industri sefalosporin

35
ABSTRAK Antibiotik β-laktam merupakan salah satu antibiotik yang cukup penting dengan pemakaian yang cukup luas. Berbagai senyawa β-laktam telah berhasil disintesis untuk mendapatkan antibiotik dengan fungsi yang spesifik. Sefalosporin merupakan salah satu kelas antibiotik β-laktam dengan konsumsi yang tinggi setelah penisilin yang juga antibiotik β-laktam. Sefacetril, sefalexin, dan sefatrizin merupakan sedikit dari berbagai macam antibiotik yang termasuk ke dalam kelas sefalosporin. Industri sefalosporin merupakan industri bioproses karena melibatkan mikroorganisme yaitu Acremonium chrysogenum dalam sintesisnya. Sefalosporin dihasilkan sebagai produk metabolit sekunder, yaitu biomolekul yang dihasilkan suatu mikroorganisme karena pengaruh lingkungannya. Sintesis berbagai jenis sefalosporin komersial umumnya menggunakan 7-ACA sebagai bahan mentah atau intermediat. 7-ACA diperoleh dari hasil konversi sefalosporin C yang dihasilkan selama fermentasi dengan fungi A. chrysogenum. Kelebihan sefalosporin dibandingkan dengan penisilin adalah kemampuannya dalam melawan bakteri gram negatif yang resisten terhadap penisilin. Artinya, sefalosporin tidak akan terurai oleh enzim β-laktamase yang dihasilkan bakteri resisten tersebut. Oleh karena itu, industri produksi sefalosporin cukup penting sebagai sumber antibiotik yang banyak dikonsumsi. Kata kunci: sefalosporin, Acremonium chrysogenum, 7-ACA, sefalosporin C

Upload: antony-weng

Post on 14-Jun-2015

7.355 views

Category:

Education


1 download

DESCRIPTION

Bioprocess industry of cephalosporin, an antibiotic.

TRANSCRIPT

Page 1: Industri sefalosporin

ABSTRAK

Antibiotik β-laktam merupakan salah satu antibiotik yang cukup penting

dengan pemakaian yang cukup luas. Berbagai senyawa β-laktam telah berhasil

disintesis untuk mendapatkan antibiotik dengan fungsi yang spesifik. Sefalosporin

merupakan salah satu kelas antibiotik β-laktam dengan konsumsi yang tinggi setelah

penisilin yang juga antibiotik β-laktam. Sefacetril, sefalexin, dan sefatrizin merupakan

sedikit dari berbagai macam antibiotik yang termasuk ke dalam kelas sefalosporin.

Industri sefalosporin merupakan industri bioproses karena melibatkan mikroorganisme

yaitu Acremonium chrysogenum dalam sintesisnya. Sefalosporin dihasilkan sebagai

produk metabolit sekunder, yaitu biomolekul yang dihasilkan suatu mikroorganisme

karena pengaruh lingkungannya. Sintesis berbagai jenis sefalosporin komersial

umumnya menggunakan 7-ACA sebagai bahan mentah atau intermediat. 7-ACA

diperoleh dari hasil konversi sefalosporin C yang dihasilkan selama fermentasi dengan

fungi A. chrysogenum. Kelebihan sefalosporin dibandingkan dengan penisilin adalah

kemampuannya dalam melawan bakteri gram negatif yang resisten terhadap penisilin.

Artinya, sefalosporin tidak akan terurai oleh enzim β-laktamase yang dihasilkan bakteri

resisten tersebut. Oleh karena itu, industri produksi sefalosporin cukup penting sebagai

sumber antibiotik yang banyak dikonsumsi.

Kata kunci: sefalosporin, Acremonium chrysogenum, 7-ACA, sefalosporin C

Page 2: Industri sefalosporin

BAB 1

PENDAHULUAN

Sefalosporin merupakan salah satu antibiotik yang memiliki cincin β-laktam

dalam strukturnya sehingga tergolong antibiotik β-laktam bersama-sama dengan

penisilin, monobaktam, dan karbapenem. Sefalosporin tergabung dalam cephem,

subgrup antibiotik β-laktam bersama dengan sefasimin. Seperti halnya semua

senyawa metabolit sekunder, antibiotik sefalosporin dihasilkan dalam industri

bioproses yang melibatkan mikroorganisme.

Sefalosporin C merupakan contoh sefalosporin yang paling awal ditemukan.

Fungsinya sebagai antibiotik yang cukup potensial menjadikannya produk antibiotik

yang banyak dihasilkan setelah penisilin. Dengan mengubah-ubah gugus sampingnya,

diperoleh berbagai senyawa turunan sefalosporin atau disebut sefalosporin

semisintetik dengan sifat-sifat yang berbeda.

1. Sejarah Perkembangan Sefalosporin

Penemuan antibiotik β-laktam merupakan terobosan yang luar biasa

dalam pembuatan obat. Penisilin yang ditemukan oleh Alexander Fleming pada

tahun 1928 terbukti efektif dalam melawan bakteri gram positif. Berbagai penelitian

lebih lanjut terhadap penisilin menjadi populer pada masa itu. Meksipun demikian,

penisilin umumnya memiliki keterbatasan dalam melawan bakteri gram negatif. Dan

seiring dengan penggunaannya, beberapa bakteri gram positif menjadi resistan

terhadap penisilin dengan menghasilkan enzim penisilinase yang menghidrolisis

cincin β-laktam pada penisilin.

Pada tahun 1945, Giuseppe Brotzu,

seorang profesor Hygiene dari University of

Cagliari, Italia, berhasil mengisolasi strain

Cephalosporium acremonium, sejenis mold, dari

air laut dekat saluran pembuangan limbah di

Cagliari, Sardinia. Percobaan yang dilakukannya

membuktikan bahwa fungi ini menghasilkan

senyawa yang efektif dalam melawan Salmonella

tylhi (sejenis bakteri gram negatif). Pada tahun

1948, Brotzu mempublikasikan penemuannya,

akan tetapi kurang menarik perhatian. Atas usul

1

Page 3: Industri sefalosporin

British Medical Research Council, Brotzu kemudian mengirimkan kultur C.

acremonium, yang kemudian diklasifikasi ulang sebagai Acremonium chrysogenium

pada tahun 1971 oleh Gams, kepada Howard Florey di Oxford.

Guy Newton dan Edward Abraham di Sir William Dunn School of

Pathology, University of Oxford pada tahun 1951 berhasil menemukan senyawa

antibiotik yang dihasilkan oleh kultur Acremonium yang kemudian diberi nama

sefalosporin C. Pada tahun 1955, antibiotik sefalosporin C menunjukkan spektrum

aktivitasnya yang lebar, termasuk banyak strain Staphylococcus aureus yang

sensitif dan resistan terhadap penisilin.

Riset dan pengembangan industri produksi sefalosporin semakin marak

mengingat potensi yang besar dari sefalosporin. Proses produksi yang pertama

melibatkan Glaxo, dari Inggris, dan Ely Lilly, dari Amerika Serikat, sebagai yang

pertama bernegosiasi dengan NRDC (National Research Development

Corporation).

Pada tahun 1985, gen biosintetik β-laktam pertama, pcbC (encoding

cyclase) berhasil dikloning dari A. chrysogenum. Perkembangan ini cukup berarti

bagi industri sefalosporin mengingat pembuatan enzim yang diperlukan bagi industri

ini menjadi lebih mudah.

2. Struktur Kimia dan Sifat-sifat Sefalosporin

Senyawa sefalosporin memiliki gugus inti 7-aminocephalosporanic acid

(7-ACA), yang mengandung gugus β-laktam (sebuah cincin dengan 2 atom C, 1

gugus karbonil, dan 1 atom N) dan cincin dihidrothiazin. Secara keseluruhan nama

ilmiah sefalosporin adalah asam 3-asetoksimetil-7-asilamino-3-cephem-4-

karboksilat.

Berbagai senyawa lainnya dapat diperoleh dengan mengganti R1 dan R2

pada struktur gugus inti sefalosporin tersebut, sehingga dapat menghasilkan sifat-

2

Struktur gugus inti sefalosporin

Page 4: Industri sefalosporin

sifat senyawa yang berbeda-beda. Beberapa contoh senyawa turunan sefalosporin

yaitu

No. Senyawa turunan R1 R2

1. Cefacetril CH3COOCH2- -CH2-CN

2. Cefalexin CH3-

3. Cefatrizin

Berikut beberapa struktur yang berkaitan dengan sefalosporin yang

terjadi secara alami, bukan hasil sintesis.

Sifat-sifat senyawa turunan sefalosporin tergantung gugus yang terikat

pada gugus inti. Gugus R1 akan mempengaruhi sifat farmakologinya (proses yang

dilalui obat dalam tubuh), sedangkan gugus R2 mempengaruhi karakteristik

antibakterialnya.

Secara umum, sefalosporin dikelompokkan dalam 5 generasi,

berdasarkan sifat antibakterial, spektrum antibiotik, stabilitas terhadap laktamase,

dan aktivitas intrinsik.

1. Generasi 1, bersifat lebih efektif dalam menghadapi infeksi staphylococcal dan

streptococcal (bakteri gram positif), stabil terhadap asam, sedikit aktif dalam

melawan bakteri gram negatif. Beberapa obat yang tergolong dalam

sefalosporin generasi pertama yaitu cefadroxil, cefazolin, cephalexin,

cephaloridine, cephalothin, cephapirin, dan cephradine.

3

Page 5: Industri sefalosporin

2. Generasi 2, memiliki spektrum bakteri gram negatif yang lebih luas, akan tetapi

lebih lemah dalam melawan bakteri gram positif dibanding generasi pertama.

Kelompok ini juga lebih resistan terhadap β-laktamase. Sefalosporin yang

termasuk generasi kedua adalah cefaclor, cefoxitin, cefprozil, dan cefuroxime.

3. Generasi 3, memiliki aktivitas terhadap bakteri gram negatif yang jauh lebih

besar, yang disertai dengan berkurangnya aktivitas terhadap bakteri gram

negatif. Kelompok ini meliputi cefdinir, cefixime, cefotamine, ceftriaxone,

ceftazidime, dan cefoperazone.

4. Generasi 4, memiliki spektrum yang lebih seimbang, sehingga aktif dalam

melawan bakteri gram positif dan gram negatif. Generasi 4 sefalosporin

merupakan antibiotik yang paling potensial di antara obat-obat dalam

mengobati beberapa infeksi serius pada manusia. Cefepime, cefluprenam,

cefozopran, cefpirome, dan cefquinome merupakan obat-obat yang tergolong

dalam generasi 4 ini.

5. Generasi 5, merupakan kelompok terbaru yang diidentifikasi meliputi

ceftobiprole dan ceftaroline, meskipun pengelompokannya masih belum

diterima secara universal. Ceftaroline memiliki aktivitas yang sangat baik dalam

melawan bakteri gram positif.

Struktur kimia dari beberapa contoh sefalosporin generasi pertama dan kedua

4

Page 6: Industri sefalosporin

Struktur kimia dari beberapa contoh sefalosporin generasi ketiga dan keempat

Sifat-sifat Fisik

Kebanyakan sefalosporin berupa padatan yang berwarna putih, coklat,

atau kuning muda, yang biasanya tidak berbentuk (amorf), tetapi kadang-kadang

bisa berbentuk kristal. Sefalosporin umumnya tidak memiliki titik leleh yang tinggi.

Sifat asamnya umumnya berasal dari gugus karboksilatnya yang terikat pada cincin

dihidrothiazin. Nilai keasamannya, pKa, tergantung kondisi lingkungannya.

Salah satu sifat fisik yang mencolok dari sefalosporin adalah frekuensi

dalam spektrum inframerah. Absorpsi terjadi pada frekuensi tinggi (1770-1815 cm-1)

yang berasal dari karbonil β-laktamnya. Dibandingkan dengan frekuensi gugus

karbonil pada senyawa lain, misal karbonil ester (1720-1780 cm-1) dan amida (1504-

1695 cm-1), bisa dibilang cukup tinggi. Beberapa sifat fisik sefalosporin ditampilkan

dalam tabel di bawah ini.

5

Page 7: Industri sefalosporin

Sifat-sifat Kimia

Adanya gugus β-laktam sangat mempengaruhi sifat kimia dari

sefalosporin. Bentuk geometri cincin dengan ikatan rangkap di dalamnya,

menjadikan sefalosporin sebagai molekul yang cukup stabil karena memungkinkan

terjadinya resonansi. Pembuatan senyawa turunan sefalosporin biasanya dengan

melakukan penyerangan menggunakan nukleofil seperti alkolsida atau

hidroksilamin.

Reaktivitas sefalosporin, Nu merupakan nukleofil dan X sebagai leaving group. Dari gambar dapat diketahui bahwa terdapat 2 kemungkinan pembentukan produk dengan serangan nukleofil

3. Kegunaan Sefalosporin

Seperti halnya antibiotik β-laktam lainnya, sefalosporin dapat digunakan

dalam melawan infeksi oleh bakteri dengan mengikat dan menjadi inhibitor enzim

pembentuk dinding peptidoglikan bakteri. Dibandingkan dengan penisilin yang juga

merupakan antibiotik β-laktam, sefalosporin memiliki sifat resistan terhadap enzim

β-laktamase yang dihasilkan oleh bakteri untuk memutus ikatan pada cincin β-

laktam.

6

Page 8: Industri sefalosporin

Sefalosporin digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi oleh

bakteri, seperti infeksi saluran pernapasan (pneumonia, bronkitis, tonsillitis), infeksi

kulit, dan infeksi saluran urin. Pemberian sefalosporin kadang-kadang bersamaan

dengan antibiotik lain. Sefalosporin juga umum digunakan dalam pembedahan atau

surgery, untuk mencegah infeksi selama pembedahan.

Berbagai jenis sefalosporin yang dihasilkan juga memberikan berbagai

fungsi berbeda dari masing-masing sefalosporin. Sefalosporin generasi pertama

seperti sefalotin dan sefalexin merupakan yang paling aktif dalam melawan

staphylococci dan nonenterococcal streptococci, dan merupakan antibiotik alternatif

dari penisilin untuk pasien dengan endocarditis, osteomyelitis, septic arthritis, dan

cellulitis. Dikatakan sebagai antibiotik alternatif karena adanya pasien yang

kemungkinan alergi terhadap penisilin ataupun karena adanya infeksi campuran

oleh bakteri gram positif dan gram negatif. Meskipun obat-obat ini sudah terbukti

dapat mengatasi infeksi seperti bacteriemias, infeksi saluran kencing, dan

pneumonia, yang disebabkan bakteri gram negatif, penggunaan sefalosporin ini

sebagai agen tunggal tidak disarankan, karena aktivitas melawan bakteri gram

negatif masih lemah dan tidak dapat diprediksi. Sefalosporin generasi pertama telah

digunakan secara luas dalam pencegahan cardiovascular, orthopedic, biliary, pelvis,

dan intra-abdominal surgery. Sefazolin, yang memiliki waktu paruh lebih lama

dibanding sefalosporin generais pertama lainnya, merupakan pilihan utama untuk

pencegahan dakam pembedahan.

Sefuroxime efektif dalam melawan Haemophilus influenzae penyebab

penyakit sejenis pneumonia yang kebal terhadap ampisilin. Sefoxitin digunakan

untuk mengobati infeksi campuran aerobik-anaerobik termasuk infeksi pelvis, intra-

abdominal, dan nosocomial aspiration pneumonia. Sefonicid, karena waktu

paruhnya yang panjang juga banyak digunakan dalam berbagai jenis infeksi seperti

saluran kencinga dan jaringan kulit.

Sementara itu, sefalosporin generasi ketiga dapat digunakan untuk

melawan bakteri gram positif. Biasanya pengobatan infeksi tidak menggunakan

sefalosporin generasi ketiga, melainkan obat lainnya. Pengecualian berlaku bagi

pengobatan meningitis. Sefotaxime, seftriaxone, dan seftazidime terbukti efektif

dalam mengobati meningitis, terutama bagi anak-anak di mana Haemophilus

influenzae, Streptococcus pneumoniae, dan Neisseria meningitidis merupakan

penyebab utamanya. Seftriaxone sekarang merupakan agen pilihan untuk

mengobati berbagai infeksi yang disebabkan strain kebal penisilin.

7

Page 9: Industri sefalosporin

4. Volume Produksi Sefalosporin

Permintaan pasar terhadap antibiotik β-laktam pada tahun 2000

mencapai ~US$ 15 milyar. Dari nilai tersebut, sefalosporin menyumbang sebesar

66% atau ~US$ 9,9 milyar. Tingginya nilai sefalosporin dikarenakan juga harganya

yang lebih mahal dibanding penisilin akibat proses industrinya yang memerlukan

cost lebih tinggi.

Berikut adalah tabel yang menunjukkan rangking produksi β-laktam

yang utama di dunia dan volume produksinya.

Dari tabel tersebut dapat dipastikan bahwa sefalosporin menempati urutan kedua

sebagai antibiotik yang paling banyak dihasilkan setelah penisilin.

Negara Cina merupakan salah satu penghasil sefalosporin dan bahan

baku sefalosporin yang cukup besar di dunia. Ekspor bahan mentah sefalosporin

pada tahun 2004 mencapai 683 ton. Berikut merupakan tabel distribusi ekspor

bahan mentah sefalosporin Cina pada tahun 2004.

Product Quantity (kg) Share Amount ($) Share

7-ADCA 191,415 28.03% 10,174,163 12.05%

7-ACA 105,465 15.44% 9,029,530 10.70%

Cefazolin sodium 80,345 11.76% 10,346,110 12.25%

GCLE 60,100 8.80% 8,066,130 9.55%

Ceftriaxone powder 50,525 7.40% 4,687,912 5.55%

Ceftriaxone 42,297 6.19% 5,388,471 6.38%

Cephalexin 39,392 5.77% 1,622,703 1.92%

Cefotaxime 22,005 3.22% 2,721,675 3.22%

Other Cefazolin 18,462 2.70% 1,575,474 1.87%

Cephalosporins side chain 12,500 1.83% 267,029 0.32%

Cefradine 12,300 1.80% 733,540 0.87%

8

Page 10: Industri sefalosporin

Cefoperazone 10,296 1.51% 3,404,725 4.03%

Cefotaxime powder 8,095 1.19% 773,022 0.92%

Cefotaxime side chain 6,000 0.88% 52,650 0.06%

Cefoperazone tazobactam 4,929 0.72% 15,212,162 18.02%

Cefoperazone Sulbactam 2,516 0.37% 6,315,000 7.48%

Ceftriaxone acid 2,240 0.33% 223,308 0.26%

Cefuroxime 2,087 0.31% 770,098 0.91%

Ceftazidime 2,059 0.30% 773,642 0.92%

Cefazolin acid 1,500 0.22% 159,723 0.19%

Cefadroxil 1,100 0.16% 63,205 0.07%

7-AVCA 1,061 0.16% 658,820 0.78%

Ester of cefuroxime

sodium1,015 0.15% 361,152 0.43%

Ceftezole 900 0.13% 221,175 0.26%

Cefradine sodium 881 0.13% 74,984 0.09%

Cefradine arginine 770 0.11% 75,978 0.09%

Cefuroxime 705 0.10% 211,560 0.25%

Other cephalosporin

intermediate570 0.08% 50,740 0.06%

Ceftazidime acid 560 0.08% 159,716 0.19%

Cefaclor 326 0.05% 17,802 0.02%

Cephalosporin C 200 0.03% 7,637 0.01%

7-ANCA 179 0.03% 110,980 0.13%

Ceftiofur 140 0.02% 113,182 0.13%

Ceftriaxone side chain 50 0.01% 1,285 0.00%

Total 682,985 100.00% 84,425,283 100.00%

5. Potensi di Indonesia

Sefalosporin merupakan antibiotik dengan fungsi yang lebih luas

dibanding penisilin. Sefalosporin efektif dalam melawan bakteri gram negatif

sekaligus bakteri gram positif. Sefalosporin juga mampu melawan beberapa jenis

bakteri yang kebal terhadap penisilin. Untuk itu seharusnya persediaan sefalosporin

lebih banyak daripada penisilin.

Harga sefalosporin umumnya lebih mahal daripada penisilin karena

proses industrinya yang memakan cost lebih tinggi. Hal ini juga berlaku di

Indonesia. Produksi antibiotik dalam negeri umumnya belum mandiri mulai dari awal

9

Page 11: Industri sefalosporin

proses produksi, melainkan mengimpor bahan mentah dari luar. Dengan demikian,

sudah pasti harga sefalosporin dalam negeri lebih mahal daripada yang di luar.

Industri sefalosporin memiliki kemiripan dengan industri penisilin. Proses

industrinya memang sedikit lebih kompleks dibanding penisilin, akan tetapi dengan

bahan baku yang sama. Medium untuk fermentasi berupa karbohidrat (glukosa,

sukrosa), lipid (minyak kacang, kedelai) cukup mudah untuk diperoleh, apalagi di

Indonesi yang kaya dengan sumber hayatinya. Untuk itu seharusnya pembuatan

sefalosporin dalam negeri dapat diupayakan melihat potensinya yang cukup besar

untuk mencukupi kebutuhan antibiotik Indonesia.

10

Page 12: Industri sefalosporin

BAB II

POKOK BAHASAN

1. Mikroorganisme untuk Produksi Sefalosporin

Sefalosporin C dapat dihasilkan dari mikroorganisme Acremonium

chrysogenum sebagai produk metabolit sekunder. Mikroorganisme lain seperti

Cephalosporium polualeurum, Emerricellopsis glabra, Emericellopsis microspora,

juga dapat menghasilkan sefalosporin C, tetapi dengan jumlah yang sedikit

sehingga tidak menguntungkan bagi industri yang menggunakan mikroorganisme

tersebut. Ketika tidak ada stres nutrien dalam kultur, organisme ini tumbuh biasa

dengan miselia yang bercabang-cabang, dan hanya sedikit bahkan tidak ada

sefalosporin C yang dihasilkan. Ketika kandungan glukosa terbatas, barulah akan

dibentuk arthrospora yang menghasilkan sefalosporin C.

Taksonomi

1. Kingdom : Fungi

2. Subkingdom : Dikarya

3. Phylum : Ascomycota

4. Subphylum : Pezizomycotina

5. Class : Sordariomycetes

6. Subclass : Hypocreomycetidae

7. Order : Hypocreales

8. Family : Hypocreaceae

9. Genus : Acremonium

10. Spesies : Acremonium chrysogenum

11

Page 13: Industri sefalosporin

Pengembangan dalam memperoleh yield sefalosporin telah dicapai

dengan meningkatkan produktivitas A. chrysogenum melalui teknik mutasi dan

seleksi strain. Perkembangan signifikan pertama dicapai ketika mutan 8650 berhasil

diisolasi pada tahun 1959. Strain ini memungkinkan 100 gram sefalosporin C

didapatkan untuk determinasi struktur dan merupakan induk dari semua strain

dalam industri produksi sefalosporin C.

Mutagenesis merupakan cara tradisional dalam mengembangkan strain.

Konidia diambil dari kultur miselial untuk meningkatkan kemungkinan mengisolasi

mutan dari nukleus tunggal. Mutagen kimia, seperti N-metil-N-nitro-N-

nitrosoguanidin dan etil-metan-sulfonat, atau sinar UV digunakan untuk menginduksi

mutasi kromosom. Pertumbuhan mutan pada agen yang selektif dapat digunakan

untuk meningkatkan kemungkinan mengisolasi kloning yang sudah diimprovisasi.

Bagan Produksi Mutan untuk Pengembangan Strain A. chrysogenum yang Pertama

Cara lain untuk mengembangkan strain yaitu dengan fusi protoplast.

Fusi protoplas merupakan penggabungan karakter-karakter yang menguntungkan

dari kultur-kultur berbeda (misal, tumbuh cepat, ketahanan terhadap stres tinggi).

Miselia diberikan perlakuan dengan dithiothreitol (DTT), diikuti dengan Novozym™

234 (sejenis multienzim dari fungi Trichoderma harzianum yang tersedia di Novo

Biolabs) dan zat penstabilisasi osmotik, biasanya 0,7 M NaCl. Polietilen glikol

12

Page 14: Industri sefalosporin

kemudian digunakan untuk menginduksi fusi membran antar protoplast; fusant

(strain yang akan difusikan) diidentifikasi dengan regenerasi dalam media selektif.

Pengembangan strain juga dapat dilakukan melalui genetic engineering.

Target dari genetic engineering dalam pengembangan strain adalah enzim yang

teridentifikasi sebagai pembatas laju (rate-limitting) biosintesis maupun

prekursornya. Strain A. chrysogenum untuk industri berhasil ditransformasi dengan

rekombinan plasmid yang mengandung gen resistansi terhadap higromisin dan gen

cefEF penghasil enzim bifungsional ekspandase-hidroksilase.

2. Bahan Baku Produksi Sefalosporin

Medium untuk fermentasi harus mengandung karbon dan nitrogen

untuk pertumbuhan, tetapi juga harus merangsang diferensiasi kultur yang

diperlukan untuk produksi antibiotik. Sumber karbon harus disuplai secara terpisah

dalam bentuk karbohidrat sederhana dan kompleks, untuk kontrol pertumbuhan dan

kadar glukosa yang lebih mudah. Monosakarida, terutama glukosa, sangat

menunjang pertumbuhan kultur, tetapi menurunkan sintesis antibiotik. Gula

sederhana ini bisa ditambahkan secara batch pada medium ataupun fed dengan

laju tinggi pada awal fermentasi. Penggunaan galaktosa dan sukrosa menunjang

pertumbuhan yang lebih lambat dibanding glukosa, tetapi produktivitas spesifik yang

lebih tinggi.

Selama fermentasi berlangsung, feed gula dikurangi, dan karbon

dengan jumlah besar disuplai dalam bentuk kacang kedelai ataupun minyak kacang.

Ini untuk membatasi kadar glukosa dan mendukung pembentukan arthrospora untuk

produksi sefalosporin C. Minyak ini juga dapat bertindak sebagai surfaktan untuk

mengurangi foaming.

Sumber nitrogen dapat dibedakan atas nitrogen organik dan nitrogen

anorganik. Nitrogen organik dapat disuplai dari berbagai kombinasi hasil samping

pertanian, seperti kacang kedelai dan ampas biji kapas. Nitrogen anorganik bersifat

sebagai suplemen saja, dan bisa bersumber dari amonium sulfat, gas amonia,

maupun amonium hidroksida. Penambahan nitrogen anorganik juga berfungsi

sebagai pengatur pH. Corn steep liquor (hasil samping dari pengolahan jagung)

umumnya digunakan sebagai medium karena murah dan kaya asam amino,

vitamin, dan zat sisa lainnya.

DL-Metionin digunakan untuk merangsang pembentukan arthrospora

pada masa kekurangan glukosa, sehingga dapat dihasilkan sefalosporin C. Metionin

diketahui sebagai inhibitor kompetitif bagi enzim invertase yang digunakan untuk

metabolisme sukrosa.

13

Page 15: Industri sefalosporin

Pada umumnya, medium untuk fermentasi skala besar sefalosporin C

mengandung kacang kedelai atau kacang-kacangan lain, corn steep liquor, molase

daging, minyak lemak hewan atau metil oleat, glukosa, dan metionin. Dalam

medium sefalosporin, lipid merupakan sumber karbon dan energi yang lebih utama

dibandingkan glukosa. Sulfur untuk sefalosporin C diperoleh dari metionin dibanding

sulfat.

3. Biosintesis dalam Proses Produksi Sefalosporin

Lintasan biosintesis sefalosporin telah dikenal dengan baik. Biosintesis

sefalosporin C, dimulai dari kondensasi tiga asam amino, asam L-α-aminodipic, L-

sistein, dan L-valin, untuk membentuk tripeptida δ-(L-α-amoniadipyl)-L-sisteinil-D-

valin (LLD-ACV) dengan menggunakan enzim ACV sintetase. Tripeptida LLD-ACV

kemudian dibuat siklik untuk membentuk inti penam (penam nucleus), isopenisilin N,

dengan enzim isopenisilin N sintetase atau siklase.

Isopenisilin N kemudian diubah menjadi penisilin N dengan mengubah

gugus samping L-α-aminoadipyl menjadi D-α-aminoadipyl menggunakan enzim

isopenisilin N epimerase (IPNE). Penisilin N kemudian diubah menjadi

deasetoksisefalosporin C yang memiliki cincin dihidrothiazin dengan menggunakan

enzim deasetoksisefalosporin C sintetase. Enzim deasetilsefalosporin sintetase

kemudian mengkatalisasi reaksi hidroksilasi deasetoksisefalosporin C pada gugus

metil C-3 untuk menghasilkan deasetilsefalosporin C. Dalam A. chrysogenum, baik

ekspansi cincin maupun aktivitas hidroksilasi bertempat pada protein yang sama,

yang dikodekan oleh satu gen. Berbeda dengan fungi, S. clavuligerus dan N.

lactamdurans menghasilkan dua enzim berbeda, ekspandase dan hidroksilase,

untuk mengkatalisasi kedua reaksi, yang dihasilkan oleh dua gen terpisah.

Pada A. chrysogenum, langkah terakhir dalam biosintesis sefalosporin

C, dikatalisasi oleh enzim sefalosporin C sintetase (asetiltransferase), yang

melibatkan transfer satu gugus asetil dari koenzim asetil A ke gugus hidroksimetil

atom C-3 pada deasetilsefalosporin C.

Kebanyakan gen yang berperan dalam biosintesis sefalosporin pada A.

chrysogenum telah teridentifikasi dan dikarakterisasi secara biokimia. Kode gen

untuk enzim yang terlibat dalam biosintesis senyawa intermediat LLD-ACV dan

isopenisilin N yang umum disebut pcb (penisilin/cephalosporin biosintesis). Kode

gen untuk enzim lainnya yang terlibat dalam biosintesis sefalosporin disebut cef.

Pembentukan tripeptida oleh enzim ACV sintetase dikodekan oleh gen pcbAB.

Pembentukan siklik tripeptida dengan bantuan enzim isopenisilin N sintetase yang

dikodekan oleh gen pcbC. Gen cefD1 dan cefD2 berperan dalam membentuk

14

Page 16: Industri sefalosporin

protein untuk konversi isopenisilin N menjadi penisilin N. Sedangkan gen cefE dan

cefF masing-masing menghasilkan protein yang berperan dalam membentuk

deasetoksisefalosporin C dan deasetisefalosporin C; yang bisa juga dengan gen

cefEF. Langkah terakhir dalam biosintesis untuk menghasilkan sefalosporin C diatur

oleh gen cefG.

15

Page 17: Industri sefalosporin

Lintasan Biosintetik Sefalosporin C

Jalur biosintesis sefalosporin dan penisilin memiliki banyak kesamaan,

mulai dari kondensasi tiga asam amino, hingga terbentuknya isopenisilin N. Tahap

16

Page 18: Industri sefalosporin

yang membedakan kedua proses tersebut dimulai dari proses konversi isopenisilin

N, di mana dalam biosintesis sefalosporin C, terjadi pengubahan isopenisilin N

menjadi penisilin N, sedangkan pada biosintesis penisilin G (contohnya) tidak

mengalaminya. Tentu saja pembeda utama dari kedua proses tersebut adalah

mikroorganisme yang digunakan; Acremonium chrysogenum untuk sefalosporin dan

Penicillium chrysogenum (Penicillium sp.) untuk penisilin.

Perbedaan Jalur Biosintesis Penisilin dan Sefalosporin

Penggunaan mikroorganisme lain selain A. chrysogenum dapat

menghasilkan senyawa metabolit yang lain. Salah satu proses yang terkenal yaitu

produksi sefamisin C dengan menggunakan Streptomuces clavuligerus dan

Nocardia lactamdurans. Jalur biosintesis sefamisin C berbeda dari sefalosporin C

pada tahap sesudah terbentuk deasetilsefalosporin C. Untuk jalur biosintetik

sefamisin C masih terjadi konversi lebih dari 1 tahap, yaitu menjadi O-

17

Page 19: Industri sefalosporin

Carbamoyldeacetylcephalosporin C kemudian baru diubah dengan enzim sefamisin

hidrolase atau sefamisin metiltransferase menjadi sefamisin C.

Perbedaan Jalur Biosintesis Sefalosporin C dan Sefamisin C

4. Pengembangan Inokulum untuk Produksi Sefalosporin

Germinasi dilakukan dan inokulum dipersiapkan sebelum proses

fermentasi. Menurut Kanzaki, et al (1976), proses produksi sefalosporin C (CPC)

untuk fermenter berkapasitas 2000 volume bagian diisi dengan 500 volum bagian

medium inokulum yang terdiri dari 3% sukrosa, 1,5% ekstrak daging, 0,5% corn

steep liquor, dan 0,15% CaCo3, yang sesudah disterilisasi, diinokulasikan dengan

Cephalosporium acremonium (sekarang Acremonium chrysogenum). Fermenter

yang telah diinokulasi diinkubasikan pada 28oC selama 3 hari. Sementara tangki

stainless-steel dengan kapasitas 50000 volume bagian diisi dengan 30000 volume

bagian medium dengan 6% sukrosa, 5% glukosa, 3% minyak kacang, 3% tepung

kedelai, 1% DL-methionin dan 0,15% CaCO3. Medium disterilisasi dan didinginkan.

Medium fermentasi secara aseptik diinokulasikan dengan kultur inokulum yang

dipersiapkan di atas dan diinkubasikan pada 28oC dengan sparging dan agitation

(aerasi 30000 volume bagian tiap menit dan agitasi pada 250 rpm). Sesudah waktu

18

Page 20: Industri sefalosporin

kultivasi 190 jam, hasil fermentasi diambil dan disaring untuk menghilangkan

padatannya.

5. Proses Produksi Sefalosporin

Sefalosporin C dihasilkan secara industri dengan fermentasi

menggunakan A. chrysogenum. pH diatur antara 6 hingga 7 dalam rentang

temperatur 24 sampai 28 oC. Fermentasi dilakukan dalam tangki bioreaktor yang

diaerasi dan berpengaduk dengan kultur submerged.

Fermentasi skala produksi dilakukan secara fed-batch dengan suplai

karbon dimasukkan baik sebagai karbohidrat sederhana maupun kompleks pada

awal proses, yaitu ketika fasa pertumbuhan dalam fermentasi. Selama fermentasi

berlangsung, suplai gula dikurangi dan digantikan dengan sumber karbon dan

energi lain seperti lipid. Pengubahan energi dari lipid, contohnya minyak kacang

tergolong rendah efisiensi sehingga pertumbuhan menjadi lambat, dan miselium

vegetatif banyak yang berubah menjadi arthtospora multiselular. Tahap arthrospora

akan mengakibatkan ketersediaan oksigen yang tinggi bagi mikroorganisme dan

berakhir pada produksi sefalosporin yang cepat.

Penambahan DL-Metionin dilakukan ketika awal fasa pertumbuhan

dalam fermentasi, untuk membantu meningkatkan perubahan miselium menjadi

arthrospora. Pembentukan arthrospora juga berkorelasi dengan oksigen terlarut.

Semakin besar jumlah oksigen terlarut, maka pembentukannya semakin cepat.

Akan tetapi jumlah maksimalnya tetap terbatas karena pengaruhnya terhadap kerja

enzim tertentu.

Salah satu yang menjadi permasalahan dalam fermentasi sefalosporin

adalah ketidakstabilan molekul sefalosporin C selama proses. Ini menjadi penyebab

utama perolehan produk sefalosporin dalam siklus industri panjang yang semakin

berkurang dibanding produksi penisilin dalam siklus panjang.

Sefalosporin dapat terdegradasi menjadi senyawa X (asam 2-(D-4-

amino-4-karboksibutil)-thiazole-4-karboksilat), yang bisa berakibat pada kehilangan

hingga 40% produk sefalosporin yang dihasilkan. Pada pH lebih kecil dari 2,

sefalosporin C dapat terdegrasi menjadi sefalosporin C laktone.

19

Page 21: Industri sefalosporin

Pembentukan Senyawa X dan Sefalosporin C Laktone Akibat Perubahan pH

6. Perolehan Produk

Setelah fermentasi selesai, miselia dan komponen medium yang tidak

larut biasanya dibuang secara filtrasi atau sentrifugasi. Dalam hasil fermentasi,

selain sefalosporin C juga terdapat sejumlah kecil penisilin N,

deasetoksisefalosporin C, dan deasetilsefalosporin C. Pengambilan sefalosporin C

dapat dilakukan dengan cara ekstraksi.

Pada kondisi netral dan sedikit asam, dapat terjadi konversi sefalosporin

C menjadi senyawa X. Pada pH lebih kecil dari 2, akan terbentuk sefalosporin C

laktone. Untuk meminimalisir terjadinya degradasi ini, pengambilan sefalosporin C

harus dilakukan secepat mungkin, dan menghindari kondisi pH ekstrim dan suhu

tinggi.

Proses pemisahan produk sefalosporin C lebih kompleks dibanding

penisilin karena sifatnya yang amfoter menjadi hambatan dalam ekstraksi dengan

pelarut organik. Antibiotik ini dapat dipisahkan dengan kombinasi penukar ion dan

20

Page 22: Industri sefalosporin

presipitasi. Penggunaan resin makrosporous seperti XAD-2 dan XAD-4 akan

menghasilkan isolasi yang lebih murni dan menghilangkan pengotor lebih banyak.

Proses pemurnian dan recovery produk sefalosporin C dimulai dengan

pendinginan temperatur menjadi 3-5oC diikuti dengan penghilangan padatan miselial

secara filtrasi ataupun sentrifugasi. Hasil proses tersebut adalah sefalosporin C

dengan beberapa macam prekursor dalam jumlah kecil, seperti penisilin N, DAOC,

deasetilsefalosporin C, dan hingga senyawa X.

Ada dua strategi utama untuk memurnikan sefalosporin C. Pertama,

menggunakan karbon aktif atau resin non-ionik. Karena selektivitas yang tinggi dari

resin, sefalosporin C lebih disukai untuk teradsorpsi dibanding senyawa lainnya.

Kebanyakan penisilin N hilang pada langkah asidifikasi hingga pH 2,0. Kemudian

dilanjutkan dengan tambahan penukar anion dan kation untuk mendapatkan

sefalosporin dengan kualitas tinggi. Sejumlah besr fraksi sefalosporin C kemudian

diubah menjadi 7-ACA untuk kemudian diubah lagi menjadi sefalosporin

semisintetik atau turunan.

Strategi pemurnian kedua yaitu dengan substitusi gugus amin pada C-7

rantai samping alpha-aminoadipyl. Dua senyawa turunan hasil subtitusi, N-2,4-

diklorobenzoil sefalosporin C dan tetrabromokarboksibenzoyl sefalosporin C, dapat

dikristalkan dari larutan asam. Garam kemudian terbentuk antara turunan N-

subtitusi dan basa organik seperti disikloheksilamin atau dimetilbenzilamin,

menghasilkan garam sefalosporin yang dapat diekstraksi. Sefalosporin yang sudah

terekstrak kemudian diubah menjadi 7-ACA untuk proses lainnya.

Proses pengubahan sefalosporin C menjadi 7-ACA menggunakan enzim

efisien agar biaya dapat dikurangi. Tahap inisiasi adalah reaksi gugus alpha-

aminoadipyl dengan asam D-amino oksidase untuk menghasilkan glutaryl-7-ACA.

Reaksi ini berlangsung dengan melalui intermediat keto-7-ACA yang mengalami

dekarboksilasi oksidatif dengan kehadiran hidrogen peroksida. Glutaryl asilase

kemudian digunakan untuk menghilangkan gugus samping glutaryl untuk

menghasilkan 7-ACA.

21

Page 23: Industri sefalosporin

Struktur glutaryl-7-ACA dan glutarat

Sekitar sepertiga dari sefalosporin komersial adalah turunan dari 7-

ADCA. Karena biaya yang lebih rendah, 7-ADCA umumnya diperoleh dari penisilin

G dengan cara ekspansi cincin sebuah ester sulfoksida penisilin untuk

menghasilkan ester sefalosporin. Gugus ester kemudian dihilangkan diikuti

penghilangan gugus fenilasetil untuk menghasilkan 7-ADCA. Sementara dua pertiga

dari sefalosporin komersial merupakan turunan 7-ACA yang dihasilkan dari

sefalosporin C baik secara kimiawi maupun enzimatik.

7. Pengolahan Limbah Industri Sefalsoporin

Limbah yang dihasilkan oleh industri sefalosporin cukup berbahaya

karena mengandung bahan beracun biologis yang sulit terurai sehingga dapat

mencemari lingkungan dan makhluk hidup. Kadar substansi organik atau substansi

koloid-padat masih cukup tinggi, dan nilai pH yang bervariasi, serta mengandung

substansi biotoksik tidak terurai dan antibiotik bakteristatik.

Menurut Duan Haixia (2009), pengolahan limbah produksi sefalosporin

dapat dilakukan dengan perlakuan (treatment) biokimia secara proses yang disebut

22

Page 24: Industri sefalosporin

asidifikasi hidrolitik-Up-flow Anaerobic Sludge Bed (UASB)-Sequencing Batch

Reactor Activated Sludge Process (SBR)-Biological Activated Carbon (BAC).

Dengan menggunakan reaksi hidrolitik dan bakteri penghasil asam,

substansi organik yang undegradable dapat diubah menjadi materi biodegradable

dengan ukuran lebih kecil. Lama-kelamaan tingkat biodegradability akan meningkat

dan mengurangi muatan (charge) untuk proses-proses selanjutnya.

Reaktor UASB memiliki struktur dasar yang terdiri dari unggun lumpur

(sludge bed), layer suspensi lumpur, zona presipitasi, sistem pemisah tiga fasa dan

intake, dan butiran kecil lumpur dalam zona reaksi. Selama proses, air limbah

mengalir dari bawah reaktor dan melalui zona reaksi (sludge zone) menuju zona

separasi tiga fasa (gas, liquid, dan solid), hingga akhirnya masuk dalam zona

presipitasi. Lumpur dalam campuran akan kembali ke zona reaksi di bawah akibat

gravitasi, sambil membawa campuran biogas yang akan dikeluarkan melalui pipa-

pipa. Tidak terdapat pengaduk mekanik dalam sistem UASB, dan biasanya tidak

diperlukan filter, sehingga sistem UASB memiliki struktur yang mudah dan gampang

dipertahankan.

Metode SBR, atau dinamakan reaktor sequencing batch, merupakan

regenerasi dan modifikasi dari reaktor pengisian-dan-pengosongan. SBR digunakan

dalam treatment anaerobik proses subsekuen, untuk menjamin agar standar bahan

yang dikeluarkan telah terpenuhi. Teknologi BAC menggunakan karbon aktif yang

memiliki area permukaan spesifik yang luas dan struktur kosong yang telah

dikembangkan sebagai pembawa untuk agregasi, propagasi, dan pertumbuhan

mikroorganisme, dan pada kondisi temperatur dan nutrisi moderat, mendesak

penurunan mikrobiologikal secara simultan.

Dalam proses reaktor yang normal, pengurangan COD dari reaktor

asidifikasi hidrolitik dan UASB berkisar 36%-55% dan 80%-90%. Kadar lumpur

reaktor SBR adalah 0,40 kg COD/(kgMLSS-d), dan pengurangan COD 80%-85%.

BAC yang telah dikembangkan dapat menghilangkan COD dan kroma dari air

limbah secara aerobic treatment.

23

Page 25: Industri sefalosporin

Diagram proses untuk pengolahan limbah industri sefalosporin (Duan Haixia, 2009)

Kurva perubahan COD dalam proses asidifikasi hidrolitik

24

Page 26: Industri sefalosporin

Kurva perubahan COD dalam proses SBR

Kurva perubahan COD dalam proses SBR

25

Page 27: Industri sefalosporin

Removal COD dan Chrome dari kolom BAC

26

Page 28: Industri sefalosporin

DAFTAR PUSTAKA

Andes, D. and Craig, W.A. (2006). Pharmacodynamics of a New Cephalosporin, PPI-0903 (TAK-559), Active Against Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus in Murine Thigh and Lung Infection Models: Identification of an In Vivo Pharmacokinetic-Pharmacodynamic Target. Antimicrobial Agents and Chemotherapy. Vol 40 No: 4, April 2006, 1376-1383.

Demain, A.L., et al (1962). Effect of Methionine, Norleucine, and Lysine Derivatives on Cephalosporin C Formation in Chemically Defined Media. 27 Agustus 1962, 339-344.

Duan, Haixia (2009). Study on the Treatment Process of Wastewater from Cephalosporin Production. Journal of Sustainable Development. Vol 2 No: 2, Juli 2009. 133-136

Elander, R.P. (2003). Industrial Production of Β-lactam Antobiotics. Journal of Application Microbiology Biotechnology, 61, 3 April 2003, 385-392.

Flickinger, M.C. and Stephen W. Drew (1999). Encyclopedia of Bioprocess Technology: Fermentation, Biocatalysis, and Bioseparation. John Wiley & Sons, Inc. New York, United States of America, 560-569.

Hewinson, R. Glyn, et al (1986). The Permeability Parameter of the Outer Membrane of Pseudomonas aeruginosa Varies with the Concentration of a Test Substrate, Cephalosporin C. Journal of General Microbiology. 132, 19 Juli 1985, 27-33.

Kanzaki, et al (1976). Production of Cephalosporin C. US Patent. 6 April 1976.

Kim, Youngsoo and Hol, Wim G.J. (2001). Structure of Cephalosporin Acylase in Complex with Glutaryl-7-aminocephalosporanic acid and Glutarate: Insight into the Basis of Its Substrate Specificity. Chemistry & Biology. Vol 8 No: 12, November 2001, 1253-1264.

Muniz, Carolina Campos, et al (2007). Penicllin and Cephalosporin Production: A Historical Perspective. Journal of Microbiology. Vol 49 No: 3-4, December 2007, 88-98.

Nigam, Vinod Kumar, et al (2007). Influence of Medium Constituents on the Biosynthesis of Cephalosporin-C. Journal of Biotechnology. Vol 10 No: 2, 15 Aptil 2007.

Othmer, Kirk. Encyclopedia of Chemical Technology. John Wiley & Sons, Inc. United States of America. 1-40

Pichichero, Michael E. (2006). Cephalosporins Can Be Prescribed Safely For Penicllin-Allergic Patients. Applied Evidence.Vol 55 No: 2, 23 Januari 2006, 106-112.

27

Page 29: Industri sefalosporin

Saravanne, R. and Lavanya, M . (2006). Anaerobic Stabilization and Recalcitrant Antibiotic Transformation Under Acclimed Inoculum-Substrate Matrix. Water Environment. 1739-1746.

Srivastava, Pradeep, et al (2006). Process Strategies for Cephalosporin C Fermentation. Journal of Scientific & Industrial Research. Vol 65, July 2006, 599-602.

28