indahnya ketulusan cinta.doc

6
Indahnya Ketulusan Cinta Judul buku: Agar Cinta Bersemi Indah Penulis: M. Fauzil Adhim Tebal buku: 2! halaman Cetakan: Pertama" Agustus 2!!2 Penerbit: #ema Insani Press" Jakarta Menerima $endam$ing kita a$a adanya dengan tidak berhara$ terlalu banyak" meru$akan bekal untuk men%a$ai kemesraan dalam rumah tangga dan kebahagiaan di akhirat. &ebagai hamba yang dianugerahi 'itrah" kita memang $erlu menyeimbangkan hara$an. Tak salah kita berd(a mem(h(n suami yang sem$urna" teta$i $ada saat yang sama kita )uga harus mela$angkan dada untuk menerima kekurangan. Kita b(leh meman%angkan hara$an" ta$i kita )uga $erlu bertanya a$a yang sudah kita $ersia$kan agar layak mendam$ingi $asangan idaman. Ini bukan berarti kita tidak b(leh mem$unyai keinginan untuk mem$erbaiki kehidu$an kita" rumah tangga kita" serta $asangan kita. Akan teta$i" semakin besar hara$an kita dalam $ernikahan semakin sulit kita men%a$ai kebahagiaan dan kemesraan. &ebaliknya" semakin tinggi k(mitmen $ernikahan kita *marital %(mmitment+ akan semakin lebar )alan yang terbentang untuk mem$er(leh kebahagian dan ke$uasan. A$a bedanya hara$an dan k(mitmen, A$a $ula $engaruhnya terhada$ keutuhan rumah tangga kita, -ara$an terhada$ $erka inan menun)ukkan a$a yang ingin kita da$atkan dalam $erka inan. Bila kita memiliki hara$an $erka inan yang sangat besar" sulit bagi kita untuk menerima $asangan a$a adanya. Kita akan selalu melihat dia $enuh kekurangan. Jika kita menikah karena ter$es(na (leh ke%antikannya" kita akan segera kehilangan kemesraan sehingga tidak bisa berlemah lembut begitu istri kita sudah tidak

Upload: fadhil-sabda

Post on 03-Nov-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Indahnya Ketulusan Cinta

Indahnya Ketulusan Cinta

Judul buku: Agar Cinta Bersemi Indah

Penulis: M. Fauzil Adhim

Tebal buku: 280 halaman

Cetakan: Pertama, Agustus 2002

Penerbit: Gema Insani Press, Jakarta

Menerima pendamping kita apa adanya dengan tidak

berharap terlalu banyak,

merupakan bekal untuk mencapai kemesraan dalam rumah

tangga dan kebahagiaan

di akhirat.

Sebagai hamba yang dianugerahi fitrah, kita memang

perlu menyeimbangkan

harapan. Tak salah kita berdoa memohon suami yang

sempurna, tetapi pada

saat yang sama kita juga harus melapangkan dada untuk

menerima kekurangan.

Kita boleh memancangkan harapan, tapi kita juga perlu

bertanya apa yang

sudah kita persiapkan agar layak mendampingi pasangan

idaman.

Ini bukan berarti kita tidak boleh mempunyai keinginan

untuk memperbaiki

kehidupan kita, rumah tangga kita, serta pasangan

kita. Akan tetapi,

semakin besar harapan kita dalam pernikahan semakin

sulit kita mencapai

kebahagiaan dan kemesraan. Sebaliknya, semakin tinggi

komitmen pernikahan

kita (marital commitment) akan semakin lebar jalan

yang terbentang untuk

memperoleh kebahagian dan kepuasan.

Apa bedanya harapan dan komitmen? Apa pula pengaruhnya

terhadap keutuhan

rumah tangga kita? Harapan terhadap perkawinan

menunjukkan apa yang ingin

kita dapatkan dalam perkawinan. Bila kita memiliki

harapan perkawinan yang

sangat besar, sulit bagi kita untuk menerima pasangan

apa adanya. Kita akan

selalu melihat dia penuh kekurangan. Jika kita menikah

karena terpesona

oleh kecantikannya, kita akan segera kehilangan

kemesraan sehingga tidak

bisa berlemah lembut begitu istri kita sudah tidak

memikat lagi. Betapa

cepat dan berlalu dan betapa besar nestapa yang harus

ditanggung.

Sementara itu, komitmen perkawinan lebih menunjukkan

rumah tangga seperti

apa yang ingin kita bangun. Kerelaan untuk menerima

kekurangan, termasuk

mengikhlaskan hati menerima kekurangannya membuat kita

lebih mudah

mensyukuri perkawinan.

Disebabkan oleh komitmen yang sangat kuat pada Allah

dan Rasul-Nya istri

Julaibib mengikhlaskan hati untuk menikah dengan

Julaibib. Yang baru

semalam usia pernikahan mereka Julaibib mengakhiri

hayat di medan syahid.

Ketika ibunya merasa tidak rela dikarenakan rendahnya

rendahnya martabat

dan buruknya perawakan fisik, ia meminta agar orang

tuanya menerima

pinangan itu kalau memang Rasulullah saw. yang

menentukan.

Orang yang melapangkan hati untuk menenggang

perbedaan, cenderung akan

menemukan banyak kesamaan. Perbedaan itu bukan lantas

tidak ada, tetapi

kesediaan untuk menenggang perbedaan membuat kita

mudah untuk melihat

kesamaan dan kebaikannya. Sebaliknya, kita akan merasa

tidak nyaman

berhubungan dengan orang lain, tidak terkecuali

pendamping hidup kita, bila

kita sibuk mempersoalkan perbedaan. Apalagi jika kita

sering

menyebut-nyebutnya, semakin terasa perbedaan itu dan

semakin tidak nyaman

membina hubungan dengannya.

Semoga Allah melindungi kita dari mempersoalkan

perbedaan tanpa mengilmui.

Semoga Allah menjauhkan kita dari kesibukan yang

membinasakan. Semoga Allah

pula kelak mengukuhkan ikatan perasaan di antara kita

dengan kasih sayang,

ketulusan, dan kerelaan menenggang perbedaan.

Sesungguhnya telah berlalu

umat-umat sebelum kita yang mereka binasa karena sibuk

mempersoalkan

perbedaan dan memperdebatkan hal-hal yang menjadi

rahasia Allah.

Nah, jika mempersoalkan perbedaan, menyebut-nyebutnya,

dan mengeluhkannya

akan membuat hubungan renggang, mengapa tidak

melapangkan hati untuk

menenggangnya? Sesungguhnya menenggang perbedaan akan

menumbuhkan kasih

sayang dan kemesraan yang hangat. Ada perasaan

mengharukan yang sekaligus

membahagiakan jika kita memberikan untuknya apa yang

ia sukai.

Untuk itu, ada tiga hal yang perlu kita pahami agar ia

mempercayai

ketulusan kita. Pertama, berikanlah perhatian yang

hangat kepadanya.

Besarnya perhatian membuat dia merasa kita sayang dan

kita cintai. Kedua

terimalah ia tanpa syarat. Penerimaan tanpa syarat

menunjukkan bahwa kita

mencintainya dengan tulus. Tidak mungkin menerima dia

apa adanya jika kita

tidak memiliki ketulusan cinta dan kebersihan niat.

Ketiga, ungkapkanlah

dengan kata-kata yang tepat.

Berkaitan dengan ungkapan ini, ada sebuah tips yang

ahsan yang disampaikan

oleh ustaz yang kini masih mengajar di jurusan

Psikologi, UII, Yogyakarta

ini. Yakni terminologi "aku" dan kamu". Saat kita

mendapatkan bahwa masakan

yang dibuat pasangan kita keasinan misalnya, maka

gunakanlah kata ganti

"aku" . "Aku lebih suka kalau sayurnya lebih manis,

sayang" Tapi saat kita

mendapatkan suatu kelebihan pada diri pasangan, ia

sukses menggoreng telor

dadar misalnya (biasanya ia menggoreng berkerak), maka

kita gunakan kata

ganti "kamu". "Kamu memang pintar, istriku". Kita

gunakan kata "aku" untuk

sesuatu yang sifatnya negatif dan "kamu" untuk sesuatu

yang sifatnya

positif. Untuk semua hal.

Tampaknya memang benar, karena penggunaan kata ganti

"kamu" untuk sebuah

kesalahan yang telah dilakukan oleh pasangan kita

cenderung menyaran pada

arti memvonis alih-alih memosisikan pasangan kita

sebagai tertuduh.

Dalam perspektif pragmatik (linguistik), terminologi

ini merupakan sebuah

upaya penggunaan maksim kesopanan dengan tetap

mempertahankan maksim kerja

sama. Dengan tujuan agar tidak terjadi konflik pada

keduanya.

Berangkat dari petunjuk Allah ini tidak layak bagi

kita untuk sibuk

mempersoalkan kekurangan ataupun kesalahan, apalagi

kekurangan yang sulit

dihilangkan, sepanjang ia tidak melakukan kekejian

yang nyata. Betapa pun

banyak yang tidak kita sukai darinya, kemesraan

dengannya tak akan pudar

jika kita mencoba untuk berbaik sangka kepada Allah,

barangkali di balik

itu Allah berikan kebaikan yang sangat besar.

Sebaliknya, sesedikit apa pun

keburukannya, bila kita sibuk menyebut-nyebut dan

mengingatnya, akan sangat

memberatkan jiwa. Dampak selanjutnya tidak hanya bagi

hubungan suami istri,

tetapi merembet pada hubungan kita dan si kecil.

Terimalah ia apa adanya. Terimalah kekurangannya

dengan keikhlasan hati

maka akan kita temukan cinta yang bersemi indah.

Sesudahnya berupaya

memperbaiki dan bukan menuntut untuk sempurna.

Bukankah kita sendiri

mempunyai kekurangan, mengapa kita sibuk menuntut

istri untuk sempurna? Ada

amanat yang harus kita emban ketika kita menikah. Ada

ruang untuk saling

berbagi. Ada ruang untuk saling memperbaiki. Dan bukan

saling mengeluhkan,

alih-alih menyebut-nyebut kekurangan.

Pahamilah kekhilafannya agar ia merasa ringan dalam

memperbaiki, meski

bukan berarti kita lantas membiarkan kesalahan.

Berikanlah dukungan dan

kehangatan kepadanya sehingga ia berbesar hati

menghadapi

tantangan-tantangan yang ada di depan. Tunjukkanlah

bahwa kita memang

sangat menghargainya, menerimanya dengan tulus, mau

mengerti dan

bersemangat mendampinginya.

Dalam buku ini Ustaz Fauzil memang tidak hanya

membahas seputar keikhlasan

menerima pasangan kita apa adanya. Namun tampaknya

beliau memandang masalah

yang remeh temeh ini dalam beberapa hal telah menjadi

batu karang yang

cukup terjal yang kemudian melahirkan benih-benih

konflik dan

alih-alih perceraian.

Seperti pada bagian akhir, beliau menjelaskan

bagaimana upaya belajar itu

tidak sebatas menerima apa adanya, tetapi juga diikuti

dengan belajar

mendengar dengan sepenuh hati. Karena tidak jarang

kita bukan tidak paham

jawaban yang sesungguhnya diinginkan di balik

pertanyaan pasangan.

Cukup banyak hal sepele yang tampaknya kita anggap

telah kita berikan

tetapi ternyata hal itu jauh meleset dari dugaan. Kita

bukan mendengar

pasangan tetapi mendengar diri sendiri, kita bukan

memberi solusi tapi

malah menambah materi. Kita bukan memberi jalan keluar

alih-alih

menghakimi. Kita bukan memberikan jawaban, tetapi

malah memberikan

pertanyaan. Kita bukan meringankan tetapi malah

memberatkan. Benarkah?

Al akhir, kekayaan itu ada di jiwa. Dan keping

kekayaan itu dimulai dari

ketulusan menerima. Dengan kekayaan jiwa kita akan

lebih mudah memberikan

empati, lebih mudah untuk memahami, lebih mudah untuk

berbagi dan lebih

mudah mendengar dengan sepenuh hati.

Hari ini, ketika kita bermimpi tentang sebuah

pernikahan yang romantis

sementara ikatan batin di antara kita dan pasangan

begitu rapuh, sudahkah

kita berterima kasih kepadanya? Sudahkah kita meminta

maaf atas kesalahan

kesalahan kita? Jika belum, mulailah dengan meminta

maaf atas

kesalahan-kesalahan kita dan ungkapkan sebuah

panggilan sayang untuknya.

Mulailah dari yang paling mudah, hatta yang paling

remeh atau kecil

sekalipun. Mulailah dari yang paling kecil, demikian

Ustaz Aa' berpesan.

Little things mean a lot, demikian Ustaz Fauzil

menambahkan. Agar cinta

bersemi dalam keluarga kita, agar cinta senantiasa

berbunga dalam kehidupan

kita.

Masya Allah.Subhanallah.

Alhamdulillahirabbil alamiin.

Wallahu alam bisshawab.

(bagi yang belum menikah tidak usah khawatir, jika

engkau jaga risalah

Allah adalah sebuah keniscayaan jika Allah kan berikan

yang terbaik buat

antum, sekali lagi terbaik dalam perspektif Allah, dan

bukan perpektif kita)