indepth report : hak-hak odha anak belum terpenuhi

7
Indepth Report Hak-hak ODHA Anak Belum Terpenuhi Meningkatnya feminisasi kasus HIV/AIDS juga berdampak pada tingginya risiko bayi atau anak terlahir positif HIV. Anak dengan HIV menanggung beban ganda yang sangat berat. Misalnya, anak-anak dengan HIV lebih rentan terhadap infeksi oportunistik akibat lemahnya kekebalan tubuh. Dari aspek kejiwaan pun, mereka perlu perhatian. Anak- anak tersebut menghadapi stigma negatif dari masyarakat. Pada sisi lain anak-anak positif HIV (ODHA anak) kerap hidup tanpa orangtua atau dengan orangtua yang juga terinfeksi HIV. Memang data berapa banyak jumlah anak yang terinfeksi HIV di Indonesia belum didapat secara pasti. Antar lembaga negara dan non pemerintah kerap mempunyai versi data yang berbeda. Namun berdasarkan estimasi Badan PBB untuk Masalah AIDS (UNAIDS), pada 2005 diperkirakan 3.000 bayi lahir dengan HIV setiap tahunnya di Indonesia. Menurut data Departemen Kesehatan (Depkes) terakhir (Desember 2009), terdapat 1.280 anak-anak usia 0-18 tahun yang hidup dengan HIV/AIDS. Mengingat perkiraan jumlah ODHA (296.000), mungkin ada lebih dari 500.000 orang yang terdampak HIV/AIDS. Oleh karenanya, kita mungkin berhadapan dengan fenomena puncak gunung es. Sementara berdasarkan informasi Kementerian Kesehatan hingga 30 Sep 2010, sebagaimana dikutip http://rubah.info, persentase kumulatif kasus AIDS menurut kelompok umur untuk usia kurang dari 1 tahun sebanyak 1 persen, usia 1- 4 tahun sebesar 1,2 persen, dan usia 5-14 tahun sebesar 0,7 persen. Sementara anak usia 15-19 tahun sebesar 2,9 persen. Walaupun jumlah anak yang terinfeksi HIV meningkat, namun tidak dibarengi kualitas dan kuantitas layanan kesehatan terhadap anak. Sejumlah kasus ARV langka di berbagai daerah menunjukkan negara belum siap mengantisipasi ledakan epidemi HIV, terutama anak-anak. Beberapa anak yang membutuhkan ARV diberikan resep dengan dosis obat yang tidak pasti, dihitung dari dosis orang dewasa. ”Kebanyakan ARV untuk orang dewasa dibuat puyer sesuai dosis anak. Anehnya, dana untuk ARV anak ada, tapi Depkes baru mendistribusikan ARV ke jika ada request dari Rumah Sakit (RS) bersangkutan. Masak orang harus menunggu, orang kan tidak tahu RS tersebut ada stok atau tidak,” ujar Aditya Wardhana, dari UNGASS-AIDS Forum Indonesia.

Upload: satudunia-foundation

Post on 04-Dec-2014

1.920 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Oleh : Nazar Ray Divisi Knowledge Management Yayasan Satudunia

TRANSCRIPT

Page 1: Indepth Report : Hak-Hak ODHA Anak Belum Terpenuhi

Indepth Report

Hak-hak ODHA Anak Belum Terpenuhi

Meningkatnya feminisasi kasus HIV/AIDS juga berdampak pada tingginya risiko bayi atau anak terlahir positif HIV. Anak dengan HIV menanggung beban ganda yang sangat berat.

Misalnya, anak-anak dengan HIV lebih rentan terhadap infeksi oportunistik akibat lemahnya kekebalan tubuh. Dari aspek kejiwaan pun, mereka perlu perhatian. Anak- anak tersebut menghadapi stigma negatif dari masyarakat. Pada sisi lain anak-anak positif HIV (ODHA anak) kerap hidup tanpa orangtua atau dengan orangtua yang juga terinfeksi HIV.

Memang data berapa banyak jumlah anak yang terinfeksi HIV di Indonesia belum didapat secara pasti. Antar lembaga negara dan non pemerintah kerap mempunyai versi data yang berbeda. Namun berdasarkan estimasi Badan PBB untuk Masalah AIDS (UNAIDS), pada 2005 diperkirakan 3.000 bayi lahir dengan HIV setiap tahunnya di Indonesia.

Menurut data Departemen Kesehatan (Depkes) terakhir (Desember 2009), terdapat 1.280 anak-anak usia 0-18 tahun yang hidup dengan HIV/AIDS. Mengingat perkiraan jumlah ODHA (296.000), mungkin ada lebih dari 500.000 orang yang terdampak HIV/AIDS. Oleh karenanya, kita mungkin berhadapan dengan fenomena puncak gunung es.

Sementara berdasarkan informasi Kementerian Kesehatan hingga 30 Sep 2010, sebagaimana dikutip http://rubah.info, persentase kumulatif kasus AIDS menurut kelompok umur untuk usia kurang dari 1 tahun sebanyak 1 persen, usia 1- 4 tahun sebesar 1,2 persen, dan usia 5-14 tahun sebesar 0,7 persen. Sementara anak usia 15-19 tahun sebesar 2,9 persen.

Walaupun jumlah anak yang terinfeksi HIV meningkat, namun tidak dibarengi kualitas dan kuantitas layanan kesehatan terhadap anak. Sejumlah kasus ARV langka di berbagai daerah menunjukkan negara belum siap mengantisipasi ledakan epidemi HIV, terutama anak-anak.

Beberapa anak yang membutuhkan ARV diberikan resep dengan dosis obat yang tidak pasti, dihitung dari dosis orang dewasa.

”Kebanyakan ARV untuk orang dewasa dibuat puyer sesuai dosis anak. Anehnya, dana untuk ARV anak ada, tapi Depkes baru mendistribusikan ARV ke jika ada request dari Rumah Sakit (RS) bersangkutan. Masak orang harus menunggu, orang kan tidak tahu RS tersebut ada stok atau tidak,” ujar Aditya Wardhana, dari UNGASS-AIDS Forum Indonesia.

Page 2: Indepth Report : Hak-Hak ODHA Anak Belum Terpenuhi

Tenaga medis yang mengerti soal kesehatan anak dan HIV pun terbatas. Di kota besar seperti Jakarta saja, tidak semua dokter anak mengerti secara detail soal terapi ARV untuk anak, bagaimana dengan di kota kecil atau daerah terpencil?

Menurut Ayu Oktariani, konselor Yayasan Kotex, dari 13 Rumah Sakit rujukan di Jakarta, hanya beberapa RS yang memiliki tenaga dokter anak yang mengerti sekaligus pengobatan ARV buat anak.

”Dari beberapa kasus, ada pasien yang dilempar ke RS yang punya dokter spesialis anak dan HIV. Padahal RS yang merujuk juga masuk dalam 13 RS rujukan pasien HIV di Jakarta,” terang Ayu.

Sementara testimoni lain diberikan – sebut saja Diah -. Dia mengatakan, ”Anak saya membutuhkan ARV. Dokter memberikan dia Neviral dan Duviral karena Zidofudin habis pasokannya".

Dari cerita di atas, mestinya pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap layanan kesehatan dan pemenuhan hak-hak anak korban HIV.

Perhatian kepada anak yang terdampak HIV /AIDS di Indonesia belum terlihat nyata. Diluar kewajiban yang seharusnya dijalankan pemerintah, sejumlah LSM di Jakarta dan beberapa kota di Jawa dan Bali telah merawat anak dengan HIV, dan mereka yang terkena dampak epidemi (yatim piatu).

Sementara dalam Millennium Development Goals (MDGs), terkait HIV/AIDS, dunia telah menetapkan bahwa tahun 2010 ini menjadi tahun Akses Universal. Artinya, tahun ini diproyeksikan bahwa akses terhadap layanan kesehatan bisa diperoleh oleh setiap orang yang membutuhkan.

Namun persoalan perempuan dan anak di tahun 2010 lalu masih tetap mendapatkan halangan yang besar dalam mencapai Akses Universal. Layanan bagi perempuan dan anak masih belum bisa mengakomodir kebutuhan yang diperlukan guna meningkatkan pencapaian negara terkait MDGs.

Akses antiretroviral (ARV/obat terapi HIV) bagi anak, layanan kesehatan reproduksi yang layak bagi perempuan, dukungan mitigasi bagi ibu dan anak terinfeksi HIV, stigma serta diskriminasi kepada perempuan dan anak masih harus terus menjadi perhatian kita semua jika kita ingin meraih target MDGs dan mensejahterakan rakyat Indonesia.

Meski diakui penyediaan ARV makin membaik, tapi Indonesia masih menghadapi masalah pengaturan rantai pasokan, terutama di kota satelit atau kota-kota kecil. Masalah ini juga menyebabkan beberapa klien pada akhirnya mengakses ARV yang dijual secara komersial.

Page 3: Indepth Report : Hak-Hak ODHA Anak Belum Terpenuhi

Ketidaktersediaan ARV pediatrik, terutama dalam bentuk sirup dalam hampir setiap layanan yang tersedia. Beberapa anak yang membutuhkan ARV diberikan resep dengan dosis obat yang tidak pasti, dihitung dari dosis orang dewasa.

“Karena kegiatan ini sebagian didukung oleh Global Fund (GF), kami harus mencatat bahwa saat ini kami tidak memiliki akses pada laporan implementasi Global Fund terkait dengan masalah ini,” ujar Edo, sapaan Aditya Wardana dalam pembacaan laporan UNGASS on AIDS Indonesia beberapa waktu lalu di Jakarta.

“Kami mendesak pemerintah untuk memberlakukan ketersediaan ARV pediatrik sebagai hal yang mendesak. Pemerintah Indonesia harus mengupayakan pekerjaan-pekerjaan rumah ini terselesaikan demi mencapai Indonesia yang lebih baik,” tambahnya.

Sementar layanan terapi ARV harus dihubungkan dengan layanan kesehatan mental lainnya untuk menangani masalah komplikasi emosional, termasuk kelelahan, dan memastikan kepatuhan.

Perlindungan dan Hak Anak

Fakta dan kondisi anak positif HIV sangat menggugah keprihatinan semua pihak dari semua aspek, termasuk pendidikan. Pendidikan mereka pun sering kali terputus. Ada yang dikeluarkan dari sekolah, atau mendapat perlakuan stigma dan diskriminasi di dunia pendidikan.

Menurut Lentera Anak Pelangi banyak kasus seorang anak yang berstatus HIV dikeluarkan dari sekolahnya. Misalnya di salah satu SDN di daerah Jakarta Barat atau di sekitarnya.

Banyak diantaranya yang sudah yatim piatu sehingga diasuh oleh wali. Sementara wali ataupun orangtua sangat rawan mengalami depresi.

Sebagaimana dikutip http://rubah.info berdasarkan penelitian Departemen Psikiatri RSUPN Cipto Mangunkusumo, sekitar 40 persen wali atau orangtua anak HIV positif di rumah sakit itu mengalami gangguan kejiwaan, dalam hal ini depresi karena harus menanggung persoalan hidup di tengah masyarakat yang kurang mendukung.

Pemerintah nampaknya belum mampu melindungi hak-hak anak secara menyeluruh, yang ada hanya himbauan yang sifatnya normatif. Contohnya, tidak ada tindakan atau aturan yang tegas bahwa sekolah atau rumah sakit dilarang melakukan diskriminasi terhadap anak-anak positif HIV.

Padahal konstitusi nasional secara tegas telah menjamin HAM anak. Sebagaimana tercantum dalam pasal 28I ayat (4) UUD 1945, yang menyebutkan: ‘Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Artinya, tanggung jawab negara terhadap pemajuan hak-hak anak

Page 4: Indepth Report : Hak-Hak ODHA Anak Belum Terpenuhi

bukan sekadar tanggung jawab hukum, melainkan menjadi tanggung jawab konstitusional dan hak asasi manusianya

Walau konstitusi dan produk hukum lain sudah jelas mengamanatkan negara melindungi dan menjamin hak anak, fakta di lapangan berkata lain. Berdasarkan laporan Forum UNGASS-AIDS Indonesia tahun 2009 yang terkait indikator 6, sering ditemukan anak yang dilahirkan dari orangtua yang terinfeksi HIV ditinggalkan oleh keluarga besar mereka. Mereka masih kesulitan dalam memperoleh dukungan untuk mengakses tes HIV, ARV, dan pengobatan untuk infeksi oportunistik. Banyak anak yang tidak didiagnosis atau dites sebelum mereka sakit parah dan jumlah CD4 mereka sangat rendah. Ketika sero-status mereka terungkap, mereka harus bersaing untuk mendapatkan perawatan umum dan layanan pengobatan gratis dengan anak-anak sakit lainnya. Anak-anak yang menjalani terapi ARV dan mampu bersekolah beresiko mendapatkan stigma dan diskriminasi. “Orang tua biasanya enggan untuk mengungkapkan situasi dan kondisi anak-anak mereka dikarenakan kurangnya kepercayaan pada sistem yang berlaku. Di banyak kasus, biasanya sudah terlambat,” sebut Forum UNGASS-AIDS Indonesia dalam laporannya.

Sementara terkait dengan pendidikan ODHA anak, survei BPS di tujuh provinsi tahun 2010 menyebutkan, biaya pendidikan yang dihabiskan oleh keluarga ODHA hanya 1,78 persen dari keluarga normal sebesar 3,46 persen. Semakin tinggi pendidikan jumlah keluarga ODHA yang bersekolah terus mengerucut.

Survei dilaksanakan di tujuh provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT dan Papua. Sampel sebanyak 2.038 rumah tangga yang terdampak HIV/AIDS.

Survei tersebut dilakukan bekerjasama dengan United Nations Development Programme, Organisasi Buruh Internasional, jaringan Orang Terdampak HIV/AIDS, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dan UNAIDS.

Seperti diberitakan BKKBN Online, keluarga yang memiliki anggota positif HIV/AIDS cenderung mengorbankan dunia pendidikan karena sering diperlakukan diskriminatif.

Tingkat kehadiran anak dari keluarga ODHA hanya 15,91 persen dibandingkan anak-anak keluarga normal yang mencapai 22,11 persen. Temuan lain dari penelitian tersebut, tingkat drop out pada anak perempuan dua kali lipat dari anak laki-laki.

Faktor penyebabnya, keluarga ODHA lebih memilih menghabiskan pendapatan untuk biaya pengobatan yang mencapai lima kali lipat ketimbang keluarga normal. Akibatnya, keluarga lebih mengorbankan pendidikan. Stigma yang melekat pada ODHA juga menjadi penyebab lain banyaknya anak dari keluarga ODHA drop out dari sekolah.

Page 5: Indepth Report : Hak-Hak ODHA Anak Belum Terpenuhi

"Masih banyak ditemukan anak-anak keluarga ODHA dimusuhi teman sekolahnya. Bahkan ada wali murid yang meminta anak itu dites HIV tiap bulannya. Padahal anak itu tidak menderita AIDS. Bapaknya yang menderita," ungkap Teguh Pramono, Kasubdit Statistik Polkam BPS beberapa waktu lalu sebagaimana dikutip dari situs bkkbn online

Tekanan sosio-ekonomi semakin mendorong para ODHA dan keluarganya hidup di garis kemiskinan. Hal itu diperkirakan akan menghambat pencapaian MDGs.

Konstitusi

Padahal untuk tidak mendapatkan perlakuan disktriminatif dari lingkungannya, dan membantu anak-anak tersebut untuk bisa hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi merupakan hak anak, seperti yang tertulis pada Pasal 4 UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Konstitusi nasional juga secara tegas telah menjamin HAM anak. Sebagaimana tercantum dalam pasal 28I ayat (4) UUD 1945, yang menyebutkan: ‘Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hakasasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Artinya, tanggung jawab negara terhadap pemajuan hak-hak anak bukan sekadar tanggung jawab hukum, melainkan menjadi tanggung jawab konstitusional dan hak asasi manusianya

Dalam dalam konteks pemajuan hak-hak anak, maka seperti anak-anak negatif HIV lainnya, ODHA anak perlu dilindungi. Perlindungan bisa dilakukan dengan memberikan jaminan agar anak bisa sekolah, utamanya bagi anak dari keluarga miskin atau kurang mampu. Pemenuhan bisa dilakukan dengan menjamin akses pendidikan murah dan berkualitas, menjamin hak bermain anak dan hak untuk memperoleh jaminan kesehatan. Produk hukum lain dalam konteks pemajuan hak anak terwakili dalam UU Perlindungan anak. Dalam pasal 21, yang berkaitan dengan perghormatan hak anak, disebutkan Negara dan Pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, statu hukum anak, urutan kelahiran dan kondisi fisik dan/atau mental. Selain itu negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak (Pasal 23/i). Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24).

Page 6: Indepth Report : Hak-Hak ODHA Anak Belum Terpenuhi

Dalam konteks pemenuhan, Negara dan Pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaran perlindungan anak (Pasal 22).

Indonesia telah banyak memberikan perhatian terhadap hak-hak anak melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang usaha kesejahteraan anak dan ikut sertanya Indonesia dalam menandatangai konvensi tentang hak-hak anak (Convention On The Rights of The Child) sebagai hasil Sidang Umum PBB pada tanggal 26 Januari 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI No 36 Tahun 1990.

Namun dalam pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala yang disebabkan oleh berbagai faktor. Antara lain peraturan pemerintah belum semuanya diwujudkan secara efektif, kesigapan aparat dalam penegakan hukum, dan kurangnya perhatian dan peran serta masyarakat dalam permasalahan anak

Jadi sudah jelas, konstitusi dan produk hukum kita sudah mengamanatkan kepada negara atau pemerintah untuk menghormati dan menjamin hak-hak anak, terlepas apakah anak tersebut sehat ataupun terinfeksi HIV. Rekomendasi

Berdasarkan temuan dilapangan tersebut Forum UNGASS-AIDS Indonesia merekomendasikan beberapa hal kepada pihak terkait. Pertama, data anak yang terinfeksi dan terdampak HIV/AIDS harus ditingkatkan dan dibuat tersedia bagi masyarakat umum.

Kedua, anak-anak mungkin menerima dampak negatif HIV karena stigma dan diskrimasi yang terus bertahan terhadap ODHA. Orang tua dengan HIV tidak dapat menemukan kehidupan yang layak karena masyarakat tidak memperoleh informasi yang cukup baik tentang penyakit ini. Pemerintah memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk memberikan informasi ke publik dan untuk menghilangkan hambatan sosial dan ekonomi pada ODHA. Ketiga, seharusnya ada kebijakan yang jelas berkaitan dengan akses bagi anak dengan HIV/AIDS di Rumah Sakit dan layanan perawatan lainnya sebagai bentuk tanggung jawab akan respon yang tepat dan cepat dan bukan untuk menciptakan konflik kepentingan bagi anak-anak lain yang sedang sakit. Keempat, kementrian Pendidikan Nasional seharusnya menyusun kebijakan untuk melindungi anak-anak yang terinfeksi dan terdampak oleh HIV/AIDS dalam sistem pendidikan/sekolah. Adalah kewajiban negara untuk melindungi hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan. Kementrian maupun Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) tidak bisa menyerahkan masalah serius ini dengan hanya menerbitkan kebijakan pemerintah di

Page 7: Indepth Report : Hak-Hak ODHA Anak Belum Terpenuhi

tingkat Provinsi/Kota/Kabupaten. Hal ini sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia dan hukum adalah kewenangan pemerintah pusat. Kelima, anak-anak yatim piatu dan yang seringkali ditinggalkan oleh keluarga besar mereka memerlukan bantuan dan pelayanan khusus. LSM harus bisa mengakses paket bantuan pemerintah yang disediakan bagi anak-anak ini. Terakhir, intervensi bagi anak-anak ini harus meliputi layanan psikososial dan kesehatan mental.

Walaupun banyak cerita tentang diskriminasi yang pernah diterima oleh anak-anak tersebut, hal itu harus ditutupi dengan harapan-harapan agar masyarakat bisa lebih menerima anak terdampak HIV/AIDS, dan memperlakukan mereka selayaknya anak-anak yang lain. Harapan agar anak-anak ini bisa terus berkembang, didukung, dan diberi kesempatan yang sama untuk bisa berpartisipasi dalam masyarakat.