induksi sputum

28
Referat Respirologi Kepada Yth: Fakhrurrazi dr. Finny Fitri Yani, Sp.A (K) Induksi Sputum Pendahuluan Sejak 1980 induksi sputum menggunakan inhalasi saline hipertonik (HS) telah berhasil digunakan untuk mendiagnosis Pneumocystis Carinii Pneumonia(PCP) pada pasien terinfeksi HIV. Pitchenik dkk tahun 1986 menunjukkan bahwa dengan 5% HS melalui nebulizer ultrasonik selama 10-20 menit dahak bisa diinduksi di mayoritas pasien dengan alat bantu dan pada pasien dengan PCP 1 Pin dkk (1992) menguraikan teknik untuk menginduksi produksi sputum pada penderita asma, dan ini adalah studi pertama untuk mencoba menggunakan induksi sputum untuk memeriksa respon inflamasi pada asma dimana dengan induksi didapatkan sputum yang adekuat dari saluran nafas bawah 2 Dalam beberapa tahun terakhir induksi sputum dengan SH dan pengolahan selanjutnya telah disempurnakan sebagai penelitian non invasif yang dapat memberikan informasi penting tentang peristiwa inflamasi di saluran pernafasan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa induksi sputum aman dan dapat dilakukan pada orang sehat maupun yang sakit. Induksi sputum telah digunakan untuk mempelajari berbagai penyakit seperti asma, paru obstruktif kronik penyakit, 1

Upload: edji-djalil

Post on 15-Feb-2016

282 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

respirologi

TRANSCRIPT

Page 1: induksi sputum

Referat Respirologi Kepada Yth:

Fakhrurrazi dr. Finny Fitri Yani, Sp.A (K)

Induksi Sputum

Pendahuluan

Sejak 1980 induksi sputum menggunakan inhalasi saline hipertonik (HS)

telah berhasil digunakan untuk mendiagnosis Pneumocystis Carinii

Pneumonia(PCP) pada pasien terinfeksi HIV. Pitchenik dkk tahun 1986

menunjukkan bahwa dengan 5% HS melalui nebulizer ultrasonik selama 10-20

menit dahak bisa diinduksi di mayoritas pasien dengan alat bantu dan pada pasien

dengan PCP1 Pin dkk (1992) menguraikan teknik untuk menginduksi produksi

sputum pada penderita asma, dan ini adalah studi pertama untuk mencoba

menggunakan induksi sputum untuk memeriksa respon inflamasi pada asma

dimana dengan induksi didapatkan sputum yang adekuat dari saluran nafas

bawah2 Dalam beberapa tahun terakhir induksi sputum dengan SH dan

pengolahan selanjutnya telah disempurnakan sebagai penelitian non invasif

yang dapat memberikan informasi penting tentang peristiwa inflamasi di saluran

pernafasan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa induksi sputum aman dan

dapat dilakukan pada orang sehat maupun yang sakit. Induksi sputum telah

digunakan untuk mempelajari berbagai penyakit seperti asma, paru obstruktif

kronik penyakit, TBC, PCP, cystic fibrosis, kanker paru-paru dan batuk kronis. 3

Induksi sputum memiliki beberapa keunggulan dibanding teknik lain.

Bagaimana pun pemeriksaan dengan bronkoskop fiber optik merupakan baku

emas (gold standard) untuk menilai inflamasi. Bronkoskopi memungkinkan

pengambilan sampel dari sel dan mediator dalam lumen jalan napas dengan cara

lavase bronchoalveolar dan biopsi dari jaringan mukosa oleh karena itu hasil

yang di dapat lebih baik dari sputum. Namun sampel lavase bronchoalveolar

hanya membedakan segmen paru distal bronkus dimana bronkoskop terjepit selain

itu prosedur bronkoskopi bersifat invasif ,tidak menyenangkan, tidak mudah

diterapkan, mahal, dan keterbatasan alat sehingga analisis sputum menjadi

alternatif dimana induksi sputum digunakan untuk mendapatkan sekresi saluran

napas yang berpotensi untuk memantau inflamasi pada jalan napas. 4 Induksi

1

Page 2: induksi sputum

dahak menyediakan perwakilan sampel dari beberapa saluran udara proksimal,

meskipun dengan induksi berkepanjangan bagian distal juga dapat diperiksa,

seperti terlihat dari peningkatan jumlah makrofag alveolar dari kompartemen. 4

Mediator biasanya diencerkan dalam volume besar larutan garam fisiologis di

cuci, dan beberapa pertukaran dengan kompartemen darah tidak bisa dihindari.

Perbandingan antara bronkoskopi dan induksi sputum dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan bronkoskopi dan induksi sputum 4

Aplikasi Klinis

Induksi sputum telah digunakan untuk mempelajari berbagai penyakit:

seperti asma, penyakit paru obstruktif kronik, TBC, cystic fibrosis, kanker paru-

paru dan batuk kronis.3

Asma

Induksi sputum anak dengan asma dalam praktek klinis sulit untuk

menilai peradangan saluran napas dan efek obat pada peradangan tersebut.

Penilaian subyektif gejala sulit dan lebih sering digunakan untuk menilai severity

asma. Asma umumnya terkait dengan eosinofilia sputum. Hingga 80% dari

corticosteroid- subjek naif dan lebih dari 50% dari corticosteroid- subyek diobati

dengan gejala asma memiliki eosinofil sputum yang berada di luar kisaran normal.

Validitas dari jumlah eosinofil sputum tinggi untuk identifikasi asma lebih baik

dari pengukuran puncak ekspirasi. 5,6

Respon aliran jangka pendek inhalasi kortikosteroid berbeda nyata

menurut hitungan eosinofil sputum, dengan bukti perbaikan dalam gejala dan

responsif saluran napas pada subyek dengan jumlah eosinofil sputum kurang dari

2

Page 3: induksi sputum

3%. Temuan ini menunjukkan bahwa mengukur peradangan saluran napas dapat

menyediakan panduan yang lebih baik untuk kebutuhan pengobatan kortikosteroid

dibandingkan penilaian fungsional. 6

Asma dikaitkan dengan peningkatan eosinofilia sputum. Ada beberapa

bukti bahwa jumlah eosinofil sputum meningkat saat terpapar dalam asma. Salah

satu aplikasi induksi sputum dengan menggunakan indeks inflamasi sputum

untuk meningkatkan pemahaman kita tentang hubungan yang kompleks antara

sel-sel inflamasi, mediator dan mekanisme sitokin pada asma. Sputum fasa fluida

cocok untuk mengukur eosinofil protein kationik, beberapa sitokin dan histamin.

Penilaian peradangan napas menggunakan dahak bisa digunakan untuk

mengevaluasi efek obat pada asma saluran udara peradangan dan berkaitan efek

antiinflamasi pada gejala dan fungsi saluran napas. 6

Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit yang ditandai

penyumbatan atau pembatasan kronis aliran udara dan irefersibel. Berawal

kombinasi bronkitis kronis paru dan emfisema. Patofisiologi penyakit paru

obstruktif kronis melibatkan gangguan inflamasi yang ditandai oleh peradangan

neutrofi di sekresi saluran napas, dengan kehadiran makrofag dan limfosit pada

jaringan saluran napas. Bronchoscopi investigasi sering tidak dapat dilakukan

karena severity. 7 Induksi sputum alat yang berharga untuk studi patofisiologi.

Hitung neutrophilia dahak biasanya tinggi, dan jumlah neutrophilia dapat

dikorelasikan dengan pengurangan volume ekspirasi paksa dalam satu kedua

(FEV1) dan tingkat penurunan FEV1, dengan demikian menunjukkan bahwa

peradangan saluran napas neutrophil fungsional penting. Peleman dkk

mempelajari komposisi seluler induksi dahak di penyakit paru obstruktif kronik

dan menemukan ditandai sputum neutrophilia. 8

Meskipun bersifat spesifik, respon awal inflamasi terhadap asap rokok

mungkin penting untuk pengembangan kerusakan jaringan pada individu yang

rentan. Neutrofil dan makrofag berpotensi menghasilkan jumlah besar protease,

berbagai enzim elastase yang berperan sebagai kemungkinan penyebab hilangnya

elastisitas dan perusakan serat elastis di parenkim paru. 9

3

Page 4: induksi sputum

Confalonieri dkk. (1998) mempelajari efek dua bulan pengobatan dengan

inhalasi beklometason dipropionat (1.500 mg / hari) pada peradangan bronkial

pada pasien dengan stabil, ringan sampai sedang penyakit paru obstruktif kronik,

dengan menggunakan induksi sputum. Mereka menemukan bahwa jumlah

neutrofil dalam sampel sputum menurun setelah pengobatan. 10

Batuk

Batuk kronis dikaitkan dengan dominan sputum neutrophilia sampai

40% dari subyek dengan memiliki batuk dahak sebuah jumlah eosinofil lebih dari

3%. Pasien dengan batuk dan dahak eosinofilia respon obyektif terhadap

pengobatan kortikosteroid yang terjadi secara paralel dengan tatalaksana jatuh

dalam hitungan sputum eosinofil. Sebaliknya, pasien tanpa sputum eosinofilia

tidak respond. 6

Tuberkulosis

TB paru tetap menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling penting

dalam dunia. 11 WHO merekomendasikan deteksi basil tahan asam di spesimen

pernafasan sebagai pendekatan awal untuk diagnosis tuberculosis. 12 Namun,

Metode ini memiliki sensitivitas rendah dan kurang ber nilai pada pasien yang

tidak dapat menghasilkan dahak secara spontan. Walaupun demikian diagnosis

TB pada pasien ini sulit, dan dalam kebanyakan kasus diperlakukan secara

empiris atas dasar klinis dan temuan radiografi dada. Namun, terapi empiris dapat

mengakibatkan biaya yang tidak perlu dan toksisitas. Induksi sputum adalah alat

yang berharga untuk mendiagnosis tuberkulosis paru-paru. 13

Conde dkk. (2000) membandingkan induksi sputum dengan bronkoskopi

fiberoptik dalam diagnosis TB di pusat rujukan di Rio de Janeiro Brasil. Mereka

menemukan bahwa induksi sputum merupakan prosedur yang aman dengan

hasil diagnostik tinggi dan keselarasan tinggi dari Hasil bronkoskopi fiberoptik,

untuk diagnosis TB pada HIV-negatif dan pasien HIV-seropositif. Di daerah

di mana serat optik bronkoskopi tidak mudah tersedia, dan sebagai bagian dari

work up yang diduga TBC sebelum bronkoskopi, induksi sputum sebagai

alternatif atau tambahan pendekatan untuk diagnosis sputum BTA positif dan

akan meningkatkan ensitivitas diagnostik dalam area dengan sumber daya

miskin. 13 Anderson et al. (1995) membandingkan induksi sputum dan

4

Page 5: induksi sputum

bronkoskopi fiberoptik di diagnosis TB paru di pasien immunocompromised dan

menemukan bahwa induksi sputum dapat ditoleransi, murah dan tersedia sama,

jika tidak lebih baik, hasil diagnostik dibandingkan dengan bronkoskopi dalam

diagnosis BTA tuberculosis. 14

Konfirmasi bakteriologis TB paru pada bayi dan anak-anak tetap sulit.

Anak yang lebih besar dapat menghasilkan atau diinduksi untuk menghasilkan

sputum. Namun, tidak ada laporan penggunaannya pada bayi atau anak-anak

muda kurang dari 3 tahun. Lavage lambung dianggap sebagai standar prosedur

untuk memperoleh spesimen untuk pewarnaan dan kultur Mycobacterium

tuberculosis pada anak-anak yang lebih mudan karena mereka menelan sputum

mereka dan tidak meludah. Tapi induksi sputum dapat dilakukan secara efektif

dan ditoleransi dengan baik dan aman bahkan pada bayi. Zar dkk. (2000)

Membandingkan sputum yang diinduksi dan lavage lambung untuk isolasi M.

Tuberculosis bayi dan anak terinfeksi HIV dan tidak terinfeksi

dan menemukan bahwa induksi sputum lebih baik dari lavage lambung. 15

Penggunaan induksi dahak harus dipertimbangkan sebagai lini pertama

penyelidikan pada anak-anak yang diduga memiliki TB paru, terutama dalam

keadaan di mana kultur sangat diperlukan. 15

Cystic fibrosis

Cystic fibrosis adalah penyakit keturunan dari transmisi autosomal resesif

juga dikenal sebagai mucoviscidosis atau cystic fibrosis pankreas. Kelainan

mendasar terdiri dari produksi sekresi yang abnormal dari berbagai kelenjar

eksokrin. Keterlibatan paru-paru biasanya diwujudkan oleh infeksi dada berulang

(Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus Haemophilus influenzae) yang

berkaitan dengan mengi, dyspnea, batuk produktif, dan hemoptisis, sebagai

akibat dari bronkiektasis. Insufisiensi pernapasan dan kor pulmonal sering pada

tahap slanjutan. 16

Pengobatan baru Masing-masing dari teknik saat digunakan untuk

mendefinisikan mikrobiologi dan inflamasi respon dari kistik fibrosis.

Ekspektorasi dahak menyediakan ukuran akurat dari infeksi dan peradangan di

saluran udara lebih rendah, tetapi banyak anak-anak dengan cystic fibrosis tidak

dapat secara spontan meludah sputum. 17 Bronkoskopi fiberoptik dengan

5

Page 6: induksi sputum

bronchoalveolar lavage invasif, berisiko dan mahal. Serial bronchoalveolar

lavages sangat sulit untuk melakukan. Selanjutnya, bilas umumnya sampel hanya

satu atau dua segmen dari paru-paru, sehingga mungkin membatasi deteksi

infeksi. Kultur Orofaringeal, yang biasa digunakan pada anak-anak dengan cystic

fibrosis yang tidak mampu menghasilkan sputum, tidak adapat memprediksi

kehadiran patogen saluran napas bagian bawah, kekurangan sensitivitas untuk

mengidentifikasi Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus, dan tidak

memberikan informasi tentang inflamasi. 18 Peradangan saluran napas dan infeksi

yang signifikan meningkat di kedua non-expectorating dan expectorating anak

dengan cystic fibrosis,dibandingkan dengan anak sehat. Sampel induksi sputum

tampak sebanding dengan spontan ekspektorasi sampel dalam menggambarkan

kedua peradangan dan infeksi pada fibrosis kistik jalan nafas. Indusi sputum

berbeda dari sputum spontan dimana memiliki jumlah sel yang lebih tinggi dari

yang layak dan kurang kontaminasi. 18

Kangker Paru

Skuamosa sel Karsinoma paru berkenaan dengan kanker paru-paru,

Identifikasi awal kanker paru-paru (atau pra-gejala) di perokok dianggap sebagai

strategi terbaik untuk mencegah penyakit ini. 5 Tapi pemeriksaan sitologi sputum

telah terbukti berguna untuk deteksi kanker paru-paru pada tahap awal, sehingga

mengakibatkan peningkatan kelangsungan hidup lima tahun. Studi terbaru dari

spesimen sputum dan data klinis yang menghubungkan spesimen ke paru-paru

hasil kanker dapat memungkinkan untuk menentukan diagnosis molekuler kanker

beberapa tahun sebelum presentasi klinis. Ini menjadi mungkin melalui

penggunaan tes untuk mengevaluasi ekspresi gen yang berubah, termasuk

aktivasi onkogen spesifik dan supresor tumor deteksi gen, serta ketidakstabilan

genomik dan metilasi abnormal. Seperti itu Studi dengan jelas menunjukkan

bahwa sampel sputum yang baik memungkinkan analisis genetik yang rumit yang

akan dilakukan, sehingga memberikan lebih dorongan untuk mengingat sputum

teknik sebagai alat untuk screening kanker paru-paru. 5

Pneumonia carinii Pneumonia

Pneumocystis carinii penyebab morbiditas dan mortalitas signifikan pada

orang yang terinfeksi HIV menyebabkan klinis pneumonia pada pasien

6

Page 7: induksi sputum

imunosupresi. Klinis ditandai dengan demam, sesak napas, sesak substernal, dan

batuk produktif. Gejala dapat relatif ringan dan progresif lambat, sehingga ada

keterlambatan diagnosis19Transbronkial biopsi dan lavage bronchoalveolar telah

terbukti memiliki 98-100% untuk diagnosis Pneumocystis carinii pneumonia.

Meskipun ini dianggap sebagai standar emas, induksi sputum mungkin memiliki

peran dalam mendiagnosis Pneumocystis carinii pneumonia.

Dilaporkan di pertengahan 1980-an bahwa Pemeriksaan dahak melalui

inhalasi larutan garam hipertonik sering untuk diagnostik Pneumocystis carinii

pneumonia. 19 Sejak itu Metode ini digunakan untuk diagnostik pertama ketika

Pneumocystis carinii pneumonia. Pada anak yang lebih tua yang tidak bisa secara

meludah dahak spontan, induksi dapat menjadi membantu alat diagnostik.

Metode Induksi Sputum

Tujuan induksi sputum adalah mengumpulkan sampel yang cukup dari

saluran napas individu yang tidak dapat mengeluarkan secara spontan.

Pemeriksaan ini berguna untuk menilai inflamasi saluran napas pasien asma dan

gangguan pernapasan lainnya. Metode induksi sputum dilakukan dengan nebuliser

ultrasonik. Hal ini dilakukan sejak nebuliser jenis lain tidak menghasilkan aerosol

larutan salin yang cukup. Penggunaan β2 agonist kerja singkat sebelum dilakukan

induksi sputum mencegah bronkopsame yang dapat terjadi dimana menggunakan

cairan HS dan penggunaan spirometri dilakukan untuk menilai kemampuan

saluran napas dan untuk menghindari terjadinya bronkokonstriksi yang berlebihan

selama inhalasi larutan salin. Tidak ada perbedaan hasil komposisi sel akibat

perbedaan konsentrasi salin. Prosedur harus dipimpin oleh teknisi yang

berpengalaman dibawah supervisi dokter yang berpengalaman.

Belum ada metode baku standar induksi sputum. Prinsip yang ada pada

berbagai metode ialah :

1. Konsentrasi cairan salin umumnya 3%, 4% atau 5%.

2. Pengobatan awal dengan bronkodilator ialah salbutamol

3. Monitoring faal paru

4. Nebulisasi dengan nebuliser ultrasonic

Prosedur induksi sputum dijelaskan gambar 1.

7

Page 8: induksi sputum

Gambar 1. Prosedur induksi sputum 20

Konsentrasi cairan

Konsentrasi salin yang digunakan untuk induksi sputum berkisar antara

0.9% sampai 5% 20 Konsentrasi dapat dimulai dengan 3%, berikutnya menjadi

4% atau 5% Larutan salin hipertonik dilaporkan lebih efektif dibandingkan

larutan salin isotonik dalam menginduksi sputum. Salin hipertonik dilaporkan

lebih efektif daripada salin normal dalam menginduksi sputum. Jumlah sputum

yang dihasilkan setelah induksi dengan salin hipertonik lebih banyak karena

peningkatan eksudasi plasma. Larutan salin hipertonik meningkatkan clearance

sekret bronkial dan menginduksi batuk. 21 Kompartemen yang berbeda dari

saluran napas dibuat menjadi sampel pada titik waktu yang berbeda selama

induksi sputum. Contohnya saluran napas atas dibuat sampel lebih awal

sedangkan saluran napas perifer dan alveoli dibuat sampel akhir. Waktu inhalasi

pendek t memiliki kemungkinan keberhasilan yang sama dengan waktu inhalasi

lebih panjang kurang lebih 30 menit.

Tidak terdapat perbedaan kompososi sel sputum yang diinduksi dengan

menggunakan salin normal atau hipertonik. Hanya satu penelitian menunjukkan

bahwa meningkatkan konsentrasi salin memiliki keuntungan lebih daripada

konsentrasi tunggal. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa salin hipertonik

3% sama berhasilnya dengan menggunakan salin 3-5% yang dinaikkan secara

bertahap. 21

8

Page 9: induksi sputum

Agen hiperosmolar memiliki potensi untuk memfasilitasi pengeluaran

mucus oleh silia dan mekanisme batuk. Agen hiperosmolar dapat mengurangi

viskositas mucus dengan mengurangi jumlah ikatan musin yang terbentuk. Ini

dapat terjadi denga cara memutuskan ikatan hydrogen dan ionic pada mucin yang

berdektan. Agen hiperosmolar dapat meningkatkan lapisan cairan perisiliar, tetapi

juga meningkatkan hidrasi mucus. Agen Hiperismolar juga meransang gerakan

silia dan meningkatkan sekresi ion klorida. Perubahan penting terjadi pada

komplek gogli, peningkatan H+ dan Ca+ minimbulkan kondisi asam dan kekutan

ionic yang mendukung terbentuknya ikatan disulfide. Keadaan ini juga dapat

menstabilkan rantai pada musin dengan cara neutralizing mutan negative pada

musin. Penelitian lainmedpatkan bahwa kekurangan H+ dan bertambahnya Cl-

dapat merusak shielding Ca pada rantai musin, sehingga dapat memutuskan ikatan

disulfide pada musin. 22,23

Agen hiperosmolar yang telah diteliti secara klinis dapat mengeluarkan

pengeluaran mucus pada penyakit saluran hipertropik adalah salin hipertropik

(HS) dan manitol.HS bersifat ionic sehingga mudah diserap dengan cepat pada

mukosa saluran respiratorik. Sebaliknya manitol adalah gula dan in bebas, dan

memiliki indeks peeversibel silia statis.rmeabilitas yang rendah, sehingga

berpotensi dapat memertahankan efek osmotic lebih lama darai HS. 22,23

Studi in Vitro efek HS pada sillia, menyatakan bahwa konsentrasi HS

harus dibatasi sampai 7 %, garam konsentrasi tinggi mengakibatkan perlmabatan

silia dan transien silia statis. Pada konsentrasi garam yang sangat tinggii, seperti

14,4% dapat terjadi. 22

Nebulisasi

Nebuliser ultrasonik direkomendasikan karena jenis nebuliser lain

biasanya tidak menghasilkan aerosol salin yang memadai. Hal ini diindikasikan

dengan penghitungan cytospin, beratnya sputum dan total hitung sel. Pengunaan

nebuliser ultrasonik lebih berhasil dibandingkan dengan nebuliser jet. 20,24

Perlu dilakukan pengukuran total volume inhalasi. Ukuran partikel

mempengaruhi deposisi dan diistribusi saluran udara. Pengaruh set up nebuliser

yang berbeda (panjang pipa, katup, dan sebagainya) belum dievaluasi secara

9

Page 10: induksi sputum

sistematis. Terdapat konsensus untuk menggunakan nebuliser ultrasonik dan hasil

kira-kira 1 ml/min cukup untuk memperoleh angka kesuksesan yang tinggi. 20,24

Praterapi dengan Salbutamol

Salin hipertonik memiliki risiko yang lebih besar dalam menginduksi

bronkospasme. Saat ini tidak ada laporan kematian pasien yang dilakukan induksi

sputum. Konstriksi saluran napas yang disebabkan induksi sputum dengan SH

cepat diatasi dengan pemberian terapi agonist β2 kerja cepat tetapi seperti

diketahui bahwa salin hipertonik atau salin isotonik dapat menyebabkan

konstriksi saluran napas khususnya pada penderita penderita asma yang

berhubungan dengan hiperresponsif saluran napas. Mekanisme terjadinya

konstriksi saluran napas pada inhalasi salin hipertonik tidak diketahui, mungkin

melibatkan aktivasi sel mast saluran napas atau ujung saraf sensoris neuro

peptida.25-27

Demi keamanan dalam melaksanakan prosedur induksi sputum maka

direkomendasikan praterapi dengan menggunakan agonis-β2 kerja singkat

sebagai prosedur standar untuk mencegah bronkokonstriksi yang berlebihan. 27

Salin hipertonik dapat menyebabkan bronkokonstriksi pada penderita

asma. Mekanisme ini tidak diketahui penyebabnya, mungkin melibatkan aktivasi

sel mast saluran napas atau akhiran saraf sensoris. Dosis salbutamol yang

digunakan dalam praterapi belum dibakukan. DAosis salbutamol yang biasa

digunakan adalah 200–400 μg, misalnya 2–4 hirupan dengan metered dose

inhaler (MDI) standar. Praterapi dengan salbutamol dosis tinggi tidak efektif

secara universal dalam mencegah bronkokonstriksi yang diinduksi oleh salin

hipertonik. Bronkospasme berulang dapat menjadi semakin parah atau semakin

sulit diatasi, oleh karena itu dosis tunggal salbutamol 200 μg direkomendasikan

dengan pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) sebelum dan

setelah 10 menit. Beberapa penulis memilih dosis sebesar 400 μg dengan alasan

bahwa bronkospasme sering terjadi pada dosis sebesar 200 μg, namun hal ini

belum diteliti secara resmi.25-27

Faktor–faktor prediksi pada bronkospasme yang berhubungan dengan

induksi , dua penelitian melaporkan tentang prediktor bronkoskonstriksi berat

yaitu tingkat batas dasar hambatan aliran udara dan tingkat hiperresponsif

10

Page 11: induksi sputum

saluran napas terhadap metakolin atau histamin tetapi 2 penelitian tersebut gagal

dalam memastikan nilai prediktifnya. Dua penelitian lain melaporkan terdapat

korelasi kuat antara penggunaan agonis-β2 kerja singkat yang berlebihan dengan

besarnya penurunan VEP1 setelah induksi sputum. Terdapat bukti bahwa

penggunaan agonis–β2 secara terus menerus menyebabkan penurunan efek

bronkoprotektif terhadap bermacam–macam rangsangan bronkokonstriktor

spesifik maupun nonspesifik. Telah ditunjukkan bahwa salbutamol 200 μg atau

400 μg tidak melindungi terjadinya bronkonstriksi berat jika terpajan rangsangan

yang relatif kuat. Perlu penelitian lebih lanjut tentang kejadian bronkonstriksi

berat saat induksi sputum karena hilangnya efek bronkoprotektif akibat

penggunaan agonis-β2 kerja singkat yang berlebihan atau karena tidak adanya

perlindungan terhadap konstriksi saluran napas berat setelah pajanan salin

hipertonis. 25-27

Data keamanan dan kemudahan induksi sputum pada pasien dengan asma

berat dan sulit dikontrol masih terbatas, demikian juga data tentang toleransi efek

bronkoprotektif dan keamanan pada pasien yang regular menggunakan agonis-β2

kerja lama masih jarang. Hal lainnya adalah prediktor objektif untuk penyempitan

saluran napas berat belum dibuat walaupun beberapa penelitian menunjukkan

bahwa tingkat hambatan saluran napas, hiperesponsif saluran napas dan

penggunaan agonis-β2 kerja singkat yang berlebihan dapat memiliki beberapa

nilai prediktif. 25-27

Pengawasan fungsi paru selama induksi dan durasi prosedur

Pengawasan fungsi paru selama induksi penting demi keamanan terhadap

resiko bronkokonstriksi berlebihan selama prosedur induksi dilakukan . Tidak ada

pendekatan baku untuk mengawasi fungsi paru selama induksi sputum tetapi

sebuah protokol telah diajukan. Banyak peneliti melakukan pengukuran fungsi

paru setiap 5-10 menit dengan pemeriksaan lebih lanjut jika timbul gejala

bronkokonstriksi. Beberapa metode telah dilakukan mengingat dispneu dan

bronkospasme dapat terjadi secara dini selama inhalasi, mungkin perlu dilakukan

pengukuran fungsi paru pada menit pertama nebulisasi untuk mendeteksi subjek

yang sangat sensitif terhadap SH. Durasi interval pengawasan berkisar antara 1

sampai 10 menit. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) perlu dimonitor

11

Page 12: induksi sputum

dengan interval ≤ 5 menit selama inhalasi. Penting bahwa setiap subjek diawasi

ketat sepanjang prosedur terhadap terjadinya perubahan gejala saat induksi

sputum dan pengukuran aliran udara dibuat lebih sering mengingat potensi bahaya

terjadinya bronkonstriksi yang berat disebabkan inhalasi salin hipertonik 25-27

Perbedaan pendapat mengenai kapan menghentikan induksi sputum

karena alasan keamanan kemungkinan disebabkan sebagian besar subjek dapat

tahan terhadap seluruh prosedur induksi. Terdapat perbedaan pendapat deteksi

penurunan VEP1 sebesar lebih dari 10-20% sampai penurunan APE > 10% dari

batas bawah atau kapanpun subjek mengalami gejala yang mengganggu. Fungsi

paru perlu diperiksa jika subjek mengalami sesak napas saat induksi sputum.

Sangat bijaksana segera membuat pengukuran fungsi paru yang pertama setelah

memulai induksi sputum, hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi subjek yang

sangat sensitif terhadap efek bronkokonstriktor salin hipertonik. 25-27

Perbedaan metode induksi sputum antara lain konsentrasi salin (biasanya

dimulai dengan salin normal), pengukuran VEP1 berulang pada interval 1 sampai

2 menit dan penghentian prosedur segera setelah sampel sputum diperoleh. *Della

Fuente menggunakan modifikasi metode yang dijelaskan oleh Pin pada penelitian

lain tentang keamanan induksi sputum pada penderita asma yang lebih berat

(VEP1 > 1L). Mereka memulai induksi dengan memberikan salin hipertonik 3%

dilanjutkan dengan 4% dan kemudian 5%, masing-masing diinhalasi sebanyak

dua periode lima menit. 25-27

Pemeriksaan Sputum

Dianjurkan bahwa sputum diproses sesegera mungkin atau dalam waktu

dua jam dalam rangka untuk penghitungan sel optimal dan perwarnaan.

Homogenisasi dicapai dengan menggunakan Dithiothreitol (DTT) karena Sel

yang tidak dilepaskan dari lendir cenderung noda gelap sehingga susah untuk

identifikasi. DTT (0,1%) telah terbukti lebih efektif untuk penyebaran sel dari

Fosfat-Buffered Saline (PBS), dan tidak memiliki efek pada sel jumlah.

Sentrifugasi diperlukan untuk memisahkan sputum sel dan cairan. Kekuatan

sentrifugal digunakan dalam penelitian hingga saat ini berkisar antara 300-1.500

xg dan durasi dari 5 sampai 10 menit. Jumlah total sel dilakukan dengan manual

12

Page 13: induksi sputum

menggunakan hemositometer, dan kelangsungan hidup sel ditentukan oleh method

tripan biru.24-26

Suhu penyimpanan fase digunakan berkisar dari -20 ke -70º C. Persiapan

cytospins dengan optimal jumlah sel (40-60 x 103 sel) menyediakan perkiraan

akurat dari distribusi sel dari apusan. Kecepatan berkisar Cytocentrifugation 10-51

xg (menggunakan cytocentrifuge a), dengan kondisi yang paling umum adalah 22

xg untuk 6 minutes. Pewarnaan Cytospin untuk diferensial jumlah sel dapat

dicapai dengan menggunakan pewarnaan Wright atau Giemsa. Diferensial jumlah

sel ditentukan dengan menghitung minimum 400 sel non-skuamosa, dan

dilaporkan sebagai eosinofil, neutrofil, makrofag, limfosit dan sel epitel bronkial,

dinyatakan sebagai persentase dari jumlah sel non-skuamosa. Persentase sel

Skuamosa harus selalu dilaporkan terpisah. 24-26

Kesimpulan

Induksi sputum merupakan metode memperoleh sputum dengan cara non

invasive dimana Induksi sputum telah digunakan untuk mempelajari berbagai

penyakit: seperti asma, penyakit paru obstruktif kronik, TBC, cystic fibrosis,

kanker paru-paru dan batuk kronis. Pada pusat kesehatan dengan keterbatasan

alat dan fasilitas induksi sputum bias menjadi pilihan pertama dalam membantu

pemeriksaan. Pemberian inhalasi dengan salin hipertonik menggunakan

nebulisasi ultrasonic mulai 3-7% secara klinis telah terbukti membantu induksi

soutum dan mesti di ingat prosedur inindapat menyebabkan kontriksi saluran

napas penderita asma yang dapat di atasi dengan pemberian agonis-β2 kerja

singkat dan pengawasan fungsi paru.

13

Page 14: induksi sputum

Daftar Pustaka

1. Pitchenik A, Ganjei P, Torres A, Evans DA, Rubin E, Baier H. Sputum examination for the diagnosis of Pneumocystis carinii pneumonia in the acquired immunodeficiency syndrome. Am Rev Respir Dis 1986;133(2):226-9.

2. Pin I, Gibson PG, Kolendowicz R, Use of induced sputum cell counts to investigate airway inflammation in asthma. Thorax 1992;47(1):25-9.

3. Djukanovic R, Sterk PJ, Fahy JV, Hargreave FE. Standardised methodology of sputum induction and processing. Eur Respir J 2002; 37(Suppl):1s-2s.

4. Grootendorst DC, Sont JK, Willems LN, et al. Comparison of inflammatory cell counts in asthma: induced sputum vs bronchoalveolar lavage and bronchial biopsies. Clin Exp Allergy 1997;27(7):769-79.

5. Vignola AM, Rennard SI, Hargrave FE, et al. Future directions. Eur Respir J 2002;20(Suppl 37):51s-55s.

6. Pavord ID, Sterk PJ, Hargreave FE, et al. Clinical applications of assessment of airway inflammation using induced sputum. Eur Respir J 2002;37(Suppl):40s-3s. Kelly MG, Brown V, Martin SL, Ennis

7. Kelly MG, Brown V, Martin SL, Ennis M, Elborn JS. Comparison of sputum induction using high-output and low-output ultrasonic nebulizers in normal subjects and patients with COPD. Chest 2002;122(3):955-9

8. Peleman RA, Rytilâ PH, Kips JC, Joos GF, Pauwels RA. The cellular composition of induced sputum in chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 1999;13(4):839-43.

9. Cosio MG, Majo J, Cosio MG. Inflammation of the airways and lung parenchyma in COPD: role of T cells. Chest 2002;121(5 Suppl):160S-5S.

10. Confalonieri M, Mainardi E, Della Porta R, et al. Inhaled corticosteroids reduce neutrophilic bronchial inflammation in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Thorax 1998;53(7):583-5.

14

Page 15: induksi sputum

11. Dye C, Scheele S, Dolin P, Pathania V, Raviglione MC. Consensus statement. Global burden of tuberculosis: estimated incidence, prevalence, and mortality by country. JAMA 1999;282(7):677-86.

12. World Health Organization. Treatment of tuberculosis: guidelines for national programs. Geneva: World Health Organization; 1993.

13. Conde MB, Soares SL, Mello FC, et al. Comparison of sputum induction with fiberoptic bronchoscopy in the diagnosis of tuberculosis: experience at an acquired immune deficiency syndrome reference center in Rio de Janeiro, Brazil. Am J Respir Crit Care Med 2000;162(6):2238-40.

14. Anderson C, Inhaber N, Menzies D. Comparison of sputum induction with fiber-optic bronchoscopy in the diagnosis of tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 1995;152(5 Pt 1):1570-4.

15. Zar HJ, Tannenbaum E, Apolles P, Roux P, Hanslo D, Hussey G. Sputum induction for the diagnosis of pulmonary tuberculosis in infants and young children in an urban setting in South Africa. Arch Dis Child 200

16. Fraser RS, Paré JAP, Fraser RG, Paré PD. Diseases of the airway. In: Fraser RS, Paré JAP, Fraser RG, Paré PD, eds. Synopsis of diseases of the chest. Philadelphia: WB Saunders; 1996:683-87.

17. Sagel SD, Kapsner R, Osberg I, Sontag MK, Accurso FJ. Airway inflammation in children with cystic fibrosis and healthy children assessed by sputum induction. Am J Respir Crit Care Med 2001;164(8 Pt 1):1425-31.

18. Sagel SD, Kapsner R, Osberg I, Sontag MK, Accurso FJ. Airway inflammation in children with cystic fibrosis and healthy children assessed by sputum induction. Am J Respir Crit Care Med 2001;164(8 Pt 1):1425-31.

19. Kovacs JA, Gill VJ, Meshnick S, Masur H. New insights into transmission, diagnosis, and drug treatment of Pneumocystis carinii pneumonia. JAMA 2001;286(19):2450-60.

20. Scheicher ME, Filho JT, Vianna EO. Sputum induction : review of literature and proposal for a protocol. Sao Paulo Med J 2003; 121 (5):213-9.

21. Page CP, Coyle AJ, Robertson. The role of PAF, platelet and eosinophils in bronchial asthma. In: Makino S, editor. Platelet activating factor and airway hyperreactivity in asthma. Taipei:Excerpta medica asia pacific conggres series no 77; 1987.p.4-18.

22. Daviskas E, Anderson SD. Hyperosmolar agent and Clearence of mucus in the disease airway. J Aero Med 2006;19:100-9

23. Taran R. regulation of airway surface liquid volume and mucus transport by active ion transport. Proc Am Thora Soc 2003:42-6

24. Magnussen H, Holz O, Sterk PJ, Hargreave FE. Noninvasive methods to measure airwayinflammations: future considerations. Eur Respir J 2000; 16:1175-9.

25. Palomino ALM, Helena M, Bussamra CF, Beatriz , Romanholo S, Martins MA, et al. Induced sputum in children and adolescents with asthma: safety, clinical applicability and inflammatory cells aspects in stable patients and during exacerbation. Journal de Pediatria 2005; 81(3):216-22.

15

Page 16: induksi sputum

26. Chanez P, Holz O, Djukanovic R, Maestrelli P, Sterk PJ. Sputum induction. Eur Respr J 2002; 20:3-8.

27. Pizzichini MM, Leigh R, Djukanovic R, Sterk PJ. Safety of sputum induction. Eur Respr J 2002; 20:9-18.

Setelah itu menyiapkan citospin dan melakukan pewarnaan dengan menggunakan

metode Wright atau Giemsa kemudian melakukan penghitungan differential cell

count (DCC) ≥ 400 sel–sel non skuamosa.

Dikutip dari (2)

Sputum Assays

Volume sputum dicatat dan sampel dipindah ke cawan petri untuk

karakteristik makroskopik. Kualitas sampel juga dinilai dengan memperkirakan

volume dari sekresi saluran napas atas dan derajat kontaminasi saliva. Sputum

kemudian dinilai jenis hitung selnya.16

Sputum yang diinduksi dapat digunakan pada penelitian imunositokimia untuk

penanda permukaan sel. Beberapa mediator inflamasi dapat diperiksa dengan

menggunakan metode ini. Jenis mediator inflamasi yang dapat diperiksa di

sputum dapat dilihat pada tabel 3.14

16

Page 17: induksi sputum

Penggunaan metode assay yang disederhanakan untuk mengukur kadar total

penanda granulosit pada sputum memungkinkan untuk membedakan pasien

dengan gangguan saluran napas dengan individu sehat. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa metode assay dapat digunakan dalam praktek klinis untuk

menentukan kadar total penanda pada sampel sputum terinduksi. Semua slide

diinkubasi selama lima belas menit pada phosphate buffered salin (PBS) dengan

0,2 % bovine serum albumin (BSA) sebelum penambahan antibodi primer setelah

fiksasi dan atau permeabilisasi, karakteristik antigen dan antibodi dijelaskan pada

tabel 4.14

Eosinofil peroksidase (EPO) merupakan komponen unik dari eosinofil

17

Page 18: induksi sputum

dan Human neutrofil lipokalin (HNL) merupakan komponen unik dari neutrofil.

Eosinofil peroksidase (EPO) dan HNL dapat digunakan sebagai penanda untuk

identifikasi eosinofil dan neutrofil pada sputum dan cairan lavase bronkial.

Eosinofil protein kationik (ECP) yang digunakan secara luas, tidak spesifik

terhadap eosinofil. Eosinofil protein kationik (ECP) dapat dideteksi oleh

imunositokimia pada eosinofil dan neutrofil. Rentang normal sputum assay

dijelaskan pada tabel 5.14

Konsentrasi EPO dan eosinofil pada sputum pasien PPOK dan asma lebih tinggi

daripada kelompok percobaan lain. Konsentrasi MPO dan HNL lebih tinggi pada

penderita PPOK daripada penderita asma dan subjek sehat.14

18