implementasi peran satuan polisi pamong praja...
TRANSCRIPT
IMPLEMENTASI PERAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4
TAHUN 2005 TENTANG IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
DI KELURAHAN BATU IX KOTA TANJUNGPINANG
NASKAH PUBLIKASI
Oleh:
KARIANTO
NIM : 100565201135
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2015
IMPLEMENTASI PERAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4
TAHUN 2005 TENTANG IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
DI KELURAHAN BATU IX KOTA TANJUNGPINANG
KARIANTO
100565201135
ABSTRAK
Implementasi merupakan suatu kebijakan yang dibuat pemerintah dalam
membentuk suatu sistem pemerintahan yang baik, seperti pada Peraturan Daerah
Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Izin Mendirikan Bangunan. Fenomena yang ada
banyaknya bangunan yang tidak memiliki izin karena lemahnya pengawasan dari
Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tanjungpinang, permasalahan demikian perlu
penanganan tegas dan cepat dengan cara meningkatkan fungsi pengawasan dan
penindakan dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tanjungpinang. Hal tersebut
menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini.
Jenis dalam penelitian ini adalah deskriptif, yang bertujuan untuk
mengetahui faktor implementasi peran Satuan Polisi Pamong Praja Peraturan
Daerah Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Izin Mendirikan Bangunan Di Kelurahan
Batu IX Kota Tanjungpinang, Peneliti menggunakan teknik pengambilan sampel
purposive sampling dengan informan berjumlah 10 orang terdiri dari 4 orang
masyarakat Kelurahan Batu IX Kota Tanjungpinang dan 6 orang anggota Satuan
Polisi Pamong Praja dengan kepala Satuan Polisi Pamong Praja sebagai informan
kunci.
Pada penelitian ini konsep teori yang digunakan merupakan sebuah teori
dari Edward III bahwa variable keberhasilan implementasi yaitu : Komunikasi,
Sumber Daya, Kecenderungan-kecenderungan dan Struktur Birokrasi. Dari hasil
analisa dan temuan dalam penelitian ini yaitu kurangnya pengawasan,sosialisasi
dan penindakan yang tegas oleh Satuan Polisi Pamong Praja terhadap masyarakat
yang melanggar Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Izin Mendirikan
Bangunan, serta kurangnya kesadaran dari masyarakat itu sendiri untuk mematuhi
aturan tersebut. Diharapkan anggota Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Tanjungpinang dapat melaksanakan tugas nya dalam menegakkan Peraturan
Daerah Nomor 4 Tahun 2005 dan menindak lanjuti bangunan-bangunan yang
melanggar aturan
Kata Kunci : Implementasi, Peraturan Daerah, Satuan Polisi Pamong Praja
IMPLEMENTASI PERAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4
TAHUN 2005 TENTANG IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
DI KELURAHAN BATU IX KOTA TANJUNGPINANG
KARIANTO
100565201135
ABSTRAC
Implementation of a policy made by the government in establishing a
system of good governance, such as the Regional Regulation No. 4 of 2005 on
Building Permit. Phenomena that exist many buildings that do not have a license
because of weak supervision of the Civil Service Police Unit Tanjungpinang, such
issues need to be assertive and quick handling by improving the function of
oversight and enforcement of the Civil Service Police Unit Tanjungpinang. It
became formulation problem in this study.
Type in this research is descriptive, which aims to determine the
implementation of Regional Regulation No. 4 of 2005 on Building Permit In
village Stone IX Tanjungpinang, researchers used a technique purposive sampling with informants of 10 people consisting of 4 people Village Stone IX
Tanjungpinang and 6 members of the Civil Service Police Unit with the head of
Civil Service Police Unit as key informants.
In this study the theoretical concepts used is a theory of Edward III that
the variable success of implementation, namely: Communication, Resources,
trends and Bureaucratic Structure. From the analysis and findings in this study is
the lack of supervision, socialization and decisive action by the Civil Service
Police Unit of the society who violate Regional Regulation No. 4 of 2005 on
building permit, as well as lack of awareness of society itself to comply with these
rules. Expected member Civil Service Police Unit Tanjungpinang able to carry
out his duties in upholding the Regional Regulation No. 4 of 2005 and follow-up
buildings that violate the rules
Keywords: Implementation, Local Rules, Civil Service Police Unit
.
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kota pada hakikatnya adalah
suatu tempat yang akan berkembang
terus menerus sesuai dengan
perkembangan zaman dan potensi yang
dimilikinya. Dalam perkembangannya,
segala aspek akan ikut tumbuh dan
berkembang serta memunculkan
permasalahan yang kompleks pula.
Perkembangan dan perubahan suatu kota
terjadi pada kondisi fisik, ekonomi,
sosial dan politik. Dalam perubahan dan
perkembangan kota, para perencana kota
diharapkan mempertahankan atau
memelihara sesuatu yang baik tentang
kota dan berupaya merencanakan
pertumbuhan dan perubahannya.
Kota Tanjungpinang yang
merupakan kota yang dalam proses
pembangunan diberbagai aspek, salah
satu pembangunan di Kota
Tanjungpinang adalah pendirian
bangunan-bangunan gedung sebagai
sarana kebutuhan masyarakat dan pelaku
usaha untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi masyarakat kota
Tanjungpinang.
Pemerintah kota Tanjungpinang
sebagai daerah yang memiliki berbagai
produk hukum (peraturan daerah) tidak
hanya menjaga ketertiban dan
keamanan, namun harus mampu
mengatur berbagai aspek kehidupan
masyarakat, dari fungsi pengaturan ini
muncul beberapa instrument yuridis
untuk menghadapi sifat individualism
dari masyarakat dalam bentuk ketetapan,
atau izin. (Sutedi, 2010:179).
Adapun fungsi dari izin
mendirikan bangunan merupakan bentuk
legalisasi dari pemerintah kepada
perorangan atau badan hukum, menurut
(Sutedi, 2010 :199) terdapat dua fungsi
izin mendirikan bangunan yaitu :
1. Sebagai penertiban agar
setiap perizinan tidak
bertentangan satu sama lain,
karena pemerintah kota
Tanjungpinang harus
mengkoordinir setiap
kepentingan masyarakat yang
terkait, sehingga ketertiban
segi kehidupan masyarakat
dapat terwujud.
2. Sebagai pengatur, setiap izin
mendirikan bangunan harus
sesuai dengan
peruntukannya,
pembangunan harus
memperhatikan tata ruang,
lingkungan dan aspek
strategis.
Tujuan dari penerbitan izin
mendirikan bangunan, dapat dilihat dari
2 sisi yaitu, dari sisi pemerintah dan dari
sisi masyarakat. Dari sisi pemerintah
dapat melaksanakan aturan yang sudah
diterbitkan, apakah ketentuan dalam
peraturan tersebut telah sesuai dengan
kenyataannya, selain itu dengan adanya
izin mendirikan bangunan pemerintah
mendapatkan peningkatan sumber
pendapatan daerah, karena dengan
pemberian lisensi mendirikan bangunan
maka masyarakat perorangan atau badan
memiliki kewajiban untuk mengeluarkan
restribusi kepada pemerintah kota
Tanjungpinang. Dari sisi masyarakat
izin mendirikan bangunan bertujuan
agar masyarakat atau badan memiliki
kepastian hukum, kepastian hak atas
lisensinya, memudahkan masyarakat
mendapatkan fasilitas dari pemerintah.
Tujuan tersebut dapat tercapai apabila
masyarakat memiliki surat izin
mendirikan bangunan yang sah. (Sutedi,
2010: 201).
Berbagai permasalahan sering
dihadapi daerah perkotaan. Salah
satunya adalah terkait pembangunan
yang terkadang menyampingkan
kaedah-kaedah serta kententuan yang
berlaku. Dan untuk menindaklanjuti hal
tersebut Dinas Tata Kota mengharapkan
bila ada warga yang mendirikan
bangunan, hendaknya dikoordinasikan
dengan dinas tersebut, tujuannya adalah
untuk menentukan posisi terdekat
dengan suatu ruas jalan yang sesuai
dengan garis sepadan bangunan (GSB).
Terkait kebijakan Pemerintah
Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang
Izin mendirikan bangunan, Walikota
Tanjungpinang melalui peraturan
tersebut menyatakan bahwa untuk
mendirikan bangunan harus memegang
Izin Mendirikan Bangunan dari
Walikota Tanjungpinang atau pejabat
yang ditunjuk. Karena dengan telah
ditetapkannya Undang-undang Nomor 5
Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota
Tanjungpinang, perlu dilakukan
penataan, pengaturan dan pengawasan
terhadap Pertumbuhan Berdirinya
Bangunan-bangunan yang berkembang
semakin pesat di Wilayah Kota yang
pengaturannya disesuaikan dengan
Rencana Tata Ruang Kota
Tanjungpinang.
Namun pada kenyataan nya
kebijakan tersebut masih ada yang
mengabaikannya terlihat masih banyak
bangunan-bangunan yang masih tidak
memiliki Izin mendirikan bangunan.
Menanggapi hal tersebut Pemko
Tanjungpinang melalui Satpol PP
mengamcam untuk membongkar paksa
sejumlah bangunan yang tidak
mengantongi Izin Mendirikan Bangunan
(IMB), namun hingga saat ini bangunan
yang belum memiliki izin IMB tersebut
masih berdiri dan pemiliknya bebas
melakukan aktivitas, berikut peneliti
paparkan jumlah bangunan yang
memiliki dan tidak memiliki surat IMB
di Kelurahan Batu IX Kota
Tanjungpinang.
Melihat permasalahan diatas,
maka penulis menganggap betapa
pentingnya masyarakat mempunyai izin
dalam mendirikan bangunan, namun
kenyataan dilapangan yang penulis
temui tidak demikian adanya. Hal ini
dapat diketahui melalui gejala-gejala
sebagai berikut :
1. Masih banyak bangunan-bangunan
baik itu perumahan mupun ruko
yang masih belum mengantongi izin
mendirikan bangunan.
2. Kurangnya kesadaran dari
masyarakat untuk mematuhi
peraturan daerah Nomor 4 Tahun
2005 tentang Izin mendirikan
bangunan.
3. Kurangnya sosialisasi mengenai
peraturan daerah Nomor 4 tahun
2005 kepada masyarakat di
Kelurahan Batu IX Kota
Tanjungpinang.
Berdasarkan permasalahan diatas,
maka penulis tertarik ingin mengkaji
lebih dalam melalui penelitian ini
dengan judul penelitian “Implementasi
Peran Satuan Polisi Pamong Praja
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun
2005 Tentang Izin Mendirikan
Bangunan di Kelurahan Batu IX Kota
Tanjungpinang.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar
belakang diatas penulis mencoba untuk
merumuskan permasalahan sebagai
berikut: “Bagaimana Implementasi
Peran Satuan Polisi Pamong Praja
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005
Tentang Izin Mendirikan Bangunan di
Kelurahan Batu IX Kota
Tanjungpinang?”
C. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan
masalah tersebut diatas, tujuan
penelitian ini adalah untuk
mengetahui Implementasi Peran
Satuan Polisi Pamong Praja
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun
2005 Tentang Izin Mendirikan
Bangunan di Kelurahan Batu IX
Kota Tanjungpinang
2. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang
telah penulis uraikan sebelumnya
adapun manfaat dan kegunaan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi Pemerintah Kota
Tanjungpinang, hasil
penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan sebuah
pandangan baru, bahwa
sebagian masyarakat juga
menilai kebijakan
pemerintah Kota
tanjungpinang melalui
Satpol PP dalam
menertibkan bangunan-
bangunan yang belum
memiliki Izin Mendirikan
Bangunan. Dan tentunya
dengan adanya penelitian ini
Pemerintah Kota secara
langsung dapat menilai
apakah kebijakan yang
dibuatnya sudah terlaksana
dengan optimal atau tidak
b. Bagi Penulis, penelitian ini
merupakan sebuah ilmu
baru yang dapat
memberikan gambaran
tentang sejauh mana
pelaksanaan yang sudah
dibuat oleh Pemerintah Kota
Tanjungpinang Nomor 4
Tahun 2005 tentang Izin
Mendirikan Bangunan dan
sekaligus melihat
implementasi Satpol PP
dalam Penegakan Peraturan
Daerah tersebut.
c. Bagi Pihak Lain, dengan
adanya penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan
bahan masukan dan ilmu
pengetahuan yang baru
tentang judul yang penulis
teliti. Serta dapat dijadikan
sumber informasi bagi pihak
lain yang ingin melakukan
penelitian yang sama
dengan objek penelitian
yang berbeda.
D. Konsep Operasional
Guna mencapai realitas dalam
rangka penelitian empiris, maka
sejumlah kosep yang masih abstrak
perlu dioperasionalkan agar benar-benar
menyentuh fenomena yang akan diteliti.
Konsep-konsep yang dioperasionalkan
tersebut perlu dilakukan pengukuran
guna mempermudah memperoleh data
dan kesimpulan yang akan diberi skor
atas konsep-konsep dari masing-masing
indicator.
Implementasi kebijakan adalah
suatu kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah dalam hal ini pemerintah
daerah, kebijakan yang dikeluarkan
tersebut harus diimplementasikan oleh
para implementator karena ini
menunjukkan berhasil dengan
ketidakberhasilan dari kebijakan.
Adapun yang menjadi indikator
penelitian adalah faktor dalam proses
implementasi kebijakan menurut
Edward III dalam Winarno (2012:177) :
1. Komunikasi, merupakan suatu
program yang dapat
dilaksanakan dengan baik
apabila jelas bagi para
pelaksana. Hal ini menyangkut
proses penyampaian informasi,
kejelasan informasi dan
konsistensi infomasi yang
disampaikan. Dengan indikator
sebagai berikut :
a. Menyampaikan himbauan
kepada masyarakat di
Kelurahan Batu IX Kota
Tanjungpinang untuk
mengantongi izin
mendirikan bangunan.
b. Mengadakan sosialisasi
tentang izin mendirikan
banguanan kepada
masyarakat Keluraha Batu
IX kota tanjungpinang.
2. Resouces (sumber daya), dalam
hal ini meliputi empat
komponen yaitu terpenuhinya
kualitas mutu, informasi yang
diperlukan guna pengambilan
keputusan atau kewenangan
yang cukup untuk melaksanakan
tugas sebagai tanggungjawab
dan fasilitas yang di butuhkan
dalam pelaksanaan. Dengan
indikator sebagai berikut :
a. Mengadakan pelatihan
tentang cara dalam
mendapatkan izin
mendirikan bangunan guna
meningkatkann masyarakat
yang berkualitas.
b. Melakukan penertiban
berdasarkan wewenang dan
tanggungjawab sesuai
dengan peraturan yang telah
ditetapkan.
3. Disposisi, sikap dan komitmen
dari pada pelaksanaan terhadap
program khususnya dari mereka
yang menjadi pelaksana
program, dalam hal ini aktor
pelaksana masyaraka di
Kelurahan Batu IX Kota
Tanjungpinang, dengan
indikator sebagai berikut :
a. Kesadaran masyarakat di
Kelurahan Batu IX Kota
Tanjungpinang untuk
mematuhi peraturan tentang
izin mendirikan bangunan.
b. Pemberian sanksi bagi
masyarakat yang tidak
mematuhi peraturan tentang
izin mendirikan bangunan di
Kelurahan Batu IX Kota
Tanjungpinang.
4. Struktur birokrasi. Yaitu SOP (
Standar Operating Procedures)
yang mengatur tata aliran dalam
pelaksanaan program, seperti:
a. Mengadakan koordinasi
memilih koordinator yang
tepat dalam mengatur
masalah peraturan yang
berlaku dalam hal ini
peraturan Walikota Nomor
4 tahun 2005 Tentang izin
mendirikan bangunan Kota
Tanjungpinang.
b. Melakukan pengawasan
kepada masyarakat yang
mendirikan bangunan di
Kelurahan Batu IX Kota
Tanjungpinang.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah
penelitian deskriptif yaitu berupaya
menggambarkan suatu fenomena yang
diteliti secara apa adanya dilapangan.
Menurut Sugiyono (2005:87), bahwa
“penelitian deskriptif adalah penelitian
yag dilakukan untuk mengetahui nilai
variable mandiri, baik satu variable atau
lebih (indevenden) tanpa membuat
perbandingan, atau menghubungkan
antara variable satu dengan variable
lain”. Dengan menggunakan data
kualitatif yang dinyatakan dalam bentuk
kata, kalimat, dan gambar.
2. Lokasi Penelitian
Sesuai dengan batasan masalah,
sasaran dan objek penelitian dan agar
lebih terarah dalam mengumpulkan
data-data penelitian maka peneliti
menetapkan lokasi penelitian ini di
Kelurahan Batu IX Kota Tanjungpinang.
Yang mana lokasi tersebut penulis
jadikan pertimbangan karena saat ini di
Kelurahan Batu IX sangat banyak sekali
didirikan bangunan-bangunan baik
berupa perumahan maupun rumah toko
(ruko).
3. Informan
Dalam penelitian kualitatif,
tidak menggunakan istilah populasi
ataupun sampel seperti dalam penelitian
kuantitatif. Populasi diartikan sebagai
kumpulan dari individu, gejala atau
fenomena dengan kualitas serta ciri-ciri
yang telah dtetapkan sedangkan sampel
adalah sebagian dari populasi itu
(sugiyono, 2008:297).
Dalam penelitian secara
keseluruhan penelitian ini menggunakan
teknik purposive sampling karena
peneliti akan memilih subjek yang
memiliki pengetahuan dan informasi
tentang fenomena yang tengah diteliti.
Menurut sugiyono (2006:218-219),
menjelaskan bahwa “teknik purposive
sampling” merupakan teknik
pengambilan sampel sumber data
dengan pertimbangan tertentu.
Pertimbangan tertentu ini, misalnya
orang tersebut dianggap paling tahu
tentang apa yang kita harapkan, atau
mungkin dia sebagai penguasa sehingga
akan memudahkan objek atau situasi
sosial yang diteliti.
Oleh karena itu, peneliti akan
menggunakan informan untuk
memperoleh berbagai informasi yang
diperlukan selama proses penelitian.
Yang dimaksud dengan informan kunci
(key informan) adalah mereka yang
mengetahui dan memiliki berbagai
informasi pokok yang diperlukan dalam
penelitian atau informan yang
mengetahui secara mendalam
permasalahan yang sedang diteliti.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka
yang menjadi informan dalam penelitian
ini berjumlah 10 orang terdiri dari:
1. Kepala Kantor Satuan Polisi
Pamong Praja Pemerintahan
Kota
Tanjungpinang berjumlah satu
orang sebagai key informan.
2. Staf Penegakan Peraturan
Perundang-undangan Daerah
(PPUD) Satuan
Polisi Pamong Praja
Pemerintah Kota Tanjungpinang
Terdiri dari satu
orang.
3. Staf Operasional dan
Ketentraman Ketertiban Umum
Kota Tanjungpinang
yang berjumlah satu orang.
4. Petugas Tindak Internal Satuan
Polisi Pamong Praja yang
bertindak
dibidang pengawasan izin yang
berjumlah tiga orang.
5. Masyarakat di Kelurahan Batu
IX Kota Tanjungpinang yang
mendirikan
bangunan yang berjumlah
empat orang.
4. Sumber dan Jenis Data
a. Data Primer
Data primer adalah jenis data
yang diperoleh secara langsung
dari subyek penelitian. Data ini
merupakan data yang diperoleh
secara langsung dari populasi
melalui wawancara secara
mendalam kepada responden
terkait judul penelitian ini yaitu
peran Satpol PP dalam
pelaksanaan penegakan peraturan
daerah Nomor 4 Tahun 2005
tentang Izin Mendirikan
Bangunan di Kota Tanjungpinang.
b. Data Sekunder
data sekunder adalah data yang
diperoleh atau dikumpulkan oleh
orang yang melakukan penelitian
dari sumber-sumber yang telah
ada. Data sekunder yang
diperoleh berasal dari referensi
buku-buku perpustakaan maupun
media lain yang berhubungan
dengan topik penelitian ini
Menurut Hasan dalam Iqbal
(2004:19) :
5. Teknik dan Alat Pengumpulan
Data
Dalam penelitian ini teknik dan
alat pengumpulan data yang akan
digunakan adalah sebagai berikut:
1. Observasi
Menurut Semiawan (2010:112)
observasi adalah kegiatan
mengumpulkan data langsung dari
lapangan. Dalam tradisi kualitatif,
data tidak akan diperoleh dibelakang
meja, tetapi harus terjun ke
lapangan, ke tetangga, ke organisasi
dan ke komunitas. Data yang berupa
observasi dapat berupa gambaran
tentang sikap, kelakuan, perilaku,
tindakan, keseluruhan interaksi antar
manusia.
2. Wawancara
Menurut Purbayu Budi santosa dan
Muliawan Hamdani (2007:14)
wawancara merupakan proses tanya
jawab atau interaksi antara pihak
pencari data atau peneliti selaku
pewawancara dengan responden
atau nara sumber yang berposisi
sebagai pihak yang diwawancarai.
Wawancara adalah teknik
pengumpulan data yang digunakan
penulis untuk mendapatkan
keterangan-keterangan lisan dan
berhadapan muka dengan orang
yang dapat memberikan keterangan
pada penulis. Wawancara dapat
dipakai untuk melengkapi data yang
diperoleh melalui tes. Sebelum
wawancara peneliti juga perlu
mempersiapkan pedoman
wawancara.
3. Dokumentasi
Yaitu mempelajari/memperhatikan
informasi yang diperoleh dari data –
data,sumber seperti tulisan,tempat,
dan kertas atau orang yang ada
didalam tempat penelitian yang
berhubungan dengan judul
penelitian
6. Teknik Analisa Data
Dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode analisis kualitatif.
Penelitian kualitatif merupakan kajian
yang menggunakan data-data teks,
persepsi, dan bahan-bahan tertulis lain
untuk mengetahui hal-hal yang tidak
terukur dengan pasti (intangible).
Teknik analisis data merupakan proses
pengaturan urutan data,
pengorganisasian yang mengarah kepada
suatu pola, kategori, dan satuan uraian
dasar. Dalam penelitian kualitatif, tidak
ada pendekatan tunggal dalam analisis
data
Miles dan Huberman dalam
Sugiyono (2011:337), mengemukakan
bahwa aktivitas dalam analisis data
kualitatif dilakukan secara interaktif dan
berlangsung terus menerus sampai
tuntas, sehingga datanya jenuh.
Aktivitas dalam analisis data yang
dimaksud, yaitu: data reduction, data
display, dan conclusion
drawing/verification.
1. Reduksi Data
Menurut Sugiyono (2011:338) Data
yang diperoleh dari lapangan
jumlahnya cukup banyak, untuk itu
maka perlu dicatat secara teliti dan
rinci. Mereduksi data berarti
merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal
yang penting, dicari tema dan
polanya. Dengan demikian data
yang telah direduksi akan
memberikan gambaran yang lebih
jelas, dan mempermudah peneliti
untuk melakukan data selanjutnya,
dan mencarinya bila diperlukan.
Dalam mereduksi data, akan
dipandu oleh tujuan yang akan
dicapai. Tujuan utama dari
penelitian kualitatif adalah pada
temuan. Oleh karena itu, sesuatu
yang dipandang asing dan tidak
memiliki pola harus dijadikan
perhatian peneliti dalam melakukan
reduksi data.
2. Data display (Penyajian Data)
Menurut Sugiyono (2011:338)
setelah data direduksi, maka langkah
selanjutnya adalah mendisplaykan
data. Melalui penyajian data
tersebut, maka data
terorganisasikan, tersusun dalam
pola hubungan, sehingga akan
semakin mudah dipahami.
Dalam penelitian kualitatif,
penyajian data bisa dilakukan dalam
bentuk uraian singkat, bagan,
hubungan antar kategori, flowchart,
dan sejenisnya yang paling sering
digunakan untuk menyajikan data
dalam penelitian kualitatif adalah
dengan teks yang bersifat naratif.
3. Penarikan kesimpulan (Verifikasi)
Menurut Sugiyono (2011:338)
Kesimpulan dalam penelitian
kualitatif yang diharapkan adalah
merupakan temuan yang
sebelumnya belum pernah aada.
Temuan dapat berupa deskripsi atau
gambaran suatu objek yang
sebelumnya masih remang-remang
atau gelap sehingga setelah diteliti
menjadi jelas, dapat berupa
hubungan kausal atau interaktif,
hipotesis atau teori.
Ketiga aktivitas dalam analisis data
tersebut memperkuat penelitian
kualitatif yang dilakukan yang
dilakukan oleh peneliti karena sifat
data dikumpulkan dalam bentuk
laporan, uraian dan proses untuk
mencari makna sehingga mudah
dipahami keadaannya baik oleh
peneliti sendiri maupun orang lain.
II LANDASAN TEORITIS
A. Pemerintahan
Pemerintahan merupakan suatu
fenomena yang awal dan
perkembangannya selalu berkaitan
dengan yang memerintah data yang
diperintah. Menurut Apter dalam
Labolo (2006:17), bahwa
pemerintah adalah: “Pemerintah itu
merupakan satuan yang paling
umum untuk melakukan tanggumng
jawab tertentu guna
mempertahankan sistem serta
melakukan monopoli praktis lewat
kekuasaan secara paksa”.
Yang mana dalam hal ini
pemerintah memiliki perangkat
aparatur Negara untuk tetap
mempertahankan sistem
pemerintahannya dalam mencapai
tujuannya untuk menciptakan
ketertiban dan ketentraman serta
kebutuhan melalui aparatur Negara
yang bertugas. Sedangkan menurut
Ndraha (2003:44), bahwa pengertian
ilmu pemerintahan adalah: “Ilmu
yang mempelajari bagaimana
pemerintah suatu unit kerja bekerja
memenuhi dan melindungi tuntutan
yaitu harapan dan kebutuhan yang
diperintah akan jasa public dan
layanan sipil dalam hubungan
pemerintah”.
Salah satu cara agar program
pemerintah berjalan dengan baik
sesuai dengan konsep teori yang
mana Satuan Polisi Pamong Praja
sebagai pihak yang terlibat dalam
hal pengamanan ketertiban dalam
hubungannya dengan pemerintah.
Harus mematuhi peraturan yang
dibuat oleh pemerintah khususnya
Pemerintah Kota Tanjungpinang.
B. Kebijakan Publik
1. Kebijakan Publik
Secara umum, istilah
“kebijakan” atau policy” digunakan
untuk menunjuk perilaku seseorang
aktor (misalnya seorang pejabat, suatu
kelompok, maupun suatu lembaga
pemerintahan) atau sejumlah aktor
dalam suatu bidang kegiatan tertentu
dalam hal ini pemerintahan. Menurut
Winarno (2012:19) mengemukakan
bahwa pemerintahan merupakan suatu
fenomena yang awal dan
perkembangannya selalu berkaitan
dengan hubungan yang memerintah dan
yang diperintah.
Menurut nugroho (2003:51)
kebijakan publik adalah jalan mencapai
tujuan bersama yang dicita-citakan.
Dalam hal ini tujuan yang dicita-citakan
adalah sesuai dengan tujuan bangsa
Indonesia yaitu mencapai masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan
pancasila (ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, demokrasi dan keadilan) dan
UUD 1945 (Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan hokum dan
tidak semata-mata kekuasaan), maka
kebijakan public adalah seluruh sarana
dan prasarana untuk mencapai tempat
tujuan tersebut.
Kebijakan publik merupakan
suatu aturan-aturan yang dibuat oleh
pemerintah dan merupakan bagian dari
keputusan politik untuk mengatasi
berbagai persoalan dan isu-isu yang ada
dan berkembang dimasyarakat.
Kebijakan public juga merupakan
keputusan yang dibuat oleh pemerintah
untuk melakukan pilihan tindakan
tertentu untuk tidak melakukan sesuatu
maupun untuk melakukan tindakan
tertentu. Pengertian kebijakan publik
menurut Anderson (2012:21):
“Kebijakan merupakan arah
tindakan yang mempunyai maksud
yang ditetapkan oleh seoarag aktor
atau sejumlah aktor dalam
mengatasi suatu masalah atau suatu
persoalan”.
Berdasarkan pengertian diatas
bahwa kebijakan publik adalah suatu
keputusan yang dibuat oleh pemerintah
berdasarkan permasalahan yang ada
dalam kegiatan yang dilakukan oleh
instansi pemerintah dalam rangka
penyelengaraan pemerintah.
2. Jenis-jenis Kebijakan Publik
Arti kebijakan publik juga
terdapat jenis-jenis kebijikan public.
Sesuai dengan jenis-jenis kebijakan
publik menurut Nugroho (2003:54-57) :
1. Pembagian pertama dari
kebijakan publik adalah makna
dari kebijakan public, bahwa
kebijakan public adalah hal-hal
yang diputuskan pemerintah
untuk dikerjakan dalam hal-hal
yang diputuskan pemerintah
untukl tidak dikerjakan atau
dibiarkan.
2. Pembagian jenis kebijakan
public yang kedua adalah
bentuknya. Kebijakan publik
dalam arti luas dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu kebijakan
dalam bentuk peraturan
pemerintah yang tertulis dalam
bentuk peraturan perundangan,
dan peraturan-peraturan yang
tidak tertulis namun disepakati,
yaitu yang disebut sebaga
konvensi-konvensi.
Dalam hal ini jenis-jenis kebijakan
public ada dua, yang pertama bahwa
kebijakan publik dilihat dari makna
kebijakan publik yaitu kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah, setiap kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah harus
dikerjakan serta dilaksanakan dan jenis
kebijakan publik yang kedua yaitu
kebijakan yang dibuat pemerintah dalam
bentuk peraturan perundangan,
peraturan daerah maupun peraturan yang
berdasarkan keputusan kepala daerah.
Adapun pengertian dari kebijakan
menurut nugroho (2003:7) adalah:
“Suatu aturan yang mengatur
kehidupan bersama yang harus
ditaati dan berlaku mengikat seluruh
warganya. Setiap pelanggaran akan
diberi sanksi sesuai dengan bobot
pelanggaran yang dilakukan dan
sanksi dijatuhkan didepan
masyarakat oleh lembaga yang
mempunyai tugas menjatuhkan
sanksi”. Sedangkan Udoji dalam
Solichin Abdul Wahab (1997:59)
dengan tegas mengatakan bahwa :
“Pelaksanaan kebijakan adalah
sesuatu yang penting, bahkan
mungkin jauh lebih penting dari
pembuatan kebijakan. Kebijakan-
kebijakan hanya akan berupa
impian atau rencana yang bagus,
yang tersimpan rapi dalam arsip
kalau tidak diimplementasikan”.
Hal diatas dapat disimpulkan
bahwa pelaksanaan terhadap suatu
kebijakan merupakan unsur yang lebih
penting disbanding sekedar membuat
kebijakan saja hal tersebut hanya akan
menjadi impian atau sekedar menjadi
arsip yang tersimpan rapi jika tidak di
laksanakan. Oleh karenanya bahwa
implementasi merupakan unsur yang
sangat penting sebagai kontinuitas dari
munculnya suatu kebijakan.
Berbeda dari pendapat
sebelumnya implementasi menurut
Edward, Winarno (2012:177)
menyebutkan bahwa :
“Implementasi kebijakan adalah
salah satu tahap kebijakan publik,
antara pembentukan kebijakan dan
konsekuensi-konsekuensi kebijakan
bagi masyarakat yang
dipengaruhinya. Jika suatu
kebijakan tidak tepat atau tidak
dapat mengurangi masalah yang
merupakan sasaran dari kebijakan,
maka kebijakan itu mungkin
mengalami kegagalan sekalipun
kebijakan itu diimplementasikan
dengan sangat baik. Sementara itu,
suatu kebijakan yang telah
direncanakan dengan sangat baik,
mungkin juga akan mengalami
kegagalan, jika kebijakan tersebut
kurang diimplementasikan dengan
baik oleh para pelaksana kebijakan”.
Berdasarkan pendapat diatas
bahwa dalam tahap kebijakan publik,
jika suatu kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah dalam hal ini pemerintah
daerah, kebijakan yang dikeluarkan
tersebut harus diimplementasikan oleh
para implementator karena ini
menunjukkan keberhasilan dan
ketidakberhasilan dari kebijakan
tersebut. Adapun faktor yang
mempengaruhi dari implementasi
kebijakan tersebut menurut Edward III
dalam Winarno (2012:177), menyatakan
bahwa faktor dalam proses implementasi
kebijakan yang dapat dilihat dari :
1. Komunikasi, merupakan suatu
program yang dapat
dilaksanakan dengan baik
apabila jelas bagi para
pelaksana. Hal ini menyangkut
proses penyampaian informasi,
kejelasan informasi dan
konsistensi infomasi yang
disampaikan.
2. Resouces (sumber daya), dalam
hal ini meliputi empat
komponen yaitu terpenuhinya
kualitas mutu, informasi yang
diperlukan guna pengambilan
keputusan atau kewenangan
yang cukup untuk melaksanakan
tugas sebagai tanggungjawab
dan fasilitas yang di butuhkan
dalam pelaksanaan.
3. Disposisi, sikap dan komitmen
dari pada pelaksanaan terhadap
program khususnya dari mereka
yang menjadi pelaksana
(implementasi) program dan
implementer program.
4. Struktur birokrasi.
Struktur organisasi-organisasi
yang melaksanakan kebijakan
memiliki pengaruh penting pada
implementasi. Salah satu dari aspek-
aspek struktual paling dasarnya
(Standar Operating Procedures).
Prosedur –prosedur biasa ini dalam
menenggulangi keadaan-keadaan
umum digunakan dalam organisasi-
organisasi public dan swasta.
C. Implementasi
Implementasi berasal dari bahasa
inggris yaitu to implement yang berarti
mengimplementasikan. Implementasi
merupakan salah satu tahap dalam
proses kebijakan publik. Biasanya
implementasi dilaksanakan setelah
sebuah kebijakan dirumuskan dengan
tujuan yang jelas. Implementasi adalah
suatu rangkaian aktifitas dalam rangka
menghantarkan kebijakan kepada
masyarakat sehingga kebijakan tersebut
dapat membawa hasil sebagaimana yang
diharapkan. Menurut Gaffar , Afan
(2009:295), bahwa pengaertian
implementasi adalah : “Rangkaian
kegiatan tersebut mencakup persiapan
seperangkat peraturan lanjutan yang
merupakan interpretasi dari kebijakan
tersebut. Misalnya dari sebuah undang-
undang muncul sejumlah Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden,
maupun Peraturan Daerah, menyiapkan
sumber daya guna menggerakkan
implementasi termasuk di dalamnya
sarana dan prasarana, sumber daya
keuangan, dan tentu saja siapa yang
bertanggung jawab melaksanakan
kebijakan tersebut, dan bagaimana
mengantarkan kebijakan secara konkrit
ke masyarakat”.
Implementasi atau pelaksanaan
merupakan perluasan aktivitas yang
saling menyesuaikan proses interaksi
antara tujuan dan tindakan
untukmencapainya serta memerlukan
jaringan pelaksana, birokrasi yang
efektif. Setiawan, Guntur (2004:39)
Pengertian implementasi yang
dikemukakan di atas, dapat disimpulkan
bahwa implementasi merupakan proses
untuk melaksanakan ide, proses atau
seperangkat aktivitas baru dengan
harapan orang lain dapat menerima dan
melakukan penyesuaian dalam tubuh
birokrasi demi terciptanya suatu tujuan
yang bisa tercapai dengan jaringan
pelaksana yang bisa dipercaya.
Implementasi atau pelaksanaan
adalah bermuara pada aktivitas, aksi,
tindakan, atau adanya mekanisme suatu
sistem. Implementasi bukan sekedar
aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang
terencana dan untuk mencapai tujuan
kegiatan. Usman Nurdin (2002:70)
Pengertian implementasi yang
dikemukakan di atas, dapat disimpulkan
bahwa implementasi adalah bukan
sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan
yang terencana dan dilakukan secara
sungguh-sungguh berdasarkan acuan
norma tertentu untuk mencapai tujuan
kegiatan. Oleh karena itu implementasi
tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi
oleh objek berikutnya.
Implementasi Kebijakan dan
Politik merupakan suatu proses untuk
melaksanakan kebijakan menjadi
tindakan kebijakan dari politik ke dalam
administrasi. Pengembangan kebijakan
dalam rangka penyempurnaan suatu
program. Harsono, Hanifah (2002:67)
Implementasi merupakan
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
individu atau pejabat-pejabat-pejabat
kelompok-kelompok pemerintah atau
swasta yang diarahkan pada tercapainya
tujuan-tujuan yang telah digariskan
dalam keputusan kebijakan. Solichin
(2001:65)
Implementasi kebijakan merupakan
tindakan-tindakan yang dilakukan baik
oleh individu atau pejabat-pejabat atau
kelompok-kelompok pemerintah swasta
yang diarahkan pada tercapainya tujuan-
tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijaksanaan. Van Meter
dan Van Horm (2008:139)
Berdasarkan pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa implementasi
merupakan suatu proses yang dinamis,
dimana pelaksana kebijakan melakukan
suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga
akhirnya akan mendapatkan suatu hasil
yang sesuai dengan tujuan atau sasaran
kebijakan itu sendiri.
Pengertian implementasi yang
dikemukakan di atas, dapat disimpulkan
bahwa implementasi adalah suatu
kebijakan dalam penyelesaian keputusan
demi tercapainya tujuan yang baik
dengan bergantung bagaimana
implementasi yang berjalan dengan baik
dalam melaksanakan proses
penyempurnaan akhir. Oleh karen itu
suatu implementasi baik diharapkan
dalam setiap program untuk terciptanya
tujuan yang diharapkan.
D. Peraturan Daerah
1. Pengertian Peraturan Daerah
Dalam penyelenggaraan otonomi
daerah, ada dua produk hukum yang
dapat dibuat oleh suatu daerah, salah
satunya adalah Peraturan Daerah.
Kewenangan membuat peraturan daerah
(Perda), merupakan wujud nyata
pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki
oleh suatu daerah dan sebaliknya,
peraturan daerah merupakan salah satu
sarana dalam penyelenggaraan otonomi
daerah. Perda ditetapkan oleh Kepala
Daerah setelah mendapat persetujuan
bersama DPRD, untuk penyelenggaraan
otonomi yang dimiliki oleh provinsi
/kabupaten/kota, serta tugas
pembantuan. Perda pada dasarnya
merupakan penjabaran lebih lanjut dari
peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, dengan memperhatikan cirri
khas masing-masing daerah. Perda yang
dibuat oleh satu daerah tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum
dan/ atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi,dan baru mempunyai
kekuatan mengikat setelah diundangkan
dengan dimuat dalam lembaran daerah
Peraturan Daerah merupakan
bagian dari peraturan perundang-
undangan, pembentukan suatu perda
harus berdasarkan pada asas
pembentukan peraturan perundang-
undangan. Oleh sebab itu, perda yang
baik itu adalah yang memuat ketentuan,
antara lain:
1). Memihak kepada rakyat banyak
2). Menjunjung tinggi hak asasi
manusia
3). Berwawasan lingkungan dan
budaya
Tujuan utama dari suatu perda
adalah untuk mewujudkan kemandirian
daerah dan memberdayakan masyarakat.
Dalam proses pembuatan suatu perda,
masyarakat berhak memberikan
masukan, baik secara lisan maupun
tertulis. Keterlibatan masyarakat
sebaiknya dimulai dari proses penyiapan
sampai pada waktu pembahasan
rancangan perda. Penggunaan hak
masyarakat dalam pelaksanaannya diatur
dalam peraturan tata tertib DPRD.
Rozali Abdullah (2005-133).
Kewenangan membuat peraturan
daerah adalah wujud nyata pelaksanaan
hak otonomi yang dimiliki oleh suatu
daerah dan sebaliknya, peraturan daerah
merupakan salah satu sarana dalam
penyelenggaraan otonomi daerah.
Peraturan daerah ditetapkan oleh Kepala
Daerah setelah mendapat persetujuan
dari DPRD. Pembentukan suatu
peraturan daerah harus berdasarkan pada
asas pembentukan peraturan perundang-
undangan pada umumnya yang terdiri
dari kejelasan tujuan, kelembagaan atau
organ pembentukan yang tepat,
kesesuaian antara jenis dan materi yang
muatan, kedayagunaan dan
kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan
keterbukaan. Muatan suatu peraturan
daerah yang baik harus mengandung
asas pengayoman, kemanusiaan,
kebangsaan, keadilan, kesamaan
kedudukan hukum dan pemerintahan,
ketertiban dan kepastian hukum dan
keseimbangan dalam proses
pembentukan suatu peraturan daerah,
masyarakat berhak memberikan
masukan, baik secara lisan, atau secara
tertulis. Keterlibatan masyarakat ini
dimulai dari proses penyiapan sampai
pada waktu pembahasan rencana
peraturan daerah. Proses penetapan
suatu peraturan daerah dilakukan dengan
penetapan sebagai berikut:
1). Rancangan peraturan daerah yang
telah disetujui oleh DPRD kepada
Bupati, disampaikan oleh
pimpinan DPRD kepada Bupati
untuk ditetapkan sebagai
peraturan daerah.
2). Penyampaian rancangan peraturan
daerah oleh pimpinan DPRD
kepada Bupati, dilakukan dalam
jangka waktu paling lama tujuh
hari, terhitung sejak tanggal
persetujuan bersama diberikan.
3). Rancangan peraturan daerah
ditetapkan Bupati paling lambat
tigapuluh hari sejak rancangan
tersebut mendapat persetujuan
bersama.
Peraturan daerah yang sudah
ditetapkan atau dinyatakan sah
disampaikan kepada pemerintah pusat
selambat-lambatnya tujuh hari setelah
ditetapkan. Apabila peraturan daerah
tersebut ternyata bertentangan dengan
kepentingan-kepentingan umum dapat
dibatalkan oleh pemerintah pusat.
2. Mekanisme Pembentukan
Peraturan Daerah
Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda) dapat berasal dari DPRD atau
Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, atau
Walikota). Raperda yang disiapkan oleh
Kepala Daerah disampaikan kepada
DPRD. Sedangkan Raperda yang
disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh
pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah.
Pembahasan Raperda di DPRD
dilakukan oleh DPRD bersama
Gubernur atau Bupati/Walikota.
Pembahasan bersama tersebut melalui
tingkat-tingkat pembicaraan, dalam
rapat komisi, panitia, alat kelengkapan
DPRD yang khusus menangani legislasi,
dan dalam rapat paripurna. Raperda
yang telah disetujui bersama oleh DPRD
dan Gubernur atau Bupati/Walikota
disampaikan oleh Pimpinan DPRD
kepada Gubernur atau Bupati/Walikota
untuk disahkan. Sedangkan tujuan utama
dari suatu peraturan daerah adalah untuk
mewujudkan kemandirian daerah dan
memberdayakan masyarakat. Dalam
proses pembuatan suatu peraturan
daerah, masyarakat berhak memberikan
masukan, baik secara lisan maupun
secara tertulis. Keterlibatan masyarakat,
sebaiknya dimulai dari proses penyiapan
sampai pada waktu pembahasan
rancangan peraturan daerah.
Penggunaan hak masyarakat dalam
pelaksanaannya diatur dalam peraturan
tata tertib DPRD. (Rozali Abdullah
(2005-133).
3. Peraturan Daerah Kota
Tanjungpinang Nomor 4 Tahun
2005
Sesuai dengan ditetapkannya
Undang -undang Nomor 5 Tahun 2001
tentang Pembentukan Kota
Tanjungpinang, perlu dilakukan
penataan, pengaturan dan pengawasan
terhadap Pertumbuhan Berdirinya
Bangunan -bangunan yang berkembang
semakin pesat di Wilayah Kota yang
pengaturannya disesuaikan dengan
Rencana Tata Ruang Kota
Tanjungpinang bahwa berdasarkan
pertimbangan diatas perlu dibentuk
Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang
tentang Izin Mendirikan Bangunan.
Dalam ketentuan Peraturan
Daerah Nomor 4 Tahun 2005 BAB II
Pasal 2 tentang Izin Mendirikan
Bangunan berisi:
1. Untuk mendirikan bangunan
harus ada Izin Mendirikan
Bangunan dari Walikota
Tanjungpinang atau Pejabat
yang ditunjuk.
2. Untuk memperoleh Izin
Mendirikan Bangunan yang
dimaksud dalam ayat (1)
pemohon mengajukan surat
permohonan dengan
mengisi formulir yang telah
disiapkan serta dibubuhi
materai yang ditunjuk
melalui pengawas
bangunan.
3. Pada surat permohonan
yang dimaksud ayat (2)
disertai dengan persyaratan
yang ditetapkan oleh
Walikota :
a. tanda bukti pemilikan
tanah ( sertifikat hak tanah
);
b. tanda bukti lunas Pajak
Bumi dan Bangunan ( PBB
);
c. gambar bangunan yang
terperinci ukurannya;
d. uraian tentang bahan-
bahan yang akan
dipergunakan campuran
dan ukuran bahan -
bahannya;
e. kartu Tanda Penduduk (
KTP ) pemohon;
f. pas foto si pemohon
sebanyak 3 lembar
ukuran 4 x 6 cm;
g. surat keterangan tidak
terlibat perkara Perdata /
Pidana atas tanah
maupun bangunan yang
akan diperbaiki /
rombak, dari Pejabat
yang berwenang;
h. untuk jenis bangunan
tertentu ( sesuai dengan
sifat penggunaan dan
pemilikan), harus
dilengkapi pula dengan
beberapa persyaratan
yang diperlukan untuk
itu, seperti surat izin
prinsip atau
rekomendasi dari
Instansi berwenang
setempat dimana
bangunan tersebut
didirikan.
4). Izin Mendirikan Bangunan
dapat diberikan apabila
sudah melunasi Retribusi
Izin Mendirikan Bangunan.
1. Keputusan tentang
penolakan harus
diberikan oleh Walikota
atau Pejabat yang
ditunjuk, kepada
pemohon dengan
menyebutkan alasan -
alasan penolakannya
dalam tenggang waktu 1
( satu ) bulan sejak
permohonan diterima.
2. Apabila dari pihak
pemohon keberatan atas
penolakan, yang
dimaksud dalam ayat
(1) dan (2), maka
Walikota atau Pejabat
yang ditunjuk
membentuk suatu
Panitia yang terdiri dari
3 ( tiga ) orang yang
masing -masing satu
orang ahli bidang
bangunan, satu orang
Pengawas Bangunan
dan satu orang lagi oleh
pemohon.
3. Panitia yang dimaksud
pada ayat (3), wajib
melakukan penilaian
dan menyampaikan
pendapatnya selambat-
lambatnya dalam tempo
waktu 8 ( delapan ) hari
kerja kepada Walikota
atau Pejabat yang
ditunjuk untuk diambil
suatu Keputusan.
4. Biaya untuk keperluan
Panitia tersebut diatas
dibeban kan kepada
pemohon.
Dalam BAB II Pasal 4 berbunyi
Tanpa Izin Mendirikan Bangunan
pekerjaan -pekerjaan boleh dilakukan :
1. perbaikan ringan-ringan,
mengecat / mengapur dan
memplaster / menutup retak –
retak pada dinding bata dengan
campuran semen;
2. memperbaharui lantai / langit-
langit dan atap selama tidak
merubah tinggi ruangan;
3. memperbaharui bagian-bagian
yang bergerak pada pintu dan
jendela asal tidak
4. merubah bentuk yang lama;
5. membuat sekatan kamar yang
dapat dipindahkan;
6. membuat emperan yang tidak
bertiang dengan penonjolann ya
tidak lebih tinggi dari 1, 5 ( satu
koma lima ) meter;
7. memperbaharui pagar yang
terbuat dari bata, besi dan kayu
dengan petunjuk teknis
8. membuat pagar yang tidak
permanen, dimana batas waktu
dan penggunaannya harus
dilaporkan kepada Walikota
atau pejabat yang berwenang
untuk mendapat persetujuan
Dalam BAB II Pasal 6 Izin
Mendirikan Bangunan yang telah
diberikan dapat dibatalkan apabila :
1. dalam waktu 6 ( enam ) bulan
setelah Izin Mendirikan
Bangunan diberik an pemegang
izin belum mulai bekerja;
2. pemegang Izin Mendirikan
Bangunan tidak lagi sebagai
orang yang berkepentingan atas
bangunan itu;
3. Walikota atau Pejabat yang
ditunjuk mengetahui bahwa
keterangan -keterangan yang
diberikan tidak benar, sehingga
Izin Men dirikan Bangunan
telah diberikan dengan tidak
semestinya;
4. pekerjaan Bangunan tidak
dilaksanakan menurut ketentuan
-ketentuan Peraturan Daerah ini
atau menyimpang dari
perjanjian yang ditentukan
dalam surat Izin Mendirikan
Bangunan.
Dalam Bab IV Pasal 9 tentang
Pemutihan Bangunan berbunyi sebagai
berikut:
1. Bangunan yang telah
didirikan tetapi tidak
memiliki Izin
Mendirikan Bangunan
dikenakan Pemutihan.
2. Pemilik Bangunan
wajib melaksanakan
Pemutihan Izin
Mendirikan
Bangunannya.
Dalam Bab IV Pasal 10 tentang
Pemutihan Bangunan berbunyi sebagai
berikut:
1. Bangunan yang sudah
didirikan tanpa Izin
Mendirikan Bangunan
dan tidak dapat
dikenakan Pemutihan,
diberikan dispensasi
untuk pemanfaatannya
dengan Surat Izin
Sementara.
2. Izin Sementara
sebagaimana dimak sud
ayat (1), tatacara dan
persyaratannya diatur
lebih lanjut oleh
Walikota.
3. Ketentuan dan syarat-
syarat bangunan yang
tidak dapat dikenakan
pemutihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1),
diatur dengan
Keputusan Walikota.
4. Pemilik Bangunan yang
dimaksud pada ayat (1)
setiap 3 (tiga) tahun
sekali, diwajibkan
mengajukan
permohonan untuk
memperpanjang Surat
Izin Sementara kepada
Walikota atau Pejabat
yang ditunjuk.
5. Surat Izin Sementara
baru dapat diberikan
apabila sudah diadakan
pemeriksaan bangunan
dan biaya Izin
Mendirikan Bangunan
sudah dilunasi oleh
pemohon.
6. Bangunan-bangunan
yang dimaksud ayat (1)
harus dibongkar tanpa
mendapat ganti.
Adapun Peraturan Daerah yang
mengatur tentang Izin Mendirikan
Bangunan terdapat juga pada peraturan
daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang
bangunan gedung pasal 9 memuat
berbagai ketentuan yang terkait dengan
Izin Mendirikan Bangunan yaitu:
1. Setiap perorangan/badan yang
mendirikan bangunan gedung
wajib memiliki IMB dari
pemerintah kota, kecuali
bangunan gedung fungsi khusus.
2. IMB adalah surat bukti dari
pemerintah kota bahwa pemilik
bangunan gedung dapat
mendirikan bangunan sesuai
dengan rencana teknis bangunan
gedung yang telah disetujui oleh
Pemerintah Kota.
3. Walikota menerbitkan izin
mendirikan bangunan gedung
untuk kegiatan:pembangunan
bangunan gedung baru, dan
prasarana bangunan gedung
rehabilitasi/renovasi bangunan
geduna dan/atau prasaranan
bangunan gedung, meliputi
perbaikan/perawatan,perubahan,
perluasan/pengurangan
pelestarian/pemugaran.
E. Satuan Polisi pamong Praja
1. Definisi Satuan polisi Pamong
Praja
Satuan polisi Pamong Praja
merupakan perangkat aparat pelaksana
layanan perlindungan dan penegak
hukum dalam konteks institusi
ketenteraman dan ketertiban (tramtib) di
lingkungan dimana ditugaskan. Kinerja
Satpol PP mengacu pada tugas pokok
dan fungsinya sebagai pembina
ketenteraman ketertiban masyarakat
(tramtibmas), pemberi layanan
perlindungan, pemberi peringatan dini
dan penanggulangan pemeliharaan
tramtibmas, dan penegak peraturan
daerah (perda). Secara keseluruhan
ruang geraknya dijiwai untuk
kepentingan terbaik bagi masyarakat,
dan sesuai dengan tatanan nilai yang
berlaku dalam masyarakat secara umum.
Tuntutan tugas aparat Satpol PP yang
bagitu luas ini tentu merupakan suatu
beban kerja tersendiri. Kuantitas beban
kerja yang demikian berat tentunya
merupakan permasalahan kinerja yan
spesifik bagi aparat satpol PP.
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia nomor 6 tahun 2010 tentang
satuan polisi pamong praja, dalam Bab I
(1) mengenai ketentuan umum
disebutkan Satuan Polisi Pamong Praja,
yang selanjutnya disingkat Satpol PP,
adalah bagian perangkat daerah dalam
penegakan Peraturan daerah (Perda) dan
penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat. Polisi
Pamong Praja adalah anggota Satpol PP
sebagai aparat pemerintah daerah dalam
penegakan Perda dan penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat.
Peraturan Daerah Kota
Tanjungpinang Nomor 6 Tahun 2003
tentang Pembentukan Organisasi dan
Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja
Kota Tanjungpinang berbunyi bahwa
untuk melaksanakan ketentuan pasal 11
dan pasal 68 ayat (1) Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, maka dipandang
perlu dibentuk Organisasi Perangkat
Daerah. bahwa salah satu Organisasi
Perangkat Daerah adalah Satuan Polisi
Pamong Praja yang keberadaannya
diperlukan bagi penyelenggaraan tugas
Pemerintah Daerah dalam memelihara
ket enteraman dan ketertiban serta
menegakkan Peraturan Daerah. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud huruf a dan b di atas perlu
ditetapkan Pembentukan Organisasi
danTata Kerja Satuan Polisi Pamong
Praja Kota Tanjungpinang dengan
Peraturan Daerah.
2. Tugas dan Kewajiban Satpol
PP
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia nomor 6 tahun 2010 tentang
satuan polisi pamong praja, dalam Bab
II (5) mennyatakan, tugas satuan polisi
pamong praja (Satpol PP) adalah :
1). Menyusun program dan
melaksanaan penegakan Perda,
menyelenggaraan ketertiban
umum dan ketenteraman
masyarakat serta perlindungan
masyarakat
2). Melaksanaan kebijakan
penegakan Perda dan peraturan
kepala daerah
3). Melaksanaan kebijakan
penyelenggaraan ketertiban umum
dan ketenteraman masyarakat di
daerah
4). Melaksanaan kebijakan
perlindungan masyarakat.
5). Melaksanaan koordinasi
penegakan Perda dan peraturan
kepala daerah, menyelenggaraan
ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat dengan
Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Penyidik Pegawai
Negeri Sipil daerah, dan/atau
aparatur lainnya.
6). Melakukan pengawasan terhadap
masyarakat, aparatur, atau badan
hukum agar mematuhi dan
menaati Perda dan peraturan
kepala daerah.
7). Melaksanaan tugas lainnya yang
diberikan oleh kepala daerah
Selanjutnya dalam Bab III (8) PP
Nomor 6/2010 disebutkan mengenai
kewajiban satpol PP dalam
melaksanakan tugasnya, yakni:
1). Menjunjung tinggi norma hukum,
norma agama, hak asasi manusia,
dan norma sosial lainnya yang
hidup dan berkembang di
masyarakat
2). Menaati disiplin pegawai negeri
sipil dan kode etik Polisi Pamong
Praja
3). Membantu menyelesaikan
perselisihan masyarakat yang
dapat mengganggu ketertiban
umum dan ketenteraman
masyarakat
4). Melaporkan kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia atas
ditemukannya atau patut diduga
adanya tindak pidana
5). Menyerahkan kepada Penyidik
Pegawai Negeri Sipil daerah atas
ditemukannya atau patut diduga
adanya pelanggaran terhadap
Perda dan/atau peraturan kepala
daerah.
Peraturan Daerah Kota
Tanjungpinang Nomor 6 Tahun 2003
Pasal 4 SATPOL PP mempunyai tugas
membantu Walikota dalam
penyelenggaraan Pemerintah Daerah di
bidang Ketentraman dan Ketertiban
umum serta menegakkan Peraturan
Daerah. Sedangkan pasal 5, dalam
menyelenggarakan tugas sebagaimana
dimaksud pada Pasal 4, SATPOL PP
mempunyai fungsi:
a. Perumusan kebijakan
penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban di Daerah;
b. Pelaksanaan penegakan kebijakan
Peraturan Daerah dan Keputusan
serta Kebijaksanaan Walikota;
c. Penyusunan program dan
pelaksanaan ketentraman dan
ketertiban, penegakkan Peraturan
Daerah dan Keputusan Walikota;
d. Koordinasi penegakkan Peraturan
Daerah, Keputu san Walikota dan
Peraturan Perundang-undangan
lainnya dengan aparat Kepolisian
Negara, Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) atau aparatur
lainnya.
3. Kewenangan Satuan Polisi
Pamong Praja
Adapun wewenang Satpol PP
No. 6 Th 2010 tentang Satuan Polisi
Pamong Praja bab III Pasal 6, Polisi
Pamong Praja berwenang :
1. Melakukan tindakan penertiban
nonyustisial terhadap warga
masyarakat, aparatur, atau badan
hukum yang melakukan
pelanggaran atas Perda dan/atau
peraturan kepala daerah.
2. Menindak warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum
yang mengganggu ketertiiban
umum dan ketenteraman
masyarakat.
3. Fasilitas dan pemberdayaan
kapasitas penyelenggaraan
perlindungan masyarakat.
4. Melakukan tindakan
penyelidikan terhadap warga
masyarakat, aparatur, atau badan
hukum yang diduga melakukan
pelanggaran atas perda dan/atau
peraturan kepala daerah.
5. Melakukan tindakan
administratif terhadap warga
masyarakat, aparatur, atau badan
hukum yang melakukan
pelanggaran atas perda dan/atau
aparatur lainnya.
III GAMBARAN UMUM
A. Sejarah Singkat Satuan Polisi
Pamong Praja Kota
Tanjungpinang
Satuan Polisi Pamong Praja
adalah perangkat pemerintah daerah
dalam memelihara ketentraman dan
keteertiban umum serta menegakan
Peraturan Daerah. Satuan Polisi Pamong
Praja merupakan perangkat daerah yang
dapat berbentuk Dinas Daerah atau
Lembaga Teknis Daerah. Satuan Polisi
Pamong Praja dapat berkedudukan di
daerah provinsi dan daerah Kabupaten
atau Kota.Di daerah Provinsi, Satuan
Polisi Pamong Praja dipimpin oleh
kepala yang berada di bawahdan
bertanggung jawab kepada Gubernur
melalui Sekretaris Daerah.Di daerah
Kabupaten atau Kota,Satuan Polisi
Pamong Prajadipimpin oleh kepala yang
berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Bupati atau Walikota melalui
Sekretaris Daerah.
Organisasi dan tata kerja Satuan
Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan
Peraturan Daerah (Perda), sehingga
antar daerah bisa saja memiliki
nama,organisasi,dan tata kerja yang
berbeda-beda. Polisi Pamong Praja
didirikan di Yogyakarta pada tanggal 3
Maret 1950 moto PRAJA WIBAWA,
untuk mewadahi sebagian ketugasan
pemerintah daerah. Sebenarnya
ketugasan ini telah dilaksanakan
pemerintah sejak zaman kolonial.
Sebelum menjadi Satuan Polisi Pamong
Praja setelah proklamasi kemerdekaan,
dimana diawali dengan kondisi yang
tidak stabildan mengancam Negara
Kesatuan Republik Indonesia
dibentuklah Detasemen Polisi sebagai
penjaga Keamanan Kapanewon di
Yogyakarta sesuai dengan Surat
Perintah Jawatan Praja di Daerah
Istimewa Yogyakarta untuk menjaga
ketentraman dan ketertiban masyrakat.
Pada tanggal 10 November
1948, lembaga ini berubah menjadi
Detasemen Polisi Pamong Praja.Di Jawa
ddan Madura, Satuan Polisi Pamong
Praja dibentuk pada tanggal 5 Maret
1950.Inilah awal mula terbentuknya
Satuan Polisi Pamong Prajadan oleh
sebab itu, setiap tanggal 3 Maret ditetap
sebagai Hari Jadi Satuan Polisi Pamong
Praja dan diperingati setiap tahun. Pada
tahun 1960, dimulai Pembentukan
Kesatuan Polisi Pamong Prajadi luar
Jawa dan Madura dengan dukungan para
petinggi Militer/Angkatan Perang.
Tahun 1962 namanya berubah menjadi
Kesatuan Pagar Baya untuk
membedakan dariKorps Kepolisian
Negara seperti seperti dimaksud dalam
UU No.13/1961 tentang Pokok-pokok
Kepolisian. Tahun 1963 berubah lagi
menjadi Kesatuan Pagar Praja. Istilah
Satuan Pamong Praja mulai terkenal
sejak pemberlakuan UU No. 5/1974
tentang Pokok-pokok di pemerintah di
Daerah.Pada Pasal 86 (1) disebutkan,
Satuan Polisi Pamong Praja merupakan
perangkat wilayah yang melakssanakan
tugas dekonsentrasi. Saat ini UU No.
5/1974 tidak berlaku lagi,digantikan
dengan UU No. 22/1999 dan direvisi
menjadi UU No. 32/2004 tentang
Pemerintah Daerah. Dalam Pasal 148
UU No/2004 disebutkan, Polisi Pamong
Praja adalah perangkat pemerintahan
daerah dengn tugas pkok menegakan
peraturan daerah, menyelenggarakan
ketertiban umum dan ketentraman
masyrakat sebagai pelaksanaan tugas
desentralisasi.
1. Visi dan Misi Satuan Polisi Pamong
Praja Kota Tanjung Pinang
A. Visi dan Misi
1. Visi
“Terwujudnya pemeliharaan
ketentraman dan ketertiban
umum,penegakan Peraturan
Daerah (PERDA) dan Peraturan
Kepala Daerah”
2. Misi
a. Memelihara ketentraman
dan ketertiban umum
penegakan Peraturan Daerah
dan Keputusan Kepala
Daerah serta Peraturan
pelaksanaan lainnya;
b. Memberdayakan
masyarakat menuju
terwujudnya kententraman
dan ketertiban umum;
c. Memberdayakan Polisi
Pamong Praja dan PPNS
menuju profesionalisme
dalam pelaksanaan tugas;
d. Menjalin kerja sama dan
kemitraan dengan Polisi
Pamong Praja di wilayah
Kabupatendalam
memelihara ketentraman
dan ketertiban umumserta
penegakan Peraturan Daerah
danKeputusan Kepala
Daerah serta peraturan
pelaksanaan lainya.
2. Struktur Organisasi Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Tanjungpinang
Struktur yang ada pada setiap
organisasi pada dasarnya merupakan
pembagian tugas,wewenang dan
tanggungjawab dari orang-orang yang
melaksanakan pekerjaan,sehingga
dengan jelas akan terlihat pembagian
tugas dari masing-masing bagian disertai
dengan perincian tugasnya masing-
masing.
Struktur organisasi Kantor Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Tanjungpinang,
terdiri dari:
1. Kepala Satuan
2. Sekretaris
3. Kepala Sub Bagian Umum dan
Kepegawaian
4. Kepala Sub Bagian Program
5. Kepala Sub Bagian Keuangan
6. Kepala Bidang Penegakan Perundang-
undangan
7. Kepala Bidang Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyrakat
8. Kepala Bidang Sumber Daya
Aparatur
9. Kepala Bidang Perlindungan
Masyrakat
10. Kepala Seksi Penyidik
11. Kepala Seksi
Pembinaan,Pengawasan dan Penyuluhan
12. Kepala Seksi Kerjasama
13. Kepala Seksi Operasi dan
Pengendalian
14. Kepala Seksi Teknis Fungsional
15. Kepala Seksi Bina Linmas
16. Unit Pelaksana Satpol PP
Kecamatan
IV IMPLEMENTASI PERAN
SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
DALAM PENEGAKAN
PERATURAN DAERAH
TANJUNGPINANG NOMOR 4
TAHUN 2005 TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN DI
KELURAHAN BATU IX KOTA
TANJUNGPINANG
Implementasi atau pelaksanaan
kebijakan adalah suatu kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini
pemerintah daerah yang kemudian harus
menujukkan keberhasilan dan
ketidakberhasilan dari kebijakan
tersebut, salah satu kebijakan tersebut
ialah berbentuk peraturan tertulis pada
peraturan EWali Kota Tanjungpinang
Nomor 4 Tahun 2005 tentang izin
mendirikan bangunan di kelurahan batu
IX Kota Tanjungpinang.
Implementasi Peraturan Walikota
Tanjungpinang Nomor 4 Tahun 2005
tentang izin mendirikan bangunan di
Kelurahan batu 9 Kota Tanjungpinang
belum terlaksana dengan baik hal ini
dikarenakan masih banyak bangunan
yang berupa ruko dan pewrumahan yang
belum mengantongi izin mendirikan
bangunan, hal tersebut diperkuat dengan
perbandingan data pada tahun 2014 yang
mana pelanggaran lebih besar dari tahun
2015, hal ini dapat dilihat dari data
bangunan yang ada atau belum
mengantongi izin. Adapun hal tersebut
dilihat pada tabel sebagai berikut :
Dalam penelitian ini, penulis
menetapkan beberapa dimensi beserta
indikator yang mempengaruhi dalam
implementasi peraturan daerah Nomor 4
Tahun 2005 tentang izin mendirikan
bangunan Kota Tanjungpinang, menurut
teori dari Edward III dalam Winarno
(2012:177). Adapun dimensi atau
indikator yang dimaksud sebagai berikut
:
A. Komunikasi
Komunikasi, merupakan suatu
program yang dapat dilaksanakan
dengan baik apabila jelas bagi para
pelaksana. Hal ini menyangkut proses
penyampaian informasi, kejelasan
informasi dan konsistensi infomasi yang
disampaikan melalui peraturan tersebut.
Beberapa bentuk implementasi
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005
yang dilaksanakan oleh Satauan Polisi
Pamong Praja melalui media
komunikasi antara lain :
1. Menyebarkan Himbauan Kepada
Masyarakat Dilingkungan
Kelurahan Batu IX Kota
Tanjungpinang
Imlementasi Peraturan Daerah
Nomor 4 Tahun 2005 tentang izin
mendirikan bangunan Kota
Tanjungpinang yang diambil
berdasarkan kasus yang terjadi di
Kelurahan Batu IX Kota Tanjungpinang
sebagian besar masyarakat sudah
mengetahui mengenai Peraturan Daerah
Nomor 4 Tahun 2005 tersebur.
Tidak semua tahu bahwa peraturan
dibuat untuk diberlakukan untuk
menegaskan perilaku masyarakat agar
tetap mematuhi perintah suatu peraturan
daerah yang telah dibuat. Namun tidak
sedikit dari masyarakat sadar akan
keberadaan dan berlakunya peraturan
tersebut, oleh sebab itu harus ada
pelaksanaan yang jelas dari peraturan
tersebut. Lalu bagai mana peraturan
tersebut dilaksanakan, tentu hal yang
pertama kali dilakukan adalah
mengiformasikan peraturan itu dengan
jelas kepada seluruh stakeholder yang
terlibat dalam peraturan tersebut.
Salah satunya dengan cara
memberitahukan mengenai keberadaan
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005
yang membahas mengenai masalah izin
mendirikan bangunan serta
menyebarkan kepada masyarakat di
Kelurahan Batu 9 Kota Tanjungpinang.
Pernyataan tersebut sesuai dengan
yang diungkapkan oleh informan Yudi
Kurniawan sebagai salah satu Staf
Penegakan Perundang-undangan Daerah
(PPUD) di Satuan Polisi Pamong Praja
Pemerintah Kota Tanjungpinang yang
mengatakan :
“bahwa ia mengetahui adanya
peraturan daerah tersebut dan
pelaksanaannya setiap masyarakat
harus mengantongi izin dalam
mendirikan bangunan, untuk
penyebarannya sendiri juga pernah
dilakukan dengan cara menyebarkan
surat edaran Peraturan Daerah Nomor
4 Tahun 2005”. (Wawancara tanggal 1
juni 2015)
Sesuai dengan pernyataan informan
diatas yang mengetahui adanya
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005
tentang izin mendirikan bangunan Kota
Tanjunghpinang dibuktikan dengan
adanya kewajiban bagi masyarakat
untuk mengantongi izin mendirikan
bangunan. Adapun mengenai
komunikasi yang dilakukan dengan cara
menyebarkan himbauan Peraturan
Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tersebut
sudah pernah dilakukan dengan cara
menyebarkan surat edaran Peraturan
Dearah Nomor 4 Tahun 2005 tentang
izin mendirikan bangunan kepada
masyarakat.
Hal senada juga diungkapkan oleh
informan Dian Asmara Siregar S.sos
sebagai Petugas Tindak Internal di
Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah
Kota Tanjungpinang yang
mengungkapkan:
“ bahwa ia mengatakan mengetahui
namun implementasi peraturan nomor 4
tahun 2005 tentang izin mendirikan
bangunan masih kurang afektif, karena
masih banyak kita dapati dilapangan
bangunan-bangunan yang belum
memilki izin, walaupun ada yang sudah
memilki izin tapi masih banyak juga
ditemui bangunan fisik nya menyalahi
izin.”(Wawancara tanggal 5 juni 2015)
Pernyataan Petugas Tindak Internal
diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa
petugas tindak internal mengetahui
tentang IMB namun banyak sekali
masyarakat yang bangunan nya tidak
memiliki IMB, hanya sebagian kecil saja
masyarakat yang telah mengantongi
IMB.
Berbeda dengan pengetahuan
masyarakat akan adanya IMB hal ini
diungkapkan oleh bambang masyarakat
Kelurahan Batu IX Kota Tanjungpinang
yang menyatakan bahwa:
“saya tidak mengetahui tentang
IMB, karena saya membeli bangunan
yang berupa warung pada teman saya,
dan teman saya tidak memberi tahu
tentang IMB”.(Wawancara tanggal 9
juni 2015)
Kurangnya informasi tentang aturan
IMB kepada pemilik bangunan dari
pemerintah Kota Tanjungpinang
menjadikan masyarakat mendirikan
bangunan tidak mengikuti aturan,
padahal aturan sudah dibuat sejak tahun
2005, namun masyarakat tidak paham
dengan aturan tersebut.
Adapun menurut informan Yusri
Sabarudin sebagai Staf Operasional
dan Ketentaraman Ketertiban Umum
yang menyatakan:
“ia mengatakan kalau masalah
mengetahui adanya IMB, ya jelas
mengetahui namun berjalan atau
tidaknya IMB tersebut itu yang saya
kurang mengetahui”.(Wawancara
Tanggal 15 juni 2015)
Aturan IMB memang diketahui oleh
pihak Staf Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat selanjutnya
berjalan atau tidak nya IMB tersebut
pihak Staf Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat kurang
mengetahuinya karena kurangnya
koordinasi dengan pihak-pihak lainnya
yang terkait dengan IMB.
Pendapat di atas diperkuat dengan
pernyataan oleh Kepala Satuan Polisi
Pamong Praja Pemerintah Kota
Tanjungpinang yang merupakan
Informan kunci mengenai Peraturan
Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang
izin mendirikan bangunan dilingkungan
Kelurahan Batu IX Kota Tanjungpinang
yang menyatakan:
“Bahwa ia mengatakan sangat jelas
mengetahui dan pelaksanaan peraturan
tersebut, dilakukan dari BP2T dan
instansi terkait, kaitannya dengan
Satuan Polisi Pamong Praja adala
sebagai penegak peraturan daerah,
pengawasan dan penindakan”.
(Wawancara tanggal 21 juni 2015)
Berdasarkan pendapat informan
kunci diatas bahwa ia sangat mengetahui
tentang peraturan perda nomor 4 tahun
2005 tentang izin mendirikan bangunan
dan pengawasan nya pun telah dilakukan
oleh anggota Satuan Polisi Pamong
Praja namun seharusnya pengawasan
dan penyebaran himbauan lebih baik
dilakukan dengan melibatkan seluruh
instansi-instansi terkait .
2. Mengadakan sosialisasi mengenai
izin mendirikan bangunan
dilingkungan Kelurahan Batu IX
Kota Tanjungpinang
Adapun didalam komunikasi juga
dilakukan sosialisasi dengan tujuan
untuk memperjelas serta menjaga
konsistensi informasi terhadap
pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4
Tahun 2005 izin mendirikan bangunan
di Kelurahan Batu IX itu sendiri.
Sosialisasi sangat penting dilakukan
dalam mengimplementsikan suatu
peraturan atau kebijakan, hal ini karena
sosialisasi tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia yang berorganisasi
atau berkelompok.
Maksud dan tujuan dari komunikasi
dengan jalan komunikasi untuk
memudahkan interaksi yang terjadi pada
kehidupan manusia sebagai makhluk
sosial. Untuk itu, implementasi
Peraturan Daerah tersebut bertujuan
mengawasi jalannya peraturan tersebut
dengan komunikasi yang ada. Dalam hal
ini masyarakat Kelurahan Batu IX Kota
Tanjungpinang mengetahui adanya
sosialisasi pelaksanaan Peraturan Daerah
Nomor 4 Tahun 2005 tentang izin
mendirikan bangunan Kota
Tanjungpinang namun sosialisasi
mengenai peraturan daerah Nomor 4
Tahun 2005 tersebut jarang dilakukan
sehingga masyarakat tidak mengetahui
sepenuhnya isi dari peraturan Nomor 4
Tahun 2005 dan proses pelaksanaan
pernyataan tersebut di ungkapkan oleh
informan Mulyanto sebagai salah satu
anggota Petugas Tindak Internal yang
mengatakan:
“ Bahwa sosialisasi pernah diadakan
namun penyampaiannya sama dengan
saat menyeberkan himbauan yaitu setiap
masyarakat harus memilki izin setiap
mendirikan bangunan yang berupa ruko
atau perumahan, sosialisasi tersebut
memang pernah dilakukan namun
sangat jarang sehingga sebagian kecil
saja masyarakat yang tahu mengenai isi
dari peraturan daerah tersebut”.
(Wawancara tanggal 6 juni 2015)
Sesuai dengan pernyataan informan
diatas bahwa sosialisasi mengenai
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005
tentang izin mendirikan bangunan di
Kota Tanjungpinang pernah dilakukan
proses penyampaiannya sama dengan
saat menyebarkan himbauan kepada
masyarakat. Namun sosialisasi sangat
jarang di laksanakan sehingga masyrakat
tidak mengetahui isi dari Peraturan
Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang
izin mendirikan bangunan di Kota
Tanjungpinang.
Hal tersebut diperkuat dengan
pernyataan informan Yudi Kurniawan
Staf Penegakan PPUD Satuan Polisi
Pamong Praja
“ bahwa ia mengatakan menyebarkan
himbauan sudah sering dilakukan
namun masyarakat cenderung apatis
harus ditegur dulu bahwa bangunan
harus memilki izin, karena tidak semua
masyarakat dengan mudah menerima
dan memahami tentang peraturan
tersebut”. (Wawancara tanggal 1 juni
2015)
Adapun menurut informan Yusri
Sabarudin sebagai Staf Operasional
dan Ketentaraman Ketertiban Umum
yang menyatakan:
“Kalau sosialisasi sudah pernah
dilakukan tapi memang sudah lama,
namun secara tidak langsung dimedia-
media massa sudah di
sosialisasikan”.(Wawancara tanggal 15
juni 2015)
Berdasarkan keterangan informan
Yusri Sabarudin diatas dapat ditarik
keasimpulan bahwa sosialisasi tentang
Izin Mendirikan Bangunan sudah
dilakukan namun sudah cukup lama,
sosialisasi IMB dilakukan melalui media
massa.
Berbeda dengan yang diungkapkan
oleh informan Toni sebagai masyarakat
yang mempunyai ruko di Kelurahan
Batu IX Kota Tanjungpinang yang
mengungkapkan:
“Bahwa selama ia memiliki bangunan
ini tidak pernah sekalipun diadakan
sosialisasi”. (Wawancara pada tanggal
10 juni 2015)
Hal diatas diperkuat dengan
pernyataan Kepala Satuan Polisi
Pamong Praja Pememerintag Kota
Tanjungpinang sebagai informan kunci
yang menyatakan:
“ Sosialisasi telah dilakukan oleh SKPD
namun tidak menyeluruh hanya ke pihak
pemuka masyarakat, RT dan RW.
Namun Satuan Polisi Pamong Praja
telah diarah kan melakukan himbauan
ke tingkat bawah selain melakukan
pengawasan Satuan Polisi Pamong
Praja juga harus mensosialisasikan
kepada masyarakat secara perorang-
orangan”.(Wawancara pada tanggal 21
juni 2015)
Sesuai dengan yang dinyatakan oleh
informan diatas bahwa sosialisasi
mengenai Peraturan Daerah Nomor 4
Tahun 2005 tentang izin mendirikan
bangunan di Kota Tanjungpinang
pernah dilakukan, namun hanya ke
sebagian masyarakat saja yaitu tokoh
masyarakat setempat.
Dalam penentuan suatu
keberhasilan sosialisasi kepada
masyarakat sangat diperlukan partipasi
dari keseluruhan instansi yang terlibat
dengan masalah izin mendirikan
bangunan untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
B. Resources (Sumber Daya)
Resouces (sumber daya)
merupakan sebuah komponen yaitu
terpenuhinya kualitas mutu, informasi
yang diperlukan guna pengambilan
keputusan atau kewenangan yang cukup
untuk melaksanakan tugas sebagai
tanggungjawab dan fasilitas yang di
butuhkan dalam pelaksanaan.
Berdasarkan pengertian diatas
dapat dijelaskan bahwa hal yang penting
dalam implementasi kebijakan adalah
dengan mengadakan pendidikan dan
pelatihan bagi para pelaksana yaitu
masyarakat, karena para pelaksana harus
memiliki kualitas yang diperlukan untuk
melaksanakan suatu kebijakan yang
telah ditetapkan oleh peraturan daerah.
Hal ini mengenai sumber daya
yaitu informasi, informasi juga
merupakan hal yang penting didalam
implementasi kebijakan. Informasi
mempunyai dua bentuk: pertama,
informasi mengenai bagaimana
melaksanakan suatu kebijakan.
Pelaksana-pelaksana (masyrakat) perlu
mengetahui apa yang dilakukan dan
bagaimana mereka harus melakukannya.
Bentuk kedua dari informasi adalah
ketaatan masyarakat terhadap peraturan
– peraturan pemerintah dalam hal ini
kewajiban masyarakat dalam
mengantongi izin mendirikan bangunan.
Dalam melaksanakan kebijakan
implementasi diperlukan wewenang
yang efektif dibutuhkan adanya
kerjasama dengana pelaksana lainnya
jikan ingin program yang dilaksanakan
berhasil.
Adanya bentuk implementasi
Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang
Nomor 4 Tahun 2005 tentang izin
mendirikan bangunan Kota
Tanjungpinang yang dilaksanakan
dikantor Satuan Polisi Pamong Praja
melalui sumber daya antara lain:
1. Mengadakan pelatihan aparatur
penegak perda yaitu Satuan Polisi
Pamong Praja Kota
Tanjungpinang guna
meningkatkan kualitas anggota
yang memadai
Salah satu bentuk implementasi
Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang
Nomor 4 Tahun 2005 tentang izin
mendirikan bangunan, dalam kualitas
para masyarakat dapat dilakukan dengan
mengadakan pelatihan bagi masyarakat
dengan tujuan meningkatkan sumber
daya khususnya bagi masyarakat.
Pelatihan sangat dibutuhkan
masyarakat karena dengan diadakannya
pelatihan dapat meningkatkan kesadaran
diri untuk mematuhi dan mentaati setiap
peraturan yang ada. Hal ini dibuktikan
bahwa anggota Satuan Polisi Pamong
Praja Perintah Kota Tanjungpinang
dalam mengimplementasikan Peraturan
Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang
izin mendirikan bangunan memerlukan
sumber daya yang berkualitas.
Pernyataan tersebut di perkuat
dengan yang diungkapkan informan
Dian Asmara Siregar S.sos Putugas
Tindak Internal (PTI) Satuan Polisi
Pamong Praja Pemerintah Kota
Tanjungpinang:
“ia mengatakan bahwa perlu dilakukan
pelatihan bagi Satuan Polisi Pamong
Praja karena pelatihan berperan
sebagai kemampuan dan pemahaman
anggota Satuan Polisi Pamong Praja
terhadap peraturan perda tersebut, oleh
karena itu pelatihan pada intinya harus
disosialisasikan karena tanpa sosialisasi
mustahil tujuan dari peraturan daerah
dapat tercapai. Setiap aturan baik
internal maupun eksternal itu
disampaikan melalui pelatihan-
pelatihan, jadi setiap aturan yang ada
itu harus disosialisasikan baik langsung
maupun tidak langsung melalui
tahapan-tahapan formal atau informal.
Dan setiap pelatihan dalam suatu
kegiatan yang sifatnya formal dilakukan
didalam ruangan dan melibatkan
berbagai pihak”. (Wawancara pada
tanggal 5 juni 2015)
Sesuai dengan yang diungkapkan
informan diatas bahwa perlu dilakukan
pelatihan bagi anggota Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Tanjungpinang
karena komunikasi yang efektif apabila
komunikator yang berperan dalam
sosialisasi dalam hal ini kemapuan dan
pemahaman terhadap Peraturan Daerah
Nomor 4 Tahun 2005 tentang izin
mendirikan bangunan dilingkungan Kota
Tanjungpinang dapat dilakukan melalui
pelatihan, pemantapan dan sebagainya,
yang pada intinya setiap aturan harus
disosialisasikan karena tanpa sosialisasi
tujuan dari peraturan daerah yang
dimaksud tidak akan tercapai.
Adapun menurut informan Yusri
Sabarudin sebagai Staf Operasional dan
Ketentraman Ketertiban Umum yang
menyatakan:
“Bahwa untuk sampai saat pelatihan
sangat jarang dilakukan dengan
permasalahan yang ada sehingga tidak
dapat berjalan sebagaimana yang
seharusnya dijalankan”.(Wawancara
pada tanggal 15 juni 2015)
Berdasarkan pernyataan diatas
dapat disimpulkan bahwa pelatihan
untuk satuan polisi pamong praja sangat
jarang dilakukan karena dengan
permasalahan yang ada dilingkungan
satuan polisi pamong praja.
Adapun menurut informan Yudi
Kurniawan Staf Penegakan PPUD
Satuan Polisi Pamong Praja yang
menyatakan :
“ Memang perlu dilakukan pelatihan,
karena tidak semua staf punya
pengetahuan tentang IMB, tapi kalau
untuk kabit dan kasi sudah melakukan
pelatihan,kemaren mereka berangkat
kejakarta untuk pelatihan,namun untuk
anggota masih sangat jarang sekali
melakukan pelatihan”.(Wawancara
tanggal 1 juni 2015)
\
Pelatihan-pelatiahan yang
diselenggarakan pemerintah daerah
maupun pemerintah pusat kepada Satuan
Polisi Pamong Praja Kota
Tanjungpinang hanya pada tingkat
pimpinan saja yang sering dilakukan
pelatihan tentang IMB, Sehingga segala
tindakan dan arahan dalam pengawasan
harus melalui keputusan pimpinan
terlebih dahulu.
Pernyataan diatas dipertegas
oleh Kepala Satuan Polisi Pamong Praja
Pemerintah Kota Tanjungpinang sebagai
key informan yang menyatakan:
“Bahwa dalam mengadakan pelatihan
perlu dilakukan bagi aparatur
penegakan peraturan daerah di satuan
polisi pamong praja agar lebih paham
serta bisa menyampaikan kepada
masyarakat tentang peraturan izin
mendirikan bangunan dengan baik dan
dapat dipahami oleh masyarakat”.
(Hasil wawancara pada tanggal 21 juni
2015)
Sesuai yang diungkapkan oleh
informan kunci yaitu Kepala Satuan
Polisi Pamong Praja Kota
Tanjungpinang bahwa mengadakan
pelatihan sangat perlu dilakukan agar
terciptanya aparatur-aparatur penegakan
peraturan yang berkualitas.
1. Melakukan penertiban
berdasarkan wewenang dan tanggung
jawab sesuai dengan informasi yang
diterima
Dalam sumber daya selain
mengadakan pelatihan juga diperlukan
informasi guna untuk pengambilan
keputusan berdasarkan tugas dan
wewenang yang cukup dengan tujuan
untuk melaksanakan tanggung jawab
dalam mengimlementasikan Peraturan
Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang
izin mendirikan bangunan di Kota
Tanjungpinang hal ini harus didukung
dengan fasilitas yang memadai, guna
meningkatkan kualitas kerja Satuan
Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota
Tanjungpinang terhadap usaha dalam
penertiban yang akan dilakukan.
Sesuai dengan pernyataan diatas
diperkuat oleh informan Yusri
Basaruddin Staf Operasional dan
Ketentraman Ketertiban Umum Kota
Tanjungpinang , yang mengungkapkan :
“Bahwa untuk proses pelaksanaan
penertiban merupakan kewenangan
bidang penegakan Perundang-undangan
yang pelaksanaannya pada unit petugas
tindak internal dalam hal ini yang
mempunyai bidang khusus yang berada
dilingkungan Satuan Polisi Pamong
Praja Pemerintah Kota
Tanjungpinang”. (hasil wawancara
pada tanggal 15 juni 2015)
Sesuai dengan yang diungkapkan
oleh informan diatas bahwa yang
mempunyai tugas dan wewenang dalam
pelaksanaan penertiban terhadap
penegakan perundang-undangan Satuan
Polisi Pamong Praja yang
pelaksanaannya pada unit petugas tindak
internal. Hal yang serupa juga
diungkapkan oleh Staf Penegakan
Peraturan Perundang-Undangan Daerah
(PPUD) Satuan Polisi Pamong Praja
Kota tanjungpinang yang menyatakan :
“Untuk proses penertiban berdasarkan
tugas dan wewenangnya di Satuan
Polisi Pamong Praja Kota
Tanjungpinang bidang yang mempunyai
tugas dan wewenangnya yaitu bidang
Petugas Tindak Internal Satuan Polisi
Pamuong Praja dan Penegakan
Perundang-undangan Satuan Polisi
Pamong Praja”.(Wawancara tanggal 1
juni 2015)
Berbeda dengan pernyataan dari
informan bambang sebagai masyarakat
kelurahan Batu IX Kota Tanjung Pinang
yang mengungkapkan:
“Saya tidak tahu siapa yang
melakukan wewenang untuk menindak
masyarakat yang tidak mempunyai IMB,
karena saya belum pernah didatangi
oleh petugas Satuan Polisi Pamong
Praja dari pihak
manapun”.(Wawancara 9 juni 2015)
Sebagian besar masyarakat pemilik
bangunan dikelurahan Batu IX Kota
Tanjungpinang tidak memahami tentang
adanya aturan IMB pada Nomor 4
Tahun 2005 sehingga masyarakat sama
sekali tidak berkeinginan mengetahui
petugas yang berwenag menindak IMB
di Satuan Polisi Pamong Praja.
Adapun menurut informan
Mulyanto sebagai salah satu anggota
Petugas Tindak Internal di Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Tanjungpinang,
menyatakan :
“bahwa pelaksanaan tugas berdasarkan
wewenangnya di Satuan Polisi Pamong
Praja sendiri ada petugas tindak
internal yang mempunyai tugas untuk
menindak dan membina anggota Polisi
Pamong Praja yang tidak mematuhi
peraturan tentang mengawasi
masyarakat yang tidak mengantongi izin
mendirikan bangunan”. (Hasil
wawancara pada tanggal 5 juni 20015)
Berdasarkan pendapat informan
diatas, untuk pelaksanaan tugas dan
wewenang dilingkungan Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Tanjungpinang
adanya petugas tindak internal yang
mempunyai tugas untuk membina
anggota Satuan Polisi Pamong Praja
dalam melakukan penertiban Peraturan
Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang
izin menirikan bangunan. Selanjutnya
informan kunci Kepala Satuan Polisi
Pamong Praja menyatakan bahwa:
“ Bahwa proses pelaksanaan penertiban
terhadap Satuan Polisi Pamong Praja
berdasarkan tugas dan wewenangnya di
Satuan Polisi Pamong Praja ada
Petugas Tindak Internal (PTI) itu yang
membedakan dengan Satuan Kerja
Perangkat Daerah lain atau yang dulu
disebut Provost dialah yang
menegakkan disiplin dan juga ada
pengawasan melekat baik melalui
komandan regunya, komandan
platonnya, kepala seksi, kepala bidang
dan secara berjenjang kepada kepala
Satuan Polisi Pamong
Praja”.(Wawancara tanggal 21 juni
2015)
Berdasarkan keterangan dari
informan kunci diatas dapat diambil
kesimpulan untuk proses pelaksanaan
petertiban yang mempunyai tugs dan
wewenang dilingkungan Satuan Polisi
Pamong Praja adanya unit Petugas
Tindak Internal yang membedakan
dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah
lain atau yang dulu disebut Provost
dialah yang menegakkan disiplin dan
juga ada pengawasan melekat baik
melalui komandan regunya, komandan
platonnya, kepala seksi, kepala bidang
dan secara berjenjang kepada kepala
Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah
Kota Tanjungpinang karena tingkatan
yang lebih tinggi.
C. Disposisi
Dalam proses keberhasilan
imlementasi adanya disposisi yaitu
sikap, komitmen dari para pelaksana,
khusuusnya darimereka yang menjadi
pelaksana program dalam hal ini actor
pelaksananya masyarakat dan Satuan
Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota
Tanjungpinang.
Kecenderungan dari para
pelaksana kebijakan merupakan faktor
ketiga yang mempunyai konsekuensi-
konsekuensi penting bagi imlementasi
kebijakan yang efektif. Jika para
pelaksana bersikap baik terhadap suatu
kebijakan tertentu, dan hal ini berarti
adanya dukungan, kemungkinan besar
mereka melaksanakan kebijakan sebagai
mana yang diinginkan oleh para
pembuat keputusan.
Berdasarkan hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa tindakan atau sikap
yang diambil oleh pelaksana cenderung
karena ingin melaksanakan kebijakan
berdasarkan adanya perintah. Dampak
dari kecenderungan sikap tersebut
adalah jika pelaksana merasa kebijakan
tersebut bertentangan dengan pandangan
maupun kepentingan pribadi maka
dalam hal ini cenderung menghambat
imlementasi terhadap kebijakan yang
dibuat, olehh karena itu kesadaran untuk
mengimlementasikan kebijakan dan
pemberian sangsi terhadap pelanggar
kebijakan sangat diperlukan dan menjadi
faktor penting dalam menimalisir
terjadinya kesalah pahaman terhadap isi
dari kebijakan tersebut. Adapun
indikatornya sebagai berikut :
1. Kesadaran masyarakat di
Kelurahan Batu IX Kota
Tanjungpinang untuk mematuhi
peraturan tentang izin
mendirikan bangunan
Sikap dan komitmen masyarakat
dalam mematuhi Peraturan Daerah
Nomor 4 Tahun 2005 tentang izin
mendirikan bangunan di Kota
Tanjungpinang secara pribadi sudah
mematuhi Peraturan Daerah Nomor 4
Tahun 2005 dan ada masih banyak yang
tidak mematuhi, karena untuk mematuhi
peraturan tersebut perlu adanya
kesadaran dari setiap individu itu
sendiri. Menurut informan Yusri
Sabarudin Staf Operasional dan
Ketentraman Ketertiban Umum Kota
Tanjungpinang , yang mengungkapkan :
“Masyarakat banyak yang tidak mau tau
tentang izin mendirikan bangunan
karena masyarakat beranggapan rumah
yang dibeli dari developer sudah diurus
oleh develofer dan masyrakat terima
bersih”.(Wawancara pada tanggal 15
juni 2015)
Hal tersebut diperkuat dengan
yang diungkapkan oleh informan Dian
Asmara Siregar sebagai petugas tindak
internal di Satuan Polisi Pamong Praja
Kota Tanjungpinang :
“ Secara pribadi masyarakat sudah ada
yang mematuhi peraturan daerah
tersebut akan tetapi masih banyak yang
melanggar aturan dari peraturan
tersebut disebabkan pengaruh ekonomi,
alasan pribadi seperti pembangunan
ruko yang mahal jadi terhambat dengan
anggaran untuk mengurus surat
izinnya”.(Wawancara pada tanggal 5
juni 2015)
Berdasarkan keterangan
informan diatas bahwa dalam
mengimplementasikan Peraturan Daerah
Nomor 4 Tahun 2005 tentang izin
mendirikan bangunan di Kota
Tanjungpinang secara keseluruhan
belum mematuhi Peraturan Daerah
Nomor 4 Tahun 2005 tersebut karenakan
adanya pengaruh ekonomi.
Adapun pernyataan dari
informan dewi selaku masyarakat di
Kelurahan Batu IX Kota Tanjungpinang
mengatakan bahwa :
“ Belum, karena masyarakat banyak
yang tidak mengetahui Peraturan
Nomor 4 Tahun 2005 tentang izin
mendirikan bangunan”.(Wawancara
pada tanggal 10 juni 2015)
Berdasarkan pendapat diatas
dapat peneliti simpulkan bahwa
peraturan tersebut sudah terlaksana
namun belum bisa dikatakan optimal
jika kurang adanya kesadaran dari
pelaksanaan peraturan tersebut untuk
mengikuti dan mematuhi ketentuan yang
berlaku didalamnya.
Selanjutnya Menurut informan
Staf Penegakan Peraturan Perundang-
Undangan Daerah Kota Tanjungpinang
mengatakan Bahwa:
“Memang tidak semua masyarakat yang
telah mematuhi Izin Mendirikan
Bangunan, karena dengan beberapa
alasan pengurusan nya yang lama dan
memakan biaya yang cukup besar”.
(Wawancara tanggal 1 juni 2015)
Berdasarkan wawancara dengan Staf
Penegakan Peraturan Perundang-
Undangan Daerah Kota Tanjungpinang
dapat disimpulkan bahwa masyarakat
sebagian besar masyarakat belum
mematuhi IMB karena prosesnya yang
rumit,lama dan butuh biaya yang besar.
Hal tersebut diperkuat oleh
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja
Pemerintah Kota Tanjungpinang sebagai
informan kunci yang menyatakan :
“Masih banyak sekali masyarakat yang
belum mematuhi Peraturan Daerah
Nomor 4 Tahun 2005 tentang izin
mendirikan bangunan, mungkin yang
mempunyai surat izin mendirikan
bangunan hanya mereka yang
mempunyai usaha sedangkan
masyarakat yang bagunan nya untuk
tempat tinggal banyak sekali yang tidak
memiliki izin mendirikan bangunan.
(Hail wawancara pada tanggal 21 juni
2015).
2. Pemberian sanksi atau hukuman
bagi mayarakat yang tidak
mematuhi peraturan tentang izin
mendirikan bangunan Kota
Tanjungpinang
Setiap kebijakan yang berlaku
mempunyai peraturan yang harus
dipatuhi didalamnya berdasarkan
undang-undang serta adanya sanksi-
sanksi yang melekat pada setiap
peraturan yang dikeluarkan baik dalam
peraturan yang berdasarkan keputusan
peraturan daerah. Sanksi tersebut
diberikan agar peraturan tersebut
terlaksana dengan baik oleh para
pelaksana peraturan dalam hal ini
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005
tentang izin mendirikan bangunan
akaotatanjungpinang.
Berdasarkan pernyatan yang telah
diuraikan di atas tersebut diperkuat
dengan pendapat dari informan (PPUD)
yang menyatakan bahwa :
“Suatu aturan yang mengatur
kehidupan bersama yang harus ditaati
dan berlaku mengikat seluruh
warganya. Setiap pelanggaran akan
diberi sanksi sesuai dengan bobot
pelanggaran yang dilakukan dan sanksi
yang dijatuhkan didepan masyarakat
oleh lembaga yang mempunyai tugas
menjatuhkan sanksi”. (Wawancara
tanggal 1 juni 2015)
Berdasarkan pendapat diatas
berbeda dengan pernyataan dari Toni
masyarakat Kelurahan Batu IX Kota
Tanjungpinang:
“Ia mengatakan selama 3 tahun
memiliki ruko yang ditempati sekarang
ini, belum pernah ada Petugas Satuan
Polisi Pamong Praja yang datang untuk
memeriksa IMB yang dimilikinya
apalagi untuk memberikan sanksi”.
(Wawancara tanggal 10 juni 2015)
Adapun Menurut Informan Yusri
Sabarudin Staf Operasional dan
ketentraman ketertiban Umum Kota
Tanjungpinang menyatakan bahwa :
“Pemberian sanksi dilakukan, pertama
petugas memberikan teguran kepada
masyarakat yang tidak memiliki IMB,
kemudian memberikan surat peringatan,
memasang plang peringatan terakhir
bangunan tersebut dibongkar”.
(Wawancara tanggal 15 juni 2015)
Dari pernyataan diatas dapat
disimpulkan bahwa Satuan Polisi
Pamong Praja melakukan pemberian
sanksi dengan beberapa tahapan-
tahapan, pertama petugas memberikan
teguran kepada masyarakat yang tidak
memiliki IMB, kemudian memberikan
surat peringatan, memasang plang
peringatan terakhir bangunan tersebut
dibongkar.
Pendapat diatas berbeda dengan
pernyataan informan Yudi Kurniawan
yang bertugas dibidang Regu Petugas
Tindak Internal Satuan Polisi Pamong
Praja Kota Tanjungpinang mengatakan :
“ Bahwa pemberian sanksi atas
peraturan daerah nomor 4 tahun 2005
ada dan diberlakukan, yang mana
sanksi tersebut diberikan berbentuk
surat peringatan dan surat teguran dari
pimpinan langsung. Apapun yang
berkaitan dengan pelanggaran itu ada
sanksinya dan faktor yang paling
berpengaruh yaitu adanya kesadaran
dan paksaan agar peraturan tersebut
berjalan sebagaimana mestinya”. (
Hasil wawancara pada tanggal 6 juni
2015)
Hal senada juga diungkapkan oleh
informan kunci Kepala Satuan Polisi
Pamong Praja dengan mengatakan:
“Ada. sanksi pertama dilakukan dengan
teguran tertulis, teguran lisan, apabila
kita temukan dilapangan ada
masyarakat yang membangun bangunan
tampa izin kita hentikan sementara
aktifitas dalam hal membangun tersebut,
setelah itu memberi sanksi dan terakhir
dibongkar paksa”.(Hasil wawancara
pada tanggal 21 juni 2015)
Pernyataan informan diatas
dapat disimpulkan adanya pemberian
sanksi atas peraturan daerah nomo 4
tahun 2005 tentang izin mendirikan
bangunan Kota Tanjungpinang. Sanksi
tersebut berupa surat peringatan dan
surat teguran langsung dari pimpinan
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Tanjungpinang, kemudian menghentikan
sementara aktifitas dalam hal
membangun tersebut, terakhir dibongkar
paksa.
D. Struktur Birokrasi
Struktur organisasi-organisasi yang
melaksanakan kebijakan memiliki
pengaruh penting pada implementasi.
Salah satu dari aspek-aspek struktual
paling dasarnya ( Standar Operating
Procedures). Prosedur –prosedur biasa
ini dalam menenggulangi keadaan-
keadaan umum digunakan dalam
organisasi-organisasi publik dan swasta.
Adapun hal tersebut diukur melalui sub
indicator sebagai berikut :
1. Mengadakan koordinasi memilih
koordinator yang tepat dalam
mengatur peraturan yang berlaku
dalam hal ini Peraturan Daerah
Tanjungpinang Nomor 4 Tahun
2005 tentang izin mendirikan
bangunan.
Setiap peraturan-peraturan yang
telah dikeluarkan baik kebijakan
berdasarkan peraturan daerah, peraturan
daerah maupun undang-undang agar
telaksananya peraturan yang dikeluarkan
tersebut adanya kebijakan dalam
memilih koordinator yang tepat dalam
hal ini Peraturan Daerah Nomor 4
Tahun 2005 tentang izin mendirikan
bangunan Kota Tanjungpinang.
Koordinator tersebut dibentuk untuk
mengawasi para pelaksana kebijakan.
Hal yang hampir sama juga disampaikan
oleh informan Yusri Sabarudin Staf
Operasional dan ketentraman ketertiban
Umum Kota Tanjungpinang menyatakan
bahwa :
“Ya perlu, kami telah bekoordinasi dan
bekerja sama dengan instansi lain
seperti BP2T dan BLH kerja sama ini
sesuai dengan tupoksi masing-masing
instansi, walaupun memang belum ada
penugasan yang sah dari Wali Kota
Tanjungpinang,namun kerja sama ini
dilakukan merupakan respon cepat bagi
kami untuk meminimalisir bangunan
yang tidak ada IMB di Kota
Tanjungpinang, bentuk kerja sama ini
kami lakukan dengan turun kelapangan
baik melakukan pengawasan maupun
penindakan yang dilakukan secara
bersama-sama dan sealing
membantu”.(Wawancara tanggal 15
juni 2015)
Berdasarkan pernyataan informan
diatas dapat disimpulkan bahwa dalam
melakukan pengawasan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) di Kota Tanjungpinang
oleh Satuan Polisi Pamong Praja telah
melakukan kerjasama dengan instansi
lain. Adapun pernyataan dari informan
Dian Asmara Siregar S.sos sebagai
Petugas Tindak Internal menegaskan
bahwa:
“Sangat perlu dilakukan Koordinasi
dengan dinas terkait yaitu dengan tata
kota, BP2T dan pihak kelurahan yang
memiliki wewenang diwilayah tersebut
karena sebelum anggota satuan polisi
pamong praja melakukan penindakan
terlebih dahulu satuan polisi pamong
praja mendapatkan laporan dari
instansi perizinan”.(Wawancara tanggal
5 juni 2015)
Berdasarkan pernyataan
informan diatas bahwa anggota Satuan
Polisi Pamong Praja Kota
Tanjungpinang perlu berkoordinasi
dengan instansi-instansi terkait dalam
hal ini BP2T, Dinas Tata Kota dan
kelurahan. karena jika tidak ada laporan
dari instansi tersebut anggota Satuan
Polisi Pamong Praja tidak memgetahui
mana bangunan yang sudah memiliki
izin dan yang tidak memilki izin dan
yang harus di lakukan penindakan.
Adapun menurut informan Staf
Penegakan Peraturan Perundang-
Undangan Daerah Kota Tanjungpinang
mengatakan Bahwa:
“ Perlu koordinasi dengan instansi lain,
adapun bentuk kerja sama dengan
instansi lain yaitu sesuai dengan tupoksi
masing-masing, seperti BLH mengkaji
untuk dampak lingkungan, BP2T
mengkaji dibagian administrasi,
SATPOL PP sebagai penegak
perda.”(Wawancara pada tanggal 1 juni
2015)
Berdasarkan pernyataan diatas
dapat disimpulkan bahwa koordinasi
memang sangat perlu namun setiap
instansi mengetahui tugas masing-
masing seperti BLH mengkaji untuk
dampak lingkungan, BP2T mengkaji
dibagian administrasi, SATPOL PP
sebagai penegak perda.
Berdasarkan yang diungkapkan oleh
informan Bambang sebagai masyarakat
yang mendirikan perumahan di
Kelurahan Batu IX Kota Tanjungpinang
yang menyatakan:
“Memang perlu pengadaan koordinasi
atau kerjasama antara anggota Satuan
Polisi Pamong Praja dengan
masyarakat agar tujuan yang
diharapkan dapat berjalan dengan
lancar”. ( Wawancara tanggal 9 juni
2015)
Untuk mempertegas pernyataan
dan pendapat informan diatas berikut
pernyataan dari key informan yang
memberikan pernyataan sebagai berikut:
“Bahwa ia mengatakan sangat perlu
melakukan koordinasi dengan instansi
terkait untuk mendapatkan data yang
akurat tentang bangunan yang belum
memiliki izin dan yang sudah memilki
izin, karena dalam suatu perizinan ada
instansi-instansi terkait jadi harus
berkoordinasi terlebih dahulu dengan
instansi tersebut”. (Wawancara tanggal
21 juni 2015)
Berdasarkan wawancara dengan
key informan diatas dapat disimpulkan
bahwa koordinasi sangat diperlukan
karena masalah perizinan ini bukan lah
sepenuh nya wewenang dari satuan
polisi pamong praja, ada instansi terkait
yang juga memiliki wewenang dalam
perizinan yaitu izin mendirikan
bangunan.
2. Melakukan pengawasan terhadap
izin mendirikan bangunan di Kota
Tanjungpinang
Setiap kebijakan atau peraturan
yang telah dikeluarkan dibutuhkan
pengawasan terhadap para pelaksana
kebijakan agar peraturan tersebut
berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai dalam hal ini Peraturan Daerah
Nomo 4 Tahun 2005 tentang izin
mendirikan bangunan Kota
Tanjungpinang karena didalam sebuah
organisasi untuk mengontrol berjalannya
sebuah kebijakan yang telah dikeluarkan
mesti dilakukan pengawasan agar
tercapainya maksud dan tujuan dari
peraturan tersebut.
Pernyataan diatas sesuai dengan
yang diungkapkan oleh informan Yusri
Sabarudin Staf Operasional dan
ketentraman ketertiban Umum Kota
Tanjungpinang menyatakan bahwa :
“iya, pasti pengawasan tersebut
diperlukan serta pengawasan tersebut
harus dilakukan secara terus menerus
karena untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat agar mentaati Peraturan
Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang
izin mendirikan bangunan Kota
Tanjungpinang” (Wawancara pada
tanggal 15 juni 2015).
Berdasarkan pernyataan tersebut
diatas dapat peneliti simpulkan bahwa
mengenai izin mendirikan bangunan
sangat memerlukan pengawasan dari
petugas tindak internal Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Tanjungpinang.
Pendapat yang hampir sama juga
dinyatakan oleh informan Staf
Penegakan Peraturan Perundang-
undangan Daerah yang menyatakan
bahwa:
“Pengawasan telah dilakukan dengan
mendatangi lokasi bangunan
dikelurahan Batu IX Kota
Tanjungpinang dan melakukan
pengecekan terhadap surat-surat yang
menyangkut dengan IMB”. (Wawancara
tanggal 23 mei 2015)
Berdasarkan pernyataan Staf
Penegakan Peraturan Perundang-
undangan Daerah diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa Pengawasan telah
dilakukan dengan mendatangi lokasi
bangunan dan melakukan pengecekan
terhadap surat-surat yang menyangkut
IMB.
Hal tersebut diperkuat dengan
pernyataan Yudi Kurniawan Petugas
Tindak Internal Satuan Polisi Pamong
Praja Kota Tanjungpinang yang
menyatakan :
“Untuk pengawasan dilakukan secara
rutin dengan patroli dan sebelum
bangunan didirikan disosialisasikan
dulu untuk mengurus izinnya, apabila
dalam jangka waktu tidak mengurus izin
ada tahapan-tahapan yang dilakukan ,
jika ditemukan dilapangan ada suatu
bangunan atau usaha yang tidak
mimiliki izin mendirikan banguna
dihentikan sementara aktifitas dan
berkoordinasi dengan kelurahan
setempat, memberi surat teguran
memberi sanksi, dan membongkar
secara paksa”. (Hasil wawancara
tanggal 6 juni 2015)
Berdasarkan keterangan
informan diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa pengawasan sudah dilakukan
oleh Satuan Polisi Pamong Praja dan
telah disosialisasikan namun pemberian
sanksi jarang dilakukan jadi masyarakat
tidak merasa takut jika tidak memeliki
izin karena teguran dari satuan polisi
pamong praja pun hanya berupa
pemberitahuan saja dan tidak ada sanksi.
Seharusnya anggota satuan polisi
pamong praja dan dinas terkait harus
berlaku tegas harus sampai ke
persidangan agar masyarakat dan
pengusaha mendapat efek jera.
Berdasarkan pernyataan informan
Nova sebagai masyarakat dikelurahan
Batu IX Kota Tanjungpinang:
“Ia mengatakan, pernah dilakukan
pengawasan dan mendapat teguran dari
Satuan Polisi Pamong Praja, namun
setelah itu tidak ada penindakan lagi,
hanya sebatas itu saja”. (Wawancara
pada tanggal 11 juni 2015)
Pernyataan dan pendapat
informan diatas dipertegas oleh key
informan Kepala Satuan Polisi Pamong
Praja yang menyatakan:
“Perlu dilakukan pengawasan, agar
masyarakat mentaati peraturan daerah
nomor 4 tahun 2005 tentang izin
mendirikan bangunan, mengenai
pelaksanaan yang dilakukan oleh
anggota Satuan Polisi Pamong Praja
dalam hal ini belum terlaksana dengan
baik karena terkendala oleh berbagai
faktor. Yaitu faktor fasilitas sarana dan
prasarana serta keterbatasan
anggaran”. (Hasil wawancara pada
tanggal 21 juni 2015)
Sesuai dengan yang
diungkapkan informan diatas dapat
disimpulkan bahwa pengawasan
terhadap masyarakat perlu dilakukan
agar mentaati Peraturan Daerah Nomor
4 Tahun 2005 tentang izin mendirikan
bangunan Kota Tanjungpinang. Dalam
hal ini yang mempunyai tugas dan
wewenang yaitu petugas tindak internal
Satuan Polisi Pamong Praja sebagai
penegak peraturan daerah namaun
pelaksanaan pengawasannya belum
terlaksana dengan baik karena
keterbatasan fasilitas sarana dan
prasarana serta anggaran.
V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data
penelitian yang peneliti lakukan bahwa
implementasi Peraturan Daerah Nomaor
4 Tahun 2005 tentang izin mendirikan
bangunan di Kelurahan Batu 9 Kota
Tanjungpinang belum sepenuhnya
terlaksana karena tidak semua
masyarakat mengimplementasikan dan
mentaati Peraturan Daeran Nomor 4
Tahun 2005, hal ini dilihat dari hasil
temuan penelitian pada beberapa
indikator yang mempengaruhi
implementasi peraturan daerah tersebut :
1. Dilihat dari segi komunikasi,
menunjukkan bahwa Satuan Polisi
Pamong Praja jarang sekali
menyebarkan himbauan dan
bersosialisasi kepada masyarakat di
Kelurahan Batu IX Kota
Tanjungpinang sehingga masyarakat
kurang mengetahui adanya
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun
2005 karena kurangnya sosialisasi.
2. Bardasarkan sumber daya, anggota
Satuan Polisi Pamong Praja tidak
pernah mengadakan pelatihan guna
meningkatkan kualitas anggota
dalam penegakan peraturan daerah
karena keterbatasan anggaran.
Sedangkan dalam melakukan
penertiban berdasarkan wewenang
dan tanggung jawab sesuai
informasi yang diterima, tidak
berjalan maksimal karena
keterbatasan informasi serta tidak
dilaksanakan sesuai dengan
penentuan penertiban yang berlaku
dalam peraturan daerah tersebut.
3. Indikator Disposisi atau sikap dan
komitmen dari pelaksanaan terhadap
program dalam hal ini masyarakat di
Kelurahan Batu IX Kota
Tanjungpinang tidak melaksanakan
peraturan daerah tersebut secara
sadar karena alasan yang merupakan
kepentingan pribadi, sementara itu
pemberian sanksi dan hukuman
kurang terlaksana sesuai dengan
Peraturan Daeran Nomor 4 Tahun
2005 tentang izin mendirikan
bangunan Kota Tanjungpinang.
4. Indikator struktur birokrasi dalam
pelaksanaan implementasi
memerlukan pengadaan koordiasi
atau kerja sama dalam memilih
koordinator dalam
mengimplementasikan Peraturan
Daeran Nomor 4 Tahun 2005
tentang izin mendirikan bangunan
Kota Tanjungpinang. Hal ini
dilakukan dengan cara pemilihan
koordinator yang tepat dalam
peraturan tersebut, sedangkan
mengenai pengawasan terhadap
masyarakat di Kelurahan Batu IX
Kota Tanjungpinang belum berjalan
dengan efektif hal ini disebabkan
karena tidak efisiennya pengawasan
yang berdasarkan wewenang
dilingkungan Pemerintah Kota
Tanjungpinang.
B. Saran
Berdasarkan hasil temuan mengenai
implementasi Peraturan Daerah Nomor
4 Tahun 2005 tentang izin mendirikan
bangunan di Kota Tanjungpinang di
Kelurahan Batu 9, maka saran yang
dapat disampaikan adalah sebagai
berikut :
1. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja
seharusnya mempunyai sikap tegas
kepada anggota Satuan Polisi
Pamong Praja agar menjalankan
penegakan peraturan daerah dengan
sebaik-baiknya dengan penuh rasa
tanggung jawab.
2. Kepada masyarakat di Kelurahan
Batu 9 Kota Tanjungpinang
mempunyai tingkat kesadaran tinggi
dalam mematuhi Peraturan Daerah
Nomor 4 Tahun 2005 tentang izin
mendirikan bangunan.
3. Kepada Petugas Tindak Internal
Satuan Polisi Pamong Praja
diharapkan dalam melakukan
pengawasan harusnya dilakukan
seefesien mungkin dalam
mengimplementasikan peraturan
daerah dan secara tegas memberikan
sanksi kepada masyarakat yang
tidak mematuhi perturan daerah
tersebut. Seharusnya penyampaian
informasi mengenai peraturan
daerah dapat diinformasikan dengan
jelas serta dilakukan sesuai
ketentuan yang berlaku didalamnya.
4. Kepada Staf Penegakan Perundang-
undangan Daerah diharapkan
membuat peraturan perundangan-
undangan dengan jelas dan tidak
berubah-ubah.
5. Kepada Staf Operasional dan
Ketentraman Ketertiban Umum di
harapkan bersikap tegas dalam
melakukan penertiban agar
terciptanya pembangunan yang
sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rozali. 2005. Pelaksanaan
Otonomi Luas dengan Pemilihan
Kepala Daerah Secara Langsung.
Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Gaffar, Affan. 2009. Otonomi Daerah
Dalam Negara Kesatuan. Cetakan
I, Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Harsono, Hanifah. 2002. Implementasi
Kebijakan dan Politik. Bandung:
PT. Mutiara Sumber Widya.
Hasan, Iqbal. 2004. Analisis Data
Penelitian dengan Statistik.
Jakarta: Bumi Aksara.
Husaini Usman, dan Purnomo Setiady
Akbar. 2009. Metodologi
Penelitian Sosial. Jakarta: PT.
Bumi Aksara
Rumengan, Jemmy. 2010. Metodologi
Penelitian dengan SPSS. Cetakan
Pertama, Batam: Uniba Press.
Satori, D dan Komariah, A. 2012.
Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
Setiawan, Guntur. 2004. Implementasi
dalam Birokrasi Pembangunan.
Bandung: Remaja Rodakarya
Offset.
Solichin, Wahab.A. 2001. Analisis
Kebijakan: Dari Formulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan
Negara. Jakarta: Bumi Aksara
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian
Pendidikan: Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D. Cetakan ke 12.
Bandung: Alfabeta.
Usman, Nurdin. 2002. Konteks
Implementasi Berbasis
Kurikulum. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Peraturan Perundang-Undangan:
Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang
Nomor 4 Tahun 2005 tentang Izin
Mendirikan Bangunan.
Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang
Nomor 6 Tahun 2003 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata
Kerja Satuan Polisi Pamong Praja
Kota Tanjungpinang.