implementasi kewajiban penyampaian laporan...
TRANSCRIPT
IMPLEMENTASI KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN HARTA
KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA (LHKPN) DI LINGKUNGAN
PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2015
NASKAH PUBLIKASI
Oleh:
ISTIQAMAH
NIM : 100565201231
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DANILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2017
1
IMPLEMENTASI KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN HARTA
KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA (LHKPN) DI LINGKUNGAN
PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2015
ISTIQAMAH
Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Danilmu Politik Universitas
Maritim Raja Ali Haji
A B S T R A K
Kebijakan yang dikeluarkan melalui Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2015 tentang
kewajiban penyampaian laporan harta kekayaan aparatur sipil negara di lingkup
instansi pemerintah, memiliki landasan filosofis yaitu dalam rangka pembangunan
integritas aparatur sipil negara dan upaya pencegahan serta pemberantasan korupsi.
Namun memang tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada pegawai yang enggan
melaporkan harta kekayaannya.
Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui faktor pendorong dan faktor
penghambat dalam Implementasi Kewajiban Penyampaian Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN) Di Lingkungan Pemerintah Provinsi Kepulauan
Riau Tahun 2015. Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian
Deskriptif Kualitatif. Dalam penelitian ini informan berjumlah 7 orang
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan bahwa
Implementasi Kewajiban Penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN) Di Lingkungan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau berjalan
belum optimal, tidak semua pegawai yang tidak mau melaporkan kekayaannya,
masih banyak pegawai juga memahami pentingnya LHKPN tersebut, pegawai yang
tidak memahami tentang pentingnya melaporkan kekayaannya ke negara.
Kata Kunci : Implementasi, Kebijakan, Laporan Kekayaan, Aparatur Sipil Negara
2
A B S T R A C T
That policy issued through circular letter No. 1 of the year 2015 of the obligation
of submission reports civil apparatus of State treasures in the scope of government
agencies, has a philosophical foundation that is in the order of development of civil
State apparatus and integrity prevention efforts as well as the eradication of
corruption. However it cannot be denied that there are still employees are reluctant
to report treasure his wealth.
The purpose of this research is to know the driving factor and factor inhibitor in
the implementation of the obligation of submission of report of Wealth State
Organizers in the Riau Islands provincial government Environment the year 2015. In
this study the author uses Descriptive types of Qualitative research. In this study
informants amounted to 7 persons
Based on the research results then can be drawn the conclusion that the
implementation of the obligation of submission of report of Wealth State Organizers
in the Riau Islands provincial government Environment running not optimal, not all
employees who do not want to report their wealth, there are still many employees
also understand the importance of the LHKPN, an employee who does not
understand the importance of reporting his wealth to the State.
Keywords: Implementation, Policy, Reports Riches, The Country's Civil Apparatus
3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pencegahan Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN),
penyalahgunaan wewenang,
membentuk transparansi serta
penguatan integritas Aparatir Sipil
Negara (ASN) saat ini didukung oleh
kewajiban pemerintah menyampikan
harta kekayaannya. Korupsi
merupakan fenomena sosial yang
sudah tua, seiring bersama dengan
peradaban masyarakatnya. Semakin
luasnya kekuasaan negara dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat-
negara seperti sekarang ini,
menyebabkan semakin kompleks
pula bentuk dan modus korupsi.
(Zudan Arif Fakrulloh : 2011 : 105)
Secara umum dan sederhana
korupsi dapat diartikan sebagai
penyalahgunaan kekuasan atau
kepercayaan untuk keuntungan
pribadi. Pengertian korupsi juga
mencakup perilaku pejabat-pejabat
sektor publik, baik politisi maupun
pegawai negeri, yang memperkaya
diri mereka secara tidak pantas dan
melanggar hukum, atau orang-orang
yang dekat dengan pejabat birokrasi
dengan menyalahgunakan kekuasaan
yang dipercayakan kepada mereka.
Diagnosis perilaku korupsi
tampaknya semakin endemis dan
seakanakan membudaya dan menjadi
epidemis yang merambah dalam
segala aspek kehidupan (IGM
Nurjana, 2010: 11).
Kebijakan yang dikeluarkan
melalui Surat Edaran Nomor 1
Tahun 2015 tentang kewajiban
penyampaian laporan harta kekayaan
aparatur sipil negara (LHKASN) di
lingkup instansi pemerintah,
memiliki landasan filosofis yaitu
dalam rangka pembangunan
integritas aparatur sipil negara dan
upaya pencegahan serta
pemberantasan korupsi melalui
penyampaian Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara
(LHKPN) sebagaimana diwajibkan
berdasarkan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) dan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK).
(Sumber : Menpan.go.id diakses
pada tanggal 7 Mei 2016)
LHKPN adalah laporan harta
penyelenggara negara,
Penyelenggara Negara adalah
Pejabat Negara yang menjalankan
fungsi eksekutif, legislatif, atau
yudikatif dan pejabat lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan
dengan penyelenggaraan negara
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku,
pada prinsipnya merupakan laporan
yang wajib disampaikan oleh
penyelenggara Negara mengenai
harta kekayaan yang dimilikinya saat
pertama kali menjabat, mutasi,
promosi dan pensiun. Kemudian
LHKASN adalah laporan harta
kekayaan aparatur sipil Negara,
Laporan Harta Kekayaan Aparatur
Sipil Negara (LHKASN) adalah
dokumen penyampaian daftar harta
kekayaan ASN yang dimiliki dan
dikuasai sebagai bentuk transparansi
Aparatur Sipil Negara.
Kebijakan ini muncul dari
Kemenpan dan RB sebagai bagian
pencegahan korupsi oleh aparatur
sipil negara (ASN). Pasalnya,
4
peluang korupsi dibirokrasi tidak
hanya oleh pejabat, tetapi juga
segenap ASN. Hal ini dimaksudkan
untuk membentengi seluruh pejabat
penyelenggara negara dari tindakan
korupsi, maka ASN coba dibentengi
dengan kewajiban membuat dengan
mengisi formulir LHKASN.
Formulir tersebut diperlukan
beberapa data dari pengawai ASN,
seperti buku tabungan yang harus
dicetak saldo akhirnya, harta
kekayaan bergerak, tidak bergerak,
utang piutang, dan serta penghasilan
lainnya. Akan tetapi dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut tidak
berjalan sesuai yang diharapkan
ketika ada pihak-pihak yang tertentu
tidak menjalankan sesuai mekanisme
atau prosedur pelaksanaan.
Hal ini dimungkinkan karena
sumberdaya dari tiap aparatur sipil
negara yang memiliki keterbatasan
pemahaman. Sehingga memunculkan
sebuah permasalahan saat ini apakah
kebijakan tersebut benar-benar telah
dijalankan pada seluruh instansi
pemerintahan. Bisa jadi dalam tahap
pelaksanaan di lapangan, ada
aparatur sipil negara yang masih
kurang memahami proses pengisian
laporan harta kekayaan tersebut.
Berdasarkan Peraturan
Gubernur Kepulauan Riau Nomor 9
Tahun 2016 Tentang Laporan Harta
Kekayaaan Penyelenggaraan Negara
di Lingkungan Pemerintah Daerah
Provinsi Kepulauan Riau
menjelaskan bahwa dalam rangka
mengefektifkan kewajiban pelaporan
harta kekayaan perlu pengaturan di
lingkungan pemerintah daerah
Provinsi Kepulauan Riau untuk
memperkuat komitmen dan
pencegahan korupsi, kolusi dan
nepotisme. Dalam peraturan ini
dijelaskan adanya sanksi terhadap
penyelenggara Negara dan PNS yang
tidak melaporkan, tidak
mengumumkan dan tidak bersedia di
periksa harta kekayaannya akan
dikenakan sanksi berupa surat
peringatan atau hukuman disiplin
yang dijelaskan pada pasal 5
Peraturan Gubernur Kepulauan Riau
Nomor 9 Tahun 2016 Tentang
Laporan Harta Kekayaaan
Penyelenggaraan Negara di
Lingkungan Pemerintah Daerah
Provinsi Kepulauan Riau.
Surat peringatan terdiri atas
surat peringatan I, dan surat
peringatan II. Kemudian tingkat
hukuman disiplin mulai dari ringan,
sedang dan berat yang di lakukan
dari teguran, penundaaan kenaikan
gaji, penundaaan kenaikan pangkat
sampai dengan penurunan pangkat
setingkat.
Berikut mekanisme pelaporan
Harta Kekayaaan Penyelenggaraan
Negara di Lingkungan Pemerintah
Daerah Provinsi Kepulauan Riau :
1. LHKPN disampaikan kepada
Komisi Pemberantasan
Korupsi melalui Tim
Pengelola LHKPN Provinsi
Kepulauan Riau
2. LHKPN dibuat sebanyak 2
(dua) rangkap, untuk
disampaikan kepada:
a. Komisi
Pemberantasan Korupsi;
b. Penyelenggara Negara
yang bersangkutan.
Tanda terima penyampaian LHKPN
disampaikan kepada :
a. Asli untuk
Penyelenggara Negara;
b. Foto Copy untuk
Inspektorat dan Badan
Kepegawaian dan Diklat
5
c. Foto Copy untuk
Pengelola LHKPN masing-
masing SKPD
Untuk itu dapat diartikan
Laporan Harta Kekayaan Apratur
Sipil Negara merupakan dokumen
penyampaian daftar harta kekayaan
ASN yang dimiliki dan dikuasai
sebagai bentuk transparansi Aparatur
Sipil Negara.
Dokumen LHKPN berisi data
pribadi dan keluarga; harta
kekayaan; penghasilan; pengeluaran;
dan surat pernyataan.
Sedangkan waktu untuk
penyampaian laporan kekayaan ASN
kepada Pimpinan organisasi melalui
Aparatur Pengawas Instansi
Pemerintah (APIP) adalah 3 Bulan
setelah kebijakan ditetapkan, 1 Bulan
setelah diangkat dalam jabatan dan 1
Bulan setelah berhenti dari jabatan.
Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN)
Provinsi Kepri tergolong baik. Hal
ini sesuai dalam laporan terakhir
tertanggal 12 November 2015.
Sedikitnya ada sekitar 730 laporan
dari Pegawai terkait LHKPN. Namun
memang tidak dapat dipungkiri
bahwa masih ada pegawai yang
enggan melaporkan harta
kekayaannya. Hal ini karena ketidak
pahaman tentang tujuan Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN) tersebut.
Dari latar belakang diatas,
maka penulis bermaksud meneliti
lebih lanjut dalam bentuk penulisan
usulan penelitian dengan memilih
judul penelitian: “Implementasi
Kewajiban Penyampaian Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN) Di Lingkungan
Pemerintah Provinsi Kepulauan
Riau Tahun 2015”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar
belakang di atas, maka dari itu yang
menjadi permasalahan di dalam
penelitian ini dirumuskan sebagi
berikut : Bagimana Implementasi
Kewajiban Penyampaian Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN) Di Lingkungan
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau
Tahun 2015?
C. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian.
1. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan dari penelitian
yang dilakukan adalah Untuk
mengetahui Implementasi
Kewajiban Penyampaian
Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN)
Di Lingkungan Pemerintah
Provinsi Kepulauan Riau Tahun
2015.
D. Konsep operasional
Fungsi dari konsep operasional
adalah sebagai alat untuk
mengidentifikasi fenomena atau
gejala-gejala yang diamati dengan
jelas, logika, atau penalaran yang
digunakan oleh peneliti untuk
menerangkan fenomena yang diteliti
atau dikaji. Penelitian ini ingin
melihat pelaksanaan atau
implementasi dari kebijakan tentang
Kewajiban Penyampaian Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN) Di Lingkungan
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau
pemerintah yaitu Model Ripley dan
Franklin. Menurut Ripley dan
Franklin tiga cara yang dominan
untuk mengetahui keberhasilan suatu
implementasi seperti diungkapkan
6
Ripley dan Franklin, dalam Amri
Yousa (2007 : 82), yaitu :
1. Keberhasilan suatu
implementasi, yang
seharusnya diukur dari
tingkat kepatuhan pada
bagian birokrasi terhadap
birokrasi superior atau
dengan kata lain, dengan
tingkat birokrasi pada
umumnya dalam suatu
mandat khusus yang diatur
dalam undang-undang.
Persepktif kepatuhan ini
semata-mata hanya
membicarakan masalah-
masalah perilaku birokrasi
2. Bahwa keberhasilan
implementasi ditandai dengan
lancarnya rutinitas fungsi dan
tidak adanya masalah-
masalah yang dihadapi;
3. Bahwa keberhasilan suatu
implementasi mengacu dan
mengarah pada implementasi
dan dampaknya yang
dikehendaki dari semua
program-program yang
dikehendaki.
E. Metode Penelitian
Jenis Penelitian ini
adalah penelitian Deskriptif
kualitatif, dalam penelitian
deskriptif ini, peneliti hanya
memberikan suatu gambaran
secara sistematis, faktual dan
akurat mengenai fakta-fakta
yang sesuai dengan ruang
lingkup judul penelitian.
Menurut pendapat Sugiyono
(2012:11) menyatakan bahwa
“penelitian deskriptif adalah
penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui nilai variabel
mandiri, baik satu variabel atau
lebih tanpa membuat
perbandingan, atau
menghubungkan antar
variabel”. Sedangkan penelitian
kualitatif adalah Penelitian
kualitatif ialah penelittian yang
bertujuan memahami fenomena
yang sedang terjadi dan
digambarkan dalam bentuk kata
dan tulisan.
Penelitian kualitatif harus
mempertimbangkan metodologi
kualitatif itu sendiri. Metodologi
kualitatif merupakan prosedur
yang menghasilkan data
deskriptif berupa data tertulis
atau lisan di masyarakat bahasa
(Djajasudarma, 2006: 11). Lebih
lanjut dijelaskan bahwa
pendekatan kualitatif yang
menggunakan data lisan suatu
bahasa memerlukan informan.
Pendekatan yang melibatkan
masyarakat bahasa ini diarahkan
pada latar dan individu yang
bersangkutan secara holistik
sebagai bagian dari satu
kesatuan yang utuh.
F. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan
teori Moleong (2011:35) menyatakan
analisa dan kualitatif adalah proses
pengorganisasian, dan penguratan
data kedalam pola dan kategori serta
satu uraian dasar, sehingga dapat
dikemukakan tema yang seperti
disarankan oleh data. Moleong
(2011:35) menyatakan analisa dan
kualitatif adalah proses
pengorganisasian, dan penguratan
data kedalam pola dan kategori serta
satu uraian dasar, sehingga dapat
dikemukakan tema yang seperti
disarankan oleh data. Adapun
langkah – langkah analisa data yang
dilakukan adalah :
7
1. Reduksi Data Dari
lokasi penelitian,
data lapangan
dituangkan dalam
uraian laporan yang
lengkap dan terinci.
Data dan laporan
lapangan kemudian
direduksi,
dirangkum, dan
kemudian dipilah-
pilah hal yang
pokok, difokuskan
untuk dipilih yang
terpenting kemudian
dicari tema atau
polanya ( melalui
proses
penyuntingan,
pemberian kode dan
pentabelan ).
Reduksi data
dilakukan terus
menerus selama
proses penelitian
berlangsung. Pada
tahapan ini setelah
data dipilah
kemudian
disederhanakan,
data yang tidak
diperlukan disortir
agar memberi
kemudahan dalam
penampilan,
penyajian, serta
untuk menarik
kesimpulan
sementara.
2. Penyajian Data
Penyajian data (
display data )
dimasudkan agar
lebih mempermudah
bagi peneliti untuk
dapat melihat
gambaran secara
keseluruhan atau
bagian- bagian
tertentu dari data
penelitian. Hal ini
merupakan
pengorganisasian
data kedalam suatu
bentuk tertentu
sehingga kelihatan
jelas sosoknya lebih
utuh. Data-data
tersebut kemudian
dipilah-pilah dan
disisikan untuk
disortir menurut
kelompoknya dan
disusun sesuai
dengan katagori
yang sejenis untuk
ditampilkan agar
selaras dengan
permasalahan yang
dihadapi, termasuk
kesimpulan-
kesimpulan
sementara diperoleh
pada waktu data
direduksi.
3. Penarikan
Kesimpulan /
Verifikasi Pada
penelitian kualitatif,
verifikasi data
dilakukan secara
terus menerus
sepanjang proses
penelitian
dilakukan. Sejak
pertama memasuki
lapangan dan
selama proses
pengumpulan data,
peneliti berusaha
untuk menganalisis
dan mencari makna
8
dari data yang
dikumpulkan, yaitu
mencari pola tema,
hubungan
persamaan,
hipotetsis dan
selanjutnya
dituangkan dalam
bentuk kesimpulan
yang masih bersifat
tentatif.
LANDASAN TEORITIS
A. Kebijakan
Ndraha (2003 : 7) menyatakan
bahwa “Ilmu pemerintahan
merupakan ilmu yang mempelajari
bagai mana memenuhi dan
melindungi kebutuhan dan tututan
setiap orang akan jasa-jasa publik
dan layanan sipil dalam hubungan
pemerintahan (sehingga dapat
diterima) pada saat dibutuhkan oleh
yang bersangkutan”.Ilmu
pemerintahan menurut Ndraha
(2003 : 7) adalah ilmu yang
mempelajari bagaimana memenuhi
dan melindungi kebutuhan dan
tuntutan tiap orang akan jasa publik
dan layanan civil dalam hubungan
pemerintahan, sehingga dapat
diterima pada saat yang dibutuhkan
oleh yang bersangkutan. Rasyid
(2000 : 59) membagi fungsi-fungsi
pemerintahan menjadi empat, yaitu :
pelayanan (public service),
pembangunan (development),
pemberdayaan (empowering), dan
pengaturan (regulation).
Dari pendapat tersebut
diketahui bahwa ruang lingkup dari
ilmu pemerintahan itu meliputi yaitu
yang diperintah, yang memerintah,
kewenangan dan tanggung jawab
pemerintah, hubungan pemerintah,
pemerintahan yang bagaimana yang
dapat memenuhi kewenangan dan
tanggung jawabnya, bagai mana cara
membentuk pemerintah yang
demikian itu, bagaimana pemerintah
mengunakan kewenangannya.
Pemerintah dalam menjalankan salah
satu fungsinya adalah pengaturan,
membuat sebuah aturan atau
kebijakan untuk kepentingan publik.
Kebijakan itu merupakan
rumusan suatu tindakan yang
dikembangkan dan diputuskan oleh
instansi atau pejabat Pemerintah
guna mengatasi atau
mempertahankan suatu kondisi
dengan memberikan sanksi bagi
yang melakukan pelanggaran. Klein
dan Murphy (Syafarudin 2008:76)
“Kebijakan berarti seperangkat
tujuan-tujuan, prinsip-prinsip serta
peraturan-peraturan yang
membimbing sesuatu organisasi,
kebijakan dengan demikian
mencakup keseluruhan petunjuk
organisasi. Berdasarkan pendapat
tersebut menunjukan bahwa
kebijakan berarti seperangkat tujuan-
tujuan, prinsip-prinsip serta
peraturan-peraturan yang
membimbing sesuatu organisasi.
Kebijakan dengan demikian
mencakup keseluruhan petunjuk
organisasi.
Dwiyanto (2009: 140):
“Proses politik kebijakan adalah
proses melegitimasi kebijakan publik
dengan menyandarkan pada proses
pembahasan kebijakan di lembaga
politik yang diakui sebagai
representative publik. Jika lembaga
politik yang representative dari
kebijakan benar-benar menampung
aspirasi publik, maka kebijakan yang
direkomendasikan tidak mengalami
hambatan untuk dilegitimasikan
menjadi sebuah kebijakan “
9
Edwards III dan Sharkansky
dalam Hariyoso (2002: 62)
mengartikan bahwa kebijakan publik
adalah pernyataan pilihan tindakan
pemerintah yang berupa tujuan dan
program pemerintah. Sedangkan
Thomas R. Dye (dalam Sumaryadi,
2005 :19). berpendapat bahwa
kebijaksanaan negara ialah pilihan
tindakan apapun yang dilakukan atau
tidak yang dilakukan oleh
pemerintah. Menurut Abidin
(2002:75) menjelaskan Kebijakan
adalah keputusan pemerintah yang
bersifat umum dan berlaku untuk
seluruh anggota masyarakat.
Kebijakan merupakan suatu tindakan
yang mengarah pada tujuan yang
diusulkan dalam lingkungan tertentu
sehubungan dengan adanya
hambatan-hambatan tertentu untuk
mencapai tujuan atau mewujudkan
sasaran yang diinginkan.
Pada dasarnya kebijakan publik
dapat berupa aturan atau ketentuan
yang mengatur kehidupan
masyarakat yang mana aturan-aturan
tersebut disusun dalam beberapa
bentuk kebijakan. “Kebijakan publik
mempunyai sifat paksaan yang
secara potensial sah dilakukan,
sehingga kebijakan publik menuntut
ketaatan atau kepatuhan yang luas
dari masyarakat” (Winarno,
2007:21).
Robert Eyestone (dalam
Agustino: 2006 : 6) mendefinisikan
kebijakan publik sebagai “hubungan
antara unit pemerintah dengan
lingkungannya”. Banyak pihak
beranggapan bahwa definisi tersebut
masih terlalu luas untuk dipahami,
karena apa yang dimaksud dengan
kebijakan publik dapat mencakup
banyak hal. Setiap tahap dalam
pengambilan kebijakan harus
dilaksanakan dan dengan
memperhatikan sisi ketergantungan
masalah satu dengan yang lainnya.
Proses penetapan kebijakan atau
yang sering dikenal dengan policy
making process, menurut Shafrits
dan Russel dalam Keban (2004: 63)
adalah sebagai berikut :
1. agenda setting dimana isu-isu
kebijakan diidentifikasi,
2. keputusan untuk melakukan
atau tidak melakukan
kebijakan,
3. tahap implementasi
kebijakan,
4. evaluasi program dan analisa
dampak,
5. feedback yaitu memutuskan
untuk merevisi atau
menghentikan.
Proses kebijakan diatas bila
diterapkan akan menyerupai sebuah
siklus tahapan penetapan kebijakan.
Dengan demikian kebijakan public
adalah produk dari pemerintah
maupun aparatur pemerintah yang
hakekatnya berupa pilihan-pilihan
yang dianggap paling baik, untuk
mengatasi persoalan-persoalan yang
dihadapi public dengan tujuan untuk
dicarikan solusi pemecahannya
secara tepat, cepat dan akurat,
sehingga benar adanya apa yang
dilakukan ataupun tidak dilakukan
pemerintah dapat saja dipandang
sebagai sebuah pilihan kebijakan.
Hirarki perundang-undangan
menurut Undang-Undang No 12
Tahun 2011 tentang tata urutan
perundang-undangan RI menjelaskan
jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas:
10
a. Undang-Undang Dasar Negara
Republik IndonesiaTahun 1945;
b. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dan kekuatan hukumnya ditegaskan
pada pasal 7 ayat 2 :
Kekuatan hukum Peraturan
Perundang-undangan sesuai dengan
hierarki sebagaimana dimaksud pada
ayat (1). Jenis Peraturan Perundang-
undangan ini mencakup peraturan
yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi
Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah
atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,
Kepala Desa atau yang setingkat.
Suatu undang-undang yang
diduga bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, maka
pengujiannya dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi. Sedangkan,
suatu Peraturan Perundang-undangan
di bawah Undang-Undang diduga
bertentangan dengan Undang-
Undang, pengujiannya dilakukan
oleh Mahkamah Agung. Secara
khusus Wahab (2002:5-10)
mengemukakan tentang ciri-ciri yang
melekat pada kebijakan yaitu:
1. “Kebijakan itu dirumuskan
oleh orang-orang yang
memiliki wewenang dalam
sistem politik seperti ketua
adat, ketua suku, eksekutif,
legislator, hakim,
administrator, monarkhie,
dan sebagainya.
2. Kebijakan merupakan
tindakan yang mengarah pada
tujuan melalui tindakan-
tindakan yang direncanakan
secara matang.
3. Kebijakan itu hakekatnya
terdiri atas tindakan-tindakan
yang berkait dan berpola
yang mengarah pada tujuan
tertentu yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah.
Kebijakan tidak hanya
mencakup keputusan untuk
membuat undang-undang
dalam bidang tertentu tapi
juga diikuti dengan
keputusan-keputusan yang
bersangkutan dengan
implementasi dan pemaksaan
pemberlakuannya
4. Kebijakan bersangkutan
dengan apa yang senyatanya
dilakukan pemerintah dalam
bidang-bidang tertentu baik
berbentuk positif atau
negatif”.
Implementasi kebijakan
merupakan aspek yang penting
dalam keseluruhan proses kebijakan
dan merupakan suatu upaya untuk
mencapai tujuan tertentu dengan
sarana tertentu dan dalam urutan
waktu tertentu. Pada dasarnya
implementasi kebijakan adalah upaya
untuk mencapai tujuan yang sudah
ditentukan dengan mempergunakan
11
sarana dan menurut waktu tertentu,
agar dapat mencapai output/outcome
dan agar policy demands dapat
terpenuhi maka kebijakan harus
dilaksanakan, pelaksanaan kebijakan
dapat pula dirumuskan sebagai
pengguna sarana yang ditentukan
terlebih dahulu.
Suatu kebijakan yang telah
diterima dan disahkan tidaklah ada
artinya jika tidak dilaksanakan.
Pelaksanaan kebijaksanaan itu
haruslah berhasil. Malahan tidak
hanya pelaksanaannya saja yang
harus berhasil, akan tetapi tujuan
yang akan terkandung dalam
kebijaksanaan itu haruslah tercapai.
Menurut Agustino (2006:185)
mengatakan bahwa pelaksanaan
kebijakan itu dapat gagal, tidak
membuahkan hasil, karena antara
lain :
a. Teori yang menjadi dasar itu
tidak tepat. Dalam hal ini
demikian, maka harus
dilakukan reformulation
terhadap kebijaksanaan
pemerintah itu
b. Sarana yang dipilih unutk
pelaksanaan tidak efektif
c. Sarana itu mungkin tidak atau
kurang dipergunakan
sebagaimana mestinya
d. Isi dari kebijakan itu bersifat
samar-samar.
e. Ketidakpastian faktor intern
dan atau faktor ekstern
f. Kebijaksanaan yang
ditetapkan itu mengandung
banyak lubang
g. Dalam pelaksanaan kurang
memperhatikan masalah
teknis
h. Adanya kekurangan akan
tersedianya sumber-sumber
pembantu (waktu, uang dan
sumber daya manusia)
Dari hal-hal yang dapat
menyebabkan kegagalan dalam
pelaksanaan kebijaksanaan
pemerintah itu, dapatlah diketahui
bahwa sejak dalam pembentukan
kebijaksanaan tersebut sudah harus
diperhatikan dan diperhitungkan
faktor-faktor yang disebutkan di atas.
Syafiie (2006:104),
mengemukakan bahwa kebijakan
(policy) hendaknya dibedakan
dengan kebijaksanaan (wisdom)
karena kebijaksanaan merupakan
pengejawantahan aturan yang sudah
ditetapkan sesuai situasi dan kondisi
setempat oleh person pejabat yang
berwenang. Untuk itu Syafiie
mendefenisikan kebijakan publik
adalah semacam jawaban terhadap
suatu masalah karena akan
merupakan upaya memecahkan,
mengurangi, dan mencegah suatu
keburukan serta sebaliknya menjadi
penganjur, inovasi, dan pemuka
terjadinya kebaikan dengan cara
terbaik dan tindakan terarah.
Keban (2004:55) memberikan
pengertian dari sisi kebijakan publik,
yang dikutipnya dari pendapat
Graycar, dimana menurutnya bahwa
public policy dapat dilihat dari
konsep filosifis, sebagai suatu
produk, sebagai suatu proses, dan
sebagai suatu kerangka kerja.
Sebagai suatu konsep filosofis,
kebijakan merupakan serangkaian
prinsip, atau kondisi yang
diinginkan, sebagai suatu produk,
kebijakan dipandang sebagai
serangkaian kesimpulan atau
rekomendasi, dan sebagai suatu
proses, kebijakan dipandang sebagai
suatu cara dimana melalui cara
tersebut suatu organisasi dapat
12
mengetahui apa yang diharapkan
darinya, yaitu program dan
mekanisme dalam mencapai
produknya, dan sebagai suatu
kerangka kerja, kebijakan merupakan
suatu proses tawar menawar dan
negosiasi untuk merumus isu-isu dan
metode implementasinya.
Proses kebijakan diatas bila
diterapkan akan menyerupai sebuah
siklus tahapan penetapan kebijakan.
Dengan demikian kebijakan public
adalah produk dari pemerintah
maupun aparatur pemerintah yang
hakekatnya berupa pilihan-pilihan
yang dianggap paling baik, untuk
mengatasi persoalan-persoalan yang
dihadapi public dengan tujuan untuk
dicarikan solusi pemecahannya
secara tepat, cepat dan akurat,
sehingga benar adanya apa yang
dilakukan ataupun tidak dilakukan
pemerintah dapat saja dipandang
sebagai sebuah pilihan kebijakan.
Menurut Woll (dalam
Tangkilisan: 2003:2) menyebutkan
bahwa kebijakan publik ialah
sejumlah aktivitas pemerintah untuk
memecahkan masalah di masyarakat,
baik secara langsung maupun
melalui berbagai lembaga yang
mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Thomas R Dye
sebagaimana dikutip Islamy (2009:
19) mendefinisikan kebijakan publik
sebagai apapaun yang dipilih
pemerintah untuk dilakukan atau
untuk tidak dilakukan. Kebijakan
publik adalah mengenai perwujudan
“tindakan” dan bukan merupakan
pernyataan keinginan pemerintah
atau pejabat publik semata. Di
samping itu pilihan pemerintah untuk
tidak melakukan sesuatu juga
merupakan kebijakan publik karena
mempunyai pengaruh (dampak yang
sama dengan pilihan pemerintah
untuk melakukan sesuatu).
Terdapat beberapa ahli yang
mendefiniskan kebijakan publik
sebagai tindakan yang diambil oleh
pemerintah dalam merespon suatu
krisis atau masalahpublik.
Sedangkan Ekowati (2005:78)
menyebutkan bahwa kebijaksanaan
adalah suatu taktik dan strategi yang
diarahkan untuk mencapai suatu
tujuan. Oleh karena itu suatu
kebijaksanaan harus memuat 3 (tiga)
elemen, yaitu :
1. Identifikasi dari tujuan yang
ingin dicapai.
2. Taktik atau strategi dari
berbagai langkah untuk
mencapai tujuan yang
diinginkan.
3. Penyediaan berbagai input
untuk memungkinkan
pelaksanaan secara nyata dari
taktik atau strategi.
Begitupun dengan Chandler dan
Plano sebagaimana dikutip
Tangkilisan (2003: 1) yang
menyatakan bahwa kebijakan publik
adalah pemanfaatan yang strategis
terhadap sumberdaya-sumberdaya
yang ada untuk memecahkan
masalah-masalah publik atau
pemerintah. Selanjutnya dikatakan
bahwa kebijakan publik merupakan
suatu bentuk intervensi yang
dilakukan secara terus-menerus oleh
pemerintah demi kepentingan
kelompok yang kurang beruntung
dalam masyarakat agar mereka dapat
hidup, dan ikut berpartisipasi dalam
pembangunan secara luas. David
Easton sebagaimana dikutip
Agustino (2006: 19) memberikan
definisi kebijakan publik sebagai “
13
the autorative allocation of values
for the whole society”. Definisi ini
menegaskan bahwa hanya pemilik
otoritas dalam sistem politik
(pemerintah) yang secara syah dapat
berbuat sesuatu pada masyarakatnya
dan pilihan pemerintah untuk
melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu diwujudkan
dalam bentuk pengalokasian nilai-
nilai
B. Implementasi Kebijakan
Menurut Nugroho (2012:294)
menjelaskan implementasi kebijakan
pada prinsipnya adalah cara agar
sebuah kebijakan dapat mencapai
tujuannya, untuk itu ada dua langkah
yang ada yaitu langsung
mengimplementasikan dalam bentuk
program dan melalui turunan dari
kebijakan publik tersebut. Adapun
kebiajakn publik yang langsung
operasional yaitu Keputusan Kepala
Daerah, Keputusan Kepala Dinas,
dan sebagainya.
Menurut salah satu ahli
mendefinisikan kaitanya
implementasi kebijakan dengan
muatan politik seperti yang
diungkapkan oleh Hinggis dalam
Pasolong (2010:57) mendifinisikan
implementasi sebagai rangkuman
dari berbagai kegiatan yang
didalamnya sumber daya manusia
mengunakan sumberdaya lain untuk
mencapai sasaran strategi. Dan
Grindle mengungkapkan
implementasi sering dilihat sebagai
suatu proses yang penuh dengan
muatan politik dimana mereka yang
berkepentingan berusaha sedapat
mungkin mempengaruhinya.
Untuk lebih mudah dalam
memahami pengertian implementasi
kebijakan Lineberry (dalam Putra
Fadillah, 2003:81) menspesifikasikan
proses implementasi setidak-
tidaknya memiliki elemenelemen
sebagai berikut :
1. Pembentukan unit organisasi
baru dan staf pelaksana
2. Penjabaran tujuan ke dalam
berbagai aturan pelaksana
(standard operating procedure
/ SOP)
3. Koordinasi berbagai sumber
dan pengeluaran kepada
kelompok sasaran;
4. Pengalokasian sumber-
sumber untuk mencapai
tujuan.
Salah satu komponen utama
yang ditonjolkan oleh Lineberry,
yaitu pengambilan kebijakan
(piolicy-making) tidaklah berakhir
pada saat kebijakan itu dikemukakan
atau diusulkan, tetapi merupakan
kontinuitas dari pembuatan
kebijakan.
Purwanto dan Sulistyastuti
(2012:64) Realitasnya, didalam
implementasi itu sendiri terkandung
suatu proses yang kompleks dan
panjang Proses implementasi sendiri
bermula sejak kebijakan ditetapkan
atau memiliki payung hukum yang
syah. Seorang ahli mengambarkan
kompleksitas dalam upaya
mewujudkan kebijakan dalam proses
impementasi yaitu „‟ it refres to the
process of converting financial,
material, technical, and human
inputs into output – goods and
services ‘’
Hanya setelah melalui proses
yang kompleks tersebut maka akan
dihasilkan apa yang disebut sebagai
policy outcomes : suatu kondisi
dimana implementasi tersebut
menghasilkan realisasi kegiatan yang
berdampak pada tercapainya tujuan-
tujuan kebijakan yang ditetapkan
14
sebelumnya. Dampak kebijakan yang
paling nyata adalah adanya
perubahan kondisi yang dirasakan
oleh kelompok sasaran, yaitu dari
kondisi yang satu ke kondisi yang
lebih baik.
Menurut Nugroho (2012:711)
implementasi kebijakan dalam
konteks manajemen berada dalam
kerangka organizing-leading-
controlling.Jadi, ketika kebijakan
sudah dibuat, tugas selanjutnya
adalah mengorganisasikan,
melaksanakan kepemimpinan untuk
memimpin pelaksanaan, dan
melakukan pengendalian
pelaksanaan.
Menurut Subarsono
(2011:89) keberhasilan implementasi
kebijakan akan ditentukan oleh
banyak variabel atau faktor, dan
masing-masing variabel tersebut
saling berhubungan satu sama lain.
Berkaitan dengan faktor yang
mempengaruhi implementasi
kebijakan suatu program, menurut
Rondinelli dalam Subarsono (2011 :
60) mengemukakan bahwa terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi
Implementasi kebijakan program-
program pemerintah yang bersifat
desentralisasi. Faktor-faktor tersebut
diantaranya :
1. Kondisi lingkungan.
Lingkungan sangat
mempengaruhi implementasi
kebijakan, yang dimaksud
lingkungan ini
mencakupsosio cultural serta
keterlibatan penerima
program.
2. Hubungan Antar Organisasi.
Dalam banyak program,
implementasi sebuah
program perlu dukungan dan
koordinasi dengan instansi
lain. Untuk ini diperlukan
koordinasi dan kerjasama
antar instansi bagi
keberhasilan suatu program.
3. Sumberdaya organisasi untuk
implementasi program.
Implementasi kebijakan perlu
didukung sumberdaya baik
sumberdaya manusia (human
resources) maupun
sumberdaya non-manusia
(non human resources).
4. Karakteristik dan
kemampuan agen pelaksana
yang dimaksud karakteristik
dan kemampuan agen
pelaksana adalah mencakup
struktur birokrasi, norma-
norma, dan pola-pola
hubungan yang terjadi dalam
birokrasi, yang semuanya ini
akan mempengaruhi
implementasi suatu program.
Untuk mengidentifikasi unsur –
unsur kapasitas organisasi dalam
Implementasi Sebelum kegiatan
penyampaian berbagai keluaran
kebijakan dilakukan kepada
kelompok sasaran dimulai, perlu
didahului dengan penyampaian
informasi kepada kelompok sasaran,
tujuan pemberian informasi ini
adalah agar kelompok sasaran atau
masyarakat memahami kebijakan
yang akan di implementasikan
sehinga mereka tidak hanya akan
dapat menerima berbagai program
yang diinisialisasi oleh pemerintah
akan tetapi berpartisipasi aktif dalam
upaya untuk mewujudkan tujuan-
tujuan kebijakan. Proses
implementasi sekurang-kurangnya
terdapat tiga unsur yang penting dan
15
mutlak, seperti dikemukakan oleh
Tarwiyah (2005;11), yaitu:
1. Adanya program atau
kebijakan yang dilaksanakan;
2. Target groups, yaitu
kelompok masyarakat yang
menjadi sasaran, dan
diharapkan dapat menerima
manfaat dari program
tersebut, perubahan atau
peningkatan;
3. Unsur pelaksana
(implementor), baik
organisasi atau perorangan,
yang bertanggungjawab
dalam pengelolaan,
pelaksanaan, dan pengawasan
dari proses implementasi
tersebut
Van Meter dan Van Horn (dalam
Subarsono, 2011;99) mengemukakan
bahwa terdapat enam variabel yang
mempengaruhi kinerja implementasi,
yakni;
1) Standar dan sasaran
kebijakan, di mana standar
dan sasaran kebijakan harus
jelas dan terukur sehingga
dapat direalisir.
2) Sumberdaya, dimana
implementasi kebijakan
perlu dukungan sumberdaya,
baik sumber daya manusia
maupun sumber daya non
manusia.
3) Hubungan antar organisasi,
yaitu dalam banyak
program, implementor
sebuah program perlu
dukungan dan koordinasi
dengan instansi lain,
sehingga diperlukan
koordinasi dan kerja sama
antar instansi bagi
keberhasilan suatu program.
4) Karakteristik agen pelaksana
yaitu mencakup stuktur
birokrasi, norma-norma dan
pola-pola hubungan yang
terjadi dalam birokrasi yang
semuanya itu akan
mempengaruhi implementasi
suatu program.
5) Kondisi sosial, politik, dan
ekonomi. Variable ini
mencakup sumberdaya
ekonomi lingkungan yang
dapat mendukung
keberhasilan implementasi
kebijakan, sejauh mana
kelompok-kelompok
kepentingan memberikan
dukungan bagi implementasi
kebijakan, karakteristik para
partisipan, yakni mendukung
atau menolak, bagaimana
sifat opini public yang ada di
lingkungan, serta apakah
elite politik mendukung
implementasi kebijakan.
6) Disposisi implementor yang
mencakup tiga hal yang
penting, yaitu respon
implementor terhadap
kebijakan, yang akan
mempengaruhi kemauannya
untuk melaksanakan
kebijakan, kognisi yaitu
pemahaman terhadap
kebijakan, intensitas
disposisi implementor, yaitu
preferensi nilai yang dimiliki
oleh implementor.
C. Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara
Sebelum dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK),
penanganan pelaporan kewajiban
LHKPN dilaksanakan oleh Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
16
Negara (KPKPN). Namun setelah
diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002, maka
KPKPN dibubarkan dan menjadi
bagian dari bidang pencegahan KPK.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka
Penyelenggara Negara berkewajiban
untuk:
1. Bersedia diperiksa
kekayaannya sebelum,
selama dan sesudah
menjabat;
2. Melaporkan harta
kekayaannya pada saat
pertama kali menjabat,
mutasi, promosi dan pension.
3. Mengumumkan harta
kekayaannya.
Adapun Penyelenggara Negara
sebagaimana dimaksud dalam pasal
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1. Pejabat Negara pada
Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada
Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain
sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memiliki
fungsi strategis dalam
kaitannya dengan
penyelenggaraan negara
sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang
meliputi
a. Direksi, Komisaris
dan pejabat structural
lainnya sesuai pada
Badan Usaha Milik
Negara dan Badan
Usaha Milik Daerah;
b. Pimpinan Bank
Indonesia;
c. Pimpinan Perguruan
Tinggi Negeri;
d. Pejabat Eselon I dan
pejabat lain yang
disamakan di
lingkungan sipil,
militer dan
Kepolisian Negara
Republik Indonesia;
e. Jaksa;
f. Penyidik;
g. Panitera Pengadilan;
dan
h. Pemimpin dan
Bendaharawa Proyek
(usul: sebaiknya
dihapuskan)
Dalam rangka untuk menjaga
semangat pemberantasan korupsi,
maka Presiden menerbitkan Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 2004
tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi. Berdasarkan intruksi
tersebut, maka Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara
(MenPAN) menerbitkan Surat
Edaran Nomor:
SE/03/M.PAN/01/2005 tentang
Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara NegaraTentang
Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN)
yang juga mewajibkan jabatan-
jabatan di bawah ini untuk
menyampaikan LHKPN yaitu:
Pejabat Eselon II dan
pejabat lain yang disamakan
di lingkungan instansi
pemerintah dan atau lembaga
negara;
17
Semua Kepala Kantor di
lingkungan Departemen
Keuangan;
Pemeriksa Bea dan Cukai;
Pemeriksa Pajak;
Auditor;
Pejabat yang
mengeluarkan perijinan;
Pejabat/Kepala Unit
Pelayanan Masyarakat; dan
Pejabat pembuat regulasi
Masih untuk mendukung
pemberantasan korupsi, MenPAN
kemudian menerbitkan kembali Surat
Edaran Nomor:
SE/05/M.PAN/04/2005 (link) dengan
perihal yang sama. Berdasarkan SE
ini, masing-masing Pimpinan
Instansi diminta untuk mengeluarkan
Surat Keputusan tentang penetapan
jabatan-jabatan yang rawan Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) di
lingkungan masing-masing instansi
yang diwajibkan untuk
menyampaikan LHKPN kepada
KPK.
Selain itu, dalam rangka
untuk menjalankan perintah undang-
undang serta untuk menguji
integritas dan tranparansi, maka
Kandidat atau Calon Penyelenggara
tertentu juga diwajibkan untuk
menyampaikan LHKPN kepada
KPK, yaitu antara lain Calon
Presiden dan Calon Wakil Presiden
serta Calon Kepala Daerah dan
Calon Wakil Kepala Daerah.
Bagi Penyelenggara Negara
yang tidak memenuhi kewajiban
LHKPN sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999, maka berdasarkan Pasal 20
undang-undang yang sama akan
dikenakan sanksi administratif sesuai
dengan perundang-undangan yang
berlaku. Kewajiban Penyelenggara
Negara untuk melaporkan harta
kekayaan diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara Yang
Bersih Dan Bebas Dari
Korupsi, Kolusi Dan
Nepotisme;
Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak
Pindana Korupsi; dan
Keputusan Komisi
Pemberantasan Korupsi
Nomor: KEP.
07/KPK/02/2005 tentang
Tata Cara Pendaftaran,
Pemeriksaan dan
Pengumuman Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara
Negara
Untuk mendukung kelancaran
Penyelenggara Negara dalam
pengisian Formulir LHKPN, maka
Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) memberikan Bimbingan
Teknis Pengisian Formulir LHKPN
tanpa dipungut biaya. Biaya
transportasi dan akomodasi
Narasumber KPK dibebankan
sepenuhnya kepada KPK
Narasumber KPK tidak menerima
honorarium dan/atau hadiah dalam
bentuk apapun. Selain di kantor
KPK, pemberian Bimbingan Teknis
Pengisian LHKPN juga dapat
dilakukan di kantor Instansi
Pemohon, yaitu sebagai berikut:
Pengajuan Permohonan Narasumber
Bimbingan Teknis Pengisian
Formulir LHKPN.
Instansi Pemohon menyampaikan
surat permohonan Narasumber
Bimbingan Teknis Pengisian
LHKPN yang ditujukan kepada
Deputi Bidang Pencegahan KPK.
18
Surat permohonan tersebut memuat
informasi sebagai berikut:KPK akan
memberikan konfirmasi kepada
Instansi Pemohon (PiC) mengenai
ketersediaan Narasumber.
1. Tempat pelaksanaan kegiatan
2. Waktu pelaksanaan kegiatan
3. Jumlah peserta kegiatan
4. Nama kontak (Person in
Charge /PiC) serta nomor
telepon yang dapat
dihubungi.
KPK memberitahukan Instansi
Pemohon (PiC) nama Narasumber
yang akan memberikan Bimbingan
Teknis Pengisian Formulir LHKPN.
Fasilitas yang perlu disediakan oleh
Instansi Pemohon adalah komputer
dan LCD.
Fotokopi Daftar Hadir Peserta harap
diberikan kepada Narasumber setelah
kegiatan pemberian Bimbingan
Teknis Pengisian Formulir LHKPN
dilaksanakan.
Prosedur Pelayanan Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN) adalah sebagai
berikut:
Penyelenggara Negara dapat
menyampaikan LHKPN kepada KPK
baik secara langsung maupun lewat
pos. Customer Service LHKPN akan
memberikan bukti tanda terima
terkait penyerahan LHKPN kepada
Penyelenggara yang datang secara
langsung, atau mengirimkan tanda
terima tersebut lewat pos.
KPK akan melakukan
pengecekan terhadap seluruh
LHKPN yang diterima terkait
ketepatan pengisian dan kelengkapan
dokumen pendukung. Apabila
formulir yang diterima tidak tepat
pengisiannya ataupun terdapat
dokumen pendukung yang belum
lengkap, maka KPK akan menyurati
Penyelenggara Negara untuk
mengoreksi isian formulir dan
melengkapi dokumen pendukung.
Perku diperhatikan bahwa dokumen
yang belum lengkap dan tidak tepat
tidak akan diproses. Untuk
melengkapi dokumen dan
memberikan koreksi pengisian,
Penyelenggara Negara dapat
menyampaikannya secara langsung
ke Customer Service ataupun lewat
pos.
Dokumen yang sudah
lengkap akan diproses dan akan
diumumkan pada Tambahan Berita
Negara (TBN) dan diberi Nomor
Harta Kekayaan (NHK).
Penyelenggara Negara wajib
mengingat NHK untuk kebutuhan
pelaporan berikutnya. TBN dan
Poster Pengumuman akan
disampaikan kepada Penyelenggara
Negara melalui instansi masing-
masing Penyelenggara Negara.
Penyelenggara Negara wajib
menempelkan Poster Pengumuman
tersebut pada media pengumuman di
kantor/instansi Penyelenggara
Negara dan menyampaikan lembar
pemberitahuan pengumuman
LHKPN di instansi ke KPK.
Bentuk-bentuk pelayanan LHKPN
adalah sebagai berikut: Permintaan Formulir LHKPN
Permintaan Fotokopi Arsip
LHKPN.
Permintaan atas data ini pada
prinsipnya hanya dapat
diajukan oleh Penyelenggara
Negara atau Pengisi Formulir
LHKPN yang bersangkutan,
dengan tata cara sebagai
berikut:
o Pemohon Data
mengajukan surat
permohonan data
19
yang ditujukan
kepada Direktur
Pendaftaran dan
Pemeriksaan LHKPN
Surat tersebut
dilampiri dengan
fotokopi identitas diri
(KTP, SIM, atau
Paspor)
o Dalam hal Pemohon
Data bukan
Penyelenggara Negara
yang bersangkutan,
maka Pemohon Data
juga harus
melampirkan Surat
Kuasa dari
Penyelenggara Negara
yang bersangkutan.
Informasi mengenai Nomor
Harta Kekayaan (NHK)
Pemberian Bimbingan Teknis
Pengisian Formulir LHKPN
Penyediaan data harta
kekayaan Penyelenggara
Negara yang telah
diumumkan pada Portal
ACCH
(http://acch.kpk.go.id)
GAMBARAN UMUM LOKASI
PENELITIAN
Persentase jumlah Pejabat
Negara wajib Lapor LHKPN di
lingkungan Pemerintah Provinsi
Kepulauan yang taat melaporkan
harta kekayaannya. Sebagai tindak
lanjut salah satu Diktum yang
tercantum dalam Instruksi Presiden
Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi,
Inspektorat Provinsi Kepulauan Riau
menganggarkan sebesar
Rp210.000.000,00 dan realisasi
sebesar Rp204.996.000,00 (97,62%)
untuk Kegiatan Pengelolaan Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggaaraan
Negara (LHKPN). Berdasarkan hasil
pendataan sampai dengan tahun 2015
diketahui bahwa jumlah Pejabat
Negara / Penyelenggara Negara
Dilingkungan Pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau yang menjadi wajib
lapor LHKPN sebanyak 759 orang,
dan selanjutnya yang telah
melaporkan sebanyak 619 orang
(81,55%) dan telah memiliki NHK,
sedangkan yang belum
menyampaikan formulir LHKPN
sebanyak 140 orang (18,45%).
Pencegahan KKN di Wilayah
Pemerintah Provinsi Kepri, ditempuh
melalui kebijakan memaksimalkan
upaya pencegahan Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme di lingkungan
Pemerintahan Provinsi Kepulauan
Riau dengan melakukan monitoring
kepatuhan pelaporan LHKPN,
LHKASN dan LP2P pegawai
pemerintah provinsi kepulauan Riau,
melakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan Reformasi Birokrasi,
Pembangunan Zona Integritas di
lingkungan Pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau dan Monitoring dan
Evaluasi Rencana Aksi Daerah
Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi serta terus melakukan
sosialisasi anti KKN kepada semua
stake holder.
ANALISA DAN PEMBAHASAN
1. Keberhasilan suatu
implementasi
Berdasarkan hasil penelitian
maka dapat dianalisa bahwa masih
banyak ASN yang tidak patuh
terhadap pelaksanaan LHKPN ini,
pelaporannya dianggap rumit
sehingga banyak ASN yang memilih
20
tidak melaporkan kekayaannya,
padahal untuk pelaksanaannya sudah
diatur dalam UU nomor 28 tahun
1999, SE MENPAN Nomor SE/ 03/
M.PAN/ 01/ 2005, Pergub No. 9
Tahun 2016. Sebagai bagian dari
upaya untuk mewujudkan
penyelenggaraan negara yang bersih
dan bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme, Bank Indonesia
mewajibkan pimpinan dan pegawai
Bank Indonesia untuk
menyampaikan Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara
(LHKPN) kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kewajiban pelaporan harta
kekayaan ini merupakan infrastruktur
yang digunakan untuk mencegah
potensi terjadinya penyalahgunaan
jabatan dan kewenangan,
menanamkan kejujuran dan
integritas, serta keterbukaan di
kalangan penyelenggara negara dan
komitmen untuk mewujudkan
penyelenggaraan negara yang bersih
di seluruh jenjang organisasi.
Pegawai yang diwajibkan
melaporkan tidak hanya terbatas
pada pegawai yang berada pada level
pimpinan. Namun, mencakup pula
pegawai pada level pelaksana yang
memiliki tugas yang berhubungan
langsung dengan pihak eksternal
misal pada bidang perizinan,
pengadaan, penerimaan pegawai,
perkasan, dan pengelolaan fisik
uang.
2. Bahwa keberhasilan
implementasi ditandai dengan
lancarnya rutinitas fungsi dan
tidak adanya masalah- masalah
yang dihadapi. Berdasakan hasil penelitian
maka dapat dianalisa bahwa masih
terdapat masalah-masalah dalam
pelaksanaan LHKPN, Mekanisme
LHKPN sudah berjalan dengan baik,
namun pelaksanaannya juga terdapat
banyak celah hukum yang dapat
mengurangi efektivitas berlakunya
mekanisme ini. Salah satu kendala
penyelenggara negara belum
melaporkan LHKPN karena kurang
memahami cara mengisi LHKPN.
Selain itu juga karena belum ada
sanksi yang tegas bagi yang belum
melaporkan LHKPN. Pejabat dan
penyelenggaran negara harus lebih
sadar akan kewajibannya, karena
dapat menjadi aktor pencegah
korupsi dengan menunjukkan
bagaimana dan darimana, serta
berapa besar jumlah kekayaannya.
Pelaporan kekayaan tersebut
merupakan upaya dalam
mewujudkan akuntabilitas dan
transparansi dalam pengelolaan
pemerintahan daerah.
3. Bahwa keberhasilan suatu
implementasi mengacu dan
mengarah pada implementasi dan
dampaknya yang dikehendaki dari
semua program-program yang
dikehendaki.
Berdasarkan hasil penelitian
maka dapat dianalisa bahwa saat ini
LHKPN membawa dampak yang
baik kepada ASN untuk lebih sadar
dan memahami pentingnya
melaporkan kekayaannya, banyak
dampak dan keuntungan dari
LHKPN ini namun permasalahannya
saat ini adalah banyak ASN yang
tidak paham sehingga banyak PNS
yang tidak melaporkan LHKPN.
LHKPN tidak hanya berfungsi dalam
pencegahan dan penindakan, namun
juga dapat dimanfaatkan oleh publik
sebagai salah satu mekanisme untuk
menilai kejujuran dan integritas
ASN. Di samping itu, juga untuk
21
meningkatkan transparansi dan
kepercayaan masyarakat dalam
penyelenggaraan administrasi
pemerintahan. Pelaporan harta
kekayaan juga berfungsi untuk
mengawasi harta kekayaan calon
kepala daerah, dengan harapan untuk
secara persuasif mencegah mereka
dari penyimpangan perilaku,
melindungi mereka dari tuduhan
palsu, dan juga untuk membantu
memperjelas ruang lingkup atau
aktivitas ilegal lainnya melalui peran
pelaporan harta kekayaan sebagai
bukti pendukung.
Bagi penyelenggara negara
wajib menyampaikan Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara
(LHKPN) kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK),
sesuai dengan amanat UU Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari
KKN, UU Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, serta
Keputusan KPK Nomor
07/KPK/2/2005 tentang Tata Cara
Pendaftaran, Pengumuman dan
Pemeriksaan LHKPN”. LHKPN
adalah daftar seluruh harta kekayaan
penyelenggara negara beserta
pasangan dan anak yang masih
menjadi tanggungan yang dituangkan
dalam formulir LHKPN yang telah
ditetapkan KPK. Bagi pejabat yang
baru pertama menjabat, maka
mengisi formulir A dari blanko
LHKPN. Sedangkan yang bagi
pejabat yang sudah pernah mengisi
LHKPN sebelumnya, maka mengisi
formulir B dari blanko LHKPN.
LHKPN secara garis besar
mengandung dua manfaat, yaitu
secara pribadi dan
instansi/masyarakat. Secara pribadi
LHKPN bermanfaat untuk: (a).
memenuhi kewajiban selaku
penyelenggara negara, (b).
menanamkan sifat kejujuran dan
tanggungjawab, (c). tertib
adminitrasi negara, (d).
membangkitkan rasa takut untuk
berbuat korupsi, dan (e). terhindar
dari fitnah. Sedangkan secara
instansi/masyarakat, LHKPN
memiliki manfaat sebagai penguji
integritas penyelenggara negara dan
sebagai sarana kontrol bagi
penyelenggara negara itu sendiri.
LHKPN juga diwajibkan
kepada kuasa pengguna anggaran,
pejabat penandatangan surat perintah
membayar, pejabat pembuat
komitmen, pejabat pengadaan barang
/ jasa, bendahara penerimaan,
bendahara pengeluaran dan
bendahara pengeluaran pembantu
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian
maka dapat diambil kesimpulan
bahwa Implementasi Kewajiban
Penyampaian Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara
(LHKPN) Di Lingkungan
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau
berjalan belum optimal, disebabkan
beberapa indikator diantaranya:
1. Keberhasilan suatu
implementasi diketahui
bahwa Sejalan dengan
kewajiban yang diamanatkan
dalam undang-undang,
penyampaian LHKPN
dilakukan pada saat pertama
kali pegawai menduduki
pangkat/jabatan, dan
diperbaharui setiap 2 (dua)
tahun dari penyampaian
22
LHKPN sebelumnya.
Sebelum memasuki batas usia
pensiun, pegawai kembali
diwajibkan untuk
menyampaikan LHKPN.
2. Keberhasilan implementasi
ditandai dengan lancarnya
rutinitas fungsi dan tidak
adanya masalah- masalah
yang dihadapi ditemukan
bahwa masih terdapat
masalah-masalah dalam
pelaksanaan LHKPN,
Mekanisme LHKPN sudah
berjalan dengan baik, namun
pelaksanaannya juga terdapat
banyak celah hukum yang
dapat mengurangi efektivitas
berlakunya mekanisme ini.
Salah satu kendala
penyelenggara negara belum
melaporkan LHKPN karena
kurang memahami cara
mengisi LHKPN. Selain itu
juga karena belum ada sanksi
yang tegas bagi yang belum
melaporkan LHKPN. Pejabat
dan penyelenggaran negara
harus lebih sadar akan
kewajibannya, karena dapat
menjadi aktor pencegah
korupsi dengan menunjukkan
bagaimana dan darimana,
serta berapa besar jumlah
kekayaannya. Pelaporan
kekayaan tersebut merupakan
upaya dalam mewujudkan
akuntabilitas dan transparansi
dalam pengelolaan
pemerintahan daerah.
3. keberhasilan suatu
implementasi mengacu dan
mengarah pada implementasi
dan dampaknya yang
dikehendaki dari semua
program-program yang
dikehendaki ditemukan
bahwa Berdasarkan hasil
penelitian maka dapat
dianalisa bahwa saat ini
LHKPN membawa dampak
yang baik kepada ASN untuk
lebih sadar dan memahami
pentingnya melaporkan
kekayaannya, banyak dampak
dan keuntungan dari LHKPN
ini namun permasalahannya
saat ini adalah banyak ASN
yang tidak paham sehingga
banyak PNS yang tidak
melaporkan LHKPN.
LHKPN tidak hanya
berfungsi dalam pencegahan
dan penindakan, namun juga
dapat dimanfaatkan oleh
publik sebagai salah satu
mekanisme untuk menilai
kejujuran dan integritas ASN.
4. Faktor penghambat dalam
implementasi ini adlaah
kurangnya sosialisasi dan
sanksi yang tegas terhadap
Implementasi Kewajiban
Penyampaian Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN) Di
Lingkungan Pemerintah
Provinsi Kepulauan Riau
sehingga banyak pegawai
yang tidak menjalankannya.
B. Saran
Adapun saran yang dapat
disampaikan adalah sebagai berikut :
1. Perlu adanya sosialisasi
menyeluruh terhadap ASN
yang ada di Lingkungan
Pemerintahan Provinsi
Kepulauan Riau tentang
pentingnya LHKPN
kemudian mekanisme dan
tata cara dalam pelaporan.
23
2. Harus ada sanksi yang tegas
bagi ASN yang tidak
melaporkan kekayaannya
seperti mutasi maupun
penurunan jabatan agar lebih
menyadari pentingnya
melaporkan kekayaannya.
3. Kepala daerah sebaiknya
bersama-sama inspektorat
untuk mengawasi
pelaksanaan pelaporan
LHKPN secara rutin agar
ASN lebih patuh terhadap
kewajibannya.
4. Perlu adanya ketegasan
Inspektorat Provinsi
Kepualaun Riau dalam
menerapkan sanksi bagi ASN
yang tidak melaporkan
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
Abidin, Said Zainal. 2002. Kebijakan
Publik Edisi Revisi. Jakarta:
Yayasan. Pancur Siwah.
Agustino, Leo. 2006. Dasar-dasar
Kebijakan Publik. Bandung
: CV Alfabetha
Amri. Yousa. 2007. Kebijakan
Publik, Teori dan Proses.
Laboratorium Pengkajian
Penelitian dan
Pengembangan Administrasi
Negara. FISIP Universitas
Padjajaran, Bandung.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur
Penelitian: Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Dunn, William N. 2003. Analisis
Kebijakan Publik.
Yogyakarta:Gadjah Mada
University Press
Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik
Berbasis Dynamic
Analiysis. Gava Media:
Yogyakarta.
Ekowati, Mas Roro Lilik, 2005,
Perencanaan, Implementasi
dan Evaluasi Kebijakan atau
Program, Edisi Revisi, PT
Rosdakarya, Bandung.
IGM Nurjana, 2010, Sistem Hukum
Pidana dan Bahaya Laten
Korupsi , Yogyakarta:Pustaka
Pelajar
Islamy, Irfan. 2009. Prinsip- prinsip
Perumusan Kebijaksanaan
Negara. Bumi Aksara:
Jakarta
Keban, Yeremias. T. 2004. Enam
Dimensi Strategis
Administrasi Publik, Konsep,
Teori, dan Isu. Yogyakarta.
Gava Media
Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi
Penelitian Kualitatif.
Bandung. Remaja
Rosdakarya.
Ndraha, Taliziduhu. 2003.
Kybernologi (Ilmu
Pemerintahan Baru I). PT
Rineka Cipta : Jakarta
Nugroho, Riant D. 2012. Kebijakan
Publik Formulasi Implementasi
dan Evaluasi. Jakarta : PT.Elex
Media Komputindo
Pasolong, Harbani. 2010. Teori
Administrasi Publik.
Bandung: Alfabeta
24
Purwanto,Erwan, 2012,
Implementasi Kebijakan
Publik Konsep dan
Aplikasinya di. Indonesia,
Yogyakarta : Gava Media.
Putra, Fadillah. 2003. Paradigma
Kritis dalam Studi Kebijakan
Publik. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Rasyid, Rias. 2000. Pokok-Pokok
Pemerintahan. PT Raja
Grafindo Persada : Jakarta
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian
Kuantitatif, kualitatif dan R
& D. Bandung: ALFABETA
Subarsono, AG.2011. Analisis
kebijakan Publik : Konsep.
Teori dan. Aplikasi.Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
Syafarudin. 2008. Efectivitas
Kebijakan Pendidikan. Jakarta:
PT. Rineka Cipta
Syafiie, Inu Kencana. 2006. Sistem
Administrasi publik Republik
Indonesia (SANKRI). Jakarta
: PT Bumi Aksara
Tarwiyah Tuti. 2005. Kebijakan
pendidikan Era 0tonomi
Daerah. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Wahab, Solichin. 2002. Analisis
Kebijaksanaan, Dari
Formulasi Ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara.
Jakarta: Bumi Aksara.
Winarno, Budi. 2007. Kebijakan
Publik, Teori dan Proses.
Jakarta: PT. Buku Kita.
Jurnal :
Zudan Arif Fakrullah. 2011.
Akuntabilitas Kebijakan Dan
Pembudayaan Perilaku
Antikorupsi. Jurnal Perspektif.
Volume XVI No. 2 Tahun
2011
Perundang-undangan :
Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK).
Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2015
tentang kewajiban
penyampaian laporan harta
kekayaan aparatur sipil negara
(LHKASN) di lingkup instansi
pemerintah