implementasi pasal 64 undang-undang nomor 35 …
TRANSCRIPT
IMPLEMENTASI PASAL 64 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014
TERHADAP IDENTITAS ANAK SEBAGAI PELAKU KRIMINAL YANG TIDAK
DIRAHASIAKAN OLEH PERS
Septian Tedi Prasianto
(S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya) [email protected]
Pudji Astuti
(S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya) [email protected]
Abstrak
Identitas anak yang berhadapan dengan hukum khususnya anak sebagai pelaku kriminal
sering dimuat dalam pemberitaan media cetak maupun online. Pemberitaan tersebut
menyebutkan identitas anak sebagai pelaku tindak pidana. Identitas baik nama, alamat, atau
hal-hal yang berkaitan dengan identitas anak sebagai pelaku seharusnya dirahasiakan.
Kegiatan Jurnalistik seharusnya mengimplementasi Pasal 64 Huruf I Undang-Undang
nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan “Penghindaran
publikasi atas identitasnya”. Dewan Pers seharusnya berupaya menanggulangi pelanggaran
kode etik jurnalistik khususnya publikasi identitas anak yang berkonflik dengan hukum.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui implementasi Pasal 64 Undang-Undang nomor 35
tahun 2014 tentang perlindungan anak dalam kegiatan jurnalistik serta upaya Dewan pers
dan Dewan kehormatan pers PWI Jawa Timur dalam menanggulangi hambatan dalam
menegakkan pasal 64 Undang-Undang perlindungan anak. Metode Penelitian menggunakan
Yuridis Sosiologis. Lokasi penelitian berada di PWI Jawa Timur dan Dewan Pers Indonesia.
Data dikumpulkan menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi. Informan penelitian
ini adalah komisi pengaduan dan penegakan kode etik Dewan Pers dan Ketua Dewan
Kehormatan PWI Jawa Timur serta wartawan. Jenis data penelitian berupa data primer dan
sekunder. Teknik pengolahan data dengan menggunakan reduksi data. Teknik analisis data
menggunakan analisis kualitatif. Hasil Penelitian ini, menunjukkan bahwa implementasi
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak tidak
dilaksanakan karena Dewan Pers dan Dewan Kehormatan PWI Jawa Timur tidak dapat
melakukan penegakan kode etik tanpa adanya aduan dari masyarakat. Upaya yang
dilakukan oleh Dewan Pers dan Dewan Kehormatan PWI Jawa Timur dalam
menanggulangi wartawan yang melanggar pasal 64 mengalami beberapa hambatan.
Pertama, tidak adanya aduan dari masyarakat. Kedua, Personil yang terbatas membuat
pengawasan kode etik jurnalistik menjadi tidak dilaksanakan. Ketiga, masyarakat memiliki
kesadaran hukum yang kurang. Keempat, Dewan Pers dan Dewan Kehormatan PWI Jawa
Timur perlu melakukan pencegahan pelanggaran identitas anak melalui sosialisasi dan
melakukan uji kompetensi wartawan. Kata kunci: anak sebagai pelaku, identitas anak, pelanggaran kode etik jurnalistik
Jurnal Novum, Volume 05 Nomor 02, April 2018, Hal 187-198
188
Abstract Children who are facing the law, especially as minor perpetrators are often raise in media
reports both printed and online alike. This news coverage oftentimes includes the child
perpetrator identity, explicitly stating their name, address, and things correlated to the
child as perpetrator. This act alone violates Article 64 of Law No. 35 of 2014 about child protection. These news can provide a sense of insecurity for these children, because later
there will be labeling of the child as perpetrator. Journalists as one of the professions
which must adopt codes of conduct that are adhered to by journalists and should have comply to these terms. The purpose of this research is to find out the implementation of
Article 64 of Law No. 35 of 2014 concerning child protection in journalistic activities and
to find out the efforts of the Press Council and the PWI East Java Press Council in
overcoming obstacles in enforcing Article 64 of the Child Protection Act This research is compiled using Juridical Sociological research. The data were taken from the East Java
PWI and Indonesian Press council, using interview and documentation. The informants for
this research were Press Council's complaints and enforcement committee of the code of ethics, Chairman of the PWI East Java Honorary Board and journalists. The research data
are in primer and secondary formats. The data were processed using reduction-processing
techniques, analysing quantitative data through drawing conclusion and narrated by the
researcher.The result of this research, found that the implementation of Article 64 of Law No. 35 of 2014 concerning Child Protection is not implemented, according to Press
Council and PWI East Java Honorary Broad they are unable to enforce the code of ethics
and have nothing to process if there are no complaints to begin with. Press council and PWI East Java Honorary Broad will do a follow up on any complaints of violations of the
code of ethics, according to procedure by forming an ethics code assembly, which then
conducts a hearing of the code of ethics. The efforts made by the Press Council and the PWI East Java Honorary Council in tackling down journalists who violated Article 64
faced the first few obstacles, due to the absence of public complaints from the very start,
second, the lack of personnel who are overseeing journalistic code of ethics, third, the lack
of public legal awareness. On preventing violations of children's identity through socialization, Press Council and the PWI East Java Honorary are conducting competency
tests of journalists.
Keywords: Children as perpetrators, Children Identity, Violation of Journalistic Ethics
PENDAHULUAN
Angka kejahatan di Indonesia semakin
meningkat dari waktu ke waktu. Kenakalan
anak pun telah banyak yang menjurus pada
pelanggaran dan kejahatan sehinggah jumlah
anak yang berhadapan dengan hukum selalum
meningkat. Berbagai pemberitaan tentang
kejahatan yang dilakukan oleh anak banyak
dipublikasikan media massa, baik media cetak
maupun media elektronik. Seperti salah satu
berita di Jawa Pos Malang yang
mempublikasikan salah satu anak sebagai
pelaku yang namanya tidak dirahasiakan dalam
berita tersebut serta di berita yang dimuat oleh
malang-post.com yang memberitakan anak
sebagai pelaku tidak dirahasiakan alamat dari
anak tersebut.
Padahal secara hukum identitas anak
haruslah disamarkan seperti yang terdapat
dalam Pasal 64 Huruf I Undang-Undang nomor
35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
yang berbunyi “Perlindungan Khusus
bagi Anak yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2)
huruf b dilakukan melalui penghindaran dari publikasi atas
identitasnya” Anak-anak yang berkonflik dengan hukum
memiliki hak tersendiri yang berbeda dengan
orang dewasa yang melakukan tindak pidana.
Hal ini diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak serta Pasal 3 Undang-Undang nomor 11
tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak dimana salah satu hak terkait ialah tidak
dipublikasikan identitasnya.
Faktanya, identitas anak yang berkonflik
dengan hukum sering ditulis dengan jelas di
beberapa media cetak ataupun media
elektronik. Identitas anak seperti gambar atau
namanya tidak dirahasiakan ke publik,
sehingga masyarakat yang membacanya
mengetahui wajah dan nama anak yang
berkonflik dengan hukum tersebut.
Implementasi Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014……….
189
Berita-berita yang dimuat tanpa
merahasiakan identitas anak sebagai pelaku
dapat memberikan rasa tidak aman terhadap
anak yang berkonflik dengan hukum.
Sebagaimana teori labeling maka hal ini tidak
baik bagi pertumbuhan. Teori Labeling sendiri
adalah Cap yang diberikan oleh kelompok
kepada individu berdasarkan ciri-ciri yang
dianggap minoritas oleh suatu kelompok
masyarakat. Labeling diberikan kepada orang
yang mempunyai suatu perilaku menyimpang
yang bertentangan dengan norma yang berlaku
di masyarakat. Seseorang yang diberi label
akan memiliki sifat dan/atau cenderung
mengikuti label yang diberikan kepadanya.
Dengan diketahuinya identitas anak sebagai
pelaku tersebut maka orang-orang yang
membaca berita tersebut akan mengenal siapa
anak tersebut dan dapat memberi cap sebagai
penjahat. Hal ini dapat berdampak kepada
tumbuh kembang anak yang dikucilkan
sehingga anak tersebut kembali menjadi
penjahat. Selain itu anak yang berkonflik
dengan hukum setelah keluar dari lembaga
pemasyarakatan menjadi susah untuk
menjalani aktivitasnya seperti bersekolah,
bermain, berinteraksi dengan teman sebayanya,
dll. Dampak negatif ini tentunya harus kita
hindari mengingat anak merupakan generasi
penerus bangsa dan dimungkinkan memiliki
hidup yang lebih lama di dunia sehingga harus
kita jaga dan lindungi.
Hak anak berbeda dengan orang dewasa,
hal tersebut diatur secara khusus
dalamUndang-Undang Nomor 35 tahun 2014
tentang Perlindungan Anak (selanjutnya
disebut UU Perlindungan Anak) yang
mengatur dan memberikan Jaminan bagi Hak-
Hak anak yang spesifik diatur dalam Pasal 4
s/d 19 Undang-Undang Perlindngan anak yang
merupakan pembaharuan Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak. Pengertian Anak menurut Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak menyatakan “Anak ialah seseorang yang berumur
kurang dari 18 tahun serta anak yang masih
didalam kandungan”.
Sedangkan pengertian anak menurut Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak mengolongkan anak
menjadi 3 golongan yaitu; (1) anak yang
berkonflik dengan hukum ialah anak yang
melakukan tindak pidana yang berumur lebih
dari 12 tahun dan belum mencapai 18 tahun.
(2) Anak yang menjadi korban tindak pidana
yaitu seseorang yang belum mencapai 18 tahun
yang mengalami kerugian baik fisik ataupun
materiil yang disebabkan oleh tindak pidana.
(3) saksi ialah anak yang melihat, merasakan,
dan
mengalami adanya suatu tindak pidana yang
belum berumur 18 tahun. Perbedaan kegunaan pada undang-undang
nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak dan undang-undang nomor 11 tahun
2012 terletak pada subjeknya dimana untuk
undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak dapat digunakan kepada
seluruh masyarakat sedangkan untuk undang-
undang nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak hanya dapat digunakan
kepada anak yang berkonflik dengan hukum.
Media Massa yang mencantukan identitas
anak dengan jelas mengungkapkan, dimana
anak sebagai pelakunya tidak sesuai dengan
tujuan dan hak anak yang terdapat dalam
Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 Pasal
64 Huruf I yang mewajibkan untuk
merahasiakan identitas anak baik anak yang
berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi
korban, ataupun anak yang menjadi saksi.
Pasal 64 Huruf I berbunyi “Anak yang
berhadapan dengan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf B
melalui penghindaran dari publikasi atas
identitasnya.”
Pers dalam memberitakan sebuah berita
haruslah mengikuti aturan-aturan yang berlaku
Undang-Undang Pers serta Kode Etik
Jurnalistik. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40
tahun 1999 tentang Pers menyatakan bahwa,
“Pers nasional berkewajiban memberitakan
peristiwa dan opini dengan menghormati
norma-norma agama dan rasa kesusilaan
masyarakat serta asas praduga tak bersalah.”
Pasal tersebut menunjukkan bahwa media tidak
boleh menyatakan tersangka bersalah sebelum
ada putusan PN yang mempunyai kekuatan
hukum tetap. Apabila ada pelanggaran-
pelanggaran dalam pemberitaan yang
Jurnal Novum, Volume 05 Nomor 02, April 2018, Hal 187-198
190
diberitakan oleh Pers maka ada lembaga yang
berwenang untuk menanganinya. Hal ini
merupakan tugas bagi Dewan Pers dan Dewan
Kehormatan Pers Persatuan Wartawan
Indonesia (selanjutnya disebut PWI) untuk
menangani pelanggaran yang dilakukan oleh
Pers.
Bukti-bukti berita yang memperlihatkan
identitas anak yang berhubungan dengan
hukum masih ditemukan. Hal ini tidak sesuai
dengan Pasal 64 Huruf I Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan
Anak dan Pasal 5 kode etik jurnalistik yang
melindungi identitas anak baik korban
kejahatan kesusilaan dan anak yang
berhadapan dengan hukum. Hal itu
mengakibatkan dampak negatif bagi masa
depan anak yang berhubungan dengan hukum.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui implementasi Pasal 64 Undang-
undang nomor 35 tahun 2014 tentang
perlindungan anak dalam kegiatan jurnalistik
serta untuk mengetahui upaya Dewan Pers dan
Dewan Kehormatan Pers PWI Jawa Timur
dalam menanggulangi hambatan dalam
menegakkan Pasal 64 Undang-Undang
perlindungan anak.
Kajian teoritik yang berkaitan dengan
permasalahan implementasi Pasal 64 Undang-
undang perlindungan anak berkaitan dengan
kerahasiaan identitas anak sebagai pelaku
adalah Pengertian tentang anak dalam Pasal I
ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Anak adalah seseorang
yang masih dalam kandungan dan belum
berusia 18 (delapan belas) tahun. Perlindungan
anak ialah segala usaha yang dilakukan dalam
rangka membuat suatu kondisi agar anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi
perkembangan dan pertumbuhan anak secara
wajar (Maidi Gultom, 2010: 33).
Labeling adalah identitas yang diberikan
oleh kelompok kepada individu berdasarkan
ciri-ciri yang dianggap minoritas oleh suatu
kelompok masyarakat. Labeling diberikan
kepada orang yang mempunyai perilaku
menyimpang yang bertentangan dengan norma
yang berlaku di masyarakat. Seseorang yang
diberi label akan memiliki sifat dan/atau
cenderung mengikuti label yang diberikan
kepadanya (Rika Saraswaty, 2009: 1)
Pers berasal dari kata Persen bahasa
Belanda atau press bahasa Inggris yang berarti
menekan yang ditujukan kepada mesin cetak
lama yang proses pembuatan korannya harus
ditekan dengan keras agar tertera dalam kertas
(Edy Susanto, 2010: 19). Menurut Weinern,
Pers mempunyai Tiga definisi pertama,
wartawan media cetak, kedua, publisitas atau
peliputan. Ketiga mesin cetak naik (Amir
Efendi Siregar, 2003: 7). Sedangkan menurut
Oemar Seno Adji mengartikan Pers dalam arti
sempit yaitu Pers yang menjelma dalam bentuk
surat kabar, majalah, buku, dan barang cetakan
lain(Hamzah dkk., 1987: 2)
Wartawan ialah manusia yang melakukan
kegiatannya setiap hari sebagai pencari dan
pemburu berita, pengumpul berita, pembawa
berita, penyusun berita, penyiar berita, juga
pengajak berfikir, tukang ingatkan (kontrol)
serta tukang hibur dengan menggunakan
tulisan sebagai medianya (Yanuar Abdullah,
1992: 16) Menurut bertens kode etik profesi
merupakan norma yang ditetapkan dan
diterima oleh kelompok profesi sedangkan.
Menurut Abdulkadir Muhammad kode etik
profesi ialah suatu etika yang diterapkan
karena bersumber dari pemikiran etis atas
profesi (Abdulkadir Muhammad, 2016: 58)
Proses Penyelesaian Pelanggaran Pasal 64
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
dengan melalui dua penyelesaian yang ertama
melalui Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999
tentang Pers dan melalui Dewan Pers Sesuai
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 tahun
1999. faktor-faktor yang menentukan berhasil
tidaknya suatu hukum menurut Soerjono
Soekanto ditentukan oleh 5 faktor, Pertama
faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang),
yang kedua faktor penegak hukumnya, yang
ketiga faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum, yang keempat Faktor
masyarakat yakni lingkungan dimana
hukum tersebut berlaku yang kelima faktor
kebudayaan yakni sebagai hasil karya cipta
dan rasa
METODE
Implementasi Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014……….
191
Jenis Penelitian ini merupakan peneltian
hukum yuridis Sosiologis. Penelitian hukum
yuridis sosiologis adalah ilmu yang tetap
berbasis terhadap hukum normatif tetapi
bukan mengkaji mengenai sistem norma
dalam aturan perundangan, namun
mengamati bagaimana reaksi dan interaks
yang terjad ketika sistem nomra itu bekerja.
Penelitian ini ingin menggambarkan
Implementasi Pasal 64 Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak dan upaya Dewan Pers dan Dewan
Kehormatan Pers PWI Jawa timur dalam
menghadapi hambatan-hambatan tersebut.
Jenis Data yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan data primer
yaitu data yang diperoleh secara langsung
dari informan yang berkaitan dengan
penelitian ini. Informan yang dimaksud
ialah Dari Pihak Dewan Pers dan PWI
Cabang Jawa Timur sebagai organisasi yang
menjaga dan mengayomi wartawan-
wartawan. Serta data sekunder yaitu karya
tulis yang dihasilkan melalui penelitian
ilmiah, perundang-undangan yang mengatur
tentang Pers serta hak-hak anak sebagai
pelaku, serta internet dan buku yang berisi
tentang hal-hal yang berkaitan dengan
penelitian ini.
Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini dengan cara metode
wawancara melalui tanya jawab secara
langsung antara penelti dengan informan
dengan menggunakan teknik wawancara dan
mencatat sistematis. Teknik ini dilakukan
untuk mendapat informasi secara mendalam berkaitan
dengan permasalahan penelitian.
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan
untuk menanyakan terkait dengan
implementasi Pasal 64 undang-undang
nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan
anak di lingkungan jurnalistik dan
menanyakan upaya yang dilakukan oleh
Dewan Pers dan Dewan Kehormatan Pers
PWI Jawa Timur dalam menanggulangi
hambatan dalam menegakkan Pasal 64
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014
tentang perlindungan anak. serta
menggunakan metode dokumentasi yaitu
dokumen peristiwa yang sudah berlalu.
Dokumen berbentuk tulisan, gambar, atau
karya-karya monumental dari seseorang.
Dokumentasi dalam penelitian ini adalah
berita-berita yang mempublikasikan
identitas anak sebagai pelaku tanpa
dirahasiakan, struktur organisasi Dewan
Pers dan PWI, Proses Pengaduan kepada
Dewan Pers.
Teknik pengolahan data merupakan
langkah yang digunakan peneliti dalam
melakukan penelitian dengan bertujuan untuk
mempertegas, memperpendek, membuat fokus,
membuang hal-hal yang tidak penting dan
mengatur data sehingga dapat membuat
kesimpulan dengan kata lain bahwa reduksi
data adalah proses seleksi, penafsiran,
penyederhanaan, dan abstraksi data kasar. Teknik analisis data menggunakan analisis
kualitatif, dimana penulis disini akan menyusun
dan menyajikan data dengan baik dan jelas agar
data tersebut lebih mudah untuk dipahami. Dalam
penelitian ini data yang disajikan menjadi kalimat
naratif dari data-datayang telah dilakukan seleksi
sebelumnya yang akan dibuat kesimpulan oleh
peneliti setelah memahami berbagai hal dengan
melakukan pencatatan pertanyaan-pertanyaan,
alur sebab-akibat, maka akhirnya peneliti menarik
kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Implementasi Pasal 64 undang-undang
nomor 35 tahun 2014 perubahan Undang-
undang nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak mengenai kerahasiaan
identitas anak sebagai pelaku yang harus
dirahasiakan.
Hak-Hak anak sebagai pelaku kriminal
diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor
35 tahun 2014 perubahan undang-undang
nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak salah satunya ialah dalam pasal 64 huruf i
yang menyatakan bahwa anak mempunyai hak
untuk dirahasiakan identitasnya. Identitas yang
harusnya dirahasiakan oleh media sendiri
meliputi nama lengkap anak yang seharusnya
disamarkan baik menggunakan inisial ataupun
menggunakan nama samaran, alamat anak
sebagai pelaku tidak boleh disebutkan baik itu
alamat rumah ataupun sekolah dimana anak
sebagai pelaku tersebut bersekolah,
gambar/foto anak sebagai pelaku kriminal tidak
Jurnal Novum, Volume 05 Nomor 02, April 2018, Hal 187-198
192
boleh diperlihatkan di media, dan identitas
mengenai keluarga anak sebagai pelaku baik
itu nama, alamat, dan gambar keluarga anak
sebagai pelaku.
Redaksi juga berperan memeriksa karya
jurnalistik yang akan dipublikasikan mengingat
bahwa setiap karya jurnalistik yang akan dimuat
di suatu media harus melalui ijin dari redaksi
terlebih dahulu. Fakta dilapangan masih terdapat
beberapa media seperti di jawa post malang yang
tidak merahasiakan nama lengkap anak, malang
post.com yang tidak merahasiakan alamat dari
anak sebagai pelaku, radar malang.id yang tidak
merahasiakan alamat anak sebagai pelaku. Hak-
hak anak sebagai pelaku kriminal tentang
kerahasiaan identitas anak terdapat sanksi pidana
yang diatur dalam Pasal 97 jo. Pasal 19 Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem
peradilan pidana anak, dimana setiap orang yang
mempublikasikan identitas anak sebagai pelaku
maka dapat dikenakan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Selain diatur dalam Undang-Undang nomor 11
tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana
anak Pasal 64 Undang-Undang nomor 35 tahun
2014 perubahan Undang-Undang nomor 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak,
mengenai kerahasiaan identitas anak sebagai
pelaku juga diatur dalam Pasal 5 Kode Etik
Jurnalistikyang berbunyi “Wartawan Indonesia
tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas
korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan
identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”.
Mengingat bahwa wartawan merupakan
suatu profesi yang dinaungi oleh sebuah
organisasi, sehingga dalam melakukan
pekerjaannya harus mengikuti kode etik profesi
yang berlaku untuk menjaga profesionalitas
serta terjaganya hak-hak pihak lain yang masih
terkait dengan kegiatan jurnalistik yang salah
satu diantaranya adalah merahasiakan identitas
anak sesuai Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik.
Pada tahapan ini apabila terdapat wartawan
yang diketahui mempublikasikan identitas anak
sebagai pelaku maka wartawan tersebut harus
diproses terlebih dahulu melalui sidang etik
mengingat tiada tindak pidana tanpa
pelanggaran kode etik yang terlebih dulu harus
dibuktikan. Kerahasiaan identitas anak sebagai
pelaku merupakan delik pers karena hal ini
terjadi pada hasil penulisan karya jurnalistik
yang telah dipublikasikan berdasarkan ijin
redaksi, maka hal ini dilakukan pemeriksaan
oleh dewan pers mengingat pertanggung
jawaban terdapat pada redaksi. Sedangkan
untuk wartawannya akan diserahkan kepada
organisasi wartawan yang menaunginya.
Tata cara proses pengaduan pelanggaran kode
etik jurnalistik diatur dalam lampiran peraturan
dewan pers nomor 3/Peraturan-DP/VII/2013
tentang prosedur pengaduan ke dewan pers. Tata
cara pelaporan dan proses pengaduannya
melakukan Pengaduan pelanggaran yang
dilakukan oleh wartawan dapat kepada dewan
pers apabila hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal
2 Peraturan Dewan Pers Nomor 3/Peraturan-
DP/VII/2013 tentang prosedur pengaduan ke
dewan pers dimana perkara tersebut mengenai
karya jurnalistik, perilaku, dan atau tidakan
wartawan yang terkait dengan kegiatan
jurnalistik; kekerasan terhadap wartawan dan atau
perusahaan pers; iklan sebagaimana diatur dalam
Pasal 13 undang-undang nomor 40 tahun 1999
tentang pers dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dewan pers tidak menangani
pengaduan yang telah diajukan ke kepolisian
kecuali pengadu bersedia mencabut pengaduan ke
kepolisian atau pengadilan untuk diselesaikan ke
dewan pers ataupun kepolisian menyerahkan
perkara tersebut ke dewan pers hal ini diatur
dalam Pasal 4 Peraturan Dewan Pers Nomor
3/Peraturan-DP/VII/2013 tentang prosedu
pengaduan ke dewan pers.
Menurut Pasal 8 Peraturan Dewan Pers
Nomor 3/Peraturan-DP/VII/2013 tentang
prosedur pengaduan ke dewan pers pengaduan
dapat diajukan secara tertulis atau dengan
mengisi formulir pengaduan yang disediakan
oleh dewan pers. Apabila yang dilaporkan ialah
karya jurnalistik maka dapat dilaporkan paling
lambat 2 bulan setelah karya tersebut
diterbitkan kecuali karya tersebut berkaitkan
dengan kepentingan umum dimana hal ini
diatur dalam Pasal 3 Peraturan Dewan Pers
Nomor 3/Peraturan-DP/VII/2013 tentang
prosedur pengaduan ke dewan pers.
Selanjutnya akan dilakukan pemanggilan
kepada para pihak untuk dilakukan
Implementasi Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014……….
193
pemeriksaan dimana kepada para pihak
maksimal sebanyak dua kali yang diatur dalam
Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor
3/Peraturan-DP/VII/2013 tentang prosedu
pengaduan ke dewan pers. Apabila pengadu
tidak hadir maka pengaduan dianggap gugur
apabila teradu tidak hadir maka perkara tetap
dilanjutkan pemeriksaan dengan
dikeluarkannya putusan PPR (Pernyataan
Penilaian dan Rekomendasi). Apabila para
pihak hadir pada saat pengadilan maka dapat
dilakukan mediasi terlebih dahulu sesuai Pasal
11 Peraturan Dewan Pers Nomor 3/Peraturan-
DP/VII/2013 tentang prosedur pengaduan ke
dewan pers. Jika mediasi gagal maka Dewan
Pers akan memeriksa bukti dan keterangan
pengadu dan teradu untuk mengeluarkan
keputusan PPR sesuai Peraturan Dewan Pers
Nomor 3/Peraturan-DP/VII/2013 tentang
prosedu pengaduan ke dewan pers.
Dewan pers akan melakukan rapat pleno
Setelah dilakukannya pemeriksaan, dimana hasil
dari rapat pleno tersebut berbentuk Pernyataan
Penilaian dan Rekomendasi yang akan
disampaikan kepada pengadu dan teradu serta
diumumkan secara terbuka. Hal ini harus dipatuhi
oleh pengadu maupun teradu dimana harus
dilaksanakan paling lambat 14 hari kerja setelah
dikeluarkannya putusan Penyataan Penilaian dan
Rekomendasi. Apabila teradu tidak memuat atau
menyiarkan isi putusan Pernyataan Penilaian dan
Rekomendasi maka Dewan Pers pernyataan
terbuka khusus untuk itu. Apabila isi Putusan
Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi berupa
pemuatan hak jawab serta tidak dipatuhi oleh
teradu maka perusahaan pers dapat dikenakan
Pasal 18 ayat (2) undang-undang nomor 40 tahun
1999 tentang pers, Tetapi dalam beberapa dekade
ini dewan pers tidak menerima adanya aduan dari
masyarakat mengenai Pelanggaran hak-hak anak
khususnya mengenai kerahasiaan identitas anak
sebagai pelaku yang tidak dirahasiakan oleh pers
sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi
Pasal 64 undang-undang nomor 35 tahun 2014
perubahan undang-undang nomor 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak tidak dilaksanakan.
Upaya yang dilakukan Dewan Pers dalam
menanggulangi wartawan yang melanggar
Pasal 64 undang-undang nomor 35 tahun
2014 tentang perlindungan anak
Penerapan Pasal 64 Undang-undang nomor
35 tahun 2014 perubahan undang-undang
nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak khususnya didalam Pasal 64 huruf (i)
mengharus merahasiakan identitas anak
sebagai pelaku. Untuk menerapkan Pasal 64
undang-undang nomor 35 tahun 2014
perubahan undang-undang nomor 23 tahun
2002 tentang perlindungan anak didalam
kegiatan jurnalistik dewan pers berserta
persetujuan organisasi-organisasi yang telah
terdaftar sebagai organisasi resmi lahirlah kode
etik jurnalistik berdasarkan surat keputusan
dewan pers nomor: 03/SK-DP/III/2006 tentang
kode etik jurnalistik. Penerapan Pasal 64
undang-undang nomor 35 tahun 2014
perubahan undang-undang nomor 23 tahun
2002 tentang perlindungan anak dimuat dalam
Pasal 5 kode etik jurnalistik. Dikarenakan
sudah diterapkan dalam Pasal 5 kode etik
jurnalistik maka wartawan harus mengikuti
ketentuan Pasal 5 kode etik jurnalistik hal ini
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 ayat 2
undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang
pers dimana wartawan harus menaati kode etik
jurnalistik.
Saat ini banyak wartawan-wartawan yang
menulis karya jurnalistik tidak memperhatikan
atau mengabaikan ketentuan dalam Kode Etik
Jurnalistik khususnya berkaitan dengan Pasal 5
Kode Etik Jurnalistik mengenai Identitas anak
sebagai pelaku tindak pidana dimana wartawan
yang melanggar pasal 5 Kode Etik Jurnalistik
dalam menulis karya jurnalistiknya tidak
merahasiakan nama, alamat, ataupun
identitasnya yang lain yang mengarah
kepadanya ataupun identitas orang tua dari
anak sebagai pelaku tersebut seharusnya
dirahasiakan. Hal ini menjadi tugas tersendiri
bagi dewan pers serta dewan kehormatan pwi
selaku pengawas kode etik baik ruang lingkup
indonesia ataupun organisasi.
Kesulitan pengawasan yang dilakukan oleh
dewan pers serta dewan kehormatan PWI
digunakan sebagai celah media-media baik yang
media cetak ataupun sosial dalam membuat karya
jurnalistik tanpa memperhatikan Kode Etik
Jurnalistik yang berlaku khususnya kerahasiaan
Jurnal Novum, Volume 05 Nomor 02, April 2018, Hal 187-198
194
identitas anak sebagai pelaku. Mengingat karena
anak tersebut sudah dicap sebagai anak yang
bermasalah dengan hukum karena diduga
melakukan tindak pidana sehingga tidak adanya
perhatian masyarakat terhadap dirinya hal ini
dibuat sebagai celah wartawan untuk menambah
daya tarik karya jurnalistiknya sehingga membuat
masyarakat semakin mencemooh anak yang
melakukan tindak pidana tersebut. Jika kasus ini
ditelaah kembali menggunakan teori Soerjono
Soekanto, tentang penegakan hukum adalah
kegiatan menyerasikan hubungan nila-nilai yang
terjabarkan dalam kaidah-kaidah dan sikap tindak
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Menurut soerjono soekanto ada beberapa
faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum. Faktor-faktor tersebut bisa kita arahkan
lebih baik apabila kita terapkan dengan sebaik-
baiknya akan tetapi faktor tersebut bisa
menjadi buruk apabila kita abaikan.
Pelaksanaan Pasal 64 undang-undang nomor
35 tahun 2014 perubahan undang-undang nomor
23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang
dilingkungan jurnalistik dimana diatur kembali
dalam Pasal 5 kode etik jurnalistik akan terjadi
penyimpangan jika faktor penghambat dari
penerapan Pasal tersebut diabaikan. Hal ini bisa
berdampang negatif dan menjadi hambatan bagi
pelaksanaan Pasal 64 undang-undang nomor 35
tahun 2014 perubahan undang-undang nomor 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam
lingkungan jurnalistik. Hambatan-hambatan
tersebut diantaranya yaitu (1) faktor dari
hukumnya sendiri yaitu pada Pasal 64 undang-
undang nomor 35 tahun 2014 perubahan undang-
undang nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak serta mengenaisanksi
pidananya diatur dalam Pasal 97 Undang-Undang
nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan
pidana anak akan tetapi karena pers ialah profesi
dan terdapat kode etik jurnalistik yang mengatur
mengenai pelanggaran identitas anak ini maka
akan dilakukan sanksi kode etik terlebih dahulu.
Sedangkan apabila dilihat dari Kode Etik
Jurnalistik terdapat ancaman bagi wartawan yang
terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik
Jurnalistik akan tetapi bagi wartawan yang
melanggar Pasal 5 kode etik wartawan idonesia
hanya diancam hukuman paling ringan pemberian
hak jawab kepada pengadu sedangkan ancaman
hukuman paling berat ialah pemberhentian
keanggotaan serta pencabutan sertifikat dan kartu
kompetensi wartawan apabila telah melakukan uji
kompetensi akan tetapi wartawan tersebut dapat
mendaftar kembali minimal 2 tahun setelah
pemberitahuan pemberhetian. Selain itu
penaganan pelanggaran oleh wartawan hanya
diproses jika sudah ada aduan dari masyarakat,
hal ini karena aturannya yaitu Peraturan Dewan
Pers Nomor 3/Peraturan-DP/VII/2013 Tentang
Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers bahwa dalam
rangka mengawasi pelaksanaan Kode Etik
Jurnalistik Dewan Pers menerima dan memproses
pengaduan serta menindaklanjuti informasi dari
masyarakat menyangkut pelanggaran yang
dilakukan oleh Wartawan atau Pers. Ini artinya
Dewan Pers baru bertindak setelah adanya
pengaduan. (2) faktor penegak hukumnya yakni
dewan pers dan dewan kehormatan PWI yang
seharusnya aktif dalam melakukan pengawasan
terhadap penerapan Kode Etik Jurnalistik.
Pengawasan dari Dewan Pers serta Dewan
Kehormatan PWI masih kurang memberikan
kontribusi terhadap penegakkan Kode Etik
Jurnalistik hal ini terjadi karena masih
banyaknya pelanggaran Kode Etik Jurnalistik
termasuk Pasal 5.Khususnya peran ini
merupakan fungsi dari Komisi Pengaduan
Masyarakat dan Penegakan Etika Pers yang
terdapat di Dewan Pers dalam berupaya
melakukan penegakkan Kode Etik Jurnalistik
dengan melakukan sosialisasi kepada wartawan maupun media dan
masyarakat serta pengawasan yang dilakukan
dirasa kurang mengingat jumlah personil dari
dewan pers sendiri dalam komisi pengaduan dan
penegakkan kode etik jurnalistik hanya terdiri
dari 4 orang sehingga untuk melakukan
pengawasan masih dirasa kurangwalaupun
wartawan diawasi oleh organisasinya tetapi
karena pengawasan organisasi pertanggung
jawabannya kepada provinsi karena dewan
kehormatan adanya di tingkat provinsi sehingga
pengawasan dari dewan kehormatan sendiri
masih dianggap kurang karena kekurangan
personil mengingat wartawan yang terdapat di
indonesia banyak sehingga Pasal 5 Kode Etik
Jurnalistik tidak dilaksanakan sebagaimana
Implementasi Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014……….
195
mestinya. (3) Faktor sarana dan prasarana yaitu
belum adanya sarana dalam memudahkan dewan
pers serta dewan kehormatan PWI dalam
memeriksa karya jurnalistik baik yang ditulis di
media cetak maupun media online. Kesulitan
dalam memeriksa alamat media-media yang
belum terdaftar secara resmi juga mempersulit
Dewan Pers dan Dewan Kehormatan PWI dalam
menindak media ataupun wartawan yang tidak
diketahui alamatnya. (4) faktor masyarakat yaitu
berupa kurangnya perhatian masyarakat untuk
melindungi anak sebagai pelaku tindak pidana.
Karena statement masyarakat yang menilai anak-
anak sebagai pelaku pidana merupakan anak
nakal sehingga masyarakat tidak memperhatikan
hak-hak anak tersebut untuk dilindungi bahkan
beberapa masyarakat malah masih mengecap
sebagai anak nakal walaupun dinyatakan
bebas/lepas ataupun udah keluar dari masa
tahanan. Hal ini merupakan hambatan yang
paling penting untuk diperbaiki demi
menegakkan Pasal 5 kode etik jurnalistik
dikarenakan dewan pers dan dewan kehormatan
pwi dalam memeriksa pelanggaran kode etik
yang dilakukan oleh wartawan harus berdasarkan
aduan dari masyarakat terlebih dahulu.
Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat
mengenai keharusan melindungi identitas anak
sebagai pelaku juga dianggap sebagai
penghambat dalam melaksanakan Pasal 5 kode
etik jurnalistik. Selanjutnya ialah faktor
masyarakat terutama yang bekerja sebagai
wartawan baik yang telah dinyatakan lulus uji
kompetensi wartawan serta yang belum
dinyatakan lulus uji kompetensi harus
menerapkan Kode Etik Jurnalistik dalam setiap
karya jurnalistiknya.
Peran masyarakat berpengaruh terhadap
perlindungan anak dan hal ini juga diatur
dalam Pasal 72 ayat (1) undang-undang nomor
35 tahun 2014 perubahan undang-undang
nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak yang berbunyi “Masyarakat berperan
serta dalam PerlindunganAnak, baik secara
perseorangan maupun kelompok.” Masyarakat
yang bekerja sebagai wartawan pun juga harus
melindungi hak-hak anak yang diatur dalam
Pasal 72 ayat (2) undang-undang nomor 35
tahun 2014 perubahan undang-undang nomor
23 tahun 2002 yang berbunyi “Peran
Masyarakat sebagaimana dimaksud padaayat
(1) dilakukan oleh orang perseorangan,
lembaga perlindungan anak, lembaga
kesejahteraan sosial, organisasi
kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media
massa, dan dunia usaha”. Dari peraturan
perundang-undangan diatas dapat disimpulkan
bahwa peran masyarakat juga penting dalam
rangka memberikan perlindungan terhadap
anak sebagai pelaku tindak pidana. Mengingat
peran masyarakat sebagai pintu awal anak-anak
dalam melakukan kegiatan bersosial sehingga
demi menjaga tumbuh kembangnya kita harus
melindungi anak-anak termasuk anak sebagai
pelaku tindak pidana.
Pasal 5 kode etik jurnalistik tidak dapat
berjalan sebagaimana mestinya tanpa adanya
laporan dari masyarakat mengingat Pasal 36
Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi “Dewan
Kehormatan melakukan pemeriksaan terhadap
suatu pelanggaran Kode Etik Jurnalistik setelah
menerima pengaduan dari seseorang atau
sesuatu badan yang merasa dirugikan”. Dari
Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa dewan
pers dan dewan kehormatan PWI harus bekerja
sama dengan masyarakat demi menegakan
kode etik jurnalistik khususnya Pasal 5 kode
etik jurnalistik. Mengingat pelanggaran kode
etik jurnalistik hanya dapat diperiksa oleh
dewan pers dan dewan kehormatan organisasi
sesuai Pasal 15 undang-undang nomor 40
tahun 1999 tentang pers.
Dari analisa diatas didukung dengan hasil
wawancara penulis dengan beberapa narasumber
yang telah berhasil penulis wawancarai. Uraian
hasil wawancara dengan narasumber penulis
uraikan bahwa Komisi hukum dan perundang-
undangan dewan pers menyebutkan bahwa
hambatan dewan pers dalam menegakkan Pasal 5
kode etik jurnalistik dikarenakan tidak adanya
aduan dari masyarakat mengenai pelanggaran
identitas anak sebagai pelaku. Tidak adanya
aduan ini karena masyarakat sudah langsung
menilai bahwa anak-anak yang melakukan tindak
pidana merupakan anak nakal sehingga
masyarakat bersikap acuh terhadap anak sebagai
pelaku tersebut walaupun anak sebagai pelaku
tersebut belum ditetapkan sebagai tersangka
berdasarkan putusan. Kurangnya perhatian
akan nasib anak-anak sebagai pelaku
Jurnal Novum, Volume 05 Nomor 02, April 2018, Hal 187-198
196
menjadikan penegakkan Pasal 5 kode etik
jurnalistik menjadi lemah mengingat tidak
adanya aduan yang diterima dewan pers dan
dewan kehormatan organisasi sehingga tidak
bisa mengambil sikap atas pelanggaran kode
etik jurnalistik. Hal ini pun dijadikan celah
bagi wartawan dalam mencari daya tarik karya
jurnalistiknya dikarenakan subjek dari karya
jurnalistiknya merupakan anak-anak yang
seharusnya masih dalam pengawasan orang tua
serta tidak adanya upaya masyarakat dalam
melindungi hak anak-anak sebagai pelaku
kriminal.
Pelaksanaan Pasal 5 kode etik jurnalistik
masih sangat lemah dan masih adanya
wartawan-wartawan yang mengabaikan hak-
hak anak sebagai pelaku hal ini seharusnya
tidak terjadi apabila wartawan mengamalkan
secara benar kode etik jurnalistiknya
mengingat wartawan merupakan profesi yang
membutuhkan keahlian khusus sehingga harus
menaati kode etik profesinya.
Hasil wawancara baik yang didapatkan
dari komisi hukum dan perundang-undangan
dewan pers serta ketua dewan kehormatan
penulis menganalisa hambatan-hambatan
yang dialami dewan pers dan dewan
kehormatan pwi selama pelaksanaan Pasal 5
kode etik jurnalistik. Penulis mempunyai
empat keterangan dari empat narasumber
yaitu Komisi hukum dan perundang-
undangan Dewan Pers, Dewan Kehormatan
Provinsi PWI Jawa Timur, serta wartawan
yang tidak melakukan pelanggaran kode etik
jurnalistik serta wartawan yang melanggar
kode etik jurnalistik dari PWI Jawa Timur.
Menurut komisi divisi hukum dan
perundang-undangan hambatan dari
pelaksanaan Pasal 5 kode etik jurnalistik
adalah terlalu banyaknya media baik itu
media cetak ataupun media online, tidak
adanya aduan pelanggaran kerahasiaan
identitas anak sebagai pelaku yang
dilakukan oleh wartawan yang seharusnya
diadukan oleh masyarakat dan wartawan
yang belum melakukan uji kompetensi atau
tidak menerapkan dan mengetahui isi kode
etik jurnalistik.
Menurut ketua Dewan Kehormatan PWI
Jawa Timur hambatan pelaksanaan Pasal 5
kode etik jurnalistik adalah karena
ketidaktahuan wartawan akan isi kode etik
jurnalistiknya ataupun mengabaikan isi kode
etik jurnalistik dan tidak adanya aduan dari
masyarakat mengenai pelanggaran Pasal 5
kode etik jurnalistik. Keterangan ini sama
dengan apa yang dikatakan divisi hukum
dan perundang-undangan dewan pers.
menurut salah satu wartawan PWI jawa
timur. Hambatan dari pelaksanaan Pasal 5
kode etik jurnalistik adalah karena ingin
menambah daya tarik pembaca, karena
kurangnya pengecekan media redaksi
terhadap karya jurnalistik yang akan dicetak
atau dipublikasikan, serta sanksi yang
diberikan kepada pelanggaran Pasal 5 kode
etik wartawan yang lemah.
Menurut salah satu wartawan PWI Jawa
Timur yang diduga melanggar Pasal 5 kode
etik jurnalistik menambahkan bahwa dengan
adanya tuntutan dalam jumlah pembaca media
online serta kurang menariknya isi berita yang
ditulis ataupun karena tidak adanya aduan dari
masyarakat sehingga upaya penerapan Pasal 5
kode etik jurnalistik ini dianggap lemah.
Pelanggaran Pasal 64 Undang-Undang Nomor
35 tahun 2014 tentang perlindungan anak maka
dewan pers dan dewan kehormatan pers PWI
melakukan beberapa upaya pencegahan yaitu
diadakannya pengawasan oleh dewan pers. Akan
tetapi mengingat banyaknya media di indonesia
serta anggota yang mengawasi hal ini dirasa
kurang serta tidak adanya aduan dari masyarakat
sehingga dewan pers ataupun dewan kehormatan
organisasi tidak dapat melakukan tindakan.
Perlunya tindakan tegas dalam pengawasan
media-media serta kontrol dalam mengatasi
media-media yang belum terdaftar sehingga kode
etik dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Upaya sosialisasi yang dilakukan dewan pers
dan dewan kehormatan organisasi untuk
memberikan pengetahuan mengenai isi kode etik
jurnalistik khususnya Pasal 5 kode etik
jurnalistik. Mengingat untuk melindungi hak-hak
anak sebagai pelaku tidak hanya tugas pemerintah
tetapi juga masyarakat baik masyarakat yang
bekerja sebagai wartawan ataupun yang bukan
mengingat anak-anak merupakan penerus bangsa
Implementasi Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014……….
197
serta menjaga anak-anak tersebut tidak akan
mengulangi perbuatannya lagi di masa yang akan
datang. Selanjutnya ialah kewajiban dalam
mengadakan uji kompetensi wartawan dalam
membuat karya jurnalistik mengingat agar
wartawan lebih mengetahui isi kode etik
jurnalistiknya serta pengecekan pengetahuan
kode etik jurnalistik bagi wartawan secara berkala
demi menjaga pengetahuan wartawan yang telah
lulus uji kompetensi wartawan tetap mengingat
isi kode etik jurnalistik hal ini dapat menjadikan
wartawan lebih profesionalitas karena mentaati
kode etik jurnalistik serta peraturan perundang-
undangan yang berlaku
PENUTUP Kesimpulan
Implementasi Pasal 64 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak tidak dilaksanakan oleh
Dewan Pers dan Dewan Kehormatan Pers PWI
Jawa Timur, disebabkan tidak adanya aduan
mengenai pelanggaran identitas anak sebagai
pelaku. Sehingga tidak adanya penegakan dari
dewan pers dan dewan kehormatan pers
mengenai pelanggaran identitas anak sebagai
pelaku. Sanksi pidana terhadap kejahatan
publisitas identitas anak sebagai pelaku
kejahatan telah diatur dalam Pasal 97 Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, akan tetapi dalam
menjalankan profesinya pers dilindungi kode
etik jurnalistik sehingga apabila ada dugaan
wartawan melakukan tindak pidana pers harus
terlebih dahulu dibuktikan bahwa wartawan
melakukan pelanggaran kode etik pers yang
membuat sistem tindak pidana dengan
wartawan sebagai subjek hukum tidak
dilaksanakan.
Upaya yang dilakukan Dewan Pers
dan Dewan Kehormatan Pers PWI Jawa Timur dalam
mengimplementasikan Pasal 64 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
perlindungan anak mengalami beberapa
hambatan yang pertama Pasal 64 Undang-
Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
perlindungan anak diterapkan dalam Pasal 5
Kode Etik Jurnalistik Bersifat delik Aduan
yang kedua kurangnya personil dari Dewan
Pers dan Dewan Kehormatan PWI dalam
melakukan pengawasan terhadap
pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang
ketiga Sarana dan prasarana dalam mendata
Media yang terdaftar ataupun Media yang
belum terdaftar masih belum memadai serta
tidak adanya peralatan yang mempermudah
mengecek pelanggaran Kode Etik Jurnalistik
dalam karya jurnalistik dam terakhir
kurangnya perhatian Masyarakat terhadap
nasib anak-anak sebagai pelaku.
Saran Dewan Pers dan Dewan Kehormatan
PWI dalam melakukan pengawasan karya
jurnalistik, harus lebih diperketat dengan
adanya penambahan keanggotaan, guna
mempermudah dalam pengawasan.
Penegakan Pasal 64 Undang-Undang Nomor
35 tahun 2014 tentang perlindungan anak,
dirasa perlu diikuti dengan sosialisasi
mengenai pentingnya perlindungan identitas
anak khususnya sebagai pelaku kepada
warga masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Yanuar. 1992. Dasar-Dasar Kewartawanan.
Padang: Angkasa Raya. Gultom, Maidin. 2010. Perlindungan
Hukum Terhadap Anak dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia.
Bandung: Refika Aditama. Hamzah, Suandra, I Wayan dan
Manalu,B.A.1987. Delik-Delik Pers di
Indonesia. Jakarta: PT Media Sarana
Press. Kusumaningrat, Hikmat dan
Kusumaningrat, Purnama. 2006.
Jurnalistik: Teori dan Praktik.
Bandung: PT Remaja Rosdakara
Muhammad, Abdulkadir.2016. Etika
Profesi Hukum. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Muis, Abdul. 1996. Kontroversi Sekitar Keberadaan Pers : Bunga Rampai
Masalah Komunikasi, Jurnalistik, Etika dan Hukum Pers. Jakarta: Mario Grafika.
Jurnal Novum, Volume 05 Nomor 02, April 2018, Hal 187-198
198
Nurudin. 2001. Etika Komunikasi Massa. Yogyakarta:
Cespur. Republik Indonesia. Undang - Undang Nomor
40 tahun 1999 Tentang Pers (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1999
Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3887) Republik Indonesia. Undang - Undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2012 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Nomor
5332) Republik Indonesia. Undang - Undang Nomor
35 Tahun 2014 Perubahan Undang -
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
297, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5606) Saraswaty, Rika.2009. Hukum Perlindungan
Anak Di Indonesia. Bandung : Citra
Aditya Bakti. Siregar, Amir Efendi. 2003. Kebebasan Pers
dan Kode Etik Jurnalistik. Yogyakarta:
UII Pers. Soekanto, Soerjono. 1996. Sosiologi: Suatu
Pengantar Bandung: Rajawali Pers.
Soekanto, Soerjono. 2008. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soekanto,Soerjono. 1983. Penegakan Hukum.
Bandung: Bina Cipta.
Sudibyo, Agus. 2013. 50 Tanya Jawab Tentang
Pers, Jakarta: Kepustakaan Populer
gramedia. Suryawati, Indah. 2011. Jurnalistik Suatu Pengantar: Teori
dan Praktik. Bogor: Penerbit Ghalia, Susanto, Edy. 2010. Hukum Pers di Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta.
Widodo. 1997. Teknik Wartawan Menulis
Berita di Surat Kabar dan Majalah,
Jakarta: Indah.