ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi...

30
25 1.6. Novelty (Kebaruan) Co-management dikenal sebagai suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam yang diharapkan dapat mengakomodir semua kepentingan stakeholder. Berkaitan dengan itu kebaharuan (novelty) dari penelitian ini adalah menemukan faktor kunci yang paling kuat pengaruhnya terhadap keberhasilan co- management, dan menghasilkan konsep co-management untuk penyelesaian konflik dalam pengelolaan TNLL yang akhirnya diharapkan kelestarian taman nasional dan peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan taman nasional dapat tercapai. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Pelaksanaan kegiatan pembangunan memunculkan dua benturan kepentingan yakni pembangunan dari sisi ekonomi dan pelestarian lingkungan pada sisi yang lain. Kedua benturan kepentingan tersebut akan menimbulkan dampak positif maupun negatif, demikian pula halnya dalam upaya pengelolaan TNLL di satu sisi ingin melestarikan sumberdaya alam yang ada, tapi di sisi lain bagaimana masyarakat yang ada di sekitarnya dapat terpenuhi kebutuhannya, terutama mereka yang bersentuhan langsung dengan sumberdaya yang bernilai ekonomi dari kawasan taman nasional. Oleh sebab itu upaya pengelolaan TNLL secara berkelanjutan perlu dilaksanakan. Pembangunan berkelanjutan mulai dipopulerkan pada tahun 1987 melalui laporan Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama) yang digagas oleh World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland sehingga dikenal dengan Komisi Brundtland. Fokus dari laporan yang disusun oleh Komisi Brundtland (Brundtland Report) tersebut, adalah pembangunan berkelanjutan yakni pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan atau mengurangi peluang generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (Soemarwoto 2004). Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu konsep pembangunan yang bertujuan untuk mengelola atau memanfaatkan sumberdaya alam agar tidak mengalami kerusakan atau kepunahan. Konsep pembangunan berkelanjutan harus mengacu pada aspek ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya. Pada berbagai kajian disebutkan pula bahwa untuk mencapai pengelolaan

Upload: phamanh

Post on 15-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

25

1.6. Novelty (Kebaruan)

Co-management dikenal sebagai suatu bentuk pengelolaan sumberdaya

alam yang diharapkan dapat mengakomodir semua kepentingan stakeholder.

Berkaitan dengan itu kebaharuan (novelty) dari penelitian ini adalah menemukan

faktor kunci yang paling kuat pengaruhnya terhadap keberhasilan co-

management, dan menghasilkan konsep co-management untuk penyelesaian

konflik dalam pengelolaan TNLL yang akhirnya diharapkan kelestarian taman

nasional dan peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan taman

nasional dapat tercapai.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Pelaksanaan kegiatan pembangunan memunculkan dua benturan

kepentingan yakni pembangunan dari sisi ekonomi dan pelestarian lingkungan

pada sisi yang lain. Kedua benturan kepentingan tersebut akan menimbulkan

dampak positif maupun negatif, demikian pula halnya dalam upaya pengelolaan

TNLL di satu sisi ingin melestarikan sumberdaya alam yang ada, tapi di sisi lain

bagaimana masyarakat yang ada di sekitarnya dapat terpenuhi kebutuhannya,

terutama mereka yang bersentuhan langsung dengan sumberdaya yang bernilai

ekonomi dari kawasan taman nasional. Oleh sebab itu upaya pengelolaan TNLL

secara berkelanjutan perlu dilaksanakan.

Pembangunan berkelanjutan mulai dipopulerkan pada tahun 1987 melalui

laporan Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama) yang digagas oleh

World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia tentang

Lingkungan dan Pembangunan) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland

sehingga dikenal dengan Komisi Brundtland. Fokus dari laporan yang disusun

oleh Komisi Brundtland (Brundtland Report) tersebut, adalah pembangunan

berkelanjutan yakni pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini

tanpa mengorbankan atau mengurangi peluang generasi mendatang untuk

memenuhi kebutuhannya (Soemarwoto 2004).

Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu konsep pembangunan

yang bertujuan untuk mengelola atau memanfaatkan sumberdaya alam agar

tidak mengalami kerusakan atau kepunahan. Konsep pembangunan

berkelanjutan harus mengacu pada aspek ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya.

Pada berbagai kajian disebutkan pula bahwa untuk mencapai pengelolaan

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

26

sumberdaya alam yang berkelanjutan dibutuhkan sinergi yang baik antara fungsi

ekonomi, ekologi, dan sosial (Hanna et al. 1995; Sardjono 2004; Bohensky

2005). Sejalan dengan konsep kelestarian atau keberlanjutan, Suhendang (2004)

mengemukakan bahwa konsep pengelolaan sumberdaya hutan yang sustainable

mensyaratkan perlunya diperoleh manfaat terhadap fungsi-fungsi ekonomis

(produksi), ekologis (lingkungan), dan sosial dari sumberdaya hutan secara

optimal dan lestari.

Konsep pembangunan berkelanjutan akhir-akhir ini menjadi suatu konsep

pembangunan yang diterima olah semua negara di dunia untuk mengelola

sumberdaya alam agar tidak mengalami kehancuran dan kepunahan.

Konsep ini berlaku untuk seluruh sektor pembangunan termasuk pembangunan

sektor kehutanan. Konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multidisiplin

karena banyak aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara lain

aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya, hukum dan kelembagaan.

Barbier (1989) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan lebih

ditekankan pada pembangunan ekonomi dimana pembangunan ekonomi yang

berkelanjutan (suatainable economic development) adalah konsep pembangunan

yang merujuk pada tingkat interaksi yang optimal antara tiga sistem yaitu biologi,

ekonomi, dan sosial, yang dicapai melalui satu proses trade-offs yang adaptif dan

dinamis. Sementara Pearce (1986) menekankan konsep pembangunan

berkelanjutan pada adanya kompromi antara sistem-sistem atau antara

kebutuhan generasi kini dan generasi yang akan datang.

Selanjutnya Yakin (1997) mengemukakan bahwa pembangunan

berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang

tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi

kebutuhannya atau dengan kata lain pembangunan berkelanjutan merupakan

suatu proses perubahan dalam eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi

pengembangan teknologi, dan perubahan institusi, yang kesemuanya berada

dalam keselarasan dan meningkatkan potensi masa kini dan yang akan datang

untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan manusia. Dalam hal ini,

pembangunan ekonomi harus berjalan selaras dengan kepentingan lainnya

sehingga pertumbuhan ekonomi tidak hanya memenuhi kepentingan generasi

sekarang tetapi juga generasi yang akan datang.

Munasinghe dan McNelly (1992) mengidentifikasi tiga konsep dari

pembangunan berkelanjutan yakni konsep pendekatan ekonomi, ekologi, dan

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

27

sosial budaya. Aspek ekonomi pembangunan berkelanjutan dicapai apabila

dapat menghasilkan pendapatan yang maksimum dengan tetap

mempertahankan stok sumberdaya atau aset yang menghasilkan benefit

tersebut. Aspek ekologi menjelaskan stabilitas fisik dan biologi suatu sistem atau

ekosistem sementara aspek sosial budaya dari pembangunan berkelanjutan

menyangkut stabilitas sistem sosial budaya, termasuk mengurangi konflik yang

biasa terjadi.

Identifikasi tiga konsep pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan di

atas, sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan oleh

Munasinghe (1993) bahwa pembangunan berkelanjutan apabila memenuhi tiga

dimensi yaitu: secara ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial

berkeadilan, dan secara ekologis lestari (ramah lingkungan). Makna

pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi memberikan penekanan pada

pentingnya menjamin dan meneruskan kepada generasi mendatang sejumlah

kuantitas modal alam (natural capital) yang dapat menyediakan suatu hasil

berkelanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan termasuk estetika. Hal lain

yang tidak kalah pentingnya adalah konsep pemanfaatan sumberdaya yang

berkelanjutan (sustainable use of resources) yang bermakna bahwa eksploitasi

atau pemanfaatan sumberdaya tidak melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau

dihasilkan dalam kurun waktu yang sama.

2.2. Taman Nasional MacKinnon et.al (1993) mengemukakan bahwa taman nasional adalah

kawasan pelestarian alam yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai

alam yang spesifik dengan kepentingan pelestarian tinggi, potensi objek rekreasi

yang besar, mudah dicapai dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah

tersebut. Sementara IUCN (1994) merumuskan bahwa taman nasional adalah

areal yang cukup luas, dimana ada satu atau beberapa ekosistem tidak berubah

oleh kegiatan eksploitasi atau pemilikan lahan spesies flora dan fauna, kondisi

geomorfologi dan kondisi habitatnya memiliki nilai landskape alam dengan

keindahan tinggi.

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya merumuskan bahwa taman

nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli,

dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam.

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

28

Fungsi pokok taman nasional adalah: 1) sebagai kawasan perlindungan; 2)

sebagai kawasan untuk mempertahankan keragaman jenis tumbuhan dan satwa;

dan 3) sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam

hayati dan ekosistemnya.

Pengelolaan kawasan taman nasional, dilakukan dengan sistem zonasi

agar kawasan tersebut dapat dikelola dengan baik. Sistem zonasi yang dimaksud

adalah zona inti, zona pemanfaatan, dan zona rimba atau zona lainnya yang

ditetapkan berdasarkan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya. Untuk zona inti tidak diperkenankan adanya campur tangan

manusia baik dari pihak pengelola maupun pengunjung karena. Setiap kegiatan

atau aktivitas makhluk hidup pada zona inti dibiarkan berjalan dengan sendirinya.

Pada zona rimba, campur tangan manusia secara terbatas diperkenankan

misalnya pendidikan, penelitian, wisata terbatas serta kegiatan yang menunjang

budidaya. Sedangkan pada zona pemanfaatan, diperkenankan adanya kegiatan

pendidikan, penelitian, penunjang budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa,

serta wisata alam atau ekoturisme (PP No.68 tahun 1998 tentang Kawasan

Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam).

Berkaitan dengan pengelolaan taman nasional maka masyarakat atau

pihak swasta diperkenankan untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk kemitraan

dengan membangun sarana dan prasarana penunjang wisata misalnya bungalow

atau pusat penjualan cinderamata. Namun demikian sarana dan prasarana yang

dibangun harus menggunakan pola arsitektur setempat serta bahan-bahan yang

ramah lingkungan serta diupayakan untuk tidak terjadinya kerusakan alam.

Antara kawasan taman nasional dengan kawasan pemukiman biasanya

dipisahkan oleh suatu kawasan yang dikenal dengan daerah penyangga. Daerah

penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga Kawasan Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian Alam dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang

berasal dari luar dan atau dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan

perubahan keutuhan dan atau perubahan fungsi kawasan (PP No. 68 tahun

1998)

Alikodra (1998) mengemukakan pula bahwa daerah penyangga adalah

wilayah yang berada di luar kawasan konservasi, baik sebagai kawasan hutan,

tanah negara bebas maupun tanah negara yang dibebani hak dan diperlukan

serta mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi. Pada prinsipnya daerah

penyangga dapat berfungsi sebagai penyangga terhadap berbagai macam

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

29

kegiatan yang dapat merusak potensi sumberdaya alam taman nasional dan juga

berfungsi untuk melindungi manusia dari binatang liar pemangsa. Daerah

penyangga taman nasional adalah suatu kawasan yang berfungsi melindungi

taman nasional dari gangguan manusia atau juga melindungi kehidupan manusia

dari gangguan yang berasal dari taman nasional.

Selanjutnya MacKinnon et al. (1993) memberikan batasan bahwa daerah

penyangga merupakan kawasan yang berdekatan dengan kawasan yang

dilindungi dan berfungsi sebagai lapisan perlindungan tambahan bagi kawasan

yang dilindungi dan sekaligus bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Daerah

penyangga bertujuan untuk: 1) menyelamatkan potensi kawasan dari berbagai

macam gangguan baik oleh manusia, ternak ataupun pencemaran lingkungan; 2)

mengembangkan dan membina hubungan tradisional antara masyarakat dengan

alam, sehingga tercipta adanya integrasi antara manusia dan alam pada kondisi

yang lebih baik; 3) memberikan perlindungan terhadap masyarakat daerah

pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dari gangguan satwa liar yang

berasal dari kawasan konservasi; 4) meningkatkan produktivitas lahan melalui

pola usahatani yang lebih intensif; 5) meningkatkan kesadaran dan partisipasi

masyarakat terhadap upaya pelestarian alam dan lingkungan; 6)

mengembangkan jenis-jenis kebutuhan pokok yang berasal dari kawasan

konservasi dengan pengembangan pola budidaya baik untuk protein hewani

maupun protein nabati; 7) mengembangkan sistem jasa yang berkaitan dengan

kegiatan pengelolaan kawasan konservasi.

MacKinnon et al. (1993) mengemukakan pula bahwa dasar umum yang

digunakan dalam penetapan suatu kawasan sebagai taman nasional adalah: 1)

karakteristik atau keunikan ekosistem, 2) mempunyai keanekaragaman spesies

atau spesies khusus yang “bernilai”, 3) mempunyai landskap dengan ciri geofisik

atau estetika yang “bernilai”, 4) mempunyai fungsi perlindungan hidrologi (tanah,

air, iklim), 5) mempunyai sarana untuk rekreasi alam atau kegiatan wisata dan 6)

mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan

megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun 1998 tentang KSA

KPA pada Pasal 31 dikatakan bahwa suatu kawasan ditunjuk sebagai suatu

kawasan taman nasional apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

1) kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin

kelangsungan proses ekologis secara alami;

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

30

2) memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis

tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang

masih utuh dan alami;

3) memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;

4) memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai

pariwisata alam; dan

5) merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona

pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena kepentingan

rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan

dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati

dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Umar (2004) mengemukakan

bahwa CSIAD-CP telah memfasilitasi pembentukan Forum Konservasi sebagai

Forum Wilayah Penyangga Taman Nasional Lore Lindu pada lima wilayah

kecamatan (Kecamatan Palolo, Kecamatan Kulawi, Kecamatan Lore Utara,

Kecamatan Lore Tengah, dan Kecamatan Lore Selatan) dimana TNLL berada.

Persoalan penting yang perlu diketahui menyangkut daerah penyangga adalah

berimpitnya batas TNLL dengan halaman rumah penduduk pada beberapa

daerah yang berbatasan langsung dengan TNLL sehingga penetapan daerah

penyangga pada wilayah tersebut dibutuhkan fleksibilitas posisi atau situasi

daerah penyangga relatif terhadap kawasan konservasi (Ebregt dan Greve

2000).

2.3. Konflik dalam Pengelolaan Taman Nasional

Paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang lebih menitikberatkan

pada aspek ekologi semata, tanpa memperhatikan kepentingan sosial ekonomi

masyarakat di sekitarnya menghasilkan kebijakan pengelolaan kawasan

konservasi yang salah arah (misleading policy). Hal ini disebabkan karena

pengelolaan kawasan konservasi yang sentralistik dengan perencanaan dan

keputusan-keputusan yang bersifat topdown akibatnya nilai dan kepentingan dari

pengelolaan kawasan konservasi tidak searah dengan nilai dan kepentingan

masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Implikasi dari kondisi ini adalah

terjadinya ketidakstabilan yang ditandai dengan terjadinya konflik kepentingan

antara pengelola kawasan dengan stakeholder lainnya terutama komunitas-

komunitas lokal yang berada di sekitar kawasan tersebut.

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

31

Fisher et al. (2001) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua

pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki

sasaran-sasaran yang satu sama lain tidak sejalan. Dikemukakan pula bahwa

konflik timbul karena adanya kesenjangan status sosial, akses yang tidak

seimbang terhadap sumberdaya, kekuasaan yang tidak seimbang yang

kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran,

kemiskinan, penindasan, dan kejahatan.

Berkaitan dengan itu, Priscoli (1997) membedakan lima penyebab utama

terjadinya konflik, yakni: 1) data, 2) kepentingan, 3) nilai, 4) hubungan, dan 5)

struktural. Konflik akibat data disebabkan oleh keterbatasan informasi, informasi

yang keliru, interpretasi yang berbeda serta perbedaan pandangan terhadap

data. Konflik kepentingan terjadi karena adanya kepentingan atau kebutuhan

yang saling bertentangan atau tidak cocok diantara pihak-pihak yang bertikai.

Konflik nilai terjadi karena adanya penggunaan kriteria yang berbeda untuk hasil

(outcome) yang disebabkan oleh perbedaan ideologi, kepercayaan agama,

pandangan hidup, dan gaya hidup. Sementara itu, konflik bisa juga karena

hubungan-hubungan yang tidak harmonis, biasanya menyangkut emosi yang

kuat, komunikasi yang mandeg, dan prilaku negatif yang terus berulang. Konflik

struktural berkaitan dengan bagaimana sesuatu yang di set-up, batasan peran,

kendala waktu dan ruang, serta ketimpangan dalam kekuatan/kekuasaan atau

kontrol terhadap sumberdaya.

Winardi (1994), membedakan tiga wujud konflik, yakni konflik bersifat

tertutup (latent), mencuat (emerging) atau terbuka (manifest). Konflik laten

dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya

berkembang, atau belum terangkat ke puncak-puncak kutub konflik. Seringkali

salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik. Konflik mencuat

adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi,

diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses

penyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka merupakan

konflik dimana pihak-pihak terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi,

mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan

buntu.

Selanjutnya Tadjudin (2000) mengemukakan bahwa sumber konflik

adalah karena adanya perbedaan pada berbagai tataran yakni: 1) perbedaan

persepsi, 2) perbedaan pengetahuan, 3) perbedaan tata nilai, 4) perbedaan

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

32

kepentingan, dan 5) perbedaan akuan hak kepemilikan. Kemudian Fuad dan

Maskanah (2000) berpendapat bahwa konflik adalah benturan yang terjadi antara

dua pihak atau lebih yang disebabkan oleh perbedaan nilai, status, kekuasaan,

dan kelangkaan sumberdaya, dimana masing-masing pihak mempunyai

kepentingan yang sama terhadap sumberdaya. Fuad dan Maskanah (2000)

menyatakan pula bahwa akhir-akhir ini wujud konflik sumberdaya alam telah

menjadi konflik yang mencuat, tumpang tindihnya kepentingan pada suatu

wilayah hutan yang sama pada akhirnya menimbulkan konflik yang tidak

terhindarkan.

Terkait dengan konflik, maka konflik antara pengelola kawasan

konservasi dengan masyarakat ditandai dengan sifat benci, saling tidak percaya

(mistrust), dan terjadinya hambatan-hambatan psikologis dan komunikasi

diantara mereka (miscommunication each others). Konflik yang tidak segera

ditangani akan mencuat dan akhirnya akan menjadi konflik terbuka (open

conflict). Konflik ini ditandai dengan terjadinya benturan-benturan fisik,

pengambilalihan otoritas kawasan yang disertai dengan ”pencurian” dan bahkan

”penjarahan” besar-besaran terhadap sumberdaya yang ada di dalam kawasan.

Salah satu aspek penting dalam menganalisis dinamika konflik adalah

perbedaan kekuatan (power) yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berkonflik.

Kekuatan yang dimiliki pihak pengelola kawasan konservasi dalam

mempertahankan kawasannya karena adanya topangan legal, dukungan dari

pihak-pihak keamanan, dukungan dana, serta tingkat pendidikan. Sementara itu,

masyarakat setempat biasanya mengandalkan pada alasan kesejarahan,

kedekatan sumberdaya kawasan dengan mereka, dukungan dari pihak-pihak luar

yang peduli dengan kehidupan masyarakat.

Wilardjo dan Budi (2000) mengemukakan bahwa perubahan dan

pergeseran kekuatan yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berkonflik akan

berpengaruh terhadap intensitas konflik. Salah satu faktor eksternal yang paling

besar pengaruhnya terhadap terjadinya perubahan dan pergeseran kekuatan

antara pihak-pihak yang berkonflik karena adanya perubahan iklim sosial,

ekonomi, dan politik (reformasi). Dalam konteks pengelolaan kawasan

konservasi di Indonesia, keberanian komunitas lokal dalam melakukan

penjarahan massal atas sumberdaya di dalam kawasan merupakan indikasi

meningkatnya power yang dimiliki masyarakat di satu sisi dan di sisi lain adalah

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

33

melemahnya power yang dimiliki oleh pihak pengelola kawasan, akhirnya

memicu intensitas terjadinya konflik pengelolaan kawasan.

2.4. Teori Co-management

Borrini-Feyerabend et al. (2000), memberikan pengertian bahwa co-

management adalah suatu kondisi dimana dua atau lebih stakeholder

bernegosiasi, menetapkan dan memberikan garansi diantara mereka serta

membagi secara adil mengenai fungsi pengelolaan, hak dan tanggungjawab dari

suatu daerah teritori atau sumberdaya alam tertentu. Stakeholder adalah mereka

yang terlibat dan terpengaruh oleh kebijakan.

Conservation Union dalam Resolusinya tahun 1996 menjelaskan dasar

dari co-management, atau joint participatory atau multistakeholder management

adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna

sumberdaya, lembaga non-pemerintah dan kelompok yang berkepentingan

lainnya dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang

kewenangan dan tanggungjawab untuk mengelola daerah spesifik atau

sumberdaya (IUCN 1997).

Knight dan Tighe (2003) mendefinisikan bahwa co-management adalah

suatu bentuk kerjasama yang dikembangkan bersama oleh pemerintah dan

masyarakat dalam menjalankan suatu program pengelolaan sumberdaya alam.

Konsep co-management antara masyarakat dan pemerintah merupakan mitra

yang bekerja bersama-sama dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu

kawasan. Pengembangan konsep kerjasama antara pemerintah dan masyarakat

dalam menjalankan suatu program pengelolaan sumberdaya alam, memiliki

peran dan fungsi yang jelas antara masing-masing pihak. Co-management dalam

pengelolaan sumberdaya alam adalah suatu bentuk pengelolaan sumberdaya

yang kegiatannya didasarkan pada kerjasama antara masyarakat dan

pemerintah yang berorientasi pada optimalisasi pencapaian tujuan organisasi.

Co-management tidak saja dilihat dari hubungan kerjasama antara pemerintah

dengan masyarakat, namun lebih luas lagi pada lingkup stakeholders dalam

pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan bersama.

Selanjutnya Claridge dan O’Callaghan (1995) mengemukakan bahwa co-

management adalah partisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya oleh

masyarakat baik secara individu maupun kelompok yang mempunyai keterkaitan

atau kepentingan dengan sumberdaya tersebut. Dikemukakan pula bahwa ada

tiga elemen penting dari co-management yakni:

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

34

1) Pembagian wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan

sumberdaya berdasarkan rencana yang dipahami dan disetujui oleh

semua pihak;

2) Tujuan sosial, budaya, dan ekonomi merupakan bagian yang terintegrasi

dari strategi pengelolaan; dan

3) Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya merupakan tujuan utama.

Berkaitan dengan itu Borrini-Feyerabend et al. (2000) mengemukakan

bahwa co-management memiliki pula prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) Mengakui perbedaan nilai, kepentingan dan kepedulian para pihak yang

terlibat dalam mengelola wilayah atau kesatuan sumberdaya alam, baik di

luar maupun di dalam komunitas lokal;

2) Terbuka bagi berbagai model hak pengelolaan sumberdaya alam selain

pengelolaan yang secara legal telah ada dimiliki oleh pemerintah atau

pihak yang berkepentingan;

3) Mengusahakan terciptanya transparansi dan kesetaraan dalam

pengelolaan sumberdaya alam;

4) Memperkenankan masyarakat sipil untuk mendapatkan peranan dan

tanggungjawab yang lebih nyata;

5) Mendayagunakan dengan saling memperkuat kapasitas dan keunggulan

komparatif dari berbagai aktor yang terlibat;

6) Lebih menghargai dan mementingkan proses ketimbang hasil produk fisik

jangka pendek; dan

7) Memetik pelajaran melalui kaji ulang secara terus menerus dan

memperbaiki pengelolaan sumberdaya alam;

Co-management adalah suatu kesepakatan dimana tanggung jawab

pengelolaan sumberdaya dibagi antara pemerintah di satu sisi dan stakeholders

di sisi lain dengan tujuan untuk menjaga integritas ekologi sumberdaya alam

(National Round Table on the Environment and the Economy = NRTEE 1999).

Co-management memiliki pula beberapa prinsip dasar yakni: 1) pemberdayaan

dan pembangunan kapasitas, 2) pengakuan terhadap kearifan dan pengelolaan

tradisional, 3) perbaikan hak masyarakat lokal, 4) pembangunan berkelanjutan,

5) akuntabel dan transparan, 6) pelestarian lingkungan sumberdaya, 7)

pengembangan mata pencaharian, 8) keadilan, dan 9) keterpaduan (Knight &

Tighe 2003).

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

35

Selanjutnya Sen dan Nielsen (1996) mengajukan lima tahapan co-

management yakni:

1) Instruktif; pada tipe co-management ini hampir sama dengan pengelolaan oleh

pemerintah. Perbedaannya sedikit sekali yakni adanya sedikit dialog antara

pemerintah dan masyarakat akan tetapi proses dialog yang terjadi bisa

dipandang sebagai suatu instruksi karena pemerintah lebih dominan

perannya, dimana pemerintah menginformasikan kepada masyarakat

rumusan-rumusan pengelolaan sumberdaya alam yang pemerintah

rencanakan untuk dilaksanakan;

2) konsultatif; pada tipe ini ada mekanisme yang mengatur sehingga pemerintah

berkonsultasi dengan masyarakat, hanya saja sekalipun masyarakat bisa

memberikan berbagai masukan kepada pemerintah, keputusan bahwa apakah

masukan itu harus digunakan tergantung sepenuhnya pada pemerintah, atau

dengan kata lain pemerintahlah yang berperan dalam merumuskan

pengelolaan sumberdaya alam;

3) kooperatif; tipe ini menempatkan masyarakat dan pemerintah pada posisi yang

sama; dengan demikian semua tahapan manajemen sejak pengumpulan

informasi, perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi dan pemantauan

institusi co-management menjadi tanggung jawab kedua belah pihak. Pada

bentuk ini masyarakat dan pemerintah adalah mitra yang sama

kedudukannya;

4) pendampingan atau advokasi; pada bentuk ini, peran masyarakat cenderung

lebih besar dari peran pemerintah. Masyarakat memberi masukan kepada

pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan. Masyarakat dapat pula

mengajukan usul rancangan keputusan yang hanya tinggal dilegalisir oleh

pemerintah. Kemudian pemerintah mengambil keputusan resmi berdasarkan

usulan atau inisiatif masyarakat. Pemerintah lebih banyak bersifat

mendampingi masyarakat atau memberikan advokasi kepada masyarakat

tentang apa yang sedang dikerjakan oleh mereka; dan

5) informatif; pada bentuk ini, peran pemerintah makin berkurang dan di sisi lain

peran masyarakat lebih besar dibandingkan dengan empat bentuk co-

management sebelumnya. Dalam hal ini pemerintah hanya memberikan

informasi kepada masyarakat tentang apa yang sepantasnya dikerjakan.

Dalam kontribusi yang lebih nyata, pemerintah menetapkan delegasinya untuk

bekerja- sama dengan masyarakat dalam seluruh tahapan pengelolaan

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

36

sumberdaya alam, mulai dari pengumpulan data, perumusan kebijakan,

implementasi, serta pemantauan dan evaluasi.

Hasil kerjasama tersebut dilaporkan atau diinformasikan oleh delegasi

pemerintah kepada pemerintah. Dari kelima kategori co-management tersebut

disajikan pada Gambar 2.

Fisher (1995) menekankan pula bahwa konsep dasar dari co-

management yang berkaitan dengan sektor kehutanan adalah tercapainya

kesepakatan tentang pengelolaan hutan antara pihak pengelola dengan

masyarakat lokal. Masyarakat lokal berperan dalam hal pengelolaan dan

perlindungan, sebagai imbalannya, masyarakat lokal mempunyai akses untuk

memanfaatkan hasil-hasil hutan, dan memperoleh keuntungan dengan

peningkatan pendapatan. Penyederhanaan dari definisi co-management oleh

Fisher dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2 Tahapan dari Co-management (Sen & Nielsen1996; Pomeroy 2001).

Nationa

Gambar 3 Prinsip Dasar dari Co-management (Fisher 1995).

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan maka dapat

diartikan bahwa pengelolaan dengan pola co-management untuk kawasan

Stated-based management

Community-based management

Co-management

Instructive – Consultative – Cooperative – Advisory -Informative

National Park

Authority

CONSENSUS Access/benefit/income

Responsible for

protection

COLLABORATIVE MANAGEMENT

Local People

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

37

konservasi adalah kemitraan di antara berbagai pihak yang berkepentingan yang

menyetujui berbagi fungsi, wewenang dan tanggung-jawab dalam pengelolaan

suatu kawasan konservasi. Co-management berbeda dengan pengelolaan

partisipatori lainnya atau dengan pengelolaan berbasis masyarakat (community-

based resources management), karena menuntut adanya kesadaran dan

distribusi tanggung-jawab pemerintah secara formal (Borrini-Feyerabend et al.

2000). Dalam konteks ini, konsultasi masyarakat dan perencanaan partisipatori

ditujukan untuk menetapkan bentuk-bentuk peranserta yang lebih tahan lama,

terukur dan setara dengan melibatkan seluruh kelompok yang berkepentingan

terkait dan sah (legitimate) dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya alam.

Co-management atau pengelolaan kolaboratif (collaborative mana-

gement), disebut juga sebagai pengelolaan kooperatif (cooperative

management), round-table management, share management, pengelolaan

bersama (joint management) atau pengelolaan multi-pihak (multistakeholder

management). Co-management telah diterapkan dalam bidang perikanan, taman

nasional, kawasan dilindungi (protected area), kehutanan, satwa liar (wildlife),

lokasi pengembalaan, dan sumberdaya air (Conley & Moote 2001).

Co-management dalam mengelola kawasan konservasi di Indonesia

memang diperlukan, karena menyangkut kompleksnya sub-sistem ekologi,

budaya, ekonomi dan politik dengan keterkaitan berbagai isu dan keterlibatan

banyak kelompok kepentingan dalam masing-masing subsistemnya. Co-

management menjadi penting ketika tidak adanya kesepakatan yang dapat

dibangun secara sederhana dan universal untuk mendapatkan solusi terbaik dari

konflik yang terjadi. Kerjasama dari seluruh stakeholder dalam pengelolaan

kawasan konservasi akan meringankan beban biaya yang dibutuhkan karena

para pihak yang terkait akan saling bahu membahu menyumbangkan

sumberdaya yang dimilikinya berupa pengetahuan, tenaga, informasi maupun

finansial.

Transformasi pola pengelolaan sumberdaya alam oleh negara, swasta,

dan kemudian kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat lokal agaknya

merupakan tuntutan universal, yang berlaku bukan cuma di Indonesia. Di India

telah terjadi empat tahap evolusi pola pengelolaan sumberdaya alam, khususnya

hutan, dari kolonialisme, komersialisme, konservasi, dan sekarang kolaborasi,

sementara di Nepal terjadi tiga tahap evolusi yakni privatisasi, nasionalisasi, dan

populisme (David et al. 2003). Bahkan pergeseran juga terjadi di beberapa

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

38

negara bagian Amerika Serikat tempat asal muasal pengelolaan eksklusif

kawasan konservasi yang mulai bergeser menuju co-management. Peranserta

masyarakat yang meluas dan tidak sekedar simbolik ternyata menunjukkan hasil

yang baik dimana produktifitas tercapai tanpa menyampingkan kepentingan

kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat lokal. Pemerintah di Negara

India dan Nepal, berkeyakinan bahwa masyarakat lokal berkemampuan, memiliki

pengetahuan, dan kearifan yang handal untuk mengelola sumberdaya alam

secara produktif dan lestari. Kolaborasi dengan masyarakat lokal merupakan

kebutuhan dan keharusan, karena tujuan produksi dan pelestarian dapat dicapai

secara lebih efektif dan pada saat yang sama tercipta suatu mekanisme resolusi

konflik yang interaktif dan dialogis (Means et al. 2002).

Beberapa contoh co-management yang telah berhasil dilaksanakan

dalam pengelolaan taman nasional ( Merrill dan Effendi 2001) diantaranya

adalah:

1. Co-management di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara yang wadahnya

dikenal dengan DPTNB (Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken).

Salah satu hasil rumusannya adalah penentuan tarif masuk TN Bunaken dan

pendistribusian hasil pungutan tarif masuk tersebut yang diperkirakan sekitar

Rp750 juta per tahun. Pendistribusian tersebut yakni: 5% untuk dana

pembangunan propinsi, 5% untuk pembiayaan pembangunan daerah-kota,

5% untuk pusat yang diperuntukkan untuk pembangunan KSDA dan

ekosistemnya melalui Dephut cq. Ditjen PKA), dan 85% untuk dana

pendukung pengelolaan TN Bunaken.

2. Co-management di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur yang dikenal

dengan Mitra Kutai, berhasil memberikan kontribusi bantuan keuangan bagi

pengelolaan TN Kutai melalui rencana kerja tahunan senilai US$ 100.000 –

US$150.000 per tahun.

3. Co-management di Great Barrier Reef Marine Park, Australia yang dikelola

oleh badan otorita khusus dengan mempekerjakan ratusan orang dan

memperoleh lebih dari 1 (satu) juta Dollar Australia setiap tahunnya. Dalam

pengelolaan taman nasional ini Kepala Taman Nasional selalu berkonsultasi

dengan kelompok-kelompok yang berkepentingan termasuk masyarakat di

sekitar taman nasional yang kehidupannya tergantung dari sumberdaya

taman nasional tersebut. Selain itu workshop diantara para kelompok yang

berkepentingan sering pula dilaksanakan untuk menyetujui keputusan

Page 15: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

39

pengelolaan yang spesifik seperti pengaturan peruntukan (zoning).

Keberhasilan co-management tersebut akhirnya diikuti oleh Kakadu National

Park dan Coburg National Park.

Gagasan dasar dari Acheson (1989) dapat dijadikan acuan mengapa

pengelolaan kawasan konservasi membutuhkan pengelolaan yang

bergotongroyong. Menurut Acheson konsep pengelolaan sumberdaya publik,

seperti halnya kawasan konservasi menunjukkan kombinasi derajat intensitas

keterlibatan pemerintah di satu pihak dan masyarakat di pihak lain serta dampak

yang ditimbulkan.

Atas dasar kombinasi tersebut, dihasilkan 4 alternatif pola pengelolaan

sumberdaya alam sebagai berikut:

Pertama, apabila masyarakat lokal dan pemerintah bersama-sama tidak

melakukan kontrol secara intensif terhadap pengelolaan sumberdaya, akan

menjadikan sumber daya tersebut didayagunakan secara terbuka sebagaimana

halnya suatu sumberdaya terbuka (open access). Dalam pola pengelolaan yang

tidak jelas pengelolanya justru akan mengundang terjadinya the tragedy of the

common yang berujung pada pemusnahan sumberdaya tersebut, karena

adanya pemanfaatan yang berlebihan oleh manusia melampaui daya dukung.

Kedua, apabila pemerintah melakukan kontrol mutlak terhadap pengelolaan

sumberdaya, maka akan menghasilkan pola pengelolaan berbasis pemerintah

(state-based management). Pola inilah yang selama ini berlangsung di

Indonesia. Dalam pola ini, peranan masyarakat dikesampingan, kalau pun ada

hanya bersifat simbolik dan dengan demikian masyarakat kehilangan rasa

memiliki dan rasa bertanggung-jawab. Padahal masyarakat juga mempunyai

kapasitas tertentu dalam mengelola sumberdaya. Karena itu, masyarakat merasa

tidak mempunyai kepentingan membantu pemerintah melakukan upaya-upaya

pemeliharaan sumberdaya dan disamping itu pemerintah juga mempunyai

keterbatasan kapasitas mengelola. Pada akhirnya, pola ini akan terjebak pada

pola pertama.

Ketiga, apabila masyarakat melakukan kontrol sepenuhnya terhadap

pengelolaan sumberdaya, maka akan menghasilkan pola pengelolaan berbasis

masyarakat (community-based management). Masyarakat itu sendiri sebenarnya

terdiri dari fragmen-fragmen yang cukup luas, ada masyarakat pengguna dan

ada masyarakat di luar pengguna. Ketika masyarakat pengguna melakukan

tindakan pengelolaan yang arif bijaksana, seringkali terdapat gangguan dari

Page 16: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

40

masyarakat lain di luar teritorialnya. Jika intensitas gangguan itu meningkat,

masyarakat pengguna tidak mampu lagi menanggulanginya secara berdikari

serta ditambah dengan tidak ada dukungan kebijakan dari pemerintah dan pada

akhirnya pola ini pun akan kembali terperangkap pada pola pertama.

Keempat, apabila kontrol pemerintah dan masyarakat itu sangat besar dan

dalam posisi yang setara dan seimbang dalam proses pengambilan keputusan,

maka akan menghasilkan pola pengelolaan kolaboratif atau co-management.

Secara empirik, inilah pola pengelolaan yang ideal. Co-management merupakan

pilihan pola pengelolaan kawasan konservasi yang paling masuk akal. Pilihan ini

akan menciptakan perimbangan kontrol masyarakat dan pemerintah terhadap

sumberdaya kawasan konservasi, yang memungkinkan kawasan konservasi

tidak terdegradasikan menjadi suatu sumberdaya terbuka.

Borrini-Feyerabend et al. (2000) secara gamblang memberikaan

argumentasi mengapa co-management penting dilaksanakan: 1) Pengelolaan

yang efektif memerlukan adanya pengetahuan, kemampuan, sumberdaya dan

keunggulan komparatif dari berbagai pihak yang berkepentingan dan hanya

melalui co-management hal tersebut dapat dipenuhi, 2) Kebutuhan kesetaraan,

keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat

adalah pembayar pembangunan konservasi, sehingga wajar kalau

diperhitungkan dalam pengambilan keputusan, 3) Keinginan untuk mengakhiri

konflik di antara para pihak berkepentingan tanpa adanya pihak yang dikalahkan

dalam pengelolaan sumberdaya alam, 4) Interaksi antara masyarakat dan

lingkungan adalah bagian dari alam dan keanekaragaman hayati, sehingga

keduanya tidak dapat dipisahkan, 5) Seiring dengan tuntutan akan kemandirian

daerah dalam mengurus dan mengelola sumberdaya alam mereka dalam

semangat otonomi daerah dan desentralisasi, 6) Sebagai salah satu cara untuk

mencapai pengelolaan yang profesional, mandiri dan bertanggungjawab pada

publik, 7) Otoritas tunggal terbukti tidak efektif dalam mengelola kawasan

konservasi, khususnya dalam mengurangi kerusakan kawasan dan menggalang

dukungan para pihak lokal dalam pengelolaan kawasan konservasi, 8) Otoritas

tunggal yang sentralistik berada pada posisi terjepit oleh realitas lokal mengenai

upaya pemda dan masyarakat lokal meningkatkan kesejahteraan serta

pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai penerima manfaat jasa ekologis dari

kawasan konservasi, para pihak lokal turut bertanggungjawab untuk menjaga

Page 17: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

41

dan melestarikan kawasan konservasi yang dapat dibangun dengan pola co-

management.

Nikijuluw (1999) mengemukakan bahwa pada dasarnya tujuan utama

yang ingin dicapai dari setiap pelaku dalam pengelolaan sumberdaya melalui co-

management adalah pengelolaan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil

dan merata. Tujuan utama tersebut menjadi lebih konkrit dan lebih nyata ukuran

keberhasilannya bila dikaitkan dengan beberapa tujuan sekunder sebagai

berikut:

1) Co-management merupakan suatu cara untuk mewujudkan proses

pengambilan keputusan secara desentralisasi sehingga dapat memberikan

hasil yang lebih efektif

2) Co-management adalah mekanisme atau cara untuk mengurangi konflik antar

masyarakat melalui proses demokrasi partisipatif

3) Co-management mempunyai tugas-tugas dalam hal perumusan kebijakan,

estimasi potensi sumberdaya, penentuan hak-hak pemanfaatan, pengaturan

cara-cara eksploitasi, pengaturan pasar, pemantauan, pengendalian, dan

penegakan hukum.

Berkaitan dengan itu ada beberapa karakteristik dari keberhasilan co-

management yakni (Claridge & O”Callaghan 1995; Alikodra 2004):

1) Keuntungan integrasi konservasi dan pembangunan diakui oleh

pemerintah dan stakeholders lain

2) Pemerintah mendukung dan memfasilitasi secara aktif ”involment”

masyarakat setempat dalam manajemen sumberdaya alam dan

konservasi

3) Para pihak memberikan perhatian dan berpartisipasi secara penuh

4) Terselenggaranya ”appropriate sharing” (sumberdaya, informasi,

kedudukan/kemampuan, dan keputusan)

5) Para pihak mengerti secara penuh dan saling percaya, dan mempunyai

peran yang jelas

6) Akar permasalahan dimengerti dan disetujui untuk ditindak lanjuti

7) Keuntungan yang jelas diantara para pihak

8) Para pihak memiliki kemampuan yang cukup (skills, financial, capability).

The Worldwide Fund for Nature of Indonesia (WWF-Indonesia) telah

melakukan upaya konservasi dengan pendekatan co-management dan

mendorong mutual respect, mutual trust, dan mutual benefit dalam pengelolaan

Page 18: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

42

sumberdaya alam diantara para pihak. Pengelolaan kawasan konservasi dengan

pola co-management melibatkan para stakeholder inti dengan menganut prinsip

kesetaraan, keterbukaan, dan partisipatif (WWF-Indonesia 2008). Pada

prinsipnya ada dua aspek esensial dari pendekatan co-management:

menciptakan hubungan antara konservasi dan pembangunan, dan menyatakan

pentingnya melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dalam mengelola taman

nasional sebagai sumber perolehan manfaat ekonomi sekaligus

mempertahankan keberlanjutan fungsi taman nasional untuk konservasi,

perlindungan, dan pemanfaatan.

2.5. Konsep untuk Mengembangkan Co-management

2.5.1. Konsep Partisipasi

Terminologi dari partisipasi memiliki arti yang luas. Berdasarkan

pandangan politik partisipasi berkaitan dengan keterlibatan seseorang dalam

proses pengambilan keputusan, sedangkan dari sudut pandang sosial partisipasi

merupakan cerminan interaksi diantara kelompok-kelompok masyarakat (Mueller,

1975). Sebagian ahli mendefenisikan partisipasi sebagai keikutsertaan

masyarakat, baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan

terbentuk sebagai akibat dari terjalinnya interaksi sosial antar individu atau

kelompok masyarakat yang lain (Wardoyo et al. 2000). Demikian halnya Craig

dan Mayo (1995) menyebutkan partisipasi sebagai keterlibatan mental,

pemikiran, dan perasaan seseorang di dalam situasi kelompok, yang

mendorongnya untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok

tersebut dalam usaha mencapai tujuan bersama, dan turut bertanggung jawab

terhadap usaha yang dimaksud.

Mubyarto (1984) mengartikan partisipasi sebagai suatu bentuk kesediaan

membantu berhasilnya setiap kegiatan, sesuai dengan kemampuan tiap-tiap

individu tanpa mengorbankan diri sendiri. Lebih jauh, Slamet (2003) memaknai

partisipasi masyarakat sebagai wujud keikutsertaan masyarakat dalam setiap

tahapan kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya ikut memanfaatkan dan

menikmati hasil-hasil pembangunan. Jadi, bukan hanya menyumbangkan input

ke dalam pembangunan, namun lebih jauh ikut serta memanfaatkan dan

menikmati hasil-hasil pembangunan.

Partisipasi dalam manajemen taman nasional memiliki arti dengan

spektrum yang luas mulai dari memberikan informasi kepada masyarakat tentang

Page 19: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

43

desain taman nasional hingga pelibatan masyarakat secara penuh dalam

pengelolaan. Partisipasi di bidang pembangunan biasanya mencakup

keterlibatan mental dan emosional, penggeraknya adalah kesediaan memberikan

kontribusi dalam pembangunan dan kesediaan turut bertanggung jawab.

Partisipasi diartikan pula sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari massa

penduduk pada tingkatan-tingkatan yang berbeda di dalam proses pengambilan

keputusan untuk pengalokasian sumberdaya untuk mencapai suatu tujuan,

pelaksanaan program dan proyek secara sukarela, dan pemanfaatan hasil-hasil

dari suatu program atau suatu proyek (Slamet 1989). Kemudian Rahardjo (2003)

mengemukakan bahwa pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya

hutan akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengakses sumberdaya

hutan sebagai sumber matapencaharian, dengan demikian pengelolaan

sumberdaya hutan akan mengangkat status kesejahteraan masyarakat sekitar

hutan.

Cohen dan Uphoff (1977) berpendapat bahwa partisipasi adalah: a)

keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan tentang tindakan

yang dilakukan, b) bagaimana keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan

program dan keputusan dalam kontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam

suatu organisasi atau kegiatan khusus, c) berbagi manfaat dari program

pembangunan, atau d) keterlibatan dalam eveluasi program. Terkait dengan itu

Cohen dan Uphoff (1977) mengidentifikasi pula beberapa karakteristik penting

dari masyarakat perdesaan yang kemungkinan besar menentukan partisipasi

mereka dalam proyek-proyek pembangunan pedesaan. Karakteristik yang

dimaksud adalah umur dan jender, status keluarga, pendidikan, status sosial,

pekerjaan, tingkat dan sumber pendapatan, lama bermukim dan jarak

pemukiman dari proyek, kepemilikan dan masa kepemilikan lahan.

Berkaitan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, Wilcox (1994)

telah mengembangkan partisipasi ke dalam lima tahap yakni: informasi,

konsultasi, keputusan bersama, bekerja sama, dan mendukung kepentingan

masyarakat (Gambar 4 ).

Page 20: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

44

Gambar 4 Tahapan dari Partisipasi (Wilcox 1994).

Model ini telah dikembangkan dalam pengertian partisipasi secara umum yang

erat kaitannya dengan pola co-management. Menurut model Wilcox, tingkatan

yang paling rendah dalam mengontrol sumberdaya alam secara keseluruhan

adalah tingkatan informasi, dimana masyarakat diberitahu apa yang

direncanakan dengan maksud untuk mendidik partisipan. Tingkatan selanjutnya

dari partisipasi adalah konsultasi yang berarti menawarkan beberapa opsi atau

pilihan dan menerima umpan balik. Selanjutnya, keputusan bersama berarti

masyarakat didorong untuk memberikan beberapa ide tambahan atau pilihan,

dan secara bersama-sama memutuskan hal yang terbaik ke depan. Tingkat

partisipasi yang lebih tinggi adalah bertindak secara bersama-sama, untuk

mencapai keputusan yang terbaik diantara kepentingan yang beragam atau

berbeda kemudian melaksanakannya. Tahapan yang tertinggi dari kontrol adalah

ketika masyarakat mendapatkan bantuan berdasarkan apa yang mereka

inginkan, berupa dukungan dari pemegang otoritas sumberdaya.

Terkait dengan partisipasi, Nanang dan Devung (2004) lebih rinci

mengembangkan konsep Wilcox menjadi beberapa item, di antaranya:

Tingkat 6: Mobilisasi dengan kemauan sendiri (self-mobilization): masyarakat

mengambil inisiatif sendiri, jika perlu dengan bimbingan dan bantuan

pihak luar. Mereka memegang kontrol atas keputusan dan

pemanfaatan sumberdaya; pihak luar memfasilitasi mereka.

Tingkat 5. Kemitraan (partnership): masyarakat mengikuti seluruh proses

pengambilan keputusan bersama dengan pihak luar, seperti studi

kelayakan, perencanaan, implementasi, evaluasi, dll. Partisipasi

Degree of

control

Supporting

Acting together

Deciding together

Consultation

Information

Substantial

Participation

Page 21: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

45

merupakan hak mereka dan bukan kewajiban untuk mencapai

sesuatu Ini disebut “partisipasi interaktif.”

Tingkat 4. Plakasi/konsiliasi (Placation/Conciliation): masyarakat ikut dalam

proses pengambilan keputusan yang biasanya sudah diputuskan

sebelumnya oleh pihak luar, terutama menyangkut hal-hal penting.

Mereka mungkin terbujuk oleh insentif berupa uang, barang, dll.

Tingkat 3. Perundingan (consultation): pihak luar berkonsultasi dan berunding

dengan masyarakat melalui pertemuan atau public hearing dan

sebagainya. Komunikasi dua arah, tetapi masyarakat tidak ikut serta

dalam menganalisis atau mengambil keputusan.

Tingkat 2. Pengumpulan informasi (information gathering): masyarakat

menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang luar. Komunikasi

searah dari masyarakat ke luar.

Tingkat 1. Pemberitahuan (informing): hasil yang diputuskan oleh orang luar

(pakar, pejabat, dll.) diberitahukan kepada masyarakat. Komunikasi

terjadi satu arah dari luar ke masyarakat setempat.

Tingkat-tingkat partisipasi masyarakat tersebut bermanfaat sebagai alat untuk

menilai partisipasi nyata di lapangan. Pada dasarnya partisipasi yang

sesungguhnya terdapat pada Tingkat 5 dan Tingkat 6.

Oakley (1991) menjelaskan bahwa partisipasi sebagai fasilitas atau

perbaikan sistem atau sebagai suatu proses yang dimaksudkan untuk memberi

penguatan pada kemampuan masyarakat desa agar mereka berinisiatif terlibat

secara langsung dalam pembangunan. Cernea (1985) menekankan bahwa

partisipasi berimplikasi pada pemberdayaan masyarakat lokal untuk

menggerakkan kemampuan mereka sebagai aktor-aktor sosial dan bukan

sebagai subjek yang pasif, pengelola sumberdaya, pembuat keputusan dan

mengontrol aktivitas yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kemudian Borrini-

Feyerabend (1996) mengemukakan bahwa partisipasi yang efektif di dalam

pengelolaan sumberdaya alam dapat dipandang sebagai suatu kondisi yang

dengan kondisi tersebut kearifan lokal, keterampilan, dan sumberdaya lainnya

dimobilisasi dan dimanfaatkan secara totalitas. Untuk mencapai partisipasi dalam

pengembangan kapasitas, maka pemberdayaan masyarakat lokal harus menjadi

prioritas.

Lebih jauh Borrini-Feyerabend (1996) mengemukakan pula bahwa

sebagian orang mungkin berargumen kalau keterwakilan yang ditunjuk pada

Page 22: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

46

berbagai tingkatan merupakan wakil yang mewakili kepentingan lokal. Ada

kebenaran dalam hal ini, sepanjang prosedur formal demokrasi dihormati, tetapi

ada juga keterbatasan yang jelas terlihat. Sebagai contoh: sistem perwakilan

tidak langsung, jarang sekali cocok untuk menyampaikan kekuatiran/keprihatinan

secara khusus atau terinci dari kelompok kecil stakeholder, dan tentu saja tidak

dapat menyampaikan secara sempurna cakupan pengetahuan dan ketrampilan

dari pengguna sumberdaya lokal. Secara umum, keterwakilan yang sesuai

adalah sangat penting untuk meyakinkan partisipasi stakeholder yang tidak dapat

menikmati status sosial yang tinggi. Secara terinci, Borrini-Feyerabend (1996)

menunjukkan tiga bentuk keterwakilan:

1. Perwakilan diri sendiri; saling berhadapan: masyarakat secara pribadi

mengemukakan opininya, mendiskusikan, memilih, bekerja, menawarkan

kontribusi material, menerima manfaat, dan lain-lain atau dengan kata lain

masyarakat mewakili diri mereka sendiri.

2. Perwakilan langsung; masyarakat mendelegasikan kepada yang lain, sanak

famili, teman atau anggota masyarakat diantara mereka yang dihormati,

pemimpin masyarakat yang berbasis kelompok untuk mewakili mereka dalam

segala macam aktivitas, tetapi memelihara hubungan lansung dengan

perwakilan mereka.

3. Perwakilan tidak langsung; masyarakat mendelegasikan kepada yang lainnya,

para ahli, orang yang memiliki posisi dalam suatu perkumpulan besar,

organisasi swadaya masyarakat (LSM), partai atau pegawai pemerintah untuk

mewakili mereka dalam segala macam aktivitas, tetapi mereka jarang sekali

berinteraksi dengan perwakilan mereka secara langsung.

Penelitian tentang partisipasi telah banyak dilakukan diantaranya oleh

Goldhamer (1943) pada 5.500 penduduk di Chicago yang mengacu pada Skala

Chapin dengan menggunakan lima variabel yakni: 1) jumlah asosiasi yang

dimasuki, 2) frekuensi kehadiran, 3) jumlah asosiasi dimana dia memangku

jabatan, 4) lamanya menjadi anggota, dan 5) tipe asosiasi yang dimasuki.

Duncan dan Artis (1952) melakukan pula penelitian pada 15 organisasi kaum

laki-laki dan 15 organisasi kaum wanita juga mengacu pada skala Chapin.

Sistem penilaian dilakukan dengan cara: 0) jika tidak pernah menjadi anggota, 1)

jika pernah menjadi anggota, 2) jika anggota tapi tidak pernah menghadiri

pertemuan, 3) jika anggota dan aktif menghadiri pertemuan, 4) jika pernah

menjadi pengurus organisasi dan sekarang tidak aktif, 5) jika pernah menjadi

Page 23: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

47

pengurus dan sekarang masih aktif, dan 6) jika sekarang menjadi pengurus

(Goldhamer 1943; Duncan dan Artis 1952 dalam Slamet 1989). Penelitian lain

yang dilakukan oleh Kaufman di Kentucky (1949) yang mengukur partisipasi

dalam organisasi formal di masyarakat pedesaan dengan menggunakan dua

variabel yakni: 1) keanggotaan, dan 2) jabatan yang dipegang.

Selanjutnya Slamet (1989) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi

(pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan) berkaitan erat dengan tahapan

partisipasi, lapisan penduduk dengan status sosial lebih tinggi lebih banyak

terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, kelas sosial menengah

lebih banyak dalam proses pelaksanaan, sedangkan kelas sosial yang lebih

rendah lebih banyak hanya dalam proses pemanfaatan.

2.5.2. Konsep Negosiasi

Pendekatan negoisasi dalam co-management adalah kata kunci untuk

mencapai kesepakatan. Sebagaimana yang ditunjukkan sebelumnya, Borrini-

Feyerabend et al. (2000) mendefinisikan co-management sebagai suatu situasi

dimana dua atau lebih stakeholder bernegosiasi, menetapkan dan menjamin

diantara mereka sendiri suatu pembagian yang adil mengenai fungsi manajemen,

kepemilikan dan tanggung jawab untuk suatu teritori tertentu, wilayah atau

seperangkat sumberdaya alam. Leeuwis (2000) menjelaskan bahwa proses

negosiasi merupakan suatu strategi untuk penyelesaian konflik. Lebih jauh lagi

Leeuwis (2000) membagi proses negosiasi kedalam dua kategori. Pertama,

distributif: Berbagai stakeholders berpegang pada persepsi dan posisi mereka

sendiri, dan pada dasarnya menggunakan negosiasi untuk membagi

sumberdaya, keuntungan salah satu pihak merupakan kerugian bagi pihak lain.

Kedua, integratif: Stakeholder mengembangkan suatu definisi dan persepsi

masalah yang baru dan sering kali lebih luas yang berubah berdasarkan proses

pembelajaran kolektif yang kreatif dan berujung pada win-win solution atau

pemecahan yang menguntungkan semua pihak.

Dalam rangka memfasilitasi negosiasi integratif, Venema dan van Den

Breemer (2000) mengidentifikasi sejumlah hal yang secara khas mendasari

suatu proses negosiasi, termasuk persiapan, kesepakatan tentang proses

desain, eksplorasi bersama, analisis situasi, pencarian fakta bersama, menyusun

kesepakatan, berkomunikasi dengan perwakilan, dan memonitor pelaksanaanya.

Jika mengadopsi suatu pendekatan negosiasi membantu terciptanya hasil yang

secara mutual dapat disetujui dalam manajemen sumberdaya alam.

Page 24: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

48

Menurut Fisher (1995) ada tiga hal yang harus dipenuhi sebelum

negosiasi dapat dilaksanakan yakni: 1) keragaman kepentingan: konflik

kepentingan kemungkinan timbul dimana saja ketika masyarakat berjuang untuk

perubahan yang berarti; 2) saling ketergantungan: stakeholder harus merasa

saling bergantung satu dengan lainnya dalam menyelesaikan suatu masalah.

Suatu pendekatan negosiasi menjadi mustahil jika stakeholder kunci tidak

percaya kalau mereka saling membutuhkan dalam rangka pencapaian

kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak; 3) kemampuan komunikasi:

stakeholder yang terkait harus mampu berkomunikasi satu dengan lainnya.

Berkaitan dengan negosiasi sebagai pendekatan pencapaian

kesepakatan negosiasi, suatu hal yang penting untuk dicatat adalah pencapaian

sebuah kesepakatan yang dinegosiasi sangat dipengaruhi oleh nilai orientasi dari

fasilitator. Pada kenyataannya, menerapkan pendekatan negoisasi mungkin

merupakan strategi terbaik untuk mendorong terciptanya keharmonisan diantara

stakeholder. Pengakuan terhadap berbagai stakeholder yang terlibat dalam

manajemen sumberdaya alam merupakan basis pendekatan co-management.

Dalam pengaruhnya, co-management berbasis pada identifikasi kepentingan,

hak dan masalah sosial yang terkait dengan sumberdaya alam tertentu,

mempublikasikan semua ini kepada semua pihak yang berkepentingan dan

memulai debat publik untuk mencapai sebuah kesepakatan umum atau kontrak

legal diantara para pihak yang dijalankan oleh pemerintah bila diminta (Venema

dan van Den Breemer 2000).

Sejalan dengan itu, Borrini-Fayerabend (1996) lebih khusus

mengemukakan bahwa posisi stakeholder berdasarkan pada kapasitas dan

kepentingan mereka untuk terlibat dalam negosiasi, dengan kriteria sebagai

berikut:

1) Hak-hak yang telah ada terhadap tanah atau sumberdaya alam dan

pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki untuk manajemen

sumberdaya alam yang berada dalam sengketa;

2) Kehilangan dan kerusakan yang terjadi dalam proses manajemen dan

pentingnya hubungan historis dan kultural dengan sumberdaya alam yang

disengketakan;

3) Tingkat ketergantungan ekonomi dan sosial terhadap sumberdaya alam,

tingkat usaha dan kepentingan dalam manajemen dan keadilan dalam

Page 25: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

49

akses terhadap sumberdaya dan distribusi keuntungan dari sumberdaya

alam; dan

4) Kompatibilitas antara kepentingan dan aktivitas stakeholder dengan

kebijakan konservasi, yang mengakui keberadaan atau potensi akibat dari

aktivitas stakeholder terhadap basis sumberdaya.

Banyak kasus menunjukkan kalau masyarakat cenderung bertindak untuk

kepentingan pribadi bukan karena mereka tidak peduli terhadap yang lain, tetapi

karena mereka kurang percaya terhadap institusi dan peraturan dan/atau

informasi menyebabkan mereka memilih opsi kooperatif (Aarts 1998). Terkait

dengan itu, dibutuhkan ruang untuk pembelajaran sosial dan kooperatif yang

tergantung pada kondisi awal dan jenis institusi, hal ini mungkin membutuhkan

negosiasi strategi terlebih dahulu (Baland dan Plateau 1996).

2.5.3. Konsep Property Rights

Bromley (1991) mendefinisikan hak properti sebagai kapasitas untuk

menyatakan kolektifitas yang mendukung klaim seseorang akan suatu manfaat.

Konsep properti yang sejauh ini hanya didefinisikan dalam istilah ekonomi yang

terkait dengan kondisi yang diperlukan untuk berfungsinya pasar secara efisien

seperti objek fisik yaitu tempat tinggal, lahan atau properti lainnya. Terkait

dengan konsep ini, properti bukan suatu obyek, tetapi suatu hubungan sosial

yang membatasi hak-hak pemilik properti yang terkait dengan keuntungan.

Sebagai hubungan sosial, properti akan menghubungkan antara orang yang satu

dengan lainnya yang terkait dengan lahan dan sumberdaya lainnya. Oleh karena

itu, hubungan properti adalah pengaturan kontrak yang terkonstruksi secara

sosial diantara sekelompok orang yang terkait dengan nilai obyek dan lingkungan

mereka (Bromley 1998).

Agrawal dan Ostrom (1999) menggambarkan hak properti sebagai

otoritas yang dapat dilaksanakan untuk mengambil aksi tertentu pada domain

spesifik, dengan demikian hak properti dapat dianggap sebagai institusi atau

peraturan institusi untuk membuat individu-individu menginternalisasi

eksternalitas produksi mereka atau membangun dan memfasilitasi penggunaan

dan pertukaran sumberdaya dan komoditas dalam suatu masyarakat. Salah satu

posisi teoritis mengenai hak properti adalah kalau mereka mengembangkan

untuk internalisasi-ekternalitas ketika perolehan internalisasi menjadi lebih besar

daripada biaya internalisasi (Baland dan Platteu 1996). Institusi seperti itu

berguna untuk meregulasi interaksi perilaku dan sosial terkait dengan obyek

Page 26: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

50

yang memiliki nilai, karena institusi ini adalah suatu bentuk hambatan dan

perizinan yang memberi kemampuan kepada individu untuk mengaplikasikannya

dalam situasi ketika nilai obyek tertentu adalah jarang, diskriminasi yang

konsisten, dapat diprediksi dan diterima secara sosial (Challen 2000).

Demsetz (1967) menyatakan bahwa fungsi utama hak properti adalah

memandu insentif dalam rangka menyadari internalisasi-eksternalisasi yang lebih

besar. Terkait dengan sumberdaya alam, hak properti memainkan peranan

dalam menentukan pola kesamaan dan ketidaksamaan akses, dan juga kreasi

insentif untuk keseluruhan manajemen dan perbaikan yang berkelanjutan.

Meinzen-Dick dan Knox (1999) membuat ringkasan mengenai pentingnya hak

properti sebagai berikut: ketetapan insentif untuk manajemen, menyediakan

otorisasi yang diperlukan dan mengontrol sumberdaya, dan memperkuat aksi

kolektif.

Agrawal dan Ostrom (1999) menyatakan ada lima macam hak propeti

yang relefan terhadap eksploitasi sumberdaya alam: hak akses terhadap

sumberdaya, hak mengeluarkan atau memperoleh produk sumberdaya, hak

untuk mengelola sumberdaya, hak untuk pengecualian terhadap yang lain, dan

hak untuk mengalihkan hak kepada orang lain. Eggertsson (1990) juga

menyatakan hal yang serupa yaitu mendefinisikan hak properti sebagai hak

individual untuk memanfaatkan sumberdaya. Sebagai konsep operasional,

sistem hak properti terdiri dari dua komponen: hak properti yaitu sekumpulan hak

kepemilikan yang menetapkan hak dan kewajiban dalam pemanfaatan sumber-

daya alam, dan peraturan properti yang menentukan cara pelaksanaan hak dan

kewajiban (Bromley 1991). Aspek penting dari hak properti adalah apakah hak

properti ini penerapannya telah sesuai atau dibiarkan tidak terdefiniskan atau

spesifikasinya tidak sesuai.

Selanjutnya, hak properti bisa dianggap efisien apabila hak properti ini

memenuhi beberapa hak dasar termasuk di dalamnya kepemilikan, dapat

ditransfer, dan dapat dilaksanakan. Hak properti dan pemenuhan insentif,

merangsang pengguna untuk bekerja sama dalam manajemen sumberdaya

alam. Rezim properti merupakan bagian dari institusi masyarakat, kendala

organisasi yang menyusun struktur interaksi dan bentuk insentif bagi manusia

(North, 1990). Bromley (1998) menyatakan bahwa sebagai suatu institusi hak

properti bisa merupakan kendala dan juga bisa sebagai penunjang.

Page 27: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

51

Perbedaan rezim hak properti akan tergantung pada kondisi kepemilikan,

hak dan kewajiban pemilik, peraturan penggunaan, dan tempat pengawasan.

Tabel 1 menunjukkan klasifikasi sederhana dari empat tipe rezim hak properti

dan kewajibannya (McCay dan Acheson 1987; Bromley 1989; Hanna et al.

1995).

Private property mewajibkan pemberian nama kepemilikan individu,

jaminan terhadap pemiliknya untuk mengontrol akses dan hak pemanfaatan

sosial yang dapat diterima (Black 1968). Hal ini mengharuskan pemiliknya untuk

menghindari pemanfaatan khusus yang tidak diterima secara sosial, seperti

polusi air sungai. Common property dimiliki oleh sekelompok orang yang memi-

liki hak untuk mengeluarkan mereka yang bukan pemilik dan berkewajiban

memelihara penggunaan properti sesuai dengan batasan-batasan yang ada

(McCay dan Acheson 1987; Stevenson 1991). Rezim seperti ini seringkali

Tabel 1 Tipe hak kepemilikan

No. Hak kepemilikan Pemilik Hak kepemilikan Kewajiban pemilik

1. Private property perorangan kepemilikan perorangan, pemiliknya dengan mudah untuk meng-akses dan me-ngontrol pemanfaatan sumberdaya

menghindari pemanfaatan yang tidak dapat diterima secara sosial

2. Common property kelompok tidak melibatkan mereka di luar kelompok

pemeliharaan, pemanfaatan sumberdaya terbatas sesuai dengan batasan-batasan yang ada

3. State property negara memanfaatkan sumberdaya sesuai dengan aturan

pemanfaatan untuk tujuan sosial

4. Open access (non-property)

tidak ada pemilik

diperebutkan tidak ada

Sumber: McCay dan Acheson 1987; Bromley 1989; Hanna et al. 1995.

diimplementasikan untuk sumberdaya publik yang sulit untuk dibagi (Ostrom

1990). State property dimiliki oleh negara dalam unit politik yang memberikan

kewenangan kepada agen publik untuk membuat aturan (Black 1968). Agen

publik tersebut memiliki kewajiban untuk memastikan kalau aturan-aturan yang

dibuat mempromosikan tujuan-tujuan sosial. Negara memiliki hak untuk

Page 28: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

52

memanfaatkan sumberdaya sesuai dengan aturan. Open access tidak ada

pemiliknya dan terbuka untuk umum. Dinamika dari open access merupakan

dasar dari apa yang disebut “tragedy of the commons”. Dibawah rezim open

access, pemilik tidak memiliki kawajiban untuk memelihara sumberdaya atau

membatasi penggunaannya. Penting untuk diketahui bahwa keempat sistem ini

tidak berlawanan satu dengan lainnya melainkan merupakan sebuah kombinasi

sepanjang spektrum dari open access hingga kepemilikan pribadi (Hanna et al.

1995).

Para ahli hak properti tetap menganggap sistem properti publik lebih

disukai dari pada yang lainnya dalam situasi ketika muncul kegiatan kolektif yang

cukup untuk mengelola sumberdaya alam (Ostrom 1990; Meinzen-Dick dan Knox

1999). Rezim hak properti harus menampilkan fungsi tertentu dengan

penggunaan terbatas, koordinasi pengguna, dan respon terhadap perubahan-

perubahan lingkungan. Aktivitas ini membutuhkankan biaya transaksi untuk

koordinasi, pengumpulan informasi, monitoring dan pelaksanaan (Eggerstsson

1990; Hanna 1995). Semakin langkahnya sumberdaya, maka rezim hak properti

harus semakin memperhitungkan peraturan yang mengatur distribusi

sumberdaya dan pemanfaatan yang menaikkan biaya. Suatu hal yang mungkin

adalah terciptanya suatu sistem dengan biaya pelaksanaan tinggi sehingga jauh

melebihi manfaat yang diperoleh dari pengawasan. Gerakan untuk merubah

rezim hak properti seringkali digerakkan oleh usaha-usaha untuk mengurangi

biaya transaksi.

Hal yang penting dari analisis penelitian ini adalah kenyataan bahwa

sistem co-manajement merupakan kombinasi dari berbagai sistem yang berbeda.

Apabila institusi pemerintah dan masyarakat lokal terlibat maka hal ini

merupakan kombinasi state property dan private property, sehingga dalam

perencanaannya harus memasukkan otoritas pembuat keputusan. Suatu sistem

akan berfungsi dengan baik bila peraturan yang ditetapkan konsisten dengan

kepemilikan misalnya ketika sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat dikelola

melalui pengaturan common property. Tidak peduli apapun jenis sistem properti,

keputusan-keputusan yang berdasarkan pengetahuan tentang kondisi lokal dan

akomodasi pengetahuan lokal merupakan suatu sistem yang paling sesuai dapat

diadaptasi (Tietenberg 1988). Mekanisme yang sesuai untuk mengatasi konflik

harus tersedia. Hal lain yang dibutuhkan adalah sistem monitoring dan

Page 29: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

53

pelaksanaan yang tepat untuk penegakan hukum yang sesuai dengan tingkat

pelanggaran untuk melindungi hak klaim (Ostrom 1990).

2.6. Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM)

Konflik kepentingan dalam pengelolaan taman nasional yang terjadi

antara pihak pengelola dan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan

pada beberapa tahun belakangan ini semakin mengemuka. Konflik tersebut

sering muncul ke permukaan akibat dari perbedaan kepentingan untuk

memanfaatkan sumberdaya guna memenuhi kebutuhan di satu sisi dan

konservasi sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan taman nasional di

sisi yang lain. Salah satu konsep konservasi yang banyak diterapkan akhir-akhir

ini adalah Integrated Conservation and Development Program (ICDP).

Pendekatan ini mulai diterapkan pada awal 1980-an di Taman Nasional Bogani

Nani Wartabone yang bertujuan untuk menjembatani kegiatan konservasi

dengan kegiatan pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat dengan

melibatkan masyarakat lokal (Wells dan Brandon 1995).

Konsep ICDP yang diharapkan dapat mengakhiri kontroversi antara

kepentingan pembangunan dan kepentingan konservasi yang dalam

pelaksanaannya, konsep ini kemudian mengalami perkembangan ke arah

penyusunan kesepakatan antara pengelola kawasan konservasi dan

masyarakat. Kesepakatan tersebut pada prinsipnya mengatur hak-hak dan

kewajiban-kewajiban masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang

terdapat di dalam kawasan taman nasional. Kesepakatan konservasi pada

prinsipnya mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat di sekitar

taman nasional dalam menggunakan sumberdaya alam di dalam kawasan.

Kesepakatan semacam ini di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dikenal

dengan istilah Kesepakatan Konservasi Desa (KKD), sementara di TNLL dikenal

sebagai Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM) (Adiwibowo et al. 2009).

Menurut Manullang (1998) KKM/KKD diperlukan karena beberapa

alasan: 1) masyarakat tidak atau belum sepenuhnya mengerti akan maksud

kehadiran sebuah kawasan konservasi di daerah mereka; 2) masyarakat

menyangka mereka akan sangat dirugikan oleh adanya kawasan konservasi di

daerah mereka; 3) pihak pengelola tidak atau belum mengenal sepenuhnya

keadaan dan aspirasi masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Selanjutnya

Manullang (1998) mengemukakan pula bahwa dengan tercapainya kesepakatan

formal antara masyarakat dan pengelola taman nasional, maka KKM/KKD dapat

Page 30: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun

54

membawa fungsi dan manfaat yakni: 1) alat untuk melaksanakan dan

mengendalikan proses pelimpahan wewenang pengelolaan sumberdaya alam

dari pemerintah kepada masyarakat; 2) media dan proses dimana pihak-pihak

yang berkepentingan bertemu untuk saling mengakui dan menghormati

kehadiran masing-masing; 3) alat yang menunjukkan keterbukaan dan

transparansi antar semua pihak; 4) alat untuk menjamin diakuinya hak-hak

pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh pihak-pihak yang

berkepentingan; 5) alat untuk membagi tanggung jawab pengelolaan

sumberdaya alam di antara para pihak; 6) sarana untuk meredam konflik di

lapangan dengan membawanya ke meja perundingan; 7) alat pengendali

perilaku dari pihak-pihak yang terkait

Melalui KKM diharapkan kepentingan masyarakat terhadap sumberdaya

yang terdapat di dalam kawasan TNLL berdasarkan pada kesejarahan, pola

pengelolaan tradisional dan hukum adat atau hukum masyarakat setempat yang

disepakati untuk mendapat pengakuan dari Balai TNLL sebagai otoritas dalam

pengelolaan TNLL. Selain itu KKM diharapkan dapat meminimalisir dampak yang

terjadi akibat perambahan di sekitar kawasan TNLL, dengan keikutsertaan

masyarakat secara aktif dalam pengelolaan TNLL terutama dalam kegiatan

pengamanan kawasan. Kesepakatan tersebut dikenal dengan kesepakatan

konservasi masyarakat (KKM) yang disebut juga dengan community

conservation agreement (CCA).

Hasil studi dari kelompok peneliti STORMA (Stability of Rainforest Margin

in Indonesia), mengkaji KKM di TNLL yang difasilitasi oleh tiga LSM

memperlihatkan bahwa ketiga LSM tersebut memiliki sasaran masing-masing

yaitu: 1) CARE, lebih mengutamakan pada penguatan ekonomi masyarakat

desa, 2) TNC, mengutamakan aspek-aspek konservasi flora dan fauna, dan 3)

YTM memfokuskan diri pada advokasi hak tradisional. Ketiga sasaran tersebut

mengarah pada upaya penyusunan kesepakatan konservasi yang melibatkan

masyarakat. Selain itu, program CSIAD-CP (Central Sulawesi Integrated Area

Development Conservation Project), yang didanai oleh ADB juga dilakukan

dengan pelibatan masyarakat (Mappatoba 2004).

Kesepakatan konservasi berbasis masyarakat yang telah dibangun dan

sudah diterapkan dalam pengelolaan TNLL diantaranya adalah kesepakatan