ilmu produksi ternak perah - aktifitas | … · web viewmelalui paket kredit dan pembinaan pada...

66
PENDAHULUAN (Oleh: Sarwiyono) Latar belakang Kebutuhan akan bahan pangan khususnya yang berasal dari susu dan daging serta telur dari tahun ketahun selalu meningkatkan sejalan dengan makin meningkatnya jumlah penduduk, tingkat pendidikan, kesadaran masyarakat akan peranan zat- zat makanan khususnya protein bagi kehidupan. Kebijaksanaan pemerintah untuk memacu peningkatan produksi susu di dalam negeri antara lain melalui program pengembangan usaha ternak sapi perah yang didukung oleh penyediaan dana melalui paket kredit dan pembinaan pada petani peternak sapi perah. Sebagai salah satu perwujudan dari kegiatan tersebut adalah pemberian paket kredit untuk mendapatkan ternak bibit baik yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari negeri serta digalakkannya program inseminasi buatan dengan bibit unggul. Upaya-upaya tersebut diatas akan dapat memberikan hasil yang memadai apabila didukung oleh kemampuan para peternak dalam hal melakukan pengelolaan pada ternak peliharaannya, serta dukungan penyediaan dan Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 1

Upload: dangdung

Post on 06-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN

(Oleh: Sarwiyono)

Latar belakang

Kebutuhan akan bahan  pangan khususnya yang berasal  dari susu  dan

daging serta telur dari  tahun ketahun   selalu  meningkatkan sejalan dengan

makin meningkatnya jumlah penduduk, tingkat  pendidikan,  kesadaran

masyarakat akan peranan zat-zat  makanan khususnya  protein  bagi

 kehidupan.

Kebijaksanaan    pemerintah    untuk memacu peningkatan produksi

susu di dalam negeri antara lain melalui program pengembangan  usaha

ternak  sapi perah yang didukung  oleh  penyediaan dana   

melalui paket  kredit dan pembinaan pada  petani peternak  sapi perah. Sebagai

salah  satu perwujudan dari kegiatan tersebut  adalah pemberian paket kredit

untuk  mendapatkan ternak bibit baik yang berasal dari  dalam negeri

maupun  yang berasal  dari  negeri  serta digalakkannya program inseminasi

buatan dengan bibit unggul.  Upaya-upaya tersebut diatas akan dapat

memberikan  hasil yang memadai apabila  didukung oleh  kemampuan  para

peternak dalam  hal melakukan pengelolaan pada ternak  peliharaannya, serta

dukungan penyediaan   dan  prasarana seperti  pemasaran  hasil, penyediaan

pakan yang bermutu dan pencegahan serta pemberantasan penyakit.  Ketram-

pilan peternak didalam melakukan  pengelolaan  pada  usaha ternak  perah

tersebut perlu  makin ditingkatkan agar dapat  memberikan  lingkugan  yang

mendukung  yang diperlukan  oleh ternak untuk  berproduksi sesuai dengan

potensi genetiknya. Hal  ini mengingat bahwa sebagian besar sapi  perah yang

dipelihara oleh  petani peternak berasal dari negara-negara yang  mempunyai

suhu lingkungan sejuk  dengan  mutu pakan  yang baik. Oleh karena  itu,

upaya untuk menciptakan lingkungan yang  sesuai dengan  kebutuhan  ternak

perah  tersebut sangat penting mengingat bahwa  lingkungan pemeliharaan

sapi perah di Indonesia cukup beragam mulai lingkungan yang bersuhu udara

yang cukup panas di daerah sekitar pantai  sampai  ke daerah  pegunungan

yang sejuk  tetapi kelembaban  udaranya  masih cukup tinggi. Intensitas

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 1

terjadinya penyakit  dan parasit pada  kondisi lingkungan yang  lembab  dan

hangat  tersebut  cukup tinggi sehingga  hal ini  juga  merupakan suatu

kendala di dalam  upaya  meningkatkan produksi  susu. Keadaan ini menjadi  

serius dengan adanya pasokan  pakan  yang kurang teratur ditinjau dari jumlah

maupun mutu yang dengan sendirinya akan berpengaruh ketahanan ternak

terhadap serangan penyakit dan parasit yang selanjutnya mempengaruhi

penampilan produksi ternak.

MASALAH LINGKUNGAN TERNAK DI DAERAH TROPIS

Usaha  pengembangan ternak perah  di daerah  tropis umumnya

mengalami  beberapa hambatan  terkait dengan  kondisi  lingkungan di mana

ternak tersebut  dipelihara (Lihat gambar 1).

Lingkungan tropis umumnya mempunyai  ciri suhu udaranya hangat

dan lembab. Keragaman dari  suhu udara lingkungan sangat  rendah tetapi

makin menjauhi equator  keragaman ini makin tinggi khususnya di daerah

yang lebih  kering. Pada daerah  yang  letaknya cukup tinggi dari permukaan

laut maka suhu udaranya  lebih   dingin  dengan  perubahan yang   lebih

nyata antara

SINAR MATAHARI JUMLAH DAN MUTU PAKAN

KONDISI SIFAT FISIK PAKAN

CURAH HUJAN KONSUMSI & EFISIENSI PENGGUNAAN PAKAN

ANGIN

PENYAKIT PANAS YG DIPRODUKSI ATAU YANG HILANG

PENAMPILAN TERNAK

Gambar 1. Faktor lingkungan yang berpengaruh pada ternak.

[Type text] [Type text] [Type text]2

malam  dan  siang hari. Tempat dengan ketinggian antara  300 sampai  1520

meter diatas  permukaan  laut umumnya cocok untuk usaha sapi perah  yang

umumnya berasal  dari  daerah  tempe-rate (Bos taurus). Daerah tropis  yang

terletak  antara 7oC Lintang Utara dan Selatan umumnya  mempunyai  rataan

suhu udara lingkungan  27o  C dengan curah hujan yang tinggi antara 2000

sampai  3000 mm/tahun dan  kelemban  udara yang tinggi, makin jauh dari

garis khatulistiwa  maka curah hujannya makin  rendah (Chamberlain,  1989).

Keadaan semacam  ini dapat menimbulkan resiko yang cukup  besar bagi

berjangkitnya berbagai penyakit  dan parasit. Tingginya kelembaban udara

lingkungan dapat menghambat mekanisme  pelepasan panas tubuh atau

penurunan beban panas yang  dapat menimbulkan apa  yang  disebut heat

stress yang menurunkan produksi  dan reproduksi   ternak (Mc  Dowell, 1972).

Produksi  hijauan di daerah ini  sekalipun cukup  tinggi  tetapi  biasanya

kandungan serat kasarnya tinggi (termasuk di dalamnya kandungan ligninnya)

dan rendah kandungan energi dan proteinnya. Hal ini akan menurunkan

kemampuan ternak didalam mengkonsumsi  ransum  yang disediakan

peternak, yamg tentunya akan mempengaruhi  pasokan zat-zat makanan untuk

menunjang  produksi. Di daerah arid perubahan suhu lebih  nyata dapat

berkisar  antara  0  sampai  52o C dengan curah hujan yang sulit diprakirakan

dan   tidak jarang  hanya   mencapai   50 mm/tahun. Persediaan pakan dan air

sangat terbatas  demikian  pula  naungan  untuk ternak (Chamberlain, 1989).

Hal-hal  semacam  ini kiranya perlu diketahui  terlebih dahulu  bagi  mereka

yang  akan  berusaha dalam  bidang ternak perah  terutama yang menggunakan

bibit  ternak  dari daerah temperate yang mungkin menuntut   yang sangat baik

dalam hal pakan, perkandangan dan pengelolaan lainnya. Peternak selaku

pengelola atau manajer  dalam usaha peternakannya  perlu memiliki

pengetahuan atau  pengalaman  dan ketrampilan yang cukup agar dapat

mengelola   peternakan  sapi  perahnya   secara bijaksana dalam arti  dapat

memanfaatkan sumberdaya  alam, modal, teknologi  dan manusia  yang   ada

secara efesien dan efektif. Untuk  itu peternak perlu mengetahui faktor apa

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 3

saja yang dapat  mempengaruhi  penampilan  produksi susu  baik  ditinjau

dari  jumlah  maupun mutunya, sebagaimana yang diuraikan  dibawah ini.

BAB 1. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI TERNAK PERAH

(Oleh: Sarwiyono)

1.1. Genetik

Faktor genetik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi susu

yang diturunkan dari tetua ke generasi berikutnya dengan besaran (heritability)

yang berbeda untuk beberapa sifat produksi demikian pula hubungan antar

sifat tersebut. Sebagai contoh dapat dilihat pada komposisi susu dan bangsa

berikut:

A. Komposisi susu:

Heritability Korelasi antar

% lemak 0.58 % Lemak dan % Protein r= .45 to .55

% Protein 0.49 % Lemak dan % SNF r= .40

% Laktose 0.55 % SNF dan % Protein r= .81

Prod. Susu 0.27 Prod. susu dan % Fat r= -.15 to -.30

Prod. susu dan % SNF r= -.10

Prod. susu dan % Protein r= -.10 to -.30

(SNF is Solids-Not-Fat)

B. Perbedaaan bangsa

– Lemak bervariasi kadarnya dalam susu sementara mineral dan lactose

relatif tetap. Perbedaan individu dalam bangsa kadang lebih besar dari

perbedaan antar bangsa .

C. Diameter globula lemak susu

– Diameter globula lemak susu bervarasi dari 1 sampai 10 microns. Sapi

Guernseys paling besar ukuran globulanya kemudian Holsteins dan

[Type text] [Type text] [Type text]4

Ayrshire paling kecil. Secara umum semakin tinggi kadar lemak susu

maka makin besar ukuran globulanya dan makin lanjut laktasinya makin

kecil ukuran globulanya.

D. Carotene

– Caroten merupakan precursor vitamin A, dan merupakan pigment

kuning. Sapi Guernsey dan Jersey mengkonversi carotene jadi vitamin

jauh lebih sedikit dari bangsa sapi perah lain. Jadi susu dari sapi

Guernsey dan Jersey berwarna kuning sebagai akibat excretion dari ß-

carotene dalam lemak susu. Holsteins lebih efisien dalam mengkonversi

carotene menjadi vitamin A. Jadi susu dari kedua bangsa tadi

menghasilkan vitamin A setara dengan susu dari bangsa sapi lain

1.2. Tingkat Laktasi dan Persistency

Colostrum vs. Milk

Colostrum itu dihasilkan dalam ambing segera setelah sapi beranak,

komposisinya sangat jauh berbeda dari susu normal. Tiga sampai 5 hari

setelah beranak terjadi perubahan komposisi dari colostrums menjadi susu

normal. Colostrum kandungan total solidnya tinggi demikian pula

immunoglobulins, sebagai pasif anti bodi yang dimanfaatkan pedet untuk

menanggulangi gangguan berbagai macam organisme penyakit. Pedet harus

mengkonsumsi colostrums segera setelah dilahirkan utamanya 24 jam pertama

dari kelahirannya sebab setelah waktu itu enzyme dalam alat pencernakan

pedet akan mendegradasi antibody dan permeabilitas dari usus terhadap

antibody tersebut turun. Lactose dalam colostrum lebih rendah dari yang ada

dalam susu normal sementara fat dan casein percentagenya bervariasi. Kadar

lactose yang tinggi dalam susu dapat menimbulkan mencret pada pedet oleh

karena itu rendahnya lactose dalam colostrum ini mungkin dalam rangka

mencegah terjadinya mencret pada pedet

Calcium, magnesium, phosphorus, dan chloride tinggi kadarnya dalam

colostrum, tetapi potassiumnya rendah. Zat besi (Iron) jumlahnya 10 sampai

17 lebih besar dalam colostrum dari susu normal. Zat besi yang tinggi

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 5

kadarnya tadi penting untuk mendukung peningkatan hemoglobin dalam butir

darah merah pedet yang baru dilahirkan. Colostrum merupakan sumber

vitamin A yang sangat baik bagi hewan yang baru lahir untuk menghadapi

berbagai tingkat serangan penyakit. Kadar vitamin A pada colostrums 10 kali

lebih banyak sedang vitamin D nya 3 kali lebih banyak dari susu normal.

Salah satu bangsa ternak perah yang cukup terkenal sebagai penghasil susu

segar di Indonesia adalah sapi Holstein Friesian.

Sapi ini berasal dari Eropa

yaitu negeri Belanda khususnya di North Holland dan Friesland di dekat

Zuider Zee. Ternak asli berwarna belang hitam putih dari Batavians dan

Friesians. Selama bertahun-tahun Holsteins diternakkan dan di seleksi untuk

mendapatkan ternak dengan kemampuan memanfaatkan rumput dengan baik

dan berproduksi susu tinggi. Sapi ini mulai masuk Indonesia sejak awal abat

19 pada zaman pendudukan Belanda, dimana pada waktu itu sangat

dibutuhkan tersedianya susu segar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat

Belanda, Cina dan bangsa pendatang lainnya. Lokasi peternakan sapi perah

tersebut umumnya didaerah dataran tinggi yang bersuhu lingkungan sejuk dan

dekat dengan aktivitas konsumen atau pasar misalnya Malang ( untuk Batu-

Pujon) dan Pasuruan (untuk Nongkojajar) serta Semarang-Surakarta-

Yogyakarta (untuk Ungaran Salatiga dan Boyolali), Jakarta (untuk Bandung-

Baturaden) .

[Type text] [Type text] [Type text]6

Mutu susu sapi mengalami perubahan pada saat beranak (colostrum) hingga

menjadi susu normal (segar) sebagaimana dapat dilihat di Tabel 1 berikut.

Produksi  susu  dari  seekor  ternak perah disamping dipengaruhi  oleh  faktor

genetik maka faktor lain yang tidak  kecil peranannya adalah   faktor  

lingkungan. Penjabaran lebih lanjut dari kedua  faktor tadi  dapat pula disebut

sebagai   faktor internal dan faktor eksternal dimana factor tadi dapat

berinteraksi untuk dapat menimbulkan pengaruh  yang  dapat   kita amati.

Sebagai suatu contoh sinar matahari sebagai faktor eksternal dapat

menimbulkan pengaruh secara langsung pada ternak namun juga secara tidak

langsung misalnya  sinar matahari  tersebut berpengaruh  pada mutu dan

SRW- hijauan yang  dihasilkan  oleh suatu wilayah  maupun perkembangan

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 7

Tabel 1. Perubahan komposisi kolostrum dan susu segar

Pemerahan ke 1 2 3 Susu Normal

Berat jenis 1.056 1.040 1.035 1.032

Total Solids (%) 23.9 17.9 14.1 12.9

Protein, % 14.0 8.4 5.1 3.1

Casein, % 4.8 4.3 3.8 2.5

IgG, g/L 48.0 25.0 15.0 0.6

Lemak, % 6.7 3.9 4.4 5.0

Lactose, % 2.7 3.9 4.4 5.0

pada  bibit penyakit ataupun parasit  yang pada gilirannya nanti juga akan

berpengaruh  pada kesehatan ternak dan  ini dapat gangguan fisiologis yang

berpengaruh pada produksi ternak.

Kandungan  atau  komposisi dari  susu  itu sebagian adalah  selalu  tetap

setiap harinya  tetapi beberapa bagian mengalami  perubahan yang cukup

berarti. Salah satu faktor yang dapat menimbulkan pengaruh pada komposisi

susu adalah jumlah produksi yang dihasilkan pada suatu pemerahan. Faktor

yang lain yang dapat mempengaruhi komposisi susu dapat berupa pengaruh

tak langsung yang dapat menimbulkan perubahan jumlah produksi susu.

Tetapi masih banyak pula hal-hal lain yang dapat mempengaruhi  komposisi

susu  yang belum dapat  dijelaskan  secara rinci  apa yang menjadi

penyebabnya. Sebagai contoh terjadinya  perubahan  kadar  lemak  susu  yang

kadang-kadang  mencapai  30%  dimana   hal tersebut belum dapat dijelaskan

oleh  para ahli.  Namun  para ahli  sependapat  bahwa jumlah  dan komposisi

susu  itu  merupakan suatu interaksi antara elemen-elemen  yang ada  dalam

tubuh ternak dengan  lingkungannya.  Dengan kata lain penampilan  produksi

ternak itu ditentukan oleh interaksi antara   faktor  internal (genetik) dan

lingkungan (Foley   dkk.,1972). Uraian berikut akan menjelaskan tentang

beberapa faktor  yang berpengaruh pada jumlah  dan mutu produksi susu .

Telah diketahui bersama bahwa  setiap bangsa atau species ternak perah

mempunyai kemampuan didalam menghasilkan sejumlah produksi  susu

dengan kandungan lemak  tertentu. Sapi yang memiliki  bakat keturunan

[Type text] [Type text] [Type text]8

yang tinggi akan menurunkan sifat tersebut pada keturunannya.  Besar

kecilnya sifat yang  dapat diturunkan beragam  untuk  setiap sifat  dan

umumnya hanya berkisar antara 20 sampai 30  prosen

Faktor genetik walaupun tidak cukup besar peranannya pada produksi yang

ditampilkan tetapi sifat ini diturnkan ke generasi berikutnya, selanjutnya

dipengaruhi oleh faktor  lingkungan sebesar 70 sampai dengan 80 persen. Jadi

sapi-sapi  yang  mempunyai   catatan produksi air susu yang tinggi ( baik  sapi

betina  maupun sapi jantan)  berpeluang mempunyai   keturunan  dengan

kemampuan produksi  yang  tinggi pula,  atau  bangsa dari sapi  perah  yang

besar  mempunyai kemampuan berproduksi  air  susu   lebih banyak,  jika

dibandingkan dengan  bangsa sapi yang kecil serta untuk setiap individu pada

bangsa yang sama mempunyai  perbedaan  jumlah  produksi  air susu,   serta

kualitas air susu terutama mengenai kadar lemaknya. Hal tersebut dapat

dilihat dalam Tabel  2. Dari data pada  tabel  tersebut dapat dilihat bahwa

kadar lemak  mempunyai kisaran yang cukup besar sedangkan mineral

dan laktosa perubahannya  sangat kecil. Perbedaan  di dalam gene  yang

mengontrol jumlah dan komposisi susu umumnya  diperhitungkan  dalam

rataan  perbedaan  antar bangsa  ternak. Dalam suatu bangsa  ternak masih

dapat dijumpai adanya perbedaan yang cukup  besar dan hal inilah nantinya

memberikan  peluang bagi  pembibit  (breeder) untuk melakukan seleksi

dalam satu  bangsa ternak  perah. Beberapa sapi FH  (Friesian Holstein)

mungkin  masih  dapat  dijumpai mampu  menghasilkan produksi  susu

dengan kadar lemak sampai 5 % dan beberapa ekor sapi Jersey hanya

menghasilkan susu dengan kadar lemak sebesar kadar lemak  rata-rata dari

FH. Oleh karena itu diharapkan  bahwa apabila  kita menginginkan sapi-sapi

yang dapat  memberikan  keturunan  yang   mampu menghasilkan kuantitas

produksi susu yang tinggi maka bangsa sapi FH adalah  pilihan  

yang  tepat,  dan bila sasaran  kita  pada kadar  lemak susu maka bangsa Jersey

paling sesuai. Selanjutnya bila kita ingin mendapatkan susu yang mempunyai

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 9

ukuran  globula lemak  yang  kecil garis  tengahnya  maka pilihan kita paling

tepat adalah susu yang dihasilkan   oleh  bangsa  sapi   FH   dan Ayrshire

demikian pula sebaliknya  adalah sapi Guernsey. Dengan kata  lain  berlaku

Tabel 2. Rataan komposisi air susu dari berberapa bangsa sapi perah asal daerah temperate

Bangsa Lemak SNF Protein Laktose Abu Produksi susu2 x pemerahan

% % % % % (305 hari) (kg)

Jersey 5,2 9,6 3,7 4,7 77 4.010,4

Guernsey 4,8 9,2 3,5 4,8 75 4.363,3

Ayrshire 4,0 8,7 3,3 4,6 72 5.033,7

Brown Swiss 4,1 9,0 3,2 4,8 72 5.528,0

Holstein 3,6 8,5 3,1 4,6 73 6.316,2

Diolah dari Foley,et al (1972).

[Type text] [Type text] [Type text]10

Oleh karena  itu  kita perlu pula mempertimbangkan potensi  sapi perah asal

daerah  tropis  seperti  yang ditampilkan pada Tabel 3,  dimana  nampak

bahwa beberapa sapi daerah  tropis  mampu menunjukkan  penampilan  yang

cukup  baik bila  diberi  lingkungan  dan  pakan  yang baik, sehingga untuk

itu perlu  dilakukan pengkajian lebih saksama dalam  penentuan bibit  ternak

yang akan  dipelihara  pada suatu  lokasi.  Hal  ini  mengingat  bahwa

kelestarian  suatu usaha  peternakan  sapi perah  khususnya banyak

dipengaruhi oleh faktor  ekonomi  dari pada  faktor  teknis produksinya.

Sebagai  contoh  di negara-negara Timur Tengah secara teknis  pemeliharaan

ternak perah dari bangsa FH  dapat dilaksanakan  dengan  baik  tetapi  apakah

secara ekonomis biaya produksinya  dapat sepadan  dengan  harga  jual  dari

produk yang dihasilkan ?

Untuk itu kiranya perlu dipertimbangkan lagi  bila  kita akan  memelihara

exotic breed, tentunya harus telah  dipertimbangkan kondisi yang bagaimana

Tabel 3. Rataan komposisi air susu dari beberapa bangsa sapi perah asal daerah tropis

Bangsa Lemak Lama Beranak Selang Produksi laktasi pertama Beranak Normal Maks. ( % ) (hari) (bulan) (bulan) (liter)Damascus 4,5 - - - 1500-3000 5000

Gir 4,5 240-380 31-51 14-16 1225-2270 3175

Red Sindhi 4,5 270-490 30-40 13-18 680-2270 5445

Sahiwal 5,0 290-490 30-43 13-18 1135-3175 4535

Jamaica Hope 5,2 250-305 27-33 12-14 2000-3000 9075

AFS 4,2 265 28 - 2405 5500

AIS 3,8 270 24-36 12-20 3030 11855

AMZ 4,5 275 28 - 2280 4850

Diolah dari Chamberlain,A. (1989).

yang dikehendaki oleh ternak tersebut untuk dapat berproduksi secara baik dan

ekonomis,  agar peternak tidak mengalami kerugian  dikemudian  hari.

Misalnya sebagai  akibat  dari cekaman  iklim yang  tidak  jarang  dapat

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 11

berakibat  cukup fatal. Untuk itu  pertimbangan atas kemampuan adaptasi

dari bangsa ternak tertentu perlu mendapatkan  perhatian yang layak.

1.4. Tingkat laktasi

Seperti  telah  diketahui  pada  hari hari  pertama setelah sapi  perah  beranak

biasanya  sampai 3-5 hari)  maka  ternak tersebut mengeluarkan susu yang

komposisinya  berbeda dengan susu konsumsi  (susu segar  atau susu normal),

produk ini  yang disebut Colostrum (lihat Tabel 1).  Colostrum  mengandung

bahan  kering  khususnya globulin  yang merupakan bagian dari  protein  dalam

jumlah lebih banyak dari  susu yang  dihasilkan kemudian.  Sebagian  dari

globulin  ini dalam bentuk gamma  globulin yang  mengandung  antibodi)  yang

sangat diperlukan  oleh  ternak  muda  yang  

baru ahir agar dapat bertahan terhadap  serangan  bibit penyakit tertentu (yang

pernah menginfeksi  induknya baik secara  alamiah maupun  vaksinasi).  Kadar

laktosa   agak rendah bila dibandingkan dengan susu murni atau  konsumsi  tetapi

kadar  lemak   dan proteinnya  agak beragam.  Kadar  kalsium, magnesium  dan

phosphor serta   chlornya tinggi

tetapi  pottasiumnya  rendah.  Zat besi  pada colostrum sekitar 10 sampai  17 kali

lipat, untuk vitamin A 10 kali lipat dan  vitamin D nya 3 kali lipat dari  yang ada

pada susu konsumsi atau murni.  Tingginya  kadar vitamin A  dalam  colostrum

ini  lebih kuning  dari  susu normal.  Tingginya  kandungan  

atau  kadar zat-zat  makanan tadi memberikan peluang bagi ternak muda untuk

dapat tumbuh dengan cepat  dan dapat memperkecil peluang terserang   bibit

penyakit.  Disamping   itu colostrum bersifat laxantif atau pencahar sehingga

dapat  mengeluarkan  tahi  gagak (muconeum)  dan sekaligus

menggertak alat pencernakan  untuk  aktif  setelah  proses kelahiran berlalu. Oleh

sebab itu, colostrum ini tidak dapat dikonsumsikan ternak yang  lebih  tua

umurnya ataupun  manusia tanpa  melalui proses tertentu yang  memadai.

Kandungan garam pada colostrum  lebih tinggi terutama kandungan Na dan Cl

nya, sehingga rasanya lebih asin.

[Type text] [Type text] [Type text]12

Kandungan lemak susu dan abu dalam  colostrum lebih tinggi bila dibandingkan

dengan air susu normal, perbedaan ini  disebabkan karena  total solid meningkat 2

kali  dari air susu. Peningkatan kandungan lemak  dan total  solid dapat

dipergunakan oleh  anak sapi (pedet)  yang  membutuhkan   sumber energi  tinggi,

dan proses ini  merupakan salah satu  jalan  yang  terjadi  secara alami.  Kadar

lemak susu  secara  bertahap akan mengalami penurunan sampai 2 atau  3 bulan

post partum (pasca kelahiran) selanjutnya akan meningkat pula secara bertahap

sementara  itu produksi susu makin  rendah dengan  makin lanjutnya laktasi. Hal

yang serupa  terjadi pada protein, laktosa  dan mineral dengan kecepatan yang

agak  berbeda. Bahan kering tanpa lemak (S.N.F) makin meningkat dengan makin

tuanya usia  kebuntingan  ternak dan kadar  chlor meningkat dengan  cepat  hingga

mendekati  kadarnya dalam darah. Bila ditinjau dari pola atau curva produksinya

maka sekitar 3 sampai 6 minggu laktasi jumlah produksinya selalu  meningkat

kemudian setelah  mencapai  puncaknya pada  laktasi yang  bersangkutan)   maka

produksi susu setelah  mencapai puncak tersebut sering disebut sebagai

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH

Gambar 3. Kurva laktasi dari produksi susu dan % lemak susu dan % protein dari sapi Friesian Holstein

13

mulai menurun secara bertahap. Lama  waktu untuk mencapai puncak

produksi  tersebut berbeda,  pada sapi yang produksi  susunya lebih

tinggi maka perlu waktu yang  lebih lama. Kemampuan ternak untuk

mempertahankan tingkat persistency. Kemampuan   ternak   untuk

memperta-hankan tingkat produksi susu  yang tinggi  atau

menghambat  laju   penurunan produksi  air  susu itu  dapat  digunakan

sebagai salah satu ukuran untuk menentukan pilihan  didalan suatu

seleksi. Sapi  yang mempunyai  mampu memper-tahankan  tingkat

produksi susu setelah mencapai puncak tersebut adalah lebih baik

dari pada  sapi yang cepat turun produksi air susunya. Hal ini

umumnya  dipengaruhi  oleh   kondisi ternak  sebelum  dan  sesudah

melahirkan, tingkat  pakan yang dikonsumsi  (mutu  dan jumlah),

adanya

Tabel 3. Hubungan antara tingkat laktasi dengan produksi susu.

25 sapi pada 35 sapi calving

official test within 12 bulan

Bulan laktasi ------------------------------------------------

Rataan produksi Rataan produksi

lbs/ hari lbs/ hari

1 47,5 32,9

2 54,5 33,0

3 53,0 30,3

4 48,7 28,4

5 45,5 27,0

6 43,7 24,7

7 41,0 23,4

8 38,5 22,7

9 36,7 21,1

10 34,7 17,1

11 32,5 11,3

12 29,8 3,8

Sumber: Eckles (1980).

gangguan kesehatan (milk fever, ketosis,  mastitis  dan lain-lain). Pada umumnya terjadi

korelasi negatif antara jumlah produksi air susu dengan kandungan  protein dan lemak

[Type text] [Type text] [Type text]14

susu. Jadi dengan meningkatnya produksi air susu maka persentase  komposisi  dari

kedua bagian tersebut  menurun. Persentase protein  dan lemak  susu menjadi rendah

selama puncak laktasi dan perlahan-lahan meningkat  pada akhir laktasi.

Puncak  produksi air susu dari sapi  perah adalah  tergantung dari  kondisi  tubuh pada

saat beranak, sifat yang dapat diturunkan, bebas dari gangguan  metabolik dan infeksi

serta program pemberian  pakan yang  baik  setelah  beranak.  Pada   awal laktasi

umumnya rangsangan untuk menghasilkan  jumlah  produksi  susu  itu  mampu mengatasi

hal-hal yang berkaitan  dengan masalah

Tabel 4. Hubungan antara tingkat laktasi dengan % lemak susu.

Bulan 34 sapi 764 3763 3154laktasi calving Holstein Guernsey kedua bangsa

official official yang laktasi 12 bln test test1 4,07 3,55 4,63 4,31

2 3,94 3,36 4,59 4,28

3 4,06 3,25 4,71 4,35

4 4,00 3,29 4,85 4,44

5 4,10 3,27 4,97 4,54

6 4,10 3,29 5,08 4,62

7 4,17 3,34 5,16 4,69

8 4,20 3,38 5,22 4,76

9 4,20 3,47 5,29 4,85

10 4,50 3,52 5,39 4,88

11 4,59 3,56 5,49 4,96

12 4,70 3,63 5,60 5.00

Sumber: Eckles (1980).

tatalaksana atau lingkungan seperkekurangan pakan dan  kurang  tepatnya pelaksanaan

pemerahan. Namun bila  laktasi makin  lanjut  maka  kecepatan  penurunan produksi

susu menjadi lebih besar  dibandingan dengan sapi yang mendapatkan perlakuan yang

baik.

1.5. Kecepatan sekresi susu

Kecepatan sekresi susu paling tinggi terjadi   setelah pemerahan  dan   paling rendah

menjelang saat pemerahan. Sehingga pada  waktu antara suatu pemerahan  dengan

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 15

pemerahan   berikutnya dimana   terjadi penimbunan  air susu dalam  ambing  yang

berakibat makin tingginya tekanan di dalam ambing  maka  kecepatan sekresi  air susu

menjadi  makin  rendah.  Oleh  sebab   itu biasanya kapasitas ambing untuk menampung

susu  dikaitkan dengan tekanan di dalam ambing. Sapi  yang  mempunyai kemampuan

produksi  susu yang tinggi  itu  mempunyai ukuran  atau kapasitas menampung air  susu

yang  lebih  baik  atau tekanan   didalam ambingnya  lebih  rendah untuk sejumlah produksi

susu  yang sama,  sehingga  laju sekresinya  menjadi lebih baik  dari pada sapi   yang

kemampuan  produksi susunya rendah.  Oleh karena itu didalam  praktek para peternak

berusaha untuk meningkatkan kecepatan  sekresi  susu ini  dengan  memperkecil

Gambar 4. Kurva hubungan waktu setelah pemerahan dengan tekanan dalam ambing dan kecepatan sekresi susu

tekanan dalam ambing yaitu dengan meningkatkan frekuensi pemerahan.

1.6. Pemerahan

Pemerahan pada sapi perah umumnya  dilakukan  2  kali  dalam sehari  dan  hal  ini

biasanya dikaitkan dengan jumlah  produksi susu yang dihasilkan dan atau  tersedianya

tenaga yang cukup dengan biaya operasional yang memadai. Peningkatan frekuensi pemer-

ahan  misalnya 3 kali dalam sehari  dapat meningkatkan jumlah produksi yang dihasilkan

sekitar 10 sampai 25 % sementara bila dilakukan  pemerahan  4 kali  sehari  maka

peningkatan tersebut menjadi 15 sampai  40 %  bila diban dingkan dengan hasil 2  kali

pemerahan.   Apakah  hal  tersebut   dapat dicapai  dalam praktek  tergantung   dari

tersedianya   pakan  yang  cukup,   tenaga kerja,  peralatan dan tambahan dana  yang mana

dapat berbeda antara peternakan  yang satu dengan peternakan yang lain.

[Type text] [Type text] [Type text]16

Air  susu  yang dihasilkan  pada  awal pemerahan  mengandung  lemak  yang   lebih rendah

kadarnya (1 sampai 2 %)  sementara pada akhir pemerahan kadarnya dapat mencapai 7

sampai 9 %. Apa yang menjadi  penyebabnya secara rinci belum diketahui  namun diduga

hal  tersebut terjadi karena globula  lemak  yang  dihasilkan  tertahan pada  saluran susu

yang lebih atas  sementara cairan susu yang lain dapat  langsung mencapai   dasar  ambing

sehingga   dalam pemerahan  awal akan  dapat   dikeluarkan terlebih  dahulu. Kemungkinan

lain  adalah berkaitan dengan berat jenis yang  berbeda antara globula lemak dan komponen

protein, laktosa  dan lainnya yang  memiliki berat jenis  yang  lebih tinggi  sehingga  lemak

berada  dibagian  atas ambing  pada  saat pemerahan  akan dimulai. Kemungkinan  lain lagi

adalah pada awal pemerahan tekanan di dalam ambing cukup tinggi sehingga  menghambat

laju pencurahan globula  lemak  ke dalam  saluran susu dan  manakala  tekanan dalam

ambing makin rendah maka  pencurahan globula  lemak ini makin  mudah,  sehingga pada

akhir pemerahan diperoleh kadar lemak yang  paling  tinggi. Pendapat  mana  yang paling

tepat tentunya hal ini perlu  pembuktian lebih lanjut.

Interval  pemerahan  atau  lama  waktu antara  suatu pemerahan  dengan  pemerahan

berikutnya dilaporkan mempunyai  pengaruh tersendiri  terhadap jumlah dan  komposisi air

susu yang dihasilkan. Sebagai  contoh pada sapi yang diperah dua (2) kali sehari dimana

intervalnya antara 10 dan  14  jam menghasilkan  air susu dalam  jumlah  yang sama  bila

dibandingankan dengan interval 12  dengan 12 jam. tetapi pada sapi  perah yang tinggi

produksi susunya dengan interval  8 dan 16 jam menghasilkan  air  susu dengan  1,3 %

lebih rendah selama  laktasi yang bersangkutan bila dibandingkan dengan interval 12

dengan 12 jam. Sapi perah yang diperah dengan cepat selama 4 menit  menghasilkan

produksi lebih rendah  dibandingkan dengan yang 8 menit pemerahan, hal ini dikaitkan

dengan  pelaksanaan   pemerahan yang  tidak lengkap. Seperti kita  ketahui bahwa

umumnya pemerahan setiap ekor  sapi perlu  waktu  sekitar 5 menit  atau  lebih untuk

mencapai hasil yang maksimal  dalam pengeluaran  susu. Selanjutnya bila  dalam

pelaksanaan   pemerahan selalu   terjadi tersisanya  susu  dalam  ambing  (residual milk)

sekitar  2  liter  selama  10  hari berturut-turut maka hal ini dapat  menurunkan produksi

susu secara permanen selama laktasi.

1.7. Masa Birahi dan Kebuntingan

Produksi  air  susu dan  kadar  lemak bervariasi atau tidak tetap setiap  harinya.  Produksi

susu turun pada saat  ternak mengalami  birahi  dan  bunting.  Turunnya produksi susu

pada saat birahi itu  bersifat sementara dan jumlah turunnya produksi ini  beragam atau

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 17

tidak konsisten.  Pada saat kebuntingan  memasuki  bulan  kelima maka penurunan

produksi susu mulai  nampak nyata jika dibandingkan dengan ternak yang tidak  bunting.

Pada  bulan   kebuntingan kedelapan produksi dapat turun sampai 20 % bila dibandingkan

dengan ternak lain  yang tidak bunting yang mempunyai masa  laktasi yang sama. Hal ini

dapat disebabkan karena adanya  pengaruh hormon-hormon yang  dihasilkan  selama

kebuntingan,  yang   dapat menghambat kerja dari hormon-hormon laktogen dari kelenjar

pituitaria. Sedang  pada bulan-bulan  pertama  dari  masa   bunting pengaruh  itu tidak

begitu  nyata,  lebih-lebih kalau sapi mendapat pakan yang cukup baik sedang pada masa

birahi maka perubahan  yang terjadi pada produksi dan  kadar lemak susu  hanya bersifat

sementara.

Sedang peningkatan kandungan solid non fat terjadi  selama  kebuntingan  bulan  ke  4

sampai 5.

Demikian pula sapi pada waktu  birahi terdapat perubahan faal yang  mempengaruhi

volume dan susunan air susu yang  dihasilkan. Beberapa ekor sapi mungkin menunjuk-

kan tanda-tanda nervous dan mudah  terkejut, sehingga tidak mau makan atau  makannya

sedikit, yang  mengakibatkan berkurangnya bahan baku susu dalam darah sehingga

produksi air susu turun. Sapi-sapi yang sangat aktif pada saat  birahi  penurunan produksi

susunya  lebih besar  dari  pada sapi yang kurang aktif dalam hal ini level hormon  dalam

darah mempunyai  andil  yang cukup  besar  dalam mempengaruhi  tingkah laku ternak

dan penampilan produksi tersebut.  Peningkatan aktivitas tersebut  akan meningkatkan

penggunaan energi yang  dalam keadaan normal akan diubah menjadi produksi susu, oleh

karena itu pada saat  birahi ini terjadi penurunan produksi susu tetapi hanya bersifat

sementara.

1.8. Umur dan besarnya sapi

Sapi-sapi  yang  beranak  pada   umur lebih tua atau dewasa (sekitar 5 atau  6 tahun)

menghasilkan  air  susu  (25  %) lebih  banyak daripada  sapi-sapi   yang beranak pada

umur muda ( 2 tahun).  Perbedaan bobot badan diperhitungkan  menimbulkan

peningkatan produksi susu sebesar  5 sampai 20 % yang lain sebagai akibat  dari

peningkatan   ukuran   atau   perkembangan ambing.  Produksi air susu  akan  konstant

sampai sapi tersebut berumur 7 tahun  atau 8  tahun. Setelah umur tersebut,  produksi air

susu akan menurun sedikit demi sedikit demikian  pula mutunya. Seekor induk  sapi yang

pertama kali beranak pada umur  sekitar  24  bulan  maka produksinya   hanya mencapai

lebih kurang 75% dari induk  yang telah dewasa. Induk yang berumur 3  tahun,

[Type text] [Type text] [Type text]18

produksinya  85% dari induk dewasa.  Induk yang berumur 4 tahun, produksinya 92%

dari induk dewasa. Induk yang berumur 5  tahun, produksinya  98% dari induk dewasa.

Induk yang berumur 6 tahun telah mampu menunjukkan  produksi  maksimalnya  (Foley

dkk., 1972). Peningkatan  produksi  air  susu laktasi  dari umur 2 tahun  sampai  dengan

umur 7 tahun disebabkan bertambah besarnya sapi   karena  pertumbuhan, meningkatnya

jumlah jaringan kelenjar susu dalam ambing juga bertambah banyak. Sedangkan

turunnya produksi  air susu dari ternak  sapi  yang sudah tua, disebabkan

aktivitas kelenjar-kelenjar  susu sudah berkurang. Kemampuan seekor  sapi  dara untuk

berproduksi  air susu tidak hanya dipengaruhi oleh  pertumbuhan  badannya,  namun  juga

dipengaruhi oleh pertumbuhan ambingnya, hingga  mencapai pertumbuhan yang

maksimal  pada  masa laktasi  ke 3 atau ke 4. Secara  umum  ada hubungannya antara

berat  badan   induk dengan  tingkat produksi air  susu.  Tubuh induk yang besar

mempunyai jaringan sekresi  lebih banyak dan sistim jaringan  pencernakan  yang lebih

besar. Energi  untuk maintainance  dari ternak  perah  seimbang dengan  kebutuhan

metabolisme pokoknya. Sedangkan jumlah energi untuk  metabolisme tergantung  dari

luas  permukaan tubuhnya dan  besarnya ukuran tubuh. Dua  (2)  ekor induk  yang

masing-masing beratnya 375  kg secara  umum  memproduksi air  susu  lebih banyak dari

satu ekor induk yang beratnya 750  kg. Tetapi  kebutuhan  untuk   maintainance dari

kedua ekor induk  tersebut lebih  besar  dibandingkan dengan  seekor induk  yang

beratnya 750 kg, hal  tersebut antara  lain  disebabkan  luas  permukaan tubuh pada 2 ekor

sapi yang kecil tersebut lebih  luas dari pada satu ekor sapi  yang besar. Sehingga

walaupun ukuran  tubuh  2 kali  lebih besar atau lebih berat  tetapi produksi  susunya

tidak  berarti  2  kali lebih  banyak  tetapi hanya sekitar  70  % lebih  banyak  atau

sebagai  rumus   umum dipakai perhitungan bobot badan 0.7 (Foley dkk. 1972). Kadar

lemak  dan SNF  susu  mengalami penurunan dengan semakin lanjutnya perioda laktasi.

Sebagai contoh kadar lemak 0,2  % dan SNF 0,4 % lebih rendah antara produksi susu

yang dihasilkan sapi laktasi  pertama dibandingkan dengan kelima.   Berkaitan dengan

masalah umumr ini maka  sapi  dara sebaiknya  sudah  dikawinkan  bila telah mencapai

ukuran tubuh yang layak  sehingga pada  umur  2 tahun  telah  dapat  beranak pertama

kali.  Penundaan  saat   beranak pertama  ini walaupun  dapat  meningkatkan produksi

susu tetapi akan menurunkan  lama usia  produktifnya. Ternak yang telah  tua maka  daya

tahan tubuhnya  makin  menurun demikian pula fungsi dari organ  tubuhnya sehingga hal

ini tentunya dapat berpengaruh pada jumlah dan mutu susu yang dihasilkan.

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 19

1.9. Periode kering

Sapi  perah  yang sedang  laktasi  dan bunting hendaknya diberi kesempatan untuk

beristirahat  bila usia   kebuntingannya mencapai 7 bulan. Lama waktu istirahat ini

dikenal sebagai perioda kering atau  masa kering  kandang dimana biasanya  berkisar

antara 6 sampai 8 minggu. Lamanya perioda kering  ini tergantung dari baik  buruknya

kondisi induk yang bunting tersebut.  Bila kondisi  induk  kurang  baik  maka   perlu

istirahat  lebih  lama  agar   mendapatkan kesempatan yang cukup  untuk  memperbaiki

kondisi tubuhnya. Lamanya kering  kandang 6  atau 8 minggu keduanya akan

menurunkan produksi  susu  pada  masa  laktasi   yang bersangkutan. Kesempatan ini

penting dalam upaya  untuk  memberikan  istirahat   pada ambing sebagai pabrik yang

mengolah  bahan baku susu (asam-asam amino, glukosa  serta asam  lemak dsb) dari

dalam darah menjadi produksi susu yang dikeluarkan dari ambing tersebut. Waktu untuk

istirahat ini diperlukan untuk memperbaiki  jaringan-jaringan ambing yang rusak selama

masa laktasi  dan memperbaiki kondisi tubuh (BCS) induk agar cukup persediaan

makanan yang diperlukan  untuk menunjang laktasi berikutnya dengan rataan 3,5 pada

saat beranak. Ternak perah yang  perioda  kering  kandangnya sangat pendek  akan

menghasilkan produksi  susu yang  lebih  rendah dibandingkan   ternak perah yang

mendapatkan kesempatan istirahat yang cukup. Dari suatu penelitian yang dilakukan

diperoleh   informasi   bahwa perioda kering 50 sampai 59 hari  menghasilkan  produksi

susu yang  lebih  tinggi dibandingkan  dengan sapi  yang  diberikan kesempatan istirahat

dalam perioda  kering kandang ini antara 40 sampai 49 hari  atau 60 sampai 69 hari

(Schmidt dan Van  Vleck, 1974).

1.10. Pakan

Jumlah  produksi air  susu  tergantung dari  pakan  yang  dapat  dikonsumsi oleh ternak

tersebut serta  banyaknya  zat-zat makanan  yang  dapat  dicerna dan dapat dimanfaatkan

secara  baik oleh   ternak. Davis  (1962) menyatakan bahwa untuk  sapi perah yang

kekurangan pakan akan tertekan produksi air susunya dan derajat penurunan produksi  ini

dihubungkan  dengan  berapa besar  kekurangan zat-zat makanannya  dan berapa  banyak

zat  makanan  yang   dapat dilepas dari cadangan pakan yang ada dalam tubuh ternak

(Foley dkk.,1972; Schmidt dan Van Vleck, 1974; Chamberlain, 1989).

Kandungan  lemak dari air  susu  dapat meningkat  oleh  karena  pemberian  pakan

walaupun peningkatan  tersebut   biasanya bersifat sementara dan agaknya para peternak

[Type text] [Type text] [Type text]20

sapi perah kurang dapat  melaksanakan usaha mempertahankan ataupun meningkatkan

kadar lemak susu ini tanpa harus  menurunkan  produksi susunya. Pakan yang  mengan-

dung  lemak  tinggi, seperti minyak  biji rami, minyak biji kapuk dapat meningkatkan

kandungan  lemak susu, sedang  cod liver oil menyebabkan turunnya kandungan  lemak

susu. Beberapa ransum yang dapat menyebabkan  menurunnya  kadar  lemak  air   susu

antara  lain (Schmidt, 1971; Foley  dkk., 1972)) adalah:

Jumlah pemberian konsentrat yang  terlalu  banyak  atau  pemberian

roughage hijauan) yang terlalu sedikit jumlahnya dalam ransum.

Kandungan  serat  kasar  yang   sangat rendah  dalam hijauan  misalnya

yang terjadi pada awal musim penghujan dimana rumput  atau  hijauan baru

tumbuh  atau hijauan terlalu muda untuk dipanen.

Penyajian  pakan  dalam  bentuk   pellet khususnya forage.

Ukuran   pakan  (particle  size)   yang terlalu kecil misalnya akibat pencin-

cangan  atau "chopping"  hijauan  dalam ukuran  yang  terlalu  pendek

ataupun hijauan yang digiling halus.

Konsentrasi  dari pada  pakan  hijauan yang  terlalu rendah atau karena

selang waktu  antara pemberian  konsentrat  dan hijauan  terlalu  lama  yang

berakibat turunnya  pH rumen sehingga  kecernaan serat kasar rendah.

Pemberian  konsentrat  secara  liquid atau  bubur dapat  mempercepat

masuknya pakan kedalam  perut  bagian   belakang omasum-abomasum)

tetapi   memperkecil peranan air liur ternak dalam  membantu proses

pencernaan  pakan  (Mc Dowell, 1989), termasuk di dalamnya pemanfaatan

urea  dalam air liur  ternak.  Pemberian konsentrat  dalam keadaan basah

(tidak harus  berupa bubur)  dapat  memperkecil resiko masuknya debu (asal

pakan konsentrat)  kedalam saluran  pernafasan  yang dapar   menimbulkan

atau   memperbesar resiko radang paru yang dapat menurunkan produksi.

Pemanasan  pada  pakan  misalnya  pada saat  membuat pellet. Campuran

konsentrat biasanya  diberikan  dalam  bentuk tepung   tetapi  bila  diberikan

dalam bentuk   pellet,  maka produksi   lemak susunya 0,1% lebih rendah. Bila

makanan yang  diberikan mengandung  serat kasar yang  tinggi maka akan

diperoleh  kadar lemak  susu yang tinggi. Hal ini  karena terjadinya perubahan

komposisi VFA dalam rumen. Produksi C2 lebih tinggi daripada C3 dan C4,

dengan demikian  bahan  baku untuk produksi lemak susu menjadi lebih

banyak  bila dibandingkan  ransum  yang berkadar  serat kasar yang rendah.

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 21

Kandungan  lemak  jenuh  dan tidak   jenuh didalam  ransum  juga akan

berpengaruh pada  kadar lemak susu yang dihasilkan. Pemberian protein tinggi

didalam  ransum akan   meningkatkan  sedikit   kandungan protein dalam  susu

yang   dihasilkan. Ransum  yang demikian ini dapat  menekan produksi  asam

asetat  dan  meningkatkan produksi  asam  propianat  dalam  rumen.

Pada umumnya prosentase molar dari  asam lemak volatile dalam rumen (Foley

dkk., 1972) adalah :

- asam asetat 65%

- asam propianat 20%

- asam butirat 12%

- asam lainnya 3%

Sebab-sebab lain yang pasti dari turunnya  kadar lemak susu  belum  diketahui.

Van Soest (1963) yang telah dikutip oleh Schmidt  dan  Van  Vleck  (1974)   telah

menyimpulkan  bahwa  teori  yang dapat digunakan  untuk menerangkan turunnya

kandungan lemak susu adalah:

Teori l : Kurangnya produksi  asam  asetat dalam rumen sebagai bahan baku

lemak susu.

Teori ll: Adanya pengurangan sejumlah Hydroxybutyric acid dalam darah, yang

dapat mengakibatkan defisiensi dalam sejumlah 9 gugusan carbon tersebut, yang

berfaedah untuk  mensintesa lemak air susu.

Teori III:Produksi   asam  propianat  tinggi,   yang menyebabkan respon

glocogenic dalam  tubuh dan tertahannya  mobilisasi  lemak   dari jaringan dan

karena itu menyebabkan turunnya lemak darah, yang berguna untuk sintesa lemak

susu.

Beberapa   upaya  untuk   meningkatkan kadar lemak susu (Foley dkk., 1972)

antara lain  dapat dilakukan  melalui:  Pemberian sodium  dan potasium

bicarbonat,  sodium bentonite,  magnesium oksida, magnesium carbonate  atau

calsium  hydrosida.  Bahan-bahan  tadi dapat meningkatkan pH  rumen dan

menurunkan produksi propionate tetapi meningkatkan produksi asetat dalam

rumen.

Beberapa  hal  yang  dapat  dijadikan pertimbangan dalam menyajikan pakan

ternak ruminansia dalam  upaya  untuk mencegah turunnya  kadar lemak susu

adalah  sebagai berikut:

1. Pemberian  hijauan  misalnya  hay sedikitnya 1,5 % bobot badan

[Type text] [Type text] [Type text]22

/hari.

2. Ransum yang diberikan paling  sedikit mengandung 17 % serat kasar.

3. Pemberian hijauan dan konsentrat secara terpisah.

4. Pemberian  jagung  dalam   batas-batas tertentu yaitu 1/3 dari total

ransum.

Oleh karena itu penyusunan ransum bukanlah pekerjaan yang mudah sehingga

perlu pengetahuan dan pengalaman yang  khusus  untuk dapat mencapai hasil

yang  menggembirakan.

Teknologi untuk meningkatkan produksi asam acetat  diarahkan pada  upaya

peningkatan produksi  lemak susu dan sebaliknya  dapat digunakan untuk upaya

penggemukan misalnya pada saat ternak dikeringkan untuk memperbaiki kondisi

tubuh menjelang partus.

1.11. Pemberian  pakan dan pemerahan yang  tidak teratur

Pelaksanaan pemberian pakan dan waktu pemerahan  dalam usaha  peternakan  ternak

perah hendaknya dilakukan secara  teratur, dengan  baik maka akan diperoleh  produksi

susu yang rendah. Hal ini dapat  dihubungkan  dengan tidak stabilnya pH  rumen  dan

tekanan  didalam ambing yang sangat  besar pengaruhnya  pada kecepatan sekresi  susu.

Disamping  itu perubahan waktu  tadi  juga dapat menimbulkan stress pada ternak  yang

pada gilirannya akan meningkatkan  sekresi hormon adrenalin yang menekan kerja oxyto-

cin sehingga pemerahan tidak dapat  dilaksanakan  secara  tuntas (Schmidt  dan  van

Vleck, 1974).

1.12. Perubahan tukang atau mesin perah

Perubahan tukang/mesin perah didalam pelaksanaan   pemerahan   sering  menimbulkan

turunnya produksi  susu  dari  sapi  yang diperah.  Hal ini antara  lain  disebabkan oleh

stress (Schmidt, 1971) yang ditimbulkan oleh hadirnya orang baru dalam kandang dan

ketrampilan  tukang  perah tersebut dalam  melaksanakan  pemerahan,  disamping itu

tukang perah yang baru biasanya  belum memahami tingkah laku dari sapi-sapi  yang

diperahnya, sehingga hal ini dapat  menimbulkan ketegangan  atau ketakutan   yang

mengakibatkan   turunnya  produksi susu. Lambat  laun  dengan semakin  terampilnya

tukang  perah serta  semakin  terjalinnya pengertian  antara  ternak yang diperah dengan

tukang perahnya maka akan diperoleh produksi  susu  yang lebih  banyak.  Mesin perah

yang tidak memenuhi standard  (tekanan  terlalu kuat atau frekuensinya  tidak tepat  atau

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 23

dinding dalam karet  teat cup yang   telah  rusak)  sering menimbulkan pengaruh pada

produksi susu baik  melalui kenyamanan pada saat pemerahan  dilakukan maupun

kesempurnaan proses pemerahan .

1.13. Suhu lingkungan dan musim

Pengaruh suhu lingkungan pada produksi susu  dan komposisinya  banyak  tergantung

pada bangsa dari ternak. Sapi Holstein dan bangsa  sapi yang mempunyai  ukuran  tubuh

yang besar yang berasal dari daerah  temperate  lebih mampu menyesuaikan diri  pada

suhu  rendah  sementara bangsa  sapi  yang lebih  kecil khususnya Jersey dan  Brown

Swiss  mampu menyesuaikan diri  pada  suhu yang  lebih panas. Suhu yang rendah  tidak

banyak  berpengaruh  pada  produksi   susu asalkan  ternak mendapatkan  extra  energi

untuk  mempertahankan suhu  tubuhnya  agar tetap stabil.  Pada  lingkungan   dengan

kelembaban  relatif antara 60 sampai 80  % perubahan suhu dari 10 sampai 21 o C tidak

akan  mempengaruhi  produksi  susu  (Foley dkk.,1972).  Pada kisaran susu ini  ternak

mampu mengatur suhu tubuhnya tanpa banyak mempengaruhi produksi panas tubuh.

Kisaran suhu  netral ini bervariasi  antar  bangsa sapi misalnya Jersey dan Brown Swiss

lebih tinggi dibandingkan dengan Holstein. Bila perubahan  suhu lingkungan  berada

diatas suhu  netral ini maka produksi  susu akan segera  turun sebagai akibat  dari  antara

lain  turunnya konsumsi pakan dan meningkatnya  konsumsi air minum.  Pada  umumnya

bila  suhu  lingkungan mencapai 40,5 o C maka  konsumsi  pakan  dan  produksi  susu

mencapai tingkat terendah yaitu nol. Kadar lemak susu  umumnya meningkat  bila  suhu

lingkungan turun berada dibawah 23,9 o  C, demikian pula SNF dan TS. Sebaliknya  bila

suhu lingkungan meningkat maka kadar Chlor dalam susu meningkat dan kadar

laktosanya turun. Lebih lanjut dilaporkan oleh Cobble dan Herman (1951) yang dikutip

oleh  Foley dkk.,  1972) bahwa terjadi penurunan  produksi  susu  yang sangat nyata pada

sapi Holstein  pada  suhu 26,6 oC,  Jersey  dan Brown  Swiss pada suhu 29,4 oC, Brahman

pada suhu 32,2 o C serta pada suhu  diatas 32 o C SNF makin turun kadarnya dalam  susu

yang dihasilkan.

Musim  mempunyai  pengaruh  tersendiri pada sapi perah karena hal ini tidak  saja

berkaitan dengan suhu tetapi  jumlah  dan mutu  pakan  serta  intensitas penyinaran

mungkin  juga berpengaruh  pada  produksi susu.  Sapi yang beranak pada musim

rontok, produksi susunya selama laktasi lebih banyak  daripada  sapi yang  beranak  pada

musim semi, perbedaan produksi susu tersebut  sekitar 10-15%.  Sapi-sapi  Holstein yang

[Type text] [Type text] [Type text]24

melahirkan pada bulan Desember sampai Maret (musim  dingin  sampai  awal  semi)

mengahasilkan  susu sekitar 600  kg  lebih banyak dibandingkan dengan yang melahirkan

pada bulan Juli sampai Agustus. Di negara bagian New York Amerika Serikat sapi  yang

melahirkan pada musim gugur  menghasilkan susu  680 kg lebih banyak dari pada  yang

melahirkan  pada musin semi maupun  panas. Di Indonesia umumnya sapi sapi yang

melahirkan anaknya pada akhir kemarau dan awal musim  penghujan jumlah produksi

susunya lebih  banyak  dari yang  melahirkan  pada akhir  musim penghujan dan awal

kemarau, hal  ini  juga terkait dengan  jumlah  dan mutu pakan yang ada pada saat itu.

Ternak yang mendapatkan hijauan segar dengan mutu yang  baik pada saat berada  awal

laktasi akan  dapat menampilkan  produksi   lebih baik dari pada yang mendapatkan mutu

pakan  yang jelek pada periode  tersebut. Menurut Kalam (1990, personal  komunikasi)

jumlah produksi susu di Koperasi SAE Pujon antara  musim penghujan dan kemarau

tidak banyak berbeda, karena pada musim kemarau manakala hijauan berkurang

jumlahnya  maka peternak  meningkatkan penggunaan konsentrat  dalam  ransum

ternaknya.  Hal   ini mungkin  karena konsentrat yang  digunakan masih mengandung

serat kasar yang  cukup demikian pula kadar  proteinnya  sehingga tidak banyak

berpengaruh pada produksi dan komposisi susu. Perbedaan produksi sebagai akibat dari

musim ini makin menjadi kecil karena program pemberian pakan yang menjadi makin

baik.

1.14. Exercise

Pada ternak yang dipelihara secara terikat atau menentap, maka exercise

mempunyai peranan yang penting. Hal ini mengingat bahwa gerakan otot pada

anggota gerak dapat membantu memperlancar peredaran darah yang mungkin

terganggu pada saat ternak berada pada ruangan yang terbatas. Dalam keadaan bebas

maka ternak dapat menampilkan tingkah laku birahi secara lebih nyata, sehingga

pemeriksaan birahi dapat dilakukan dengan mudah yang pada gilirannya akan dapat

memperkecil kerugian akibat tertundanya kebuntingan. Hal ini banyak dijumpai pada

pemeliharaan ternak perah dengan kandang system “loose housing”. Ternak-ternak

yang dapat bergerak bebas akan membantu dalam perawatan kuku, karena akibat

pergesekan kuku dengan lantai atau rumput dan tanah akan dapat mengurangi laju

perpanjangan kuku ternak. Pada ternak mendapatkan kesempatan exercise di luar

kandang di udara terbuka, maka dengan bantuan sinar matahari dapat menyebabkan

kelembaban kulit dapat diperkecil dan mikroorganisme penyebab penyakit yang

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 25

berada di luar tubuh ternak dapat diperkecil populasinya serta mebantu terjadinya

perubahan pro vitamin D menjadi vitamin D, dimana hal ini tentunya dapat

meningkatkan derajat kesehatan ternak. Peningkatan kesehatan ternak ini secara tidak

langsung akan dapat meningkatkan atau mempertahankan penampilan produksi

ternak.

Penjemuran ternak biasanya dilakukan apabila cuaca dalam keadan baik dan

penjemuran dilakukan sekitar 1-2 jam oleh para peternak sapi perah rakyat yang ada

di pedesaan. Ternak dijemur di bawah sinar matahari secara terikat di luar kandang

dan ini dilakukan pada pagi hari setelah penyetoran susu ke KUD atau pos

penampungan susu dan pada saat pembersihan kandang dilakukan hingga sekitar jam

11.00 siang. Beberapa peternak berpendapat bahwa dengan adanya penjemuran ini,

maka konsumsi air minum ternak akan meningkat dan dapat meningkatkan produksi

susu. Namun kita menyadari bahwa penjemuran yang terlalu lama dan pada saat

matahari bersinar dengan teriknya, tentunya kurang baik dampaknya terhadap

penampilan produktivitas ternak, karena hal ini dapat menimbulkan heat stress.

Ternak yang menderita sengatan sinar matahari yang serius pada umumnya frekuensi

pernafasannya meningkat, demikian pula air liurnya diproduksi secara berlebihan.

Hal semacam ini sebaiknya dihindari, karena dapat menyebabkan menurunnya

produksi ternak dan lebih–lebih bila ternak dalam kedaan birahi atau setelah

diinseminasi, maka suhu tubuh akan meningkat lebih tinggi lagi yang dapat

menurunkan angka konsepsi atau kematian embryo pada periode awal. Ternak yang

mengalami heat stress ini biasanya nafsu makannya turun dan hanya nafsu

minumnya saja yang meningikat, sehingga akan dapat menimbulkan kekurangan zat-

zat makanan di dalam tubuhnya bila hal ini berlangsung lama.

1.15. Penyakit dan obat-obatan

“Prevention is better than cure”, demikianlah kira-kira ungkapan dalam

bahasa Inggris yang mengingatkan kita agar berupaya untuk mencegah timbulnya

suatu penyakit atau keadaan sakit untuk menghindari kerugian yang lebih besar baik

dalam artian uang. Keseluruhan proses produksi dari sapi perah dapat terganngu

apabila ternak tersebut mengalami sakit yang antara lain dapat disebabkan oleh bibit

penyakit mapupun kelainan metabolis. Dalam uraian berikut tidak dimaksudkan untuk

mendidik mahasiswa menjadi ahli dalam bidang tersebut, tetapi untuk meningkatkan

wawasan agar lebih menyadari apa yang harus atau sebaiknya dilakukan dalam

menangani kasus-kasus dalam peternakan sapi perahnya manakala upaya untuk

[Type text] [Type text] [Type text]26

mendapatkan pertolongan dari petugas yang berkompeten secara kebetulan tidak

berhasil. Berikut dipaparkan beberapa upaya untuk menangani beberapa kelainan

metabolis yang sering dijumpai pada usaha peternakan sapi perah. Hal ini antara lain

terjadi karena sapi perah yang ada sekarang telah berkembang ke arah potensi genetik

yang lebih tinggi dalam produksi susu, sehingga apabila pengelolaannya tidak

memadai akan dapat timbul kelainan metabolic seperti ketosis atau acetonemia, milk

fever, malposition abomasums dan asidosis.

Obat

Ada beberapa obat yang sering digunakan dalam usaha untuk meningkatkan

produksi dan komposisi susu. Adapun obat-obatan yang berguna untuk menstimulir

produksi susu seperti Thyroprotein atau Iodinated Casein. Pemberian bahan tersebut

pada sapi perah dalam jumlah yang cukup, akan dapat mempercepat terjadinya

metabolisme dalam tubuh, sehingga produksi susu dan kadar lemak mungkin akan

meningkat. Sedang Thyroprotein yang ditambahkan di dalam pakan sapi perah dapat

meningkatkan produksi dan kadar lemak susu, demikian pula halnya dengan

penambahan Oxytocin, walaupun hal di atas bersifat sementara. Para petani di

pedesaan sering memberikan ramuan jamu tradisinal, misalnya empon-empon, atau di

daerah sekitar Malang ramuan ini dikenal dengan nama Palapah, yang umumnya

diberikan pada sapi perah setelah melahirkan anaknya, atau untuk mempertahankan

kesehatan ternak atau memacu nafsu makan pada ternaknya. Disamping itu pemberian

jamu tradisional ini dapat mempertahankan produksi susu dalam jangka waktu

tertentu bila diberikan secara teratur, misalnya 2 minggu sekali. Hal ini dapat diduga

atau dapat dihubungkan dengan meningkatnya nafsu makan dan meningkatnya jumlah

protein yang diabsorpsi pada usus halus, sebagai akibat matinya beberapa mikroba

rumen setelah pemberian ramuan tadi. Ramuan jamu tradisional tadi disamping

mengandung zat-zat makanan juga mengandung bahan disinfektan, misalnya yang

terdapat pada kunyit. Namun demikian, penelitian lebih lanjut tentang masalah ini

perlu dilakukan agar dapat memperjelas faktor apa sesungguhnya yang dapat

mempengaruhi produksi susu.

DAFTAR PUSTAKA

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 27

Anonimus. 2000. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Kabupaten Malang. Malang.

Bath, D.L., F.N. Dickerson, H.A. Tucker and R.D. Appleman. 1985. Dairy Cattle: Principles, Practices, Problem. Profit. Third Edition. Lea & Febiger. Philadelpihia.

Boulanger D., F. Bureau, D. Melotte, J. Mainil and P. Lekeux, 2003. Increased Nuclear Factor-B Aktivity in Milk Cells of Mastitis-Affected Cows. J. Dairy Science.86:1259-1267.

Bradkey A.J., and M.J. Green. 2001. Adaptation of Escherichia coli to the Bovine Mammary Gland. J. of Clinical Microbiology, May 2001,p.1845- 1849,Vol.39,No.5.

Fontaine, M., J.P. Casal, X.M. Song, J. Shelford, P.J. Willson and A.A. Potter. 2002. Immunisation of Dairy Cattle with Recombinant Streptococcus uberis GapC or Chemeric CAMP Antigen Confers Protection against Heterologous Bacterial Challenge. http://www.elsevier.com/locate/vaccine. J.Vaccine20:2278-2286.

Gibbons, J.M. 1963. Disease of Cattle. Second Ed. American Veterinay Publication Inc., Drawer KK.

Gonzales, R.N., 1996. Mycoplsma Mastitis In Dairy Cattle: If Ignored, It Can Be a Costly Drain On the Milk Producer. Quality Milk Promotion Services College of Veterinary Medicine, Cornell University Ithaca. New York.

Gill,R., W.H. Howard, K.E Leslie and K. Lissmore. Economic of Mastitis Control. J. Dairy Sci. 73:11:3340e-349.

Judge, L., 1997. Mycoplasma Mastitis:An Emerging Disease in Michigan Dairy Cattle. Michigan Dairy Review:2 (2):4, may, 1997.

Mellenberger R. and J. Kirk., 2004. Mastitis Control Program for Coliform Mastitis In DairyCows. http://www.uwex.edu/milkquality/PDF/coliform mastitis.pdf.

Novita, T., 1999. Manajemen Penanganan Susu Di Koperasi Unit Desa Wajak Kecamatan Wajak Kabupaten Malang. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.

Soltys J. and T. Quinn. 2002. Selective Recruitment of T-Cell Subsets to the Udder During Staphylococcal and Streptococcal Mastitis: Analysis of Lymphocyte Subsets and Adhesion Molecule Expression. Infection and Immunity, December 202,p.6293-6302,Vol.67,No.12.

Surjowardojo. 1990. Hubungan Antara mastitis Berdasarkan CMT Terhadap Produksi Susu Pada peternakan Sapi Perah Rakyat di Wilayah Kecamatan Pujon. Malang.

[Type text] [Type text] [Type text]28

Schmidt, G.H., and L.D. Van Vleck. 1974. Principles of Dairy Science. W.H Freeman and Company. San Francisco.

Taylor, R.E., 1992. Scientific Farm Animal Production. Macmillan Publishing Company. New York.

Wallace R.L., 2004. Mycoplasma Mastitis and Bulk Tank Screening. http://www.mycoplasma mastittis and Bulk Tank_.htm.

BAB 2

DAIRY CATTLE HOUSING AND EQUIPMENT

(Prepared by Sarwiyono and R. de Jong)

3.1. Introduction

Most farm livestock belong to the homoeothermic animals, that is, they have to

be able to keep their body temperature within a moderately narrow range to allow all

physiological processes to work efficiently. They have to maintain a balance between on

one side heat production (the energy coming from feed) and heat load (the energy from

environmental sources) and on the other side the heat loss for production or to the

environment. Figure 2.1. show some aspects of the physiology of the animal, and the air

humidity which have a number of very important influences on the heat balance. Heat

production of farm animals varies according to the size, level of production, number of

animals in the shed, feed intake, feed quality, physiological status of the animal and also

heat production and heat loss is important in order to achieve conditions which are

comfortable for the animals

The basic environmental requirements to ensure satisfactory production, health and

welfare in the livestock animals are :

1. Thermal and physical comfort

2. Hygiene

3. Behavioural satisfaction

4. Optimal productivity

These principles apply to all accommodation for livestock animals. In designing

accommodation for the livestock it is necessary to achieve the best possible compromise

between the animal's needs and those of the farmer for buildings and structures that are

reasonable priced and convenient to maintain and to operate. The other things that have

to be considered are that other aims of accommodation are also to protect animals

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 29

against predators or even theft, which may require special construction or facilities. In

hot and dry continental climates it may be necessary to accommodate cows close to the

milking parlour and bring food to them throughout the lactation. The exact design of

cattle accommodation is therefore influenced greatly by climate and by general

management and feeding strategies, although the general objectives are the same. The

term climate includes various factors such as air temperature, relative humidity, air

composition, air velocity, light, and dust. In the animal house, therefore, one has to be

able to maintain cleanliness, comfortable and reasonable shelter against the negative

effects of the weather, sufficient access to clean, wholesome food and water, sufficient

space to move around without any difficulty or interference from other cows. The animal

house should also provide sufficient space and opportunity to express essential patterns

of behaviour such as 'bulling' (oestrous behaviour). It should also be possible to

direct cows without difficulty to specific areas for milking, calving boxes, and to the

restraining stall for artificial insemination or special treatment by the veterinarian.

3.2. Space requirement

Space requirement per animal, in general, decrease as the degree of confinement

and environmental control increases. Animals are assigned according to body weight,

age or sex group. There are certain fundamental differences between ruminant animals

and pigs and poultry which makes the approach to environmental control quite different

forthe two groups of livestock. Air volume per animal is provided by mechanical or

natural ventilation and is discussed later. Table 2.1., gives a general guidelines as to

feedlot and floor area requirement for various animals in warm or cold confinement.

Space per animal in feedlots for beef cattle is highly dependent on the climatic

conditions. The minimum feedlot space per animal of 20 m2 is possible only in arid

climates having 25 cm or more moisture deficit per year (the deficit is annual lake

evaporation minus rainfall). In more humid climates where the feedlots become muddy

and the manure does not dry out from the sun and wind, up to four hour times as much

space may be necessary. In fact, it is in more humid and colder climates that partially or

all-surfaced feedlots and partially or totally sheltered feedlots become economically

feasible. Muddy feedlots can reduce beef cattle gains as much as 30 %. Under adverse

climaticconditions, open feedlots may increase feed requirements and lengthen feeding

periods. For example, in an area that has a moisture surplus and average coldest month

[Type text] [Type text] [Type text]30

temperature of 5oC , open feedlots increase feed requirement and lengthen feeding time

by 15 % as compared to the sheltered housing.

Table 3.1. Feedlot and shelter requirement for animals

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Animal type Feeder space Floor space

(cm per head) (m2 /animal) Dairy cattle: Free-stall 40 6-7Stanchion type 100 6-8---------------------------------------------------------------------------------------Source : Esmay (1977).

The decision as to whether or not to provide sheltered confinement for beef cattle must

be based on economics. Important factor are rate of gain, feed conversion efficiency,

cost of feed and marketable animal. The shelter confinement space per animal may be as

low as one-tenth to one-fortieth of that for open feedlots. The cost are, however, that the

cost per animal for covered space with solid concrete floor is twice that for open lots,

and covered space with slotted floor is three times as high. These increased cost per

animal must be made up by increased gains, shorter feeding periods, better management

of animals, better pollution control and better working conditions.

The space requirement for dairy cattle ( see Table.3.1. and 3.2.) are about the same in

free-stall and stanchion barn housing. Management of cattle and feed handling is,

however, quite different for the two systems. In stanchion barns, feed and water must be

distributed to each stall as each animal is confined to that position, other than for

milking. Originally in stanchion-type barns the cows were milked in place. Today most

modern stanchion barns also have separate milking parlours. The free-stall arrangement

have appreciable feed and waste handling advantages for dairy herds larger than 100 or

200 milking cows. Stanchion barns are traditionally warm-type insulated structure with

mechanical ventilation. Free-stall shelters may be either warm or cold. If the free-stall

shelters are of the warm type, then the feeding facilities must also be enclosed in warm

environment. Dairy cows must either by confined completely in a warm environment or

they must be left completely in the cold environment so that they can become

acclimatised. The space requirements for cattle , swine and poultry indicated in Table 3.1

are for environmentally controlled housing for general guideline. The value from this

table slightly different to .

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 31

Table 3.2. Dimension and space requirements of cows and heifer----------------------------------------------------------------------------------------

Cow Heifers, Item Jersey Friesian Holstein Friesian

2 yrs----------------------------------------------------------------------------------------Body weight (kg) 350 600 700 450Height to withers (m) 1.15 1.35 1.50 1.25Body length (m) 1.40 1.62 1.72 1.45Reach of mouth (m)- at floor level 0.85 0.90 0.92 0.84- 30 cm above floor level 1.00 1.05 1.07 1.02Cubicle dimensions (m)- length to wall 2.00 2.20 2.40 2.40- length behind trough 1.40 1.60 1.80 1.60- width behind partitions 1.10 1.15 1.20 1.15- height of the neck rail 1.00 1.05 1.10 1.05Feeding face, width (m) 0.55 0.70 0.70 Loose housing (m)- bedded area/head 3.00 5.00 5.80 4.00- feeding, etc/head 1.30 1.80 2.00 1.50 ------------------------------------------------------------------------------------------Source : Webster, 1987

Concerning the space requirement of dairy cows, an example is given below in

which the size of the animal is taken into account in order to give comfortable

accommodation allowing maximum production performance.

In comparison the housing system in India dairy farming showed, that the cattle

shed should be located on well drained land with a space requirement for six cows

recommended at 5 x 7 meter. This place have to be protected again draft by applying

walls of 1.5 - 2 meters. The roof height should be 3-4 m high supported on pillars (Dairy

India, 1987).

More details of space requirements are given table 3.2 above for dairy cattle (Hubbel,

1965 )

Table 3.3. Space allowance for dairy cattle*-----------------------------------------------------------------------------

Cattle Cows Yearling Calves

-----------------------------------------------------------------------------Shed space (m2 ) 1.86-4.65 1.39-2.32 1.11-1.86Feedlot (paved)(m 2) 3.25-9.29 3.25-7.43 2.79-4.64Feed Storage (m3) 3.54-7.05 1.84-5.243 0.89-3.54

[Type text] [Type text] [Type text]32

(Baled hay with silage)-----------------------------------------------------------------------------* Modified from Hubbel (1965)

3.3. The ambient temperatureIt is important to maintain the ambient temperatures as required by groups of animals

which have per category a specific range of environmental temperature in which the

animals could live and produce comfortable ( Table 3.4). It is important to understand

that there are some variation between breed of cattle to be tolerant to such

environmental temperature (European cattle more tolerant to cold but intolerant to heat).

Concerning the upper critical temperature of cattle (as an example) is varies in

relation to the breed or the environmental where the animal originated. As an example

the upper critical temperature for Friesian and Jersey approximately 21 - 25 0 C, Brown

Swiss 30 - 32 0 C and in Brahman cattle as high as 32 0 C. Davison et. al. (1988),

reported that animals with access to shade had significantly higher (P<0.01) milk yield

than did animals without shade; however, there was a significant interaction between

yield and parity (P< 0,05) cows without shade incurred a significant (P< 0,05) decrease,

while heifer with out shade showed cows no significant (P>0.05), decrease. Sainsbury

and Sainsbury (1988) that when the temperature rise above 18 0 C in open field and 22 0

C in the open barns, some protection should be given. Provision of shade and sprinklers

in summer when maximum temperatures ranged from 30 to 33.3 0 C give up to 2.8 kg

more milk per day than shade alone.

3.4. Lay-out and construction

In designing and construction of livestock housing specialized knowledge is required

which is related to the need of the animal, the need of the farmer/human being and other

technical and socio-economic points of view. Every breed of animals have their own

behaviour and characteristic needs. Mature animals may be able to adapt at the lower

environmental temperature, while the young animal are growing better at the higher

environmental temperatures.

Table 3.4 Ambient temperatures required by livestock---------------------------------------------------------------------------------------Species Temperature range (o C) Lower

critical (o C) *) **)

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 33

----------------------------------------------------------------------------------------Mature Cattle - Milk production optimum 10 to 20 -26 -13 but temperature from - 6 to 25 have little effect on yield.

Calves - at birth 10 to 15 9 17 - for veal prod. 15 to 22 -14 -1

----------------------------------------------------------------------------------*) Lower air speed (0.2 m/s)*) Draught (2 m/s)Modified from Sainsbury and Sainsbury, 1988

When new lay-outs for milk production farms are planned, general considerations

arise regarding siting in relation to other farm buildings and the best possible access.

Essential features include a suitably sheltered site with infra-structure for an ample

supply of pure water and electricity, and facilities for drainage and dung slurry disposal.

Proximity to fodder storage, both bulk and concentrates, calf accommodation, good

access for wheeled traffic, space for movement routes of the cattle, which can be kept

clean and preferably separate, are all essential factors for a good design. On the other

hand it could be said that in the location of the buildings one should consider the

following aspects:

Topography and drainage, soil type, exposure to sun and protection again wind,

accessibility, durability and attractiveness, water supply, surroundings, labour facilities,

marketing channels, electricity and other facilities

The type of lay out will further be guided by the following considerations:

1. Farm size and system of husbandry

When the farm has plenty of bulk feeds and bedding, the design will probably

require a completely different system than the small all-grass farm, where skill in

stockmanship to encourage high yields could be more important than labour cost.

2. Soil and climate

Regions which have a high rainfall and humidity need special consideration

particularly in the requirements for animal health and soil management.

3. Size related to the potential of the farm and the possibility of extension or

adaptability to the other system of husbandry if the need arise.

4. Availability of skill of management of labour.

[Type text] [Type text] [Type text]34

5. Economy in construction, use and maintenance.

6. Limitation imposed due to difficulties of waste disposal.

7. The position and appearance in relation to the surrounding landscape.

3.5. Building Material

The farmer or manager of the farm should to be able to chose the building material

which has comparable advantages above other materials, in term of price, durability,

thermal insulation capacity, easiness of cleaning, waterproof, not slippery and the

materials have to be available at any time and at reasonable price. Local materials should

be used as much as possible in order to provide material which may be available at any

time and may be more economic (especially when transportation is very expensive). As

an example, the farmer may have the option of selecting building material for walls

either from: brickwork, concrete block work, concrete walls (either pre-cast or cast in

situ), timber, metal. plywood, hardboard, asbestos, plastic or bamboo etc. The choice of

the material usually will depend on a number of factors: personal preference, degree of

strength, degree of thermal insulation, and hygienic reasoning (see Table 3.5 as an

example).

Table 3.5. Reflection and emission of radiation (in percent) of some typical surfaces.

-------------------------------------------------------------------------------Surface Reflectivity Emissivity

--------------------------- to thermal To solar * To thermal ** radiation radiation radiation

------------------------------------------------------------------------------- Aluminium, polished 85 92 8White lead paint 75 5 95Light green paint 50 5 95Aluminium paint 45 45 55Wood, pine 40 5 95Brick, various colours 23-48 5 95Grey paint 25 5 95Black matte 3 5 95------------------------------------------------------------------------------- * Primarily shortwaves** Long waves Source : McDowell (1972).

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 35

3.6. Shelter material

The option of such material for the shelter purposes should not only be considered on

technical aspects but one should also have to take into account aspects as economics,

health, safety, harmless not only for the animals but also for the human being. Dry straw,

can be used as a shelter in the area where the solar radiation is very high and with low

humidity. This material may create some problem in the area where the rainfall or the

humidity and air temperature are very high partly due to the mouldiness, poor sanitation

or possibly fire problem. In the area where the humidity is high, where bamboo is

available at a reasonable price, bamboo may have special advantage compared with

straw. The use of tiles (for example baked soil tile) may be justified in the area where the

risk of fire is very high and ventilation has to be improved.

In the temperate climate the type of roof that is usually used by the farmer is of the

gable type, mono-pitch. They use materials such as tiles, slates, cedar shingles, thatch,

galvanised and protected steel, and aluminium and fibre-cement tiles and sheets. The

most popular are corrugated fibre cement, steel and aluminium sheets, which are

relatively cheaper, fire resistant, easy fixable and of reasonably long life. Both are

relatively light materials and thus do not require heavy roof structures. ( See Davison et.

al. 1988, Australian J. of Exp. Agric. 28: 149-154)

3.7. Floor surfaces

The design of the floor is critical to thermal comfort, physical comfort, health and

security, especially for cattle . The animal stands, exercises, moves around, lies down

and excretes on the floor so that it must, depending on the needs of the moment, be non

slippery, well-drained and comfortably soft, warm and dry, and also easy to clean either

by hand or mechanically. Of the various materials used, wooden slats, asphalt, rubber

mats or damp straw can be said to be of the neutral type of floor because total visible

heat loss from a calf or an adult would not differ significantly, according to weather she

is standing up or lying down. Concrete, weather wet or dry, has a very high thermal

conductivity, therefore, the farmer has to keep this in mind.

Floor material have to be able to withstand heavy wear, especially in stables and

cowsheds, a granolithic finish or fine sand is recommended. This is a finely graded

concrete with granite chipping as aggregate, the coarse aggregate forming the wear-

resistant surface. Cement hardeners producing a non-dusting surface will also improve

wear by sealing the pores and making the floor impervious. In the developed countries

[Type text] [Type text] [Type text]36

materials for this purpose include silicates of soda, and zinc- and magnesium- silicon-

fluorides, as well as proper hardeners. Before it is treated the floor should be not less

than two weeks old, and clean and dry. About 4.5 litres of commercial silicate of soda

added to 1.8 litres of water covers up to 90 m2. The solution is brushed well into the

floor and is washed off with water the day after application. Two or three applications

are needed. The finish given to the floor should be non-slippery and are, therefore,

lightly roughened at the surface apart from the gutters which are best trowelled up. A

suitable non-slippery surface can be made with a wood float or by 'bouncing' with a

broom or light stamping. The best result is usually given by sprinkling carborundum on

the finished floor at the rate of 1 kg/m2 (Sainsbury and Sainsbury, 1988).

It frequently happens that the existing floor is so smooth and slippery that the stock

cannot gain a proper foothold, and so easily fall and injure themselves; this make them

timid and frightened to use it. There are various remedies which can be applied to re-

texture slippery floor surfaces; most of these are best left to a specialist firm:

1. Surface scabbling. A machine chips away the surface of the concrete and

leaves an abrasive finish.

2. Surface grooving. A variety of machines will cut grooves in worn concrete

to provide a surface on which the animals can get a good grip without

causing sore feet.

3. Resin mortars can be applied to the surface of the concrete and allowed to cure.

4. Acid etching. This method uses chemicals which can be very dangerous in use,

and much care is needed during application.

Cracked and damaged concrete floors may also present a hazard to operators and

stock, causing foot and hoof problems of livestock. In the case of milking premises this

situation does not conform to statutory requirements. Most badly cracked or worn

concrete floors are best completely re-laid. There may, however, be small areas where

only patchy repairs can be made. The essential point is to provide a good 'key' between

the existing and the new concrete. This requires really clean surfaces and proper binding

agents incorporated into the cement grout used as a filler. In addition, it needs sufficient

curing time.

3.8. Type of dairy cattle housing

Cows not only needs to be protected against extreme temperatures but also against

too much wind, rain and/or sun. The animals need to have reasonable bedding which

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 37

should be clean, dry, soft and not slippery. In the area where the climatic conditions are

dry and hot, it is also possible to construct simple shelters for dairy cows, which will

protect the animals from extreme solar radiation. Dry straw for example could be used

for bedding or for the roof of shelter and every cow should be able to get sufficient lying

space.

In designing the livestock housing Zappavigna (1983) gave an example of the

specific case of feeding arrangements which have to be considered:

2.a. in connection with the animals:

1. easy access to feed and comfort during feeding

2. availability of the quantity and quality of feed desired or needed, and

3. a quiet and undisturbed meal

2.b. in connection with human work:

1. reduction in power consumption (human or mechanical) for feed distribution,

2. ability to control animals, movements and to restrain them if required, and

3. reduction in power consumption for cleaning.

2.c. in connection with management cost:

1. control of feed wastage, and

2. low capital cost.

The most widely prevalent practise in Indonesia is traditional type of small-

scale cattle production. In this system farmer have to tie the cows with a rope on a part

of manger or event pillar (under shelter), except for some organised dairy or beef cattle

farms belonging to government or private institution where more proper and complete

housing facilities do exist. It is quite easy to understand that unless cattle are provided

with good housing facilities, the animals will move too far in or out of the standing

space, defecating all round and even causing trampling and wasting of feed by stepping

into the manger. The animals will be exposed to extreme weather conditions which

could lead to bad health or lower production. The type of dairy cattle housing may vary,

partly due to climatic conditions. However, two type of dairy barns are in general use at

the present time.

1. The loose housing dairy barn in combination with some type of milking machine,

and,

2. Conventional dairy barn or tie-up housing system.

In the loose housing system, the animals are kept loose and are not tied-up

except during milking and at the time of treatment. The system is most economical in the

[Type text] [Type text] [Type text]38

area where labour cost are very expensive. Some feature of a loose housing system are

as follow:

1. Cost of construction is usually lower than conventional type.

2. It is possible to make further expansion without much changes.

3. Facilitate easy detection of animals in heat.

4. Animals feel free and therefore, are more profitable with even minimum grazing.

5. Animals get optimum exercise which is extremely important for better health and

production.

6. Overall better management could be rendered.

In this system, there is usually a loafing area and lying area, with a feeding area

separated from the lying area. The cows are allowed to walk frequently. The manure is

spread over a large floor area and can be collected by scraping by hand or automated

scraper into the manure pit or a channel. Manure from pit or channel can be pumped into

a put door silo or lagoon. Milking is usually done in the milking parlour attached to the

housing unit or in a separated building, in which the cows can be milked by hand or

milking machine. Feed may be given in a manger behind a feeding rack with one or

more cows per feeding place. Concentrate is usually given partly during milking and in

the manger or via an automatic feeding system which is connected with a computer

program. There are two type of loose housing system : loose housing with a common

lying area or cubicles houses. The size of cubicle depends on the size of cows to be

housed (see space requirement).

In the tie-up or conventional barn each cow is restrained per stand. Feed and

water is delivered in a manger or water bowl in front of the animal. Milking takes place

individually by hand in the stall or machine. Manure is collected in a gutter which can be

scraped into the pit.

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 39

Gambar Freestall

Tiestall

[Type text] [Type text] [Type text]40

Typical sunshade for dairy cows in dry area of the tropics

Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 41