implementasi pasal 64 undang-undang nomor 35 …

12
IMPLEMENTASI PASAL 64 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TERHADAP IDENTITAS ANAK SEBAGAI PELAKU KRIMINAL YANG TIDAK DIRAHASIAKAN OLEH PERS Septian Tedi Prasianto (S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya) [email protected] Pudji Astuti (S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya) [email protected] Abstrak Identitas anak yang berhadapan dengan hukum khususnya anak sebagai pelaku kriminal sering dimuat dalam pemberitaan media cetak maupun online. Pemberitaan tersebut menyebutkan identitas anak sebagai pelaku tindak pidana. Identitas baik nama, alamat, atau hal-hal yang berkaitan dengan identitas anak sebagai pelaku seharusnya dirahasiakan. Kegiatan Jurnalistik seharusnya mengimplementasi Pasal 64 Huruf I Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan “Penghindaran publikasi atas identitasnya”. Dewan Pers seharusnya berupaya menanggulangi pelanggaran kode etik jurnalistik khususnya publikasi identitas anak yang berkonflik dengan hukum. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui implementasi Pasal 64 Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dalam kegiatan jurnalistik serta upaya Dewan pers dan Dewan kehormatan pers PWI Jawa Timur dalam menanggulangi hambatan dalam menegakkan pasal 64 Undang-Undang perlindungan anak. Metode Penelitian menggunakan Yuridis Sosiologis. Lokasi penelitian berada di PWI Jawa Timur dan Dewan Pers Indonesia. Data dikumpulkan menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi. Informan penelitian ini adalah komisi pengaduan dan penegakan kode etik Dewan Pers dan Ketua Dewan Kehormatan PWI Jawa Timur serta wartawan. Jenis data penelitian berupa data primer dan sekunder. Teknik pengolahan data dengan menggunakan reduksi data. Teknik analisis data menggunakan analisis kualitatif. Hasil Penelitian ini, menunjukkan bahwa implementasi Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak tidak dilaksanakan karena Dewan Pers dan Dewan Kehormatan PWI Jawa Timur tidak dapat melakukan penegakan kode etik tanpa adanya aduan dari masyarakat. Upaya yang dilakukan oleh Dewan Pers dan Dewan Kehormatan PWI Jawa Timur dalam menanggulangi wartawan yang melanggar pasal 64 mengalami beberapa hambatan. Pertama, tidak adanya aduan dari masyarakat. Kedua, Personil yang terbatas membuat pengawasan kode etik jurnalistik menjadi tidak dilaksanakan. Ketiga, masyarakat memiliki kesadaran hukum yang kurang. Keempat, Dewan Pers dan Dewan Kehormatan PWI Jawa Timur perlu melakukan pencegahan pelanggaran identitas anak melalui sosialisasi dan melakukan uji kompetensi wartawan. Kata kunci: anak sebagai pelaku, identitas anak, pelanggaran kode etik jurnalistik

Upload: others

Post on 11-Nov-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IMPLEMENTASI PASAL 64 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 …

IMPLEMENTASI PASAL 64 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014

TERHADAP IDENTITAS ANAK SEBAGAI PELAKU KRIMINAL YANG TIDAK

DIRAHASIAKAN OLEH PERS

Septian Tedi Prasianto

(S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya) [email protected]

Pudji Astuti

(S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya) [email protected]

Abstrak

Identitas anak yang berhadapan dengan hukum khususnya anak sebagai pelaku kriminal

sering dimuat dalam pemberitaan media cetak maupun online. Pemberitaan tersebut

menyebutkan identitas anak sebagai pelaku tindak pidana. Identitas baik nama, alamat, atau

hal-hal yang berkaitan dengan identitas anak sebagai pelaku seharusnya dirahasiakan.

Kegiatan Jurnalistik seharusnya mengimplementasi Pasal 64 Huruf I Undang-Undang

nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan “Penghindaran

publikasi atas identitasnya”. Dewan Pers seharusnya berupaya menanggulangi pelanggaran

kode etik jurnalistik khususnya publikasi identitas anak yang berkonflik dengan hukum.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui implementasi Pasal 64 Undang-Undang nomor 35

tahun 2014 tentang perlindungan anak dalam kegiatan jurnalistik serta upaya Dewan pers

dan Dewan kehormatan pers PWI Jawa Timur dalam menanggulangi hambatan dalam

menegakkan pasal 64 Undang-Undang perlindungan anak. Metode Penelitian menggunakan

Yuridis Sosiologis. Lokasi penelitian berada di PWI Jawa Timur dan Dewan Pers Indonesia.

Data dikumpulkan menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi. Informan penelitian

ini adalah komisi pengaduan dan penegakan kode etik Dewan Pers dan Ketua Dewan

Kehormatan PWI Jawa Timur serta wartawan. Jenis data penelitian berupa data primer dan

sekunder. Teknik pengolahan data dengan menggunakan reduksi data. Teknik analisis data

menggunakan analisis kualitatif. Hasil Penelitian ini, menunjukkan bahwa implementasi

Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak tidak

dilaksanakan karena Dewan Pers dan Dewan Kehormatan PWI Jawa Timur tidak dapat

melakukan penegakan kode etik tanpa adanya aduan dari masyarakat. Upaya yang

dilakukan oleh Dewan Pers dan Dewan Kehormatan PWI Jawa Timur dalam

menanggulangi wartawan yang melanggar pasal 64 mengalami beberapa hambatan.

Pertama, tidak adanya aduan dari masyarakat. Kedua, Personil yang terbatas membuat

pengawasan kode etik jurnalistik menjadi tidak dilaksanakan. Ketiga, masyarakat memiliki

kesadaran hukum yang kurang. Keempat, Dewan Pers dan Dewan Kehormatan PWI Jawa

Timur perlu melakukan pencegahan pelanggaran identitas anak melalui sosialisasi dan

melakukan uji kompetensi wartawan. Kata kunci: anak sebagai pelaku, identitas anak, pelanggaran kode etik jurnalistik

Page 2: IMPLEMENTASI PASAL 64 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 …

Jurnal Novum, Volume 05 Nomor 02, April 2018, Hal 187-198

188

Abstract Children who are facing the law, especially as minor perpetrators are often raise in media

reports both printed and online alike. This news coverage oftentimes includes the child

perpetrator identity, explicitly stating their name, address, and things correlated to the

child as perpetrator. This act alone violates Article 64 of Law No. 35 of 2014 about child protection. These news can provide a sense of insecurity for these children, because later

there will be labeling of the child as perpetrator. Journalists as one of the professions

which must adopt codes of conduct that are adhered to by journalists and should have comply to these terms. The purpose of this research is to find out the implementation of

Article 64 of Law No. 35 of 2014 concerning child protection in journalistic activities and

to find out the efforts of the Press Council and the PWI East Java Press Council in

overcoming obstacles in enforcing Article 64 of the Child Protection Act This research is compiled using Juridical Sociological research. The data were taken from the East Java

PWI and Indonesian Press council, using interview and documentation. The informants for

this research were Press Council's complaints and enforcement committee of the code of ethics, Chairman of the PWI East Java Honorary Board and journalists. The research data

are in primer and secondary formats. The data were processed using reduction-processing

techniques, analysing quantitative data through drawing conclusion and narrated by the

researcher.The result of this research, found that the implementation of Article 64 of Law No. 35 of 2014 concerning Child Protection is not implemented, according to Press

Council and PWI East Java Honorary Broad they are unable to enforce the code of ethics

and have nothing to process if there are no complaints to begin with. Press council and PWI East Java Honorary Broad will do a follow up on any complaints of violations of the

code of ethics, according to procedure by forming an ethics code assembly, which then

conducts a hearing of the code of ethics. The efforts made by the Press Council and the PWI East Java Honorary Council in tackling down journalists who violated Article 64

faced the first few obstacles, due to the absence of public complaints from the very start,

second, the lack of personnel who are overseeing journalistic code of ethics, third, the lack

of public legal awareness. On preventing violations of children's identity through socialization, Press Council and the PWI East Java Honorary are conducting competency

tests of journalists.

Keywords: Children as perpetrators, Children Identity, Violation of Journalistic Ethics

PENDAHULUAN

Angka kejahatan di Indonesia semakin

meningkat dari waktu ke waktu. Kenakalan

anak pun telah banyak yang menjurus pada

pelanggaran dan kejahatan sehinggah jumlah

anak yang berhadapan dengan hukum selalum

meningkat. Berbagai pemberitaan tentang

kejahatan yang dilakukan oleh anak banyak

dipublikasikan media massa, baik media cetak

maupun media elektronik. Seperti salah satu

berita di Jawa Pos Malang yang

mempublikasikan salah satu anak sebagai

pelaku yang namanya tidak dirahasiakan dalam

berita tersebut serta di berita yang dimuat oleh

malang-post.com yang memberitakan anak

sebagai pelaku tidak dirahasiakan alamat dari

anak tersebut.

Padahal secara hukum identitas anak

haruslah disamarkan seperti yang terdapat

dalam Pasal 64 Huruf I Undang-Undang nomor

35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

yang berbunyi “Perlindungan Khusus

bagi Anak yang berhadapan dengan hukum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2)

huruf b dilakukan melalui penghindaran dari publikasi atas

identitasnya” Anak-anak yang berkonflik dengan hukum

memiliki hak tersendiri yang berbeda dengan

orang dewasa yang melakukan tindak pidana.

Hal ini diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang

Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan

Anak serta Pasal 3 Undang-Undang nomor 11

tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak dimana salah satu hak terkait ialah tidak

dipublikasikan identitasnya.

Faktanya, identitas anak yang berkonflik

dengan hukum sering ditulis dengan jelas di

beberapa media cetak ataupun media

elektronik. Identitas anak seperti gambar atau

namanya tidak dirahasiakan ke publik,

sehingga masyarakat yang membacanya

mengetahui wajah dan nama anak yang

berkonflik dengan hukum tersebut.

Page 3: IMPLEMENTASI PASAL 64 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 …

Implementasi Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014……….

189

Berita-berita yang dimuat tanpa

merahasiakan identitas anak sebagai pelaku

dapat memberikan rasa tidak aman terhadap

anak yang berkonflik dengan hukum.

Sebagaimana teori labeling maka hal ini tidak

baik bagi pertumbuhan. Teori Labeling sendiri

adalah Cap yang diberikan oleh kelompok

kepada individu berdasarkan ciri-ciri yang

dianggap minoritas oleh suatu kelompok

masyarakat. Labeling diberikan kepada orang

yang mempunyai suatu perilaku menyimpang

yang bertentangan dengan norma yang berlaku

di masyarakat. Seseorang yang diberi label

akan memiliki sifat dan/atau cenderung

mengikuti label yang diberikan kepadanya.

Dengan diketahuinya identitas anak sebagai

pelaku tersebut maka orang-orang yang

membaca berita tersebut akan mengenal siapa

anak tersebut dan dapat memberi cap sebagai

penjahat. Hal ini dapat berdampak kepada

tumbuh kembang anak yang dikucilkan

sehingga anak tersebut kembali menjadi

penjahat. Selain itu anak yang berkonflik

dengan hukum setelah keluar dari lembaga

pemasyarakatan menjadi susah untuk

menjalani aktivitasnya seperti bersekolah,

bermain, berinteraksi dengan teman sebayanya,

dll. Dampak negatif ini tentunya harus kita

hindari mengingat anak merupakan generasi

penerus bangsa dan dimungkinkan memiliki

hidup yang lebih lama di dunia sehingga harus

kita jaga dan lindungi.

Hak anak berbeda dengan orang dewasa,

hal tersebut diatur secara khusus

dalamUndang-Undang Nomor 35 tahun 2014

tentang Perlindungan Anak (selanjutnya

disebut UU Perlindungan Anak) yang

mengatur dan memberikan Jaminan bagi Hak-

Hak anak yang spesifik diatur dalam Pasal 4

s/d 19 Undang-Undang Perlindngan anak yang

merupakan pembaharuan Undang-Undang

Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak. Pengertian Anak menurut Pasal 1 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak menyatakan “Anak ialah seseorang yang berumur

kurang dari 18 tahun serta anak yang masih

didalam kandungan”.

Sedangkan pengertian anak menurut Undang-

Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak mengolongkan anak

menjadi 3 golongan yaitu; (1) anak yang

berkonflik dengan hukum ialah anak yang

melakukan tindak pidana yang berumur lebih

dari 12 tahun dan belum mencapai 18 tahun.

(2) Anak yang menjadi korban tindak pidana

yaitu seseorang yang belum mencapai 18 tahun

yang mengalami kerugian baik fisik ataupun

materiil yang disebabkan oleh tindak pidana.

(3) saksi ialah anak yang melihat, merasakan,

dan

mengalami adanya suatu tindak pidana yang

belum berumur 18 tahun. Perbedaan kegunaan pada undang-undang

nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan

Anak dan undang-undang nomor 11 tahun

2012 terletak pada subjeknya dimana untuk

undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak dapat digunakan kepada

seluruh masyarakat sedangkan untuk undang-

undang nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak hanya dapat digunakan

kepada anak yang berkonflik dengan hukum.

Media Massa yang mencantukan identitas

anak dengan jelas mengungkapkan, dimana

anak sebagai pelakunya tidak sesuai dengan

tujuan dan hak anak yang terdapat dalam

Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 Pasal

64 Huruf I yang mewajibkan untuk

merahasiakan identitas anak baik anak yang

berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi

korban, ataupun anak yang menjadi saksi.

Pasal 64 Huruf I berbunyi “Anak yang

berhadapan dengan hukum sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf B

melalui penghindaran dari publikasi atas

identitasnya.”

Pers dalam memberitakan sebuah berita

haruslah mengikuti aturan-aturan yang berlaku

Undang-Undang Pers serta Kode Etik

Jurnalistik. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40

tahun 1999 tentang Pers menyatakan bahwa,

“Pers nasional berkewajiban memberitakan

peristiwa dan opini dengan menghormati

norma-norma agama dan rasa kesusilaan

masyarakat serta asas praduga tak bersalah.”

Pasal tersebut menunjukkan bahwa media tidak

boleh menyatakan tersangka bersalah sebelum

ada putusan PN yang mempunyai kekuatan

hukum tetap. Apabila ada pelanggaran-

pelanggaran dalam pemberitaan yang

Page 4: IMPLEMENTASI PASAL 64 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 …

Jurnal Novum, Volume 05 Nomor 02, April 2018, Hal 187-198

190

diberitakan oleh Pers maka ada lembaga yang

berwenang untuk menanganinya. Hal ini

merupakan tugas bagi Dewan Pers dan Dewan

Kehormatan Pers Persatuan Wartawan

Indonesia (selanjutnya disebut PWI) untuk

menangani pelanggaran yang dilakukan oleh

Pers.

Bukti-bukti berita yang memperlihatkan

identitas anak yang berhubungan dengan

hukum masih ditemukan. Hal ini tidak sesuai

dengan Pasal 64 Huruf I Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan

Anak dan Pasal 5 kode etik jurnalistik yang

melindungi identitas anak baik korban

kejahatan kesusilaan dan anak yang

berhadapan dengan hukum. Hal itu

mengakibatkan dampak negatif bagi masa

depan anak yang berhubungan dengan hukum.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui implementasi Pasal 64 Undang-

undang nomor 35 tahun 2014 tentang

perlindungan anak dalam kegiatan jurnalistik

serta untuk mengetahui upaya Dewan Pers dan

Dewan Kehormatan Pers PWI Jawa Timur

dalam menanggulangi hambatan dalam

menegakkan Pasal 64 Undang-Undang

perlindungan anak.

Kajian teoritik yang berkaitan dengan

permasalahan implementasi Pasal 64 Undang-

undang perlindungan anak berkaitan dengan

kerahasiaan identitas anak sebagai pelaku

adalah Pengertian tentang anak dalam Pasal I

ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak. Anak adalah seseorang

yang masih dalam kandungan dan belum

berusia 18 (delapan belas) tahun. Perlindungan

anak ialah segala usaha yang dilakukan dalam

rangka membuat suatu kondisi agar anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi

perkembangan dan pertumbuhan anak secara

wajar (Maidi Gultom, 2010: 33).

Labeling adalah identitas yang diberikan

oleh kelompok kepada individu berdasarkan

ciri-ciri yang dianggap minoritas oleh suatu

kelompok masyarakat. Labeling diberikan

kepada orang yang mempunyai perilaku

menyimpang yang bertentangan dengan norma

yang berlaku di masyarakat. Seseorang yang

diberi label akan memiliki sifat dan/atau

cenderung mengikuti label yang diberikan

kepadanya (Rika Saraswaty, 2009: 1)

Pers berasal dari kata Persen bahasa

Belanda atau press bahasa Inggris yang berarti

menekan yang ditujukan kepada mesin cetak

lama yang proses pembuatan korannya harus

ditekan dengan keras agar tertera dalam kertas

(Edy Susanto, 2010: 19). Menurut Weinern,

Pers mempunyai Tiga definisi pertama,

wartawan media cetak, kedua, publisitas atau

peliputan. Ketiga mesin cetak naik (Amir

Efendi Siregar, 2003: 7). Sedangkan menurut

Oemar Seno Adji mengartikan Pers dalam arti

sempit yaitu Pers yang menjelma dalam bentuk

surat kabar, majalah, buku, dan barang cetakan

lain(Hamzah dkk., 1987: 2)

Wartawan ialah manusia yang melakukan

kegiatannya setiap hari sebagai pencari dan

pemburu berita, pengumpul berita, pembawa

berita, penyusun berita, penyiar berita, juga

pengajak berfikir, tukang ingatkan (kontrol)

serta tukang hibur dengan menggunakan

tulisan sebagai medianya (Yanuar Abdullah,

1992: 16) Menurut bertens kode etik profesi

merupakan norma yang ditetapkan dan

diterima oleh kelompok profesi sedangkan.

Menurut Abdulkadir Muhammad kode etik

profesi ialah suatu etika yang diterapkan

karena bersumber dari pemikiran etis atas

profesi (Abdulkadir Muhammad, 2016: 58)

Proses Penyelesaian Pelanggaran Pasal 64

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

dengan melalui dua penyelesaian yang ertama

melalui Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999

tentang Pers dan melalui Dewan Pers Sesuai

Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 tahun

1999. faktor-faktor yang menentukan berhasil

tidaknya suatu hukum menurut Soerjono

Soekanto ditentukan oleh 5 faktor, Pertama

faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang),

yang kedua faktor penegak hukumnya, yang

ketiga faktor sarana atau fasilitas yang

mendukung penegakan hukum, yang keempat Faktor

masyarakat yakni lingkungan dimana

hukum tersebut berlaku yang kelima faktor

kebudayaan yakni sebagai hasil karya cipta

dan rasa

METODE

Page 5: IMPLEMENTASI PASAL 64 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 …

Implementasi Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014……….

191

Jenis Penelitian ini merupakan peneltian

hukum yuridis Sosiologis. Penelitian hukum

yuridis sosiologis adalah ilmu yang tetap

berbasis terhadap hukum normatif tetapi

bukan mengkaji mengenai sistem norma

dalam aturan perundangan, namun

mengamati bagaimana reaksi dan interaks

yang terjad ketika sistem nomra itu bekerja.

Penelitian ini ingin menggambarkan

Implementasi Pasal 64 Undang-Undang

Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan

Anak dan upaya Dewan Pers dan Dewan

Kehormatan Pers PWI Jawa timur dalam

menghadapi hambatan-hambatan tersebut.

Jenis Data yang digunakan dalam

penelitian ini menggunakan data primer

yaitu data yang diperoleh secara langsung

dari informan yang berkaitan dengan

penelitian ini. Informan yang dimaksud

ialah Dari Pihak Dewan Pers dan PWI

Cabang Jawa Timur sebagai organisasi yang

menjaga dan mengayomi wartawan-

wartawan. Serta data sekunder yaitu karya

tulis yang dihasilkan melalui penelitian

ilmiah, perundang-undangan yang mengatur

tentang Pers serta hak-hak anak sebagai

pelaku, serta internet dan buku yang berisi

tentang hal-hal yang berkaitan dengan

penelitian ini.

Teknik pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini dengan cara metode

wawancara melalui tanya jawab secara

langsung antara penelti dengan informan

dengan menggunakan teknik wawancara dan

mencatat sistematis. Teknik ini dilakukan

untuk mendapat informasi secara mendalam berkaitan

dengan permasalahan penelitian.

Wawancara dalam penelitian ini dilakukan

untuk menanyakan terkait dengan

implementasi Pasal 64 undang-undang

nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan

anak di lingkungan jurnalistik dan

menanyakan upaya yang dilakukan oleh

Dewan Pers dan Dewan Kehormatan Pers

PWI Jawa Timur dalam menanggulangi

hambatan dalam menegakkan Pasal 64

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014

tentang perlindungan anak. serta

menggunakan metode dokumentasi yaitu

dokumen peristiwa yang sudah berlalu.

Dokumen berbentuk tulisan, gambar, atau

karya-karya monumental dari seseorang.

Dokumentasi dalam penelitian ini adalah

berita-berita yang mempublikasikan

identitas anak sebagai pelaku tanpa

dirahasiakan, struktur organisasi Dewan

Pers dan PWI, Proses Pengaduan kepada

Dewan Pers.

Teknik pengolahan data merupakan

langkah yang digunakan peneliti dalam

melakukan penelitian dengan bertujuan untuk

mempertegas, memperpendek, membuat fokus,

membuang hal-hal yang tidak penting dan

mengatur data sehingga dapat membuat

kesimpulan dengan kata lain bahwa reduksi

data adalah proses seleksi, penafsiran,

penyederhanaan, dan abstraksi data kasar. Teknik analisis data menggunakan analisis

kualitatif, dimana penulis disini akan menyusun

dan menyajikan data dengan baik dan jelas agar

data tersebut lebih mudah untuk dipahami. Dalam

penelitian ini data yang disajikan menjadi kalimat

naratif dari data-datayang telah dilakukan seleksi

sebelumnya yang akan dibuat kesimpulan oleh

peneliti setelah memahami berbagai hal dengan

melakukan pencatatan pertanyaan-pertanyaan,

alur sebab-akibat, maka akhirnya peneliti menarik

kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Implementasi Pasal 64 undang-undang

nomor 35 tahun 2014 perubahan Undang-

undang nomor 23 tahun 2002 tentang

perlindungan anak mengenai kerahasiaan

identitas anak sebagai pelaku yang harus

dirahasiakan.

Hak-Hak anak sebagai pelaku kriminal

diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor

35 tahun 2014 perubahan undang-undang

nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan

anak salah satunya ialah dalam pasal 64 huruf i

yang menyatakan bahwa anak mempunyai hak

untuk dirahasiakan identitasnya. Identitas yang

harusnya dirahasiakan oleh media sendiri

meliputi nama lengkap anak yang seharusnya

disamarkan baik menggunakan inisial ataupun

menggunakan nama samaran, alamat anak

sebagai pelaku tidak boleh disebutkan baik itu

alamat rumah ataupun sekolah dimana anak

sebagai pelaku tersebut bersekolah,

gambar/foto anak sebagai pelaku kriminal tidak

Page 6: IMPLEMENTASI PASAL 64 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 …

Jurnal Novum, Volume 05 Nomor 02, April 2018, Hal 187-198

192

boleh diperlihatkan di media, dan identitas

mengenai keluarga anak sebagai pelaku baik

itu nama, alamat, dan gambar keluarga anak

sebagai pelaku.

Redaksi juga berperan memeriksa karya

jurnalistik yang akan dipublikasikan mengingat

bahwa setiap karya jurnalistik yang akan dimuat

di suatu media harus melalui ijin dari redaksi

terlebih dahulu. Fakta dilapangan masih terdapat

beberapa media seperti di jawa post malang yang

tidak merahasiakan nama lengkap anak, malang

post.com yang tidak merahasiakan alamat dari

anak sebagai pelaku, radar malang.id yang tidak

merahasiakan alamat anak sebagai pelaku. Hak-

hak anak sebagai pelaku kriminal tentang

kerahasiaan identitas anak terdapat sanksi pidana

yang diatur dalam Pasal 97 jo. Pasal 19 Undang-

Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem

peradilan pidana anak, dimana setiap orang yang

mempublikasikan identitas anak sebagai pelaku

maka dapat dikenakan pidana penjara paling

lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Selain diatur dalam Undang-Undang nomor 11

tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana

anak Pasal 64 Undang-Undang nomor 35 tahun

2014 perubahan Undang-Undang nomor 23

tahun 2002 tentang perlindungan anak,

mengenai kerahasiaan identitas anak sebagai

pelaku juga diatur dalam Pasal 5 Kode Etik

Jurnalistikyang berbunyi “Wartawan Indonesia

tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas

korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan

identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”.

Mengingat bahwa wartawan merupakan

suatu profesi yang dinaungi oleh sebuah

organisasi, sehingga dalam melakukan

pekerjaannya harus mengikuti kode etik profesi

yang berlaku untuk menjaga profesionalitas

serta terjaganya hak-hak pihak lain yang masih

terkait dengan kegiatan jurnalistik yang salah

satu diantaranya adalah merahasiakan identitas

anak sesuai Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik.

Pada tahapan ini apabila terdapat wartawan

yang diketahui mempublikasikan identitas anak

sebagai pelaku maka wartawan tersebut harus

diproses terlebih dahulu melalui sidang etik

mengingat tiada tindak pidana tanpa

pelanggaran kode etik yang terlebih dulu harus

dibuktikan. Kerahasiaan identitas anak sebagai

pelaku merupakan delik pers karena hal ini

terjadi pada hasil penulisan karya jurnalistik

yang telah dipublikasikan berdasarkan ijin

redaksi, maka hal ini dilakukan pemeriksaan

oleh dewan pers mengingat pertanggung

jawaban terdapat pada redaksi. Sedangkan

untuk wartawannya akan diserahkan kepada

organisasi wartawan yang menaunginya.

Tata cara proses pengaduan pelanggaran kode

etik jurnalistik diatur dalam lampiran peraturan

dewan pers nomor 3/Peraturan-DP/VII/2013

tentang prosedur pengaduan ke dewan pers. Tata

cara pelaporan dan proses pengaduannya

melakukan Pengaduan pelanggaran yang

dilakukan oleh wartawan dapat kepada dewan

pers apabila hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal

2 Peraturan Dewan Pers Nomor 3/Peraturan-

DP/VII/2013 tentang prosedur pengaduan ke

dewan pers dimana perkara tersebut mengenai

karya jurnalistik, perilaku, dan atau tidakan

wartawan yang terkait dengan kegiatan

jurnalistik; kekerasan terhadap wartawan dan atau

perusahaan pers; iklan sebagaimana diatur dalam

Pasal 13 undang-undang nomor 40 tahun 1999

tentang pers dan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Dewan pers tidak menangani

pengaduan yang telah diajukan ke kepolisian

kecuali pengadu bersedia mencabut pengaduan ke

kepolisian atau pengadilan untuk diselesaikan ke

dewan pers ataupun kepolisian menyerahkan

perkara tersebut ke dewan pers hal ini diatur

dalam Pasal 4 Peraturan Dewan Pers Nomor

3/Peraturan-DP/VII/2013 tentang prosedu

pengaduan ke dewan pers.

Menurut Pasal 8 Peraturan Dewan Pers

Nomor 3/Peraturan-DP/VII/2013 tentang

prosedur pengaduan ke dewan pers pengaduan

dapat diajukan secara tertulis atau dengan

mengisi formulir pengaduan yang disediakan

oleh dewan pers. Apabila yang dilaporkan ialah

karya jurnalistik maka dapat dilaporkan paling

lambat 2 bulan setelah karya tersebut

diterbitkan kecuali karya tersebut berkaitkan

dengan kepentingan umum dimana hal ini

diatur dalam Pasal 3 Peraturan Dewan Pers

Nomor 3/Peraturan-DP/VII/2013 tentang

prosedur pengaduan ke dewan pers.

Selanjutnya akan dilakukan pemanggilan

kepada para pihak untuk dilakukan

Page 7: IMPLEMENTASI PASAL 64 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 …

Implementasi Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014……….

193

pemeriksaan dimana kepada para pihak

maksimal sebanyak dua kali yang diatur dalam

Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor

3/Peraturan-DP/VII/2013 tentang prosedu

pengaduan ke dewan pers. Apabila pengadu

tidak hadir maka pengaduan dianggap gugur

apabila teradu tidak hadir maka perkara tetap

dilanjutkan pemeriksaan dengan

dikeluarkannya putusan PPR (Pernyataan

Penilaian dan Rekomendasi). Apabila para

pihak hadir pada saat pengadilan maka dapat

dilakukan mediasi terlebih dahulu sesuai Pasal

11 Peraturan Dewan Pers Nomor 3/Peraturan-

DP/VII/2013 tentang prosedur pengaduan ke

dewan pers. Jika mediasi gagal maka Dewan

Pers akan memeriksa bukti dan keterangan

pengadu dan teradu untuk mengeluarkan

keputusan PPR sesuai Peraturan Dewan Pers

Nomor 3/Peraturan-DP/VII/2013 tentang

prosedu pengaduan ke dewan pers.

Dewan pers akan melakukan rapat pleno

Setelah dilakukannya pemeriksaan, dimana hasil

dari rapat pleno tersebut berbentuk Pernyataan

Penilaian dan Rekomendasi yang akan

disampaikan kepada pengadu dan teradu serta

diumumkan secara terbuka. Hal ini harus dipatuhi

oleh pengadu maupun teradu dimana harus

dilaksanakan paling lambat 14 hari kerja setelah

dikeluarkannya putusan Penyataan Penilaian dan

Rekomendasi. Apabila teradu tidak memuat atau

menyiarkan isi putusan Pernyataan Penilaian dan

Rekomendasi maka Dewan Pers pernyataan

terbuka khusus untuk itu. Apabila isi Putusan

Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi berupa

pemuatan hak jawab serta tidak dipatuhi oleh

teradu maka perusahaan pers dapat dikenakan

Pasal 18 ayat (2) undang-undang nomor 40 tahun

1999 tentang pers, Tetapi dalam beberapa dekade

ini dewan pers tidak menerima adanya aduan dari

masyarakat mengenai Pelanggaran hak-hak anak

khususnya mengenai kerahasiaan identitas anak

sebagai pelaku yang tidak dirahasiakan oleh pers

sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi

Pasal 64 undang-undang nomor 35 tahun 2014

perubahan undang-undang nomor 23 tahun 2002

tentang perlindungan anak tidak dilaksanakan.

Upaya yang dilakukan Dewan Pers dalam

menanggulangi wartawan yang melanggar

Pasal 64 undang-undang nomor 35 tahun

2014 tentang perlindungan anak

Penerapan Pasal 64 Undang-undang nomor

35 tahun 2014 perubahan undang-undang

nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan

anak khususnya didalam Pasal 64 huruf (i)

mengharus merahasiakan identitas anak

sebagai pelaku. Untuk menerapkan Pasal 64

undang-undang nomor 35 tahun 2014

perubahan undang-undang nomor 23 tahun

2002 tentang perlindungan anak didalam

kegiatan jurnalistik dewan pers berserta

persetujuan organisasi-organisasi yang telah

terdaftar sebagai organisasi resmi lahirlah kode

etik jurnalistik berdasarkan surat keputusan

dewan pers nomor: 03/SK-DP/III/2006 tentang

kode etik jurnalistik. Penerapan Pasal 64

undang-undang nomor 35 tahun 2014

perubahan undang-undang nomor 23 tahun

2002 tentang perlindungan anak dimuat dalam

Pasal 5 kode etik jurnalistik. Dikarenakan

sudah diterapkan dalam Pasal 5 kode etik

jurnalistik maka wartawan harus mengikuti

ketentuan Pasal 5 kode etik jurnalistik hal ini

sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 ayat 2

undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang

pers dimana wartawan harus menaati kode etik

jurnalistik.

Saat ini banyak wartawan-wartawan yang

menulis karya jurnalistik tidak memperhatikan

atau mengabaikan ketentuan dalam Kode Etik

Jurnalistik khususnya berkaitan dengan Pasal 5

Kode Etik Jurnalistik mengenai Identitas anak

sebagai pelaku tindak pidana dimana wartawan

yang melanggar pasal 5 Kode Etik Jurnalistik

dalam menulis karya jurnalistiknya tidak

merahasiakan nama, alamat, ataupun

identitasnya yang lain yang mengarah

kepadanya ataupun identitas orang tua dari

anak sebagai pelaku tersebut seharusnya

dirahasiakan. Hal ini menjadi tugas tersendiri

bagi dewan pers serta dewan kehormatan pwi

selaku pengawas kode etik baik ruang lingkup

indonesia ataupun organisasi.

Kesulitan pengawasan yang dilakukan oleh

dewan pers serta dewan kehormatan PWI

digunakan sebagai celah media-media baik yang

media cetak ataupun sosial dalam membuat karya

jurnalistik tanpa memperhatikan Kode Etik

Jurnalistik yang berlaku khususnya kerahasiaan

Page 8: IMPLEMENTASI PASAL 64 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 …

Jurnal Novum, Volume 05 Nomor 02, April 2018, Hal 187-198

194

identitas anak sebagai pelaku. Mengingat karena

anak tersebut sudah dicap sebagai anak yang

bermasalah dengan hukum karena diduga

melakukan tindak pidana sehingga tidak adanya

perhatian masyarakat terhadap dirinya hal ini

dibuat sebagai celah wartawan untuk menambah

daya tarik karya jurnalistiknya sehingga membuat

masyarakat semakin mencemooh anak yang

melakukan tindak pidana tersebut. Jika kasus ini

ditelaah kembali menggunakan teori Soerjono

Soekanto, tentang penegakan hukum adalah

kegiatan menyerasikan hubungan nila-nilai yang

terjabarkan dalam kaidah-kaidah dan sikap tindak

sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Menurut soerjono soekanto ada beberapa

faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan

hukum. Faktor-faktor tersebut bisa kita arahkan

lebih baik apabila kita terapkan dengan sebaik-

baiknya akan tetapi faktor tersebut bisa

menjadi buruk apabila kita abaikan.

Pelaksanaan Pasal 64 undang-undang nomor

35 tahun 2014 perubahan undang-undang nomor

23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang

dilingkungan jurnalistik dimana diatur kembali

dalam Pasal 5 kode etik jurnalistik akan terjadi

penyimpangan jika faktor penghambat dari

penerapan Pasal tersebut diabaikan. Hal ini bisa

berdampang negatif dan menjadi hambatan bagi

pelaksanaan Pasal 64 undang-undang nomor 35

tahun 2014 perubahan undang-undang nomor 23

tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam

lingkungan jurnalistik. Hambatan-hambatan

tersebut diantaranya yaitu (1) faktor dari

hukumnya sendiri yaitu pada Pasal 64 undang-

undang nomor 35 tahun 2014 perubahan undang-

undang nomor 23 tahun 2002 tentang

perlindungan anak serta mengenaisanksi

pidananya diatur dalam Pasal 97 Undang-Undang

nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan

pidana anak akan tetapi karena pers ialah profesi

dan terdapat kode etik jurnalistik yang mengatur

mengenai pelanggaran identitas anak ini maka

akan dilakukan sanksi kode etik terlebih dahulu.

Sedangkan apabila dilihat dari Kode Etik

Jurnalistik terdapat ancaman bagi wartawan yang

terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik

Jurnalistik akan tetapi bagi wartawan yang

melanggar Pasal 5 kode etik wartawan idonesia

hanya diancam hukuman paling ringan pemberian

hak jawab kepada pengadu sedangkan ancaman

hukuman paling berat ialah pemberhentian

keanggotaan serta pencabutan sertifikat dan kartu

kompetensi wartawan apabila telah melakukan uji

kompetensi akan tetapi wartawan tersebut dapat

mendaftar kembali minimal 2 tahun setelah

pemberitahuan pemberhetian. Selain itu

penaganan pelanggaran oleh wartawan hanya

diproses jika sudah ada aduan dari masyarakat,

hal ini karena aturannya yaitu Peraturan Dewan

Pers Nomor 3/Peraturan-DP/VII/2013 Tentang

Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers bahwa dalam

rangka mengawasi pelaksanaan Kode Etik

Jurnalistik Dewan Pers menerima dan memproses

pengaduan serta menindaklanjuti informasi dari

masyarakat menyangkut pelanggaran yang

dilakukan oleh Wartawan atau Pers. Ini artinya

Dewan Pers baru bertindak setelah adanya

pengaduan. (2) faktor penegak hukumnya yakni

dewan pers dan dewan kehormatan PWI yang

seharusnya aktif dalam melakukan pengawasan

terhadap penerapan Kode Etik Jurnalistik.

Pengawasan dari Dewan Pers serta Dewan

Kehormatan PWI masih kurang memberikan

kontribusi terhadap penegakkan Kode Etik

Jurnalistik hal ini terjadi karena masih

banyaknya pelanggaran Kode Etik Jurnalistik

termasuk Pasal 5.Khususnya peran ini

merupakan fungsi dari Komisi Pengaduan

Masyarakat dan Penegakan Etika Pers yang

terdapat di Dewan Pers dalam berupaya

melakukan penegakkan Kode Etik Jurnalistik

dengan melakukan sosialisasi kepada wartawan maupun media dan

masyarakat serta pengawasan yang dilakukan

dirasa kurang mengingat jumlah personil dari

dewan pers sendiri dalam komisi pengaduan dan

penegakkan kode etik jurnalistik hanya terdiri

dari 4 orang sehingga untuk melakukan

pengawasan masih dirasa kurangwalaupun

wartawan diawasi oleh organisasinya tetapi

karena pengawasan organisasi pertanggung

jawabannya kepada provinsi karena dewan

kehormatan adanya di tingkat provinsi sehingga

pengawasan dari dewan kehormatan sendiri

masih dianggap kurang karena kekurangan

personil mengingat wartawan yang terdapat di

indonesia banyak sehingga Pasal 5 Kode Etik

Jurnalistik tidak dilaksanakan sebagaimana

Page 9: IMPLEMENTASI PASAL 64 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 …

Implementasi Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014……….

195

mestinya. (3) Faktor sarana dan prasarana yaitu

belum adanya sarana dalam memudahkan dewan

pers serta dewan kehormatan PWI dalam

memeriksa karya jurnalistik baik yang ditulis di

media cetak maupun media online. Kesulitan

dalam memeriksa alamat media-media yang

belum terdaftar secara resmi juga mempersulit

Dewan Pers dan Dewan Kehormatan PWI dalam

menindak media ataupun wartawan yang tidak

diketahui alamatnya. (4) faktor masyarakat yaitu

berupa kurangnya perhatian masyarakat untuk

melindungi anak sebagai pelaku tindak pidana.

Karena statement masyarakat yang menilai anak-

anak sebagai pelaku pidana merupakan anak

nakal sehingga masyarakat tidak memperhatikan

hak-hak anak tersebut untuk dilindungi bahkan

beberapa masyarakat malah masih mengecap

sebagai anak nakal walaupun dinyatakan

bebas/lepas ataupun udah keluar dari masa

tahanan. Hal ini merupakan hambatan yang

paling penting untuk diperbaiki demi

menegakkan Pasal 5 kode etik jurnalistik

dikarenakan dewan pers dan dewan kehormatan

pwi dalam memeriksa pelanggaran kode etik

yang dilakukan oleh wartawan harus berdasarkan

aduan dari masyarakat terlebih dahulu.

Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat

mengenai keharusan melindungi identitas anak

sebagai pelaku juga dianggap sebagai

penghambat dalam melaksanakan Pasal 5 kode

etik jurnalistik. Selanjutnya ialah faktor

masyarakat terutama yang bekerja sebagai

wartawan baik yang telah dinyatakan lulus uji

kompetensi wartawan serta yang belum

dinyatakan lulus uji kompetensi harus

menerapkan Kode Etik Jurnalistik dalam setiap

karya jurnalistiknya.

Peran masyarakat berpengaruh terhadap

perlindungan anak dan hal ini juga diatur

dalam Pasal 72 ayat (1) undang-undang nomor

35 tahun 2014 perubahan undang-undang

nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan

anak yang berbunyi “Masyarakat berperan

serta dalam PerlindunganAnak, baik secara

perseorangan maupun kelompok.” Masyarakat

yang bekerja sebagai wartawan pun juga harus

melindungi hak-hak anak yang diatur dalam

Pasal 72 ayat (2) undang-undang nomor 35

tahun 2014 perubahan undang-undang nomor

23 tahun 2002 yang berbunyi “Peran

Masyarakat sebagaimana dimaksud padaayat

(1) dilakukan oleh orang perseorangan,

lembaga perlindungan anak, lembaga

kesejahteraan sosial, organisasi

kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media

massa, dan dunia usaha”. Dari peraturan

perundang-undangan diatas dapat disimpulkan

bahwa peran masyarakat juga penting dalam

rangka memberikan perlindungan terhadap

anak sebagai pelaku tindak pidana. Mengingat

peran masyarakat sebagai pintu awal anak-anak

dalam melakukan kegiatan bersosial sehingga

demi menjaga tumbuh kembangnya kita harus

melindungi anak-anak termasuk anak sebagai

pelaku tindak pidana.

Pasal 5 kode etik jurnalistik tidak dapat

berjalan sebagaimana mestinya tanpa adanya

laporan dari masyarakat mengingat Pasal 36

Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi “Dewan

Kehormatan melakukan pemeriksaan terhadap

suatu pelanggaran Kode Etik Jurnalistik setelah

menerima pengaduan dari seseorang atau

sesuatu badan yang merasa dirugikan”. Dari

Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa dewan

pers dan dewan kehormatan PWI harus bekerja

sama dengan masyarakat demi menegakan

kode etik jurnalistik khususnya Pasal 5 kode

etik jurnalistik. Mengingat pelanggaran kode

etik jurnalistik hanya dapat diperiksa oleh

dewan pers dan dewan kehormatan organisasi

sesuai Pasal 15 undang-undang nomor 40

tahun 1999 tentang pers.

Dari analisa diatas didukung dengan hasil

wawancara penulis dengan beberapa narasumber

yang telah berhasil penulis wawancarai. Uraian

hasil wawancara dengan narasumber penulis

uraikan bahwa Komisi hukum dan perundang-

undangan dewan pers menyebutkan bahwa

hambatan dewan pers dalam menegakkan Pasal 5

kode etik jurnalistik dikarenakan tidak adanya

aduan dari masyarakat mengenai pelanggaran

identitas anak sebagai pelaku. Tidak adanya

aduan ini karena masyarakat sudah langsung

menilai bahwa anak-anak yang melakukan tindak

pidana merupakan anak nakal sehingga

masyarakat bersikap acuh terhadap anak sebagai

pelaku tersebut walaupun anak sebagai pelaku

tersebut belum ditetapkan sebagai tersangka

berdasarkan putusan. Kurangnya perhatian

akan nasib anak-anak sebagai pelaku

Page 10: IMPLEMENTASI PASAL 64 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 …

Jurnal Novum, Volume 05 Nomor 02, April 2018, Hal 187-198

196

menjadikan penegakkan Pasal 5 kode etik

jurnalistik menjadi lemah mengingat tidak

adanya aduan yang diterima dewan pers dan

dewan kehormatan organisasi sehingga tidak

bisa mengambil sikap atas pelanggaran kode

etik jurnalistik. Hal ini pun dijadikan celah

bagi wartawan dalam mencari daya tarik karya

jurnalistiknya dikarenakan subjek dari karya

jurnalistiknya merupakan anak-anak yang

seharusnya masih dalam pengawasan orang tua

serta tidak adanya upaya masyarakat dalam

melindungi hak anak-anak sebagai pelaku

kriminal.

Pelaksanaan Pasal 5 kode etik jurnalistik

masih sangat lemah dan masih adanya

wartawan-wartawan yang mengabaikan hak-

hak anak sebagai pelaku hal ini seharusnya

tidak terjadi apabila wartawan mengamalkan

secara benar kode etik jurnalistiknya

mengingat wartawan merupakan profesi yang

membutuhkan keahlian khusus sehingga harus

menaati kode etik profesinya.

Hasil wawancara baik yang didapatkan

dari komisi hukum dan perundang-undangan

dewan pers serta ketua dewan kehormatan

penulis menganalisa hambatan-hambatan

yang dialami dewan pers dan dewan

kehormatan pwi selama pelaksanaan Pasal 5

kode etik jurnalistik. Penulis mempunyai

empat keterangan dari empat narasumber

yaitu Komisi hukum dan perundang-

undangan Dewan Pers, Dewan Kehormatan

Provinsi PWI Jawa Timur, serta wartawan

yang tidak melakukan pelanggaran kode etik

jurnalistik serta wartawan yang melanggar

kode etik jurnalistik dari PWI Jawa Timur.

Menurut komisi divisi hukum dan

perundang-undangan hambatan dari

pelaksanaan Pasal 5 kode etik jurnalistik

adalah terlalu banyaknya media baik itu

media cetak ataupun media online, tidak

adanya aduan pelanggaran kerahasiaan

identitas anak sebagai pelaku yang

dilakukan oleh wartawan yang seharusnya

diadukan oleh masyarakat dan wartawan

yang belum melakukan uji kompetensi atau

tidak menerapkan dan mengetahui isi kode

etik jurnalistik.

Menurut ketua Dewan Kehormatan PWI

Jawa Timur hambatan pelaksanaan Pasal 5

kode etik jurnalistik adalah karena

ketidaktahuan wartawan akan isi kode etik

jurnalistiknya ataupun mengabaikan isi kode

etik jurnalistik dan tidak adanya aduan dari

masyarakat mengenai pelanggaran Pasal 5

kode etik jurnalistik. Keterangan ini sama

dengan apa yang dikatakan divisi hukum

dan perundang-undangan dewan pers.

menurut salah satu wartawan PWI jawa

timur. Hambatan dari pelaksanaan Pasal 5

kode etik jurnalistik adalah karena ingin

menambah daya tarik pembaca, karena

kurangnya pengecekan media redaksi

terhadap karya jurnalistik yang akan dicetak

atau dipublikasikan, serta sanksi yang

diberikan kepada pelanggaran Pasal 5 kode

etik wartawan yang lemah.

Menurut salah satu wartawan PWI Jawa

Timur yang diduga melanggar Pasal 5 kode

etik jurnalistik menambahkan bahwa dengan

adanya tuntutan dalam jumlah pembaca media

online serta kurang menariknya isi berita yang

ditulis ataupun karena tidak adanya aduan dari

masyarakat sehingga upaya penerapan Pasal 5

kode etik jurnalistik ini dianggap lemah.

Pelanggaran Pasal 64 Undang-Undang Nomor

35 tahun 2014 tentang perlindungan anak maka

dewan pers dan dewan kehormatan pers PWI

melakukan beberapa upaya pencegahan yaitu

diadakannya pengawasan oleh dewan pers. Akan

tetapi mengingat banyaknya media di indonesia

serta anggota yang mengawasi hal ini dirasa

kurang serta tidak adanya aduan dari masyarakat

sehingga dewan pers ataupun dewan kehormatan

organisasi tidak dapat melakukan tindakan.

Perlunya tindakan tegas dalam pengawasan

media-media serta kontrol dalam mengatasi

media-media yang belum terdaftar sehingga kode

etik dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Upaya sosialisasi yang dilakukan dewan pers

dan dewan kehormatan organisasi untuk

memberikan pengetahuan mengenai isi kode etik

jurnalistik khususnya Pasal 5 kode etik

jurnalistik. Mengingat untuk melindungi hak-hak

anak sebagai pelaku tidak hanya tugas pemerintah

tetapi juga masyarakat baik masyarakat yang

bekerja sebagai wartawan ataupun yang bukan

mengingat anak-anak merupakan penerus bangsa

Page 11: IMPLEMENTASI PASAL 64 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 …

Implementasi Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014……….

197

serta menjaga anak-anak tersebut tidak akan

mengulangi perbuatannya lagi di masa yang akan

datang. Selanjutnya ialah kewajiban dalam

mengadakan uji kompetensi wartawan dalam

membuat karya jurnalistik mengingat agar

wartawan lebih mengetahui isi kode etik

jurnalistiknya serta pengecekan pengetahuan

kode etik jurnalistik bagi wartawan secara berkala

demi menjaga pengetahuan wartawan yang telah

lulus uji kompetensi wartawan tetap mengingat

isi kode etik jurnalistik hal ini dapat menjadikan

wartawan lebih profesionalitas karena mentaati

kode etik jurnalistik serta peraturan perundang-

undangan yang berlaku

PENUTUP Kesimpulan

Implementasi Pasal 64 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak tidak dilaksanakan oleh

Dewan Pers dan Dewan Kehormatan Pers PWI

Jawa Timur, disebabkan tidak adanya aduan

mengenai pelanggaran identitas anak sebagai

pelaku. Sehingga tidak adanya penegakan dari

dewan pers dan dewan kehormatan pers

mengenai pelanggaran identitas anak sebagai

pelaku. Sanksi pidana terhadap kejahatan

publisitas identitas anak sebagai pelaku

kejahatan telah diatur dalam Pasal 97 Undang-

Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, akan tetapi dalam

menjalankan profesinya pers dilindungi kode

etik jurnalistik sehingga apabila ada dugaan

wartawan melakukan tindak pidana pers harus

terlebih dahulu dibuktikan bahwa wartawan

melakukan pelanggaran kode etik pers yang

membuat sistem tindak pidana dengan

wartawan sebagai subjek hukum tidak

dilaksanakan.

Upaya yang dilakukan Dewan Pers

dan Dewan Kehormatan Pers PWI Jawa Timur dalam

mengimplementasikan Pasal 64 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

perlindungan anak mengalami beberapa

hambatan yang pertama Pasal 64 Undang-

Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

perlindungan anak diterapkan dalam Pasal 5

Kode Etik Jurnalistik Bersifat delik Aduan

yang kedua kurangnya personil dari Dewan

Pers dan Dewan Kehormatan PWI dalam

melakukan pengawasan terhadap

pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang

ketiga Sarana dan prasarana dalam mendata

Media yang terdaftar ataupun Media yang

belum terdaftar masih belum memadai serta

tidak adanya peralatan yang mempermudah

mengecek pelanggaran Kode Etik Jurnalistik

dalam karya jurnalistik dam terakhir

kurangnya perhatian Masyarakat terhadap

nasib anak-anak sebagai pelaku.

Saran Dewan Pers dan Dewan Kehormatan

PWI dalam melakukan pengawasan karya

jurnalistik, harus lebih diperketat dengan

adanya penambahan keanggotaan, guna

mempermudah dalam pengawasan.

Penegakan Pasal 64 Undang-Undang Nomor

35 tahun 2014 tentang perlindungan anak,

dirasa perlu diikuti dengan sosialisasi

mengenai pentingnya perlindungan identitas

anak khususnya sebagai pelaku kepada

warga masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Yanuar. 1992. Dasar-Dasar Kewartawanan.

Padang: Angkasa Raya. Gultom, Maidin. 2010. Perlindungan

Hukum Terhadap Anak dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak di Indonesia.

Bandung: Refika Aditama. Hamzah, Suandra, I Wayan dan

Manalu,B.A.1987. Delik-Delik Pers di

Indonesia. Jakarta: PT Media Sarana

Press. Kusumaningrat, Hikmat dan

Kusumaningrat, Purnama. 2006.

Jurnalistik: Teori dan Praktik.

Bandung: PT Remaja Rosdakara

Muhammad, Abdulkadir.2016. Etika

Profesi Hukum. Bandung: Citra

Aditya Bakti.

Muis, Abdul. 1996. Kontroversi Sekitar Keberadaan Pers : Bunga Rampai

Masalah Komunikasi, Jurnalistik, Etika dan Hukum Pers. Jakarta: Mario Grafika.

Page 12: IMPLEMENTASI PASAL 64 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 …

Jurnal Novum, Volume 05 Nomor 02, April 2018, Hal 187-198

198

Nurudin. 2001. Etika Komunikasi Massa. Yogyakarta:

Cespur. Republik Indonesia. Undang - Undang Nomor

40 tahun 1999 Tentang Pers (Lembaran

Negara Republik Indonesia tahun 1999

Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3887) Republik Indonesia. Undang - Undang Nomor

11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Anak (Lembaran Negara Republik

Indonesia tahun 2012 Nomor 153,

Tambahan Lembaran Negara Nomor

5332) Republik Indonesia. Undang - Undang Nomor

35 Tahun 2014 Perubahan Undang -

Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

297, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5606) Saraswaty, Rika.2009. Hukum Perlindungan

Anak Di Indonesia. Bandung : Citra

Aditya Bakti. Siregar, Amir Efendi. 2003. Kebebasan Pers

dan Kode Etik Jurnalistik. Yogyakarta:

UII Pers. Soekanto, Soerjono. 1996. Sosiologi: Suatu

Pengantar Bandung: Rajawali Pers.

Soekanto, Soerjono. 2008. Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Penegakan Hukum.

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soekanto,Soerjono. 1983. Penegakan Hukum.

Bandung: Bina Cipta.

Sudibyo, Agus. 2013. 50 Tanya Jawab Tentang

Pers, Jakarta: Kepustakaan Populer

gramedia. Suryawati, Indah. 2011. Jurnalistik Suatu Pengantar: Teori

dan Praktik. Bogor: Penerbit Ghalia, Susanto, Edy. 2010. Hukum Pers di Indonesia.

Jakarta: Rineka Cipta.

Widodo. 1997. Teknik Wartawan Menulis

Berita di Surat Kabar dan Majalah,

Jakarta: Indah.