independensi jaksa agung dalam penyampingan...
TRANSCRIPT
INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DALAM PENYAMPINGAN PERKARA
DEMI KEPENTINGAN UMUM
(Studi kasus : Deponering Bambang Wijayanto)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Disusun oleh
Bagdhady Zanjani Al Misbakh
NIM : 1112048000056
K O N S E N T R A S I K E L E M B A G A A N N E G A R A
P R O G R A M S T U D I ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H / 2016 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
satu syarat memperoleh gelar Strata I (S1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan orang lain,maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 30 September 2016
Bagdhady Zanjani Al Misbakh
iii
ABSTRAK
INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DALAM PENYAMPINGAN PERKARA
DEMI KEPENTINGAN UMUM
(STUDI KASUS DEPONERING BAMBANG WIJAYANTO).
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Independensi Jaksa
Agung serta kaitanya dalam penyampingan perkara demi kepentingan umum
(deponering) khususnya dalam perkara pemberian deponering Bambang
Wijayanto.
Hasil analisis ini mengungkap permasalahan independensi Jaksa Agung
terletak pada ketentuan Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden. Ketentuan tersebut memiliki makna besarnya pengaruh eksekutif
terhadap Kejaksaan RI yang menyebabkan Kejaksaan tidak Independen. Perlu
adanya perubahan terhadap Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia guna menutup celah yang memberikan peluang
pada lembaga Kejaksaan untuk tidak Independen. Perubahan tersebut ditekankan
poin-poin krusial pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung yang menjadi
sumber utama yang menyebabkan Kejaksaan tidak independen. Pertama, pola
pengangkatan Jaksa Agung haruslah diubah dengan menghindari dominasi
tunggal Presiden dalam proses pengangkatanya, melainkan juga mengikutsertakan
lembaga-lembaga terkait seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) guna
terciptanya sistem check and balances. kedua, ketentuan pemberhentian Jaksa
Agung pun jelas harus diubah, ketentuan ini adalah tenaga terbesar eksekutif
dalam kontribusinya atas tidak independensinya Kejaksaan. Dalam pasal 22 ayat
(4) dijelaskan bahwa Jaksa Agung berhenti apabila masa jabatanya berakhir,
namun dalam penjelasan pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci tentang
periode masa jabatan Jaksa Agung. Keadaan ini amat sangat berpotensi
menghilangkan independensi Kejaksaan. Jaksa Agung dapat diberhentikan
kapanpun tergantung pada keinginan presiden.
Dengan permasalahan Kejaksaan yang dinilai tidak independen dan tidak
ada penjelasan secara limitatif apa makna dari kepentingan umum. Yang berarti
hanya pada pandangan subjektif Jaksa Agung semata. Maka akan sangat
berpotensi memberikan dampak negatif pada objektifitas pemberian deponering,
pemberian deponering karena desakan pihak luar criminal justice system atau
desakan politik tertentu akan memperkeruh wajah penegakan hukum di Indonesia.
Berdasarkan pertimbangan tersebut penulis beranggapan bahwa penyampingan
perkara demi kepentingan umum atas kasus Bambang Wijayanto tidaklah tepat.
Lebih baik menyerahkan proses penegakan hukum sepenuhnya kepada criminal
justice system yang berlaku.
Kata Kunci : Jaksa Agung, Independensi, Deponering
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan
semesta alam atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DALAM
PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM (STUDI
KASUS: PEMBERIAN DEPONERING BAMBANG WIJAYANTOdengan
lancar dan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
baginda besar Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan juga
bagi kita selaku pengikut setia beliau hingga akhir hayat.
Dan tidak lupa ucapan terimakasih dan cinta yang sedalam-dalamnya
kepada kedua orang tua tercinta ibunda Hj. Ufat Fatihah dan ayahanda H.
Misbakh, M.Pd. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah
membantu penulis baik secara materiil maupun immaterial. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D,selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi
Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
v
3. Dr. Alfitra, S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktunya dan memberikan arahan serta bimbingannya
dengan sabar kepada penulis selamaini sampai penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.
4. Syafrudin Makmur, S.H., MH. Selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah bersedia memberikan waktu dan arahan serta masukan kepada
penulis disela-sela kesibukan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik dan benar.
5. Segenap Dosen serta staff Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan
ikhlas mendidik dan membimbing penulis dari semester 1 hingga selesai
penulisan skripsi ini.
6. Orang Tua Tercinta Ayah H. Misbakh, M.Pd. dan Ibunda Hj. Ufat Fatihah
yang telah mencurahkan kasih sayang kepada penulis dan tidak ada henti-
hentinya memberikan nasihat serta dukungan baik moril maupun materil
yang tidak terhingga, motivasi serta doa yang tidak pernah lelah
dipanjatkan untuk penulis, memberikan semangat bagi penulis untuk
menyelesaikan studi S1 ini
7. Kakak penulis Ayyub Lownardo Austin, S.Pd., M.Pd., M.IP dan Lulu
Harliani yang selalu mendukung dan memberikan arahan, doa serta
motivasi penulis dalam menimba ilmu untuk menyelesaikan studi S1 ini.
8. Adik-adik dan Ponakan Tersayang Cordova Baginda Bajuri Harun,
Dheandles Duta Agung Bajuri Harun,Easher Shredder Sabique Qurani dan
Farha Arpegias Fadhail Kawakib yang selalu memberikan dukungan dan
vi
mendoakan penulis serta menjadi sumber semangat penulis dalam
menyelesaikan studi S1 ini.
9. Sahabat-sahabat Penulis Murtadlo Baedlowi, Muhammad Raziv Barokah,
Teguh Rudiawan, Muhammad Yusuf, Khairul Atma, Sigit Ganda
Prabowo, Dimas Anggri, AgieZaky, Ade Kurniawan, Said Agung Sedayu,
Muhammad Ansyori, Agasti Prior, Farid Muhajir dan teman-teman
lainnya terimakasih atas kebersamaan dan keceriaan kalian selama ini.
10. Keluarga besar Ilmu Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan nuansa kekeluargaan sehinnga penulis
merasa nyaman berada dalam keluarga ini .
11. Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis sejauh ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga senantiasa dalam
perlindungan dan keberkahan dari Allah SWT.
Demikian penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang dalam penulisan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para
pembaca padaumumnya. WassalamualaikumWr. Wb.
Jakarta, 30 September 2016
Penulis
Bagdhady Zanjani Al Misbakh
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................................ .i
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................ ii
ABSTRAK ........................................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah...................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 8
D. Tinjauan Kajian Terdahulu ..................................................................... 8
E. Kerangka Konseptual .............................................................................. 10
F. Metode Penelitian.................................................................................... 12
G. Sistematika Penulisan.............................................................................. 15
BAB II KEDUDUKAN DAN PERAN KEJAKSAAN SERTA JAKSA
AGUNG REPUBLIK INDONESIA
A. Sejarah Lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia ................................... .17
B. Kedudukan dan Peran Kejaksaan Republik Indonesia............................ 23
C. Susunan dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia......................... 27
D. Syarat Menjadi Jaksa Agung ................................................................... 31
viii
BAB III PENYAMPINGAN PERKARA SEBAGAI SALAH SATU
HAK DAN WEWENANG JAKSA AGUNG
A. Sejarah Oportunitas di Indonesia ........................................................... 34
B. Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia ....................................... 49
C. Asas Oportunitas Sebagai Dasar Kewenangan Menyampingkan Perkara
oleh Jaksa Agung.....51
BAB IV INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DALAM
MELAKSANAKAN TUGAS DAN WEWENANG
PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN
UMUM
A. Independensi Kejaksaan dalam Kaitanya dengan Negara
Hukum .................................................................................................... 56
B. Kaitan Independensi Jaksa Agung dengan Penyampingan
Perkara Demi Kepentingan Umum ......................................................... 63
C. Analisis Penyampingan Perkara Bambang Wijayanto Demi
Kepentingan Umum oleh Jaksa Agung ................................................... 74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 79
B. Saran ........................................................................................................ 81
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 83
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan
untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan
hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang
dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun
melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya
(alternative desputes or conflicts resolution).1Salah satu lembaga negara yang
berperan penting dalam proses penegakkan hukum di Indonesia adalah
Kejaksaan Republik Indonesia.
Kejaksaan dalam melaksanakan fungsinya dipimpin oleh seorang Jaksa
Agung dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
Pasal 35 (c) yang berbunyi : Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Kemudian dalam
penjelasannya disebutkan kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa
atau negara dan atau kepentingan masyarakat luas.
Penyaampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini
merupakan pelaksanaan azas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh
Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan
1 Jimly Assiddhiqqie, makalah yang berjudul Pembangunan Hukum dan Penegakkan
Hukum Di Indonesia. Disampaikan pada acara Seminar Menyoal Moral Penegak Hukum dalam
rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 17 Februari 2006
2
kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Namun, penjelasan Pasal 35 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI ini
tidak menentukan secara limitatif apa rumusan atau definisi serta batasan dari
kepentingan negara, kepentingan bangsa, atau kepentingan masyarakat secara
jelas.
Penyampingan perkara didasarkan pada azas oportunitas. Azas oportunitas
ialah azas yang melandaskan penuntut umum mempunyai kewenangan untuk
tidak menuntut suatu perkara di muka sidang pengadilan dengan alasan demi
kepentingan umum2 atau hak jaksa agung yang karena jabatannya untuk
mendeponer perkara-perkara pidana, walaupun bukti-bukti cukup untuk
menjatuhkan hukuman, jika ia berpendapat bahwa akan lebih banyak
kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut suatu perkara daripada
tidak menuntutnya. Dengan kata lain perkaranya dikesampingkan walaupun
cukup bukti dan bila diteruskan di persidangan kemungkinan besar terdakwa
diputus bersalah.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka bisa dikatakan tugas Kejaksaan di
dalam penyelenggaraan negara kita sangatlah penting, karena selaku institusi
tempat bernaungnya seluruh Jaksa, Kejaksaan mempunyai peran penting
selaku penghubung antara masyarakat dengan negara dalam menjaga
tegaknya hukum dan norma yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu
dalam melaksanakan fungsinya, Kejaksaan haruslah bekerja secara merdeka
dan bebas dari intervensi manapun termasuk dari pemerintah. Sangat
2M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009) h.436.
3
berbahaya apabila Kejaksaan bekerja dengan adanya intervensi dari pihak
lain.
Independensi Jaksa hingga sekarang banyak menuai perdebatan. Hal ini
tidak terlepas dari kedudukan Kejaksaan sendiri sebagai lembaga
pemerintahan sedangkan fungsinya yang sebagai institusi penegak hukum
menimbulkan banyak pertanyaan mampukah Kejaksaan bisa bekerja secara
merdeka dalam melakukan fungsinya, namun kedudukan Kejaksaan sendiri
adalah sebagai bagian dari eksekutif
Ketentuan Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan serta
bertanggung jawab kepada Presiden memiliki makna besarnya pengaruh
eksekutif terhadap lembaga Kejaksaan. Hal ini menyebabkan Kejaksaan sulit
mendapatkan keindependensianya.
Dalam negara yang melaksanakan sistem demokrasi, seorang presiden
dipilih dari calon-calon yang dijagokan partai politik, maka sangat mungkin
Jaksa Agung dipilih oleh Presiden dari partainya atau partai pendukungnya
dengan komitmen tertentu. Hal ini sangat rawan akan conflict of interest,
seharusnya Jaksa Agung adalah a man of law yang dalam sistem kita dapat
digambarkan sebagai abdi hukum, abdi negara dan abdi masyarakat yang
tidak mengabdi kepada presiden dengan kepentingan politiknya.
4
Dalam Blacks Law Dictionary, independent diartikan not subject to the
control or influence of another.3 Dari pengertian tersebut, independen berarti
tidak tunduk pada kekuasaan atau pengaruh pihak lain. Independensi di sini
dapat menyangkut individu maupun lembaga dalam kaitannya dengan status
atau hubungan dengan pihak lain,4 sehingga indepensi meliputi kemandirian
atau kebebasan individu maupun kelembagaan terhadap pengaruh pihak
eksternal.
Tidak dapat dipungkiri bahwa tugas penegakan hukum dan keadilan
merupakan tugas yang sangat berat, apalagi dalam konteks Indonesia yang
masih dilanda kemiskinan, ketidakadilan, serta korupsi, kolusi dan nepotisme
yang sudah sedemikian sistemik dan menggurita hingga menyentuh semua
lapisan masyarakat. Pada masa orde baru, kejaksaan yang seharusnya
bertindak sebagai lembaga penegak hukum yang mewakili kepentingan
hukum publik berubah menjadi lembaga penegak hukum yang mewakili
kepentingan pemerintah. Berdasarkan struktur kelembagaannya saat ini,
secara formal kejaksaan merupakan bagian dari pemerintah atau eksekutif,
sehingga tidak akan mudah untuk menjadi lembaga penegakan hukum yang
3 Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary, (ST. Paul, MINN: West Group, 2009), h. 838
4 David Phillip Jones, Recent Developments in Independence and Impartiality.
(Canadian Journal of Administrative Law & Practice, 2002). Diakses melalui
http://www.westlaw.com, 15 agustus 2016
5
berkiblat pada kepentingan publik atau public sense of justice5 dan
independen atau terbebas dari campur tangan pihak lain terutama eksekutif.6
Contoh nyata dari sulitnya kejaksaan terbebas dari campur tangan
eksekutif terlihat jelas dalam perkara yang menimpa mantan Komisioner
KPK Bambang Wijayanto, Peristiwa ini berawal dari adanya dugaan tindak
pidana yang telah dilakukan oleh Bambang Wijayanto. MABES POLRI
menetapkan Bambang Wijayanto sebagai tersangka terkait dugaan
mengarahkan saksi agar menyampaikan kesaksian palsu dalam dalam sidang
sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kota Waringin Barat pada tahun 2010 di
Mahkamah Konstitusi. Perkara Bambang Wijayanto dalam dugaan
mengarahkan saksi agar menyampaikan kesaksian palsu dalam Pilkada
Kotawaringin Barat dinyatakan sudah sampai pada tahap penuntutan.
Jaksa Agung lalu mempertimbangkan perkara itu di deponering. Jaksa
agung kemudian mengirimkan surat permintaan pertimbangan deponering ke
Komisi III DPR RI. Kemudian Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J
Mahesa memastikan komisinya menolak saran deponering perkara mantan
Komisioner KPK tersebut. Alasanya, tidak ada unsur kepentingan umum
yang mengharuskan perkara itu dihentikan. Sementara Presiden Joko Widodo
melalui Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, Johan Budi SP
memerintahkan agar perkara-perkara yang berkaitan dengan KPK segera
5 Rod Harvey. The Independence of The Prosecutor; a Police Perspective. Makalah
diterbitkan dalam http://www.aic.gov.au. Diakses pada tanggal 17 agustus 2016
6 Todung Mulya Lubis, Catatan hukum Todung Mulya Lubis: mengapa saya mencintai
negeri ini?, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), h. 111
6
diselesaikan, tentu dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan secara
hukum, dan pada tanggal 3 Maret 2016 Jaksa Agung HM Prasetyo yang
berasal dari politisi Nasdem resmi menggunakan kewenangan penyampingan
perkara demi kepentingan umum dalam kasus ini.
Mengeluarkan keputusan penyampingan perkara demi kepentingan
umum (deponering) atas perkara mantan Komisioner KPK Bambang
Wijayanto.7Instruksi Presiden melalui Staf Khusus Presiden bidang
Komunikasi Johan Budi SP menunjukan bahwa Kejaksaan yang dimpimpin
oleh Jaksa Agung jelas tidak bisa lepas dari pengaruh intervensi eksekutif.
J. Remmelink mengatakan bahwa akan selalu ada bahaya jika Kejaksaan
tidak menjalankan tugas dan wewenangnya dengan independen. Bahwa akan
selalu ada motif-motif partai politik dalam memutuskan memerintah tugas
dari Kejaksaan dalam hal, misal penyampingan suatu perkara demi
kepentingan umum, ataupun untuk memerintahkan menuntutnya.8
Kewenangan institusi Kejaksaan yang dipimpin oleh Jaksa Agung
menangani perkara dalam bidang penuntutan tidak terlepas dari persoalan
independensi atau kemandirianya untuk dapat mengambil sikap berupa
kebijakan-kebijakan (diskresi) dalam menyelesaikan permasalahan hukum.
Meskipun UU No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI telah memberikan
wewenang oportunitas yang hanya dimiliki oleh jaksa agung sebagai
7http://kriminalitas.com/indo/content/view/5317/6/ (diakses Senin, 29 Maret 2016 14:30)
8 Jan Rammelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia), (PT Gramedia Pustaka, Jakarta: 2003), h. 5
http://kriminalitas.com/indo/content/view/5317/6/
7
pemimpin tertinggi institusi Kejaksaan RI, namun dalam menangani perkara
seringkali muncul keraguan dengan mempertanyakan independensi kejaksaan
dalam memproses perkara. Kecurigaan rasional pada intinya ditujukan pada
pengaruh kepentingan eksternal atas. Tidak independensinya Jaksa Agung
karena posisi kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan dan Jaksa Agung
adalah jabatan politis non karir yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden selaku kepala pemerintahan.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu melebar, maka
penulis hanya membatasi masalah pada Independensi Jaksa Agung serta
kaitanya dengan peran dan fungsi Jaksa Agung dalam menjalankan Azas
Oportunitas dalam pelaksanaan tugasnya melakukan penyampingan
perkara pidana demi kepentingan umum.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembahasan masalah yang
telah diuraikan, maka perumusan masalahnya akan dirumuskan sebagai
berikut:
a. Bagaimana permsalahan Independensi yang dialami oleh Jaksa Agung?
b. Bagaimana kaitan independensi Jaksa Agung dalam melaksanakan
tugas peyampingan perkara pidana demi kepentingan umum dalam
kasus Bambang Wijayanto ?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sebagaimana latar belakang dan rumusan masalah yang penulis
utarakan maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah:
a. Untuk mengetahui permasalahan independensi yang dialami oleh
Jaksa Agung.
b. Untuk mengetahui kaitan Independensi Jaksa Agung dalam
melaksanakan tugas peyampingan perkara pidana demi kepentingan
umum.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan bisa menjadi rujukan bagi
mahasiswa Syariah dan Hukum khususnya Ilmu Hukum dalam
menganalisa kasus yang sama atau hampir sama dengan penelitian yang
penulis buat. Penulis juga berharap dengan adanya penelitian ini seluruh
masyarakat di Indonesia dapat memahami tentang Independensi
Kejaksaan Republik Indonesia dalam Penyampingan Perkara Demi
Kepentingan Umum.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
Nama Gery Pamungkas
Fakultas/
Prodi
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2015
Judul
Skripsi
Independensi Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara.
9
Substansi Skripsi ini membahas tentang Independensi Kejaksaan
sebagai Jaksa Pengacara Negara.
Pembeda Penelitian penulis dengan skripsi di atas sangat jauh
berbeda. Penulis hanya menjadikan skripsi tersebut acuan
dalam hal konsep. Karena penelitian di atas dengan milik
penulis memiliki konsep yang sama yakni mengenai
Independensi Kejaksaan RI. Namun, penelitian di atas
mengenai Independensi Jaksa sebagai Pengacara Negara.
Sedangkan penulis membahas Independensi Jaksa Agung
dalam melakukan deponering.
Nama Yelina Rachma P
Fakultas/
Prodi
Universitas Sebelas Maret /Fakultas Hukum
Tahun 2010
Judul
Skripsi
Tintauan tentang pengaturan azas penyampingan perkara
demi kepentingan umum (azas oportunitas) dalam
KUHAP dan relevansinya dengan azas persamaan di mata
hukum ( equality before the law)
Substansi Skripsi ini membahas pertanggung jawaban pengaturan
azas penyampingan perkara demi kepentingan umum
(azas oportunitas) dalam KUHAP dan relevansinya
dengan azas persamaan di mata hukum (equality before
the law). Penulis menjadikan skripsi ini sebagai acuan
karena memiliki kesamaan konsep penerapan azas
oportunitas oleh jaksa agung dalam system hukum di
indonesia.
Pembeda Terdapat pembedaan mengenai sudut pandang. Dalam
skripsi ini menekankan tentang pengaturan azas
oportunitas sedangkan penulis Independensi Jaksa Agung
dalam penerpan azas oportunitas dalam suatu perkara
pidana, khususnya perkara yang mendera mantan
komisioner KPK yaitu, Bambang Wijayanto.
Nama Dr. Alfitra, S.H., M.H
Publisher Raih Asa Sukses
Tahun 2012
Judul
Buku
Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana
Substansi Buku ini merupakan salah satu kerangka pemikiran
tentang penerapan azas oportunitas oleh Jaksa Agung
Pembeda Buku ini merupakan acuan dasar tentang hal-hal yang
berkaitan dengan azas oportunitas khususnya
penyampingan perkara pidana demi kepentingan umum..
Sedangkan penulis akan membahas tentang Independensi
10
Jaksa Agung dalam penyampingan perkara
pidana(deponering) berdasarkan azas oportunitas
Nama Ardilafiza, S.H.,M.Hum dan Riky Musriza,
S.H.,M.H
Tahun 2010
Judul
Jurnal
Independensi Kejaksaan sebagai Pelaksana
Kekuasaan Penuntutan dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia.
Substansi Jurnal ini merupakan salah satu kerangka pemikiran
tentang Independensi Kejaksaan RI.
Pembeda Jurnal ini merupakan acuan dasar tentang hal-hal yang
berkaitan Independensi Kejaksaan dalam Penuntutan.
Sedangkan penulis akan membahas tentang
Independensi Jaksa Agung dalam penyampingan
perkara pidana (deponering) berdasarkan azas
oportunitas
E. Kerangka Konseptual
1. Azas oportunitas adalah hak Jaksa Agung yang karena jabatannya untuk
mendeponir perkara-perkara pidana, walaupun bukti bukti cukup untuk
menjatuhkan hukuman, jika ia berpendapat bahwa akan lebih banyak
kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut suatu perkara daripada
tidak menuntutnya.9
2. Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta
kewenangan lain berdasarkan undang-undang.10
9 Karim Nasution, Rapat Dengar Pendapat Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat
Mengenai Masalah Hukum Acara Pidana, (Jakarta : DPR, 2004), h.36.
10
Komisi Hukum Nasional dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Pembaharuan
Kejaksaan ; Pembentukan Standar Minimum Profesi Jaksa, (Jakarta : KHN dan MaPPI, 2004),
h.3.
11
3. Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang
dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan
perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak
lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
4. Dominus litis berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Penuntut
umum ialah dominus litis. Pengertiannya ialah wewenang penuntutan
dipegang oleh penuntut umm sebagai monopoli dan tidak ada badan lain
yang boleh melakukan penuntutan selain penuntut umum.11
5. Penuntut umum adalah jaksa yang menuntut perkara yang disidangkan dan
berwenang menyerahkan perkara seorang terdakwa kepada hakim, dengan
permohonan, supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan
perkara pidana itu terhadap terdakwa.
6. Penuntutan yang berasal dari kata tuntut yang berarti meminta dengan
keras (setengah mengharuskan supaya dipenuhi); menagih, menggugat,
membawa atau mengadu ke pengadilan.12
7. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
(KUHAP) untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
11
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta :Sinar
Grafika,2004), h.48.
12 O.C. Kaligis, Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus
dalam Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: PT. Alumni, 2006), h.91.
12
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian
Penelitian (research) berarti pencarian kembali. Pencarian yang
dimaksud adalah pencarian terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah),
karena hasil dari pencarian ini akan dipakai untuk menjawab
permasalahan tertentu. Dengan kata lain, penelitian (research) merupakan
upaya pencarian yang amat bernilai edukatif, ia melatih kita untuk selalu
sadar bahwa didunia ini banyak yang kita tidak ketahui, dan apa yang kita
coba cari, temukan dan ketahui itu tetaplah bukan kebenaran mutlak, oleh
sebab itu, masih perlu diuji kembali.13
Tipe penelitian yang penulis gunakan pada skripsi ini adalah kualitatif
dengan pendekatan empiris yuridis.14
yaitu penelitian hukum yang
menitikberatkan pada kajian literatur (kepustakaan) serta data sekunder
yang bertujuan untuk meneliti asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf
sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan perbandingan hukum.
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan historis
(historical approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach).
2. Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer
13
Amirudin dan Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Jakarta; PT.
RajaGrafindo Persada, 2012), h.5.
14 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Pengertian Hukum Normatif Suatu Tindakan
Singkat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2004), h. 14.
13
Bahan-bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan , dan putusan-putusan hakim.15
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari
literatur hukum, artikel yang berasal dari Jurnal, publikasi press dalam
surat kabar, internet, dan dokumen lain yang berkaitan dengan
penelitian, guna memberikan penjelasan lebih lanjut dan mendalam
mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
c. Bahan Non-Hukum (Tersier)
Bahan Non-Hukum dapat berupa publikasi non hukum yang
memuat data-data yang masih relevan atau berkaitan dengan tema
penelitian ini.
3. Tehnik Pengumpulan Data dan Bahan Hukum
Metode pengumpulan data dalam penulisan ini terdiri dari bahan
hukum primer, sekunder, serta bahan non hukum yang telah di dapatkan
kemudian dipadukan dan disusun sesuai dengan hierarkinya. Adapun
bahan hukum baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder atau
bahkan bahan hukum tersier di uraikan dan dihubungkan sedemikian rupa,
sehingga dapat ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan secara deduksi yakni
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, 2010), h. 141.
14
menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum ke suatu
permasalahan yang bersifat khusus atau yang lebih kongkrit.16
4. Metode Pengolahan Data dan Bahan Hukum
Pengolahan data dilakukan dengan metode kualitatif yakni
memberikan gambaran mengenai permasalahan dengan menganalisis
rujukan dalam setiap literatur dan bahan hukum yang disebutkan di atas17
.
5. Analisis Data
Teknis analisis data dalam penelitian ini diawali dengan
mengkompilasi berbagai dokumen peraturan perundang-undangan serta
bahan hukum lainnya yang berhubungan dengan judul yang penulis ambil.
Kemudian dari hasil tersebut, dikaji isi (content), baik terkait kata-kata
(word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan
lainnya yang dimaksudkan dalam isi undang-undang tersebut.
Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan
analisis tersebut adalah: Pertama, semua bahan-bahan hukum yang
diperoleh melalui normatif disistematisir dan diklasifikasikan menurut
objek bahasannya. Kedua, setelah disistematisir dan diklasifikasikan
kemudian diuraikan dan dijelaskan tentang objek yang diteliti berdasarkan
teori. Ketiga, bahan yang dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan
menggunakan ukuran ketentuan hukum yang berlaku.
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 42.
17
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004) ,h. 104.
15
6. Metode Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam skripsi
ini disesuaikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012
G. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, skripsi ini dibagi menjadi lima bab dengan sub bab,
dengan uraian singkat sistem penulisan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai keseluruhan isi penelitian
yang akan digali dengan tujuan untuk membuka pemahaman secara
umum sisi penelitian yang terdiri atas latar belakang penelitian, alasan
penelitian. Selanjutnya akan dibahas mengenai kerangka konseptual
dan kerangka teoritis yang digunakan untuk menganalisa
permasalahan tersebut. Selain itu juga diuraikan juga mengenai
metode penelitian ini dan sistematika penulisan.
BAB II KEDUDUKAN DAN PERAN KEJAKSAAN SERTA JAKSA
AGUNG REPUBLIK INDONESIA
Bab ini akan membahas secara teoritis tentang sejarah. Didalamnya
akan dibahas tentang tinjauan umum mengenai Kejaksaan RI dan
Jaksa Agung. Dibahas tentng sejarah dan perkembangan Kejaksaan di
Indonesia.
16
BAB III PENYAMPINGAN PERKARA SEBAGAI SALAH SATU HAK
DAN WEWENANG JAKSA AGUNG
Dalam bab ini akan membahas kewenangan Kejaksaan dalam
penyampingan perkara (Deponering). Pengertian dan istilah azas
oportunitas, latar belakang berlakunya azas oportunitas di Indonesia.
Sejarah singkat dan perkembangan azas oportunitas sebagai dasar
penyampingan perkara demi kepentingan umum di Indonesia.
BAB IV INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DALAM MELAKSANAKAN
TUGAS DAN WEWENANG PENYAMPINGAN PERKARA DEMI
KEPENTINGAN UMUM
Akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan analisis terhadap
independensi Jaksa Agung dan kaitanya dengan kewenangan
penyampingan perkara dengan alasan kepentingan umum. Kasus yang
terkait adalah penyampingan perkara Bambang Wijayanto.
BAB V PENUTUP
Merupakan bab penutup dari keseluruhan Bab 1, 2, 3, 4, akan
dikategorikan simpulan akhir sebagai jawaban atas pokok-pokok
permasalahan yang dibahas dan dianalisis dalam penelitian ini.
Disamping itu disampaikan juga saran atau rekomendasi yang
sekiranya berguna bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia.
17
BAB II
KEDUDUKAN DAN PERAN KEJAKSAAN SERTA JAKSA AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
A. Sejarah Lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia
1. Sebelum Reformasi
Istilah kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada
zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan
Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa dan dharmadhyaksa sudah mengacu
pada posisi dan jabatan tertenti di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari
bahasa kuno, yakni kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.
Menurut W. F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat
negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk
tengah berkuasa (1350-1389 M).18
Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas
untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para adhyaksa
ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin
dan mengawasi para dhyaksa tadi. Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya
yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas
(opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter).19
18
http://.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
19
http://id.wikipedia.org/wiki/Kejaksaan_Indonesia, diakses, 18 Agustus 2016
http://.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3http://id.wikipedia.org/wiki/Kejaksaan_Indonesia
18
Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan
menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga
adalah seorang adhyaksa. Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada
relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar
Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan
sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad
(Pengadilan Negeri), Juridictie Geschillen (Pengadilan Justisi) dan
Hooggerechtshof (MA) dibawah perintah langsung dari Residen/Asisten
Residen.
Hanya saja pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai
perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan
pada masa penjajahan Belanda mengemban misi terselubung, antara lain :20
a. Mempertahankan segala peraturan Negara.
b. Melakukan penuntutan segala tindak pidana.
c. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang.
Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khusunya dalam
menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat
dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).
Peran Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi
difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman
pendudukan tentara Jepang Nomor 1/1942, yang kemudian diganti oleh
20 https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
19
Osamu Seirei Nomor 3/ 1942, Nomor 2/1944 dan Nomor 49/1944. Eksistensi
kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo
Hoooin (Pengadilan Agung), Koootooo Hooin (Pengadilan Tinggi) dan
Tihooo Hooin (Pengadilan Negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan
bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk :21
a. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran.
b. Menuntur Perkara.
c. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.
d. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.
Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam
Negara Republik Indonesia. hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 tentang Badan-Badan dan Peraturan Pemerintah Dulu.
Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara Republik Indonesia
membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan
ketentuan UUD 1945, maka segala badan dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku.
Secara yuridi formal, Kejaksaan Republik Indonesia telah ada sejak
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945.
Sua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (selanjutnya disingkat PPKI) diputuskan
21
https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
20
kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni
dalam lingkungan Departemen Kehakiman.
Kejaksaan Republik Indonesia terus mengalami berbagai perkembangan
dan diamika secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan
sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan
Republik Indonesia telah mengalami 23 (dua puluh tiga) periode
kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring dengan perjalanan sejarah
ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta tata cara
kerja Kejaksaan Republik Indonesia, juga mengalami berbagai perubahan yag
disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan
sistem pemerintahan.22
Menyangkut Undang-Undang Kejaksaan, perubahan mendasar pertama
berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan Undanf-Undang
Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan
Republik Indoinesia, Undang-Undang ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat
Negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1),
penyelenggaraan tugas Departemen Kejaksaan dilakukan Menteri/Jaksa
Agung (Pasal 5), dan susunan organisasi yang diatur oleh keputusan Presiden.
Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kajaksaan dalam rangka sebagai
alat revolusi dan penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi
departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia.
22 https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
21
Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut
Kejaksaan Republik Indonesia sesuai dengan perubahan dari Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan
itu juga mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata
cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden
Nomor 55 Tahun 1991 tertanggal 20 November 1991.23
2. Masa Reformasi
Masa Reformasi hadir di tengah gencarnya berbagai sorotan terhadap
pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya
dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa
reformasi Undang-Undang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni
dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia untuk mengggantikan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. kehadiran Undang-
Undang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai
peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya.24
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahawa Kejaksaan Republik
Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara
23 https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016 24 https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
22
dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-
Undang. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis),
mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya
institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat
diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut
Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis,
Kejaksaan juga merupakan satu-satunya institusi pelaksana putusan pidana.
Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat
dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaaan Republik Indonesia
sebagai lembaga Negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara di
bidang penuntutan.25
Mengacu pada Undang-Undang tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan
Negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka.
Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Bahwa Kejaksaan adalah
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang
penuntutan secara merdeka artinya bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas
dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi
jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
25 https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
23
B. Kedudukan dan Peran Kejaksaaan Republik Indonesia
Mengenai kedudukan dan peran kejaksaan. Kejaksaan Republik
Indonesia dalam sistem pemerintahan telah ditegaskan dalam penjelasan
UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
republik Indonesia yang menyatakan bahwa kedudukan kejaksaan adalah
Lembaga Pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara terutama di
bidang penuntutan di lingkungan peradilan umum. Ini berarti bahwa
kejaksaan sebagai perwujudan dari segala kebebasan dan keadilan, sebab
kejaksaan mewakili dan mempertahankan kekuasaan Negara.
Memperjuangkan kepentingan umum yang sangat membuutuhkan ketertiban
dan ketentraman dalam kehidupan dan diharapkan kejaksaan mampu
bertindak secara netral, di dalam menangani perkara yang harus dipecahkan,
khususnya di dalam penanganan perkara selama proses di pengadilan.
1. Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia
Kedudukan sentral Kejaksaan berkait erat dengan kedudukan dan
fungsi Kejaksaan Republik Indonesia dalam penegakan hukum di
Indonesia. sudah tentu penekanan pada eksistensi dan eksisnya institusi ini
baik dalam tatanan teoritis yang mengacu pada konsepsi negara hukum
maupun dalam asas normative praktis yang berpedoman pada peraturan
perundang-undangan artinya Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya dalam kedudukannya sebagai badan yang terkait dengan
kekuasan kehakiman dalam penegakan hukum, harus menjunjung tinggi
supremasi hukum sebagai prasyarat mutlak bagi penyelenggaraan
24
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Supremasi hukum
berarti adanya jaminan konstitusional dalam proses politik yang dijalankan
oleh kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif. Supremasi hukum
akan selalu bertumpu pada kewenangan yang ditentukan oleh hukum.26
Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia terdapat dalam Pasal 2,
Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu :
Pasal 2 :
1). Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-
Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta
kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
2). Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilaksanakan
secara merdeka.
3). Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 adalah satu atau tidak
terpisahkan.
Pasal 3 :
Pelaksanaan kekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan
Kejaksaan Negeri.
Pasal 4 :
1) Kejaksaan Agung berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi kekuasaan negara Republik
Indonesia.
26
Wijatobone,Kedudukan Kejaksaan,
http://wijatobone.blogdetik.com/2008/10/21/optimalisasi-peran-kejaksaan-dalam-penegakan-
supremasi-hukum/, diakses 18 Agustus 2016
http://wijatobone.blogdetik.com/2008/10/21/optimalisasi-peran-kejaksaan-dalam-penegakan-supremasi-hukum/http://wijatobone.blogdetik.com/2008/10/21/optimalisasi-peran-kejaksaan-dalam-penegakan-supremasi-hukum/
25
2) Kejaksaan Tinggi berkedudukan di Ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
3) Kejaksaan Negeri berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota yang daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota.
2. Peran Kejaksaan Republik Indonesia
UUD 1945 menentukan secara tegas bahwa Indonesia adalah
Negara hukum (rechtsstaat). Sejalan dengan ketentuan tersebut
maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya
menjamin kesejahteraan bagi setiap orang di hadapan hukum
(equality before the law). Oleh karena itu, setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil tersebut
setidaknya tercermin dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai perubahan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia. Undang-Undang Kejaksaan yang baru tersebut
dimaksudkan untuk lebih menetapkan kedudukan dan peran
Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintah
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Pelaksanaan kekuasaan negara dalam Undang-Undang tersebut
harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam
Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
26
Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa Kejaksaan adalah lembaga
pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntuan secara merdeka dalam arti bahwa dalam melaksanakan
fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan
melindungi profesi Jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih
berperan dalam menegakan supremasi hukum, perlindungan
kepentingan hukum, penegakan hak asasi manusia, serta
pemberantasan KKN.
Kejaksaan harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses
pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang
mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila,
serta kewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewajiban
pemerintah dan negara serta melindungi kepernyingan masyarakat.
Disinilah letak peran strategis Kajaksaan dalam pemantapan
ketahanan bangsa.
Dasar hukum pelaksaan kedudukan dan peranan Kejaksaan
Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam tata
susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan
27
dijabarkan pada Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945,
yaitu:
Pasal 5 Ayat(1) Presiden memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat.
Pasal 20 Ayat (1) Tiap-tiap Undang-Undang menghendaki
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
C. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia
Susunan organisasi terdapat dalam Pasal 4 Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 86 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yaitu :
a. Jaksa Agung:
b. Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang antara lain sebagai
berikut :
1). Memimpin dan mengendalikan Kejaksaan dalam melaksanakan tugas,
wewenang dan fungsi serta membina aparatur Kejaksaan agar
berdaya guna dan berhasil guna;
2).Menetapkan dan mengendalikan kebijaksanaan pelaksanaan
penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif yang
menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan;
3). Melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi dan
tindakan hukum lain berdasarkan peraturan perundang-undangan;
4). Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan
instansi terkait meliputi penyelidikan dan penyidikan serta
melaksanakan tugas-tugas yustisial lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh
Presiden;
5). Melakukan pencegahan dan pelarangan terhadap orang yang terlibat
dalam suatu perkara pidana untuk masuk ke dalam atau ke luar
meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia,
peredaran barang cetakan yang dapat mengganggu ketertiban umum,
penyalahgunaan dan/atau penodaan agama serta pengawasan aliran
kepercayaan yang membahayakan ketertiban masyarakat dan negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
6). Melakukan tindakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara,
mewakili pemerintah dan negara di dalam atau di luar pengadilan
sebagai usaha menyelamatkan kekayaan negara baik di dalam
28
maupun di luar negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden;
7). Menyampingkan perkara demi kepentingan umum, mengajukan
kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam
perkara pidana, perdata dan tata usaha negara, mengajukan
pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam
pemeriksaan kasasi perkara pidana, menyampaikan pertimbangan
kepada Presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
8). Memberikan izin tertulis dan menetapkan persyaratan dan tata cara
bagi seorang tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani
perawatan di rumah sakit di dalam maupun di luar negeri peraturan
perundang-undangan;
9). Memberikan perizinan sesuai dengan bidang tugasnya dan
melaksanakan tugas-tugas lain peraturan perundang-undangan dan
kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden;
10.) Membentuk Satuan Tugas di Pusat di Daerah yang terdiri dari
instansi Sipil, TNI dan Polri untuk penanggulangan, pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana khusus serta tindak pidana tertentu
sesuai dengan kebutuhan;
11). Membina dan melakukan kerja sama dengan departemen, lembaga
pemerintah non departemen, lembaga negara, instansi dan organisasi
lain untuk memecahkan permasalahan yang timbul terutama yang
menjadi tanggung jawabnya.
Jaksa Agung dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil
Jaksa Agung.
a. Wakil Jaksa Agung Wakil Jaksa Agung mempunyai tugas yaitu:
1). Membantu Jaksa Agung dalam membina dan mengembangkan
organisasi, administrasi sehari-hari serta tugas-tugas teknis
operasional lainnya agar berdaya guna dan berhasil guna;
2). Membantu Jaksa Agung dalam mengkoordinasikan pelaksanaan
tugas, wewenang, dan fungsi para Jaksa Agung Muda, Pusat dan
Kejaksaan di daerah;
(1).Mewakili Jaksa Agung dalam hal Jaksa Agung berhalangan;
(2). Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan petunjuk Jaksa
Agung.
Dalam melaksanakan tugasnya Wakil Jaksa Agung bertanggung
jawab kepada Jaksa Agung.
b. Jaksa Agung Muda Pembinaan; Jaksa Agung Muda Pembinaan adalah unsur pimpinan dalam
melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan
di bidang pembinaan yang bertanggung jawab langsung kepada
Jaksa Agung.
29
Jaksa Agung Muda Pembinaan mempunyai tugas dan wewenang
melakukan pembinaan atas manajemen, perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana, pengelolaan
keuangan, kepegawaian, perlengkapan, organisasi dan tatalaksana,
melakukan penelaahan dan turut menyusun perumusan peraturan
perundang-undangan, pengelolaan atas kekayaan milik negara yang
menjadi tanggung jawabnya serta memberikan dukungan pelayanan
teknis dan administratif bagi seluruh satuan organisasi Kejaksaan
dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas.
c. Jaksa Agung Muda Intelijen; Jaksa Agung Muda Intelijen adalh unsur pembantu pimpinan
dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi
Kejaksaan di bidang intelijen yustisial yang bertanggung jawab
langsung kepada Jaksa Agung.
Jaksa Agung Muda Intelijen mempunyai tugas dan
wewenang melakukan kegiatan intelijen yustisial di bidang sosial,
politik, ekonomi, keuangan, dan pertahanan keamanan untuk
mendukung kebijaksanaan penegakan hukum dan keadilan baik
preventif mapun represif, melaksanakan dan/atau turut
menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum serta
pengamanan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan
oleh Jaksa Agung.
d. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum; Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum adalah unsur
pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan
wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai
tindak pidana umum yang diatur di dalam dan di luar Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP)
yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum mempunyai tugas
dan wewenang melakukan prapenuntutan, pemeriksaan tambahan,
penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan,
pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan
tindakan hukum lainnya dalam perkara tindak pidana umum
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan
yang ditetapkan oleh Jaksa Agung
e. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus; Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus adalah unsur
pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan
wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai
tindak pidana khusus yang bertanggung jawab langsung kepada
Jaksa Agung.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus mempunyai tugas
dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan
tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan
30
pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas
bersyarat dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana
ekonomi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana khusus lainnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan
yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
f. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara; Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara adalah
unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan
wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai
perkara perdata dan tata usaha negara yang bertanggung jawab
langsung kepada Jaksa Agung.
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara
mempunyai tugas dan wewenang melakukan penegakan, bantuan,
pertimbangan dan pelayanan hukum kepada instansi pemerintah
dan negara di bidang perdata dan tata usaha negara untuk
menyelamatkan kekayaan negara dan menegakkan kewibawaan
pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
g. Jaksa Agung Muda Pengawasan; Jaksa Agung Muda Pengawasan adalah unsur pembantu
pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta
fungsi Kejaksaan di bidang yustisial di bidang pengawasan yang
bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung.
Jaksa Agung Muda Pengawasan mempunyai tugas dan
wewenang melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas rutin
dan pembangunan semua unsur Kejaksaan agar berjalan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, rencana dan program kerja
Kejaksaan serta kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
h. Pusat 1) Di lingkungan Kejaksaan dapat dibentuk Pusat sebagai unsur
penunjang kegiatan Kejaksaan.
2) Pembentukan Pusat ditetapkan oleh Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang
pendayaagunaan aparatur negara.
i. Kejaksaan di Daerah Kejaksaan di Daerah terdiri Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan
Negeri yang kedudukan dan wilayah hukumnya ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rincian tugas
dan wewenang, susunan organisasi dan tata kerja Kejaksaan Tinggi
dan Kejaksaan Negeri di atur lebih lanjut oleh Jaksa Agung setelah
mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab
di bidang pendayagunaan aparatur negara.
1) Kejaksaan Tinggi 2) Kejaksaan Negeri
31
Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia terdapat dalam Pasal
34 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 1999
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik
Indonesia yaitu :
Semua satuan organisasi Kejaksaan dalam melaksanakan
tugasnya diwajibkan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan
sinkronisasi baik dalam lingkungan Kejaksaan sendiri maupun
dalam hubungan antar departemen, lembaga pemerintah non
departemen, lembaga negara, dan instansi-instansi lain untuk
kesatuan gerak yang sesuai dengan tugasnya. Dalam melaksanakan
tugas dan wewenang serta fungsinya aparat Kejaksaan bertanggung
jawab secara hirarkis kepada pimpinan satuan organisasi masing-
masing. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsinya
satuan-satuan organisasi Kejaksaan berpedoman kepada asas satu
kesatuan dan tidak terpisah-pisahkan
D. Syarat Menjadi Jaksa Agung
Pasal 18
(1) Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi
kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas,
dan wewenang kejaksaan.
(2) Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan
beberapa orang Jaksa Agung Muda.
(3) Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung merupakan satu kesatuan
unsur pimpinan.
(4) Jaksa Agung Muda adalah unsur pembantu pimpinan.
Pasal 19
(1) Jaksa Agung adalah pejabat negara.
(2) Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Pasal 20
Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung adalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, huruf c, huruf d, huruf f, dan
huruf g.
32
a. warga negara Indonesia; c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berijazah paling rendah sarjana hukum;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
Pasal 21
Jaksa Agung dilarang merangkap menjadi:
a. Pejabat negara lain atau penyelenggara negara menurut peraturann
perundang-undangan;
b. Advokat;
c. Wali, kurator/pengampu, dan/atau pejabat yang terakait dalam perkara
yang sedang diperiksa olehnya;
d. Pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah,
atau badan usaha swasta;
e. Notaris, notaris pengganti, atau pejabat pembuat akta tanah; f. Arbiter,
badan atau panitia penyelesaian sengketa yang dibentuk berdasarkan
perturan perundang-undangan;
g. Pejabat lembaga berbentuk komisi yang dibentuk berdasarkan
undang-undang; atau
h. Pejabat pada jabatan lainnya yang ditentukan berdasarkan undang-
undang.
Pasal 22
(1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatnnya karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
d. berakhir masa jabatannya;
e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21.
33
(2) Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
34
BAB III
PENYAMPINGAN PERKARA SEBAGAI SALAH SATU HAK DAN
WEWENANG JAKSA AGUNG
A. SEJARAH OPPORTUNITAS DI INDONESIA
1. Sebelum Zaman Kolonial
Di berbagai tulisan, pada waktu sebelum zaman pendudukan Belanda
azas opportunitas tidak diketahui secara tertulis. Oleh karena di Indonesia
pemerintahannya pada waktu itu masih berbentuk kerajaan, maka dapatlah
dikatakan bahwa raja selalu mempunyai hak opportunitet, mengingat
kekuasaannya sebagai raja atau Sultan.
2. Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.
Mengingat kekuasaan Gubernur Jenderal yang sangat besar di wilayah
jajahan, maka ia dengan mudah menjadikan pasal 179 Reglement of de
rechterlijke organisatie sebagai dasar pelaksanaan azas oportunitas, meskipun
dalam analisa Andi Hamzah27
menulis Pasal 32 C Undang Undang Nomor 5
Tahun 1991 tentang Kejaksaan dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu
dianut di Indonesia. Pasal itu berbunyi : Jaksa Agung dapat menyampingkan
suatu perkara berdasarkan kepentingan umum. Sebelum ketentuan itu, dalam
praktek telah dianut azas itu. Dalam hal ini Lemaire mengatakan bahwa pada
dewasa ini asas oportunitas lazim dianggap sebagai suatu asas yang berlaku di
negeri ini, sekalipun sebagai hukum tak tertulis yang berlaku. Dikatakan
hukum tak tertulis karena adanya Pasal 179 Reglement of de rechterlijke
27
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Artha Jaya, 1996) h.15-16
35
organisatie yang dipertentangkan itu. Ada yang mengatakan dengan pasal itu
dianut asas oportunitas di Indonesia, ada yang mengatakan tidak. Yang
mengatakan dianut atas legalitas karena alasan di dalam pasal 179 RO itu
kepada Hooggerechtshof dahulu diberikan kewenangan untuk, bila Majelis
itu, karena pengaduan pihak yang berkepentingan atau secara lain mana pun,
mengetahui telah terjadi kealpaan dalam penuntutan kejahatan atau
pelanggaran, memberi perintah kepada Pokrol Jenderal supaya berhubung
dengan itu, melaporkan tentang kealpaan itu dengan hak memerintahkan agar
dalam hal itu diadakan penuntutan jika ada alasan-alasan untuk itu.
Yang mengatakan dengan Pasal 179 Reglement of de rechterlijke
organisatie itu dianut asas oportunitas karena pada ayat pertama pasal itu
ditambah dengan kata-kata kecuali jika penuntutan oleh Gubernur Jenderal
dengan perintah tertulis telah atau akan dicegah. Vonk mengatakan harus
dibedakan antara oportunitas sebagai asas dan oportunitas sebagai
kekecualian. Dalam hal tersebut diatas merupakan pengecualian. E. Bonn-
Sosrodanukusumo mengatakan bahwa waktu pembuat undang-undang tahun
1948 menyusun reglemen itu teristimewa Pasal 179, tidak ingat asas
oportunitas dalam bentuknya yang sekarang. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa azas opportunitet tetap berlanjut pada zaman kolonial28
.
28
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas
Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum
dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h. 39
36
3. Zaman Jepang
Oleh karena pendudukan Jepang di Indonesia tidak begitu lama, hanya
kurang lebih 3 tahun saja maka tidak ada perubahan apapun terhadap
perundang-undangan, kecuali penghapusan Raad Van Justitie sebagai
pengadilan untuk golongan Eropa.29
4. Zaman Kemerdekaan
Sejak Jepang meninggalkan Indonesia (1945) keadaan Hukum Acara
Pidana tidak ada perubahan pemakaian azas opportinitet dalam Hukum Acara
Pidana, oleh karena Pasal 179 RO tetap berlaku bahkan kemudian dengan di
Undangkannya Undang-Undang Pokok Kejaksaan Undang-Undang Nomor
15/1961, dalam Pasal 8, memberi wewenang kepada Jaksa Agung untuk
menseponir/ menyampingkan suatu perkara berdasar alasan Kepentingan
Umum 30
kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1991 tentang
Kejaksaan RI, dalam Pasal 32 ( c ), yang menyatakan bahwa : Jaksa Agung
mempunyai tugas dan wewenang untuk menyampingkan perkara ; yang lebih
dipertegas lagi dalam buku pedoman pelaksanaan KUHAP31
, sebagai berikut
: Penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang
Jaksa. Dengan dinyatakannya dalam penjelasan resmi Pasal 77 yaitu berupa :
29
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Artha Jaya, 1996)h. 55
30
M. Yahya Harahap, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP. Penyidikan
dan Penuntutan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000) h. 37
31
Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Departemen Kehakiman Republik
Indonesia,(Jakarta: Yayasan Pengayoman,) h. 88-89.
37
Yang dimaksudkan dengan penghentian penuntutan tidak termasuk
penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang
Jaksa Agung maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP mengakui eksistensi
perwujudan dari azas oportunitas, sehingga dengan demikian perwujudan dari
azas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan, mengingat dalam kenyataannya
perundang-undangan posisif di negara kita, yakni dalam KUHAP penjelasan
resmi Pasal 77 dan dalam Undang- Udnang Nomor 15 Tahun 1961 (Undang-
Undang Pokok Kejaksaan) Pasal 8 secara tegas mengakui eksistensi dari
perwujudan azas opportunitas, yaitu kepada Jaksa Agung selaku Penuntut
Umum tertinggi berdasarkan kepada keadaan-keadaan yang nyata untuk tidak
menuntut suatu perkara pidana dimuka persidangan pengadilan pidana agar
kepentingan umum tidak lebih dirugikan.
Maksud dan tujuan undang-undang memberikan kewenangan pada Jaksa
Agung tersebut adalah untuk menghindarkan tidak timbulnya penyalah
gunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan azas oportunitas, sehingga dengan
demikian satu-satunya pejabat negara di negara kita yang diberi wewenang
melaksanakan azas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap
Jaksa selaku Penuntut Umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa
Agung selaku Penuntut Umum tertinggi. Untuk terjaminnya kepastian hukum
dalam rangka pelaksanaan azas oportunitas, Jaksa Agung menuangkan dalam
suatu surat penetapan/keputusan yang salinannya diberikan kepada yang
dikesampingkan perkaranya demi kepentingan umum, hal mana dapat
dipergunakan sebagai alat bukti bagi yang bersangkutan. Terhadap perkara
38
yang dikesampingkan demi kepentingan umum, penuntut umum tidak
berwenang melakukan penuntutan terhadap tersangka dalam perkara tersebut
di kemudian hari32
.
Dalam hubungan perwujudan azas oportunitas ini mungkin yang akan
menjadi permasalahannya ialah sejauh mana kriteria demi kepentingan
umum itu yang akan digunakan. Dalam hubungan ini pertama-tama
diperhatikan baik KUHAP maupun pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 tahun
1961 tidak memuat kejelasan apa yang dimaksud dengan kepentingan
umum itu, maka sehubungan dengan itu kita harus perhatikan dalam praktek
selama ini, yaitu bahwa dalam menyampingkan perkara yang menyangkut
kepentingkan umum, Jaksa Agung senantiasa bermusyawarah dengan
pejabat-pejabat tertinggi negara yang ada sangkut pautnya dengan perkara
yang bersangkutan, antara lain seperti dengan MENHANKAM, KAPOLRI
bahkan sering kali dengan Presiden. Dengan demikian kriteria demi
kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas di negara kita adalah
didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk
kepentingan pribadi. Maka jelas bahwa perundang-undangan kita hingga saat
ini tetap menganut azas oportunitas33
.
32
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas
Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum
dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h. 42
33
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas
Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum
dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h. 43
39
B. PERKEMBANGAN ASAS OPORTUNITAS DI INDONESIA
Sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UUD 1945 alinea
pertama Bahwa Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, di
samping itu undang-undang berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis,
ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis.
Jelas bahwa hukum yang berlaku di Indonesia tidak hanya hukum tertulis
yang berupa peraturan perundangundangan saja melainkan juga hukum tidak
tertulis yang meliputi adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan baik yang timbul
dalam penyelenggaraan Negara (konvensi) maupun kebiasaan-kebiasaan yang
hidup dan di hayati oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan memperhatikan sejarah hukum yang berlaku di Indonesia
sebelum penjajahan sangat dominan dengan hukum adat yang sifatnya
heterogen, lain daerah lain pula adatnya. Penyelesaian masalah identik
penyelesaian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga adat dengan perangkat-
perangkat desa. Pada masyarakat primitif tidak membedakan antara hukum
pidana dan hukum perdata, tuntutan perdata dan tuntutan pidana merupakan
kesatuan termasuk lembaga-lembaganya. 34
Pandangan rakyat Indonesia waktu itu melihat alam semesta dan
lingkungannya merupakan suatu totalitas yang harus dijaga keharmonisannya.
Setiap pelanggaran hukum (adat) para penegak hukum harus memulihkannya
34 Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas
Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum
dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.57
40
dengan putusan. Pelunasan/ganti rugi sesuai dengan bentuk-bentuk sanksi
adat yang telah ditentukannya. Istilah Jaksa yang berasal dari bahasa
Sansekerta adhyaksa artinya sama dengan hakim pada dunia modern
sekarang ini.
Pada masa penjajahan Belanda, hukum yang berlaku di Indonesia dengan
asas konkordasi, segala perubahan perundang-undangan di Negeri Belanda
diberlakukan pula di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
yang dipandang sebagai produk nasional, merupakan penerusan pula dari
asas-asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR (Stb 1926 No. 559 jo
496). HIR sendiri merupakan perubahan dari IR yaitu dengan dibentuknya
lembaga Openbaar Ministerie atau penuntut umum, yang dulu di bawah
pamong praja secara bulat terpisah berdiri sendiri berada di bawah Officier
van Yustitie (untuk golongan Eropa) dan Proceireur General sekarang Jaksa
Agung untuk Bumi Putra, sehingga Jaksa Agung sebagai penuntut umum
tertinggi35
.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Andi Hamzah : bahwa
dalam hukum acara pidana dikenal adanya suatu badan khusus yang diberi
wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke Pengadilan yang disebut
Penuntut Umum. Di Indonesia penuntut umum itu disebut Jaksa36
.
35
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas
Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum
dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.58
36
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia edisi revisi, (Jakarta: CV Artha Jaya,
2001)h.13
41
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli,
karena tidak ada badan lain yang boleh melakukan itu, hal ini disebut
dominus litis di tangan penuntut umum atau Jaksa. Dominus berasal dari
bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak boleh meminta agar setiap
delik pidana diajukan ke Pengadilan. Jadi hakim harap menunggu saja
penuntutan yang diajukan dari penuntut umum. Dalam hubungan dengan hak
penuntutan dikenal adanya 2 (dua) asas yaitu37
:
1. Asas legalitas yakni penuntut umum wajib melakukan
penuntutan suatu delik (hal ini tidak dianut di Indonesia)
2. Asas Oportunitas ialah penuntut umum tidak wajib menuntut
seseorang yang melakukan tindak pidana. Jika menurut pertimbangannya
akan merugikan kepentingan umum, jadi demi kepentingan umum seseorang
yang melakukan tindak pidana tidak wajib dituntut ke pengadilan.
AZ Abidin Farid memberikan perumusan tentang asas oportunitas
sebagai berikut : Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut
umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat
seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan
umum.
Dalam penjelasan UU No.16 Tahun 2004 pasal 35 ditekankan bahwa di
lingkungan Kejaksaan, Jaksa Agung RI yang mempunyai hak
mengesampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum.
Selanjutnya meskipun tidak ditegaskan dalam pasal ini namun dapat
37
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas
Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum
dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.60
42
dimengerti bahwa dalam mengesampingkan perkara yang menyangkut
kepentingan umum, Jaksa Agung senantiasa bermusyawarah dengan pejabat-
pejabat tinggi yang ada sangkut pautnya dalam perkara tersebut antara lain
Menteri/kepala Kepolisian Negara, Menteri Keamanan Nasional bahkan juga
seringkali langsung kepada Presiden.
Sebelum ada ketentuan tersebut di Indonesia dalam praktek telah dianut
asas oportunitas yang lazim dianggap sebagai hukum tidak tertulis.
Sebagaimana hukum yang berlaku di Indonesia mengakui kebenaran hukum
dasar yang tertulis dan tidak tertulis, yang tertulis berupa produk peraturan
perundang-undangan yang terbentuknya melalui Dewan Legislatif (DPR)
bersama-sama dengan pemerintah tentu membutuhkan waktu panjang dan
pembahasan bertele-tele serta biaya mahal sehingga keberadaannya sangat
terbatas, jika dibandingkan dengan kebutuhan hukum yang mengatur
perkembangan kehidupan masyarakat semakin pesat ibarat deret ukur,
sedangkan jumlah peraturan perundang-undangan kurang memadai ibarat
deret hitung38
.
Oleh karena itu untuk mengisi kekosongan hukum di Indonesia
mengalami keberadaan hukum yang tidak tertulis berupa hukum adat, hukum
agama, hukum kebiasaan yang timbul dalam praktek penyelenggaraan
pemerintahan maupun kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan berkembang di
dalam masyarakat dihayati dan diakui keberadaannya oleh rakyat Indonesia.
38
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas
Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum
dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.63
43
Apabila diartikan bahwa asas oportunitas itu pada dasarnya ialah asas
kesederhanaan yang menyangkut perkara-perkara kecil yang ancaman
hukumnya dibawah 6 (enam) tahun, dan apabila kerugiannya sudah diganti,
harus diselesaikan sendiri oleh Jaksa dan tidak perlu dilanjutkan ke
Pengadilan, karena hak penuntutan ada ditangan Jaksa.
Meskipun aturan tertulis mengenai asas oportunitas tidak jelas, namun di
Indonesia tetap memberlakukannya. Hal ini nampak diberbagai unit
usaha/kelompok usaha yang memiliki karyawan lebih dari 100 (seratus) orang
umpamanya, tentu memiliki satuan keamanan, pengawas bahkan konsultan
hukum, apabila terjadi pelanggaran hukum/delik pidana di lingkungannya
akan teratasi dengan tebusan uang damai, jika tidak dapat diselesaikan baru
ke kantor polisi, meskipun di kepolisian juga diusahakan musyawarah untuk
damai.
Walaupun berapa saja jumlah uang tebusan pada umumnya orang lebih
suka damai dari pada melalui proses pengadilan yang berlarut-larut yang
menghabiskan waktu, tenaga juga harta benda. Tidak terbayangkan jika
semua perkara/delik pidana yang terjadi di masyarakat seperti Indonesia ini
harus mengajukan tuntutan melalui kepolisian, kejaksaan dan pengadilan
tidak akan mungkin mengingat jumlah aparat penegak hukum, polisi, jaksa,
hakim sangat minim dibandingkan jumlah perkara yang masuk ke
pengadilan.39
39 Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas
Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum
dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.64
44
Ada yang mengatakan bahwa oportunitas itu harus dibedakan oportunitas
sebagai asas dan oportunitas sebagai pengecualian dalam hal tersebut di atas
oportunitas dianggap sebagai pengecualian. Dalam praktek sering dilakukan
pengecualian tersebut sebagai hukum tidak tertulis. Sedangkan asas
oportunitas dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum
wewenang tidak melakukan suatu penuntutan jika dianggap tidak oportunitas
yakni guna kepentingan umum40
.
Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 1
butir 6 huruf a dan b, Pasal 137 tidak mengatur secara tegas tentang asas
oportunitas.
Pasal 1 butir 6
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 14 huruf h :
Penuntut umum mempunyai wewenang :
h. menutup perkara demi kepentingan hukum.
Apa yang dimaksud dengan penutup perkara demi kepentingan hukum
sama sekali tidak ada penjelasan, kemungkinan kurangnya alat bukti atau
sudah diselesaikan malalui perdamaian/ganti rugi (Opportuun)
Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dalam undang-
undang ini ada beberapa pasal yang mengatur mengenai pelaksanaan asas
40
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas
Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum
dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.64
45
oportunitas yaitu Pasal 1 ayat (1), ayat (2); Pasal 30 ayat (1) huruf a dan huruf
b; Pasal 35 huruf c. Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan
:
(1) Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain
berdasarkan undang-undang.
(2) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 30 ayat (1) :
Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. melakukan penuntutan
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap
Pasal 35 c Jaksa Agung memunyai tugas dan wewenang
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Penjelasan Pasal 35 huruf c : Yang dimaksud dengan kepentingan umum
adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat,
mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini
merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh
Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat Badan-badan
Kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Baik secara historis maupun yuridis di Indonesia menganut asas oportunitas.
Secara historis dengan diakuinya keberadaan hukum dasar tidak tertulis,
oportunitas sebagai pengecualian. Sedangkan secara yuridis adanya undang-
undang pelaksanaan asas oportunitas melalui Pasal 8 UU No.15 Tahun 1961.
46
Pasal 32 huruf c UU No.5 Tahun 1991 dan Pasal 35 huruf c UU No.16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan R.I.
Namun dalam undang-undang tersebut mengartikan asas oportunitas
masih terlalu sempit. Hanya Jaksa Agung yang berwenang mengesampingkan
perkara demi kepentingan umum. Lalu kepentingan umum diartikan terlalu
sempit pula yaitu kepentingan Negara dan masyarakat. Hal inilah yang
menjadi pertimbangan penentu, boleh tidaknya perkara pidana
dikesampingkan, sehingga dalam praktek jarang dilakukan41
.
Di Indonesia perkara pidana dikesampingkan karena alasan kebijakan
(policy) yang meliputi : perkara ringan, umur terdakwa sudah tua, dan
kerusakan telah diperbaiki, hal ini dilekatkan syarat, penseponeran yaitu
pembayaran denda damai yang disetujui antara pihak kejaksaan dan
tersangka42
.
Misalnya perkara Pak Harto atas dugaan Korupsi senilai Rp.1,3 trilyun
dan US$ 419 juta pada 7 (tujuh) yayasan yang dipimpinnya, yang digelar PN
Jakarta Selatan pada 21 Agustus 2000. Namun terdakwa dinyatakan sakit dan
tidak dapat hadir di persidangan. Pada bulan Mei 2006 Pak Harto sakit berat
sehingga Kejaksaan Negeri Jakarta