implementasi kebijakan pengelolaan …eprints.uny.ac.id/50659/1/eka rachmad yuliawan...data siswa...
TRANSCRIPT
i
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN ASESMEN ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS SEKOLAH INKLUSI DI DINAS
PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA PROVINSI DIY
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Eka Rachmad Yuliawan
NIM 12110244022
PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
MEI 2017
ii
iii
iv
v
MOTTO
Orang yang menginginkan impiannya menjadi kenyataan, harus menjaga
diri agar tidak tertidur
(Richard Wheeler)
Pendidikan yang benar untuk membuat ketimpangan, ketimpangan
individualis, ketimpangan kesuksesan, dan ketimpangan kejeniusan.
(Felix E. Schelling)
vi
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya sederhana ini untuk :
1. Orang tuaku yang senantiasa
mendukung dan mendoakan
keberhasilan studiku
2. Almamaterku Universitas Negeri
Yogyakarta yang telah
memberikanku ilmu.
3. Nusa, bangsa serta agamaku
vii
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN ASESMEN ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS SEKOLAH INKLUSI DI DINAS
PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA PROVINSI DIY
Oleh
Eka Rachmad Yuliawan
NIM 12110244022
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan: 1)
implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus di
sekolah inklusi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY; 2) Faktor
pendukung dan penghambat implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak
berkebutuhan khusus DISDIKPORA DIY.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Subyek
penelitian ini adalah Kepala Seksi PLB, Kepala Kursis TK-SD, Kepala sekolah,
guru pendamping khusus, guru kelas, dan orang tua sebagai subyek pendukung.
Setting penelitian berada di DISDIKPORA Prov. DIY, DISDIK Kab. Sleman, dan
SD N Brengosan I. Metode Pengumpulan data dengan wawancara, dokumentasi,
dan observasi. Uji Keabsahan dengan teknik triangulasi. Teknik analisis data
menggunakan model interaktif dari Miles dan Huberman.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : 1) Proses implementasi
kebijakan pengelolaan asesmen ini dilakukan dengan membagi pihak yang
berperan dalam mengelola pendidikan di DIY, mengembangkan kerangka kerja
berdasar kebijakan pusat, mengkoordinasikan sumber daya dan pembiayaan antara
Kabupaten/ Kota dengan Provinsi, dan mengaloksikan sumber daya dengan
memperbantukan GPK. Hasil dari implementasi tersebut berupa pengadaan
pelatihan asesmen, menjalin mitra kerja dengan lembaga terkait, dan membentuk
lembaga khusus. SD N Brengosan I sebagai sekolah inklusi sudah dapat
merasakan sarana seperti guru pendamping khusus, pelatihan guru, Puskesmas,
dan pusat sumber yang diberikan Dinas terkait. Meskipun belum secara optimal,
sekolah mampu untuk melaksanakan kebijakan asesmen ini melalui beberapa
tahapan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan tindak lanjut asesmen.
Didukung dengan pelayanan khusus berupa penambahan jam belajar siswa ABK;
2) faktor pendukung implementasi tersebut berupa materi PLB (Pendidikan Luar
Biasa) sudah diberikan pada mata kuliah kependidikan, tingkat pemahaman
masyarakat terhadap pendidikan inklusi sudah meningkat, adanya Puskesmas
sebagai mitra kerja sekolah. Sedangkan faktor penghambatnya adalah pemahaman
guru reguler masih lemah, alokasi tenaga GPK (Guru Pendamping Khusus) yang
terbatas, anggaran pelatihan bagi guru yang terbatas dan belum merata, beberapa
orang tua kurang peduli dan sulit memahami arahan dari sekolah.
Kata Kunci : Implementasi kebijakan, asesmen, anak berkebutuhan khusus
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat- Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan skripsi dengan judul
“Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus
Sekolah Inklusi di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY”
Skripsi yang ditulis sesuai dengan kemampuan yang ada pada diri penulis,
namun demikian masih tersirat harapan skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Penulis menyadari bahwa keberhasilan
yang penulis capai ini bukanlah karena kerja individu semata, tetapi berkat
bantuan semua pihak yang ikut mendukung dalam penyelesaianya proposal
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada yang
terhormat:
1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah membantu dalam
memberikan izin atas terealisasikannya penelitian ini.
2. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan atas izin yang
diberikan untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Drs. Joko Sri Sukardi, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini
sehingga dapat terwujud.
4. Bapak dan Ibu Dosen di Program Studi Kebijakan Pendidikan yang
telah memberikan ilmu kepada penulis.
ix
5. Kepala Seksi Pendidikan Luar Biasa, Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga Provinsi DIY yang telah memberikan izin penuiis untuk
melakukan penelitian, memberikan dukungan, kemudahan dan
kelancaran selama proses penelitian.
6. Kepala Bidang Kurikulum dan Kesiswaan TK-SD, Dinas Pendidikan
Kabupaten Sleman yang telah memberikan izin penulis untuk
melakukan penelitian, memberikan dukungan dan data penelitian,
kemudahan dan kelancaran selama proses penelitian berlangsung.
7. Kepala sekolah, guru kelas, guru pembimbing kbusus serta orang tua
siswa berkebutuhan khusus SD N Brengosan I Kabupaten Sleman
yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian,
memberikan dukungan, kemudahan memperoleh data penelitian dan
kelancaran selama proses penelitian.
8. Teman-teman Program Studi Kebijakan Pendidikan yang telah
membantu dalam rangka pelaksanaan penelitian sampai tersusunya
skripsi ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat saya sampaikan satu persatu yang telah
membantu dalam proses penyusunan penelitian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna
dan masih mempunyai kekurangan. Oleh karena itu penulis selalu mengharapkan
kritik dan saran kepada semua pihak.
Yogyakarta, 3 Mei 2017
Penulis
x
DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................... ii
SURAT PERNYATAAN ............................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iv
MOTTO ....................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ........................................................................................ vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii
DAFTAR BAGAN ....................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 7
C. Batasan Masalah .................................................................................... 7
D. Rumusan Masalah .................................................................................. 8
E. Tujuan Penelitian .................................................................................... 8
F. Manfaat Penelitian .................................................................................. 9
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Implementasi Kebijakan Pendidikan ....................................... 11
1. Rumusan Implementasi ........................................................................ 11
2. Pengertian Kebijakan ........................................................................... 13
3. Teori Implementasi Kebijakan Pendidikan .......................................... 14
4. Implementasi Kebijakan Pendidikan .................................................... 16
B. Pengertian Sekolah Inklusi ..................................................................... 20
1. Pendidikan Inklusi ................................................................................ 20
2. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi ....................................... 22
xi
3. Konsep Pendidikan Inklusi ................................................................... 23
C. Kajian Anak Berkebutuhan Khusus ....................................................... 24
1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus ............................................... 25
2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus ............................................... 27
D. Kajian Pengelolaan Asesmen ................................................................. 30
1. Kajian tentang Pengelolaan .................................................................. 30
2. Kajian tentang Asesmen ....................................................................... 30
3. Tujuan Asesmen ................................................................................... 37
4. Tindakan dan Strategi Pelaksanaan Asesmen ...................................... 39
E. Penelitian yang Relevan ......................................................................... 44
F. Kerangka Pikir ........................................................................................ 48
G. Pertanyaan Penelitian ............................................................................. 50
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ............................................................ 51
B. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 52
C. Subjek Penelitian .................................................................................... 53
D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 55
E. Instrumen Penelitian ............................................................................... 57
F. Teknik Analisis Data .............................................................................. 61
G. Uji Keabsahan Data ............................................................................... 63
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A . Deskripsi Umum ................................................................................... 65
1. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Yogyakarta .......... 65
2. Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman .................................................. 74
3. Sekolah Dasar Negeri Brengosan I ..................................................... 75
B. Hasil Penelitian ...................................................................................... 84
1. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK di
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaharaga Prov. DIY ......................... 84
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan
Pengelolaan Asesmen ABK di DISDIKPORA Prov. DIY ................... 132
xii
B. Pembahasan ............................................................................................ 136
1. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK di
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaharaga Prov. DIY ......................... 136
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan
Pengelolaan Asesmen ABK di DISDIKPORA Prov. DIY ................... 160
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................................ 163
B. Saran ....................................................................................................... 164
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 166
LAMPIRAN ................................................................................................. 168
xiii
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 1. Indikator Asesmen ...................................................................... 43
Tabel 2. Realisasi waktu penelitian ........................................................... 53
Tabel 3. Kisi- kisi pedoman wawancara ................................................... 57
Tabel 4. Kisi- kisi pedoman observasi ...................................................... 59
Tabel 5. Kisi- kisi pedoman dokumentasi ................................................ 60
Tabel 6. Rekapitulasi data individu sekolah inklusi dan ABK ................. 73
Tabel 7. Data kepegawaian ....................................................................... 80
Tabel 8. Data ruangan ............................................................................... 81
Tabel 9. Alat peraga/ praktek penunjang .................................................. 81
Tabel 10. Daftar siswa selama 3 tahun ...................................................... 83
Tabel 11. Data siswa ABK SD N Brengosan I Thn. 2016/2017 .............. 83
xiv
DAFTAR BAGAN
hal
Bagan 1. Relasi Identifikasi dan Asesmen ................................................ 31
Bagan 2. Program Pembelajaran Individual ............................................. 42
Bagan 3. Kerangka Pikir ........................................................................... 49
Bagan 4. Struktur Organisasi ................................................................... 68
xv
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Pedoman observasi, dokumentasi, dan wawancara .............. 169
Lampiran 2. Contoh analisis data .............................................................. 183
Lampiran 3. Catatan lapangan ................................................................... 206
Lampiran 4. Foto dokumentasi ................................................................. 212
Lampiran 5. Dokumen peserta didik ........................................................ 217
Lampiran 6. Surat-surat keputusan ........................................................... 236
Lampiran 7. Surat ijin penelitian .............................................................. 246
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap pelaksanaan kegiatan tidak akan lepas dari sebuah kebijakan
baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya atau pendidikan. Kebijakan
menjadi satu hal yang sangat penting dalam pendidikan, dikarenakan
menyangkut arah pendidikan itu akan dibawa, kemajuan dan pendidikan yang
bermutu, tujuan dari pendidikan serta kepentingan unsur didalamnya. Proses
pembuatan kebijakan tidak akan lepas dari beberapa langkah dalam
merumuskan kebijakan pendidikan yaitu formulasi kebijakan, implementasi
kebijakan, dan evaluasi kebijakan.
Pada dasarnya kebijakan dapat diungkap sebagai langkah dalam
melakukan ataupun bertindak sesuatu yang disengaja untuk mengatasi
beberapa masalah yang ditemui (Hugh Heclo dalam Arif Rohman, 2009:
108). Kebijakan pendidikan sendiri merupakan bagian dari kebijakan publik
yang didalamnya mengandung acuan atau aturan yang berkaitan dengan
alokasi, penyerapan, dan persebaran sumber, juga pengaturan perilaku dalam
dunia pendidikan (Arif Rohman, 2009: 108). Kebijakan pendidikan ini
merupakan bagian kebijakan publik dalam dunia pendidikan untuk mencapai
tujuan yang diharapkan.
Begitu halnya dengan kebijakan atau program yang ada di
DISDIKPORA (Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga) Provinsi
Yogyakarta khususnya Seksi PLB (Pendidikan Luar Biasa) dalam usaha
2
peningkatan mutu pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Seksi
Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Provinsi Yogyakarta merupakan
sebuah lembaga pendidikan yang bertugas melaksanakan perencanaan,
pengelolaan, monitoring, serta pengawasan seluruh kegiatan pembelajaran
pendidikan luar biasa di Provinsi Yogyakarta. Seksi PLB ini bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan pendidikan SLB (Sekolah Luar Biasa) yang ada
di 5 (lima) kabupaten di Provinsi Yogyakarta.
Seksi PLB tidak hanya bertanggung jawab pada Sekolah Luar Biasa,
namun juga berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan di setiap Kabupaten
terhadap keberlangsungan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi (SPPI).
Hal tersebut dikarenakan persebaran sekolah inklusi di seluruh kabupaten
yang terbilang banyak, sehingga butuh peran dari setiap Dinas Pendidikan
setempat. Seperti halnya DISDIKPORA Kabupaten Sleman yang turut
berperan dalam mengelola pendidikan inklusi di Kabupaten Sleman.
Anak yang dikategorikan sebagai ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)
sesuai dengan Permendiknas RI No.70 Tahun 2009 menimbang bahwa ”anak
berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mengalami kelainanan fisik
emosional, mental, sosial, dan/ atau bakat istimewa”. Sebagai manusia, ABK
memiliki hak untuk tumbuh kembang ditengah keluarga, masyarakat, dan
bangsa. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Diperkuat dengan UU
Sisdiknas No.20 Tahun 2003 pasal 5 ayat 1 yang mengatakan “setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
3
bermutu”. ABK memiliki hak untuk sekolah sama seperti saudara lainnya
yang normal. Setiap ABK diperlukan layanan pendidikan khusus sesuai
dengan keterbatasan pada dirinya. Tidak ada satu alasan bagi Sekolah Luar
Biasa (SLB) dan Sekolah umum (TK, SD, SMP, SMA, atau SMK) melarang
ABK untuk masuk ke sekolah tersebut.
Pendidikan inklusi menurut Permendiknas No.70 tahun 2009
didefinisikan sebagai ”sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang mempunyai keterbatasan fisik
atau kelainan dan mempunyai kecerdasan maupun bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran didalam lingkungan pendidikan
bersama peserta didik pada umumnya”.Sistem layanan pendidikan
disesuaikan dengan kebutuhan anak yang bersifat khusus. Penyesuain dalam
hal adapatasi kurikulum, pembelajaran, sarana prasarana ataupun penilaian.
Secara sederhana pendidikan inklusi ini untuk memberikan kesempatan yang
sama kepada setiap anak, menghargai keberagaman, tidak diskriminasi
kepada setiap peserta didik.
Suatu proses pendidikan atau pembelajaran tidak akan lepas dari peran
serta guru, murid, kurikulum dan faktor pendukung lainnya. Berdasarkan hal
tersebut, guru memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Tanpa
adanya guru yang berkompeten dapat menimbulkan kegagalan dalam proses
pembelajaran. Khususunya peran guru dalam proses pembelajaran di Sekolah
inklusi, sehingga dalam menentukan program belajar dan bimbingan anak
terlebih pada anak berkebutuhan khusus diperlukan teknik yang berbeda.
4
Didalam menghadapi anak berkebutuhan khsusus tidak serta merta
dapat diamati secara gamblang, sehingga peran guru harus berperan aktif
dalam melihat apa yang menjadi kendala siswa dalam belajar ataupun
mengetahui kebutuhan khusus yang dibutuhkan. Hal tersebut dapat dilakukan
melalui proses identifikasi dan asesmen pada peserta didik ketika ada anak
berkebutuhan khusus masuk ke sekolah.
Identifikasi dan asesmen pada anak berkebutuhan khusus merupakan
dua jenis kegiatan yang sangat penting dilakukan oleh seorang guru untuk
memahami anak. Hal tersebut sebagai bagian usaha mengembangkan
kemampuan yang dimiliki anak berkebutuhan khsusus secara dini.
Identifikasi anak berkebutuhan khusus sesuai Permendiknas No.70 tahun
2009 sebagai “proses penjaringan, yang akan menghasilkan peserta didik
yang berkelainan dan perlu mendapat layanan pendidikan”. Asesmen
merupakan “penyaringan, menyusun informasi untuk bahan program
pembelajaran siswa, dengan memahami kelebihan dan kekurangan siswa”.
Dengan demikian identifikasi merupakan tahapan pertama sebelum
dilakukan asesmen, dan proses asesmen hanya dapat dilakukan setelah ada
identifikasi (McLoughlin dan Lewis dalam Budiyanto, 2014: 33). Keduanya
merupakan satu rangkaian yang saling berkaitan. Pelaksanaan asesmen
terhadap ABK di sekolah inklusi lebih tertuju pada peran guru dalam
mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal sesuai
kebutuhan yang dibutuhkan anak. Pelaksanaan asesmen harus dilakukan
secara mendalam terhadap siswa disekolah inklusi yang telah diidentifikasi
5
sebagai anak berkebutuhan khusus. Dilanjutkan dengan memberikan
penanganan secara khusus pada ABK. Berhasil atau tidaknya pembelajaran
juga dipengaruhi oleh pemberian pelayanan anak berkelainan melalui
asesmen ini.
Jika melihat orang yang melakukannya, proses identifikasi dapat
dilakukan oleh guru, ahli yang profesioanal, dapat juga dilakukan oleh orang
terdekat, orang tua ataupun keluarga. Hal tersebut dikarenakan proses
identifikasi lebih menjaring kekurangan atau kelainan yang memang dapat
diamati dan diukur sesuai kriteria yang berlaku, seperti ciri ketunaan, faktor
penyebab, data anak dan sebagainya.
Disisi lain proses asesmen yang ideal merupakan suatu proses yang
harus dilakukan mendalam, berkesinambungan, melibatkan orang terdekat
dan dilakukan oleh pakar atau tenaga ahli yang sesuai bidang kemampuan
yang dimiliki seperti, psikolog, terapis ataupun sosiolog. Hal ini dikarenakan
dalam memahami kekhususan anak, ada anak-anak yang dapat dikenali
dengan mudah sebagai anak berkebutuhan khusus, namun ada juga yang
membutuhkan pendekatan dan peralatan khusus untuk menentukan,
penanganan yang akan diberikan. Anak-anak yang mengalami kelainan fisik
misalnya, dapat dikenali melalui pengamatan guru saja, sedangkan untuk
anak-anak yang mengalami kelainan dalam segi emosional dan intelektual
memerlukan alat khusus, pemahaman lebih serta penelusuran mendalam
untuk dapat menentukan penangan serta pelayanan bagi anak itu. Selain itu
pemaknaan hasil asesmen yang diperoleh tidak hanya berakhir di sekolah
6
dalam penyusunan RPP dan pelayanan. Hasil tersebut dapat menjadi modal
orang tua dalam membimbing anaknya dirumah. Berdasarkan proses asesmen
inilah muncul keselarasan antara pemberian pembelajaran disekolah dan
dirumah, sehingga ABK memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan, dan
berkesinambungan sampai anak itu mampu mengembangkan diri
Pada kenyataanya dilapangan banyak guru sekolah inklusi yang sukar
untuk mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus, membuat rencana
pembelajaran, atau memberikan pelayanan yang sesuai. Selain itu sulitnya
guru dalam mengajar atau mengarahkan anak berkebutuhan khusus didalam
kelas juga kerap ditemui. Hal ini dapat dipicu karena tidak semua guru di
sekolah inklusi berlatar belakang Pendidikan Luar Biasa sehingga masih
minim pengetahuan terkait penanganan anak berkebutuhan khusus. Tidak
seimbangnya pula guru pendamping khusus dengan sekolah inklusi dan
alokasi waktu yang diberikan. Selain itu adanya hubungan beberapa orang
tua ABK dan sekolah yang tidak selaras dengan yang diharapkan, seperti
beberapa orang tua yang kurang peduli dengan anaknya. Turut memberi
gambaran bahwa sekolahlah yang bertanggung jawab penuh, dan
pelayananannya hanya sebatas di sekolah saja.
Perbedaan penilaian dan pemahaman tersebut membuat pemberian
pembelajaran yang dilakukan oleh sekolah menjadi kurang tepat sasaran dan
pemenuhan kebutuhan terhadap anak didiknya menjadi terhambat. Hal
tersebut membuat guru sulit untuk mengetahui perkembangan anak dan cara
guru dalam memberikan pelayanan kebutuhan yang sesuai bagi anak.
7
Dampaknya justru menghambat bakat, minat, serta intelektual anak
berkebutuhan khusus dalam pembelajaran.
Implementasi kebijakan seharusnya mampu mengatasi permasalahan
yang ada untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Sebuah proses penerapan
kebijakan, harus ada bentuk pengawasan dan tindak lanjutnya. Apakah
kebijakan tersebut mampu mengatasi permasalahan yang ada atau tidak.
Berdasarkan permasalahan diatas dibentuklah kebijakan pendidikan dalam
pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus di DISDIKPORA DIY.
Kebijakan pengelolaan asesmen seharusnya ada sinergi antara Dinas
Pendidikan sebagai pemegang kebijakan, pihak-pihak pendukung dan sekolah
sebagai sasaran kebijakan. Dinas Pendidikan seharusnya menindaklanjuti
kebijakan yang diterapkan, tidak hanya sebatas menerapkan. Sehingga
penerapannya tidak hanya sebatas sampai di lembaga saja, namun juga
elemen masyarakat. SD Negeri Brengosan I merupakan salah satu satuan
pendidikan Dinas Pendidikan Provinsi Yogyakarta berbasis inklusi yang
melaksanakan kebijakan pengelolaan asesmen tersebut. Sekolah ini berada di
dusun Kayunan, Desa Donoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman.
Tercatat pada tahun 2015/2016 ini ada sekitar 20 anak yang berkelainan
(ABK) di SD N Brengosan I.
Kenyataannya, sekolah masih mengalami kendala dalam melakukan
asesmen dan pelayanan khusus. Kendala tersebut muncul karena faktor intern
disekolah (SDM) dan ekstern (seperti orang tua). Oleh karena itu penelitian
ini penting diteliti untuk mengetahui dan mendeskripsikan implementasi dari
8
kebijakan pengelolaan asesmen ABK yang dilaksanakan oleh DISDIKPORA
DIY dan ditindaklanjuti dengan mengetahui penerapannya di sekolah inklusi
tersebut.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis lampirkan dapat
diidentifikasi beberapa masalah diantaranya:
1. Anak Berkebutuhan khusus kurang mendapatkan pelayanan dan
penanganan yang sesuai kebutuhan anak.
2. Tidak semua guru berlatarbelakang Pendidikan Luar Biasa
3. Guru sulit mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus
4. Pemenuhan kebutuhan terhadap anak kurang tepat sasaran
5. Terbatasnya guru pendamping khusus di sekolah inklusi.
6. Beberapa orang tua anak berkebutuhan khusus yang kurang peduli.
7. Implementasi kebijakan asesmen di sekolah belum optimal.
C. Batasan Penelitian
Berdasarkan beberapa identifikasi masalah pengelolaan asesmen anak
berkebutuhan khusus yang luas, maka peneliti disini lebih berfokus pada
masalah implementasi kebijakan pengelolaan assesmen anak berkebutuhan
khusus di DISDIKPORA DIY.
9
D. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan penelitian skripsi ini adalah:
1. Bagaimana proses dan hasil implementasi kebijakan pengelolaan
asesmen anak berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi di Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY?
2. Faktor Pendukung dan penghambat implementasi kebijakan
pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus DISDIKPORA DIY?
E.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
mendeskripsikan:
1. Proses dan hasil implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak
berkebutuhan khusus di DISDIKPORA DIY meliputi taahapan proses
implementasi, program hasil implementasi kebijakan, pelaksanaan
asesmen di sekolah, peran sekolah, guru kelas, dan guru pendamping
khusus, proses belajar mengajar, evaluasi dan tindak lanjut.
2. Faktor yang menjadi pendukung dan penghambat proses implementasi
kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus di
DISDIKPORA DIY.
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini
adalah:
10
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan gambaran pengetahuan bagi mahasiswa serta untuk
menambah perbendaharaan kepustakaan bagi kampus.
b. Memberikan gambaran dan wawasan bagi penulis terkait masalah yang
menjadi fokus penelitian.
c. Menjadikan salah satu penggambaran tentang kebijakan pengelolaan
asesmen anak berkebutuhan khsusus di sekolah inklusi yang
dilaksanakan oleh Dinas terkait.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi:
a. Kepala Sie. Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Provinsi
Yogyakarta sebagai bahan masukan dalam pengambilan, pelaksanaan,
pengembangan, permasalahan serta evaluasi dalam pengelolaan asesmen
anak berkebutuhan khusus.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kepala sekolah
dalam penentuan kebijakan pelaksanaaan dan pengelolaan asesmen anak
berkebutuhan khusus, serta pelayanan pendidikan khusus.
c. Guru (guru kelas/ dan guru pendamping khusus) dapat menjadi bahan
masukan dalam meningkatkan kompetensi guru dalam pengelolaan
asesmen, serta pemberian pelayanan pendidikan khusus bagi ABK.
d. Mahasiswa tentang kajian yang telah dibuat ini, untuk dapat memperoleh
wawasan dan manfaat yang berguna di kemudian hari.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Implementasi Kebijakan Pendidikan
1. Rumusan Implementasi
Pada dasarnya dalam merumuskan kebijakan bertujuan untuk
mengatasi suatu permasalahan atau hambatan yang ada. Pencapaian
tujuan tersebut dapat dilaksanakan melalui proses implementasi kebijakan
yang tepat sasaran.
Webster (Arif Rohman , 2012: 105) menjelaskan implementasi
sebagai ;
“To provide the means for carrying out (mempersiapkan sarana
untuk melaksanaan sesuatu); to give practical effect to (
mengakibatkan dampak/akibat terhadap sesuatu)”.
Proses implementasi seperti yang dijelaskan Webster tersebut
bahwasanya implementasi seperti sebuah tindakan dalam melaksanakan
sesuatu yang dapat memunculkan dampak dan akibat. Dampak tersebut
dapat berupa peraturan, kebijakan yang dirumuskan pemerintah atau
lembaga untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pandangan lain seperti
diungkapkan Van Meter dan Van Horn dalam Arif Rohman (2009: 134)
bahwa implementasi adalah suatu tindakan yang dilaksanakan oleh
pemerintah atau swasta sebagai pemegang kebijakan yang ditujukan untuk
mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Oleh karena itu, tindakan
implementasi dilakukan oleh pemegang kebijakan untuk mencapai tujuan
yang diharapkan.
12
M Grindle dalam Arif Rohman (2009: 134) juga mendefinisikan
implementasi sebagai berikut:
“Implementasi mencakup tugas dalam membentuk suatu ikatan yang
memungkinkan arah suatu kebijakan dapat direalisasikan sebagai
hasil dari aktivitas pemerintah”.
Jadi menurut pendapat tersebut implementasi merupakan keseluruhan
hubungan yang berpengaruh dalam merealisasikan kebijakan yang
dirumuskan pemerintah. Seorang pakar bernama Charles O, Jones (Arif
Rohman, 2009: 135) mendasarkan diri pada konsep aktifasi fungsional,
untuk mengoperasikan program. Tiga pilar tersebut adalah :
a. Pengorganisasian, dengan cara pembentukan atau penataan
kembali sumberdaya, unit, atau metode guna menjalankan
program tersebut.
b. Interpretasi, sebagai aktifitas dalam menafsirkan agar suatu
program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat
diterima dan dilakukan.
c. Aplikasi, meliputi perlengkapan rutin bagi pelayanan,
pembayaran dan lain sebagainya yang disesuaikan dengan
tujuan atau keperluan program.
Lineberry dalam Sudiyono (2007: 80) menyatakan bahwa
implementasi mencakup beberapa tahap- tahap, yaitu:
a. Membuat dan menyusun staf suatu agen baru guna
melaksanakan sebuah kebijakan baru.
b. Menerjemahkan tujuan legislatif dan secara sungguh – sungguh
memasukkannya dalam aturan pelaksanaan, mengembangkan
panduan atau kerangka kerja bagi pelaksana kebijakan.
c. Melakukan koordinasi terkait sumberdaya dan pembiayaan
untuk kelompok sasaran, pengembangan pembagian tanggung
jawab antar agen.
d. Mengalokasikan sumber daya untuk mendapatkan dampak
kebijakan.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas dapat ditegaskan bahwa
implementasi merupakan sebuah proses penerapan suatu kebijakan oleh
13
pemerintah atau organisasi tertentu untuk direalisasikan guna mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
2. Pengertian Kebijakan
Kebijakan Secara etimologi, istilah kebijakan berasal dari Bahasa
Inggris yaitu “policy”. Istilah kebijakan kadang disamakan dengan makna
kebijaksanaan. Pada dasarnya kebijakan dapat diungkapkan sebagai
langkah dalam melakukan ataupun bertindak sesuatu yang disengaja untuk
mengatasi beberapa masalah yang ditemui (Hugh Heclo dalam Arif
Rohman, 2009: 108). Jadi menurut pendapat tersebut keijakan diartikan
sebagai tindakan untuk mengatasi suatu permasalahan, baik disengaja
ataupun tidak.
James E. Anderson mengatakan jika suatu kebijakan merupakan
tindakan yang mempunyai tujuan, diikuti oleh sekelompok orang,
organisasi atau individu guna menyelesaikan permasalahan yang ditemui
(Sudiyono, 2007: 4). Jadi Sebuah kebijakan dibuat untuk berbagai tujuan
atau menyelesaikan masalah. Syafaruddin (2008: 75) mengatakan jika
sebuah kebijakan atau policy yang menyangkut ide tata kelola, pengaturan
didalam organisasi disebut policy berkenaan dengan gagasan pengaturan
organisasi diterima pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah dibuat.
Dengan demikian kebijakan merupakan ide, atau aturan yang dibuat
organisasi atau pemerintah agar diikuti setiap individu untuk mencapai
tujuan yang diharapkan.
14
Perumusan kebijakan merupakan hal yang penting dan sangat
berpengaruh kedepannya, para pemegang kuasa dalam membuat kebijakan
tentu didasarkan pada aspek yang dihadapi, sarana yang dibutuhkan, serta
pengaruh atau dampak yang dapat timbul. Setiap jenis perumusan
kebijakan berkaitan dengan berbagai aspek seperti sudut pandang
(perspective), menyangkut hakikat (substance), kajian filosofi
(metapolicy), dan perilaku (behaviour) tersembunyi atau nyata dari
pembuat kebijakan (Hodgkinson dalam Arif Rohman, 2009: 113).
Terdapat dua jenis pendekatan dalam merumuskan sebuah kebijakan
menurut Arif Rohman (2009: 114) yaitu:
a. Social Demand Approach
Social demand approach adalah suatu pendekatan dalam
perumusan kebijakan pendidikan yang berlandaskan pada aspek
tuntutan, aspirasi dan apa yang didesakan oleh masyarakat kepada
pemerintah. Pada dasarnya pendekatan ini tidak hanya
menanggapi respon dari masyarakat namun juga tuntutan
masyarakat terkait pelaksanaan pendidikan.
b. Man-Power Approach
Pendekatan man-power ini berfokus pada perumusan
keijakan yang didasarkan pada pertimbangan –pertimbangan yang
dibutuhkan dalam menciptakan ketersediaan sumberdaya manusia
yang cukup di masayarakat. Pendekatan ini lebih memunculkan
seorang pemimpin atau aktor kebijakan yang memiliki pandangan
yang lebih jauh kedepan, tidak menunggu adanya tuntutan dari
masyarakat.
Jadi dua pendekatan kebijakan tersebut didasarkan pada dorongan
atau respon dari masyarakat, serta pendekatan yang berlandaskan pada
pertimbangan kebutuhan di masyarakat. Berdasarkan beberapa penjelasan
tersebut dapat ditegaskan jika kebijakan adalah serangkaian langkah atau
15
tindakan yang dibuat oleh pemerintah atau organisasi untuk diterapkan dan
diikuti, yang bertujuan untuk mengatasi suatu permasalahan yang ada.
3. Teori Implementasi Kebijakan Pendidikan
Terdapat beberapa macam teori yang menjabarkan tentang
implementasi kebijakan pendidikan yang digagas oleh para ahli.
Diantaranya terdapat tiga teori yang paling menonjol. Menurut Arif
Rohman (2009: 136-140) ketiga teori tersebut dikembangkan oleh:
a. Brian W. Hoogwood dan Lewis A. Gunn
Dua ahli ini berpandangan bahwa dalam
mengimplementasikan suatu kebijakan yang sempurna (perfect
implementation) diperlukan syarat khusus. Syarat tersebut
diantaranya kondisi eksternal yang dihadapi instansi pelaksana
tidak menimbulkan dampak atau kendala serius. Harus tersedia
waktu dan sumber yang cukup bagi pelaksana program. Sumber
–sumber yang dibutuhkan harus tersedia dan terpadu. Kebijakan
yang akan diimplementasikan harus berdasar pada hubungan
kausalitas yang handal. Hubungan kausalitas tersebut harus
bersifat langsung dan minim rantai penghubungnya.
b. Van Metter dan Van Horn
Van Metter dan Van Horn menngembangkan sebuah teori
yang disebut Model Proses Implementasi Kebijakan (A Model of
the Policy Implementation Process). Kedua pakar tersebut
kemudian membuat dua tipologi kebijakan. Pertama, yaitu
16
jumlah setiap perubahan yang akan dihasilkan. Kedua, jangkauan
atau ruang lingkup kesepakatan terkait tujuan diantara pihak –
pihak yang turut serta dalam proses implementasi. Berdasar pada
dua indikator tersebut, suatu proses implementasi kebijakan akan
berhasil jika pada sisi segi perubahan yang dikehendaki relatif
sedikit, dan pada segi yang lain terdapat kesepakatan terhadap
tujuan dari para pelaksana dalam mengoperasikan program yang
cukup tinggi.
c. Daniel Mazmanian dan Paul. A Sabatier
Teori yang dikembangkan kedua ahli ini dikenal sebagai a
frame work for implementation anlysis atau Kerangka Analisis
Implementasi (KAI). Peran dari teori KAI ini menunjukkan
bahwa suatu kebijakan pendidikan adalah mengidentifikasi
variabel – variabel yang dapat mempengaruhi terwujud tujuan
formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel yang
berpengaruh terhadap tercapainya tujuan formal implementasi
diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu; (a) tingkat kesulitan
yang akan digarap atau dikendalikan, (b) kemampuan dari
keputusan kebijakan untuk menyusun struktur yang tepat dalam
proses implementasi, (c) pengaruh langsung variabel politik
terhadap keseimbangan dukungan terkait tujuan yang terkandung
dalam keputusan kebijakan tersebut.
17
4. Implementasi Kebijakan Pendidikan
Proses implementasi kebijakan merupakan proses yang sangat
penting dan penuh resiko. Apabila sebuah kebijakan sudah dibuat namun
tidak ada tindak lanjut atas penerapan kebijakan tersebut hanya sia –sia,
hanya menjadi wacana. Peran dari setiap elemen sangat dibutuhkan agar
suatu kebijakan dan terealisasaikan. Terdapat beberapa faktor yang dapat
menjadi sumber keberhasilan atau kegagalan dari proses implementasi
kebijakan, yaitu; (a) faktor yang terletak pada rumusan kebijakan, (b)
faktor yang terletak pada personil pelaksana, dan (c) faktor pada sistem
organisasi pelaksana (Arif Rohman, 2009: 147). Beberapa faktor tersebut
berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan dalam penerapan
sebuah kebijakan.
Pendidikan merupakan suatu proses pengembangan diri yang telah
dimulai sejak manusia tersebut dilahirkan hingga mereka meninggal.
Pendidikan akan menuntun seorang anak untuk tumbuh dan
mengembangkan potensinya hingga anak menjadi dewasa. Pendidikan
yang mampu memberikan bekal pengalaman bagi siswa pada masa yang
akan datang. Proses pendidikan di keluarga sebagai bagian awal dari
pembelajaran anak sudah berkembang seiring jaman dengan munculnya
sekolah- sekolah. Saat ini proses pendidikan sudah banyak dilakukan di
berbagai lingkungan baik itu formal, informal, atau non formal.
Oleh karena itu dalam pelaksanaan pendidikan tersebut dibutuhkan
aturan yang akan mengelola proses pendidikan yang disebut sebagai
18
kebijakan pendidikan. Kebijakan pendidikan sebagai keseluruhan tatanan
proses dan hasil perumusan langkah strategis pendidikan yang
digambarkan melalui visi, misi pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan dalam suatu masyarakat untuk kurun waktu tertentu (H.A.R.
Tilaar dan Riant Nugroho, 2008: 140). Kebijakan pendidikan menurut Arif
Rohman (2009: 86) adalah
“ Kebijakan pendidikan sebagai bagian dari kebijakan publik yang
secara khusus mengatur penyerapan sumber, alokasi, perilaku dan
distribusi sumber dalam pendidikan”.
Jadi kebijakan pendidikan dapat dimaknai sebagai aturan tentang
proses pendayagunaan berbagai sumber, alokasi, dan perilaku dalam
pendidikan. Melalui kebijakan pendidikan tersebut maka tujuan dari
lembaga pendidikan dapat tercapai. Implementasi kebijakan pendidikan
sebagai proses yang tidak hanya menyangkut lembaga administratif yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan program serta memunculkan
kepatuhan kepada kelompok sasaran, melainkan faktor hukum, politik,
sosial, ekonomi yang secara langsung maupun tidak dapat berpengaruh
pada perilaku pihak yang ada dalam program (Arif Rohman, 2009: 135).
Tidak jarang munculnya kebijakan juga dipicu oleh adanya
masalah yang terjadi antara kenyataan dan harapan yang berbanding
terbalik. Seperti halnya dalam pemberian pelayanan pendidikan bagi setiap
anak untuk bersekolah, namun memunculkan pandangan diskrimanasi
pada anak berkebutuhan khusus. Harapan untuk meningkatkan
profesionalisme guru di sekolah inklusi yang terbentur pada terbatasnya
19
pengetahuan guru terhadap penanganan anak berkebutuhan khusus.
Beberapa hal tersebutlah yang menjadi salah satu faktor adanya kebijakan
pendidikan.
Masalah yang dihadapi oleh suatu daerah atau bangsa tentunya
berbeda- beda. Suryati Sidharto dalam Arif Rohman (2009: 87)
mengatakan jika Indonseia sendiri mempunyai lima pokok masalah yakni
a) Relevansi pendidikan
b) Daya tampung pendidikan
c) Pemerataan pendidikan
d) Kualitas pendidikan
e) Efisiensi dan efektifitas pendidikan
Kelima pokok masalah tersebutlah yang sering dihadapi oleh
Indonesia dan perlu untuk segera diatasi, salah satu nya melalui
perumusan kebijakan pendidikan. Kebijakan tersebut akan menjadi
pedoman yang dapat bersifat sederhana, rumit, khusus atau umum dan
dirumuskan secara proses politik terkait satu arah tindakan, rencana, atau
program tertentu dalam menyelenggarakan pendidikan (Arif Rohman,
2009: 86). Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kebijakan
pendidikan dibuat dan dirancang untuk mengatasi suatu masalah dalam
dunia pendidikan, selain itu sebuah kebijakan hanya akan menjadi wacana
jika tidak dimplementasikan dalam suatu program untuk mengatasi
masalah dan mencapai tujuan yang diharapkan.
20
B. Pengertian Sekolah Inklusi
1. Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan
terpadu. Pendidikan inklusi ini berbeda dengan pendidikan luar biasa. Pada
sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, seluruh
kebutuhan yang dibutuhkan anak diupayakan agar dapat terpenuhi dengan
baik melalui penyesuaian dalam pembelajaran yang meliputi guru, sarana
dan prasarana, sistem penilaian, bahan ajar, kurikulum yang disesuaikan
dari anak normal ke anak yang memilki kebutuhan khusus tersebut.
Sehingga dalam pendidikan inklusi bentuk penyelenggaraan pendidikan
yang dilakukan dengan menggabungkan anak yang memiliki keterbatasan
dengan anak yang normal pada umumnaya untuk saling belajar. Pendidikan
inklusi ini menjadi cerminan pendidikan yang tidak membedakan karakter
setiap anak (diskriminasi anak) khususnya dengan keterbatasan fisik
seorang anak.
Berdasarkan Permendiknas No.70 pasal 1 tahun 2009 Tentang
Pendidikan Inklusif bagi Peserta didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, disebutkan bahwa
pendidikan inklusi adalah :
“Sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan
dan memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan
pendidikan secara bersama dengan peserta didik pada umumnya”.
Jadi berdasarkan pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa
pendidikan inklusi sebagai sistem penyelenggara pendidikan umum yang
21
menerima setiap anak, tanpa memandang latar belakang. Hal tersebut
diperkuat dengan Peraturan Gubernur DIY No.21 pasal 1 tahun 2013
tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi adalah:
“Sistem pendidikan yang memberikan peran kepada semua peserta
didik dalam suatu iklim dan proses pembelajaran bersama dalam
satu lingkungan tanpa membedakan latar belakang sosial, politik,
ekonomi, etnik kepercayaan, kondisi fisik/ mental, sehingga
sekolah merupakan miniatur masyarakat”.
Oleh karena itu sistem pendidikan inklusi memberikan kesempatan
yang sama kepada setiap anak tanpa kecuali, untuk belajar bersama di
sekolah pada umumnya. Konsep pendidikan inklusi ini menjadi bagian
dalam menghilangkan pandangan diskrimnasi terhadap anak berkebutuhan
khusus, serta mampu mengubah sikap masyarakat terhadap anak
berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi dapat disebut pula sebagai sebuah
sistem pelayanan pendidikan yang mengharuskan setiap anak yang
mempunyai keterbatasan untuk dapat bersekolah di lingkungan terdekat
mereka, dikelas reguler (SD, SMP, SMA, dan SMK) bersama siswa lainnya
(O’Neil dalam Muhammad Takdir Illahi, 2013: 27)
Staub dan Peck dalam Budiyanto (2014: 4) menyebutkan bahwa
pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan
berat secara penuh di kelas untuk mengikuti pembelajaran dalam lingkungan
pendidikan yang sama. Jadi setiap anak akan mempunyai hak yang sama
dalam mengikuti proses pembelajaran sekolah yang sama.
Tarmansayah (2007: 84) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi
adalah hak asai manusia, dimana pelayananan pendidikan harus diterima
22
oleh setiap anak tanpa memandang latar belakang anak seperti kondisi fisik,
intelektual, sosial- emosional, linguistik, mencakup anak berkelainan dan
bakat istimewa, kelompok minoritas atau anak dari daerah yang kurang
beruntung. Oleh karena itu, setiap sekolah harus menerima setiap anak tanpa
memandang latar belakang anak, sehingga pelayanan pendidikan dapat
diterima setiap anak.
Berdasarkan beberapa pandangan pendidikan inklusi tersebut dapat
ditegaskan bahwa pendidikan inklusi merupakan bentuk pelayanan
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus
untuk dapat memperoleh pendidikan layak, yang ditempatkan pada kelas
reguler dengan menggabungkan antara anak berkebutuhan khusus dan anak
normal, dengan penyesuaian- penyesuaian yang dibutuhkan.
2. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi
Berdasarkan Permendiknas No.70 tahun 2009 dijelaskan bahwa dalam
menyelenggarakan pendidikan inklusi berlandaskan pada beberapa aspek
diantaranya, yaitu: a) prinsip pemerataan dan peningkatan mutu; b) prinsip
kebutuhan individual; c) prinsip kebermaknaan; d) prinsip keberlanjutan; e)
prinsip keterlibatan. Secara lebih lanjut dapat dikaji sebagai berikut:
a. Prinsip Pemerataan dan Peningkatan Mutu
Pemerintah mempunyai kuasa dan tanggung jawab didalam
merumuskan kebijakan kaitannya dengan usaha mengatasi masalah
pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu. Pendidikan inklusi
merupakan strategi yang dilakukan pemerintah dengan memberikan
23
kesempatan kepada setiap anak untuk bersekolah menggunakan metode
pengajaran yang bervariasi.
b. Prinsip Kebutuhan Individual
Potensi serta kebutuhan setiap anak berbeda, dan pendidikan harus
menyesuaikan dengan keadaan anak.
c. Prinsip kebermaknaan
Pendidikan inklusi sebagai pendidikan dengan lingkungan yang
ramah anak, anti- diskriminasi, menghargai perbedaan.
d. Prinsip Keberlanjutan
Pelaksanaan pendidikan inklusi secara berkesinambungan pada
setiap jenjang pendidikan.
e. Prinsip Keterlibatan
Pelaksanaan pendidikan inklusi melibatkan semua unsur
pendidikan terkait.
Berdasarkan penjelasan aspek- aspek pendidikan inklusi yang ada
dalam Permendiknas RI No. 70 tahun 2009 tersebut dapat dimaknai sebagai
prinsip-prinsip dasar dalam menciptakan lingkungan pendidikan inklusi yang
dapat mengembangkan potensi, memberikan bekal pada anak, dalam upaya
memeratakan pendidikan.
3. Konsep Pendidikan Inklusi
Konsep pendidikan inklusi seperti yang dikemukakan oleh Moh. Takdir
Ilahi (2013: 117-132) yakni: a) konsep anak dan peran orang tua; b) konsep
sistem pendidikan dan sekolah; c) konsep keberagaman dan diskriminasi; d)
24
konsep memajukan inklusi; e) konsep sumber daya manusia. Lebih lanjut
dapat dikaji sebagai berikut:
a. Konsep anak dan peran orang tua, konsep anak ini lebih identik
dengan dunia permainan, peran orang tua untuk mendidik dan
membimbing perilaku anak hingga terjun di masyarakat.
b. Konsep Sistem Pendidikan dan sekolah, peran lembaga sangat
menunjang terhadap pengolahan sistem atau cara bergaul dengan
orang lain. Sekolah inilah yang diharapkan dapat memberi skill atau
bekal untuk hidup dimasa yang akan datang.
c. Konsep keberagaman dan diskriminasi, konsep ini mencerminkan
sikap saling menghormati satu sama lain, juga sebagai bentuk
penghargaan terhadap segala perbedaan dalam setiap pribadi anak,
baik normal atau cacat.
d. Konsep memajukan inklusi, berkaitan bagaimana setiap unsur
masyarakat secara bersama memajukan sekolah inklusi demi ABK.
e. Konsep sumber daya manusia, konsep ini berkaitan dengan sumber
daya manusia yang berperan dalam setiap kegiatan pelaksanaan
kegiatan belajar anak didik. Sumber daya untuk mengoptimalkan
potensi ABK.
Dengan demikian konsep pendidikan inklusi menurut Tarmanysah
tersebut dapat dimaknai bahwa pendidikan inklusi harus berpegang pada
kelima konsep tersebut agar pembelajaran dapat berjalan sesuai tujuan.
Hal tersebut diperkuat dengan konsep pendidikan inklusi yang
25
dikemukakan oleh Sunaryo (2009:4) yakni konsep sistem pendidikan dan
sekolah diantaranya: a) Pendidikan yang lebih luas dibandingkan
pendidikan formal umumnya; b) lingkungan pendidikan yang ramah
anak; d) sistem yang bersifat responsif; e) perbaikan kualitas sekolah; f)
pendekatan yang menyeluruh serta bekerja sama dengan mitra kerja. Jadi
pendidikan inklusi juga melibatkan peran serta dari berbagai pihak, demi
terwujudnya lingkungan inklusi yang optimal.
Berdasarkan beberapa pandangan konsep pendidikan inklusi
tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan inklusi sebagai
lingkungan pembelajaran yang dekat dengan anak, jauh dari diskriminasi
dan menjunjung keberagaman antar sesama.
C. Kajian tentang Anak Berkebutuhan Khusus
1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebtuhan khusus secara sederhana sebagai anak yang
mengalami kelainan dan membutuhkan pelayanan yang disesuaikan
dengan kebutuhan anak, berbeda dengan anak normal pada umumnya.
Berdasarkan Permendiknas No.70 Tahun 2009 menyebutkan jika anak
berkebutuhan khusus adalah:
“ Mereka peserta didik yang mempunyai kelainanan fisik,
emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan
dan bakat istimewa yang membutuhkan pelayanan pendidikan yang
tepat sesuai kebutuhan dan hak asasinya”.
Jadi ABK adalah peserta didik yang memiliki kelainan dalam hal
psikis, fisik, atau tingkat kecerdasaran anak, sehingga membutuhkan
pelayanan yang menunjang kebutuhan anak tersebut. Mohammad Takdir
26
Illahi (2013: 137) mengatakan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah
anak yang memiliki kecacatan ataupun kebutuhan khusus sementara atau
permanen dan memerlukan pelayanan pendidikan yang intens. Sehingga
anak tersebut membutuhkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Oleh karena itu tidak semua kelainan yang ada pada ABK bersifat tetap,
namun ada pula yang dapat disembuhkan melalui pelayanan pendidikan
berupa terapi, sedangkan ABK tetap dapat melalui pengembangan potensi.
Anak berkebutuhan khusus menurut Lynch dalam Lay Kekeh
Marthan (2007: 33) semua anak yang mengalami gangguan fisik, mental,
ataua emosi dari gangguan tersebut sehingga mereka membutuhkan
pendidikan khusus beserta guru dan lembaga khusus baik permanen atau
sementara. Jadi, anak berkebutuhan khusus membutuhkan kebutuhan dan
pelayanan yang bersifat khusus untuk menunjang kemampuan anak.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat ditegaskan bahwa
anak berkebutuhan khusus adalah anak- anak yang mengalami kelainan
baik fisik, emosional, sosial yang membutuhkan pelayanan pendidikan
secara khusus menyesuaikan kebutuhan karakter anak. Setiap anak berhak
mendapatkan pendidikan yang layak bagi mereka, begitu pula dengan anak
berkebutuhan khusus. Mereka mempunyai hak yang sama dengan anak
normal lainya untuk dapat mengenyam pendidikan. Pendidikan yang
mampu mengembangkan potensi anak.
27
2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus dapat digolongkan dalam
dua kategori, yakni anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara
serta anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen (Moh. Takdir,
2013: 139). Perbedaan kelompok tersebut dapat dipicu oleh beberapa
faktor yang berasal dari pengaruh luar (eksternal) dan pengaruh dari dalam
(internal) diri anak (Budiyanto, 2014: 37). Anak berkebutuhan khusus
sementara cenderung dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti pengaruh
tindak kekerasaan, penyalahgunaan narkoba, kerusakan lingkungan,
ekonomi, dan sebagainya sehingga mengalami gangguan dalam
kesehariaannya. Disisi lain anak berkebutuhan khusus permanen
kebanyakan berasal dari faktor dalam diri anak seperti kelainana fisik,
emosi yang sangat sulit untuk disembuhkan cenderung menetap.
Perbedaan tersebut menjelaskan jika dalam penanganan anak
berkebutuhan khusus tersebut juga berbeda, menyesuaikan kebutuhan
anak. Jika pada anak berkebutuhan khusus sementara mereka
membutuhkan pelayanan khusus seperti terapi atau pelatihan yang
bertujuan untuk proses penyembuhan anak menjadi seperti semula.
Sedangkan pada anak yang mengalami kelaianan permanen, penanganan
lebih pada pengembangan potensi, ataupun meminimalisir kekurangan
anak dengan bakatnya. Penanganan tersebut membutuhkan proses
identifikasi dan asesmen agar penanganan dapat sesuai dengan karakter
atau klasifikasi anak.
28
Tarmansyah (2012: 82) menjabarkan konsep anak berkebutuhan
khusus berdasarkan jenis ketunaannya seperti: a) anak dengan gangguan
penglihatan; b) anak dengan gangguan pendengaran; c) anak ganagguan
kecerdasan; d) anak dengan intelegensi diatas rata-rata; e) anak dengan
gangguan gerak; f) anak dengan gangguan perilaku; g) autisme; h)
hiperaktif, dan i) anak berkesulitan belajar spesifik. Lebih lanjut dapat
dikaji sebagai berikut:
a). Anak dengan gangguan penglihatan,
- Anak low vision (menggunakan perabaan, mata bergoyang
terus, tidak dapat mengikuti garis lurus)...
- Anak tunanetra total.
b). Gangguan pendengaran dan bicara (tunarungu wicara).
- Anak kurang dengar (hard of hearing), anak sering
memiringkan kepala, tidak ada reaksi terhadap bunyi
disekitarnya, sering menggunakan isyarat, kurang tanggap
dalam berkomunikasi...
- Anak tuli atau tidak dapat mendengar (deaf).
c). Anak gangguan kecerdasan (intelektual) di bawah rata-rata
(tunagrahita).
- Anak tunagrahita ringan ( IQ 50 - 70).Kriteria anak ini seperti
dua kali anak tidak naik kelas, tidak mampu berpikir abstrak,
cenderung acuh terhadap lingkungan, sulit berinteraksi sosial.
29
- Anak tunagrahita sedang (IQ 25 - 49). Anak hanya mampu
membaca kalimat tunggal, sulit berhitung, sulit beradaptasi
dengan lingkungan baru, kurang mampu mengurus diri...
- Anak tunagrahita berat (IQ 25 – ke bawah). Anak hanya
mampu membaca satu kata, tidak dapat melakukan kontak
sosial, tidak mampu mengurus diri, banyak bergantung pada
bantuan orang lain...
d). Anak dengan kemampuan intelegensi di atas rata-rata.
- Giffted dan genius, yaitu anak yang memiliki kecerdasan di
atas rata-rata...
e). Anak dengan gangguan anggota gerak (tunadaksa).
- Anak layuh anggota gerak tubuh (polio). Anak memiliki
anggota gerak yang kaku, lemah, lumpuh dan layu...
- Anak dengan gangguan fungsi syaraf otak (cerebral palcy).
Gerak yang ditampilkan cenderung kaku dan tremor.
f) Anak dengan gangguan perilaku dan emosi (tunalaras). Anak
cenderung emosional, menentang otoritas, dan agresif.
g) Anak autisisme, memiliki kecenderungan untuk sulit dalam
mengenal dan mersepon emosi dan isyarat sosial, ekspresi emosi
yang kaku, perilaku yang meledak – ledak...
h).Anak Hiperaktif ADHD (Attention Deficit Hyperactivity
Disorders),
i) Anak mengalami kesulitan belajar spesifik
30
- Gangguan belajar membaca (disleksia)...
- Gangguan belajar menulis (disgrafia)...
- Gangguan belajar berhitung (diskalkula)...
D. Kajian Tentang Pengelolaan Asesmen
1. Kajian tentang Pengelolaan
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 534), kata
pengelolaan berasal dari kata “kelola”. Mendapat imbuhan pe- dan an
sehingga menjadi pengelolaan. Pengelolaan sebagai proses, cara, perbuatan
mengelola atau proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakan
tenaga orang lain, dan atau proses yang membantu perumusanan kebijakan
dan tujuan organisasi. Kata pengelolaan menurut Tatang M. Amirin (2011:
7) dapat diartikan sebagai :
“manajemen mengandung dua substansi, yaitu sebagai proses atau
kegiatan memanajeman dan orang yang melakukan manajemen
menjadi manajer. Manajeman bukan sekedar menyelenggarakan atau
melaksanakan dengan baik, dengan ditata atau diatur. Penataan dan
pengaturan itulah yang kemudian disebut pengelolaan”.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat ditegaskan bahwa
pengelolaan dapat diartikan sebagai manajemen, yang mempunyai makna
sebagai suatu rangkaian pekerjaan atau usaha yang dilakukan oleh
sekelompok orang untuk melakukan serangkaian kerja dengan lebih tertata
dan teratur dalam mencapai tujan tertentu.
2. Kajian tentang Asesmen
Kata assessment merupakan istilah asing berbahasa Inggris yang
artinya penilaian. Pada akhir suatu program pendidikan dan pengajaran,
pada umumnya diadakan assessment atau penilaian, namun dalam kaitannya
31
dengan pendidikan inklusi makna asesmen merupakan satu rangkaian
kegiatan yang diawali dengan identifikasi (penjaringan) dilanjutkan dengan
proses asesmen (penyaringan). Proses asesmen tidak dapat dilakukan jika
kegiatan identifkasi belum dilakukan. Kedua proses tersebut dilaksanakan
saat anak yang berkelainan akan mengikuti pendidikan di sekolah reguler.
Desain relasi identifikasi dan asesmen seperti yang dikemukakan Budiyanto
(dalam Modul Training of Trainer, 2009: 27).
Identifikasi
Diperoleh Data Anak Berkebutuhan
Khusus
Asesmen
Asesmen Non Akademik Asesmen Akademik
Data
1. Kecerdasan, potensi, bakat,
emosi, komunikasi
2. Kondisi Kesiapan Pra
Akademik
Data
Kebutuhan khusus sesuai
kelainan anak
Data
Kemampuan anak di bidang
akademik (kelebihan dan
kekurangan
Pedoman
Penyusunan program layanan
kompensatoris
Pedoman
Penyusunan rencana
pembelajaran
Bagan.1 Relasi Identifikasi dan Asesmen (Budiyanto, 2009: 27)
32
a. Hakikat Identifikasi
Identifikasi merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum
dilaksanakan asesmen. Suatu proses yang dilakukan terhadap anak yang
mengalami kelaianan atau gangguan, baik yang akan masuk di sekolah
inklusi dan yang tidak bersekolah. Kegiatan identifikasi anak berkelaianan
menurut Permendiknas RI No.70 tahun 2009 adalah ;
“Teknik penjaringan, dengan kata lain proses identifikasi
dimaksudkan sebagai upaya seseorang baik guru, orang tua atau
tenaga kependidikan untuk melaksanakan proses penjaringan
terhadap anak yang mengalami gangguan atau kelaianan fisik,
emosional, sosial, intelektual dalam rangka pemberian pelayanan
pendidikan yang sesuai”.
Jadi identifikasi merupakan proses penjaringan yang dilakukan
guru atau orang tua terkait gangguan atau kelainan pada anak agar
pemberian pelayanan dapat sesuai. Proses identifikasi sebagai tahap pertama
sebelum melakukan asesmen, cenderung melihat karakter atau kelaianan
yang dimiliki anak. Identifikasi menurut Budiyanto (2014: 34) adalah usaha
sesorang (orang tua, keluarga, guru, atau tenaga kependidikan) untuk
mengetahui seorang anak mengalami kelainan baik fisik, emosional, sosial,
neuorolgis, intelektual dalam tumbuh kembang anak diluar dari konteks
anak normal. Oleh karena itu, identifikasi dapat dilakukan oleh orang
terdekat untuk mengetahui anak yang diduga mengalami gangguan atau
penyimpangan dibandingkan anak normal seusianya.
Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa
identifikasi adalah proses menemukan dan mengenali anak berkebutuhan
khusus, seperti kondisi, perilaku atau kebiasaan anak berkebutuhan khusus.
33
Proses ini harus dilakukan dengan baik agar tidak terjadi kesalahpahaman
dalam menghimpun atau menafsirkan informasi, demi ketepatan tindak
lanjut yang akan dilakukan.
b. Tujuan Identifikasi
Pada dasarnya kegiatan identifikasi untuk memperoleh data terkait
kondisi anak sebagai bahan pertimbangan pelayanan kebutuhan dan rencana
pembelajarannya. Menurut Lerner dalam Budiyanto (2014: 35)
mengelompokkan identifikasi dalam lima keperluan, yaitu:
1) Penjaringan (screening), yaitu kegiatan identifikasi yang
berfungsi untuk menetapkan anak yang mempunyai kondisi
gangguan atau kelaianan fisik, emosional, intelektual, sosial
beserta gejala tingkah laku menyimpang atau berlaianan dengan
kondisi anak normal. Jadi proses ini merupakan pengamatan
terhadap perilaku anak yang berbeda dengan anak normal, dan
diduga mengalami gangguan.
2) Pengalihtanganan (referal), yaitu kegiatan yang dilakukan untuk
mengalihtangankan ke tenaga ahli yang berkompeten di
bidangnya seperti, seperti psikolog, terapis, dokter, konselor
terhadap gejala yang diamati dengan teliti. Oleh karena itu untuk
memastikan temuan yang ada, perlu dipastikan melalui tenaga
ahli sesuai dibidangnya.
3) Klasifikasi (classification), yaitu kegiatan identifikasi yang
dilakukan untuk menetapkan anak yang diidentifikasi termasuk
34
dalam anak berkebutuhan khusus yang memang mempunyai
kelainan fisik, emosional, gejala menyimpang lain, sehingga
dibutuhkan penanganan khusus. Jadi anak yang sudah ditetapkan
menjadi ABK membutuhkan pelayanan khusus sesuai kebutuhan
anak agar dapat berkembang.
4) Perencanaan Pembelajaran (instructional planning), kegiatan
identifikasi yang dilakukan untuk bahan penyusunan program
pengajaran individu yang bersangkutan berdasarkan hasil dari
klasifikasi. Jadi kegiatan ini bertujuan untuk memetakan setiap
penyusunan rencana belajar sesuai kebutuhan anak yang telah
diklasifikasikan.
5) Pemantauan kemajuan belajar (monitoring pupil progress),
kegiatan untuk mengetahui keberlangsungan program
pembelajaran khusus yang diberikan berhasil atau tidak dalam
meningkatkan kemampuan anak. Jadi berhasil atau tidaknya
progam pembelajaran yang diberikan, akan terlihat melalui
kegiatan pemantauan belajar seperti tes, atau ulangan anak.
c. Sasaran identifikasi
Setiap anak dalam kehidupan sehari hari seperti dalam
pembelajaran pasti mengalami hambatan dan kesulitan, namun kesulitan
tersebut dapat diatasi dengan penanganan, pelayanan pendidikan pada
umumnya. Berbeda dengan anak yang mengalami kelainan mereka
cenderung hanya dapat diatasi dengan pelayanan pendidikan khusus.
35
Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus dapat dibedakan dari
dua faktor, menurut Budiyanto (2014: 37) yakni faktor internal sebagai
faktor yang berasal dari dalam diri anak seperti kelaianan fisik, sosial,
emosi yang cenderung berifat susah disembuhkan. Sedangkan faktor
eksternal adalah faktor yang berasal dari luar anak, seperti korban
bencana alam, narkoba, lingkungan. Oleh karena itu, ada ABK yang
dapat disembuhkan karena ketunaannya sementara, namun ABK tetap
sulit disembuhkan dan hanya diberi pelayanan pengembangan potensi.
Sasaran dalam pelaksanaan identikasi anak berkebutuhan khusus ini
sendiri dibatasi pada faktor internal sesuai dengan Munawar Yusuf
dalam Budiyanto (2014: 37) seperti:
1) Anak yang mengalami gangguan belajar spesifik
- Gangguan belajar membaca (disleksia)
- Gangguan belajar menulis (disgrafia)
- Gangguan belajar berhitung (diskalkula)
2) Anak lamban belajar
3) Anak dengan gejala Under Achiever
4) Anak memiliki gejala gangguan emosional (tunalaras)
5) Anak memiliki gangguan komunikasi
6) Anak dengan gangguan penglihatan (tunanetra)
7) Anak dengan gangguan pendengaran (tunarungu)
8) Anak dengan gangguan kesehatan
9) Anak dengan gangguan anggota tubuh (tunadaksa)
36
10) Anak autisme
11) Anak korban penyalahgunaan narkoba
d. Hakekat Asesmen
Kegiatan asesmen merupakan tahapan lanjutan setelah dilakukan
identifikasi pada anak berkebutuhan khusus. Pelaksanaan asesmen hanya
dapat dilakukan oleh pakar atau ahli yang ada dibidangnya. Asesmen pada
anak berkebutuhan khusus berbeda dengan asesmen pada umumnya.
Asesmen pada tingkatan sekolah khusus adalah penghimpunan informasi
yang rinci, baik kelemahan, potensi dan perilaku anak untuk penetapan
penyusunan rencana pembelajaran.
Kegiatan Asesmen menurut Permendiknas RI No.70 Tahun 2009
adalah :
“Proses pengumpulan informasi sebelum disusun program
pembelajaran bagi siswa berkelainan. Asesmen ini ditujukan
untuk memahami keunggulan dan hambatan belajar siswa,
sehingga diharapkan program yang disusun benar- benar sesuai
dengan kebutuhan belajar siswa”.
Berdasarkan pengertian tersebut, asesmen dapat diartikan sebagai
proses pengumpulan berbagai informasi tentang potensi, hambatan belajar
sebelum disusun program pembelajaran. Lerner dalam Budiyanto (2014:
55) mengartikan asesmen sebagai langkah menghimpun informasi terkait
anak berkebutuhan khusus yang dtujukan sebagai bahan pertimbangan dan
keputusan terhadap anak tersebut. Jadi asesemen, adalah langkah menggali
informasi secara rinci terkait ABK sebagai bahan dasar pertimbangan
37
keputusan anak tersebut. Serupa dengan Roger Pierangelo (2009: 9)
menyatakan bahwa:
“ assessment is a complex process that needs to be conducted by
a multidiciplinary team of trained professionals and involved both
formal and informa methods of collecting informatian about
students.”
Jadi asesmen sebagai suatu proses kompleks yang membutuhkan
peran dari para ahli dalam team serta menggunakan formal dan informal
metode asesmen untuk menggali informasi tentang siswa secara rinci.
Tarmansyah (2007: 183) mengungkapkan jika kegiatan asesmen
merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya
memperoleh informasi terkait hambatan belajar, kebutuhan pelayanan
yang harus terpenuhi, serta potensi yang dimiliki, sehingga dapat menjadi
dasar pembuatan rencana pembelajaran sesuai kemampuan anak. Jadi hasil
dari asesmen ini menjadi bahan dalam menyusun program belajar anak.
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai asesmen tersebut dapat
ditegaskan bahwa asesmen sebagai suatu proses menggali informasi
tentang karakter, potensi dan kelemahan pada anak yang dilakukan oleh
seorang pakar dibidangnya, sebagai bahan kajian dalam penetapan dan
penyusunan rencana belajar yang optimal serta pelayanan khusus yang
sesuai dengan kebutuhan anak.
3. Tujuan Asesmen
Proses asemen merupakan tahapan penting dalam memberikan
pelayanan khusus dan rencana pembelajaran yang dibuat oleh guru dapat
38
sesuai dengan kondisi pada anak. Mereka dapat mengikuti proses belajar
mengajar di sekolah inklusi sesuai kondisi dan kebutuhan anak, sehingga
anak dapat mengoptimalkan potensi yang ada dan meminimalisir
kekurangan yang ada pada anak. Secara sederhana tujuan dari kegiatan
asesmen (Sunardi dan Sunaryo dalam Budiyanto, 2014: 56) memaparkan
tujuan utama dari proses asesmen ini sebagai berikut:
1) Mendapatkan informasi yang akurat, obyektif, relevan tentang
keadaan anak berkebutuhan khusus.
2) Mengetahui data anak yang lengkap, seperti potensi dalam
diri anak, hambatan dalam belajar, keadaan lingkungan,
kebutuhan pelayanan khusus, serta kondisi lingkungan yang
dapat mendukung anak.
3) Menetapakan pelayanan khusus yang sesuai dengan kondisi
anak sesuai kebutuhannya, secara berkala dipantau kemajuan
perkembangan anak.
Marit Holm (Tarmansyah, 2007: 184) lebih lanjut mengatakan
jika tujuan yang akan dicapai dalam melakukan asesmen adalah
a) Menemukan jenis gangguan, apakah siswa memiliki
gangguan akademik , maupun gangguan lain .
b) Menganalisa pekerjaan siswa, hasil yang diperoleh dari
kegiatan yang dilakukan siswa yang mengalami gangguan,
cara kerja, pemahaman, dan merefleksikan kemampuan
c) Menganalisa bagaimana cara siswa bekerja, melihat
bagaimana siswa memecahkan masalah, memecahkan
soal, hubungan sosial, berinteraksi dengan lingkunannya.
d) Menganalisa penyebabnya, bertujuan untuk memahami
apakah anak mengalami gangguan saat pra natal, lahir atau
setelahnya.
39
e) Merumuskan hipotesa, dengan memberikan kesimpulan,
cara siswa bekerja, dan masalah yang dialami siswa.
f) Mengembangkan rencana intervensi, menyusun rencana
pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, monitoring,
evaluasi dan rekomendasi pelayanan.
Hasil dari asesmen tersebut berguna dalam membuat pendidkan
khusus untuk mengembangkan potensi yang dimilik anak. Dengan
demikian, pelaksanaan asesmen menentukan bagaimana menciptakan
lingkungan pembelajaran dan pelayanan yang sesuai dengan anak.
Ditujukan agar potensi yang ada dapat lebih menonjol, dan meminimalisir
kelemahan yang ada pada diri anak. Selain itu asesmen dilakukan
berkesinambungan, tidak dalam waktu singkat agar informasi yang
diperoleh akurat dan efektif.
4. Tindakan dan Strategi Pelaksanaan Asesmen
a. Tindakan Asesmen
Pelaksanaan asesmen, pada dasarnya merupakan tahap penyaringan
setelah dilakukan penjaringan pada anak berkebutuhan khusus. Sasaran
pelaksanaan asesmen ini ditujukan pada anak – anak yang ada disekolah
reguler, khususnya anak yang telah teridentifikasi mengalami kelaianan atau
berkebutuhan khusus dan membutuhkan pelayanan khusus. Penanganan
tersebut diharapkan dapat mengembangkan potensi yang ada dalam anak.
Didalam proses ini para pelaku asesmen dilakukan oleh seorang yang
kompeten dibidangnya seperti sosiolog, terapis, psikolog, dokter. Walaupun
sebenarnya dapat juga dilakukan oleh guru, namun ada beberapa hal yang
harus didampingi oleh tenaga ahli. Proses asesmen ini bertujuan untuk
40
menggali informasi tentang kondisi anak berkebutuhan khusus
sesungguhnya untuk kemudian dapat menjadi acuan penaganan khusus.
Didalam pelaksanan asesmen tersebut, informasi yang dibutuhkan dapat
didapat melalui media tes. Tes tersebut dapat berupa tes yang dibuat oleh
guru, tes yang ada didalam buku, atau observasi sistemik. Marit Holm
(Tarmansyah, 2007: 185) juga membagi asesmen dalam dua rangkaian
prosedur yang berbeda, diantaranya:
1) Static Assessment Procedure (SAP), kegiatan ini lebih proses
asesmen konvensional, terkait aspek yang telah ada pada diri anak,
maupun sesuatu yang telah didapat. Dilakukan berdasarkan waktu
yang telah direncanakan atau ditetapkan.
2) Dynamic Assessment Procedure (DAP), kegiatan asesmen yang
lebih berfokus pada perkembangan yang telah ada atau dicapai
siswa saat itu sampai ke depannya. Asesmen ini tidak terikat waktu
pelaksanaan.
b. Strategi Pelaksanaan Asesmen
Pelaksanaan asesmen dilakukan untuk mengumpulkan informasi
terkait keadaan anak yang teridentifikasi sebagai anak berkebutuhan
khusus, yang meliputi kondisi anak, kelebihan, kekurangan dengan tepat.
Hal ini penting sebagai bahan dasar dalam membuat rencana pembelajaran
dan pelayanan khusus yang akan diberikan kepada anak. Sehingga
pelaksanaan pembelajaran yang diberikan oleh guru nantinya dapat tepat
guna. Munawir Yusuf dalam Budiyanto (2014: 58) mengungkapkan jika
41
prosedur pelaksanaan asesmen ini dapat dilakukan dengan beberapa langkah
diantaranya:
1) Observasi, proses ini sebagai tahap mengukur melalui pengamatan
langsung terhadap perilaku dan keseharian anak berkebutuhan
khusus.
2) Analisa sampel kerja, pengukuran informal yang dilakukan
menggunakan hasil kerja siswa, seperti hasil tes, hasil praktek
kesenian dan sebagainya.
3) Analisis tugas, sebagai kegiatan pemisahan, pengurutan, dan
penguraian komponen.
4) Inventory informal, mengumpulkan informasi terkait aspek non
akademik siswa, contohnya seperti perilaku, keseharian,
komunikasi siswa.
5) Daftar cek (Check list)
6) Skala Penilaian (Rating Scale), teknik assessmen ini untuk
mendapatkan informasi tentang opini dan penilaian.
7) Wawancara, sebagai metode tanya jawab yang akan dilakukan
kepada anak yang bersangkutan.
Secara garis besar strategi pelaksanaan tersebut umum dilakukan
terutamanya oleh guru, namun lebih berfokus pada cara memperoleh
informasi terkait karakter anak. Menjadi bahan pertimbangan pembuatan
rencana pembelajaran, baik dilaksanakan pada kelas reguler, teman seusia,
atau individu melalui Program Pengajaran Individual (PPI). Namun dalam
42
menyusun atau menyimpulkan hasil tersebut butuh peran dari pakar di
bidangnya. Berikut skema kegiatan identifikasi dan asesmen yang dibuat
Loughlin (dalam Budiyanto, 2014: 65) tentang penyususnan PPI tersebut:
c. Indikator Asesmen Akademik dan Non Akademik
Pada dasarnya asesmen dapat dikelompokkan pada dua jenis yakni,
asesmen akademik dan asesmen perkembangan. Asesmen akademik
Penjaringan dan Identifikasi ABK
Rujukan ke Tim PK
Pertemuan Tim PK
Pertemuan Tim Asesmen
PPI
Asesmen
Positif
Positif
Pelaksanaan PPI
Evaluasi
Negatif
Negatif
Kelas Reguler
Bagan. 2 PPI (Budiyanto, 2014:65)
43
dilakukan guna mengukur pencapaian prestasi belajar yang dilakukan
siswa seperti baca tulis atau berhitung. Asesmen perkembangan
menekankan pada keterampilan prasyarat yang dibutuhkan untuk
keberhasilan bidang akademik (Budiyanto, 2014: 59). Asesmen
perkembangan ini akan mengumpulkan informasi yang diperlukan atau
dapat memacu prestasi akdemik seorang siswa.
Terdapat tiga tingkatan dalam belajar yang dapat digunakan
sebagai acuan melakukan asesmen yakni, tingkatan motorik (doing level),
tingkat persepsi (matching level), dan tingkatan konseptual
(categorization) yang menunjukkan tingkatan proses belajar (Modul
Training of Trainer, 2009: 50). Ketiga tingkatan tersebut dijelaskan dalam
matrik yang dibuat oleh Mangungsong dalam Modul Training of Trainer
(2009: 50- 51), diantaranya sebagai berikut;
Tabel.1 Indikator Asesmen
Tingkatan Proses
Belajar
Indikator Asesmen Uraian
Tingkat Motorik
(Doing level)
Diferensiasi
Kemampuan memilih dan
menggunakan sendiri bagian
tubuh secara terkontrol
Keseimbangan
Kesadaran serta kemampuan
mempertahankan suatu hubungan
ketitik pusat dari gaya tarik bumi
Hubungan
keruangan
Kesadaran tubuh, lateeralitas (dua
sisi bagian tubu) dan arah
memproyeksikannya
Ritme Jarak atau kombinasi dari interval
waktu
Mata- tangan
Kemampuan menggabungkan apa
yang dilihat melalui gerakan
motorik halus
44
Tingkatan persepsi
(Matching level)
Diskrimnasi Kemampuan membedakan bentuk
Bentuk dan latar
Kemampuan memfokuskan atau
membedakan bentuk utama
dengan latarnya
Closure Kemampuan menambah
detailyang hilang
Ingatan Kemampuan mengingat dari
panca indra
Sekuens Kemampuan mengatur sesuai
urutan yang diamati oleh indra
Integrasi
Penggunaan dua saluran input
atau lebih serta
menghubungkannya
Tingkatan Konseptual
( Caategorization)
Kemampuan anak dalam
membuat kategori serta klasifikasi
pengalaman yang diperoleh
Sumber: Mangunsong (Modul Training of Trainer, 2009: 50-51)
E. Penelitian yang Relevan
1. Penelitian relevan I: Hasil penelititan yang dilakukan Herdina Tyas Leylasari
dari Prodi Psikologi, Fakultas Psikologi yang beralmamater Universitas
Katolik Widya Mandala Madiun dengan judul Pengembangan Panduan
Identifikasi dan Asesmen Siswa Berkebutuhan Khusus di SDN Inklusi X
Surabaya tahun 2015.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
pengembangan (research and development) yang merupakan suatu proses
atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau
menyempurnakan produk yang telah ada yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pada tahap asesmen partisipan penelitian adalah wakil kepala sekolah, lima
orang guru kelas (kelas 1-5), dan tiga orang guru kelas khusus. Sedangkan
pada tahap intervensi partisipan penelitian adalah lima guru kelas (kelas 1-5)
45
dan tiga guru kelas khusus. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu pengumpulan data untuk
asesmen dan pengumpulan data untuk intervensi.
Hasil penelitian ini dibagi menjadi dua yakni Analisis Hasil Penelitian
Tahap Asesmen dan intervensi. Untuk tahap assessmen diantaranya
pelaksanaan identifikasi dan asesmen siswa berkebutuhan khusus di sekolah
masih belum memahami cara-cara melakukan identifikasi dan asesmen yang
tepat. Pihak sekolah juga selama ini belum mempunyai panduan yang baku
dalam melakukan identifikasi dan asesmen. Sarana dan prasarana yang
menunjang pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus terbatas.
Pengelolaan kelas guru terutama pada siswa berkebutuhan khusus masih
disamakan dengan siswa reguler. Guru juga tidak menempatkan posisi duduk
siswa secara strategis berdasarkan gangguannya. Pendidik dan tenaga
profesional lain yang mendukung layanan pendidikan bukan berasal dari
pendidikan luar biasa.
Sekolah memiliki psikolog namun psikolog di sekolah ini belum
berperan dalam proses identifikasi dan asesmen. Tugas psikolog hanya
membantu guru dalam menangani siswa berkebutuhan khusus. Kurikulum,
proses dan penilaian pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus
menggunakan kurikulum modifikasi bagi siswa berkebutuhan khusus.
Program Pembelajaran Individual (PPI) baru dibuat tiga guru khusus saat ada
penilaian kinerja dari Diknas dan modelnya belum sesuai dengan Program
Pembelajaran Individual (PPI) yang sebenarnya.
46
Analisis studi kedua tentang intervensi menunjukkan hasil dari angket
evaluasi buku panduan yang diberikan saat proses diseminasi buku panduan
maka diperoleh hasil seluruh partisipan (100%) mengatakan bahwa buku
panduan menarik. Alasan dikatakan menarik karena dapat digunakan semua
guru yang menangani siswa berkebutuhan khusus (45,45%). Ada yang
tertarik membaca karena isinya yang memberi banyak informasi tentang
langkah-langkah identifikasi dan asesmen untuk siswa berkebutuhan khusus
(27,27%) dan ada pula yang tertarik membaca buku panduan itu karena
terdapat checklist atau contoh-contoh cara melakukan identifikasi dan
asesmen untuk siswa berkebutuhan khusus (27,27%).
2. Penelitian relevan II : Hasil Penelitian skripsi Imam Yuwono dari FKIP
UNLAM Banjarmasin, dengan judul Penerapan Identifikasi, Asesmen, dan
Pembelajaran pada Anak Autis di Sekolah Inklusif. Implementasi dari
identifikasi, asesmen dan pembelajaran dalam pendidikan inklusif di
Kalimantan Selatan masih memiliki kendala yang dihadapi. Kurangnya
pengetahuan guru dan tidak adanya pedoman pelaksanaan identifikasi
menjadi alasan penting.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah salah satu guru dan satu kepala
sekolah dari Banua Hanyar 8 Banjarmasin bahwa ada anak-anak dengan
autisme. Sekolah ini sudah enam tahun penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Pengambilan data menggunakan metode tes, observasi, wawancara dan
dokumentasi. Analisis data menggunakan model interaktif yang
47
dikembangkan oleh Miles dan Huberman dengan tiga prosedur reduksi data,
penyajian data dan verifikasi.
Temuan penelitian 1) bagaimana mengidentifikasi anak autis di SD
Banua Hanyar 8 menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh DSM IV,
identifikasi dilakukan oleh guru untuk mengidentifikasi anak-anak dengan
autisme; 2) asesmen guru dipahami untuk mengambil keputusan di membuat
program pembelajaran. Yang dilakukan oleh guru dengan cara anak-anak
mengumpulkan data, dan kemudian dianalisis untuk dipertimbangkan
bersama-sama program pembelajaran; 3) dalam pembelajaran anak-anak autis
dengan guru diperlukan memodifikasi kurikulum sesuai dengan kebutuhan
anak-anak autisme; 4) kendala yang dialami oleh guru dalam identifikasi dan
asesmen pemahaman guru dari mereka tidak memadai, pendidikan inklusif
hanyalah menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Relevansi dengan dari kedua penelitian diatas adalah sama- sama meneliti
tentang implementasi pengelolaan asesmen ABK yang dlaksanakan di
sekolah inklusi, dan berfokus pada penggambaran penerapan pelaksanaan
identifikasi dan asesmen di sekolah. Sedangkan yang membedakan antara
peneliti dengan penelitian diatas adalah fokus peneliti yang ingin
menggambarkan pula proses implementasi kebijakan pengelolaan asesmen
anak berkebutuhan khusus sekolah inklusi yang diterapkan Dinas Pendidikan.
Sumbangsih dari kedua penelitian diatas terhadap penelitian ini adalah dapat
memberikan gambaran tentang penerapan asesmen disekolah, permasalahan
yang dihadapi dan faktor yang menyertainya.
48
F. Kerangka Pikir
Setiap sekolah reguler saaat ini harus menerima anak berkebutuhan
khusus dalam pembelajarannya. Pendidikan inklusi memberikan kesempatan
bagi anak berkebutuhan khusus untuk dapat memperoleh pendidikan dengan
baik. Pelaksanaan pendidikan inklusi sendiri memerlukan perubahan dalam
pembelajaranya yang disesuaikan dengan kebutuhan anak didiknya khususnya
anak berkebutuhan khusus.
Guru sebagai pelaku utama dalam menjadi tenaga pendidik pada suatu
sekolah yang mempunyai tugas membimbing, mengajar anak didik di sekolah.
Oleh karena itu dalam memberikan pembelajaran secara maksimal pada anak
didiknya, guru di sekolah inklusi harus mempunyai kemampuan khusus dalam
membimbing anak didiknya sesuai dengan kebutuhan anak.
Pada dasarnya tindakan asesmen merupakan tindak lanjut dari kegiatan
deteksi. Kegiatan ini berguna untuk menelusuri keadaan perkembangan anak,
potensi, kelemahan dan kebutuhannya sehingga dapat diduga anak tersebut
diklasifikasikan sebagai anak berkebutuhan khusus, serta cara penanganannya.
Informasi tersebut akan menjadi acuan dalam pembuatan rencana
pembelajaran. Banyak ditemui guru sulit mengelola asesmen didalam kelas
sesuai kebutuhan anak didiknya atau guru yang mengganggap anak
berkesulitan belajar sebagai anak berkebutuhan khusus atau sebaliknya. Selain
itu ada pengklasifikasian ABK dengan pengamatan panca indra saja, namun
ada yang membutuhkan alat dan strategi khusus, maupun pakar dibidangnya.
Sulitnya guru untuk mengklasifikasikan anak berkebutuhan khsusus
49
berdampak pada pemenuhan kebutuhan anak yang tidak tepat sasaran.
Sehingga anak justru sulit untuk mengembangkan bakat, minat serta
intelektualitasnya.
Berdasaarkan kajian teoritis diatas penulis dapat mengemukakan
anggapan dasar atau kerangka pikir bahwa dengan melakukan penelitian
tentang implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan
khusus sekolah inklusi, sehingga dapat mengetahui tahapan penerapan
kebijakan dan pelaksanaan asesmen tersebut.
Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009
Pergub. DIY No.21 Tahun 2013
- Pengelola Kebijakan
Asesmen ABK
- Kepala Sekolah, GPK,
Guru Kelas, Wali Siswa
Implementasi Kebijakan Pendidikan
Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan
Khusus
- Faktor Pendukung
- Faktor Penghambat
- Penyusunan Rencana
Belajar
- Pemberian Pelayanan
Pendidikan khusus
-
Bagan.3. Kerangka pikir
- Penerapan Pengelolaan
Asesmen di SD N
Brengosan I
- Hasil Asesmen
50
G. Pertanyaan Penelitian
Adapun pertanyaan penelitian dalam hal ini sebagai berikut:
1. Bagaimana langkah- langkah implementasi kebijakan pengelolaan
asesmen anak berkebutuhan khusus sekolah inklusi ?
2. Bagaimana hasil implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak
berkebutuhan khusus sekolah inklusi ?
3. Bagaimana langkah sekolah dalam melaksanakan pengelolaan
asesmen anak berkebutuhan khusus ini?
4. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran ABK di sekolah inklusi?
5. Bagaimana faktor pendukung dan faktor penghambat dalam
implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan
khusus sekolah inklusi ini?
51
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian menurut Arikunto (2006: 12) memiliki dua
jenis, yaitu pendekatan penelitian kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan
penelitian kualitatif adalah penelitian naturalistic (alami), peneliti tidak
menggunakan penafsiran terhadap hasil dan data angka, jika pun ada hanya
sebagai penunjang dalam mengumpulkan. Metode penelitian kuantitatif,
banyak menuntut penggunaan data angka, baik dari pengumpulan,
penafsiran data, hingga penampilan hasilnya.
Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif, dengan mengumpulkan data berdasarkan fakta di lapangan.
Peneliti bermaksud menggambarkan data yang diperoleh dari penelitian
baik berupa data tertulis atau lisan melalui wawancara, dan pengamatan
berdasarkan narasumber yang diteliti.
Jenis penelitian ini adalah deskripsif kualitatif. Deskriptif menurut
Moh Nazir (2005: 23) yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan berusaha menggambarkan suatu subjek/ objek penelitian (gejala,,
fakta,lembaga, masyarakat, atau peristiwa), apa adanya sesuai yang terjadi
di lapangan. Menjelaskan keterkaitan antara suatu kejadian dengan makna,
terlebih menurut pandangan partisipan. Data yang dikumpulkan berwujud
kata-kata, gambar bukan angka, jika terdapat data angka sifatnya hanya
sebatas data pendukung dalam penelitian.
52
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Seksi Pendidikan Luar Biasa Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga D.I Yogyakarta dan Bidang Kurikulum
dan Kesiswaan TK-SD Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, dilanjutkan
dengan memilih sekolah inklusi SD N Brengosan I. Alasan pemilihan
tempat penelitian tersebut adalah :
a. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY khususnya di bidang
PLB yang membawahi pelaksanaan pendidikan luar biasa
diseluruh wilayah Provinsi Yogyakarta. Dinas Pendidikan Kab.
Sleman yang mengelola sekolah inklusi di Kabupaten Sleman. Hal
tersebut untuk mendukung dan memperoleh informasi terkait
bentuk implementasi kebijakan pengelolaan asesmen ABK.
b. SD Negeri Brengosan I, dipilih oleh peneliti karena menjadi
sekolah inklusi dan menjadi anggota dari Seksi PLB dan Kursis
TK-SD, mempunyai jumlah murid ABK yang cukup banyak
sejumlah 20 siswa, Guru kelas di SD Brengosan I ini juga pernah
mengikuti program pelatihan pengelolaan asesmen guru sekolah
inklusi yang dilaksanakan oleh Seksi PLB DISDIKPORA DIY.
53
2. Waktu penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2016 – Maret 2017
Tabel 2. Realisasi Waktu Penelitian
No Kegiatan Waktu
1 Perencanaan Penelitian
a. Pra observasi penelitian April 2016
b. Penyusunan Proposal penelitian April - Agustus 2016
c. Mengurus pengajuan ijin penelitian Agustus 2016
2 Pelaksanaan Penelitian
a. Penelitian di Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY
September 2016
b. Penelitian di Dinas Pendidikan
Kabupaten Sleman
September 2016
c. Penelitian di SD Negeri 1 Brengosan September – November 2016
3 Analisis Data November 2016 – Januari 2017
4. Penulisan Laporan Penelitian Januari – Maret 2017
5 Penyusunan artikel jurnal Maret 2017
C. Subjek Penelitian
Didalam penelitian kualitatif, Arikunto (2006: 88) menjelaskan jika
subjek dalam penelitian kualitatif yaitu manusia sebagai hal, benda, maupun
individu yang menjadi salah satu sumber data sebagai fokus dalam variabel
penelitian yang dikaji. Penentuan subjek penelitian berdasarkan keterlibatan
narasumber terhadap masalah penelitian yang akan diteliti. Pemilihan subjek
penelitian menggunakan teknik purposive yakni teknik pengambilan sampel
sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2015: 52). Berikut
karakteristik narasumber dalam penelitian:
54
1. Kepala Seksi Pendidikan Luar Biasa (PLB) DISDIKPORA DIY selaku
kepala bidang pendidikan luar biasa yang mengetahui dan mengelola
kebijakan atau program yang berkaitan dengan ke-PLBan di lingkup
Provinsi DIY. Pihak pembina bagi setiap Dinas Kabupaten/ Kota di
Provinsi DIY.
2. Kepala Kurikulum dan Kesiwaan TK-SD DISDIK Kab. Sleman selaku
pimpinan bidang penyelenggara pendidikan tingkat TK- SD, sekaligus
pihak yang turut mengelola pelaksanaan pendidikan inklusi tingkat TK-
SD di Kabupaten Sleman. Pihak pelaksana dari kebijakan Dinas
Pendidikan Provinsi DIY.
3. Kepala SD N Brengosan I selaku pimpinan sekolah dan konsultan bagi
guru- guru dalam melakukan identifikasi dan asesmen. SD N Brengosan
I sebagai sasaran kebijakan dari Dinas Pendidikan terkait.
4. Guru kelas sebagai pihak yang berhubungan langsung terhadap anak –
anak saat proses pembelajaran dikelas, serta pihak yang mengelola proses
identifikasi dan asesmen pada anak disekolah.
5. Guru Pendamping Khusus (GPK) sebagai pihak pendamping bagi
sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi, mendampingi
ABK ( anak berkebutuhan khusus) serta pihak yang mengelola proses
identifikasi dan asesmen pada ABK di sekolah. SDM yang diperbantukan
Dinas Pendidikan Provinsi DIY.
6. Wali siswa ABK sebagai pihak yang mempunyai hubungan dengan siswa
ABK dalam keluarga, menjadi informan terkait perkembangan anak, dan
55
berpengaruh dalam pembelajaran anak dirumah. Elemen masyarakat
yang merasakan dampak pembelajaran disekolah.
D.Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan bentuk pendekatan kualitatif dan sumber data yang
digunakan, serta untuk memperoleh data yang objektif dan dapat
dipertanggungjawabkan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
teknik wawancara, observasi dan analisis dokumen.
1. Wawancara
Wawancara merupakan teknis dalam upaya menghimpun data yang
akurat berdasarkan permasalahan dalam penelitian tertentu. Wawancara
adalah proses peneliti yang akan mengetahui hal – hal mendalam tentang
partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi,
yang belum bisa ditemukan melalui teknik observasi (Stainback dalam
Sugiyono, 2015: 72).
Data yang diperoleh dari teknis ini adalah dengan tanya jawab secara
lisan dan bertatap muka langsung antara pewawancara dengan subjek
penelitian diantaranya Kepala Bidang sie. Pendidikan Luar Biasa, Kepala
Kursis TK-SD, Kepala Sekolah, Guru Pendamping Khusus, guru kelas
sekolah inklusi dan wali siswa. Agar wawancara dapat berjalan lancar dan
tidak keluar dari pokok permasalahan dan tujuan dari penelitian ini maka
diperlukan pedoman wawancara sebagai pedoman dan acuan dalam proses
wawancara.
56
Pedoman wawancara dibuat berdasarkan masalah penelitian.
Permasalahan akan dijabarkan dalam sub- masalah, yang berisikan butiran
pertanyaan terkait fokus penelitian yang dilakukan. Wawancara yang
digunakan untuk mendapat informasi dari subjek penelitian.
2. Observasi
Pengumpulan data dengan teknik observasi menuntut peneliti terjun
langsung dalam merasakan kegiatan sehari- hari yang diamati sebagai
sumber data penelitian (Sugiyono, 2015: 64). Peneliti dalam melakukan
penelitian akan mengamati secara langsung dan mencatat setiap aktivitas
kehidupan subjek yang diteliti sehingga data yang akan didapat lebih
lengkap dan valid dari setiap perilaku yang terjadi. Peneliti hanya akan
melihat keberlangsungan pelaksanaan pengelolaan kebijakan asesmen di SD
Brengosan I terkait situasi dan kondisi sekolah, sarana prasarana, keadaan
guru dan siswa, faktor pendukung dan penghambat.
3. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang telah dilakukan pada
masa lalu, yang dapat berwujud gambar, tulisan, atau karya dari seseorang
(Sugiyono, 2015: 82). Metode ini digunakan untuk memperoleh data dengan
menganalisa dokumen seperti sarana prasarana, sejarah lembaga pendidikan,
keadaan guru, siswa, karyawan, atau laporan pertanggunggjawaban.
Pada penelitian ini peneliti akan mengkaji dokumen dari sejarah
lembaga pendidikan, surat keputusaan, rekapitulasi SPPI dan laporan
pertanggunggjawaban program pada Sie. PLB. Sedangkan studi dokumen di
57
SD Brengosan I akan mencari data terkait rekap sarana prasarana, keadaan
guru dan siswa, visi misi, instrumen identifikasi/ assessmen, hasil asesmen,
RPP, dan sejarah sekolah.
E. Instrumen Penelitian
Suharsimi Arikunto (2006: 151) mengatakan instrumen penelitian
adalah alat pada waktu penelitian untuk mengumpulkan data. Berdasarkan
pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa instrumen penelitian adalah alat
yang dipergunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam
penelitian.
Didalam penelitian ini untuk memperoleh data yang dapat digunakan
untuk mengungkap permasalahan yang ada maka akan digunakan pedoman
wawancara dan pedoman observasi.
1. Pedoman Wawancara
Pada penelitian ini akan menggunakan pedoaman wawancara dengan
kisi – kisi sebagaimana berikut :
No Komponen Indikator Sumber data
1.
Implementasi Kebijakan
Pengelolaan Asesmen
ABK
a. Proses implementasi kebijakan
pengelolaan asesmen ABK
b. Bentuk implementasi kebijakan
pengelolaan asesmen ABK
yang dihasilkan
1. Kepala Seksi
Pendidikan Luar
Biasa
DISDIKPORA Prov.
DIY.
2. Kepala Kursis TK -
SD DISDIK Kab.
Sleman.
Tabel. 3 Kisi Pedoman Wawancara
58
No Komponen Indikator Sumber Data
2.
Pengelolaan Asesmen
ABK di sekolah inklusi
a. Kebijakan sekolah dalam
memberikan pengetahuan
terkait asesmen ABK
b. Kebijakan sekolah dalam
merencanakan pelaksanaan
asesmen, sarana dan prasarana
yang digunakan dalam
pelaksanaan asesmen
c. Metode dan strategi yang
digunakan dalam pelaksanaan
asesmen ABK di sekolah
d. Penyusunan pelayanan
pendidikan khusus dan
rencana pembelajaran bagi
ABK.
e. Pelaksanaan pembelajaran di
SD N Brengosan I
f. Peran sera orang tua dalam
pengelolaan asesmen dan anak
1. Kepala Sekolah
2. Guru kelas
3. Guru pendamping
khusus (GPK)
4. Wali siswa
3. Faktor pendukung dan
penghambat dalam
implementasi kebijakan
pengelolaan assessmen
ABK sekolah inklusi
a. Faktor Pendukung
b. Faktor Penghambat
1. Kepala Seksi PLB
DISDIKPORA Prov.
DIY.
2. Kepala Kursis TK-
SD DISDIK Kab.
Sleman .
3. Kepala Sekolah,
4. Guru kelas,
5. GPK
59
2. Pedoman Observasi
Observasi ini dilakukan di SD Brengosan I, dikarenakan untuk melihat
dampak kebijakan dari Sie. PLB DISDIKPORA DIY dan Kursis TK-SD
DISDIK Kab.Sleman terhadap pelaksanaan asesmen ABK khususnya di
sekolah.
No Komponen Indikator Sumber Data
1
Kondisi dan Lokasi
Sekolah
1. Lokasi sekolah dan
lingkungan sekitar
sekolah
2. Akses transportasi
sekolah
3. Melihat keadaan guru,
karyawan, dan siswa
1. Kepala Seksi PLB
DISDIKPORA
Prov. DIY.
2. Kepala Kursis TK-
SD DISDIK Kab.
Sleman .
3. Kepala Sekolah,
4. Guru kelas,
5. GPK
6. Wali siswa
2 Kegiatan
Pembelajaran dan
PPI (Program
Pembelajaran
Individual)
1. Persiapan dalam proses
pembelajaran
2. Pelaksanaan proses
pembelajaran, teknik
mengajar.
3. Pendampingan dan
bimbimbingan pada anak
berkebutuhan khusus
4. Pengelolaan kelas, bahan
ajar, siswa, waktu,
sumber belajar
3
Pelayanan Kebutuhan
Khusus 1. Persiapan
2. Penyampaian materi
3. Keaktifan ABK
4. Kesesuaian dengan
kebutuhan anak
Tabel. 4 Kisi Pedoman Observasi
60
3. Pedoman Dokumentasi
Dokumentasi ini dilakukan di SD Brengosan I dan lingkup Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga, data tersebut dapat berupa data tertulis,
catatan, laporan, arsip, rekap data, maupun foto untuk melengkapi kebutuhan
data yang berhubungan dengan implementasi kebijakan pengelolaan asesmen.
Adapun kisi pedoman dokumentasi tersebut adalah:
No Komponen Indikator Sumber data
1 Data
sekolah
Inklusi dan
Kebijakan
Asesmen
1. Rekapitulasi data sekolah Inklusi
2. Surat Keputusan Pembentukan
Lembaga Khusus
3. Kegiatan Pelatihan Asesmen
Guru Reguler
4. Surat Keputusan Sekolah Inklusi
1. DISDIKPORA
Provinsi DIY
2. DISDIK Kabupaten
Sleman
2 Profil
Sekolah
1. Data Siswa Berkebutuhan Khusus
2. Sejarah Sekolah
3. Visi dan Misi Sekolah
4. Sarana dan Prasarana
5. Data Guru dan Karyawan
1. SD Negeri Brengosan
I
3
Pengelolaan
Asesmen
ABK
1. Form Isntrumen Identifikasi/
Asesmen ABK
2. Hasil Asesmen ABK
3. Rencana Pembelajaran (RPP)
4. Standar Evaluasi Belajar
1. SD Negeri Brengosan
I
Tabel. 5 Kisi Dokumentasi
61
F. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari serta menyusun sistematis data yang
diperoleh setelah melakukan wawancara, dokumentasi, dan catatan lapangan.
Dilakukan dengan mengorganisasikan data dalam kategori, dijabarkan dalam
unit, melakukan sintesa, menyusun dalam pola, memilah data yang dianggap
penting, dan menarik kesimpulan (Sugiyono, 2015: 89). Upaya ini dilakukan
guna sebagai jalan bekerja dengan data, mengorganisasikannya, memilah data,
mensintesiskan, mencari dan menemukan data yang dianggap penting, serta
memutuskan hal yang perlu disampaikan pada orang lain (Bogdan dalam
Moelong, 2005: 248).
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini akan diolah dan
dikalsifikasikan guna menjawab pertanyaan permasalahan yang diteliti. Data
akan diolah menggunakan teknik deskriptif kualitatif. Analisis data kualitatif
untuk memberikan interpretasi terkait data hasil penelitian yang diperoleh,
untuk disampaikan dalam bentuk kalimat, kemudian ditarik kesimpulan yang
menggambarkan fakta di lapangan.
Kegiatan analisis data dilakukan dengan menggunakan interactive model,
berlangsung secara terus menerus hinggga data menjadi jenuh (Miles dan
Huberman dalam Sugiyono, 2015: 91-99). Proses analisis data dalam
penelitian kualitatif ialah sebagai berikut, antara lain:
1. Data Reduction (reduksi data), yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
merangkum. Memilah hal/ data yang pokok, memfokuskan pada yang
pokok atau dianggap penting, serta dicari tema dan polanya. Sehingga
62
data yang direduksi akan lebih jelas dalam memberikan gambaran.
Tujuan dari reduksi data ini untuk merangkum yang penting,
membuang yang tidak diperlukan, mengarahkan, menajamkan,
membuat kategorisasi, sehingga dapat diinterpretasikan. Peneliti akan
menyederhanakan data hasil wawancara agar lebih fokus.
2. Display data (penyajian data), penyajian dapat dilakukan dengan
dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori,
flowchart atau sejenisnya. Data yang diperoleh akan terorganisasikan
dan memudakan dalam memahami yang terjadi. Penelitian ini akan
menyajikan uraian mengenai implementasi kebijakan pengelolaan
asesmen anak berkebutuhan khusus sekolah inklusi yang dibuat Dinas
Pendidikan terkait dan penerapannya di sekolah.
3. Conclusion drawing (penarikan kesimpulan) yaitu berupa kesimpulan
dan verifikasi. Kesimpulan awal yang masih bersifat sementara, dan
dapat berubah jika bukti kuat yang mendukung tahap pengumpulan
data berikutnya tidak ditemukan. Jadi, kesimpulan dalam penelitian
kualitatif ini akan mengaitkan benang merah antara data temuan satu
dengan lainnya, sehingga memungkinkan muncul temuan baru yang
sebelumnya belum pernah ada. Temuan yang dapat berupa deskripsi
atau gambaran suatu objek yang remang – remang, dan nampak jelas
setelah diteliti.
63
G. Keabsahan Data
Pada penelitian kualitatif, data yang diperoleh dapat dinyatakan valid jika
tidak ada perbedaan antara yang disampaikan peneliti dengan fakta di
lapangan. Untuk menetapkan keabsahan data dapat dilakukan teknik
pemeriksaan. Menurut Lexy J. Moelong (2005: 324) terdapat empat kriteria
dalam teknik pemeriksaan data, yaitu: 1) derajat kepercayaan (credibility); 2)
keteralihan (transferability); 3) kebergantungan (dependability); dan 4)
kepastian (confirmability).
Peneliti dalam mengecek keabsahan data menggunakan credibility
(derajat kepercayaan) untuk mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil
penemuan dengan jalan pembuktian peneliti, sehingga data tersebut benar –
benar mengandung nilai kebenaran. Teknik yang akan dilakukan
menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain, diluar data itu untk
keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data tersebut (Lexy J.
Moelong, 2005: 330). Teknik yang digunakan adalah teknik triangulasi
sumber dan triangulasi metode.
Triangulasi sumber pada penelitian ini melibatkan subyek penelitian.
Subyek penelitian yang pertama adalah Kepala Sie. PLB DISDIKPORA
Provinsi DIY, dan Kepala Kursis TK – SD DISDIK Kab. Sleman sebagai
pengelola kebijakan asesmen. Subyek penelitian kedua yaitu kepala sekolah,
guru kelas, dan GPK sebagai pihak sekolah yang melaksanakan pengelolaan
asesmen. Subyek penelitian ketiga sebagai subyek pendukung yaitu wali
64
siswa ABK. Ketiga subyek di atas diharapkan dapat memberikan hasil yang
bersifat kredibel.
Triangulasi data dalam penelitian ini juga dilakukan pada teknik
pengumpulan data yaitu wawancara, observasi, dan studi dokumentasi.
Triangulasi pada teknik pengumpulan data diharapkan dapat meningkatkan
keabsahan data yang diperoleh dari penelitian, sehingga data yang diperoleh
berifat valid dan sesuai dengan keadaan di lapangan.
65
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Umum
1. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY
Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (DISDIKPORA) sebagai salah satu instansi pemerintah yang
memiliki wewenang dan bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pendidikan
pada lima kabupaten di provinsi DIY melalui hubungan dengan Dinas
Pendidikan disetiap Kabupaten/ Kota. DISDIKPORA DIY sendiri berada di
Jl.Cendana No.9 Yogyakarta berdekatan dengan Inspektorat Provinsi DIY
dan Universitas Ahmad Dahlan. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga
DIY dibentuk berdasar Peraturan Daerah Provinsi DIY Nomor 6 Tahun 2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi DIY.
Berdasarkan Peraturan Gubernur DIY Nomor 41 tahun 2008,
sebagaimana disebutkan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga DIY
mempunyai tanggung jawab dalam melakukan urusan atau kepentingan
Pemerintah Daerah di bidang pendidikan, pemuda, olahraga dan kewenangan
dekonsentrasi serta tugas pembantuan yang dilimpahkan pemerintah.
Berdasarkan Peraturan Gubernur DIY Nomor 41 Tahun 2008, Dinas
Pendidikan, Pemuda dan Olahraga DIY mempunyai tugas melaksanakan
urusan Pemerintah Daerah di bidang pendidikan, pemuda dan olahraga dan
kewenangan dekonsentrasi serta tugas pembantuan yang diberikan oleh
Pemerintah. Guna melaksanakan tugas tersebut, Dinas Pendidikan, Pemuda,
dan Olahraga DIY mempunyai fungsi :
66
a) Penyusunan program dan pengendalian pendidikan, pemuda, dan
olahraga.
b) Perumusan kebijakan teknis di bidang pendidikan, pemuda dan
olahraga.
c) Pelaksanaan koordinasi perijinan di bidang pendidikan.
d) Pemberdayaan mitra kerja dan sumber daya yang ada di bidang
pendidikan, pemuda dan olahraga.
e) Pelaksanaan kewenangan daerah yang berkaitan dengan pembiayaan,
kurikulum, sarana prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan,
pengendalian mutu pendidikan, pemuda, dan olahraga.
f) Pelaksanaan pelayanan umum sesuai dengan kewenangannya.
g) Pemberian fasilitasi penyelenggaraan bidang pendidikan, pemuda, dan
olahraga Kabupaten/Kota.
h) Pelaksanaan evaluasi pendidikan.
i) Pelaksanaan kegiatan ketatausahaan.
j) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur atu pemerintah
daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Didalam pelaksanaannya sendiri DISDIKPORA terbagi dalam beberapa
bidang seperti Bidang Pendidikan Luar Biasa dan Dasar (Bid. PLB- DIKDAS),
Bidang Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti), Bidang Pendidikan Non
Formal dan Informal (PNFI), Bidang Standarisasi dan Perencanaan, serta
UPTD.Dimana setiap bidang tersebut di kepalai oleh Kepala Bidang atau
Kepalas Seksi beserta staff dan jajarannya yang bertanggung jawab terhadap
67
pelaksanaan pendidikan sesuai dengan kebijakan dan kebutuhan yang
dibutuhkan untuk mewujudkan pendidikan yang optimal di provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Adapun susunan struktur organisasi Dinas Pendidikan,
Pemuda, dan Olahraga DIY yaitu sebagai berikut:
1. Kepala Dinas
2. Sekretariat
3. Bidang Perencanaan dan Standarisasi
4. Bidang Pendidikan Luar Biasa dan Pendidikan Dasar
5. Bidang Pendidikan Menengah dan Tinggi
6. Bidang Non Formal dan Informal
7. Kelompok Jabatan Fungsional
8. UPTD yang terdiri dari:
a. Balai Pelatihan Pendidikan Teknik
b. Balai Pengembangan Kegiatan Belajar
c. Balai Teknologi Komunikasi Pendidikan
d. Balai Pemuda dan Olahraga.
68
Bagan 4. Struktur Organisasi
Sumber:http://pendidikan-iy.go.id/dinas_v4/index.php?view=baca_isi_lengkap&id_p=3
a. Visi dan Misi
Berdasarkan pada kondisi provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang
kaya akan keunggulan komparatif, budaya, serta julukan kota pendidikan yang
melekat, ditandai dengan bermacam pilihan pendidikan di semua jenjang, jenis
dan jalur pendidikan yang berkualitas. Hal tersebut tidak lepas dari adanya
modal budaya dan modal sosial serta komitmen dari berbagai daerah untuk
memajukan dan mengunggulkan pendidikan. Bertolak dari pandangan tersebut,
serta berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJPM) DIY dan perkembangan lingkungan strategis, harapan ini dituangkan
dalam Visi Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY tahun 2012/2017
69
yaitu mewujudkan kualitas pendidikan, pemuda, dan olahraga yang
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya.
Nilai-nilai luhur budaya yang dimaksud adalah nilai luhur budaya DIY
yang beragam dan diperkaya dengan nilai luhur budaya nasional dalam
perkembangan budaya global. Visi diatas sebagai upaya dalam mewujudkan
visi pembangunan jangka panjang tahun 2005/ 2025 dan jangka menengah
2012/2017 Provinsi DIY. Penempatan nilai luhur budaya dalam pendidikan
diletakkan pada tiga hal yaitu, pertama: nilai luhur budaya sebagai aspek
penguat tujuan pendidikan, kedua: nilai luhur budaya sebagai pendekatan baik
dalam pembelajaran maupun pengelolaan pendidikan, ketiga: nilai luhur
budaya sebagai isi atau muatan pendidikan.
Upaya untuk mewujudkan Visi Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga
DIY tersebut dilakukan dengan merumuskan suatu misi yaitu:
1) Menyediakan pendidikan berkualitas untuk semua dan nondiskriminatif
2) Mengembangkan pendidikan karakter berbasis budaya
3) Mengembangkan pusat-pusat unggulan mutu pendidikan
4) Mengembangkan peran sinergis pendidikan terhadappembangunan
5) Mengembangkan pembinaan pemuda dan olahraga yang berkualitas dan
berkarakter
6) Mengembangkan tatakelola pendidikan, pemuda, dan olahraga berbasis
budaya
70
Dengan demikian tingkat ketercapaian misi pendidikan di DIY tetap
bersumber dari kondisi daerah masing- masing, yang mempunyai peran
besar dalam pembangunan pendidikan nasional.
b. Tujuan dan Sasaran
1) Tujuan Jangka Menengah
Tujuan Jangka Menengah Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga
DIY Untuk mewujudkan visi dan misi pembangunan pendidikan DIY
dirumuskan tujuan strategis pembangunan pendidikan DIY sebagai
berikut:
a) Mengembangkan pendidikan berkualitas yang merata untuk semua,
berdaya saing, dan nondiskriminatif;
b) Menghasilkan generasi muda berkarakter yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan YME, cinta tanah air dan bangsa, berjiwa
luhur, berbudaya, menjadi teladan, rela berkorban, kreatif, inovatif,
serta profesional;
c) Mewujudkan peran DIY dalam menciptakan inovasi pendidikan;
d) Mewujudkan pendidikan yang responsif terhadap kebutuhan
pembangunan;
e) Mewujudkan pemuda dan olahraga yang berkualitas, berdaya saing,
dan berbudaya;
f) Meningkatkan layanan pendidikan, pemuda, dan olahraga yang
akuntabel dan berbudaya.
71
2) Sasaran Jangka Menengah
Sasaran Jangka Menengah Dinas Pendidikan, Pemuda, dan
Olahraga DIY untuk mewujudkan tujuan strategis pembangunan
pendidikan DIY dirumuskan sasaran strategis sebagai berikut:
a) Terwujudnya pendidikan berkualitas untuk semua, berdaya saing dan
nondiskrimatif
b) Terwujudnya pendidikan karakter yang mengedepankan kemajuan
dan kedamaian dalam kemajemukan;
c) Terwujudnya inovasi pendidikan yang handal;
d) Terwujudnya pendidikan yang sinergis dengan kebutuhan
pembangunan;
e) Terwujudnya kapasitas pemuda dan olahraga yang berkualitas,
berdaya saing dan berbudaya;
f) Terwujudnya layanan pendidikan, pemuda, dan olahraga yang
akuntabel dan berbudaya.
Salah satu bidang yang mejadi setting pada penelitian ini adalah
Bidang PLB dan Dikdas, khususnya pada Seksi Pendidikan Luar Biasa
(PLB). Seksi PLB bertanggung jawab dalam usaha peningkatan mutu
pendidikan luar biasa bagi anak berkebutuhan khusus. Seksi Pendidikan
Luar Biasa Dinas Pendidikan Provinsi Yogyakarta merupakan sebuah
lembaga pendidikan yang bertugas melaksanakan perencanaan,
pengelolaan, monitoring, serta pengawasan seluruh kegiatan pembelajaran
pendidikan luar biasa di Provinsi Yogyakarta. Dimana Seksi PLB ini
72
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan SLB (Sekolah Luar
Biasa) yang ada di 5 (lima) kabupaten di Provinsi Yogyakarta yang
berjumlah 76 SLB baik itu SLB Negeri dan Swasta. Sekolah Luar Biasa
(SLB) merupakan lembaga pendidikan formal yang yang melayani
pendidikan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus, baik secara fisik,
mental maupun kemampuan sosialnya. Adapun rincian SLB di Kota
Yogyakarta berjumlah 9 SLB, Kabupaten Bantul berjumlah 18 SLB,
Kabupaten Kulonprogo berjumlah 8 SLB, Kabupaten Gunung Kidul
berjumlah 11 SLB, dan, dan Kota Sleman dengan 18 sekolah.
Disamping SLB, Seksi PLB juga berwewenang sebagai pembina
untuk membantu Dinas Kabupaten/ Kota dalam mengelola sekolah inklusi
yang ada di lima kabupaten Provinsi Yogyakarta. Hal tersebut dikarenakan
Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota sebagai pelaksana yang bertanggung
jawab penuh terhadap pengelolaan sekolah inklusi. Sekolah inklusi sendiri
adalah pendidikan yang menempatkan anak berkebutuhan khusus dan anak
normal dalam satu kelas reguler baik itu Taman Kanak- Kanak, Sekolah
Dasar, Menengah dan sebagainya. Pembelajaran yang diberikan terhadap
anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, seluruh kebutuhan yang
dibutuhkan anak diupayakan agar dapat terpenuhi dengan baik melalui
penyesuaian. Adapun beberapa sekolah inklusi tersebut sebanyak 156
sekolah yang ada di Provinsi DIY pada tahun ajaran 2015/2016, dengan
rincian sebagai berikut:
73
Tabel. 6 Rekapitulasi data individu sekolah inklusi dan ABK
No Kabupaten/Kota Jumlah
Sekolah SD/MI SMP/Mts
Jumlah Siswa ABK
SD/MI SMP/ Mts
1 Yogyakarta 11 7 4 200 50
2 Bantul 39 36 3 580 50
3 Gunungkidul 47 41 6 689 120
4 Kulonprogo 26 22 4 236 16
5 Sleman 33 28 5 426 81
Total 156 134 22 2131 317
Sumber : Sie. PLB data per Februari 2015
Program Sie PLB yang dijadwalkan pada tahun pelajaran 2016 yaitu
program pembinaan forum masyarakat peduli pendidikan, pengembangan
kurikulum, pemberian layanan kesehatan siswa, pelatihan pendidikan
kesehatan reproduksi, penyununan dan penulisan soal ujian SLB, koordinasi
dan pembinaan guru SLB/ SPPI, koordinasi dan pembinaan kepala SLB,
Pengembangan dan pembinaan forum penyelenggaraan pendidikan SLB,
supervisi pengawas SLB, pembinaan minat bakat dan kreatifitas siswa,
seleksi, pembinaan, dan pengiriman SOINA, jambora PK-PLK, dan pelatihan
pengelolaan assessmen guru SPPI. Program tersebut ditujukan untuk
mendukung terlaksananya pendidikan khusus dan pelayanan pendidikan
khusus di provinsi DIY. Salah satu bentuk implementasi kebijakan terkait
pengelolaan assessmen anak berkebutuhan khusus yang dilakukan oleh
DISDIKPORA Provinsi DIY adalah dengan mengadakan suatu pelatihan
pengelolaan assessmen anak berkebutuhan khusus kepada guru – guru SPPI di
74
DIY. Pada tahun ini dilakukan pada tanggal 5-9 September 2016 di
University Hotel, dengan mengundang berbagai narasumber.
2. Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman
Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman merupakan Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (SKPD) yang yang melaksanakan urusan pemerintahan
dengan memperhatikan kebutuhan, potensi, cakupan tugas, jumlah dan
kepadatan penduduk, kemampuan keuangan, serta sarana dan prasarana
daerah. Hal itu berdasarkan Peraturan Bupati Sleman No.9 Tahun 2009
terkait Organisasi Pemerintah Daerah di Kabupaten Sleman. Berdasarkan
uraian tersebut Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman mempunyai tugas untuk
menjalankan pemerintahan daerah khususnya di bidang pendidikan,
kepemudaan dan olahraga. Dinas Pendidikan (DISDIK) Sleman berada di Jl.
Parasamya, Beran, Tridadi, Kecamatan Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Lokasi ini berada di satu kompleks pemerintahan daerah Sleman
berjajar dengan BKD (badan Kepegawaian Daerah), DPKAD (Dewan
Pengelola Keuangan Anggaran Daerah) dan DPRD (Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah) Sleman. Berhadapan dengan Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi serta Bapedda Sleman.
Visi dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman adalah: “Terwujudnya
Pendidikan yang Berkualitas Berlandaskan Budaya Bangsa” Makna dari Visi
Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman adalah adanya harapan agar pendidikan
yang berkualitas itu dapat terwujud secara nyata yang berdasar pada budaya
bangsa. Budaya bangsa dijadikan dasar dalam upaya menciptakan pendidikan
75
yang berkualitas dalam rangka menciptakan insan pendidikan berkualitas
yang tidak meninggalkan budaya bangsa. Untuk mencapai visi tersebut,
Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman menetapkan misi sebagai berikut:
a) Meningkatkan pemerataan dan kualitas pendidikan.
b) Menciptakan iklim pendidikan yang kompetitif berdasarkan potensi
dan budaya bangsa.
c) Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan, organisasi pemuda dan
olahraga serta peran serta masyarakat dalam pembangunan bidang
pendidikan.
Didalam penyusunan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat
Daerah (Renstra SKPD) Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, memiliki
kebijakan–kebijakan sebagai berikut :
a) Mempertahankan Wajar 9 tahun dan merintis Wajar 12 tahun.
b) Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kependidikan.
c) Melaksanakan dan mengembangkan kurikulum nasional maupun
lokal dalam proses pembelajaran di sekolah.
d) Rehabilitasi, pemeliharaan, dan pengadaan sarana prasarana
pendidikan.
e) Meningkatkan prestasi siswa, pemuda, dan olahraga.
3. SD Negeri Brengosan 1
a) Profil Sekolah
Nama Sekolah : SD Negeri Brengosan 1
Kabupaten : Sleman
76
Propinsi : D I Y
Alamat Sekolah : Kayunan, Donoharjo, Ngaglik, Sleman,
Status Sekolah : Negeri
NSS : 101040213003
NPSN : 20401387
Tahun didirikan : 1951
Nama Lengkap Kep Sek : A.Sarjiyo, S.Pd
Pendidikan Terakhir : S1
Jurusan : PGSD
TMT Menjabat : 05 Agustus 2011
b) Tinjauan Sekolah
SD Negeri Brengosan 1 berada di Dusun Kayunan, Desa
Donoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Walaupun berada di
Dusun Kayunan tetapi namanya SD Negeri Brengosan 1 bukan SD Negeri
Kayunan, hal itu terjadi karena pada awalnya sekolah berada di Dusun
Brengosan tetapi tidak mempunyai gedung permanen sehingga
menumpang di salah satu rumah milik warga dusun Brengosan.
Selanjutnya kedudukan sekolah pernah pindah dari rumah ke rumah dan
ahirnya oleh pemerintah Desa Donoharjo, diberi tempat tanah kas desa
yang berada di Dusun Kayunan dengan hak pakai. Nama sekolah tetap
menggunakan nama SD Brengosan1. Sedangkan angka 1 dibelakang nama
sekolah karena di Dusun Brengosan ada dua Sekolah Dasar, yaitu SD
Negeri Brengosan 1 dan SD Negeri Brengosan 2.
77
Sekolah berdiri pada tahun 1951, dan sampai saat ini mengalami
berbagai perubahan, mulai dari kondisi sarana prasarana yang sangat
sederhana dan sampai saat ini telah memiliki gedung permanen walaupun
belum memenuhi standar. Sekolah Dasar Negeri Brengosan 1 ditetapkan
sebagai SD inti Gugus 1 Kecamatan Ngaglik. Mulai tahun pelajaran
2006/2007 menjadi sekolah inklusi.Tahun pelajaran 2011/2012 ini ada 14
anak berkebutuhan khusus yang menuntut ilmu bersama –sama dengan
teman sebaya yang normal.
Sekolah Dasar Negeri Brengosan 1 saat ini memiliki 6 rombongan
belajar, dengan jumlah siswa 169 siswa, pembimbingnya ada 15 orang
dengan rincian satu orang kepala sekolah, enam orang guru kelas, satu
orang guru olahraga, satu orang guru agama Islam, satu orang guru mapel
Bahasa Inggris, satu orang guru karawitan, satu orang guru inklusi, satu
orang petugas tata usaha, satu orang pustakawan, dan satu orang penjaga
sekolah. Walaupun kondisi pendidik dan tenaga kependidikan baru
sebagian yang memenuhi standar pendidik dan tenaga kependidikan
namun diharapkan dapat mengikuti perkembangan jaman, karena sebagian
besar masih muda dan bersemangat. Dukungan masyarakat terhadap
perkembangan sekolah cukup baik, dan masih memungkinkan untuk
ditingkatkan. Letak geografis SD N Brengosan 1 tepatnya berada :
Sebelah timur : SMP N 1 Ngaglik, Kantor Desa Sardonoharjo
Sebelah Utara : Sawah
78
Sebelah Barat : Sawah
Sebelah Selatan: Makam, Dusun Kayunan
Lokasi tersebut dirasa cukup strategis karena berdekatan dengan
instansi- instansi terkait seperti Kantor Desa, SMP, SMA, pemukiman
penduduk, serta Puskesmas. Akses jalan juga dekat dengan jalan utama
yaitu jalan Palagan Tentara Pelajar yang hanya berjarak kurang lebih 100
meter. Sedangkan untuk area lalu lintas sendiri tidak terlalu ramai
sehingga memberikan suasana yang nyaman.
Prestasi sekolah juga cukup membanggakan, rata-rata Ujian
Nasional tahun 2010/2011 mencapai 7,28 prestasi non akademik juara III
karawitan tingkat Kecamatan Ngaglik. Prestasi ini tentunya masih perlu
mendapat perhatian untuk ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang.
c) Visi dan Misi Sekolah
Sekolah mempunyai visi yaitu unggul dalam prestasi dan
berbudaya. Hal tersebut menunjukkan dalam mencapai sebuah prestasi
yang diinginkan, tetap harus berpegang pada budaya sendiri, supaya nilai
luhur budaya tidak akan hilang justru semakin berkembang. Dengan
demikian upaya sekolah dalam mewujudkan misi itu adalah dengan
menetapkan beberapa misi diantaranya:
a) Mengembangkan kurikulum yang adaptif dan proaktif
b) Mengintensifkan proses pembelajaran.
c) Melengkapi sarana dan prasarana pembelajaran.
d) Meningkatkan Profesionalitas Guru dan Tenaga Kependidikan
79
e) Meningkatkan prestasi akademik dan non akademik
f) Melestarikan budaya bangsa
g) Meningkatkan kerja sama inter dan antar sekolah
h) Meningkatkan Peran serta masyarakat pada kegiatan sekolah.
i) Melaksanakan dan mengembangkan Pendidikan berkarakter dan
berbudaya
Upaya yang dilakukan sekolah untuk mewujudkan visi dan misi SD
N Brengosan 1 tersebut dengan menetapkan tujuan dalam kurun waktu 4
tahun ke depan 2012 – 2017 sebagai berikut :
1) Mengembangkan KTSP yang sudah ada
2) Melaksanakan tambahan pelajaran
3) Melaksanakan ekstra kurikuler karawitan dan seni tari
4) Melengkapi sarana dan prasarana pembelajaran
5) Mendorong peningkatan kualifikasi guru dan Tenaga Kependidikan
6) Meningkatkan Nilai rata-rata UN/US dan TKM
7) Meningkatkan prestasi dalam kegiatan lomba MTQ dan Olahraga
8) Menjalin kerja sama yang erat dengan masyarakat
9) Memberikan layanan pada anak berkebutuhan khusus
Hal tersebut mnunjukkan jika SD N Brengosan I tidak hanya
menjunjung atau mengedapankan keakademikan saja namun juga non
akademik. selain itu sekolah tetap berkeinginan memberikan pelayanan
pendidikan yang tidak diskrimansi anak, serta memberikan pelayanan
pendidikan yang sesuai.
80
d) Kondisi Ketenagaan
Berikut data keadaan tenaga kepegawaian yang ada di SD Negeri
Brengosan I tahun ajaran 2016/2017.
Tabel.7 Data Kepegawaian
No Status Guru Tingkat Pendidikan
SLTA D1 D2 D3 S1 S2 S3
1 Guru Tetap - - 4 - 4 - -
2 Guru Tidak
Tetap
- - 1 - 3 - -
3 Peg. Tidak
Tetap
1 - - - 1 - -
Berdasarkan data diatas dapat diketahui jika data di SD Negeri
Brengosan I , mayoritas guru tetap yang berjumlah 8 (delapan) guru, guru
tidaktetap sebanyak 4 (empat guru), dan pegawai tidak tetap sebanyak 2
(dua) orang. Ditinjau dari status pendidikan terakhir guru yang lulusan
S-1 sebanyak 7 (tujuh) guru dan lulusan D-2 sebanyak 5 (lima) guru,
sehingga guru lulusan S-1 lebih banyak. Sedangan untuk data pegawai
administrasi yang lulusan S-1 ada 1 (satu) orang, dan lulusan
SMA/SLTA ada 1 (satu) orang. Dengan demikian total pegawai dan guru
yang ada di SD Negeri Brengosan tersebut ada 14 (empat belas) tenaga.
e) Kondisi Sarana dan Prasarana
Berikut ini data terkait ruangan dan alat peraga atau penunjang
yang ada di SD Negeri Brengosan I
Sumber: Data Pegawai SD Negeri Brengosan I Tahun 2016
81
Tabel. 8 Data Ruangan
Jenis Ruang Jumlah Ruang Luas
Ruang Kelas 6 7X8m
Ruang UKS 1 4X2M
Ruang Kepala Sekolah 1 4X5M
Ruang Guru 1 7X8m
Ruang Komputer 1 4X7m
Mushola 1 7X7m
Tempat Parkir Guru 1 6X5m
Sumber: Data kelengkapan sarana di SD N Brengosan I
Berdasarkan data diatas dapat diketahui jika ruangan yang ada di
SD N Brengosan I sebanyak 11 (sebelas) ruangan. Ruang kelas dari
jenjang kelas 1 (satu) hingga kelas 6 (enam) sebanyak 6 (enam) ruangan.
Sedangkan ruang guru, komputer, kepala sekolah,tempat parkir dan
mushola masing- masing satu ruangan.
Tabel. 9 Alat Peraga / Praktek penunjang.
No Jenis Alat Jumlah/Unit Kebutuhan Kekurangan
1 Alat Komputer KBM 1 10 9
2 Alat Olah Raga 25 50 25
3 Alat Kesenian 29 50 21
4 Alat Peraga IPA 8 25 17
5 Alat Peraga IPS 6 15 9
6 Alat Peraga Matematika 6 15 9
7 Mesin Ketik 1 1 -
8 Komputer Kantor 1 5 4
82
Lanjutan Tabel 9 Alat peraga
No Jenis/ Alat Jumlah/Unit Kebutuhan Kekurangan
9 Televisi 1 3 2
10 Tape Recorder 1 2 1
Sumber: Data kelengkapan sarana di SD N Brengosan I
Berdasarkan data diatas dapat diketahui jika alat peraga kesenian
paling dominan sebanyak 29 (dua puluh sembilan) buah, dan alat olah
raga sebanyak 25 (dua puluh lima) buah. Selian itu masih didukung
dengan beberapa alat peraga/ penunjang lainnya seperti komputer KBM
sebanyak satu buah, alat peraga IPA sebanyak 8 (delapan) buah, alat
peraga IPS dan Matematika sebanyak 6 (enam), mesin ketik, komputer
kantor, televisi, dan tape recorder masing- masing sebanyak satu buah.
Kondisi lainnya adalah sarana penunjang tersebut masih membutuhkan
beberapa tambahan alat, agar proses pembelajaran dan administrasi dapat
berjalan optimal.
f) Kondisi Kesiswaan
Secara keseluruhan siswa yang ada di SD Negeri Brengosan I ini
ada 169 siswa di tahun ajaran 2016/2017. Hal tersebut bisa dikatakan
fluktuaktif jika dilihat selama 3 tahun terakhir ini, dengan rincian
sebagai berikut:
83
Tabel 10. Daftar Siswa tahun selama 3 tahun
No Tahun Pelajaran Jumlah Siswa per Kelas Jumlah total
I II III IV V VI
1 2014/2015 29 29 32 25 29 23 167
2 2015/2016 28 28 29 32 25 28 170
3 2016/2017 19 27 32 32 27 32 169
Sumber: Data kelengkapan sarana di SD N Brengosan I
SD negeri Brengosan I merupakan salah satu sekolah inklusi yang
ada di kecamatan Pakem, jika melihat data siswa yang dikategorikan ABK
(anak berkebutuhan khusus) jumlah siswanya cukup banyak pada tahun ajaran
2016/2017. Rata – rata siswa tersebut memiliki jenis ketunaan lambat belajar
(slow learner), beberapa siswa ada yang berketunaan tunagrahita. Berikut
rincian data siswa ABK tahun ajaran 2016/2017:
Tabel 11. Data Siswa Berkebutuhan Khusus SD N Brengosan I Tahun Ajaran
2016/2017
No. Rombongan
Belajar
Ketunaan
H (slow learner)
Ketunaan
C (Tunagrahita) Jumlah
L P L P
1 Kelas I 1 - - - 1
2 Kelas II 2 - - - 2
3 Kelas III 2 1 2 - 5
4 Kelas IV 3 2 1 - 6
5 Kelas V 3 - - - 3
6 Kelas VI 3 - - - 3
Jumlah 14 3 3 - 20
Sumber: Data siswa SD N Brengosan 1 Tahun 2016 dengan pengolahan
84
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui jika keadaan siswa
berkebutuhan khusus yang ada di SD Negeri Brengosan I mayoritas
mengalami gangguan atau hambatan pada aspek intelektual dan kecerdasan.
Anak yang mengalami lambat belajar (slow learner) sebanyak 17 siswa dan
anak tunagrahita terdapat 3 siswa. Siswa berkebutuhan khusus lebih banyak di
kelas tiga dan empat berbeda dengan empat kelas lainnya.
B. Hasil Penelitian
1. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen Anak berkebutuhan
Khusus di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi
yang terdiri dari lima kabupaten/ kota. Daerah yang kaya akan potensi
budaya, sosial, wisata dan pendidikan yang bernilai tinggi. Pendidikan
merupakan hal yang penting bagi perkembangan moral, kemampuan dan
karakter guna menciptakan masyarakat yang berkualitas. Didalam upaya
memenuhi kebutuhan pendidikan tersebut dibentuklah Satuan Kerja
Pemerintahan Daerah (SKPD) yang bergerak dibidang pendidikan yang
bertanggung jawab terhadap pengelolaan pendidikian di setiap Kabupaten/
Kota. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga baik di Provinsi DIY dan
kabupaten Sleman merupakan salah satu bagian Satuan Kerja Pemerintahan
Daerah yang bersama – sama bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
pendidikan, kepemudaan dan keolahragaan. Jikalau DISDIKPORA Provinsi
bertanggung jawab pada pengelolaan pendidikan di lima Dinas Pendidikan
setiap kabupaten yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. DISDIK
85
Sleman lebih khusus pada pengelolaan pendidikan di Kabupaten Sleman itu
sendiri.
Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak merupakan suatu
kewajiban yang harus diperjuangkan, dipenuhi dan dirasakan oleh setiap
masyarakat tanpa kecuali. Hal tersebut telah diatur dalam UUD 1945 pasal 31
ayat 1 dan UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab IV
pasal 5 yang mengatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang layak. Pernyataan tersebut
menunjukkan jika negara juga berkewajiban untuk memberikan akses
pendidikan yang mencakup semua, serta pelayanan pendidikan yang bermutu
bagi masyarakat tanpa kecuali mereka yang berkebutuhan khusus.
Implementasi kebijakan adalah suatu tindakan yang dilakukan
pemerintah atau pihak yang berwenang untuk mencapai tujuan dari suatu
kebijakan. Implementasi kebijakan mempunyai beberapa tahapan yang dapat
dilakukan agar tujuan kebijakan tercapai. Lineberry menjelaskan terdapat
empat pilar tahapan dalam pelaksanaan kebijakan yaitu membuat dan
menyusun staf atau agen, mengembangkan kerangka kerja, melakukan
koordinasi sumberdaya dan pembiayaan, serta pengalokasian sumber daya.
Berikut hasil penelitian mengenai tahapan yang dilalui Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga di Provinsi DIY dalam implementasi kebijakan
tersebut:
86
a. Membuat dan Menyusun Staf atau Agen
Tahap ini mempunyai tujuan untuk menyusun agen guna
melaksanakan kebijakan yang akan dilaksanakan. Pemenuhan pelayanan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus merupakan kewajiban dari
pemerintah untuk dapat terpenuhi. Kebijakan terhadap pemenuhan
pendidikan bagi penyandang kebutuhan khusus telah diatur dalam
Peraturan Daerah Provinsi DIY No 4 tahun 2012 tentang perlindungan
penyandang disabilitas. Bahwasanya pendidikan anak berkebutuhan
khusus dilakukan dalam dua pelayanan yaitu pendidikan luar biasa dan
pendidikan inklusif. Berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah maka pengelolaan pendidikan khusus menjadi
kewenangan Daerah Provinsi yang bertugas dalam bidang pendidikan.
Oleh karena itu Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman berupaya
memenuhi pendidikan anak berkebutuhan khusus tersebut melalui
pendidikan inklusi yang mengacu pada Permendiknas No. 70 tahun 2009
dan Peraturan Gubernur DIY No.21 tahun 2013 tentang
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Seperti halnya yang dikemukaan
bapak S selaku Kepala Seksi Kurikulum TK-SD Dinas Pendidikan
Kabupaten Sleman pada wawancara tanggal 30 September 2016:
“Peran dikpora sleman adalah sebagai pelaksana dari pemerintah
daerah sleman khususnya di bidang pendidikan, pelayanan kepada
masyarakat dalam dunia pendidikan tanpa terkecuali for all, baik
anak sempurna atau anak yang dilahirkan dalam tanda petik
berkebutuhan khusus. Sehingga anak berkebutuhan khusus jika
secara akademik dia mampu di bina, dilatih, dikembangkan
disekolah umum tetep dapat mengakses di sekolah umum atau
87
sekolah inklusi. Juga mendasar pada Permendikud No. 70 tahun
2009 kaitannya dengan pendidikan inklusi.”
Pendidikan inklusif merupakan penempatan anak berkebtuhan
khusus pada lingkungan pembelajaran yang sama dengan anak normal,
yang dilakukan di sekolah reguler atau umum. Sekolah inklusi berupaya
mengatasi permasalahan pemerataan pendidikan anak berkebutuhan
khusus untuk dapat bersekolah di sekolah umum. Oleh karena itu
penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Sleman
dilakukan melalui pendidikan inklusi. Dinas Pendidikan Kabupaten
Sleman tidak berwenang menyelenggarakan pendidikan khusus atau
pendidikan luar biasa dikarenakan SLB berada di bawah naungan dan
tanggung jawab Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY.
Seperti halnya yang disampaikan Bapak P selaku Kepala Seksi
Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi
DIY pada wawancara tanggal 6 September 2016 :
“Jadi sekolah inklusi merupakan sekolah reguler seperti SD,SMP,
SMA, yang menerima anak berkebutuhan khusus, sekolah reguler
tersebut berada di kabupaten/kota masing- masing, akan tetapi
memang untuk koordinasinya ada koordinasi dengan kami jika
ada permasalahan. Namun bukan sepenuhnya menjadi tanggungan
kami. Jadi sekolah inklusi tidak berada DISDIKPORA Provinsi,
sedangkan SLB langsung berada dibawah binaan kami. Untuk saat
ini ada sekitar 76 sekolah luar biasa di Jogja. Kalau sekolah
inklusinya ada 150 an sekolah di lima kabupaten, jadi kami juga
mengakomodasi pelaksanaan inklusi di 5 Kabupaten”
Dengan demikian penyusunan agen yang dilakukan di Provinsi
DIY dibagi dalam dua peran. Pengelolaan sekolah inklusi yang berada di
Dinas Pendidikan Kabupaten, dan pengelolaan SLB yang dilakukan oleh
88
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY. Agen kebijakan
tersebut akan tetap terikat dalam mengatasi permasalahan yang terjadi.
Pada dasarnya Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY tetap
berperan dalam mengawasi pendidikan di lima kabupaten. Dengan kata
lain Dinas pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY berperan sebagai
pembina di sekolah inklusi, sedangkan Dinas Pendidikan Kabupaten
sebagai pelaksana. Sehingga antara dua lembaga pendidikan tersebut
mempunyai hubungan dalam melaksanakan, mengelola pendidikan yang
ada dari provinsi ke daerah lainnya. Namun tetap yang mengelola secara
penuh pendidikan inklusi adalah Kabupaten/ Kota itu sendiri.
b. Mengembangkan Kerangka Kerja
Tahap ini bermaksud untuk menerjemahkan tujuan legislatif dan
secara sungguh – sungguh memasukkannya dalam aturan pelaksanaan,
mengembangkan panduan atau kerangka kerja bagi pelaksana kebijakan.
Didalam praktek pendidikan inklusi penetapannya dilakukan melalui
penunjukkan yang dikeluarkan olah Kepala Bupati atau Dinas
Pendidikan untuk menjalankan pendidikan inklusi. Keputusan
Penunjukkan Inklusi di Kabupaten Sleman sendiri tertuang dalam Surat
Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten
Sleman No. 245 tahun 2012 menetapkan bahwa dalam rangka
peningkatan kualitas dan akses pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus perlu adanya sekolah pendidikan inklusi. Hal itu menunjukkan
89
jika penetapan keputusan tersebut menjadi panduan atau petunjuk bagi
sekolah yang melaksanakan pendidikan inklusi.
Berbeda dengan saat ini dimana sudah tidak menggunakan aturan
tentang surat penunjukkan inklusi disekolah- sekolah. Dikarenakan
pemerintahan DIY sudah berkomitmen bahwa setiap sekolah umum di
DIY wajib menerima ABK, sebagai bentuk mewujudkan pendidikan bagi
semua masyarakat khususnya anak yang mengalami kebutuhan khusus
tanpa diskrimanasi. Seperti yang dikemukakan Bapak S pada wawancara
9 September 2016:
“Penunjukan inklusi itu kadangkala membutuhkan surat penetapan
inklusi untuk mendapatkan hibah bantuan dari APBN, contohnya
pengadaan bantuan kursi roda, braile terkadang membutuhkan itu.
Tapi sebenarnya penetapan sekolah inklusi dari kepala SKPD
sebetulnya tidak diperlukan. Karena nanti dikhawatirkan ada
pelemparan tanggung jawab antara sekolah inklusi yang ditunjuk
dengan sekolah umum. Pada prinsipnya sekolah di DIY itu inklusi
jadi wajib menerima abk sejauh anak ini mampu dididik, tapi kalo
anak itu memiliki ketunaan yang serius seharusnya disekolah SLB,
jangan sampai ada tumpang tindih atau overlaping antara SLB dan
inklusi. Tentunya sekolah juga mempunyai standar tersendiri
dalam penerimaan siswa baru “
Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Bapak P pada
wawancara 6 September 2016:
“Sekolah inklusi merupakan sekolah umum yang didalamnya ada
anak berkebutuhan khusus, jadi sesuai dengan deklarasi inklusi di
DIY pada bulan September 2014, bahwa semua sekolah di DIY itu
wajib menerima abk dan wajib menjadi sekolah inklusi”
Hal tersebut menunjukkan jika saat ini semua sekolah harus
mampu untuk menerima dan memberikan pelayanan pendidikan tidak
hanya anak normal tapi anak berkebutuhan khusus tetap mendapat hak
90
yang sama. Setiap sekolah dilarang untuk menolak keberadaan anak
berkebutuhan khusus di sekolah umum. Apabila ada sekolah yang
menerima ABK dia menjadi inklusi, jika tidak ada sekolah hanya
menjadi sekolah umum. Sehingga tidak akan adalagi pelemparan anak
didik yang di sekolah umum ke sekolah inklusi yang telah ditunjuk,
karena hakekatnya semua sekolah di DIY wajib menerima ABK. Apabila
menyangkut tentang Peraturan Daerah tentang pendidikan inklusi di
Sleman untuk saat ini belum ada, seperti pendapat Bapak S pada
wawancara 9 September 2016:
“jika menyangkut regulasi yang dibuat oleh sleman sendriri belum
ada, masih mengacu Pergub dan Permendiknas. Belum ada bukan
berati sekolah inklusi di sleman ini tertinggal, sering juga
melakukan studi bandiing untuk belajar bersama dengan daerah
lain”
Walaupun tidak ada regulasi khusus, namun Sleman tetap
berkomitmen bahwa pendidikan inklusi tetap dapat jalan, karena sudah
mengacu ke kebijakan pusat. Hal tersebut menunjukkan jika kebijakan
yang dibuat pusat menjadi acuan dalam pelaksanaan kerja Dinas
Pendidikan di Provinsi DIY. Acuan tersebut menjadi dasar dalam
menyusun petunjuk teknis yang dikembangkan Dinas Pendidikan di
Provinsi DIY bagi sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi
sebagai sasaran kebijakan. Aturan yang mengatur segala sesuataunya
terkait pendidikan inklusi, seperti pembelajarannya, pengelolaan ABK,
sumber –sumber pendukung, serta proses identifikasi atau asesmennya.
91
c. Melakukan Koordinasi terkait Sumber Daya dan Pembiayaan
Pada tahap ini dilakukan koordinasi terkait sumberdaya dan
pembiayaan untuk kelompok sasaran, pengembangan dan pembagian
tanggung jawab antar agen. Proses pembelajaran pendidikan inklusi pada
dasarnya sama dengan sekolah reguler lainnya, hanya saja ada perubahan
pada karakter siswanya, modifikasi di kurikulum sesuai kebutuhan anak,
serta guru pendamping khusus. Guru pendampig khusus (GPK)
merupakan sumber daya manusia yang bekerja langsung mendampingi
anak berkebutuhan khusus, memahami karakter anak, dan penanganan
yang baik dan sesuai di sekolah. Sehingga anak dapat mengikuti
pembelajaran di kelas dengan maksimal, idealnya seorang guru
pendamping khusus menangani satu ABK. Alokasi waktu seorang GPK
di sekolah inklusi sendiri hanya dua hari dalam satu minggu. Seiring
perkembangan waktu permintaan GPK dari sekolah inklusi terus
bertambah. Untuk itu dalam pengelolaan GPK di Daerah Sleman
berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY
dalam memenuhi permintaan GPK seperti halnya yang dikemukakan
bapak S pada wawancara 9 September 2016:
“Pengelolaan GPK itu kewenangan Dinas Pendidikan tingkat
Provinsi, Sleman tidak mempunyai kewenangan untuk
mengangkat. Selain itu yang memberi gaji GPK adalah Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY khususnya Seksi PLB”
Jadi Dinas Pendidikan Sleman masih meminta bantuan dari Dinas
Provinsi terkait pemenuhan GPK, belum secara khusus mencari lulusan
PLB untuk ditugaskan menjadi GPK honorer di sekolah inklusi. Dinas
92
Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY sendiri telah mengirim 138 GPK
ke sekolah inklusi yang sudah lama atau sudah mendapat SK
penunjukkan, dan masih ada beberapa sekolah inklusi belum memiliki
GPK. Hal ini seperti yang dijelaskan bapak P pada wawancara 6
September 2016:
“Jadi kita berupaya memberikan GPK ke sekolah inklusi tetapi
hanya sebagian kecil. Seharusnya Kab/ Kota yang otomatis
memang secara betul-betul mengelola untuk memfasilitasinya
tetapi karena kaitanya dengan adanya anak berkebutuhan khusus,
terkadang mereka lapor ke kami dan kami menindaklanjuti sesuai
kemampuan.”
Berdasarkan wawancara tersebut dapat diketahui bahwa
Kabupaten/ Kota masih sangat bergantung dari sumber daya yang ada di
tingkat Provinsi. Tidak semua Kabupaten/ Kota merekrut tenaga guru
PLB yang dapat menjadi GPK di sekolah inklusi. Peran GPK dalam
pendidikan inklusi memang penting, untuk membantu siswa dalam
mengikuti pembelajaran di kelas secara penuh. Seperti pernyataan dari
Ibu Astuti selaku Guru Pembimbing Khusus di SD N Brengosan I pada
wawancara 15 September 2016 yaitu
“Peran yang selama ini saya lakukan jadi karena waktu saya hanya
dua hari ya mas jadi saya membagi setiap kelas yang memang saya
prioritaskan perlu sangat perlu untuk saya dampingi yang abknya
banyak untuk mendampingi pembelajaran, jadi ketika siswa
mengalami ksulitan dalam pembelajaran saya akan membantu
bukan membantu pengajaran tetapi memberikan pemahaman apa
yang dia belum paham. Paling banyak abk ada dikelas 4 dan 3, tapi
kebanyakan disini slow learner atau lambat belajar”
Sebuah sekolah tentu akan membutukan GPK yang lebih jika
mendapati anak didiknya yang mempunyai ketunaan beragam.
93
Dikarenakan guru kelas bukan lulusan pendidikan luar biasa, dan minim
pengetahuan ABK. Sehingga tetap dibutuhkan alokasi GPK yang lebih di
sekolah inklusi. Upaya yang dilakukan Dinas Pendidikan saat ini dengan
meningkatkan sumber daya manusia yang ada di sekolah melalui
pelatihan- pelatihan.
Selain itu anggaran pembiayaan yang digunakan dalam
pelaksanaan pendidikan inklusi, diantaranya untuk keperluan sarana
prasarana yang dibutuhkan, mengadakan pelatihan atau penguatan SDM,
atau pelaksanaan asesmen disekolah. Pembiayaan yang dikeluarkan
bersumber dari APBD untuk menunjang pelaksanaan pendidikan inklusi
itu. Hal tersebut seperti yang dinyatakan kepala Kursis TK-SD, yang
mengatakan bahwa” pengeluaran APBD untuk sekolah inklusi sama
dengan sekolah umum, bersumber dari BOSNAS, BOSDA, dan
BOSKAB, hanya saja ada pengeluaran khusus APBD seperti anggaran
adanya pelatihan”. Hal itu diperkuat dengan pernyataan kepala seksi
PLB yang mengatakan “Itu yang mengelola dari Dinas Kabupaten atau
Kota seperti BOS dan APBD, kalau dari kami biasanya menggunakan
bantuan APBD untuk mengadakan pelatihan – pelatihan, dan membantu
sarana – sarana untuk sekolah inklusi”. Berdasarkan pernyataan tersebut
dapat ditekankan bahwa Dinas Pendidikan berupaya memaksimalkan
anggaran yang diperoleh untuk menunjang keberlangsungan pendidikan
inklusi, baik dalam penguatan SDM, pemberian bantuan sarpras, maupun
dalam pelaksanaan asesmen.
94
d. Pengalokasian Sumber Daya
Tahapan dalam mengalokasikan sumber daya ini untuk
mendapatkan dampak kebijakan. Suatu proses pendidikan atau
pembelajarannya tidak akan lepas dari peran serta guru, murid,
kurikulum dan fasilitas. Berdasarkan hal tersebut, guru memegang
peranan penting dalam proses pembelajaran. Guru merupakan tenaga
pendidik yang mempunyai tugas untuk membimbing, membelajarkan,
dan melatih peserta didik. Guru harus mampu untuk memberikan materi
atau bimbingan dalam pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak yang
dapat dilakukan melalui proses asesmen baik disekolah umum (inklusi)
atau sekolah luar biasa. Guru kelas akan melaksanakan tugasnya bersama
dengan guru pendamping khusus (GPK).
Hal ini untuk menyeimbangkan pengetahuan tentang kekhususan
pada ABK yang belum secara penuh dipahami beberapa guru kelas.
Pengalokasian GPK tersebut berasal dari tenaga yang ada di SLB, untuk
diperbantukan di sekolah inklusi. Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga Provinsi DIY sebagai badan yang bertanggung jawab dan
mengelola SLB di Provinsi DIY mengalokasikan beberapa tenaga guru
SLB untuk menjadi GPK. Sesuai dengan keberadaan sekolah inklusi
yang ada di setiap Kabupaten/Kota. Walaupun Dinas Pendidikan Pemuda
dan Olahraga Provinsi DIY sudah mengirim GPK dari SLB untuk
diperbantukan di sekolah inklusi namun tidak bisa memenuhi semua
permintaan, dikarenakan SLB justru akan kekurangan guru atau bahkan
95
tutup. Hal tersebut disampaikan oleh Bapak P pada wawancara 6
September 2016 yang mengatakan:
“...tapi seperti yang disampaikan Kepala Dinas, kami mengirim
GPK kesana dengan jumlah terbatas. Jika kami mengirim GPK
sesuai dengan permintaan yang diharapkan oleh sekolah reguler
dalam artian sekolah inklusi itu habis guru- guru PLB. Nantinya
SLB bisa tutup, karena sekolah SLB jika dibandingkan sekolah
reguler jauh lebih banyak sekolah reguler”
Pernyataan tersebut didukung oleh Bapak S pada wawancara
tanggal 9 September 2016 bahwa:
“....Jadi kebutuhan tenaga GPK saat ini masih terbatas dari Dinas
Pendidikan Provinsi, tetapi kalau sekolah yang mampu mereka
akan mencari GPK sendiri tetapi itu hanya beberapa saja”.
Berdasarkan wawancara tersebut diketahui jika sumber daya guru
di SLB sendiri terbatas, dan perbandingan antara SLB dengan sekolah
umum sangat jauh. Apabila guru di SLB dipinjamkan ke sejumlah
sekolah inklusi, dampak yang ditimbulkan adalah siswa SLB akan
tertinggal bahkan SLB akan tutup. Dikarenakan kekurangan sumber daya
pengajar di SLB. Sesuai dengan ketetapan pemerintah DIY tentang setiap
sekolah reguler sama dengan inklusi, banyak permintaan GPK yang
diajukan dari Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota.
Peran GPK dalam pelaksanaan pendidikan inklusi sangat penting,
selain bertugas mendampingi ABK, dan guru dalam proses belajar.
Seorang GPK juga memberikan bimbingan yang berkesinambungan, dan
melaksanakan pengelolaan asesmen disekolah bersama guru kelas.
Asesmen menjadi proses awal dari pembelajaran inklusi untuk
mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal
96
meningkatkan potensi, dan meminimalisir kelemahan pada anak. Hal ini
sebagai bentuk persiapan dalam menyusun rencana pembelajaran,
penanganan, pelayanan dan pembimbingan kepada ABK. Pada
pelaksanaanya asesmen hanya dapat dilakukan oleh orang orang ahli
dibidangnya seperti dokter, psikolog, atau terapis, sehingga hasil dari
asesmen tersebutlah yang menjadi dasar dalam membuat rencana
pembelajaran khusus oleh guru yang bersangkutan.
Didalam pelaksanaannya asesmen dilakukan jika telah dilakukan
proses identifikasi terhadap anak berkebutuhan khusus. Secara khusus
asesmen merupakan penyaringan, dengan mengumpulkan informasi lebih
rinci. Sehingga asesmen ini merupakan proses penting dalam
menyiapkan pemberian pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus di sekolah inklusi. Hal tersebut seperti yang dikemukakan bapak
S pada wawancara tanggal 9 September 2016 :
“Penting, jadi anak itu kekhususannya seperti apa, apakah anak
yang nakal, anak slow learner, ataukah anak yang tidak punya
semangat belajar. Tapi asesmen juga harus diberikan oleh lembaga
yang kompeten, jika asesmen dilakukan oleh orang yang tidak
berkompeten nanti menyangkut harga diri orang tua. Tapi kalau
mengeluarkan salah satu lembaga yang sudah menjadi profesi
seperti rumah sakit, atau psikolog, itu sudah profesional. Jadi guru
hanya menyampikan”
Pendapat tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Bapak P pada
wawancara tanggal 6 September 2016 sebagaiamana berikut:
“Asesmen kalau dikatakan penting ya penting sekali untuk
dilakukan. Jadi memang untuk mengetahui kemampuan dan
ketunaan siswa seperti apa kita harus asesmen, dan itu memang
penting sekali. Jadi setiap ABK yang masuk apakah di sekolah
regular dalam artian sekolah inklusi atau sekolah khusus PLB juga
97
harus melakukan asesmen, disana harus dilakukan asesmen
tersebut”
Jadi dapat diketahui memang asesmen menjadi salah satu faktor
penentu keberhasilan anak dalam pembelajaran di kelas. Melalui asesmen
inilah kelemahan, potensi dan bentuk pelayanan yang sesuai dapat
ditentukan. Asesmen khususnya bagian psikologis tidak bisa dilakukan
oleh guru kelas, atau guru pendamping kelas (GPK), mereka hanya
menduga, menetapkan sementara, dan menyampaikan saja. Dikarenakan
yang berhak melakukan hanyalah seorang pakar dibidangnya, sekolah
tidak memiliki tolak ukur dalam penanganan ke PLB- an, atau bidang
psikolognya. Seperti yang dkemukakan bapak S pada wawancara 9
September 2016 :
“asesmen tidak bisa dilakukan oleh sekolah, sebab assessmen
hanya dilakukan ahli atau pakar dibidangnya dan sekolah hanya
menduga, memberi tahu saja. Jadi ya asesmen memang harus
dilakukan oleh ahli, karena nantinya itu akan menyangkut harga
diri orang tuanya mas, selain itu sekolah juga tidak mempunyai
psikolog atau tolak ukur psikologisnya.”
Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan dari bapak P pada
wawancara 6 September 2016 :
“Asesmen itu tidak bisa dilakukan oleh guru, seorang guru
pendamping khusus pun tidak bisa melakukan asesmen. Yang bisa
melakukan itu hanya pakar ahli, SLB bisa melakukan assessmen
tetapi yang sudah berstatus sekolah Negeri”
Asesmen dilakukan di sekolah tapi harus bersama pakar seperti
Dokter, Psikolog, selain itu hal tersebut juga menyangkut harga diri orang
tua siswa. Sehingga peran sekolah atau guru hanya menduga sementara
siswa berkebutuhan, merujuk ke pakar yang dianggap mampu,
98
memberikan hasil asesmen terkait kondisi siswanya. Guru tidak bisa
melakukan asesmen yang menyangkut besaran IQ seorang anak dan
minim pengetahuan PLB. Hal tersebut menunjukkan jika seorang guru
kelas harus mempunyai pengetahuan tentang asesmen ABK, atau
keinklusiannya.
Dengan demikian itu hasil atau dampak dari implementasi
kebijakan pengelolaan asesmen ABK yang diterapkan oleh Dinas
Pendidikan terkait untuk mendukung pelaksanaan disekolah inklusi
dilakukan dengan cara:
1. Mengadakan Pelatihan Guru Kelas Sekolah Penyelenggara Pendidikan
Inklusi Tentang Pengelolaan Asesmen
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY dan Kabupaten/
Kota berupaya mengatasi kelemahan pengetahuan guru- guru tentang
ABK, serta dalam upaya mewujudkan Permendiknas No. 70 Tahun
2009 pasal 10 tentang kewajiban pemerintah provinsi dan Kabupaten/
Kota dalam meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan khusus
bagi tenaga pendidik dan tenaga non kependidikan. Salah satu bentuk
kebijakan tersebut adalah melalui pelatihan kompetensi untuk
menguatkan sumber daya manusia yang ada di sekolah-sekolah.
Keberadaan GPK disekolah inklusi sendiri sangat terbatas baik dari segi
waktu dan kemampuan yang dimiliki. Untuk mengatasi hal tersebut
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga dengan mengadakan pelatihan
terkait pengelolaan assessmen anak berkebutuhan khusus.
99
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY dalam rangka
meningkatkan kualitas guru dalam penanganan anak berkebutuhan
khusus mengadakan pelatihan peningkatan pengelolaan asesmen guru
sekolah inklusi. Hal tersebut didasari supaya guru mempunyai
pengetahuan, dan lebih mandiri jika seorang GPK sedang tidak
ditempat atau dipindah tugaskan. Seperti yang dikemukakan bapak P
pada wawancara 6 September 2016:
“Jadi begini sekolah inklusi tidak berada DISDIKPORA,
sedangkan SLB langsung berada dibawah binaan kami,
sedangkan sekolah reguler SD,SMP,SMA, ada
dikabupaten/kota. Jadi terkait implementasi pengelolaan
asesmen di DISDIKPORA DIY yang disekolah itu ada di
Kab/Kota. Memang itu kebijakan kami, jadi Asesmen itu ada
disekolah namun kami hanya memberikan bekal kemampuan
guru reguler disekolah inklusi untuk mampu mengasesmen anak
itu. Tapi kemampuannya seperti apa memang itu lain kita
belum tahu, jadi disana belum tentu tahu tapi paling tidak ada
bekal. Jadi terkait kebijakannya kami hanya memberikan
pelatihan kepada guru reguler kaitannya dengan pembekalan
pengetahuan bagaimana melakukan asesmen kepada peserta
didik, sebatas pengetahuan saja.”
Berdasarkan wawancara diatas dapat diketahui jika Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY mengupayakan
memberikan pelatihan terhadap guru terkait pengetahuan pelaksanaan
asesmen secara khusus. Jadi pelaksanaan asesmen berada disekolah,
kebijakan yang diambil Dinas Pendidikan Provinsi dengan memberikan
pelatihan pengelolaan asesmen tersebut. Pelaksanaan diklat ini dapat
menjadi wahana pengembangan, peningkatan dan pelayanan yang
prima dalam pembelajaran terutama dalam pegetahuan pelaksanaan
asesmen guru terhadap ABK dapat sesuai dan pemberian kebutuhan
100
serta bimbingan anak dapat berjalan optimal. Tujuan dilaksanakan
program pelatihan dan peningkatan pengelolaan asesmen guru sekolah
inklusi adalah
a) Meningkatkan profesionalisme guru dalam membimbing dan
mengajar anak didik
b) Membangkitkan dan mendorong guru agar dalam melaksanakan
tugasnya senantiasa memperhatikan bakat dan minat dan
keterbatasan peserta didik dalam mengembangkan potensinya
c) Mendorong daya upaya guru di sekolah inklusi untuk meningkatkan
dedikasi kerja dan profesionalisme dalam melakukan tugas pedidikan
d) Menyampaikan bekal keterampilan pembelajaran khususnya
membedakan masing anak sesuai kebutuhan kepada guru di sekolah
inklusi
e) Mengimbaskan kepada sesama guru yang menangani anak
berkebutuhan khusus
Jadi setiap pelaksanaan pelatihan perencanaan kegiatan yang
dilakukan dengan mengundang narasumber dari UNY, SLB, Pengawas,
Kepala seksi atau kepala sekolah. Jadi ada kebijakan terkait pelaksanaan
untuk kedinasan yang harus dicapai seperti ini, untuk pelaksanaan
dilapangan terkait dengan penerapan dilapangan oleh SLB, serta
kaitananya dengan bidang akedemiknya dari UNY. Sehingga Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY bersama- sama
melibatkan unsur yang teribat dalam pelaksanakannya. Sedangkan
101
Penentuan peserta itu tidak memilih –milih harus sekolah ini namun
meminta perwakilan dari kabupaten kota dengan pembagian 30 per
kabupaten, khusus untuk pelatihan asesmen tersebut.
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Sleman dalam
peningkatan kualitas guru di sekolah inklusi juga mengadakan pelatihan
keinklusian. Namun bentuk pelatihannya, pengelolaan asesmen dberikan
bersama materi pendidikian inklusi. Pemberian materi asesmen tersebut
semata-mata untuk memberikan pengetahuan terhadap tenaga pendidik
yang ada di sekolah, salah sautnya terkait pengelolaan dan penanganan
pendidikan bagi ABK. Hal tersebut seperti yang dikatakan bapak S pada
wawancara 9 September 2016 sebagaimana berikut ini :
“Bentuk pelatihan yang kami berikan berfokus pada materi
penguatan SDM. Hanya saja untuk pelatihan asesmen tersendiri
belum ada, karena materinya sudah disatukan dengan materi
pelatihan pendidkan inklusi, karena juga menyampaikan teori
assessmen juga. Jadi kita ya hanya memberikan pengetahuan
tentang asesmen karena yang punya itu kan para ahli seperti
psikolog gitu mas”
Jadi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaharaga di DIY telah
mengupayakan untuk tetap meningkatkan kualitas SDM di sekolah
inklusi kaitannya dengan pengelolaan asesmen terhadap ABK. Hal
tersebut berguna agar pelayanan pada ABK dapat sesuai, selain itu setiap
guru yang diundang dapat menularkan pengetahuan yang didapat kepada
rekan sejawatnya disekolah. Asesmen memang berada di sekolah, namun
kebijakan Dinas hanya memberikan pengetahuan terkait asesmen atau
inklusi serta kebutuhan dana kepada tiap sekolah. Selain itu untuk
102
membuat guru reguler tidak tergantung dengan GPK ataupun SLB, dalam
melakukan asesmen. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Bapak A.
Sarjiyo selaku Kepala Sekolah Dasar Negeri Brengosan I pada
wawancara 15 September 2016:
“Kalau dari Dinas kabupaten dan provinsi itu mendukung dan
memberikan bantuan dalam bentuk satu dana dan dua teknis. Jadi
kami sering ada pelatihan ataupun ada kunjngan ke sekolah
inklusi, selain itu ada beasiswa khusus untuk sekolah inklusi”
Pernyataan tersebut diperkuat dengan yang diungkapkan Ibu
Yuning pada wawancara 29 September 2016:
“Dinas sering melakukan pelatihan inklusi, tapi kalau keabkan
masih banyak di provinsi, kalau kabupaten sekedar diklat
pendidikan inklusi. Kalo di DIKPORA Sleman kemarin juga
pernah ikut, tapi cuman kedua presentasi tentang abk disini. Ya
kelebihannya lebih paham terhadap abk dibandung yang lalu”
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga telah memberikan
fasilitas dalam penguatan SDM di sekolah inklusi. Akan tetapi bentuk
pelatihan menyangkut kekhususan anak berkebutuhan lebih banyak
diberikan oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY
dibandingkan dengan Kabupaten. Secara tidak langsung diberikannya
pelatihan tersebut untuk menyiapkan guru kelas agar dapat menangani
ABK, dan tidak tergantung pada GPK.
2. Menjalin Mitra Kerja dengan Lembaga Terkait
Berdasarkan Permendiknas No.70 Tahun 2009 Penyelenggaraan
Pendidikan Inklusif (PENSIF) pasal 11 bahwasanya satuan pendidikan
penyelenggaraan pendidikan inklusif berhak memperoleh bantuan
103
operasional sesuai dengan kebutuhan dari pemerintah, dengan
membentuk jaringan kerja sama dengan organisasi profesi, rumah sakit,
perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya. Selain
melakukan pelatihan, agar pelaksanaan pengelolaan asesmen dapat
berjalan dengan baik. Pemerintah bekerja sama dengan pihak – pihak
ketiga guna membantu terlaksananya program pelatihan serta
pelaksanaan asesmen disekolah.
Pihak-pihak dalam bidang akademis yang sering terlibat dalam
hal ini seperti Universitas Negeri Yogyakarta jurusan Pendidikan Luar
Biasa, Universitas Islam Sunan kalijaga, Universitas Gadjah Mada dan
sebagainya. Pihak –pihak tersebut turut menjadi pembina akademik,
kadangkala menjadi konsultan. Selain itu mereka juga sering menjadi
narasumber dalam pelatihan inklusi khususnya asesmen. Hal tersebut
menunjukkan jika Perguruan Tinggi berperan dalam program pelatihan
asesmen, serta menjadi pembina akademik bagi Dinas Pendidikan.
Pelaksanaan asesmen di sekolah inklusi sendiri Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sleman menjalin kerja sama dengan
lembaga kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas atau Dinas
Kesehatan. Dikarenakan merekalah yang memiliki tolak ukur dalam
melakukan asesmen, dan dipandang lebih berkompeten di bidang
psikiologinya untuk dilakukan asesmen. Hal tersebut sesuai pernyataan
bapak S pada wawancara tanggal 9 September 2016 sebagaimana
berikut:
104
“Asesmen itukan penilaian, jadi kebijakannya diserahkan
kelembaga yang profesional. DIKPORA Sleman atau sekolah
itu menjalin kerja sama dengan mitra kerja seperti Puskesmas,
RS, atau Psikolog, sekolah menjalin kerja sama dengan instansi
terkait seperti instansi kesehatan tersebut. Dan pelatihan hanya
di penguatan SDM-nya, jadi lebih ke pendekatannya, oh anak itu
harus diasesmen dahululu. Jadi dia itu kekhususnanya itu
dibidang apa, nanti penanaganan nya seperti apa akan lebih
mudah nanti ditanganinya”
Pemberian pelatihan dilakukan untuk memberikan bekal
pengetahuan tentang pengelolaan asesmen, kelemahan yang dimiliki,
serta penangananya. Hal tersebut penting karena, keahlian sekolah untuk
ke PLB-an masih kurang, mereka tidak bisa termasuk didalamnya standar
tes pengukuran psikologi. Selain memberikan pelatihan Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga mengupayakan untuk dapat menjalin
kerjasama dengan pihak profesional dalam bidang kesehatan untuk
mendukung terlaksananya asesmen disekolah inklusi. Pihak yang terlibat
dalam pelaksanaan asesmen ABK kebanyakan dari Puskesmas di tiap
Kecamatan. Puskesmas dianggap mempunyai jarak yang tidak terlalu
jauh dengan keberadaan sekolah- sekolah inklusi di Kabupaten Sleman,
dibandngkan dengan Rumah Sakit yang cenderung terpusat di Kota.
Persebaran Puskesmas sendiri saat ini dirasa masih minim yang
mempunyai pakar psikologinya. Berdasarkan hasil wawancara dengan
Kepala Kurikulum Siswa Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga
Kabupaten Sleman, keberadaan Puskesmas di Sleman sekitar 27
puskesmas, dari 27 itu separuh lebih terdapat pakar psikolognya sekitar
15 orang yang dianggap mampu untuk melakukan asesmen. Sehingga
105
pemenuhan Puskesmas sebagai pelaksanaa asesmen masih belum
mencukupi, jikalau menggunakan jasa Rumah Sakit tentu membutuhkan
biaya yang lebih besar dibandingkan Puskesmas. Oleh karena itu Sleman
berupaya untuk memenuhi Puskesmas dengan psikolog yang profesional,
sehingga jikalaua ada anak yang perlu asesmen tidak perlu menuju ke
RSUD. Hal tersebut dapat memperpendek alur pengelolaannya.
3. Membentuk Lembaga Khusus
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY telah
membentuk Resource Center (Pusat Sumber) dan Sub Pusat Sumber
disetiap kabupaten/ kota. Pusat Sumber ini merupakan lembaga non
struktural yang bersifat ad hoc yang bertanggung jawab kepada Gubernur
melalui Kepala SKPD yang mempunyai tugas pokok di bidang
pendidikan inklusif. Berdasarkan Peraturan Gubernur DIY No. 41
tentang Pusat Sumber dan Surat Keputusan Gubernur DIY No. 91/ Kep/
tahun 2015 tentang Pembentukan Anggota Pusat Sumber Pendidikan
Inklusif. Pusat Sumber bertugas melaksanakan koordinasi, fasilitasi,
penguatan, dan pendampingan pelaksanaan sistem dukungan
penyelenggaraan pendidikan inklusi. Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga Provinsi DIY juga membentuk Sub Pusat Sumber disetiap
Kabupaten/ Kota sesuai Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga DIY No. 0131 Tahun 2013 tentang Pembentukan
Sub Pusat Sumber di DIY. Hal tersebut sesuai pernyataan dari Bapak P
pada wawancara tanggal 6 September 2016 :
106
“Kalau pusat sumber itu ada di SLB N 2 Yogyakarta
berdasarkan SK Gubernur, kalau disetiap kabupaten itu
namanya sub pusat sumber dan pembentukannya dari SK
Kepala Dinas. Jadi dibawah pusat sumber itu ada sub pusat
sumber, itu ada di masing kabupaten/ kota, kebanyakan SLB
yang ditunjuk SLB Negeri, jadi kalo sub pusat sumber yang
dikabupaten/ kota itu biasanya negeri tapi kalau yang
kekhususan, seperti autis ada yang swasta juga.”
Pendapat tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Bapak S
pada wawancara tanggal 9 September 2016 :
“Ada, pusat sumber yang di Kabupaten itu ada di beberapa SLB
namanya RC (resource center) sudah ada sejak tahun 2013.
Surat pemutusannya ada di DIKDAS PLB Dinas Provinsi. SLB
itu dipilih yang mampu sebagai menjadi pusat rujukan artinya
kalo ada permasalahan bisa menjadi sumber pertanyaan
informasi, atau konsultan bagi sekolah inklusi mas”
Hal tersebut menunjukkan jika Dinas Pendidikan terkait telah
berupaya untuk memberikan fasiltas untuk mendukung pendidikan
inklusi atau sebagai rujukan jika sekolah mengalami permasalahan. Hal
tersebut perlu agar penanangan ABK di sekolah dapat efektif. Pusat
Sumber dan Sub pusat sumber ini juga dapat membantu melaksanakan
asesmen bagi ABK. Secara fungsional, tugas dari Sub Pusat Sumber
tersebut adalah sebagai berikut:
Menjalin kemitraan dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota,
sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, dan atau lembaga
lain yang bergiat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi di
masing wilayah
Menyediakan layanan pendidikan khusus bagi sekolah inklusi
Menyediakan layanan asesmen fungsional dan akademik
107
Menyediakan layanan konsultasi
e. Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus di SD Negeri
Brengosan I
Sekolah Dasar Negeri Brengosan I merupakan salah satu sekolah
inklusi yang ada di Kabupaten Sleman tepatnya berada di Kecamatan
Ngaglik. Sekolah ini merupakan sekolah reguler biasa, namun sejak tahun
2012 telah ditetapkan secara resmi menjadi sekolah inklusi. Hal tersebut
secara resmi telah tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga No. 245 tahun 2012 tentang
peningkatan kualitas dan akses pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus. Selain itu adanya faktor prestasi anak didik di SD N Brengosan
dan kondisi anak berkebutuhan khusus disekitar sekolah yang menjadi
dasar sekolah inklusi. Seperti yang diungkapkan bapak A. Sarjiyo selaku
Kepala Sekolah Dasar Negeri Brengosan I pada wawancara 15 September
2016 bahwa:
“Jadi awal mulanya adanya beberapa anak yang selalu tidak naik
kelas, kemudian ada masukan dari SLB terdekat supaya dapat
diajukan menjadi sekolah inklusi, sehingga nanti guru- gurunya
mendapat pengetahuan dasar untuk membina anak- anak
berebutuhan khusus tersebut, sehingga atas saran saran dari SLB
dan adanya ABK maka disini kemudaian dijadikan seklah inklusi.
Sebetulnya kalo kemauan dari sekolah juga tidak tapi karena dari
masyarakat ada ABK, juga saran saran dari SLB, kemudian dari
Dinas juga menunjuk sekolah juga dan sudah ada SK dari Dinas
Kota.”
Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Ibu Yuning selaku
Guru Kelas IV SD Brengosan I pada wawancara 15 September 2016
yaitu:
108
“Pada mulanya itu ada anak di lingkungan sekitar SD yang
memiliki kebutuhan khusus, dan siswa yang tidak naik kelas juga
cukup banyak. Kebetulan ada guru SLB setelah bermusyawarah
dengan kami kemudian menyarankan kita untuk menjadi sekolah
inklusi. Kemungkinan beliau laporan dan tahu-tahu disini sudah
menjadi inklusi. “
Latar belakang SD N Brengosan I yang semula reguler menjadi
inklusi cenderung dipengaruhi oleh keadaan peserta didik serta adanya
saran dari guru SLB. Dikarenakan adanya siswa yang setelah masuk
mengalami hambatan dalam pembelajaran dan ada ABK yang akan masuk,
maka diajukan menjadi sekolah inklusi. Penetapan itu supaya sumber daya
manusia di SD N Brengosan I mempunyai pengetahuan penanganan ABK.
Hingga saaat ini kebanyakan siswa di sekolah tersebut
kecenderungan hambatan kecerdasan, untuk siswa yang berkebutuhan
pada panca indra beberapa tahun lalu ada, namun disarankan untuk ke
SLB. Hal tersebut dilakukan karena keterbatasan SDM dan perkembangan
anak. Diketahuinya siswa ABK tersebut melalui sebuah proses yang
disebut identifikasi dan assessmen, untuk memastikan kondisi anak,
kelemahan, potensi anak, serta rencana pembelajaran yang akan diberikan.
1) Perencanaan Pengelolaan Asesmen
Sekolah dalam memutuskan seorang anak ketunaan dan
pelayanananya didahului dengan proses asesmen. Sekolah telah
merencanakan pelaksanaan asesmen setiap tahun ajaran baru dimulai
tepatnya saat masuk kelas I (satu). Hal tersebut seperti pernyataan dari
ibu A selaku Guru Pendamping Khusus pada wawancara tanggal 15
September 2016 yang mengatakan:
109
“Perencanaan pelaksaanaan asesmen yang dilakukan sekolah, kita
merencanakan pelaksanaan asesmen tiap tahunnya, nanti ada
instrumen pelaksanaan asesmen, kemudian saya memberikan
instrumen itu ke guru kelas, nanti guru kelas mengadakan
asesmen. bahkan ada yang dilakukan setiap satu semester. Jadi
tetap kita pantau perkembangannya. Selain itu ada instrumen
untuk ke orang tua, itu biasanaya lebih ke riwayat anak, kelahiran,
riwayat pertumbuhan dan lainnya”.
Pendapat tersebut diperkuat oleh bapak SA pada wawancara 15
September 2016 yaitu:
“Kalau diharuskan walaupun tidak diharuskan kami sekolah inklusi
tetap melaksanakan di awal tahun pelajaran, karena akan
menentukan anak tersebut berkebutuhan atau tidak. Jadi asesmen
tetap diadakan di awal tahun pelajaran. Karena kami menyadari
kalo sekolah inklusi ya harus ada asesmen”
Hal tersebut menunjukkan jika perencanaan pelaksanaan asesmen
dilakukan sejak kelas rendah, dan dilakukan secara berkesinambungan
dari kelas rendah ke kelas yag lebih tinggi. Sehingga perkembangan
anak akan terus teramati apakah anak masih mengalami hambatan
belajar atau tidak, apabila tidak anak tersebut tidak akan diberikan
asesmen lagi. Selain itu pada penerimaan peserta didik baru sekolah
juga melakukan pengamatan terhadap calon siswa yang diduga
mengalami kebutuhan khusus. Secara teknis sekolah mempunyai tim
pelaksana yang secara tidak langsung terlibat. Seperti halnya yang
dikatakan bapak Sa pada wawancara tanggal 15 September 2016 yaitu:
“Pertama, ada guru kelas mereka yang mengerti dan mengenal
siswanya sendiri, GPK yang lebih tahu tentang anak
berkebutuhan khusus, kepala sekolah, lalu orang tua siswa yang
mengetahui perkembangan anak dari lahir, dan pihak Puskesmas
Ngaglik I yang mampu melakukan tes IQ”
110
Pernyataan tersebut diperkuat dengan pendapat ibu A pada
wawancara tanggal 15 September 2016 yang mengatakan:
“Guru kelas nanti saya beri instrumen untuk pengamatan siswa
karena guru kelas yang setiap hari bertatap muka dengan siswa,
lalu saya sebagai GPK mendampingi guru kelas bersama dengan
kepala sekolah sebagai konsultan. Peran orang tua kita libatkan
untuk mencari riwayat anaknya, dan bantuan dari Puskesmas
Ngaglik, karena disana sudah ada psikolognya”
Jadi secara tak langsung pihak yang terlibat dalam proses
identifikasi dan asesmen anak cukup beragam dan mempunyai perannya
masing masing. Pihak tersebut akan terlibat mulai dari proses identifikasi
hingga pelayanan pendidikan khusus.
2) Pengelolaan Asesmen di Sekolah
Pelaksanaan asesmen dapat dilakukan setelah dilakukan
identifikasi, pelaksanaan identifikasi untuk menentukan dugaan ketunaan
pada anak dan penanganan dini. Strategi pelaksanaan asesmen yang
dilakukan SD Negeri Brengosan sebagai berikut:
a. Tahap Identifikasi
SD N Brengosan I melakukan identifikasi terlebih dahulu sebelum
tahap asesmen dilakukan. Identikasi tersebut dilakukan dengan
menghimpun data anak, menganalisa data anak, pertemuan konsultasi
dengan kepala sekolah, dan menyelenggarakan pertemuan kasus, untuk
kemudian melakukan perekapan data yang diperoleh. Identifikasi
dilakukan terhadap anak – anak di sekolah yang diduga mengalami
kelainan berdasarkan pengamatan guru, hasil belajar, dan perilaku
111
siswa. Seperti halnya pendapat dari Ibu Y pada wawancara tanggal 29
September 2016 bahwa:
“Dilihat dari prestasinya bagaimana, perilakunya, kepribadiannya
juga. Kalau prestasinya jauh dari temen lainnya, Oh anak ini
kemungkinan ABK, nanti saya lapor ke GPK baru GPK yang
menindak lanjuti”
Pendapat tersebut didukung dengan pernyataan dari Bapak SA
pada wawancara 15 September 2016 bahwa:
“Pertama, ada pengamatan yang dilakukan guru kelas dan
dikonsultasikan ke GPK dan Kepala Sekolah. Selanjutnya baru
ditindaklanjuti dengan wawancara atau pengisian instrumen/
blangko untuk penentuan ketunaan sementara. Tahapan
selanjutnya dengan membawa anak itu untuk diasesmenkan di
Puskesmas”
Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Ibu Andini Lestari
selaku Guru Kelas III pada wawancara 15 September 2016 yakni:
“Kalau saya menilai dengan cara lisan, dan mengamati
perkembangan belajar anak seperti keakftifan anak, hasil belajar
dan nanti berdiskusi dengan GPK”
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui pelaksanaan identifikasi
dilakukan guru kelas melalui pengamatan, dan instrumen. Kriteria yang
menjadi acuan penetapan sementara ABK biasanya berupa faktor
prestasi, perilaku,dan kepribadian anak. Identifikasi tersebut dilakukan
untuk menentukan dugaan sementara bahwa anak tersebut memiliki
ketunaan dan sebagai dasar tindak selanjutnya. Pelaksanaan sendiri
dilakukan dengan menggunakan instrumen identifikasi dengan bentuk 5
Form Identifikasi. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Ibu A
pada wawancara 19 Oktober 2016 yaitu:
112
“Jadi pelaksanaan identifikasi sudah ada intrumennya. Jadi
setelah diidentifikasi nanti kita rekap. Berdasarkan hasil dari
identifikasi nanti bisa kita lihat oh ternyata anak ini treatmentnya
harus seperti ini, oh ternyata anak ini perlu dites IQ, ternyata ada
beberapaa indikator dari identifikasi ini yang menunjukkan dia
ada permasalahan dalam belajar. Nah setelah itu misallkan anak
terdeteksi slow learner nanti kita putuskan untuk Tes IQ di
Puskesmas, jadi saya tidak saya ngejudge saya gak berani. Jadi
identifikasi dilakukan oleh guru kelas dulu, nanti saya baru
mendampingi”
Berdasarkan hal tersebut diketahui jika pelaksanaan identifikasi
hanya menduga sementara, yang dilakukan oleh guru kelas. Sekolah
tidak bisa menetapkan seorang anak sebagai ABK, sebelum dilakukan
asesmen. Form Identifikasi yang digunakan SD Negeri Brengosan I
untuk menghimpun data anak diantaranya sebagai berikut:
- Form I : instrumen berisikan penggalian informasi terkait
perkembangan anak mulai dari anak lahir hingga masuk
pendidikan terakhir anak.
- Form II : bertujuan untuk memperoleh informasi terkait data
orang tua atau wali murid siswa yang diduga anak
berkebutuhan khusus.
- Form III : instrumen tentang AI ABK, yang bertujuan untuk
mengidentifikasi atau mengamati anak yang diduga
berkebutuhan khusus dikelas, dengan melihat gejala- gejala
yang nampak pada anak sesuai dengan tolak ukur yang ada
pada instrumen.
- Form IV : instrumen ini memuat tentang uraian kasus atau
masalah yang ditemui pada anak yang terindikasi berkelainan
113
dan membutuhkan pelayanan khusus. Penemuan kasus
berdasarkan hasil pengamatan guru kelas.
- Form V : memuat laporan hasil pertemuan kasus anak yang
memerlukan pelayanan khusus.
Instrumen identifikasi yang dilaksanakan oleh guru kelas tersebut
diberikan kepada wali siswa khusu untuk Form 1 dan II, sedangkan
form III, IV, dan V berdasarkan pengamatan guru kelas serta diskusi
dengan GPK. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ibu Y pada
wawancara 29 September 2016 bahwa:
“Saya hanya menyerahkan blangko atau instrumen ke orang tua.
Jadi nanti GPK memberi blangko itu untuk diserahkan ke wali
murid. Sebagai bahan pertimbangan rujukan ke puskesmas. Tapi
itu juga lama, anaknya sering lupa memberikannya. Bahkan diberi
blangko kadang hilang”
Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan dari Ibu A pada
wawancara tanggal 15 September 2016 bahwa:
“...Jadi instrumen saya tujukan ke orang tua, tetapi kadang orang
tua itu mengisikan instrumen itu tidak sesuai kenyataan,
terkadang orang tua itu malu atau bagaimana, mereka cenderung
menutupi. Kadang saat saya memberikan intrumen itu, orang tua
mengisi tidak seperti apa yang saya lihat gitu lho mas. Itu
menghambat pengumpulan informasi, ada lagi orang tua yang
pemahamanya juga kurang untuk memahami apa maksud dari
yang saya inginkan, jadi terkait assessmen itu juga perlu
pemahaman mas, kalo orang tua tidak mampu ya bagaimana lagi”
Hal tersebut diperkuat pernyataan dari Ibu Ika Pratiwi selaku wali
siswa berkebutuhan pada wawancara tanggal 6 November 2016 bahwa:
“Kalau dulu itu ada angket – angket kesaya, isinya pertanyaan itu
seperti anak anda kelahiran normal atau tidak, bisa berjalan umur
berapa, saat di TK bagaimana, semacam pendataan gitu mas. Tapi
itukan sudah lama jadi sedikit lupa keadaan saat itu”
114
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui jika pembuatan
instrumen masih tergantung pada pemberian GPK, guru kelas lebih
pada menyampaikan pada orang tua dan proses pengamatan saja. Selain
itu adanya kendala yang ditemui di SD Negeri Brengosan I dalam
menghimpun data anak cukup beragam mulai dari adanya instrumen
yang hilang, anak yang tidak memberikan ke orang tua, orang tua yang
kurang mengetahui maksud dari instrumen, dan orang tua yang
cenderung menutupi keadaan anaknya.
Setelah data diperoleh, data yang diperoleh akan direkap oleh
guru kelas bersama GPK dan melihat perkembangan anak yang diduga
ABK tersebut. Selain itu sebagai bahan pertimbangan sebelum
berkonsultasi ke Kepala Sekolah,dan bahan data rujukan. Jadi sebagai
tindak lanjut identifikasi ABK untuk dapat diberikan pelayanan
pendidikan bagi anak yang tepat, maka tindak lanjut yang dilakukan
adalah melaksanakan asesmen.
b. Tahap Asesmen ABK
Asesmen ini merupakan proses penyaringan terhadap anak yang
telah teridentifikasi sebagai ABK, proses ini penting dalam menyiapkan
pembelajaran yang sesuai bagi anak. Selain itu untuk lebih dapat
melihat kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri anak. Proses
Asesmen yang dilakukan SD Negeri Brengosan I menggunakan teknik
asesmen psikolgi yang bekerja sama dengan Psikolog di Puskesmas
Ngaglik II. Puskesmas dipilih sekolah sebagai pihak yang berkompeten
115
melakukan asesmen dikarenakan sudah mempunyai ahli psikolog Strata
2 (S2) yang mampu melakukan tes IQ. Perencaanaan Puskesmas
Ngaglik II sebagai mitra di sarankan oleh GPK setelah berkonsultasi ke
Puskesmas. Seperti halnya pernyataan dari Ibu A pada wawancara 19
Oktober 2016 bahwa:
“Asal mulanya saya sendiri, jadi saya datang ke puskesmas, saya
tanyakan disana apakah ada psikolognya, jadi saya kan memang
mencari psikolog yang sudah S-2 karaena yang mempuyai
wewenang melaksanakan tes IQ kan pskolog Strata 2, kalau S1
kan belum ada, jadi karena sudah terjalin, nanti sewaktu saya
akan tes IQ disana saya tingga menghubungi nanti pihak
Puskesmas yang akan menyiapkan persiapan dan jadwalnya”
Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari Bapak SA pada
wawancara 19 Oktober 2016 yang mengatakan :
“Puskemas II Ngaglik itu yang memilihkan itu dari GPK,
karena disana sudah ada Psikolog yang berstrata S-2 dan mampu
untuk melakukan tesIQ pada siswa, selain itu lokasinya pun
cukup dekat dari sekolah hanya beberapa meter saja”
Berdasarkan pernyataan tersebut diketahui jika peran GPK
selain sebagai pendamping juga mencarikan mitra Puskesmas sebagai
mitra yang mempunyai pakar psikologinya, selain itu sekolah juga
mengupayakan untuk memilih mitra yang dapat melakukan tes IQ.
Lokasi yang dekat juga dapat mempersingkat alur pengelolaan asesmen
di sekolah. Tes IQ dianggap mampu menunjukkan tingkat intelegensi
anak yang bersangkutan, selain itu karena kebanyakan siswa yang
dianggap ABK berparas seperti anak normal. Setelah mengikuti
pembelajaran baru diketahui jika anak mempunyai hambatan
kecerdasan. Jadi dapat diketahui jika alur pengelolaan asesmen yang
116
dilakukan di SD N Brengosan I mulai dari tahap identifikasi,
perujukan, pemberian arahan dan pembahasan hasil asesmen dari
Puskesmas. Seperti pernyataan dari Ibu A pada wawancara 15
September 2016 bahwa:
“Kalau metode asesmen kita pertama melakukan wawancara
pada orang tua atau mulai dari lahir selama perkembangan
bagaimana. Kemudian jika saya berdiskusi dengan guru kelas
kita lihat bagaimana perkembangan anak selama pertama
masuk mungkins setelah satu bulan nanti bisa kelihatan apakah
anak itu kita curigai sebagai abk, setelah itu kita konsultasi,
dan memberi tahu ke orang tua bahwa ini anak ibu seperti ini,
kemudain kita ke Puskesmas untuk dites IQ. Kalau sudah ada tes
IQ kita tahu dan memastikan bagaimana kondisi anak, kemudian
orang tua tahu kita beri arahan kalo dia memang tidak bisa
berkembang secara akademik kita arahkan ke SLB. Tapi itu
kembali ke orang tuanya lagi mas, apakah orang tua tidak mau
dipindah anaknya akan dikeluarkan kan juga eman- eman dan
tidak boleh kan mas, dan tetap itu tanggung jawab kita
bersama”.
Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan dari Ibu I pada
wawancara tanggal 6 November 2016yaitu:
“Kalau tes IQ sudah pernah di tes IQ kan satu kali, hasilnya
diberikan kesekolah. Dari surat itu dikasih tahu anak ibu itu
usianya berkisar 4 tahun 6 bulan, kemudian diberikan saran
harus belajar rutin dan dipantau terus menerus, ada saran untuk
dileskan namun kami sedikit kesulitan, jadi hanya saya ajari saja
dirumah”
Hal tersebut menunjukkan jika asesmen dilakukan secara
sistematis, mulai pengumpulan informasi, pengamatan, konsultasi, dan
tes IQ. Peran orang tua juga dilibatkan dan berpengaruh pada
perkembangan anak selanjutnya. Jikalau orang tua tidak begitu peduli
117
dengan hasil dan arahan, anak akan sulit berkembang. ABK yang sulit
berkembang akan disarankan untuk dirujuk ke SLB.
Sedangkan besar anggaran untuk melakukan tes IQ yang
digunakan berasal dari dana BOS yang diterima oleh sekolah.
Pernyataan tersebut berdasarkan wawancara dengan Bapak SA pada
tanggal 15 September 2016 yaitu:
“Anggaran khusus itu hanya saat proses asesmen itu kami
ambilkan dari BOS, jadi dari bos ini ada melakukan asesmen,
jadi alokasi bos itu kami gunakan untuk keperluan proses
pelaksanaan Asesmen”
Pendapat tersebut didukung oleh Ibu A pada wawancara tanggal
15 September 2016 bahwa:
“Biaya dari sekolah, karena itu kebijakan Puskesmas sekarang.
Pembiayaanya biasanya sekitar Rp 20.000, itupun tergantung
jenis tesnya seperti Wyse atau BINe, dan itu tergantung usia
anak. Jadi kalau dia kelas 1-2 biasanya tes dengan model SPM/
Bine. Tetapi kalau sudah pindahan dari sekolah lain
menggunakan tes Wyse, karena yang diamati lebih luas, berbeda
dengan SPM dia lebih berfokus pada kesiapan anak masuk
sekolah”.
Berdasarkan peryataan tersebut biaya asesmen pada orang tua
digratiskan. Sekolah bertanggung jawab dalam pengelolaan biaya
yang dibutuhakan selama proses asesmen. Tes yang digunakan
bergantung dari kebijakan Puskesmas dan melihat usia anak yang
akan dites IQ. Proses identifikasi dan asesmen ini akan tetap berlanjut
dikelas yang lebih tinggi, jika anak yang sebelumnya mengalami
gangguan dan masuk kelas selanjutnya sudah tidak mengalami
gangguan. Anak tersebut sudah dilepas dari kategori ABK yang ada di
SD Negeri 1 Brengosan.
118
c. Pembahasan Hasil Asesmen
Setelah asesmen dilakukan oleh Puskesmas, akan diketahui
karakter anak yang menjadi klien mulai dari kelemahan, kelebihan,
dan bentuk pelayanan yang dianggap cocok diberikan pada anak.
Sekolah dapat memastikan ketunaan anak, dan pelayanananya. Bentuk
hasil tes IQ yang dikeluarkan oleh Puskesmas berupa skor tingkat
intelegensi yang didapat anak dan saran. Hal seperti itu diungkapkan
oleh Ibu A pada wawancara 19 Oktober 2016 bahwa:
“Saran yang diberikan Pukesmas itu ada, seperti gambaran anak
itu seperti apa, kelemahan anak sepertai apa, kelebihanya, terus
yang bisa dikembangkan seperti apa itu ada. Jadi biasanaya
kalau orang tuanya kooperatif nanti juga saya ajak untuk
diberikan penyuluhan dari Puskesmas”.
Selain itu terdapat rincian pengukuran yang disertakan
diantaranya dalam kemampuan pengetahuan umum, visual motorik,
penalaran aritmatik, konsentrasi dan memori, kemampuan kata dan
verbal, dan evaluasi dan penalaran. Tindakan selanjutnya yang
dilakukan sekolah adalah melakukan pembahasan terhadap hasil yang
didapat serta meneruskan memberikan arahan kepada orang tua.
Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Bapak SA pada wawancara 19
Oktober 2016 bahwa:
“Pembahasan hasil identifikasi.asesmen biasanya dilakukan oleh
GPK, guru kelas dan orang tua, untuk digunakan sebagai
perumusan rancangan pembelajaran, kalau orang tua untuk
memberikan hasil assessmen dan apa –apa saja yang perlu
diberikan kepada anak saat dirumah. Karena kalau hanya dari
pihak sekolah sendiri, nantinya anak akan sulit berkembang”.
119
Pernyataan tersebut didukung dengan pendapat dari Ibu A pada
wawancara 19 Oktober 2016 yang mengatakan:
“Jadi antara saya dan guru kelas setelah diadakan identifikasi,
asesmen dan tes IQ nanti ada pembahasan, oh anak ini
mengalami masalah seperti ini, maka pemecahan masalahnya
seperti ini, pembelajarannya seperti ini. Dan kemudaian guru
kelas yang meneruskan ke orang tua, jadi saya hanya membantu
saja atau mendampingi saja agar guru itu bisa mandiri, ataupun
saat nanti saya ditarik mereka sudah siap. Jadi setelah di
asesmen ini ada pembahasan antara GPK, guru kelas, orang
tua”.
Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Ibu I pada
wawancara tanggal 1 Oktober 2016 bahwa:
“Dulu pernah disuruh Ibu wali kelas sama Ibu Astuti untuk
memantau belajar anak dan perutinan belajar, dan dulu pernah
saya leskan ke tempat wali kelas tapi karena anaknya dulu tidak
penuh berangkat, kemudian saya stop, karena hanya membuang
biaya”.
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat diketahui
bahwa setelah dilakukan tes IQ dilakukan pembahasan hasil untuk
mencari solusi memecahkan masalah atau kelemahan pada anak, serta
menyampaikan arahan kepada wali siswa terkait hasil dan penanganan
anak dirumah. Selain memberikan hasil dari tes IQ tertulis, Psikolog
di Puskesmas II Ngaglik juga memberikan saran kepada guru atau
orangtua. Beberapa hal tersebut yang menjadi dasar dalam
pertimbangan pembuatan RPP oleh guru. Selain itu menyiapkan
pelayanan pembelajaran yang dapat sesuai dengan anak. Seperti
halnya pernyataan dari Ibu Y pada wawancara tanggal 29 eptember
2016 yaitu:
120
“Setelah diasesmen saya menanangi anak tergantung saran dari
Puskesmas, contohnya kalau anak slow learner nanti ditambahi
atau membutuhkan pendampingan khusus, jadi kalo saya diberi
tugas pada teman lain bisa jalan tapi nanti saya mendampingi
terus abk itu. Juga ada diskusi dengan GPK dalam membuat
RPP,sama pemberitahuan ke wali siswanya”.
Hal tersebut didukung pernyataan dari Ibu AL pada wawancara
tanggal 15 September 2016 bahwa:
“Setelah dites IQ saya berdiskusi dengan GPK berdasarkan hasil
dan saran dari Puskesmas, kemudian memberi tahu orang tua
anak”.
Dengan demikian pembahasan yang dilakukan sekolah dalam
menanggapi hasil asesmen yang diperoleh anak dilaksanakan oleh
Guru Kelas, Guru Pembimbing Khusus dan Orang tua anak. Selain
sebagai dasar pertimbangan dalam membuat rencana pembelajaran
dan pelayanan bagi anak, namun juga mengupayakan agar selain
mendapatkan pembelajaran di sekolah, peran orang tua dirumah dalam
memberikan pengajaran tetap diutamakan agar anak tersebut benar –
benar dapat berkembang. Berdasarkan data di sekolah, dikarenakan
banyak anak yang mengalami gangguan kecerdasan maka upaya yang
sering dilakukan dengan meningkatkan jam pembelajaran, dan
penyesuaian pada RPP.
3) Tindak Lanjut Asesmen
Tujuan utama asesmen adalah untuk kepentingan penyusunan
program belajar ABK. Jika sekolahtelah mendapati gambaran dari
hasil asesmen, kemudian guru membuat rancangan pembelajaran bagi
ABK.
121
a). Perencanaan Pembelajaran
Pada tahap ini SD N Brengosan I akan menganalisa hasil
asesmen untuk menyesuaian dengan kurikulum yang digunakan.
Dikarenakan faktor hambatan yang ditemui sekolah adalah hambatan
pada kecerdasan, maka kurikulum yang digunakan menggunakan
model modifikasi sesuai karakter anak meyesuaikan tingkat
intelegensi anak. Jadi kurikulum yang digunakan sekolah sama
dengan kurikulum pada umumnya, hanya dimodifikasi saja.
Penyusunan RPP sendiri dilakukan oleh guru kelas dan GPK, namun
GPK hanya mendampingi. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Ibu
A pada wawancara 19 Oktober 2016 bahwa:
“Rencana pembelajaran itu saya dan guru kelas, jadi saya
hanya membimbing dan mendampingi guru kelas dalam
membuat RPP, karena kecenderungan RPP di sini
menurunkan indikator kesulitan, dilihat dari banyak ABK
yang mengalami hambatan kecerdasannya”.
RPP yang digunakan oleh guru kelas di SD N Brengosan I
kebanyakan menggunakan model terintegrasi. Hal tersebut
diungkapkan oleh Ibu Y pada wawancara tanggal 29 September
2016 yaitu:
“Kalau penyusunan RPP terintegrasi, RPPnya masih sama
jika yang saya buat, belum disendirikan. Karena kalau saya
sendirikan nanti repot mas”.
Peryataan tersebut didukung pernyataan dari Bapak SA pada
wawancara tanggal 15 September 2016 bahwa:
“...kami dalam perencanaan RPP, ada RPP yang di
modifikasi jadi RPPnya itu tujuannya sudah dibagi dua
122
untuk ABK dan reguler, dan itu sudah ada penurunan tingkat
kesukaran materi, dari kelas satu sampai kelas 5. Untuk kelas
6 kami tidak menurunkan kesukaran materi, karena agar kelas
enam bisa mengikuti ujian nasional semua. Karena untuk
naik masuk ke SMP inklusi itu disini masih jauh, kasihan
orang tua mereka. Karena kan jika sekolah sendiri yang
membuat ujian nanti anak tidak punya ijazah hanya STTD.
Dan saat mau melanjutkan ke SMP harus SMP inklusi dan itu
jauh, jadi kami justru takut kalau anak itu bisa putus sekolah.
Jadi kelas enam kami paksakan untuk sama rata, hanya kami
menurunkan nilai KKM sehingga mendekati ABK itu bisa
lulus, bisa KKM itu skor 2. Jadi ada mata pelajaran tertentu
itu kami menerapkan KKM itu bisa 1-2 karena untuk
mengawekani ABK itu agar bisa lulus”.
Hal tersebut diperkuat dengan hasil dokumen berupa RPP yang
dibuat oleh Ibu AL selaku guru Kelas III dan wawancara dengan
beliau pada tanggal 15 September 2016 bahwa :
“Saya menggunakan RPP yang terintegrasii. Tapi RPP yang
saya buat saya rasa belum mampu meningkatkan kemampuan
anak, jadi jika saya setarakan dengan anak nomal
kemungkinan gak bisa mengikut. Kalau RPP khusus ABK
juga dirasa belum mampu juga. Terkadang saya buat soal dua
macam yang satu normal dan satu abk. Tapi kadang
matematika saya turunkan angkanya”.
Hal ini menunjukkan kebanyakan guru mempunyai satu RPP
namun didalamnya memuat dua rumusan perencanaan yaitu untuk
siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus. Terdapat komponen
pembelajaran yang tidak dimodifikasi seperti rumusan Standar
Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD) dan alokasi waktu.
Komponen yang dimodifikasi terletak pada indikator pembelajaran,
tujuan pembelajaran, kegiatan inti, dan instrumen penilaian.
Modifikasi yang dilakukan pada penurunan tingkat kesukaran.
123
Kebijakan yang diterapkan sekolah adanya pengecualian
modifikasi RPP di kelas 6, agar semua anak baik reguler atau umum
dapat mengikuti ujian nasional dan mendapatkan ijazah. Selain itu
untuk memberikan akses yang luas dalam melanjutkan sekolah.
b) Pelaksanaan Pembelajaran
Tahap setelah menyusun RPP, guru melaksanakan
pembelajaran dan mengorganisasikan siswa berkebutuhan sesuai
rencana yang telah dibuat. Berdasarkan observasi yang dilakukan
diketahui jika proses belajar mengajar pada umumnya sama dengan
pengajaran reguler. Semua siswa berada dalam satu kelas dan
menerima penyampaian topik yang sama, ruang dan waktu yang sama,
namun untuk ABK ada pengurangan materi, pengulangan, dan
pendampingan baik oleh guru kelas atau GPK jika sedang masuk
kekelas. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Ibu A pada wawancara
tanggal 15 September 2016 yaitu:
“Pelaksanaan pembelajaran lebih ke guru kelas, dan saya
hanya mendampingi saja jika ada kesulitan”.
Pernyataan terebut didukung pendapat dari Ibu AL pada
wawancara tanggal 15 September 2016 bahwa:
“Kalau yang saya lakukan pengajaran dilakukan seperti pada
RPP yang saya buat, kadang diskusi, ceramah, atau dikte.
GPK kadang masuk kekelas III, biasanya mendampingi anak
yang tunagrahita. Kalau penempatan tempat duduknya saya
pisah antara ABK dan yang biasa, namun tetap tempat
duduknya berputar setiap minggunya”.
124
Pendapat tersebut diperkuat pernyataan dari Ibu Y pada
wawancara 29 September 2016 yakni:
“Kalau pengelolaan didalam kelas itu diajarkan sama dengan
yang umum, tapi ada tambahannya supaya tidak ketinggal
jauh dari temannya diberi jam tambahan. Dan tempat
duduknya dicampur tapi disendirikan yang ABK-nya.
Prestasi belajarnya juga jauh dibandingkan dengan anak
normal. Kalau ada tugas tetap kita dampingi tidak ditinggal”.
Hal tersebut diperkuat oleh hasil observasi yang dilakukan
peneliti pada tanggal 15 September 2016 bahwa pelaksanaan belajar
dilakukan dengan ceramah dan pendampingan oleh GPK terhadap
anak yang mempunyai hambatan kecerdasan cukup berat yaitu
tunagrahita. Sebelum memulai pembelajaran guru hanya menanyakan
kepada siswa apakah sudah siap, serta menyiapkan materi belajar.
Sedangkan saat usai pembelajaran terkadang guru akan memberikan
PR, dan anak akan melakukan bersih – bersih ruang kelas.
Penempatan tempat duduk antara siswa berkebutuhan dan reguler
diletakkan secara terpisah. Siswa ABK kelas III diposisikan dengan
siswa ABK dikelompokkan tersendiri, dan tetap ada rolling tempat
duduk. Sedangkan anak tunagrahita berada didepan meja guru dan
duduk sendiri untuk mempermudah pendampingan. Penempatan
tempat duduk ABK di kelas IV pun sama, dan menggunakan sistem
pergeseran tempat duduk setiap minggunya.
Pelaksanaan pembelajaran dikelas yang dilakukan oleh guru
sendiri juga mengalami kesulitan. Hal tersebut memang tidak dapat
125
dipungkiri karena, faktor anak berkebutuhan yang mempunyai
hambatan kecerdasan harus pelan- pelan khusunya slow learner.
Namun untuk tunagrahita dirasa sulit karena kemampuan anak akan
seperti itu terus. Banyak guru yang mengatakan jika kesulitan yang
dialami banyak dari segi prestasi dan memfokuskan anak, selain itu
juga terbatasnya GPK masuk kelas, membuat guru kelas kesulitan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Bapak SA pada wawancara 15
September 2016 yakni:
“Kekuranganya itu prestasi anak sulit untuk naik karena
terbebani oleh ABK itu. Guru-guru menjadi terkonsen ke
sana karena bercabang dua. Karena dalam itukan di katakan
anak inklusi harus mendapat perlakuan yang lebih banyak
atau khusus, jadi waktunya ya agak terserap kesana, sehingga
prestasinya yang lain agak terbebani, dan KKMnya juga
turun”.
Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan Ibu AL pada
wawancara 15 September 2016:
“Kekurangannya karena GPK hanya satu dan seminggu
hanya dua hari, jadi guru kelas itu tidak bisa mengikuti, fokus
anak yang ABK karena membaur kan dengan anak yang
normal. Jadi ya tidak bisa fokus untuk memberikan
pengajaran. Kaau saya memegang yang ABK nanti anak yang
normal akan ketinggalan”.
Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Ibu Y pada
wawancara 29 September 2016 bahwa:
“kalau kekurangannya prestasi, jadikan jika sekolah umum
dan sekolah inklusi itukan disamakan hasilnya. Jadi sekolah
inklusi yang banyak abknya tidak bisa meraih prestasi seperti
sekolah lain, karena sekolah inklusi lebih mengutamakan
pelayanan pada prinsipnya”.
126
Keadaan seperti itu merupakan hal yang umum dialami oleh
sekolah, dan menjadi tanggung jawab bersama dalam meningkatkan
kemampuan anak. Disamping kendala tersebut sekolah juga telah
berperan dalam memberikan pendidikan bagi anak yang
membutuhkan, dan sekolah sudah memaklumi. Hal tersebut
diungkapkan bapak SA pada wawancara tanggal 15 September 2016
yang mengatakan :
“Kemudian untuk kelebihannya kita bisa menolong mendidik
anak yang ditolak disana sini, biasanya anak yang ABK jika
disekolah umum atau tidak naik anak itu akan keluar dan
ditolak dibebrapa sekolah, nah disini kami bisa menerima.
Jadi kita bisa bersyukur kita bisa menolong anak yang
berkebutuhan khusus, kemudian kita juga bisa lebih
menghargai, tidak diskrimansi, memberikan pengetahuan
kepada anak anak lain untuk bisa lebih menghargai pada
ABK sehingga kita dengan adanya itu ya toleransi kita guru
dan anak bisa lebih tinggi”.
Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari Ibu Y pada
wawancara tanggal 29 September 2016 bahwa:
“Kalau kelebihan itu bisa menolong anak yang tidak bisa
diterima disekolah lain”
Proses pembelajaran yang dilakukan SD N Brengosan I dapat
dikatakan berjalan baik, banyak guru yang takut prestasi sekolah
turun. Salah satu upaya mengatasi dengan memberikan pengarahn
pada orang tua, penambahan jam belajar, memang pembelajaran
pada ABK di sekolah harus pelan- pelan. Salah satu kebijakan yang
diambil sekolah karena keterbatasan tenaga dan sarana adalah
menyarankan ABK yang memiliki ketunaan sedikit berat untuk
127
pindah ke SLB. Namun itu membutuhkan proses dan persetujuan
orang tua.
c) Pelaksanaan Evaluasi Belajar
Setelah proses pembelajaran untuk dapat memantau
perkembangan belajar anak dilakukan evaluasi atau melalui ulangan.
Evaluasi ini dilakukan setiap pembelajaran telah selesai dilakukan.
Standar dan alat penilaian yang diterapkan oleh guru menyesuaikan
kebutuhan anak terutama ABK. Evaluai ini dimaksudkan untuk
mengetahui apakah tujuan pembelajaran sudah tercapai, serta tindak
lanjut selanjutnya. Hal tersebut yang dikemukakan Ibu Y pada
wawancara 29 September 2016 bahwa:
“Model evaluasi yang dilakukan sendiri, contohnya kalau
misalnya matematika, MTK jika perkalian kalau yang anak
normal bilangannya besar tapi kalo ABK masih rendah
bilangannya. jika belum ada peningkatan nanti ada perbaikan,
itupun masih tetap saya dampingi, karena anaknya sulit
membaca dan tidak bisa memahami isi bacaan belum tahu
maksudnya. Nanti kalo dibiarkan nilainya bisa nol- nol terus
mas”.
Pernyataan trsebut didukung pernyataan dari Ibu AL pada
wawancara 15 September 2016 yaitu:
“...yang khusus inklusi hanya lisan, sedangkan saat pas
ulangan ya saya bacakan tapi kadang juga tidak bisa dan sulit
nyambung. Ada juga yang suruh milih pilihan ganda abc, itu
disilang semua. Evaluasinya saya kasih soal sendiri untuk yang
normal kalau yang abk ya lisan, jawabanya nanti saya tulis
baru bisa saya lakukan penilaian. Kalau lisan dia bisa
jawabnya, tapi kalau nulis itu disilang semua. hal itu dialami
oleh anak abk yang tunagrahita”.
128
Hal tersebut menunjukkan jika pelaksanaan evaluasi
disesuaikan dengan kondisi siswanya, terkadang siswa juga
mendapat pendampingan saat mengerjakan soal. Dikarenakan untuk
mengatasi ABK yang sulit membaca, menulis, atau yang terlalu
aktif. Hasil dari evaluasi akan diberitahukan kepada orang tua untuk
dapat melihat perkembangan yang diperoleh anak mulai dari tahap
identifikasi hingga evaluasi. Biasanya akan ada saran tindakan yang
diberikan oleh sekolah. Jadi terkadang orang tua ada yang berperan
aktif dalam proses identifikasi dan asesmen namun tidak semua
orang tua turut kooperatif dalam menangani anak. Hal tersebut
disampaikan Ibu AL pada wawancara 15 September 2016 bahwa:
“Orang tua itu tidak peduli dengan ABK-nya, dianjurkan ke
SLB orang tua masih tidak mau mendukung, pokoknya saya
titip anak saya gak naik tidak papa asalkan tidak ke SLB.
Tapikan kemampuan anak itu ya seperti itu terus dinaikkan ke
kelas empat pun juga sama, soalnya ingatannya supa lupa”.
Pendapat didukung oleh pernyataan dari Ibu Y pada
wawancara 29 September 2016 yang mengatakan:
“Sebenarnya orang tua dilibatkan, tapi orang tauanya tidak
mau tahu. Sudah diberitahu kalo anaknya dibimbing dirumah,
tapi nyatanya tidak dibimbing katanya kula nderek ibu mawon
saya sudah tobatme ngajari. Jadi semuanya diserahkan ke
sekolah. Jadi kalau dirumah tidak ada bantuan orang tua
manabisa berkembang”.
Pendapat tersebut diperkuat oleh Bapak SA pada wawancara
tanggal 15 September 2016 bahwa:
“Sudah,orang tua itu sudah mendukung hanya mendukungnya
itu dalam bentuk kerjasamanya yang bagus, hanyasaja untuk
diarahkannya karena misalnya hasil asesmen guru- guru itu
anak itu sudah diberi pelajaran inklusi itu sulit diarahkan untuk
129
dipindahkan ke SLB itu sulit itu susah. Jadi kalau diajak
wawancara itu mudah, hanya saat diarahkan disuruh
menyesuaikan kemampuan anak untuk pindah ke SLB itu sulit,
bilangnya sudah disini aja, tidak naik tidaak apa-apa begitu.
Jadi mungkin dari orang tua itu imagenya jika sekolah di SLB
itu kurang. Kami sarankan kalau yang banget –banget itu untuk
ke SLB tapi orang tuanya susah atau tidak mau, tapi ada juga
orang tua yang mau untuk pindah tapi itu butuh proses
panjang. Pemberitahuan hanya kami wawancara lisan dan
menunjukkan hasil ulangan anak, kemudian kemungkinan
perkembangan kedepan anak, dan kami beri waktu jika
sekarang belum berkenan, satu dua bulan atau beberapa tahun
lagi, jika hasilnya masih kurang ya bagaimana lagi harus
kesana tapi ya prosesnya itu sulit”
Hal tersebut menunjukkan jika karakter orang tua berbeda-
beda, pengarahan yang dilakukan sekolah setelah mendapat hasil
assessmen dan evaluasi ini untuk mengetahui dan menyesuaikan
kemampuan anak. Namun ada beberapa anak yang sudah mendapati
perkembangan dari proses belajar mengajar di SD N Brengosan I
kemajuan yang diperoleh rendah. Hal tersebut diungkapkan oleh Ibu
I pada wawancara 6 November 2016 bahwa:
“Saya rasa nilai anak saya sekarang tidak beda jauh dengan
nilai anak lainnya, dan perkembangan yang saya rasakan
sekarang anak sudah lebih peka, bisa membaca, menulis dan
tanggungg jawab”.
Perkembangan yang dirasakan orang tua sudah lebih baik
setelah diberikan pengajaran dan pendampingan di sekolah. Anak
yang diputuskan mengalami slow learner kini sudah mulai
berkembang, hanya kurang di pelajaran matematika. Pembelajaran
untuk anak slow learner meang harus pelan, namun untuk anak yang
tunagrahita atau ketunaan yang cukup berat sekolah mempunyai
130
kebijakan sendiri. Dilihat dari keterbatasan tenaga serta hasil tes
yang diperoleh anak, jika anak sulit berkembang akan ada arahan
untuk dirujuk ke SLB. Akan tetapi karena berbagai alasan ada orang
tua yang tidak berkenan, dan upaya sekolah dalam menanggapinya
dengan menunggu serta tetap menerima keadaan anak. Guru akan
tetap memantau secara berkala perkembangan ABK dikelas. Hal
tersebut untuk mengantisipasi jika anak keluar sekolah justru putus
sekolah.
4) Pelayanan Pendidikan Khusus
Sekolah mengupayakan setelah dilakukan identifikasi/asesmen
dan pembelajaran di kelas, membentuk sebuah pelayanan khusus
berupa jam tambahan belajar bagi ABK. Didasarkan pada keberadaan
ABK yang belajar kebanyakan mengalami gangguan kecerdasan,
selain memberikan pengajaran bersama dengan teman lainnya.
Sekolah tetap memberikan waktu tambahan belajar khusus bagi ABK
pascapembelajaran kurang lebih 30 sampai 60 menit untuk mengulang
dan menguatkan materi yang diterima dan sulit dipahami anak. Hal ini
disampaikan bapak SA pada wawancara 15 September 2016 bahwa:
“Sebatas pengulangan materi, tambahan kalau disinag hari
sekitar 1-1/2 jam ada pengulangan materi pada ABK supaya
tidak kebingungan dan diakhir pelajaran. Itu hanya tinggal ABK
yang mendapat pendalaman materi”.
Hal tersebut didukung pendapat Ibu A pada wawancara 15
September 2016 yakni:
131
“Pelayanan pendidikan khusus hanya pemberian tambahan jam
belajar, dan guru kelas ada yang seperti itu mas, tapi ya itu
kesadaran sih mas, kalau saya ingin ngopyak opyak tidak enak
gitu mas”.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Ibu Y pada wawancara 29
September 2016 yang mengatakan:
“Pelayanan pendidikan khusus hanya penambahan jam belajar,
dan pelaksanaanya tidak tentu tapi setelah pulang pelajaran
khusus ABKnya. Tapi kadang kalau teman ABK lainnya sudah
pulang , mereka ikut gelisah ingin pulang. Jadi hanya sebentar.
Itupun responya, ada satu anak yang tidak mau dengan pelajaran
yang diberikan, responya sulit. Dia itu mudah lupa, suka
bengong, kalau ditanya atau diingatkan menunduk”.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui jika sekolah
tetap mengupayakan pelayanan pendidikan yang maksimal bagi anak.
Salah satunya dengan memberikan pelayanan khusus berupa
penambahan jam belajar siswa. Sehingga pembelajaran yang diperoleh
anak tidak akan lupa. Selanjutnya peran orang tua dirumah yang akan
turut memantau belajar anak. Sehingga pembelajaran tidak akan
berjalan disekolah saja, namun dirumah anak tetap berjalan. Senada
dengan yang diungkapkan Ibu I selaku wali yang turut memantau dan
mengelola belajar anak dirumah pada wawancara tanggal 6 November
2016 bahwa:
“Kalau saya, sekarang setiap hari tetap saya ingatkan harus
belajar, sudah ada perkembangan dibanding kemarin. Kemudian
kita lihat juga hasil ulangan anak,untuk saat ini sudah lumayan
bisa menulis, dibanding dahulu kelas satu yang tidak mau
menulis, tapi kalau matematika masih pelan-pelan, yang penting
membaca menulis itu dulu mas. Kalau pengelolaan dirumah
kadang saya paksa, tapi tergantung juga dari mod anak sendiri,
kadang dia yang meminta untuk diajari. Tanggung jawab
sekolah sekarang sudah tinggi dibanding sebelumnya.”
132
Dengan demikian hubungan antara orang tua dan sekolah dalam
memantau perkembangan belajar anak sudah berjalan, namun tidak
semua. Jam tambahan belajar yang dilakukan sekolah belum semua
guru menjalankan setiap harinya, oleh karena itu peran orang tua
dirumah tetap diperlukan. Hal itu untuk menghindari proses
pembelajaran yang hanya berakhir saat disekolah selesai, sehingga
ABK dapat lebih berkembang.
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan
Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY.
Didalam penerapan kebijakan pengelolaan asesmen ABK yang
dilakukan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga hingga pada
pengelolaannya disekolah tentu tidak lepas dari berbagai kendala dan
dukungan. Banyak faktor yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan
tersebut. Seperti halnya yang dikemukakan Bapak P pada wawancara 6
September 2016 yang mengatakan:
“Kemampun guru atau kekurangan guru itu sendiri pertama kurang,
kedua mereka belum tahu dan perlu dilatih. Seperti yang pernah
disampikan bapak Rochmat Wahab sekarang ini ada materi PLB
sekian SKS masuk dalam mata kuliah di setiap prodi UNY juga
menjadi faktor pendukungnya. GPK alokasi waktunya hanya 2 hari,
dengan 4 hari di SLB. Itupun di slb ditinggal 2 hari juga kewalahan.
Faktor penghambat lainnya seperti jumlah sekolah inklusi kan sekian
banyak, jadi kendala yang sering ditemui di penganggarannya.
Mungkin juga kendalanya jumlah sekolah itu sekian dan kita hanya
bisa melaksanakannya tidak semua kena hanya sekitar 80 saja.
Selain itu termasuk didalamnya pengalokasikan pembinaan sekolah
oleh dinas kota dalam membina sekolah inklusi belum maksimal” .
Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari bapak S pada
wawancara 9 September 2016 bahwa:
133
“Faktor penghambatnya itu pemahaman terhadap kebijakan
pendidikan inklusi belum semua dipahami guru reguler. Jadi mereka
beranggapan jika siswa inklusi itu akan menghambat prestasi
sekolah. Perumpamaanya seperti ini anak lambat belajar ini kalau
diiterima disekolah akan mengurangi rata rata prestasi sekolah kami.
Padahal kebijakan di pemerintah pusat itu ada peningkatan mutu /
kualitas akademik dan non akademik dan peningkatan akses, semua
warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dan dua kebijakan
itu yang kadangkala belum sinkron, jadiyaa bukan penghambat
cuman butuh pemahaman saja. Kalau pendukungnya pemahaman
tentang pendidikan inklsui sudah mampu diaksses oleh setiap
masyarakatnya”.
Faktor penghambat yang dirasakan Dinas Pendidikan mengacu pada
permasalahan dalam peningkatan akses dan mutu. Berdasarkan beberapa
pernyataan tersebut dapat diketahui jika kendala yang dialami kebanyakan
dari faktor kemampuan guru dalam hal pendidikan dan pelayanan ABK masih
kurang, diperbantukan GPK dari Dinas juga dirasa belum mampu.
Dikarenakan sekolah inklusi yang ada berbanding terbalik dengan
ketersediaan GPK yang diambil dari SLB. Upaya yang dilakukan oleh Dinas
dengan membentuk pelatihan juga belum mampu diterima oleh guru- guru
reguler. Hal tersebut membuat kemampuan guru reguler dalam melayani
ABK khususnya proses identifikasi dan asesmen cukup terganggu dan
tergantung pada keberadaan GPK. Kebanyakan sekolah hanya terbatas
mengikuti pelatihan yang disediakan oleh Dinas terkait.
Faktor pendukung dalam implementasi kebijakan asesmen ini dalam
penerapannya di sekolah inklusi sudah mendapat dukungan dengan adanya
pemberian materi PLB pada perkuliahan yang mencetak tenaga guru.
Sehingga masalah pemahaman guru kedepannya dapat lebih luas dan siap jika
menangani ABK. Apabila GPK terbatas guru sudah mampu menangani ABK
134
tersebut. Pemahaman masyarakat terkait pendidikan inklusi saat ini sudah
dapat diketahui serta diakses setiap masyarakat.
Selain faktor pendukung dan penghambat pada tingkatan Dinas
Pendidikan, implementasinya disekolah sendiri tidak lepas dari berbagai
macam hal. Pernyataan tersebut diutarakan oleh pendapat Bapak SA pada
wawancara tanggal 15 September 2016 yaitu :
“Kalau faktor pendukungnya yaitu orang tua siswa kooperatif bisa
diajak untuk bermusyawarah, gurunya juga sabar, pihak puskesmas
juga bisa menerima kami dengan enak, kalau kekurangannya kami
sebatas pengetahuannya, kami guru –guru tidak lulusan SLB,
kebanayakan hanya PGSD. Jadi untuk keabkan hanya diberikan saat
ada pelatihan. Jadi ya hanya tahu sedikit sebatas mengisii blangko
untuk membuat hasil atau menentukan dari isian itu diputuskan
kebkan anak itu mungkin kurang maskimal. Jadi pengetahuan tentang
keabkan hanya sebatas jika ada pelatihan”
Faktor pendukung pelaksanaan asesmen di SD N Brengosan
Idiantaranya sudah terbantu dengan adanya Puskesmas. Ketersediaan tenaga
yang profesional dan jarak yang dekat membantu sekolah dalam
melaksanakan assessmen bagi anak didik. Selain itu pemahaman masyarakat
terkait pendidikan inklusi sudah tinggi, dalam bekerja sama pelaksanaan
asesmen disekolah sudah terlibat.
Faktor yang menjadi penghambat banyak dalam bentuk kerjasama
yang diberikan orang tua, tidak semua orang tua mengisi instrumen yang
diserahkan oleh sekolah sesuai kenyataan. Beberapa orang tua cenderung
menutupi keadaan siswanya, dan menyulitkan guru dan sekolah dalam
mengumpulkan informasi terkait proses identifikasi dan asesmen. Hal
135
tersebut seperti yang diungkapakan Ibu A pada wawancara 15 September
2016 bahwa:
“Kalau faktor pendukungnya yaitu instrumen sudah ada, sedangkan
kalau faktor penghambat kadang orang tua itu mengisikan instrumen
itu tidak sesuai apa kenyataan kadang orang tua itu yang malu atau
bagaimana, cenderung menutupi. Jadi instrumen saya tujukan ke
orang tua. Kadang saat saya memberikan intrumen itu, orang tua
mengisi tidak seperti apa yang saya lihat gitu lho mas. Itu
menghambat pengumpulan informasi, ada lagi orang tua yang
pemahamanya juga kurang untuk memahami apa maksud dari yang
saya inginkan, jadi terkait assessmen itu juga perlu pemahaman mas,
kalau orang tua tidak mampu ya bagaimana lagi”.
Pernyataan tersebut didukung oleh Ibu AL pada wawancara tanggal
15 September 2016 yang mengatakan:
“Pendukungnya hanya dari pihak puskesmas sudah kooperatif
dengan sekolah, dan pemerolehan informasi oleh orang tua saya rasa
cukup baik walaupun ada beberapa yang belum sesuai dengan
kenyataaan. Kalau penghambatnya itu peran orang tuanya, jadi orang
tuanya itu yang kurang peduli dengan kemampuan anaknya, dan ada
orang tua yang sama dengan kemampuan anaknya”.
Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Ibu Y pada wawancara 29
September 2016 bahwa:
“Kalau penghambatnya ini orang tua itu hanya sesuatunya itu
menyerahkan pada sekolah. Dirumah tidak ditangani bagaimnanya
tidak. Soalnya diberi PR tetap berangkat masih utuh, tidak diajari oleh
orang tua. Kan orang tuanya banyak yang kurang mampu, banyak
yang SD, dan kalau pelajaran dikelas tinggi kurang mampu. Kalau
mengisi blangko itu tidak disi semua, ngisinya tidak sesuai
pengamatan saya dan diiisi yang bagus bagus saja kebanyakan.
Pendukungnya pihak Puskesmas yang kooperatif”’.
Melihat keadaan yang dialami beberapa guru dalam menerapkan
proses identifikasi dan asesmen tersebut, akan menghambat pengumpulan data
sebagai dasar penetapan ABK sementara dan rujukan ke Puskesmas. Peran
136
guru kelas atau sekolah dalam hal ini perlu untuk meningkatkan komunikasi
dan arahan kepada orang tua agar dapat lebih kooperatif. Jika melihat dari hal
tersebut banyak faktor yang mempengaruhi implemantasi kebijakan
pengelolaan asesmen ABK di sekolah inklusi baik oleh Dinas maupun sekolah
itu sendiri.
C. Pembahasan
1. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK sekolah inklusi di
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY
Kebijakan menurut pendapat James E. Anderson (dalam Sudiyono,
2007: 4). mengatakan jika suatu kebijakan merupakan tindakan yang
mempunyai tujuan, diikuti oleh sekelompok orang, organisasi atau individu
guna menyelesaikan permasalahan yang ditemui. Implementasi kebijakan
merupakan seluruh tindakan yang dilakukan untuk merealisasikan tujuan
kebijakan. Implementasi kebijakan memiliki beberapa tahapan yang harus
dilakukan agar sesuai dengan tujuan kebijakan, Lineberry (dalam Sudiyono ,
2007: 80) menyatakan bahwa implementasi mencakup beberapa tahap-
tahap, yaitu membuat dan menyusun staf , menerjemahkan tujuan legislatif
dan secara sungguh – sungguh memasukkannya dalam aturan pelaksanaan,
mengembangkan panduan atau kerangka kerja bagi pelaksana kebijakan.,
melakukan koordinasi terkait sumber daya dan pembiayaan, dan
mengalokasikan sumber daya untuk mendapatkan dampak kebijakan.
Dinas Pendidikan tentu saja harus melewati tahapan tersebut untuk
dapat mengatasi permasalahan dan menerapkan kebijakan pengelolaan
137
asesmen yang ada disekolah inklusi melalui beberapa penerapan. Berikut
pembahasan dari hasil penelitian tentang tahapan, hasil, dan penerapananya.
a. Membuat dan Menyusun Staf atau Agen
Tahap ini mempunyai tujuan untuk menyusun agen guna
melaksanakan kebijakan yang akan dilaksanakan. Memeprsiapkan agen
pelaksana kebijakan yang dibuat. Pada tahap ini setiap lembaga dibagi
kewenangannya dalam mengelola pendidikan reguler dan khusus.
Kebijakan terhadap pemenuhan pendidikan bagi penyandang kebutuhan
khusus telah diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi DIY No 4 tahun
2012 tentang perlindungan penyandang disabilitas. Berdasarkan UU
No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka pengelolaan
pendidikan khusus merupakan kewenangan Provinsi, yang bertugas
dalam bidang pendidikan. Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman berupaya
memenuhi pendidikan anak berkebutuhan khusus tersebut melalui
pendidikan inklusi yang mengacu pada Permendiknas No. 70 tahun 2009
dan Peraturan Gubernur DIY No.21 tahun 2013 tentang
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Hal itu juga mengacu pada
kewajiban Kabupaten/ Kota yang harus mengelola pendidikan reguler di
wilayahnya.
Penerapanya di Provinsi DIY dibagi dalam dua bagian.
Pengelolaan sekolah inklusi yang berada di Dinas Pendidikan Kabupaten,
dan pengelolaan SLB yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga Provinsi DIY. Agen kebijakan tersebut akan tetap terikat
138
dalam mengatasi permasalahan yang terjadi. Dinas Pendidikan Pemuda
dan Olahraga Provinsi DIY sebagai pembina bagi Dinas Pendidikan
Kabupaten serta lebih mengetahui tentang kebijakan PLB.
Sedangkan Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman sebagai
pelaksana, yang akan meneruskan kebijakan daripusat dan mengelola
pendidikan diwilayahnya, untuk dapat dilaksanakan sekolah sebagai
sasaran kebijakan. Sehingga antara dua lembaga pendidikan tersebut
mempunyai hubungan dalam melaksanakan, mengelola pendidikan yang
ada dari provinsi ke daerah lainnya. Namun tetap yang mengelola secara
penuh pendidikan inklusi adalah Kabupaten/ Kota itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan diatas penyusunan agen yang dilakukan
Dinas Pendidikan terkait sudah sesuai dengan teori Lineberry. Pada tahap
tersebut dijelaskan bahwa dilakukan dengan cara membuat dan
menyusun staf suatu agen baru guna melaksanakan sebuah kebijakan
baru (Lineberry dalam Sudiyono, 2007:80). Sehingga dalam
penerapannyadapat meminimalisir terjadinya miss atau kurang persiapan
b. Mengembangkan Kerangka Kerja
Tahap ini menurut Lineberry adalah untuk menerjemahkan tujuan
legislatif dan secara sungguh – sungguh memasukkannya dalam aturan
pelaksanaan, mengembangkan panduan atau kerangka kerja bagi
pelaksana kebijakan. Tahap ini mencoba untuk menjabarka setiap tujuan
kebijakan untuk dapat dikembangkan lagi menjadi sebuah pedoman
kerja.
139
Didalam penerapannya dilakukan melalui penunjukkan yang
dikeluarkan olah Kepala Bupati atau Dinas Pendidikan untuk
menjalankan pendidikan inklusi dan menyebarkan petunjuk teknisnya
melalui modul. Keputusan Penunjukkan Inklusi di Kabupaten Sleman
sendiri tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sleman No. 245 tahun 2012
menetapkan bahwa dalam rangka peningkatan kualitas dan akses
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus melalui sekolah pendidikan
inklusi. Penetapan keputusan tersebut menjadi panduan atau petunjuk
bagi sekolah sebagai sasaran kebijakan yang melaksanakan pendidikan
inklusi.
Aturan tersebut kemudian dikembangkan menjadi bentuk
komitmen bersama di Provinsi DIY, bahwa setiap sekolah umum di DIY
wajib menerima ABK sebagai kota anti-diskriminasi. Didalam
pelaksanaanya Surat Keputusan tetap digunakan sebagai acuan
pelaksanaan dan syarat dalam mengajukan bantuan operasional.
Walaupun tidak ada regulasi secara khusus, namun Sleman tetap
berkomitmen bahwa pendidikan inklusi tetap dapat jalan, karena sudah
mengacu ke kebijakan pusat. Setiap kebijakan pusat merupakan pedoman
dalam mengembangkan aturan pelaksanaan yang dibuat Dinas
Pendidikan di Provinsi DIY terhadap sekolah sebagai sasaran kebijakan.
Aturan pendidikan inklusi yang mengatur tentang seperti
140
pembelajarannya, pengelolaan ABK, sumber –sumber pendukung, serta
proses identifikasi atau asesmennya.
Berdasarkan penjelasan diatas penyusunan kerangka kerja yang
dilakukan Dinas Pendidikan terkait sudah sesuai dengan teori Lineberry
(dalam Sudiyono, 2007:80) Pada tahap tersebut dijelaskan bahwa
dilakukan dengan cara mengembangkan kerangka kerja berdasarkan
kebijakan pusat agar dapat dilakukakn pelaksana dan sasaran kebijakan.
Panduan tersebut sudah digunakan menjadi acuan dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusi.
c. Melakukan Koordinasi terkait Sumber Daya dan Pembiayaan
Pada tahap ini dilakukan koordinasi terkait sumberdaya dan
pembiayaan untuk kelompok sasaran, pengembangan dan pembagian
tanggung jawab antar agen. Proses pembelajaran pendidikan inklusi pada
dasarnya sama dengan sekolah reguler lainnya, hanya saja ada perubahan
pada karakter siswanya, modifikasi di kurikulum sesuai kebutuhan anak,
serta guru pendamping khusus. Guru pendampig khusus (GPK)
merupakan sumber daya manusia yang bekerja langsung mendampingi
anak berkebutuhan khusus, memahami karakter anak, dan penanganan
yang baik dan sesuai di sekolah. Seiring perkembangan waktu
permintaan GPK dari sekolah inklusi terus bertambah. Pengelolaan GPK
di Daerah Sleman berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga DIY dalam memenuhi permintaan GPK.
141
Jadi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Sleman masih
meminta bantuan dari Dinas Provinsi terkait pemenuhan GPK, belum
secara khusus mencari lulusan PLB untuk ditugaskan menjadi GPK
honorer di sekolah inklusi. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY
sendiri telah mengirim 138 GPK ke sekolah inklusi yang sudah lama atau
sudah mendapat SK penunjukkan, dan masih ada beberapa sekolah
inklusi belum memiliki GPK. Hal tersebut menunjukkan jika Dinas
Pendidikan Kabupaten/ Kota masih ada yang belum berupaya untuk
merekrut tenaga guru PLB yang dapat menjadi GPK di sekolah inklusi.
Peran GPK dalam pendidikan inklusi memang penting, untuk membantu
siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas secara penuh.
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa anggaran
pembiayaan yang digunakan dalam pendidikan inklusi bersumber dari
APBD, BOSNAS, BOSDA, dan BOSKAB. Anggaran tersebut
dipergunakan untuk mengadakan pelatihan – pelatihan, dan membantu
sarana – sarana untuk sekolah inklusi. Hal tersebut sudah sesuai dengan
tahapan implementasi kebijakan yang dinyatakan oleh Lineberry dalam
tahap koordinasi sumber daya dan pembiayaan, bahwa Dinas Pendidikan
berupaya memaksimalkan anggaran yang diperoleh untuk menunjang
keberlangsungan pendidikan inklusi, pemberian bantuan sarpras, maupun
dalam pelaksanaan asesmen, serta penguatan SDM untuk mengatasi
minim.
142
Berdasarkan penjelasan diatas koordinasi SDM dan pembiayaan
sudah dilakukan Dinas Pendidikan terkait sudah sesuai dengan teori
Lineberry. Koordinasi terkait sumberdaya dan pembiayaan untuk
kelompok sasaran, pengembangan dan pembagian tanggung jawab antar
agen. Koordinasi dilakukan antara Dinas Pendidikan Provinsi dengan
Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota.
d. Pengalokasian Sumber Daya
Tahapan dalam mengalokasikan sumber daya ini untuk
mendapatkan dampak penerapan kebijakan. Suatu proses pendidikan atau
pembelajarannya tidak akan lepas dari peran serta guru, murid,
kurikulum dan fasilitas. Berdasarkan hal tersebut, guru memegang
peranan penting dalam proses pembelajaran. Guru merupakan tenaga
pendidik yang mempunyai tugas untuk membimbing, membelajarkan,
dan melatih peserta didik. Guru harus mampu untuk memberikan materi
atau bimbingan dalam pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak yang
dapat dilakukan melalui proses asesmen baik di sekolah umum (inklusi)
atau sekolah luar biasa. Guru kelas akan melaksanakan tugasnya bersama
dengan guru pendamping khusus (GPK).
Hal ini untuk menyeimbangkan pengetahuan tentang kekhususan
pada ABK yang belum secara penuh dipahami beberapa guru kelas.
Kebijakan terkait GPK masih bersumber dari DISDIKPORA Provinsi
DIY, sehingga pengalokasian GPK tersebut bersumber dari tenaga yang
ada di SLB, untuk diperbantukan di sekolah inklusi, namun tidak bisa
143
memenuhi semua permintaan sekolah inklusi, dikarenakan SLB justru
akan kekurangan guru atau bahkan tutup.
Jadi sumber daya guru di SLB sendiri terbatas, perbandingan
antara SLB dengan sekolah umum sangat jauh, dan tidak semua sekolah
inklusi mampu. Apabila guru di SLB dipinjamkan ke sejumlah sekolah
inklusi, dampak yang ditimbulkan adalah siswa SLB akan tertinggal
bahkan SLB akan tutup. Kabupaten/ Kota sendiri beberapa saja yang
sudah memapu memberikan GPK ke tiap sekolah, sedangkan dari
Kabupaten Sleman masih bergantung pusat, sehingga sulit terpenuhi.
Seorang GPK berperan dalam memberikan bimbingan yang
berkesinambungan, dan melaksanakan pengelolaan asesmen disekolah
bersama guru kelas. Asesmen menjadi proses awal dari pembelajaran
inklusi untuk mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus dengan
anak normal meningkatkan potensi, dan meminimalisir kelemahan pada
anak. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam menyusun rencana
pembelajaran, penanganan, pelayanan dan pembimbingan kepada ABK..
Didalam pelaksanaannya asesmen dilakukan jika telah dilakukan
proses identifikasi terhadap anak berkebutuhan khusus. Secara khusus
asesmen merupakan penyaringan, dengan mengumpulkan informasi lebih
rinci. Asesmen harus diberikan oleh lembaga yang kompeten, jika
asesmen dilakukan oleh orang yang tidak berkompeten nanti menyangkut
harga diri orang tua. Namun jika dikeluarkan salah satu lembaga yang
144
sudah menjadi profesi seperti rumah sakit, atau psikolog, itu sudah
profesional.
Jika asesmen khususnya bagian psikologis tidak bisa dilakukan
oleh guru kelas, atau guru pendamping kelas (GPK). Sedangkan alokasi
GPK masih terbatas dan pengetahuan guru reguler juga terbatas, maka
pelayanan pendidikan inklusi akan kurang optimal. Disisi lain yang
berhak melakukan hanyalah seorang pakar dibidangnya, sekolah tidak
memiliki tolak ukur dalam penanganan ke PLB- an. Guru tidak bisa
melakukan asesmen yang menyangkut besaran IQ seorang anak dan
minim pengetahuan PLB. Hal tersebut menunjukkan jika seorang guru
kelas harus mempunyai pengetahuan tentang asesmen ABK, atau
keinklusiannya.
Langkah kebijakan yang diambil Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga Provinsi DIY dalam mengatasi dampak yang ada, maka hasil
dari kebijakan pengelolaan asesmen ABK yang diterapkan oleh Dinas
Pendidikan terkait adalah:
1) Mengadakan Pelatihan Asesmen
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di DIY berupaya
memberikan pelatihan bagi guru reguler untuk mengikuti pelatihan
yang berkaitan dengan pengelolaan asesmen dan keinklusian. Khusus
pelatihan assessmen masih dilakukan oleh Dinas Pendidikan Pemuda
dan Olahraga Provinsi DIY, sedangkan pelatihan asesmen di
Kabupaten Sleman terintegrasi dengan materi inklusi. Pelatihan
145
tersebut dilakukan untuk memberikan pengetahuan kepada guru
reguler dalam mengelola pelaksanaan asesmen di sekolah, namun
bukan asesmen pada tingkat psikologinya. Pelatihan tersebut untuk
meminimalisir kekurang mampuan guru dalam bidang pelayanan
ABK karena guru reguler kebanyakan dari jurusan PGSD bukan PLB.
Selain itu untuk mempersiapkan guru agar tidak tergantung dengan
GPK, dan dapat memberikan apa yang didapat kepada rekan guru
lainnya.
2) Menjalin mitra kerja dengan lembaga rerkait
Pemerintah DIY bekerja sama dengan pihak – pihak terkait
guna membantu terlaksananya program pelatihan serta pelaksanaan
asesmen disekolah. Baik dari bidang akademis seperti Perguruan
Tinggi, dan bidang Kesehatan seperti Puskesmas, Dinas Kesehatan.
Sesuai Permendiknas No.70 Tahun 2009 Penyelenggaraan Pendidikan
Inklusif (PENSIF) pasal 11 bahwasanya satuan pendidikan
penyelenggaraan pendidikan inklusif berhak memperoleh bantuan
operasional sesuai dengan kebutuhan dari pemerintah, dengan
membentuk jaringan kerja sama dengan organisasi profesi, rumah
sakit, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya.
Pihak akademis tersebut berperan sebagai pembina akademik,
konsultan, atau narasumber.
Pihak kesehatan yang menjalin kerja dengan Dinas Pendidikan
Kabupaten Sleman umumnya Puskesmas ditiap kecamatan. Sebagai
146
pihak yang memiliki tolak ukur dalam melakukan asesmen, dan
dipandang lebih berkompeten di bidang psikiologis dalam melakukan
asesmen. Pemberian pelatihan dilakukan untuk memberikan bekal
pengetahuan tentang pengelolaan asesmen, kelemahan yang dimiliki,
serta penangananya. Hal tersebut penting karena, keahlian sekolah
untuk ke PLB-an masih kurang, mereka tidak bisa termasuk
didalamnya standar tes pengukuran psikologi.
Puskesmas dianggap mempunyai jarak yang tidak terlalu jauh
dengan keberadaan sekolah- sekolah inklusi di Kabupaten Sleman,
dibandingkan dengan Rumah Sakit yang terpusat di Kota. Persebaran
Puskesmas sendiri saat ini dirasa masih minim yang mempunyai pakar
psikologinya. Hanya 15 Puskesmas dari 27 Puskesmas di Kabupaten
Sleman yang mampu melakukan asesmen psikologis. Pemilihan
Puskesmas dirasa lebih ringan dibandingkan Rumah Sakit dalam hal
pengeluaran biayanya dan dapat memperpendek alur pengelolaan
asesmen.
3) Membentuk Lembaga Khusus
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di DIY membentuk
sebuah lembaga khusus yang bertujuan membantu pelaksanaan
pendidikan inklusi ditiap daerah melalui Pusat Sumber dan Sub Pusat
Sumber. Pembentukan lembaga tersebut berdasarkan Surat Keputusan
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY No. 0131 Tahun
2013 tentang Pembentukan Sub Pusat Sumber di DIY. Beserta Surat
147
Keputusan Gubernur DIY No. 41 tentang Pusat Sumber dan Surat
Keputusan Gubernur DIY No. 91/ Kep/ tahun 2015 tentang
Pembentukan Anggota Pusat Sumber Pendidikan Inklusif. Tujuan dari
lembaga tersebut adalah untuk
- Menjalin kemitraan dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/
Kota, sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, dan atau
lembaga lain yang bergiat dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusi di masing wilayah
- Menyediakan layanan pendidikan khusus bagi sekolah
inklusi
- Menyediakan layanan assessmen fungsional dan akademik
- Menyediakan layanan konsultasi
Pusat Sumber dan sub pusat sumber tersebut dapat membantu
mengatasi permasalahan di sekolah inklusi, baik berupa konsultasi,
bantuan sarpras, pelatihan, dan pelaksanaan asesmen. Lembaga ini
dapat menjadi rujukan jika sekolah akan mengadakan asesmen bagi
ABK. Namun saat ini Pusat Sumber dan Sub Pusat Sumber belum
mampu dimanfaatkan oleh sekolah inklusi, dikarenakan kurang
adanya sosialiasasi dan letaknya yang berjauhan.
Berdasarkan penjelasan diatas pengalokasian SDM untuk
mendapatkan dampak dari penerapan kebijakan yang dilakukan Dinas
Pendidikan terkait sudah sesuai dengan teori Lineberry (dalam Sudiyono, 2007:
80). Pengalokasian GPK yang terbatas memunculkan kebijakan baru yaitu : 1)
148
pengadaan pelatihan guru SPPI; 2) menjalin mitra kerja dengan lembaga
terkait; dan 3) membentuk lembaga khusus. Hal tersebut untuk mendukung
pelaksanaan asesmen dan pembelajaran di sekolah inklusi, dikarenakan
terbatasnya GPK.
e.Pengelolaan Asesmen di Sekolah Inklusi
Implementasinya di sekolah sendiri sudah dapat dilakukan, SD Negeri
Brengosan I sebagai salah satu sekolah inklusi di Sleman sudah menerapkan
kebijakan inklusi dan pengelolaan asesmen ini. Namun masih belum bisa
maksimal dan memenuhi target. Secara pembelajaran, setiap anak di sekolah
sudah ditempatkan pada ruangan yang sama antar anak yang lain. Hal tersebut
sesuai dengan Staub dan Peck dalam Budiyanto (2014: 4) menyebutkan bahwa
pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan
berat secara penuh di kelas untuk mengikuti pembelajaran dalam lingkungan
pendidikan yang sama. Sedangkan upaya dalam memenuhi kebutuhan belajar
anak sudah dilakukan melalui beberapa penyesuaian dalam pembelajaran,
yang dihasilkan dari proses sistematis melalui identifikasi dan assessmen.
Pengelolaan asesmen yang dilakukan SD N Brengosan dilakukan
melalui beberapa tahapan yakni perencanaan, pelaksanaan asesmen, tindak
lanjut, dan pemberian pelayanan khusus.
a. Perencanaan Pelaksanaan Asesmen
Proses Perencanaan asesmen yang dilakukan sekolah dengan
mengkoordinasikan beberapa pihak yang akan terlibat didalamnya serta
waktu pelaksanaan. Pihak yang terlibat diantaranya seperti Kepala
149
Sekolah, Guru Kelas, Guru Pendamping Khusus, Orang tua dan Psikolog.
Sekolah telah merencanakan pelaksanaan asesmen setiap tahun ajaran baru
dimulai tepatnya saat masuk kelas I (satu). Proses tersebut akan berlanjut
hingga kelas selanjutnya dan dirasa sudah tidak mengalami hambatan
belajar lagi.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa strategi asesmen yang
diterapkan sekolah adalah Static Assessment Procedure (SAP), sebagai
proses asesmen yang konvensional karena terkait aspek yang telah ada
pada diri anak, maupun sesuatu yang telah didapat, serta dilaksanakan
sesuai waktu yang telah ditetapkan diawal tahun ajaran (Marit Holm
dalam Tarmansyah, 2007: 185).
b. Pelaksanaan Pengelolaan Asesmen
Pada pelaksanaan di sekolah, asesmen ABK dilakukan setelah
dilaksanakan proses idnetifikasi.
1) Proses Identifikasi
Budiyanto (2014: 34) mengatakan identifikasi adalah usaha
sesorang (orang tua, keluarga, guru, atau tenaga kependidikan) untuk
mengetahui seorang anak mengalami kelainan baik fisik, emosional,
sosial, neuorolgis, intelektual dalam tumbuh kembang anak diluar dari
konteks anak normal. SD N Brengosan I melakukan identifikasi
terlebih dahulu sebelum tahap asesmen dilakukan. Identikasi tersebut
dilakukan dengan menghimpun data anak, menganalisa data anak,
pertemuan konsultasi dengan kepala sekolah, dan menyelenggarakan
150
pertemuan kasus, untuk kemudian melakukan perekapan data yang
diperoleh.
Tolak ukur yang digunakan guru dalam melihat anak umumnya
dilihat dari prestasi belajar, perilaku, dan keaktifan saat disekolah.
Selain itu sekolah juga dengan mengkaitkan pernyataan dari orang tua
siswa yang diduga ABK. Jadi metode yang digunakan sekolah selain
pengamatan menggunakan instrumen form identifikasi yang
digunakan SD Negeri Brengosan I untuk menghimpun data anak
diantaranya sebagai berikut:
- Form I : instrumen berisikan penggalian informasi terkait
perkembangan anak mulai dari anak lahir hingga masuk
pendidikan terakhir anak.
- Form II : bertujuan untuk memperoleh informasi terkait data
orang tua atau wali murid siswa yang diduga anak
berkebutuhan khusus.
- Form III : instrumen tentang AI ABK, yang bertujuan untuk
mengidentifikasi atau mengamati anak yang diduga
berkebutuhan khusus dikelas, dengan melihat gejala- gejala
yang nampak pada anak sesuai dengan tolak ukur yang ada
pada instrumen.
- Form IV : instrumen ini memuat tentang uraian kasus atau
masalah yang ditemui pada anak yang terindikasi berkelainan
151
dan membutuhkan pelayanan khusus. Penemuan kasus
berdasarkan hasil pengamatan guru kelas.
- Form V : memuat laporan hasil pertemuan kasus anak yang
memerlukan pelayanan khusus.
Form tersebut diberikan kepada guru (Form III, IV, V) dan
beberapa kepada orang tua (Form I, II) siswa. Hal yang sering dialami
sekolah adalah orang tua yang mengisi form tersebut tidak sesuai
dengan apa yang dirasakan guru, terkadang form tidak diisi sehingga
menyulitkan pengumpulan informasi dari orang tua. Setelah data
diperoleh, data yang diperoleh akan direkap oleh guru kelas bersama
GPK dan melihat perkembangan anak yang diduga ABK tersebut.
Selain itu sebagai bahan pertimbangan sebelum berkonsultasi ke Kepala
Sekolah,dan bahan data rujukan.
2) Tahap Asesmen ABK
Tarmansyah (2007: 183) mengungkapkan jika kegiatan asesmen
merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya
memperoleh informasi terkait hambatan belajar, kebutuhan pelayanan
yang harus terpenuhi, serta potensi yang dimiliki, sehingga dapat
menjadi dasar pembuatan rencana pembelajarn sesuai kemampuan
anak. Proses Asesmen yang dilakukan SD Negeri Brengosan I
menggunakan teknik assessmen psikologi yang bekerja sama dengan
Psikolog di Puskesmas Ngaglik I. Asesmen ini merupakan proses
penyaringan terhadap anak yang telah teridentifikasi sebagai ABK
152
untuk menyiapkan pembelajaran yang sesuai bagi anak. Selain itu
untuk lebih dapat melihat kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri
anak. Puskesmas dipilih sekolah sebagai pihak yang berkompeten
melakukan assessmen dikarenakan sudah mempunyai ahli psikolog
Strata 2 (S2) yang mampu melakukan tes IQ. Perencanaan Puskesmas
Ngaglik II sebagai mitra disarankan oleh GPK setelah berkonsultasi ke
Puskesmas.
Tes IQ dianggap mampu menunjukkan tingkat intelegensi anak
yang bersangkutan, selain itu karena kebanyakan siswa yang dianggap
ABK berparas seperti anak normal. Tes dilakukan tergantung dari
kebijakan Puskesmas dan usia anak, umumnya menggunakan tes Byne
dan Wyse. Peran GPK di SD Negeri Brengosan I lebih beragam karena
selain memberikan pendampingan dikelas juga mencari Puskesmas.
Pemilihan Puskesmas sesuai dengan yang disampaikan Dinas
Pendidikan Kabupaten Sleman, karena lebih dekat dan alur yang
praktis. Besaran anggaran yang dikeluarkan sekolah diambil dari dana
BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan memakan Rp 20.000, 00
untuk operasional tes IQ di Puskesmas.
Hasil dari asesmen itu akan diberitahukan kepada sekolah dan
diteruskan ke orang tua, atau dengan mengikutsertakan orang tua untuk
datang ke Puskesmas dan berdiskusi dengan GPK serta pihak Psikolog.
Kebijakan SD Negeri Brengosan I yang telah dilaksanakan, jika anak
berkebutuhan khusus yang ada di sekolah sudah tidak mengalami
153
hambatan akan dilepas dari status ABK dan tidak dilakukan identifikasi
dan asesmen padanya.
3) Pembahasan Hasil Asesmen
Sekolah telah mampu melaksanakan proses identifikasi dan
asesmen pada anak yang terindikasi ABK bekerja sama dengan
psikolog di Puskesmas. Setelah asesmen dilakukan oleh Puskesmas,
akan diketahui karakter anak yang menjadi klien mulai dari kelemahan,
kelebihan, dan bentuk pelayanan yang dianggap cocok diberikan pada
anak. Sekolah dapat memastikan ketunaan anak, dan pengembangan
anak bagaimana. selain itu peran orang tua diutamakan untuk
memberikan bimbingan di rumah berdasarkan saran dari sekolah dan
Puskesmas. Bentuk hasil tes IQ yang dikeluarkan oleh Puskesmas
berupa skor tingkat intelegensi yang didapat anak dan saran. Jika orang
tua kooperatif akan diberikan penyuluhan secara khusus dari psikolog.
Rincian pengukuran yang dicari dalam tes IQ tersebut berupa
kemampuan pengetahuan umum, visual motorik, penalaran aritmatik,
konsentrasi dan memori, kemampuan kata dan verbal, dan evaluasi dan
penalaran. Tindakan selanjutnya yang dilakukan sekolah adalah
melakukan pembahasan terhadap hasil yang didapat serta meneruskan
memberikan arahan kepada orang tua. Sehingga peran orang tua
dituntut aktif dalam membimbing anak dilingkungan keluarga agar
ABK dapat berkembang. Selain memberikan pengarahan, upaya
selanjutnya dengan mempersiapkan penyesuaian – penyesuaian
154
pembelajaran yang akan dilakukan dikelas. Jika kebanyakan anak yang
terindikasi ABK mengalami hambatan kecerdasan, arahan yang
diberikan berupa penambahan jam belajar, penyesuaian RPP,
pengajaran pendampingan, dan perutinan belajar dirumah.
Dengan demikian pembahasan yang dilakukan sekolah dalam
menanggapi hasil asesmen yang diperoleh anak dilaksanakan oleh Guru
Kelas, Guru Pembimbing Khusus dan Orang tua anak. Guru
mempersiapkan penyesuaian pembelajaran atau rencana belajar sesuai
karakter anak. SD N Brengosan I tetap mengutamakan agar perhatian
dan bimbingan orang tua di keluarga harus berjalan, namun hal tersebut
kurang dapat berjalan karena masih banyak wali siswa yang kurang
peduli. Hal tersebut menunnjukkan jika pelaksanaan yang dilakukan
sekolah sesuai dengan teori konsep pendidikan inklusi Moh. Takdir
Ilahi (2013: 117-132) yakni konsep memajukan sekolah inklusi dan
konsep sumber daya, bahwa setiap sumber daya manusia bergerak
bersama untuk mengoptimalkan potensi anak. Oleh karena itu, SD N
Brengosan I mengupayakannya melalui pelaksanaan tambahan jam
pembelajaran khusus ABK, dan penyesuaian pada RPP.
c. Tindak Lanjut Asesmen
1). Perencanaan Pembelajaran
Proses ini SD N Brengosan I akan menganalisa hasil asesmen
untuk menyesuaian dengan kurikulum yang digunakan. Kurikulum
yang diterapkan sama pada umumnya hanya terdapat beberapa
155
modifikasi. Penyesuaian tersebut dilakukan oleh guru kelas dengan
didampingi GPK. Kebanyakan guru membuat RPP satu jenis, tidak
dipisahkan antara siswa ABK dan anak normal. Hanya diberikan
penyesuaian seperti arah, tujuan, materi pembelajaran ataupun
tingkatatan evaluasi belajar. Sedangkan Standar Kompetensi (SK),
Kompetensi Dasar (KD),dan alokasi waktu tetap disamakan. Hal
tersebut menunjukkan kesesuaian dengan teori dari Budiyanto (2009:
27) terkait alur identifikasi dan asesmen bahwa data yang diperoleh dari
proses asesmen menjadi pedoman dalam penyusunan rencana belajar.
Kebijakan lain yang dibuat SD N Brengosan I adalah
menyamakan RPP pada tingkatan kelas VI baik siswa ABK dan normal.
Hal tersebut didasarkan agar semua anak dapat mengikuti ujian nasional
dan mendapatkan ijazah. Selain itu untuk memberikan akses yang luas
dalam melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Sesuai dengan
Permendiknas RI No. 70 tahun 2009 bahwa pendidikan inklusi
menjunjung prinsip keberlanjutan, berkesinambungan pada setiap
jenjang pendidikan
2) Pelaksanaan Pembelajaran
Proses belajar mengajar dikelas sama dengan sekolah lainnya
pada saat penulis mengikuti proses belajar di kelas III dan IV,
umumnya guru menggunakan metode ceramah dan dikte dengan
sesekali menghampiri tiap siswa. Khusus untuk ABK mereka mendapat
porsi pendampingan lebih sering oleh guru kelas maupun GPK. Tahap
156
setelah menyusun RPP, guru melaksanakan pembelajaran dan
mengorganisasikan siswa berkebutuhan sesuai rencana yang telah
dibuat. Semua siswa berada dalam satu kelas dan menerima
penyampaian topik yang sama, ruang dan waktu yang sama.
Kunjungan GPK masuk kekelas setiap harinya dijadwal sesuai
kesepakatan sekolah dan GPK selama dua hari di sekolah. GPK lebih
fokus mendampingi anak yang mempunyai hambatan kecerdasan cukup
berat seperti tunagrahita. Penempatan tempat duduk antara siswa
berkebutuhan dan reguler diletakkan secara terpisah.
Hal yang umum dilakukan guru sebelum memulai pembelajaran
guru hanya menanyakan kesiapan belajar siswa, serta menyiapkan
materi belajar. Sesudah usai pembelajaran terkadang guru akan
memberikan PR, dan anak akan melakukan bersih – bersih ruang kelas
serta meletakkan kursi daiatas meja. Kegiatan tersebut teramati sama
untuk kelas III dan kelasIV di SD N Brengosan I.
Selain itu guru banyak mengalami kesulitan mengajar pada ABK
khususnya tunagrahita. sedangkan anak slow learner beberapa guru
masih sanggup untuk memberikan pengajaran walau pelan. kebanyakan
guru merasa sulit dalam memfokuskan siswa dan cara agar ABK
tersebut tidak tertinggal dalam prestasi. Namun tetap sekolah berupaya
memberikan pelayanan terbaik agar anak dapat berkembang, sesuai
dengan prinsip pendidikan inklusi. Sesuai dengan Permendiknas RI
No.70 tahun 2009 tentang prinsip kebermaknaan, sekolah mampu
157
memberikan pelayanan pendidikan dengan lingkungan yang ramah
anak, anti- diskriminasi, menghargai perbedaan.
Salah satu upaya yang dilakukan sekolah dengan memberikan
pengarahan pada orang tua, dan penambahan jam belajar. Hal tersebut
menunjukkan jika sekolah berupaya untuk memberikan pelayanan
pendidikan pada anak, meskipun pelan- pelan. Sesuai dengan
Tarmansayah (2007: 84) bahwa pendidikan inklusi adalah hak asasai
manusia, dimana pelayananan pendidikan harus diterima oleh setiap
anak tanpa memandang latar belakang anak seperti kondisi fisik,
intelektual, sosial- emosional, linguistik, mencakup anak berkelainan
dan bakat istimewa.
3) Pelaksanaan Evaluasi Belajar
Setelah dilakukan proses identifikasi dan asesmen, serta
diberikan pembelajaran dari hasil temuan- temuan. Dilaksanakan
evaluasi belajar untuk dapat memantau perkembangan belajar anak
dilakukan melalui ulangan.. Standar dan alat penilaian yang diterapkan
oleh guru menyesuaikan kebutuhan anak terutama ABK. Evaluai ini
dengan sekolah lainnya sama bentuknya, hanya berbeda pada indikator
khusus ABK.
Model evaluasi yang dilakukan sekolah disesuaikan dengan
kondisi siswanya, terkadang siswa juga mendapat pendampingan saat
mengerjakan soal. Hal itu untuk membantu ABK yang lemah dalam
membaca maupun menulis, selain itu tingkatan kesukaran soal juga
158
dibedakan. Penyesuaian lebih pada tingkat indikator soal ABK yang
lebih rendah dibanding anak normal, serta nilai KKMnya. Sesuai
dengan Permendiknas RI No.70 tahun 2009 tentang prinsip kebutuhan
individual bahwa potensi serta kebutuhan setiap anak berbeda, dan
pendidikan harus menyesuaikan dengan keadaan anak
Hasil ulangan yang didapat akan diberikan kepada orang tua
sekaligus pengarahan. Jika siswa ABK mengikuti ulangan dan sudah
mendapatkan hasil yang bagus, kelemahan yang ada telah hilang. Anak
akan dilepas dari status anak berketunaan, namun jika anak masih
mengalami hambatan. Pihak sekolah tetap memberikan pelayanan
khusus bagi ABK dan dikemudian hari proses identifikasi dan asesmen
tetap berlanjut. Siswa yang mengalami gangguan ringan banyak
dirasakan wali murid di SD N Brengosan I sudah mengalami perubahan
perlahan. Akan tetapi jika ditemukan ABK tersebut sulit untuk
berkembang (ABK berat) dan terbatasnya sarana dan tenaga. SD N
Brengosan I akan mengarahkan ABK tersebut untuk pindah ke SLB.
Orang tua akan diberikan pengarahan kondisi anak didiknya.
pengarahan yang dilakukan sekolah setelah mendapat hasil asesmen
dan evaluasi ini untuk mengetahui dan menyesuaikan kemampuan anak.
Orang tua yang kooperatif akan menerima arahan sekolah untuk
memindahkan anaknya ke SLB. Namun jika bersikeras, sekolah tetap
bersedia menampung ABK berat tersebut. Guru akan tetap memantau
secara berkala perkembangan ABK dikelas. Kebijakan tersebut
159
dilakukan pihak SD N Brengosan I tersebut untuk mengantisipasi jika
anak keluar sekolah justru putus sekolah.
Berdasarkan data yang diperoleh pelaksanaan pembelajaran di
SD N Brengosan I belum semua dilaksanakan sesuai dengan pedoman
PPI yang dinyatakan Loughin (Budiyanto, 2014: 65). Dikarenakan
dalam prakteknya PPI masih dilakukan secara tertulis saja.
d. Pelayanan pendidikan khusus
Tindakan dalam mengoptimalkan hasil dari asesmen yang
dilakukan sekolah dilakukan dengan mengadakan penambahan jam
tambahan belajar bagi ABK sebagai wujud dari pelayanan khusus. Sekolah
memberikan waktu tambahan belajar khusus bagi ABK pascapembelajaran
kurang lebih 30 sampai 60 menit perkelas untuk mengulang dan
menguatkan materi yang diterima anak. Hal tersebut berkaitan dengan
kebanyakan kelemahan siswa yang lemah intelegensi, sehingga perlu
disokong dengan perutinan belajar. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari
dilaksanakan asesmen yang disampaikan oleh Sunardi dan Sunaryo
(Budiyanto, 2014: 56) yaitu: 1) untuk mendapatkan informasi yang
akurat, obyektif, relevan tentang keadaan anak berkebutuhan khusus; 2)
untuk mengetahui data anak yang lengkap, seperti potensi dalam diri anak,
hambatan dalam belajar, keadaan lingkungan, kebutuhan pelayanan
khusus; dan 3) untuk menetapakan pelayanan khusus yang sesuai dengan
kondisi anak sesuai kebutuhannya, secara berkala dipantau kemajuan
perkembangan anak.
160
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan
Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga DIY.
Didalam setiap penerapan sebuah kebijakan terdapat faktor yang
mendorong dan ada pula yang menghambat. Faktor pendorong yang
dirasakan pihak Dinas Pendidikan dengan adanya materi PLB dalam mata
kuliah jurusan kependidikan, serta pemahaman masyarakat terkait akses
pendidikan inklusi yang sudah berkembang. Hal tersebut menunjukkan jika
kedepannya lemahnya pemahaman guru terkait asesmen dapat
diminimalisir. Sedangkan akses pendidikan bagi setiap anak dapat lebih
luas. Anak yang dikategorikan ABK dapat belajar bersama dengan anak
lainnya.Sehingga tindakan pendiaman ABK dirumah, atau rasa malu yang
kerap diasakan orang tua dapat berkurang.
Selain faktor pendukung tersebut, kendala yang kerap ditemui pihak
Dinas Pendidikan diantaranya lemahnya pemahaman terhadap kebijakan
pendidikan inklusi dapat dipahami guru reguler, serta alokasi GPK yang
tidak bisa mencakup semua, Sehingga pelayanan pendidikan inklusi baik
proses identifikasi dan asesmen menjadi kurang maksimal. Alokasi waktu
dan tenaga GPK yang terbatas sering dikeluhkan sekolah. Salah satu upaya
mengatasi minim GPK dengan memberikan pelatihan bagi guru reguler,
namun juga terbentur akan beberapa hal. Faktor anggaran dan pemerataan
guru untuk mengikuti pelatihan asesmen guru reguler tidak dapat setiap
tahun diadakan dan dirasakan semua guru – guru.
161
Penerapan kebijakan asesmen di sekolah tidak lepas dari faktor
pendukung dan penghambat. Adanya Pusksesmas yang menyediakan jasa
kesehatan psikologis dan tenaga profesional dirasa membantu pelaksanaan
asesmen di SD N Brengosan I. Sehingga memudahkan alur identifikasi dan
asesmen disekolah. Selain itu bentuk kerjasama orang tua dalam
pelaksanaan asesmen sudah baik. Mereka sudah berkenan untuk
bekerjasama dengan pihak sekolah.
Faktor penghambat yang dihadapi sekolah adalah beberapa orang tua
yang kurang kooperatif dengan tidak mengisi instrumen dari sekolah.
Kadangkala hal tersebut membuat pihak sekolah kesulitan dalam
mengumpulkan informasi guna melengkapi data yang diperlukan dalam
proses asesmen dan identifikasi. Kurangnya perhatian orang tua dirumah
membuat pelayanan belajar yang diterima ABK disekolah menjadi terbuang.
Keadaan ini dianggap kurang sinkron dengan upaya yang diberikan
sekolah. Beberapa faktor tersebut yang dirasa mengahambat pelaksanaan
asesmen dan pendidikan inklusi dirasa kurang maksimal. Namun hal itu
wajar terjadi karena karakter setiaporang tua berbeda- beda, dan sekolah
hanya dapat melayani, menerima dan mengarahkan saja.
Berdasarkan paparan data tersebut dapat diketahui jika implementasi
kebijakan pengelolaan asesmen terhadap ABK mulai sesuai dengan teori
Lineberry yang dimulai dari tahap membuat dan menyusun staf agen, menyususn
kerangka kerja, melakukan koordinasi terkait sumber daya dan pembiayaan, dan
mengalokasikan sumber daya. Hasil dari implementasi kebijakan pengelolaan
162
asesmen ABK yang diterapakan Dinas Pendidikan dilaksanakan melalui tiga
bentuk yaitu dengan memberikan pelatihan, menjalin mitra kerja dan membentuk
lembaga khusus. Semua itu untuk meningkatkan profesionalitas guru dan
memberikan sarana/ upaya pendukung terhadap pelaksanaan asesmen disekolah.
SD N Brengosan I sendiri telah mampu dan merasakan bentuk kebijakan yang
diberikan Dinas Pendidikan. Sekolah melaksanakan pengelolaan asesmen melalui
tahap perencanaan, pelakasanaan, dan tindak lanjut. Tindak lanjut ini dimulai dari
penyusunan RPP, proses pembelajaran, hingga evaluasi dari pemberian pelayanan
dan pembelajaran. Serta memberikan pelayanan pendidikan khusus berupa jam
tambahan belajar bagi ABK yang mengalami hambatan belajar.
163
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus
pada sekolah inklusi di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi
dilakukan melalui empat tahapan dengan membagi pihak yang berperan
dalam mengelola pendidikan di DIY, mengembangkan kerangka kerja
berdasar kebijakan pusat, mengkoordinasikan sumber daya dan pembiayaan
antara Kabupaten/ Kota dengan Provinsi, dan mengaloksikan sumber daya
dengan memperbantukan GPK. Dampak atau hasil dari penerapan tersebut
adalah; 1) diadakannya pelatihan asesmen atau pengetahuan PLB; 2)
menjalin mitra kerja dengan lembaga terkait; 3) serta membentuk lembaga
khusus. Untuk meningkatkan kinerja, pemahaman guru, dan pengelolaan
asesmen di SD N Brengosan I sebagai sekolah inklusi sudah dapat
merasakan apa yang diberikan Dinas terkait. Meskipun belum secara
optimal, sekolah mampu untuk melaksanakan kebijakan asesmen ini melalui
beberapa tahapan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, tindak lanjut
asesmen, dan pemberian pelayanan khusus jam tambahan belajar. Dimana
sekolah turut bekerja sama dengan pihak Puskesmas II Ngaglik sebagai
mitra kerja sekolah. Dengan demikian bentuk implementasi yang dilakukan
Dinas berupa program pendukung pelaksanaan asesmen di sekolah inklusi.
164
2. Faktor Pendukung dalam implementasi kebijakan pengelolaan assessmen
ABK sekolah inklusi di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY ini
adalah: 1) materi PLB (Pendidikan Luar Biasa) sudah diberikan pada mata
kuliah kependidikan; 2) tingkat pemahaman masyarakat terhadap
pendidikan inklusi sudah meningkat; 3) adanya Puskesmas sebagai mitra
kerja sekolah. Sedangkan faktor penghambat implementasi kebijakan
pengelolaan asesmen ini diantaranya: 1) pemahaman guru reguler masih
lemah; 2) alokasi tenaga GPK (Guru Pendamping Khusus) yang terbatas; 3)
anggaran pelatihan bagi guru yang terbatas dan belum merata; 4) beberapa
orang tua kurang peduli dan sulit memahami arahan dari sekolah.
B. Saran
Berdasarkan temuan hasil penelitian yang didapat, maka penulis dapat
memberikan saran sebagai berikut:
1. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY seharusnya dapat
meningkatkan upaya pembinaaan dan pengarahan kepada Dinas Pendidikan
Kabupaten dalam mengelola pelaksanaan pendidikan inklusi. Mengadakan
musyawarah bersama antar setiap Dinas Pendidikan di Provinsi DIY dalam
mendukung pelaksanaan pendidikan inklusi. Selain itu dapat melakukan
studi banding antara sekolah inklusi dengan SLB, sehingga dapat saling
bertukar pemahaman dan pengetahuan.
2. Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman untuk dapat memanfaatkan tenaga
lulusan PLB untuk dapat diangkat menjadi tenaga GPK di sekolah inklusi.
165
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi di
Kabupaten Sleman.
3. Kepala Sekolah untuk dapat lebih meningkatkan hubungan sekolah dengan
orang tua agar dapat bersinergi dengan kebijakan yang dibuat sekolah.
Lebih mendekatkan kepada orang tua siswa ABK secara perlahan. Dapat
melakukan sosialisasi terhadap orang tua terkait penanganan ABK.
4. Guru Kelas agar lebih meningkatkan keterlibatan siswa normal dalam
memotivasi ABK agar lebih memupuk rasa percaya diri dan kemauan
belajar Selain itu guru untuk dapat lebih aktif dalam keikutsertaan
pengelolaan identifikasi dan asesmen, tidak bergantung pada posisi GPK.
Serta memperhatikan kebutuhan ABK dengan pembelajaran yang
disampaikan.
5. Orang Tua diharapakan mampu untuk mengarahkan dan mendampingi anak
dalam belajar. Rasa keterbukaan pada orang tua untuk lebih terbuka, agar
proses identifikasi dan asesmen dapat berjalan optimal disekolah.
166
DAFTAR PUSTAKA
Arif Rohman. (2009). Politik Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: LaksBang
Mediatama.
(2012). Kebijakan Pendidikan (Analisis Dinamika Formulasi dan
Implementasi).Yogyakarta: Aswaja Presindo.
Budiyanto, dkk. (2014). Modul Pelatihan Pendidikan Inklusi. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar.
dkk & TIM MCPM-AIBEP. (2009). Modul Training of Trainers
Pendidikan Inklusif. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
H.A.R.Tilaar & Riant Nugroho. (2008). Kebijakan Pendidikan (Pengantar Untuk
Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai
Kebijakan Publik). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasan Alwi. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Herdina Tyas Leylasari. (2015). Pengembangan Panduan Identifikasi dan
Assessmen Siswa Berkebutuhan Khusus Di SD N Inklusi X Surabaya.
Diakses dari laman
http://portal.widyamandal.ac.id/jurnal/index.php/warta/article/view/238/0.
Pada hari Kamis 28 Juli 2016 pukul 21.40 WIB.
Imam Yuwono. (2015). Penerapan Identifikasi, Assessmen dan Pembelajaran
pada Anak Autis di Sekolah dasar Inklusif. Diakses dari
http://eprints.unlam.ac.id/318/1/JURNAL%201.pdf. Pada hari Kamis 28
Juli 2016 pukul 20.49 WIB.
Lay Kekeh Marthan. (2007). Manajemen Pendidikan Inklusif. Jakarta: DIRJEN
DIKTI.
Lexy J. Moelong. (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mohammad Nazir. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Moh. Takdir Illahi. (2013). Pendidikan Inklusif (Konsep dan Aplikasi).
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
M. Tatang Amirin dkk. (2011). Manajemen Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Peraturan Daerah Provinsi DIY No. 4 tahun 2012 tentang Perlindungan
Penyandang Disabilitas.
167
Peraturan Gubernur DIY No. 21 pasal 1 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Inklusi.
Peraturan Gubernur DIY No. 41 tentang Pusat Sumber dan Surat Keputusan
Gubernur DIY No. 91/ Kep/ tahun 2015 tentang Pembentukan Anggota
Pusat Sumber Pendidikan Inklusif.
Permendiknas RI No.70 pasal 1 tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif.
Pierenglo, Roger. (2009). Assessment in Special Education (a Practical
Approach). United States: Pearson Education.
Sudiyono. (2007). Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Pendidikan.
Yogyakarta:UNY Press.
Sugiyono. (2015). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suharsim Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta:Rinneka Cipta.
Sunaryo. (2009). Manajemen Pendidikan Inklusif (Konsep, Kebijakan, dan
Implementasinya dalam Perspektif Pendidikan Luar Biasa). Diakses dari
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195607221
985031-SUNARYO/Makalah_Inklusf. Pada hari Senin, 1 Agustus 2016
pukul 23.00 WIB.
Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY No. 0131
Tahun 2013 tentang Pembentukan Sub Pusat Sumber di DIY.
Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kab. Sleman
No. 245 tahun 2012 tentang Penetapan Sekolah Penyelenggara Pendidikan
Inklusi Kabupaten Sleman.
Syafarudin. (2008). Efektifitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Rinneka Cipta.
Tarmansyah. (2007). Inklusi Pendidikan untuk Semua. Jakarta: DEPDIKNAS.
UUD 1945 pasal 31 ayat 1 tentang Pendidikan dan Kebudayaan.
UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
168
LAMPIRAN
169
PEDOMAN OBSERVASI
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN ASESMEN ABK SEKOLAH
INKLUSI
NO KOMPONEN HAL YANG DIAMATI KEADAAN KETERANGAN
YA TIdak
1 Kondisi Lokasi dan
Keadaan Sekolah
Keadaan dan lingkungan
sekitar
√ Sekolah berada disekitaran
lingkungan SMP, dan SMA.
Lokasi cukup kondusif untuk
aktivitas belajar
Akses Transportasi √ Lalu lintas transportasi cukup
aman tidak padat, sekolah
berdekatan dengan jalan
sehingga tetap membutuhkan
pengawasan. Kurang adanya
zona penyeberangan sekolah.
Keadaan guru dan karyawan √ Sekolah mempunyai ruangan
tersendiri namun masih kurang
begitu luas. Data guru dan
karyawan sudah ada di ruang
guru
Kesiswaan √ Sekolah mempunyai 6 kelas,
dengan keberadaan ABK
sebanyak 20 anak. Sudah
tersedia papan informasi
kesiswaan di ruang guru
Fasilitas sekolah √ Mempunyai ruang Mushola,
tempat Parkir, UKS, dan tempat
rapat hanya belum ada
perpustakaan. Sarana prasaranan
cukup memadai, hanya untuk
ABK dengan kekhususan
pancaindra atau gerak masih
belum.
Lampiran I
170
Lanjutan Lampiran 1. Pedoman Observasi
NO KOMPONEN HAL YANG DIAMATI
KEADAAN
KETERANGAN
Ya Tidak
2 Kegiatan pembelajaran Kegiatan awal √ Guru menanyakan kesiapan
siswa dalam belajar, memimpin
doa dan menerangkan materi
yang akan diberikan
Kegiatan Inti √ Materi belajar sering
menggunakan metode ceramah/
dikte. Beberapa saat
mendampingi ABK di kelas
Pengelolaan ruang kelas √ Siswa ABK duduk didepan,
bersama siswa ABK lainnya.
khusus ABK berat duduk
disendirikan
Pengelolaan bahan ajar √ Bahan ajar yang digunakan
antara ABK dan anak normal
sama, menggunakan LKS
(Lembar Kerja SISwa)
Pengelolaan siswa √ Siswa dituntut untuk tidak
berisik, dan jika kesulitan
bertanya. sesekali guru kelas
mendampingi ABK
Pengelolaan waktu √ Waktu belajar sama dengan
kelas lainnya. 1 jam pelajaaran
selama 40 menit.
Tingkat pemahaman siswa √ Biasanya dilakukan dengan
tanya jawab atau mencocokan
hasil jawaban siswa berasama.
Kegiatan Penutup √ Guru kelas memberikan PR,
ditutup dengan doa dan siswa
membersihkan kelas.
Selanjutnya dilakukan
penambahan jam belajar khusus
ABK
171
NO KOMPONEN HAL YANG DIAMATI KEADAAN
KETERANGAN
Ya Tidak
3. Pelayanan kebutuhan
khusus
Persiapan √ Siswa ABK diinstruksikan
untuk tinggal dikelas, mengikuti
penguatan materi
Kesesuaian Pembelajaran √ Penguatan materi diberikan
sesuai dengan kesulitan yang
dialami siswa saat belajar
Keaktifan ABK √ ABK cukup aktif mengikuti
tambahan belajar dan menerima
arahan guru, walaupun sesekali
meminta pulang
Penutup √ Guru memberikan tugas
tambahan kepada ABK untuk
mempelajari materi yang
dianggap lemah oleh anak.
Lanjutan lampiran 1. Pedoman Observasi
172
PEDOMAN DOKUMENTASI
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN ASESMEN ABK SEKOLAH
INKLUSI
NO KOMPONEN DATA YANG
DIBUTUHKAN
KEADAAN KETERANGAN
Ya Tidak
1. Data SPPI dan
Kebijakan Asesmen
Data Sekolah Inklusi di
Provinsi DIY
√ Rekap data SPPI berjumlah
156 sekolah, DIY sekitar 11
sekolah, Sleman sejumlah 33
sekolah, Kulon Progo terdapat
26 sekolah, Bantul sejumlah
39sekolah, dan Gunungkidul
berjumlah 47 sekolah
Surat Keputusan
Pembentukan Lembaga
Khusus
√ Peraturan Gubernur DIY No.
41 tentang Pusat Sumber dan
Surat Keputusan Gubernur
DIY No. 91/ Kep/ tahun 2015
tentang Pembentukan
Anggota Pusat Sumber
Pendidikan Inklusif. Beserta
Surat Keputusan Kepala
Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga DIY No. 0131
Tahun 2013 tentang
Pembentukan Sub Pusat
Sumber di DIY
Kegiatan Pelatihan Asesmen
Guru Reguler
√ Pelatihan Asesmen bagi guru
reguler diadakan Seksi PLB
DISDIKPORA DIY pada
tanggal 11 September 2016.
Surat Keputusan Sekolah
Inklusi
√ SK Kepala Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga
Kabupaten Sleman Nomor:
245/KPTS/ 2012 tentang
penetapan SPPI di Kabupaten
Sleman
173
Lanjutan Lampiran 1. Pedoman Dokumentasi
NO KOMPONEN DATA YANG
DIBUTUHKAN
KEADAAN
KETERANGAN
Ya Tidak
2 Profil Sekolah Data Siswa Berkebutuhan
Khusus
√ Rekap Data ABK berjumlah
20 siswa ABK. 17 siswa
berketunaan slow learner
(lambat belajar), dan 3 siswa
berketunaan tuangrahita.
Sejarah Sekolah √ Sekolah beridiri tahun 1951,
berada di Dusun Kayunan,
Desa Kayunan, Kecamatan
Ngaglik, Kab. Sleman.
Berstatus Negeri .
Visi dan Misi Sekolah √ Sekolah mempunyai Visi
unggul dalam prestasi dan
berbudaya dan diwujudkan
dalam 9 Misi untuk tujuan
Sarana dan Prasarana √ Sekolah mempunyai 7
Ruangan, dan 10 alat peraga
untuk membantu
pembelajaran.
Data Guru dan Karyawan √ Rekap data guru berjumlah 12
orang, dan karyawan
sebanyak 2 orang
3 Pengelolaan
Asesmen ABK
Form Isntrumen Identifikasi/
Asesmen ABK
√ Instumen terdiri dari 5 Form
isian, 3 Form untuk guru kelas
dan 2 form untuk orang tua .
Hasil Asesmen ABK √ Hasil asesmen berdasarkan
hasil tes IQ berupa skor dan
surat keterangan kelemahan
dan kelebihan siswa. Serta
arahan dari Puskesmas.
174
Lanjutan Lampiran 1. Pedoman Dokumentasi
NO KOMPONEN DATA YANG
DIBUTUHKAN
KEADAAN
KETERANGAN
Ya Tidak
Rencana Pembelajaran
(RPP)
√ Rencana Pembelajaran atau
silabus sama dengan
peserta didik reguler hanya
disesuaikan dengan kondisi
dan kemampuan ABK
ketika proses KBM
berjalan
175
PEDOMAN WAWANCARA
A. Pedoman Wawancara Kepala Seksi PLB DISDIKPORA Provinsi DIY
1. Bagaimana peran DIKPORA Provinsi dalam memenuhi kebutuhan
pendidikan ABK sekolah inklusi?
2. Bagaimana Pengelolaan GPK yang dibutuhkan sekolah inklusi?
3. Bagaimana dasar penetapan sekolah reguler menjadi sekolah inklusi?
4. Menurut Anda, apakah asesmen penting untuk dilakukan?
5. Adakah Juknis tentang pendidikan inklusi, adakah juknis pelaksanaan
asesmen?
6. Bagaimana Implementasi Kebijakan pengelolaan asesmen abk di
DIKPORA Sleman?
7. Mengapa kegiatan tersebut dianggap penting diberikan kepada guru
sekolah inklusi?
8. Apakah Fakultas Ilmu Pendidikan UNY turut berperan dalam
Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK?
9. Apa yang diharapkan terhadap implementasi pengelolaan asesmen
tersebut?sudahkah tercapai dengan yang diharapkan?
10. Sudahkah setiap sekolah inklusi mampu untuk melakukan asesmen
tersebut?
11. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dari Implementasi Kebijakan
pengelolaan asesmen ABK di DISDIKPORA Provinsi DIY?
12. Setelah sekolah melaksanakan asesmen dan dapat diketahui jenis
pelayanannya apakah perlu untuk dilaporkan ke Disdik Sleman?
13. Adakah Resource center di setiap kabupaten?
176
B. Pedoman Wawancara Kepala Kursis TK-SD DISDIK Kabupaten Sleman
1. Bagaimana peran DIKPORA Provinsi dalam memenuhi kebutuhan
pendidikan ABK sekolah inklusi?
2. Bagaimana Pengelolaan GPK yang dibutuhkan sekolah inklusi?
3. Bagaimana dasar penetapan sekolah reguler menjadi sekolah inklusi?
4. Menurut Anda, apakah asesmen penting untuk dilakukan?
5. Adakah Juknis tentang pendidikan inklusi, adakah juknis pelaksanaan
asesmen?
6. Bagaimana Implementasi Kebijakan pengelolaan asesmen abk di
DIKPORA Sleman?
7. Mengapa kegiatan tersebut dianggap penting diberikan kepada guru
sekolah inklusi?
8. Apakah Fakultas Ilmu Pendidikan UNY turut berperan dalam
Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK?
9. Apa yang diharapkan terhadap implementasi pengelolaan asesmen
tersebut?sudahkah tercapai dengan yang diharapkan?
10. Sudahkah setiap sekolah inklusi mampu untuk melakukan asesmen
tersebut?
11. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dari Implementasi Kebijakan
pengelolaan asesmen ABK di DISDIKPORA Provinsi DIY?
12. Setelah sekolah melaksanakan asesmen dan dapat diketahui jenis
pelayanannya apakah perlu untuk dilaporkan ke Disdik Sleman?
13. Adakah Resource Center di setiap kabupaten?
177
C. Pedoman Wawancara Kepala SD Negeri Brengosan I
1. Latar belakang berdirinya sekolah inklusi di SD Brengosan I seperti apa?
2. Apa kelebihan dan kekurangan adanya pendidikan inklusi di SD N
Brengosan I?
3. Bagaimana implementasi kebijakan pengelolaan asesmen yang ada di SD
N Brengosan I?
4. Bagaimana peran DISDIK Sleman dan DISDIKPORA Provinsi terkait
Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK sekolah inklusi?
5. Adakah kebijakan sekolah yang berhubungan tentang pemberian
pengetahuan terkait pengelolaan asesmen ABK terhadap guru - guru?
6. Adakah kebijakan teknis waktu diharuskan dilaksanakan asesmen ABK?
7. Bagaiaman pemenuhan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam
pengelolaan asesmen di sekolah? sudahkah efektif?
8. Strategi atau metode asesmen ABK yang digunakan di SD N Brengosan I?
9. Siapa yang terlibat dalam alur pelaksanaan identifikasi dan asesmen ABK
di sekolah?
10. Dasar penetapan Puskesmas II Ngaglik sebagai mitra sekolah dalam
melakukan asesmen seperti apa?
11. Apa ada proses pembahasan hasil identifikasi/asesmen ABK? Pihak yang
terlibat?
12. Apa saja yang menjadi faktor pendukung dan penghambat terlaksananya
pengelolaan asesmen ABK di SD N Brengosan I
13. Apa saja kesulitan yang dihadapi guru terkait penanganan dan
pembelajaran ABK di kelas ? solusinya seperti apa?
14. Bentuk pelayanan pendidikan khusus apa yang diberikan oleh sekolah?
15. Apakah pelayanan pendikikan khusus dan rencana pembelajaran pada
ABK sudah mampu mendukung kemampuan pembelajaran ABK yang
bersangkutan
16. Adakah anggaran khusus bagi pendidikan ABK?
17. Apakah peran orang tua dilibatkan dalam implementasi pengelolaan
asesmen ABK?
178
D. Pedoman Wawancara untuk Guru Pembimbing Khusus
1. Apa peran guru pendamping khusus dalam pembelajaran ABK di kelas
inklusi?
2. Teknik pendampingan apa yang digunakan dalam proses pembelajaran
ABK di kelas?
3. Apa saja tugas dan fungsi guru pendamping dalam pembelajaran Anak
Berkebutuhan Khusus di kelas ?
4. Adakah kesulitan yang ditemui dalam menangani ABK di kelas?
Solusinya seperti apa?
5. Apakah alokasi waktu yang ada sudah mencukupi dalam memberikan
pendampingan ABK?
6. Bagaiamana implementasi kebijakan pengelolaan asesmen yang dilakukan
di SD N Brengosan I?
7. Adakah kebijakan sekolah yang berhubungan tentang pemberian
pengetahuan terkait pengelolaan asesmen ABK terhadap guru – guru?
8. Siapa yang terlibat dalam proses identifikasi dan asesmen ABK?
9. Bagaimana perilaku yang ditunjukkan dalam mengamati dugaan ABK di
kelas?
10. Strategi atau metode asesmen ABK yang digunakan di SD N Brengosan I?
11. Apakah guru kelas melakukan pengelolaan asesmen di kelas?
12. Bagaiamana pemenuhan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam
pengelolaan asesmen di kelas? sudahkah efektif
13. Tolak ukur seperti apa yang dicari dalam melakukan asesmen kepada
anak? Slow learner seperti apa?tunagrahita seperti apa
14. Dasar pemilihan mitra Puskesmas II Ngaglik sebagai pihak pelaksana
asesmen seperti apa?
15. Apa ada proses pembahasan hasil identifikasi/asesmen ABK? Pihak yang
terlibat
16. Saran yang diberikan oleh Puskesmas seperti apa?
17. Apa saja yang menjadi faktor pendukung dan penghambat terlaksananya
pengelolaan asesmen ABK di kelas?
179
18. Didalam perencanaan pembelajaran ABK sekolah melibatkan siapa?
19. Bentuk pelayanan pendidikan khusus apa yang diberikan oleh sekolah?
20. Apakah pelayanan pendikikan khusus dan rencana pembelajaran pada
ABK sudah mampu mendukung kemampuan pembelajaran ABK yang
bersangkutan?
21. Apakah peran orang tua dilibatkan dalam implementasi pengelolaan
asesmen ABK?
180
E. Pedoman Wawancara untuk Guru Kelas
1. Latar belakang berdirinya sekolah inklusi SD Brengosan I seperti apa?
2. Apa kelebihan dan kekurangan dengan adanya pendidikan inklusi di SD N
Brengosan I?
3. Bagaimana langkah dalam melakukan identifikasi pada ABK di kelas?
4. Bagaimana implementasi kebijakan pengelolaan asesmen yang ada di SD
N Brengosan I?
5. Bagaimana peran DISDIK Sleman dan DISDIKPORA Provinsi terkait
Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK sekolah inklusi?
6. Adakah kebijakan teknis waktu yang diharuskan dalam pelaksanaan
asesmen ABK?
7. Adakah kebijakan sekolah yang berhubungan tentang pemberian
pengetahuan terkait pengelolaan asesmen ABK terhadap guru - guru?
8. Alat seperti apa yang dibutuhkan dalam pengelolaan asesmen di kelas?
9. Apa strategi pelaksanaan asesmen ABK yang digunakan di kelas?
10. Adakah kerajasama dengan pihak luar(pakar) dalam pengelolaan asesmen?
11. Apa faktor penghambat dan pendukung dalam terlaksananya implementas
kebijakan pengelolaan asesmen ABK di sekolah?
12. Setelah anak dilakukan assessmen oleh pakar, tindak lanjut yang dilakukan
guru seperti apa?
13. Ada 4 model kurikulum pendidikan inklusi yaitu, duplikasi, modifikasi,
substitusi, dan omisi. Model kurikulum apa yang digunakan di SD
Brengosan I?
14. Pada penyusunan RPP menggunakan format RPP pembelajaran inklusi
yang seperti apa? (terintegrasi atau individual)
15. Bagaimana pengelolaan pembelajaran yang Anda lakukan saat dikelas?
16. Model Evaluasi yang dilakukan dalam kelas inklusi di SD N Brengosan I
seperti apa?
17. Apa saja kesulitan yang dihadapi guru terkait proses pembelajaran ABK di
kelas ? solusinya seperti apa?
18. Adakah bentuk pelayanan pendidikan khusus yang diberikan oleh sekolah?
181
19. Apakah pelayanan pendikikan khusus dan rencana pembelajaran pada
ABK sudah mampu mendukung kemampuan pembelajaran ABK yang
bersangkutan?
20. Apakah peran orang tua dilibatkan dalam implementasi pengelolaan
asesmen ABK? Sudahkah berperan aktif?
182
F. Pedoman Wawancara untuk Orang Tua
1. Apakah Anda tahu jika anak Anda sebagai anak berkebutuhan khusus? (
sebelum disekolahkan atau sesudah disekolahkan)
2. Bagaimana kelebihan dan kekurangan adanya pendidikan inklusi di SD N
Brengosan I?
3. Mengapa anda memilih SD Brengosan I sebagai tempat memperoleh
pendidikan bagi anak Anda?
4. Menurut anda sudahkah anak Anda diasesmen?
5. Apakah Anda ikut berperan dalam proses pelaksanaan identifikasi yang
dilakukan pihak sekolah?
6. Pada saat sekolah memberikan blangko identifikasi/asesmen, apakah
pernyataan yang ada mudah untuk dipahami?
7. Bagaiamana pengelolaan assessmen yang ada di SD Brengosan I sudahkah
berjalan dengan baik?
8. Adakah himbauan terhadap penanagan anak yang diberikan sekolah?
9. Adakah sosialisasi tentang pembelajaran inklusi dan perkembangan berkala
anak yang diberikan sekolah kepada Anda ?
10. Adanya kebijakan sekolah dalam menyesuaikan rencana pembelajaran
dalam hal ini seperti tingkat kesukaran, KKM, atau pendampingan oleh
GPK sudah mampu memberikan dampak yang positif bagi anak Anda?
11. Apakah pembelajaran yang diberikan sekolah sudah mampu meningkatkan
kemampuan belajar anak Anda?
12. Apakah cara kerja yang diberikan oleh guru kelas, guru pendamping khusus
sudah baik selama membimbing anak Anda, memberikan pengarahan dan
informasi kepada orang tua?
13. Apakah anak Anda pernah diperiksa oleh tenaga ahli selama disekolah?
14. Potensi yang menonjol menurut orangtua seperti apa? Serta perkembangan
anak yang ditunjukkan saat ini bagaimana?
15. Apakah orang tua turut memantau perkembangan belajar anak? Pengelolaan
anak dirumah seperti apa?
183
CONTOH ANALISIS DATA WAWANCARA
1. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan
Khusus Sekolah Inklusi di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga
Provinsi DIY
a. Menyusun Staf Agen
Informan Display Data
S Peran dikpora sleman adalah sebagai
pelaksana dari pemerintah daerah
sleman khususnya di bidang pendidikan,
pelayanan kepada masyarakat dalam
dunia pendidikan tanpa terkecuali for
all, baik anak sempurna atau anak yang
dilahirkan dalam tanda petik
berkebutuhan khusus. Sehingga anak
berkebutuhan khusus jika secara
akademik dia mampu di bina, dilatih,
dikembangkan disekolah umum tetep
dapat mengakses di sekolah umum atau
sekolah inklusi. Juga mendasar pada
Permendikud No. 70 tahun 2009
kaitannya dengan pendidikan inklusi
P Jadi sekolah inklusi merupakan sekolah
reguler seperti SD,SMP, SMA, yang
menerima anak berkebutuhan khusus,
sekolah reguler tersebut berada di
kabupaten/kota masing- masing, akan
tetapi memang untuk koordinasinya ada
koordinasi dengan kami jika ada
permasalahan. Namun bukan
Lampiran II
184
sepenuhnya menjadi tanggungan kami.
Jadi sekolah inklusi tidak berada
DISDIKPORA Provinsi, sedangkan
SLB langsung berada dibawah binaan
kami. Untuk saat ini ada sekitar 76
sekolah luar biasa di Jogja. Kalau
sekolah inklusinya ada 150 an sekolah
di lima kabupaten, jadi kami juga
mengakomodasi pelaksanaan inklusi di
5 Kabupaten
Kesimpulan Pengelolaan sekolah inklusi yang berada
di Dinas Pendidikan Kabupaten, dan
pengelolaan SLB yang dilakukan oleh
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga
Provinsi DIY. Dinas pendidikan
Pemuda dan Olahraga DIY berperan
sebagai pembina di sekolah inklusi,
sedangkan Dinas Pendidikan Kabupaten
sebagai pelaksana.
b. Mengembangkan Kerangka Kerja
Informan Display Data
S Penunjukan inklusi itu kadangkala
membutuhkan surat penetapan inklusi
untuk mendapatkan hibah bantuan dari
APBN, contohnya pengadaan bantuan
kursi roda, braile terkadang
membutuhkan itu. Tapi sebenarnya
penetapan sekolah inklusi dari kepala
SKPD sebetulnya tidak diperlukan.
Karena nanti dikhawatirkan ada
185
pelemparan tanggung jawab antara
sekolah inklusi yang ditunjuk dengan
sekolah umum. Pada prinsipnya sekolah
di DIY itu inklusi jadi wajib menerima
abk sejauh anak ini mampu dididik, tapi
kalo anak itu memiliki ketunaan yang
serius seharusnya disekolah SLB,
jangan sampai ada tumpang tindih atau
overlaping antara SLB dan inklusi.
Tentunya sekolah juga mempunyai
standar tersendiri dalam penerimaan
siswa baru
P Sekolah inklusi merupakan sekolah
umum yang didalamnya ada anak
berkebutuhan khusus, jadi sesuai
dengan deklarasi inklusi di DIY pada
bulan September 2014, bahwa semua
sekolah di DIY itu wajib menerima abk
dan wajib menjadi sekolah inklusi
Kesimpulan Kebijakan yang dibuat pusat menjadi
acuan dalam pelaksanaan kerja Dinas
Pendidikan di Provinsi DIY. Acuan
tersebut menjadi dasar dalam menyusun
petunjuk teknis yang dikembangkan
Dinas Pendidikan di Provinsi DIY bagi
semua sekolah umum yang
menyelenggarakan pendidikan inklusi
sebagai sasaran kebijakan.
186
c. Mengkoordinasikan Sumber Daya dan Pembiayaan
Informan Display Data
S Pengelolaan GPK itu kewenangan
Dinas Pendidikan tingkat Provinsi,
Sleman tidak mempunyai kewenangan
untuk mengangkat. Selain itu yang
memberi gaji GPK adalah Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY
khususnya Seksi PLB
P Jadi kita berupaya memberikan GPK
ke sekolah inklusi tetapi hanya sebagian
kecil. Seharusnya Kab/ Kota yang
otomatis memang secara betul-betul
mengelola untuk memfasilitasinya
tetapi karena kaitanya dengan adanya
anak berkebutuhan khusus, terkadang
mereka lapor ke kami dan kami
menindaklanjuti sesuai kemampuan
Kesimpulan Pengelolaan GPK di Daerah Sleman
berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga DIY dalam
memenuhi permintaan GPK. Dinas
Pendidikan Pemuda Sleman masih
meminta bantuan dari Dinas Provinsi
terkait pemenuhan GPK,
187
d. Mengalokasikan sumber daya
Informan Display Data
S Jadi kebutuhan tenaga GPK saat ini
masih terbatas dari Dinas Pendidikan
Provinsi, tetapi kalau sekolah yang
mampu mereka akan mencari GPK
sendiri tetapi itu hanya beberapa saja
P tapi seperti yang disampaikan Kepala
Dinas, kami mengirim GPK kesana
dengan jumlah terbatas. Jika kami
mengirim GPK sesuai dengan
permintaan yang diharapkan oleh
sekolah reguler dalam artian sekolah
inklusi itu habis guru- guru PLB.
Nantinya SLB bisa tutup, karena
sekolah SLB jika dibandingkan sekolah
reguler jauh lebih banyak sekolah
reguler
Kesimpulan Alokasi GPK dari DISDIKPORA Prov.
DIY merupakan guru SLB yang
dipinjamkan ke sejumlah sekolah
inklusi, dampak yang ditimbulkan
adalah siswa SLB akan tertinggal
bahkan SLB akan tutup. Dikarenakan
kekurangan sumber daya pengajar di
SLB. Perbandingan sekolah inklusi dan
SLB yang tidak sepadan.
188
e. Hasil/ dampak implementasi kebijakan
1) Mengadakan Pelatihan Asesmen
Informan Display Data
P Jadi begini sekolah inklusi tidak berada
DISDIKPORA, sedangkan SLB
langsung berada dibawah binaan kami,
sedangkan sekolah reguler
SD,SMP,SMA, ada dikabupaten/kota.
Jadi terkait implementasi pengelolaan
asesmen di DISDIKPORA DIY yang
disekolah itu ada di Kab/Kota. Memang
itu kebijakan kami, jadi Asesmen itu ada
disekolah namun kami hanya
memberikan bekal kemampuan guru
reguler disekolah inklusi untuk mampu
mengasesmen anak itu. Tapi
kemampuannya seperti apa memang itu
lain kita belum tahu, jadi disana belum
tentu tahu tapi paling tidak ada bekal.
Jadi terkait kebijakannya kami hanya
memberikan pelatihan kepada guru
reguler kaitannya dengan pembekalan
pengetahuan bagaimana melakukan
asesmen kepada peserta didik, sebatas
pengetahuan saja
189
S Bentuk pelatihan yang kami berikan
berfokus pada materi penguatan SDM.
Hanya saja untuk pelatihan asesmen
tersendiri belum ada, karena materinya
sudah disatukan dengan materi
pelatihan pendidkan inklusi, karena
juga menyampaikan teori assessmen
juga. Jadi kita hanya memberikan
pengetahuan tentang asesmen karena
yang punya para ahli seperti psikolog
gitu mas
Y Dinas sering melakukan pelatihan
inklusi, tapi kalau keabkan masih
banyak di provinsi, kalau kabupaten
sekedar diklat pendidikan inklusi. Kalo
di DIKPORA Sleman kemarin juga
pernah ikut, tapi cuman kedua presentasi
tentang abk disini. Ya kelebihannya
lebih paham terhadap abk dibandung
yang lalu
Kesimpulan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga
telah memberikan fasilitas dalam
penguatan SDM di sekolah inklusi.
bentuk pelatihan menyangkut
kekhususan anak berkebutuhan lebih
banyak diberikan oleh Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY
dibandingkan dengan Kabupaten.
190
2) Menjalin mitra kerja dengan lembaga terkait
Informan Display Data
S Asesmen itukan penilaian, jadi
kebijakannya diserahkan kelembaga
yang profesional. DIKPORA Sleman
atau sekolah itu menjalin kerja sama
dengan mitra kerja seperti Puskesmas,
RS, atau Psikolog, sekolah menjalin
kerja sama dengan instansi terkait
seperti instansi kesehatan tersebut. Dan
pelatihan hanya di penguatan SDM-nya,
jadi lebih ke pendekatannya, oh anak itu
harus diasesmen dahululu. Jadi dia itu
kekhususnanya itu dibidang apa, nanti
penanganannya seperti apa akan lebih
mudah nanti ditanganinya
Kesimpulan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga
mengupayakan untuk dapat menjalin
kerjasama dengan pihak profesional
dalam bidang kesehatan untuk
mendukung terlaksananya asesmen
disekolah inklusi. Pihak yang terlibat
dalam pelaksanaan asesmen ABK
kebanyakan dari Puskesmas di tiap
Kecamatan
191
3) Membentuk Lembaga Khusus
Informan Display Data
P pusat sumber itu ada di SLB N 2
Yogyakarta berdasarkan SK Gubernur,
kalau disetiap kabupaten itu namanya
sub pusat sumber dan pembentukannya
dari SK Kepala Dinas. Jadi dibawah
pusat sumber itu ada sub pusat sumber,
itu ada di masing kabupaten/ kota,
kebanyakan SLB yang ditunjuk SLB
Negeri, jadi kalo sub pusat sumber yang
dikabupaten/ kota itu biasanya negeri
tapi kalau yang kekhususan, seperti autis
ada yang swasta juga.
S Ada, pusat sumber yang di Kabupaten
itu ada di beberapa SLB namanya RC
(resource center) sudah ada sejak tahun
2013. Surat pemutusannya ada di
DIKDAS PLB Dinas Provinsi. SLB itu
dipilih yang mampu sebagai menjadi
pusat rujukan artinya kalo ada
permasalahan bisa menjadi sumber
pertanyaan informasi, atau konsultan
bagi sekolah inklusi mas.
Kesimpulan Dinas Pendidikan terkait telah berupaya
untuk memberikan fasiltas untuk
mendukung pendidikan inklusi atau
sebagai rujukan jika sekolah mengalami
permasalahan, dengan memilih SLB
yang mampu menjadi pusat rujukan.
192
f. Pengelolaan Asesmen di Sekolah Inklusi
1) Perencanaan Pengelolaan Asesmen
Informan Display Data
A Perencanaan pelaksaanaan asesmen
yang dilakukan sekolah, kita
merencanakan pelaksanaan asesmen tiap
tahunnya, nanti ada instrumen
pelaksanaan asesmen, kemudian saya
memberikan instrumen itu ke guru
kelas, nanti guru kelas mengadakan
asesmen. bahkan ada yang dilakukan
setiap satu semester. Jadi tetap kita
pantau perkembangannya. Selain itu ada
instrumen untuk ke orang tua, itu
biasanaya lebih ke riwayat anak,
kelahiran, riwayat pertumbuhan dan
lainnya
SA Kalau diharuskan walaupun tidak
diharuskan kami sekolah inklusi tetap
melaksanakan di awal tahun pelajaran,
karena akan menentukan anak tersebut
berkebutuhan atau tidak. Jadi asesmen
tetap diadakan di awal tahun pelajaran.
Karena kami menyadari kalo sekolah
inklusi ya harus ada asesmen
Kesimpulan Perencanaan pelaksanaan asesmen
dilakukan sejak kelas rendah, dan
dilakukan secara berkesinambungan dari
kelas rendah ke kelas yang lebih tinggi,
dengan melibatkan berbagai pihak.
193
2) Pengelolaan Asesmen di Sekolah
a) Tahap Identifikasi
Informan Display Data
Y Dilihat dari prestasinya bagaimana,
perilakunya, kepribadiannya juga. Kalau
prestasinya jauh dari temen lainnya, Oh
anak ini kemungkinan ABK, nanti saya
lapor ke GPK baru GPK yang menindak
lanjuti
SA Pertama, ada pengamatan yang
dilakukan guru kelas dan
dikonsultasikan ke GPK dan Kepala
Sekolah. Selanjutnya baru
ditindaklanjuti dengan wawancara atau
pengisian instrumen/ blangko untuk
penentuan ketunaan sementara. Tahapan
selanjutnya dengan membawa anak itu
untuk diasesmenkan di Puskesmas
AL Kalau saya menilai dengan cara lisan,
dan mengamati perkembangan belajar
anak seperti keakftifan anak, hasil
belajar dan nanti berdiskusi dengan
GPK
194
Kesimpulan Pelaksanaan identifikasi dilakukan guru
kelas melalui pengamatan, dan
instrumen. Kriteria yang menjadi acuan
penetapan sementara ABK biasanya
berupa faktor prestasi, perilaku,dan
kepribadian anak. Identifikasi tersebut
dilakukan untuk menentukan dugaan
sementara bahwa anak tersebut memiliki
ketunaan dan sebagai dasar tindak
selanjutnya.
b) Tahap Asesmen
Informan Display Data
A Kalau metode asesmen kita pertama
melakukan wawancara pada orang tua
atau mulai dari lahir selama
perkembangan bagaimana. Kemudian
jika saya berdiskusi dengan guru kelas
kita lihat bagaimana perkembangan
anak selama pertama masuk mungkins
setelah satu bulan nanti bisa kelihatan
apakah anak itu kita curigai sebagai
abk, setelah itu kita konsultasi, dan
memberi tahu ke orang tua bahwa ini
anak ibu seperti ini, kemudain kita ke
Puskesmas untuk dites IQ. Kalau sudah
ada tes IQ kita tahu dan memastikan
bagaimana kondisi anak, kemudian
orang tua tahu kita beri arahan kalo dia
memang tidak bisa berkembang secara
195
akademik kita arahkan ke SLB. Tapi itu
kembali ke orang tuanya lagi mas,
apakah orang tua tidak mau dipindah
anaknya akan dikeluarkan kan juga
eman- eman dan tidak boleh kan mas,
dan tetap itu tanggung jawab kita
bersama
I Kalau tes IQ sudah pernah di tes IQ kan
satu kali, hasilnya diberikan kesekolah.
Dari surat itu dikasih tahu anak ibu itu
usianya berkisar 4 tahun 6 bulan,
kemudian diberikan saran harus belajar
rutin dan dipantau terus menerus, ada
saran untuk dileskan namun kami
sedikit kesulitan, jadi hanya saya ajari
saja dirumah
Kesimpulan asesmen dilakukan secara sistematis,
mulai pengumpulan informasi,
pengamatan, konsultasi, dan tes IQ.
Peran orang tua juga dilibatkan dan
berpengaruh pada perkembangan anak
selanjutnya, dengan pengarahan dari
sekolah atau Puskesmas.
196
c) Pembahasan Hasil Asesmen
Informan Display Data
A Saran yang diberikan Pukesmas itu ada,
seperti gambaran anak itu seperti apa,
kelemahan anak sepertai apa,
kelebihanya, terus yang bisa
dikembangkan seperti apa itu ada. Jadi
biasanaya kalau orang tuanya kooperatif
nanti juga saya ajak untuk diberikan
penyuluhan dari Puskesmas
SA Pembahasan hasil identifikasi.asesmen
biasanya dilakukan oleh GPK, guru
kelas dan orang tua, untuk digunakan
sebagai perumusan rancangan
pembelajaran, kalau orang tua untuk
memberikan hasil assessmen dan apa –
apa saja yang perlu diberikan kepada
anak saat dirumah. Karena kalau hanya
dari pihak sekolah sendiri, nantinya
anak akan sulit berkembang
AL Setelah dites IQ saya berdiskusi dengan
GPK berdasarkan hasil dan saran dari
Puskesmas, kemudian memberi tahu
orang tua anak
I Dulu pernah disuruh Ibu wali kelas
sama Ibu Astuti untuk memantau belajar
anak dan perutinan belajar, dan dulu
pernah saya leskan ke tempat wali kelas
tapi karena anaknya dulu tidak penuh
berangkat, kemudian saya stop, karena
197
hanya membuang biaya
Kesimpulan Pembahasan hasil untuk mencari solusi
memecahkan masalah atau kelemahan
pada anak, serta menyampaikan arahan
kepada wali siswa terkait hasil dan
penanganan anak dirumah. Pembahasan
tersebut melibatkan peran dari guru
kelas, GPK, dan orang tua anak.
g. Tindak Lanjut Asesmen
1) Perencanaan Pembelajaran
Informan Display Data
A Rencana pembelajaran itu saya dan guru
kelas, jadi saya hanya membimbing dan
mendampingi guru kelas dalam
membuat RPP, karena kecenderungan
RPP di sini menurunkan indikator
kesulitan, dilihat dari banyak ABK yang
mengalami hambatan kecerdasannya
SA kami dalam perencanaan RPP, ada RPP
yang di modifikasi jadi RPPnya itu
tujuannya sudah dibagi dua untuk ABK
dan reguler, dan itu sudah ada
penurunan tingkat kesukaran materi,
dari kelas satu sampai kelas 5. Untuk
kelas 6 kami tidak menurunkan
kesukaran materi, karena agar kelas
enam bisa mengikuti ujian nasional
semua. Karena untuk naik masuk ke
SMP inklusi itu disini masih jauh,
198
kasihan orang tua mereka. Karena kan
jika sekolah sendiri yang membuat ujian
nanti anak tidak punya ijazah hanya
STTD. Dan saat mau melanjutkan ke
SMP harus SMP inklusi dan itu jauh,
jadi kami justru takut kalau anak itu bisa
putus sekolah. Jadi kelas enam kami
paksakan untuk sama rata, hanya kami
menurunkan nilai KKM sehingga
mendekati ABK itu bisa lulus, bisa
KKM itu skor 2. Jadi ada mata pelajaran
tertentu itu kami menerapkan KKM itu
bisa 1-2 karena untuk mengawekani
ABK itu agar bisa lulus
Y Kalau penyusunan RPP terintegrasi,
RPPnya masih sama jika yang saya
buat, belum disendirikan. Karena kalau
saya sendirikan nanti repot mas
AL Saya menggunakan RPP yang
terintegrasii. Tapi RPP yang saya buat
saya rasa belum mampu meningkatkan
kemampuan anak, jadi jika saya
setarakan dengan anak nomal
kemungkinan gak bisa mengikut. Kalau
RPP khusus ABK juga dirasa belum
mampu juga. Terkadang saya buat soal
dua macam yang satu normal dan satu
abk. Tapi kadang matematika saya
turunkan angkanya
199
Kesimpulan guru mempunyai satu RPP namun
didalamnya memuat dua rumusan
perencanaan yaitu untuk siswa reguler
dan siswa berkebutuhan khusus.
Terdapat komponen pembelajaran yang
tidak dimodifikasi seperti rumusan
Standar Kompetensi (SK), Kompetensi
Dasar (KD) dan alokasi waktu.
Modifikasi yang dilakukan pada
penurunan tingkat kesukaran, namun
untuk kelas VI disamaratakan.
b) Pelaksanaan Pembelajaran
Informan Display Data
A Pelaksanaan pembelajaran lebih ke guru
kelas, dan saya hanya mendampingi saja
jika ada kesulitan”.
AL Kalau yang saya lakukan pengajaran
dilakukan seperti pada RPP yang saya
buat, kadang diskusi, ceramah, atau
dikte. GPK kadang masuk kekelas III,
biasanya mendampingi anak yang
tunagrahita. Kalau penempatan tempat
duduknya saya pisah antara ABK dan
yang biasa, namun tetap tempat
duduknya berputar setiap minggunya
Y Kalau pengelolaan didalam kelas itu
diajarkan sama dengan yang umum, tapi
ada tambahannya supaya tidak ketinggal
jauh dari temannya diberi jam
tambahan. Dan tempat duduknya
200
dicampur tapi disendirikan yang ABK-
nya. Prestasi belajarnya juga jauh
dibandingkan dengan anak normal.
Kalau ada tugas tetap kita dampingi
tidak ditinggal
Kesimpulan Pelaksanaan pembelajaran dilakukan
seperti kelas reguler pada umumnya,
GPK hanya mendampingi ABK.
Sedangkan tempat duduk ABK
disendirikan bersama ABK atau
didekatkan dengan meja guru, agar guru
mudah memantau dan mendampingi
anak.
d) Evaluasi Belajar
Informan Display Data
Y Model evaluasi yang dilakukan sendiri,
contohnya kalau misalnya matematika,
MTK jika perkalian kalau yang anak
normal bilangannya besar tapi kalo
ABK masih rendah bilangannya. jika
belum ada peningkatan nanti ada
perbaikan, itupun masih tetap saya
dampingi, karena anaknya sulit
membaca dan tidak bisa memahami isi
bacaan belum tahu maksudnya. Nanti
kalo dibiarkan nilainya bisa nol- nol
terus mas
201
AL yang khusus inklusi hanya lisan,
sedangkan saat pas ulangan ya saya
bacakan tapi kadang juga tidak bisa dan
sulit nyambung. Ada juga yang suruh
milih pilihan ganda abc, itu disilang
semua. Evaluasinya saya kasih soal
sendiri untuk yang normal kalau yang
abk ya lisan, jawabanya nanti saya tulis
baru bisa saya lakukan penilaian. Kalau
lisan dia bisa jawabnya, tapi kalau nulis
itu disilang semua. hal itu dialami oleh
anak abk yang tunagrahita.
I Saya rasa nilai anak saya sekarang tidak
beda jauh dengan nilai anak lainnya,
dan perkembangan yang saya rasakan
sekarang anak sudah lebih peka, bisa
membaca, menulis dan tanggungg jawab
Kesimpulan Model evaluasi yang dilakukan
mengikuti kebutuhan siswa,
disendirikan dengan siswa reguler.
Beberapa orang tua sudah merasakan
perkembangan belajar anak meningkat.
h. Pelayanan Pendidikan Khusus
Informan Display Data
SA Sebatas pengulangan materi, tambahan
kalau disinag hari sekitar 1-1/2 jam ada
pengulangan materi pada ABK supaya
tidak kebingungan dan diakhir
202
pelajaran. Itu hanya tinggal ABK yang
mendapat pendalaman materi
A Pelayanan pendidikan khusus hanya
pemberian tambahan jam belajar, dan
guru kelas ada yang seperti itu mas, tapi
ya itu kesadaran sih mas, kalau saya
ingin ngopyak opyak tidak enak gitu
mas
Y Pelayanan pendidikan khusus hanya
penambahan jam belajar, dan
pelaksanaanya tidak tentu tapi setelah
pulang pelajaran khusus ABKnya. Tapi
kadang kalau teman ABK lainnya sudah
pulang, mereka ikut gelisah ingin
pulang. Jadi hanya sebentar. Itupun
responya, ada satu anak yang tidak mau
dengan pelajaran yang diberikan,
responya sulit. Dia itu mudah lupa, suka
bengong, kalau ditanya atau diingatkan
menunduk
Kesimpulan Pelayanan pendidikan khusus hanya jam
tambahan belajar seusai pembelajaran
reguler berakhir, untuk menguatkan
materi.
203
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Pengelolaan
Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga Provinsi DIY.
a. Faktor Pendukung
Informan Display Data
P Kemampun guru atau kekurangan guru
itu sendiri pertama kurang, kdua mereka
belum tahu dan perlu dilatih. Seperti
yang pernah disampikan bapak Rochmat
Wahab sekarang ini ada materi PLB
sekian SKS masuk dalam mata kuliah di
setiap prodi UNY juga menjadi faktor
pendukungnya.
S Kalau pendukungnya pemahaman
tentang pendidikan inklsui sudah
mampu diakses oleh setiap
masyarakatnya
SA Kalau faktor pendukungnya yaitu orang
tua siswa kooperatif bisa diajak untuk
bermusyawarah, gurunya juga sabar,
pihak puskesmas juga bisa menerima
kami dengan enak,
Kesimpulan Faktor pendukung dalam implementasi
kebijakan asesmen ini dalam
penerapannya di sekolah
inklusidiantaranya pemberian materi
PLB pada perkuliahan yang mencetak
tenaga guru. Sehingga masalah
pemahaman guru kedepannya dapat
lebih luas dan siap jika menangani
204
ABK. Pemahaman masyarakat terkait
pendidikan inklusi saat ini sudah dapat
diketahui serta diakses setiap masarakat.
Orang tua anak mulai kooperatif dalam
bermusyawarah.
b)Faktor Penghambatnya
Informan Display Data
P GPK alokasi waktunya hanya 2 hari,
dengan 4 hari di SLB. Itupun di slb
ditinggal 2 hari juga kewalahan. Faktor
penghambat lainnya seperti jumlah
sekolah inklusi kan sekian banyak, jadi
kendala yang sering ditemui di
penganggarannya. Mungkin juga
kendalanya jumlah sekolah itu sekian
dan kita hanya bisa melaksanakannya
tidak semua kena hanya sekitar 80 saja.
Selain itu termasuk didalamnya
pengalokasikan pembinaan sekolah
oleh dinas kota dalam membina sekolah
inklusi belum maksimal
S Faktor penghambatnya itu pemahaman
terhadap kebijakan pendidikan inklusi
belum semua dipahami guru reguler.
Jadi mereka beranggapan jika siswa
inklusi itu akan menghambat prestasi
sekolah. Perumpamaanya seperti ini
anak lambat belajar ini kalau diiterima
disekolah akan mengurangi rata rata
205
prestasi sekolah kami. Padahal
kebijakan di pemerintah pusat itu ada
peningkatan mutu / kualitas akademik
dan non akademik dan peningkatan
akses, semua warga negara berhak
mendapatkan pendidikan
Kesimpulan Faktor penghambat yang dirasakan
Dinas Pendidikan mengacu pada
permasalahan dalam peningkatan akses
dan mutu. Kendala yang dialami
kebanyakan dari faktor kemampuan
guru dalam hal pendidikan dan
pelayanan ABK masih kurang,
diperbantukan GPK dari Dinas juga
dirasa belum mampu. Dikarenakan
sekolah inklusi yang ada berbanding
terbalik dengan ketersediaan GPK yang
diambil dari SLB, serta pelatihan dan
terbatas anggaran yang ada.
206
CATATAN LAPANGAN
Catatan Lapangan I
Hari/ Tanggal : Selasa, 6 September 2016
Pukul : 12. 39 WIB
Pada hari tersebut peneliti berkunjung ke Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga Provinsi DIY pada pukul 12. 39 WIB untuk menemui Bapak Purwadi
selaku Kepala Seksi Pendidikan Luar Biasa untuk wawancara penelitian. Suasana
yang sibuk nampak dalam ruangan tersebut. Selain itu mengingatkan kembali
masa – masa saat melakukan PPL (Praktek Pengalaman Lapangan ) dahulu.
Penulis menyampaiakan proposal penelitian dan maksud dari penelitian tersebut.
Selain mewanancarai beliau, penulis juga mencari data – data pendukung dalam
penelitian, seperti program-program, rekap data SPPI, serta SK pembentukan
Pusat Sumber dan Sub Pusat Sumber. Penulis juga disarankan untuk mengikuti
pelatihan pengelolaan assessmen guru SPPI yang sedang berlangsung saat itu.
Tepatnya Hotel UIN Yogyakarta selama 5 hari mulai dari tanggal 5 September
hingga 10 September 2016. Selepas itu penulis menyampaikan ucapan terima
kasih dan berpamitan.
Lampiran III
207
Catatan Lapangan II
Hari/Tanggal : Jum’at, 9 September 2016
Pukul : 08. 54 WIB
Pagi itu sekitar pukul 08.54 WIB penulis datang ke Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sleman, untuk melakukan wawancara lanjutan.
Sebelumnya penulis telah datang namun gagal bertemu dengan Kepala Seksi
Bidang Kurikulum dan Kesiswaan TK dan SD, Bapak Subardi. Dinas Pendidikan
Kabupaten Sleman dianggap turut berperan dalam pelaksanaan dan pengelolaan
sekolah inklusi di Kabupaten Sleman, selain itu dikarenakan sekolah yang
menjadi subjek penelitian selanjutnya berada di Sleman. Di hari itu penulis
bertemu dengan beliau, bercengkrama terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan
menjabarkan maksud dan tujuan kedatangan. wawancara berlangsung sekitar
setengah jam. Beliau akan bertemu dengan tamu sehingga proses wawancara kami
percepat. Setelah wawancara selesai dilakukan saya berpamitan dan mengucapkan
terima kasih, selain itu juga memohon jika masih ada kekurangan untuk dapat
bertemu dengan beliau.
Pada hari pula penulis berkunjung ke SD Negeri Brengosan I sekitar pukul
09.30 WIB dan disambut dengan suasana sekolah yang asri. Saat itu penulis
bermaksud untuk menyampaikan ijin penelitian dan proposal penelitian, serta
memohon bantuan dari sekolah dalam proses penelitian tersebut. Janji antara
kedua belah pihak telah disepakati untuk melakukan wawancara pada hari kamis
tanggal 15 September 2016.
208
Catatan Lapangan III
Hari/Tanggal : Kamis, 15 September 2016
Pukul : 08. 47 WIB
Setelah hari yang disepakati tiba, penulis datang ke SD N Brengosan I
untuk melakukan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan
terhadap 3 narasumber diantaranya Kepala Sekolah yaitu bapak Sarjiyo, Ibu Guru
Pendamping Khusus yakni Ibu Astuti, dan Ibu guru kelas atas nama Ibu Andri
Lestari. Wawancara berlangsung sekitar 70 menit dengan rata –rata durasi 22
menit. Ketiga pihak tersebut dapat bekerjasama dengan kooperatif. Setelah
melakukan wawancara, penulis meminta dokumen pendukung berupa rekap data
siswa, guru dan karyawan, riwayat sekolah, RPP (rencana pembelajaran), serta
instrumen identifikasi/ assessmen. Dokumen tersebut dapat terpenuhi, namun
belum semua karena untuk instrumen identifikasi/ assessmen belum dibawa GPK.
Selain itu penulis ikut bergabung dalam kegiatan belajar di kelas III, sebagai kelas
yang memiliki ABK cukup banyak. Anak berketunaan lambat belajar sebanyak 3
siswa, dan 2 siswa berketunaan tunagrahita. Proses belajar mengajar dilakukan
seperti kelas pada umumnya, namun ada peran GPK yang turut mendampingi
siswa ABK di Kelas. GPK lebih sering mendampingi anak tunagrahita. Selepas
itu peneliti mengajukan pamit dan berterimakasih.
209
Catatan Lapangan IV
Hari/Tanggal :Kamis, 29 September 2016
Pukul : 10.29 WIB
Selang beberapa hari peneliti kembali berkunjung ke SD N Brengosan I
untuk melengkapi tambahan narasumber untuk guru kelas, sebagai pembanding
antara guru kelas rendah dan tinggi. Saat itu peneliti memilih perwakilan dari guru
kelas IV, dikarenakan jumlah ABK di kelas tersebut lebih banyak dibandingkan
kelas V dan VI. ABK yang ada berjumlah 6 siswa, 5 siswa berketunaan lambat
belajar dan 1 siswa berketunaan tunagrahita. Wawancara dilakukan selama 38
menit, dan dilanjutkan dengan observasi mengikuti proses KBM di kelas IV.
Suasana pengajaran dilakukan seperti biasa, guru kelas mengajar sendiri tanpa
GPK. Sesekali mengajari siswa yang berketunaan, nampak kesulitan sekali adalah
siswa ABK tunagrahita. Setelah selesai peneliti mengajukan untuk pergi dan
berterima kasih.
210
Catatan Lapangan V
Hari/Tanggal : Jum’at, 30 September 2016
Pukul : 14.52 WIB
Peneliti kembali menemui bapak Subardi selaku Kepala Seksi Kurikulum
dan Kesiswaan Dinas Pendidikan Sleman untuk melakukan wawancara tambahan.
Untuk melengkapi wawancara terdahulu yang terpotong dikarenakan kesibukan
beliau. Wawancara dilakukan santai namun tetap fokus pada masalah. Kurang
lebih 20 menit peneliti dan narasumber saling berbincang.
211
Catatan Lapangan VI
Hari/Tanggal : Rabu, 19 Oktober 2016
Pukul : 10.03 WIB
Peneliti datang ke SD Negeri Brengosan I untuk melakukan wawancara
tambahan, sekaligus mengumpulkan dokumentasi instrumen Identifikasi dan
assessmen, serta mendokumentasikan proses jam tambahan belajar dan
ekstrakurikuler. Hal ini dikarenakan sebelumnya data instrumen tersebut belum
ada, dan dapat diterima peneliti pada hari itu. Kurang lebih 23 menit peneliti dan
narasumber berbincang- bincang dengan GPK yakni Ibu Astuti. Peneiliti juga
meminta bantuan dari GPK untuk menghubungkan kepada wali murid ABK yang
dapat diwawancarai. Kemudian GPK akan memberi tahu peneliti jika ada
walimurid yang bersedia diwawancarai. Selepas itu peneliti menunggu jam
pulang sekolah untuk dapat mengikuti jam tambahan belajar bagi Kelas I,
dikarenakan untuk kelas lainnya terbentur jadwal ekstrakurikurikuler Pramuka.
Jam tambahaan belajar diikuti oleh 3 siswa, 2 siswa dianggap lemah dan satu
siswa diikutsertakan sebagai teman tambahan. Materi yang diajarkan saat itu
pembelajaran huruf dan membaca, siswa sangat terpengaruh kepada teman
lainnya yang sudah pulang sehingga sulit fokus. Kgiatan tersebut berlangsung
sekitar 20 menit karena siswa sudah tidak kerasan, sehingga guru hanya memberi
tugas bagi siswa ABK. Selepas jam tambahan belajar usai peneliti juga
berkesempatan untuk mendokumentasikan kegiatan ekstrakurikuler Pramuka, baik
anak normal dan ABK semua wajib mengikuti Pramuka.
212
Catatan Lapangan VII
Hari/Tanggal : Minggu, 6 November 2016
Pukul : 16.40 WIB
Setelah mendapat informasi dari GPK bahwa ada wali murid yang
bersedia diwawancarai, peneliti menghubungi beliau Bapak Sihomo sesuai saran
dari GPK. Beberapa hari peneliti sulit menemui, hingga pada akhirnya peneliti
dapat bertemu dengan beliau pada hari tanggal 6 November 2016 pukul 16. 40
WIB. Sore itu peneliti datang berkunjung kerumah beliau untuk melakukan
wawancara, dan disambut oleh walimurid. Siswa yang dianggap ABK juga sedang
bermain disekitar rumah. Nampak dari wajah anak tersebut seperti anak normal
pada umumnya, hanya sedikit hiper. Peneliti berbincang – bincang dengan wali
murid berdasarkan fokus yang dicari, nampak pula ABK tersebut memberikan
makanan dan minuman kepada kami. Sekitar 60 menit kami berbincang- bincang
dengan bapak Sihomo bersama istrinya, setelah dirasa data yang diperoleh telah
mencukupi. Peneliti berterimakasih dan memohon pamit.
213
DOKUMENTASI
Gambar 1. Proses pelaksanaan pelatihan
asesmen ABK guru SPPI tahun 2016
Gambar 2. Materi pelatihan Alphabet Braile
saat pelatihan asesmen ABK guru SPPI
Lampiran IV
Gambar 3. Plang penampang identitas SD N
Brengosan I Gambar 4. Piala – piala dan prestasi yang
diperoleh SD N Brengosan I
214
Gambar 5. Struktur organisasi pengurus (guru & karyawan) sebagai SDM
pelaksanaan pengelolaan asesmen dan pendidikan inklusi SD N Brengosan I selaku
sasaran kebijakan Dinas Pendidikan terkait
215
Gambar 6.Pelayanan khusus ABK berupa
Pendampingan oleh guru reguler saat KBM
dikelas IV
Gambar 7. Pelayanan ABK berupa
pendampingan oleh GPK terhadap ABK
kategori berat di kelas III
Gambar 8. Ekstrakurikuler kesenian tari pada
kelas II yang diikuti siswa normal dan ABK
dalam rangka pengembangan potensi anak
Gambar 9. Pelayanan Pendidikan Khusus
berupa jam tambahan belajar untuk siswa
ABK
216
Gambar 10. Wawancara dengan Kepala Sie.
PLB DISDIKPORA Prov. DIY selaku agen
kebijakan (Pembina)
Gambar 11. Wawancara dengan Kepala
Kursis TK- SD DISDIK Kab. Sleman selaku
agen kebijakan (Pelaksana)
Gambar 12. Wawancara dengan Kepala SD N
brengosan I yaitu Bapak SA Gambar 13. Wawancara dengan GPK SD N
brengosan I yaitu Ibu A
Gambar 14. Wawancara dengan Ibu Y selaku
Guru kelas IV Gambar 15. Wawancara dengan Ibu I sebagai
wali siswa ABK (slow learner)
217
A. Instrumen Identifikasi SD N Brengosan I
Lampiran V
218
219
220
221
222
223
224
225
226
227
228
229
B. Hasil Asesmen Siswa ABK
230
231
232
233
C. Rencana Pembelajaran Siswa (RPP)
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Nama Sekolah : SD Negeri Brengosan 1
Mata Pelajaran : Matematika
Kelas/Semester : III/1
Waktu : 2 X 35 menit (2 JP)
Tahun Pelajaran : 2015/2016
Standar Kompetensi
1. Melakukan operasi hitung bilangan sampai tiga angka
Kompetensi Dasar
1.1. Menentukan letak bilangan pada garis bilangan
Indikator
Umum ABK
1.1.1. Membilang secara urut
1.1.2. Mengurutkan bilangan dan
menentukan posisinya pada garis
bilangan
1.1.3. Membandingkan bilangan
1.1.1. Membilang secara urut bilangan 2
angka
1.1.2. Mengurutkan bilangan dan
menentukan posisinya pada garis
bilangan dari bilangan 2 angka
1.1.3. Membandingkan bilangan dari
bilangan 2 angka
Nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa
- Disiplin
- Jujur
- Kerja keras
Tujuan Pembelajaran
Umum ABK
1. Siswa dapat membilang bilangan tiga
angka secara urut
2. Siswa dapat mengurutkan bilangan tiga
angka dan menentukan posisinya pada
garis bilangan
3. Siswa dapat membandingkan bilangan
tiga angka “kurang dari” atau “lebih
dari” dan “sama dengan” dengan tanda
<, >, =
1. Siswa dapat membilang bilangan 2
angka secara urut dengan bimbingan
guru
2. Siswa dapat mengurutkan bilangan 2
angka dan menentukan dengan
bimbingan guru
3. Siswa dapat membandingkan bilangan
2 angka “kurang dari”, atau ” lebih
dari”, dan “sama dengan” dengan tanda
<, >, = dengan bimbingan guru
234
Materi Ajar
Operasi Hitung Bilangan
Metode Pembelajaran
- Diskusi
- Penugasan
- Ceramah
Langkah-langkah Pembelajaran
1. Kegiatan Awal ( 5 menit)
Berdoa, salam, menyanyikan lagu Indonesia Raya, mengabsensi siswa
Apersepsi
- Tanya jawab tentang materi yang lalu
- Menyampaikantujuan yang hendakdicapai
2. Kegiatan Inti (55 menit)
Umum ABK
Eksplorasi
Siswa diminta membaca lambang
bilangan 3 angka
Eksplorasi
Siswa diminta membaca lambang
bilangan 2 angka
Elaborasi
Siswa dibagi dalam beberapa kelompok
Siswa diminta membuat garis bilangan
Siswa diminta membandingkan bilangan
Elaborasi
Siswa dibimbing guru membuat garis
bilangan dan membandingkan
bilangan dari 2 angka
Konfirmasi
Siswa diberikan tugas mengerjakan soal
latihan
Guru bertanya jawab tentang hal-hal
yang belum diketahui siswa
Guru bersama siswa bertanya jawab
memberikan penguatan dan
penyimpulan
Konfirmasi
Siswa diberikan tugas mengerjakan
soal latihan
Guru bertanya jawab tentang hal-hal
yang belum diketahui siswa
Guru bersama siswa bertanya jawab
memberikan penguatan dan
penyimpulan
2. Kegiatan Penutup (10 menit)
Membuat rangkuman materi yang telah disampaikan
Memberikan pekerjaan rumah
Menginformasikan materi yang akan dipelajari pada pertemuan selanjutnya
NB : Jika siswa ABK masih mengalami kesulitan dalam memahami materi,
diberikan tambahan waktu diluar jam pelajaran
Alat/Bahan dan Sumber Belajar
- Nur Fajariyah, Devi Triratnawati, Cerdas Berhitung Matematika SD kelas 3
- Kartu angka
- Gambar kubus
- Garis bilangan
- Kartu tanda <, >, =
235
- Lembar kerja siswa
Penilaian
1. Teknik Penilaian : Pengamatan, dan tertulis
Bentuk tes : Isian singkat
2. Penugasan
Guru memeriksa dan mengecek apakah tugas yang diberikan ke siswa dapat
terselesaikan dengan baik atau tidak
Instrumen Penilaian :
Umum ABK
Kerjakan soal berikut ini !
1. Urutkan bilangan 374, 375, 381, 377, 378,
376, 379, 380 pada garis bilangan!
2. Tulislah bilangan antara :
a. 227 dan 235
b. 233 dan 238
3. Bandingkan angka di bawah ini dengan
tanda < , >, atau = :
a. 252 ... 249
b. 356 ... 360
Kerjakan soal berikut ini !
1. Urutkan bilangan 27, 29,
30,31,25, 28, 24, 26 pada garis
bilangan !
2. Tuliskan bilangan antara :
a.30 dan 35
b.23 dan 29
3. Bandingkan angka di bawah ini
dengan tanda <, >, atau = :
a. 28 ... 15
b. 34 ... 40
Kunci jawaban
1.
2. a. 227,228,229,230,231,232,233,234,235
b. 233,234,235,236,237,238,
3. a. >
b. <
Kunci jawaban
1.
2. a. 30,31,32,33,34,35
b. 23,24,25,26,27,28,29
3. a. >
b. <
Nilai
Jumlah benar X 20 Nilai
Jumlah benar X 20
Mengetahui , Brengosan 1, 28 Agustus 2015
Kepala Sekolah Guru Kelas III
A. Sarjiyo, S.Pd. Andy Lestari, S.Pd
NIP. 19580811 197803 1 009 NIP. -
236
A. Surat Keputusan Pembentukan Anggota Pusat Sumber
Lampiran VI
237
238
239
240
241
B. Surat Keputusan Pembentukan Sub Pusat Sumber
242
243
244
C. Surat Keputusan Penetapan Sekolah Inklusi
245
246
A. Surat Ijin Penelitian
Lampiran VII
247
248