iii. keadaan umum lokasi penelitian - repository.ipb.ac.id · sub-daerah aliran sungai (sub-das)...
TRANSCRIPT
ŀIII. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1. Keadaan Wilayah
Kecamatan Sumberjaya merupakan pintu gerbang Kabupaten Lampung Barat
dari arah Timur dengan jarak 75 km dari kota Liwa yang merupakan ibukota
Kabupaten Lampung barat dan berjarak 175 km dari kota Bandar Lampung yang
merupakan ibu kota Propinsi Lampung, batas-batas tersebut adalah sebagai berikut:
• Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Way Kanan
• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Gedung Suryan
• Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Way Tenong dan
Sekincau
• Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Lampung Utara
Secara geografis Kecamatan Sumberjaya terletak diantara 4o45’ – 5o 15’ LS
dan 104o
15’ – 104o 45’ BT. terdiri dari 10 pekon dan 1 kelurahan, secara
keseluruhan mempunyai luasan sekitar 54.967 ha yang berupa daerah yang berbukit-
bukit dengan wilayah datar sampai berombak seluas 15 %, berombak sampai berbukit
65% dan wilayah berbukit sampai bergunung seluas 20 %, ketinggian dari permukaan
laut antara 700 – 1.700 dpl dengan dikelilingi oleh puncak bukit di sebelah utara
Gunung Subhanallah (1.623 m), sebelah timur Gunung Tangki Tebak (2.115 m),
sebelah Tenggara Gunung Tangkit Begelung (1.213 m) dan di sebelah barat Gunung
Sekincau (1.718 m) sedangkan ditengahnya terdapat Bukit Rigis (1.395 m)
Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terdapat di Propinsi Lampung terdiri dari
empat DAS yaitu: (1). DAS Tulang Bawang yang merupakan DAS terluas dengan
luasan ± 960.545 Ha atau 29% dari luas propinsi, (2). DAS Seputih dengan luas
702.257 Ha (21%), (3). DAS Sekampung dengan luas 474.227 Ha (14%), dan (4).
DAS Semangka dengan luas 143.176 Ha (4%).
Sub-Daerah Aliran Sungai (Sub-DAS) Way Besai merupakan daerah hulu
dari DAS Tulang Bawang, yang berada di daerah kawasan Pegunungan Bukit
Barisan Selatan dan secara administratif berada di Kecamatan Sumberjaya,
Kabupaten Lampung Barat
28
Di dalam wilayah tangkapan Sub-DAS Way Besai terdapat beberapa kawasan
lindung yang memiliki fungsi ekologis yang penting bagi perlindungan fungsi DAS.
Kawasan-kawasan tersebut adalah : (1) Reg. 39 Kota Agung Utara seluas 49.994 ha,
(2) Reg. 44b Way Tenong Kenali seluas 14.000 ha, (3) Reg. 45b Bukit Rigis seluas
8.295 ha, dan (4) Reg. 46b Palakiah seluas 1.800 ha. Dari keempat kawasan tersebut,
hutan lindung Reg. 45 Bukit Rigis merupakan kawasan yang paling berpengaruh
terhadap perlindungan sub DAS karena letaknya yang berada di tengah-tengah Sub
DAS Way Besai dan merupakan hulu dari kurang lebih 11 anak sungai (Agus, F,
et.al, 2002)
3.2. Iklim dan Temperatur
Wilayah kecamatan Sumberjaya memiliki iklim tropis yang berdasarkan
klasifikasi iklim Schmith-Ferguson (1951) termasuk kedalam iklim tipe hujan A yaitu
tidak memiliki bulan kering. Rata-rata curah hujan harian berdasarkan pantauan
stasiun iklim di Sumberjaya pada periode 1972-1998 adalah 7,1 mm, dimana rata-rata
curah hujan harian terendah terjadi pada bulan Agustus (3,3 mm) sedangkan tertinggi
terjadi pada bulan Maret (10,6 mm). Rata-rata Curah hujan bulanan adalah sekitar
213,3 mm dan curah hujan tahunan sekitar 2.614 mm. Suhu udara rata-rata harian
yang terendah adalah sekitar 20,3 oC dan rata-rata tertinggi sekitar 21,7
oC (Agus
et.al, 2002). Sedangkan menurut Verbist (2008), rata-rata suhu udara di Kecamatan
Sumberjaya berkisar pada 23,4 oC dengan dengan suhu udara rata-rata yang rendah
terjadi antara bulan Juli sampai dengan bulan September. Curah hujan terendah
terjadi pada bulan Agustus sedangkan curah hujan tertinggi pada bulan Desember.
Rata-rata curah hujan, Evapotranspirasi dan suhu udara di Kecamatan Sumberjaya
disajikan pada Gambar 8.
29
Keterangan:
ETo: Evapotranspirasi (mm), P: rata-rata curah hujan (mm), Tmin:
rata-rata suhu bulanan minimum (oC), Tmax: rata-rata suhu bulanan
maksimum (oC), Tav: rata-rata temperatur harian (
oC)
Gambar 8. Rata-rata curah hujan, evapotranspirasi dan suhu udara di
Kecamatan Sumberjaya pada periode satu tahun (Verbist,
2009)
3.3. Jenis Tanah
Di Kecamatan Sumberjaya jenis tanah yang dominan adalah Inseptisol yang
dicirikan dengan tingkat perkembangan tanah yang relatif muda, berkembang dari
bahan induk vulkan muda. Di sebagian kecil wilayah Sumberjaya terdapat jenis tanah
Entisol (Troporthents) yang merupakan tanah yang belum mengalami perkembangan
sehingga sifatnya masih ditentukan oleh bahan induknya. Di bagian perbukitan juga
terdapat jenis tanah Ultisol (Hapludults) yang merupakan tanah yang sudah
berkembang dan terdapat di wilayah fisiografi tua. Jenis-jenis tanah tersebut
umumnya memiliki tingkat kesuburan tanah rendah sampai sedang (Pusat Penelitian
Tanah, 1989).
Menurut Dariah (2004), tanah di beberapa tempat di Sumberjaya
diklasifikasikan sebagai Oxic Dystrudept. Tanah ini didominasi oleh fraksi liat
dengan rata-rata kadar liat > 70 %. Secara umum sifat fisik tanah tergolong baik,
dicirikan dengan berat isi tanah rata-rata kurang dari 0,9 gr/cm3, ruang pori total rata-
rata mencapai 69 %, pori drainase cepat/pori makro tergolong tinggi (20-26 %) dan
rata-rata permeabilitas tanah adalah 7 cm/jam.
Jenis-jenis tanah di wilayah Kecamatan Sumberjaya didominasi oleh jenis
tanah Inceptisol dengan bahan induk Batu Pasir dan Tufa Masam, sebagian lain
◌� ˥
30
dengan jenis tanah Andisol dengan bahan induk Kompleks Tufa dan Batuan kukuh
inter medier (Lembaga Penelitian Tanah, 1971).
3.4. Sejarah Penggunaan Lahan
Propinsi Lampung menjadi gerbang bagi pergerakan penduduk Jawa-
Sumatera. Di awal abad ke-20 program transmigrasi yang pertama disusun oleh
Pemerintah Belanda dengan memindahkan penduduk dari pulau Jawa yang padat
penduduknya (38 juta jiwa pada tahun 1930) ke Lampung (dengan populasi 300.000
jiwa pada tahun yang sama). Pemerintah Indonesia melanjutkan program tersebut
sampai tahun 1980-an, pada tahun 1986 pemerintah Propinsi Lampung
mengumumkan bahwa diwilayahnya sudah tidak dapat lagi menampung para
transmigran dan untuk pertama kalinya Lampung mengirimkan 66 kepala keluarga
(KK) sebagai transmigran ke propinsi Jambi.
Tertutupnya Propinsi Lampung sebagai wilayah transmigrasi tidak menjadi
halangan bagi masuknya pendatang karena letak wilayahnya yang dekat dengan
Pulau Jawa. Pada dekade terakhir terjadi transmigrasi spontan secara besar-besaran
dan kebanyakan mereka menetap di daerah berbukit serta lereng gunung yang
tanahnya cocok untuk tanaman kopi dan sebagian besar lahan yang mereka tempati
tersebut masuk ke dalam klasifikasi hutan lindung ataupun berada dalam kawasan
taman nasional.
Pada 100 tahun yang lalu hampir semua wilayah kecamatan SumberJaya
merupakan hutan belantara, yang pertama kali menempati wilayah tersebut adalah
suku Semendo dari Lampung Utara. Sukaraja adalah desa pertama di Kecamatan
Sumberjaya yang berdiri pada tahun 1891 tempat komunitas marga Way Tenong
yang terpisah (Huitema, 1935). Mulai tahun 1951, Biro Rekontruksi Nasional (BRN)
yang merupakan program transmigrasi dibawah koordinasi Angkatan Darat,
menstimulasi perkampungan bekas tentara (terutama suku sunda) dari perang
kemerdekaan (Kusworo, 2000). Pada tahun 1952 Presiden pertama Indonesia (Ir.
Soekarno) meresmikan wilayah tersebut sebagai wilayah perkampungan yang baru
dan hingga kini dikenal dengan nama Kecamatan Sumberjaya (Fay dan Pasya, 2001).
31
Perkembangan terakhir program transmigrasi pemerintah tidak terlalu
berorientasi pada wilayah Sumberjaya, tetapi tetap saja transmigrasi spontan
berdatangan dari pulau Jawa dan Bali yang merupakan transmigrasi generasi kedua
dan ketiga (Charras dan Pein, 1993).
Pada rentang waktu 1960-2000 banyak kawasan hutan yang dikonversi tidak
hanya oleh pendatang spontan, tetapi juga oleh perkebunan swasta dan pemerintah
dalam skala yang besar. Hal tersebut sering menyulut terjadinya konflik, bahkan
sejak era reformasi konflik penggunaan dan status lahan makin sering muncul ke
permukaan. Di satu sisi sektor swasta dapat memiliki hak-hak pemanfaatan lahan
(misalnya Hak Guna Usaha, Hak Penguasaan Lahan dan lain-lain) yang merupakan
aspek positif dari Hukum Agraria, disisi lain beberapa komunitas lokal mendukung
Hukum Adat (Hak Ulayat, Hak Marga dan Hak Kekerabatan) yang tidak dapat
memiliki hak-hak pemanfaatan lahan. Dari sudut pandang yang berbeda ini
seringkali terjadi persinggungan kepentingan yang pada akhirnya terjadi konflik dan
kondisi ini banyak terjadi di Propinsi Lampung. Tabel 2 diperlihatkan beberapa
kasus konflik yang pernah terjadi Propinsi Lampung (Tim KKR-PSDAL Propinsi
Lampung, 2003).
Tabel 2. Kasus-kasus konflik tanah di Propinsi Lampung dalam rentang
waktu tahun1999-2002
No Tahun kasus konflik
pertanahan
Kasus yang terselesaikan
Jumlah Persen
1 1999 260 71 27
2 2000 260 201 39
3 2001 327 240 73
4 2002 327 249 76 Sumber: Tim KKR-PSDAL Propinsi Lampung, 2003
3.5. Pola Penggunaan Lahan
Pekembangan luas hutan di Sumberjaya terus menurun dari tahun 1973-2001.
Berdasarkan hasil klasifikasi dan analisis perubahan lahan, penutupan hutan
mencapai 43% dari total area pada tahun 1973 dan menurun menjadi 13% pada tahun
2001. Hal ini terjadi karena konversi hutan menjadi kebun kopi rakyat yang dilakukan
32
secara besar-besaran pada tahun 1980-an. Pada saat itu harga kopi Lampung yang
melambung di pasaran mendorong masyarakat Sumberjaya yang umumnya
pendatang membuka kebun kopi sebanyak-banyaknya. Perubahan lahan dari hutan
menjadi kebun kopi rakyat dapat dengan mudah dilihat pada bagian selatan
Sumberjaya tanpa melakukan kegiatan klasifikasi, dapat dilihat bahwa hampir seluruh
bagian hutan pada areal ini hilang di tahun 2001. Perubahan penggunaan lahan di
Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat telah dilakukan interpretasi oleh Ekadinata
(2002) dengan menggunakan citra satelit pada tahun 1973-2002, hasil analisis
penutupan lahan adalah sebagai berikut:
1. Lahan berhutan
Luasan wilayah hutan di Sumberjaya terus menurun sejak tahun 1973-2001.
Berdasarkan hasil klasifikasi dan analisis perubahan lahan, penutupan hutan
mencapai 43% dari total area pada tahun 1973 dan menurun sampai dengan 13% pada
tahun 2001. Hal ini terjadi karena konversi hutan menjadi kopi yang dilakukan secara
besar-besaran pada tahun 1980-an. Pada saat itu harga kopi Lampung yang
melambung di pasaran mendorong masyarakat Sumberjaya yang rata-rata adalah
pendatang untuk memutuskan membuka kebun kopi sebanyak-banyaknya. Perubahan
lahan dari hutan menjadi kebun kopi dapat dengan mudah dilihat pada bagian selatan
Sumberjaya.
Pada tahun 1986, sebanyak 61.3 km2 wilayah hutan (32% wilayah hutan tahun
1973) dikonversi menjadi kopi, baik kopi monokultur maupun multistrata.
Sedangkan sebagian lainnya dirubah menjadi sawah dan pemukiman. Total areal
hutan yang dikonversi pada tahun 1986 mencapai 122.134 km2 atau ±65% dari total
luasan hutan di tahun 1973.
Pada tahun 2001 sebanyak 95.581 km2 areal hutan (±57% dari areal hutan
tahun 1986) dikonversi menjadi kopi. Reforestasi terbesar terjadi pada rentang waktu
ini (1986-2001), karena sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, pada tahun 1990-
an terjadi lonjakan harga kopi Lampung. Total areal hutan yang dikonversi pada
tahun 2001 mencapai 124.708 km2 atau 74 % dari total luasan hutan di tahun 1986.
33
2. Tanaman kopi
Kopi merupakan jenis tanaman yang paling banyak terdapat di daerah
Sumberjaya, sehingga tidak mengherankan jika daerah ini menjadi salah satu daerah
penghasil kopi Lampung yang terbesar di Propinsi Lampung. Keberadaan tanaman
kopi pada tahun 1973 tidak didapatkan informasi yang dapat memastikan, informasi
terbaik berupa Peta Badan Pertanahan Nasional dan tidak memberikan informasi
mengenai kopi dalam legendanya, informasi perubahan tipe penutupan lahan berupa
kopi hanya dapat dibangkitkan dari citra satelit tahun 1986-2001.
Kopi pada tahun 1986 mencapai 343.655 km2 atau 58% dari total area
Sumberjaya. Dari luasan ini, 63.901,61 km2 atau 19% berasal dari konversi hutan.
Sedangkan sisanya kemungkinan besar telah ada sebelumnya atau dikonversi dari tipe
penutupan lahan lainnya. Pada tahun 2001 tanaman kopi, terutama kopi multistrata
meningkat pesat hingga mencapai luasan 521.491 km2 atau 71% dari total area
Sumberjaya. Dari peningkatan luasan ini, sebanyak 95.581 km2 atau 54% berasal dari
konversi hutan di tahun 1986.
3. Lahan pemukiman
Lahan pemukiman tidak mengalami banyak perubahan yang berarti. Luasannya
cenderung tetap, karena memang gelombang perpindahan transmigran ke daerah ini
tidak lagi terjadi pada rentang tahun 1973-2001.
4. Lahan belukar
Belukar mengalami penurunan luas yang sangat drastis dalam rentang waktu
1986-2001. Dari total luasan 111.957 km2 di tahun 1986, turun menjadi 6.921 km
2 di
tahun 2001. Perubahan ini bersamaan dengan meningkatnya luasan kopi muda dan
kopi multistrata di tahun 2001. Hal ini menunjukkan adanya konversi dan
pembukaan lahan belukar menjadi tanaman kopi. Kelas penutupan lahan lainnya
cenderung tetap atau menurun secara lebih proporsional dibandingkan dengan tipe
penutupan lahan diatas.
Penggunaan lahan untuk tanaman kopi yang banyak dilakukan petani di
Kecamatan Sumberjaya dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu :
34
a. Kopi monokultur
Kopi monokultur ini biasanya dicirikan dengan tanpa adanya naungan yaitu
tidak ada penanaman pohon lain sebagai tanaman naungan dan dilakukan dengan
pengelolaan yang intensif, menggunakan pupuk buatan dan pembersihan lahan yang
intensif pula. Dengan pengelolaan yang intensif tersebut menghasilkan produksi kopi
yang relatif lebih baik, namun sekaligus terjadi pengurasan hara tanah dengan cepat.
Jika input produksi yang berupa pupuk an-organik tidak diberikan, maka masa
produksi kopi yang tinggi akan menjadi lebih singkat dan produksi akan rendah.
Rata-rata produksi kopi monokultur yang ada di Kecamatan Sumberjaya setiap hektar
sebanyak 850 kilogram
b.Agroforestri berbasis kopi
Sistem ini merupakan budidaya kopi yang lebih permanen di kebun kopi tua,
sistem ini berkembang dari sistem budidaya kopi Arabica (Ultee, 1949). Kopi
ditanam di bawah pohon-pohon penaung seperti dadap (Erythrina sububrams),
lamtoro (Leucaena glauca) dan sengon serta bercampur dengan beberapa tanaman
lain yang memberikan hasil seperti tanaman buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan
dan tanaman obat-obatan (Gambar 9). Penyiangan dan pemangkasan cabang dan
pucuk dilakukan secara rutin. Adakalanya dilakukan pemupukan (pupuk kandang
maupun pupuk kimia). Sistem ini sering dipraktekkan di kebun-kebun dekat
pemukiman, sehingga merupakan sumber pasokan beberapa kebutuhan rumah tangga
(Verbist, 2004).
35
Keterangan:
(a). hutan; (b) kopi monokultur, (c) kopi naungan sederhana,
(d) agroforestri berbasis kopi
Gambar 9. Penggunaan lahan di Kecamatan Sumberjaya, Lampung
(foto: Bambang Soeharto)
Penggunaan lahan pada tahun 1970-an masih didominasi oleh adanya hutan
sebesar 42,7 % dari total luas lahan yang ada di Kecamatan Sumberjaya, pada tahun
1978-an perubahan terjadi dengan munculnya kebun kopi seluas 20,8 % dari total
luas lahan sedangkan luas hutan menurun menjadi 32,6 %. Demikian seterusnya dan
pada awal tahun 1990 ada pergeseran penggunaan lahan kebun kopi yang semula
kopi monokultur bergeser menjadi agroforestri berbasis kopi. Perubahan penutupan
lahan di Sumberjaya pada tahun 1973 sampai dengan tahun 2002 disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3 . Perubahan Penggunaan Lahan di Sumberjaya tahun 1970-2002
Penggunaan Lahan ( % ) 1970 1978 1984 1990 2000 2002
Hutan 42.7 32.6 21.4 12.7 12.5 10
Sawah 5.9 2.9 5.0 5.3 3.3 8.6
Belukar 26,9 34,6 27,8 19,2 11,2 4.1
Hortikultur 22,1 7,0 1.4 0.1 0.0 2.2
Kopi Monokultur 0,0 0,0 0.0 0,0 17,6 0.0
Kopi Naungan Sederhana 0.0 20.8 41,8 41,1 18,4 15,9
Agroforestri berbasis kopi 0.0 0,9 1,0 19,3 34,8 56,7
Pemukiman 2.4 1.0 1.7 2.2 2.2 2.5
Total 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
Sumber: World Agroforestry Centre (ICRAF) 2006
36
Pada Gambar 10 dibawah ini disajikan perubahan proporsi pola penggunaan
lahan di Kecamatan Sumberjaya dari tahun 1970 sampai dengan tahun 2002
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1970 1978 1984 1990 2000 2002
Tahun
Persentase penggunaan lahan
Pemukiman
Agroforestry berbasis
kopiKopi naungan sederhana
Kopi monokultur
Hortikultura
Belukar
Sawah
Hutan
Gambar 10. Perubahan proporsi pola penggunaan lahan di Kecamatan
Sumberjaya, Lampung (Sumber: World Agroforestry Centre
(ICRAF) 2006)
3.6. Sosial Ekonomi
3.6.1. Kependudukan
Kecamatan Sumberjaya pada tahun 2007 mempunyai jumlah penduduk
33.184 jiwa dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 8.095 atau rata-rata
jumlah jiwa setiap keluarga sebanyak 4 jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk
sebesar 2,1 % (Kecamatan Sumberjaya Dalam Angka, 2008).
Pekon Tugusari merupakan pekon yang mempunyai jumlah penduduk
terbesar yaitu sebanyak 5.305 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terkecil adalah
Pekon Sindang Pagar yaitu 1.620 jiwa. Dominansi umur penduduk di Kecamatan
Sumberjaya pada umur 22 sampai dengan umur 60 tahun adalah sekitar 50,1 %.
37
Jumlah pekon dan jiwa yang terdapat di di Kecamatan Sumberjaya ditampilkan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Penduduk menurut Umur di Kecamatan Sumberjaya,
Lampung
No Pekon Jumlah Penduduk menurut umur (jiwa)
0 – 4 5 – 21 22 - 60 > 60 Total
1. Simpangsari 297 462 1.115 700 2.574
2. Sukapura 401 690 1.568 387 3.046
3. Way Petai 476 783 2.678 1.416 4.758
4. Sukajaya 231 431 1.231 461 2.354
5. Sindang pagar 185 213 614 608 1.620
6. Tribudisyukur 281 456 1.251 458 2.346
7. Purajaya 568 512 2.675 785 4.530
8. Purawiwitan 450 398 1.243 692 2.783
9. Muarajaya I 256 403 1.005 377 2.041
10. Muarajaya II 224 231 563 809 1.827
11. Tugusari 568 635 2.567 2.535 5.305
Total 3.937 5.214 16.510 9.228 33.184
Sumber: Kecamatan Sumberjaya Dalam Angka (2008)
Berdasarkan jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan
terlihat bahwa tamatan Sekolah Dasar (SD) merupakan jumlah yang paling banyak
yaitu sebesar 16.628 jiwa (53 %), tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) sebanyak 6.087 jiwa ( 19 % ) sedangkan yang tidak tamat sekolah sebanyak
3.937 jiwa (12 %) dan paling sedikit adalah tamatan Universitas sebanyak 574 jiwa (
2 % ). Pada Gambar 11 dibawah ini disajikan persentase dari penduduk di
Kecamatan Sumberjaya berdasarkan tingkat pendidikannya.
38
Tamat SD
53%
Tamat SLTP
19%
Tidak tamat SD
12%
Tamat Akademi
3%
Tamat SLTA
11%
Tamat Universitas
2%
Gambar 11. Persentase penduduk menurut tingkat pendidikannya di Kecamatan
Sumberjaya pada tahun 2007
3.6.2. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang ada di Kecamatan Sumberjaya antara lain adalah
sarana perekonomian dan kesehatan. Sarana perekonomian yang ada yaitu berupa
pasar yang berada di Pekon Purawiwitan, Pekon Way Petai dan Pekon Purajaya
masing-masing sebanyak 1 (satu) unit, sedangkan fasilitas perbankkan hanya ada satu
unit di Pekon Pura Jaya. Sarana kesehatan Puskesmas hanya ada 1 (satu) unit yang
berada di Simpang Sari yang dikelola oleh satu orang dokter, 11 orang bidang , 12
orang paramedis dan 37 orang dukun kelahiran. Gambar 11 memperlihatkan jumlah
sarana penunjang kesehatan yang ada di Kecamatan Sumberjaya pada tahun 2007.
Paramedis
19%Dukun
59%
Bidan
18%
Dokter
2%
Puskesmas
2%
Gambar 12. Persentase sarana penunjang kesehatan di Kecamatan Sumberjaya ,
tahun 2007
3.6.3. Luas Kepemilikan Lahan
Masyarakat di Kecamatan Sumberjaya pada umumnya mempunyai mata
pencaharian utama di sektor pertanian dan khususnya bertanam kopi. Pada awal era
reformasi pada tahun 1998 hingga 2001 pembukaan lahan hutan meningkat, tetapi
kawasan dengan tutupan kopi monokultur murni (sun coffee) dan kopi multistrata
39
meningkat dengan tajam karena dipicu oleh kondisi sosial-politik yang mendorong
petani untuk membuka hutan dan menanam kopi di lahan tersebut (Verbist et al.,
2004).
Rata-rata kepemilikan lahan kebun kopi masyarakat berkisar antara 1,34 -
1,71 ha. Di Desa Tribudi Syukur yang merupakan desa di daerah hulu memiliki rata-
rata kepemilikan lahan kebun kopi paling rendah yaitu 1,34 ha, sedangkan Desa
Simpangsari yang merupakan desa di hilir memiliki rata-rata luas lahan paling luas
yaitu 1,71 ha. Sementara itu, Desa Sukajaya yang berada di bagian tengah Sub-DAS
Way Besai memiliki luas lahan rata-rata hampir sama dengan masyarakat di
SimpangSari yaitu 1,68 ha. Rata-rata kepemilikan lahan disajikan pada Gambar 13
1,71
1,68
1,34
Simpangsari Sukajaya Tribudi Syukur
Gambar 13. Rata-rata luas kepemilikan lahan
3.6.4. Kualitas Sumber Air
Kualitas air di sub-DAS Way Besai menunjukkan perbedaan dari hulu ke hilir
(Gambar 7). Hasil monitoring kualitas air dengan menggunakan makroinvertebrata
indikator menunjukkan bahwa kualitas air mengalami penurunan dari hulu ke hilir
(Rahayu et al., 2009). Pada sub-DAS Way Besai ditemukan adanya indikasi
pencemaran bahan organik yang berasal dari persawahan. Pada Gambar 7 terlihat
bahwa di sekitar hutan, kualitas air masih sangat baik, namun ketika monitoring
dilakukan di sekitar sawah maka terjadi penurunana kualitas air yang sangat berarti.
Secara umum, kualitas air musim kemarau lebih baik dibandingkan dengan musim
penghujan. Pada musim penghujan, umumnya masyarakat di sub-DAS Way Besai
melakukan aktivitas menanam padi di lahan sawah mereka. Beberapa jenis pupuk dan
pestisida diaplikasikan sehingga residunya akan mengalir ke sungai dan
40
mengakibatkan kualitas air menurun. Selain itu, pembukaan hutan di daerah hulu
menyebabkan terjadinya erosi dan partikel-partikel tanahnya akan mencemari sungai
sehingga menyebabkan menurunnya kualitas air sungai. Gambar 14 disajikan
Kualitas air di sub-DAS Way Besai berdasarkan makroinvertebrata indikator
Gambar 14. Kualitas air di sub-DAS Way Besai berdasarkan
makroinvertebrata indikator (Rahayu et al. 2009)
3.6.5. Pendapatan Masyarakat
Sektor pertanian merupakan sumber utama pendapatan masyarakat di
Kecamatan Sumberjaya, terutama budidaya tanaman kopi. Pendapatan masyarakat
dari budidaya kopi berkisar antara 72,5% sampai 100% dari total pendapatan
masyarakat. Apabila dikelompokkan berdasarkan tingkat pendapatan, lebih dari 70%
masyarakat di Kecamatan Sumberjaya memiliki pendapatan antara Rp. 500.001,-
sampai Rp. 2.000.000 per KK per bulan. Secara rinci, tingkat pendapatan masyarakat
di Kecamatan Sumberjaya disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Tingkat pendapatan masyarakat di Kecamatan Sumberjaya, Lampung
No Besarnya Pendapatan (KK/Rp/Bln) Persentase ( % )
1.
2.
3.
4.
5.
Lebih kecil dari Rp 500.000
500.001 – 1.000.000
1.000.001 – 1.500.000
1.500.001 – 2.000.00
Lebih besar dari Rp 2.000.001
18
35,3
22,67
14
10
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1 0
H u ta nS a w a h
S a w a hK o p i
B e lu k a rK o p i
S a w a hK o p i
D amH u t a n
Fa
mili B
iotik In
de
x
K e m a r a u H u ja n
S a n g a t B a ik
B u r u k
H u lu T e n g a h H il ir