induksi variasi somaklonal dan seleksi in vitro menggunakan … · ii pernyataan mengenai disertasi...
TRANSCRIPT
INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO MENGGUNAKAN PEG UNTUK IDENTIFIKASI VARIAN KACANG TANAH
YANG TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN
ENNI SUWARSI RAHAYU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2007
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul
”INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO MENGGUNAKAN
PEG UNTUK IDENTIFIKASI VARIAN KACANG TANAH YANG TOLERAN
CEKAMAN KEKERINGAN” adalah hasil penelitian saya yang merupakan bagian
dari serangkaian penelitian HIBAH TIM PASCASARJANA angkatan I, tahun ke-
1, 2 dan 3 (2003-2005) yang berjudul ”Rekayasa Genetika dan Seleksi in vitro
untuk Mendapatkan Plasma Nutfah Kacang Tanah dengan Novel Characters –
Toleran terhadap Stres Kekeringan dan Resisten Penyakit Busuk Batang
Sclerotium” yang diketuai oleh Prof.Dr.Ir. Sudarsono, M.Sc. dan didanai oleh
Departemen Pendidikan Nasional. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk
memperoleh gelar dalam program sejenis di perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2007
Enni Suwarsi Rahayu
NRM A.361020041
iii
ABSTRACT
ENNI SUWARSI RAHAYU. Induction of Somaclonal Variation and In Vitro Selection Using PEG for Identification of Drought Tolerant Peanut Variants. Under direction of SUDARSONO, HAJRIAL ASWIDINNOOR, SATRIYAS ILYAS and EDI GUHARDJA.
Drought stress tolerance of peanut cultivar having certain mechanism without decreasing the yield needed to be developed. Somaclonal variation has been successfully used to obtain variant lines with improved drought stress tolerance. In this case, induction of somaclonal variation is followed by in vitro selection on selective medium containing polyethylene-glycol (PEG). The objective of this research were 1) to develop suitable in vitro selection method to obtain peanut somatic embryo that can tolerate stress due to addition of PEG in the selective medium, 2) to determine somaclonal variant indication of peanut, 3) to obtain plant population having somaclonal variation regenerated from in vitro selected somatic embryo, 4) to obtain somaclonal variant plants that are drought stress tolerance, and 5) to identify physiological mechanism involved in peanut drought stress tolerance.
In order to develop suitable in vitro selection method, several experiments were conducted to evaluate the effectiveness of polyethylene glycol (PEG)-6000 as in vitro selective agent; to determine the effective concentration of PEG to inhibit growth and development of seedling, epycotyl and somatic embryo; to evaluate tolerance of the peanut cultivars against PEG stress; and to determine changes in total proline content due to PEG stress. Results of the experiment indicated that addition of PEG 6000 into MS-0 medium inhibited growth and development of peanut seedling, epycotyl, and somatic embryo, but increased the tissue damage score and total proline content of epicotyl. Addition of PEG 6000 might be used to simulate drought stress under in vitro condition. PEG at 15% concentration was effective for inhibiting growth and development of peanut tissue. Based on these results, an in vitro selection method was developed to screen peanut somatic embryo that was drought stress tolerant, by maintaining somatic embryo for three months with three times sub-culturing in selective media MS with addition of 16 µM picloram and 15% PEG 6000. A number of PEG induced stress insensitive somatic embryos were identified after culturing 500 clumps of embryogenic tissue of peanut cv. Kelinci with three consecutive passages on medium containing 15% PEG. Germination of selected somatic embryos and regeneration of plantlets resulted in 24 peanut R0 lines, nine lines of them produced normal R0:1 seed. In addition, a number of somatic embryos were identified after culturing clumps of embryogenic tissue with three consecutive passages on medium without PEG. Germination of cultured somatic embryos and regeneration plantlets resulted in 38 peanut R0 lines, 20 lines of them produced normal R0:1 seeds. The R1 somaclonal population of both was obtained by planting R0:1 seeds in glass-house, and then R2 somaclonal population was obtained by planting R1:2 seeds produced by R1 somaclones. These R0, R1 and R2 population were evaluated for both qualitative and quantitative characters.
The results showed that phenotypic variation on both qualitative and quantitative characters were observed among R0, R1 and R2 generation of somaclonal lines. Variant phenotype on qualitative characters observed included,
iv
wide branching, excessive branching, leaf variegation, leaflet number abnormality, leaf pointed tip, ‘rosette’ leaf, complete sterility and male sterility. Plants regenerated from in vitro cultured have higher variation level than plants from in vitro selected somatic embryo. Variant phenotype of quantitative characters included plants with significantly higher plant dry weight, plant height, root dry weight and pod weight. There were four lines with significantly higher root dry weight, and three lines with significantly higher pod weight.
The R1 and R2 populations were also evaluated to identify the drought stress tolerant lines. Drought stress was induced by pouring 15% PEG solution and by reducing watering. To induce stress by pouring 15% PEG, variant peanut seedlings were grown individually in plastic pot (600 ml) containing a mixture of burst rice-hull and manure (1:1, v/v). The seedlings were poured with PEG solution (15%) every two days since four leaves stage seven weeks after planting. Inducing drought stress by reducing watering was conducted by growing plants in polybag (50 cm) containing a mixture of top soil, sand and manure (2:1:1, v/v). These plants were divided into two groups. One group was subjected to stress condition periodically during vegetative and generative periods (12 – 80 days after planting) by watering them only after their 75% leaves have wilted; the other group was grown optimally by watering every two days.
The results of the experiments indicated 1) stress induced by PEG 15% solution at vegetative period reduced shoot growth, but did not affect negatively on root growth, 2) effect of drought stress at vegetative and generative periods on root and shoot growth were different between one population to another, 3) plant regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo have higher tolerance level to stress induced by PEG than the standard plant, 4) nine lines of progeny of plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected embryo somatic had drought stress tolerance character, and two of them had higher pod number than standard plant, both in optimal and stress condition, 5) the reduction of stomata density and the increase of leaf total proline content play sufficient role, while root/shoot ratio and primary root length did not play a significant role in plant tolerance to drought stress.
In conclusions, the induction somaclonal variation followed or didn’t follow by in vitro selection using PEG 15% were effective to obtain somaclonal variant that tolerate to drought stress without intensive root growth mechanism. Evaluation of drought stress tolerance resulted in four lines (K0-2, K0-11.3, K0-30.1 and K15-4) that tolerate to drought stress and had higher pod weight than the standard plant.
Keywords : somaclonal variation, in vitro selection, PEG 6000, drought tolerance, tolerance mechanism without intensive root growth, proline,
v
RINGKASAN
ENNI SUWARSI RAHAYU. Induksi Variasi Somaklonal dan Seleksi In Vitro Menggunakan PEG untuk Identifikasi Varian Kacang Tanah yang Toleran Cekaman Kekeringan. Dibimbing oleh SUDARSONO, HAJRIAL ASWIDINNOOR, SATRIYAS ILYAS dan EDI GUHARDJA.
Kultivar kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan dengan
mekanisme yang tidak menurunkan hasil panen masih perlu dikembangkan. Variasi somaklonal telah berhasil dimanfaatkan untuk menginduksi galur varian yang meningkat toleransinya terhadap kekeringan. Dalam penelitian ini induksi variasi somaklonal diikuti oleh seleksi in vitro dalam media selektif yang mengandung PEG. Penelitian bertujuan untuk 1) mengetahui metode seleksi in vitro yang efektif dalam rangka memperoleh ES kacang tanah yang toleran terhadap potensial air rendah, 2) mengetahui indikasi varian somaklonal kacang tanah, 3) memperoleh populasi tanaman varian somaklonal hasil seleksi in vitro, 4) memperoleh populasi tanaman varian somaklonal yang toleran terhadap cekaman kekeringan, dan 5) mengetahui mekanisme toleransi tanaman kacang tanah terhadap cekaman kekeringan secara fisiologis.
Untuk mengembangkan metode seleksi in vitro yang efektif dilakukan percobaan yang bertujuan menguji efektivitas PEG 6000 sebagai bahan penyeleksi dalam media in-vitro dengan mengevaluasi respon kecambah, tunas dan embrio somatik kacang tanah terhadap kondisi cekaman oleh PEG, menentukan konsentrasi PEG yang efektif menghambat pertumbuhan dan perkembangan jaringan eksplan, menentukan konsentrasi PEG sub-letal, dan mengukur perubahan kandungan prolina total jaringan akibat cekaman PEG. Dari hasil percobaan disimpulkan bahwa penambahan larutan PEG dalam media in-vitro memberikan kondisi cekaman yang ditandai dengan terhambatnya perkembangan eksplan dan peningkatan kandungan prolina dalam jaringan seperti respon terhadap cekaman kekeringan. Konsentrasi PEG 15% efektif menghambat pertumbuhan dan perkembangan jaringan eksplan dan merupakan konsentrasi sub letal yang dapat menapis jaringan dengan sifat yang toleran dari jaringan lain dengan sifat peka terhadap cekaman akibat PEG.
Berdasarkan hal ini dikembangkan metode seleksi in vitro untuk menapis embrio somatik kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan, yaitu dengan memelihara embrio somatik varian selama tiga bulan dalam media selektif MS dengan fitohormon pikloram 16µM ditambah PEG 15%. Sejumlah embrio somatik yang insensitif terhadap cekaman akibat PEG telah diperoleh dengan mengkulturkan 500 clump kalus embriogenik kacang tanah cv. Kelinci dalam medium yang mengandung PEG 15% selama tiga kali berturut-turut. Perkecambahan embrio somatik hasil seleksi dilanjutkan regenerasi plantlet menghasilkan 24 galur tanaman R0, sembilan di antaranya menghasilkan benih R0-1 normal. Selain itu, sejumlah embrio somatik juga telah diperoleh dengan mengkulturkan kalus embriogenik dalam medium yang tidak mengandung PEG. Perkecambahan embrio somatik yang diperoleh tanpa seleksi ini menghasilkan 38 galur tanaman R0, 20 galur di antaranya dapat menghasilkan benih R0-1 normal. Populasi tanaman R1 diperoleh dengan menanam benih R0-1 di rumah kaca, dan selanjutnya populasi tanaman R2 diperoleh dengan menanam benih R1-2 di rumah kaca pula. Populasi R0, R1 dan R2 dievalusi untuk mengetahui variasi somaklonal pada karakter kualitatif dan kuantitatif.
vi
Hasil evaluasi tersebut menunjukkan terdapat variasi somaklonal karakter kualitatif dan kuantitatif pada populasi R0, R1 dan R2. Variasi karakter kualitatif yang muncul meliputi percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun pentafoliat, steril partial, steril total, daun roset, daun varigata, ujung daun meruncing, daun hexafoliat, dan daun oktafoliat. Variasi pada populasi tanaman hasil kultur in vitro lebih beragam dibandingkan pada populasi tanaman hasil seleksi in vitro. Variasi karakter kuantitatif yang bersifat positif tampak pada karakter bobot kering tajuk, tinggi tanaman, bobot kering akar dan bobot polong bernas. Ada empat galur tanaman yang mempunyai variasi positif untuk bobot kering akar, dan tiga galur untuk bobot polong bernas. Populasi tanaman R1 dan R2 juga dievaluasi untuk mengidentifikasi galur yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan diinduksi dengan dua metode, yaitu dengan penyiraman PEG 15% dan dengan pengurangan penyiraman air. Untuk menginduksi cekaman dengan penyiraman PEG 15%, kecambah kacang tanah ditanam dalam pot plastik (600 ml) yang berisi media campuran arang sekam dan pupuk kandang (1:1, v/v). Kecambah disiram dengan larutan PEG 6000 15% setiap dua hari sekali, mulai tanaman mempunyai empat daun hingga berumur tujuh minggu. Induksi cekaman kekeringan melalui pengurangan penyiraman air dilakukan dengan menumbuhkan tanaman dalam polibag (diameter 50 cm) yang berisi media campuran tanah, pasir dan pupuk kandang (2:1:1, v/v). Tanaman-tanaman tersebut dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberi perlakuan cekaman kekeringan secara individual dengan menyiram air hanya setelah 75% daun yang dimiliki tanaman tersebut layu, sedangkan kelompok lain diberi penyiraman optimum setiap dua hari sekali. Hasil percobaan menunjukkan 1) cekaman akibat penyiraman larutan PEG 15% pada fase vegetatif nyata menurunkan pertumbuhan tajuk, tetapi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan akar, 2) pengaruh cekaman kekeringan akibat pengurangan penyiraman air terhadap pertumbuhan tajuk dan akar berbeda antar populasi, 3) tanaman hasil kultur in vitro dan seleksi in vitro mempunyai tingkat toleransi terhadap cekaman kekeringan yang lebih tinggi dibandingkan tanaman standar, 4) diperoleh sembilan galur tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro yang toleran terhadap cekaman kekeringan, dua di antaranya mempunyai jumlah polong bernas lebih tinggi dibandingkan tanaman standar, baik pada kondisi optimum maupun cekaman, 5) penurunan densitas stomata dan peningkatan kadar prolina total memainkan peran yang cukup berarti dalam mekanisme terhadap cekaman kekeringan, tetapi panjang akar primer dan nisbah akar/tajuk tidak berperan dalam mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan.
Dari hasil semua tahap percobaan di atas, disimpulkan bahwa induksi variasi somaklonal dengan atau tanpa disertai seleksi in vitro menggunakan PEG 15% efektif untuk memperoleh tanaman varian somaklonal kacang tanah yang toleran terhadap kekeringan, dengan mekanisme yang tidak melalui pertumbuhan akar yang intensif. Dari evaluasi toleransi terhadap cekaman kekeringan diperoleh empat galur, yaitu K0-2, K0-11.3, K0-30.1 dan K15-4 yang toleran terhadap cekaman kekeringan dan mempunyai bobot polong bernas lebih besar daripada tanaman standar.
Kata kunci: variasi somaklonal, seleksi in vitro , PEG 6000, toleransi terhadap
kekeringan, mekanisme toleransi tanpa akar intensif, prolina
vii
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian
Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi,
mikrofilm dan sebagainya
viii
INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO MENGGUNAKAN PEG
UNTUK IDENTIFIKASI VARIAN KACANG TANAH YANG TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN
ENNI SUWARSI RAHAYU
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor
pada Departemen Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
ix
Judul Disertasi : Induksi Variasi Somaklonal dan Seleksi In Vitro
Menggunakan PEG untuk Identifikasi Varian Kacang Tanah yang Toleran Cekaman Kekeringan
Nama : Enni Suwarsi Rahayu
NRM : A. 361020041
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. Ketua
Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, MSc. Anggota
Dr.Ir. Satriyas Ilyas, MS Anggota
Prof.Dr.Ir. Edi Guhardja, MSc. Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Satriyas Ilyas, MS Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal ujian : 25 Juli 2007 Tanggal lulus :
x
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Atas izin dan petunjuk Allah Yang Maha Rahman dan Rahim pada akhirnya
penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul
”Induksi Variasi Somaklonal dan Seleksi In vitro Menggunakan PEG untuk
Identifikasi Varian Kacang Tanah yang Toleran Cekaman Kekeringan”. Disertasi
ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar doktor dari Institut
Pertanian Bogor.
Disertasi ini disusun berdasarkan serangkaian penelitian yang merupakan
bagian dari penelitian Hibah Tim Pasca Sarjana angkatan I, tahun 1, 2 dan 3
(tahun 2003 – 2005) yang berjudul ”Rekayasa Genetika dan Seleksi in-Vitro
untuk Mendapatkan Plasma Nutfah Kacang Tanah dengan Novel Characters –
Toleran terhadap Stres Kekeringan dan Resisten Penyakit Busuk Batang
Sclerotium” yang diketuai oleh Prof.Dr.Ir. Sudarsono, M.Sc. dan didanai oleh
Departemen Pendidikan Nasional.
Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan karena peran dan
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis sampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberi ijin untuk
menempuh studi program doktor,
2. Sekolah Pasca Sarjana IPB dan Program Studi Agronomi SPS IPB yang
telah menerima penulis sebagai mahasiswa program doktor pada tahun
2002,
3. Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberikan dana studi
selama tujuh semester melaui BPPS tahun 2002 – 2006 dan dana
penelitian melalui penelitian Hibah Tim Pascasarjana angkatan I tahun 1, 2
dan 3 (tahun 2003 – 2005),
4. Bapak Prof.Dr.Ir. Sudarsono, MSc. selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang
telah memprakarsai penelitian Hibah Tim Pascasarjana yang merupakan
sumber utama dana penelitian disertasi ini, dan yang telah memberikan
bimbingan intensif dalam pelaksanaan penelitian, analisis data, penulisan
publikasi serta penulisan naskah disertasi,
5. Bapak Dr.Ir. Hajrial Aswidinnoor, MSc, Ibu Dr.Ir. Satriyas Ilyas, MS dan
Bapak Prof.Dr.Ir. Edi Guhardja, MSc sebagai Anggota Komisi Pembimbing;
xi
yang telah memberikan bimbingan, arahan, dukungan moril yang sangat
bermanfaat dalam penulisan disertasi,
6. Penguji Luar Komisi Dr. Ir. Yudiwanti, MS, Dr.Ir. Sriani Sujiprihati, MS dan
Dr. Ir. Ika Mariska S.; yang telah memberikan saran perbaikan yang sangat
berarti dalam penulisan disertasi,
7. Rekan-rekan Tim Peneliti di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman
Faperta IPB : Dr.Ir. Yusnita, MSc, Dr.Ir. Endang Pujihartati, MSi, Dr. Ir.
Farid Hemon, MSc, Dr.Ir. Ahmad Riduan, MSi, Dr. Ir. Dwi Hapsoro, MSc,
Dr.Ir. Zuyasna, MSc., Ir. Yusniwati, MSi; atas persahabatan dan kesediaan
menjadi mitra diskusi yang handal,
8. Rekan-rekan dari Jurusan Biologi Universitas Negeri Semarang yang
bersama-sama menempuh studi S3 di IPB : Ir. Amin Retnoningsih, MSi,
Dra. Margareta Rahayuningsih, MSi, drh. R.Susanti, MP, Niken Subekti,
Ssi, MSi dan Drs. Y.Ulung Anggraito, MSi.; atas persahabatan dan
dukungan secara moril
9. Rekan-rekan teknisi di Laboratorium PMB Faperta IPB (Susilawati, Agus)
dan di Balitbiogen Bogor (Pak Juanda) atas bantuannya dalam
pelaksanaan penelitian,
10. Semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan
ujian yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Secara khusus terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada
suami tercinta Drs.H. Tri Widayat K. atas keikhlasannya memberi ijin, doa,
kesabaran, dukungan moril serta materiil yang tidak terhingga nilainya; sehingga
penulis merasa bahwa keberhasilan ini adalah keberhasilan berdua. Juga
kepada anak-anak tersayang K. Widayati Ajiningtyas (Tyas), K. Wiidyo Aji
Bagaskoro (Aji) dan K. Widyan Radityo Ilmiaji (Adit) atas keikhlasan, kesabaran
dan dukungan moril yang diberikan.
Semoga segala dukungan dan bantuan yang dilakukan dalam
penyelesaian penelitian dan penulisan disertasi ini dapat dinilai sebagai ibadah
oleh Allah SWT, baik bagi penulis maupun semua pihak yang telah
berperanserta. Amin. Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini
membawa manfaat bagi yang membutuhkan.
Bogor, Juli 2007
Enni Suwarsi Rahayu
xii
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Cilacap Jawa Tengah pada tanggal 16 September 1960,
merupakan anak pertama dari Bapak Soekadi (almarhum) dan Ibu Soewarti.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP
Semarang, lulus pada tahun 1983. Pada tahun 1995 lulus dari jenjang S2
Program Studi Biologi Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, kemudian sejak tahun 2002 terdaftar sebagai mahasiswa program
doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana
diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional.
Sejak tahun 1986 sampai sekarang tercatat sebagai staf pengajar jurusan
Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang (Unnes). Sejak menjadi staf
pengajar penulis aktif dalam sejumlah kegiatan penelitian dan pengabdian
masyarakat dengan dana dari Departemen Pendidikan Nasional, dan dalam
berbagai pelatihan serta seminar ilmiah tingkat regional maupun nasional.
Selama mengikuti program S3, penulis bersama Komisi Pembimbing telah
menulis beberapa artikel dari hasil penelitian selama studi. Poster dan karya
ilmiah berjudul ”Cekaman oleh PEG dalam media in vitro dan penapisan
toleransi kacang tanah terhadap kekeringan” telah disajikan pada Seminar
Nasional PERIPI di Bogor, tanggal 5 – 7 Agustus 2004. Sebuah artikel telah
diterbitkan di jurnal ilmiah terakreditasi, yaitu Berkala Penelitian Hayati volume 11
(1):39-48 tahun 2005 yang berjudul ”Polietilena glikol (PEG) dalam media in vitro
menyebabkan kondisi cekaman yang menghambat perkembangan tunas kacang
tanah (Arachis hypogaea L.)”. Sebuah artikel lain berjudul ”Seleksi in vitro
embrio somatik kacang tanah pada medium dengan polietilen glikol untuk
stimulasi kondisi cekaman kekeringan” telah dimuat di jurnal ilmiah terakreditasi
Biosfera volume 23 (1) tahun 2006.
xiii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL xiii DAFTAR GAMBAR xix DAFTAR ISTILAH xxii
I PENDAHULUAN Latar Belakang ..................................................................... 1 Tujuan Penelitian ................................................................. 3 Pendekatan Masalah dan Strategi Penelitian ...................... 3 II TINJAUAN PUSTAKA Variasi Somaklonal Kacang Tanah ...................................... 9 Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Tanaman .......... 11 Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Keke-
ringan ................................................................................... 13
Seleksi in Vitro untuk Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan ...........................................................................
17
III EFEKTIVITAS POLIETILENA GLIKOL SEBAGAI BAHAN
PENYELEKSI SIFAT TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN DALAM MEDIA IN VITRO
Abstrak ................................................................................. 20 Abstract ................................................................................ 21 Pendahuluan ........................................................................ 22 Bahan dan Metode Bahan Tanaman dan Perlakuan PEG .......................... 24 Perkecambahan dan Pertumbuhan Tunas .................. 24 Respon Eksplan terhadap Cekaman PEG ................... 24 Pengamatan dan Analisis Data .................................... 25 Pengukuran Kandungan Prolina Jaringan Eksplan ...... 26 Hasil Respon Eksplan Kecambah terhadap Cekaman PEG 27 Respon Eksplan TDK terhadap Cekaman PEG ........... 30 Respon Eksplan TTK terhadap Cekaman PEG ........... 31 Akumulasi Prolina akibat Cekaman PEG ..................... 32 Pembahasan ........................................................................ 35 Simpulan .............................................................................. 40 IV SELEKSI IN VITRO EMBRIO SOMATIK KACANG
TANAH PADA MEDIA DENGAN POLIETILENA GLIKOL YANG MENSIMULASIKAN KEKERINGAN
Abstrak ................................................................................. 41 Abstract ................................................................................ 42 Pendahuluan ........................................................................ 43 Bahan dan Metode Bahan Tanaman dan Induksi ES Kacang Tanah ......... 44
xiv
Evaluasi Respon ES Kacang Tanah terhadap Cekaman PEG …………………………………………
44
Seleksi ES dalam Media Selektif dengan PEG Konsentrasi Sub-letal ………………………………….
45
Regenerasi Tanaman R0 dari ES Hasil Seleksi in vitro 45 Hasil Respon ES Kacang Tanah terhadap Cekaman PEG .. 46 Konsentrasi Sub-letal PEG .......................................... 47 ES Kacang Tanah yang Insensitif terhadap PEG
Konsentrasi Sub-letal ...................................................
48 Tanaman R0 dari ES Hasil Seleksi in vitro ................. 50 Pembahasan ........................................................................ 51 Simpulan .............................................................................. 53
V VARIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF KACANG TANAH HASIL KULTUR IN VITRO DAN HASIL SELEKSI IN VITRO
Abstrak ................................................................................. 54 Abstract ................................................................................ 55 Pendahuluan ........................................................................ 56 Bahan dan Metode Bahan Tanaman dan Induksi Variasi Somaklonal ....... 57 Pertumbuhan ES Varian dalam Media Kultur dan
Media Selektif serta Regenerasinya menjadi Tanaman R0 .................................................................................
57 Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman R0, R1 dan
R2 .................................................................................
58 Penentuan Varian ........................................................ 59 Hasil Tanaman R0, R1 dan R2 ............................................. 60 Varian Kualitatif ............................................................ 59 Varian Kuantitatif .......................................................... 63 Pembahasan ....................................................................... 68 Simpulan .............................................................................. 71
VI TOLERANSI GALUR KACANG TANAH HASIL KULTUR DAN SELEKSI IN VITRO TERHADAP CEKAMAN AKIBAT PENYIRAMAN PEG
Abstrak ................................................................................. 73 Abstract ................................................................................ 74 Pendahuluan ........................................................................ 75 Bahan dan Metode Bahan Tanaman .......................................................... 76 Evaluasi Respon terhadap Cekaman PEG .................. 76 Analisis Respon terhadap Cekaman PEG ……………. 78 Hasil Respon Pertumbuhan Tanaman Kacang Tanah
terhadap Cekaman PEG ..............................................
80 Toleransi terhadap Cekaman PEG .............................. 85 Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman PEG ........... 86 Pembahasan ........................................................................ 88 Simpulan .............................................................................. 92
xv
VII TOLERANSI GALUR KACANG TANAH HASIL KULTUR DAN SELEKSI IN VITRO TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN
Abstrak ................................................................................. 94 Abstract ................................................................................ 95 Pendahuluan ........................................................................ 96 Bahan dan Metode Bahan Tanaman ........................................................... 97 Evaluasi Respon terhadap Cekaman Kekeringan ....... 98 Evaluasi Toleransi Tanaman terhadap Cekaman
Kekeringan ...................................................................
99 Analisis Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman
Kekeringan ..................................................................
99 Hasil Respon Pertumbuhan Tajuk terhadap Cekaman
Kekeringan ...................................................................
100 Respon Pertumbuhan Akar terhadap Cekaman
Kekeringan ……………………………………………......
102 Respon Hasil terhadap Cekaman Kekeringan ……….. 105 Toleransi Galur Kacang Tanah Varian terhadap
Cekaman Kekeringan ..................................................
107 Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman
Kekeringan....................................................................
108 Pembahasan ........................................................................ 110 Simpulan .............................................................................. 116 VIII PEMBAHASAN UMUM ..................................................... 117 IX SIMPULAN DAN SARAN Simpulan .............................................................................. 125 Saran ................................................................................... 127 X DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 128 LAMPIRAN ........................................................................ 137
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap PET, PDT dan PAT dari sembilan kultivar kacang tanah ...................................................................................
28
2 Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap panjang epikotil, panjang akar utama, jumlah akar cabang dan jumlah daun kecambah sembilan kultivar kacang tanah serta nilai relatifnya terhadap perlakuan PEG 0% ..............................................................................
29
3 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertambahan tinggi, jumlah daun dan jumlah akar utama pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) dan nilai relatifnya terhadap konsentrasi PEG 0% ...........................
30
4 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap jumlah daun layu dan skor kerusakan tunas pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) ........................
32
5 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap jumlah daun layu per botol pada eksplan tunas yang berasal dari poros embrio tanpa kotiledon (TTK) .........................................................
33
6 Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap pertambahan tinggi dan jumlah daun pada eksplan tunas yang berasal dari poros embrio tanpa kotiledon (TTK) dan nilai relatifnya terhadap konsentrasi PEG 0% ...............................................................................
33
7 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap persentase eksplan yang hidup, rataan embrio somatik (ES) yang terbentuk per eksplan dan jumlah total ES kacang tanah kultivar Badak, Kelinci, Singa, dan Zebra setelah tiga bulan dalam media selektif .......................................................................
47
8 Persentase penurunan jumlah eksplan yang hidup, rataan embrio somatik (ES) per eksplan dan jumlah total ES kacang tanah kultivar Badak, Kelinci, Singa, dan Zebra setelah tiga bulan dalam media selektif dengan penambahan PEG 6000 5%, 10%, 15% atau 20% dibandingkan dengan media PEG 0% ...............................
48
9 Jenis, frekuensi dan persentase varian kualitatif pada tanaman hasil kultur in vitro (K0) dan seleksi in vitro (K15) generasi R0, R1 zuriat R0 dan R2 zuriat R1 .......................
61
xvii
10 Rataan nilai dan ragam karakter kuantitatif pertumbuhan tajuk pada populasi tanaman hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro generasi R0, R1 zuriat R0 dan R2 zuriat R1
63
11 Rataan nilai dan ragam karakter kuantitatif pertumbuhan akar dan hasil pada populasi tanaman hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro generasi R0, R1 zuriat R0, dan R2 zuriat R1 pada kacang tanah kultivar Kelinci ...............
64
12 Nomor-nomor galur dari populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang dievaluasi toleransinya terhadap cekaman PEG 15% .....................................................................................
77
13 Kriteria penentuan respon tanaman berdasarkan nilai intensitas kerusakan daun (IKD) .........................................
79
14 Rataan nilai dan ragam tinggi tanaman, jumlah daun, berat basah dan berat kering tajuk tanaman kacang tanah kultivar Kelinci populasi standar, R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15% .......
81
15 Rataan nilai dan ragam bobot basah, bobot kering akar dan panjang akar primer tanaman kacang tanah kultivar Kelinci populasi standar, R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15% ..........................
83
16 Biomassa pada kondisi cekaman PEG 15% dan kondisi optimum galur-galur tanaman kacang tanah kultivar Kelinci yang teridentifikasi toleran terhadap cekaman kekeringan berdasarkan nilai S ..........................................
87
17 Nomor-nomor galur tanaman dari populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang dievaluasi toleransinya terhadap cekaman PEG 15% ............................................................
97
18 Rataan nilai dan ragam peubah-peubah pertumbuhan tajuk tanaman kacang tanah kultivar Kelinci populasi tanaman standar, R1-K0, R2-K0, dan R2-K15 dalam kondisi optimum dan kondisi cekaman kekeringan ..........
102
19 Rataan nilai dan ragam panjang akar primer, jumlah akar cabang, bobot basah dan bobot kering akar kacang tanah kultivar Kelinci populasi tanaman standar, R1-K0, R2-K0, dan R2-K15 dalam kondisi optimum dan kondisi cekaman kekeringan ........................................................................
104
20 Rataan nilai dan ragam jumlah polong total dan jumlah polong bernas kacang tanah kultivar Kelinci populasi tanaman standar, R1-K0, R2-K0, dan R2-K15 dalam kondisi optimum dan cekaman kekeringan .........................
106
xviii
21 Karakteristik galur-galur tanaman kacang tanah populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang teridentifikasi toleran terhadap kekeringan ............................................................
113
22 Galur kacang tanah kultivar Kelinci populasi tanaman hasil kultur dan hasil seleksi in vitro yang teridentifikasi toleran terhadap cekaman PEG dan cekaman pengurangan penyiraman ....................................................
122
xix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Diagram alir strategi penelitian dan keterkaitan antar percobaan dari seluruh kegiatan penelitian .........................
8
2 Media selektif berupa media cair MS (Murashige-Skoog 1962) tanpa zat pengatur tumbuh (MS-0) dengan penam-bahan berbagai konsentrasi PEG 6000 ..............................
25
3 Kriteria penentuan skor kerusakan eksplan tunas kacang tanah setelah ditanam dalam media selektif selama enam minggu ...............................................................................
26
4 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap kadar prolina total jaringan pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) kacang tanah kultivar Singa, Komodo, Kelinci, Gajah, Simpai dan Badak, setelah ditanam selama enam minggu dalam media selektif ....
34
5 Morfologi kecambah yang tumbuh pada media selektif yang mengandung PEG (dari kiri ke kanan) konsentrasi 0, 5, 10, 15 dan 20% pada kacang tanah kultivar Sng (Singa), Kmd (Komodo), Jrp (Jerapah), Klc (Kelinci), Gjh (Gajah), Trg (Trenggiling), Bdk (Badak), Mcn (Macan), Smp (Simpai)........................................................................
35
6 Pertumbuhan ES kacang tanah kultivar Badak (B), Kelinci (K), Singa (S), dan Zebra (Z), setelah tiga kali sub-kultur masing-masing satu bulan dalam media selektif PEG dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15% dan 20% ............
49
7 Regenerasi ES kacang tanah hasil seleksi in vitro dalam media selektif dengan penambahan PEG 15% ……………
50
8 Pola percabangan pada tanaman kacang tanah yang diregenerasikan dari ES hasil kultur dan seleksi in vitro ....
59
9 Varian kualitatif pada tanaman kacang tanah hasil kultur dan seleksi in vitro ..............................................................
62
10 Distribusi frekuensi tinggi tanaman dan bobot kering tajuk
kacang tanah populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro ....................................................
65
11 Distribusi frekuensi jumlah akar cabang primer dan bobot kering akar tanaman standar serta tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro ............................................................
66
xx
12 Distribusi frekuensi jumlah polong bernas dan bobot polong bernas tanaman standar serta tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro .............................................................
67
13 Skor kerusakan daun kacang tanah kultivar Kelinci akibat penyiraman larutan PEG 15% pada media arang sekam di rumah kaca ........................................................................
79
14 Distribusi frekuensi jumlah daun per tanaman pada populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15% ..................................................................................
82
15 Distribusi frekuensi bobot tajuk kering pada populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15% ..............
83
16 Distribusi frekuensi bobot akar kering pada populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15% ..............
84
17 Distribusi frekuensi panjang akar pada populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15% ........................
84
18 Keragaan tanaman kacang tanah kultivar Kelinci yang tumbuh dalam kondisi optimum dan dalam kondisi cekaman akibat penyiraman PEG 15% ...............................
85
19 Distribusi frekuensi respon tanaman yang ditumbuhkan dari benih, ES hasil kultur in vitro (R1-K0, R2-K0) dan ES hasil seleksi in vitro (R2-K15) terhadap cekaman PEG 15% berdasarkan nilai indeks kerusakan daun ...................
86
20 Distribusi frekuensi respon tanaman yang ditumbuhkan dari benih, ES hasil kultur in vitro (R1-K0, R2-K0), dan ES hasil seleksi in vitro (R2-K15) terhadap cekaman PEG 15% berdasarkan indeks sensitivitas terhadap kekeringan yang dihitung menggunakan nilai biomassa ......................
86
21 Regresi antara nilai indeks kerusakan daun (IKD) dengan dengan nisbah akar/tajuk dan panjang akar primer pada populasi tanaman standar (x) dan R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang teridentifikasi agak toleran (¦ ), agak peka (?) dan peka (? ) .....................................................................
87
22 Regresi antara nilai ISK yang dihitung menggunakan biomassa tanaman dengan nisbah akar/tajuk dan dengan panjang akar primer pada populasi tanaman standar (x) dan R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang teridentifikasi toleran (¦ ), medium toleran (?) dan peka (? ) .................................
88
xxi
23 Keragaan tanaman kacang tanah dalam (a) kondisi optimum dan (b) kondisi cekaman ....................................
101
24 Distribusi frekuensi bobot kering tajuk pada populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman kekeringan ............
103
25 Distribusi frekuensi bobot kering akar pada populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman kekeringan ............
105
26 Distribusi frekuensi jumlah polong bernas pada populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman kekeringan ............
106
27 Distribusi frekuensi kandungan prolina (µg/g) dalam kondisi optimum dan cekaman kekeringan pada tanaman kacang tanah populasi standar, R0-K0, R1-K0 dan R2-K15
107
28 Distribusi frekuensi respon tananan standar, R1-K0, R2-K0, R2-K15 terhadap cekaman kekeringan berdasarkan indeks sensitivitas terhadap cekaman kekeringan yang dihitung menggunakan jumlah polong bernas......................
108
29 Hubungan antara indeks sensitivitas kekeringan(ISK) yang dihitung berdasarkan jumlah polong bernas dengan peningkatan kadar prolina dan densitas stomata pada tanaman kacang tanah populasi tanaman standar (x) dan populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang teridentifikasi toleran (¦ ), medium toleran (?) dan peka (? ) ....................
109
30 Distribusi frekuensi densitas stomata pada tanaman kacang tanah populasi standar, R1-K0, R2-K0 dan R2-K15
109
31 Hubungan antara ISK dengan panjang akar dan nisbah akar/tajuk pada tanaman kacang tanah pada populasi tanaman standar (x) dan R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang teridentifikasi toleran (¦ ), medium (?) dan peka (?) ............
110
xxii
DAFTAR ISTILAH
Bahan penyeleksi (selective agent)
bahan kimia yang dapat menapis sel/jaringan dengan sifat yang diinginkan (dalam hal ini yang toleran terhadap cekaman kekeringan) di antara sel/jaringan lain dengan sifat yang tidak diinginkan
Cekaman kekeringan
kondisi ketersediaan air media tanam yang tidak memadai baik jumlah maupun distribusinya, yang terjadi pada sebagian atau sepanjang siklus hidup tanaman sehingga tanaman tidak dapat mengekspresikan potensi genetiknya
Densitas stomata
(dalam penelitian ini) jumlah stomata per satuan luas (cm2) pada jaringan epidermis bawah daun, dihitung menggunakan mikrometer
Embrio somatik
embrio yang terbentuk dari sel vegetatif, dalam penelitian ini dari leaflet (calon daun) embrio zigotik
Generasi R0
tanaman yang merupakan hasil regenerasi jaringan dari kultur in vitro Generasi R1
tanaman yang merupakan zuriat dari tanaman generasi R0 Generasi R2
tanaman yang merupakan zuriat dari tanaman generasi R1 Kalus embriogen
kalus yang mengandung sel-sel yang berpotensi untuk berkembang menjadi embrio
Karakter kualitatif
karakter yang nilainya tidak berdasarkan pengukuran, menghasilkan variasi berupa kelompok-kelompok yang diskret
Karakter kuantitatif
karakter yang nilainya diperoleh dari pengukuran, menghasilkan variasi yang bersifat kontinyu
Kultur in vitro
(dalam penelitian ini) pembudidayaan embrio somatik pada media MS padat dengan penambahan pikloram 16 µM menjadi plantlet
Medium toleran
tingkat karakter toleransi terhadap cekaman, yang berada di antara karakter peka dan karakter toleran
xxiii
Mekanisme avoidance (ketahanan) mekanisme respon terhadap cekaman kekeringan yang ditunjukkan dengan kemampuan tanaman untuk mempertahankan potensial air jaringan yang relatif tinggi pada saat mengalami cekaman kekeringan
Mekanisme escape (pelarian)
mekanisme respon terhadap cekaman kekeringan yang ditunjukkan dengan kemampuan tanaman untuk menyelesaikan siklus hidupnya sebelum terjadi cekaman kekeringan sehingga tidak mengalami cekaman
Mekanisme tolerance (toleran)
mekanisme respon terhadap cekaman kekeringan yang ditunjukkan dengan kemampuan tanaman untuk bertahan hidup dengan potensial air jaringan yang rendah
Nisbah akar/tajuk
ratio bobot kering akar dan tajuk Osmolit
senyawa yang terlarut dalam plasma sel yang dapat berperan untuk mempertahankan potensial osmotik sel dan melindungi kerusakan struktur sel akibat senyawa radikal pada saat mengalami cekaman
Peka
respon tanaman yang tidak mampu mempertahankan diri atau mengatasi pengaruh cekaman kekeringan, yang ditunjukkan dengan menurunnya pertumbuhan dan atau hasil panen secara signifikan pada kondisi cekaman kekeringan
Picloram
asam 4-amino, 3.5.6.trikhloropikolinat, suatu herbisida yang dalam konsentrasi rendah berperan sebagai fitohormon auksin
PEG (poly ethylene glycol)
senyawa polimer yang tersusun atas sub unit etilen-oksida, yang mampu mengikat molekul air pada atom oksigennya dengan ikatan hidrogen
Potensial osmotik
potensi suatu larutan untuk melakukan osmosis atau menarik molekul air, yang nilainya negatif dan ditentukan oleh konsentrasi larutan, suhu, konstanta gas dan konstanta ionisasi
Prolina
salah satu jenis asam amino yang terlarut dalam plasma sel dan dapat berperan sebagai osmolit
Seleksi in vitro
penapisan dalam media in vitro untuk memilih sel/jaringan dengan sifat yang diinginkan di antara sel/jaringan lain yang tidak diinginkan
xxiv
Toleran respon tanaman yang mampu mempertahankan diri atau mengatasi pengaruh cekaman kekeringan, yang ditunjukkan dengan menurunnya pertumbuhan dan atau hasil panen yang tidak signifikan pada kondisi cekaman kekeringan
Varian somaklonal
karakter yang mengalami variasi somaklonal Varian somaklonal genetik
karakter yang mengalami variasi somaklonal yang pada umumnya bersifat ir-reversibel dan diwariskan kepada keturunannya
Varian somaklonal epigenetik
karakter yang mengalami variasi somaklonal yang merupakan modifikasi ekspresi genetik, biasanya bersifat reversibel dan tidak diwariskan
Varian somaklonal positif
karakter yang mengalami variasi somaklonal yang lebih unggul dibanding tanaman standar
Variasi somaklonal
perubahan yang terjadi pada sel/jaringan yang dipelihara dalam kultur in vitro
1
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditas
pertanian yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Komoditas ini
adaptatif di daerah tropis, dan mempunyai arti penting sebagai bahan pangan
bergizi tinggi, pakan ternak yang potensial, dan tanaman rotasi yang efektif.
Sebagai bahan pangan biji kacang tanah mengandung lemak, protein, vitamin B
dan E yang relatif tinggi (Maesen dan Somaatmadja 1993, Moss dan Rao 1995).
Antara tahun 2000 – 2004 produksi kacang tanah Indonesia berkisar antara
736,5 – 839,1 ton, dengan hasil panen faktual rata-rata sebesar 1,08 – 1,16 ton
per hektar (BPS 2005), lebih rendah dibandingkan hasil panen dalam skala
penelitian yang dapat mencapai lebih dari 2 ton per hektar (Hidajat et al. 1999).
Hal tersebut menyebabkan Indonesia harus mengimpor kacang tanah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya
peningkatan produksi kacang tanah.
Upaya peningkatan produksi kacang tanah baik melalui perluasan lahan
penanaman maupun peningkatan produktivitas menghadapi berbagai cekaman
abiotik. Cekaman abiotik utama adalah kekeringan yang pada masa mendatang
diduga akan semakin parah karena berkurangnya distribusi air ke sektor
pertanian akibat besarnya kebutuhan air pada sektor non-pertanian,
menurunnya daya retensi tanah dan kualitas lingkungan (Makarim 2005). Di
samping itu usaha tani kacang tanah, yang bukan merupakan tanaman pangan
utama di Indonesia, pada umumnya dilakukan di lahan kering atau pada akhir
musim penghujan, sehingga berpeluang besar mengalami kekurangan air atau
cekaman kekeringan.
Air merupakan faktor pembatas utama yang menentukan tercapai tidaknya
potensi hasil tanaman. Bila air yang terserap tanaman berkurang, maka semua
proses biokimia di dalam tanaman akan terhambat dan pertumbuhan serta
produksi akan menurun. Produksi kacang tanah dapat menurun hingga 50%
akibat cekaman kekeringan (Makarim 2005). Periode kritis tanaman kacang
tanah terhadap kekeringan adalah umur 3, 25, 50 dan 75 hari (Balitkabi 2004).
Respon rendahnya produksi kacang tanah pada kondisi kekeringan terjadi
pada kultivar tanaman yang peka terhadap kekeringan. Untuk kultivar yang
toleran terhadap kekeringan, sampai pada tingkat tertentu yang masih dapat
2
ditoleransi, cekaman kekeringan tidak menimbulkan pengaruh seperti yang
terjadi pada kultivar peka. Oleh karena itu untuk budidaya kacang tanah di lahan
kering atau musim kering diperlukan kultivar yang toleran cekaman abiotik,
terutama cekaman kekeringan, sehingga peningkatan hasil yang diharapkan
dapat terwujud.
Sampai saat ini, di antara 22 kultivar kacang tanah yang dilepas
Departemen Pertanian, hanya enam kultivar yaitu Komodo, Biawak, Jerapah,
Panther, Singa dan Turangga yang diidentifikasi toleran terhadap cekaman
kekeringan (Hidajat et al. 1999). Pada umumnya mekanisme toleransi yang
dilakukan oleh kultivar toleran adalah melalui pembentukan akar yang intensif
sehingga dapat menurunkan hasil. Kultivar toleran dengan mekanisme yang
tidak menurunkan hasil lebih diinginkan (Williams dan Boote 1995). Karakter
tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk diupayakan pada kacang
tanah sebab genotipe dengan potensial daya hasil tinggi pada kondisi irigasi
optimum biasanya sangat peka terhadap kekeringan. Sebaliknya, genotipe yang
memberikan hasil baik pada kondisi tercekam kekeringan, mungkin tidak
menjamin hasil yang lebih baik pada kondisi irigasi optimum (Gupta 1997) karena
besarnya kemampuan pertumbuhan biomassa (perakaran). Berdasarkan hal itu
pengembangan kultivar kacang tanah toleran kekeringan masih diperlukan.
Untuk mengembangkan kultivar yang toleran terhadap kekeringan dengan
mekanisme yang berbeda diperlukan keragaman baru sifat toleransi pada
plasma nutfah kacang tanah. Peningkatan keragaman sifat toleransi dapat
dilakukan secara in vitro melalui kultur jaringan. Teknik ini berpotensi untuk
menghasilkan varian somaklonal yang mempunyai karakteristik tertentu. Varian
yang secara alamiah terjadi acak pada berbagai karakter tersebut kemudian
diseleksi dalam media selektif yang sesuai sehingga diperoleh varian dengan
sifat yang diinginkan. Dengan menggunakan seleksi in vitro, intensitas seleksi
lebih besar dan homogen sehingga dapat meningkatkan efisiensi didapatkannya
varian tanaman dengan sifat-sifat yang diharapkan (Specht dan Graef 1996).
Dalam kultur jaringan terdapat tiga teknik yang dapat dilakukan, yaitu
proliferasi tunas pucuk, regenerasi tunas adventif dan regenerasi embrio
somatik. Di antara ketiga teknik tersebut regenerasi embrio somatik merupakan
teknik yang paling efisien dan paling besar peluangnya untuk memperoleh
varian. Selain itu kecepatan multiplikasi lebih tinggi, prosesnya dapat
dipertahankan dalam jangka panjang sehingga tidak selalu tergantung pada
3
ketersediaan eksplan dan tidak mengakibatkan khimera (Maluszynski 1995).
Pada regenerasi embrio somatik eksplan diinduksi berturut-turut menjadi kalus,
embrio somatik, dan tunas. Karena embrio somatik berasal dari sel tunggal,
maka frekuensi terbentuknya varian relatif besar.
Untuk mendapatkan varian yang toleran terhadap cekaman kekeringan
digunakan bahan seleksi yang dapat mensimulasikan kondisi kekeringan di
lapang. Ada beberapa bahan seleksi yang dapat digunakan, antara lain manitol,
sorbitol, dan PEG (poly ethylene glycol). Dibandingkan agen seleksi yang lain,
PEG (terutama yang mempunyai berat molekul lebih dari 3500) mempunyai
kelebihan yaitu tidak dapat diserap oleh tanaman. PEG yang ditambahkan ke
dalam media kultur dapat menurunkan potensial air media secara homogen
karena sifatnya yang larut sempurna dalam air. Besarnya penurunan potensial
air tergantung pada konsentrasi dan berat molekul PEG (Michel dan Kaufmann
1973, Steuter 1981). Bila varian yang toleran terhadap potensial air rendah
tersebut dapat diperoleh dan dapat diregenerasikan menjadi tanaman maka
kemungkinan besar akan berkembang menjadi tanaman yang toleran terhadap
cekaman kekeringan.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui metode seleksi in vitro yang efektif dalam rangka memperoleh
ES kacang tanah yang toleran terhadap potensial air rendah
2. Mengetahui indikasi varian somaklonal kacang tanah
3. Memperoleh populasi tanaman varian somaklonal hasil seleksi in vitro
4. Memperoleh populasi tanaman varian somaklonal yang toleran terhadap
cekaman kekeringan
5. Menduga mekanisme toleransi tanaman kacang tanah terhadap cekaman
kekeringan secara fisiologis
Pendekatan Masalah dan Strategi Penelitian
Untuk mencapai tujuan tersebut harus dilakukan tahap-tahap seperti
disebut di bawah ini.
1. Mengembangkan populasi embrio somatik (ES) kacang tanah dan varian
somaklonal
2. Mengembangkan teknik seleksi in vitro yang mengandung bahan penyeleksi
yang dapat mensimulasikan kondisi kekeringan di lapang
4
3. Menyeleksi populasi varian dalam media selektif in vitro untuk
mengidentifikasi varian yang toleran terhadap potensial air rendah
4. Meregenerasikan varian yang toleran terhadap potensial air rendah menjadi
populasi tanaman lengkap
5. Mengevaluasi karakter kualitatif dan kuantitatif populasi tanaman yang
diregenerasikan dari ES varian hasil seleksi in vitro untuk mengidentifikasi
adanya variasi di antara populasi tanaman yang diperoleh
6. Mengevaluasi respon tanaman hasil seleksi in vitro terhadap cekaman
kekeringan dengan beberapa pendekatan, untuk mengidentifikasi adanya
tanaman varian yang toleran terhadap cekaman kekeringan
7. Menganalisis secara fisiologis populasi tanaman yang toleran untuk
menentukan mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan.
Untuk dapat melakukan tahap-tahap tersebut dibutuhkan:
1. metode induksi ES dan variasi somaklonal untuk memperoleh ES varian
somaklonal,
2. metode seleksi in vitro untuk mendapatkan ES varian somaklonal yang
toleran cekaman kekeringan,
3. metode regenerasi ES menjadi tanaman lengkap,
4. indikasi adanya varian somaklonal pada karakter kualitatif dan kuantitatif
5. metode evaluasi respon tanaman terhadap cekaman kekeringan, dan
6. metode analisis fisiologis untuk penentuan mekanisme toleransi tanaman
terhadap cekaman kekeringan.
Metode induksi ES kacang tanah yang efektif telah berhasil dikembangkan
menggunakan eksplan leaflet dengan media MS-P16 yaitu media MS (Murashige
– Skoog) ditambah zat pengatur tumbuh golongan auksin yaitu pikloram (amino
trichloropicolinic acid) sebanyak 16 μM/l. Metode ini terbukti cukup efektif
menginduksi ES primer dan sekunder paling tidak untuk 16 kultivar kacang tanah
yang diuji (Nursusilawati 2003).
Penelitian awal untuk mendapatkan metode seleksi dalam rangka
memperoleh galur kacang tanah yang toleran cekaman kekeringan telah
dilakukan dan menunjukkan bahwa pemberian larutan PEG dalam media in vivo
memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan tanaman selama fase vegetatif.
Pada penelitian tersebut penambahan konsentrasi PEG secara gradual
menyebabkan peningkatan efek negatif pada beberapa peubah pertumbuhan
(Nursusilawati 2003). Dari hasil penelitian tersebut dapat dinyatakan bahwa PEG
5
dapat digunakan sebagai bahan penyeleksi kacang tanah dalam kondisi ex vitro
untuk memperoleh tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan, namun
efektivitasnya secara in vitro masih perlu diteliti.
Metode regenerasi tanaman kacang tanah dari ES telah dapat
dikembangkan secara efektif, yang meliputi tahap maturasi, perkecambahan, dan
pengakaran. Maturasi dilakukan dengan menumbuhkan ES dalam media MSAC,
yaitu media MS tanpa fitohormon ditambah active charcoal (arang aktif) 2 g/l
agar ES berkembang sempurna. ES sekunder yang telah mengalami tahap
maturasi kemudian dikecambahkan dalam media MS yang ditambah BAP (6-
benzylamino purine, zat pengatur tumbuh sejenis sitokinin) sebanyak 22 μM
sampai terbentuk tunas. Tunas yang tumbuh dipilih yang mempunyai panjang 2 –
3 cm, kemudian dipindahkan ke media pengakaran yang tersusun dari media MS
ditambah NAA (naphtalene acetic acid, zat pengatur tumbuh sejenis auksin)
sebanyak 10 mg/l selama satu minggu. Setelah itu dipindahkan lagi ke MSAC
dan ditumbuhkan sampai membentuk akar yang sempurna yang biasanya
berlangsung selama 4 minggu. Dalam semua tahap tersebut kultur diinkubasikan
dalam ruang kultur dengan temperatur konstan 24o C dalam kondisi terang terus
menerus. Tunas yang telah berakar akan berkembang menjadi plantlet yang
siap diaklimatisasi (Nursusilawati 2003).
Berdasarkan hal-hal tersebut maka strategi penelitian yang harus dilakukan
adalah sebagai berikut:
1. mengembangkan metode seleksi in vitro dalam rangka memperoleh ES
kacang tanah yang toleran terhadap potensial air rendah dengan mengkaji
pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertumbuhan jaringan kacang tanah
secara in vitro, dan menentukan konsentrasi sub-letal PEG pada sejumlah
kultivar kacang tanah yang dilaporkan sebagai kultivar toleran, medium dan
peka terhadap cekaman kekeringan,
2. menginduksi terjadinya ES sekunder dan varian somaklonal tanpa seleksi
PEG dan meregenerasikannya menjadi tanaman lengkap untuk mengetahui
indikasi varian somaklonal kacang tanah,
3. menginduksi terbentuknya ES sekunder dan varian somaklonal kemudian
menyeleksi dalam media selektif PEG, meregenerasikan untuk memperoleh
populasi tanaman varian somaklonal, dan mengevaluasi karakter kualitatif
dan kuantitatif varian,
6
4. mengevaluasi respon tanaman varian somaklonal terhadap cekaman
kekeringan yang dilakukan secara ex vitro di rumah kaca untuk memperoleh
populasi tanaman varian somaklonal yang toleran terhadap cekaman
kekeringan, dan
5. menganalisis secara fisiologis untuk mengetahui mekanisme toleransi
terhadap cekaman kekeringan.
Penelitian dimulai dengan mengetahui efektitivitas PEG dalam
mensimulasikan cekaman kekeringan dalam media in vitro dengan mengevaluasi
respon tunas dan kecambah sembilan kultivar kacang tanah terhadap
konsentrasi PEG 0%, 5% 10%, 15% dan 20%. Sembilan kultivar kacang tanah
tersebut berdasar penelitian sebelumnya mempunyai tingkat toleransi yang
berbeda, yaitu Singa, Komodo dan Jerapah (toleran), Kelinci, Trenggiling dan
Gajah (medium toleran), Macan dan Simpai (peka) serta Badak yang belum
diketahui tingkat toleransinya terhadap cekaman kekeringan. Kemudian
dilanjutkan dengan mengevaluasi respon ES primer dari empat kultivar kacang
tanah, yaitu Singa, Kelinci, Badak dan Zebra terhadap lima konsentrasi PEG
yang sama seperti percobaan sebelumnya. Empat kultivar tersebut dipilih karena
induksi pembentukan ES relatif mudah dan berbeda tingkat toleransinya
terhadap cekaman kekeringan. Dari percobaan ini dapat diketahui konsentrasi
PEG sub-letal dan metode seleksi in vitro yang efektif. Bersamaan dengan hal
tersebut dilakukan induksi variasi somaklonal pada ES kacang tanah cv. Kelinci
dan Singa karena kedua kultivar tersebut selain mudah diinduksi membentuk ES,
juga mempunyai daya hasil yang relatif tinggi, masing-masing sebesar 2,3 ton/ha
dan 2,6 ton/ha. Sebagian ES diseleksi dalam media seleksi yang telah
dikembangkan sehingga diperoleh ES yang insensitif terhadap cekaman PEG,
kemudian bersama-sama dengan ES yang tidak diseleksi diregenerasikan
menjadi tunas. Jadi pada setiap kultivar terdapat dua populasi tunas kacang
tanah, yaitu tunas yang diseleksi dan yang tidak diseleksi. Tunas-tunas tersebut
diakarkan sehingga diperoleh plantlet. Plantlet dikembangkan melalui
aklimatisasi menjadi tanaman R0. Tanaman R0 ditumbuhkan di rumah kaca
dibiarkan menyerbuk sendiri sehingga diperoleh benih R0-1. Benih kemudian
ditanam di rumah kaca. Tanaman R1 yang diperoleh dibiarkan menyerbuk
sendiri sehingga diperoleh benih R1-2. Selanjutnya benih tersebut ditanam
sehingga didapatkan tanaman R2. Pada setiap generasi tanaman R0, R1 dan R2
dilakukan pengamatan ciri kualitatif dan kuantitatif untuk mengevaluasi
7
terjadinya variasi somaklonal. Sejumlah tanaman R1 dan R2 juga dievaluasi
responnya terhadap cekaman kekeringan dengan penyiraman PEG dan
pengurangan penyiraman. Dari serangkaian percobaan tersebut diharapkan
diperoleh galur yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Galur tersebut
kemudian dievaluasi mekanisme toleransinya secara fisiologis yaitu dengan
mengukur kandungan prolina. Strategi penelitian secara keseluruhan disajikan
pada Gambar 1 berikut.
8
Gambar 1. Diagram alir strategi penelitian dan keterkaitan antar percobaan dari seluruh kegiatan penelitian
PERCOBAAN 1 Evaluasi efektivitas PEG untuk
mensimulasikan cekaman kekeringan
PERCOBAAN 2A Penentuan konsentrasi sub letal PEG
MEDIA SELEKSI IN VITRO
PERCOBAAN 2B Seleksi ES varian dalam media selektif dan regenerasi ES insensitif menjadi
tanaman R0
PERCOBAAN 3A Induksi ES varian somaklonal dan
regenerasinya menjadi tanaman R0
TANAMAN R0 VARIAN TANPA SELEKSI DAN DENGAN SELEKSI (INSENSITIF PEG)
PERCOBAAN 3B Regenerasi tanaman R1 dan R2 serta evaluasi karakter varian pada tanaman R0,
R1 dan R2
KARAKTER VARIAN KUALITATIF DAN
KUANTITATIF
POPULASI TANAMAN VARIAN SOMAKLONAL GENERASI R1 DAN R2
PERCOBAAN 4 Evaluasi toleransi terhadap
cekaman PEG dan mekanisme toleransinya
PERCOBAAN 5 Evaluasi toleransi terhadap cekaman
kekeringan dan mekanisme toleransinya
1) TANAMAN VARIAN TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN 2) MEKANISME TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
Variasi Somaklonal Kacang Tanah
Pengembangan galur tanaman yang mempunyai karakter tertentu dapat
dilakukan apabila di dalam plasma nutfah terdapat materi genetik yang
mengendalikan mekanisme karakter yang diinginkan. Semakin besar keragaman
genetik dalam plasma nutfah, semakin besar pula peluang untuk mendapatkan
materi genetik yang diharapkan. Peningkatan keragaman genetik dapat
dilakukan melalui kultur jaringan. Media kultur jaringan dapat menginduksi
perubahan genetik karena kondisi in vitro memungkinkan pembelahan sel terjadi
sangat cepat sehingga memberi peluang terjadinya error yang tinggi. Dalam
kegiatan pemuliaan perubahan ini justru memberi keuntungan karena
meningkatkan keragaman sifat. Keragaman ini disebut variasi somaklonal (Larkin
dan Scrowcrot 1981, Larkin et al. 1989, Bouharmont 1994, Wikipedia 2006).
Pengembangan keragaman genetik tanaman melalui induksi variasi
somaklonal pada hakekatnya hampir sama dengan pengembangan dengan
teknik mutasi. Tingkat mutasi yang terjadi secara alamiah, buatan maupun
dalam kultur in vitro rata-rata sebesar 0,0001% (Duncan et al. 1995), namun
dibandingkan mutasi alamiah dan buatan, frekuensi terjadinya mutasi pada kultur
in vitro jauh lebih tinggi (Larkin et al. 1989) karena populasi yang ditangani
berjumlah sangat besar. Pada satu botol kultur terdapat jutaan sel dan setiap sel
mempunyai peluang mengalami mutasi atau membentuk sel varian. Keduanya,
teknik mutasi dan induksi variasi somaklonal, menghasilkan tanaman regeneran
dengan perubahan sifat yang menguntungkan ataupun merugikan, namun
perubahan yang merugikan pada variasi somaklonal terbukti lebih sedikit
(Duncan et al. 1995).
Variasi somaklonal merupakan fenomena umum yang dapat terjadi pada
semua sistem regenerasi tanaman yang melibatkan fase kalus. Sebagian besar
variasi somaklonal yang tampak pada tanaman regeneran dihasilkan selama
tahap kultur jaringan. Hal ini dapat dilihat melalui peningkatan frekuensi
kromosom yang abnormal sejalan dengan lamanya kultur. Beberapa variasi yang
terjadi pada tanaman varian mungkin dihasilkan pula dari variasi yang ada pada
eksplan. Perubahan genetik seperti mutasi gen, duplikasi, aneusomatik dan
khimera juga dapat terjadi pada sel atau jaringan tanaman dalam kondisi in vivo.
Oleh karena itu variasi genetik pada tanaman varian merupakan akumulasi dari
10
variasi yang muncul dalam kondisi in vivo dan in vitro. Kontribusi relatif
keduanya mungkin berbeda antar kasus, tergantung pada genotipe tanaman,
tipe kultur, medium kultur, umur kultur dan sebagainya (Larkin dan Scowcroft
1981, Larkin et al. 1989, Wikipedia 2006).
Perubahan genetik selama pertumbuhan dan regenerasi in vitro dapat
terjadi pada genom inti maupun genom organela. Perubahan-perubahan tersebut
ada beberapa tipe, yaitu perubahan jumlah genom (monoploid, diploid, sampai
poliploid), perubahan jumlah kromosom (monosomi, trisomi, tetrasomi atau
nulisomi), perubahan struktur kromosom (translokasi, duplikasi, delesi, inversi,
kromosom disentrik atau telosentrik) dan perubahan struktur DNA yang meliputi
mutasi gen, pindah silang mitotik, metilasi yang mengakibatkan inaktivasi gen,
dan mutasi insersi akibat transposon (Bouharmont 1994, Karp 1995) .
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ada tidaknya dan
intensitas variasi yang dihasilkan dari kultur. Menurut Karp (1995), faktor-faktor
tersebut berasal dari (1) eksplan, yang meliputi tingkat perkembangan eksplan,
jenis eksplan, konstitusi genetik atau genotipe tanaman, dan dari (2) kondisi
kultur, yang meliputi panjang waktu kultur, penambahan zat pengatur tumbuh
dan bahan penyeleksi dalam media kultur. Tingkat perkembangan merupakan
faktor kunci variasi somaklonal. Pada tingkat perkembangan yang belum
terorganisasi mekanisme instabilitas genetik lebih mudah terjadi. Jadi makin
awal tingkat perkembangan eksplan dan makin panjang waktu yang diperlukan
dalam tahap ini, makin besar peluang untuk menghasilkan variasi somaklonal.
Selain itu jenis, paduan dan konsentrasi hormon yang dipakai dalam media
kultur, serta konsentrasi nutrien seperti Ca dan EDTA juga mempengaruhi
terjadinya variasi somaklonal.
Melalui induksi variasi somaklonal diharapkan dapat diperoleh varian
dengan sifat-sifat yang diinginkan dalam jumlah yang memadai. Sepuluh dari 100
varian somaklon pada tembakau mempunyai sifat-sifat agronomi yang positif
(Larkin dan Scowcroft 1981). Pada tanaman gandum regeneran terjadi variasi
somaklonal sebesar 5% untuk sifat morfologi dan biokimia. Karakter tersebut,
baik yang dikendalikan secara monogenik maupun poligenik, terbukti diturunkan
sampai dua generasi (Larkin et al. 1984). Frekuensi variasi somaklonal pada
tanaman kedelai antara lain dipengaruhi oleh konsentrasi auksin dalam media
tumbuh. Pada media dengan 22,5 μM 2.4.D terbentuk varian sebesar 40%,
sedangkan dengan 18 μM terbentuk 3 % dari tanaman regeneran (Shoemaker et
11
al. 1991). Penelitian Claxton et al. (1998) menunjukkan bahwa pada Rorippa
nasturtium-aquaticum terjadi 25% variasi somaklonal dalam beberapa karakter
morfologi dan ploidi. Frekuensi varian somaklonal sebesar 1,0% diketahui terjadi
pada Picea mariana dan 1,6% pada P. glauca, yang dapat dikelompokkan
menjadi 9 tipe sifat morfologi dan fisiologi (Tremblay et al. 1999).
Intensitas perubahan karakter yang tampak pada tanaman varian
somaklonal tidak sama antar kasus. Perubahan tersebut dapat sangat besar
sehingga tanaman tampak abnormal, namun mungkin pula hanya sebagian kecil
sedangkan sebagian besar karakter lain tetap menyerupai induknya. Varian
yang fungsional untuk perbaikan sifat tanaman adalah yang mengalami
perubahan kecil (yang positif/diinginkan) yang bersifat stabil, durable, dan
diwariskan secara Mendelian, dengan tetap mempertahankan sebagian besar
sifat seperti induknya. Hal ini dilaporkan dapat terjadi sehingga variasi
somaklonal memungkinkan untuk mengubah satu atau beberapa karakter
tertentu yang diinginkan dengan tetap mempertahankan karakter unggul yang
dimiliki induk (Hawbaker et al. 1993, Duncan et al. 1995).
Karakter yang berubah pada variasi somaklonal dapat merupakan karakter
morfologi, biokimia, fisiologi maupun molekuler. Variasi morfologi dan fisiologi
yang dihasilkan dari variasi somaklonal yang telah diteliti pada berbagai tanaman
meliputi perubahan ukuran dan warna bunga, warna dan morfologi daun, tinggi
tanaman, resistensi terhadap penyakit dan waktu panen (Wikipedia 2006).
Variasi morfologi dan fisiologi meliputi filotaksis, jumlah anak daun, jumlah
percabangan, sterilitas polen, dan kadar prolin tampak pada somaklon kedelai
(Widoretno 2002). Varian yang tampak pada varian kacang tanah adalah jumlah
cabang, panjang gynofor, jumlah anak daun, dan ukuran polong (Yusnita 2005).
Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Tanaman
Ditinjau dari segi agronomi kekeringan merupakan kondisi ketersediaan air
yang tidak memadai baik jumlah maupun distribusinya, meliputi simpanan air
bawah tanah dan kelembaban tanah, yang terjadi pada sebagian atau
sepanjang siklus hidup tanaman sehingga tanaman tidak dapat mengekspesikan
potensi genetiknya (Mitra 2001). Kekeringan mengakibatkan cekaman osmotik
pada tanaman yaitu mengurangi aktivitas air dan menyebabkan hilangnya turgor
sel. Cekaman osmotik merupakan cekaman multidimensi yang dapat
mempengaruhi aktivitas fisiologi dalam berbagai tingkat organisasi sel dan tahap
12
perkembangan karena air berperan sangat vital dalam kehidupan tanaman. Air
merupakan komponen penting dalam metabolisme, yaitu sebagai komponen
protoplasma, bahan fotosintesis, pelarut sebagian besar senyawa, media
transportasi, pengatur suhu dan faktor yang memungkinkan terjadinya reaksi
kimia. Oleh karena itu pengaruh kekurangan air pada tanaman bersifat sangat
kompleks (Salisbury dan Ross 1992, Blum 1996, Mundree et al. 2002).
Intensitas pengaruh cekaman kekeringan terhadap tanaman ditentukan oleh
tingkat cekaman dan fase pertumbuhan tanaman saat mengalami cekaman.
Cekaman kekeringan dapat mempengaruhi berbagai mekanisme seluler,
biokimia dan fisiologi. Pada tingkat seluler kekeringan mengakibatkan kehilangan
air protoplasmik sehingga konsentrasi ion meningkat, menghambat fungsi-fungsi
metabolik, dan meningkatkan kemungkinan terjadinya interaksi antar molekul
yang dapat menyebabkan denaturasi protein dan fusi membran (Mundree et al.
2002). Selain itu kekeringan menurunkan kandungan klorofil daun, kadar protein
khlorofil dan fotosistem II pada gandum (Shimada et al. 1992; Gaspar et al.
2002), degradasi protein D1 pada pusat reaksi fotosistem II dan kerusakan
membran serta dinding sel (Pieters et al. 2003). Pengaruh kekeringan terhadap mekanisme biokimia dan fisiologi antara lain
menurunkan kecepatan fiksasi dan akumulasi N (Masyudi dan Peterson 1991),
transportasi fotosintat dan transpirasi (Pookpadi et al. 1990; Vieira et al. 1992),
dan kecepatan fotosintesis (Loggini et al. 1999). Menurut Mundree et al (2002)
cekaman kekeringan cenderung merusak sistem transport elektron sehingga
mendorong terbentuknya radikal oksigen bebas (reactive oxygen species atau
ROS) pada organela tempat terjadinya metabolisme yang melibatkan transport
elektron atau yang melakukan oksidasi, yaitu khloroplas, mitokhondria dan
mikrobodi. ROS pada umumnya merusak komponen penting dalam sel seperti
DNA, protein dan lipid, serta mengakibatkan gangguan pada integritas
membran, aktivitas enzim dan struktur intra seluler.
Pengaruh cekaman kekeringan pada tahap perkembangan vegetatif dan
generatif tampak pada berbagai organ. Menurut Blum (1996) kekeringan
berpengaruh terhadap vigor dan pemunculan kecambah di atas tanah, namun
pada kecambah jagung justru meningkatkan diameter akar utama (Schmidhalter
et al. 1998). Kekeringan menurunkan pemanjangan daun (Schmidhalter et al.
1998) dan pertumbuhan primordia daun pertama pada jagung (Zhongjin dan
Neumann 1999), berat kering total organ vegetatif, kecepatan pertumbuhan
13
relatif, dan luas daun Phaseolus vulgaris (Franca et al. 2000), luas helaian
daun, jumlah daun per tanaman, luas daun total per tanaman, dan rasio
akar/batang pada empat spesies Quercus (Fotelli et al. 2000). Cekaman
kekeringan menurunkan bobot biji dan bobot kering polong (Pookpadi et al.
1992), kualitas biji (Franca-Neto et al. 1993), volume bunga dan nektar serta
konsentrasi gula dalam nektar Epilobium angustifolium (Caroll et al. 2001). Pada
jagung cekaman kekeringan menurunkan hasil karena mengurangi efisiensi
penggunaan cahaya (Earl et al. 2003).
Pada kacang tanah kekeringan mempengaruhi penyerapan kalsium oleh
polong dan fiksasi nitrogen. Jika kekeringan terjadi pada tanaman yang telah
mencapai tahap panen, ada kemungkinan biji terkontaminasi oleh aflatoksin yang
mengakibatkan biji beracun dan tidak layak makan baik oleh manusia maupun
ternak (Sharma dan Lavanya 2002, Ham 2004). Vorasoot et al. (2003)
mengemukakan bahwa pada empat kultivar kacang tanah di Thailand kekeringan
berpengaruh pada hasil dan beberapa karakter agronomi. Kekeringan tingkat
sedang (kadar air setengah kapasitas lapang) menurunkan jumlah polong,
jumlah biji per tanaman, ukuran biji dan berat biji. Pada cekaman kekeringan
tingkat tinggi (kadar air ¼ kapasitas lapang) hampir semua polong gugur.
Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan
Mekanisme respon terhadap cekaman kekeringan terjadi melalui proses
signal transduction. Proses tersebut melibatkan reseptor sebagai penerima
signal, phosphoprotein cascade sebagai penghantar signal, dan trans-acting
factor sebagai pengaktif gen yang mengendalikan respon. Pada tanaman
tertentu ABA (absisic acid) berperan sebagai reseptor sekunder yang
menghubungkan reseptor utama di membran dengan phosphoprotein cascade,
namun pada tanaman lain ABA tidak berperan (Mundree et al. 2002).
Menurut Mitra (2001) mekanisme respon terhadap kekeringan dapat
dibedakan menjadi tiga yaitu mekanisme escape (pelarian), avoidance
(ketahanan) dan tolerance (toleransi). Pelarian merupakan kemampuan
tanaman untuk menyelesaikan siklus hidupnya sebelum terjadi cekaman
kekeringan sehingga tidak mengalami cekaman. Ketahanan adalah
kemampuan tanaman untuk mempertahankan potensial air jaringan yang relatif
tinggi pada saat mengalami kekeringan, sedangkan toleransi adalah kemampuan
tanaman untuk bertahan hidup dengan potensial air jaringan yang rendah.
14
Pada umumnya tanaman melakukan lebih dari satu mekanisme respon
dalam waktu yang sama. Mekanisme ketahanan pada berbagai tanaman
merupakan faktor penting dalam menghadapi cekaman kekeringan. Hasil tinggi
di bawah kondisi cekaman kekeringan pada beberapa tanaman tertentu lebih
disebabkan oleh mekanisme ketahanan dibandingkan mekanisme toleransi
cekaman kekeringan (Ndunguru et al. 1995). Ketahanan dilakukan dengan cara
mengurangi kehilangan air lewat daun dan meningkatkan kemampuan akar
dalam menyerap air tanah. Faktor yang memiliki kontribusi pada ketahanan
terhadap cekaman kekeringan adalah (1) pertumbuhan akar yang ekstensif dan
dalam (sering kali menjadi faktor yang paling penting); (2) penutupan stomata
untuk mengurangi kehilangan air; (3) penggulungan daun untuk mengurangi luas
daun yang terpapar lingkungan; (4) deposit lilin pada epicuticular untuk
menghambat kehilangan air (Sullivan 1983).
Mekanisme toleransi juga mempunyai kontribusi yang tinggi dalam
mempertahankan hasil di bawah kondisi cekaman. Pada hakekatnya toleransi
meliputi aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk mencegah atau mengurangi
kerusakan, menjaga kondisi homeostatik, dan mempertahankan agar
pertumbuhan dapat tetap berlangsung meskipun dengan kecepatan yang lebih
rendah. Untuk mencapai tujuan tersebut, aktivitas dalam mekanisme toleransi
dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: (1) detoksifikasi khususnya terhadap ROS
melalui pembentukan protein stres dan osmolit yang kompatibel, (2) menjaga
keseimbangan osmotik, dan (3) regulasi pertumbuhan dengan menurunkan
kecepatan fotosintesis, pembelahan dan pembentangan sel (Mundree et al
2002).
Protein stres yang dibentuk dalam menghadapi cekaman kekeringan dapat
dibedakan menjadi (a) protein fungsional, antara lain berupa enzim kunci
biosintesis osmolit, enzim antioksidan, protein proteksi, dan (b) protein regulator,
antara lain berupa trans acting factor. Osmolit selain berperan dalam
detoksifikasi, juga berperan dalam keseimbangan osmotik yaitu
mempertahankan tekanan turgor sel (Serraj dan Sinclair 2002, Mundree et al
2002).
Respon tanaman terhadap cekaman kekeringan sangat bervariasi tergantung
pada spesies, tingkat cekaman, lamanya cekaman, tahap perkembangan
tanaman ketika terjadi cekaman dan tingkat toleransi tanaman (Mullet dan
Whitshitt 1996). Tanaman toleran mengembangkan mekanisme detoksifikasi
15
terhadap ROS secara efisien dengan membentuk enzim-enzim anti-oksidan
(misalnya katalase, peroksidase, dismutase), membentuk senyawa penghilang
radikal (misalnya karotenoid, askorbat, tokoferol-glutation tereduksi); dan
mengembangkan struktur untuk meminimalkan pembentukan ROS. Pada
tanaman rentan sistem penghilangan radikal cepat jenuh dan akibatnya
kerusakan tidak dapat dihindari (Mundree et al. 2002).
Pada gandum yang mengalami kekeringan terjadi penurunan kandungan
glutation baik pada kultivar yang rentan maupun toleran terhadap kekeringan,
namun kultivar yang rentan menunjukkan peningkatan aktivitas glutation
reduktase (Loggini et al. 1999). Stres kekeringan menginduksi akumulasi ABA
dan meningkatkan pembentukan ROS serta aktivitas enzim-enzim antioksidan
seperti SOD (superoxide dismutase), CAT (catalase), APX (ascorbate
peroxidase) dan GR (gluthatione reductase) pada daun jagung (Mingyi dan
Jianhua 2002).
Detoksifikasi senyawa radikal juga dilakukan dengan pembentukan osmolit
yang kompatibel yang dapat berperan sebagai penghilang radikal, agen
proteksi untuk stabilisasi protein selama cekaman dan pelindung DNA dari efek
degradasi akibat ROS. Selain itu osmolit juga berperan dalam menjaga
homeostasi osmotik agar sel tetap turgor. Oleh karena itu osmolit disebut pula
osmoprotektan. Ada bermacam-macam senyawa osmolit antara lain dari
kelompok polyol (sorbitol), gula (rafinose, sukrose, trehalose), asam amino
(prolin), betain dan komponen lain yang terlarut dalam plasma sel. Molekul gula
selain berperan sebagai osmoprotektan, juga dapat mempertahankan stabilitas
membran sel dengan menjaga permukaan membran dari hidrasi dan mencegah
fusi komponen-komponen membran (Munns 2002, Serraj dan Sinclair 2002).
Osmolit yang dibentuk oleh spesies bersifat spesifik, misalnya alfalfa, padi,
dan canola membentuk prolin (Girousse et al. 1996, Iyer dan Caplan 1998, Gibon
et al. 2000); Populus membentuk protein sejenis dehidrin (Pelah et al. 1997),
prolin dan sukrose (Watanabe et al. 2000); kedelai mengakumulasi pinitol yang
merupakan senyawa inositol (Guo dan Osterhuis 1997) dan prolin (Zheng dan Li
2000; Widoretno 2002); jagung membentuk sukrose (Zinselmeier et al. 1999) dan
prolin (Verslues dan Sharp 1999). Ryegrass yang mengalami kekeringan
mengakumulasi fruktan pada jaringan daun, khususnya pada bagian pelepah
dan dasar daun yang meristematik, tetapi tidak meningkatkan pembentukan
sukrose. Pada akar terjadi sebaliknya, fruktan tidak meningkat sedangkan
16
sukrose mengalami peningkatan (Amiard 2003). Kacang tanah kultivar Jerapah
dan Singa yang sebelumnya dilaporkan toleran, jika mengalami cekaman
kekeringan mengakumulasi prolin jauh lebih besar dibanding kultivar yang
rentan. Kultivar toleran dapat mempertahankan kandungan gula total saat
tercekam kekeringan, sementara pada kultivar rentan kandungan gula total
menurun (Sudarsono et al. 2004).
Homeostasi atau keseimbangan ionik bertujuan untuk mempertahankan
konsentrasi ion di tingkat seluler, jaringan dan tanaman. Hal tersebut dilakukan
dengan menambah jumlah vakuola, mengaktifkan mekanisme pompa ion,
saluran ion, transporter ion dan ATP-ase vakuolar. Konsentrasi ion di sitoplasma
dipertahankan pada rentang tertentu sehingga proses-proses fisiologi normal
dapat dilakukan (Mundree et al. 2002). Pada tanaman yang rentan, jika terjadi
cekaman kekeringan turgor sel turun sehingga menimbulkan hambatan mekanik
pada dinding dan membran sel yang tidak dapat balik. Tetapi pada tanaman
yang toleran, kerusakan mekanik dapat ditanggulangi antara lain dengan
mengurangi volume sel secara signifikan akibat mengerutnya dinding sel, atau
mempertahankan volume sel dengan pembentukan vakuola kecil dalam jumlah
banyak (Mundree et al. 2002).
Regulasi pertumbuhan pada umumnya dilakukan melalui pengaturan
pembukaan stomata dan aktivitas ABA untuk menurunkan intensitas fotosintesis
dan perbanyakan sel. Kultivar kapas yang toleran dapat mempertahankan
konduktan stomata dan fotosintesis seperti tanaman yang tidak mengalami
cekaman sehingga hanya mengalami penurunan potensial osmotik sebesar 20–
25%, sedangkan potensial air tidak nyata menurun. Sebaliknya pada kultivar
yang rentan potensial osmotik relatif tetap, sedangkan potensial air nyata
menurun (Nepomuceno et al. 1998). Pada kultivar buncis yang rentan, stomata
menutup sangat cepat dan menutup sempurna pada potensial osmotik –0,6
MPa, sedangkan pada kultivar yang toleran mekanisme tersebut terjadi pada -0,9
MPa. Akibatnya pada kondisi kekeringan, NAR (net assimilation rate) pada
kultivar toleran lebih tinggi dibanding kultivar rentan (Franca et al. 2000).
Jagung mempertahankan proses pemanjangan akar pada saat kekeringan
melalui perubahan beberapa mekanisme penting dari homeostasi ion. Akumulasi
ABA memainkan peranan penting dalam pengaturan proses transpor ion (Ober
dan Sharp 2003).
17
Pada kacang tanah di Argentina terdapat perbedaan dalam hal kemampuan
penyerapan air dan efisiensi penggunaan air antara varitas yang toleran dengan
yang rentan terhadap kekeringan. Dibandingkan varitas rentan, varitas toleran
menyerap lebih banyak air selama periode kekeringan karena kemampuannya
‘menghabiskan’ air tanah yang sangat tinggi. Selain itu akibat tahap
perkembangan peg (calon polong) yang berlangsung lebih awal mengakibatkan
polong segera dapat masuk ke lapisan tanah, sehingga meningkatkan
pembagian asimilat ke polong. Akibatnya produksi polong lebih tinggi
dibandingkan varitas rentan (Collino et al. 2000).
Seleksi In vitro untuk Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan
Variasi somaklonal terjadi secara acak dan tidak terarah, sehingga untuk
memperoleh variasi yang diinginkan perlu dilakukan seleksi. Seleksi semacam
ini sangat bermanfaat untuk memperbaiki karakter toleransi terhadap cekaman
lingkungan (Skirvin et al. 2001). Seleksi dilakukan secara in vitro dalam media
yang mengandung bahan selektif yang efektif, yaitu bahan yang dapat
mensimulasikan kondisi yang diinginkan dengan tepat, yang efektivitasnya dapat
dilihat dari kemampuan bahan tersebut memisahkan varian yang diinginkan
dengan yang tidak diinginkan.
Dalam mekanisme seleksi in vitro terdapat dua pendekatan utama, yaitu
seleksi positif dan seleksi negatif. Seleksi positif hanya memungkinkan sel-sel
varian dengan sifat yang diinginkan hidup dan berkembang, sedangkan sel-sel
dengan sifat yang tidak diinginkan akan mati karena tekanan bahan selektif.
Sebaliknya pada seleksi negatif, sel-sel dengan sifat yang tidak diinginkan dapat
hidup dan membelah terus menerus sehingga justru akan mati akibat tekanan
bahan seleksi, sedangkan sel varian dengan sifat yang diinginkan tetap hidup
tetapi tidak mampu membelah sehingga terhindar dari tekanan bahan seleksi.
Sel ini kemudian dipindahkan ke media penyelamatan (Wikipedia 2006).
Pendekatan seleksi positif dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu
seleksi langsung, seleksi dengan penyelamatan, seleksi ganda dan seleksi
bertahap. Dalam seleksi langsung, sel varian dengan sifat yang diinginkan dapat
hidup dan berkembang membentuk koloni, sebaliknya sel yang tidak diinginkan
mati akibat tekanan bahan selektif. Seleksi dengan penyelamatan hampir sama
dengan seleksi langsung. Meskipun sel dengan sifat yang diinginkan hidup tetapi
tidak mampu membelah akibat tekanan media selektif sehingga harus
18
dipindahkan ke media non selektif dalam rangka recovery. Seleksi ganda pada
prinsipnya juga hampir sama dengan seleksi langsung. Sel-sel yang diinginkan
tidak hanya sel yang mampu hidup dan membelah saja, melainkan juga yang
mempunyai karakter visual tertentu. Dalam seleksi bertahap, konsentrasi bahan
selektif dinaikkan secara gradual dari konsentrasi yang relatif rendah hingga
konsentrasi yang bersifat sub-letal. Sel yang tahan pada media dengan tekanan
seleksi tertentu, diseleksi lagi dalam media dengan tekanan seleksi yang lebih
tinggi sampai diperoleh sel yang hidup dan mampu membelah dalam media
selektif dengan konsentrasi tinggi (Wikipedia 2006).
Seleksi in vitro menuntut penggunaan bahan selektif yang dapat
mensimulasi kondisi ex vitro secara tepat. Senyawa PEG (polyethylene glycol)
diketahui merupakan senyawa yang dapat mensimulasi kondisi kekeringan
dengan tepat karena merupakan senyawa yang terlarut sempurna dalam air.
PEG merupakan polimer etilen oksida (-CH2-O-CH2-). Dalam rantai polimer PEG
kekuatan matriks monomer etilen oksida merupakan faktor penting yang
mengontrol potensial air. Atom oksigen pada monomer tersebut dapat mengikat
molekul air melalui ikatan hidrogen, sehingga energi bebas H2O secara
proporsional menurun sesuai panjangnya rantai polimer PEG (Steuter et al.
1981). Akibatnya penurunan potensial air dapat terjadi secara homogen.
Meskipun kekuatan osmotik juga muncul, kekuatan matriks merupakan
komponen utama potensial air dalam larutan PEG. Oleh karena itu PEG lebih
berperan sebagai matrikum daripada sebagai osmotikum sehingga penurunan
potensial air dalam media yang mengandung PEG sesuai dengan penurunan
potensial air dalam tanah yang mengalami cekaman kekeringan.
PEG tersedia dalam kisaran berat molekul (BM) yang cukup luas sampai
dengan BM 20.000. Michel dan Kaufmann (1973) menyatakan bahwa PEG 6000
paling tepat digunakan untuk penelitian dengan tanaman jika dibandingkan PEG
dengan BM yang lebih rendah. Penggunaan PEG dengan BM sama atau lebih
dari 6000 dalam jangka panjang tidak menyebabkan terserapnya PEG ke
jaringan tanaman. Hal tersebut berdasarkan hasil penelitian Chazen dan
Neumann (1994) yang memperlihatkan bahwa PEG 6000 tidak dapat masuk ke
jaringan, karena menurut Hardegree dan Emmerich (1992) dinding selulosa
hanya dapat mengeksklusi atau menginklusi molekul maksimal dengan BM 3500.
Berdasarkan hal tersebut penambahan PEG 6000 dalam media kultur dapat
merupakan agen seleksi kekeringan yang efektif. Besarnya penurunan potensial
19
air tergantung pada konsentrasi dan BM PEG, makin tinggi konsentrasi dan BM
makin besar penurunan yang terjadi (Michel dan Kaufmann 1973; Steuter et al.
1981).
Efektivitas penggunaan PEG untuk mensimulasikan kondisi kekeringan
secara in vitro dapat dievaluasi dengan mengamati pengaruh konsentrasi PEG
terhadap pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa perlakuan konsentrasi larutan PEG berpengaruh nyata terhadap peubah
perkecambahan benih (Verslues et al. 1998; Zhongjin dan Neumann 1999;
Widoretno et al. 2002). Penyiraman PEG secara in vivo juga telah terbukti
dapat digunakan untuk menapis respon kacang tanah terhadap cekaman
kekeringan (Nursusilawati 2003). Penggunaan PEG dalam media in vitro
dilaporkan dapat menapis ketahanan terhadap stres kekeringan pada anggur
(Dami dan Hughes 1997), Tagetes minuta (Mohamed et al. 2000) dan kedelai
(Widoretno et al. 2002).
III. EFEKTIVITAS POLIETILENA GLIKOL 6000 SEBAGAI BAHAN PENYELEKSI SIFAT TOLERANSI
KACANG TANAH TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN DALAM MEDIA IN VITRO *)
Abstrak Penelitian bertujuan menguji efektivitas PEG sebagai bahan penyeleksi
dalam media in vitro dengan mengevaluasi respon kecambah dan tunas kacang tanah terhadap kondisi cekaman oleh PEG, menentukan konsentrasi PEG yang efektif menghambat pertumbuhan dan perkembangan jaringan, serta perubahan kandungan prolina total jaringan akibat cekaman PEG. Tiga macam organ dari sembilan kultivar kacang tanah, yaitu kecambah, TDK (tunas dari pertumbuhan sumbu embrio dengan kotiledon) dan TTK (tunas dari pertumbuhan sumbu embrio tanpa kotiledon) digunakan sebagai eksplan. Eksplan ditanam dalam media MS-0 cair dengan penambahan PEG (0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%) dan diamati pertumbuhan serta perkembangannya selama 6 – 8 minggu. Pada saat panen dilakukan pengamatan terhadap panjang epikotil, panjang akar primer, jumlah akar cabang, jumlah daun sempurna, bobot basah dan kering kecambah; pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun, tingkat kerusakan dan kandungan prolina jaringan tunas. Hasil percobaan menunjukkan penambahan larutan PEG ke dalam media MS-0 menghambat pertumbuhan kecambah dan perkembangan tunas. Meningkatnya konsentrasi PEG menurunkan semua peubah pertumbuhan, tetapi meningkatkan skor kerusakan tunas dan kandungan prolina. Sembilan kultivar kacang tanah yang diuji memberikan respon yang berbeda terhadap perlakuan konsentrasi PEG. Kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah menunjukkan respon toleran; kacang tanah cv. Kelinci dan Gajah menunjukkan respon medium; sedangkan kacang tanah cv. Trenggiling, Macan, Simpai dan Badak menunjukkan respon peka terhadap cekaman kekeringan. Dari hasil percobaan disimpulkan bahwa penambahan larutan PEG dalam media in vitro memberikan kondisi cekaman yang ditandai dengan terhambatnya perkembangan eksplan dan peningkatan kandungan prolina dalam jaringan seperti respon terhadap cekaman kekeringan. Konsentrasi PEG 15% efektif menghambat pertumbuhan dan perkembangan jaringan eksplan. Respon kecambah dan tunas terhadap medium yang mengandung PEG 15% dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk menapis toleransi kacang tanah terhadap kekeringan. Kecambah, TDK maupun TTK dapat digunakan sebagai eksplan, dan pertambahan tinggi (TTK), pertambahan jumlah daun (TDK dan TTK), jumlah daun layu (TDK dan TTK), jumlah akar (TDK), dan skor kerusakan tunas TDK dapat digunakan sebagai kriteria toleransi terhadap kekeringan. Kata kunci : respon cekaman kekeringan, seleksi in vitro, cekaman PEG,
prolina total *) Bagian dari disertasi ini telah diterbitkan dalam jurnal ilmiah terakreditasi
BERKALA PENELITIAN HAYATI 11 (1): 39-48. Desember 2005
21
Abstract
The objectives of this experiments were to evaluate the effectiveness of polyethylene glycol (PEG)-6000 as in vitro selective agent, determine response of seedling and epycotyl of nine peanut cultivars against PEG-6000 induced stress under in vitro conditions, effective concentration of PEG to inhibit growth and development of seedling and epycotyl, evaluate tolerance of the cultivars against PEG stress, and evaluate changes in total proline content due to PEG stress. Seedling, growing epycotyls from nine peanut cultivars seeds (TDK) or from embryo axis (TTK) were planted on liquid MS-0 medium containing PEG 6000 (0%, 5%, 10%, 15%, and 20%). Growth, development, and the tissue damage score of the epycotyl were observed after six weeks. Total content of proline were analyzed for stressed and non stressed epycotyl to determine effect of PEG stress on proline accumulation. Results of the experiment indicated that addition of PEG 6000 in to MS-0 medium inhibited growth and development of peanut seedling and epycotyl, and increased the tissue damage score and total proline content of epicotyl. Addition of PEG 6000 might be used to simulate drought stress under in vitro condition. PEG at 15% concentration was effective for inhibiting growth and development of epycotyl explant. The response of peanut epycotyls against medium containing 15% PEG 6000 might be used as alternative methods for screening peanut tolerance against drought stress. The TDK and TTK might be used as explant, while increased in shoot length (TTK), in leaf number (TDK and TTK), in milted leaf number (TDK and TTK), in root number (TDK) and score of tissue damage (TDK) might be used as criteria for drought tolerance. Keywords: drought stress response, in vitro selection, PEG induced stress, total
proline content
22
Pendahuluan
Ketersediaan air merupakan faktor pembatas utama dalam budi daya
tanaman. Pada genotipe tanaman yang toleran cekaman kekeringan, penurunan
daya hasil akibat cekaman tidak sebesar yang terjadi pada genotipe peka
sehingga penggunaan genotipe yang toleran mempunyai arti penting dalam
budidaya tanaman di lahan kering.
Untuk menghadapi cekaman kekeringan, pada umumnya tanaman
melakukan mekanisme avoidance (ketahanan) dengan cara meningkatkan
pertumbuhan biomasa akar untuk menjangkau kedalaman tanah yang kadar
airnya lebih tinggi (Monneaux dan Belhassen, 1996), tetapi mekanisme ini
kurang efektif karena pertumbuhan biomasa akar yang berlebihan dapat
menurunkan daya hasil tanaman. Mekanisme toleransi terhadap cekaman
kekeringan yang tidak berpengaruh negatif terhadap daya hasil lebih diinginkan
dibandingkan dengan mekanisme ketahanan.
Genotipe kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan relatif
terbatas jumlahnya (Hidajat et al. 1999), sehingga pengembangan plasma nutfah
dengan sifat toleran masih perlu dilakukan. Seleksi in vitro dapat menjadi
alternatif cara untuk mengembangkan plasma nutfah kacang tanah yang toleran
cekaman kekeringan.
Penggunaan seleksi in vitro untuk mendapatkan plasma nutfah kacang
tanah yang toleran cekaman kekeringan memerlukan tersedianya teknik kultur
jaringan yang efektif untuk menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak dan
untuk menginduksi variasi somaklonal. Selain itu, selective agent yang dapat
menapis sel/jaringan varian dengan sifat toleran diantara sel/jaringan yang peka
cekaman kekeringan perlu tersedia. Manitol, sorbitol, garam, dan polietilena
glikol (PEG) telah digunakan sebagai bahan penyeleksi dalam seleksi in vitro
untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan (Gulati dan Jaiwal 1993,
Rajashekar et al. 1995, Dami dan Hughes 1997).
Senyawa PEG merupakan senyawa yang dapat menurunkan potensial
osmotik larutan melalui aktivitas matriks sub-unit etilena oksida yang mampu
mengikat molekul air dengan ikatan hidrogen. Penyiraman larutan PEG ke dalam
media tanam diharapkan dapat menciptakan kondisi cekaman karena
ketersediaan air bagi tanaman menjadi berkurang. Ukuran molekul dan
konsentrasi PEG dalam larutan menentukan besarnya potensial osmotik larutan
yang terjadi. Menurut Michel dan Kaufmann (1973), larutan PEG 6000 dengan
23
konsentrasi 5% mempunyai potensial osmotik -0,13 MPa (1,26 bar) sedangkan
konsentrasi 20% mempunyai potensial osmotik -0,71 MPa (7,06 bar). Tanah
dalam kondisi kapasitas lapang mempunyai potensial osmotik 0,33 bar dan
dalam kondisi titik kelembaban kritis (koefisien layu) mempunyai potensial
osmotik 15 bar. Penggunaan larutan PEG 6000 dengan konsentrasi 5%-20%
diharapkan dapat menciptakan potensial osmotik yang setara dengan kondisi
tanah kapasitas lapang dan titik kelembaban kritis.
Sebagai bahan penyeleksi, PEG 6000 dilaporkan lebih unggul
dibandingkan manitol, sorbitol, atau garam karena tidak bersifat toksik terhadap
tanaman (Verslues et al. 1998), tidak dapat diserap oleh sel akar (Chazen dan
Neumann 1994), dan secara homogen menurunkan potensial osmotik larutan.
Penambahan larutan PEG dalam media in vitro diharapkan dapat mensimulasi
kondisi cekaman kekeringan. Eksplan yang ditanam dalam media selektif
dengan penambahan PEG diharapkan memberikan respon yang sama dengan
yang mengalami cekaman kekeringan. Evaluasi untuk menentukan respon
eksplan kacang tanah terhadap cekaman PEG dalam media in vitro perlu
dilakukan sebagai langkah awal penggunaan PEG dalam seleksi in vitro.
Salah satu respon tanaman terhadap cekaman kekeringan adalah
meningkatkan kandungan osmolit dalam sel, antara lain dengan
mengakumulasikan senyawa prolina (Mundree et al. 2002). Enam kultivar
kacang tanah Indonesia yang diuji juga menunjukkan peningkatan akumulasi
senyawa prolina sebagai respon terhadap cekaman kekeringan (Sudarsono et al.
2004). Terjadinya peningkatan kandungan prolina jaringan eksplan kacang tanah
yang ditanam dalam media dengan penambahan PEG dapat digunakan sebagai
indikator kemampuan senyawa PEG untuk mensimulasikan cekaman kekeringan
dalam media in vitro.
Penelitian bertujuan menguji efektivitas PEG sebagai bahan penyeleksi
dalam media in vitro dengan mengevaluasi respon kecambah dan tunas
sembilan kultivar kacang tanah Indonesia terhadap kondisi cekaman oleh PEG,
menentukan konsentrasi PEG yang efektif menghambat pertumbuhan dan
perkembangan eksplan, mengevaluasi toleransi sembilan kultivar kacang tanah
yang diuji terhadap cekaman PEG dan perubahan kandungan prolina total
jaringan akibat cekaman PEG.
24
Bahan dan Metode
Bahan Tanaman dan Perlakuan PEG
Bahan tanaman terdiri atas benih sembilan kultivar, yaitu kacang tanah cv.
Singa, Komodo, dan Jerapah yang dilaporkan toleran terhadap cekaman
kekeringan (Hidajat et al. 1999, Nursusilawati 2003), Kelinci, Trenggiling dan
Gajah yang bersifat medium toleran, Simpai dan Macan yang dilaporkan peka
terhadap cekaman kekeringan (Nursusilawati 2003) serta Badak yang belum
diketahui responnya terhadap cekaman kekeringan. Benih diperoleh dari Balai
Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika (Balitbiogen) Bogor.
Konsentrasi PEG yang ditambahkan dalam media in vitro terdiri atas 0%,
5%, 10%, 15% dan 20%; yang masing-masing setara dengan potensial
osmotik 0; -0,13; -0,19; -0,41 dan -0,67 MPa (Michel dan Kaufmann 1973).
Perkecambahan dan Pertumbuhan Tunas
Pada sebagian percobaan, poros embrio yang diisolasi dari benih kacang
tanah steril, dikecambahkan pada media MS-0 (Murashige and Skoog 1962,
tanpa zat pengatur tumbuh tanaman) padat, diinkubasikan dalam ruang kultur
bersuhu 25oC dan penyinaran 1000 lux selama 24 jam (untuk selanjutnya
inkubasi dalam ruang kultur selalu dilakukan dengan kondisi tersebut, kecuali
dinyatakan lain). Kecambah dengan panjang epikotil 1 cm digunakan sebagai
eksplan tipe I (eksplan kecambah). Pada sebagian percobaan yang lain, benih
(poros embrio beserta kotiledon) dikecambahkan, epikotil yang tumbuh dipotong
2 cm dari ujung dan digunakan sebagai eksplan tunas kacang tanah tipe II
(eksplan TDK, tunas dari benih dengan kotiledon). Pada percobaan berikutnya,
poros embrio dikecambahkan, epikotil dipotong 2 cm dari ujung dan digunakan
sebagai eksplan tunas kacang tanah tipe III (eksplan TTK, tunas dari poros
embrio tanpa kotiledon).
Respon Eksplan terhadap Cekaman PEG Percobaan dilakukan dengan rancangan acak lengkap dua faktor, yaitu
sembilan kultivar dan lima konsentrasi PEG. Unit percobaan terdiri atas satu
botol kultur yang ditanami empat eksplan kecambah, atau dua TDK, atau dua
TTK. Untuk setiap kombinasi perlakuan diulang lima kali.
Media yang digunakan terdiri atas media MS-0 cair ditambah PEG 6000
dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%. Media sebanyak 35 ml
dituangkan dalam botol kultur (volume 150 ml) dan di atasnya diletakkan
berturut-turut satu lembar busa sintetis, kertas saring dan satu lembar busa yang
25
kedua, kemudian disterilkan. Eksplan tipe I, tipe II atau tipe III ditanam dalam
lubang berdiameter 2 mm pada lapisan busa yang kedua (Gambar 2). Kultur
dipelihara selama enam minggu.
Pengamatan dan Analisis Data Pengamatan dilakukan terhadap beberapa peubah pertumbuhan
kecambah, yaitu panjang epikotil, panjang akar primer , jumlah akar cabang,
jumlah daun yang membuka sempurna, bobot basah, bobot kering, persentase
kecambah yang epikotilnya tumbuh (PET), persentase kecambah yang akar-
cabangnya tumbuh (PAT), dan persentase kecambah yang daunnya tumbuh
sempurna (PDT). Panjang epikotil diukur dari pangkal kotiledon hingga ujung
epikotil.
Bobot kering ditimbang setelah kecambah disimpan dalam oven dengan
suhu 70oc selama tiga hari. PET dan PAT berturut-turut dihitung dengan
menentukan rasio antara jumlah kecambah yang epikotil atau akar cabangnya
tumbuh dengan jumlah kecambah yang ditanam. Epikotil dianggap tumbuh bila
panjangnya lebih dari satu sentimeter, sedang akar cabang dianggap tumbuh
bila terdapat minimal satu akar cabang dengan panjang ≥ 0.5 cm. PDT
ditentukan dengan menghitung rasio antara kecambah yang minimal satu
daunnya tumbuh membuka sempurna dengan seluruh kecambah yang ditanam.
Gambar 2. Media selektif berupa media cair MS (Murashige-Skoog 1962) tanpa
zat pengatur tumbuh (MS-0) dengan penambahan berbagai konsentrasi PEG 6000. (a) Eksplan tunas kacang tanah kultivar Macan yang ditanam pada media selektif dengan penambahan PEG 15%. (b) Eksplan tunas kacang tanah cv. Singa yang ditanam pada media selektif dengan penambahan PEG 15%, setelah dibuka penutupnya. 1. lembaran busa pertama, 2. kertas saring, 3. lembaran busa kedua, dengan lubang untuk menanam eksplan tunas, 4. eksplan tunas yang mati setelah enam minggu ditanam dalam media selektif dengan PEG 15%, 5. eksplan tunas yang tumbuh normal setelah enam minggu dalam media selektif dengan PEG 15%.
4
3 2 1
5
3 2 1
( (a) (b)
26
Gambar 3. Kriteria penentuan skor kerusakan eksplan tunas kacang tanah setelah ditanam dalam media selektif selama enam minggu. (a) skor 0: tunas sehat, terjadi kerusakan < 5% dan eksplan tunas mampu berakar, (b) skor 1: terjadi kerusakan 5% - 25% pada daun atau sebagian batang, (c) skor 2: terjadi kerusakan 25% - 50% pada daun dan sebagian batang, (d) skor 3: terjadi kerusakan 50% - 75% pada daun dan sebagian atau seluruh batang, dan (e) skor 4: terjadi kerusakan > 75% pada daun dan seluruh batang, tunas telah mati
Pertumbuhan dan perkembangan eksplan TDK dan TTK diamati dengan
mencatat pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun, jumlah daun yang
layu, jumlah akar cabang yang terbentuk, dan tingkat kerusakan tunas. Tingkat
kerusakan tunas diukur dengan sistem skoring (Gambar 3), yaitu: skor 0 (eksplan
mengalami kerusakan <5%), skor 1 (kerusakan antara 5%-25%), skor 2
(kerusakan antara 25%-50%), skor 3 (kerusakan antara 50%-75%), dan skor 4
(kerusakan >75%).
Pengukuran Kandungan Prolina Jaringan Eksplan
Pada akhir pengamatan, tunas TTK yang tumbuh dalam media selektif
dipanen dan dikeringkan selama 1 minggu dalam kantong plastik yang berisi
silica gel. Contoh tanaman dari satu perlakuan yang sama yang telah kering
dijadikan sebagai contoh komposit, disimpan dalam kantong plastik bersegel,
diberi label sesuai perlakuan, dan disimpan dalam freezer (-20oC) hingga saat
dilakukan analisis kandungan prolina.
Analisis kandungan prolina dilakukan menggunakan metode yang
dikembangkan oleh Bates et al. (1973). Sekitar 0,5 g jaringan contoh digerus
dalam mortar porselin, dihomogenisasi dengan 10 ml asam sulfosalisilat 3%, dan
disaring dengan kertas saring Whatman no. 42. Sebanyak 2 ml filtrat yang
(a) (b)
(c) (d) (e)
27
didapat direaksikan dengan campuran asam ninhidrin 2 ml dan asam asetat
glasial 2 ml dalam tabung reaksi. Campuran dipanaskan hingga 100oC dalam air
mendidih selama 1 jam dan didinginkan dalam air es selama 5 menit. Setelah
dingin, larutan diekstraksi menggunakan toluena 4 ml dan dihomogenisasi
selama 15-20 detik menggunakan vorteks sampai terbentuk kromofor berwarna
merah jambu hingga merah. Kromofor yang terbentuk diukur absorbansinya
pada panjang gelombang 520 nm.
Untuk menentukan konsentrasi kandungan prolina digunakan kurva
standar menggunakan larutan prolina dengan konsentrasi antara 0 -1,0 µg.
Prolina dalam larutan standar diekstraksi dengan cara yang sama sebagaimana
yang dilakukan untuk jaringan tunas kacang tanah. Kandungan prolina jaringan
dinyatakan dalam µg/g bobot jaringan kering.
Hasil
Respon Eksplan Kecambah terhadap Cekaman PEG PET kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah yang dilaporkan toleran
cekaman kekeringan, nyata menurun pada konsentrasi PEG 15%, 10% dan 5%.
Untuk kacang tanah cv. Kelinci dan Trenggiling (medium toleran) masing-masing
mengikuti pola seperti Singa dan Komodo, sedangkan PET Gajah (medium),
Simpai (peka) dan Badak mengikuti pola seperti Jerapah. Pada kacang tanah cv.
Singa dan Komodo (yang dilaporkan toleran) serta Trenggiling (medium toleran)
PDT menurun nyata pada konsentrasi PEG 10% (Tabel 1).
Penurunan PDT kacang tanah cv. Kelinci (medium) terjadi pada
konsentrasi PEG 15%; sedangkan untuk Simpai (peka), Jerapah, Gajah, Macan
dan Badak penurunan terjadi pada konsentrasi PEG 5%. PAT untuk kacang
tanah cv. Singa dan Komodo (toleran), serta Kelinci dan Trenggiling (medium)
nyata menurun pada konsentrasi PEG 15%, untuk Simpai (peka) nyata menurun
pada konsentrasi PEG 5% (Tabel 1).
Panjang epikotil kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah yang pada
penelitian sebelumnya diidentifikasi toleran serta Kelinci dan Trenggiling
(medium toleran) menurun bertahap sejalan dengan meningkatnya konsentrasi
PEG, namun pada Gajah (medium), Simpai (peka), Macan dan Badak
peningkatan konsentrasi PEG 10%, 15% dan 20% tidak lagi menyebabkan
penurunan panjang epikotil yang signifikan (Tabel 2).
28
Tabel 1. Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap PET, PDT dan PAT dari sembilan kultivar kacang tanah
Konsentra-
si PEG (%)
Peubah pertumbuhan dan perkembangan eksplan kecambah kacang tanah
Sng Kmd Jrph Klc Gjh Trg Smp Mcn Bdk PET (Persentase kecambah dengan panjang epikotil > 1 cm)
0 100 100 100 100 100 100 98 100 1005 100 71 5 100 45 100 0 34 9
10 100 8 0 94 0 40 0 22 015 8 0 0 41 0 35 0 4 020 0 0 0 17 0 0 0 0 0
PDT (Persentase kecambah dengan daun membuka > 1) 0 100 100 100 100 100 100 40 100 905 85 75 0 100 0 95 0 10 50
10 65 40 0 80 0 50 0 0 2515 0 0 0 10 0 10 0 0 2020 0 0 0 5 0 0 0 0 0
PAT (Persentase kecambah dengan akar cabang > 1) 0 100 100 100 100 100 100 100 100 1005 100 100 95 100 65 100 20 95 95
10 100 100 55 100 35 100 0 0 9515 45 20 0 100 20 50 0 0 6520 20 10 0 95 0 0 0 0 20
Keterangan : PET : Persentase kecambah dengan panjang epikotil > 1 cm, PDT : Persentase kecambah dengan daun membuka > 1, PAT : Persentase kecambah dengan akar cabang > 1
Pada peubah pertumbuhan akar cabang dan daun sempurna, kacang
tanah cv. Singa dan Komodo yang dilaporkan toleran serta Kelinci dan
Trenggiling (medium toleran) menunjukkan pola penurunan yang sama dengan
pola penurunan pertumbuhan epikotil. Untuk kacang tanah cv. Simpai dan
Macan masing-masing mulai konsentrasi PEG 5% dan 10% tidak mampu
membentuk akar cabang dan daun sempurna (Tabel 2, Gambar 5).
Untuk kacang tanah cv. Singa dan Komodo yang dilaporkan toleran
cekaman kekeringan, penurunan nyata panjang akar primer terjadi pada
perlakuan PEG 15% dan Jerapah (toleran) pada konsentrasi PEG 5%. Untuk
kacang tanah cv. Kelinci (medium toleran) penurunan nyata panjang akar primer
terjadi pada perlakuan PEG 15%, Gajah dan Trenggiling (medium toleran) serta
Badak pada konsentrasi PEG 10%, sedangkan Simpai (peka) pada perlakuan
5% (Tabel 2). Bobot basah dan kering kecambah juga dipengaruhi oleh
konsentrasi PEG (data tidak ditampilkan). Pada hampir semua kultivar kedua
peubah tersebut menurun sejalan dengan meningkatnya konsentrasi PEG,
dengan pola penurunan yang sama antar kultivar.
29
Tabel 2. Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap panjang epikotil, panjang akar primer, jumlah akar cabang dan jumlah daun kecambah sembilan kultivar kacang tanah serta nilai relatifnya terhadap perlakuan PEG 0%
Kultivar Peubah pertumbuhan dan perkembangan eksplan kecambah kacang tanah dan nilai relatif (%) terhadap perlakuan PEG 0%
0 5 10 15 20 Panjang epikotil (cm)
Singa 3,4 a (100) 1,4b (41) 1,4 b (41) 0,2 c ( 6 ) 0,1 c ( 3 ) Komodo 1,7 a (100) 0,9 b (53) 0,3 c (18) 0,2 c (12) 0,1 c ( 6 ) Jerapah 2,8 a (100) 0,5 b (18) 0,1 b ( 4 ) 0,1 b ( 4 ) 0,0 b ( 0 ) Kelinci 3,9 a (100) 2,4 b (62) 1,4 c (36) 0,6 d (15) 0,4 d ( 0 ) Gajah 1,4 a (100) 0,5 b (36) 0,1 b ( 7 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Trenggiling 1,9 a (100) 1,2 b (63) 0,5 c (26) 0,5 c (26) 0,0 d ( 0 ) Simpai 2,7 a (100) 0,2 b ( 7 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Macan 3,6 a (100) 0,5 b (14) 0,3 b ( 8 ) 0,3 b ( 8 ) 0,0 b ( 0 Badak 1,3 a (100) 0,4 b (31) 0,2 b (15) 0,4 b (31) 0,0 b ( 0 )
Panjang akar primer (cm)Singa 4,1 a (100) 4,2 a 3,9 a (95) 2,7 b ( 66) 0,7 c (17) Komodo 1,9 a (100) 2,0 a (105) 1,6 b (84) 1,1 b ( 58) 1,1 b (58) Jerapah 6,6 a (100) 5,0 b (132) 2,3cd (46) 3,2 c ( 64) 2,0 d (40) Kelinci 5,2 a (100) 5,1 a ( 98 ) 4,8 a (92) 4,3 b ( 83) 1,7 c (33) Gajah 8,4 a (100) 9,3 a (111) 2,9 b (35) 3,5 b ( 42) 0,0 c ( 0 )Trenggiling 10,1a (100) 9,7 a ( 96 ) 7,6 b (75) 6,4 b ( 63) 2,0 c (20) Simpai 6,4 a (100) 1,7 b ( 76 ) 1,3 b (82) 1,4 b ( 6 ) 0,1 c ( 0 ) Macan 4,3 a (100) 2,5 b ( 58 ) 0,5 c (12) 0,5 c ( 12) 0,4 c ( 9 )Badak 3,3 a (100) 2,9 a ( 88 ) 2,0 b (61) 1,6 c ( 48) 1,3 b (39)
Jumlah akar cabangSinga 15,5a (100) 8,3 b ( 54 ) 3,2cd ( 21) 1,0 d ( 6 ) 0,5 d ( 3 )Komodo 9,2 a (100) 6,3 b ( 68 ) 4,4 b ( 48) 0,3 c ( 3 ) 0.1 c ( 1 ) Jerapah 8,6 a (100) 5,5 b ( 64 ) 2,8 c ( 33) 0 d ( 0 ) 0,0 d ( 0 ) Kelinci 18,1a (100) 8,9 b ( 49 ) 7,6 b ( 42) 6,9 b (38) 3,1 c ( 17)Gajah 8,3 a (100) 4,0 b ( 48 ) 3,8 b ( 46) 2,9 c (35) 0.8 c ( 10) Trenggiling 10,6a (100) 6,5 b ( 61 ) 5,5 b ( 52) 2,3 c (22 ) 0,0 c ( 0 ) Simpai 6,4 a (100) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 )Macan 13,4a (100) 4,8 b ( 36 ) 0,0 c ( 0 ) 0 c ( 0 ) 0,0 c ( 0 ) Badak 6,1 a (100) 4,0 b ( 66 ) 3,8 b ( 62) 2,9bc (48) 0,8 c ( 13)
Jumlah daun yang membuka sempurnaSinga 3,5 a (100) 1,8 b (51) 1,3 b (37) 0,0 c ( 0 ) 0,0 c ( 0 ) Komodo 2,4 a (100) 1,5 b (63) 0,8 b (33) 0,0 c ( 0 ) 0,0 c ( 0 ) Jerapah 3,3 a (100) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Kelinci 3,2 a (100) 2,6 b (81) 1,4 b (44) 0,2 c ( 6 ) 0,1 c ( 3 ) Gajah 3,8 a (100) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Trenggiling 3,4 a (100) 1,9 b (56) 1,0 c (29) 0,0 d ( 0 ) 0,0 d ( 0 ) Simpai 1,2 a (100) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Macan 4,2 a (100) 0,2 b ( 5 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Badak 1,8 a (100) 1,0 b (56) 0,5bc (28) 0,4bc ( 0 ) 0,0 c ( 0 )
Keterangan : Data dalam satu baris yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) taraf signifikansi 5%
30
Respon Eksplan TDK terhadap Cekaman PEG
Penambahan PEG dalam media in vitro nyata berpengaruh negatif
terhadap pertumbuhan eksplan tunas kacang tanah tipe I (TDK) yang ditanam
secara in vitro. Perlakuan PEG 5% nyata menurunkan pertambahan tinggi tunas
dan jumlah akar primer semua kultivar kacang tanah yang diteliti, serta
menurunkan pertambahan jumlah daun pada kacang tanah cv. Gajah,
Trenggiling, Macan, Simpai dan Badak. Konsentrasi PEG 15% nyata
menurunkan pertambahan jumlah daun pada kacang tanah cv. Singa, Komodo,
Jerapah dan Kelinci (Tabel 3).
Tabel 3. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertambahan tinggi, jumlah daun dan jumlah akar primer pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) dan nilai relatifnya terhadap konsentrasi PEG 0%
Peubah dan kultivar
TT Respon terhadap media dengan PEG Nilai relatif terhadap PEG 0% 0 5 10 15 20 0 5 10 15 20 Pertambahan tinggi tunas (cm) per eksplan
Singa T 8,5a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Komodo T 7,9a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Jerapah T 8,2a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Kelinci M 7,0a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Gajah M 6,3a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Trenggiling M 6,7a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Simpai P 6,3a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Macan P 6,9a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Badak - 6,3a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0
Pertambahan jumlah daun per botol Singa T 10,4a 10,4a 9,6a 2,4b 0,0b 100 100 92 23 0 Komodo T 10,0a 9,6a 8,0a 0,0b 0,0b 100 96 80 0 0 Jerapah T 10,4a 9,6a 8,8a 1,6b 0,0b 100 92 85 15 0 Kelinci M 8,8a 7,6a 7,6a 0,0b 0,0b 100 86 86 0 0 Gajah M 8,0a 4,8b 2,8c 0,0d 0,0d 100 60 35 0 0 Trenggiling M 8,0a 5,6b 3,2c 0,0d 0,0d 100 70 40 0 0 Simpai P 8,0a 0,8b 0,0b 0,0b 0,0b 100 10 0 0 0 Macan P 7,2a 2,0b 0,0c 0,0c 0,0c 100 28 0 0 0 Badak - 7,6a 2,0b 0,8c 0,0c 0,0c 100 26 10 0 0
Jumlah akar primer per eksplanSinga T 9,2 a 3,3 b 0 c 0 c 0 c 100 36 0 0 0 Komodo T 9,0 a 3,0 b 0 c 0 c 0 c 100 33 0 0 0 Jerapah T 8,8 a 3,5 b 0 c 0 c 0 c 100 40 0 0 0Kelinci M 7,3 a 0,2 b 0 b 0 b 0 b 100 3 0 0 0 Gajah M 7,2 a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Trenggiling M 6,8 a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0Simpai P 5,9 a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Macan P 6,4 a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Badak - 6,3 a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0
Keterangan: TT : tingkat toleransi, T: toleran, M: medium toleran, P: peka terhadap cekaman kekeringan (Hidayat dkk. 1999, Nursusilawati 2003). Data dalam satu baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT taraf signifikansi 5%
31
Kultivar kacang tanah yang diuji menunjukkan respon yang berbeda
terhadap suatu konsentrasi PEG untuk peubah pertambahan jumlah daun,
jumlah daun layu dan tingkat kerusakan tunas. Kacang tanah cv. Singa, Jerapah,
Komodo yang toleran dan Kelinci yang medium toleran terhadap cekaman
kekeringan mulai mengalami penurunan jumlah daun pada konsentrasi PEG 10 -
15%, sedangkan lima kultivar yang lain pada konsentrasi PEG 5% (Tabel 3).
Semua kultivar kacang tanah yang diuji mempunyai pertambahan tinggi
tunas dan jumlah akar primer yang tidak berbeda. Pertambahan tinggi tunas dan
jumlah akar primer nyata menurun pada perlakuan penambahan PEG 5%
dibandingkan dengan PEG 0%. Pada perlakuan PEG 5%, tunas kacang tanah
cv. Singa, Komodo, dan Jerapah yang toleran serta Kelinci yang medium toleran
masih mempunyai akar primer, sedangkan kacang tanah yang lain tidak
mempunyai akar primer (Tabel 3).
Dampak yang nyata terhadap peningkatan jumlah daun layu dan skor
kerusakan tunas terjadi akibat penambahan PEG 10%, 15%, atau 20% (Tabel
4). Jumlah daun layu nyata meningkat pada konsentrasi PEG 15% untuk kacang
tanah cv. Singa, Komodo, Jerapah yang toleran, serta Kelinci, Gajah dan
Trenggiling yang medium toleran. Untuk kacang tanah cv. Simpai dan Macan
yang peka serta Badak, jumlah daun layu telah nyata meningkat pada
konsentrasi PEG 10% (Tabel 4).
Skor kerusakan tunas pada kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah
yang toleran, Kelinci dan Trenggiling yang medium toleran telah nyata meningkat
pada konsentrasi PEG 20%, kacang tanah cv. Gajah yang medium toleran dan
Badak, meningkat pada PEG 15%; sedangkan kacang tanah cv. Simpai dan
Macan yang peka, meningkat pada PEG 10% (Tabel 4).
Respon Eksplan TTK terhadap Cekaman PEG
Kultivar kacang tanah yang diuji menunjukkan respon yang berbeda
terhadap konsentrasi PEG untuk peubah pertambahan jumlah daun dan jumlah
daun layu. Jumlah daun layu nyata meningkat pada konsentrasi PEG 10%–15%
untuk kacang tanah cv. Singa, Komodo, Jerapah yang toleran dan Trenggiling
yang medium toleran, sedangkan lima kultivar lain telah meningkat pada
konsentrasi PEG 5% (Tabel 5).
32
Tabel 4. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap jumlah daun layu dan skor kerusakan tunas pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK)
Peubah dan kultivar
Tole- ransi
Respon terhadap media dengan PEG 0% 5% 10% 15% 20% Jumlah daun layu per botol
Singa T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 1,0 b 2,0 c Komodo T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 1,5 b 3,0 c Jerapah T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 2,5 b Kelinci M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 2,0 b 3,5 c Gajah M 0,0 a 0,0 a 1,0 a 3,5 b 4,5 b Trenggiling M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 3,0 b 4,0 c Simpai P 0,0 a 0,0 a 1,5 b 5,0 c 7,0 d Macan P 0,0 a 0,0 a 3,0 b 5,5 c 6,5 d Badak - 0,0 a 0,0 a 2,5 b 5,5 c 6,0 d
Skor kerusakan tunas per eksplanSinga T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,8 b Komodo T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 1,0 b Jerapah T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 1,0 b Kelinci M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,3 a 1,2 b Gajah M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,5 b 1,6 c Trenggiling M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,2 a 1,5 b Simpai P 0,0 a 0,0 a 1,0 b 2,2 c 3,0 c Macan P 0,0 a 0,0 a 1,2 b 2,5 c 3,4 c Badak - 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,7 b 2,3 c
Keterangan: T: toleran, M: medium toleran, P: peka terhadap cekaman kekeringan (Hidayat dkk. 1999, Nursusilawati 2003). Data dalam satu baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT taraf signifikansi 5%
Kacang tanah cv. Singa, Jerapah, dan Komodo yang toleran mulai
mengalami penurunan jumlah daun pada media selektif dengan penambahan
PEG 10%, Kelinci yang medium toleran mulai menurun pada media dengan PEG
15%, sedangkan Gajah dan Trenggiling yang medium toleran, Simpai dan Macan
yang peka serta Badak mulai menurun pada konsentrasi PEG 5% (Tabel 6).
Tidak ada perbedaan pertambahan tinggi tunas dan jumlah akar primer
antar kultivar. Pertambahan tinggi tunas nyata menurun pada konsentrasi PEG
5%, dengan persentase penurunan yang bervariasi antar kultivar. Pada kultivar
kacang tanah yang diidentifikasi toleran (Singa, Komodo dan Jerapah)
pertambahan tinggi pada konsentrasi PEG 5% mencapai 75% – 88%, sedangkan
pada kultivar yang peka (Macan, Simpai) hanya mencapai 17% – 67%
dibandingkan kontrol (Tabel 6).
Akumulasi Prolina Akibat Cekaman PEG Penambahan PEG dalam media in vitro berpengaruh meningkatkan
kandungan prolina total jaringan eksplan semua kultivar kacang tanah yang diuji.
Pada semua kultivar kacang tanah yang diuji, peningkatan kadar prolina total
yang diamati sejalan dengan meningkatnya konsentrasi PEG (Gambar 4).
33
Tabel 5. Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap jumlah daun layu per botol pada eksplan tunas yang berasal dari poros embrio tanpa kotiledon (TTK)
Peubah dan kultivar
Toleransi Respon terhadap media dengan PEG 0% 5% 10% 15% 20%
Singa T 0,0 a 0,0 a 1,0 b 1,5 b 4,0 c Komodo T 0,0 a 0,0 a 1,0 ab 1,0 b 5,0 c Jerapah T 0,0 a 1,0 a 1,0 a 2,5 b 5,0 c Kelinci M 0,0 a 1,0 ab 1,0 b 3,0 b 4,0 c Gajah M 0,0 a 2,5 b 3,5 c 6,0 d 7,0 dTrenggiling M 0,0 a 1,0 a 1,0 a 3,5 b 5,0 c Simpai P 0,0 a 3,5 b 6,0 c 6,0 c 7,0 c Macan P 0,0 a 1,5 b 4,0 c 6,0 d 7,0 dBadak - 0,0 a 2,5 b 5,0 c 7,0 cd 8,0 d
Keterangan: T: toleran, M: medium toleran, P: peka terhadap cekaman kekeringan (Hidayat dkk. 1999, Nursusilawati 2003). Data dalam satu baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT taraf signifikansi 5% Tabel 6. Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap pertambahan
tinggi dan jumlah daun pada eksplan tunas yang berasal dari poros embrio tanpa kotiledon (TTK) dan nilai relatifnya terhadap konsentrasi PEG 0%
Peubah dan kultivar
Tole-ransi
Respon terhadap media dengan PEG Nilai relatif terhadap PEG 0%:
0% 5% 10% 15% 20% 0 5 10 15 20 Pertambahan tinggi tunas (cm) per eksplanSinga T 0,9 a 0,8ab 0,7b 0,4c 0,0d 100 88 77 44 0 Komodo T 0,8 a 0,6 b 0,5c 0,2d 0,0e 100 75 62 25 0 Jerapah T 0,6 a 0,5 b 0,3c 0,0d 0,0d 100 83 50 0 0 Kelinci M 0,4 a 0,3 b 0,2c 0,1d 0,0d 100 75 50 25 0 Gajah M 0,4 a 0,3 b 0,1c 0,0d 0,0d 100 75 25 0 0 Trenggiling M 0,6 a 0,4 b 0,1c 0,0c 0,0c 100 67 17 0 0 Simpai P 0,3 a 0,2 b 0,0c 0,0c 0,0c 100 67 0 0 0 Macan P 0,6 a 0,1 b 0,1b 0,0b 0,0b 100 17 17 0 0 Badak - 0,4 a 0,2 b 0,1c 0,1c 0,0d 100 50 26 25 0 Pertambahan jumlah daun per botol Singa T 3,2a 2,8 a 0,4b 0,4b 0,0b 100 88 13 13 0 Komodo T 3,2a 2,8 a 0,8b 0,0b 0,0b 100 88 25 0 0 Jerapah T 2,0a 1,6 a 0,0b 0,0b 0,0b 100 80 0 0 0 Kelinci M 2,4a 1,6 a 1,6a 0,4b 0,0b 100 67 67 17 0 Gajah M 1,6a 0,8 b 0,0c 0,0c 0,0c 100 50 0 0 0 Trenggiling M 2,8a 1,2 b 0,0c 0,0c 0,0c 100 43 0 0 0 Simpai P 2,0a 0,0 b 0,0b 0,0b 0,0b 100 0 0 0 0 Macan P 1,6a 0,4 b 0,0b 0,0b 0,0b 100 25 0 0 0 Badak - 1,2a 0,0 b 0,0b 0,0b 0,0b 100 0 0 0 0
Keterangan: T: toleran, M: medium toleran, P: peka terhadap cekaman kekeringan (Hidayat et al. 1999, Nursusilawati 2003). Data dalam satu baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT taraf signifikansi 5%
34
Kacang tanah cv. Singa dan Komodo yang toleran, serta Kelinci dan Gajah
yang medium toleran secara umum mempunyai kandungan prolina total lebih
rendah dibandingkan kacang tanah tanah cv. Simpai yang peka terhadap
cekaman kekeringan pada semua perlakuan PEG. Peningkatan kandungan
prolina jaringan pada perlakuan PEG 20% untuk kacang tanah cv. Singa,
Komodo, Kelinci dan Gajah menyamai kandungan prolina pada perlakuan PEG
5% untuk kacang tanah cv. Simpai. Hal ini mengindikasikan kacang tanah yang
peka telah mengalami cekaman kekeringan pada perlakuan PEG 5%, sedangkan
pada kacang tanah yang toleran dan medium toleran perlakuan PEG yang sama
belum mampu menginduksi kondisi cekaman. Akibatnya tunas yang ditanam
belum mengaktifkan respon terhadap cekaman yang antara lain dengan
meningkatkan kandungan prolina. Kacang tanah cv. Badak cenderung
mempunyai pola respon yang sama dengan Simpai (Gambar 4).
Gambar 4. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap kadar prolina total jaringan pada
eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) kacang tanah cv. Singa, Komodo, Kelinci, Gajah, Simpai dan Badak, setelah ditanam selama enam minggu dalam media selektif
35
Gambar 5. Morfologi kecambah yang tumbuh pada media selektif yang
mengandung PEG (dari kiri ke kanan) konsentrasi 0, 5, 10, 15 dan 20% pada kacang tanah cv. Sng (Singa), Kmd (Komodo), Jrp (Jerapah), Klc (Kelinci), Gjh (Gajah), Trg (Trenggiling), Bdk (Badak), Mcn (Macan), Smp (Simpai)
Pembahasan
Perlakuan PEG 5% yang setara dengan potensial osmotik - 0,13 MPa
dapat menurunkan beberapa peubah pertumbuhan kecambah yang meliputi
panjang epikotil, jumlah akar cabang dan jumlah daun membuka. Untuk peubah
yang lain, hambatan konsentrasi PEG terhadap pertumbuhan bervariasi antar
kultivar, dan berkisar antara 10 – 15%. Penambahan PEG dalam media in vitro
juga mengakibatkan terjadinya penghambatan pertumbuhan tunas yang
ditunjukkan dengan menurunnya pertambahan tinggi tunas, jumlah akar primer
dan jumlah daun. Dibandingkan kontrol, perlakuan PEG 5% dapat menurunkan
pertambahan tinggi tunas dan jumlah akar primer yang berkembang dari eksplan
tunas semua kultivar kacang tanah yang diuji, serta menurunkan pertambahan
jumlah daun yang berkembang dari eksplan TDK atau TTK kacang tanah cv.
Gajah, Trenggiling, Simpai, Macan dan Badak. Penambahan PEG juga
mengakibatkan peningkatan jumlah daun layu dan skor kerusakan tunas.
Sng Kmd Jrp
Klc Trg Gjh
Bdk Smp Mcn
36
Sebagian dari dampak negatif cekaman osmotik pada potensial air -0,01
hingga -0,5 MPa adalah penurunan sintesis dinding sel, sintesis protein,
pembentukan protoklorofil dan pembelahan sel (Salisbury dan Ross, 1992).
Lebih lanjut, hal tersebut dapat menyebabkan terhambatnya pertambahan tinggi
tunas, regenerasi akar, dan pertambahan jumlah daun.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan penambahan PEG pada
media in vitro dapat menghambat mekanisme pertumbuhan, sebagaimana yang
terjadi sebagai akibat cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan menghambat
pertumbuhan primordia dan pemanjangan daun jagung (Zhongjin dan Neumann
1999), berat kering total organ vegetatif dan luas daun buncis (Franca et al.
2000), jumlah daun per tanaman dan ukuran daun Quercus (Fotelli et al. 2000),
tinggi tanaman dan bobot kering tajuk kacang tanah (Nursusilawati 2003).
Perlakuan penambahan PEG dalam media perkecambahan dilaporkan
menurunkan pemanjangan akar jagung (Verslues et al. 1998), potensial
tumbuh maksimum akar kecambah kapri (Whalley et al. 1998), pertumbuhan
hipokotil Arabidopsis thaliana (Weele et al. 2000), dan bobot kering kecambah
dan panjang akar kedelai (Widoretno et al. 2002). Semua fenotipik tersebut
mencerminkan terhambatnya pembelahan dan perkembangan sel.
Konsentrasi PEG yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan
kacang tanah berbeda antara satu peubah dengan peubah yang lain. Pada
eksplan TDK, perlakuan PEG 5% nyata telah menurunkan pertambahan tinggi
tunas, jumlah daun, dan jumlah akar primer. Dampak yang nyata untuk jumlah
daun layu dan skor kerusakan tunas baru terjadi akibat penambahan PEG
minimal 10%. Pada eksplan TTK, pengaruh nyata terhadap peubah pertambahan
tinggi tunas, jumlah daun, dan jumlah daun layu sudah mulai terjadi pada media
selektif dengan penambahan PEG 5%. Hal tersebut mengindikasikan TTK lebih
sensitif terhadap cekaman PEG dalam media in vitro.
Ada perbedaan respon terhadap konsentrasi PEG antara satu kultivar
dengan yang lain. Kacang tanah cv. Simpai dan Macan cenderung sangat peka
terhadap cekaman akibat perlakuan PEG. Pada kacang tanah cv. Simpai dan
Macan peubah PAU, PET, PDT, dan PAT kecambah sudah nyata menurun pada
konsentrasi PEG 5%. Perlakuan PEG 5% menyebabkan pertumbuhan epikotil
dan daun pada kecambah terhenti. Dalam penelitian sebelumnya kacang tanah
cv. Simpai dan Macan dilaporkan sebagai kultivar yang peka terhadap
kekeringan (Nursusilawati 2003; Sudarsono et al 2004). Kacang tanah cv.
37
Jerapah dan Gajah menunjukkan kepekaan terhadap perlakuan media dengan
penambahan PEG 5% berdasarkan peubah PET dan PDT. Selain itu pada
perlakuan PEG 5%, epikotil dan daun kacang tanah cv. Jerapah dan Gajah tidak
tumbuh. Berdasarkan hasil tersebut kacang tanah cv. Jerapah dan Gajah
tergolong lebih toleran dibandingkan dengan Simpai dan Macan, atau dapat
dikelompokkan sebagai medium toleran terhadap kekeringan. Percobaan
sebelumnya juga mengidentifikasi kacang tanah cv. Jerapah dan Gajah sebagai
kultivar medium toleran (Nursusilawati 2003, Sudarsono et al. 2004).
Pada kacang tanah cv. Singa, Komodo, dan Kelinci, perlakuan PEG
sampai dengan 15% tidak berpengaruh terhadap peubah PAU dan PAT.
Berdasarkan hasil tersebut, kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Kelinci diduga
lebih toleran dibanding Jerapah dan Gajah dan dapat dikelompokkan sebagai
toleran terhadap kekeringan. Hal ini sejalan dengan hasil pengujian yang
dilakukan sebelumnya (Hidajat et al. 1999, Nursusilawati 2003). Respon kacang
tanah cv. Trenggiling dan Badak tidak konsisten. Peubah tinggi tanaman, jumlah
daun dan jumlah daun yang layu mengikuti pola Simpai dan Macan, sedangkan
peubah yang lain mengikuti pola Singa dan Kelinci.
Pertumbuhan daun kultivar kacang tanah yang bersifat toleran baru nyata
menurun pada perlakuan PEG 15% untuk eksplan TDK dan PEG 10% untuk
eksplan TTK. Sebaliknya pada kacang tanah yang peka, perlakuan PEG 5%
telah nyata berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tunas dari eksplan TDK
dan TTK. Jumlah daun layu kultivar kacang tanah yang toleran nyata meningkat
pada perlakuan PEG 15% untuk eksplan TDK dan 10% untuk eksplan TTK.
Pada kacang tanah yang peka, peningkatan jumlah daun layu telah terjadi pada
perlakuan PEG 10% untuk eksplan TDK dan 5% untuk eksplan TTK. Tingkat
kerusakan tunas kultivar kacang tanah yang toleran baru terjadi pada perlakuan
PEG 20%, sedangkan kacang tanah yang peka telah terjadi pada perlakuan
PEG 10%. Perbedaan respon eksplan tunas dari kacang tanah yang peka
dengan yang toleran cekaman kekeringan terhadap perlakuan PEG dapat
dijadikan dasar penggunaan perlakuan PEG dalam media in vitro untuk
identifikasi dan seleksi plasma nutfah yang toleran cekaman kekeringan. Tunas
dari plasma nutfah kacang tanah yang toleran lebih dapat bertahan hidup dalam
media dengan konsentrasi PEG yang tinggi dibandingkan plasma nutfah yang
peka.
38
Penggunaan PEG dalam media in vitro untuk identifikasi dan seleksi
plasma nutfah yang toleran cekaman kekeringan memerlukan informasi tentang
konsentrasi PEG yang dapat memisahkan kacang tanah ke dalam kelompok
respon toleransi yang sesuai. Berdasarkan hasil yang didapat, konsentrasi PEG
15% dalam media in vitro disarankan sebagai konsentrasi diferensial yang dapat
mengelompokkan kacang tanah toleran dan peka ke dalam kelompok yang
berbeda, sehingga dapat digunakan untuk menapis respon tanaman kacang
tanah terhadap cekaman kekeringan.
Kacang tanah yang sebelumnya telah diidentifikasi sebagai toleran
mempunyai respon yang berbeda dengan kacang tanah yang peka untuk semua
peubah. Kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah yang dilaporkan toleran
cekaman kekeringan menunjukkan respon yang nyata berbeda dengan kacang
tanah cv. Macan dan Simpai yang peka untuk peubah pertambahan panjang
tunas (eksplan TTK), pertambahan jumlah daun (eksplan TTK dan TDK), jumlah
daun layu (eksplanTTK dan TDK), jumlah akar primer (eksplanTDK), dan tingkat
kerusakan tunas (eksplan TDK).
Sebaliknya kacang tanah yang diidentifikasi sebagai medium toleran,
untuk sejumlah peubah tertentu mempunyai respon yang sama dengan kacang
tanah toleran dan untuk sejumlah peubah yang lain mempunyai respon sama
dengan kacang tanah yang peka terhadap cekaman kekeringan. Kacang tanah
cv. Kelinci, Gajah dan Trenggiling yang medium toleran mempunyai respon yang
sama dengan kacang tanah peka untuk peubah pertambahan jumlah daun
(eksplan TTK dan TDK), jumlah daun layu (eksplan TTK), dan jumlah akar primer
(eksplan TDK), serta respon yang sama dengan kacang tanah yang toleran
untuk peubah jumlah daun layu (eksplan TDK) dan tingkat kerusakan tunas
(eksplan TDK). Kacang tanah cv. Badak cenderung mempunyai pola respon
yang sama dengan Simpai dan Macan yang peka terhadap cekaman kekeringan.
Berdasarkan hasil tersebut, pertambahan panjang tunas (eksplan TTK),
pertambahan jumlah daun (eksplan TTK dan TDK), jumlah daun layu (eksplan
TTK dan TDK), jumlah akar primer (eksplan TDK), dan tingkat kerusakan tunas
(eksplan TDK) dapat digunakan sebagai indikator tidak langsung respon toleransi
tanaman kacang tanah terhadap cekaman kekeringan dalam evaluasi secara in
vitro. Dalam hal ini, tunas dari tanaman kacang tanah yang diuji ditanam selama
enam minggu dalam media MS-0 dengan penambahan PEG 6000 15%.
Penambahan PEG dalam media in vitro juga berpengaruh terhadap
39
kandungan prolina total jaringan eksplan TDK. Pada semua kultivar kacang
tanah yang diuji, penambahan PEG dalam media in vitro meningkatkan
kandungan prolina total dan peningkatannya sejalan dengan peningkatan
konsentrasi PEG. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya
tentang pengaruh cekaman kekeringan di lapang pada Medicago sativa L.
(Girousse et al. 1996), Populus euphratica (Watanabe et al. 2000), dan kacang
tanah (Sudarsono et al. 2004; Riduan dan Sudarsono 2005).
Akumulasi prolina bersama senyawa osmolit yang lain dalam sel tanaman
dilaporkan dapat menurunkan potensial osmotik sel ketika tanaman mengalami
cekaman kekeringan (Blum 1996). Dengan demikian tanaman dapat tetap
mempertahankan tekanan turgor sel, penyerapan air dan kelangsungan berbagai
proses fisiologis dalam sel (pembukaan stomata, fotosintesis, dan
perkembangan sel). Akumulasi senyawa osmolit dilaporkan merupakan respon
adaptif terhadap cekaman kekeringan pada berbagai jenis tanaman dan diyakini
berperan dalam proses adaptasi pada lingkungan yang tercekam kekeringan
(Serraj dan Sinclair 2002).
Pada semua perlakuan konsentrasi PEG, kacang tanah yang toleran dan
medium toleran secara umum mempunyai kandungan prolina total lebih rendah
dibandingkan kacang tanah yang peka terhadap cekaman kekeringan. Hal yang
sama juga diamati pada barley dan alfalfa. Barley kultivar Proctor yang peka
mempunyai kecepatan akumulasi prolina yang lebih tinggi selama cekaman
kekeringan dibandingkan kultivar Exselsior yang toleran terhadap cekaman
kekeringan (Hanson et al. 1997). Dalam kondisi cekaman osmotik akibat
pemberian PEG, galur alfalfa yang toleran dapat mempertahankan kadar prolina
yang lebih rendah dibandingkan galur yang peka (Djilianov et al. 1997).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa akumulasi prolina untuk kacang tanah
yang peka (Simpai) pada perlakuan PEG 5% setara dengan akumulasi prolina
untuk kacang tanah yang toleran (Singa dan Komodo) dan medium toleran
(Kelinci dan Gajah) pada perlakuan PEG 20%. Berdasarkan hal ini dapat
ditafsirkan bahwa perlakuan PEG 5% telah mampu menginduksi kondisi
cekaman pada kultivar peka, namun belum mampu menginduksi cekaman pada
kultivar toleran dan medium toleran.
Kemungkinan lain, kacang tanah yang toleran dan medium toleran telah
mengalami cekaman pada perlakuan PEG 5%, tetapi melakukan mekanisme
toleransi lain yang diduga berperan untuk mengatasi cekaman kekeringan, yaitu
40
melalui 1) regulasi pertumbuhan dengan menurunkan kecepatan fotosintesis,
pembelahan dan pembentangan sel, 2) menjaga keseimbangan ionik dan
osmotik dengan menambah jumlah vakuola, mengaktifkan mekanisme pompa
ion dan saluran ion, atau 3) detoksifikasi senyawa oksigen radikal melalui
pembentukan protein cekaman, antara lain protein proteksi, enzim antioksidan,
dan protein regulator (Mundree et al. 2002). Pada saat mengalami cekaman
osmotik, jagung meningkatkan aktivitas enzim antioksidan di dalam daun (Jiang
dan Zhang 2002), sedangkan alfalfa meningkatkan aktivitas acid phosphatase
untuk mempertahankan kadar fosfat an-organik di dalam sel (Ehsanpour dan
Amini, 2003).
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa larutan PEG dalam
media in vitro bersifat menghambat pertumbuhan kecambah dan tunas kacang
tanah sebagaimana yang terjadi secara in vivo dan meningkatkan kandungan
prolina total jaringan sehingga diduga mampu mensimulasikan kondisi cekaman
kekeringan dalam media in vitro. Dampak negatif dari larutan PEG dalam media
in vitro berbeda-beda tergantung pada respon kultivar kacang tanah terhadap
cekaman kekeringan. Kacang tanah cv. Singa, kultivar Komodo dan kultivar
Jerapah menunjukkan respon toleran; kacang tanah cv. Kelinci dan kultivar
Gajah menunjukkan respon medium; sedangkan kacang tanah cv. Trenggiling,
kultivar Macan, kultivar Simpai dan kultivar Badak menunjukkan respon peka
terhadap cekaman kekeringan. Hal ini berarti penapisan secara in vitro
menggunakan PEG dapat menjadi alternatif metode untuk menduga karakter
toleransi kacang tanah terhadap cekaman kekeringan.
Konsentrasi PEG 15% efektif menghambat pertumbuhan dan
perkembangan eksplan epikotil kacang tanah. Respon tunas kacang tanah
terhadap media dengan penambahan PEG 15% dapat digunakan sebagai
alternatif metode untuk menapis toleransi kacang tanah terhadap cekaman
kekeringan. Tunas yang ditumbuhkan dari poros embrio dengan kotiledon
(eksplan TDK) atau tanpa kotiledon (eksplan TTK) dapat digunakan sebagai
eksplan; dan peubah pertambahan panjang tunas (eksplan TTK), pertambahan
jumlah daun (eksplan TTK dan TDK), jumlah daun layu (eksplan TTK dan TDK),
jumlah akar primer (eksplan TDK), dan tingkat kerusakan tunas (eksplan TDK)
digunakan sebagai penduga toleransi.
IV. SELEKSI IN VITRO EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH PADA MEDIA DENGAN POLIETILENA GLIKOL
YANG MENSIMULASIKAN CEKAMAN KEKERINGAN*)
Abstrak Pengembangan kultivar kacang tanah yang toleran terhadap cekaman
kekeringan pada saat ini masih diperlukan. Hal ini dapat dilakukan melalui kultur dan seleksi in vitro. Tujuan penelitian adalah mengevaluasi efektivitas seleksi in vitro untuk mengidentifikasi embrio somatik (ES) varian somaklonal kacang tanah yang insensitif terhadap PEG. Dalam sebagian percobaan dievaluasi respon ES empat kultivar kacang tanah terhadap medium selektif yang mengandung PEG 6000 untuk menentukan konsentrasi PEG sub-letal, yaitu yang dapat menghambat proliferasi eksplan lebih dari 95%. ES sekunder kacang tanah cv. Singa, Kelinci, Badak dan Zebra ditumbuhkan dalam medium MS cair dengan penambahan pikloram 16 μM dan PEG 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%. Persentase eksplan yang hidup, rata-rata jumlah ES/eksplan, dan jumlah total ES yang berproliferasi dalam media seleksi in vitro diamati setiap bulan selama tiga bulan. Pada sebagian percobaan yang lain, dilakukan seleksi in vitro pada medium selektif yang mengandung PEG konsentrasi sub-letal untuk mengidentifikasi ES kacang tanah yang insensitif terhadap cekaman PEG. Seleksi in vitro dilakukan terhadap 4000 – 5000 ES kacang tanah cv. Singa dan Kelinci. ES yang insensitif PEG diidentifikasi setelah tiga bulan. Hasil penelitian menunjukkan penambahan PEG 6000 dalam media in vitro menghambat proliferasi ES kacang tanah. Konsentrasi PEG sub-letal untuk kacang tanah adalah 15%. ES kacang tanah cv. Kelinci yang insensitif terhadap PEG dicapai dengan frekuensi 10%–12 % dan untuk Singa 8%-10%. Tanaman R0 kacang tanah cv. Kelinci (62 tanaman) dan Singa (48 tanaman) dapat diregenerasikan dari ES yang insensitif terhadap cekaman PEG dan ditumbuhkan di rumah kaca untuk memperoleh benih R1 dan R2. Kata Kunci : Cekaman PEG, PEG 6000, embrio somatik, varian somaklonal *) Bagian dari disertasi ini telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah terakreditasi
BIOSFERA 23 (1): 15 – 23. Januari 2006
42
Abstract
Developing of drought tolerance peanut cultivars is still required and can be conducted through in vitro selection. The objectives of this experiment were to evaluate effectiveness of in vitro selection for identifying PEG insensitive somaclonal variant of peanut somatic embryos (SE). In one of the experiments, evaluation of responses of four peanut cultivars against selective medium containing polyethylene glycol 6000 (PEG 6000) was conducted and sub-lethal concentration of PEG was determined. Secondary SE of Badak, Kelinci, Singa, and Zebra cultivar of peanut were cultured on liquid MS medium supplemented with 16 �M of picloram and 5%, 10%, 15%, or 20% of PEG 6000. Survival of explant, average number of proliferated SE/explant, and total number of proliferated SE after in vitro selection were recorded monthly, up to three months. Sub-lethal level of PEG was defined as one inhibiting more than 95% of the total number of proliferated SE. In the other experiment, in vitro selection on selective medium containing sub-lethal level of PEG was conducted to identify PEG insensitive SE of peanut. In vitro selection on medium supplemented with sub lethal level of PEG 6000 was conducted on at least 4000-5000 SE of Kelinci and Singa cultivar. The PEG insensitive SE was identified after subsequent three months of in vitro selection. Results of the experiments showed supplementation of PEG 6000 on medium for induction of SE inhibited proliferation of peanut SE. Sub-lethal level was obtained at 15% concentration of PEG 6000. The frequencies of obtaining PEG insensitive SE of Kelinci cultivar was 8%-10% and for Singa cultivar was 10%-12%. The R0 plants of peanut Kelinci cultivar (62 R0 plants) and Singa cultivar (48 R0 plants) regenerated from PEG insensitive SE were obtained and grown in the glasshouse to produce R1 and R2 seeds. Keywords : PEG stress, PEG 6000, somatic embryo, somaclonal variance
43
Pendahuluan
Akibat terjadinya cekaman kekeringan, hasil panen tanaman kacang tanah
di lahan kering pada umumnya relatif rendah. Rendahnya hasil panen
diharapkan dapat ditingkatkan dengan penggunaan kultivar tanaman kacang
tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Seleksi in vitro terhadap
sel/jaringan dalam media selektif yang tepat dapat digunakan untuk
mendapatkan plasma nutfah kacang tanah yang toleran terhadap cekaman
kekeringan karena secara teoritis sangat efisien untuk mendapatkan varian
sel/jaringan tanaman dengan karakteristik tertentu (Maluszynki et al. 1995).
Tanaman varian dengan sifat unggul tertentu telah berhasil
diregenerasikan dari sel/jaringan varian hasil seleksi in vitro. Keberhasilan
pengembangan metode seleksi in vitro memerlukan tersedianya (a) metode
kultur jaringan yang efektif untuk regenerasi tanaman dari sel varian dalam
jumlah banyak, (b) bahan penyeleksi yang dapat menginduksi perkembangan
dan proliferasi jaringan varian tetapi menghambat/mematikan jaringan normal,
dan (c) adanya korelasi antara fenotipik hasil seleksi pada tingkat sel dengan
fenotipik pada tingkat tanaman (Hammerschlag 1988).
Kultur ES kacang tanah yang efisien untuk meregenerasikan tanaman
varian telah dibakukan. Teknik yang dikembangkan terbukti mampu menginduksi
keragaman sifat kualitatif dan kuantitatif serta toleransi terhadap toksin yang
disekresikan cendawan Sclerotium rolfsii (Yusnita et al. 2005). Keragaman
diantara kultur ES kacang tanah diduga juga berpotensi untuk menghasilkan
varian ES dengan sifat toleransi terhadap cekaman kekeringan. Untuk itu perlu
dikembangkan metode baku seleksi in vitro yang dapat digunakan untuk
mengisolasi varian ES kacang tanah yang toleran cekaman kekeringan.
Penyiraman larutan PEG pada media tanaman dalam pot terbukti
menghambat pertumbuhan tanaman dan dapat digunakan untuk menapis
respons tanaman kacang tanah terhadap cekaman kekeringan (Nursusilawati
2003). Kecambah dan tunas kacang tanah yang ditumbuhkan dalam media in
vitro dengan penambahan PEG 5%-20% juga terhambat pertumbuhan dan
perkembangannya. Penghambatan yang terjadi berkorelasi dengan respons
genotipe kacang tanah terhadap cekaman kekeringan di lapang. Perlakuan PEG
pada kecambah dan tunas kacang tanah tersebut juga menginduksi akumulasi
prolin pada jaringan seperti respons terhadap cekaman kekeringan (Rahayu et
al. 2004, Rahayu et al. 2005). Meskipun data yang ada mengindikasikan PEG
44
dapat digunakan untuk mensimulasikan kondisi cekaman kekeringan secara in
vitro, efektivitasnya sebagai agens penyeleksi pada tingkat sel untuk mengisolasi
ES yang toleran (insensitif) dan mendapatkan tanaman varian yang toleran
cekaman kekeringan masih perlu dievaluasi.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efektivitas metode seleksi in vitro
untuk memperoleh varian kacang tanah yang toleran terhadap cekaman
kekeringan. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi respon ES empat kultivar
kacang tanah terhadap media selektif dengan penambahan PEG, kondisi sub-
letal yang menghambat pertumbuhan dan proliferasi ES, dan regenerasi
tanaman R0 kacang tanah dari ES hasil seleksi in vitro yang insensitif terhadap
cekaman PEG.
Bahan dan Metode
Bahan Tanaman dan Induksi ES Kacang Tanah
Dalam percobaan ini digunakan kacang tanah cv. Badak yang diduga peka
(Rahayu et al. 2005), Kelinci yang medium toleran (Sudarsono et al. 2004),
Singa yang toleran (Hidayat et al. 1999, Nursusilawati 2003), dan Zebra yang
belum diketahui responnya terhadap cekaman kekeringan. Benih kacang tanah
yang digunakan diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika (Balitbiogen), Bogor dan digunakan
sebagai sumber eksplan daun embrio untuk induksi ES.
Benih kacang tanah disterilkan dengan larutan pemutih komersial (100%)
ditambah dua tetes Tween 20, dikocok selama 2-3 menit, dan dibilas tiga kali
dengan akuades steril. Daun embrio diisolasi dan diinduksi membentuk ES
primer dan ES sekunder dalam media MS (Murashige & Skoog 1962) padat
dengan penambahan pikloram 16 μM (media MS-P16). Kultur daun embrio
disub-kultur setiap bulan ke dalam media MS-P16 yang masih segar dan
diinkubasi dalam ruang kultur bersuhu 25oC tanpa penyinaran sampai terbentuk
kalus embriogen dengan ES sekunder. Inkubasi dalam ruang kultur bersuhu
25oC tanpa penyinaran digunakan dalam semua tahap percobaan kecuali
disebutkan lain.
Evaluasi Respon ES Kacang Tanah terhadap Cekaman PEG Percobaan dilakukan dengan menggunakan kalus embriogen kacang tanah
cv. Badak, Kelinci, Singa, dan Zebra. Unit percobaan terdiri atas satu botol kultur
yang ditanami lima eksplan kalus embriogen dengan 8-10 ES sekunder berumur
45
satu bulan sejak sub-kultur yang terakhir. Setiap kombinasi perlakuan diulang
lima kali.
Eksplan ditanam dalam media MS-P16 cair dengan penambahan PEG
6000 0%, 5%, 10%, 15% atau 20%. Media selektif (25 ml) dituangkan dalam
botol kultur (volume 150 ml), di atas media diletakkan busa sintetis dan kertas
saring agar ekplan yang ditanam tidak tenggelam (Gambar 1). Sebelum ditanami
media disterilkan dengan pemanasan selama 20 menit pada suhu 121oC serta
tekanan 1,2 bar menggunakan autoklaf.
Respon kalus embriogen dan ES kacang tanah terhadap media selektif
diamati setiap bulan selama periode tiga bulan. Konsentrasi PEG sub-letal dalam
media selektif ditentukan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Nabors &
Dykes 1985, Yusnita et al. 2005), yaitu konsentrasi PEG yang dapat
menghambat jumlah total ES sekitar 95% dibandingkan PEG 0%.
Seleksi ES dalam Media Selektif dengan PEG Konsentrasi Sub-letal Identifikasi varian yang insensitif terhadap kondisi cekaman akibat
penambahan PEG sub-letal dilakukan terhadap kalus embriogen dan ES
sekunder kacang tanah cv. Kelinci dan Singa yang telah mengalami sub-kultur
berulang dalam media MS-P16 selama minimal enam bulan sejak terbentuknya
ES sekunder. Pada awal percobaan ditanam 500 kalus embriogen, masing-
masing dengan 8–10 ES sehingga jumlah total yang diseleksi mencapai 4000–
5000 ES untuk setiap kultivar. Kalus embriogen (lima eksplan per botol) ditanam
dalam media selektif dan disub-kultur setiap bulan ke dalam media selektif yang
masih segar. Setelah tiga bulan, ES yang masih hidup diisolasi dan
diregenerasikan menjadi tanaman.
Regenerasi Tanaman R0 dari ES Hasil Seleksi In vitro ES hasil seleksi in vitro yang insensitif terhadap cekaman PEG sub-letal
ditanam dalam media MS-P16 selama dua bulan agar terjadi proliferasi.
Selanjutnya ES ditanam dalam media MS dengan penambahan arang aktif 2 g/l
(media MSAC), dilakukan subkultur setiap bulan sampai berkembang sempurna,
dan kemudian dikecambahkan dalam media MS yang ditambah BAP (6-
benzylamino purine) sebanyak 22 μM sampai terbentuk tunas. Tunas yang
tumbuh dipilih yang mempunyai panjang 2 – 3 cm, dipindahkan ke media
pengakaran yang tersusun dari media MS ditambah NAA (naphtalene acetic aci)
sebanyak 10 mg/l selama satu minggu. Setelah itu dipindahkan lagi ke media
MSAC dan ditumbuhkan sampai terbentuk akar yang sempurna. Dalam semua
46
tahap regenerasi kultur diinkubasikan dalam ruang kultur dengan temperatur
konstan 25o C dalam kondisi terang terus menerus.
Tunas yang telah berakar berkembang menjadi plantlet. Plantlet dengan 3-
4 daun dan perakaran yang normal dipindahkan dari media in vitro ke media
tanah melalui proses aklimatisasi. Akar plantlet dicuci bersih dari agar yang
menempel, direndam dalam suspensi fungisida Dithane M45 (2 g/l), dan ditanam
dalam pot plastik dengan volume 200 ml berisi media tanam steril campuran
tanah:kompos:pasir (2:1:1, v/v ). Plantlet disungkup dengan botol kultur untuk
menjaga kelembaban dan diletakkan selama dua minggu pada rak kultur dengan
pencahayaan 1000 lux terus menerus selama 24 jam. Plantlet disiram dengan
larutan MS (½ konsentrasi) jika permukaan media tanam mengering.
Setelah menghasilkan daun dan perakaran baru, plantlet dipindahkan ke
rumah kaca dan sungkup botol dibuka secara bertahap. Tanaman yang berhasil
tumbuh dipindahkan ke dalam pot dengan diameter 50 cm dan tinggi 40 cm yang
berisi 10 kg campuran tanah:kompos:pasir (1:1:1, v/v). Selanjutnya tanaman
dipelihara di rumah kaca untuk menghasilkan benih R1 dan untuk pengamatan
pertumbuhan tanaman.
Hasil
Respon ES Kacang Tanah terhadap Cekaman PEG
Setelah satu dan dua bulan dalam media selektif, penambahan PEG dalam
media tidak berpengaruh nyata terhadap perkembangan eksplan (data tidak
ditampilkan). Setelah tiga bulan dalam media selektif, persentase eksplan yang
hidup untuk kacang tanah cv. Badak nyata menurun pada perlakuan PEG 10%
sedangkan untuk ketiga kultivar yang lain pada PEG 15%. Pada konsentrasi
PEG 20%, semua eksplan kacang tanah cv. Badak dan Zebra telah mati. Rataan
ES per eksplan dan jumlah total ES hasil seleksi kacang tanah cv. Badak dan
Zebra sangat menurun pada perlakuan penambahan PEG 10%. Eksplan kacang
tanah cv. Badak sudah tidak mampu membentuk ES mulai perlakuan PEG 15%
sedangkan kacang tanah cv. Zebra pada perlakuan PEG 20%. Pada konsentrasi
PEG 20%, eksplan kacang tanah cv. Singa dan Kelinci masih dapat membentuk
ES (Tabel 7, Gambar 6).
Meskipun secara umum meningkatnya konsentrasi PEG dalam media
selektif menyebabkan meningkatnya pengaruh negatif PEG, ke empat kultivar
kacang tanah yang diuji memberikan respons berbeda terhadap cekaman PEG
47
yang diberikan. Dalam penelitian ini proliferasi ES kacang tanah cv. Badak paling
sensitif terhadap cekaman PEG dibandingkan Kelinci atau Singa (Tabel 7).
Konsentrasi Sub-letal PEG Setelah tiga bulan dalam media selektif, penambahan PEG 20%
menyebabkan penurunan persentase eksplan kacang tanah cv. Singa yang
hidup sebesar 83%, Kelinci sebesar 60%, Badak dan Zebra mencapai 100%
dibandingkan dengan perlakuan PEG 0%. Rataan ES kacang tanah cv. Badak
yang terbentuk per eksplan setelah tiga bulan dalam media selektif dengan
penambahan PEG 15% menurun hingga 100% dibandingkan dengan perlakuan
PEG 0%. Kacang tanah cv. Kelinci, Singa, dan Zebra pada konsentrasi PEG
20% baru menurun 85% - 91%. Penurunan jumlah total ES ≥ 95% kacang tanah
cv. Badak terjadi pada perlakuan penambahan PEG 10%, Singa dan Kelinci
pada PEG 15%, dan Zebra pada PEG 20% (Tabel 8).
Tabel 7. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap persentase eksplan yang hidup, rataan embrio somatik (ES) yang terbentuk per eksplan dan jumlah total ES kacang tanah cv. Badak, Kelinci, Singa, dan Zebra setelah tiga bulan dalam media selektif
Konsentrasi PEG (%)
Kultivar kacang tanah Badak Kelinci Singa Zebra Persentase eksplan yang hidup (%)
0 100 aA 100 aA 96 aA 100 a A 5 92 aB 100 aA 96 aA 100 aA 10 60 bB 88 aA 88 aA 88 aA 15 40 cA 44 bA 44 bA 48 bA 20 0 dC 40 bA 16 cB 0 cC
Rataan ES yang terbentuk per eksplan 0 32.1 aC 36.0 aA 34.4 aB 30.3 aD 5 25.6 bA 25.2 bA 23.5 bB 15.9 bC 10 2.6 cC 11.2 cA 12.2 cA 4.4 cB 15 0.0 dB 3.4 dA 3.6 dA 4.7 cA 20 0.0 dA 0.9 eA 1.2 eA 0.0 dA
Jumlah total ES 0 161 aB 180 aA 164 aB 162 aB 5 168 bA 117 bA 112 bA 80 bB 10 9 cB 50 cA 54 cA 19 cB 15 0 cA 7 dA 8 dA 11 cdA 20 0 cA 2 dA 1 dA 0 dA
Keterangan: Pada setiap peubah, angka yang diikuti dengan huruf kecil yang sama pada kolom dan huruf kapital yang sama pada baris, tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT dengan taraf signifikansi 5%
48
Tabel 8. Persentase penurunan jumlah eksplan yang hidup, rataan embrio somatik (ES) per eksplan dan jumlah total ES kacang tanah cv. Badak, Kelinci, Singa, dan Zebra setelah tiga bulan dalam media selektif dengan penambahan PEG 6000 5%, 10%, 15% atau 20% dibandingkan dengan media PEG 0%
Konsentrasi PEG (%)
Nilai penurunan (%) untuk kacang tanah: Badak Kelinci Singa Zebra Persentase eksplan yang hidup (%)
0 0 0 0 0 5 8 0 0 0 10 40 12 8 12 15 60 56 54 52 20 100 60 83 100
Rataan ES yang terbentuk per eksplan 0 0 0 0 0 5 20 29 32 48 10 92 69 65 85 15 100 91 90 85 20 100 97 97 100
Jumlah total ES hasil seleksi 0 0 0 0 0 5 27 29 32 47 10 95 73 67 87 15 100 96 96 93 20 100 99 99 100
Keterangan:
Persentase penurunan (PP, %) dihitung dengan rumus %100*)np0
npN-np0( PP = ;
np0 = nilai peubah pengamatan pada perlakuan PEG 0%, npN = nilai peubah pengamatan pada perlakuan PEG 5%, 10%, 15%, atau 20%
Dalam seleksi in vitro, kondisi selektif yang digunakan harus dapat
memproliferasikan sel/jaringan varian yang diinginkan dan menghambat
pertumbuhan sel/jaringan normal yang tidak diinginkan sehingga kemungkinan
terjadinya kesalahan identifikasi dapat diperkecil. Dari hasil pengamatan di atas,
penambahan PEG dalam media MS-P16 dengan konsentrasi 15% ditentukan
sebagai konsentrasi sub-letal dalam seleksi in vitro kacang tanah. Media selektif
dengan penambahan PEG 15% dengan tiga kali sub-kultur selama tiga bulan
berturut-turut selanjutnya digunakan dalam percobaan untuk mengisolasi ES
kacang tanah yang insensitif terhadap cekaman PEG.
ES Kacang Tanah yang Insensitif terhadap PEG Konsentrasi Sub-letal ES kacang tanah yang insensitif terhadap cekaman PEG diharapkan dapat
berkembang menjadi tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan.
Identifikasi ES kacang tanah yang insensitif terhadap cekaman PEG sub-letal
merupakan langkah awal untuk membuktikan hal tersebut.
49
Gambar 6. Pertumbuhan ES kacang tanah cv. Badak (B), Kelinci (K), Singa
(S), dan Zebra (Z), setelah tiga kali sub-kultur masing-masing satu bulan dalam media selektif PEG dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15% dan 20
Setelah tiga bulan dalam media selektif dengan konsentrasi PEG sub-letal,
persentase eksplan kacang tanah cv. Kelinci dan Singa yang tetap hidup masing-
masing mencapai 36% dan 39%. Rataan jumlah ES per eksplan yang didapat
masing-masing sebanyak 2,3 ES/eksplan untuk kacang tanah cv. Kelinci dan 2,5
ES/eksplan untuk Singa. Dari sebanyak 4000-5000 ES awal yang diseleksi,
jumlah total ES insensitif terhadap cekaman PEG yang berhasil diperoleh
masing-masing mencapai 415 ES (8%-10%) untuk kacang tanah cv. Kelinci dan
487 ES (10%-12%) untuk Singa. Contoh ES insensitif PEG hasil seleksi in vitro
dalam media dengan PEG sub-letal dapat dilihat pada Gambar 7.a.
S
5% 10% 15% 20% 0%
Z
K
B
50
Tanaman R0 dari ES Hasil Seleksi in vitro Proliferasi ES hasil seleksi in vitro dalam media MS-P16 tanpa PEG
sebelum proses pengecambahan terbukti meningkatkan keberhasilan regenerasi
tunas R0 (data tidak ditampilkan). ES kacang tanah hasil seleksi in vitro yang
insensitif terhadap cekaman PEG sub-letal telah berhasil diregenerasikan
menjadi tanaman, namun tidak semua ES insensitif cekaman PEG yang didapat
berhasil dikecambahkan dan diregenerasikan menjadi plantlet karena sebagian
berkembang menjadi tunas atau plantlet abnormal.
Setelah proses proliferasi ES yang insensitif cekaman PEG (Gambar 7.b),
perkecambahan (Gambar 7.c.), regenerasi plantlet (Gambar 7.d.), aklimatisasi
(Gambar 7.e.), dan penanaman dalam polibag (Gambar 7.f); dalam percobaan ini
berhasil didapatkan 62 tanaman R0 kacang tanah cv. Kelinci dan 48 tanaman R0
kacang tanah cv. Singa. Tanaman yang didapat diharapkan mempunyai
karakteristik tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan
Gambar 7. Regenerasi ES kacang tanah hasil seleksi in vitro dalam media selektif dengan penambahan PEG 15%. a. ES insensitif cekaman PEG di antara jeringan kalus yang mati, b. proliferasi ES insensitif PEG dalam media MS-P16, c. perkecambahan ES insensitif PEG dalam media MS-AC, d. tunas kacang tanah hasil regenerasi dari ES insensitif PEG, e. aklimatisasi plantlet kacang tanah, dan f. penanaman tanaman regeneran dalam polibag
a b
f d e
c
51
Tanaman R0 tersebut telah ditumbuhkan di rumah kaca untuk
menghasilkan benih R1 dan R2. Karakterisasi respon tanaman R1 dan R2
terhadap cekaman kekeringan akan dilakukan untuk membuktikan efektivitas
seleksi in vitro menggunakan PEG untuk mendapatkan genotipe kacang tanah
yang toleran terhadap cekaman kekeringan.
Pembahasan
Dalam media in vitro tanpa penambahan PEG, kalus embriogen mampu
berkembang sempurna membentuk banyak ES. Penambahan PEG terbukti
mampu menghambat perkembangan dan proliferasi eksplan kalus embriogen
dan ES kacang tanah cv. Badak, Kelinci, Singa, dan Zebra. Pengaruh negatif
PEG diduga sebagai akibat dari kemampuan PEG untuk menurunkan potensial
osmotik larutan. Sub-unit etilena oksida dari senyawa polimer PEG diketahui
mampu menahan air dengan membentuk ikatan hidrogen (Steuter et al. 1981).
Akibatnya dalam media selektif yang mengandung PEG, meskipun molekul air
ada dalam larutan media tetapi menjadi tidak tersedia bagi jaringan tanaman
yang dikulturkan.
Pengaruh negatif PEG terhadap perkembangan dan proliferasi ES dalam
media selektif diduga juga terjadi melalui terhambatnya berbagai proses fisiologis
dalam sel/jaringan yang dikulturkan. PEG juga dilaporkan berpengaruh terhadap
kandungan poliamina endogen yang berperan dalam proses proliferasi ES (Kong
et al. 1998). Dengan demikian, ES insensitif terhadap cekaman PEG sub-letal
yang diperoleh diduga mengadopsi mekanisme baru yang dapat mengatasi
pengaruh negatif PEG terhadap proliferasi ES kacang tanah.
Perbedaan respon terhadap cekaman kekeringan antar kultivar dalam
percobaan ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Kacang tanah
kultivar Badak dilaporkan peka, Kelinci medium toleran dan Singa toleran
terhadap cekaman kekeringan (Rahayu et al. 2005, Sudarsono et al. 2004,
Hidayat et al. 1999, Nursusilawati 2003). Kacang tanah cv. Zebra belum
diketahui responsnya terhadap cekaman kekeringan. Dari data yang ada,
proliferasi ES kacang tanah cv. Zebra mempunyai respons yang mirip dengan
kacang tanah cv. Badak sehingga diduga termasuk ke dalam kelompok peka
terhadap cekaman kekeringan.
Perbedaan respons terhadap PEG dari kultivar kacang tanah yang berbeda
toleransinya terhadap cekaman kekeringan memperkuat indikasi bahwa PEG
52
dapat digunakan sebagai bahan penyeleksi (selective agens) dalam seleksi in
vitro kacang tanah. Dalam percobaan sebelumnya PEG juga terbukti
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tunas kacang tanah secara in vitro
dan pengaruhnya berbeda antara satu kultivar dengan yang lain tergantung
tingkat toleransinya terhadap cekaman kekeringan (Rahayu et al. 2005). Hal ini
sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Kacang tanah cv. Badak
dilaporkan peka, Kelinci medium toleran dan Singa toleran terhadap cekaman
kekeringan (Rahayu et al. 2005, Sudarsono et al. 2004, Hidayat et al. 1999,
Nursusilawati 2003). Kacang tanah cv. Zebra belum diketahui responsnya
terhadap cekaman kekeringan. Dari data yang ada, proliferasi ES kacang tanah
cv. Zebra mempunyai respons yang mirip dengan kacang tanah cv. Badak
sehingga diduga termasuk ke dalam kelompok peka terhadap cekaman
kekeringan.
Dari hasil pengamatan di atas, penambahan PEG dalam media MS-P16
dengan konsentrasi 15% ditentukan sebagai konsentrasi sub-letal dalam seleksi
in vitro kacang tanah. Kondisi sub-letal dalam seleksi in vitro diperlukan untuk
meningkatkan keberhasilan seleksi dan menurunkan terjadinya escaped (Nabors
& Dykes 1985). Pada media dengan PEG 15%, jumlah total ES yang didapat dari
hasil seleksi in vitro telah menurun sekitar 95% dibandingkan dengan perlakuan
PEG 0%. Sebanyak 5% ES sisanya yang tumbuh diharapkan merupakan ES
yang insensitif terhadap cekaman PEG.
Jumlah total ES insensitif terhadap cekaman PEG yang berhasil diperoleh
mencapai lebih dari 5%. Hal ini dapat terjadi karena seleksi dilakukan terhadap
ES yang telah mengalami sub-kultur berulang sehingga di antara 4000-5000 ES
yang diseleksi ada yang mengalami variasi somaklonal menjadi lebih toleran dari
sel asalnya. Mekanisme fisiologis yang dilakukan tanaman agar insensitif/toleran
terhadap potensial osmotik rendah antara lain dengan membentuk protein
struktural untuk menjaga integritas membran sel (Fernanda et al. 1997),
melakukan down regulation metabolisme sel (Leprince et al. 2000),
meningkatkan aktivitas enzim acidic-phosphatase yang diperlukan untuk
menjaga ketersediaan fosfat organik (Ehsanpour dan Amini 2003), atau
meningkatkan akumulasi senyawa prolina dalam sel (Widoretno et al. 2004).
Mekanisme fisiologis yang bekerja pada ES kacang tanah insensitif terhadap
cekaman PEG masih perlu dievaluasi.
53
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan larutan PEG dalam media
selektif dapat menghambat proliferasi ES kacang tanah dan tingkat
penghambatan sekitar 95% (sub-letal) didapatkan pada konsentrasi PEG 15%.
Sejumlah ES kacang tanah cv. Kelinci dan Singa yang insensitif terhadap
cekaman PEG 15% berhasil diperoleh dari seleksi in vitro yang dilakukan dengan
frekuensi 8%-10% pada kacang tanah cv. Kelinci dan 10%-12% pada kacang
tanah cv. Singa. Tanaman R0 kacang tanah cv. Kelinci (62 tanaman) dan Singa
(48 tanaman) berhasil diregenerasikan dari ES yang insensitif terhadap cekaman
PEG dan ditumbuhkan di rumah kaca untuk menghasilkan benih R1 dan benih
R2. Evaluasi respons tanaman R1 dan tanaman R2 terhadap cekaman
kekeringan selanjutnya dilakukan setelah benih R1 dan R2 tersedia.
54
V. VARIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF KACANG TANAH HASIL KULTUR IN VITRO DAN
HASIL SELEKSI IN VITRO
Abstrak
Kultur jaringan yang melibatkan fase kalus dapat menginduksi variasi somaklonal, yang intensitasnya antara lain dipengaruhi oleh penambahan bahan selektif dalam media kultur. Keragaman karakter variasi somaklonal pada tanaman hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro menggunakan bahan selektif PEG belum diketahui. Penelitian bertujuan 1) mengidentifikasi varian kualitatif pada tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro, 2) menduga faktor pengendali varian kualitatif, 3) mengidentifikasi varian kuantitatif pada tanaman kacang tanah hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro, 4) mengidentifikasi galur yang mempunyai varian kuantitatif positif. Embrio somatik varian kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dengan dan tanpa seleksi in vitro dikecambahkan dan diregenerasikan menjadi plantlet. Plantlet kemudian diaklimatisasi menjadi tanaman R0 dan dipelihara di rumah kaca. Dari galur R0 yang fertil diperoleh sejumlah turunan R1 dan R2. Tanaman kacang tanah yang ditumbuhkan dari benih dipelihara sebagai tanaman standar. Hasil penelitian menunjukkan 1) varian kualitatif pada tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil seleksi in vitro berupa percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun pentafoliat, steril partial dan steril total, sedangkan varian pada tanaman hasil kultur in vitro lebih beragam, yaitu percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun pentafoliat, steril partial, steril total, daun roset, daun varigata, ujung daun meruncing, daun hexafoliat, dan daun oktafoliat, 2) varian kualitatif yang diduga dikendalikan secara genetik oleh gen dominan adalah percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun pentafoliat, daun hexafoliat, daun oktafoliat dan steril partial; yang diduga dikendalikan oleh gen resesif adalah daun hexafoliat, oktafoliat dan steril partial (pada populasi hasil seleksi in vitro); dan yang diduga bersifat epigenetik adalah daun roset, varigata dan ujung daun meruncing, 3) terdapat varian kuantitatif positif pada karakter bobot kering tajuk, tinggi tanaman, bobot kering akar dan bobot polong bernas, dan 4) galur tanaman yang mempunyai varian bobot kering akar positif adalah galur nomor K0-8, K0-30.2, K15-1 dan K15-2; sedangkan untuk bobot polong bernas adalah K0-2, K0-4, dan K15-4. Kata kunci : varian somaklonal, karakter kualitatif, karakter kuantitatif, seleksi in
vitro, kultur in vitro
55
Abstract
Tissue culture that passed callus phase can induce somaclonal variation, of which intensity was influenced by adding selective agent to culture media. Somaclonal variation of peanut plant regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo using PEG not yet understood. The objectives of this research were to 1) identify qualitative variant of Kelinci cultivar of peanut plant regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo using PEG and their progenies, 2) estimate the control factors of qualitative variant, 3) identify quantitative variant of Kelinci cultivar of peanut plant regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo using PEG and their progenies, 4) identify somaclonal variant line which have certain positive characters and can be addressed for further uses. Non selected and selected (PEG insensitive) variant somatic embryo of peanut were germinated and regenerated into plantlets. The plantlets were then acclimatized and transferred to polybags and were grown to mature in the glass-house. From fertile R0 lines, sufficient a number of R1 and R2 progenies were grown for evaluation. Peanut plant were also grown from seeds and used for standar control lines to somaclonal lines. The results showed that phenotypic variation on both qualitative and quantitative characters were observed among R0, R1 and R2 generation of somaclonal lines. Variant phenotype on qualitative characters observed included, wide branching, excessive branching, leaf variegation, leaflet number abnormality, leaf pointed tip, ‘rosette’ leaf, complete sterility and male sterility. Variant phenotype of quantitative characters included plants with significantly higher plant dry weight, plant height, root dry weight and fertile pod weight. The data indicated that wide branch, excessive branch, leaflet number abnormality, male sterility and total sterility were genetically controlled, while variant phenotype ‘rosette‘ leaf, leaf variegation, and leaf pointed tip were epigenetically controlled. There were four lines with significantly higher root dry weight, those are K0-8, K0-30.2, K15-1, K15-2 and three lines with significantly higher fertile pod weight, those are K0-2, K0-4, and K15-4. Key words: somaclonal variant, qualitative characters, quantitative character, in
vitro selection, in vitro culture
56
Pendahuluan
Penggunaan teknik in vitro untuk mendapatkan plasma nutfah dengan
karakter unggul baru memerlukan tersedianya teknik kultur jaringan yang efektif
dan bahan penyeleksi yang tepat (Hammerschlag 1988). Teknik kultur jaringan
diperlukan untuk menghasilkan embrio somatik (ES), menginduksi variasi
somaklonal dan meregenerasikan ES varian menjadi tanaman dalam jumlah
banyak. Bahan penyeleksi yang tepat diperlukan untuk menapis ES varian
dengan karakter unggul yang diinginkan di antara ES varian dengan karakter
yang tidak diinginkan.
Teknik kultur jaringan, terutama yang melibatkan fase kalus, dapat
menginduksi terjadinya variasi somaklonal, yaitu perubahan yang terjadi pada
tanaman yang diregenerasikan dari kultur in vitro, pada umumnya bersifat
heritable. Variasi somaklonal dapat diketahui dengan menganalisis fenotipe,
protein, jumlah dan struktur khromosom, serta DNA (de Klerk 1990, Maraschin
et al. 2002). Selain variasi somaklonal, sumber variasi lain yang dapat diamati
pada tanaman regeneran adalah variasi epigenetik yang merupakan modifikasi
ekspresi genetik, biasanya bersifat reversibel (Henikoff and Matzke 1997). Tipe
dan intensitas variasi sering berbeda antar spesies atau kultivar maupun antar
perlakuan. Dalam suatu percobaan mungkin terjadi perubahan yang sangat
besar sehingga tanaman tampak abnormal, namun mungkin pula hanya
sebagian kecil sedangkan sebagian besar karakter lain tetap menyerupai
induknya (Hawbaker et al. 1993, Duncan et al. 1995).
Kultur jaringan kacang tanah yang menginduksi terbentuknya ES dan
variasi somaklonal, serta meregenerasikan tanaman varian secara efisien telah
dibakukan. Teknik yang dikembangkan terbukti mampu menginduksi keragaman
karakter kualitatif dan kuantitatif serta toleransi terhadap toksin yang disekresikan
cendawan Sclerotium rolfsii (Yusnita et al. 2005). Keragaman di antara kultur ES
kacang tanah diduga juga berpotensi untuk menghasilkan varian ES dengan
karakter toleran terhadap cekaman kekeringan. Dari penelitian sebelumnya telah
dikembangkan metode baku seleksi in vitro menggunakan PEG- 6000 yang
dapat digunakan untuk mengisolasi jaringan kacang tanah yang toleran cekaman
kekeringan (Rahayu 2005).
Penambahan bahan seleksi dalam media kultur merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi intensitas variasi somaklonal (Skirvin et al. 1994).
PEG-6000 yang terbukti mampu menapis karakter toleransi kacang tanah
57
terhadap kekeringan (Rahayu 2005) diduga juga mampu menapis sifat-sifat lain
yang berkait dengan karakter toleransi terhadap cekaman kekeringan. Dalam
jaringan varian kacang tanah yang mampu hidup dalam media seleksi yang
mengandung PEG diduga terjadi hambatan pada ekspresi gen yang
menentukan sifat peka atau sifat lain yang berkaitan dengan kepekaan terhadap
cekaman kekeringan. Sebaliknya, hambatan tersebut tidak terjadi pada jaringan
varian yang berkembang dalam media kultur in vitro non-selektif. Oleh karena itu
diduga ada perbedaan keragaman antara varian yang melewati tahap seleksi in
vitro dengan yang tidak melewati tahap tersebut.
Keragaman karakter akibat variasi somaklonal pada tanaman hasil kultur in
vitro dan hasil seleksi in vitro menggunakan PEG belum diketahui sehingga perlu
dievaluasi. Dalam penelitian ini tanaman hasil kultur in vitro adalah tanaman yang
diregenerasikan dari ES yang berkembang dalam media in vitro (media MS +
picloram 16 μΜ), sedang tanaman hasil seleksi in vitro diregenerasikan dari ES
yang berkembang dalam media selektif (media MS + pikloram 16 μΜ + PEG-
6000 15%). Penelitian bertujuan 1) mengidentifikasi varian kualitatif pada
tanaman kacang tanah hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro, 2) menduga
faktor pengendali varian kualitatif, 3) mengidentifikasi varian kuantitatif pada
tanaman kacang tanah hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro, 4)
mengidentifikasi galur yang mempunyai varian kuantitatif positif.
Bahan dan Metode
Bahan Tanaman dan Induksi Variasi Somaklonal Dalam penelitian ini digunakan kalus embriogen dengan ES sekunder
kacang tanah cv. Kelinci dan Singa yang diperoleh dari percobaan sebelumnya.
Kalus embriogen yang berumur satu bulan di sub-kultur setiap bulan selama
enam bulan dalam media MS-P16 padat untuk menginduksi terjadinya variasi
somaklonal.
Pertumbuhan ES Varian dalam Media Kultur dan Media Selektif serta Regenerasinya menjadi Tanaman R0 Pada sebagian percobaan kalus embriogen dengan ES varian diseleksi
dalam media selektif yang mengandung PEG-6000 15%. Identifikasi ES varian
yang insensitif terhadap cekaman PEG dan regenerasinya menjadi tanaman R0
telah dilakukan pada percobaan sebelumnya.
58
Pada sebagian percobaan yang lain kalus embriogen dengan ES varian
ditumbuhkan dalam media kultur non-selektif, yaitu MS-P16 cair tanpa
penambahan PEG. Pada awal percobaan ditanam 500 kalus embriogen,
masing-masing dengan 8–10 ES sehingga jumlah total ES yang ditumbuhkan
mencapai 4000–5000 ES. Kalus embriogen (lima eksplan per botol) ditanam
dalam media kultur dan disub-kultur setiap bulan ke dalam media kultur yang
masih segar, dalam kondisi gelap 24 jam. Setelah tiga bulan, ES yang masih
hidup diisolasi dan ditanam dalam media MS-P16 padat selama dua bulan agar
terjadi proliferasi. ES hasil proliferasi kemudian diregenerasikan menjadi
tanaman R-0 melalui tahap-tahap yang sama dengan regenerasi ES hasil seleksi
in vitro.
Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman R0, R1 dan R2 Benih R0:1 yang dihasilkan oleh tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES
hasil seleksi in vitro dalam media PEG 15% (yang selanjutnya disebut populasi
R0-K15) dan yang diregenerasikan dari ES hasil kultur in vitro tanpa seleksi PEG
(yang selanjutnya disebut populasi R0-K0) ditanam untuk memperoleh tanaman
generasi R1. Masing-masing nomor tanaman R0 ditumbuhkan 5 – 10 tanaman
R1 tergantung pada jumlah polong bernas yang dihasilkan. Tanaman R1
ditumbuhkan dalam polybag berukuran 45 x 45 cm yang diisi 10 kg media tanam
campuran tanah kebun, kompos dan pasir dengan perbandingan 2:1:1 (v/v) dan
dipelihara di rumah kaca di Balitbiogen, Bogor. Pemeliharaan yang meliputi
pemupukan, penyiraman, pengendalian gulma dan hama dilakukan seperti
dijelaskan sebelumnya. Tanaman R1 dipelihara hingga panen, benih R1-2
dipanen secara terpisah dari setiap nomor.
Benih R1-2 yang berasal dari nomor tanaman R1 terpilih, yaitu beberapa nomor yang menghasilkan polong bernas paling banyak, ditanam untuk memperoleh tanaman generasi R2. Masing-masing nomor R1 terpilih tersebut ditanam 10 benih R1-2. Tanaman R2 ditumbuhkan dalam polybag yang berisi media tanam dengan komposisi dan jumlah yang sama serta dipelihara dalam kondisi yang sama seperti penanaman R1. Pemeliharaan yang meliputi pemupukan, penyiraman, pengendalian gulma dan hama dilakukan seperti dijelaskan sebelumnya. Tanaman R2 dipelihara hingga panen, benih R2-3 dipanen secara terpisah dari setiap nomor. Sebagai kontrol adalah tanaman kacang tanah kultivar Kelinci yang ditumbuhkan dari benih yang diperoleh dari Balitbiogen, Bogor. Tanaman tersebut ditanam dan dipelihara dengan cara yang sama dengan tanaman yang berasal dari kultur.
59
Penentuan Varian Karakter yang diamati meliputi karakter kualitatif dan kuantitatif. Karakter kualitatif yang diamati adalah pola percabangan, intensitas percabangan, filotaksis (jumlah daun yang tumbuh pada satu buku), jumlah leaflet (anak daun) dalam satu daun majemuk, bentuk ujung daun, dan fertilitas. Pola percabangan dibedakan berdasarkan sudut antara batang dengan cabang primer menjadi tiga yaitu pola melebar (> 60o), medium (30o – 60o) dan meninggi (< 30o) (Setiawan 1998; Gambar 8). Intensitas percabangan ditentukan berdasarkan jumlah cabang primer yang tumbuh pada batang, jika ≥ 8 dinyatakan sebagai percabangan berlebihan. Filotaksis ditentukan berdasarkan jumlah daun majemuk yang tumbuh per buku pada sebagian besar buku yang terdapat pada suatu tanaman. Jika pada satu buku tumbuh lebih dari satu daun majemuk disebut daun roset. Jumlah anak daun ditentukan dengan menghitung jumlah anak daun dalam setiap daun majemuk, yang dalam satu individu mungkin tidak seragam. Bentuk ujung daun dibedakan menjadi dua macam, yaitu membulat dan meruncing. Dalam penelitian ini fertilitas dibedakan menjadi tiga, yaitu fertil (membentuk lebih dari lima polong per tanaman), steril partial (membentuk polong 1 – 5 per tanaman) dan steril total (tidak membentuk bunga atau polong sama sekali). Karakter kuantitatif yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah cabang primer, jumlah buku pada cabang utama, jumlah buku total, bobot basah tajuk, bobot kering tajuk, panjang akar pokok, jumlah akar cabang primer, bobot basah akar, bobot kering akar, jumlah polong total, dan jumlah polong bernas. Tajuk kering atau akar kering diperoleh dengan memanaskan tajuk atau akar dalam oven dengan suhu 80oC selama tiga hari.
Gambar 8. Pola percabangan pada tanaman kacang tanah yang diregenerasikan
dari ES hasil kultur dan seleksi in vitro. a. pola percabangan melebar, b. pola medium, c. pola meninggi
a b c
60
Keberadaan varian kualitatif ditentukan dengan mengamati suatu karakter
pada tanaman hasil kultur atau seleksi in vitro dan membandingkannya dengan
karakter sejenis pada tanaman standar yang berasal dari benih. Karakter pada
tanaman hasil kultur atau seleksi in vitro yang berbeda dengan karakter pada
tanaman standar ditetapkan sebagai varian, kemudian dihitung frekuensinya.
Keberadaan varian kuantitatif ditentukan dengan mengukur suatu karakter
pada semua individu dari semua populasi, menentukan kisaran nilai kemudian
mengelompokkan kisaran tersebut menjadi lima kelas. Dari setiap kelas dibuat
distribusi frekuensi untuk masing-masing populasi. Tanaman hasil kultur atau
seleksi in vitro yang mempunyai nilai yang lebih besar atau lebih kecil dari
kisaran tanaman standar ditetapkan sebagai varian somaklonal.
Varian yang teramati pada generasi R0 dicatat dan diamati kembali pada
generasi R1 dan R2 turunannya. Bila suatu varian muncul pada generasi R0
tetapi tidak muncul lagi pada generasi R1 maupun R2, maka varian tersebut
diduga dikendalikan secara epigenetik. Sebaliknya bila suatu varian selalu
tampak pada generasi R0, R1 dan R2 turunannya, atau tidak muncul pada R0
tetapi muncul pada R1 dan R2 diduga merupakan karakter genetik.
Hasil
Tanaman R0, R1 dan R2 Hasil regenerasi ES kacang tanah cv. Singa hasil seleksi in vitro tidak
menghasilkan tanaman yang fertil, sehingga tidak dapat diamati lebih lanjut.
Regenerasi ES kacang tanah cv. Kelinci menghasilkan 38 tanaman hasil kultur
in vitro (tanaman R0-K0) dan 24 tanaman hasil seleksi in vitro (tanaman R0-K15)
yang mencapai umur reproduktif. Sepuluh tanaman R0-K0 tidak menghasilkan
bunga, delapan tanaman membentuk benih yang tidak viabel, sehingga hanya
zuriat dari 20 tanaman R0-K0 yang dievaluasi lebih lanjut. Pada R0-K15, hanya
sembilan tanaman yang dapat membentuk benih yang viabel, sedangkan
delapan tanaman tidak berbunga dan tujuh tanaman menghasilkan bunga namun
biji tidak viabel. Zuriat dari sembilan tanaman tersebut dievaluasi lebih lanjut.
Varian Kualitatif Tanaman standar yang ditumbuhkan dari benih mempunyai pola
percabangan medium; percabangan normal (3-5 cabang primer); filotaksis
tersebar (dalam satu buku tumbuh satu daun majemuk), daun majemuk tetrafoliat
(empat anak daun), ujung daun membulat, dan fertil.
61
Karakter-karakter kualitatif pada populasi R0-K15 yang berbeda dengan
tanaman standar meliputi percabangan melebar (Gambar 8.a), percabangan
berlebihan (Gambar 9.j), daun pentafoliat (Gambar 9.e, 9.f), steril partial dan
steril total. Pada populasi R0-K0, selain beberapa karakter tersebut teridentifikasi
pula daun roset (Gambar 9.a dan 9.b), varigata (Gambar 9.c) dan ujung daun
meruncing (Gambar 9d). Karakter kualitatif pada populasi R1-K15 yang berbeda
dengan tanaman standar meliputi percabangan melebar, daun pentafoliat dan
steril partial.
Pada populasi R1-K0, selain ketiga karakter tersebut teramati pula
percabangan berlebihan dan daun hexafoliat atau oktafoliat (Gambar 9.g dan
9.h). Pada generasi berikutnya variasi kualitatif yang muncul pada populasi R2-
K15 hanyalah percabangan melebar dan daun pentafoliat, sedangkan pada
populasi R2-K0 tampak daun hexafoliat dan steril parsial. Perbedaan-perbedaan
tersebut merupakan varian somaklonal.
Tabel 9. Jenis, frekuensi dan persentase varian kualitatif pada tanaman hasil kultur in vitro (K0) dan seleksi in vitro (K15) generasi R0, R1 zuriat R0 dan R2 zuriat R1
Jenis Varian Populasi
Frekuensi dan persentase varian pada generasi
R0 R1 R2 Percabangan melebar K0 38/38 (100) 16/20 80) 2/20 (10)Percabangan berlebihan 27/38 (71) 1/20 (5) 0/20 (0) Filotaksis daun roset 4 / 38 (10) 0/20 (0) 0/20 (0) Daun pentafoliat 10 / 38 (26) 10/20 50) 5/20 (25) Daun hexafoliat atau lebih 0 / 38 (0) 7/20 (35) 5/20 (25) Ujung daun meruncing 6 / 38 (16) 0/20 (0) 0/20 (0) Varigata pada ujung daun 3/38 (8) 0/20 (0) 0/20 (0) Steril partial 8 / 38 (21) 4/20 (20) 4/20 (20) Steril total 10 / 38 (26) 0/20 (0) 0/20 (0) Percabangan melebar K15 24 / 24 100) 8/9 (88) 1/9 (11) Percabangan berlebihan 18/24 (75) 0/9 (0) 0/9 (0) Filotaksis daun roset 0 / 24 (0) 0/9 (0) 0/9 (0) Daun pentafoliat 10 / 24 (42) 7/9 (77) 4/9 (44) Daun hexafoliat atau lebih 0 / 24 (0) 0/9 (0) 0/9 (0) Ujung daun meruncing 0 / 24 (0) 0/9 (0) 0/9 (0) Varigata pada ujung daun 0/24 (0) 0/9 (0) 0/9 (0) Steril partial 7 / 24 (29) 1/9 (11) 0/9 (0) Steril total 8 / 24 (33) 0/9 (0) 0/9 (0)
Keterangan: Frekuensi dan persentase varian x/y (z) : x menunjukkan banyaknya nomor tanaman R0/R1/R2 yang mempunyai karakter varian, y menunjukkan banyaknya nomor tanaman R0/R1/R2 total yang dievaluasi, z merupakan angka persentase (x/y x 100%)
62
Gambar 9. Varian kualitatif pada tanaman kacang tanah hasil kultur dan seleksi
in vitro. a. Daun roset (pada satu buku tumbuh ≥2 daun majemuk), b. daun roset (pada satu buku tumbuh dua daun majemuk), c. varigata pada tepi ujung daun, d. bentuk ujung daun meruncing, e. daun majemuk dengan lima leaflet; ukuran leaflet sama , f. ukuran leaflet tidak sama, g. daun majemuk dengan enam leaflet, h. daun majemuk dengan 8 leaflet, i. daun majemuk dengan 4, 5, dan 6 leaflet pada yang tumbuh pada satu ranting, j. percabangan berlebihan
Persentase keberadaan varian suatu karakter berbeda antar populasi dan
antar generasi. Pada umumnya persentase varian berkurang dari satu generasi
ke generasi berikutnya, kecuali varian daun hexafoliat pada populasi K-0. Varian
percabangan melebar dan daun pentafoliat muncul pada generasi R0, R1 dan R2
baik pada populasi tanaman hasil kultur maupun hasil seleksi in vitro. Varian
percabangan berlebihan teridentifikasi dalam persentase yang cukup tinggi pada
generasi R0, pada populasi tanaman hasil kultur sebesar 71% dan hasil seleksi
in vitro sebesar 75%. Pada generasi selanjutnya (R1) varian tersebut hanya
muncul pada tanaman hasil kultur in vitro sebesar 5% (Tabel 9).
Varian filotaksis daun roset, ujung daun meruncing, dan daun varigata
hanya tampak pada populasi tanaman hasil kultur in vitro generasi R0, masing-
masing sebesar 10%, 16% dan 8%. Pada generasi selanjutnya dan pada
populasi tanaman hasil seleksi in vitro varian tersebut tidak terdeteksi. Pada
tanaman hasil kultur in vitro, varian daun hexafoliat tidak teridentifikasi pada
generasi R0, namun muncul pada R1 (35%) dan R2 (25%). Pada populasi
tanaman hasil seleksi in vitro, tidak ada satupun tanaman yang menunjukkan
varian tersebut (Tabel 9).
a b c d
e
f g h
i
j
63
Evaluasi keragaman varian kualitatif juga menunjukkan bahwa varian steril
partial muncul pada generasi R0, R1 dan R2 pada populasi tanaman hasil kultur
in vitro, sedangkan pada tanaman hasil seleksi in vitro hanya muncul pada
generasi R1 dan R2. Varian steril total hanya terdeteksi pada generasi R0 pada
dua populasi yang dievaluasi (Tabel 9).
Varian Kuantitatif Pertumbuhan tajuk tanaman yang diregenerasikan dari ES hasil kultur in
vitro (populasi R0-K0) yang ditunjukkan oleh rataan tinggi, jumlah cabang primer,
jumlah buku pada batang utama, jumlah buku total, bobot basah tajuk dan bobot
kering tajuk, nyata lebih tinggi dibanding tanaman standar. Pada populasi R1-K0
dan R2-K0 nilai rataan semua peubah pertumbuhan tajuk menurun sehingga
tidak berbeda nyata atau lebih rendah dibandingkan tanaman standar. Pada
tanaman yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro (populasi R0-K15)
pertumbuhan tajuk relatif lebih tinggi dibanding tanaman standar. Pada populasi
R1-K15 dan R2-K15 rataan nilai pertumbuhan tajuk menurun sehingga nyata
lebih rendah dibanding tanaman standar, kecuali karakter jumlah cabang primer
(Tabel 10).
Tabel 10. Rataan nilai dan ragam karakter kuantitatif pertumbuhan tajuk pada populasi tanaman hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro generasi R0, R1 zuriat R0 dan R2 zuriat R1
Karak-ter
Tan. standar
Rataan nilai dan ragam pada populasi R0-K0 R1-K0 R2-K0 R0-K15 R1-K15 R2-K15
TT 68,53 b 101,05 a 60,47 b 37,17 c 70,00 b 35,10 c 36,7 c (156,25) (132,86) (131,56 (67,40) (711,29) (154,75) (85,56) JCP 3,05 b 11,31 a 4,31 b 3,89 b 11,46 a 4,40 b 3,77 b (0,05) (28,72) (0,96) (0,20) (15,76) (0,83) (22,09) JBCU 20,84 b 26,10 a 18,38 b 12,59 c 22,21 ab 14,64 c 12,57 c (5,81) (66,25) (11,28) (3,65) (36,36) (14,28) (5,34) JBT 83,10 b 158,76 a 75,19 b 51,41 d 147,29 a 63,64 c 48,84 d (127,23) (744,94) (702,78) (143,04) (2170,63) (503,10) (109,83) BTB 109,66 c 279,13 a 88,13 c 36,85 e 186,22 b 60,76 d 35,21 e (78,51) (2504,93) (454,11) (39,40) (1946,58) (796,37) (240,87) BTK 25,39 c 76,87 a 21,33 c 13,18 d 45,48 b 15,94 d 11,33 d (39,19) (2470,09) (57,45) (30,47) (1218,01) (55,50) (17,72)
Keterangan: TT : tinggi tanaman; JCP: jumlah cabang primer; JBCU: jumlah buku pada cabang utama; JBT: jumlah buku total; BTB: bobot tajuk basah; BTK: bobot tajuk kering. Angka dalam satu baris yang diikuti huruf sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% berdasarkan uji DMRT.
64
Pada populasi tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro, nilai ragam peubah-
peubah pertumbuhan tajuk, kecuali peubah tinggi tanaman, pada generasi R0
dan R1 pada umumnya jauh di atas tanaman standar. Pada generasi R2 nilai
ragam menurun sehingga lebih rendah dibanding tanaman standar (Tabel 10).
Pertumbuhan akar tanaman populasi R0-K0 secara umum tidak berbeda
nyata dengan tanaman standar, sebaliknya pada populasi R1-K0 dan R2-K0,
pertumbuhan akar nyata lebih rendah dibanding tanaman standar. Pada tanaman
hasil seleksi in vitro semua generasi rataan semua peubah pertumbuhan akar
nyata lebih rendah dibanding tanaman standar. Nilai ragam peubah-peubah
pertumbuhan akar pada generasi R0 dan R1 ada yang lebih tinggi ada pula yang
lebih rendah dibanding tanaman standar, tetapi pada generasi R2 secara umum
lebih rendah dibanding tanaman standar. Jumlah polong total, jumlah polong
bernas dan bobot polong bernas pada populasi K0 dan K15 semua generasi
nyata lebih rendah, sebaliknya nilai ragam peubah-peubah tersebut pada semua
generasi lebih tinggi dibanding tanaman standar (Tabel 11).
Tabel 11. Rataan nilai dan ragam karakter kuantitatif pertumbuhan akar dan hasil pada populasi tanaman hasil kultur dan hasil seleksi in vitro generasi R0, R1 zuriat R0, dan R2 zuriat R1 pada kacang tanah kultivar Kelinci
Karak- ter
Tan. standar
Rataan nilai dan ragam pada populasi R0-K0 R1-K0 R2-K0 R0-K15 R1-K15 R2-K15
PAP 22,74 a 19,63 b 20,19 b 23,87 a 16,75 b 18,45 b 18,03 b (33,79) (37,94) (46,64) (153,26) (46,64) (20,43) (54,76) JACP 31,89 a 10,08 c 17,35 b 14,35 b 7,33 c 12,51 b 14,61 b (29,26) (22,96) (20,61) (19,01) (12,81) (16,24) (15,76) BAB 4,19 a 4,01 a 1,56 c 1,12 c 2,67 b 1,71 c 1,05 c (1,21) (5,15) (0,84) (0,34) (4,16) (0,39) (0,35) BAK 1,04 a 1,11 a 0,53 b 0,37 c 0,79 ab 0,47 c 0,32 c (0,07) (1,32) (0,14) (0,04) (0,47) (0,03) (0,03) JPT 22,47 a 12,79 b 13,84 b 12,38 b 11,46 b 11,67 b 9,77 b (32,26) (148,11) (38,19) (32,03) (136,65) (28,72) (36,48) JPB 14,21 a 7,13 c 8,64 b 6,64 cd 6,75 c 9,40 b 5,73 d (12,39) (55,20) (24,80) (15,21) (51,41) (22,46) (25,00) BPK 20,45 a 11,76 b 12,49 b 8,59 c 7,32 c 15,25 b 8,24 c (23,20) (166,15) (46,65) (34,10) (86,30) (58,36) (30,33)
Keterangan : PAP: panjang akar pokok; JACP: jumlah akar cabang primer; BAB: bobot akar basah; BAK: bobot akar kering; JPT: jumlah polong total; JPB: jumlah polong bernas; BPK: bobot polong kering. Angka dalam satu baris yang diikuti huruf sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%.
65
Untuk bobot kering tajuk, masing-masing 28, dua dan sembilan galur dari
populasi R0-K0, R1-K0 dan R0-K15 mempunyai bobot kering tajuk lebih besar
dibanding tanaman standar. Tidak ada galur dengan bobot kering tajuk yang
lebih kecil dibanding tanaman standar. Populasi R0-K0, R1-K0, R2-K0, R0-K15,
R1-K15, dan R2-K15 masing-masing mempunyai lima, 15, 59, delapan, 33, dan
43 galur yang mempunyai tinggi tanaman lebih rendah, sedangkan 20 dan dua
galur dari populasi R0K0 dan R0-K15 mempunyai tinggi tanaman lebih tinggi
dibanding tanaman standar (Gambar 10).
0
154 0 03
10 155
15
65
3 0 05 0 0 08 6 8 2 0
33
60 0 0
43
5 0 0 05
59
0
2040
60
80
A B C D E
kisaran tinggi tanaman (cm)
jum
lah
galu
r
19
0 0 0 010 12 6 6 4
81
2 0 0 0
64
0 0 0 015
3 6 0 0
39
0 0 0 0
38
0 0 0 00
20406080
100
A B C D E
kisaran bobot kering tajuk (g)
jum
lah
galu
r
Gambar 10. Distribusi frekuensi tinggi tanaman dan bobot kering tajuk kacang
tanah populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro. Tanaman standar (■), R0-K0 ( ), R1-K0 (□), R2-K0 ( ), R0-K15 ( ), R1-K15 ( ) dan R2-K15 ( ). Kisaran tinggi tanaman A (x<47,4), B (47,4≤x<76,8), C (76,8≤x<106,2), D (106,2≤x<135,6), E (135,6≤x<165); kisaran bobot kering tajuk A (x<38,4), B (38,4≤x<75,0), C (75,0≤x<111,7), D (111,7≤x<148,3), E (148,3≤x<185). Tanda anak panah menunjukkan nilai terendah dan tertinggi populasi tanaman standar
66
Sebagian besar galur dalam populasi R0-K0, R1-K0, R2-K0, R0-K15, R1-
K15 dan R2-K15, masing-masing sebanyak 36, 72, 58, 24, 37, dan 35 galur
mempunyai jumlah akar cabang lebih sedikit dibandingkan tanaman standar, dan
tidak ada satupun galur yang mempunyai jumlah akar cabang lebih banyak
daripada tanaman standar (Gambar 11).
Untuk karakter bobot kering akar, masing-masing dua, satu dan satu galur
dari populasi R0-K0, R1-K0 dan R0-K15 mempunyai bobot kering akar lebih
tinggi dibanding bobot kering akar tanaman standar, dan tidak ada satupun galur
yang mempunyai bobot kering akar yang lebih kecil dibanding tanaman standar
(Gambar 11).
0 05
104
27
92 0 0
2211
0 0
22
36
60 0
20
4 0 0 0
18 19
2 0 07
28
3 0 0
50
0
20
40
60
A B C D E
kisaran jumlah akar cabang primer
jum
lah
galu
r
314
2 0 08
217 1 1
69
112 1 0
62
2 0 0 015
3 4 2 02 0 0 0
37
1 0 0 0
37
020406080
100
A B C D E
kisaran bobot kering akar (g)
jum
lah
galu
r
Gambar 11.
Distribusi frekuensi jumlah akar cabang primer dan bobot kering akar tanaman standar serta tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro. Tanaman standar (■), R0-K0 ( ), R1-K0 (□), R2-K0 ( ), R0-K15 ( ), R1-K15 ( ) dan R2-K15 ( ). Kisaran jumlah akar cabang primer A (x<11,2), B (11,2≤x<19,4), C (18,4≤x<27,6), D (27,6≤x<35,8), E (35,8≤x<44,0); kisaran bobot kering akar A (x<0,72), B (0,72≤x<1,34), C (1,34≤x<1,96), D (1,96≤x<2,58), E (2,58≤x<3,20). Tanda anak panah menunjukkan nilai terendah dan tertinggi populasi tanaman standar
67
04
7 71
20
5 7 4 2
22
31
17
9
1
2427
12
1 0
15
2 3 2 27
1711
40
23
85 2 0
0
10
20
30
40
A B C D Ekisaran jumlah polong bernas
jum
lah
galu
r
06
11
2 0
93 4 3
25
37
19
2 0
29 30
3 2 0
17
2 40 0
7
20
7 50
2618
40 0
19
01020304050
A B C D E
kisaran bobot polong bernas (g)
jum
lah
galu
r
Gambar 12. Distribusi frekuensi jumlah polong bernas dan bobot polong bernas tanaman standar serta tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro.
Tanaman standar (■), R0-K0 ( ), R1-K0 (□), R2-K0 ( ), R0-K15 ( ), R1-K15 ( ) dan R2-K15 ( ). Kisaran jumlah polong bernas A (x<5,2), B (5,2≤x<10,4), C (10,4≤x<15,6), D (15,6≤x<20,8), E (20,8≤x<26,0); kisaran bobot polong bernas A (x<8,44), B (8,44≤x<16,88), C (16,88≤x<25,32), D (25,32≤x<33,75), E (33,75≤x<42,20). Tanda anak panah menunjukkan nilai terendah dan tertinggi populasi tanaman standar
Untuk karakter jumlah polong bernas, dari populasi R0-K0, R1-K0, R2-K0,
R0-K15, R1-K15 dan R2-K15 terdapat masing-masing 20, 22, 24, lima, tujuh dan
23 galur yang mempunyai jumlah polong bernas lebih sedikit dibanding tanaman
standar. Tidak ada satupun galur yang mempunyai jumlah polong lebih besar
daripada tanaman standar (Gambar 12).
Di antara galur-galur pada populasi R0-K0, R1-K0, R2-K0, R0-K15, R1-K15
dan R2-K15 masing-masing terdapat 19, 25, 29, 17, tujuh, 26 dan tiga galur yang
mempunyai bobot polong bernas lebih kecil daripada tanaman standar. Terdapat
tiga galur dari populasi R0-K0 yang mempunyai bobot polong bernas lebih besar
dibandingkan tanaman standar (Gambar 12).
68
Pembahasan
Varian kualitatif yang muncul pada tanaman hasil seleksi in vitro dalam
media dengan PEG 15% (populasi K15) lebih rendah tingkat keragamannya
dibanding yang muncul pada tanaman hasil kultur in vitro (populasi K0). Pada
populasi K15 muncul varian berupa percabangan melebar, percabangan
berlebihan, daun pentafoliat, steril partial dan steril total; sedangkan pada
populasi K0, selain lima karakter tersebut teridentifikasi pula munculnya daun
roset, daun varigata, ujung daun meruncing, daun hexafoliat, dan daun
oktafoliat.
Perbedaan intensitas variasi tersebut diduga sebagai akibat perbedaan
perlakuan yang dialami embrio somatik (ES) yang menghasilkan tanaman K0
dan K15. ES yang diregenerasikan menjadi tanaman K0 mengalami sub-kultur
sebanyak enam kali, sedangkan yang diregenerasikan menjadi tanaman K15
selain mengalami sub-kultur enam kali juga mengalami seleksi dalam media
selektif PEG 15% selama tiga bulan dengan tiga kali sub-kultur. Dengan
demikian variasi yang muncul pada tanaman K0 terjadi akibat pengaruh sub-
kultur berulang terhadap perubahan materi atau ekspresi genetik pada jaringan
eksplan atau kalus. Pikloram (asam 4-amino,3.5.6.trikhloropikolinat, suatu
herbisida yang dalam konsentrasi rendah berperan sebagai fitohormon auksin)
yang ditambahkan dalam media kultur menginduksi pembelahan sel terus
menerus dengan kecepatan yang tinggi. Pembelahan sel yang cepat tersebut
dapat mengakibatkan perubahan dalam proses replikasi materi genetik atau
pada faktor-faktor pengendali ekspresi genetik, sehingga juga mengakibatkan
perubahan pada fenotipe tanaman (Wikipedia 2006). Perubahan yang terjadi
bersifat acak pada berbagai karakter.
Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian pada kedelai. Frekuensi
variasi somaklonal pada tanaman kedelai antara lain dipengaruhi oleh
konsentrasi auksin dalam media tumbuh. Pada media dengan 22,5 μM 2.4.D
terbentuk varian sebesar 40%, sedangkan dengan 18 μM terbentuk 3 % dari
tanaman regeneran (Shoemaker et al. 1991).
Variasi yang muncul pada populasi K15 terjadi bukan hanya akibat
pengaruh sub-kultur seperti di atas, melainkan juga pengaruh tekanan seleksi
dari bahan penyeleksi PEG. Oleh karena itu variasi yang muncul akibat pengaruh
sub-kultur ada kemungkinan tereliminasi oleh tekanan seleksi, sehingga
69
keragaman yang muncul pada tanaman hasil seleksi lebih rendah dibandingkan
tanaman hasil kultur in vitro (Skirvin et al. 1994)
Pada umumnya persentase munculnya varian kualitatif berkurang dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Varian percabangan berlebihan teridentifikasi
dalam persentase yang cukup tinggi pada generasi R0, namun menurun tajam
pada generasi R1. Varian filotaksis daun roset, ujung daun meruncing, dan daun
varigata hanya tampak pada populasi tanaman hasil kultur in vitro generasi R0
dengan persentase yang relatif kecil. Pada generasi selanjutnya dan pada
populasi tanaman hasil seleksi in vitro varian tersebut tidak terdeteksi.
Persentase varian yang tinggi pada generasi R0 mungkin disebabkan oleh
pengaruh kondisi kultur yang mampu mengubah fenotipe tanaman, namun
perubahan tersebut tidak permanen atau bersifat epigenetik. Epigenetik
merupakan modifikasi dalam ekspresi genetik, tetapi cenderung reversibel akibat
perubahan struktur kromatin dan atau metilasi DNA, atau amplifikasi gen
(Henikoff dan Matzke 1997, Tremblay et al. 1999, Wikipedia 2006). Pada
generasi lanjut perubahan pada mekanisme epigenetik makin berkurang
sehingga keragaan tanaman yang diregenerasikan melalui tahap kultur in vitro
lebih mendekati keragaan tanaman standar (Henikoff dan Matzke 1997). Varian
steril total tidak dapat dianalisis lebih lanjut karena tidak menghasilkan benih.
Varian percabangan melebar dan daun pentafoliat muncul pada generasi
R0, R1 dan R2 baik pada populasi tanaman K0 maupun K15. Varian steril partial
muncul pada generasi R0, R1 dan R2 untuk populasi tanaman K0. Varian
karakter-karakter tersebut diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Hal ini berarti variasi somaklonal untuk tiga karakter tersebut diduga dikendalikan
oleh faktor genetik, yang mungkin diakibatkan oleh perubahan dalam struktur
gen-gen yang terlibat pada pola percabangan dan jumlah anak daun dalam satu
daun majemuk. Varian genetik juga ditemukan pada tanaman gandum. Pada
tanaman regeneran gandum terjadi variasi somaklonal sebesar 5% untuk sifat
morfologi dan biokimia. Karakter tersebut, baik yang dikendalikan secara
monogenik maupun poligenik, terbukti diturunkan sampai dua generasi (Larkin et
al. 1984).
Pada tanaman hasil kultur in vitro, varian daun hexafoliat dan oktafoliat
tidak teridentifikasi pada generasi R0, namun muncul pada R1 dan R2. Pada
tanaman hasil seleksi in vitro, varian steril partial juga tidak teridentifikasi pada
generasi R0, tetapi muncul pada generasi R1 dan R2. Varian karakter-karakter
70
tersebut diduga dikendalikan oleh gen resesif. Semua tanaman generasi R0
diduga mempunyai genotipe heterozigot sehingga fenotipe varian tersebut tidak
muncul. Pada generasi selanjutnya mungkin terjadi rekombinasi gen yang
mengakibatkan susunan genotipe homozigot dan fenotipe varian muncul pada
beberapa tanaman.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa regenerasi tanaman yang melalui
tahap kultur in vitro dan penggunaan fitohormon dalam kultur in vitro dapat
menginduksi variasi somaklonal. Pada Picea mariana dan P. glauca yang
diregenerasikan melaui embriogenesis somatik teridentifikasi ada sembilan
kelompok varian untuk karakter kualitatif. Beberapa tipe varian terbentuk akibat
instabilitas khromosom, khususnya aneuploid. Dalam penelitian tersebut
instabilitas khromosom diakibatkan oleh perbedaan klon dan lama waktu dalam
kultur (Tremblay et al. 1999). Induksi kalus dengan pikloram dan BA dapat
menghasilkan variasi genetik pada Lycopersicon esculentum Mill. Koefisien
kesamaan genetik menunjukkan bahwa semua tanaman regeneran mempunyai
tingkat perbedaan genetik yang bervariasi dengan tanaman induk (Soniya et al.
2001).
Pada tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro, pertumbuhan tajuk tanaman
generasi R0 lebih tinggi dibanding tanaman standar; tetapi pada generasi R1 dan
R2 pertumbuhan tajuk menurun sehingga lebih rendah dibandingkan tanaman
standar. Nilai ragam peubah-peubah pertumbuhan tajuk pada generasi R0 dan
R1 pada umumnya jauh di atas tanaman standar. Pertumbuhan akar pada
tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro secara umum lebih rendah dibanding
tanaman standar untuk semua generasi, namun nilai ragam beberapa peubah
pertumbuhan akar tertentu lebih tinggi dibanding tanaman standar. Hasil panen
pada tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro juga lebih rendah dibanding
tanaman standar untuk semua generasi. Walaupun demikian, nilai ragam
peubah-peubah tersebut pada semua generasi lebih tinggi dibanding tanaman
standar. Nilai ragam yang lebih tinggi pada sejumlah peubah pertumbuhan tajuk,
akar dan hasil menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan telah dapat
menginduksi variasi somaklonal untuk karakter kuantitatif.
Munculnya varian kuantitatif pada beberapa peubah diperjelas dengan
adanya beberapa galur tanaman yang mempunyai nilai peubah yang lebih tinggi
dibanding nilai tanaman stándar, atau merupakan varian positif. Dari tiga
populasi yang dievaluasi, varian positif untuk peubah bobot kering tajuk
71
sebanyak 39 galur, untuk tinggi tanaman sebanyak 22 galur, untuk bobot kering
akar sebanyak empat galur, dan untuk bobot polong bernas sebanyak tiga galur.
Varian positif untuk bobot kering tajuk dan tinggi tanaman bukan
merupakan varian yang diharapkan dalam pengembangan galur yang toleran
terhadap cekaman kekeringan. Biomassa tajuk yang tinggi akan menurunkan
nisbah akar/tajuk, dan hal ini secara teoritis akan menurunkan toleransi tanaman
terhadap cekaman kekeringan (Blum 1996).
Varian positif untuk bobot kering akar secara potensial mempunyai
toleransi terhadap kekeringan yang lebih tinggi dibanding tanaman standar, tetapi
toleransi tersebut dicapai melalui mekanisme avoidance dengan membentuk
akar yang intensif. Varian tersebut berasal dari populasi tanaman hasil kultur in
vitro sebanyak dua galur, yaitu nomor K0-8 dan K0-30.2, dan dari tanaman hasil
seleksi in vitro sebanyak dua galur, yaitu nomor K-15.1 dan K-15.2. Meskipun
potensial mempunyai toleransi terhadap cekaman kekeringan, namun dalam
penelitian ini tidak diharapkan karena mekanisme yang dilakukan merupakan
mekanisme avoidance yang dapat menurunkan daya hasil.
Galur dengan varian positif untuk bobot polong bernas merupakan galur
yang potensial dikembangkan sebagai galur harapan. Galur-galur tersebut
berasal dari populasi tanaman hasil kultur in vitro sebanyak dua galur, yaitu K0-2
dan K0-4, dan dari populasi tanaman hasil seleksi in vitro sebanyak satu galur,
yaitu K15-4.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan
sebelumnya yang mengindikasikan bahwa kultur jaringan dapat menginduksi
variasi somaklonal khusus yang berperan dalam pengembangan galur baru.
Variasi somaklonal terbukti telah dapat diterapkan untuk pengembangan jagung
yang toleran aluminium (Moon et al. 1997), peningkatan toleransi terhadap suhu
rendah pada padi (Bertin dan Bouharmont 1997), peningkatan produktivitas pada
sorghum (Maralappanavar et al. 2000), peningkatan kualitas hasil dan toleransi
terhadap lingkungan salin pada Distichis spicata (Seliskar dan Gallagher 2000),
peningkatan hasil pada Secale cereale L (Trojanovska 2002), dan gandum yang
toleran terhadap kekeringan (Bajji et al. 2004).
Simpulan
Varian somaklonal kualitatif yang muncul pada tanaman kacang tanah hasil
seleksi in vitro berupa percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun
72
pentafoliat, steril partial dan steril total. Varian somaklonal yang muncul pada
tanaman hasil kultur in vitro lebih beragam, yaitu percabangan melebar,
percabangan berlebihan, daun pentafoliat, steril partial, steril total, daun roset,
daun varigata, ujung daun meruncing, daun hexafoliat, dan daun oktafoliat.
Varian kualitatif yang diduga dikendalikan secara genetik adalah
percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun pentafoliat, daun
hexafoliat, daun oktafoliat dan steril partial. Varian daun hexafoliat, oktafoliat dan
steril partial (pada populasi hasil seleksi in vitro) diduga dikendalikan oleh gen
resesif. Varian yang dikendalikan secara epigenetik adalah daun roset, daun
varigata dan ujung daun meruncing.
Nilai ragam yang lebih besar dan distribusi frekuensi yang lebih luas untuk
sejumlah peubah pertumbuhan pada tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro
dibanding pada tanaman stándar mengindikasikan terjadinya variasi somaklonal
pada karakter kuantitatif. Varian kuantitatif yang bersifat positif tampak pada
karakter bobot kering tajuk, tinggi tanaman, bobot kering akar dan bobot polong
bernas. Galur tanaman yang mempunyai varian positif untuk bobot kering akar
adalah nomor K0-8, K0-30.2, K15-1 dan K15-2; sedangkan yang mempunyai
varian positif untuk bobot polong bernas adalah K0-2, K0-4, dan K15-4.
VI. TOLERANSI GALUR KACANG TANAH HASIL KULTUR DAN SELEKSI IN VITRO
TERHADAP CEKAMAN AKIBAT PENYIRAMAN PEG
Abstrak
Kultur dan seleksi in vitro terbukti dapat menginduksi variasi somaklonal pada kacang tanah, baik karakter kualitatif maupun kuantitatif. Kultur dan seleksi in vitro diduga juga dapat menghasilkan tanaman varian yang toleran terhadap kekeringan akibat penyiraman PEG. Penelitian bertujuan 1) membandingkan respon terhadap cekaman PEG antara tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan hasil seleksi in vitro dengan tanaman yang tumbuh dari benih sebagai tanaman standar, 2) membandingkan tingkat toleransi terhadap cekaman PEG pada tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan seleksi in vitro dengan tanaman standar, 3) menduga mekanisme toleransi terhadap cekaman PEG pada tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan seleksi in vitro. Kecambah ditumbuhkan dalam media campuran arang sekam dan pupuk kandang (1:1 v/v). Larutan PEG 15% disiramkan ke dalam pot setiap dua hari sejak tanaman mempunyai empat daun yang telah membuka sempurna sampai umur tujuh minggu. Hasil penelitian menyimpulkan 1) cekaman akibat penyiraman PEG 15% pada fase vegetatif menurunkan pertumbuhan tajuk, tetapi tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan akar; dan respon pertumbuhan terhadap cekaman PEG pada tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur atau seleksi in vitro mempunyai distribusi frekuensi yang lebih luas dan ragam yang lebih besar dibanding tanaman standar, 2) tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan seleksi in vitro mempunyai tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap cekaman PEG dibandingkan tanaman stándar, 3) nisbah akar/tajuk dan panjang akar primer tidak mempunyai hubungan yang berarti dengan toleransi tanaman kacang tanah cv. Kelinci terhadap cekaman PEG. Kata kunci: toleransi kekeringan, PEG, kultur in vitro, seleksi in vitro, kacang tanah
74
Abstract
In vitro culture and in vitro selection have been proved to result somaclonal variation on peanut, both qualitative and quantitative characters. In vitro culture and in vitro selection were estimated to result variant plant with drought stress tolerance. The aims of this study were to 1) compare the growth response to PEG stress between Kelinci cultivar of peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryos with plants regenerated from seed as control cultivar, 2) compare tolerance level to drought stress induced by PEG of Kelinci cultivar of peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryos with plants regenerated from seed as control cultivar, and 3) estimate the Kelinci cultivar of peanut plants tolerance mechanism to drought stress induced by PEG. Variant peanut seedlings were grown individually in plastic pot (600 ml) containing a mixture of rice-hull charcoal and manure (1:1, v/v). The seedlings were poured with PEG liquid (15%) every two days since they have four leaves until seven week after planting. The results of the experiment indicated 1) stress induced by PEG 15% solute at vegetative growth stage reduced shoot growth, but did not affect negatively on root growth; Kelinci cultivar of peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo have wider frequency distribution growth response and greater varians than the control plants, 2) Kelinci cultivar of peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo have higher tolerance level to stress induced by PEG than the control plant, 3) no significant correlation between root / shoot ratio and primary root length with tolerance of Kelinci cultivar peanut plants to drought stress induced by PEG.
Key words: drought tolerance, PEG, in vitro culture, in vitro selection, peanut
75
Pendahuluan
Karakter toleransi terhadap cekaman kekeringan pada prinsipnya berkait
dengan upaya tanaman untuk menjaga keseimbangan osmotik dengan cara
meningkatkan penyerapan air dan menurunkan kehilangan air. Ciri penting yang
harus diamati untuk menentukan toleransi terhadap kekeringan antara lain bobot
kering organ vegetatif saat panen dan bobot kering polong (Rachaputi dan
Wright 2003). Menurut Mitra (2001) upaya yang demikian disebut sebagai
mekanisme ketahanan.
Kacang tanah relatif toleran terhadap cekaman kekeringan bila mempunyai
sistem perakaran yang besar (Robertson et al. 1980), indeks luas daun yang
rendah dan rasio bobot kering akar/pucuk yang tinggi (Blum 1996). Pada kacang
tanah tipe Valencia dan Spanish, sistem perakaran yang dalam, ukuran biji yang
kecil, dan sudut percabangan yang besar memainkan peran penting dalam
toleransi terhadap kekeringan. Sistem perakaran yang dalam diyakini
menurunkan daun yang mengalami die-back sehingga hasil panen meningkat.
Berdasar hal ini panjang akar primer antara lain dapat dijadikan sebagai dasar
untuk mengevaluasi toleransi kacang tanah terhadap kekeringan (Setiawan
1998).
Kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan antara lain dapat
dikembangkan melalui kultur in vitro dan seleksi in vitro. Kultur in vitro dapat
menginduksi variasi somaklonal pada kacang tanah. Dari penelitian sebelumnya
diketahui variasi somaklonal tampak pada beberapa karakter kualitatif yang
meliputi pola percabangan, susunan daun, filotaksis, bentuk daun dan fertilitas.
Di samping itu juga tampak pada karakter kuantitatif yang meliputi tinggi
tanaman, jumlah cabang, jumlah buku, bobot tajuk, panjang akar, bobot akar,
jumlah polong, bobot polong dan jumlah biji. Diduga kultur in vitro juga dapat
menghasilkan tanaman varian yang toleran terhadap kekeringan dengan
mekanisme baru yang belum muncul sebelumnya.
Variasi somaklonal terjadi secara acak pada berbagai karakter. Untuk
memperbesar peluang mendapatkan varian dengan karakter yang diinginkan
dapat dilakukan seleksi menggunakan bahan penyeleksi yang sesuai. Dari
percobaan sebelumnya telah diketahui bahwa PEG-6000 merupakan bahan
penyeleksi yang tepat untuk menapis varian yang toleran terhadap cekaman
kekeringan (Rahayu et al. 2005).
76
Larutan PEG dalam media in vitro juga dapat menghambat proliferasi
embrio somatik kacang tanah, dan tingkat penghambatan > 95% (sub-letal)
didapatkan pada konsentrasi PEG 15% (Rahayu et al. 2006). Dengan demikian
embrio somatik yang mampu hidup dalam media selektif yang mengandung PEG
15% diharapkan mempunyai karakter yang toleran terhadap potensial air rendah,
dan tanaman yang diregenerasikan dari embrio somatik tersebut diharapkan
bersifat toleran terhadap cekaman kekeringan.
Percobaan ini bertujuan untuk 1) membandingkan respon terhadap
cekaman akibat PEG antara tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan
hasil seleksi in vitro dengan tanaman standar, 2) membandingkan tingkat
toleransi terhadap cekaman akibat PEG antara tanaman kacang tanah cv. Kelinci
hasil kultur dan seleksi in vitro dengan tanaman standar, 3) menduga mekanisme
toleransi tanaman kacangtanah cv. Kelinci terhadap cekaman PEG.
Bahan dan Metode
Bahan Tanaman Bahan yang digunakan adalah tanaman kacang tanah cv. Kelinci yang
tidak diregenerasikan melalui kultur in vitro sebagai standar, tanaman kacang
tanah cv. Kelinci yang diregenerasikan dari ES hasil kultur in vitro generasi R1
dan R2 (populasi R1-K0, R2-K0) dan dari ES hasil seleksi in vitro dalam media
dengan PEG 15% generasi R2 atau populasi R2-K15 (Tabel 12).
Evaluasi Respon terhadap Cekaman PEG
Penyiapan media tanam di rumah kaca. Media tanam berupa campuran
arang sekam dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1 (v/v) dimasukkan ke
dalam pot plastik 600 ml dengan diameter 10 cm; tinggi 30 cm yang dibungkus
plastik hitam. Setiap pot diisi media tanam sebanyak 500 g atau setinggi kurang
lebih 25 cm, kemudian disiram dengan air dan dibiarkan sampai kering kembali
untuk mempermudah penyerapan air pada saat diperlakukan dengan PEG.
Selanjutnya media tanam disiram dengan larutan pupuk NPK 6 – 10 g/l sebanyak
300 ml per pot atau sampai jenuh, dan ditambah pupuk butir NPK slow release
sebanyak 10 – 15 butir.
Penanaman benih. Untuk perlakuan PEG 15% dan perlakuan kontrol
(PEG 0%) masing-masing diperlukan lima pot untuk setiap galur tanaman. Setiap
pot ditanami dua benih. Benih terlebih dahulu direndam dalam larutan fungisida
77
untuk mencegah pertumbuhan jamur dalam media tanam. Pot diletakkan
dengan jarak 0,1 m di dalam baris dan 0,2 m antar baris. Dalam percobaan ini
sebagai kontrol adalah kultivar yang digunakan sebagai sumber eksplan awal
(kacang tanah cv. Kelinci). Setelah satu minggu dari setiap pot dipilih satu
tanaman yang relatif seragam, sedangkan satu tanaman yang lain dibuang.
Aplikasi PEG . Larutan PEG dibuat dengan melarutkan 150 g kristal PEG-
6000 dalam air hingga volume larutan 1 liter. Larutan PEG disiramkan ke dalam
pot sebanyak 30 ml setiap dua hari sejak tanaman mempunyai empat daun yang
telah membuka sempurna sampai tujuh minggu. Untuk perlakuan kontrol
disiramkan air dengan jumlah yang sama. Setelah umur empat minggu
penyiraman diberikan sebanyak 40 ml per pot.
Tabel 12. Nomor-nomor galur generasi R1 dan R2 populasi K0 dan generasi R2
populasi K15 yang dievaluasi toleransinya terhadap cekaman PEG 15%
No Populasi K0 Populasi K15 R1 R2 R2
1 K0-7 K0-2.1 K15-1.10 2 K0-11 K0-2.3 K15-2.5 3 K0-14 K0-2.4 K15-4.3 4 K0-16 K0-2.5 K15-4.4 5 K0-20 K0-2.7 K15-4.5 6 K0-30 K0-2.10 K15-4.6 7 K0-32 K0-4.1 K15-4.8 8 K0-7.3 K15-4.9 9 K0-7.6 K15-4.10
10 K0-10.2 K15-5.1 11 K0-11.3 K15-5.2 12 K0-12.4 K15-5.4 13 K0-12.5 K15-5.8 14 K0-13.2 K15-5.9 15 K0-13.7 K15-5.10 16 K0-13.10 K15-6.1 17 K0-16.1 K15-6.2 18 K0-16.2 K15-7.1 19 K0-16.4 K15-8.1 20 K0-16.6 21 K0-20.10 22 K0-22.1 23 K0-22.2 24 K0-22.4 25 K0-22.5 26 K0-30.1 27 K0-32.1 28 K0-32.2 29 K0-32.3 30 K0-32.5
78
Analisis Respon terhadap Cekaman PEG Respon yang diamati meliputi jumlah hari setelah perlakuan ketika
tanaman mati, jumlah dan persentase tanaman mati (setiap dua hari, sampai
empat minggu setelah perlakuan), intensitas kerusakan daun (pada empat
minggu setelah perlakuan), dan pertumbuhan tanaman. Peubah pertumbuhan
yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar primer, bobot
basah dan kering akar, bobot basah dan kering tajuk pada tujuh minggu setelah
tanam. Pada saat panen tanaman diambil dengan hati-hati dari pot dengan cara
menyobek pot plastik untuk mengeluarkan media tanam agar tidak ada bagian
akar yang terputus. Tanaman dicuci di bawah air mengalir untuk membersihkan
media tanam yang masih melekat pada akar. Akar dan tajuk kering diperoleh
dengan menyimpan di dalam oven bersuhu 80oC selama tiga hari.
Untuk mengevaluasi toleransi tanaman terhadap kekeringan dipakai
peubah intensitas kerusakan daun (IKD) dan indeks sensitivitas kekeringan (ISK
atau S). Penghitungan IKD memerlukan kriteria pemberian skor/skala kerusakan
akibat cekaman kekeringan pada tanaman yang diuji. Kriteria pemberian
skor/skala disajikan pada Gambar 13. IKD dihitung dengan modifikasi metode
yang digunakan oleh Townsend dan Heuberger (dalam Sudarsono et al. 2004)
dengan rumus sebagai berikut.
Σ (ni x zi)
IKD = --------------- X 100%
Z X N
Keterangan:
IKD = intensitas kerusakan daun
ni = jumlah cabang primer yang menunjukkan kerusakan daun pada skala
tertentu
zi = nilai skala tertentu tiap kategori kerusakan daun
Z = skala tertinggi
N = jumlah total cabang primer yang diamati dalam setiap satuan percobaan
Nilai IKD digunakan untuk menentukan respon tanaman yang diuji
terhadap cekaman kekeringan. Kriteria penentuan respon disajikan pada Tabel
13.
79
Gambar 13. Skor kerusakan daun kacang tanah kultivar Kelinci akibat penyiraman larutan PEG 15% pada media arang sekam di rumah kaca. Skor 0 : tidak ada gejala klorosis maupun nekrosis; skor 1 : gejala klorosis pada tepi daun sampai sekitar 10% luas daun; skor 2 : gejala klorosis pada tepi daun 10 – 30% luas daun; skor 3 : gejala klorosis pada tepi sampai ke tengah daun 30 – 60% luas daun; skor 4 : gejala klorosis lebih dari 60% luas daun dan atau disertai gejala nekrosis
Tabel 13. Kriteria penentuan respon tanaman berdasarkan nilai intensitas kerusakan daun (IKD)
Respon tanaman IKD Sangat Toleran (ST) Tidak ada kerusakan, intensitas kerusakan 0% Toleran (T) Kerusakan ringan, intensitas kerusakan 0%<x ≤5% Agak toleran (AT) Kerusakan sedang, intensitas kerusakan 5%<x ≤10% Agak Peka (AP) Kerusakan sedang, intensitas kerusakan 10%<x ≤25% Peka (P) Kerusakan berat, intensitas kerusakan 25%<x ≤50% Sangat Peka (SP) Kerusakan berat, intensitas kerusakan >50%
Indeks sensitivitas kekeringan ditentukan dengan menggunakan rumus
yang dikemukakan Fischer dan Maurer (dalam Sudarsono et al. 2004) sebagai
berikut.
( 1- Yp/Y)
S = ----------------------
(1 – Xp/X)
S : indeks sensitivitas kekeringan
Yp : rata-rata nilai peubah tertentu suatu galur yang mendapatkan cekaman
kekeringan
Y : rata-rata nilai peubah tertentu suatu galur yang tidak mendapatkan
cekaman kekeringan
Xp : rata-rata nilai peubah tertentu seluruh galur yang mendapatkan
cekaman kekeringan
X : rata-rata nilai peubah tertentu seluruh galur yang tidak mendapatkan
cekaman kekeringan
0 1 2 3 4
80
Untuk menentukan tingkat sensitivitas terhadap cekaman kekeringan
digunakan kriteria sebagai berikut : S ≤ 0,5 bersifat toleran; 0,5 < S ≤ 1,00
bersifat agak toleran atau medium toleran, dan S >1,00 bersifat peka. Peubah
yang digunakan untuk mengukur tingkat sensitivitas terhadap cekaman
kekeringan adalah biomassa tanaman (total bobot tajuk kering dan akar kering).
Hasil
Respon Pertumbuhan Tanaman Kacang Tanah terhadap Cekaman PEG Tidak ada tanaman yang mati akibat cekaman PEG. Pada populasi
tanaman standar, R1-K0, R2-K0, dan R2-K15; cekaman PEG menurunkan
tinggi tanaman (Gambar 18 a,b,c), jumlah daun, bobot basah dan bobot kering
tajuk (Tabel 14).
Dalam kondisi optimum, rataan tinggi tanaman pada populasi R1-K0, R2-
K0 dan R2-K15 nyata lebih rendah dibanding tanaman standar. Rataan jumlah
daun pada populasi R2-K0 nyata lebih rendah, tetapi pada R1-K0 dan R2K15
tidak nyata berbeda dengan tanaman standar. Rataan bobot basah tajuk pada
populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 sama dengan tanaman standar.
Dibandingkan dengan rataan bobot kering tajuk pada populasi standar, rataan
pada populasi R2-K0 tidak berbeda nyata, sedangkan pada R1-K0 dan R2-K15
nyata lebih rendah. Nilai ragam untuk semua peubah pada populasi R1-K0, R2-
K0 dan R2-K15 lebih besar daripada tanaman standar (Tabel 14).
Dalam kondisi optimum, kisaran jumlah daun pada populasi R1-K0, R2-K0
dan R2-K15 lebih luas daripada tanaman standar (Gambar 14). Namun untuk
peubah bobot kering tajuk kisaran pada populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 lebih
luas dibanding tanaman standar; terdapat 18 galur dari R1-K0, 13 galur dari R2-
K0 dan satu galur dari R2-K15 yang mempunyai bobot kering lebih besar
daripada tanaman standar (Gambar 15).
Pada kondisi cekaman PEG 15%, rataan tinggi tanaman populasi R1-K0,
R2-K0 dan R2-K15 nyata lebih rendah, tetapi rataan jumlah daun tidak nyata
berbeda dengan tanaman standar. Rataan bobot basah tajuk dari populasi R2-
K0 nyata lebih tinggi dibanding tanaman standar, R1-K0 dan R2-K15;
sedangkan rataan bobot kering tajuk populasi R1-K0 nyata lebih tinggi dibanding
tiga populasi lain. Nilai ragam untuk semua peubah pada populasi R1-K0, R2-K0
dan R2-K15 secara umum lebih besar daripada tanaman standar (Tabel 14).
Kisaran jumlah daun pada populasi R2-K0, R1-K0 dan R2K15 sama dengan
81
tanaman standar (Gambar 14). Delapan galur R2-K0 mempunyai bobot kering
tajuk lebih tinggi daripada tanaman standar (Gambar 15).
Pada empat populasi yang diteliti, cekaman PEG 15% nyata menurunkan
bobot basah akar, tetapi tidak berpengaruh terhadap bobot kering akar Cekaman
PEG 15% nyata menurunkan panjang akar primer pada populasi tanaman
standar, sebaliknya pada populasi R1-K0 dan R2-K0 nyata meningkatkan dan
pada R2-K15 tidak berpengaruh terhadap panjang akar primer. (Tabel 15,
Gambar 18.c dan 18.d).
Dalam kondisi optimum, rataan bobot basah dan bobot kering akar dari
populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 nyata lebih rendah daripada tanaman
standar, tetapi rataan panjang akar tidak berbeda dengan tanaman standar. Nilai
ragam bobot kering ketiga populasi tersebut lebih tinggi daripada tanaman
standar (Tabel 15).
Tabel 14. Rataan nilai dan ragam tinggi tanaman, jumlah daun, bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman kacang tanah kultivar Kelinci populasi standar, R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15%
Populasi Rataan nilai pada kondisi Ragam pada kondisi
Optimum Cekaman Optimum Cekaman Tinggi tanaman (cm) Standar 21,28 aA 6,37 bA 9,30 2,31 R1-K0 14,01 aB 5,77 bB 55,00 5,79 R2-K0 12,39 aB 5,62 bB 60,84 4,84 R2-K15 15,52 aB 5,71 bB 36,36 4,57 Jumlah daun Standar 18,75 aA 10,25 bA 15,58 4,41 R1-K0 17,20 aA 10,23 bA 42,25 6,76 R2-K0 14,51 aB 9,46 bA 22,65 9,92 R2-K15 16,90 aA 9,35 bA 16,72 7,84 Bobot basah tajuk (g) Standar 11,88 aA 2,75 bB 5,15 0,42 R1-K0 12,90 aA 2,83 bB 24,16 0,35 R2-K0 11,01 aA 3,21 bA 21,71 1,41 R2-K15 12,13 aA 2,81 bB 10,89 0,74 Bobot kering tajuk (g) Standar 1,84 aB 0,57 bA 0,13 0,02 R1-K0 2,51 aA 0,33 bB 1,02 0,01 R2-K0 1,66 aB 0,51 bA 0,55 0,03 R2-K15 1,42 aB 0,38 bB 0,75 0,02 Keterangan : Angka dalam satu baris yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, atau angka dalam satu kolom dan satu peubah yang diikuti oleh huruf kapital yang sama berarti tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf signifikansi 5%
82
Dalam kondisi opimum terdapat 12 galur dari populasi R1-K0, 15 galur
R2-K0 dan dua galur R2-K15 yang mempunyai bobot akar kering nyata lebih
besar dari tanaman standar (Gambar 16), dan empat galur dari populasi R1-K0,
lima galur R2-K0 dan empat galur R2-K15 yang mempunyai panjang akar nyata
lebih panjang dibanding tanaman standar (Gambar 17).
Dalam kondisi cekaman PEG, rataan bobot basah dan bobot kering akar
populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 tidak berbeda nyata dengan tanaman
standar, sebaliknya rataan panjang akar ketiga populasi tersebut nyata lebih
tinggi dibanding tanaman standar. Nilai ragam untuk bobot basah, bobot kering
dan panjang akar pada tiga populasi tersebut bervariasi, ada yang lebih rendah,
sama atau lebih tinggi dibanding tanaman standar (Tabel 15).
Optimum
1 3 6 21 512 8 99
43
62
29
71
13
35 36
10
0
30
60
90
A B C D E
Jum
lah
galu
r
Cekaman
110
1620
9
36
95
1723
59
10
0
30
60
90
120
A B C D EKisaran jumlah daun per tanaman
Jum
lah
galu
r
Gambar 14. Distribusi frekuensi jumlah daun per tanaman pada populasi tanaman standar,tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15%. Tanaman standar ( ), R1-K0 ( ), R2-K0 ( ), dan R2-K15 ( ). Kisaran jumlah daun per tanaman A (x<8), B (8≤x<13), C (13≤x<18), D (18≤x<23), E (23≤x<28)
83
Optimum
4 81 6 10 13
5
24
5063
1312
55
27
10
30
60
90
A B C D E
Jum
lah
galu
r
Cekaman
1235
140
8
92
0
60
120
180
A B C D EKisaran bobot tajuk kering (g)
Jum
lah
galu
r
Gambar 15. Distribusi frekuensi bobot tajuk kering pada populasi tanaman
standar,tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15%. Tanaman standar ( ), R1-K0 ( ), R2-K0 ( ), dan R2-K15 ( ). Kisaran bobot tajuk kering A (x<0,84), B (0,84≤x<1,68), C (1,68≤x<2,52), D (2,52≤x<3,36), E (3,36≤x<4,2)
Tabel 15. Rataan nilai dan ragam bobot basah, bobot kering akar dan panjang
akar primer tanaman kacang tanah kultivar Kelinci populasi standar, R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15%
Populasi Rataan nilai pada kondisi Ragam pada kondisi Optimum Cekaman Optimum Cekaman
Bobot basah akar (g) Standar 5,61 aA 2,59 bA 4,41 0,49 R1-K0 4,34 aB 3,21 bA 5,47 15,37 R2-K0 3,94 aB 3.06 bA 2,46 0,08 R2-K15 4,03 aB 2,61 bA 2,22 0,49 Bobot kering akar (g) Standar 0,59 aA 0,52 aA 0,08 0,02 R1-K0 0,46 aB 0,42 aA 0,55 0,02 R2-K0 0,39 aB 0,40 aA 0,25 0,02 R2-K15 0,44 aB 0,42 aA 2,75 0,01 Panjang akar primer Standar 16,77 aA 14,43 bB 11,28 21,16 R1-K0 15,12 bA 17,81 aA 16,81 39,69 R2-K0 15,88 bA 17,79 aA 14,44 42,25 R2-K15 17,25 aA 16,58 aA 5,76 37,21
Keterangan : Angka dalam satu baris yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, atau angka dalam satu kolom dan satu peubah yang diikuti oleh huruf kapital yang sama berarti tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf signifikansi 5%
84
Optimum
1 7 48 312 8 4
37 39
59
10 516
54
23
20
30
60
90
A B C D E
Jum
lah
galu
r
Cekaman
17 4
16 163
21
6854
2 311
54
26
10
30
60
90
A B C D E
Kisaran bobot akar kering (g)
Jum
lah
galu
r
Gambar 16. Distribusi frekuensi bobot akar kering pada populasi tanaman
standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15%. Tanaman standar ( ), R1-K0 ( ), R2-K0 ( ), dan R2-K15 ( ). Kisaran bobot akar kering A (x<0,24), B (0,24≤x<0,48), C (0,48≤x<0,72), D (0,72≤x<0,96), E (0,96≤x<1,2)
Optimum
39
114 16
49
70 66
4 13
43 45
3 10
30
60
90
A B C D E
Jum
lah
galu
r
Cekaman
1 6 2 3418
103
15
4452
30
76
30 35
165
0
30
60
90
A B C D EKisaran panjang akar (cm)
Jum
lah
galu
r
Gambar 17. Distribusi frekuensi panjang akar pada populasi tanaman standar,
tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15%. Tanaman standar ( ), R1-K0 ( ), R2-K0 ( ), dan R2-K15 ( ). Kisaran panjang akar A (x<9,2), B (9,2≤x<15,9), C (15,9≤x<22,6), D (22,6≤x<29,3), E (29,3≤x<36)
85
Gambar 18. Keragaan tanaman kacang tanah kultivar Kelinci yang tumbuh dalam kondisi optimum dan dalam kondisi cekaman akibat penyiraman PEG 15%. a. tanaman R2-K15 dalam kondisi optimum (kiri) dan cekaman (kanan), b. tanaman R2-K0 dalam kondisi optimum (kiri) dan cekaman (kanan), c. anaman standar dalam kondisi optimum (kiri) dan cekaman (kanan), d. tanaman R1-K0 (kiri) dan standar (kanan) dalam kondisi cekaman, e. tanaman R2-K0 (kiri), R2-K15 (tengah) dan standar (kanan) dalam kondisi cekaman
Terdapat tiga galur dari populasi R1-K0, lima galur R2-K0 dan satu galur
R2-K15 mempunyai bobot akar kering nyata lebih besar daripada tanaman
standar (Gambar 16), dan tujuh galur R2-K0 serta lima galur R2-K15 yang
mempunyai panjang akar nyata lebih besar daripada tanaman standar (Gambar
17).
Toleransi terhadap Cekaman PEG Berdasarkan nilai IKD, populasi tanaman standar termasuk agak peka,
sedangkan populasi R1-K0 bersegregasi menjadi empat galur peka, satu galur
agak peka dan dua galur agak toleran. Populasi R2-K0 bersegregasi menjadi 11
galur peka, 14 galur agak peka dan lima galur agak toleran; populasi R2-K15
bersegregasi menjadi delapan galur peka, 10 galur agak peka dan satu galur
agak toleran (Gambar 19) .
Berdasarkan nilai S atau ISK yang dihitung menggunakan biomassa
tanaman, tanaman standar tergolong medium toleran terhadap cekaman PEG.
Tanaman dalam populasi R1-K0 bersegregasi menjadi peka dan medium toleran
masing-masing sebanyak enam galur dan satu galur; populasi R2-K0
bersegregasi menjadi 14 galur peka, 12 galur medium toleran dan empat galur
toleran; dan populasi R2-K15 bersegregasi menjadi 10 galur peka, tujuh galur
medium toleran dan dua galur toleran terhadap cekaman PEG (Gambar 20).
a
e
b c
d
86
0
4
118
41
14
10
02
5
10
5
10
15
20
Standar R1K0 R2K0 R2K15
jum
lah
galu
r
P AP AT
Gambar 19. Distribusi frekuensi respon terhadap cekaman PEG 15% pada
tanaman standar, R1-K0, R2-K0, dan R2-K15 berdasarkan nilai indeks kerusakan daun
0
6
14
10
41
12
7
0 0
42
0
5
10
15
20
Standar R1K0 R2K0 R2K15
jum
lah
galu
r
P M T
Gambar 20. Distribusi frekuensi respon terhadap cekaman PEG 15% pada
tanaman standar, R1-K0, R2-K0, dan R2-K15 berdasarkan indeks sensitivitas terhadap kekeringan yang dihitung menggunakan nilai biomassa
Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman PEG Tidak ada hubungan yang berarti antara IKD dengan nisbah akar/tajuk
dan panjang akar primer. Koefisien determinasi (R2) antara IKD dengan nisbah
akar/tajuk dan dengan panjang akar primer sangat kecil, masing-masing sebesar
0,0008 dan 0,0012 (Gambar 21). Di antara ISK dengan nisbah akar/tajuk dan
dengan panjang akar primer juga tidak ada hubungan signifikan. Nilai koefisien
determinasi (R2) antara ISK dengan nisbah akar/tajuk dan panjang akar primer
masing-masing sebesar 0,017 dan 0,119 (Gambar 22) menunjukkan tidak ada
pengaruh nyata kedua peubah tersebut terhadap ISK. Berdasarkan hal ini dapat
dinyatakan bahwa toleransi terhadap cekaman akibat PEG pada tanaman varian
dalam penelitian ini tidak berkait dengan pertumbuhan akar.
87
y = 0.9684x + 22.352R2 = 0.0008 (ns)
0
10
20
30
40
50
60
0 0.5 1 1.5 2
nisbah akar/tajuk
IKD
y = 25,29 - 0,113 x R2 = 0,0012 (ns)
0
10
20
30
40
50
60
0 5 10 15 20 25 30
panjang akar primer (cm)
IKD
Gambar 21. Regresi antara nilai indeks kerusakan daun (IKD) dengan nisbah
akar tajuk dan panjang akar primer pada populasi tanaman standar (x) dan R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang teridentifikasi agak toleran (■), agak peka (∆) dan peka (♦)
Tabel 16. Biomassa pada kondisi cekaman PEG 15% dan kondisi optimum galur-galur tanaman kacang tanah kultivar Kelinci yang teridentifikasi toleran terhadap cekaman kekeringan berdasarkan nilai S
Galur Nilai S Biomassa (gr) Persentase biomassa pada kondisi cekaman dibanding
optimum (%) Optimum Cekaman
K0-2.3 0,39 1,48 1,14 77 K0-7.3 0,04 1,28 1,25 98 K0-16.4 0,48 1,48 1,05 71 K0-32.5 0,38 1,06 0,82 84 K15-4.5 0,30 0,95 0,78 82 K15-6.2 0,48 1,18 0,84 71 Standar 0,96 2,28 1,18 52
88
y = 0,85 + 0,0893 x R2 = 0,017 (ns)
0
0.5
1
1.5
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2
nisbah akar/tajuk
ISK
4
y = 1,08 - 0,0083 x R2 = 0,119 (ns)
0
0.5
1
1.5
0 5 10 15 20 25 30
panjang akar primer (cm)
ISK
Gambar 22. Regresi antara nilai ISK yang dihitung menggunakan biomassa tanaman dengan nisbah akar/tajuk dan dengan panjang akar populasi tanaman standar (x) dan R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang teridentifikasi toleran (■), medium toleran (∆) dan peka (♦)
Pembahasan
Pada semua populasi tanaman yang diteliti, yaitu populasi tanaman
standar, populasi tanaman yang diregenerasikan dari embrio somatik hasil kultur
in vitro generasi R1 dan R2 (R1-K0, R2-K0) serta populasi tanaman yang
diregenerasikan dari embrio somatik hasil seleksi in vitro generasi R2 (R2-K15),
cekaman PEG berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tajuk tanaman.
Penyiraman larutan PEG 15% dua hari sekali dalam media tanam nyata
menurunkan tinggi tanaman, jumlah daun, bobot basah tajuk, dan bobot kering
tajuk. Penghambatan pertumbuhan tersebut diduga akibat penambahan larutan
89
PEG 15% yang setara dengan potensial air -0,50 MPa (Nepomuceno et al. 1998)
menurunkan ketersedian air dalam media tanam sehingga menurunkan pula
jumlah air yang dapat diserap oleh tanaman. Air merupakan komponen vital bagi
pertumbuhan tanaman karena memberikan fasilitas bagi berlangsungnya
berbagai proses fisiologis seperti serapan hara, transportasi, fotosintesis, reaksi
biokimia dan tekanan turgor (Mundree et al. 2002), sehingga penurunan jumlah
masukan air mengakibatkan hambatan pertumbuhan.
Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian tentang pengaruh cekaman
kekeringan pada beberapa tanaman lain. Kekeringan menurunkan pemanjangan
daun (Schmidhalter et al. 1998), pertumbuhan primordia daun pertama pada
jagung (Zhongjin dan Neumann 1999), berat kering total organ vegetatif,
kecepatan pertumbuhan relatif, dan luas daun Phaseolus vulgaris (Franca et al.
2000), luas helaian daun, jumlah daun per tanaman, luas daun total per
tanaman, dan rasio akar/batang pada empat spesies Quercus (Fotelli et al.
2000).
Berbeda dengan pengaruh cekaman PEG terhadap tajuk, secara umum
cekaman PEG tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan akar, bahkan
dapat meningkatkan panjang akar pada populasi R1-K0 dan R2-K0. Hasil ini
sejalan dengan hasil penelitian pada Aegilops biuncialis genotype Ae225 dan
Ae550. Cekaman kekeringan akibat penambahan PEG 6000 mengakibatkan
peningkatan pertumbuhan akar sehingga meningkatkan pula nisbah akar/tajuk
(Molnar et al 2004).
Respon pertumbuhan yang ditunjukkan oleh akar pada umumnya berbeda
dengan respon pertumbuhan tajuk terhadap cekaman kekeringan. Perbedaan
tersebut diduga terjadi akibat perbedaan sensitivitas akar dan batang (tajuk)
terhadap absisic acid (ABA). ABA yang terakumulasi sebagai respon terhadap
cekaman kekeringan merupakan hormon yang berperan dalam penghambatan
pertumbuhan. Jaringan akar kurang sensitif terhadap ABA dibandingkan batang
(Creelman et al. 1990), sehingga pertumbuhan akar lebih baik daripada batang
dalam kondisi cekaman kekeringan. Pertumbuhan akar yang stabil atau
meningkat tersebut diduga merupakan salah satu upaya adaptasi tanaman untuk
mempertahankan kemampuan menyerap air dalam kondisi lingkungan dengan
ketersediaan air yang rendah.
Dalam kondisi optimum, pertumbuhan tajuk tanaman yang berasal dari
kultur dan seleksi in vitro (populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15) secara umum
90
tidak berbeda atau lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tanaman standar,
tergantung populasi atau peubah yang diamati. Fenomena yang sama terjadi
pada pertumbuhan akar. Adanya perbedaan respon dengan tanaman standar
karena pada sebagian tanaman yang diregenerasikan dari kultur in vitro diduga
telah terjadi perubahan genetik yang mengakibatkan perubahan atau hambatan
ekspresi gen yang mengendalikan pertumbuhan tajuk atau akar dalam kondisi
optimum.
Dalam kondisi cekaman PEG, fenomena yang terjadi pada pertumbuhan
tajuk berbeda dengan pada pertumbuhan akar. Pertumbuhan tajuk pada populasi
R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 tidak berbeda atau lebih rendah dibanding tanaman
standar; tetapi pertumbuhan akar pada tiga populasi tersebut tidak berbeda atau
lebih tinggi dibanding tanaman standar. Hal ini terjadi karena kondisi in vitro
diduga telah mengubah atau menghambat gen atau ekspresi gen yang
mengendalikan pertumbuhan tajuk tetapi tidak berdampak negatif bahkan
meningkatkan pertumbuhan akar dalam kondisi cekaman PEG.
Populasi tanaman yang diregenerasikan melalui kultur atau seleksi in vitro
mempunyai nilai ragam yang lebih besar dibanding tanaman standar untuk
beberapa peubah pertumbuhan tertentu. Selain itu untuk beberapa peubah
pertumbuhan dan kondisi tertentu (optimum atau cekaman) distribusi frekuensi
pada populasi-populasi tersebut lebih luas dibanding tanaman standar Dalam
populasi-populasi yang diteliti terdapat beberapa galur yang mempunyai nilai
peubah di luar rentang nilai (lebih besar atau lebih kecil) tanaman standar.
Misalnya untuk peubah bobot kering tajuk pada kondisi optimum, terdapat 18
galur dari populasi R1-K0, 13 galur dari R2-K0 dan satu galur dari R2-K15 yang
mempunyai bobot kering lebih besar daripada tanaman standar. Hal ini
menunjukkan galur-galur tanaman tersebut berkembang dari embrio somatik
yang merupakan varian somaklonal untuk karakter kuantitatif.
Berdasarkan nilai IKS yang dihitung menggunakan peubah biomassa
tanaman, tanaman standar tergolong medium toleran terhadap cekaman PEG.
Tanaman dalam populasi R1-K0 bersegregasi menjadi peka dan medium toleran
masing-masing sebanyak enam galur dan satu galur; populasi R2-K0
bersegregasi menjadi 14 galur peka, 12 galur medium toleran dan empat galur
toleran; dan populasi R2-K15 bersegregasi menjadi 10 galur peka, tujuh galur
medium dan dua galur toleran terhadap cekaman PEG. Hal ini diduga karena
91
genotipe tanaman generasi R0 mempunyai genotipe heterozigot sehingga dapat
mengalami segregasi pada turunannya.
Galur toleran yang efektif ditanam dalam budidaya di lahan kering adalah
galur yang dalam kondisi optimum maupun cekaman mempunyai biomassa lebih
besar dibanding tanaman standar. Berdasar nilai IKS tersebut di atas, dari
tanaman standar yang diidentifikasi medium toleran dapat diperoleh enam galur
tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Di antara enam galur
tersebut, tidak ada satupun yang mempunyai biomassa di atas tanaman standar
dalam kondisi optimum sekaligus dalam kondisi cekaman (Tabel 16).
Biomassa tanaman kacang tanah yang diidentifikasi toleran pada kondisi
cekaman mencapai 71 – 98% dari biomassa pada kondisi optimum (Tabel 16),
sedangkan pada kacang tanah standar yang medium toleran hanya mencapai
52%. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian pada Aegilops biuncialis
dan Triticum sativum. Akibat penambahan PEG 6000 pada media tanam, terjadi
penghambatan pertumbuhan akar dan batang A. biuncialis dan T. sativum yang
mengakibatkan penurunan produksi biomassa atau total bobot kering akar dan
tajuk. Pada genotipe A. biuncialis yang berasal dari daerah kering produksi
biomassa dalam kondisi cekaman PEG mencapai 70 – 78 % dibanding kontrol,
sedangkan pada genotipe gandum hanya 50% (Molnar et al. 2004). Genotipe
yang toleran terhadap cekaman kekeringan atau yang teradaptasi pada
lingkungan kering diduga mempunyai kemampuan mempertahankan potensial
air daun agar tetap relatif tinggi sehingga aktivitas pembukaan stomata berjalan
normal dan kecepatan fotosintesis juga mendekati kecepatan pada kondisi
optimum. Mekanisme tersebut terjadi pada kapas. Pada cekaman kekeringan
yang diinduksi oleh PEG 6000, genotipe kapas yang toleran terhadap kekeringan
dapat mempertahankan potensial air daun sedemikian sehingga hanya menurun
20 – 25% dari kontrol (Nepomuceno et al. 1998).
Penentuan toleransi terhadap cekaman kekeringan berdasarkan nilai
indeks kerusakan daun (IKD), menghasilkan temuan yang berbeda dengan
penentuan yang berdasarkan nilai IKS. Berdasarkan nilai IKD, populasi tanaman
standar termasuk agak peka, sedangkan populasi R1-K0 bersegregasi menjadi
empat galur peka, satu galur agak peka dan dua galur agak toleran. Populasi R2-
K0 bersegregasi menjadi 11 galur peka, 14 galur agak peka dan lima galur agak
toleran; populasi R2-K15 bersegregasi menjadi 8 galur peka, 10 galur agak peka
dan satu galur agak toleran. Berdasarkan nilai IKD, tidak ditemukan galur toleran
92
di antara tanaman-tanaman yang diregenerasikan dari kultur atau seleksi in vitro.
Walaupun demikian, kultur dan seleksi in vitro telah dapat menghasilkan
tanaman yang toleransinya meningkat dibanding tanaman standar, yaitu dari
tanaman agak peka dapat menghasilkan tanaman agak toleran.
Tingkat toleransi tanaman yang ditentukan berdasarkan nilai IKS berbeda
dengan yang ditentukan berdasar nilai IKD. Perbedaan ini dapat terjadi karena
organ yang dipakai sebagai dasar penentuan berbeda. Nilai IKS didasarkan
pada pertumbuhan organ-organ tanaman secara keseluruhan, sedangkan IKD
didasarkan atas kerusakan atau perubahan morfologi daun. Karena sensitivitas
organ-organ terhadap kekeringan berbeda, maka nilai IKS dan IKD pada
tanaman yang sama mungkin berbeda.
Hubungan antara nisbah akar/tajuk dengan toleransi tanaman kacang
tanah terhadap cekaman kekeringan tidak signifikan dan koefisien determinasi
antara kedua peubah tersebut dengan IKS dan dengan IKD sangat rendah.
Demikian pula nilai koefisien determinasi antara panjang akar primer dengan
IKS dan IKD tidak signifikan dan sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan akar tidak berhubungan erat dengan atau menjadi faktor penentu
toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan. Hasil penelitian ini berbeda
dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kacang tanah
yang relatif toleran terhadap cekaman kekeringan mempunyai sistem perakaran
yang besar (Robertson et al. 1980), sistem perakaran yang dalam (Setiawan
1998), dan rasio bobot kering akar/pucuk yang tinggi (Blum 1996). Dengan
demikian mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan pada galur-galur
kacang tanah dalam penelitian ini diduga berbeda dengan mekanisme toleransi
pada kacang tanah pada umumnya, perlu dievaluasi lebih lanjut.
Simpulan
Cekaman akibat penyiraman PEG 15% pada fase vegetatif menurunkan
tinggi tanaman, jumlah daun, bobot basah tajuk dan bobot kering tajuk, tetapi
tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan akar. Respon pertumbuhan
tanaman yang diregenerasikan melalui kultur atau seleksi in vitro terhadap
cekaman PEG mempunyai ragam yang lebih besar dan distribusi frekuensi yang
lebih luas dibanding tanaman standar untuk beberapa peubah pertumbuhan
tertentu.
93
Kultur in vitro dan seleksi in vitro dapat menghasilkan tanaman dengan
tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap cekaman PEG dibandingkan tanaman
standar. Berdasarkan nilai indeks sensitivitas terhadap kekeringan yang dihitung
menggunakan peubah biomassa tanaman, semua tanaman standar tergolong
medium toleran, sedangkan di antara tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro
terdapat enam galur tanaman yang toleran terhadap cekaman PEG.
Berdasarkan nilai indeks kerusakan daun, tanaman standar termasuk agak peka,
sedangkan di antara tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro terdapat delapan
galur agak toleran.
Nisbah akar/tajuk dan panjang akar tidak menunjukkan hubungan yang
berarti dengan toleransi tanaman terhadap cekaman PEG
VII. TOLERANSI GALUR KACANG TANAH HASIL KULTUR DAN SELEKSI IN VITRO TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN
Abstrak Variasi somaklonal pada kacang tanah untuk karakter kualitatif dan kuantitatif dapat terjadi melalui kultur dan seleksi in vitro. Diduga kultur dan seleksi in vitro juga dapat menghasilkan tanaman varian yang toleran terhadap kekeringan. Tujuan percobaan adalah 1) membandingkan respon pertumbuhan antara tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan hasil seleksi in vitro dengan tanaman standar, 2) membandingkan tingkat toleransi terhadap cekaman kekeringan antara tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan seleksi in vitro dengan tanaman standar, 3) menduga mekanisme toleransi tanaman kacang tanah cv. Kelinci terhadap cekaman kekeringan. Benih ditanam pada media campuran tanah, kompos dan pasir (2:1:1, v/v) dalam polibag yang ditempatkan di rumah kaca. Perlakuan cekaman kekeringan dilakukan mulai umur 12–80 hari setelah tanam secara individual dengan membiarkan tanaman tidak disiram sampai menunjukkan gejala layu pada 75% dari seluruh jumlah daun per tanaman, kemudian disiram sampai kapasitas lapang dan setelah itu diberi perlakuan cekaman kekeringan kembali dan seterusnya. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan 1) dalam kondisi optimum tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur in vitro dan seleksi in vitro mempunyai pertumbuhan vegetatif dan generatif yang lebih rendah, tetapi dalam kondisi cekaman kekeringan lebih tinggi dibandingkan tanaman standar; tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro mempunyai nilai ragam yang lebih besar dan distribusi frekuensi yang lebih luas dibanding tanaman standar untuk beberapa peubah pertumbuhan, 2) diperoleh sembilan galur tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan seleksi in vitro yang toleran terhadap cekaman kekeringan, dua di antaranya mempunyai jumlah polong bernas lebih tinggi dibandingkan tanaman standar, baik pada kondisi optimum maupun cekaman, 3) terdapat hubungan yang signifikan antara densitas stomata dan peningkatan kandungan prolina total jaringan dengan tingkat toleransi kacang tanah cv. Kelinci terhadap cekaman kekeringan, tetapi tidak ada hubungan yang berarti antara panjang akar primer dan nisbah akar/tajuk dengan tingkat toleransi terhadap cekaman kekeringan. Kata kunci : toleransi terhadap kekeringan, kultur in vitro, seleksi in vitro,
prolina, densitas stomata
95
Abstract
In vitro culture and in vitro selection have been proved to result somaclonal variation on peanut, both qualitative and quantitative characters. In vitro culture and in vitro selection were estimated to result variant plant with drought stress tolerance. The aims of this study were to 1) compare the growth response between Kelinci cultivar of peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryos with plant regenerated from seed as control cultivar, 2) compare the tolerance level to drought stress of Kelinci cultivar of peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo, with control plant, and 3) estimate the mechanism of Kelinci cultivar of peanut plants tolerance to drought stress. Progeny of peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected embryo somatic and control plants were grown individually in polybag (50 cm diameter) containing a mixture of top-soil, sand and manure (2:1:1, v/v). These plants divided into two groups. One group subjected to stress condition individually during vegetative and generative periods (12 – 80 days after planting) by watering them only after their 75% leaves have wilted; the other group was grown optimally by watering every two days. The results of the experiment indicated 1) peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo had lower vegetative and generative growth than the control cultivar in optimally condition, but in stress condition they had higher vegetative and generative growth, 3) peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryos had bigger varians and broader frequency distribution than control cultivar for some growth parameters, 4) nine lines of progeny of peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo had drought stress tolerance character, and two of them had higher fertile pod number than original cultivar, both in optimally and stress condition, 5) there are significant correlation between the stomata density and leaf total proline content with drought stress tolerance level of peanut plants, while there are no significant correlation between root/shoot ratio and primary root length with drought stress tolerance level of peanut plant. Key words: drought tolerance, in vitro culture, in vitro selection, proline, peanut,
stomata density
96
Pendahuluan
Tanaman yang toleran/tahan terhadap kekeringan secara fisiologis
mempunyai kemampuan menjaga keseimbangan osmotik dalam sel-selnya
dengan meningkatkan penyerapan air dan menurunkan kehilangan air.
Kemampuan meningkatkan penyerapan air ditunjukkan oleh adanya sistem
perakaran yang besar (Robertson et al. 1980), atau adanya osmolit yang
menurunkan potensial air dalam sel (Mundree 2002). Salah satu osmolit yang
dapat menentukan tingkat toleransi kacang tanah terhadap kekeringan adalah
prolina yang terkandung dalam sel-sel daun (Sudarsono et al. 2004).
Kemampuan menurunkan kehilangan air ditunjukkan dengan indeks luas daun
yang rendah (Blum 1996), jumlah stomata per satuan luas yang relatif rendah
dan rate of water-leaf loss yang rendah pula (Syahputra 2005).
Pada kacang tanah tipe Valencia dan Spanish, sistem perakaran yang
dalam dan sudut percabangan yang besar memainkan peran penting dalam
toleransi terhadap kekeringan. Berdasar hal ini panjang akar primer dapat
dijadikan sebagai dasar untuk mengevaluasi toleransi terhadap kekeringan
(Setiawan 1998). Ciri yang harus diamati untuk menentukan toleransi cekaman
kekeringan antara lain bobot kering organ vegetatif saat panen dan berat kering
polong (Rachaputi dan Wright 2003).
Beberapa kultivar kacang tanah Indonesia telah diidentifikasi toleran
terhadap cekaman kekeringan melalui mekanisme pembentukan akar yang
dalam dan bercabang banyak. Mekanisme ini membutuhkan fotosintat yang
relatif besar dan diduga berdampak negatif terhadap daya hasil. Oleh karena itu
galur yang mempunyai sifat tahan dengan mekanisme baru yang tidak
berdampak negatif terhadap hasil lebih diinginkan. Hal tersebut dapat dilakukan
melalui induksi variasi somaklonal. Dari penelitian sebelumnya diketahui variasi
somaklonal tampak pada beberapa karakter kualitatif dan karakter kuantitatif.
Melalui variasi somaklonal diharapkan juga terdapat peluang memperoleh galur
kacang tanah varian yang toleran terhadap cekaman kekeringan dengan
mekanisme baru.
Variasi somaklonal terjadi secara acak pada berbagai karakter. Untuk
meningkatkan peluang mendapatkan varian dengan karakter yang diinginkan
dapat dilakukan seleksi menggunakan bahan penyeleksi yang sesuai. Dari
percobaan sebelumnya telah diketahui bahwa PEG-6000 merupakan bahan
penyeleksi yang tepat untuk menapis varian yang toleran terhadap cekaman
97
kekeringan (Rahayu et al. 2005), dengan konsentrasi sub-letal sebesar 15%
(Rahayu et al. 2006). Dengan demikian embrio somatik yang mampu hidup
dalam media selektif yang mengandung PEG 15% diharapkan mempunyai
karakter yang insensitif atau toleran terhadap potensial air rendah.
Evaluasi toleransi terhadap cekaman kekeringan dilakukan dengan
menumbuhkan tanaman di pot, diletakkan di rumah kaca, serta mengatur
frekuensi dan volume penyiraman sehingga tanaman mengalami cekaman
kekeringan. Penentuan cekaman kekeringan dilakukan secara individual.
Percobaan bertujuan untuk 1) membandingkan respon pertumbuhan antara
tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan hasil seleksi in vitro dengan
tanaman standar, 2) membandingkan tingkat toleransi terhadap cekaman
kekeringan antara tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan seleksi in
vitro dengan tanaman standar, 3) menduga mekanisme toleransi tanaman
kacang tanah cv. Kelinci terhadap cekaman kekeringan.
Bahan dan Metode Bahan Tanaman
Bahan yang diperlukan adalah tanaman kacang tanah cv. Kelinci yang
tidak diregenerasikan melalui kultur in vitro sebagai tanaman standar, tanaman
kacang tanah cv. Kelinci zuriat dari tanaman yang diregenerasikan dari embrio
somatik (ES) hasil kultur in vitro (populasi R1-K0 dan R2-K0) dan dari ES hasil
seleksi in vitro dalam PEG 15% atau populasi R2-K15 (Tabel 17).
Tabel 17. Nomor-nomor galur generasi R1 dan R2 dari populasi K0 dan
generasi R2 dari populasi K15 yang dievaluasi toleransinya terhadap cekaman kekeringan
No K0 K15 R1 R2 R2
1 K0-11 K0-2.1 K15-1.2 2 K0-13 K0-2.3 K15-4.3 3 K0-16 K0-2.10 K15-4.6 4 K0-20 K0-7.3 K15-4.10 5 K0-30 K0-11.3 K15-5.1 6 K0-32 K0-13.7 K15-5.2 7 K0-13.10 K15-5.8 8 K0-16.1 K15-5.10 9 K0-16.6 K15-6.1
10 K0-22.5 11 K0-30.112 K0-32.5
98
Evaluasi Respon terhadap Cekaman Kekeringan Penyiapan media tanam dan penanaman benih. Media tanam berupa
tanah, kompos dan pasir dengan perbandingan 1:1:1 (v/v), dimasukkan dalam
polibag berdiameter 50 cm. Media disterilkan dengan menyiramkan larutan
formalin, ditutup dengan lembaran plastik selama satu minggu kemudian
dibiarkan terbuka. Untuk setiap galur tanaman ditanam minimal lima benih
dengan satu benih per pot. Jarak antar pot adalah 0,4 m di dalam baris dan 0,5
m antar baris. Sebagai kontrol genotipe (tanaman standar) adalah kacang tanah
kultivar Kelinci yang ditanam dari benih yang tidak melalui kultur in vitro.
Tanaman kontrol ditanam dalam baris di antara tanaman varian somaklonal
dengan rasio empat baris tanaman varian somaklonal dan satu baris tanaman
kontrol.
Pemberian perlakuan cekaman kekeringan. Perlakuan cekaman
kekeringan diberikan pada fase vegetatif dan generatif. Tanaman disiram sampai
dengan kapasitas lapang dari awal tanam sampai umur 12 hari. Kapasitas lapang
ditentukan dengan menyiramkan air pada media sampai jenuh, yang ditunjukkan
dengan tidak adanya air yang menetes dari lubang di dasar pot. Perlakuan
cekaman kekeringan dilakukan secara individual dengan membiarkan suatu
tanaman tidak disiram sampai menunjukkan gejala layu pada 75% dari seluruh
jumlah daun tanaman tersebut, kemudian disiram sampai kapasitas lapang dan
setelah itu diberi perlakuan cekaman kekeringan kembali dan seterusnya.
Dengan perlakuan demikian diharapkan tidak ada tanaman yang escaped atau
terhindar dari cekaman kekeringan. Perlakuan kontrol diberikan dengan
menyiramkan air sampai kondisi kapasitas lapang dua hari sekali.
Pemeliharaan tanaman dan pemanenan. Tanaman dipelihara di rumah
kaca dengan metode budidaya kacang tanah standar, yang meliputi pemupukan,
pengendalian gulma dan penyakit sesuai kebutuhan, dan penyiraman sesuai
perlakuan cekaman kekeringan. Pemanenan dilakukan sampai saat polong
mencapai umur fisiologis atau 110 – 120 hari setelah tanam, atau dengan tanda-
tanda sebagai berikut: 1) daun telah mulai kering atau luruh, 2) kulit polong telah
mengeras, atau bagian dalam berwarna coklat; biji telah berisi penuh, kulit tipis
dan berwarna mengkilat. Kondisi polong diketahui dengan jalan mencabut
sebagian dari tanaman untuk diamati polongnya.
Pengamatan respon tanaman terhadap cekaman kekeringan. Pengamatan
dilakukan pada saat panen, pot disiram terlebih dahulu kemudian tanaman
99
diambil dengan hati-hati agar tidak ada bagian akar yang terputus. Tanaman
dicuci di bawah air mengalir untuk membersihkan media tanam yang masih
melekat pada akar. Peubah-peubah yang diamati untuk mengetahui respon
tanaman terhadap kekeringan meliputi jumlah hari setelah perlakuan ketika
tanaman mati, jumlah dan persentase tanaman mati (setiap dua hari, sampai
empat minggu setelah perlakuan), tinggi tanaman, jumlah cabang primer, jumlah
buku pada batang utama, jumlah daun, panjang akar primer, bobot basah dan
kering akar, bobot basah dan kering tajuk, jumlah polong total, dan jumlah polong
bernas. Bobot kering diperoleh dengan menyimpan akar atau tajuk di dalam oven
bersuhu 80oC selama 3 hari.
Evaluasi Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Untuk mengevaluasi toleransi tanaman terhadap kekeringan dipakai
peubah indeks sensitivitas kekeringan (ISK atau S). Indeks sensitivitas
kekeringan ditentukan dengan menggunakan rumus yang dikemukakan Fischer
dan Maurer (1978).
( 1- Yp/Y) ISK = ---------------------- (1 – Xp/X)
ISK : Indeks sensitivitas kekeringan
Yp : rata-rata nilai peubah tertentu suatu galur yang mendapatkan cekaman kekeringan
Y : rata-rata nilai peubah tertentu suatu galur yang tidak mendapatkan cekaman kekeringan
Xp : rata-rata nilai peubah tertentu seluruh galur yang mendapatkan cekaman kekeringan
X : rata-rata nilai peubah tertentu seluruh galur yang tidak mendapatkan cekaman kekeringan
Untuk menentukan tingkat sensitivitas terhadap cekaman kekeringan
digunakan kriteria sebagai berikut : ISK ≤ 0,5 bersifat toleran; 0,5 < ISK ≤
1,00 bersifat agak toleran atau medium toleran, dan ISK >1,00 bersifat peka.
Peubah yang digunakan untuk mengukur tingkat sensitivitas terhadap cekaman
kekeringan adalah jumlah polong bernas.
Analisis Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan Analisis mekanisme toleransi yang diamati adalah karakteristik fisiologis
dan anatomis, yaitu kandungan prolina total daun, densitas stomata, dan nisbah
100
akar/tajuk. Analisis kandungan prolina dilakukan pada daun ke 2 – 5 dari pucuk
pada tanaman contoh yang telah mengalami cekaman kekeringan enam kali
pada periode vegetatif dan generatif, serta pada tanaman contoh yang tidak
diberi cekaman kekeringan.
Analisis kadar prolina. Analisis kadar prolina dilakukan berdasarkan
metode Bates et al. (1973). Potongan daun yang telah dikeringkan
(menggunakan silica gel) ditimbang seberat 0,2 g, dihaluskan dan dihomogenasi
dengan 9 ml asam sulfosalisilat 3%. Volume supernatan ditera kembali hingga
mencapai 10 ml. Campuran disentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama lima
menit, supernatan yang diperoleh kemudian dipisahkan. Untuk mendeteksi
prolina, 2 ml supernatan direaksikan dengan 2 ml larutan ninhidrin dan asam
asetat glacial dalam tabung reaksi dan dipanaskan pada penangas air dengan
suhu 100oC selama 60 menit. Reaksi diakhiri dengan menginkubasikan larutan
dalam es selama 5 menit. Hasil reaksi diekstraksi dengan 4 ml toluene sehingga
terbentuk kromoform, yang kemudia diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 520 nm. Sebagai standar
digunakan DL-proline (Sigma) 5 – 50 μg yang dilarutkan dalam asam
sulfosalisilat 3%. Kadar prolina dinyatakan sebagai μg/g berat kering daun.
Analisis densitas stomata dan nisbah akar/tajuk. Densitas stomata diamati
pada epidermis bawah yang diisolasi dengan metode finger print pada umur 75
hari setelah tanam. Daun yang telah mengembang sempurna (yang tumbuh pada
buku ke 5 – 8 dari ujung cabang) dipanen, dicuci dengan air kemudian
dikeringkan dengan kertas tissu. Permukaan bawah diolesi dengan pewarna
kuku transparan sekitar ¾ luas daun. Setelah dikering-anginkan selama dua jam
lapisan pewarna kuku dilepas dan diamati melalui mikroskop yang pada lensa
okulernya telah dipasang mikrometer dan dihitung jumlah stomata. Nisbah
akar/tajuk ditentukan dengan rumus :
bobot kering akar nisbah akar/tajuk = -------------------- bobot kering tajuk
Hasil
Respon Pertumbuhan Tajuk terhadap Cekaman Kekeringan Cekaman kekeringan secara umum berdampak negatif terhadap
pertumbuhan tanaman kacang tanah, baik pada populasi tanaman standar, R1-
101
K0, R2-K0 maupun R2-K15 (Gambar 23), tetapi tidak ada tanaman yang mati
akibat perlakuan cekaman kekeringan.
Perlakuan cekaman kekeringan nyata menurunkan tinggi tanaman, namun
tidak mempengaruhi jumlah cabang primer pada populasi tanaman standar, R1-
K0, R2-K0, dan R2-K15. Pada populasi R1-K0, jumlah buku utama dan bobot
kering tajuk dalam kondisi cekaman nyata menurun, tetapi pada populasi R2-
K0 dan R2-K15 kedua peubah tersebut tidak dipengaruhi oleh cekaman
kekeringan. Perlakuan cekaman kekeringan nyata menurunkan jumlah daun dan
bobot basah tajuk pada populasi R1-K0 dan R2-K15, pada populasi R2-K0 kedua
peubah tersebut tidak dipengaruhi oleh cekaman kekeringan (Tabel 18).
Dalam kondisi optimum, rataan jumlah cabang pada populasi R1-K0, R2-
K0 dan R2K15 tidak nyata berbeda dengan tanaman standar; tetapi untuk
peubah-peubah yang lain rataan nilai pada populasi R2-K0 dan R2-K15 nyata
lebih rendah dibanding pada populasi R1-K0 dan tanaman standar. Nilai ragam
bervariasi antar populasi dan peubah; lebih besar atau lebih kecil dibanding
tanaman standar (Tabel 18).
Dalam kondisi cekaman kekeringan, rataan nilai semua peubah
pertumbuhan tajuk kecuali jumlah cabang primer pada populasi R1-K0, R2-K0
dan R2-K15 nyata lebih besar dibandingkan tanaman standar. Nilai ragam pada
populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 untuk semua peubah pada umumnya lebih
besar dibanding tanaman standar (Tabel 18).
Dalam kondisi optimum, 18 galur R1-K0, 18 galur R2-K0 dan 14 galur
R2K15 mempunyai bobot kering tajuk yang nyata lebih tinggi dibanding tanaman
standar. Dalam kondisi cekaman, bobot kering tajuk dari delapan galur R1-K0, 16
galur R2-K0 dan 13 galur R2-K15 nyata lebih besar dibandingkan bobot kering
tajuk tanaman standar (Gambar 24).
Gambar 23. Keragaan tanaman kacang tanah dalam kondisi optimum (a) dan
kondisi cekaman (b). A. Tanaman standar, B. Tanaman R2-K0, C. Tanaman R1-K0, D. Tanaman R2-K15.
b b a a a a b b
A B C D
102
Tabel 18. Rataan nilai dan ragam peubah-peubah pertumbuhan tajuk tanaman kacang tanah kultivar Kelinci populasi tanaman standar, R1-K0, R2-K0, dan R2-K15 dalam kondisi optimum dan kondisi cekaman kekeringan
Populasi Rataan nilai pada kondisi Ragam pada kondisi Optimum Cekaman Optimum Cekaman
Tinggi tanaman (cm) Standar 68,53 aA 13,67 bB 156,25 10,30 R1-K0 56,30 aA 21,81 bA 170,23 25,20 R2-K0 37,28 aB 25,12 bA 76,73 55,95 R2-K15 35,62 aB 2150 bA 93,31 35,64 Jumlah cabang primer Standar 3,90 aA 4,00 aA 0,05 0,00 R1-K0 4,20 aA 4,33 aA 0,06 0,41 R2-K0 3,91 aA 4,06 aA 0,11 0,14 R2-K15 3,85 aA 4,00 aA 0,30 0,00 Jumlah buku utama Standar 20,84 aA 7,67 bB 5,81 4,32 R1-K0 18,45 aA 10,67 bA 3,49 6,05 R2-K0 12,53 aB 12,34 aA 4,04 5,52 R2-K15 13,29 aB 11,25 aA 5,66 12,39 Jumlah daun Standar 83,10 aA 24,33 bB 127,23 42,97 R1-K0 82,70 aA 42,54 bA 392,43 121,22 R2-K0 53,09 aB 43,70 aA 135,25 110,25 R2-K15 54,29 aB 37,69 bA 240,87 81,72 Bobot basah tajuk (g) Standar 109,66 aA 11,10 bC 78,51 1,32 R1-K0 86,09 aA 29,42 bB 504,00 282,24 R2-K0 33,83 bB 39,75 aA 321,84 745,29 R2-K15 42,23 aB 30,67 bB 295,49 258,88 Bobot kering tajuk (g) Standar 25,39 aA 5,57 bB 39,18 5,19 R1-K0 22,19 aA 11,07 bA 111,72 18,31 R2-K0 11,65 aB 12,43 aA 19,53 24,30 R2-K15 12,86 aB 11,82 aA 19,18 11,82 Keterangan : Angka dalam satu baris yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, atau dalam satu kolom dan satu peubah yang diikuti huruf kapital yang sama berarti tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT 5%
Respon Pertumbuhan Akar terhadap Cekaman Kekeringan
Pada populasi R1-K0, perlakuan cekaman kekeringan nyata berpengaruh
negatif terhadap panjang akar primer, tetapi pada populasi R2-K0 dan R2-K15
cekaman kekeringan tidak berpengaruh terhadap peubah tersebut. Cekaman
kekeringan nyata menurunkan bobot basah dan bobot kering akar pada populasi
R1-K0 dan R2-K15, tetapi tidak berpengaruh pada populasi R2-K0 (Tabel 19).
103
optimum
10
0 0 0 02
105
1 2
39
16
2 0 0
2014
0 0 00
10
20
30
40
50
A B C D E
jum
lah
galu
r
cekaman
10
0 0 0 0
168
0 0 0
30
13
3 0 0
1913
0 0 00
10
20
30
40
50
A B C D E
kisaran bobot kering tajuk (g)
jum
lah
galu
r
Gambar 24. Distribusi frekuensi bobot kering tajuk pada populasi tanaman
standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitrodalam kondisi optimum dan cekaman kekeringan. Tanaman standar ( ), R1-K0 ( ), R2-K0 ( ) dan R2K15 ( ). Kisaran bobot kering tajuk A (x<12,98), B (12,98≤x<21,76), C (21,76≤x<30,54), D (30,54≤x<39,32), E (39,32≤x<48,10)
Pada populasi R1-K0, R2K0 dan R2-K15 jumlah akar cabang primer
dalam kondisi cekaman nyata lebih tinggi dibanding dalam kondisi optimum,
sebaliknya pada populasi standar lebih rendah (Tabel 19).
Dalam kondisi optimum, rataan panjang akar primer pada populasi R1-K0
dan R2-K0 tidak berbeda nyata dengan tanaman standar; sedangkan pada
populasi R2-K15 nyata lebih rendah dibanding tanaman standar. Rataan jumlah
akar cabang, bobot basah akar dan bobot kering akar pada populasi R1-K0, R2-
K0 dan R2-K15 secara umum nyata lebih rendah dibanding tanaman standar.
Nilai ragam pada populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 untuk panjang akar lebih
besar, sebaliknya untuk jumlah akar cabang primer lebih kecil dibanding tanaman
standar. Nilai ragam untuk bobot akar bervariasi antar populasi; lebih besar atau
lebih kecil dibanding tanaman standar (Tabel 19). Pada populasi R1-K0 terdapat
104
satu galur yang mempunyai bobot kering akar nyata lebih besar daripada
tanaman standar (Gambar 25).
Dalam kondisi cekaman kekeringan, rataan panjang akar primer dan
jumlah akar cabang primer dari populasi R2-K0 dan R2-K15 masing-masing
nyata lebih tinggi dibanding tanaman standar. Rataan bobot basah akar dari
populasi R1-K0 dan R2-K0 nyata lebih tinggi dibanding tanaman standar.
Rataan bobot kering akar populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 tidak berbeda
nyata dengan tanaman standar. Nilai ragam pada populasi R1-K0, R2-K0 dan
R2-K15 untuk peubah-peubah pertumbuhan akar pada umumnya lebih besar
dibanding tanaman standar (Tabel 19). Dalam populasi R1-K0, R2-K0 dan R2
K15 masing-masing terdapat dua, 12 dan dua galur yang mempunyai bobot
kering akar lebih tinggi dibanding bobot kering akar tanaman standar (Gambar
25).
Tabel 19. Rataan nilai dan ragam panjang akar primer, jumlah akar cabang, bobot basah dan bobot kering akar kacang tanah kultivar Kelinci populasi tanaman standar, R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 pada kondisi optimum dan cekaman kekeringan
Populasi Rataan nilai pada kondisi Ragam pada kondisi Optimum Cekaman Optimum Cekaman
Panjang akar primer (cm)Standar 22,74 aA 17,00 bB 33,29 6,96 R1-K0 22,10 aA 16,96 bB 80,82 43,56 R2-K0 23,51 aA 20,62 aA 144,48 54,91 R2-K15 18,34 aB 18,39 aA 53,43 72,25 Jumlah akar cabang Standar 31,89 aA 9,00 bB 29,26 4,00 R1-K0 16,20 bB 13,17 aB 19,62 23,81 R2-K0 14,93 bB 17,70 aA 17,30 24,01 R2-K15 14,94 bB 17,72 aA 13,69 34,81 Bobot basah akar (g) Standar 4,19 aA 0,53 bB 1,21 0,06 R1-K0 1,89 aB 0,95 bA 1,66 0,24 R2-K0 1,11 aB 0,97 aA 0,31 0,32 R2-K15 1,14 aB 0,62 bB 0,46 0,09 Bobot kering akar (g) Standar 1,03 aA 0.30 bA 0,07 0,01 R1-K0 0,66 aB 0,37 bA 0,26 0,14 R2-K0 0,39 aB 0,42 aA 0,04 0,04 R2-K15 1,07 aA 0,33 bA 0,32 0,01 Keterangan : Angka dalam satu baris yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, atau angka dalam satu kolom dan satu peubah yang diikuti huruf kapital yang sama berarti tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT pada taraf signifikansi 5%
105
optimum
17
2 0 0
117
1 0 1
49
71 0 0
28
60 0 0
0102030405060
A B C D E
jum
lah
galu
r
cekaman
10
0 0 0 0
22
2 0 0 0
35
12
0 0 0
30
2 0 0 00
102030405060
A B C D Ekisaran bobot kering akar (g)
jum
lah
galu
r
Gambar 25. Distribusi frekuensi bobot kering akar pada populasi tanaman
standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitrodalam kondisi optimum dan cekaman kekeringan. Tanaman standar ( ), R1-K0 ( ), R2-K0 ( ) dan R2K15 ( ). Kisaran bobot kering tajuk A (x<0,56), B (0,56≤x<1,02), C (1,02≤x<1,48), D (1,48≤x<1,94), E (1,94≤x<2,40)
Respon Hasil terhadap Cekaman Kekeringan
Pada populasi standar dan R1-K0, perlakuan cekaman kekeringan nyata
menurunkan jumlah polong total dan jumlah polong bernas, sebaliknya pada
populasi R2-K0 dan R2-K15 cekaman kekeringan tidak berpengaruh terhadap
kedua peubah tersebut (Tabel 20).
Dalam kondisi optimum, rataan jumlah polong total dan bernas dari
populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 nyata lebih rendah dibanding tanaman
standar (Tabel 20), tetapi dua galur dari populasi R1-K0 dan tiga galur dari
populasi R2-K15 mempunyai jumlah polong bernas nyata lebih banyak dari
tanaman standar (Gambar 26). Dalam kondisi cekaman kekeringan, rataan
jumlah polong total dan polong bernas populasi R2-K0 dan R2-K15 masing-
masing nyata lebih tinggi dibanding populasi R1-K0 dan tanaman standar (Tabel
20). Dalam populasi R1-K0, R2-K0 dan R2 K15 masing-masing terdapat satu,
sembilan dan enam galur yang mempunyai jumlah polong bernas nyata lebih
banyak dibanding tanaman standar (Gambar 26).
106
Nilai ragam untuk jumlah polong total dan polong bernas pada populasi R1-
K0, R2-K0 dan R2 K15 lebih besar dibanding tanaman standar, baik pada kondisi
optimum maupun cekaman (Tabel 20).
Tabel 20. Rataan nilai dan ragam jumlah polong total dan jumlah polong bernas kacang tanah kultivar Kelinci populasi tanaman standar, R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 dalam kondisi optimum dan cekaman kekeringan
Populasi Rataan nilai pada kondisi Ragam pada kondisi Optimum Cekaman Optimum Cekaman
Jumlah polong total Standar 22,47 aA 5,33 bB 32,26 2,38 R1-K0 15,47 aB 8,71 bB 40,32 13,69 R2-K0 12,96 aB 12,7 aA 37,45 33,52 R2-K15 10,67 bB 12,62 aA 41,47 36,36 Jumlah polong bernas Standar 14,21 aA 4,00 bB 12,39 1,00 R1-K0 10,00 aB 5,37 bB 19,09 10,89 R2-K0 7,68 aB 8,27 aA 13,61 13,54 R2-K15 8,07 aB 8,19 aA 27,04 15,21
Keterangan : Angka dalam satu baris yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, atau angka dalam satu kolom dan satu peubah yang diikuti huruf kapital yang sama berarti tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT 5%
optimum
2 4 3 1 025
10
1 2
1419 19
50
912
5 5 3
05
1015202530
A B C D E
jum
lah
galu
r
cekaman
5 3 2 0 0
912
2 1 0
7
22
9 8
14
16
6 4 2
05
1015202530
A B C D E
kisaran jumlah polong bernas
jum
lah
galu
r
Gambar 26. Distribusi frekuensi jumlah polong bernas pada populasi tanaman
standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitrodalam kondisi optimum dan cekaman kekeringan. Tanaman standar ( ), R1-K0 ( ), R2-K0 ( ) dan R2K15 ( ). Kisaran jumlah polong bernas A (x<4), B (4≤x<8), C (8≤x<12), D (12≤x<16), E (16≤x<20)
107
Respon Kandungan Prolina terhadap Cekaman Kekeringan
optimum
0 0
3
0 001
4
01
4
8
0 0 0
23 3
10
02468
10
A B C D Ekisaran kandungan prolina
jum
lah
galu
r
cekaman
0 0 0 0
3
0 01
0
5
0 0
8
3
10 0
21
6
0
2
4
6
8
10
A B C D Ekisaran kandungan prolina
jum
lah
galu
r
Gambar 27. Distribusi frekuensi kandungan prolina (µg/g) dalam kondisi optimum
dan cekaman kekeringan pada tanaman kacang tanah populasi standar ( ), R0-K0 ( ) , R1-K0 ( ), dan R2-K15 ( ). Kisaran kandungan prolina A (4892≤x<6475,6), B (6475,6≤x<8059,2), C (8059,2≤x<9642,8), D (9642,8≤x<11.226,4), E (11.226,4≤x<12.810)
Pada tanaman standar, kandungan prolina dalam kondisi optimum
berkisar antara 8059,2 - 9642,8 µg/g daun kering, sedangkan dalam kondisi
cekaman kekeringan meningkat antara 11.226,4 -12.810 µg/g daun kering. Pada
tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro, kandungan prolina dalam kondisi
optimum berkisar antara 6475,6 – 12.810 µg/g daun kering, sedangkan dalam
kondisi cekaman kekeringan bergeser antara 8059,2 -12.810 µg/g daun kering
(Gambar 30).
Toleransi Galur Kacang Tanah Varian terhadap Cekaman Kekeringan Berdasarkan nilai ISK yang dihitung menggunakan peubah jumlah polong
bernas, tanaman standar termasuk kategori peka. Tanaman-tanaman dalam
populasi R1-K0 bersegregasi menjadi kategori peka dan toleran, masing-masing
sebanyak lima dan satu galur; populasi R2K0 bersegregasi menjadi kategori
peka, medium dan toleran terhadap cekaman kekeringan masing sebanyak
enam, satu, dan lima galur. Tanaman-tanaman populasi R2-K15 bersegregasi
menjadi kategori peka, medium dan toleran terhadap cekaman kekeringan
masing-masing sebanyak empat, satu dan empat galur (Gambar 28).
108
5 5
6
4
0 0
1 1
0
1
5
4
0
12
3
4
56
7
STANDAR R1K0 R2K0 R2K15
jum
lah
galu
r
P MT T
Gambar 28. Distribusi frekuensi respon populasi tanaman standar, R1-K0, R2-
K0, dan R2-K15 terhadap cekaman kekeringan berdasarkan indeks sensitivitas terhadap cekaman kekeringan yang dihitung menggunakan jumlah polong bernas
Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan
Distribusi frekuensi kandungan prolina dalam kondisi optimum dan
cekaman kekeringan (Gambar 27) menunjukkan adanya peningkatan kandungan
prolina dalam kondisi cekaman kekeringan dibanding dalam kondisi optimum.
Berdasar analisis regresi tunggal yang dilakukan ternyata terdapat hubungan
yang signifikan antara peningkatan kandungan prolina tersebut dengan indeks
sensitivitas terhadap cekaman kekeringan (ISK), dengan probabilitas kesalahan
sebesar 0,0002. Koefisien determinasi (R2) sebesar 0,4151 (Gambar 29)
mengindikasikan bahwa 41,51% keragaman ISK ditentukan oleh peningkatan
kadar prolina.
ISK juga mempunyai hubungan regresi yang signifikan dengan densitas
stomata dengan probabilitas kesalahan sebesar 0,0098. Koefisien determinasi
(R2) sebesar 0,2286 (Gambar 29) mengindikasikan bahwa 22,86% keragaman
ISK ditentukan oleh densitas stomata. Sebaliknya, panjang akar dan nisbah
akar/tajuk tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan ISK dan
mempunyai koefisien determinasi (R2) yang sangat kecil (Gambar 30).
Pada persamaan regresi antara peningkatan kandungan prolina dengan
ISK, kemiringan/gradien yang negatif (Gambar 29) menunjukkan bahwa makin
tinggi peningkatan kadar prolina makin rendah ISK, atau makin tinggi tingkat
toleransinya terhadap cekaman kekeringan. Kemiringan/gradien positif pada
persamaan regresi antara densitas stomata dengan ISK (Gambar 29)
menunjukkan bahwa makin tinggi densitas stomata makin tinggi pula ISK, atau
makin rendah tingkat toleransinya terhadap cekaman kekeringan.
109
y = 7,45 - 0,0017 x R2= 0,4151*
-1.5-1
-0.50
0.51
1.52
2.53
3.54
4.55
5.56
6.57
0 1000 2000 3000 4000 5000
peningkatan prolina
ISK
y = - 4,48 + 0,0595 x R2 = 0,2286 *
-1.5-1
-0.50
0.51
1.52
2.53
3.54
4.55
5.56
6.57
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
densitas stomata
ISK
Gambar 29. Hubungan antara indeks sensitivitas kekeringan (ISK) yang dihitung berdasarkan jumlah polong bernas dengan peningkatan prolina dan densitas stomata pada tanaman kacang tanah populasi standar (x) dan populasi R1-K0, R2-K0 serta R2-K15 yang teridentifikasi toleran (■), medium toleran (∆ ) dan peka (♦) terhadap cekaman kekeringan. * : signifikan
0 0 0
3
0
1
0
1
0
4
1
2
3
4
2
0
4
3
1 1
0
1
2
3
4
5
A B C D E
kisaran densitas stomata
jum
lah
galu
r
Gambar 30. Distribusi frekuensi densitas stomata pada tanaman kacang tanah
populasi standar ( ), R0-K0 ( ) , R1-K0 ( ), dan R2-K15 ( ). Kisaran densitas stomata A (75≤x<92,2), B (92,2≤x<109,4), C (109,4≤x<126,6), D (126,6≤x<143,8), E (143,8≤x<161).
110
y = 6,24 - 0,177 x R2 = 0,0667 (ns)
-1.5-1
-0.50
0.51
1.52
2.53
3.54
4.55
5.56
6.57
0 5 10 15 20 25 30 35panjang akar (cm)
ISK
y = 1,84 + 30,444 x R2 = 0,0123 (ns)
-1.5-1
-0.50
0.51
1.52
2.53
3.54
4.55
5.56
6.57
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08
nisbah akar/tajuk
ISK
Gambar 31. Hubungan antara ISK panjang akar dan nisbah akar/tajuk pada tanaman kacang tanah populasi standar (x) dan populasi R1-K0, R2-K0 serta R2-K15 yang teridentifikasi toleran (■), medium toleran (∆ ) dan peka (♦) terhadap cekaman kekeringan. ns : tidak signifikan
Pembahasan Perlakuan cekaman kekeringan secara umum berdampak negatif terhadap
pertumbuhan tajuk tanaman kacang tanah kultivar Kelinci. Pada empat
populasi yang diteliti, yaitu populasi tanaman standar, populasi tanaman yang
diregenerasikan dari ES hasil kultur in vitro generasi R1 dan R2 (populasi R1-K0
dan R2-K0) serta populasi tanaman yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi
in vitro generasi R2 (R2-K15), tinggi tanaman nyata menurun akibat perlakuan
cekaman kekeringan. Pengaruh cekaman kekeringan terhadap beberapa peubah
pertumbuhan tajuk berbeda-beda tergantung pada populasinya. Cekaman
kekeringan nyata menurunkan bobot kering tajuk pada populasi standar dan R1-
K0, tetapi tidak berpengaruh pada populasi R2-K0 dan R2-K15.
111
Cekaman kekeringan meningkatkan jumlah akar cabang primer pada
semua populasi, tetapi menurunkan pertumbuhan akar secara umum pada
populasi R1-K0 dan R2-K15, dan tidak berpengaruh pada populasi R2-K0. Hal
tersebut menunjukkan pengaruh cekaman kekeringan terhadap pertumbuhan
akar juga berbeda-beda tergantung pada populasinya.
Pertumbuhan merupakan mekanisme yang sangat sensitif terhadap air.
Pertumbuhan dapat terjadi apabila ada tekanan osmotik terhadap dinding sel
sehingga harus didahului oleh aliran air ke dalam sel. Untuk itu dibutuhkan
gradien potensial air antara sel-sel pada jaringan titik tumbuh dengan xyleem dan
tanah. Gradien yang dibutuhkan tidak terlalu besar, sehingga penurunan gradien
yang relatif kecil telah dapat menghambat aliran air dan pertumbuhan (Mullet
and Whitsitt 1996).
Respon sel terhadap penurunan ketersedian air tergantung pada tipe sel,
organ dan tahap perkembangan sel atau tanaman. Pada umumnya sel-sel
batang menunjukkan respon terhadap cekaman kekeringan yang lebih sensitif
dibandingkan organ lain (Mullet and Whitsitt 1996). Hasil ini sejalan dengan hasil
penelitian sebelumnya pada jagung. Dalam kondisi cekaman kekeringan,
perkembangan dinding sel batang jagung menurun, sebaliknya perkembangan
dinding sel akar meningkat (Hsiao and Jing 1987). Perbedaan tersebut diduga
antara lain disebabkan oleh perbedaan sensitivitas akar dan batang terhadap
absisic acid (ABA) yang terakumulasi sebagai respon terhadap cekaman
kekeringan dan berperan dalam penghambatan pertumbuhan. Pertumbuhan akar
kurang sensitif terhadap ABA dibandingkan pertumbuhan batang (Creelman et al.
1990), sehingga pertumbuhan akar pada kondisi keterbatasan air lebih baik
dibandingkan pertumbuhan batang.
Perlakuan cekaman kekeringan nyata berpengaruh negatif terhadap jumlah
polong total dan jumlah polong bernas pada populasi tanaman standar dan R1-
K0, sebaliknya pada populasi R2-K0 dan R2-K15 cekaman kekeringan tidak
berpengaruh terhadap kedua peubah tersebut.
Perbedaan respon untuk karakter vegetatif dan generatif pada populasi-
populasi yang diteliti diduga merupakan akibat dari perbedaan ketahanan
terhadap cekaman kekeringan. Perlakuan cekaman kekeringan yang diberikan
dalam penelitian ini diupayakan mampu membuat semua individu tanaman
mengalami kekurangan air yang ditunjukkan oleh gejala layu sementara. Dalam
satu siklus hidupnya setiap individu tanaman mengalami gejala layu sementara 7
112
– 8 kali, namun rataan respon yang diberikan antar populasi ternyata tidak selalu
sama.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian pada Aegilops biuncialis.
Galur A. biuncialis yang teradaptasi dalam lingkungan kering dapat
mempertahankan hasil panen yang relatif lebih tinggi dibanding galur yang
teradaptasi pada lingkungan optimum. Galur yang teradaptasi pada lingkungan
kering merespon cekaman kekeringan dengan penutupan stomata yang lebih
sedikit dibanding galur yang teradaptasi pada lingkungan normal, sehingga
mampu mempertahankan kecepatan difusi CO2 dan fotosintesis yang relatif
lebih tinggi; akibatnya hasil panen juga lebih tinggi dibanding galur yang
teradaptasi dari lingkungan normal. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa
kemampuan mencegah penurunan aktivitas fotosintesis (Molnar et al. 2004),
atau mempertahankan stabilitas hasil yang tinggi (Guttieri et al. 2001) dalam
kondisi cekaman kekeringan merupakan karakter yang indikatif untuk toleransi
tanaman terhadap cekaman kekeringan.
Dalam kondisi optimum rataan pertumbuhan tajuk, pertumbuhan akar dan
hasil pada populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 lebih rendah dibanding tanaman
standar. Dalam kondisi cekaman kekeringan, ketiga populasi tersebut
mempunyai rataan pertumbuhan tajuk yang lebih besar, pertumbuhan akar yang
relatif sama, dan hasil yang lebih tinggi atau sama dibanding tanaman standar.
Berdasar hal tersebut dapat dinyatakan bahwa dalam kondisi optimum tanaman
hasil kultur in vitro dan seleksi in vitro mempunyai pertumbuhan vegetatif dan
generatif yang lebih rendah, tetapi dalam kondisi cekaman kekeringan lebih tinggi
dibandingkan tanaman standar.
Walaupun pada kondisi optimum rataan pertumbuhan dan hasil pada
tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro pada umumnya lebih rendah dibanding
tanaman standar, tetapi terdapat beberapa galur yang mempunyai nilai peubah
yang lebih tinggi dibanding tanaman standar. Pada beberapa peubah yang
diamati, hampir selalu terdapat sejumlah galur dalam populasi R1-K0, R2-K0
atau R2-K15 yang mempunyai nilai di luar kisaran nilai tanaman standar.
Misalnya untuk peubah jumlah polong bernas, dalam kondisi optimum terdapat
dua galur dari populasi R1-K0 dan tiga galur dari R2-K15 yang mempunyai
jumlah polong bernas nyata lebih banyak dari tanaman standar, sedangkan
dalam kondisi cekaman satu galur dari populasi R1-K0, sembilan galur R2-K0
dan enam galur R2 K15 mempunyai jumlah polong bernas nyata lebih banyak
113
dibanding tanaman standar. Karena tanaman-tanaman tersebut dikembangkan
melalui kondisi in vitro, maka diduga merupakan tanaman yang berkembang dari
embrio somatik varian somaklonal.
Berdasarkan nilai indeks sensitivitas terhadap cekaman kekeringan yang
dihitung menggunakan peubah jumlah polong bernas, tanaman standar termasuk
kategori peka. Tanaman-tanaman dalam populasi R1-K0 bersegregasi menjadi
kategori peka dan toleran, masing-masing sebanyak lima dan satu galur;
populasi R2K0 bersegregasi menjadi kategori peka, medium dan toleran
terhadap cekaman kekeringan masing sebanyak enam, satu, dan lima galur.
Tanaman-tanaman populasi R2-K15 bersegregasi menjadi kategori peka,
medium dan toleran terhadap cekaman kekeringan masing-masing sebanyak
empat, satu dan empat galur. Segregasi diduga merupakan indikasi bahwa sifat
peka terhadap cekaman kekeringan mempunyai genotipe heterozigot; atau
merupakan produk variasi somaklonal yang diinduksi oleh kondisi in vitro.
Dalam penelitian ini diperoleh 10 galur yang teridentifikasi toleran terhadap
cekaman kekeringan. Galur-galur tersebut dalam kondisi cekaman kekeringan
menunjukkan peningkatan kadar prolina yang lebih tinggi dibandingkan tanaman
standar, dan pada umumnya mempunyai densitas stomata yang lebih rendah
dibanding tanaman standar. Dua di antara 10 galur tersebut mempunyai jumlah
polong bernas lebih tinggi dibandingkan tanaman standar, baik pada kondisi
optimum maupun cekaman, yaitu nomor K0-11.3 dan K0-30.1 (Tabel 21).
Tabel 21. Karakteristik galur-galur tanaman kacang tanah populasi R1-K0, R2-
K0 dan R2-K15 yang teridentifikasi toleran terhadap kekeringan Galur Nilai S Jumlah polong bernas pada
kondisi Peningkatan prolina (µg/g)
Densitas stomata /
cm2 Cekaman Optimum K0-30 - 0,65 9,50 T 9,00 3865 149 K0-2.10 - 0,31 5,75 T 5,60 4829 82 K0-7.3 - 0,75 11,50 T 10,80 3541 112 K0-11.3 0,23 15,00 T 15,30 T 3596 98 K0-22.5 0,32 5,25 T 5,40 2937 99 K0-30.1 - 0,48 15,00 T 14,40 T 3139 111 K15-1.2 0,20 6,00 T 6,50 5151 133 K15-4.3 0,39 8,50 T 8,80 2945 124 K15-4.6 0,28 4,00 4,10 3492 100 K15-6.1 - 0,67 11,00 T 10,40 3912 106 Standar 3,65 4,00 14,21 2491 136 Keterangan: T : lebih tinggi dibanding tanaman standar pada kondisi yang sama berdasar uji
DMRT taraf signifikansi 5%
114
Dalam pemuliaan tanaman, galur yang dikehendaki adalah yang dalam
kondisi cekaman maupun optimum mempunyai daya hasil yang sama atau lebih
besar dibanding tanaman standar. Kultivar kacang tanah yang telah diidentifikasi
toleran terhadap cekaman kekeringan selama ini pada umumnya mempunyai
daya hasil yang lebih tinggi dibanding tanaman standar hanya pada kondisi
cekaman, namun pada kondisi optimum lebih rendah dibanding tanaman
standar. Rendahnya daya hasil pada kondisi optimum terjadi karena karakter
tanaman tersebut yang bila hidup pada kondisi optimum (air tersedia cukup)
meningkatkan pertumbuhan vegetatif sehingga menyebabkan menurunnya hasil
panen di bawah tanaman standar. Dalam kondisi cekaman, mekanisme toleransi
yang dilakukan adalah secara avoidance dengan membentuk akar yang intensif.
Hal ini tidak diinginkan karena secara alamiah pada saat tertentu tanaman
tumbuh dalam kondisi optimum, dan tidak selalu mengalami cekaman
kekeringan.
Bila suatu galur mempunyai daya hasil yang lebih tinggi dibanding tanaman
standar, baik dalam kondisi optimum maupun cekaman, dapat diduga bahwa
mekanisme toleransi yang dilakukan tidak dengan mengorbankan fotosintat yang
seharusnya dialokasikan ke hasil panen. Mekanisme tersebut dapat berlangsung
secara avoidance (ketahanan) atau tolerance (toleransi) (Mitra 2002). Tanaman
budidaya pada umumnya melakukan mekanisme ketahanan dan atau toleransi.
Mekanisme ketahanan dilakukan melalui (1) pertumbuhan akar yang ekstensif
dan dalam; (2) penutupan stomata untuk mengurangi kehilangan air; (3)
penggulungan daun untuk mengurangi luas daun yang terpapar dan melindungi
khlorofil; (4) deposit lilin pada epicuticular untuk menghambat kehilangan air; dan
akumulasi anthocyanin untuk melindungi khlorofil (Sullivan 1983, Farrant 2000).
Mekanisme toleransi dilakukan dengan (1) detoksifikasi khususnya terhadap
ROS melalui pembentukan protein stres dan osmolit yang kompatibel, (2)
menjaga keseimbangan ionik dan osmotik, (3) membentuk vakuola kecil dalam
jumlah banyak, dan (3) regulasi pertumbuhan dengan menurunkan kecepatan
fotosintesis, pembelahan dan pembentangan sel (Mitra 2002, Willigen et al.
2002).
Dalam penelitian ini mekanisme toleransi kekeringan yang terjadi pada
kacang tanah varian diduga tidak melalui pertumbuhan akar yang intensif karena
regresi antara panjang akar dan nisbah akar/tajuk dengan indeks sensitivitas
kekeringan tidak signifikan. Koefisien determinasi antara kedua peubah tersebut
115
dengan indeks sensitivitas kekeringan juga sangat rendah. Hal ini
mengindikasikan bahwa akar yang dalam dan bercabang banyak tidak memberi
kontribusi terhadap toleransi terhadap kekeringan.
Densitas stomata memberi kontribusi sebesar 22,86% terhadap toleransi
terhadap kekeringan. Makin tinggi densitas stomata, indeks sensitivitas terhadap
cekaman kekeringan cenderung makin tinggi pula. Salah satu fungsi stomata
adalah menyelenggarakan transpirasi yang mengakibatkan potensial air sel-sel
daun menurun sehingga terjadi aliran air dari tanah, akar, batang dan daun. Bila
dalam kondisi cekaman kekeringan kecepatan transpirasi sangat tinggi dan tidak
seimbang dengan ketersediaaan air tanah, sel-sel tanaman dapat mengalami
kehilangan turgor. Oleh karena itu rendahnya densitas stomata dapat
mengurangi volume transpirasi dan menghasilkan stabilitas potensial air dan
turgor sel tanaman dalam kondisi cekaman kekeringan. Pada spesies lain,
mekanisme toleransi yang terjadi adalah menutupkan stomata pada kondisi
cekaman kekeringan Meskipun demikian, rendahnya desitas stomata membatasi
masuknya CO2 dari atmosfir sehingga menurunkan fiksasi CO2 dan intensitas
fotosintesis (Bajji et al 2001, Cornic et al 2000). Hal ini merupakan efek yang
kontra-produktif dengan perannya dalam ketahanan terhadap cekaman
kekeringan (Chaves et al. 2004). Intensitas penurunan difusi CO2 tergantung
pada struktur mesofil dan ruang antar sel dalam jaringan mesofil daun (Delfine et
al 1998).
Dalam penelitian ini akumulasi prolina sebagai salah satu osmolit
kompatibel memberi kontribusi yang lebih besar dibandingkan densitas stomata
dalam mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan, yaitu sebesar
41,51%. Peningkatan kadar prolina total dalam daun cenderung diikuti
penurunan indeks sensitivitas terhadap cekaman kekeringan, atau peningkatan
toleransi terhadap cekaman kekeringan.
Senyawa osmolit mungkin terbentuk sebagai hasil penguraian/
depolimerisasi komponen yang tidak aktif (Creelman et al. 1990), atau melalui
sintesis baru yang dapat terjadi dalam konsentrasi tinggi tanpa mengganggu
metabolisme sel normal. Osmolit kompatibel berperan sebagai subtansi protektif
untuk stabilisasi protein, pengikat radikal bebas, dan pelindung DNA dari efek
degradasi akibat ROS (Carpenter et al. 1990, Akashi et al. 2001, Ramanjalu dan
Bartels 2002). Selain itu akumulasi osmolit menurunkan potensial osmotik larutan
sel sehingga mempertahankan absorpsi air dan tekanan turgor sel serta
116
mendukung keberlanjutan proses-proses fisiologi seperti pembukaan stomata,
fotosintesis dan pertumbuhan sel (Blum 1998).
Simpulan
Dalam kondisi optimum tanaman hasil kultur in vitro dan seleksi in vitro
mempunyai pertumbuhan vegetatif dan generatif yang lebih rendah, tetapi dalam
kondisi cekaman kekeringan lebih tinggi dibandingkan tanaman standar.
Distribusi frekuensi dan nilai ragam respon pertumbuhan dan hasil pada tanaman
hasil kultur dan seleksi in vitro lebih besar dibanding tanaman standar.
Berdasarkan nilai indeks sensitivitas terhadap cekaman kekeringan yang
dihitung menggunakan peubah jumlah polong bernas, tanaman standar termasuk
kategori peka. Melalui kultur dan seleksi in vitro diperoleh 10 galur yang
teridentifikasi toleran terhadap cekaman kekeringan, dua di antaranya yaitu
nomor K0-11.3 dan K0-30.1, mempunyai jumlah polong bernas lebih tinggi
dibandingkan tanaman standar, baik pada kondisi optimum maupun cekaman.
Panjang akar dan nisbah akar/tajuk tidak mempunyai hubungan yang
berarti dengan toleransi terhadap cekaman kekeringan, sebaliknya densitas
stomata dan peningkatan kadar prolina mempunyai hubungan yang signifikan
dengan toleransi terhadap cekaman kekeringan.
VIII. PEMBAHASAN UMUM
Pengembangan galur tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan
melalui seleksi in vivo di lapang pada umumnya menghasilkan galur toleran
dengan mekanisme pembentukan akar intensif yang berpotensi menurunkan
daya hasil. Seleksi di lapang dalam lingkungan bercekaman cenderung
mendorong tanaman untuk membentuk akar yang berlebihan karena cekaman
kekeringan menginduksi aktivitas ABA. Akar tidak sensitif terhadap ABA, suatu
fitohormon yang berperan menghambat pertumbuhan. Akibatnya dalam kondisi
kekeringan pertumbuhan akar dapat berlangsung dengan kecepatan optimum
atau bahkan lebih tinggi (Creelman et al. 1990). Seleksi in vitro dapat menapis
sel/jaringan yang mampu hidup dalam media dengan potensial air rendah
melalui mekanisme tolerance, karena mekanisme avoidance tidak mungkin
terjadi pada sel/jaringan dalam media in vitro. Apabila sel tersebut dapat
diregenerasikan menjadi tanaman diharapkan akan mempunyai mekanisme
toleransi seperti sel/jaringan asalnya. Kemampuan sel/jaringan untuk dapat
bertahan hidup dalam media selektif in vitro dengan potensial air rendah harus
telah dimiliki sebelum sel/jaringan tersebut diseleksi. Kemampuan ini merupakan
karakter yang sebelumnya mungkin belum dimiliki oleh sel/jaringan sehingga
harus diinduksi, antara lain melalui induksi variasi somaklonal.
Berdasarkan hal itu, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah
mengembangkan populasi embrio somatik (ES) kacang tanah sebagai jaringan
yang akan diseleksi dan menginduksi variasi somaklonal. Teknik tersebut telah
dibakukan dalam penelitian sebelumnya (Yusnita et al. 2005). Langkah
selanjutnya adalah mengembangkan teknik seleksi in vitro yang mengandung
bahan penyeleksi yang dapat mensimulasikan kondisi kekeringan di lapang. Dari
sejumlah penelitian pada berbagai tanaman budidaya diketahui bahwa sebagai
bahan penyeleksi toleransi terhadap kekeringan, PEG-6000 mempunyai
beberapa kelebihan dibanding senyawa lain.
Berdasar hal itu pada tahap pertama dilakukan penelitian yang bertujuan
menguji efektivitas PEG-6000 sebagai bahan penyeleksi dalam media in vitro
untuk kultivar kacang tanah yang dikembangkan dan dibudidayakan di Indonesia.
Penelitian dilakukan dengan mengevaluasi respon kecambah dan tunas
sembilan kultivar kacang tanah Indonesia terhadap kondisi cekaman oleh PEG,
menentukan konsentrasi PEG yang efektif menghambat pertumbuhan dan
118
perkembangan eksplan, mengevaluasi toleransi sembilan kultivar kacang tanah
terhadap cekaman PEG dan menentukan perubahan kandungan prolina total
jaringan akibat stres PEG (Bab III).
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa larutan PEG dalam media in
vitro bersifat menghambat pertumbuhan kecambah dan tunas kacang tanah
sebagaimana yang terjadi secara in vivo dan meningkatkan kandungan prolina
total jaringan sehingga diduga mampu mensimulasikan kondisi cekaman
kekeringan dalam media in vitro . Dampak negatif dari larutan PEG dalam media
in vitro berbeda-beda tergantung pada respon kultivar kacang tanah terhadap
stres kekeringan. Hal ini berarti penapisan secara in vitro menggunakan PEG
dapat menjadi alternatif metode untuk menduga karakter toleransi kacang tanah
Indonesia terhadap cekaman kekeringan.
Konsentrasi PEG 15% efektif menghambat pertumbuhan dan
perkembangan eksplan tunas kacang tanah. Respon tunas kacang tanah
terhadap media dengan penambahan PEG 15% dapat digunakan sebagai
alternatif metode untuk menapis toleransi kacang tanah terhadap cekaman
kekeringan. Tunas yang ditumbuhkan dari poros embrio dengan kotiledon
(eksplan TDK) atau tanpa kotiledon (eksplan TTK) dapat digunakan sebagai
eksplan; dan peubah pertambahan panjang tunas (eksplan TTK), pertambahan
jumlah daun (eksplan TTK dan TDK), jumlah daun layu (eksplan TTK dan TDK),
jumlah akar utama (eksplan TDK), dan tingkat kerusakan tunas (eksplan TDK)
digunakan sebagai penduga toleransi.
Meskipun data yang ada mengindikasikan PEG dapat digunakan untuk
mensimulasikan kondisi cekaman kekeringan secara in vitro, efektivitasnya
sebagai bahan penyeleksi pada tingkat sel untuk mengisolasi ES yang toleran
(insensitif) dan mendapatkan tanaman varian yang toleran cekaman kekeringan
masih perlu dievaluasi. Hal tersebut diperlukan untuk mengembangkan metode
baku seleksi in vitro menggunakan PEG yang dapat dimanfaatkan untuk
mengisolasi ES varian kacang tanah yang toleran cekaman kekeringan. Berdasar
hal itu penelitian pada tahap kedua bertujuan mengevaluasi respon ES empat
kultivar kacang tanah terhadap media selektif dengan penambahan PEG,
menentukan konsentrasi sub-letal yang menghambat pertumbuhan dan
proliferasi ES, dan meregenerasikan tanaman R0 kacang tanah dari ES hasil
seleksi in vitro yang insensitif terhadap cekaman PEG (Bab IV).
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penambahan larutan PEG dalam
119
media selektif dapat menghambat proliferasi ES kacang tanah, dan tingkat
penghambatan sekitar 95% (sub-letal) didapatkan pada konsentrasi PEG 15%.
Dari hasil penelitian tersebut kemudian dikembangkan media selektif in vitro
untuk menyeleksi ES kacang tanah yang toleran cekaman kekeringan, yaitu
berupa media MS-P16 cair dengan fitohormon pikloram 16 μM dan penambahan
PEG 15%. Pada media tersebut dimasukkan lembaran busa dan kertas saring
steril untuk menyangga embrio somatik yang diseleksi agar tidak tenggelam.
Seleksi dilakukan selama tiga bulan dan setiap bulan dilakukan sub-kultur.
Teknik dan media seleksi yang dikembangkan dimanfaatkan untuk
menyeleksi ES varian kacang tanah cv. Kelinci dan Singa yang telah diperoleh
sebelumnya. Sejumlah ES kacang tanah cv. Kelinci dan Singa yang insensitif
terhadap cekaman PEG 15% berhasil diperoleh dari seleksi in vitro yang
dilakukan dengan frekuensi masing-masing sebesar 8%-10% dan 10-12%. ES
tersebut kemudian diregenerasikan menjadi tanaman R0 dan ditumbuhkan di
rumah kaca untuk menghasilkan benih generasi selanjutnya (Bab IV). Dalam
aklimatisasi plantlet menjadi tanaman terjadi hambatan cukup besar. Banyak
plantlet yang tidak dapat tumbuh sampai umur reproduktif. Dari 62 plantlet
kacang tanah cv. Kelinci hanya diperoleh 24 tanaman yang mencapai umur
reproduktif, dan di antara 24 tanaman tersebut tidak seluruhnya bersifat fértil. Di
antara 48 plantlet kacang tanah cv. Singa hanya 10 tanaman yang dapat tumbuh
hingga umur reproduktif tetapi semuanya steril sehingga tidak dapat dievaluasi
lebih lanjut.
Variasi somaklonal dapat diketahui keberadaannya dengan menganalisis
fenotipe tanaman (Maraschin et al. 2002). Untuk mengetahui terjadinya variasi
somaklonal, dilakukan pengamatan karakter kualitatif dan kuantitatif
pertumbuhan tanaman, dan untuk menduga faktor pengendali varian dilakukan
pengamatan pada generasi R0, R1 dan R2. Selain itu perlu pula
membandingkan intensitas munculnya variasi somaklonal antara tanaman yang
berasal dari ES hasil kultur in vitro tanpa seleksi dengan yang berasal dari ES
hasil seleksi in vitro menggunakan PEG 15% (Bab V).
Dari hasil percobaan diketahui ada berbagai varian somaklonal kualitatif.
Varian kualitatif yang muncul pada tanaman hasil kultur in vitro lebih beragam
dibandingkan yang muncul pada tanaman hasil seleksi in vitro . Sebagian varian
diduga dikendalikan oleh faktor genetik dominan atau resesif, sebagian yang lain
diduga dikendalikan oleh faktor epigenetik. Varian kuantitatif diyakini terjadi
120
dengan indikasi 1) nilai ragam untuk beberapa peubah pada tanaman hasil kultur
dan seleksi in vitro lebih besar dibandingkan pada tanaman standar, 2) terdapat
sejumlah galur dari populasi tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro yang
mempunyai nilai peubah di luar kisaran nilai peubah pada tanaman standar.
Varian kuantitatif yang bersifat positif tampak pada karakter bobot kering tajuk,
tinggi tanaman, bobot kering akar dan bobot polong bernas. Galur tanaman yang
mempunyai varian positif untuk bobot kering akar adalah nomor K0-8, K0-30.2,
K15-1 dan K15-2. Sedangkan yang mempunyai varian positif untuk bobot polong
bernas adalah K0-2, K0-4, dan K15-4 (Bab V).
Adanya variasi somaklonal pada karakter kualitatif dan kuantitatif pada
tanaman hasil kultur in vitro dan seleksi in vitro mengindikasikan pula adanya
peluang untuk mendapatkan tanaman yang toleran terhadap kekeringan melalui
mekanisme yang berbeda dengan tanaman standar. Untuk mengetahui hal ini
dilakukan evaluasi toleransi tanaman varian terhadap cekaman kekeringan
melalui dua pendekatan, yaitu cekaman kekeringan yang diinduksi oleh
penyiraman PEG 15% (Bab VI) dan yang diinduksi oleh pengurangan frekuensi
penyiraman air (Bab VII).
Evaluasi toleransi tanaman terhadap cekaman PEG menunjukkan bahwa
tanaman yang diregenerasikan melalui kultur atau seleksi in vitro mempunyai
respon terhadap cekaman PEG dengan distribusi frekuensi yang lebih luas dan
nilai ragam yang lebih besar dibanding tanaman standar untuk beberapa peubah
pertumbuhan tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa di antara tanaman-
tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro terdapat tanaman varian somaklonal.
Kultur in vitro dan seleksi in vitro dapat menghasilkan tanaman dengan
tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap cekaman PEG dibandingkan tanaman
standar. Berdasarkan nilai indeks kerusakan daun, tanaman standar termasuk
agak peka, sedangkan di antara tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro
terdapat delapan tanaman agak toleran dan tidak ditemukan tanaman toleran.
Berdasarkan nilai indeks sensitivitas terhadap kekeringan yang dihitung
menggunakan peubah biomassa tanaman, semua tanaman standar tergolong
medium toleran, sedangkan di antara tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro
terdapat enam galur tanaman yang toleran terhadap cekaman PEG. Dari hasil
percobaan juga diketahui bahwa nisbah akar/tajuk dan panjang akar tidak
mempunyai hubungan signifikan dengan toleransi tanaman terhadap cekaman
PEG (Bab VI).
121
Evaluasi toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan yang diinduksi
oleh pengurangan penyiraman air memperlihatkan bahwa distribusi frekuensi dan
nilai ragam untuk beberapa peubah pertumbuhan pada tanaman hasil kultur dan
seleksi in vitro lebih luas dibanding pada tanaman standar. Seperti pada
percobaan sebelumnya hasil ini juga mengindikasikan adanya tanaman varian
yang mempunyai mempunyai potensi genetik berbeda dengan tanaman standar
di antara tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro (Bab VII).
Berdasarkan nilai indeks sensitivitas terhadap cekaman kekeringan yang
dihitung menggunakan peubah jumlah polong bernas, tanaman standar termasuk
kategori peka. Melalui kultur dan seleksi in vitro diperoleh 10 galur yang
teridentifikasi toleran terhadap cekaman kekeringan. Dalam kondisi cekaman
kekeringan, galur-galur tersebut menunjukkan peningkatan kandungan prolin
yang lebih tinggi dibanding tanaman standar, tetapi mempunyai densitas
stomata yang lebih rendah dibanding tanaman standar. Dua di antara 10 galur
tersebut, yaitu nomor K0-11.3 dan K0-30.1, mempunyai jumlah polong bernas
lebih tinggi dibandingkan tanaman standar, baik pada kondisi optimum maupun
cekaman (Bab VII).
Dari tanaman kacang tanah kultivar Kelinci standar yang dalam percobaan
ini teridentifikasi medium toleran (Bab VI) dan teridentifikasi peka (Bab VII)
didapatkan enam galur varian somaklonal yang toleran terhadap cekaman
kekeringan yang diinduksi PEG dan 10 galur yang toleran terhadap cekaman
kekeringan yang diinduksi oleh pengurangan penyiraman air. Efisiensi seleksi
untuk mendapatkan galur toleran melalui kultur in vitro sebesar 13,3 % - 33,3%,
sedangkan bila melalui seleksi in vitro sebesar 10,5 % - 44,4 % (Tabel 22). Hasil
tersebut memperlihatkan bahwa seleksi in vitro tidak nyata meningkatkan
efisiensi seleksi. Dengan induksi variasi somaklonal tanpa disertai seleksi in vitro
dapat diperoleh sejumlah galur toleran dengan persentase yang tidak jauh
berbeda dengan yang disertai seleksi in vitro. Hasil tersebut dapat terjadi karena
seleksi in vitro tidak mengubah sel/jaringan (dalam penelitian ini ES) yang
bersifat sensitif menjadi toleran, melainkan hanya menapis atau memilih
sehingga hanya ES yang toleran saja yang dapat hidup dalam media seleksi.
Jadi karakter toleransi tersebut telah dimiliki oleh ES sebelum diseleksi dan
diduga sebagian atau seluruhnya merupakan varian somaklonal.
122
Tabel 22. Galur kacang tanah kultivar Kelinci populasi tanaman hasil kultur dan hasil seleksi in vitro yang teridentifikasi toleran terhadap cekaman PEG dan cekaman pengurangan penyiraman
Toleransi terhadap cekaman yang diinduksi PEG
Toleransi terhadap cekaman yang diinduksi pengurangan
penyiraman Populasi hasil kultur in vitro
Populasi hasil seleksi in vitro
Populasi hasil kultur in vitro
Populasi hasil seleksi in vitro
Nomor galur
K0-2.3 K0-7.3 K0-16.4 K0-2.5
K15-4.5 K15-6.2
K0-30 K0-2.10 K0-7.3 K0-11.3 K0-22.5 K0-30.1
K15-1.2 K15-4.3 K15-4.6 K15-6.1
Σ galur toleran
4 2 6 4
Σ galur yang dievaluasi
30 19 18 9
Efisiensi seleksi (%)
13,3 10,5 33,3 44,4
Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa proses yang terutama berperan
untuk mendapatkan ES yang toleran adalah induksi variasi somaklonal. Seleksi
in vitro secara teoritis bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi karena 1) ES
varian yang diseleksi harus berjumlah sangat banyak untuk memperbesar
peluang mendapatkan tanaman toleran, dan 2) secara morfologis tidak dapat
diketahui apakah ES varian yang dihasilkan mempunyai sifat toleransi yang
diinginkan atau tidak. Dalam penelitian ini nampaknya induksi variasi somaklonal
telah dapat menghasilkan ES yang toleran dalam jumlah yang memadai dan
dapat diregenerasikan menjadi tanaman produktif sehingga seleksi in vitro
nampaknya tidak berperan meningkatkan efisiensi seleksi. Meskipun demikian
harus diyakini bahwa peluang tersebut tidak selalu terjadi pada setiap penelitian.
Zuriat dari galur K0-2, K0-7, K15-4 dan K15-6 merupakan galur yang
konsisten toleran terhadap cekaman kekeringan, baik yang diinduksi oleh
penyiraman PEG maupun pengurangan penyiraman (Tabel 22). Dari penelitian
sebelumnya juga diketahui zuriat galur K0-2 dan K15-4 merupakan varian positif
untuk peubah bobot polong bernas (BAB V). Galur K0-11.3 dan K0-30.1 yang
toleran terhadap cekaman kekeringan akibat pengurangan penyiraman air,
mempunyai jumlah polong bernas lebih tinggi dibandingkan tanaman standar,
baik pada kondisi optimum maupun cekaman (BAB VII). Empat galur tersebut,
123
yaitu K0-2, K15-4, K0-11.3 dan K0-30.1 merupakan galur tersebut potensial
untuk dikembangkan sebagai galur harapan yang mempunyai daya hasil yang
tinggi dan toleran terhadap cekaman kekeringan, melalui serangkaian pengujian
di laboratorium maupun di lapang. Jika ditanam pada kondisi optimum galur-galur
tersebut diharapkan tidak melakukan pertumbuhan vegetatif berlebihan sehingga
hasil polong tetap tinggi. Jika ditanam pada kondisi kekeringan, galur tersebut
juga mampu melakukan mekanisme toleransi yang tidak membutuhkan fotosintat
berlebihan, sehingga hasil polong dapat dipertahankan tetap relatif tinggi.
Panjang akar dan nisbah akar/tajuk tidak mempunyai hubungan atau peran
dalam mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan, baik yang diinduksi
oleh penyiraman PEG maupun oleh pengurangan penyiraman air. Hal ini dapat
ditafsirkan bahwa toleransi terhadap cekaman kekeringan pada tanaman hasil
kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro tidak melalui mekanisme pembentukan
akar yang panjang dan bercabang banyak. Hasil ini menunjukkan bahwa
tanaman varian yang didapatkan mempunyai karakter yang berbeda dengan
kultivar kacang tanah toleran kekeringan yang sudah dikembangkan.
Densitas stomata dan peningkatan kandungan prolin dalam kondisi
cekaman mempunyai hubungan signifikan dengan indeks sensitivitas terhadap
kekeringan. Berdasarkan hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa mekanisme
toleransi terhadap cekaman kekeringan pada galur-galur tanaman dalam
penelitian ini antara lain melalui penurunan densitas stomata dan peningkatan
kadar prolin. Penurunan densitas stomata merupakan salah satu mekanisme
avoidance (Mitra 2002). Dengan berkurangnya jumlah stomata, intensitas
transpirasi berkurang sehingga meningkatkan ratio penyerapan/kehilangan air;
tetapi penurunan jumlah stomata dapat mengurangi difusi CO2 dan intensitas
fotosintesis sehingga berpotensi menurunkan daya hasil.
Dengan demikian mekanisme toleransi melalui penurunan densitas
stomata atau penutupan stomata tidak dikehendaki ditinjau dari sudut agronomi.
Seperti pada galur Aegylops biuncialis, ketahanannya terhadap cekaman
kekeringan tidak melalui mekanisme penutupan stomata yang intensif.
Penurunan potensial osmotik dari -0,027 sampai - 1,8 MPa akibat penyiraman
PEG 6000 hanya menyebabkan tingkat penutupan stomata yang relatif rendah,
sehingga CO2 interseluler tetap relatif tinggi, produksi biomassa dan hasil panen
juga relatif lebih tinggi. Sebaliknya pada gandum cekaman osmotik yang tinggi
meningkatkan penutupan stomata yang berlebihan sehingga mengakibatkan
124
kehilangan hasil yang cukup tinggi (Molnar et al. 2004). Intensitas penurunan
difusi CO2 tergantung pada struktur mesofil dan ruang antar sel dalam jaringan
mesofil daun (Delfine et al. 1998).
Peningkatan kadar prolina merupakan salah satu mekanisme ketahanan
sekaligus toleransi. Dalam melakukan mekanisme ketahanan, prolina berperan
dalam keseimbangan osmotik atau mempertahankan tekanan turgor sel (Serraj
dan Sinclair 2002, Mundree et al. 2002). Dalam melakukan mekanisme toleransi,
prolina sebagai solut organik mampu melakukan detoksifikasi ROS, penghilang
radikal, agen proteksi untuk stabilisasi protein selama cekaman dan pelindung
DNA dari efek degradasi akibat ROS (Munns 2002, Serraj dan Sinclair 2002).
Pembentukan prolina tidak selalu memanfaatkan fotosintat yang berlebihan
karena sebagai senyawa monomer, prolina dapat terbentuk sebagai hasil
penguraian/depolimerisasi komponen yang tidak aktif (Creelman et al. 1990),
Berdasarkan hal-hal tersebut dapat dinyatakan bahwa mekanisme toleransi
terhadap kekeringan pada tanaman kacang tanah varian dalam penelitian ini
diduga melalui mekanisme ketahanan dan toleransi. Mekanisme ketahanan
dilakukan melalui penurunan densitas stomata dan peningkatan prolina sebagai
osmoprotektan, sedangkan mekanisme toleransi melalui peningkatan prolina
sebagai protektor. Berbeda dengan penurunan densitas stomata yang dapat
mengurangi hasil panen, peningkatan prolina diduga tidak demikian karena
prolina dapat terbentuk melalui depolimerisasi yang tidak membutuhkan asimilat.
Dengan memperhatikan koefisien determinasi antara peningkatan prolina
dan penurunan densitas stomata dengan IKS dapat dinyatakan bahwa kedua
mekanisme tersebut hanya merupakan sebagian dari mekanisme toleransi dan
atau ketahanan terhadap cekaman kekeringan pada tanaman kacang tanah
varian. Mekanisme yang lain masih perlu dievaluasi lebih lanjut, antara lain
keterlibatan enzim-enzim anti-oksidan (misalnya katalase, peroksidase,
dismutase), senyawa penghilang radikal (misalnya karotenoid, askorbat,
tokoferol-glutation tereduksi); dan struktur untuk meminimalkan pembentukan
ROS. Selain itu juga mekanisme untuk menjaga homeostasi atau keseimbangan
ionik melalui pembentukan vakuola-vakuola kecil, aktivasi pompa ion, saluran
ion, transporter ion dan ATP-ase vakuolar, serta regulasi pertumbuhan melalui
pembentukan ABA (Mundree et al. 2002).
125
IX. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Penambahan larutan PEG dalam media in vitro bersifat menghambat
pertumbuhan kecambah, tunas dan embrio somatik kacang tanah; serta
meningkatkan kandungan prolina total jaringan. Dampak negatif dari larutan PEG
dalam media in vitro berbeda-beda tergantung pada respon kultivar kacang
tanah terhadap cekaman kekeringan. Konsentrasi PEG 15% efektif menghambat
pertumbuhan dan perkembangan eksplan kacang tanah, serta menghambat
proliferasi ES kacang tanah dengan tingkat penghambatan sekitar 95% (sub-
letal).
Media MS (Murashige-Skoog 1962) cair dengan fitohormon pikloram 16 μM
dan ditambah PEG 6000 15% merupakan media seleksi in vitro yang efektif
untuk memperoleh embrio somatik kacang tanah yang toleran terhadap
potensial air rendah. Pemeliharaan embrio somatik dalam media seleksi
dilakukan selama tiga bulan dengan tiga kali sub kultur. Sejumlah ES kacang
tanah cv. Kelinci dan Singa yang insensitif terhadap cekaman PEG 15% berhasil
diperoleh dari seleksi in vitro yang dilakukan.
Pemeliharaan embrio somatik dalam kultur in vitro selama enam bulan
dengan enam kali sub kultur dapat menginduksi variasi somaklonal kacang
tanah. Variasi somaklonal kacang tanah tampak pada karakter kualitatif dan
kuantitatif. Varian kualitatif meliputi percabangan melebar, percabangan
berlebihan, daun pentafoliat, steril partial dan steril total, daun roset, daun
varigata, ujung daun meruncing, daun hexafoliat, dan daun oktafoliat. Keragaman
variasi pada tanaman hasil kultur in vitro tanpa diikuti seleksi lebih tinggi
dibandingkan pada tanaman hasil kultur yang diikuti seleksi in vitro .
Varian kualitatif yang diduga dikendalikan secara genetik adalah
percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun pentafoliat, daun
hexafoliat, daun oktafoliat dan steril partial. Varian daun hexafoliat, oktafoliat dan
steril partial (pada populasi hasil seleksi in vitro ) diduga dikendalikan oleh gen
resesif. Varian yang diduga dikendalikan secara epigenetik adalah daun roset,
daun varigata dan ujung daun meruncing.
Varian kuantitatif tampak pada sejumlah peubah pertumbuhan tajuk, akar
dan polong, dengan indikasi adanya distribusi frekuensi yang lebih lebar dan nilai
126
ragam yang lebih besar untuk sejumlah peubah pada tanaman hasil kultur dan
seleksi in vitro dibanding tanaman standar. Sebagian varian merupakan varian
agronomi yang negatif, sebagian yang lain varian positif. Varian positif muncul
pada karakter bobot kering tajuk, tinggi tanaman, bobot kering akar dan bobot
polong bernas. Galur yang mempunyai varian positif untuk bobot polong bernas
adalah K0-2, K0-4, dan K15-4.
Cekaman akibat penyiraman PEG 15% pada fase vegetatif menurunkan
pertumbuhan tajuk, tetapi tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan akar.
Respon pertumbuhan tanaman yang diregenerasikan melalui kultur atau seleksi
in vitro terhadap cekaman akibat PEG dan akibat pengurangan penyiraman
mempunyai distribusi frekuensi yang lebih luas dan ragam yang lebih besar
dibanding tanaman stándar.
Di antara galur-galur tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro , terdapat
enam galur yang toleran terhadap cekaman PEG dan 10 galur yang toleran
terhadap cekaman kekeringan. Zuriat dari galur K0-2, K0-11, K0-30 dan K15-4
merupakan galur yang potensial untuk dikembangkan menjadi plasma nutfah
sumber toleransi terhadap kekeringan dan daya hasil yang tinggi melalui
serangkaian pengujian di laboratorium dan lapang.
Panjang akar dan nisbah akar/tajuk tidak mempunyai hubungan yang
berarti dengan toleransi terhadap cekaman kekeringan, sebaliknya densitas
stomata dan peningkatan kadar prolin mempunyai hubungan yang signifikan
dengan toleransi terhadap cekaman kekeringan. Berdasarkan hal ini dapat
ditafsirkan bahwa sifat toleransi terhadap cekaman kekeringan pada galur-galur
tanaman kacang tanah hasil variasi somaklonal yang dihasilkan dalam penelitian
ini tidak melalui mekanisme pembentukan sistem perakaran yang panjang dan
bercabang banyak, melainkan antara lain melalui penurunan densitas stomata,
dan pembentukan prolina yang dapat berperan sebagai osmoprotektan sekaligus
sebagai protektor terhadap kerusakan sel akibat cekaman kekeringan.
Berdasarkan hasil-hasil percobaan di atas disimpulkan bahwa induksi
variasi somaklonal, baik diikuti oleh seleksi in vitro maupun tidak, dapat dipakai
sebagai alternatif untuk mendapatkan galur kacang tanah yang toleran terhadap
cekaman kekeringan melalui mekanisme toleransi yang tidak melalui
pembentukan akar intensif.
127
Saran Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk galur-galur yang telah teridentifikasi
toleran untuk mengevaluasi stabilitas daya hasil dan toleransi terhadap cekaman
kekeringan, baik di lingkungan optimum maupun lingkungan bercekaman.
Dibutuhkan penelitian untuk mengkaji mekanisme toleransi yang lain
terhadap cekaman kekeringan, antara lain 1) mekanisme detoksifikasi terhadap
senyawa radikal melalui pembentukan protein stres seperti enzim kunci untuk
biosintesis osmolit dan enzim antioksidan (misalnya katalase, peroksidase,
dismutase), serta melalui pembentukan senyawa penghilang radikal (misalnya
karotenoid, askorbat, tokoferol-glutation tereduksi); 2) mekanisme homeostatik
atau keseimbangan osmotik, seperti pembentukan multi vakuola dan osmolit, dan
(3) regulasi pertumbuhan melalui aktivitas absisic acid (ABA), penurunan
kecepatan fotosintesis, pembelahan dan pembentangan sel.
DAFTAR PUSTAKA
Akashi K, Miyake C, Yokota A. 2001. Citruline, a novel compatible solute in drought-tolerant wild watermelon leaves, is en efficient hydroxyl radical scavenger. FEBS Lett 508: 438-442.
Amiard V et al. 2003. Fructans, but not sucrosyl-galactosides, raffinose and
loliose, are affected by drought stress in perennial ryegrass. Plant Physiol 132:2218 – 2229.
Badiane FA et al. 2004. Screening cowpea [Vigna unguilata (L.) Walp.] varieties
by inducing water deficit and RAPD analyses. African J Biotechnol 3:174 – 178.
Bajji M, Lutts S, Kinet JM. 2001. Water deficit effects on solute contribution to
osmotic adjustment as a function of leaf aging in three durum wheat (Triticum durum Desf) cultivars performing differently in arid conditions. Plant Sci 160:669-681.
Bajji M, Bertin P, Lutts S, Kinet JM. 2004. Evaluation of drought resistance-
related traits in durum wheat somaclonal lines selected in vitro. Aust J Exp Agric 44: 27 – 35.
[Balitkabi] Balai Penelitian Kacang-kacangan danUmbi-umbian. 2004. Teknologi
Budidaya Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balitbang Pertanian. Bates LS, Waldren RP, Teare. 1973. Rapid determination of free proline for water
stress studies. Plant Soils 39:205 – 207. Bertin P, dan Bouharmont J. 1997. Use of somaclonal variation and in vitro
selection for chilling tolerance improvement of rice. Euphytica 96:35 – 142.
Blum A. 1996. Crop responses to drought and the interpretation of adaptation.
Plant Growth Reg 20:135 – 148. Bouharmont J. 1994. Application of somaclonal variation and in vitro selection to
plant improvement. ISHS Acta Horticulturae 355: Plant Breeding for Mankind-Symposium Agribex 94. [serial online]. http://www.actahort.org. 10 Febr 2001.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia 2005. Jakarta: Badan
Pusat Statistik. Caroll AB, Pallardy SG dan Galen C. 2001. Drought stress, plant water status
and floral trait expression in fire weed, Epilobium angustifolium (Onagraceae). Am J Bot 88:438 – 446.
Carpenter JF, Crowe LM, Arakawa T. 1990. Comparison of solute-induced
protein stabilization in aqueous solution and in the frozen and dried states. J Dairy Sci 73:327-333.
Claxton JR, Arnold DL, Clarkson JM, Blakesley D. 1998. The regeneration and screening of watercress somaclones for resistance to Spongospora subterranea f.sp.nasturtii and measurement of somaclonal variation. Plant Cell Tissue Organ Cult 52:155 – 164.
Chazen O dan Neumann PM. 1994. Hydraulic signals from the roots and rapid
cell-Wall hardening in growing maize (Zea mays L.) leaves are primary responses to polyethylene glycol – induced water deficits. Plant Physiol 104 : 1385-1392.
Chaves MM, Moroco JP, Pireira JS. 2003. Understanding plant responses to
drougt – from genes to the whole plant. Functional Plant Biol 30:239-264. Collino DJ, Dardanelli JL, Sereno R, Racca RW. 2000. Physiological responses
of argentine peanut varieties to water stress. Water uptake and water use efficiency. Field Crop Res 68:133–142.
Cornic G. 2000. Drought stress inhibits photosynthesis by decreasing stomatal
aperture – not by affecting ATP synthesis. Trends in Plant Sci 5:187-188. Dami I, dan Hughes HG. 1997. Effect of PEG-induced water stress on in vitro
hardening of ‘Valiant’ grape. Plant Cell Tissue Organ Cult 47:97– 101. Delfine S, Alvino A, Zacchini M, Loreto F. 1998. Consequences of salt stress on
conductance to CO2 diffusion, rubisco characteristics and anatomy of spinach leaves. Aust J Plant Physiol 25:395-402.
De Klerk GJ. 1990. How to measure somaclonal variation. Acta Bot.Neerl 39:129-
144. Djilianov D, Dragiiska R, Yordanova R, Dolchinkova V, Yordanova Y dan
Atanassov A. 1997. Physiology change in osmotically stressed detached leaves of Alfalfa genotypes selected invitro. Plant Sci 192: 147-156.
Dubrovsky JG, dan Gomez Lomelli LF. 2003. Water deficit accelerates
determinate development programm of the primary root and does not affect lateral root initiation in a sonoran desert cactus (Pachycereus pringlei, Cactaceae). Am J Bot 90: 823 – 831.
Duncan RR, Waskom RM, Nabors MW. 1995. In vitro sreening and field
evaluation of tissue-culture-regenerated sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench.) for soil stress tolerance. Euphytica 85: 373 – 380.
Earl HJ dan Davis RF. 2003. Effect of drought stress on leaf and whole canopy
radiation use water efficiency and yield of maize. Agron J 95:688 – 696. Ehsanpour AA dan F. Amini. 2003. Effect of salt and drought stress on acid
phosphatase activities in alfalfa (Medicago sativa L.) explants under in vitro culture. African J Biotechnol 2:133-135.
Farrant JM. 2000. A comparison of mechanisms of dessication tolerance among
three angiosperm resurrection plant species. Plant Ecol 151:29-39.
Fernanda QHM, del Soccoro SHM, Fernando GCR. 1997. Cell wall proteins of in vitro culture of chili pepper lines differing in water stress tolerance. Plant Sci 128:217-223.
Fischer RA dan Maurer R. 1978. Drought resistance in spring wheat cultivar. I.
grain yield response. Aust J Agric Res 29:897 – 907. Fotelli MN, Radoglou KM, Constantinidou HI. 2000. Water stress responses of
seedlings of four Mediterranean oak species. Tree Physiol 20:1065 – 1075.
Franca MGC et al. 2000. Differences in growth and water relations among
Phaseolus vulgaris cultivars in response to induced drought stress. Environ Exp Bot 43:227 – 237.
Franca-Netto JB, Kryzanowsky FC, Hennig AA, West SH, Miranda LC. 1993.
Soybean seed quality as affected by shriveling due to heat and drought stresses during seed filling. Seed Sci Technol 21:107 – 116.
Gaspar L. et al. 2002. Structural changes of the photosynthetic apparatus under
osmotic stress in different Triticum sativum and Aegilops biuncialis genotypes. Proceeding of the 7th Hungarian Congress on Plant Physiology. 46 (3 – 4):91 – 93.
Gibon Y, Sulpice R, Larther F. 2000. Proline accumulation in canola leaf discs
subjected to osmotic stress is related to the loss of chlorophyll and to the decrease of mitochondrial activity. Physiol Plant 110:469 – 476.
Girousse C, Bournoville R, Bonnemain JL. 1996. Water deficit-induced changes
in concentration in proline and some other amino acids in the phloem sap of alfalfa. Plant Physiol 111:109 – 113.
Guo C dan Oosterhuis DM. 1997. Effect of water stress and genotype on pinitol
occurrence in soybean plants. Environ Exp Bot 37:147 – 152. Gupta, US. 1997. Crop Improvement Stress Tolerance.Vol. 2. ….Science
Publisher, Inc. Guttieri MJ, Stark JC, O’Brien K, Souza K. 2001. Relative sensitivity of spring
wheat grain yield and quality parameters to moisture deficits. Crop Sci 41:327-335.
Ham C. 2004. Growing peanuts in the end of the NT. Agnote. 177. No. C9. [serial
on line].http://www.primaryindustry.nt.gov.au. [3 April 2004]. Hammerschlag FA. 1988. Somaclonal variation. In: Hammerschlag, F.A.dan R.E.
Litz (Eds.). Biotechnology of Perennial Fruit Crops, CAB International, Wallingford. pp. 35–55.
Hardegree SP dan Emmerich WE.1992. Seed germination responses of four
Southwestern range grasses to equilibration at subgermination matric Potentials Agron J 84 : 994-998.
Hawbaker MS, Fehr WR, Mansur LM, Shoemaker LC, Palmer RG. 1993. Genetic variation for quantitative traits in soybean lines derived from tissue culture. Theor Appl Genet 87:49 – 53.
Henikoff S dan Matzke MA. 1997. Exploring and explaining epigenetic effects.
Trends Genetics 13: 293-295. Hidajat JR, Kartaatmadja S , Rais SA. 1999. Teknik produksi benih kacang
tanah. Puslitbang Tanaman Pangan, Balitbang Pertanian. Irigoyen JJ, Emerich DW, Sanchez-Diaz M. 1992. Water stress induced changes
in concentrations of proline and total soluble sugars in nodulated alfalfa (Medicago sativa L.) plants. Physiol Plant 84:55 – 60.
Iyer S dan Caplan A. 1998. Product of proline catabolism can induced osmotically
regulated genes in rice. Plant Physiol 116:203 – 211. Johnson JM, Pritchard J, Gorham J, Tomos AD. 1996. Growth, water relations
and solute accumulation in osmoticcaly stressed seedlings of the tropical tree Colophospermum mopane. Tree Physiol 16:713 – 718.
Karp A. 1995. Somaclonal variation as a tool for crop impovement. Euphytica
85:295 – 302. Kerepesi I dan Galiba G. 2000. Osmotic and salt stress-induced alteration in
soluble carbohydrate content in wheat seedling. Crop Sci 40:482 – 487. Kong, L., Attree SM, Lowke LC. 1998. Effect of polyethylene glycol and
methylglyoxal bis(guanylhydrazon) on endogenous polyamine levels and somatic embryo maturation in white spruce (Picea glauca). Plant Sci 133: 211-220.
Larkin PJ, Ryan SA, Brettell RIS, Scowcroft WR. 1984. Heritable somaclonal
variation in wheat. Theor Appl Genet 67:443 – 455. ------------- et al. 1989. From somatic embryo to variant plants: mechanism and
application. Genome 31:705 – 711. -------------, Scowcroft WR. 1981. Somaclonal Variation – a novel source of
variability from cell cultures to plant improvement. Theor Appl Genet 60:197 – 214.
Leprince O, Harren FJM, Buitink J, Alberda M dan Hoekstra FA. 2000. Metabolic
dysfunction and unabated respiration precede the loss of membrane integrity during dehydration on germinating radicles. Plant Physiol 122:597-568.
Loggini B, Scartazza A, Brugnoli E, Navari-Izzo F. 1999. Antioxidative defense
system, pigment composition, and photosynthetic efficiency in two wheat cultivars subjected to drought. Plant Physiol 119:1091 – 1100.
Maesen LHG van der dan Somaatmadja S. 1993. Kacang-kacangan. Sumber
Daya Hayati Asia Tenggara 1. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Makarim AK. 2005. Cekaman abiotik utama dalam peningkatan produktivitas tanaman. Makalah disampaikan pada seminar Pemanfaatan Bioteknologi untuk Mengatasi Cekaman Abiotik pada Tanaman. Balai Besar Penelitian Biologi dan Sumber Daya Genetika, Bogor. 22 September 2005.
Maluszynski M, Ahloowalia BS, Sigurbjornsson. 1995. Application of in vivo and
in vitro mutation techniques for crop improvement. Euphytica 85:303 – 315.
Maralappanavar M, Kuruvinasetti MS, Harti CC. 2000. Regeneration,
establishment and evaluation of somaclones in Sorghum bicolor (L.) Moench. Euphytica 115:173 – 180.
Masyhudi MF dan Petterson RP. 1990. The effect of water stress on nitrogen
absorption of soybean. Ind J Crop Sci 42:43 – 63. Michel BE dan Kaufmann MR. 1973. The osmotic potential of polyethylene glycol
6000. Plant Physiol 57:914-916. Mingyi J dan Jianhua Z. 2002. Water stress-induced absisic acid accumulation
triggers the increased generation of reactive oxygen species and up-regulates the activities of antioxidant enzymes in mayze leaves. J Exp Bot 53:2401 – 2410.
Mitra J. 2001. Genetics and genetic improvement of drought resistance in crop
plants. Current Sci 80:758 – 763. Mohamed MAH, Harris PJC, Henderson J. 2000. In vitro selection and
characterisation of a drought tolerant clone of Tagetes erecta. Plant Sci 159:213 – 222.
Molnar I et al. 2004. Physiological and morphological responses to water stress
in Aegilops biuncialis and Triticum aestivum genotypes with differing tolerance to drought. Functional Plant Biol 31:1149-1159.
Monneveux P dan Belhassen E. 1996. The diversity of drought adaptation in the
wide. Plant Growth Regulation. 20: 85-92 Moss JP , Rao VR. The Peanut – Reproductive development to plant maturity. Di
dalam Pattee HE, Stalker HT (Editors). Advance in Peanut Science. USA: American Peanut Research and Education Society, Inc.
Muller JE dan Whitsitt MS. 1996. Plant celluler responses to water deficit. Plant
Growth Regulation 20:119-124. Mundree SG et al. 2002. Physiolocal and molecular insight into drought
tolerance. African J Biotechnol 1(2):28 – 38. Munns R. 2002. Comparative physiology of salt and water stress. Plant, Cell &
Environ 25:1-15. Murashige T dan Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and
bioassays with tobacco cultures. Physiol Plant 15:473-497.
Nabors MW dan Dykes TA. 1985. Tissue culture of cereal cultivar with increased salt, drought, and acid tolerance. Di dalam Biotechnology in International Agricultural Research. Proceeding of the Inter-center seminar on International Agricultural Research Center and Biotechnology. 23 – 27 April 1984.
Ndunguru BJ, Ntare BR, Williams JH dan Greenberg DC. 1995. Assesment of
groundnut cultivars for end –of- season drought tolerance in a sahelian environment. J Agric Sci. 125: 79-85
Nepomuceno AL, Oosterhuis DM, Stewart JM. 1998. Physiological responses of
cotton leaves and roots to water deficit induced by polyethylene glycol. Environ Exp Bot 40:29 – 41.
Nursusilawati P. 2003. Respon 16 kultivar kacang tanah unggul nasional
(Arachis hypogaea L.) terhadap kondisi stres kekeringan akibat perlakuan penyiraman PEG 6000 dan evaluasi daya generasi embrio somatiknya secara in vitro. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pasca Sarjana.
Ober ES dan Sharp RE. 2003. Electrophysiological response of maize roots to
low water potentials: relationship to growth and ABA accumulation. J Exp Bot 54:813 – 824.
Pelah D, Wang W, Altman A, Shoyeyov O, Bartels D. 1997. Differential
accumulation of water stress-related proteins, sucrose synthase and soluble sugar in Populus species that differ in their water stress response. Physiol Plant 99: 153 – 159.
Pieters AJ, Tezara W dan Harrera A. 2003. Operation of the xanthophyll cycle
and degradation of D1 protein in the inducible CAM plant, Talinum triangulare, under water deficit. Ann Bot 92:393 – 399.
Pookpadi A, Thiravirojana K, Saeradee I, Chaikaew S. 1992. Response of new
soybean accesions to water stress during reproductive phase. Kasetsart J Nat Sci 24:378 – 387.
[Puslitanak] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Sumberdaya lahan
Indonesia dan pengelolaannya. Balitbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Rachaputi NC dan Wright GC. 2003. The physiolocal basis for selection of
peanut genotypes as parent in breeding for improved drought resistance. Di dalam Cruicksank AW, Rachaputi NC, Wright GC, Nigam SN (Editors). Breeding of Drought-resistant Peanuts. Proceeding of Collaborative Review Meeting ICRISAT, QDPI, ICAR; Hyderabad India, 25 – 27 February 2002. Canberra: Australian Centre for International Agriculture Research. hlm 10 -14.
Raemakers CJM, Jacobsen E, Visser RGF. 1995. Secondary somatic
embryogenesis and applications in plant breeding. Euphytica 81:93 – 107.
Rahayu ES, Ilyas S, Aswidinnoor H, Guhardja E dan Sudarsono. 2004. Cekaman oleh PEG dalam media in vitro dan penapisan toleransi kacang tanah terhadap kekeringan. Prosiding Seminar Nasional PERIPI. Bogor, 5 – 7 Agustus 2004.
Rahayu ES, Ilyas S, Guhardja E dan Sudarsono. 2005. Polietilena glikol (PEG)
dalam media in vitro menyebabkan kondisi cekaman yang menghambat perkembangan tunas kacang tanah (Arachis hypogaea L.). Berkala Penelitian Hayati. 11 (1):39-48.
Rahayu ES, Ilyas S, Sudarsono. 2006. Seleksi in vitro embrio somatic kacang
taanh pada medium dengan polietilen glikol untuk stimulasi kondisi cekaman kekeringan. Biosfera 23 (1):15-23.
Ramanjalu S dan Bartels D. 2002. Drought and dessication-induced modulation
of gene expression in plants. Plant Cell Environ 25:141-151. Reijntjes C, Haverkort B dan Bayer W. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar
untuk pertanian dengan berkelanjutan dengan input luar yang rendah. Yogyakarta, Penerbit Kanisius. Penerjemah Sukoco.
Salisbury FB dan Ross CW. 1992. Plant Physiology. 4th Edition. Washington DC:
Wadwords Publishing. Schmidhalter U, Evequoz M, Camp KH, Studer C. 1998. Sequence of drought
response of maize seedlings in drying soil. Physiol Plant 104:159-168. Seliskar DM dan Gallagher JL. 2000. Exploiting wild population diversity and
somaclonal variation in the salt marsh grass Distichlis spicata (Poaceae) for marsh creation and restoration. Am J Bot 87:141-146.
Serraj R dan Sinclair TR. 2002. Osmolyte accumulation: can it really help
increase crop yield under drought conditions? Plant Cell Environ 25:333-342.
Setiawan K. 1998. Study on varietal differences of drought tolerance in peanut
[disertasi]. Tokyo: Tokyo University of Agriculture, Graduate School of Agriculture.
Sharma KK dan Lavanya M. 2002. Recent developments in transgenics for
abiotic stress in legumes of the semi-arid tropics. JIRCAS Working Report:61 – 73.
Shimada S, Kokobun M, Shibata H, Matsui S. 1992. Effect of water supply and
defoliation on photosynthesis, transpiration and yield of soybean. Japanese J Crop Sci 61: 264 – 270.
Shoumaker RC, Amberger LA, Palmer RG, Oglesby L, Ranch JP. 1991. Effect of
2.4-Dichlorophenoxyacetic acid concentration on somatic embryogenesis and heritable variation in soybean [Glycine max (L.) Merr]. In vitro Cell Dev Biol 27: 84 – 88.
Skirvin RM, Coyner M, Norton MA, Motoike S, Gorvin D. 2000. Somaclonal variation: do we know what causes it?. AgBiotech Net. 2: ABN 048.
Soniya EV, Banerjee NS, Das MR. 2001. Genetic analysis of somaclonal
variation among callus-derived plants of potato. Current Sci 80(9):1213-1215.
Steuter AA. 1981. Water potential of aqueous polyethylene glycol. Plant Physiol
67: 64 – 67. Sullivan CY. 1983. Genetic variability in physiological mechanisms of drought
resistance. Iowa State J Research. 57(4): 423-439 Sudarsono, Riduan A. dan Aswidinnoor H. 2004. Toleransi kultivar kacang tanah
terhadap cekaman kekeringan pada fase generatif serta kandungan prolin dan total daun. Jurnal Penelitian Pertanian 23 (1):50-62.
Tremblay L, Levasseur C, Tremblay FM. 1999. Frequency somaclonal variation
in plants of black spruce (Picea mariana, Pinaceae) and white spruce (P. glauca, Pinaceae) derived from somatic embyogenesis and identification of some factors involved in genetic instability. Am J Bot 86:1373.
Trojanowska MR. 2002. The effect of growth regulators on somaclonal variation
in rye (Secale cereale L.) and selection of somaclonal variants with increased agronomic traits. Cell Mol Biol Lett 7. Medline abstract.
Willigen C, Pammneter NW, Mundree SG, Farrant JM. 2001. Some physiological
comparisons between the resurrection grass Eragrostis nindensis and the related dessication –sensitive species, Eragrostiscurvula. Plant Growth Regul 35:121-129.
Verslues PE dan Sharp RE. 1999. Proline accumulation in maize (Zea mays L.)
primary roots at low water potentials. II. Metabolic source of increased proline deposition in the elongation zone. Plant Physiol 119:1349 – 1360.
Vicient CM dan Martinez FX. 1998. The potential uses of somatic embryogenesis
in agroforestry are not limited to synthetic seed technology. Revista Brasileira de Fisiolegia Vegetal 10:1 – 12.
Vieira RD, Tekrony DM, Eglia DB. 1992. Effect of drought and defoliation stress
in the field on soybean seed germination and vigor. Crop Sci 32:471 – 475.
Vorasoot N, Songsri P, Akkasaeng C, Jogloy S, Patanothai A. 2003. Effect of
water stress on yield and agronomic characters of peanut (Arachis hypogaea L.). Songklanakarin J Sci Technol 25:283 – 288.
Watanabe S, Kojima K, Ide Y, Sasaki S. 2000. Effect of saline and osmotic stress on proline and sugar accumulation in Populus euphratica in vitro. Plant Cell Tissue Organ Cult 63:199 – 206.
Weele CM van der, Spollen WG, Sharp RE dan Baskin TI. 2000. Growth of Arabidopsis thaliana seedling under water deficit studied by control of water potential in nutrient agar media. J Exp Bot 51:1555- 1562.
Whalley WR, Bengough AG, Dexter AR. 1998. Water stress induced by PEG
decreases the maximum growth pressure of the roots of pea seedling. J Exp Bot 49:1689 – 1694.
Widoretno W. 2002. Seleksi in vitro untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan
pada kedelai (Glycine max [L.] Merr.) dan karakterisasi varian somaklonal yang toleran [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pasca Sarjana.
---------------, Guhardja E, Ilyas S, Sudarsono. 2002. Efektivitas polietilena glikol
untuk mengevaluasi tanggapan genotipe kedelai terhadap cekaman kekeringan pada fase perkecambahan. Hayati 9: 33 – 36.
---------------, Megia R, Sudarsono. 2003. Reaksi embrio somatik kedelai terhadap
polietilena glikol dan penggunaannya untuk seleksi in vitro terhadap cekaman kekeringan. Hayati 10:134 – 139
---------------, dan Sudarsono. 2004. Evaluasi sejumlah galur kedelai varian
somaklonal hasil seleksi in vitro terhadap stres kekeringan. Hayati 11:11-20.
Wikipedia. 2006. “http://en.wikipedia.org/wiki/Somaclonal_ variation. 18 April
2006. Williams JH and Boote KJ. 1995. Physiology and modelling – predicting the
“unpredictable legume”. In Pattee, H.E. dan H. T. Stalker (eds.) Advances in Peanut Science. American Peanut Research and Education Society, Inc. Stillwater.
Yusnita, Widodo, dan Sudarsono. 2005. In vitro selection of peanut somatic
embryos on medium containing culture filtrates of Sclerotium rolfsii and plantlet regeneration. Hayati 12:50-56.
Zheng YZ, Li T. Change of proline levels and absisic acid content in
tolerant/sensitive cultivars of soybean under osmotic conditions. Soybeans Genetics Newsletter 27. [ Online Journal] URL. http://www.soygenetics.org./articles/sgn2000-011htm.
Zhongjin L dan Neumann PM. 1999. Water stress inhibits hydraulic conductance
and leaf growth in rice seedling but not the transport of water via mercury-sensitive water channels in the root. Plant Physiol 120:143 – 152.
Zinselmeier C, Jeong BR, Boyer JS. 1999. Starch and the control of kernel
number in maize at low water potentials. Plant Physiol 121:25 – 35.
LAMPIRAN
KOMPOSISI MEDIUM DASAR (MURASHIGE-SKOOG, 1962)
No Nama bahan kimia Kadar (mg/l)
1 NH4NO3 1650,00
2 KNO3 1900,00
3 KH2PO4 170,00
4 H3BO3 6,20
5 Na2MoO4. 7 H2O 0,25
6 KI 0,83
7 CaCl2. 6 H2O 332,20
8 CoCl2 0,025
9 MgSO4. 7 H2O 180,70
10 MnSO4. H2O 16,90
11 ZnSO4. 7 H2O 8,60
12 CuSO4. 5 H2O 0,025
13 FeSO4. 7 H2O 27,80
14 Na2EDTA 37,26
15 Myoinositol 100,00
16 Vitamin B1
a. Thiamin HCl
b. Piridoksin HCl
c. Asam nikotinat
d. Glycine
0,10
0,50
0,50
2,00
17 Sukrosa 30.000,00
18 Agar (untuk media padat) 7.500,00