indahnya ketulusan cinta.doc
TRANSCRIPT
Indahnya Ketulusan Cinta
Indahnya Ketulusan Cinta
Judul buku: Agar Cinta Bersemi Indah
Penulis: M. Fauzil Adhim
Tebal buku: 280 halaman
Cetakan: Pertama, Agustus 2002
Penerbit: Gema Insani Press, Jakarta
Menerima pendamping kita apa adanya dengan tidak
berharap terlalu banyak,
merupakan bekal untuk mencapai kemesraan dalam rumah
tangga dan kebahagiaan
di akhirat.
Sebagai hamba yang dianugerahi fitrah, kita memang
perlu menyeimbangkan
harapan. Tak salah kita berdoa memohon suami yang
sempurna, tetapi pada
saat yang sama kita juga harus melapangkan dada untuk
menerima kekurangan.
Kita boleh memancangkan harapan, tapi kita juga perlu
bertanya apa yang
sudah kita persiapkan agar layak mendampingi pasangan
idaman.
Ini bukan berarti kita tidak boleh mempunyai keinginan
untuk memperbaiki
kehidupan kita, rumah tangga kita, serta pasangan
kita. Akan tetapi,
semakin besar harapan kita dalam pernikahan semakin
sulit kita mencapai
kebahagiaan dan kemesraan. Sebaliknya, semakin tinggi
komitmen pernikahan
kita (marital commitment) akan semakin lebar jalan
yang terbentang untuk
memperoleh kebahagian dan kepuasan.
Apa bedanya harapan dan komitmen? Apa pula pengaruhnya
terhadap keutuhan
rumah tangga kita? Harapan terhadap perkawinan
menunjukkan apa yang ingin
kita dapatkan dalam perkawinan. Bila kita memiliki
harapan perkawinan yang
sangat besar, sulit bagi kita untuk menerima pasangan
apa adanya. Kita akan
selalu melihat dia penuh kekurangan. Jika kita menikah
karena terpesona
oleh kecantikannya, kita akan segera kehilangan
kemesraan sehingga tidak
bisa berlemah lembut begitu istri kita sudah tidak
memikat lagi. Betapa
cepat dan berlalu dan betapa besar nestapa yang harus
ditanggung.
Sementara itu, komitmen perkawinan lebih menunjukkan
rumah tangga seperti
apa yang ingin kita bangun. Kerelaan untuk menerima
kekurangan, termasuk
mengikhlaskan hati menerima kekurangannya membuat kita
lebih mudah
mensyukuri perkawinan.
Disebabkan oleh komitmen yang sangat kuat pada Allah
dan Rasul-Nya istri
Julaibib mengikhlaskan hati untuk menikah dengan
Julaibib. Yang baru
semalam usia pernikahan mereka Julaibib mengakhiri
hayat di medan syahid.
Ketika ibunya merasa tidak rela dikarenakan rendahnya
rendahnya martabat
dan buruknya perawakan fisik, ia meminta agar orang
tuanya menerima
pinangan itu kalau memang Rasulullah saw. yang
menentukan.
Orang yang melapangkan hati untuk menenggang
perbedaan, cenderung akan
menemukan banyak kesamaan. Perbedaan itu bukan lantas
tidak ada, tetapi
kesediaan untuk menenggang perbedaan membuat kita
mudah untuk melihat
kesamaan dan kebaikannya. Sebaliknya, kita akan merasa
tidak nyaman
berhubungan dengan orang lain, tidak terkecuali
pendamping hidup kita, bila
kita sibuk mempersoalkan perbedaan. Apalagi jika kita
sering
menyebut-nyebutnya, semakin terasa perbedaan itu dan
semakin tidak nyaman
membina hubungan dengannya.
Semoga Allah melindungi kita dari mempersoalkan
perbedaan tanpa mengilmui.
Semoga Allah menjauhkan kita dari kesibukan yang
membinasakan. Semoga Allah
pula kelak mengukuhkan ikatan perasaan di antara kita
dengan kasih sayang,
ketulusan, dan kerelaan menenggang perbedaan.
Sesungguhnya telah berlalu
umat-umat sebelum kita yang mereka binasa karena sibuk
mempersoalkan
perbedaan dan memperdebatkan hal-hal yang menjadi
rahasia Allah.
Nah, jika mempersoalkan perbedaan, menyebut-nyebutnya,
dan mengeluhkannya
akan membuat hubungan renggang, mengapa tidak
melapangkan hati untuk
menenggangnya? Sesungguhnya menenggang perbedaan akan
menumbuhkan kasih
sayang dan kemesraan yang hangat. Ada perasaan
mengharukan yang sekaligus
membahagiakan jika kita memberikan untuknya apa yang
ia sukai.
Untuk itu, ada tiga hal yang perlu kita pahami agar ia
mempercayai
ketulusan kita. Pertama, berikanlah perhatian yang
hangat kepadanya.
Besarnya perhatian membuat dia merasa kita sayang dan
kita cintai. Kedua
terimalah ia tanpa syarat. Penerimaan tanpa syarat
menunjukkan bahwa kita
mencintainya dengan tulus. Tidak mungkin menerima dia
apa adanya jika kita
tidak memiliki ketulusan cinta dan kebersihan niat.
Ketiga, ungkapkanlah
dengan kata-kata yang tepat.
Berkaitan dengan ungkapan ini, ada sebuah tips yang
ahsan yang disampaikan
oleh ustaz yang kini masih mengajar di jurusan
Psikologi, UII, Yogyakarta
ini. Yakni terminologi "aku" dan kamu". Saat kita
mendapatkan bahwa masakan
yang dibuat pasangan kita keasinan misalnya, maka
gunakanlah kata ganti
"aku" . "Aku lebih suka kalau sayurnya lebih manis,
sayang" Tapi saat kita
mendapatkan suatu kelebihan pada diri pasangan, ia
sukses menggoreng telor
dadar misalnya (biasanya ia menggoreng berkerak), maka
kita gunakan kata
ganti "kamu". "Kamu memang pintar, istriku". Kita
gunakan kata "aku" untuk
sesuatu yang sifatnya negatif dan "kamu" untuk sesuatu
yang sifatnya
positif. Untuk semua hal.
Tampaknya memang benar, karena penggunaan kata ganti
"kamu" untuk sebuah
kesalahan yang telah dilakukan oleh pasangan kita
cenderung menyaran pada
arti memvonis alih-alih memosisikan pasangan kita
sebagai tertuduh.
Dalam perspektif pragmatik (linguistik), terminologi
ini merupakan sebuah
upaya penggunaan maksim kesopanan dengan tetap
mempertahankan maksim kerja
sama. Dengan tujuan agar tidak terjadi konflik pada
keduanya.
Berangkat dari petunjuk Allah ini tidak layak bagi
kita untuk sibuk
mempersoalkan kekurangan ataupun kesalahan, apalagi
kekurangan yang sulit
dihilangkan, sepanjang ia tidak melakukan kekejian
yang nyata. Betapa pun
banyak yang tidak kita sukai darinya, kemesraan
dengannya tak akan pudar
jika kita mencoba untuk berbaik sangka kepada Allah,
barangkali di balik
itu Allah berikan kebaikan yang sangat besar.
Sebaliknya, sesedikit apa pun
keburukannya, bila kita sibuk menyebut-nyebut dan
mengingatnya, akan sangat
memberatkan jiwa. Dampak selanjutnya tidak hanya bagi
hubungan suami istri,
tetapi merembet pada hubungan kita dan si kecil.
Terimalah ia apa adanya. Terimalah kekurangannya
dengan keikhlasan hati
maka akan kita temukan cinta yang bersemi indah.
Sesudahnya berupaya
memperbaiki dan bukan menuntut untuk sempurna.
Bukankah kita sendiri
mempunyai kekurangan, mengapa kita sibuk menuntut
istri untuk sempurna? Ada
amanat yang harus kita emban ketika kita menikah. Ada
ruang untuk saling
berbagi. Ada ruang untuk saling memperbaiki. Dan bukan
saling mengeluhkan,
alih-alih menyebut-nyebut kekurangan.
Pahamilah kekhilafannya agar ia merasa ringan dalam
memperbaiki, meski
bukan berarti kita lantas membiarkan kesalahan.
Berikanlah dukungan dan
kehangatan kepadanya sehingga ia berbesar hati
menghadapi
tantangan-tantangan yang ada di depan. Tunjukkanlah
bahwa kita memang
sangat menghargainya, menerimanya dengan tulus, mau
mengerti dan
bersemangat mendampinginya.
Dalam buku ini Ustaz Fauzil memang tidak hanya
membahas seputar keikhlasan
menerima pasangan kita apa adanya. Namun tampaknya
beliau memandang masalah
yang remeh temeh ini dalam beberapa hal telah menjadi
batu karang yang
cukup terjal yang kemudian melahirkan benih-benih
konflik dan
alih-alih perceraian.
Seperti pada bagian akhir, beliau menjelaskan
bagaimana upaya belajar itu
tidak sebatas menerima apa adanya, tetapi juga diikuti
dengan belajar
mendengar dengan sepenuh hati. Karena tidak jarang
kita bukan tidak paham
jawaban yang sesungguhnya diinginkan di balik
pertanyaan pasangan.
Cukup banyak hal sepele yang tampaknya kita anggap
telah kita berikan
tetapi ternyata hal itu jauh meleset dari dugaan. Kita
bukan mendengar
pasangan tetapi mendengar diri sendiri, kita bukan
memberi solusi tapi
malah menambah materi. Kita bukan memberi jalan keluar
alih-alih
menghakimi. Kita bukan memberikan jawaban, tetapi
malah memberikan
pertanyaan. Kita bukan meringankan tetapi malah
memberatkan. Benarkah?
Al akhir, kekayaan itu ada di jiwa. Dan keping
kekayaan itu dimulai dari
ketulusan menerima. Dengan kekayaan jiwa kita akan
lebih mudah memberikan
empati, lebih mudah untuk memahami, lebih mudah untuk
berbagi dan lebih
mudah mendengar dengan sepenuh hati.
Hari ini, ketika kita bermimpi tentang sebuah
pernikahan yang romantis
sementara ikatan batin di antara kita dan pasangan
begitu rapuh, sudahkah
kita berterima kasih kepadanya? Sudahkah kita meminta
maaf atas kesalahan
kesalahan kita? Jika belum, mulailah dengan meminta
maaf atas
kesalahan-kesalahan kita dan ungkapkan sebuah
panggilan sayang untuknya.
Mulailah dari yang paling mudah, hatta yang paling
remeh atau kecil
sekalipun. Mulailah dari yang paling kecil, demikian
Ustaz Aa' berpesan.
Little things mean a lot, demikian Ustaz Fauzil
menambahkan. Agar cinta
bersemi dalam keluarga kita, agar cinta senantiasa
berbunga dalam kehidupan
kita.
Masya Allah.Subhanallah.
Alhamdulillahirabbil alamiin.
Wallahu alam bisshawab.
(bagi yang belum menikah tidak usah khawatir, jika
engkau jaga risalah
Allah adalah sebuah keniscayaan jika Allah kan berikan
yang terbaik buat
antum, sekali lagi terbaik dalam perspektif Allah, dan
bukan perpektif kita)