ijtihad

5
IJTIHAD Kata ijtihad berasal dari kata ijtahada yajtahidu ijtihadanyang berartu mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan, menurut istilah,pengertian ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum. Oleh karena itu, tidak disebut ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu pekerjaan. Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu. Ijtihad dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Quran dan hadis, serta turut memegang fungsi penting dalam penetapan hukum Islam. Telah banyak contoh hukum yang dirumuskan dari hasil ijtihad ini. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Fungsi ijtihad adalah untuk mendapatkan solusi hukum jika ada suatu masalah yang harus diterapkan hukumnya, tetapi tidak dijumpai dalam Al-Quran maupun hadis. Jadi, jika dilihat darifungsi ijtihad tersebut, maka ijtihad mendapatkan kedudukan dan legalitas dalam Islam. Meskipun demikian, ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orang yang memenuhi syarat yang boleh berijtihad. Orang yang berijtihad harus memiliki syarat sebagai berikut: Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, Memiliki pemahaman mendalam tentang bahas Arab, ilmu tafsir, usul fiqh, dan tarikh (sejarah), Mengenal cara meng-istinbat-kan (perumusan) hukum dan melakukan qiyas, Memiliki akhlaqul qarimah. Bentuk ijtihad dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut: Ijma': Ijma' adalah kesepakatan para ulama mujtahid dalam memutuskan suatu perkara atau hukum. Ijma' dilakukan untuk merumuskan suatu hukum yang tidak disebutkan secara khusus dalam kitab Al-Quran dan sunnah. Qiyas: Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu masalah yang belum ada kedudukan hukumnya dengan masalah lama yang pernah karena ada alasan yang sama.

Upload: aprianaji

Post on 19-Nov-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

c

TRANSCRIPT

IJTIHAD

Kata ijtihad berasal dari kataijtahada yajtahidu ijtihadanyang berartu mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan, menurut istilah,pengertian ijtihadadalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum. Oleh karena itu, tidak disebut ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu pekerjaan. Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu. Ijtihad dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Quran dan hadis, serta turut memegangfungsi pentingdalam penetapan hukum Islam. Telah banyakcontoh hukumyang dirumuskan dari hasil ijtihad ini. Orang yang melakukan ijtihad disebutmujtahid.

Fungsi ijtihadadalah untuk mendapatkan solusi hukum jika ada suatu masalah yang harus diterapkan hukumnya, tetapi tidak dijumpai dalam Al-Quran maupun hadis. Jadi, jika dilihat darifungsi ijtihadtersebut, maka ijtihad mendapatkan kedudukan dan legalitas dalam Islam. Meskipun demikian, ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orang yang memenuhi syarat yang boleh berijtihad. Orang yang berijtihad harus memiliki syarat sebagai berikut: Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, Memiliki pemahaman mendalam tentang bahas Arab, ilmu tafsir, usul fiqh, dan tarikh (sejarah), Mengenal cara meng-istinbat-kan (perumusan) hukum dan melakukan qiyas, Memiliki akhlaqul qarimah.Bentuk ijtihaddapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut: Ijma':Ijma' adalah kesepakatan para ulama mujtahid dalam memutuskan suatu perkara atau hukum. Ijma' dilakukan untuk merumuskan suatu hukum yang tidak disebutkan secara khusus dalam kitab Al-Quran dan sunnah. Qiyas:Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu masalah yang belum ada kedudukan hukumnya dengan masalah lama yang pernah karena ada alasan yang sama. Maslahah Mursalah:Maslahah Mursalah adalah cara dalam menetapkan hukum yang berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.

CONTOH IJTIHADHUKUM MERAYAKAN HARI KEMERDEKAANSebelumnya perlu dipahami dahulu pengertian Id.Id adalah hari perayaan yang dilakukan secara rutin, baik setiap tahun, setiap bulan, atau setiap pekan. Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam dalam kitab Iqtidha Shiratil Mustaqim. Sehingga dari pengertian ini hari perayaan kemerdekaan termasuk Id, karena berulang setiap tahun sekali.Benar sekali, bahwa Id ini bisa jadi terkait dengan perkara ibadah seperti Idul Fithri atau Idul Adha, dan bisa juga terkait dengan perkara non-ibadah seperti perayaan ulang tahun, perayaan hari kemerdekaan, perayaan tahun baru, dll. Namun perlu diketahui bahwa Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam menyatakan bahwaId adalah bagian dari agama.Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: Setiap kaum memiliki Id sendiri dan Idul Fithri ini adalah Id kita (kaum muslimin)(HR. Bukhari no. 952, 3931, Muslim no. 892)Dari hadits di atas jelas sekali bahwa Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam menyatakan bahwaId adalah ciri dari suatu kaum. DanId yang menjadi ciri dari kaum muslimin adalah Idul Fithri dan Idul Adha, sebagaimana diungkapkan dalam hadits: Idul Fithri adalah hari berbuka puasa, Idul Adha adalah hari menyembelih(HR. Timidzi no.802, di shahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)Nah, jika Id yang menjadi ciri kaum muslimin adalah hanya Idul Adha dan Idul Fithri, maka Id yang lain adalah ciri dari kaum selain kaum muslimin.Itulah sebabnya para ulama menghukumi perayaan-perayaan semacam perayaan hari kemerdekaan sebagaitasyabbuh (menyerupai kaum non-muslim)1. Dan tasyabbuh sudah tegas dan jelas hukumnya dengan hadits: Orang yang menyerupai suatu kaum, seolah ia bagian dari kaum tersebut(HR. Abu Daud, 4031, di hasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, di shahihkan oleh Ahmad Syakir di Umdatut Tafsir, 1/152)Selain itu pada hadits pertama tadi Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam menyatakan bahwa Id adalah bagian dari agama. Artinya bahwa dalam Id mengandung perkara ibadah. Oleh karena itupara ulama juga menghukumi perayaan-perayaan semacam perayaan hari kemerdekaan sebagai perkarabidah.Dan bidah telah jelas hukumnya dengan hadits: Orang yang membuat perkara baru dalam agama ini, maka amalannya tersebut tertolak(HR. Bukhari, no. 2697)Sebagian orang mungkin belum mau menerima penjelasan bahwa dilarang membuat hari-hari perayaan selain 2 hari raya tersebut karena termasuktasyabbuh dan bidah.Namun, andaikan mereka menolak bahwa perayaan tersebut termasuk tasyabbuh dan bidah, makaterdapat larangan khusus (tersendiri) mengenai hal ini, yaitu Rasulullah Shallallahualaihi Wa sallam melarang ummatnya membuat Id baru selain dua hari Id yang sudah ditetapkan syariat. Hal ini diceritakan oleh Anas bin Malik Radhiallahuanhu: Di masa Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam baru hijrah ke Madinah, warga Madinah memiliki dua hari raya yang biasanya di hari itu mereka bersenang-senang. Maka Rasulullah bertanya: Perayaan apakah yang dirayakan dalam dua hari ini?. Warga madinah menjawab: Pada dua hari raya ini, dahulu di masa Jahiliyyah kami biasa merayakannya dengan bersenang-senang. Maka Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: Sungguh Allah TELAH MENGGANTI hari raya kalian DENGAN YANG LEBIH BAIK, yaitu Idul Adha dan Idul Fithri.(HR. Abu Daud, 1134, dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/119, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud, 1134)Dalam hadits ini, Id yang dirayakan oleh warga Madinah ketika itu bukanlah hari raya yang terkait ibadah, bahkan hari raya yang hanya hura-hura dan senang-senang. Namuntetap dilarangoleh Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam. Ini menunjukkanterlarangnyamembuat Id baru selain dua hari Id yang sudah ditetapkan syariat,baik Id tersebut tidak terkait dengan ibadah, maupun terkait dengan ibadah.Berikut kami sampaikan fatwa Lajnah Daimah tentang masalah ini:Sebelumnya, Id adalah istilah yang digunakan untuk hari yang didalamnya manusia melakukan acara bersama dilakukan secara rutin dan sebagai sebuah kebiasaan, baik setiap tahun, setiap bulan, setiap pekan atau semacamnya. Dalam masalah Id ini bisa mencakup beberapa pembahasan:Pertama, pembahasan mengenai harinya yang rutin dirayakan seperti, Idul Fithri dan Idul Adha.Kedua, pembahasan mengenai acara bersama yang diadakan.Ketiga, pembahasan mengenai amal-amal yang dilakukan di dalamnya, bisa jadi berupa amal ibadah, atau bisa jadi perkara non-ibadah.Kemudian,(1) jika Id diselenggarakan dalam rangka taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah dan mengharap pahala serta pengagungan sesuatu,(2) atau di dalamnya terdapat unsur tasyabbuh kepada orang Jahiliyyah atau semacam mereka, misalnya menyerupai orang kafirMaka yang demikian ini termasuk bidah dan terlarang karena termasuk dalam keumuman sabda Nabi Shallallahualaihi Wasallam: Orang yang membuat perkara baru dalam agama ini, maka amalannya tersebut tertolak(HR. Bukhari-Muslim)Contohnya perayaan Maulid Nabi, perayaan hari ibu, dan perayaan hari kemerdekaan.Contoh yang pertama, termasuk membuat-buat ritual ibadah baru yang tidak diizinkan oleh Allah, yang demikian juga merupakan tasyabbuh terhadap orang Nasrani dan kaum kuffar lainnya. Sedangkan contoh kedua dan ketiga, termasuk tasyabbuh terhadap kaum kuffar.Namun jika tujuan diadakannya dalam rangka mengatur pekerjaan, misalnya, atau untuk merupakan hajat orang banyak, atau untuk menertibkan urusan-urusan orang banyak, seperti usbu al murur (pekan lalu lintas*), pengaturan jadwal kuliah, berkumpulnya karyawan yang bekerja, atau semacamnya yang pada asalnya tidak memiliki makna taqarrub atau ibadah dan pengagungan, yang demikian ini termasuk bidah adiyah (inovasi dalam urusan non-ibadah), yang tidak termasuk ancaman hadits: Sehingga hukumnya boleh saja, bahkan terkadang termasuk diajarkan oleh syariat(Fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta, fatwa no. 9403, juz 3 hal. 87 89)Wallahualam.