ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · pengertian wilayah sangat penting untuk diperhatikan...
TRANSCRIPT
15
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengembangan Wilayah
Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007, wilayah adalah ruang yang
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
Pengertian wilayah sangat penting untuk diperhatikan apabila berhubungan
dengan program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan
wilayah dan pengembangan kawasan. Pengembangan wilayah mempunyai
cakupan yang lebih luas daripada pengembangan kawasan. Pengembangan
wilayah mencakup penelaahan keterkaitan antar kawasan. Sementara itu,
pengembangaan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu
unit wilayah, mencakup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun
pertahanan keamanan. (Rustiadi et al., 2009).
Menurut Riyadi (2002), pengembangan wilayah merupakan upaya untuk
memacu perkembangan sosial ekonomi, penurunan kesenjangan antar wilayah dan
pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup di suatu wilayah. Upaya ini diperlukan
karena setiap wilayah memiliki kondisi sosial ekonomi, budaya dan keadaan
geografis yang berbeda-beda, sehingga pengembangan wilayah bertujuan untuk
mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Optimal berarti dapat
tercapainya tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial
budaya dan lingkungan yang berkelanjutan.
Pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral,
spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah.
Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar
sektor pembangunan sehingga setiap kegiatan pembangunan dalam kelembagaan
sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Dalam pandangan
sistem industri, keterpaduan sektoral berarti keterpaduan sistem input dan output
industri yang efisien dan sinergis. Oleh karena itu, wilayah yang berkembang
ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti
terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis
(Rustiadi et al., 2009).
16
Menurut Tarigan (2008), perencanaan pembangunan wilayah dapat
dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan
regional. Pendekatan sektoral dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada
sektor-sektor kegiatan yang ada di suatu wilayah. Pendekatan ini
mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor yang dianggap seragam.
Pendekatan regional dilakukan dengan melihat pemanfaatan ruang serta interaksi
berbagai kegiatan dalam ruang wilayah. Dalam prakteknya, pengembangan
wilayah perlu memadukan kedua pendekatan tersebut untuk mendapatkan hasil
yang optimal.
Pengembangan wilayah merupakan suatu bentuk intervensi positif terhadap
pembangunan di suatu wilayah. Strategi pengembangan wilayah dapat dilakukan
dengan dua pendekatan yaitu supply side strategy dan demand side strategy.
Strategi supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama
diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang
berorientasi keluar. Tujuan strategi ini adalah untuk meningkatkan pasokan dari
komoditi yang pada umumnya diproses dari sumberdaya lokal. Strategi demand
side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui
peningkatan barang dan jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi
lokal. Tujuan strategi ini adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Peningkatan taraf hidup masyarakat ini diharapkan akan meningkatkan
permintaan terhadap barang-barang non pertanian sehingga dapat mendorong
berkembangnya sektor industri dan jasa yang pada akhirnya akan lebih
mendorong berkembangnya suatu wilayah (Rustiadi et al., 2009).
Pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan
potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2009), karena
keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh setiap daerah maka setiap daerah
perlu menetapkan skala prioritas dalam perencanaan pembangunannya. Skala
prioritas tersebut didasarkan atas pemahaman bahwa: (1) setiap sektor memiliki
sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian
sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan wilayah, dll); (2)
setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan
karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak
17
merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat
dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, buatan dan sosial yang ada. Atas
dasar pemikiran tersebut maka di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang
bersifat strategis karena besarnya sumbangan yang diberikan sektor tersebut
terhadap perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya.
Perkembangan sektor strategis tersebut memberikan dampak langsung dan tidak
langsung yang signifikan, dimana dampak tidak langsung terwujud akibat
perkembangan sektor tersebut berdampak bagi berkembangnya sektor-sektor lain
dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah sasaran.
Pada konsep pembangunan daerah yang berbasis sektor/komoditas unggulan
ada beberapa kriteria sektor/komoditas sebagai motor penggerak pembangunan
suatu daerah, antara lain : mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada
peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran, mempunyai keterkaitan ke
depan dan ke belakang (forward dan backward linkages) yang kuat, mampu
bersaing (competitiveness), memiliki keterkaitan dengan daerah lain
(complementary), mampu menyerap tenaga kerja, bertahan dalam jangka waktu
tertentu, berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta tidak
rentan terhadap gejolak eksternal dan internal (Alkadri dan Djajadiningrat, 2002).
Dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, maka pemerintah
seharusnya mengarahkan pengeluaran anggaran kepada sektor-sektor unggulan
yang memiliki nilai keterkaitan dan multiplier effect yang besar. Selain itu,
investasi pun diharapkan agar diarahkan kepada sektor ungulan sehingga akan
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Kinerja pembangunan daerah
dapat tercapai apabila penganggaran telah sesuai dengan tujuan daerah itu sendiri
antara lain meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kesenjangan
wilayah dan meningkatkan daya beli masyarakat (Suryawardana, 2006)
Pengembangan wilayah berbasis pertanian merupakan suatu upaya
pengembangan wilayah dengan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal.
Pengembangan wilayah berbasis pertanian ini diarahkan untuk mengembangkan
wilayah-wilayah yang memiliki potensi di bidang pertanian sehingga diharapkan
dapat memacu kemajuan pembangunan wilayah dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya yang sebagian besar memiliki mata pencaharian dari kegiatan
18
pertanian. Strategi pengembangan wilayah berbasis pertanian lebih diarahkan
kepada pemberdayaan masyarakat petani sebagai pelaku pembangunan, bukan
hanya mengandalkan investor asing. Hal ini karena investasi asing tersebut kurang
bisa memberikan multiplier effect yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja,
peningkatan pendapatan daerah dan masyarakat. Salah satu strategi yang yang
dapat dilakukan adalah dengan pendekatan konsep agropolitan (Hastuti, 2001).
2.2. Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan
Sektor pertanian sejak tahap awal pembangunan selalu menjadi sektor
yang penting dalam pembangunan di Indonesia. Hal ini didasarkan pada
kemampuan sektor pertanian dalam berkontribusi terhadap Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) yang cukup besar dan sebagai sumber pendapatan
sebagian besar penduduk serta menyediakan lapangan pekerjaan. Selain itu, sektor
pertanian juga menjadi sektor input bagi sektor-sektor ekonomi lainnya seperti
industri dan perdagangan. Di samping itu, selama krisis ekonomi yang terjadi di
Indonesia tahun 1997, ternyata sektor tradisional ini yang paling mampu bertahan
dan dapat terus memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan hasil kajian Zaini (2005), selama masa krisis ekonomi, sektor
pertanian merupakan sektor yang mempunyai nilai netto ekspor positif, yang
berarti nilai impornya lebih rendah dibandingkan nilai ekspornya. Hal ini
menunjukkan bahwa sektor pertanian memiliki rasio ketergantungan impor yang
rendah sehingga mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang
berbasis pada potensi lokal. Hal ini menyebabkan sektor pertanian merupakan
sektor yang paling mampu bertahan selama masa krisis ekonomi.
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki potensi untuk
dikembangkan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu wilayah serta
mampu berperan baik dalam mengurangi terjadinya disparitas ekonomi antar
wilayah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Purnamadewi et al. (2010) yang
menyebutkan bahwa prioritas alokasi investasi ke sektor pertanian dan industri
berbasis pertanian yang didukung dengan pembangunan infrastruktur atau
implementasi strategi pembangunan ADLI (Agricultural Development Led-
19
Industrialisation) menghasilkan dampak terbaik terhadap pertumbuhan ekonomi
dan disparitas ekonomi antar wilayah.
Menurut Hermanto (2009), pada dasarnya sektor pertanian dapat menjadi
basis pembangunan perekonomian wilayah karena memiliki keterkaitan yang baik
dengan sektor lainnya, baik keterkaitan ke depan (forward linkage) maupun kaitan
ke belakang (backward linkage). Besarnya keterkaitan tergantung pada beberapa
faktor diantaranya sumberdaya manusia, akses modal, infrastruktur, iklim usaha,
sarana prasarana produksi, dll. Semakin kuat keterkaitan sektor pertanian dengan
sektor lain maka posisi sektor pertanian menjadi sangat penting dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Peran penting sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian suatu
wilayah antara lain : (1) menyediakan kebutuhan bahan pangan yang diperlukan
masyarakat untuk menjamin ketahanan pangan; (2) menyediakan bahan baku
industri; (3) sebagai pasar potensial bagi produk-produk industri; (4) sumber
tenaga kerja dan pembentukan modal yang diperlukan bagi sektor lain; (5) sumber
perolehan devisa; (6) mengurangi kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan;
(7) menyumbang pembangunan perdesaan dan pelestarian lingkungan hidup
(Harianto, 2007).
Sektor pertanian memiliki nilai multifungsi yang besar dalam peningkatan
ketahanan pangan, kesejahteraan petani dan menjaga kelestarian hidup. Menurut
Sudaryanto dan Rusastra (2006), kemampuan sektor pertanian dalam peningkatan
ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan ditentukan oleh tiga faktor yaitu :
(1) kemampuan mengatasi kedala pengembangan produksi, (2) kapasitas dalam
melakukan reorientasi dan implementasi arah dan tujuan pengembangan
agribisnis, (3) keberhasilan pelaksanaan program diversifikasi usahatani di lahan
sawah dengan mempertimbangkan komoditas alternatif non padi seperti palawija
dan hortikultura.
Pembangunan yang selama ini hanya mengejar pertumbuhan ekonomi
cenderung mengabaikan peran sektor pertanian. Pembangunan pertanian saat ini
belum berhasil mengangkat pertanian dan petani pada posisi yang lebih baik.
Kesenjangan kesejahteraan antara petani dengan pekerja lain di luar sektor
pertanian semakin melebar. Hal ini menyebabkan para generasi muda cenderung
20
memilih untuk berkerja di luar sektor pertanian sehingga lama kelamaan sektor
pertanian ini akan ditinggalkan dan semakin terpuruk. Selain itu, peningkatan
produktivitas usahatani dan kualitas produk belum menunjukkan perbaikan yang
berarti. Produk-produk pertanian lokal menjadi kurang memiliki daya saing
dengan produk-produk pertanian dari luar.
Sejauh ini peran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja, masih
menerima beban yang besar dan tidak berimbang dengan alokasi anggaran,
sehingga produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian relatif masih rendah
dibandingkan dengan sektor lainnya. Rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja
sektor pertanian akan mempengaruhi adopsi teknologi yang pada akhirnya akan
berdampak pada rendahnya produktivitas sektor pertanian.
Dampak negatif lain dari terpuruknya sektor pertanian ini adalah
menurunnya tingkat ketahanan pangan, meningkatnya kemiskinan,
ketergantungan pada pangan luar menjadi tinggi, industrialisasi yang terjadi input
produksinya sangat tergantung dari bahan baku impor dan meningkatnya
pengangguran di perdesaan (Harianto, 2007). Untuk mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan tersebut perlu perhatian besar dari pemerintah dalam upaya
pembangunan sektor pertanian.
Revitalisasi pertanian yang digalakkan oleh Kementerian Pertanian
menitikberatkan pada program ketahanan pangan untuk menjamin adanya
ketersediaan pangan yang cukup, mudah diperoleh, aman dikonsumsi dan harga
yang terjangkau. Sektor pertanian yang mempunyai kontribusi terbesar dalam
penyediaan pangan bagi masyarakat adalah subsektor tanaman bahan makanan.
Oleh karena itu pembangunan pertanian subsektor tanaman bahan makanan
menjadi sangat penting dalam menunjang program ketahanan pangan. Selain itu,
pangan merupakan salah satu hak dasar bagi rakyat (basic entitlement).
Pembangunan subsektor tanaman bahan makanan memiliki potensi yang
besar dalam upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini
dapat dilihat dari potensinya sebagai penyumbang terbesar terrhadap nilai PDRB
suatu wilayah dan subsektor ini merupakan subsektor pertanian yang paling
banyak digeluti oleh sebagian besar masyarakat terutama masyarakat pedesaan.
21
2.3. Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
Berlakunya otonomi daerah membawa implikasi bagi setiap pemerintah
daerah untuk mampu melihat sektor-sektor yang memiliki keunggulan ataupun
kelemahan di wilayahnya. Oleh karena itu setelah berlakunya otonomi daerah,
setiap daerah memiliki kewenangan dalam menetapkan sektor atau komoditas
yang akan menjadi prioritas pengembangan. Sektor atau komoditas yang memiliki
keunggulan memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan
diharapkan dapat menjadi push factor bagi sektor-sektor lain untuk berkembang
(Tarigan, 2008).
Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan
pembangunan daerah adalah keberadaan sektor unggulan. Sektor unggulan
merupakan sektor perekonomian yang diharapkan menjadi motor penggerak
perekonomian wilayah. Dengan mengetahui dan mengoptimalkan sektor unggulan
ini maka diharapkan terdapat efek positif bagi kemajuan aktivitas perekonomian
daerah (Syahidin, 2006). Salah satu alat analisis yang bisa digunakan untuk
mengetahui keberadaan sektor unggulan ini adalah teori basis ekonomi.
Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah
tersebut. Teori ini menyatakan bahwa sektor basis dapat membangun dan
memacu penguatan dan pertumbuhan ekonomi lokal sehingga diidentifikasi
sebagai mesin ekonomi lokal.
Menurut Rustiadi et al. (2009), sektor ekonomi wilayah dapat dibagi
dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang
terjadi di dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya
mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Sektor basis ini akan menghasilkan
barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah
sedangkan sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya
melayani pasar di wilayahnya sendiri dan kapasitas ekspor wilayah belum
berkembang. Metode yang sering dipakai sebagai indikasi sektor basis adalah
metode Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA).
Analisis Location Quotient (LQ) merupakan teknik analisis yang
digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah dalam
22
cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Metode LQ juga dapat digunakan untuk
mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan
bukan basis karena merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor
yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Suatu wilayah yang
memiliki nilai koefisien lokalisasi (LQ) lebih dari satu untuk suatu kegiatan maka
wilayah tersebut berpotensi ekspor sehingga dapat memberikan keuntungan
ekonomi bagi wilayahnya serta memiliki daya saing ekonomi dibandingkan
dengan wilayah lainnya.
Dalam konteks perencanaan pengembangan wilayah, upaya untuk
mengidentifikasi aktivitas ekonomi basis menjadi bagian yang penting untuk
dapat memetakan komoditas atau sektor unggulan. Asumsi yang digunakan
dalam analisis sektor basis dengan menggunakan metode LQ ini adalah (1)
kondisi geografis unit wilayah relatif seragam, (2) pola aktivitas antar unit
wilayah bersifat seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan kualitas produk
yang sama dan dinilai dalam satuan yang sama (Pribadi et al., 2010).
Analisis LQ juga memberikan gambaran mengenai sektor atau kegiatan
ekonomi mana yang terkonsentrasi (memusat) dan yang tersebar. Tarigan (2008)
menyatakan bahwa analisis LQ sebagai petunjuk adanya keunggulan komparatif
dapat digunakan bagi sektor-sektor yang telah lama berkembang, sedangkan bagi
sektor yang baru atau sedang tumbuh apalagi yang selama ini belum pernah ada,
metode LQ tidak dapat digunakan karena produk totalnya belum menggambarkan
kapasitas riil daerah tersebut.
Berkaitan dengan percepatan dan efisiensi pengembangan wilayah, perlu
dilakukan penentuan sektor dan komoditas unggulan yang memiliki keunggulan
secara komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif dalam hal ini adalah
keunggulan suatu sektor atau komoditas dalam suatu wilayah relatif terhadap
sektor atau komoditas pada wilayah lainnya. Upaya pengembangan keunggulan
komparatif komoditas pertanian perlu berdasarkan pada sumberdaya lokal.
Komoditas yang dikembangkan harus mampu menyerap tenaga kerja lokal dengan
didukung oleh kesesuaian lingkungan sumberdaya lokal. Ukuran keunggulan
komparatif yang dimaksud pada tulisan ini didasari atas nilai Location Quotient
(LQ).
23
Dalam pengembangan wilayah, selain mengetahui keunggulan komparatif
perlu diketahui juga keunggulan kompetitif. Pengukuran ini menjadi penting
untuk diketahui karena seringkali dalam pengembangan wilayah perlu
menentukan sektor mana yang akan dikembangkan. Untuk menentukan hal
tersebut selain mengetahui potensi perlu juga diketahui bagaimana kinerja atau
tingkat pertumbuhan sektor tersebut dibandingkan dengan wilayah lainnya yang
berdekatan dalam sistem wilayah.
Keunggulan kompetitif suatu wilayah merupakan keunggulan suatu sektor
atau komoditas relatif terhadap sektor atau komoditas lainnya dalam suatu
wilayah berdasarkan kinerjanya. Untuk mengetahui keunggulan kompetitif suatu
wilayah dapat digunakan analisis shift share dan analisis input-output. Suatu
wilayah dikatakan memiliki keunggulan kompetitif apabila dalam waktu tertentu
mengalami peningkatan aktivitas yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah
lain atau memiliki tingkat pertumbuhan yang positif.
Shift Share Analysis (SSA) merupakan teknik analisis yang digunakan
untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif suatu wilayah dalam cakupan
wilayah agregat yang lebih luas berdasarkan kinerja sektor lokal di wilayah
tersebut. Kinerja sektor lokal menjadi penting karena dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi lokal wilayah dan memiliki daya tahan terhadap pengaruh-
pengaruh faktor eksternal.
Teknik analisis SSA bertujuan untuk menganalisis pergeseran kinerja
suatu sektor di suatu wilayah untuk dipilah berdasarkan sumber-sumber penyebab
pergeseran. Ada tiga sumber penyebab pergeseran yaitu :
1. Komponen regional share (komponen laju pertumbuhan total). Komponen ini
menunjukkan kontribusi pergeseran total semua sektor di seluruh wilayah
yang menunjukkan dinamika total wilayah.
2. Komponen proportional shift (komponen pergeseran proporsional).
Komponen ini menunjukkan pergeseran total sektor tertentu di wilayah
agregat yang lebih luas yang menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total
dalam wilayah.
3. Komponen differential shift (komponen pergeseran diferensial). Komponen ini
menunjukkan pergeseran suatu sektor tertentu di suatu wilayah tertentu.
24
Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ketakunggulan) suatu
sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di
sub wilayah lain
Untuk memetakan sektor unggulan dapat digunakan data PDRB per sektor
atau jumlah tenaga kerja per sektor. Data PDRB per sektor dugunkan untuk
mengidentifikasi sektor unggulan berdasarkan besaran nilai tambah yang
dihasilkan, sementara data tenaga kerja dapat digunakan untuk mengidentifikasi
sektor unggulan berdasarkan kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja
sehingga mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Adapun untuk memetakan potensi komoditas unggulan wilayah, data
yang digunakan bisa berupa data produksi atau produktivitas. Data produksi
digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan bedasarkan kapasitas
aktual dari aktivitas produksi. Data produktivitas digunakan untuk
mengidentifikasi komoditas unggulan berdasarkan kapasitas potensial dari
aktivitas produksi (Pribadi et al., 2010).
Dengan berlangsungnya perdagangan bebas, maka perdagangan dunia
akan cenderung pada spesialisasi perdagangan, dalam hal ini maka setiap negara
akan berusaha memperdagangkan produk-produk yang memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif. Bila produk yang diperdagangkan bersifat
komplementer, maka peluang negara yang bersangkutan menikmati manfaat
perdagangan bebas akan besar. Namun apabila produk yang diperdagangkan
bersifat subtitusi maka manfaat yang diperoleh dari perdagangan bebas akan
tergantung dari kemampuan produk tersebut untuk bersaing dengan produk sejenis
dari negara lain (Saragih, 2010).
Tingkat keunggulan komparatif dan kompetitif suatu komoditas dapat
digunakan sebagai ukuran untuk menentukan posisi daya saing komoditas
tersebut. Produk-produk pertanian khususnya hortikultura mengalami kesulitan
untuk bersaing karena masalah kualitas, kuantitas, kontinuitas pasokan dan
tingginya kerusakan selama pengangkutan. Ditinjau dari aspek kuantitas, potensi
pengembangan produksi komoditas pertanian masih dapat ditingkatkan melalui
pengembangan ketersediaan lahan dan peluang peningkatan adopsi teknologi.
25
Sementara itu, dari aspek kualitas dan kontinuitas pasokan salah satunya dapat
diatasi dengan pengembangan teknologi budidaya, panen dan pasca panen.
Menurut Saptana et al. (2006), daya saing komoditas pertanian
dipengaruhi pula oleh kinerja sumberdaya manusia, terutama kemampuan
manajerialnya. Untuk mengatasi hal tersebut salah satunya dapat dilakukan
dengan strategi pengembangan kelembagaan kemitraan usaha melalui proses
sosial yang matang dan dengan dasar saling mempercayai (trust) di antara para
pelaku agribisnis.
2.4. Keterkaitan Sektor
Pengembangan sektor memiliki relevansi yang kuat dengan
pengembangan wilayah. Suatu wilayah dapat berkembang melalui
berkembangnya sektor unggulan di wilayah tersebut yang akan mendorong
berkembangnya sektor-sektor lainnya. Selanjutnya, sektor-sektor lain yang akan
berkembang dan mendorong sektor-sektor yang terkait sehingga membentuk suatu
sistem keterkaitan antar sektor.
Keterkaitan antar sektor ekonomi dipandang penting dalam pengembangan
wilayah. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan yang
terpadu antar sektor ekonomi, dalam arti terjadi transfer input dan output barang
dan jasa antara sektor yang sangat dinamis.
Pendekatan yang dipandang relevan untuk menelaah karakteristik struktur
ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan distribusi sumbangan sektoral serta
keterkaitan antar sektor perekonomian adalah analisis Input–Output (I-O). Tabel
input-output (Tabel I-O) pada dasarnya merupakan suatu bentuk matriks yang
menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan
antara sektor yang satu dengan sektor lainnya dalam suatu kegiatan perekonomian
di suatu negara/daerah pada suatu periode waktu tertentu.
Tabel input-output (I-O) merupakan matriks yang sistem penyajiannya
menggunakan dimensi baris dan dimensi kolom. Isian sepanjang baris
menunjukkan pengalokasian atau pendistribusian dari output yang dihasilkan oleh
suatu sektor dalam memenuhi permintaan antara oleh sektor lainnya dan
26
memenuhi permintaan akhir. Isian sepanjang kolom menunjukkan struktur input
yang digunakan oleh masing-masing sektor dalam kegiatan produksinya.
Tabel I-O mempunyai kegunaan antara lain untuk : (1) memperkirakan
dampak permintaan akhir dan perubahannya (pengeluaran rumah tangga,
pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor) terhadap berbagai output sektor
produksi, nilai tambah (PDRB), pendapatan masyarakat, kebutuhan tenaga kerja,
pajak (PAD) dan sebagainya; (2) mengetahui komposisi penyediaan dan
penggunaan barang dan jasa sehingga mempermudah analisis tentang kebutuhan
import dan kemungkinan substitusinya; dan (3) memberi petunjuk mengenai
sektor-sektor yang mempunyai pengaruh terkuat serta sektor-sektor yang peka
terhadap pertumbuhan ekonomi (Pribadi et al., 2010).
Secara metodologi tabel I-O mempunyai beberapa keterbatasan karena
model I-O dilandasi oleh asumsi-asumsi, antara lain sebagai berikut :
(1) Asumsi homogenitas yang mensyaratkan bahwa tiap sektor hanya
memproduksi suatu jenis output yang seragam (homogenity) dengan sruktur
input tunggal dan antar sektor tidak dapat saling mensubstitusi.
(2) Asumsi linieritas/proporsionalitas yang mensyaratkan bahwa dalam proses
produksi, hubungan antara input dan output merupakan fungsi linier atau
berbanding lurus (proporsionality), yang berarti perubahan tingkat output
tertentu akan selalu didahului oleh perubahan pemakaian input yang
sebanding.
(3) Asumsi aditivitas, yaitu efek keseluruhan dari kegiatan produksi di berbagai
sektor merupakan penjumlahan (additivity) dari proses produksi masing-
masing sektor secara terpisah. Dengan kata lain, di luar sistem input-output
semua pengaruh dari luar diabaikan (Rustiadi et al., 2009).
Adanya asumsi tersebut menyebabkan tabel I-O memiliki keterbatasan
antara lain : rasio I-O tetap konstan sepanjang periode analisis sehingga produsen
tidak dapat menyesuaikan perubahan-perubahan inputnya atau mengubah proses
produksi. Asumsi-asumsi tersebut tidak meliput adanya perubahan teknologi
ataupun produktivitas yang dapat terjadi dari waktu ke waktu. Meskipun memiliki
keterbatasan, analisis I-O tetap merupakan alat analisis yang lengkap dan
komprehensif (BPS, 2000).
27
Menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010a), pemakaian model I-O akan
mendatangkan keuntungan bagi perencanaan pembangunan daerah, antara lain:
(1) dapat memberikan deskripsi yang detail mengenai perekonomian nasional atau
regional dengan menguantifikasikan ketergantungan antar sektor dan asal dari
ekspor dan impor; (2) untuk suatu perangkat permintaan akhir dapat ditentukan
besaran output dari setiap sektor dan kebutuhannya akan faktor produksi dan
sumber daya; (3) dampak perubahan permintaan terhadap perekonomian baik
yang disebabkan oleh swasta maupun pemerintah dapat ditelusuri dan diramalkan
secara terperinci; dan (4) perubahan-perubahan permintaan terhadap harga relatif
dapat diintegrasikan ke dalam model melalui perubahan koefisien teknik.
Menurut Djakapermana (2010), hambatan terbesar yang dihadapi oleh
lembaga-lembaga perencanaan, terutama di daerah dalam menggunakan analisis I-
O antara lain adalah : (1) biaya yang relatif besar dalam pengumpulan data, (2)
data pokok yang belum memadai, dan (3) keterbatasan kemampuan teknis.
Apabila kendala-kendala tersebut mampu diatasi oleh daerah, maka model analisis
I-O merupakan model yang canggih untuk merencanakan pembangunan ekonomi
suatu wilayah secara terintegrasi.
Keperluan menggunakan model I-O dalam perencanaan pembangunan
daerah semakin terasa penting jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah.
Daerah otonom memiliki kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan,
mengelola dan menggunakannya sendiri untuk pembiayaan pembangunan daerah.
Permasalahan yang sering muncul yaitu ketika pemerintah daerah otonom mulai
merencanakan anggaran pembangunan untuk tiap sektor. Penempatan anggaran
sektoral seringkali tidak sesuai dengan potensi sektor yang ada terutama terkait
dengan efek sebar yang dimiliki oleh suatu sektor dalam mewujudkan
pembangunan. Suatu sektor, meskipun dilihat dari kontribusinya terhadap
perekonomian wilayah sangat besar namun belum tentu memiliki efek sebar yang
besar pula dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi wilayah. Padahal dampak
pembangunan ekonomi suatu sektor tidak cukup hanya dilihat dari
kemampuannya menciptakan PDRB, namun yang lebih penting adalah bagaimana
sektor tersebut mampu menggerakkan seluruh roda perekonomian wilayah. Maka,
model I-O sangat diperlukan untuk memotret fenomena semacam ini.
28
2.5. Komoditas Unggulan
Penetapan komoditas unggulan nasional dan daerah merupakan langkah
awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk
meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi era
perdagangan bebas.
Menurut Syafaat dan Supena (2000) dalam Hendayana (2003) langkah
menuju efisiensi pembangunan pertanian dapat ditempuh dengan mengembangkan
komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi
penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan
dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi
dan sosial ekonomi petani di suatu wilayah, sedangkan dari sisi permintaan
komoditas unggulan dicirikan dari kuatnya permintaan di pasar baik pasar
domestik maupun internasional.
Setiap daerah memiliki karakteristik wilayah, penduduk dan sumberdaya
yang berbeda-beda. Hal ini membuat potensi masing-masing daerah akan menjadi
berbeda pula dan akan mempengaruhi arah kebijakan pengembangan kegiatan
ekonomi di wilayah tersebut. Penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah
menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas
tersebut mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama yang
dihasilkan oleh wilayah lain atau komoditas tersebut unggul secara komparatif
dan kompetitif serta memiliki keterkaitan antar sektor yang kuat sehingga
berpotensi sebagai motor penggerak perekonomian wilayah.
Pada lingkup kabupaten/kota, komoditas unggulan kabupaten diharapkan
memenuhi kriteria sebagai berikut : (1) mengacu kriteria komoditas unggulan
nasional; (2) memiliki nilai ekonomi yang tinggi di Kabupaten; (3) mencukupi
kebutuhan sendiri dan mampu mensuplai daerah lain/ekspor; (4) memiliki pasar
yang prospektif dan merupakan komoditas yang berdaya saing tinggi; (5)
memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri dan (6)
dapat dibudidayakan secara meluas di wilayah kabupaten (Sari, 2008).
Menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010b), kriteria komoditas unggulan
adalah sebagai berikut :
29
1. Harus mampu menjadi penggerak utama (prime mover) pembangunan
perekonomian. Dengan kata lain, komoditas unggulan tersebut dapat
memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi,
pendapatan dan pengeluaran.
2. Mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward
linkages) yang kuat, baik sesama komoditas unggulan maupun komoditas
lainnya.
3. Mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lain (competitiveness) di
pasar nasional maupun pasar internasional dalam harga produk, biaya
produksi dan kualitas pelayanan.
4. Memiliki keterkaitan dengan wilayah lain (regional linkages), baik dalam hal
pasar (konsumen) maupun pemasok bahan baku.
5. Memiliki status teknologi (state-of-the-art) yang terus meningkat, terutama
melalui inovasi teknologi.
6. Mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara optimal sesuai dengan skala
produksinya.
7. Dapat bertahan dalam jangka panjang tertentu, mulai dari fase kelahiran
(increasing), pertumbuhan (growth) hingga fase kejenuhan (maturity) atau
penurunan (decreasing).
8. Tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal.
9. Pengembangannya harus mendapatkan berbagai bentuk dukungan, misalnya
keamanan, sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, fasilitas
insentif/disinsentif dan lain-lain.
10. Pengembangannya berorientasi pada kelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan.
2.6. Isu Utama Kebijakan Pengembangan Wilayah
Pembangunan daerah merupakan suatu upaya untuk merubah tatanan
sosial, ekonomi dan budaya melalui berbagai rekayasa dan pengembangan demi
menuju ke arah tatanan wilayah yang lebih baik dan produktif di masa yang akan
datang. Perubahan pola dan tatanan perekonomian serta peradaban sangat
dipengaruhi oleh berbagai isu dan permasalahan strategis pembangunan, dimana
30
segenap isu strategis tersebut bukan saja dapat menjadi faktor pendorong
terjadinya pembangunan di suatu daerah atau wilayah tetapi juga dapat menjadi
faktor kendala pembangunan.
Melalui pemberian otonomi yang besar pada daerah, maka saat ini dan
masa yang akan datang keberhasilan pengembangan wilayah sangat tergantung
pada kebijaksanaan pemerintah daerah itu sendiri terutama dalam menyikapi
perubahan-perubahan yang terjadi. Oleh karena itu setiap pemerintah daerah harus
mampu mengembangkan visi pengembangan wilayahnya masing-masing yang
sesuai dengan nilai, arah dan tujuan yang mampu mengarahkan untuk tercapainya
masa depan yang baik bagi masyarakat di wilayah yang bersangkutan.
Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan dalam
rangka pengembangan wilayah maka proses pembangunan perlu diupayakan
melalui penguatan kapasitas lokal. Penguatan kapasitas lokal dapat dicapai dengan
memaksimalkan keunggulan lokal dan memberdayakan masyarakat yang tinggal
di wilayah lokal tersebut.
Pembangunan sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman bahan
makanan yang merupakan sektor basis dalam perekonomian daerah membutuhkan
apresiasi tinggi dari pemerintah daerah untuk memprioritaskan pembangunan
pertanian tanpa mengabaikan sinerginya dengan sektor lain. Untuk itu, kebijakan
pembangunan pertanian subsektor tanaman bahan makanan yang tepat di suatu
daerah sangat diperlukan sehingga nilai tambah yang dihasilkan dapat lebih
dipastikan akan memberikan manfaat yang maksimal bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Untuk meningkatkan nilai tambah pada pembangunan sektor pertanian,
perlu adanya reorientasi kebijakan pertanian dari kebijakan pembangunan
pertanian yang bersifat parsial dan eksploitatif ke arah kebijakan yang lebih
terintegrasi dengan memperhatikan keterkaitan antar sektor ekonomi dan dalam
perspektif pembangunan berwawasan lingkungan dengan memperhatikan daya
dukung lingkungan hidup (Hermanto, 2009).
Menurut Saragih (2010), pertanian merupakan sektor yang sangat penting
dalam perekonomian nasional sehingga pembangunan ekonomi abad ke-21 masih
tetap akan berbasis pertanian. Sejalan dengan tahapan-tahapan perkembangan
31
ekonomi maka kegiatan jasa dan bisnis yang berbasis pertanian juga akan
meningkat, sehingga agribisnis menjadi paradigma baru dalam pembangunan
ekonomi wilayah berbasis pertanian. Agribisnis merupakan cara baru melihat
pertanian yang dulu hanya dilihat secara sektoral sekarang menjadi intersektoral.
Agribisnis menunjukkan adanya keterkaitan antar subsistem agribisnis serta
keterkaitan horizontal dengan sistem atau subsistem lain di luar pertanian seperti
jasa perbankan, tranportasi, perdagangan, dll. Permasalahan yang terjadi di
Indonesia adalah sebagian besar agribisnis berada dalam skala usaha kecil
sehingga dibutuhkan upaya promosi melalui pengembangan organisasi ekonomi
agar mampu menangkap peluang bisnis dan menjadi mitra sejajar dengan bisnis-
bisnis besar lainnya, membenahi kualitas sumberdaya manusia dan teknologi.
Selain itu, diperlukan pula upaya menghilangkan sekat-sekat yang ada dalam
pengembangan agribisnis seperti sekat administrasi, organisasi dan program.
Dalam pelaksanaan globalisasi ekonomi sangat diperlukan kebijakan
pemerintah melalui seluruh perangkat yang ada di pusat maupun daerah dalam
memberikan perhatian yang lebih besar terhadap sektor pertanian. Dengan
membangun keterpaduan kegiatan pertanian di dalam era otonomi daerah
diharapkan peningkatan kegiatan agribisnis lebih dapat menghasilkan produk-
produk pertanian yang mempunyai daya saing sehingga secara langsung
memberikan dampak yang besar bagi perekonomian saat ini maupun di masa yang
akan datang (Anugrah, 2003).
Pembangunan dan pengembangan sektor pertanian khususnya subsektor
tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka diupayakan fokus pada
komoditas unggulan dengan memerlukan dukungan dari beberapa subsistem yang
potensial, antara lain subsistem hulu, subsistem usahatani, subsistem agribisnis
hilir dan subsistem jasa layanan pendukung serta diperlukan pula dukungan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM), sarana prasarana dan
kelembagaan dari masing-masing subsistem tersebut. Penentuan prioritas
pembangunan sektor pertanian tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan yang
mengakomodir keinginan (preferensi) dari para pengguna (stakeholders) melalui
AHP, dengan mengadopsi langkah-langkah yang dilakukan oleh Saaty (2008).
Hasil analisis ini menghasilkan suatu peringkat prioritas atau bobot dari tiap
32
alternatif keputusan atau pilihan yang akan diambil dalam penentuan kebijakan
sektor pertanian.
Analysis Hierarchy Process (AHP) dilakukan untuk mengetahui isu-isu
utama yang akan dijadikan prioritas dalam pengambilan keputusan pembangunan.
Tujuan utama yang ingin dicapai dengan metode AHP adalah menjaring persepsi
tentang prioritas dalam penentuan kebijakan pembangunan untuk mendukung
pengembangan wilayah.
Menurut Saaty (2008), model AHP ini banyak digunakan pada
pengambilan keputusan dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya
dan penentuan prioritas strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi
konflik. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input
utama berupa persepsi manusia. Suatu masalah yang kompleks dan tidak
terstruktur dengan hirarki dapat dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya,
kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki.
Pendekatan AHP merupakan salah satu alat untuk memilih alternatif
kebijakan serta dapat digunakan untuk menilai kesesuaian kebijakan. AHP dipilih
karena memiliki keunggulan dalam memecahkan permasalahan kompleks dimana
aspek atau kriteria dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria alternatif
yang dipilih cukup banyak. Selain itu, AHP juga mampu menghitung validasi
sampai pada pengambilan keputusan. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki
fungsional dengan input utama berupa persepsi manusia. Dengan hirarki suatu
masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dapat dipecahkan ke dalam
kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi
suatu bentuk hirarki.
Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan yang kompleks
yang tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian yang
tertata dalam suatu hirarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai
numerik, secara subjektif tentang arti pentingnya variabel tersebut dan secara
relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan kemudian
dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan
berperan untuk mempengaruhi hasil. (Marimin dan Maghfiroh, 2011)