ii. tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id 2.pdf · probiotik adalah mikroorganisme hidup yang jika...
TRANSCRIPT
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat (BAL) adalah kelompok bakteri gram positif berbentuk
kokus atau batang, tidak membentuk spora, suhu optimum ± 40℃, pada umumnya
tidak motil, bersifat anaerob, katalase negatif dan oksidase positif, dengan asam laktat
sebagai produk utama fermentasi karbohidrat. Bakteri asam laktat memiliki beberapa
sifat khusus, antara lain; mampu tumbuh pada kadar gula, alkohol, dan garam yang
tinggi, mampu memfermentasikan monosakarida dan disakarida (Syahrurahman, 2007
dalam Nasution, 2012).
BAL berpotensi memberikan dampak positif bagi kesehatan dan nutrisi
manusia, beberapa di antaranya adalah meningkatkan nilai nutrisi makanan,
mengontrol infeksi pada usus, meningkatkan digesti (pencernaan) laktosa,
mengendalikan beberapa tipe kanker, dan mengendalikan tingkat serum kolesterol
dalam darah. Sebagian keuntungan tersebut merupakan hasil dari pertumbuhan dan
aksi bakteri selama pengolahan makanan, sedangkan sebagian lainnya hasil dari
pertumbuhan beberapa BAL di dalam saluran usus saat mencerna makanan yang
mengandung BAL sendiri. Bakteri asam laktat dapat menghambat pertumbuhan bakteri
lain dengan memproduksi protein yang disebut bakteriosin (Rustan, 2013).
BAL dibagi menjadi dua berdasarkan kemampuannya untuk memfermentasi
glukosa dalam kondisi standar, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. BAL
homofermetatif akan mengubah gula menjadi asam laktat, sedangkan BAL
7
heterofermentatif akan memproduksi tidak hanya asam laktat, namun juga asam asetil,
etanol, dan karbondioksida (Halasz, 2014). Kedua jenis bakteri tersebut dibedakan
melalui uji fermentasi. Apabila bakteri asam laktat yang diuji menghasilkan gas yang
tertampung dalam tabung durham, bakteri tersebut dinyatakan sebagai
heterofermentatif sedangkan isolat yang tidak menghasilkan atau memproduksi gas
disebut homofermentatif (Suryani, 2008 dalam Nasution, 2012).
Identifikasi bakteri asam laktat dilakukan dengan pengamatan morfologi,
fisiologi dan uji biokimia. Pengamatan morfologi dilakukan dengan uji pewarnaan
gram dan pengamatan dengan mikroskop. Bakteri asam laktat merupakan bakteri gram
positif yang menghasilkan warna ungu ketika dilakukan uji pewarnaan gram. Menurut
Irianto, 2010 dalam Rustan (2013), warna ungu tersebut terjadi karena dinding sel
bakteri mengikat cat kristal violet (Gram A) yang diperkuat oleh iodine (Gram B), dan
kristal violet tidak akan hilang pada waktu diberi cat peluntur (Gram C) sehingga tidak
terpengaruh pada saat diberi cat penutup (Gram D) yang berwarna cerah. Hasil
pewarnaan ini dapat digunakan untuk mengamati bentuk bakteri dengan mikroskop.
Menurut Hestiningtyas (2008), bentuk morfologi sel BAL diteliti dengan mikroskop
dan terdapat dalam bentuk batang ataupun bulat.
Uji fisiologi mencakup kemampuan untuk memfermentasi karbohidrat,
kemampuan untuk tumbuh dalam medium tertentu, reduksi unsur tertentu dan
pembentukan pigmen. Uji biokimia dilakukan untuk menentukan aktivitas kimia
bakteri dan identitas bakteri (Nasution, 2012). Uji yang disebutkan diatas merupakan
identifikasi konvensional yang dilakukan sebagai pendahuluan sebelum identifikasi
molekuler. Identifikasi molekuler digunakan untuk mengetahui kesamaan DNA antar
8
organisme. Berbagai uji yang dilakukan merupakan faktor penentu dalam identifikasi
suatu bakteri.
BAL merupakan bakteri yang mampu memberikan efek menguntungkan bagi
manusia, sehingga bisa diaplikasikan sebagai probiotik. Lactobacillus, Enterococcus,
Bacteroides, dan Enterobacteriaceae merupakan bakteri utama yang terdapat diusus
manusia (Evanikastri, 2008 dalam Sundari, 2014). BAL dari kelompok Lactobacillus
dan Bifidobacterium telah digunakan sebagai probiotik dalam produk pangan.
Beberapa BAL yang digunakan sebagai probiotik antara lain L. acidophilus, L.
amylovorus, L. casei, L. crispatus, L. delbrueckii, L. gallinarum, L.gasseri, L.
Johnsonii, L. paracasei, L. plantarum, L. reuteri, dan L. rhamnosus (Holzapfel et al.,
2005 dalam Sundari, 2014).
2.2. Probiotik
Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang jika diberikan dalam jumlah yang
cukup akan memberikan efek menguntungkan bagi kesehatan organisme inangnya
(Corcionivoschi et al., 2010). Untuk dapat dikategorikan sebagai probiotik,
mikroorganisme harus memenuhi beberapa persyaratan yang berkaitan dengan
keamanan, efek fungsional dan teknologi pengolahan (FAO/WHO, 2002).
Dari segi keamanan, mikroorganisme probiotik harus bersifat non patogen, tidak
menurunkan gen anti antibiotik, dan mampu mempertahankan kestabilan genetis.
Untuk dapat dikatakan sebagai komponen pangan fungsional, mikroorganisme
probiotik harus dapat menunjukkan beberapa kemampuan, antara lain; kestabilan
terhadap asam empedu, tahan terhadap enzim pencernaan, adhesi pada permukaan
9
usus, bersifat antagonis melawan patogen, aktivitas antikarsinogenik dan
antimutagenik, efek menurunkan kolesterol, stimulasi sistem imun tanpa efek
berlebihan, peningkatan ketahanan saluran pencernaan, memperbaiki mukosa,
meningkatkan ketersediaan dan produksi vitamin serta enzim (Ouwehand et al., 1999).
Manfaat probiotik bagi kesehatan tubuh dapat melalui tiga mekanisme fungsi:
(1) fungsi protektif, yaitu kemampuan untuk menghambat patogen dalam saluran
pencernaan. Terbentuknya kolonisasi probiotik dalam saluran pencernaan
mengakibatkan kompetisi nutrisi dan lokasi adhesi (penempelan) antara probiotik dan
bakteri lain, khususnya patogen. Pertumbuhan probiotik juga akan menghasilkan
berbagai kompenen anti bakteri (asam organik, hidrogen peroksida, dan bakteriosin
yang mampu menekan pertumbuhan patogen) (Collado et al., 2009); (2) fungsi sistem
imun tubuh, yaitu dengan peningkatan sistem imun tubuh melalui kemampuan
probiotik untuk menginduksi pembentukan IgA, aktivitas makrofage, modulasi profil
sitokin, serta menginduksi hyporesponsiveness terhadap antigen yang berasal dari
pangan; (3) fungsi metabolit probiotik yaitu metabolit yang dihasilkan oleh probiotik,
termasuk kemampuan probiotik mendegradasi laktosa di dalam produk susu
terfermentasi sehingga dapat dimanfaatkan oleh penderita lactose intolerance (Rahayu,
2008). Adapun efek probiotik dan mekanismenya dalam tubuh disajikan dalam Tabel
1.
Tabel 1. Efek Probiotik dan Mekanismenya dalam Tubuh
Manfaat Fungsi Mekanisme
Membantu
pencernaan
Irritable bowel syndrome,
mengurangi gejala saluran cerna
(konstipasi, diare non patogenik)
Perubahan populasi atau
aktivitas dari mikroflora
usus
10
Tabel 1. Lanjutan
Manfaat Fungsi Mekanisme
Membantu
pencernaan
Intoleran terhadap laktosa Pemindahan mikroba
laktase ke usus halus
Sebagai
pertahanan
tubuh
Kariogenik Perubahan populasi,
aktivitas mikroflora oral
atau yang menempel pada
gigi
Alergi (eksema, atopik, alergi
terhadap susu, rematik artritis)
Translokasi, efek barrier
Karsinogenik, mutagenik tumor Penyerapan mutagen,
merangsang sistem imun,
penghambatan produksi
karsinogen oleh mikroflora
usus
Diare karena penggunaan antibiotik,
diare yang disebabkan oleh
Rotavirus, Kolitis yang disebabkan
oleh C.difficile, diare nosokominal
Kompetisi pengeluaran,
translokasi/ efek barrier,
meningkatkan respon imun
Peradangan usus, Kolitis ulserasi,
penyakit Crohn’s
Penurunan regulasi sistem
imun
Pertumbuhan bakteri usus yang
berlebihan
Aktivitas antimikroba,
pengeluaran kompetitor
Imunomodulasi (status imun, respon
vaksin)
Interaksi dengan sel imun
untuk meningkatkan
aktivitas pagositosis dari sel
darah putih, meningkatkan
IgA setelah kontak dengan
antigen. Meningkatkan
proliferas lekosit intra
epitel, regulasi Th1/Th2,
induksi sitosis sitokin
Vaginosis, infeksi saluran kemih Aktivitas antipatogenik,
pengeluran kompetisis
Menurunkan kolesterol darah Dekonjugasi garam empedu
11
Tabel 1. Lanjutan
Manfaat Fungsi Mekanisme
Manfaat
lainnya
Endotoksemia dengan sirosis Penghambatan produksi
endotoksin oleh mikroflora
usus
Manfaat
lainnya
Hipertensi Unsur seluler/peptida dari
aktivitas fermentasi sebagai
penghambat ACE
(Angiotensin Converting
Enyzme)
Batu ginjal Perubahan pencernaan yang
mempengaruhi pemecahan
oksalat
Sumber: Toma dan Pokrotineks (2006), Puryana (2011)
Teknologi pengolahan memegang peranan penting dalam produksi probiotik
(Saarela et al., 2000). Probiotik harus memiliki karakteristik sensori yang baik,
aktivitas fermentasi, ketahanan selama proses freeze maupun spray drying,
pertumbuhan dan viabilitas dalam produk pangan, ketahanan terhadap patogen serta
stabilitas tinggi selama penyimpanan (Grajek, 2005). Keamanan dan kemanjuran
probiotik sangat ditentukan oleh karakter dan jumlah bakteri yang digunakan. Oleh
karena itu, dalam menilai keamanan dan kemanjuran suatu produk probiotik beberapa
faktor harus diperhatikan diantaranya sifat-sifat bakteri yang akan digunakan seperti
kemampuan bakteri terus hidup (viability) selama proses produksi, ketika bakteri
berada dalam produk (carrier), ketika berada dalam saluran pencernaan dan ketika
dalam penyimpanan karena bakteri mudah mengalami degradasi oleh panas, cahaya,
kelembapan, dan oksigen (Tensiska, 2008).
Jumlah minimal strain probiotik yang ada dalam produk makanan adalah
sebesar 106 cfu/g atau jumlah strain probiotik yang harus dikonsumsi setiap hari sekitar
12
108 cfu/g, dengan tujuan untuk mengimbangi kemungkinan penurunan jumlah bakteri
probiotik pada saat berada pada jalur pencernaan (Shah, 2007).
2.3. Lactobacillus rhamnosus SKG 34
Lactobacillus rhamnosus SKG 34 merupakan bakteri asam laktat yang diisolasi
dari susu kuda Sumbawa. Lactobacillus rhamnosus SKG 34 merupakan kandidat
probiotik lokal Indonesia yang sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai
probiotik (Sujaya et al., 2008a). Penelitian Sujaya et al (2008b), menunjukkan bahwa
Lactobacillus rhamnosus SKG 34 memiliki bentuk batang kurus dengan sel yang
panjang, tidak membentuk gas dari glukosa (homofermentatif Lactobacilli), dan
bersifat amidon positif (mampu memfermentasi maltosa dan amidon).
Kelebihan bakteri ini terletak pada ketahanannya pada kondisi pencernaan in
vitro. Uji in vitro L. rhamnosus SKG 34 mampu melewati simulasi kondisi lambung
dengan pH 3 dan 4, tidak mengubah asam kolat primer (kolat) menjadi asam kolat
sekunder (deoksikolat), serta dapat menghidrolisis garam empedu (Sujaya et al.,
2008a).
Kemampuan hidrolisis garam empedu disebabkan oleh enzyme bile salt
hydrolase dan berpotensi menurunkan kolesterol darah. Penelitian Puryana (2011),
menunjukkan bahwa pemberian L. rhamnosus SKG 34 sebanyak 108 sel/ hari selama
3 (tiga) minggu berpengaruh terhadap kadar kolesterol serum darah tikus putih (R.
norvegicus), dimana terjadi penurunan kadar kolesterol serum darah yang signifikan
sebesar 28,5%. Disamping itu, Lactobacillus sp. isolat susu kuda Sumbawa
13
mempunyai kemampuan yang baik untuk melekat (adhesi) pada sel enterosit
(Suryadarma, 2007 dalam Nocianitri, 2013).
Penelitian Pratiwi (2013) menunjukkan bahwa konsumsi bio-yoghurt L.
rhamnosus SKG 34 sebanyak 100 gr/hari (±1011) selama 21 hari berindikasi dapat
menurunkan kadal kolesterol total, trigliserida, dan LDL pada subjek yang tinggi
kolesterol total, trigliserida, dan LDL. Pada subjek normal, konsumsi bio-yoghurt L.
rhamnosus SKG 34 dapat menjaga kadar kolesterol, trigliserida, dan LDL dalam darah
tetap normal. Bio-yoghurt L. rhamnosus SKG 34 mampu meningkatkan kadar HDL
di dalam darah sehingga menurunkan resiko timbulnya berbagai penyakit yang timbul
akibat kolesterol tinggi.
2.4. Mikroenkapsulasi
Mikroenkapsulasi adalah teknologi untuk menyalut atau melapisi suatu zat inti
dengan suatu lapisan dinding polimer, sehingga menjadi partikel – partikel kecil
berukuran mikro (Istiyani, 2008). Sebuah mikrokapsul tersusun atas core (zat inti) dan
coating material (zat penyalut/enkapsulan). Core didefinisikan sebagai material
spesifik yang akan disalut, dapat berupa cairan maupun padatan. Coating material atau
zat penyalut/enkapsulan harus memiliki kemampuan untuk membentuk lapisan yang
kohesif dengan core, memiliki kesesuaian dan bersifat non reaktif terhadap core, serta
memiliki karakteristik coating yang diharapkan, seperti; kekuatan, fleksibilitas,
impermeabilitas, dan stabilitas (Umer et al., 2011).
Tujuan mikroenkapsulasi adalah stabilitas bahan inti, mengontrol pelepasan
bahan inti baik kecepatan maupun kondisi pelepasannya, melindungi komponen bahan
14
pangan yang sensitif, mengurangi kehilangan nutrisi, menambah komponen bahan
pangan tertentu pada bahan pangan lain dan mengubah bahan pangan bentuk cair ke
bentuk padat yang lebih mudah ditangani (Sukmawati, 2010).
Berdasarkan morfologinya, mikrokapsul dibagi menjadi tiga, yaitu
mononuklear, polynuklear, dan matriks. Pada mononuklear, core dikelilingi cangkang
penyalut. Mikrokapsul polynuklear memiliki banyak core dalam sebuah cangkang
penyalut. Tipe matriks memiliki banyak core yang tersebar homogen dalam sebuah
cangkang penyalut (Sri et al., 2012). Adapun mikrokapsul berdasarkan morfologinya
ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Mikrokapsul berdasarkan Morfologinya (Sri et al., 2012)
Menurut Istiyani (2008) metode mikroenkapsulasi akan memberikan beberapa
keuntungan, antara lain; (1) zat inti terlindungi akibat adanya enkapsulan, (2)
mencegah perubahan warna, bau, dan menjaga stabilitas zat inti yang akan
dipertahankan dalam jangka waktu lama, (3) memungkinkan terjadinya pencampuran
zat inti dengan komponen lain. Proses penyalutan bahan inti oleh enkapsulan yang
kurang sempurna akan mempengaruhi pelepasan zat inti dari mikrokapsul.
15
Proses enkapsulasi probiotik umumnya berlangsung dalam dua tahap, yaitu
enkapsulasi probiotik dalam larutan enkapsulan dan pengeringan larutan enkapsulan
sehingga diperoleh sel terenkapsulasi dalam bentuk dalam bentuk granula atau bubuk
(Mortazavian et al., 2007). Beberapa metode yang dapat digunakan untuk enkapsulasi
probiotik dalam larutan enkapsulan, antaralain; atomisasi, emulsifikasi, dan ekstruksi.
Atomisasi dilakukan dengan melarutkan sel probiotik ke dalam polimer matriks
enkapsulan. Polimer matriks yang digunakan sebagai enkapsulan umumnya berasal
dari gum arab dan golongan pati. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuan gum arab
dan pati untuk menghasillkan mikropartikel berbentuk bulat selama proses
pengeringan (Burgain et al., 2011).
Emulsifikasi merupakan metode enkapsulasi bakteri secara kimia dengan
menggunakan hidrokoloid (alginat, karagenan, dan pektin) sebagai bahan enkapsulan
(Burgain et al., 2011). Metode emulsifikasi berlangsung dalam dua tahap, yaitu
pencampuran larutan hidrokoloid dan massa sel ke dalam larutan emulsi serta
pengkompakan gel dengan penambahan CaCl2. Emulsi yang digunakan antara lain;
minyak sayur, seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak jagung, atau
minyak paraffin (Groboillot et al., 1993). Penambahan Tween 80 pada konsentrasi
0,2% dapat meningkatkan kestabilan emulsi melalui mekanisme penurunan tegangan
interfasial pada fase air dalam minyak (Scheu dan Marshall, 1993). Penambahan CaCl2
pada emulsi minyak-larutan hidrokoloid dan massa sel akan menghasilkan partikel gel
melalui mekanisme cross linking (Solanki et al., 2013).
Ekstruksi merupakan salah satu metode tertua dan paling umum digunakan
untuk memproduksi kapsul hidrokoloid, dimana dalam prosesnya bahan enkapsulan
16
dan sel bakteri disemprotkan melalui nozzle pada tekanan tinggi (Feucht dan Kwak,
2013). Metode ini tidak melibatkan larutan yang bersifat merusak, dan dapat dilakukan
dalam kondisi aerobik maupun anaerobik. Namun, metode ini sulit dilakukan dalam
skala besar dikarenakan pembentukan mikrokapsulnya yang lambat (Burgain et al.,
2011).
Proses pengeringan dilakukan setelah proses enkapsulasi dalam larutan
enkapsulan. Pengeringan dilakukan agar diperoleh sel terenkapsulasi dalam bentuk
granula. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan metode spray drying, freeze
drying, dan fluidized bed drying. Menurut Sukmawati (2010) pengeringan beku (freeze
drying) adalah metode yang memiliki keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil
pengeringan, antara lain:
1. Mempertahankan stabilitas produk (menghindari perubahan aroma, warna, dan
unsur organoleptik lainnya)
2. Mempertahankan stabilitas struktur bahan (pengkerutan dan perubahan bentuk
setelah pengeringan sangat kecil)
3. Meningkatkan daya rehidrasi (hasil pengeringan sangat berongga dan lyophile
sehingga daya rehidrasi sangat tinggi dan dapat kembali ke sifat fisiologis,
organoleptik dan bentuk fisik yang hampir sama dengan sebelum pengeringan).
Proses pengeringan beku mengeluarkan air dari bahan melalui fase sublimasi.
Bahan yang telah dibekukan akan langsung dikeluarkan airnya melalui pengeringan
tanpa mengalami pencairan bahan (Rini, 2004 dalam Sukmawati, 2010). Penurunan
viabilitas pada pembuatan sel kering dengan freeze drying berkisar 0.5 – 2 siklus log,
17
sedangkan dengan spray drying berkisar antara 2.5 – 4 siklus log (Harmayani et al.,
2001).
Menurut Istiyani (2008) faktor yang mempengaruhi keberhasilan
mikroenkapsulasi, antara lain: sifat fisikokimia bahan inti atau zat aktif, bahan penyalut
yang digunakan, tahap proses enkapsulasi (tunggal atau bertingkat), sifat dan dinding
mikrokapsul serta kondisi pembuatan (basah atau kering). Mortazivian (2007)
menyatakan terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
keberhasilan mikroenkapsulasi probiotik, antara lain; viabilitas sel probiotik,
kemampuan pelepasan sel dan kelarutan mikrokapsul, bentuk granula, densitas
mikrokapsul, jumlah sel dalam granula, pengaturan pengerasan mikrokapsul, dan
penyebaran mikrokapsul dalam produk.
2.5. Enkapsulan
Enkapsulan atau bahan penyalut merupakan bahan yang digunakan untuk
melapisi zat inti dengan tujuan tertentu seperti; melindungi zat inti dari pengaruh
lingkungan, menutupi karakteristik sensori yang tidak diinginkan, meningkatkan
stabilitas, dan mengurangi penguapan. Menurut Istiyani (2008), bahan penyalut harus
mampu memberikan suatu lapisan tipis yang kohesif dengan bahan inti, dapat
bercampur secara kimia, tidak bereaksi dengan inti (bersifat inert), dan mempunyai
sifat yang sesuai dengan tujuan penyalutan. Jumlah penyalut yang digunakan antara 1–
70%, dan pada umumnya digunakan 3 – 30% dengan ketebalan dinding penyalut 0,1-
60 mikrometer.
18
Onwulata et al (2004) dalam Sukmawati (2010) menyatakan bahwa pemilihan
enkapsulan merupakan hal kritis karena akan mempengaruhi stabilitas emulsi sebelum
pengeringan dan daya simpan setelah pengeringan. Enkapsulan yang ideal memiliki
kriteria berikut: mempunyai sifat emulsi dan membentuk lapisan yang baik, memiliki
viskositas rendah pada konsentrasi tinggi (<500 cps pada 45% padatan), serta
higroskopis rendah (Sukmawati, 2010). Enkapsulan yang umum digunakan untuk
enkapsulasi dapat berasal dari golongan karbohidrat maupun protein (Reineccius, 2002
dalam Sunardi, 2009). Wandrey et al (2010), menyatakan bahwa berdasarkan
sumbernya enkapsulan dari golongan karbohidrat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Enkapsulan karbohidrat dari tanaman, seperti: pati dan turunannya, selulosa
dan turunannya, gum arabik, gum karaya, mesquite gum, galaktomanan, dan
polisakarida
2. Enkapsulan karbohidrat dari hasil laut, seperti: karagenan dan alginate
3. Enkapsulan karbohidrat dari hewan dan mikroba, seperti: xanthan, gellan,
dextran, dan chitosan
2.5.1. Maltodekstrin
Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati yang mengandung
unit 𝛼-D-glukosa yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1,4 glikosidik dengan DE
kurang dari 20 (Sunardi, 2009). Harga DE (Dextrose Equivalent) hanya memberi
gambaran tentang kandungan gula pereduksi. Peningkatan nilai DE akan meningkatkan
warna, sifat higroskopis, plastisitas, rasa manis, dan kelarutan (Lubis, 2011).
Maltodekstrin dengan DE yang rendah lebih efektif sebagai pengikat lemak
19
dibandingkan dengan DE yang tinggi. Nilai DE yang tinggi akan memberikan
viskositas yang lebih rendah (Fasikhatun, 2010).
Maltodekstrin dapat diperoleh dengan menghidrolisis pati singkong secara
parsial dengan enzim α-amilase pada suhu 85°C selama 65 menit (Griffin dan Brooks,
1989). Maltodekstrin merupakan campuran maltosa, maltotriosa, maltotetraosa.
Maltodekstrin memiliki rumus kimia [C6H10O5)nH2O]. Adapun struktur kimia
maltodekstrin ditunjukkan pada Gambar 2. Maltodekstrin harus memenuhi persyaratan
yang ditetapkan yaitu susut pengeringan < 6%, sisa pemijaran < 0,5% dan pH antara
4-7 (Lubis, 2011).
Gambar 2. Struktur Maltodekstrin (Lubis, 2011)
Maltodekstrin sering digunakan karena memiliki sifat sebagai penyalut yang
baik karena kemampuannya dalam membentuk emulsi dan viskositasnya yang rendah
(Laohasongkram et al., 2011). Selain itu maltodekstrin mudah ditemukan, mudah
dalam penanganan proses, dapat mengalami dispersi yang cepat, memiliki kelarutan
tinggi, mampu membentuk matriks dengan kemungkinan pencoklatan rendah, mampu
20
menghambat kristalisasi, memiliki daya ikat kuat, dan stabil pada emulsi minyak dalam
air. Kemampuan maltodekstrin untuk menghambat reaksi oksidasi menyebabkan
mikrokapsul yang dihasilkan memiliki masa simpan lebih panjang dibanding
mikrokapsul yang menggunakan gum arab (Gharsalloui et al., 2007). Sulandari (2005)
dalam Karinawatie (2008) menyatakan bahwa dekstrin mampu mempertahankan
viabilitas BAL yang cukup tinggi yaitu berkisar 7,6 – 9,3 (log cfu/ml).
Maltodekstrin tergolong pati resistan, yaitu pati yang tidak dapat dicerna oleh
enzim pankreas dalam saluran pencernan. Pati resistan dapat difermentasi di kolon
(Anal dan Singh, 2007). Karateristik tersebut menyebabkan pati memiliki kemampuan
pelepasan sel yang baik.
2.5.2. Karagenan
Karagenan merupakan getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau
larutan alkali dari spesies tertentu dari kelas Rhodophyceae (Winarno, 1989 dalam
Arimbawa, 2010). Karagenan terdiri dari tiga jenis yaitu lamda, kappa, dan iota dimana
ketiga jenis ini dibedakan berdasarkan perbedaan ikatan sel, sifat gel dan reaktivitas
protein. Lamda dan kappa karagenan dapat diekstrak dari rumput laut jenis Chondrus
crispus dan beberapa species Gigartina. Iota karagenan diekstrak dari Eucheuma sp
yaitu Eucheuma cottoni dan Eucheuma spinosum yang banyak dibudidayakan
(Fatimah, 2012).
Karagenan tidak dapat dicerna oleh tubuh manusia dan tidak memiliki nutrisi
yang diperlukan oleh tubuh. Oleh karena itu, karagenan hanya digunakan dalam
industri pangan karena fungsi karakteristiknya yang dapat digunakan untuk
21
mengendalikan kandungan air dalam bahan pangan utamanya, mengendalikan tekstur,
dan menstabilkan makanan (Arimbawa, 2010). Setijawati et al., (2011) menyatakan
bahwa karagenan semi murni dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyalut dalam proses
mikroenkapsulasi karena sifatnya sebagai bahan pembentuk gel dengan karakteristik
gel yang keras namun mudah pecah. Menurut Poncomulyo dan Taurino (2006),
karagenan memiliki beberapa sifat, antara lain:
1. Dalam air dingin, seluruh garam dari lamda karagenan dapat larut, sedangkan
pada kappa dan iota karagenan hanya garam dan natrium yang larut.
2. Lamda karagenan larut dalam air panas (temperature 40-60°C). Kappa dan
iota karagenan larut pada suhu diatas 70°C.
3. Kappa karagenan dapat membentuk gel dengan ion kalium, sedangkan iota
karagenan membentuk gel dengan ion kalsium. Lamda karagenan akan
membentuk dispersi dan tidak dapat membentuk gel.
4. Semua jenis karagenan stabil pada pH netral dan alkali. Pada pH asam
karagenan akan terhidrolisis.
Karagenan merupakan bahan enkapsulan yang dapat digunakan untuk
melindungi bakteri probiotik secara efektif dari tekanan kondisi lingkungan sehingga
dapat digunakan sebagai media imobilisasi sel (Ding dan Shah, 2009; Chibata, 1981).
Karagenan memiliki gel dengan kemampuan pemerangkapan sel yang baik,
namun penambahan sel harus dilakukan pada suhu 40 - 45°C karena pada suhu ruang
gel karagenan akan mengeras (Solanki et al., 2011). Penambahan ion monovalen
seperti potassium dalam bentuk KCl dapat menstabilkan butiran gel yang terbentuk
(Krasaekoopt et al., 2003). Penelitian Audret (2003) dalam Setijawati et al (2011),
22
menyebutkan bahwa enkapsulasi probiotik Lactobacillus delbruecki spp. bulgaricus,
dan S. thermophilus penggunaan 3% kappa karagenan dengan metode emulsi akan
menghasilkan butiran mikrokapsul berukuran 0,5 – 1 mm.
2.5.3. Alginat
Alginat merupakan polimer yang membentuk koloid hidrofilik yang diekstraksi
dengan garam alkali dari bermacam – macam jenis alga laut coklat (Phaeophyceae).
Rumus molekul natrium alginat adalah (C6H7O6Na)n (Istiyani, 2008). Adapun struktur
kimia alginat ditunjukkan pada Gambar 3. Alginat memiliki kemampuan matriks gel
disekitar sel bakteri, tidak memiliki efek racun bagi tubuh, murah, mudah digunakan,
mudah larut dalam pencernaan dan melepaskan sel (Mortazivian et al., 2007).
Gambar 3. Struktur Kimia Alginat (Istiyani, 2008)
Larutan alginat akan bereaksi dengan kation-kation divalen dan trivalen untuk
membentuk gel. Gel akan terbentuk pada suhu kamar dan gel tersebut akan mencair
bila dipanaskan. Gel-gel ini dapat diaplikasikan pada bermacam-macam industri,
khususnya kalsium (Ca) yang digunakan sebagai ion divalen. Larutan asam alginat
23
dapat membentuk gel yang bersifat lebih lunak daripada gel kalsium alginat. Gel dari
asam alginat dapat mencair dalam mulut sehingga dapat diaplikasikan dalam industri
makanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat-sifat larutan alginat adalah suhu,
konsentrasi, dan ukuran polimer (McNelly dan Pettit, 1973 dalam Syafarini, 2009).
Keunggulan alginat sebagai enkapsulan probiotik terletak pada kemampuannya
memproteksi sel dalam kondisi asam. Penelitian Rayment et al (2009), menunjukkan
bahwa alginat memiliki kemampuan untuk bertahan melewati lambung tanpa
terdegradasi. Penelititan Purwandhani et al (2007), menunjukkan mikroenkapsulasi
L.acidophillus dalam 3% alginat metode emulsi menghasilkan mikrokapsul berukuran
50 – 100 µm dengan jumlah sel 1,3x1010.