implementasi deteksi mata otomatis menggunakan … · wavelet dan k-means clustering, dan tahap...

5
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 AbstrakDeteksi mata merupakan langkah awal yang penting dalam proses pengenalan wajah dan analisis ekspresi. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menghindari kasus kesalahan deteksi mata. Kasus kesalahan deteksi mata menyebabkan kinerja sistem dalam pengenalan wajah menjadi kurang akurat. Jadi, metode yang mampu mendeteksi mata secara optimal perlu dikembangkan. Oleh karena itu, artikel ini menyajikan metode deteksi mata otomatis berdasarkan informasi intensitas untuk memecahkan masalah tersebut. Metode ini berisi tiga tahap utama meliputi tahap awal praproses analisis histogram, tahap proses transformasi Gabor wavelet dan K-means clustering, dan tahap akhir neighborhood operator untuk menentukan posisi yang tepat dari pusat pupil mata. Uji coba dilakukan terhadap 60 data uji dari citra LFW (Labeled Face in the Wild). Metode ini menghasilkan akurasi sebesar 93,33% dengan menggunakan nilai correction error < 0,16. Berdasarkan uji coba yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa metode yang diusulkan cukup bagus untuk pendeteksian pupil mata. Kata Kunci—Analisis histogram, K-means clustering, Neigborhood operator, Transformasi Gabor wavelet I. PENDAHULUAN eteksi mata merupakan langkah awal yang penting dalam pengenalan wajah dan analisis ekspresi. Dalam beberapa tahun terakhir, upaya penelitian pada bidang pengenalan wajah telah dilakukan untuk meningkatkan efektivitasnya. Secara umum algoritma deteksi mata dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu citra berbasis inframerah aktif dan citra berbasis pasif. Kategori pendekatan berbasis inframerah aktif menggunakan sifat fisiologis pupil mata di bawah penerangan inframerah. Pendekatan ini dapat memperoleh posisi mata yang sangat akurat. Akan tetapi, pendekatan ini memerlukan perangkat keras tambahan untuk pengaturan tahap akuisisi citra sehingga membatasi potensi aplikasi. Pendekatan metode pasif juga menghasilkan hasil yang baik dalam beberapa percobaan tetapi hal tersebut juga memiliki keterbatasan. Ketika pendekatan metode pasif diaplikasikan dalam ekspresi wajah, kondisi pencahayaan menjadi tidak bagus dan resolusi citra rendah. Hal tersebut mempengaruhi kinerja algoritma deteksi mata. Sehubungan dengan masalah tersebut, banyak penelitian yang telah dilakukan. Peneliti melakukan integrasi segmentasi tekstur untuk menghindari over-segmentasi benda heterogen spektral. Selain itu, kasus fenomena deteksi mata yang hilang disebabkan daerah mata diklasifikasikan sebagai daerah bukan mata dapat mempengaruhi kinerja pengenalan wajah menjadi kurang akurat. Akan tetapi, penelitian terakhir menemukan bahwa metode yang cukup akurat untuk pendeteksian mata yaitu dengan menggunakan pendekatan informasi intensitas citra [1]. Dalam artikel ini, metode deteksi mata disajikan berdasarkan informasi intensitas. Dalam metode ini informasi intensitas dianggap sebagai properti paling penting. Informasi ini digambarkan dengan kondisi mata manusia yang lebih gelap dari bagian lain dari bagian wajah. Sedangkan pupil mata merupakan bagian yang lebih gelap dari daerah sekitar bola mata. Berdasarkan dua isyarat informasi tersebut, maka metode ini dapat diaplikasikan sebagai strategi deteksi yang optimal dalam aplikasi deteksi mata. Secara khusus, metode ini berisi 3 tahap mulai dari tahap awal praproses analisis histogram, tahap proses menggunakan transformasi Gabor wavelet dan K-means clustering digunakan untuk melokalisasi sekitar mata, dan tahap akhir neighborhood operator untuk menentukan posisi yang tepat dari pusat pupil mata [1]. II. METODOLOGI A. Data Masukan Data masukan merupakan data yang digunakan oleh pengguna perangkat lunak dalam proses pendeteksian citra wajah. Data masukan yang digunakan dalam proses pendeteksian lokasi pupil mata ini berasal dari dataset citra wajah LFW (Labeled Face in the Wild) dalam format RGB dengan file ekstensi Joint Photographic experts Group (JPG). Ukuran dari input citra wajah adalah 130x150 piksel [2]. Proses uji coba dan evaluasi dilakukan dengan mengambil 60 dataset secara acak dari citra LFW. Citra yang telah dipilih tersebut akan digunakan sebagai data uji coba. Data uji coba merupakan data yang digunakan untuk menguji perangkat lunak. Hasil data uji coba tersebut akan digunakan untuk proses evaluasi akurasi dari metode pendeteksian mata. B. Praproses Citra Wajah Tahap praproses merupakan tahap yang bertujuan untuk mengurangi pengaruh-pengaruh dari banyak faktor (misalnya, kondisi pencahayaan, bayangan wajah, dan lain-lain). Pada tahap ini, terdapat beberapa proses yaitu merubah citra ke dalam bentuk citra grayscale, analisis histogram, dan image enhancement. Adapun penjelasan tentang praproses pendeteksian deteksi mata dipaparkan sebagai berikut: Implementasi Deteksi Mata Otomatis Menggunakan Pemfilteran Intensitas dan K-Means Clustering Ahmad Kadiq, Arya Yudhi Wijaya, dan Wijayanti Nurul Khotimah Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Informasi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail: [email protected] D

Upload: buithu

Post on 25-Aug-2018

221 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)

1

Abstrak—Deteksi mata merupakan langkah awal yang penting dalam proses pengenalan wajah dan analisis ekspresi. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menghindari kasus kesalahan deteksi mata. Kasus kesalahan deteksi mata menyebabkan kinerja sistem dalam pengenalan wajah menjadi kurang akurat. Jadi, metode yang mampu mendeteksi mata secara optimal perlu dikembangkan. Oleh karena itu, artikel ini menyajikan metode deteksi mata otomatis berdasarkan informasi intensitas untuk memecahkan masalah tersebut. Metode ini berisi tiga tahap utama meliputi tahap awal praproses analisis histogram, tahap proses transformasi Gabor wavelet dan K-means clustering, dan tahap akhir neighborhood operator untuk menentukan posisi yang tepat dari pusat pupil mata. Uji coba dilakukan terhadap 60 data uji dari citra LFW (Labeled Face in the Wild). Metode ini menghasilkan akurasi sebesar 93,33% dengan menggunakan nilai correction error < 0,16. Berdasarkan uji coba yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa metode yang diusulkan cukup bagus untuk pendeteksian pupil mata.

Kata Kunci—Analisis histogram, K-means clustering,

Neigborhood operator, Transformasi Gabor wavelet

I. PENDAHULUAN eteksi mata merupakan langkah awal yang penting dalam pengenalan wajah dan analisis ekspresi. Dalam beberapa

tahun terakhir, upaya penelitian pada bidang pengenalan wajah telah dilakukan untuk meningkatkan efektivitasnya. Secara umum algoritma deteksi mata dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu citra berbasis inframerah aktif dan citra berbasis pasif. Kategori pendekatan berbasis inframerah aktif menggunakan sifat fisiologis pupil mata di bawah penerangan inframerah. Pendekatan ini dapat memperoleh posisi mata yang sangat akurat. Akan tetapi, pendekatan ini memerlukan perangkat keras tambahan untuk pengaturan tahap akuisisi citra sehingga membatasi potensi aplikasi. Pendekatan metode pasif juga menghasilkan hasil yang baik dalam beberapa percobaan tetapi hal tersebut juga memiliki keterbatasan. Ketika pendekatan metode pasif diaplikasikan dalam ekspresi wajah, kondisi pencahayaan menjadi tidak bagus dan resolusi citra rendah. Hal tersebut mempengaruhi kinerja algoritma deteksi mata.

Sehubungan dengan masalah tersebut, banyak penelitian yang telah dilakukan. Peneliti melakukan integrasi segmentasi tekstur untuk menghindari over-segmentasi benda heterogen spektral. Selain itu, kasus fenomena deteksi mata yang hilang disebabkan daerah mata diklasifikasikan sebagai daerah bukan

mata dapat mempengaruhi kinerja pengenalan wajah menjadi kurang akurat. Akan tetapi, penelitian terakhir menemukan bahwa metode yang cukup akurat untuk pendeteksian mata yaitu dengan menggunakan pendekatan informasi intensitas citra [1].

Dalam artikel ini, metode deteksi mata disajikan berdasarkan informasi intensitas. Dalam metode ini informasi intensitas dianggap sebagai properti paling penting. Informasi ini digambarkan dengan kondisi mata manusia yang lebih gelap dari bagian lain dari bagian wajah. Sedangkan pupil mata merupakan bagian yang lebih gelap dari daerah sekitar bola mata. Berdasarkan dua isyarat informasi tersebut, maka metode ini dapat diaplikasikan sebagai strategi deteksi yang optimal dalam aplikasi deteksi mata. Secara khusus, metode ini berisi 3 tahap mulai dari tahap awal praproses analisis histogram, tahap proses menggunakan transformasi Gabor wavelet dan K-means clustering digunakan untuk melokalisasi sekitar mata, dan tahap akhir neighborhood operator untuk menentukan posisi yang tepat dari pusat pupil mata [1].

II. METODOLOGI

A. Data Masukan Data masukan merupakan data yang digunakan oleh

pengguna perangkat lunak dalam proses pendeteksian citra wajah. Data masukan yang digunakan dalam proses pendeteksian lokasi pupil mata ini berasal dari dataset citra wajah LFW (Labeled Face in the Wild) dalam format RGB dengan file ekstensi Joint Photographic experts Group (JPG). Ukuran dari input citra wajah adalah 130x150 piksel [2].

Proses uji coba dan evaluasi dilakukan dengan mengambil 60 dataset secara acak dari citra LFW. Citra yang telah dipilih tersebut akan digunakan sebagai data uji coba. Data uji coba merupakan data yang digunakan untuk menguji perangkat lunak. Hasil data uji coba tersebut akan digunakan untuk proses evaluasi akurasi dari metode pendeteksian mata.

B. Praproses Citra Wajah Tahap praproses merupakan tahap yang bertujuan untuk

mengurangi pengaruh-pengaruh dari banyak faktor (misalnya, kondisi pencahayaan, bayangan wajah, dan lain-lain). Pada tahap ini, terdapat beberapa proses yaitu merubah citra ke dalam bentuk citra grayscale, analisis histogram, dan image enhancement. Adapun penjelasan tentang praproses pendeteksian deteksi mata dipaparkan sebagai berikut:

Implementasi Deteksi Mata Otomatis Menggunakan Pemfilteran Intensitas dan K-Means Clustering

Ahmad Kadiq, Arya Yudhi Wijaya, dan Wijayanti Nurul Khotimah

Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Informasi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia

e-mail: [email protected]

D

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)

2

1. Proses Analisis Histogram Pada proses ini, citra masukan berupa citra wajah RGB

yang dirubah menjadi citra grayscale. Persamaan (1) merupakan formula untuk merubah citra RGB menjadi citra grayscale.

Gray = 0,299*Red+0,587*Green+0,114*Blue (1)

dimana Gray adalah citra grayscale yang akan digunakan sebagai citra input. Proses analisis histogram ini akan menghasilkan keluaran berupa nilai intensitas skin area (Si). Skin area (Si) ini akan digunakan sebagai nilai ambang dalam image enhancement. Adapun langkah-langkah proses analisis histogram dijelaskan sebagai berikut: Langkah 1: Potong input untuk mendapatkan test windows

berupa daerah persegi panjang (31 x 13 piksel) dengan posisi di tengah citra input.

Langkah 2: Bagi citra input dari 256 intentitas yang berbeda (0-255) menjadi 13 grup yang dinotasikan sebagai g1(0-19), g2(20-39), …, g12(220-239), g13(240-255). Carilah nilai maksimum m1, m2, …, m12, m13 untuk setiap grup dalam histogram dari citra input.

Langkah 3: Hitung rata-rata intensitas test windows dan tentukan gi berdasarkan grup yang sesuai dengan intensitas rata-rata. Nilai intensitas Si daerah kulit sama dengan mi [1].

2. Proses Image Enhancement

Proses ini merupakan lanjutan dalam tahap praproses. Tahap ini menggunakan citra grayscale sebagai citra masukan. Citra grayscale tersebut ditajamkan kontrasnya dengan image enhancement. Tujuan dari tahap ini adalah untuk meningkatkan kualitas citra, yaitu dengan meningkatkan tampilan visual dari citra input atau mengonversikan citra ke dalam bentuk yang lebih cocok untuk analisa mata. Citra keluaran dari image enhancement ini berupa citra yang telah ditajamkan kontrasnya. Persamaan (2) merupakan proses image enhancement.

<<=>=<

=

−− axjiIin

cSiaxaxjiIcSiininjiI

jiI

inaxinjiI Im),(Im

2/^Im,Im),(2551/^Im,Im),(0

),('

)Im(Im255)Im),(((

γγ

(2)

dimana I(i,j) dan I’(i,j) adalah nilai intensitas untuk setiap piksel sebelum dan sesudah dilakukan image enhancement, γ adalah correction factor sedangkan c1 dan c2 adalah dua threshold untuk control range nilai intensitas ouput image. Nilai γ > 1 dengan rentang [1.2,1.5] dan c1, c2 mempunyai rentang [1.2,2.4], [0.6.1.2]. Dalam artikel ini pengujian menggunakan nilai γ = 1,004 dan c1=1,9, c2=1,0 [1].

C. Transformasi Gabor Wavelet Tahap transformasi Gabor wavelet ini merupakan tahap

untuk memunculkan ciri-ciri khusus dari citra yang telah dikonvolusi terhadap kernel. Setelah melakukan peningkatan citra pada langkah sebelumnya, pengaruh variasi pencahayaan dan perubahan ekspresi deteksi mata dapat dikurangi beberapa

derajat. Akan tetapi, nilai intensitas mata manusia yang tidak selalu sama pada semua lokasi menyebabkan penentuan posisi daerah mata dari citra wajah cukup sulit. Jadi, perkiraan posisi mata diperoleh melalui proses transformasi dengan meningkatkan konvolusi citra wajah n. Metode yang digunakan adala transformasi Gabor wavelet Ψμ,ν(z). Persamaan (3) merupakan formula Gabor wavelet Ψμ,ν(z).

dimana v dan µ menentukan skala dan orientasi Gabor wavelet, z = (x, y), dan ||_|| menunjukkan operator norma. kv,µ = kv eiΦ µ adalah vektor gelombang, di mana kv = kmax / fv dan φu = πµ / 8. Kmax adalah maksimum frekuensi, dan f adalah faktor jarak antara kernel di frekuensi domain citra. Misalkan, f (x, y) adalah intensitas citra wajah, dengan konvolusi dari f (x, y) dengan Gabor wavelet ψv,µ (x, y). Persamaan (4) merupakan definisi konvolusi citra transformasi Gabor wavelet ψv,µ .

G(x,y,v,µ) = f(x,y) * ψv,μ(x,y) (4)

dimana * menunjukkan operator konvolusi. Sedangkan, G(x,y,v,µ) merupakan hasil proses Gabor wavelet yang telah terkonvolusi. Proses konvolusi ini menggunakan filter Gabor wavelet dengan lima skala yang berbeda dan delapan orientasi yang berbeda dengan parameter berikut: v ∈ {0,1,...,4}, μ ∈ {1,2,....,8}, kmax = π/2, f = √2, σ = 2π.

Representasi Gabor wavelet ini terbentuk dari dua komponen yaitu komponen representasi yang real dan komponen bagian imajiner. Akan tetapi, hanya bagian representasi real yang difokuskan dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan parameter v = {2,3,4} dan µ = 8. Pemilihan ini didasarkan pada dua alasan yaitu pada daerah mata dan alis, diorientasikan dengan karakteristik citra menonjol yang berarti bahwa sinyal mengandung kemungkinan lebih horizontal yang mencerminkan daerah lebih gelap, dan pada frekuensi rendah, orientasi Gabor wavelet terbukti lebih menguntungkan bagi perubahan berbagai intensitas rendah.

Proses transformasi Gabor wavelet ini akan menghasilkan keluaran berupa reference image. Reference image merupakan hasil penggabungan tiga komponen real dari representasi Gabor wavelet dengan parameter v = {2,3,4} dan µ = 8. Persamaan (5) merupakan formula untuk mendapatkan reference image.

Ri (x,y) = q1Greal (x,y,2,8) + q2Greal (x,y,3,8) + q3Greal (x,y,4,8) (5) q1+q2+q3=1 dan q3=2q2=4q1 (6) dimana Ri (x, y) merupakan reference image atau hasil akhir penggabungan Gabor wavelet. Greal (x,y,v u) merupakan hasil Gabor wavelet komponen real dengan parameter v = {2,3,4} dan µ = 8. Parameter q1, q2, q3 merupakan perbandingan nilai bobot masing-masing Greal dalam perhitungan formula reference image Ri (x, y).

Ψμ,ν(z) = || kμ,v /σ2 || e(-||kμ,v||2||z||2/2σ2) [ei kμ,vz-e- σ2/2]

(3)

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)

3

Citra wajah

Analisis Histogram

Citra Ter- tajamkan

Transformasi Gabor

Reference Image

Analisis Cluster

Eye Windows

Neighborhood Operator

Pupil Center RGB

Gambar. 1. Diagram alir keseluruhan proses deteksi mata

D. Analisis Cluster

Tahap ini digunakan untuk menentukan estimasi posisi lokasi mata dalam citra input. Proses diawali dengan menentukan titik lokasi region yang diestimasi dimana posisi mata berada. Region dari pemotongan hasil citra pengolahan Gabor wavelet ini disebut dengan Pretreatment Windows (PW). Posisi pemotongan PW ditentukan dengan posisi center koordinat titik mata kiri dan kanan yaitu e1(x1,y1) dan e2(x2,y2). Koordinat e1 dan e2 ditentukan pada posisi x1=1,3w/4, y1=1,6h/5, x2=2,8w/4, y2=1,6h/5 dimana w merupakan lebar citra input dan h merupakan tinggi citra input. Ukuran pemotongan PW ini adalah 0,32w x 0,32w. Citra masukan dalam proses analisis cluster adalah PW. Proses ini akan menghasilkan Eye Windows (EW). EW merupakan daerah citra yang diestimasi sebagai posisi region mata. Adapun langkah-langkah proses analisis cluster sebagai berikut: Langkah 1: Partisi PW menjadi 3 inisialisasi pusat cluster

yaitu center1 = min(PW), center2 = max(PW), center3 = (center1+center2) / 2.

Langkah 2: Proses dilakukan dengan K-means clustering. Temukan centroid baru center’1, center’2, center’3 dengan iterasi 2 loop berikutnya sampai konvergen sehingga diperoleh centroid tidak lagi berubah.

Langkah 3: Tandai piksel center’1 sebagai piksel putih dan sisanya sebagai piksel hitam. Piksel putih yang terbentuk pada citra akan dihapus jika memenuhi ketentuan sebagai berikut: • Lebar dari patch citra < ketinggian patch

citra. • Jumlah piksel dalam patch citra < 10.

Langkah 4: Hitung jumlah patch citra n, dan dapatkan pusat dari masing-masing patch citra c1(x,y), c2(x,y), …, cn(x,y). Urutkan titik pusat sebagai c’1(x,y), c’2(x,y), …, c’n(x,y) dan center’1 ≤ … ≤ c’n(y). Salah satu dapat dipilih dari n melalui proses berikut: • Jika n = 1, e(x,y) = c’1(x,y). • Jika n ≥ 2, e(x,y) = c’2(x,y).

Langkah 5: Potong citra grayscale dan dapatkan EW yang merupakan persegi panjang (31x13 piksel) berpusat di e(x,y).

E. Lokalisasi Pusat Pupil

Tahap ini merupakan tahap yang dilakukan untuk menentukan estimasi lokasi pupil mata dan melakukan penandaan pupil mata. Proses yang digunakan dalam tahap ini adalah metode neighborhood operator. Proses ini menggunakan EW sebagai citra masukan. Hasil dari proses ini berupa posisi titik yang akan digunakan untuk penandaan pupil mata pada citra asli RGB. Adapun proses neighborhood operator dijelaskan sebagai berikut: Langkah 1: Dapatkan citra NI(3,3) dengan menggunakan

operator untuk setiap piksel dari EW dengan menambahkan 3x3-neighborhood dari setiap piksel menggantikan nilai piksel pusat. Citra NI(5,5) diperoleh dengan menggunakan operator di setiap piksel NI(3,3) dengan menambahkan 5x5-neighborhood masing-masing piksel menggantikan nilai piksel pusat.

Langkah 2: Tentukan nilai minimum pmin (x,y) dalam NI(5,5) pupil. Posisi p(x,y) adalah sama dengan pmin (x,y).

Proses neighborhood operator menggunakan beberapa fungsi yaitu proses 3x3-neighborhood operator dan proses 5x5-neighborhood operator. Proses 3x3-neighborhood operator digunakan untuk mengurangi pengaruh refleksi pencahayaan pupil. Sedangkan, proses 5x5-neighborhood operator digunakan untuk mengetahui lokasi center pupil. Setelah proses neighborhood operator dilakukan, maka intensitas citra hasil akan dilakukan pengecekan nilai minimalnya. Posisi dari nilai intensitas minimal tersebut merupakan posisi yang diestimasi sebagai center dari pupil mata. Posisi titik yang didapat akan dikembalikan pada citra asli RGB.

Pada Gambar 1 dapat dilihat diagram alir keseluruhan proses pendeteksian mata beserta hasil output dari masing-masing proses yang ditunjukan dengan (a), (b), (c), (d), dan (e). Hasil ouput proses dijelaskan dengan (a) merupakan citra input proses, (b) merupakan citra hasil image enhancement, (c) merupakan citra Eye Windows, dan (e) merupakan citra RGB yang sudah ditandai.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)

4

III. UJI COBA

A. Skenario Uji Coba Proses uji coba dilakukan dengan skenario pengambilan

60 citra input sebagai data masukan secara acak. Pengujian dilakukan dengan membandingkan akurasi perhitungan jarak dari hasil titik terdeteksi berdasar metode yang diusulkan dengan titik lokasi ground truth citra asli. Penghitungan jarak yang digunakan untuk menghitung ketetanggaan titik adalah euclidean distance. Encludian distance merupakan jarak antara 2 buah titik (x1,y1) dan (x2,y2). Euclidean distance merupakan akar dari selisih posisi x dikuadratkan ditambah selisih posisi y dikuadratkan. Persamaan (7) merupakan perhitungan correction error (deye). deye = max(dl,dr) / |Cl-Cr| (7)

dimana dl dan dr merupakan euclidean distance antara ground truth citra asli dengan titik terdeteksi pada mata kiri dan kanan. Cl dan Cr merupakan pusat mata kiri dan pusat mata kanan pada ground truth. | Cl- Cr | didefinisikan sebagai jarak euclidean distance pusat mata pada ground truth citra asli. Dalam penelitian sebelumnya, dijelaskan bahwa pendeteksian dikatakan error benar jika perhitungan deye < 0,25. Hal tersebut didasarkan pada perhitungan bahwa nilai | Cl- Cr | kira-kira sama dengan dua kali lebar mata. Perhitungan error deye < 0,25 mempunyai arti bahwa ukuran besaran mata kurang dari setengah lebar mata, sehingga pendeteksian dianggap benar [3]. Akan tetapi, dalam uji coba implementasi algoritma dengan nilai error deye < 0,25 ternyata masih belum maksimal dalam akurasi ketepatan pendeteksian. Maka, evaluasi uji coba dalam penelitian ini digunakan parameter lebih kecil error deye < 0,16. Proses analisis hasil uji coba dilakukan dengan menghitung correction error tingkat deteksi ketika nilai error secara bertahap dari 0,05 - 0,16 dengan 0,01 sebagai interval. Uji coba ini dilakukan sampai dengan semua data uji telah dilakukan pendeteksian. Proses selanjutnya akan dilakukan perhitungan detection rate. Detection rate merupakan persentase nilai correction error yang benar (nilai error < 0,16) dibandingkan dengan total data uji. Adapun Persamaan (8) merupakan formula detection rate. detection rate = DetBenar / TotData*100% (8) dimana DetBenar merupakan jumlah data terdeteksi benar. TotData merupakan jumlah semua data uji yang digunakan. B. Hasil dan Analisis Uji Coba

Proses uji coba yang telah dilakukan terhadap 60 citra uji mendapatkan hasil data pada Tabel 1. Hasil data uji tersebut dikelompokan berdasarkan interval correction error dengan kategori benar. Hasil uji coba dikelompokkan secara bertahap dari correction error < 0,05 hingga correction error < 0,16 dengan 0,01 sebagai interval. Setelah itu, perhitungan detection rate dilakukan pada setiap interval correction error (7). Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai detection rate semakin meningkat dari interval correction error < 0,05 hingga correction error < 0,16.

Tabel 1.

Akurasi pengujian

Error Kurang dari

Jumlah Data Uji

Detection Rate (%)

0,05 23 38,33 0,06 28 46,67 0,07 35 58,33 0,08 39 65,00 0,09 45 75,00 0,10 47 78,33 0,11 47 78,33 0,12 51 85,00 0,13 52 86,67 0,14 53 88,33 0,15 56 93,33 0,16 56 93,33

Gambar. 2. Grafik akurasi

Nilai akurasi pendeteksian correction error < 0,16

menghasilkan persentase akurasi 93,33%. Nilai detection rate yang semakin meningkat menunjukkan bahwa akurasi proses pendeteksian semakin optimal. Gambar 2 menunjukkan grafik akurasi hasil detection rate setiap interval dari pengujian correction error < 0,05 hingga correction error < 0,16. Nilai akurasi dari setiap interval dapat dilihat pada Gambar 2 terus meningkat. Proses uji coba 60 citra tersebut menghasilkan nilai akurasi sebesar 93,33% dengan correction error < 0,16. Gambar 2 dan 3 merupakan contoh hasil uji coba dengan kategori deteksi benar dan deteksi salah. Hasil uji coba terdeteksi salah merupakan citra yang terdeteksi error dengan kategori correction error > 0,16. Kesalahan deteksi bisa disebabkan dari faktor kualitas warna dan kondisi kenampakan citra input. Kesalahan yang sering terjadi dikarenakan daerah yang seharusnya bukan daerah mata justru dideteksi sebagai mata.

Kondisi citra input wajah dengan warna kulit terlalu gelap bisa menyebabkan pendeteksian kurang akurat. Selain itu, kondisi warna wajah yang gelap dengan background citra yang juga gelap bisa menyebabkan pendeteksian kurang akurat. Hal tersebut bisa dikarenakan lokasi pupil dan daerah sekitarnya mempunyai intensitas yang sama-sama gelap sehingga proses transformasi Gabor wavelet dan analisis cluster tidak mampu memunculkan kenampakan daerah mata. Contoh kasus yang sering terjadi dalam pendeteksian ini adalah daerah alis dideteksi sebagai mata.

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)

5

Gambar. 2. Contoh citra terdeteksi benar.

Gambar. 3. Contoh citra terdeteksi salah. Faktor lain yang bisa menyebabkan kesalahan

pendeteksian adalah kondisi kenampakan wajah citra input antara lain: berkaca mata gelap, menutup mata, mambarta terlalu sipit, posisi wajah miring hanya terlihat satu mata, dan kondisi letak pupil mata yang kurang jelas. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi hasil pendeteksian posisi pupil mata. Proses penerapan metode transformasi Gabor wavelet dan analisis cluster sering terkendala untuk memunculkan kenampakan estimasi daerah mata pada kasus tersebut. Akan tetapi, pada beberapa kasus tersebut bisa terjadi kesalahan pendeteksian pada proses penentuan titik pusat pupil neighborhood operator karena intensitas yang hampir sama pada Eye Windows. Contoh kasus kesalahan penentuan titik pusat pupil neighborhood operator bisa terjadi pada kondisi citra dengan kenampakan mata yang terlalu sipit maupun letak pupil yang kurang jelas.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil uji coba yang telah dilakukan, maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi deteksi mata otomatis menggunakan pemfilteran intensitas dan K-means clustering didapatkan hasil akurasi yang cukup bagus. Implementasi algoritma menghasilkan akurasi 93,33% dari pengujian data uji sebesar 60 citra masukan yang dipilih secara acak dengan nilai correction rate < 0,16.

Dalam rangka meningkatkan akurasi deteksi pupil mata pada penelitian selanjutnya, disarankan untuk mencoba varian lain dari metode Gabor wavelet.

UCAPAN TERIMA KASIH Syukur alhamdulillah kepada Allah SWT atas limpahan

rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan artikel ini dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA [1] Qian-Zhiming, Xu-Dan. Mei 2010. Automatic eye detection using

intensity filtering and K-means clustering, Pattern Recognition Letters, Science Direct.

[2] Huang, G., Ramest, M.Berg, T., LeranedMiller. E. 2007b. Labeled faces in the wild: A. database for studyng face recognition in unconstrained environments, Technical Report Science Direct.

[3] Jersorsky, O., Kirchberg, K.,Frischholz. R.2001. Robust face detection using the Hausdorff distance. In: Bigun, J., Smeraldi, F. (Eds.), Lecture Notes in Computer Science, vol. 2091. Springer, Berlin, pp. 90-95.