iii. keadaan umum lokasi penelitian - repository.ipb.ac.id · sub-daerah aliran sungai (sub-das)...

14
III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Keadaan Wilayah Kecamatan Sumberjaya merupakan pintu gerbang Kabupaten Lampung Barat dari arah Timur dengan jarak 75 km dari kota Liwa yang merupakan ibukota Kabupaten Lampung barat dan berjarak 175 km dari kota Bandar Lampung yang merupakan ibu kota Propinsi Lampung, batas-batas tersebut adalah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Way Kanan Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Gedung Suryan Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Way Tenong dan Sekincau Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Lampung Utara Secara geografis Kecamatan Sumberjaya terletak diantara 4 o 45’ – 5 o 15’ LS dan 104 o 15’ – 104 o 45’ BT. terdiri dari 10 pekon dan 1 kelurahan, secara keseluruhan mempunyai luasan sekitar 54.967 ha yang berupa daerah yang berbukit- bukit dengan wilayah datar sampai berombak seluas 15 %, berombak sampai berbukit 65% dan wilayah berbukit sampai bergunung seluas 20 %, ketinggian dari permukaan laut antara 700 – 1.700 dpl dengan dikelilingi oleh puncak bukit di sebelah utara Gunung Subhanallah (1.623 m), sebelah timur Gunung Tangki Tebak (2.115 m), sebelah Tenggara Gunung Tangkit Begelung (1.213 m) dan di sebelah barat Gunung Sekincau (1.718 m) sedangkan ditengahnya terdapat Bukit Rigis (1.395 m) Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terdapat di Propinsi Lampung terdiri dari empat DAS yaitu: (1). DAS Tulang Bawang yang merupakan DAS terluas dengan luasan ± 960.545 Ha atau 29% dari luas propinsi, (2). DAS Seputih dengan luas 702.257 Ha (21%), (3). DAS Sekampung dengan luas 474.227 Ha (14%), dan (4). DAS Semangka dengan luas 143.176 Ha (4%). Sub-Daerah Aliran Sungai (Sub-DAS) Way Besai merupakan daerah hulu dari DAS Tulang Bawang, yang berada di daerah kawasan Pegunungan Bukit Barisan Selatan dan secara administratif berada di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat

Upload: lekhanh

Post on 10-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ŀIII. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1. Keadaan Wilayah

Kecamatan Sumberjaya merupakan pintu gerbang Kabupaten Lampung Barat

dari arah Timur dengan jarak 75 km dari kota Liwa yang merupakan ibukota

Kabupaten Lampung barat dan berjarak 175 km dari kota Bandar Lampung yang

merupakan ibu kota Propinsi Lampung, batas-batas tersebut adalah sebagai berikut:

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Way Kanan

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Gedung Suryan

• Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Way Tenong dan

Sekincau

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Lampung Utara

Secara geografis Kecamatan Sumberjaya terletak diantara 4o45’ – 5o 15’ LS

dan 104o

15’ – 104o 45’ BT. terdiri dari 10 pekon dan 1 kelurahan, secara

keseluruhan mempunyai luasan sekitar 54.967 ha yang berupa daerah yang berbukit-

bukit dengan wilayah datar sampai berombak seluas 15 %, berombak sampai berbukit

65% dan wilayah berbukit sampai bergunung seluas 20 %, ketinggian dari permukaan

laut antara 700 – 1.700 dpl dengan dikelilingi oleh puncak bukit di sebelah utara

Gunung Subhanallah (1.623 m), sebelah timur Gunung Tangki Tebak (2.115 m),

sebelah Tenggara Gunung Tangkit Begelung (1.213 m) dan di sebelah barat Gunung

Sekincau (1.718 m) sedangkan ditengahnya terdapat Bukit Rigis (1.395 m)

Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terdapat di Propinsi Lampung terdiri dari

empat DAS yaitu: (1). DAS Tulang Bawang yang merupakan DAS terluas dengan

luasan ± 960.545 Ha atau 29% dari luas propinsi, (2). DAS Seputih dengan luas

702.257 Ha (21%), (3). DAS Sekampung dengan luas 474.227 Ha (14%), dan (4).

DAS Semangka dengan luas 143.176 Ha (4%).

Sub-Daerah Aliran Sungai (Sub-DAS) Way Besai merupakan daerah hulu

dari DAS Tulang Bawang, yang berada di daerah kawasan Pegunungan Bukit

Barisan Selatan dan secara administratif berada di Kecamatan Sumberjaya,

Kabupaten Lampung Barat

28

Di dalam wilayah tangkapan Sub-DAS Way Besai terdapat beberapa kawasan

lindung yang memiliki fungsi ekologis yang penting bagi perlindungan fungsi DAS.

Kawasan-kawasan tersebut adalah : (1) Reg. 39 Kota Agung Utara seluas 49.994 ha,

(2) Reg. 44b Way Tenong Kenali seluas 14.000 ha, (3) Reg. 45b Bukit Rigis seluas

8.295 ha, dan (4) Reg. 46b Palakiah seluas 1.800 ha. Dari keempat kawasan tersebut,

hutan lindung Reg. 45 Bukit Rigis merupakan kawasan yang paling berpengaruh

terhadap perlindungan sub DAS karena letaknya yang berada di tengah-tengah Sub

DAS Way Besai dan merupakan hulu dari kurang lebih 11 anak sungai (Agus, F,

et.al, 2002)

3.2. Iklim dan Temperatur

Wilayah kecamatan Sumberjaya memiliki iklim tropis yang berdasarkan

klasifikasi iklim Schmith-Ferguson (1951) termasuk kedalam iklim tipe hujan A yaitu

tidak memiliki bulan kering. Rata-rata curah hujan harian berdasarkan pantauan

stasiun iklim di Sumberjaya pada periode 1972-1998 adalah 7,1 mm, dimana rata-rata

curah hujan harian terendah terjadi pada bulan Agustus (3,3 mm) sedangkan tertinggi

terjadi pada bulan Maret (10,6 mm). Rata-rata Curah hujan bulanan adalah sekitar

213,3 mm dan curah hujan tahunan sekitar 2.614 mm. Suhu udara rata-rata harian

yang terendah adalah sekitar 20,3 oC dan rata-rata tertinggi sekitar 21,7

oC (Agus

et.al, 2002). Sedangkan menurut Verbist (2008), rata-rata suhu udara di Kecamatan

Sumberjaya berkisar pada 23,4 oC dengan dengan suhu udara rata-rata yang rendah

terjadi antara bulan Juli sampai dengan bulan September. Curah hujan terendah

terjadi pada bulan Agustus sedangkan curah hujan tertinggi pada bulan Desember.

Rata-rata curah hujan, Evapotranspirasi dan suhu udara di Kecamatan Sumberjaya

disajikan pada Gambar 8.

29

Keterangan:

ETo: Evapotranspirasi (mm), P: rata-rata curah hujan (mm), Tmin:

rata-rata suhu bulanan minimum (oC), Tmax: rata-rata suhu bulanan

maksimum (oC), Tav: rata-rata temperatur harian (

oC)

Gambar 8. Rata-rata curah hujan, evapotranspirasi dan suhu udara di

Kecamatan Sumberjaya pada periode satu tahun (Verbist,

2009)

3.3. Jenis Tanah

Di Kecamatan Sumberjaya jenis tanah yang dominan adalah Inseptisol yang

dicirikan dengan tingkat perkembangan tanah yang relatif muda, berkembang dari

bahan induk vulkan muda. Di sebagian kecil wilayah Sumberjaya terdapat jenis tanah

Entisol (Troporthents) yang merupakan tanah yang belum mengalami perkembangan

sehingga sifatnya masih ditentukan oleh bahan induknya. Di bagian perbukitan juga

terdapat jenis tanah Ultisol (Hapludults) yang merupakan tanah yang sudah

berkembang dan terdapat di wilayah fisiografi tua. Jenis-jenis tanah tersebut

umumnya memiliki tingkat kesuburan tanah rendah sampai sedang (Pusat Penelitian

Tanah, 1989).

Menurut Dariah (2004), tanah di beberapa tempat di Sumberjaya

diklasifikasikan sebagai Oxic Dystrudept. Tanah ini didominasi oleh fraksi liat

dengan rata-rata kadar liat > 70 %. Secara umum sifat fisik tanah tergolong baik,

dicirikan dengan berat isi tanah rata-rata kurang dari 0,9 gr/cm3, ruang pori total rata-

rata mencapai 69 %, pori drainase cepat/pori makro tergolong tinggi (20-26 %) dan

rata-rata permeabilitas tanah adalah 7 cm/jam.

Jenis-jenis tanah di wilayah Kecamatan Sumberjaya didominasi oleh jenis

tanah Inceptisol dengan bahan induk Batu Pasir dan Tufa Masam, sebagian lain

◌� ˥

30

dengan jenis tanah Andisol dengan bahan induk Kompleks Tufa dan Batuan kukuh

inter medier (Lembaga Penelitian Tanah, 1971).

3.4. Sejarah Penggunaan Lahan

Propinsi Lampung menjadi gerbang bagi pergerakan penduduk Jawa-

Sumatera. Di awal abad ke-20 program transmigrasi yang pertama disusun oleh

Pemerintah Belanda dengan memindahkan penduduk dari pulau Jawa yang padat

penduduknya (38 juta jiwa pada tahun 1930) ke Lampung (dengan populasi 300.000

jiwa pada tahun yang sama). Pemerintah Indonesia melanjutkan program tersebut

sampai tahun 1980-an, pada tahun 1986 pemerintah Propinsi Lampung

mengumumkan bahwa diwilayahnya sudah tidak dapat lagi menampung para

transmigran dan untuk pertama kalinya Lampung mengirimkan 66 kepala keluarga

(KK) sebagai transmigran ke propinsi Jambi.

Tertutupnya Propinsi Lampung sebagai wilayah transmigrasi tidak menjadi

halangan bagi masuknya pendatang karena letak wilayahnya yang dekat dengan

Pulau Jawa. Pada dekade terakhir terjadi transmigrasi spontan secara besar-besaran

dan kebanyakan mereka menetap di daerah berbukit serta lereng gunung yang

tanahnya cocok untuk tanaman kopi dan sebagian besar lahan yang mereka tempati

tersebut masuk ke dalam klasifikasi hutan lindung ataupun berada dalam kawasan

taman nasional.

Pada 100 tahun yang lalu hampir semua wilayah kecamatan SumberJaya

merupakan hutan belantara, yang pertama kali menempati wilayah tersebut adalah

suku Semendo dari Lampung Utara. Sukaraja adalah desa pertama di Kecamatan

Sumberjaya yang berdiri pada tahun 1891 tempat komunitas marga Way Tenong

yang terpisah (Huitema, 1935). Mulai tahun 1951, Biro Rekontruksi Nasional (BRN)

yang merupakan program transmigrasi dibawah koordinasi Angkatan Darat,

menstimulasi perkampungan bekas tentara (terutama suku sunda) dari perang

kemerdekaan (Kusworo, 2000). Pada tahun 1952 Presiden pertama Indonesia (Ir.

Soekarno) meresmikan wilayah tersebut sebagai wilayah perkampungan yang baru

dan hingga kini dikenal dengan nama Kecamatan Sumberjaya (Fay dan Pasya, 2001).

31

Perkembangan terakhir program transmigrasi pemerintah tidak terlalu

berorientasi pada wilayah Sumberjaya, tetapi tetap saja transmigrasi spontan

berdatangan dari pulau Jawa dan Bali yang merupakan transmigrasi generasi kedua

dan ketiga (Charras dan Pein, 1993).

Pada rentang waktu 1960-2000 banyak kawasan hutan yang dikonversi tidak

hanya oleh pendatang spontan, tetapi juga oleh perkebunan swasta dan pemerintah

dalam skala yang besar. Hal tersebut sering menyulut terjadinya konflik, bahkan

sejak era reformasi konflik penggunaan dan status lahan makin sering muncul ke

permukaan. Di satu sisi sektor swasta dapat memiliki hak-hak pemanfaatan lahan

(misalnya Hak Guna Usaha, Hak Penguasaan Lahan dan lain-lain) yang merupakan

aspek positif dari Hukum Agraria, disisi lain beberapa komunitas lokal mendukung

Hukum Adat (Hak Ulayat, Hak Marga dan Hak Kekerabatan) yang tidak dapat

memiliki hak-hak pemanfaatan lahan. Dari sudut pandang yang berbeda ini

seringkali terjadi persinggungan kepentingan yang pada akhirnya terjadi konflik dan

kondisi ini banyak terjadi di Propinsi Lampung. Tabel 2 diperlihatkan beberapa

kasus konflik yang pernah terjadi Propinsi Lampung (Tim KKR-PSDAL Propinsi

Lampung, 2003).

Tabel 2. Kasus-kasus konflik tanah di Propinsi Lampung dalam rentang

waktu tahun1999-2002

No Tahun kasus konflik

pertanahan

Kasus yang terselesaikan

Jumlah Persen

1 1999 260 71 27

2 2000 260 201 39

3 2001 327 240 73

4 2002 327 249 76 Sumber: Tim KKR-PSDAL Propinsi Lampung, 2003

3.5. Pola Penggunaan Lahan

Pekembangan luas hutan di Sumberjaya terus menurun dari tahun 1973-2001.

Berdasarkan hasil klasifikasi dan analisis perubahan lahan, penutupan hutan

mencapai 43% dari total area pada tahun 1973 dan menurun menjadi 13% pada tahun

2001. Hal ini terjadi karena konversi hutan menjadi kebun kopi rakyat yang dilakukan

32

secara besar-besaran pada tahun 1980-an. Pada saat itu harga kopi Lampung yang

melambung di pasaran mendorong masyarakat Sumberjaya yang umumnya

pendatang membuka kebun kopi sebanyak-banyaknya. Perubahan lahan dari hutan

menjadi kebun kopi rakyat dapat dengan mudah dilihat pada bagian selatan

Sumberjaya tanpa melakukan kegiatan klasifikasi, dapat dilihat bahwa hampir seluruh

bagian hutan pada areal ini hilang di tahun 2001. Perubahan penggunaan lahan di

Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat telah dilakukan interpretasi oleh Ekadinata

(2002) dengan menggunakan citra satelit pada tahun 1973-2002, hasil analisis

penutupan lahan adalah sebagai berikut:

1. Lahan berhutan

Luasan wilayah hutan di Sumberjaya terus menurun sejak tahun 1973-2001.

Berdasarkan hasil klasifikasi dan analisis perubahan lahan, penutupan hutan

mencapai 43% dari total area pada tahun 1973 dan menurun sampai dengan 13% pada

tahun 2001. Hal ini terjadi karena konversi hutan menjadi kopi yang dilakukan secara

besar-besaran pada tahun 1980-an. Pada saat itu harga kopi Lampung yang

melambung di pasaran mendorong masyarakat Sumberjaya yang rata-rata adalah

pendatang untuk memutuskan membuka kebun kopi sebanyak-banyaknya. Perubahan

lahan dari hutan menjadi kebun kopi dapat dengan mudah dilihat pada bagian selatan

Sumberjaya.

Pada tahun 1986, sebanyak 61.3 km2 wilayah hutan (32% wilayah hutan tahun

1973) dikonversi menjadi kopi, baik kopi monokultur maupun multistrata.

Sedangkan sebagian lainnya dirubah menjadi sawah dan pemukiman. Total areal

hutan yang dikonversi pada tahun 1986 mencapai 122.134 km2 atau ±65% dari total

luasan hutan di tahun 1973.

Pada tahun 2001 sebanyak 95.581 km2 areal hutan (±57% dari areal hutan

tahun 1986) dikonversi menjadi kopi. Reforestasi terbesar terjadi pada rentang waktu

ini (1986-2001), karena sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, pada tahun 1990-

an terjadi lonjakan harga kopi Lampung. Total areal hutan yang dikonversi pada

tahun 2001 mencapai 124.708 km2 atau 74 % dari total luasan hutan di tahun 1986.

33

2. Tanaman kopi

Kopi merupakan jenis tanaman yang paling banyak terdapat di daerah

Sumberjaya, sehingga tidak mengherankan jika daerah ini menjadi salah satu daerah

penghasil kopi Lampung yang terbesar di Propinsi Lampung. Keberadaan tanaman

kopi pada tahun 1973 tidak didapatkan informasi yang dapat memastikan, informasi

terbaik berupa Peta Badan Pertanahan Nasional dan tidak memberikan informasi

mengenai kopi dalam legendanya, informasi perubahan tipe penutupan lahan berupa

kopi hanya dapat dibangkitkan dari citra satelit tahun 1986-2001.

Kopi pada tahun 1986 mencapai 343.655 km2 atau 58% dari total area

Sumberjaya. Dari luasan ini, 63.901,61 km2 atau 19% berasal dari konversi hutan.

Sedangkan sisanya kemungkinan besar telah ada sebelumnya atau dikonversi dari tipe

penutupan lahan lainnya. Pada tahun 2001 tanaman kopi, terutama kopi multistrata

meningkat pesat hingga mencapai luasan 521.491 km2 atau 71% dari total area

Sumberjaya. Dari peningkatan luasan ini, sebanyak 95.581 km2 atau 54% berasal dari

konversi hutan di tahun 1986.

3. Lahan pemukiman

Lahan pemukiman tidak mengalami banyak perubahan yang berarti. Luasannya

cenderung tetap, karena memang gelombang perpindahan transmigran ke daerah ini

tidak lagi terjadi pada rentang tahun 1973-2001.

4. Lahan belukar

Belukar mengalami penurunan luas yang sangat drastis dalam rentang waktu

1986-2001. Dari total luasan 111.957 km2 di tahun 1986, turun menjadi 6.921 km

2 di

tahun 2001. Perubahan ini bersamaan dengan meningkatnya luasan kopi muda dan

kopi multistrata di tahun 2001. Hal ini menunjukkan adanya konversi dan

pembukaan lahan belukar menjadi tanaman kopi. Kelas penutupan lahan lainnya

cenderung tetap atau menurun secara lebih proporsional dibandingkan dengan tipe

penutupan lahan diatas.

Penggunaan lahan untuk tanaman kopi yang banyak dilakukan petani di

Kecamatan Sumberjaya dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu :

34

a. Kopi monokultur

Kopi monokultur ini biasanya dicirikan dengan tanpa adanya naungan yaitu

tidak ada penanaman pohon lain sebagai tanaman naungan dan dilakukan dengan

pengelolaan yang intensif, menggunakan pupuk buatan dan pembersihan lahan yang

intensif pula. Dengan pengelolaan yang intensif tersebut menghasilkan produksi kopi

yang relatif lebih baik, namun sekaligus terjadi pengurasan hara tanah dengan cepat.

Jika input produksi yang berupa pupuk an-organik tidak diberikan, maka masa

produksi kopi yang tinggi akan menjadi lebih singkat dan produksi akan rendah.

Rata-rata produksi kopi monokultur yang ada di Kecamatan Sumberjaya setiap hektar

sebanyak 850 kilogram

b.Agroforestri berbasis kopi

Sistem ini merupakan budidaya kopi yang lebih permanen di kebun kopi tua,

sistem ini berkembang dari sistem budidaya kopi Arabica (Ultee, 1949). Kopi

ditanam di bawah pohon-pohon penaung seperti dadap (Erythrina sububrams),

lamtoro (Leucaena glauca) dan sengon serta bercampur dengan beberapa tanaman

lain yang memberikan hasil seperti tanaman buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan

dan tanaman obat-obatan (Gambar 9). Penyiangan dan pemangkasan cabang dan

pucuk dilakukan secara rutin. Adakalanya dilakukan pemupukan (pupuk kandang

maupun pupuk kimia). Sistem ini sering dipraktekkan di kebun-kebun dekat

pemukiman, sehingga merupakan sumber pasokan beberapa kebutuhan rumah tangga

(Verbist, 2004).

35

Keterangan:

(a). hutan; (b) kopi monokultur, (c) kopi naungan sederhana,

(d) agroforestri berbasis kopi

Gambar 9. Penggunaan lahan di Kecamatan Sumberjaya, Lampung

(foto: Bambang Soeharto)

Penggunaan lahan pada tahun 1970-an masih didominasi oleh adanya hutan

sebesar 42,7 % dari total luas lahan yang ada di Kecamatan Sumberjaya, pada tahun

1978-an perubahan terjadi dengan munculnya kebun kopi seluas 20,8 % dari total

luas lahan sedangkan luas hutan menurun menjadi 32,6 %. Demikian seterusnya dan

pada awal tahun 1990 ada pergeseran penggunaan lahan kebun kopi yang semula

kopi monokultur bergeser menjadi agroforestri berbasis kopi. Perubahan penutupan

lahan di Sumberjaya pada tahun 1973 sampai dengan tahun 2002 disajikan pada

Tabel 3.

Tabel 3 . Perubahan Penggunaan Lahan di Sumberjaya tahun 1970-2002

Penggunaan Lahan ( % ) 1970 1978 1984 1990 2000 2002

Hutan 42.7 32.6 21.4 12.7 12.5 10

Sawah 5.9 2.9 5.0 5.3 3.3 8.6

Belukar 26,9 34,6 27,8 19,2 11,2 4.1

Hortikultur 22,1 7,0 1.4 0.1 0.0 2.2

Kopi Monokultur 0,0 0,0 0.0 0,0 17,6 0.0

Kopi Naungan Sederhana 0.0 20.8 41,8 41,1 18,4 15,9

Agroforestri berbasis kopi 0.0 0,9 1,0 19,3 34,8 56,7

Pemukiman 2.4 1.0 1.7 2.2 2.2 2.5

Total 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0

Sumber: World Agroforestry Centre (ICRAF) 2006

36

Pada Gambar 10 dibawah ini disajikan perubahan proporsi pola penggunaan

lahan di Kecamatan Sumberjaya dari tahun 1970 sampai dengan tahun 2002

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

1970 1978 1984 1990 2000 2002

Tahun

Persentase penggunaan lahan

Pemukiman

Agroforestry berbasis

kopiKopi naungan sederhana

Kopi monokultur

Hortikultura

Belukar

Sawah

Hutan

Gambar 10. Perubahan proporsi pola penggunaan lahan di Kecamatan

Sumberjaya, Lampung (Sumber: World Agroforestry Centre

(ICRAF) 2006)

3.6. Sosial Ekonomi

3.6.1. Kependudukan

Kecamatan Sumberjaya pada tahun 2007 mempunyai jumlah penduduk

33.184 jiwa dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 8.095 atau rata-rata

jumlah jiwa setiap keluarga sebanyak 4 jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk

sebesar 2,1 % (Kecamatan Sumberjaya Dalam Angka, 2008).

Pekon Tugusari merupakan pekon yang mempunyai jumlah penduduk

terbesar yaitu sebanyak 5.305 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terkecil adalah

Pekon Sindang Pagar yaitu 1.620 jiwa. Dominansi umur penduduk di Kecamatan

Sumberjaya pada umur 22 sampai dengan umur 60 tahun adalah sekitar 50,1 %.

37

Jumlah pekon dan jiwa yang terdapat di di Kecamatan Sumberjaya ditampilkan

pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah Penduduk menurut Umur di Kecamatan Sumberjaya,

Lampung

No Pekon Jumlah Penduduk menurut umur (jiwa)

0 – 4 5 – 21 22 - 60 > 60 Total

1. Simpangsari 297 462 1.115 700 2.574

2. Sukapura 401 690 1.568 387 3.046

3. Way Petai 476 783 2.678 1.416 4.758

4. Sukajaya 231 431 1.231 461 2.354

5. Sindang pagar 185 213 614 608 1.620

6. Tribudisyukur 281 456 1.251 458 2.346

7. Purajaya 568 512 2.675 785 4.530

8. Purawiwitan 450 398 1.243 692 2.783

9. Muarajaya I 256 403 1.005 377 2.041

10. Muarajaya II 224 231 563 809 1.827

11. Tugusari 568 635 2.567 2.535 5.305

Total 3.937 5.214 16.510 9.228 33.184

Sumber: Kecamatan Sumberjaya Dalam Angka (2008)

Berdasarkan jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan

terlihat bahwa tamatan Sekolah Dasar (SD) merupakan jumlah yang paling banyak

yaitu sebesar 16.628 jiwa (53 %), tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

(SLTP) sebanyak 6.087 jiwa ( 19 % ) sedangkan yang tidak tamat sekolah sebanyak

3.937 jiwa (12 %) dan paling sedikit adalah tamatan Universitas sebanyak 574 jiwa (

2 % ). Pada Gambar 11 dibawah ini disajikan persentase dari penduduk di

Kecamatan Sumberjaya berdasarkan tingkat pendidikannya.

38

Tamat SD

53%

Tamat SLTP

19%

Tidak tamat SD

12%

Tamat Akademi

3%

Tamat SLTA

11%

Tamat Universitas

2%

Gambar 11. Persentase penduduk menurut tingkat pendidikannya di Kecamatan

Sumberjaya pada tahun 2007

3.6.2. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang ada di Kecamatan Sumberjaya antara lain adalah

sarana perekonomian dan kesehatan. Sarana perekonomian yang ada yaitu berupa

pasar yang berada di Pekon Purawiwitan, Pekon Way Petai dan Pekon Purajaya

masing-masing sebanyak 1 (satu) unit, sedangkan fasilitas perbankkan hanya ada satu

unit di Pekon Pura Jaya. Sarana kesehatan Puskesmas hanya ada 1 (satu) unit yang

berada di Simpang Sari yang dikelola oleh satu orang dokter, 11 orang bidang , 12

orang paramedis dan 37 orang dukun kelahiran. Gambar 11 memperlihatkan jumlah

sarana penunjang kesehatan yang ada di Kecamatan Sumberjaya pada tahun 2007.

Paramedis

19%Dukun

59%

Bidan

18%

Dokter

2%

Puskesmas

2%

Gambar 12. Persentase sarana penunjang kesehatan di Kecamatan Sumberjaya ,

tahun 2007

3.6.3. Luas Kepemilikan Lahan

Masyarakat di Kecamatan Sumberjaya pada umumnya mempunyai mata

pencaharian utama di sektor pertanian dan khususnya bertanam kopi. Pada awal era

reformasi pada tahun 1998 hingga 2001 pembukaan lahan hutan meningkat, tetapi

kawasan dengan tutupan kopi monokultur murni (sun coffee) dan kopi multistrata

39

meningkat dengan tajam karena dipicu oleh kondisi sosial-politik yang mendorong

petani untuk membuka hutan dan menanam kopi di lahan tersebut (Verbist et al.,

2004).

Rata-rata kepemilikan lahan kebun kopi masyarakat berkisar antara 1,34 -

1,71 ha. Di Desa Tribudi Syukur yang merupakan desa di daerah hulu memiliki rata-

rata kepemilikan lahan kebun kopi paling rendah yaitu 1,34 ha, sedangkan Desa

Simpangsari yang merupakan desa di hilir memiliki rata-rata luas lahan paling luas

yaitu 1,71 ha. Sementara itu, Desa Sukajaya yang berada di bagian tengah Sub-DAS

Way Besai memiliki luas lahan rata-rata hampir sama dengan masyarakat di

SimpangSari yaitu 1,68 ha. Rata-rata kepemilikan lahan disajikan pada Gambar 13

1,71

1,68

1,34

Simpangsari Sukajaya Tribudi Syukur

Gambar 13. Rata-rata luas kepemilikan lahan

3.6.4. Kualitas Sumber Air

Kualitas air di sub-DAS Way Besai menunjukkan perbedaan dari hulu ke hilir

(Gambar 7). Hasil monitoring kualitas air dengan menggunakan makroinvertebrata

indikator menunjukkan bahwa kualitas air mengalami penurunan dari hulu ke hilir

(Rahayu et al., 2009). Pada sub-DAS Way Besai ditemukan adanya indikasi

pencemaran bahan organik yang berasal dari persawahan. Pada Gambar 7 terlihat

bahwa di sekitar hutan, kualitas air masih sangat baik, namun ketika monitoring

dilakukan di sekitar sawah maka terjadi penurunana kualitas air yang sangat berarti.

Secara umum, kualitas air musim kemarau lebih baik dibandingkan dengan musim

penghujan. Pada musim penghujan, umumnya masyarakat di sub-DAS Way Besai

melakukan aktivitas menanam padi di lahan sawah mereka. Beberapa jenis pupuk dan

pestisida diaplikasikan sehingga residunya akan mengalir ke sungai dan

40

mengakibatkan kualitas air menurun. Selain itu, pembukaan hutan di daerah hulu

menyebabkan terjadinya erosi dan partikel-partikel tanahnya akan mencemari sungai

sehingga menyebabkan menurunnya kualitas air sungai. Gambar 14 disajikan

Kualitas air di sub-DAS Way Besai berdasarkan makroinvertebrata indikator

Gambar 14. Kualitas air di sub-DAS Way Besai berdasarkan

makroinvertebrata indikator (Rahayu et al. 2009)

3.6.5. Pendapatan Masyarakat

Sektor pertanian merupakan sumber utama pendapatan masyarakat di

Kecamatan Sumberjaya, terutama budidaya tanaman kopi. Pendapatan masyarakat

dari budidaya kopi berkisar antara 72,5% sampai 100% dari total pendapatan

masyarakat. Apabila dikelompokkan berdasarkan tingkat pendapatan, lebih dari 70%

masyarakat di Kecamatan Sumberjaya memiliki pendapatan antara Rp. 500.001,-

sampai Rp. 2.000.000 per KK per bulan. Secara rinci, tingkat pendapatan masyarakat

di Kecamatan Sumberjaya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Tingkat pendapatan masyarakat di Kecamatan Sumberjaya, Lampung

No Besarnya Pendapatan (KK/Rp/Bln) Persentase ( % )

1.

2.

3.

4.

5.

Lebih kecil dari Rp 500.000

500.001 – 1.000.000

1.000.001 – 1.500.000

1.500.001 – 2.000.00

Lebih besar dari Rp 2.000.001

18

35,3

22,67

14

10

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

1 0

H u ta nS a w a h

S a w a hK o p i

B e lu k a rK o p i

S a w a hK o p i

D amH u t a n

Fa

mili B

iotik In

de

x

K e m a r a u H u ja n

S a n g a t B a ik

B u r u k

H u lu T e n g a h H il ir