisetiap daerah yang mendapatkan pengajuan khusus oleh Negara.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

sudah tidak secara kopleks lagi mengatur mengenai otonomi khusus, karena telah

ada uandang-undang mengenai otonomi khusus daerah tersendiri yang dimiliki oleh

daerah yang mendapatkan otonomi khusus, undang undang ini hanya sebatas

membahas mengenai pembentukan kawasan khusus, yang terdapat di dalam Pasal

360 Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2014.

Page 71: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

60

Dalam hal pembentukan kawasan khusus ini, diatur didalam Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah terdapat didalam

Pasal 360 yang berbunyi:

1. Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat strategis

bagi kepentingan nasional, pemerintah pusat dapat menetapkan kawasan

khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupetan/kota.

2. Kawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal (1) meliputi:

a. Kawasan perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas;

b. Kawasan hutan lindung;

c. Kawasan hutan konservasi;

d. Kawasan taman laut;

e. Kawasan buru;

f. Kawasan ekonomi khusus;

g. Kawasan berikat;

h. Kawasan angkatan perang;

i. Kawasan industry;

j. Kawasan purbakala;

k. Kawasan cagar alam;

l. Kawasan cagar budaya;

m. Kawasan otorita; dan

n. Kawasan untuk kepentingan nasional lainnya yang diatur dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

3. Untuk membentuk kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Pemerintah Pusat mengikutsertakan daerah yang bersangkutan.

4. Dalam kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap daerah

mempunyai kewenangan daerah yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan.

5. Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah Pusat.

Page 72: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

61

C. Kepolisian Republik Indonesia di Tinjau dari Konsep Lembaga Negara

Polisi adalah salah satu lembaga negara ysng terdapat di Indonesia ,

ditinjau dari segi etimologis istilah polisi di beberapa negara memiliki

ketidaksamaan, seperti Yunani istilah polisi dengan sebutan “politea”, di Inggris

“police” juga dikenal adanya istilah “constable”, di Jerman “polizei”, di Amerika

dikenal dengan “sheriff”, di Belanda “politie”, di jepang dengan istilah “koban”

dan ”chuzaisho”. Jauh sebelum istilah polisi lahir sebagai organisasi, kata “polisi”

telah dikenal dalam bahasa Yunani, yakni “politeia” digunakan sebagai judul buku

pertama plato, yakni “politea” yang mengandung makna suatu negara yang ideal

sekali dengan cita-citnya, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus

dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi.14.

Agar kehidupan masyarakat di kota tertata maka dibuatlah norma-norma.

Norma-norma tersebut ditegakkan melalaui suatu kekuatan, kekuatan inilah yang

yang dinamakan kepolisian.15 Dilihat dari sisi historis, istilah “polisi” di Indonesia

tampaknya mengikuti dan menggunakan istilah “politie” di Belanda. Hal ini sebagai

akibat dan pengaruh dari bangunan system hukum Belanda yang banyak dianut di

negara Indonesia. Istilah Polisi menurut Raymond B. Fosdick adalah sebagai

kekuatan utama untuk melindungi individu-individu dalam hak-hak hukum mereka.

Menurut Steinmentz bahwa untuk mengatur keamanan, pemerintah mengeluarkan

beberapa peraturan. Bagi mereka yang tidak menurutinya akan diberi hukum dan

diberi nasehat. Untuk melaksanakan peraturan tersebut, pemerintah mengangkat

beberapa pegawai untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum, untuk

melindungi penduduk dan harta bendanya serta untuk menjalankan peraturan-

peraturan yang diadakan oleh pemerintah. Mereka yang diberi tugas tersebut disebut

pegawai Polisi. Dari arti istilah Polisi tersebut diatas, bila diinterpretasikan maka

14 Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Terhadap Unsur-Unsurnya,

(Jakarta: UI Press,1995), h. 19. 15 Yesmil Anwar, Sistem Peradilan Pidana, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), h. 154

Page 73: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

62

pengertian Polisi sebagai organ dalam mlaksanakan tugas organ Polisi serta

dilaksanakan oleh pejabat Polisi sebagai manusi dalam melaksanakan perturan

hukum baik sebagai hukum formal maupun sebagai hukum materil untuk

mewujudkan tujuan Kepolisian yang melaksanakan fungsi pemerintahan.

Seperti yang kita ketahui dulu kepolisian merupakan lembaga yang

menyatu dengan militer dalam menjalankan fungsi keamanan namun ditetapkan

Perubahan Kedua Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI No.

VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, maka secara

kontitusional peran Kepolisian serta pemisahan kelembagaan Tentara Nasional

Indonesia (TNI) dan Kepolisian NRI sesuai dengan peran dan fungsi masing-

masing. Salah satu tuntutan reformasi dan tantangan masa depan adalah

dilakukannya demokratisasi, maka diperlukan reposisi dan rektrukturisasi Angkatan

Bersenjata Republik Indonesia. Adanya kebijakan dalam bidang pertahanan /

keamanan telah dilakukan penggabungan Angakatan Darat, Angkatan Laut,

Angkatan Udara, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Angkatan

Bersenjata Republik Indonesia.

Sebagai akibat dari penggabungan tersebut terjadi kerancuan dan tumpang

tindih antara peran dan fungsi TNI sebagai kekuatan pertahanan negara dengan

peran dan tugas Kepolisian sebagai kekuatan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

menyebabkan terjadinya peyimpangan peran dan fungsi TNI dan Kepolisian yang

berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi-sendi demokrasi dalam kehudupan

berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Menimbang realitas tersebut “maka

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kemudian memutuskan TNI dan

Kepolisian secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-

masing. Ketika terdapat keterkaitan kegiatan pemerintahan dan kegiatan keamanan,

TNI dan Kepolisian harus bekerjasama dan saling membantu.

Page 74: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

63

Berdasarkan perubahan secara kontitusional, maka Kepolisian merupakan

lembaga negara yang dibentuk betujuan dalam bidang keamanan di dalam negeri,

tugas pokok dari Kepolisisan yaitu memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani

masyarakat. Namun dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, Kepolisian NRI

secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan

bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui pengembanagan asas subsidiaritas

dan asas partisipasi.

Perubahan Kedua Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI

No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 telah melahirkan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang kini menjadi landasan yuridis normative dari eksistensi Kepolisian

NRI.

Definisi menegenai kepolisian terdapat dalam Pasal Angka 1 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisisan Negara Republik Indonesia”

Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi

sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Salah satu peran Kepolisian adalah

memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Pada Pasal 1 Angka 5 UU Nomor

2 Tahun 2002 dirumuskan “ Keamanan dan ketertiban masyarakat adaah suatu

kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu persyaratan terselenggaranya proses

pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh

terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum, serta terbinanya

ketentraman, yang mngandung kemampuan membina serta mengembangkan

potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi

segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat

meresahkan masyarakat”.

Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia menyatakan, Kepolisian Negara RI bertugas:

Page 75: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

64

a) Menjalankan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patrol terhadap

kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuia kebutuhan;

b) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban

dan kelancaran lalu lintas dijalan;

c) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,

kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga mesyarakat terhadap

hukum dan peraturan perundang-undangan;

d) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f) Melakukan kordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk

pengamanan swakarsa;

g) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana

sesuai dengan hukumacara dan peraturan perundang-undangan lainnya;

melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda masyyarakat dari gangguan

ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan

dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

h) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan

dalam lingkup tugas kepolisian; serta

i) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Kepolisian Republik Indonesia dipimpin oleh Kepala Kepolisian Republik

Indonesia seperti yang tercantum didalam Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2002 “Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang

dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan

peraturan perundang-undangan”. Kemudian didalam Pasal 11 Ayat (1) “Kapolri

diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Pewakilan

Rakyat”.

Dalam menjalankan tugasnya di daerah Kapolri dibantu oleh Kapolda

(Kepala Polisi Daerah), menegenai pengangkatan Kapolda terdapat di dalam Pasal

Page 76: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

65

11 Ayat (8) “ Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemeberhentian dalam jabatan

selain yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri”.

Kemudian untuk lebih mengkhususkan pasal tersebut maka dikeluarkan lah

Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2017 Ttentang Susunan Organisasi dan Tata

Kerja Kepolisian Republik Indonesia, terdapat didalam Pasal 54 Ayat (4) yaitu:”

Kapolda merupakan jabatan eselon IIA dan setinggi-tingginya eselon IB , kemudian

dalam Pasal 57 Ayat (1) disebutkan bahwa: “Pengangkatan dan pemberhentian pada

jabatan dan pengangkatan Perwira Tinggi (PATI) bintang dua keatas atau yang

termasuk dalam lingkup jabatan eselon IA dan IB ditetapkan oleh Kapolri setelah

dikonsultasikan dengan Presiden.

Page 77: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

66

BAB IV

PENGANGKATAN KAPOLDA DI DAERAH OTONOMI DALAM

KERANGKA NEGARA KESATUAN

A. Pengangkatan Kapolda Dalam Negara Kesatuan

Banyak perbicangan mengenai bentuk Negara (staat vormen) terkait

dengan pilihan-pilihan antara bentuk Negara Kesatuan (unitary state,

eenheidsstaat), bentuk negara serikat (federal, bonds-staat), atau bentuk

konfederasi (confederation, staten-bond). Sedangkan perbincangan

mengenai bentuk pemerintahan (regering-vormen) berkaitan dengan pilihan

antara bentuk Kerajaan (Monarki), atau bentuk Republik. Sementara dalam

sistem pemerintahan (regering system) terkait pilihan-pilihan antara sistem

pemerintahan presidensil, sistem pemerintahan parlementer dan sistem

pemerintahan campuran, yaitu quasi perlementer seperti Perancis yang

dikebal dengan istilah hybrid system dan sistem pemerintahan collegial

seperti Swiss.1

Teori-teori bentuk negara yang dikembangkan para ahli dan

berkembang di zaman modern bermuara pada dua paham yang mendasar.

Pertama, paham yang menggembangkan bentuk Negara dengan bentuk

Pemerintahan.2 Paham ini menganggap bentuk pemerintahan dimana

terdapat hubungan yang erat antara eksekutif dan legislative, bentuk

pemerintahan dimana ada pemisahan yang tegas antara legislative, eksekutif,

dan yudikatif, bentuk pemerintahan dimana terdapat pengaruh dan

pengawasan langsung dari rakyat terhadap badan legislative. Kedua, paham

yang membahas bentuk Negara atas golongan demokrasi dan diktaktor.

1 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme. (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h.

259 2 Bouger, masalah-masalah demokrasi, (Jakarta: Yayasan Pembangunan, 1952), h. 32-33

Page 78: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

67

Paham ini membahas bentuk negara atas golongan demokrasi dan diktaktor.

Paham ini juga memperjelas bahwa demokrasi dibagi dalam demokrasi

Konstitusional (liberal) dan demokrasi rakyat.

Dari teori-teori tersebut kemudian berkembang di zaman modern

ini, yaitu bentuk Negara Kesatuan (unitarisme) dan Negara Serikat

(Federalisme) yang dapat berbentuk sistem sentralisasi atau sistem

desentralisasi. Negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun dari

beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada

negara didalam negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada

satu pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang

tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijakan

pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik dipusat maupun

di daerah-daerah.

Bentuk negara sesungguhnya berkaitan dengan kekuasaan tertinggi

pada suatu negara yaitu kedaulatan. Dalam negara, kedaulatan merupakan

esensi terpenting dalam menjalankan negara dan pemerintahan. Teori

kedaulatan yang terkenal sampai sekarang, antara lain teori kedaulatan Tuhan

(dikembangkan oleh Agustinus dan Thomas Aquinas), teori kedaulatan

rakyat yaitu kekuasaan berasal dari rakyat (dikembankan oleh Johannes

Althusius. Montesque, dan Jhon Locke), teori kedaulatan negara yaituteori

kedaulatan tertinggi ada pada pemimpin negara yang melekat sejak negara

itu ada (dikembangkan oleh Paul Laband dan George Jelinek), dan teori

kedaulatan hukum yaitu teori kedaulatan dimana kekuasaan dijalankan oleh

pimpinan negara berdasarkan asas hukum dan yang berdaulat adalah hukum

(dikembangkan oleh Hugo De Groot, Krabbe, dan Immanuel Kant).3

Negara Indonesia adalah salah satu negara yang merupakan Negara

Kesatuan seperti yang tertera didalam Undang-Undang Dasar Negara

3 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2000), h .224

Page 79: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

68

Republik Indonesia tahun 1945, terdapat didalam Pasal 1 Ayat (1) ”Negara

Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik” seperti yang

kita ketahui didalam negara kesatuan hanya ada satu pemerintahan pusat

yang mempunyai wewenang yang tertinggi dalam mengatur kebijakan

negara serta melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun

didaerah

Pemerintahan pusat mengatur semua kebijakan yang terdapat di

pusat maupun yang dilimpahkan kepada daerah, pemerintah pusat

mempunyai kedudukan dan wewenag yang tertinggi dalam membuat

kebijakan serta untuk mengatur jalannya pemerintahan agar dapat terlaksana

dengan baik. Dalam pemerintahan pusat yang berwenang dalam menjalankan

kebijakan ialah Presiden. Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk

Republik maka sebutan untuk kepala negaranya adalah Presiden Republik

Indonesia. Presiden Indonesia adalah kepala negara yang merangkap menjadi

kepala pemerintahan.

Menurut Jimmliy Assidiqie, Presiden adalah organ lapis pertama

atau dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara, Bagir Manan

mengategorikan 3 (tiga) jenis lembaga negara yang dilihat berdasarkan

fungsinya, yakni:4

a. Lembaga Negara yang menjalankan fungsi negara secara langsung atau

bertindak untuk dan atas nama negara, seperti Lembaga Kepresidenan,

DPR, Lembaga Kekuasaan Kehakiman. Lembaga-lembaga yang

menjalankan fungsi ini disebut alat kelengkapan negara.

b. Lembaga Negara yang menjalankan fungsi administrasi negara dan tidak

bertindak untuk dan atas nama negara. Artinya, lembaga ini hanya

4 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt55f97e4ed1e36/perbedaan-lembaga-negara-

dan- alat-negara, diakses tanggal 28 Agustus 2019, Pukul 21.00 WIB

Page 80: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

69

menjalankan tugas administrative yang tidak bersifat ketatanegaraan.

Lembaga yang menjalankan fungsi ini disebut sebagai lembaga

administrative.

c. Lembaga Negara penunjang atau badan penunjang yang berfungsi untuk

menunjang fungsi alat kelengkapan negara. Lembaga ini disebut auxiliary

organ/agency.

Berdasarkan kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada

pada lembaga yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya

berupa lembaga negara pendukung. Sebagai contoh pejabat negara adalah

anggota DPR, Presiden, dan Hakim. Pejabat-pejabat tersebut menjalankan

fungsinya untuk dan atas nama negara.

Menurut Jimly, hierarki antar lembaga negara penting untuk

ditentukan, karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan terhadap orang

yang menduduki jabatan dalam lembaga negara. Untuk itu, ada dua kriteria

yang dapat dipakai, yaitu kriteria hirarki bentuk sumber normative yang

menentukan kewenanngannya, dan kualitas fungsinya yang bersifat utama

atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara. Sehubungan dengan itu,

maka dari segi fungsinya, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula

yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary).5 Sedangkan dari segi

hirarkinya, dapat dibedakan kedalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat

disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai

lembaga negara, sedangkan lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Organ

lapis pertama atau lembaga tinggi negara, yaitu:

5 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer,

2009). h.467

Page 81: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

70

1. Presiden dan Wakil Presiden;

2. Dewan Perwakilan Rakyat;

3. Dewan Perwakilan Daerah;

4. Majelis Permusyawaratan Rakyat;

5. Mahkamah Konstitusi;

6. Mahkamah Agung;

7. Badan Pemeriksa Keuangan.

Organ lapis kedua atau lembaga negara, ada yang mendapatkan

kewenangannya dari Undang-Undang Dasar, adapula yang mendapatkan

kewenanagannya dari undang-undang. Walaupun kewenangannya diberikan

oleh Undang-Undang Dasar (memiliki constitutional importance) tapi belum

tentu merupakan lembaga negara utama, karena:6

1. Fungsinya hanya bersifat supporting atau auxiliary terhadap fungsi utama;

2. Pemberian kewenangan konstitusional yang eksplisit hanya dimaksudkan

untuk menegaskan kedudukan konstitusionalnya yang independen;

3. Penentuan kewenangan pokoknya dalam UUD 1945 hanya bersifat by

implication, bukan dirumuskan secara tegas. Lembaga-lembaga negara

sebagai organ konstitusi lapis kedua itu adalah:

1. Menteri Negara;

2. Tentara Nasional Indonesia;

3. Kepolisian Negara;

4. Komisi Yudisial;

5. Komisi Pemilihan Umum;

6. Bank Sentral.

Lembaga-lembaga daerah adalah:

1. Pemerintahan Daerah Provinsi;

6 Jimly Asshiddiqie, “Lembaga Negara” dalam http://www.jimly.com/pemikiran/view/13

diakses tanggal 28 Agustus 2019, Pukul 21.00 WIB

Page 82: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

71

2. Gubernur;

3. DPRD Provinsi;

4. Pemerintah Daerah Kabupaten;

5. Bupati;

6. DPRD Kabupaten;

7. Pemerintah Daerah Kota;

8. Walikota;

9. DPRD Kota.

Presiden sebagai lembaga tertinggi negara didalam suatu negara

kesatuan mempunyai wewenang yang begitu luas, kewenangan itu semua

diatur dalam suatu peraturan-peraturan nya tersendiri, contohnya dalah hal

pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Presiden

mempunyai hak untuk memilih siapa anngota polisi yang sudah memenuhi

berbagai macam persyartaan menduduki posisi tersebut, hal ini sesuai dengan

Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia berbunyi: “Kapolri diangkat dan diberhentikan

oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Dalam hal

pengangkatan Presiden mempunyai kewenangan untuk mengangkat Kapolri

setelah mendapat pertsetujuan oleh DPR.

Presiden sebagai lembaga tinggi negara mempunyai hak untuk

mengangkat dan juga memberhentikan Kapolri, hal itu sesuai dengan isi

Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri, jadi

dapat dipahami Polri adalah lembaga yang berada dibawah Presiden dan

bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dalam Pasal 8 Ayat (1) dan

Ayat (2) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia disebutkan bahwa dalam Pasal 8 Ayat (1): “Kepolisian

Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden. Ayat (2): “Kepolisian

Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan

Page 83: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

72

tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi dan

Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia di Pasal 1 Ayat (1) dan 2

yang berbunyi: Pasal 1 Ayat (1):”Kepolisian Negara Republik Indonesia,

yang selanjutnya disebut Polri, adalah Kepolisian Nasional yang merupakan

satu kesatuan dalam melaksanakan peran memelihara kemanan dan

ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberi perlindungan,

pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya

keamanan dalam negeri”, kemudian didalam Pasal 1 Ayat (2) berbunyi:”Polri

sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berkedudukan dibawah Presiden”.

seperti yang diungkapkan oleh bagair manan Kepolisian Republik Indonesia

adalah lembaga negara yang bersifat supporing axualiry atau sebagai

lembaga negara penunjang, Kepolisian Republik Indonesia mempunyai tugas

untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, hal ini sesuai

dengan bunyi Pasal 13 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

Tentang Polri, tidak hanya masalah mengenai keamanan serta ketertiban

masyarakat, terdapat beberapa tugas Polri lainnya seperti yang tercantum

didalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri yaitu:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. Menegakkan hukum; dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Untuk menjalankan tugasnya Kepolisian Negara Republik

Indonesia membentuk Kepolisian di tingkat daerah, yang disebut dengan

Polisi Daerah (Polda), guna untuk memaksimalkan tugas keamanan dan juga

menjaga ketertiban masyarakat, kepolisian membagi dalam daerah hukum

menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Republik Indonesia,

Page 84: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

73

sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai berikut:

Pasal 6 Ayat 2: “Dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi

kepolisian, wilayah negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum

menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

Ayat 3: “Ketentuan mengenai daerah hukum sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Tujuan dibentuk dan pembagian daerah hukum dalam Kepolisian

Negara Republik Indonesia ialah untuk melaksanakan peran dan fungsinya

secara efektif dan efisien, wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam

daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenang

Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memeperhatikan luas wilayah

keadaan penduduk, dan kemampuan Kepolisisan Negara Republik Indonesia.

Pembagian daerah hukum tersebut diusahakan serasi dengan pembagian

wilayah administrative pemerintahan di daerah dan perangkat sistem

peradilan pidana terpadu.

Dalam hal pembentukan daerah hukum Kepolisian Republik

Indonesia telah diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007

Tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia, dikatakan

bahwa pertimbangan dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun

2007 ini untuk melaksanakan ketentuan dari Pasal 6 Ayat (3) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia, yang dimaksud dengan daerah hukum Kepolisian Negara

Republik Indonesia adalah wilayah yuridiksi Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang meliputi wilayah darat, wilayah perairan dan wilayah udara

dengan batas-batas tertentu dalam rangka melakasanakan fungsi dan peran

kepolisian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 85: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

74

Dalam hal pembagian daerah hukum Kepolisian diatur di dalam

Pasal 2 Ayat (1), Ayat (2), Pasal 3 Ayat (1), Ayat (2) dan Pasal 4 Ayat (1),

Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007

Tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia, bunyi dari

pasal-pasal tersebut ialah:

Pasal 2:

1. Daerah hukum kepolisian dibagi berdasarkan kepentingan

penyelenggaraan fungsi dan peran kepolisian.

2. Pembagian daerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud pada

Ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan pembagian wilayah

administrasi pemerintahan daerah dan perangkat sistem peradilan

pidana terpadu.

Pasal 3:

1. Pembagian dan perubahan daerah hukum kepolisian ditetapkan

dengan mempertimbangkan kepentingan, kemampuan, fungsi dan

peran kepolisian, luas wilayah, serta keadaan penduduk.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penetapan

pembagian daerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud pada

Ayat (1) diatur dengan Peraturan Kapolri.

Pasal 4:

1. Daerah hukum kepolisian meliputi:

a. Daerah hukum kepolisian markas besar untuk wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia;

b. Daerah hukum kepolisian daerah untuk wilayah Provinsi;

c. Daerah hukum kepolisian resort untuk wilayah Kabupaten/Kota;

d. Daerah hukum kepolisian sektor untuk wilayah Kecamatan.

2. Berdasarkan pertimbangan kepentingan, kemampuan, fungsi dan

peran kepolisian, luas wilayah serta keadaan penduduk, Kapolri

dapat menentukan daerah hukum kepolisian ketetuan sebagaimana

dimaksud pada Ayat (1) huruf b, huruf c dan huruf d.

3. Selain darerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud pada

Ayat (1) dan Ayat (2), daerah hukum kepolisian meliputi pula

kawasan diplomatik, yaitu Kedutaan Besar Indonesia serta kapal

laut dan pesawat udara berbendera Indonesia di luar negeri.

Selanjutnya daerah Kepolisian Republik Indonesia mempunyai

penanggung jawabnya sendiri-sendiri hal ini didalam Pasal 7 Peraturan

Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Daerah Hukum Kepolisian

Negara Republik Indonesia yang berbunyi:

Page 86: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

75

Pasal 7: “penanggung jawab darah hukum kepolisian adalah:

a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia;

b. Kepala Kepolisian Daerah untuk wilayah Provinsi;

c. Kepala Kepolisian Resort untuk wilayah Kabupaten/Kota;

d. Kepala Kepolisian Sektor untuk wilayah Kecamatan.

Kepala Kepolisian Daerah yang selanjutnya disebut Kapolda adalah

pimpinan Polri di daerah Provinsi dan bertanggung jawab kepada Kapolri,

sesuai dengan ketentuan Pasal 7 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 23

Tahun 2007 Tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia.

dalam hal mengenai pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah telah diatur

dalam Pasal 11 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang berbunyi: “Ketentuan

mengenai pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan selain yang

dimaksud dalam Ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri, yang

berhak langsung mengangkat Kapolda menurut Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 ialah Kapolri sendiri, sebagai Kepala Kepolisian Negara

Kesatuan Republik Indonesia ia berwenang dalah pengangkatan Kepala

Kepolisian ditingkat Provinsi.

Kapolda adalah jabatan eselon IIA setinggi-tingginya eselon IB

sesuai dengan isi Pasal 54 Ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2017

Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik

Indonesia, kemudian didalam hal pengangkatan Kapolda sesuai dengan

Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2017 diatur dalam Pasal 57 Ayat (1) yang

berbunyi: “Pengangkatan dan Pemberhentian pejabat pada jabatan

Kepangkatan Perwira Tinggi (PATI) bintang dua keatas atau yang termasuk

dalam lingkup jabatan eselon IA dan IB ditetapkan oleh Kapolri setelah

dikonsultasikan dengan Presiden”.

Kapolri dalam pengangkatan Kapolda sesuai dengan Pasal 57 Ayat

(1) Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2017 harus berkonsultasi terlebih

Page 87: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

76

dahulu kepada Presiden. Presiden sebagai kepala pemerintahan mempunyai

wewenang dalam menentukan siapa calon yang dapat diangkat untuk

menjadi Kepala Kepolisian Daerah, hal ini mejadi intervensi dari pemerintah

pusat dalam hal bidang keamanan dan juga ketertiban masyarat. Dalam hal

keamanan dan juga ketertiban serta pertahanan negara, semua diserahkan

kepada pemerintah pusat untuk menentukan atau mengeluarkan kebijakan,

tidak adanya unsur campur tangan daerah dalam menentukan kebijakan

pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah, itu semua diserahkan kepada

Pemerintah Pusat yang mempunyai wewenang menurut peraturan perundang

undangan yang berlaku.

Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 30 Ayat (4) Undang –undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa: “Kepolisian Negara

Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan

ketertiban masyrakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani

masyarakat, serta menegakkan hukum”, fungsi kepolisian sebagai alat negara

tercantum didalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut: “Kepolisian

Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam

m[emelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,

serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

B. Inkonstitusional Pengangkatan Kapolda Di Aceh Dalam Otonomi Khusus

Negara kesatuan Republik Indonesia yang terbagi atas daerah-

daerah provinsi mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan

daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang terdapat

didalam Pasal 18B Ayat (1), ketentuan ini mendukung keberadaan berbagai

satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau istimewa, contoh dari satuan

Page 88: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

77

pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa adalah Daerah

Istimewa (D.I.) Yogyakarta, Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta,

Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Kemudian didalam pasal 18B Ayat (2) dijelaskan bahwa: “Negara mengakui

dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur

dalam undang-undang.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam terbitan resminya

mengenai Panduan dalam memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa ada 7 prinsip yang menjadi

paradigma dan arah politik yang mendasari Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal

18B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu:

1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan Pasal 18

Ayat (2)

2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya Pasal 18 Ayat (5);

3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah Pasal 18A Ayat (1);

4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak- hak tradisionalnya Pasal 18 B Ayat (2);

5. Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat

khusus dan istimewa Pasal 18B Ayat (1);

6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu Pemilihan

Umum Pasal 18 Ayat (3);

7. Prinsip hubungan pusat dan daerah dilaksanakan secara selaras dan adil

Pasal 18A Ayat (2).

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan

amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 maka

Page 89: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

78

kebijakan politik hukum yang ditempuh oleh pemerintahan terhadap

pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

pelayanan, pmberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya

saing daerah, dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi, pemerataan,

keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam system Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945, Ketetapan MPR dan Undang-Undang, sistem pemerintahan

kita telah memberikan keleluasan yang sangat luas kepada daerah untuk

menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah

menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta

masyarakat dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai

aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah.

Menurut M Busrizalti7 dalam bukunya, Kewenangan daerah mencakup

kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam

bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan

fiscal, agama serta kewenagan bidang lain mencakup kebijakan tentang

perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro,

dana perimbangan keuangan, sistim administrasi dan lembaga perekonomian

negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayaguaan

sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan

standarnisasi nasional.

Provinsi Aceh adalah salah satu provinsi yang ada didalam Negara

Kesatuan Republik Indonesi, perjalanan sejarah pembentukan Provinsi Aceh

7 M. Busrizalti, Hukum Pemda Otonomi Daerah dan Implikasinya, (Yogyakarta: Total Media,

2013), h. 122-123.

Page 90: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

79

sangatlah panjang. Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang

mempunyai status “Otonomi Khusus” pada tahun 2001 melalui Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam. Nanggroe Aceh Darussalam merupakan

kawasan yang paling bergejolak dengan potensi kepada disintegritas dari

Republik Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, Aceh menghendaki menjadi

kawasan dengan perlakuan khusus, kehendak ini diperjuangkan dengan

sejumlah alasan penting, dari semua alasan yang berkembang alasan yang

paling kuat adalah alasan kesejarahan.

Disatu sisi pemberian otonomi khusus pada Provinsi Aceh

memberikan sebuah dampak yang positif bagi pemerintah Indonesia, namun

pemberian otonomi khusus pada aceh juga memberikan kewenangan daerah

yang sangat luas pada Aceh dalam menjalankan fungi pemerintahan daerah,

hal ini terlihat dari Pasal 205 Undang-Undang nomor 11 Tahun 2006 Tentang

Pemerintahan Aceh, sebagai berikut: “ Pengangkatan Kepala Kepolisian

Aceh dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan

Persetujuan Gubernur” ini menjadi sebuah polemik didalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia, hal ini berkaitan mengenai pengangkatan Kepala

Kepolisian Daerah yang harus mendapatkan persetujuan Gubernur dalam

pengangkatannya.

Pasal 18 Ayat (5) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 mengamanatkan pemerintah daerah dapat menjalankan otonomi seluas-

luasnya, kecuali urusan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan

Pemerintah Pusat. Kewenanagan yang didapat Aceh dalah hal pengangkatan

Kapolda sudah melanggar dari prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

hal ini karena Aceh sudah mencampuri kewenagan dari pemerintah Pusat

dalah hal keamanan.

Jika dilihat dari yang dikemukakan M. Busrizalti bahwa

kewenangan pemerintahan pusat terletak kepada politik luar negeri,

Page 91: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

80

pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, dalam hal

pengangkatan Kapolda atas persetujuan Gubernur telah melebihi kewenangan

dari pemerintah daerah, dalam teori stufenbow theory, atau teori hierarki

perundang-undangan maka penggangkatan Kapolda ini sudah melanggar

norma dasar , yaitu Undang-Undang Dasar, karena didalam Undang-Undang

Dasar pemerintah daerah dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya namun

terdapat batasan mana yang menjadi kewenanagan urusan pemerintah pusat

dan juga yang mana menjadi kewenangan pemerintah daerah, penjabaran

lebih lanjut mengenai pembatasan mengenai urusan yang menjadi

kewenangan dari pemerintah pusat terdapat didalam Pasal 10 Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah daerah, urusan yang

menjadi kewenangan dari pemerintah pusat.

Dari hal ini perlunya pengaturan pembatasan mengenai kewenagan

pemberian otonomi kepada daerah. Kemudian dalam Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia dinyatakan

bahwa pengangkatan Kapolda berada di bawah kekuasaan Kapolri, sesuai

dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (8) “Ketentuan mengenai pengangkatan dan

pemberhentian dalam jabatan selain yang dimaksud dalam ayat (1) diatur

lebih lanjut dengan keputusan Kapolri”.

Kemudian didalam hal pengangkatan Kapolda sesuai dengan

Peraturan Pasal 57 Ayat (1) Presiden Nomor 5 Tahun 2017 yang berbunyi:

“Pengangkatan dan Pemberhentian pejabat pada jabatan Kepangkatan

Perwira Tinggi (PATI) bintang dua keatas atau yang termasuk dalam lingkup

jabatan eselon IA dan IB ditetapkan oleh Kapolri setelah dikonsultasikan

dengan Presiden”.

Kapolri dalam pengangkatan Kapolda sesuai dengan Pasal 57 Ayat

(1) Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2017 harus berkonsultasi terlebih

dahulu kepada Presiden, Presiden sebagai kepala pemerintahan mempunyai

wewenang dalam menentukan siapa calon yang dapat diangkat untuk menjadi

Page 92: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

81

Kepala Kepolisian Daerah, hal ini mejadi intervensi dari pemerintah pusat

dalam hal bidang keamanan dan juga ketertiban masyarat. Dalam hal

keamanan dan juga ketertiban serta pertahanan negara, semua diserahkan

kepada pemerintah pusat untuk menentukan atau mengeluarkan kebijakan,

tidak adanya unsur campur tangan otonomi daerah dalam menentukan

kebijakan pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah, itu semua diserahkan

kepada Pemerintah Pusat yang mempunyai wewenang menurut peraturan

perundang undangan yang berlaku.

Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 30 Ayat (4) Undang –undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa: “Kepolisian Negara

Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan

ketertiban masyrakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani

masyarakat, serta menegakkan hukum”, fungsi kepolisian sebagai alat negara

tercantum didalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut: “Kepolisian

Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam

memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta

memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat

dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Selain bertentangan denagan peraturan perundang-undangan diatas

Pasal 205 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan

Aceh juga terdapat kontradiksi pengaturan didalam undang-undang ini karena

pada Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) diatur mengenai kewenangan dari

pemerintah Aceh, sebagai berikut, Pasal 1” Pemerintahan Aceh dan

kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan

dalam semua sektor kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

Pemerintah”. Pasal 2” Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar

Page 93: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

82

negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan

urusan tertentu dalam bidang agama”.

Otonomi daerah yang mempunyai kewenangan yang sangat luas dan

harus dibatasi, agar tidak menimbulkan kekuasaan yang sangat luas yang

dapat merugikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal yang dapat

ditimbulkan dengan adanya persetujuan Gubernur atas diangkatnya seorang

Kapolda ialah dikhawatirkan akan adanya hubungan balas jasa yang

dilakukan kepada Gubernur yang akan mencalonkan diri kembali dalam

pemilihan kepala daerah yang selanjutnya disebut gubernur petahana atau

gubernur incumbent, dikarenakan dalam proses pemilihan atau pengangkatan

Kapolda daerah terkait diharuskan mendapatkan persetujuan dari Gubernur

yang sedang menjabat, dan juga dikhawatirkan dalam penindakan atau dalam

proses pelaksanaan penegakan hukum di daerah tersebut akan terganggu

dikarenakan dari proses pengangkatan Kapolda yang mengharuskan adanya

persetujuan Gubernur.

Hal tersebut dapat terjadi karena Gubernur mempunyai jasa dalam

pengangkatan Kapolda terpilih, hal inilah yang sangat dikhawatirkan timbul

jika pengangkatan kapolda harus dengan persetujuan Gubernur, sehingga

harus dibuatlah suatu aturan yang mengatur mengenai pembatasan dari

kewenangan yang dimiliki oleh otonomi khusus.

Teori hierarki peraturan perundang-undangan yang dikembangkan

oleh Hans Kelsen, meengatur mengenai peraturan yang ada dibawah haruslah

mengikuti aturan yang ada diatasnya, pada Pasal 205 dikatakan bahwa dalah

pengangkatan Kapolda haruslah dengan persetujuan Gubernur, namun bidang

keamanan bukanlah urusan yang menjadi kewenangan dari pemerintah

daerah, tapi urusan yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat

dikatakan bahwa Pasal 205 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 telah

bertentangan dengan Pasal 18 Undang-undang Tahun 1945, yang menyatakan

bahwa daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya namun dibatasi oleh

Page 94: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

83

urusan pemerintah yang diatur oleh perundang-undangan, walaupun negara

Indonesia mengakui dan menghormati daerah yang bersifat khusus dan

istimewa terdapat batasan atas otonomi yang telah diberikan, dalah hal

melaksanakan otonomi harus mengikuti norma/peraturan yang berlaku.

Pembatasan mengenai urusan yang menjadi wewenang pemerintah

pusat dan daerah haruslah dipertegas, memang jika tidak bisa dibuat aturan

yang mengatur menegenai pembataan maka pasal tersebut harus direvisi oleh

DPR sebagai lembaga yang berwenang, seperti yang dikatakan oleh Bagir

manan8 bahwa “Tidak ada otonomi tanpa pengawasan dan otonomi bukanlah

kemerdekaan” bahwa batas otonomi adalah Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Dengan kata lain, pengawasan merupakan “symbol negara

kesatuan terhadap daerah otonomi”.

8 Bagir Manan, Hukum Tata Negara Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945, Jurnal

Ilmu Hukum volume 2 Nomor 3 Tahun 2015, h. 638

Page 95: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

84

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah pembahasan dari bab-bab sebelumnya, maka dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) ialah wewenang

daripada Presiden atau Pemerintah Pusat selaku kepala negara dan

kepala pemerintahan, hal ini dikarenakan konsep kepolisian

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945

merupakan alat negara dengan tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi)

menjaga keamanan negara yang dalam hal ini merupakan domain

daripada Presiden selaku kepala Pemerintahan dengan mengacu

kepada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, bahwa Presiden ialah pemegang

kekuasaan pemerintahan. Oleh karenanya sesuai dengan tafsiran

sistematis terhadap UUD 1945 demikian, maka pengangkatan kepala

kepolisian daerah, harus benar-benar menjadi wewenang Presiden

selaku pemerintah pusat dalam melaksanakan fungsi pemerintahan.

2. Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Pasal 18B Ayat (1)

Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengakui

dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat

khusus atau bersifat istimewa selama sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip-prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia,

terdapat hal yang menjadi urusan dari pemerintah yang menjadi batas

dari berlakunya ontonomi seluas-luasnya.

B. Rekomendasi

Setelah menganalisis mengenai pengangkatan Kapolda dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta problematika pengangkatan

Kapolda dlam otonomi khusus di dalam Negara Kesatuan, maka peneliti

menyarankan beberapa rekomendasi yang ingin disampaikan, yaitu:

Page 96: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

85

1. Peneliti berharap kepada DPR sebagai lembaga Legislatif untuk

merevisi aturan tersebut dan mengembalikan kewenangan

pengangkatan Kapolda kepada Kepala Kepolisian Republik

Indonesia sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam Kepolisian.

2. Peneliti berharap konsep desentralisasi ditunjukkan untuk

meningkatkan pelayanan. Pelayanan bidang pemerintahan,

kemasyarakatan dan pembangunan adalah suatu hal yang bersifat

esensial guna mendorong dan menunjang dinamika interaksi

kehidupan masyarakat baik sarana untuk memeperoleh hak-haknya,

maupun sebagai sarana kewajiban masyarakat sebagai warga negara

yang baik. Kemudian peningkatan daya saing daerah, ini dilakukan

guna tercapainya keunggulan lokal dan disamping itu daya saing

nasional juga akan menunjang sistim ekonomi nasional yang

bertumpu pada strategi kebijakan perekonomian rakyat.

3. Peneliti berharap ada batasan-batasan khusus terhadap pelaksanaan

otonomi khusus agar tidak bertentangan dengan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Page 97: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

86

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku.

Agussalim Andi , Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum,(Bogor:

Ghalia Indonesia, 2007)

Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Terhadap

UnsurUnsurnya,( Jakarta: UI Press, 1995)

Asshiddiqie Jimly, Konstitusi dan Konstitualisme (Jakarta, Konstitusi Press,

2006)

Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun

Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2004).

Atmosudirjo Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia

Anwar Yesril, Sistem Peradilan Pidana, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009)

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Pt Citra

Aditya Bakti, 2004.

Bouger, masalah-masalah demokrasi,( Jakarta: yayasan pembangunan, 1952)

C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, cetakan kedua, (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1985)

Budiarjo Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

2005.

Page 98: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

87

Busrizalti. M, Hukum Pemda Otonomi Daerah dan Implikasinya, Total Media,

Yogyakarta, 2013.

Djumala Darmansyah. Soft Power Untuk Aceh Resolusi Konflik dan Politik

Desentralisasi (Penerbit Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2013)

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal aripin, Metode Penelitian Hukum

(Ciputat: Lembaga Penelitian, 2010).

Echols John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta:

Gramedia, 2000)

Huda Ni’matul, Berkayuh Diantara Bentuk Negara Kesatuan Dan Federal,

Jurnal Konstitusi PSHK UII, Vol.1.No.01,

Hetifa Sj Sumarto, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, (Bandung:

Yayasan Obor Indonesia, 2003).

Koesomahatmadja R.D.H, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah

diIndonesia, (PenerbitBina Cipta,Bandung,1979)

Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet

ke-5 (Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara, FH UI,1983)

MD Moh Mahfud, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia,

(Yogyakarta, UII Press, 1993)

Marzuki Peter Muhammad, Penelitian Hukum, Ed. Revisi, Jakarta: Kencana

Page 99: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

88

Prenadamedia, 2005.

Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Pustaka

Mandiri, Jakarta, 2010.

Purwanto, Wawan H. Papua Meradang Siapa Bermain (Penerbit CMB Pers:

Jakarta, 2013)

Perbiddya Solosa, Jacobus. Otonomi Khusus Papua Mengangkat Martabat

Rakyat Papua di dalam NKRI (Penerbit Pustaka Sinar Harapan: Jakarta,

2006)

Sukriono Didik , Hukum Konstitusi dan Konsep Otonomi, Kajian Politik Hukum

tentang Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi,

Setara Press, Malang, 2013

Sunarno Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Sinar Grafika,

Jakarta, 2012)

Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan

Suharyo, “Otonomi Khusus Di Aceh dan Papua Di Tengah Fenomena Korupsi,

Suatu Strategi Penindakan Hukum”, Jurnal Penelitian Hukum DE JURE

Vol. 18 No. 3, 2018

Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2000)

Page 100: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

89

Taufiqurrahman, dkk, Bahan Ajar Hukum Tata Negara,( Universitas Bengkulu,

2006)

Widjaja Haw, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, Raja Grafindo Persada

Jakarta, 2008.

W. Sunindhia Y, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah, Rineka

Cipta, Jakarta, 1987.

B. Jurnal

Nadir Sakinah.(2013) Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa Jurnal

Politik Profetik Universitas Hasanuddin Makassar, Volume 1 Nomor1

Tahun 2013

Pratama Andhika Yudha. (2015) Pelaksanaan Desentralisasi Asimetris

Dalam Tata Kelola Pemerintahan Daerah Di Era Demokrasi Jurnal

Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Univesitas Gadjah Mada,

Volume 28 Nomor 1 Tahun 2015

Safitri Sani,(2016) Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah Di Indonesia

Jurnal Criksetra Universitas Sriwijaya, Volume 5, Nomor 9,

Februari 2016

C. Undang-Undang

Lihat Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar UUD 1945 :

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah

Provinsi dan daerah Provinsi dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-

tiap Provinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai Pemerintahan

Daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Page 101: INKONSTITUSIONAL PENGANGKATAN KAPOLDA DI ACEH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48166... · 2019-11-07 · 3. Abdul Qodir, SH. M. H. um. pembimbing. skripsi

90

D. Website

https://kbbi.web.id/daerah. : “Bagian permukaan bumi dalam

kaitannya dengan keadaan alam dan sebagainya yang khusus”

https://kbbi.web.id/khusus : “sifat khusus; keistimewaan, sesuatu yang

mempunyai ciri tersendiri.