imajinasi & kreativitas -...
TRANSCRIPT
IMAJINASI & KREATIVITAS
Hadrianus Tedjoworo
PIP - MATERI DISKUSI DAN SHARING PEMBELAJARAN YANG INSPIRATIF DAN INOVATIF KE 13
Status quaestionis : Adakah suatu daya lain yang bekerja dalam proses
mengetahui selain daripada rasio (pikiran/intelek/logika/reason)?
Metode fenomenologis dalam Filsafat memunculkan berbagai
implikasi bagi ilmu pengetahuan, ketika fenomena (realitas yang kita
pelajari) menampilkan diri / hadir dalam kesadaran kita.
Fenomenologi, berbeda dari hermeneutika, mengembalikan realitas
“pada dirinya sendiri”, yakni dengan melepaskan berbagai bentuk
interpretasi dan a priori. Dalam perkembangan kontemporer, misalnya,
melalui J.-L. Marion, fenomenologi menekankan bahwa segala sesuatu
itu ‘terberi’ (given), dan secara radikal fenomenologi ‘mencoret’ subjek
(yang rasional) di hadapan realitas.
PIP - MATERI DISKUSI DAN SHARING PEMBELAJARAN YANG INSPIRATIF DAN INOVATIF KE 13
Ilmu pengetahuan terlalu sering mementingkan superioritas pikiran
(rasio). Ketika subjek yang (terlalu) rasional ini ‘dicoret’ (tidak lagi menjadi
yang terpenting), ditandailah suatu kebangkitan imajinasi.
Dalam perkembangannya, epistemologi (filsafat ilmu pengetahuan)
menekankan fenomena yang terjadi “di luar” kemampuan intelek manusia.
Realitas memiliki ‘logika’-nya sendiri. Artinya, realitas di luar diri kita
‘berbicara’ kepada kita dengan cara yang tidak selalu sama dengan cara
berpikir kita selama ini!
# Apakah kita membedakan peran intelek (rasio) dan imajinasi dalam
keseharian kita berpikir dan memahami?
Pada dasarnya proses pengetahuan / pembelajaran selalu memerlukan
pengimajian – proses ‘membayangkan’ yang dibedakan dari ‘memikirkan’
– karena pengetahuan selalu terjadi di dalam kesadaran (mind) manusia.
Bahasa kita sekaligus mengungkapkan dan membatasi
hal-hal yang terekam di dalam kesadaran kita.
PIP - MATERI DISKUSI DAN SHARING PEMBELAJARAN YANG INSPIRATIF DAN INOVATIF KE 13
Dalam fenomenologi Husserl, metode reduksi dipandang sebagai proses
yang terpenting ketika manusia ‘menelanjangi’ dirinya dari berbagai
pengetahuan a priori dan berusaha ‘kembali’ pada ‘diri’ yang lebih apa
adanya. Metode ini ibarat ‘meditasi’ (tindakan membayangkan), dan
karenanya mengandaikan peran kuat imajinasi kita.
Terhadap proses pembelajaran, ‘reduksi’ bisa berarti: usaha menemukan
otentisitas metode dengan cara melonggarkan konsep-konsep dan berbagai
teori dalam upaya penyelesaian masalah. Proses pembelajaran dimurnikan
dari berbagai ‘tambahan’ spekulatif dan rasional. Dengan begitu, realitas
(fenomena) diapresiasi dalam caranya sendiri menampilkan dirinya. Bdk.
sifat ‘keterberian’ realitas di dalam pengalaman.
Apakah inovasi itu? Kecanggihan pemikiran?
Atau, realitas yang kita ‘dengarkan’ dengan
lebih baik?
PIP - MATERI DISKUSI DAN SHARING PEMBELAJARAN YANG INSPIRATIF DAN INOVATIF KE 13
Dalam kaitan dengan diri yang ingin mengetahui (belajar), inspirasi ini
menantang kita, sebab pembelajaran dengan rasio (logika) tidak sama
dengan pembelajaran yang terjadi dalam pengalaman terpukau.
Kita biasa mengetahui, tapi sebetulnya sudah ‘siap’ dengan berbagai teori
dan pengetahuan. Rasio kita sudah ‘siap’, padahal belum berjumpa dengan
kenyataan. Itu sebabnya pengetahuan yang serba siap ini tidak sebanding
dengan pengetahuan yang kita alami ketika merasa kagum pada realitas.
# Apakah kita masih bisa terpukau ketika disingkapi suatu kebenaran?
Hermeneutika sering dimengerti sebagai kekuatan subjek menafsirkan
realitas, tapi hermeneutika fenomenologis melebur dikotomi subjek-objek.
Saat manusia terpukau oleh “yang lain”, sesungguhnya ia sedang dibaca,
ditafsirkan, dimurnikan, dan dipahami oleh realitas (Sang Ada)!
Esensi tindakan BELAJAR lebih dekat pada
‘mendengarkan’ realitas, daripada
‘berbicara’.
PIP - MATERI DISKUSI DAN SHARING PEMBELAJARAN YANG INSPIRATIF DAN INOVATIF KE 13
Fenomenologi mutakhir menyumbangkan gagasan mengejutkan tentang
relasi manusia dan dunia (realitas). Marion memunculkan pengertian
“Fenomena Tersaturasi” (saturated phenomenon), yakni ketika intuisi
melebihi kesadaran (rasio), sehingga fenomena secara paradoksal “tidak
terantisipasi” dan “tidak terpahami” lagi (oleh rasio kita). Kita ‘dibanjiri’
fenomena yang membuat kita sering kali tidak mengerti.
Marion menempatkan subjek pada posisi yang paling tidak penting, sebab
rasio manusia bukan apa-apa di depan fenomena tersaturasi. Realitas
memiliki intuisi-nya sendiri dan akan terus menerus mensaturasi
pengalaman kita, mencegah dirinya ‘terpahami’ oleh manusia.
Mungkinkah tanda-tanda ‘kreativitas’ dimulai
dari kekaguman seseorang?
PIP - MATERI DISKUSI DAN SHARING PEMBELAJARAN YANG INSPIRATIF DAN INOVATIF KE 13
Fenomena tersaturasi mendesakkan dirinya lewat kekaguman (amazement),
hingga ia selalu luput dari pikiran manusia yang “serba siap” secara rasional.
Di sini intuisi melampaui konsep. Segala bentuk keterpukauan selalu
mendahului ‘pemahaman’ (understanding) kita. Dan pengalaman kagum
itulah yang melukiskan (mengimajikan) realitas di dalam kesadaran (mind).
Dengan begitu, fenomenologi membebaskan kita dari ketergantungan pada
bahasa, konsep, dan pikiran, yang terlalu menentukan pengetahuan. Ketika
kita tidak lagi menjadi subjek (yang mahakuasa) di depan realitas, fenomena
akan meredeskripsi pengalaman (=‘pergaulan’ dengan realitas, menurut
Heidegger) sebagai kebenaran yang hadir di dalam kesadaran.
Realitas itu sudah selalu terhubung satu sama
lain. Pengetahuan, karenanya, adalah
kepekaan untuk menemukan keterkaitan
(interconnectedness) itu
PIP - MATERI DISKUSI DAN SHARING PEMBELAJARAN YANG INSPIRATIF DAN INOVATIF KE 13
Dengan demikian, pembelajaran kita ‘dikembalikan’ pada pengalaman, yakni
perjumpaan ( pergaulan, percakapan) langsung dengan realitas.
Pengetahuan kita pun tidak hanya berupa bahasa/pikiran, tapi juga imaji-
imaji yang “menghadirkan diri” / kita ‘rekam’ dalam kesadaran (mind,
consciousness).
Dalam Filsafat Manusia, Imajinasi mengingatkan bahwa pengetahuan kita
meliputi: impresi, kenangan, peristiwa, dan ‘kehadiran’ seluruh identitas
kita! Dalam semua itu, realitas selalu utuh. Mengalami kehadiran
(kebenaran) adalah mengetahui. Imajinasi sebagai daya dalam proses
pembelajaran mengutuhkan pengetahuan yang sangat kompleks sekalipun!
Proses pembelajaran kita mesti mencari
alternatif yang mampu mendamaikan
berbagai paradoks serta anomali.
PIP - MATERI DISKUSI DAN SHARING PEMBELAJARAN YANG INSPIRATIF DAN INOVATIF KE 13
Pengetahuan yang tersingkap lewat pengalaman (fenomena) bukanlah
pertama-tama karena usaha kita, dan tidak juga akan selesai saat
dibahasakan. Sebab, pengalaman itu tidak ‘direncanakan’. Di titik ini
dipahami bahwa di dalam kesadaran, ada sesuatu “yang menyertai” proses
pengetahuan itulah imajinasi (Tedjoworo, 2001). * Imajinasi adalah
daya yang ‘menangani’ segala sesuatu yang “tak terpahami” atau “tak
terjelaskan” oleh pikiran (rasio).
Imajinasi juga mengembalikan pengetahuan pada pengalaman (realitas),
yang selalu lebih kaya dibanding pemikiran. Mengakui kekuatan ini berarti
menyadari bahwa manusia selalu adalah bagian dari realitas yang holistik.
Kebenaran tersingkap persis dalam perjumpaan & pengalaman yang hadir
di dalam kesadaran kita (bdk. Heidegger).
PIP - MATERI DISKUSI DAN SHARING PEMBELAJARAN YANG INSPIRATIF DAN INOVATIF KE 13
Mengimajikan, dalam proses pengetahuan, lebih bermakna
‘menghadirkan’. Sekalipun masih ada unsur ‘usaha’ manusia, namun
mengimajikan mengandaikan bahwa setiap fenomena adalah pemberian
dari realitas.
Sekalipun kita mengetahui kebenaran sebuah teori, tidak ada yang dapat
menggantikan sebuah pengalaman real. Oleh karenanya, mengimajikan
bersifat mensunyatakan (realising) fenomena, tapi di dalam kesadaran.
Kreativitas dan kepekaan menemukan keterkaitan berbagai fenomena itu
membutuhkan waktu; tidak mungkin dipaksakan!
Aneh bahwa kita hampir selalu terlambat
mengerti sebuah fenomena. Kadangkala ‘Aha’
itu muncul justru di saat kita “tidak sedang
belajar”.
PIP - MATERI DISKUSI DAN SHARING PEMBELAJARAN YANG INSPIRATIF DAN INOVATIF KE 13
Karena pertama-tama adalah perkara ‘kehadiran’ (presence) dalam
kesadaran kita, imajinasi tak cukup dimengerti sebatas daya ‘pembentuk’
gambaran (imaji) yang murni spekulatif (out of nothing). Menghadirkan ≠mencipta. Menghadirkan itu bersifat masuk akal (intelligible), sehingga
orang mesti membedakan imajinasi dari ilusi apalagi fantasi.
Mungkinkah itu sebabnya imajinasi sebagai ‘daya’ manusiawi kurang
diperhitungkan? Filsafat dan ilmu pengetahuan sering menempatkan
imajinasi di wilayah seni, dan bukan di wilayah ilmu pengetahuan. Apa
yang berasal dari imajinasi dianggap tidak objektif, tidak ilmiah, hanya
mimpi, dan lebih celaka lagi... “tidak ada”! Iklim verifikasi rasional kita
telanjur mendominasi fenomena dengan pikiran semata.
Apa artinya proses pembelajaran yang lebih
analogis, dan bukan sekadar analitis?
PIP - MATERI DISKUSI DAN SHARING PEMBELAJARAN YANG INSPIRATIF DAN INOVATIF KE 13
Ironisnya, pengalaman kita semakin jarang diperhitungkan dalam kategori
pengetahuan. Kant pernah memunculkan “sintesis a priori”, yang
melibatkan baik pemahaman konseptual maupun pengalaman inderawi,
tapi pengalaman sebagai pengetahuan tak pernah dibicarakan. Peristiwa-
peristiwa dalam pengalaman (“dunia real”) selalu menyisakan pertanyaan
soal kehadiran dan korelasi imaji-imaji konkret sehari-hari.
Ketika kita mengetahui, ada kekuatan dalam kesadaran kita yang sifatnya
menjaga keseimbangan (‘diri’). Mengetahui “terlalu banyak” tidak akan
membuat bingung – sebab, pengetahuan tak mungkin membingungkan.
[Jadi, dari mana ‘kebingungan’ itu? Kalau hanya berpikir rasional? ].
Dapatkah metodologi penelitian kita menjadi
lebih imajinatif, sekaligus tetap masuk akal?
PIP - MATERI DISKUSI DAN SHARING PEMBELAJARAN YANG INSPIRATIF DAN INOVATIF KE 13
Imajinasi, ketika menghadirkan secara kompleks kekayaan realitas,
membuat kita tetap ‘bertahan’ dalam keseimbangan. Ia bekerja persis di
tengah kerumitan proses pengetahuan; ia bekerja sama dengan kemampuan
kognitif dan kreatif manusia, membentuk keutuhan (keterkaitan) dan
keseluruhan yang tidak membingungkan kesadaran kita (Tedjoworo, 2001).
Karena perannya itu, imajinasi menjembatani sensasi dan rasio (bdk.
phantasma / “representasi mental” Aristoteles yang hampir menyamakan
imajinasi dan sensasi). Ilmu Pengetahuan perlu mengakui daya imajinasi
fenomenologis. Sebagian besar pengetahuan kita bukanlah ‘usaha’ kita,
sebab semua itu telah diberikan oleh realitas.
Metodologi penelitian, supaya lebih imajinatif &
kreatif, mesti interdisipliner. Ketidakmampuan dalam
hal ini adalah status quo.
PIP - MATERI DISKUSI DAN SHARING PEMBELAJARAN YANG INSPIRATIF DAN INOVATIF KE 13
Di dalam “labirin informasi” dewasa ini, kemajuan teknologi dipandang
terlalu cepat. Orang tidak punya waktu lagi untuk ‘berkontemplasi’ di
hadapan realitas. Imajinasi, dan bukan pertama-tama rasio, membuat kita
bisa bertahan di tengah saturasi fenomena, di tengah banjir imaji (“cahaya
membutakan” Marion).
Imajinasi tidak pernah dihentikan oleh rasio (pikiran), sebab ia selalu
menyertai kesadaran kita, menempatkan diri kita dalam keterkaitan dengan
dan pengakuan akan kehadiran realitas. Pengetahuan dan pembelajaran,
karenanya, bukan hanya ‘abstraksi’ (spekulasi), melainkan juga suatu ko-
eksistensi : “hidup bersama dengan realitas”.
Proses pembelajaran tidak hanya menciptakan teori
dan model yang baru, melainkan mengeksplorasi
keterkaitan berbagai fenomena yang mengagumkan
di sekitar kita.
PIP - MATERI DISKUSI DAN SHARING PEMBELAJARAN YANG INSPIRATIF DAN INOVATIF KE 13