ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi...
TRANSCRIPT
25
1.6. Novelty (Kebaruan)
Co-management dikenal sebagai suatu bentuk pengelolaan sumberdaya
alam yang diharapkan dapat mengakomodir semua kepentingan stakeholder.
Berkaitan dengan itu kebaharuan (novelty) dari penelitian ini adalah menemukan
faktor kunci yang paling kuat pengaruhnya terhadap keberhasilan co-
management, dan menghasilkan konsep co-management untuk penyelesaian
konflik dalam pengelolaan TNLL yang akhirnya diharapkan kelestarian taman
nasional dan peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan taman
nasional dapat tercapai.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Pelaksanaan kegiatan pembangunan memunculkan dua benturan
kepentingan yakni pembangunan dari sisi ekonomi dan pelestarian lingkungan
pada sisi yang lain. Kedua benturan kepentingan tersebut akan menimbulkan
dampak positif maupun negatif, demikian pula halnya dalam upaya pengelolaan
TNLL di satu sisi ingin melestarikan sumberdaya alam yang ada, tapi di sisi lain
bagaimana masyarakat yang ada di sekitarnya dapat terpenuhi kebutuhannya,
terutama mereka yang bersentuhan langsung dengan sumberdaya yang bernilai
ekonomi dari kawasan taman nasional. Oleh sebab itu upaya pengelolaan TNLL
secara berkelanjutan perlu dilaksanakan.
Pembangunan berkelanjutan mulai dipopulerkan pada tahun 1987 melalui
laporan Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama) yang digagas oleh
World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia tentang
Lingkungan dan Pembangunan) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland
sehingga dikenal dengan Komisi Brundtland. Fokus dari laporan yang disusun
oleh Komisi Brundtland (Brundtland Report) tersebut, adalah pembangunan
berkelanjutan yakni pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini
tanpa mengorbankan atau mengurangi peluang generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhannya (Soemarwoto 2004).
Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu konsep pembangunan
yang bertujuan untuk mengelola atau memanfaatkan sumberdaya alam agar
tidak mengalami kerusakan atau kepunahan. Konsep pembangunan
berkelanjutan harus mengacu pada aspek ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya.
Pada berbagai kajian disebutkan pula bahwa untuk mencapai pengelolaan
26
sumberdaya alam yang berkelanjutan dibutuhkan sinergi yang baik antara fungsi
ekonomi, ekologi, dan sosial (Hanna et al. 1995; Sardjono 2004; Bohensky
2005). Sejalan dengan konsep kelestarian atau keberlanjutan, Suhendang (2004)
mengemukakan bahwa konsep pengelolaan sumberdaya hutan yang sustainable
mensyaratkan perlunya diperoleh manfaat terhadap fungsi-fungsi ekonomis
(produksi), ekologis (lingkungan), dan sosial dari sumberdaya hutan secara
optimal dan lestari.
Konsep pembangunan berkelanjutan akhir-akhir ini menjadi suatu konsep
pembangunan yang diterima olah semua negara di dunia untuk mengelola
sumberdaya alam agar tidak mengalami kehancuran dan kepunahan.
Konsep ini berlaku untuk seluruh sektor pembangunan termasuk pembangunan
sektor kehutanan. Konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multidisiplin
karena banyak aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara lain
aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya, hukum dan kelembagaan.
Barbier (1989) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan lebih
ditekankan pada pembangunan ekonomi dimana pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan (suatainable economic development) adalah konsep pembangunan
yang merujuk pada tingkat interaksi yang optimal antara tiga sistem yaitu biologi,
ekonomi, dan sosial, yang dicapai melalui satu proses trade-offs yang adaptif dan
dinamis. Sementara Pearce (1986) menekankan konsep pembangunan
berkelanjutan pada adanya kompromi antara sistem-sistem atau antara
kebutuhan generasi kini dan generasi yang akan datang.
Selanjutnya Yakin (1997) mengemukakan bahwa pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang
tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhannya atau dengan kata lain pembangunan berkelanjutan merupakan
suatu proses perubahan dalam eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi
pengembangan teknologi, dan perubahan institusi, yang kesemuanya berada
dalam keselarasan dan meningkatkan potensi masa kini dan yang akan datang
untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan manusia. Dalam hal ini,
pembangunan ekonomi harus berjalan selaras dengan kepentingan lainnya
sehingga pertumbuhan ekonomi tidak hanya memenuhi kepentingan generasi
sekarang tetapi juga generasi yang akan datang.
Munasinghe dan McNelly (1992) mengidentifikasi tiga konsep dari
pembangunan berkelanjutan yakni konsep pendekatan ekonomi, ekologi, dan
27
sosial budaya. Aspek ekonomi pembangunan berkelanjutan dicapai apabila
dapat menghasilkan pendapatan yang maksimum dengan tetap
mempertahankan stok sumberdaya atau aset yang menghasilkan benefit
tersebut. Aspek ekologi menjelaskan stabilitas fisik dan biologi suatu sistem atau
ekosistem sementara aspek sosial budaya dari pembangunan berkelanjutan
menyangkut stabilitas sistem sosial budaya, termasuk mengurangi konflik yang
biasa terjadi.
Identifikasi tiga konsep pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan di
atas, sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan oleh
Munasinghe (1993) bahwa pembangunan berkelanjutan apabila memenuhi tiga
dimensi yaitu: secara ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial
berkeadilan, dan secara ekologis lestari (ramah lingkungan). Makna
pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi memberikan penekanan pada
pentingnya menjamin dan meneruskan kepada generasi mendatang sejumlah
kuantitas modal alam (natural capital) yang dapat menyediakan suatu hasil
berkelanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan termasuk estetika. Hal lain
yang tidak kalah pentingnya adalah konsep pemanfaatan sumberdaya yang
berkelanjutan (sustainable use of resources) yang bermakna bahwa eksploitasi
atau pemanfaatan sumberdaya tidak melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau
dihasilkan dalam kurun waktu yang sama.
2.2. Taman Nasional MacKinnon et.al (1993) mengemukakan bahwa taman nasional adalah
kawasan pelestarian alam yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai
alam yang spesifik dengan kepentingan pelestarian tinggi, potensi objek rekreasi
yang besar, mudah dicapai dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah
tersebut. Sementara IUCN (1994) merumuskan bahwa taman nasional adalah
areal yang cukup luas, dimana ada satu atau beberapa ekosistem tidak berubah
oleh kegiatan eksploitasi atau pemilikan lahan spesies flora dan fauna, kondisi
geomorfologi dan kondisi habitatnya memiliki nilai landskape alam dengan
keindahan tinggi.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya merumuskan bahwa taman
nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli,
dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam.
28
Fungsi pokok taman nasional adalah: 1) sebagai kawasan perlindungan; 2)
sebagai kawasan untuk mempertahankan keragaman jenis tumbuhan dan satwa;
dan 3) sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya.
Pengelolaan kawasan taman nasional, dilakukan dengan sistem zonasi
agar kawasan tersebut dapat dikelola dengan baik. Sistem zonasi yang dimaksud
adalah zona inti, zona pemanfaatan, dan zona rimba atau zona lainnya yang
ditetapkan berdasarkan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya. Untuk zona inti tidak diperkenankan adanya campur tangan
manusia baik dari pihak pengelola maupun pengunjung karena. Setiap kegiatan
atau aktivitas makhluk hidup pada zona inti dibiarkan berjalan dengan sendirinya.
Pada zona rimba, campur tangan manusia secara terbatas diperkenankan
misalnya pendidikan, penelitian, wisata terbatas serta kegiatan yang menunjang
budidaya. Sedangkan pada zona pemanfaatan, diperkenankan adanya kegiatan
pendidikan, penelitian, penunjang budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa,
serta wisata alam atau ekoturisme (PP No.68 tahun 1998 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam).
Berkaitan dengan pengelolaan taman nasional maka masyarakat atau
pihak swasta diperkenankan untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk kemitraan
dengan membangun sarana dan prasarana penunjang wisata misalnya bungalow
atau pusat penjualan cinderamata. Namun demikian sarana dan prasarana yang
dibangun harus menggunakan pola arsitektur setempat serta bahan-bahan yang
ramah lingkungan serta diupayakan untuk tidak terjadinya kerusakan alam.
Antara kawasan taman nasional dengan kawasan pemukiman biasanya
dipisahkan oleh suatu kawasan yang dikenal dengan daerah penyangga. Daerah
penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang
berasal dari luar dan atau dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan
perubahan keutuhan dan atau perubahan fungsi kawasan (PP No. 68 tahun
1998)
Alikodra (1998) mengemukakan pula bahwa daerah penyangga adalah
wilayah yang berada di luar kawasan konservasi, baik sebagai kawasan hutan,
tanah negara bebas maupun tanah negara yang dibebani hak dan diperlukan
serta mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi. Pada prinsipnya daerah
penyangga dapat berfungsi sebagai penyangga terhadap berbagai macam
29
kegiatan yang dapat merusak potensi sumberdaya alam taman nasional dan juga
berfungsi untuk melindungi manusia dari binatang liar pemangsa. Daerah
penyangga taman nasional adalah suatu kawasan yang berfungsi melindungi
taman nasional dari gangguan manusia atau juga melindungi kehidupan manusia
dari gangguan yang berasal dari taman nasional.
Selanjutnya MacKinnon et al. (1993) memberikan batasan bahwa daerah
penyangga merupakan kawasan yang berdekatan dengan kawasan yang
dilindungi dan berfungsi sebagai lapisan perlindungan tambahan bagi kawasan
yang dilindungi dan sekaligus bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Daerah
penyangga bertujuan untuk: 1) menyelamatkan potensi kawasan dari berbagai
macam gangguan baik oleh manusia, ternak ataupun pencemaran lingkungan; 2)
mengembangkan dan membina hubungan tradisional antara masyarakat dengan
alam, sehingga tercipta adanya integrasi antara manusia dan alam pada kondisi
yang lebih baik; 3) memberikan perlindungan terhadap masyarakat daerah
pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dari gangguan satwa liar yang
berasal dari kawasan konservasi; 4) meningkatkan produktivitas lahan melalui
pola usahatani yang lebih intensif; 5) meningkatkan kesadaran dan partisipasi
masyarakat terhadap upaya pelestarian alam dan lingkungan; 6)
mengembangkan jenis-jenis kebutuhan pokok yang berasal dari kawasan
konservasi dengan pengembangan pola budidaya baik untuk protein hewani
maupun protein nabati; 7) mengembangkan sistem jasa yang berkaitan dengan
kegiatan pengelolaan kawasan konservasi.
MacKinnon et al. (1993) mengemukakan pula bahwa dasar umum yang
digunakan dalam penetapan suatu kawasan sebagai taman nasional adalah: 1)
karakteristik atau keunikan ekosistem, 2) mempunyai keanekaragaman spesies
atau spesies khusus yang “bernilai”, 3) mempunyai landskap dengan ciri geofisik
atau estetika yang “bernilai”, 4) mempunyai fungsi perlindungan hidrologi (tanah,
air, iklim), 5) mempunyai sarana untuk rekreasi alam atau kegiatan wisata dan 6)
mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi diantaranya: candi, batuan
megalit, dan rumah adat. Kemudian di dalam PP No. 68 tahun 1998 tentang KSA
KPA pada Pasal 31 dikatakan bahwa suatu kawasan ditunjuk sebagai suatu
kawasan taman nasional apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin
kelangsungan proses ekologis secara alami;
30
2) memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis
tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang
masih utuh dan alami;
3) memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
4) memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai
pariwisata alam; dan
5) merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona
pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena kepentingan
rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan
dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Umar (2004) mengemukakan
bahwa CSIAD-CP telah memfasilitasi pembentukan Forum Konservasi sebagai
Forum Wilayah Penyangga Taman Nasional Lore Lindu pada lima wilayah
kecamatan (Kecamatan Palolo, Kecamatan Kulawi, Kecamatan Lore Utara,
Kecamatan Lore Tengah, dan Kecamatan Lore Selatan) dimana TNLL berada.
Persoalan penting yang perlu diketahui menyangkut daerah penyangga adalah
berimpitnya batas TNLL dengan halaman rumah penduduk pada beberapa
daerah yang berbatasan langsung dengan TNLL sehingga penetapan daerah
penyangga pada wilayah tersebut dibutuhkan fleksibilitas posisi atau situasi
daerah penyangga relatif terhadap kawasan konservasi (Ebregt dan Greve
2000).
2.3. Konflik dalam Pengelolaan Taman Nasional
Paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang lebih menitikberatkan
pada aspek ekologi semata, tanpa memperhatikan kepentingan sosial ekonomi
masyarakat di sekitarnya menghasilkan kebijakan pengelolaan kawasan
konservasi yang salah arah (misleading policy). Hal ini disebabkan karena
pengelolaan kawasan konservasi yang sentralistik dengan perencanaan dan
keputusan-keputusan yang bersifat topdown akibatnya nilai dan kepentingan dari
pengelolaan kawasan konservasi tidak searah dengan nilai dan kepentingan
masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Implikasi dari kondisi ini adalah
terjadinya ketidakstabilan yang ditandai dengan terjadinya konflik kepentingan
antara pengelola kawasan dengan stakeholder lainnya terutama komunitas-
komunitas lokal yang berada di sekitar kawasan tersebut.
31
Fisher et al. (2001) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua
pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki
sasaran-sasaran yang satu sama lain tidak sejalan. Dikemukakan pula bahwa
konflik timbul karena adanya kesenjangan status sosial, akses yang tidak
seimbang terhadap sumberdaya, kekuasaan yang tidak seimbang yang
kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran,
kemiskinan, penindasan, dan kejahatan.
Berkaitan dengan itu, Priscoli (1997) membedakan lima penyebab utama
terjadinya konflik, yakni: 1) data, 2) kepentingan, 3) nilai, 4) hubungan, dan 5)
struktural. Konflik akibat data disebabkan oleh keterbatasan informasi, informasi
yang keliru, interpretasi yang berbeda serta perbedaan pandangan terhadap
data. Konflik kepentingan terjadi karena adanya kepentingan atau kebutuhan
yang saling bertentangan atau tidak cocok diantara pihak-pihak yang bertikai.
Konflik nilai terjadi karena adanya penggunaan kriteria yang berbeda untuk hasil
(outcome) yang disebabkan oleh perbedaan ideologi, kepercayaan agama,
pandangan hidup, dan gaya hidup. Sementara itu, konflik bisa juga karena
hubungan-hubungan yang tidak harmonis, biasanya menyangkut emosi yang
kuat, komunikasi yang mandeg, dan prilaku negatif yang terus berulang. Konflik
struktural berkaitan dengan bagaimana sesuatu yang di set-up, batasan peran,
kendala waktu dan ruang, serta ketimpangan dalam kekuatan/kekuasaan atau
kontrol terhadap sumberdaya.
Winardi (1994), membedakan tiga wujud konflik, yakni konflik bersifat
tertutup (latent), mencuat (emerging) atau terbuka (manifest). Konflik laten
dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya
berkembang, atau belum terangkat ke puncak-puncak kutub konflik. Seringkali
salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik. Konflik mencuat
adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi,
diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses
penyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka merupakan
konflik dimana pihak-pihak terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi,
mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan
buntu.
Selanjutnya Tadjudin (2000) mengemukakan bahwa sumber konflik
adalah karena adanya perbedaan pada berbagai tataran yakni: 1) perbedaan
persepsi, 2) perbedaan pengetahuan, 3) perbedaan tata nilai, 4) perbedaan
32
kepentingan, dan 5) perbedaan akuan hak kepemilikan. Kemudian Fuad dan
Maskanah (2000) berpendapat bahwa konflik adalah benturan yang terjadi antara
dua pihak atau lebih yang disebabkan oleh perbedaan nilai, status, kekuasaan,
dan kelangkaan sumberdaya, dimana masing-masing pihak mempunyai
kepentingan yang sama terhadap sumberdaya. Fuad dan Maskanah (2000)
menyatakan pula bahwa akhir-akhir ini wujud konflik sumberdaya alam telah
menjadi konflik yang mencuat, tumpang tindihnya kepentingan pada suatu
wilayah hutan yang sama pada akhirnya menimbulkan konflik yang tidak
terhindarkan.
Terkait dengan konflik, maka konflik antara pengelola kawasan
konservasi dengan masyarakat ditandai dengan sifat benci, saling tidak percaya
(mistrust), dan terjadinya hambatan-hambatan psikologis dan komunikasi
diantara mereka (miscommunication each others). Konflik yang tidak segera
ditangani akan mencuat dan akhirnya akan menjadi konflik terbuka (open
conflict). Konflik ini ditandai dengan terjadinya benturan-benturan fisik,
pengambilalihan otoritas kawasan yang disertai dengan ”pencurian” dan bahkan
”penjarahan” besar-besaran terhadap sumberdaya yang ada di dalam kawasan.
Salah satu aspek penting dalam menganalisis dinamika konflik adalah
perbedaan kekuatan (power) yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Kekuatan yang dimiliki pihak pengelola kawasan konservasi dalam
mempertahankan kawasannya karena adanya topangan legal, dukungan dari
pihak-pihak keamanan, dukungan dana, serta tingkat pendidikan. Sementara itu,
masyarakat setempat biasanya mengandalkan pada alasan kesejarahan,
kedekatan sumberdaya kawasan dengan mereka, dukungan dari pihak-pihak luar
yang peduli dengan kehidupan masyarakat.
Wilardjo dan Budi (2000) mengemukakan bahwa perubahan dan
pergeseran kekuatan yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berkonflik akan
berpengaruh terhadap intensitas konflik. Salah satu faktor eksternal yang paling
besar pengaruhnya terhadap terjadinya perubahan dan pergeseran kekuatan
antara pihak-pihak yang berkonflik karena adanya perubahan iklim sosial,
ekonomi, dan politik (reformasi). Dalam konteks pengelolaan kawasan
konservasi di Indonesia, keberanian komunitas lokal dalam melakukan
penjarahan massal atas sumberdaya di dalam kawasan merupakan indikasi
meningkatnya power yang dimiliki masyarakat di satu sisi dan di sisi lain adalah
33
melemahnya power yang dimiliki oleh pihak pengelola kawasan, akhirnya
memicu intensitas terjadinya konflik pengelolaan kawasan.
2.4. Teori Co-management
Borrini-Feyerabend et al. (2000), memberikan pengertian bahwa co-
management adalah suatu kondisi dimana dua atau lebih stakeholder
bernegosiasi, menetapkan dan memberikan garansi diantara mereka serta
membagi secara adil mengenai fungsi pengelolaan, hak dan tanggungjawab dari
suatu daerah teritori atau sumberdaya alam tertentu. Stakeholder adalah mereka
yang terlibat dan terpengaruh oleh kebijakan.
Conservation Union dalam Resolusinya tahun 1996 menjelaskan dasar
dari co-management, atau joint participatory atau multistakeholder management
adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna
sumberdaya, lembaga non-pemerintah dan kelompok yang berkepentingan
lainnya dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang
kewenangan dan tanggungjawab untuk mengelola daerah spesifik atau
sumberdaya (IUCN 1997).
Knight dan Tighe (2003) mendefinisikan bahwa co-management adalah
suatu bentuk kerjasama yang dikembangkan bersama oleh pemerintah dan
masyarakat dalam menjalankan suatu program pengelolaan sumberdaya alam.
Konsep co-management antara masyarakat dan pemerintah merupakan mitra
yang bekerja bersama-sama dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu
kawasan. Pengembangan konsep kerjasama antara pemerintah dan masyarakat
dalam menjalankan suatu program pengelolaan sumberdaya alam, memiliki
peran dan fungsi yang jelas antara masing-masing pihak. Co-management dalam
pengelolaan sumberdaya alam adalah suatu bentuk pengelolaan sumberdaya
yang kegiatannya didasarkan pada kerjasama antara masyarakat dan
pemerintah yang berorientasi pada optimalisasi pencapaian tujuan organisasi.
Co-management tidak saja dilihat dari hubungan kerjasama antara pemerintah
dengan masyarakat, namun lebih luas lagi pada lingkup stakeholders dalam
pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan bersama.
Selanjutnya Claridge dan O’Callaghan (1995) mengemukakan bahwa co-
management adalah partisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya oleh
masyarakat baik secara individu maupun kelompok yang mempunyai keterkaitan
atau kepentingan dengan sumberdaya tersebut. Dikemukakan pula bahwa ada
tiga elemen penting dari co-management yakni:
34
1) Pembagian wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan
sumberdaya berdasarkan rencana yang dipahami dan disetujui oleh
semua pihak;
2) Tujuan sosial, budaya, dan ekonomi merupakan bagian yang terintegrasi
dari strategi pengelolaan; dan
3) Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya merupakan tujuan utama.
Berkaitan dengan itu Borrini-Feyerabend et al. (2000) mengemukakan
bahwa co-management memiliki pula prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Mengakui perbedaan nilai, kepentingan dan kepedulian para pihak yang
terlibat dalam mengelola wilayah atau kesatuan sumberdaya alam, baik di
luar maupun di dalam komunitas lokal;
2) Terbuka bagi berbagai model hak pengelolaan sumberdaya alam selain
pengelolaan yang secara legal telah ada dimiliki oleh pemerintah atau
pihak yang berkepentingan;
3) Mengusahakan terciptanya transparansi dan kesetaraan dalam
pengelolaan sumberdaya alam;
4) Memperkenankan masyarakat sipil untuk mendapatkan peranan dan
tanggungjawab yang lebih nyata;
5) Mendayagunakan dengan saling memperkuat kapasitas dan keunggulan
komparatif dari berbagai aktor yang terlibat;
6) Lebih menghargai dan mementingkan proses ketimbang hasil produk fisik
jangka pendek; dan
7) Memetik pelajaran melalui kaji ulang secara terus menerus dan
memperbaiki pengelolaan sumberdaya alam;
Co-management adalah suatu kesepakatan dimana tanggung jawab
pengelolaan sumberdaya dibagi antara pemerintah di satu sisi dan stakeholders
di sisi lain dengan tujuan untuk menjaga integritas ekologi sumberdaya alam
(National Round Table on the Environment and the Economy = NRTEE 1999).
Co-management memiliki pula beberapa prinsip dasar yakni: 1) pemberdayaan
dan pembangunan kapasitas, 2) pengakuan terhadap kearifan dan pengelolaan
tradisional, 3) perbaikan hak masyarakat lokal, 4) pembangunan berkelanjutan,
5) akuntabel dan transparan, 6) pelestarian lingkungan sumberdaya, 7)
pengembangan mata pencaharian, 8) keadilan, dan 9) keterpaduan (Knight &
Tighe 2003).
35
Selanjutnya Sen dan Nielsen (1996) mengajukan lima tahapan co-
management yakni:
1) Instruktif; pada tipe co-management ini hampir sama dengan pengelolaan oleh
pemerintah. Perbedaannya sedikit sekali yakni adanya sedikit dialog antara
pemerintah dan masyarakat akan tetapi proses dialog yang terjadi bisa
dipandang sebagai suatu instruksi karena pemerintah lebih dominan
perannya, dimana pemerintah menginformasikan kepada masyarakat
rumusan-rumusan pengelolaan sumberdaya alam yang pemerintah
rencanakan untuk dilaksanakan;
2) konsultatif; pada tipe ini ada mekanisme yang mengatur sehingga pemerintah
berkonsultasi dengan masyarakat, hanya saja sekalipun masyarakat bisa
memberikan berbagai masukan kepada pemerintah, keputusan bahwa apakah
masukan itu harus digunakan tergantung sepenuhnya pada pemerintah, atau
dengan kata lain pemerintahlah yang berperan dalam merumuskan
pengelolaan sumberdaya alam;
3) kooperatif; tipe ini menempatkan masyarakat dan pemerintah pada posisi yang
sama; dengan demikian semua tahapan manajemen sejak pengumpulan
informasi, perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi dan pemantauan
institusi co-management menjadi tanggung jawab kedua belah pihak. Pada
bentuk ini masyarakat dan pemerintah adalah mitra yang sama
kedudukannya;
4) pendampingan atau advokasi; pada bentuk ini, peran masyarakat cenderung
lebih besar dari peran pemerintah. Masyarakat memberi masukan kepada
pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan. Masyarakat dapat pula
mengajukan usul rancangan keputusan yang hanya tinggal dilegalisir oleh
pemerintah. Kemudian pemerintah mengambil keputusan resmi berdasarkan
usulan atau inisiatif masyarakat. Pemerintah lebih banyak bersifat
mendampingi masyarakat atau memberikan advokasi kepada masyarakat
tentang apa yang sedang dikerjakan oleh mereka; dan
5) informatif; pada bentuk ini, peran pemerintah makin berkurang dan di sisi lain
peran masyarakat lebih besar dibandingkan dengan empat bentuk co-
management sebelumnya. Dalam hal ini pemerintah hanya memberikan
informasi kepada masyarakat tentang apa yang sepantasnya dikerjakan.
Dalam kontribusi yang lebih nyata, pemerintah menetapkan delegasinya untuk
bekerja- sama dengan masyarakat dalam seluruh tahapan pengelolaan
36
sumberdaya alam, mulai dari pengumpulan data, perumusan kebijakan,
implementasi, serta pemantauan dan evaluasi.
Hasil kerjasama tersebut dilaporkan atau diinformasikan oleh delegasi
pemerintah kepada pemerintah. Dari kelima kategori co-management tersebut
disajikan pada Gambar 2.
Fisher (1995) menekankan pula bahwa konsep dasar dari co-
management yang berkaitan dengan sektor kehutanan adalah tercapainya
kesepakatan tentang pengelolaan hutan antara pihak pengelola dengan
masyarakat lokal. Masyarakat lokal berperan dalam hal pengelolaan dan
perlindungan, sebagai imbalannya, masyarakat lokal mempunyai akses untuk
memanfaatkan hasil-hasil hutan, dan memperoleh keuntungan dengan
peningkatan pendapatan. Penyederhanaan dari definisi co-management oleh
Fisher dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2 Tahapan dari Co-management (Sen & Nielsen1996; Pomeroy 2001).
Nationa
Gambar 3 Prinsip Dasar dari Co-management (Fisher 1995).
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan maka dapat
diartikan bahwa pengelolaan dengan pola co-management untuk kawasan
Stated-based management
Community-based management
Co-management
Instructive – Consultative – Cooperative – Advisory -Informative
National Park
Authority
CONSENSUS Access/benefit/income
Responsible for
protection
COLLABORATIVE MANAGEMENT
Local People
37
konservasi adalah kemitraan di antara berbagai pihak yang berkepentingan yang
menyetujui berbagi fungsi, wewenang dan tanggung-jawab dalam pengelolaan
suatu kawasan konservasi. Co-management berbeda dengan pengelolaan
partisipatori lainnya atau dengan pengelolaan berbasis masyarakat (community-
based resources management), karena menuntut adanya kesadaran dan
distribusi tanggung-jawab pemerintah secara formal (Borrini-Feyerabend et al.
2000). Dalam konteks ini, konsultasi masyarakat dan perencanaan partisipatori
ditujukan untuk menetapkan bentuk-bentuk peranserta yang lebih tahan lama,
terukur dan setara dengan melibatkan seluruh kelompok yang berkepentingan
terkait dan sah (legitimate) dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya alam.
Co-management atau pengelolaan kolaboratif (collaborative mana-
gement), disebut juga sebagai pengelolaan kooperatif (cooperative
management), round-table management, share management, pengelolaan
bersama (joint management) atau pengelolaan multi-pihak (multistakeholder
management). Co-management telah diterapkan dalam bidang perikanan, taman
nasional, kawasan dilindungi (protected area), kehutanan, satwa liar (wildlife),
lokasi pengembalaan, dan sumberdaya air (Conley & Moote 2001).
Co-management dalam mengelola kawasan konservasi di Indonesia
memang diperlukan, karena menyangkut kompleksnya sub-sistem ekologi,
budaya, ekonomi dan politik dengan keterkaitan berbagai isu dan keterlibatan
banyak kelompok kepentingan dalam masing-masing subsistemnya. Co-
management menjadi penting ketika tidak adanya kesepakatan yang dapat
dibangun secara sederhana dan universal untuk mendapatkan solusi terbaik dari
konflik yang terjadi. Kerjasama dari seluruh stakeholder dalam pengelolaan
kawasan konservasi akan meringankan beban biaya yang dibutuhkan karena
para pihak yang terkait akan saling bahu membahu menyumbangkan
sumberdaya yang dimilikinya berupa pengetahuan, tenaga, informasi maupun
finansial.
Transformasi pola pengelolaan sumberdaya alam oleh negara, swasta,
dan kemudian kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat lokal agaknya
merupakan tuntutan universal, yang berlaku bukan cuma di Indonesia. Di India
telah terjadi empat tahap evolusi pola pengelolaan sumberdaya alam, khususnya
hutan, dari kolonialisme, komersialisme, konservasi, dan sekarang kolaborasi,
sementara di Nepal terjadi tiga tahap evolusi yakni privatisasi, nasionalisasi, dan
populisme (David et al. 2003). Bahkan pergeseran juga terjadi di beberapa
38
negara bagian Amerika Serikat tempat asal muasal pengelolaan eksklusif
kawasan konservasi yang mulai bergeser menuju co-management. Peranserta
masyarakat yang meluas dan tidak sekedar simbolik ternyata menunjukkan hasil
yang baik dimana produktifitas tercapai tanpa menyampingkan kepentingan
kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat lokal. Pemerintah di Negara
India dan Nepal, berkeyakinan bahwa masyarakat lokal berkemampuan, memiliki
pengetahuan, dan kearifan yang handal untuk mengelola sumberdaya alam
secara produktif dan lestari. Kolaborasi dengan masyarakat lokal merupakan
kebutuhan dan keharusan, karena tujuan produksi dan pelestarian dapat dicapai
secara lebih efektif dan pada saat yang sama tercipta suatu mekanisme resolusi
konflik yang interaktif dan dialogis (Means et al. 2002).
Beberapa contoh co-management yang telah berhasil dilaksanakan
dalam pengelolaan taman nasional ( Merrill dan Effendi 2001) diantaranya
adalah:
1. Co-management di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara yang wadahnya
dikenal dengan DPTNB (Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken).
Salah satu hasil rumusannya adalah penentuan tarif masuk TN Bunaken dan
pendistribusian hasil pungutan tarif masuk tersebut yang diperkirakan sekitar
Rp750 juta per tahun. Pendistribusian tersebut yakni: 5% untuk dana
pembangunan propinsi, 5% untuk pembiayaan pembangunan daerah-kota,
5% untuk pusat yang diperuntukkan untuk pembangunan KSDA dan
ekosistemnya melalui Dephut cq. Ditjen PKA), dan 85% untuk dana
pendukung pengelolaan TN Bunaken.
2. Co-management di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur yang dikenal
dengan Mitra Kutai, berhasil memberikan kontribusi bantuan keuangan bagi
pengelolaan TN Kutai melalui rencana kerja tahunan senilai US$ 100.000 –
US$150.000 per tahun.
3. Co-management di Great Barrier Reef Marine Park, Australia yang dikelola
oleh badan otorita khusus dengan mempekerjakan ratusan orang dan
memperoleh lebih dari 1 (satu) juta Dollar Australia setiap tahunnya. Dalam
pengelolaan taman nasional ini Kepala Taman Nasional selalu berkonsultasi
dengan kelompok-kelompok yang berkepentingan termasuk masyarakat di
sekitar taman nasional yang kehidupannya tergantung dari sumberdaya
taman nasional tersebut. Selain itu workshop diantara para kelompok yang
berkepentingan sering pula dilaksanakan untuk menyetujui keputusan
39
pengelolaan yang spesifik seperti pengaturan peruntukan (zoning).
Keberhasilan co-management tersebut akhirnya diikuti oleh Kakadu National
Park dan Coburg National Park.
Gagasan dasar dari Acheson (1989) dapat dijadikan acuan mengapa
pengelolaan kawasan konservasi membutuhkan pengelolaan yang
bergotongroyong. Menurut Acheson konsep pengelolaan sumberdaya publik,
seperti halnya kawasan konservasi menunjukkan kombinasi derajat intensitas
keterlibatan pemerintah di satu pihak dan masyarakat di pihak lain serta dampak
yang ditimbulkan.
Atas dasar kombinasi tersebut, dihasilkan 4 alternatif pola pengelolaan
sumberdaya alam sebagai berikut:
Pertama, apabila masyarakat lokal dan pemerintah bersama-sama tidak
melakukan kontrol secara intensif terhadap pengelolaan sumberdaya, akan
menjadikan sumber daya tersebut didayagunakan secara terbuka sebagaimana
halnya suatu sumberdaya terbuka (open access). Dalam pola pengelolaan yang
tidak jelas pengelolanya justru akan mengundang terjadinya the tragedy of the
common yang berujung pada pemusnahan sumberdaya tersebut, karena
adanya pemanfaatan yang berlebihan oleh manusia melampaui daya dukung.
Kedua, apabila pemerintah melakukan kontrol mutlak terhadap pengelolaan
sumberdaya, maka akan menghasilkan pola pengelolaan berbasis pemerintah
(state-based management). Pola inilah yang selama ini berlangsung di
Indonesia. Dalam pola ini, peranan masyarakat dikesampingan, kalau pun ada
hanya bersifat simbolik dan dengan demikian masyarakat kehilangan rasa
memiliki dan rasa bertanggung-jawab. Padahal masyarakat juga mempunyai
kapasitas tertentu dalam mengelola sumberdaya. Karena itu, masyarakat merasa
tidak mempunyai kepentingan membantu pemerintah melakukan upaya-upaya
pemeliharaan sumberdaya dan disamping itu pemerintah juga mempunyai
keterbatasan kapasitas mengelola. Pada akhirnya, pola ini akan terjebak pada
pola pertama.
Ketiga, apabila masyarakat melakukan kontrol sepenuhnya terhadap
pengelolaan sumberdaya, maka akan menghasilkan pola pengelolaan berbasis
masyarakat (community-based management). Masyarakat itu sendiri sebenarnya
terdiri dari fragmen-fragmen yang cukup luas, ada masyarakat pengguna dan
ada masyarakat di luar pengguna. Ketika masyarakat pengguna melakukan
tindakan pengelolaan yang arif bijaksana, seringkali terdapat gangguan dari
40
masyarakat lain di luar teritorialnya. Jika intensitas gangguan itu meningkat,
masyarakat pengguna tidak mampu lagi menanggulanginya secara berdikari
serta ditambah dengan tidak ada dukungan kebijakan dari pemerintah dan pada
akhirnya pola ini pun akan kembali terperangkap pada pola pertama.
Keempat, apabila kontrol pemerintah dan masyarakat itu sangat besar dan
dalam posisi yang setara dan seimbang dalam proses pengambilan keputusan,
maka akan menghasilkan pola pengelolaan kolaboratif atau co-management.
Secara empirik, inilah pola pengelolaan yang ideal. Co-management merupakan
pilihan pola pengelolaan kawasan konservasi yang paling masuk akal. Pilihan ini
akan menciptakan perimbangan kontrol masyarakat dan pemerintah terhadap
sumberdaya kawasan konservasi, yang memungkinkan kawasan konservasi
tidak terdegradasikan menjadi suatu sumberdaya terbuka.
Borrini-Feyerabend et al. (2000) secara gamblang memberikaan
argumentasi mengapa co-management penting dilaksanakan: 1) Pengelolaan
yang efektif memerlukan adanya pengetahuan, kemampuan, sumberdaya dan
keunggulan komparatif dari berbagai pihak yang berkepentingan dan hanya
melalui co-management hal tersebut dapat dipenuhi, 2) Kebutuhan kesetaraan,
keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat
adalah pembayar pembangunan konservasi, sehingga wajar kalau
diperhitungkan dalam pengambilan keputusan, 3) Keinginan untuk mengakhiri
konflik di antara para pihak berkepentingan tanpa adanya pihak yang dikalahkan
dalam pengelolaan sumberdaya alam, 4) Interaksi antara masyarakat dan
lingkungan adalah bagian dari alam dan keanekaragaman hayati, sehingga
keduanya tidak dapat dipisahkan, 5) Seiring dengan tuntutan akan kemandirian
daerah dalam mengurus dan mengelola sumberdaya alam mereka dalam
semangat otonomi daerah dan desentralisasi, 6) Sebagai salah satu cara untuk
mencapai pengelolaan yang profesional, mandiri dan bertanggungjawab pada
publik, 7) Otoritas tunggal terbukti tidak efektif dalam mengelola kawasan
konservasi, khususnya dalam mengurangi kerusakan kawasan dan menggalang
dukungan para pihak lokal dalam pengelolaan kawasan konservasi, 8) Otoritas
tunggal yang sentralistik berada pada posisi terjepit oleh realitas lokal mengenai
upaya pemda dan masyarakat lokal meningkatkan kesejahteraan serta
pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai penerima manfaat jasa ekologis dari
kawasan konservasi, para pihak lokal turut bertanggungjawab untuk menjaga
41
dan melestarikan kawasan konservasi yang dapat dibangun dengan pola co-
management.
Nikijuluw (1999) mengemukakan bahwa pada dasarnya tujuan utama
yang ingin dicapai dari setiap pelaku dalam pengelolaan sumberdaya melalui co-
management adalah pengelolaan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil
dan merata. Tujuan utama tersebut menjadi lebih konkrit dan lebih nyata ukuran
keberhasilannya bila dikaitkan dengan beberapa tujuan sekunder sebagai
berikut:
1) Co-management merupakan suatu cara untuk mewujudkan proses
pengambilan keputusan secara desentralisasi sehingga dapat memberikan
hasil yang lebih efektif
2) Co-management adalah mekanisme atau cara untuk mengurangi konflik antar
masyarakat melalui proses demokrasi partisipatif
3) Co-management mempunyai tugas-tugas dalam hal perumusan kebijakan,
estimasi potensi sumberdaya, penentuan hak-hak pemanfaatan, pengaturan
cara-cara eksploitasi, pengaturan pasar, pemantauan, pengendalian, dan
penegakan hukum.
Berkaitan dengan itu ada beberapa karakteristik dari keberhasilan co-
management yakni (Claridge & O”Callaghan 1995; Alikodra 2004):
1) Keuntungan integrasi konservasi dan pembangunan diakui oleh
pemerintah dan stakeholders lain
2) Pemerintah mendukung dan memfasilitasi secara aktif ”involment”
masyarakat setempat dalam manajemen sumberdaya alam dan
konservasi
3) Para pihak memberikan perhatian dan berpartisipasi secara penuh
4) Terselenggaranya ”appropriate sharing” (sumberdaya, informasi,
kedudukan/kemampuan, dan keputusan)
5) Para pihak mengerti secara penuh dan saling percaya, dan mempunyai
peran yang jelas
6) Akar permasalahan dimengerti dan disetujui untuk ditindak lanjuti
7) Keuntungan yang jelas diantara para pihak
8) Para pihak memiliki kemampuan yang cukup (skills, financial, capability).
The Worldwide Fund for Nature of Indonesia (WWF-Indonesia) telah
melakukan upaya konservasi dengan pendekatan co-management dan
mendorong mutual respect, mutual trust, dan mutual benefit dalam pengelolaan
42
sumberdaya alam diantara para pihak. Pengelolaan kawasan konservasi dengan
pola co-management melibatkan para stakeholder inti dengan menganut prinsip
kesetaraan, keterbukaan, dan partisipatif (WWF-Indonesia 2008). Pada
prinsipnya ada dua aspek esensial dari pendekatan co-management:
menciptakan hubungan antara konservasi dan pembangunan, dan menyatakan
pentingnya melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dalam mengelola taman
nasional sebagai sumber perolehan manfaat ekonomi sekaligus
mempertahankan keberlanjutan fungsi taman nasional untuk konservasi,
perlindungan, dan pemanfaatan.
2.5. Konsep untuk Mengembangkan Co-management
2.5.1. Konsep Partisipasi
Terminologi dari partisipasi memiliki arti yang luas. Berdasarkan
pandangan politik partisipasi berkaitan dengan keterlibatan seseorang dalam
proses pengambilan keputusan, sedangkan dari sudut pandang sosial partisipasi
merupakan cerminan interaksi diantara kelompok-kelompok masyarakat (Mueller,
1975). Sebagian ahli mendefenisikan partisipasi sebagai keikutsertaan
masyarakat, baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan
terbentuk sebagai akibat dari terjalinnya interaksi sosial antar individu atau
kelompok masyarakat yang lain (Wardoyo et al. 2000). Demikian halnya Craig
dan Mayo (1995) menyebutkan partisipasi sebagai keterlibatan mental,
pemikiran, dan perasaan seseorang di dalam situasi kelompok, yang
mendorongnya untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok
tersebut dalam usaha mencapai tujuan bersama, dan turut bertanggung jawab
terhadap usaha yang dimaksud.
Mubyarto (1984) mengartikan partisipasi sebagai suatu bentuk kesediaan
membantu berhasilnya setiap kegiatan, sesuai dengan kemampuan tiap-tiap
individu tanpa mengorbankan diri sendiri. Lebih jauh, Slamet (2003) memaknai
partisipasi masyarakat sebagai wujud keikutsertaan masyarakat dalam setiap
tahapan kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya ikut memanfaatkan dan
menikmati hasil-hasil pembangunan. Jadi, bukan hanya menyumbangkan input
ke dalam pembangunan, namun lebih jauh ikut serta memanfaatkan dan
menikmati hasil-hasil pembangunan.
Partisipasi dalam manajemen taman nasional memiliki arti dengan
spektrum yang luas mulai dari memberikan informasi kepada masyarakat tentang
43
desain taman nasional hingga pelibatan masyarakat secara penuh dalam
pengelolaan. Partisipasi di bidang pembangunan biasanya mencakup
keterlibatan mental dan emosional, penggeraknya adalah kesediaan memberikan
kontribusi dalam pembangunan dan kesediaan turut bertanggung jawab.
Partisipasi diartikan pula sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari massa
penduduk pada tingkatan-tingkatan yang berbeda di dalam proses pengambilan
keputusan untuk pengalokasian sumberdaya untuk mencapai suatu tujuan,
pelaksanaan program dan proyek secara sukarela, dan pemanfaatan hasil-hasil
dari suatu program atau suatu proyek (Slamet 1989). Kemudian Rahardjo (2003)
mengemukakan bahwa pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
hutan akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengakses sumberdaya
hutan sebagai sumber matapencaharian, dengan demikian pengelolaan
sumberdaya hutan akan mengangkat status kesejahteraan masyarakat sekitar
hutan.
Cohen dan Uphoff (1977) berpendapat bahwa partisipasi adalah: a)
keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan tentang tindakan
yang dilakukan, b) bagaimana keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan
program dan keputusan dalam kontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam
suatu organisasi atau kegiatan khusus, c) berbagi manfaat dari program
pembangunan, atau d) keterlibatan dalam eveluasi program. Terkait dengan itu
Cohen dan Uphoff (1977) mengidentifikasi pula beberapa karakteristik penting
dari masyarakat perdesaan yang kemungkinan besar menentukan partisipasi
mereka dalam proyek-proyek pembangunan pedesaan. Karakteristik yang
dimaksud adalah umur dan jender, status keluarga, pendidikan, status sosial,
pekerjaan, tingkat dan sumber pendapatan, lama bermukim dan jarak
pemukiman dari proyek, kepemilikan dan masa kepemilikan lahan.
Berkaitan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, Wilcox (1994)
telah mengembangkan partisipasi ke dalam lima tahap yakni: informasi,
konsultasi, keputusan bersama, bekerja sama, dan mendukung kepentingan
masyarakat (Gambar 4 ).
44
Gambar 4 Tahapan dari Partisipasi (Wilcox 1994).
Model ini telah dikembangkan dalam pengertian partisipasi secara umum yang
erat kaitannya dengan pola co-management. Menurut model Wilcox, tingkatan
yang paling rendah dalam mengontrol sumberdaya alam secara keseluruhan
adalah tingkatan informasi, dimana masyarakat diberitahu apa yang
direncanakan dengan maksud untuk mendidik partisipan. Tingkatan selanjutnya
dari partisipasi adalah konsultasi yang berarti menawarkan beberapa opsi atau
pilihan dan menerima umpan balik. Selanjutnya, keputusan bersama berarti
masyarakat didorong untuk memberikan beberapa ide tambahan atau pilihan,
dan secara bersama-sama memutuskan hal yang terbaik ke depan. Tingkat
partisipasi yang lebih tinggi adalah bertindak secara bersama-sama, untuk
mencapai keputusan yang terbaik diantara kepentingan yang beragam atau
berbeda kemudian melaksanakannya. Tahapan yang tertinggi dari kontrol adalah
ketika masyarakat mendapatkan bantuan berdasarkan apa yang mereka
inginkan, berupa dukungan dari pemegang otoritas sumberdaya.
Terkait dengan partisipasi, Nanang dan Devung (2004) lebih rinci
mengembangkan konsep Wilcox menjadi beberapa item, di antaranya:
Tingkat 6: Mobilisasi dengan kemauan sendiri (self-mobilization): masyarakat
mengambil inisiatif sendiri, jika perlu dengan bimbingan dan bantuan
pihak luar. Mereka memegang kontrol atas keputusan dan
pemanfaatan sumberdaya; pihak luar memfasilitasi mereka.
Tingkat 5. Kemitraan (partnership): masyarakat mengikuti seluruh proses
pengambilan keputusan bersama dengan pihak luar, seperti studi
kelayakan, perencanaan, implementasi, evaluasi, dll. Partisipasi
Degree of
control
Supporting
Acting together
Deciding together
Consultation
Information
Substantial
Participation
45
merupakan hak mereka dan bukan kewajiban untuk mencapai
sesuatu Ini disebut “partisipasi interaktif.”
Tingkat 4. Plakasi/konsiliasi (Placation/Conciliation): masyarakat ikut dalam
proses pengambilan keputusan yang biasanya sudah diputuskan
sebelumnya oleh pihak luar, terutama menyangkut hal-hal penting.
Mereka mungkin terbujuk oleh insentif berupa uang, barang, dll.
Tingkat 3. Perundingan (consultation): pihak luar berkonsultasi dan berunding
dengan masyarakat melalui pertemuan atau public hearing dan
sebagainya. Komunikasi dua arah, tetapi masyarakat tidak ikut serta
dalam menganalisis atau mengambil keputusan.
Tingkat 2. Pengumpulan informasi (information gathering): masyarakat
menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang luar. Komunikasi
searah dari masyarakat ke luar.
Tingkat 1. Pemberitahuan (informing): hasil yang diputuskan oleh orang luar
(pakar, pejabat, dll.) diberitahukan kepada masyarakat. Komunikasi
terjadi satu arah dari luar ke masyarakat setempat.
Tingkat-tingkat partisipasi masyarakat tersebut bermanfaat sebagai alat untuk
menilai partisipasi nyata di lapangan. Pada dasarnya partisipasi yang
sesungguhnya terdapat pada Tingkat 5 dan Tingkat 6.
Oakley (1991) menjelaskan bahwa partisipasi sebagai fasilitas atau
perbaikan sistem atau sebagai suatu proses yang dimaksudkan untuk memberi
penguatan pada kemampuan masyarakat desa agar mereka berinisiatif terlibat
secara langsung dalam pembangunan. Cernea (1985) menekankan bahwa
partisipasi berimplikasi pada pemberdayaan masyarakat lokal untuk
menggerakkan kemampuan mereka sebagai aktor-aktor sosial dan bukan
sebagai subjek yang pasif, pengelola sumberdaya, pembuat keputusan dan
mengontrol aktivitas yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kemudian Borrini-
Feyerabend (1996) mengemukakan bahwa partisipasi yang efektif di dalam
pengelolaan sumberdaya alam dapat dipandang sebagai suatu kondisi yang
dengan kondisi tersebut kearifan lokal, keterampilan, dan sumberdaya lainnya
dimobilisasi dan dimanfaatkan secara totalitas. Untuk mencapai partisipasi dalam
pengembangan kapasitas, maka pemberdayaan masyarakat lokal harus menjadi
prioritas.
Lebih jauh Borrini-Feyerabend (1996) mengemukakan pula bahwa
sebagian orang mungkin berargumen kalau keterwakilan yang ditunjuk pada
46
berbagai tingkatan merupakan wakil yang mewakili kepentingan lokal. Ada
kebenaran dalam hal ini, sepanjang prosedur formal demokrasi dihormati, tetapi
ada juga keterbatasan yang jelas terlihat. Sebagai contoh: sistem perwakilan
tidak langsung, jarang sekali cocok untuk menyampaikan kekuatiran/keprihatinan
secara khusus atau terinci dari kelompok kecil stakeholder, dan tentu saja tidak
dapat menyampaikan secara sempurna cakupan pengetahuan dan ketrampilan
dari pengguna sumberdaya lokal. Secara umum, keterwakilan yang sesuai
adalah sangat penting untuk meyakinkan partisipasi stakeholder yang tidak dapat
menikmati status sosial yang tinggi. Secara terinci, Borrini-Feyerabend (1996)
menunjukkan tiga bentuk keterwakilan:
1. Perwakilan diri sendiri; saling berhadapan: masyarakat secara pribadi
mengemukakan opininya, mendiskusikan, memilih, bekerja, menawarkan
kontribusi material, menerima manfaat, dan lain-lain atau dengan kata lain
masyarakat mewakili diri mereka sendiri.
2. Perwakilan langsung; masyarakat mendelegasikan kepada yang lain, sanak
famili, teman atau anggota masyarakat diantara mereka yang dihormati,
pemimpin masyarakat yang berbasis kelompok untuk mewakili mereka dalam
segala macam aktivitas, tetapi memelihara hubungan lansung dengan
perwakilan mereka.
3. Perwakilan tidak langsung; masyarakat mendelegasikan kepada yang lainnya,
para ahli, orang yang memiliki posisi dalam suatu perkumpulan besar,
organisasi swadaya masyarakat (LSM), partai atau pegawai pemerintah untuk
mewakili mereka dalam segala macam aktivitas, tetapi mereka jarang sekali
berinteraksi dengan perwakilan mereka secara langsung.
Penelitian tentang partisipasi telah banyak dilakukan diantaranya oleh
Goldhamer (1943) pada 5.500 penduduk di Chicago yang mengacu pada Skala
Chapin dengan menggunakan lima variabel yakni: 1) jumlah asosiasi yang
dimasuki, 2) frekuensi kehadiran, 3) jumlah asosiasi dimana dia memangku
jabatan, 4) lamanya menjadi anggota, dan 5) tipe asosiasi yang dimasuki.
Duncan dan Artis (1952) melakukan pula penelitian pada 15 organisasi kaum
laki-laki dan 15 organisasi kaum wanita juga mengacu pada skala Chapin.
Sistem penilaian dilakukan dengan cara: 0) jika tidak pernah menjadi anggota, 1)
jika pernah menjadi anggota, 2) jika anggota tapi tidak pernah menghadiri
pertemuan, 3) jika anggota dan aktif menghadiri pertemuan, 4) jika pernah
menjadi pengurus organisasi dan sekarang tidak aktif, 5) jika pernah menjadi
47
pengurus dan sekarang masih aktif, dan 6) jika sekarang menjadi pengurus
(Goldhamer 1943; Duncan dan Artis 1952 dalam Slamet 1989). Penelitian lain
yang dilakukan oleh Kaufman di Kentucky (1949) yang mengukur partisipasi
dalam organisasi formal di masyarakat pedesaan dengan menggunakan dua
variabel yakni: 1) keanggotaan, dan 2) jabatan yang dipegang.
Selanjutnya Slamet (1989) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi
(pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan) berkaitan erat dengan tahapan
partisipasi, lapisan penduduk dengan status sosial lebih tinggi lebih banyak
terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, kelas sosial menengah
lebih banyak dalam proses pelaksanaan, sedangkan kelas sosial yang lebih
rendah lebih banyak hanya dalam proses pemanfaatan.
2.5.2. Konsep Negosiasi
Pendekatan negoisasi dalam co-management adalah kata kunci untuk
mencapai kesepakatan. Sebagaimana yang ditunjukkan sebelumnya, Borrini-
Feyerabend et al. (2000) mendefinisikan co-management sebagai suatu situasi
dimana dua atau lebih stakeholder bernegosiasi, menetapkan dan menjamin
diantara mereka sendiri suatu pembagian yang adil mengenai fungsi manajemen,
kepemilikan dan tanggung jawab untuk suatu teritori tertentu, wilayah atau
seperangkat sumberdaya alam. Leeuwis (2000) menjelaskan bahwa proses
negosiasi merupakan suatu strategi untuk penyelesaian konflik. Lebih jauh lagi
Leeuwis (2000) membagi proses negosiasi kedalam dua kategori. Pertama,
distributif: Berbagai stakeholders berpegang pada persepsi dan posisi mereka
sendiri, dan pada dasarnya menggunakan negosiasi untuk membagi
sumberdaya, keuntungan salah satu pihak merupakan kerugian bagi pihak lain.
Kedua, integratif: Stakeholder mengembangkan suatu definisi dan persepsi
masalah yang baru dan sering kali lebih luas yang berubah berdasarkan proses
pembelajaran kolektif yang kreatif dan berujung pada win-win solution atau
pemecahan yang menguntungkan semua pihak.
Dalam rangka memfasilitasi negosiasi integratif, Venema dan van Den
Breemer (2000) mengidentifikasi sejumlah hal yang secara khas mendasari
suatu proses negosiasi, termasuk persiapan, kesepakatan tentang proses
desain, eksplorasi bersama, analisis situasi, pencarian fakta bersama, menyusun
kesepakatan, berkomunikasi dengan perwakilan, dan memonitor pelaksanaanya.
Jika mengadopsi suatu pendekatan negosiasi membantu terciptanya hasil yang
secara mutual dapat disetujui dalam manajemen sumberdaya alam.
48
Menurut Fisher (1995) ada tiga hal yang harus dipenuhi sebelum
negosiasi dapat dilaksanakan yakni: 1) keragaman kepentingan: konflik
kepentingan kemungkinan timbul dimana saja ketika masyarakat berjuang untuk
perubahan yang berarti; 2) saling ketergantungan: stakeholder harus merasa
saling bergantung satu dengan lainnya dalam menyelesaikan suatu masalah.
Suatu pendekatan negosiasi menjadi mustahil jika stakeholder kunci tidak
percaya kalau mereka saling membutuhkan dalam rangka pencapaian
kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak; 3) kemampuan komunikasi:
stakeholder yang terkait harus mampu berkomunikasi satu dengan lainnya.
Berkaitan dengan negosiasi sebagai pendekatan pencapaian
kesepakatan negosiasi, suatu hal yang penting untuk dicatat adalah pencapaian
sebuah kesepakatan yang dinegosiasi sangat dipengaruhi oleh nilai orientasi dari
fasilitator. Pada kenyataannya, menerapkan pendekatan negoisasi mungkin
merupakan strategi terbaik untuk mendorong terciptanya keharmonisan diantara
stakeholder. Pengakuan terhadap berbagai stakeholder yang terlibat dalam
manajemen sumberdaya alam merupakan basis pendekatan co-management.
Dalam pengaruhnya, co-management berbasis pada identifikasi kepentingan,
hak dan masalah sosial yang terkait dengan sumberdaya alam tertentu,
mempublikasikan semua ini kepada semua pihak yang berkepentingan dan
memulai debat publik untuk mencapai sebuah kesepakatan umum atau kontrak
legal diantara para pihak yang dijalankan oleh pemerintah bila diminta (Venema
dan van Den Breemer 2000).
Sejalan dengan itu, Borrini-Fayerabend (1996) lebih khusus
mengemukakan bahwa posisi stakeholder berdasarkan pada kapasitas dan
kepentingan mereka untuk terlibat dalam negosiasi, dengan kriteria sebagai
berikut:
1) Hak-hak yang telah ada terhadap tanah atau sumberdaya alam dan
pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki untuk manajemen
sumberdaya alam yang berada dalam sengketa;
2) Kehilangan dan kerusakan yang terjadi dalam proses manajemen dan
pentingnya hubungan historis dan kultural dengan sumberdaya alam yang
disengketakan;
3) Tingkat ketergantungan ekonomi dan sosial terhadap sumberdaya alam,
tingkat usaha dan kepentingan dalam manajemen dan keadilan dalam
49
akses terhadap sumberdaya dan distribusi keuntungan dari sumberdaya
alam; dan
4) Kompatibilitas antara kepentingan dan aktivitas stakeholder dengan
kebijakan konservasi, yang mengakui keberadaan atau potensi akibat dari
aktivitas stakeholder terhadap basis sumberdaya.
Banyak kasus menunjukkan kalau masyarakat cenderung bertindak untuk
kepentingan pribadi bukan karena mereka tidak peduli terhadap yang lain, tetapi
karena mereka kurang percaya terhadap institusi dan peraturan dan/atau
informasi menyebabkan mereka memilih opsi kooperatif (Aarts 1998). Terkait
dengan itu, dibutuhkan ruang untuk pembelajaran sosial dan kooperatif yang
tergantung pada kondisi awal dan jenis institusi, hal ini mungkin membutuhkan
negosiasi strategi terlebih dahulu (Baland dan Plateau 1996).
2.5.3. Konsep Property Rights
Bromley (1991) mendefinisikan hak properti sebagai kapasitas untuk
menyatakan kolektifitas yang mendukung klaim seseorang akan suatu manfaat.
Konsep properti yang sejauh ini hanya didefinisikan dalam istilah ekonomi yang
terkait dengan kondisi yang diperlukan untuk berfungsinya pasar secara efisien
seperti objek fisik yaitu tempat tinggal, lahan atau properti lainnya. Terkait
dengan konsep ini, properti bukan suatu obyek, tetapi suatu hubungan sosial
yang membatasi hak-hak pemilik properti yang terkait dengan keuntungan.
Sebagai hubungan sosial, properti akan menghubungkan antara orang yang satu
dengan lainnya yang terkait dengan lahan dan sumberdaya lainnya. Oleh karena
itu, hubungan properti adalah pengaturan kontrak yang terkonstruksi secara
sosial diantara sekelompok orang yang terkait dengan nilai obyek dan lingkungan
mereka (Bromley 1998).
Agrawal dan Ostrom (1999) menggambarkan hak properti sebagai
otoritas yang dapat dilaksanakan untuk mengambil aksi tertentu pada domain
spesifik, dengan demikian hak properti dapat dianggap sebagai institusi atau
peraturan institusi untuk membuat individu-individu menginternalisasi
eksternalitas produksi mereka atau membangun dan memfasilitasi penggunaan
dan pertukaran sumberdaya dan komoditas dalam suatu masyarakat. Salah satu
posisi teoritis mengenai hak properti adalah kalau mereka mengembangkan
untuk internalisasi-ekternalitas ketika perolehan internalisasi menjadi lebih besar
daripada biaya internalisasi (Baland dan Platteu 1996). Institusi seperti itu
berguna untuk meregulasi interaksi perilaku dan sosial terkait dengan obyek
50
yang memiliki nilai, karena institusi ini adalah suatu bentuk hambatan dan
perizinan yang memberi kemampuan kepada individu untuk mengaplikasikannya
dalam situasi ketika nilai obyek tertentu adalah jarang, diskriminasi yang
konsisten, dapat diprediksi dan diterima secara sosial (Challen 2000).
Demsetz (1967) menyatakan bahwa fungsi utama hak properti adalah
memandu insentif dalam rangka menyadari internalisasi-eksternalisasi yang lebih
besar. Terkait dengan sumberdaya alam, hak properti memainkan peranan
dalam menentukan pola kesamaan dan ketidaksamaan akses, dan juga kreasi
insentif untuk keseluruhan manajemen dan perbaikan yang berkelanjutan.
Meinzen-Dick dan Knox (1999) membuat ringkasan mengenai pentingnya hak
properti sebagai berikut: ketetapan insentif untuk manajemen, menyediakan
otorisasi yang diperlukan dan mengontrol sumberdaya, dan memperkuat aksi
kolektif.
Agrawal dan Ostrom (1999) menyatakan ada lima macam hak propeti
yang relefan terhadap eksploitasi sumberdaya alam: hak akses terhadap
sumberdaya, hak mengeluarkan atau memperoleh produk sumberdaya, hak
untuk mengelola sumberdaya, hak untuk pengecualian terhadap yang lain, dan
hak untuk mengalihkan hak kepada orang lain. Eggertsson (1990) juga
menyatakan hal yang serupa yaitu mendefinisikan hak properti sebagai hak
individual untuk memanfaatkan sumberdaya. Sebagai konsep operasional,
sistem hak properti terdiri dari dua komponen: hak properti yaitu sekumpulan hak
kepemilikan yang menetapkan hak dan kewajiban dalam pemanfaatan sumber-
daya alam, dan peraturan properti yang menentukan cara pelaksanaan hak dan
kewajiban (Bromley 1991). Aspek penting dari hak properti adalah apakah hak
properti ini penerapannya telah sesuai atau dibiarkan tidak terdefiniskan atau
spesifikasinya tidak sesuai.
Selanjutnya, hak properti bisa dianggap efisien apabila hak properti ini
memenuhi beberapa hak dasar termasuk di dalamnya kepemilikan, dapat
ditransfer, dan dapat dilaksanakan. Hak properti dan pemenuhan insentif,
merangsang pengguna untuk bekerja sama dalam manajemen sumberdaya
alam. Rezim properti merupakan bagian dari institusi masyarakat, kendala
organisasi yang menyusun struktur interaksi dan bentuk insentif bagi manusia
(North, 1990). Bromley (1998) menyatakan bahwa sebagai suatu institusi hak
properti bisa merupakan kendala dan juga bisa sebagai penunjang.
51
Perbedaan rezim hak properti akan tergantung pada kondisi kepemilikan,
hak dan kewajiban pemilik, peraturan penggunaan, dan tempat pengawasan.
Tabel 1 menunjukkan klasifikasi sederhana dari empat tipe rezim hak properti
dan kewajibannya (McCay dan Acheson 1987; Bromley 1989; Hanna et al.
1995).
Private property mewajibkan pemberian nama kepemilikan individu,
jaminan terhadap pemiliknya untuk mengontrol akses dan hak pemanfaatan
sosial yang dapat diterima (Black 1968). Hal ini mengharuskan pemiliknya untuk
menghindari pemanfaatan khusus yang tidak diterima secara sosial, seperti
polusi air sungai. Common property dimiliki oleh sekelompok orang yang memi-
liki hak untuk mengeluarkan mereka yang bukan pemilik dan berkewajiban
memelihara penggunaan properti sesuai dengan batasan-batasan yang ada
(McCay dan Acheson 1987; Stevenson 1991). Rezim seperti ini seringkali
Tabel 1 Tipe hak kepemilikan
No. Hak kepemilikan Pemilik Hak kepemilikan Kewajiban pemilik
1. Private property perorangan kepemilikan perorangan, pemiliknya dengan mudah untuk meng-akses dan me-ngontrol pemanfaatan sumberdaya
menghindari pemanfaatan yang tidak dapat diterima secara sosial
2. Common property kelompok tidak melibatkan mereka di luar kelompok
pemeliharaan, pemanfaatan sumberdaya terbatas sesuai dengan batasan-batasan yang ada
3. State property negara memanfaatkan sumberdaya sesuai dengan aturan
pemanfaatan untuk tujuan sosial
4. Open access (non-property)
tidak ada pemilik
diperebutkan tidak ada
Sumber: McCay dan Acheson 1987; Bromley 1989; Hanna et al. 1995.
diimplementasikan untuk sumberdaya publik yang sulit untuk dibagi (Ostrom
1990). State property dimiliki oleh negara dalam unit politik yang memberikan
kewenangan kepada agen publik untuk membuat aturan (Black 1968). Agen
publik tersebut memiliki kewajiban untuk memastikan kalau aturan-aturan yang
dibuat mempromosikan tujuan-tujuan sosial. Negara memiliki hak untuk
52
memanfaatkan sumberdaya sesuai dengan aturan. Open access tidak ada
pemiliknya dan terbuka untuk umum. Dinamika dari open access merupakan
dasar dari apa yang disebut “tragedy of the commons”. Dibawah rezim open
access, pemilik tidak memiliki kawajiban untuk memelihara sumberdaya atau
membatasi penggunaannya. Penting untuk diketahui bahwa keempat sistem ini
tidak berlawanan satu dengan lainnya melainkan merupakan sebuah kombinasi
sepanjang spektrum dari open access hingga kepemilikan pribadi (Hanna et al.
1995).
Para ahli hak properti tetap menganggap sistem properti publik lebih
disukai dari pada yang lainnya dalam situasi ketika muncul kegiatan kolektif yang
cukup untuk mengelola sumberdaya alam (Ostrom 1990; Meinzen-Dick dan Knox
1999). Rezim hak properti harus menampilkan fungsi tertentu dengan
penggunaan terbatas, koordinasi pengguna, dan respon terhadap perubahan-
perubahan lingkungan. Aktivitas ini membutuhkankan biaya transaksi untuk
koordinasi, pengumpulan informasi, monitoring dan pelaksanaan (Eggerstsson
1990; Hanna 1995). Semakin langkahnya sumberdaya, maka rezim hak properti
harus semakin memperhitungkan peraturan yang mengatur distribusi
sumberdaya dan pemanfaatan yang menaikkan biaya. Suatu hal yang mungkin
adalah terciptanya suatu sistem dengan biaya pelaksanaan tinggi sehingga jauh
melebihi manfaat yang diperoleh dari pengawasan. Gerakan untuk merubah
rezim hak properti seringkali digerakkan oleh usaha-usaha untuk mengurangi
biaya transaksi.
Hal yang penting dari analisis penelitian ini adalah kenyataan bahwa
sistem co-manajement merupakan kombinasi dari berbagai sistem yang berbeda.
Apabila institusi pemerintah dan masyarakat lokal terlibat maka hal ini
merupakan kombinasi state property dan private property, sehingga dalam
perencanaannya harus memasukkan otoritas pembuat keputusan. Suatu sistem
akan berfungsi dengan baik bila peraturan yang ditetapkan konsisten dengan
kepemilikan misalnya ketika sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat dikelola
melalui pengaturan common property. Tidak peduli apapun jenis sistem properti,
keputusan-keputusan yang berdasarkan pengetahuan tentang kondisi lokal dan
akomodasi pengetahuan lokal merupakan suatu sistem yang paling sesuai dapat
diadaptasi (Tietenberg 1988). Mekanisme yang sesuai untuk mengatasi konflik
harus tersedia. Hal lain yang dibutuhkan adalah sistem monitoring dan
53
pelaksanaan yang tepat untuk penegakan hukum yang sesuai dengan tingkat
pelanggaran untuk melindungi hak klaim (Ostrom 1990).
2.6. Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM)
Konflik kepentingan dalam pengelolaan taman nasional yang terjadi
antara pihak pengelola dan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan
pada beberapa tahun belakangan ini semakin mengemuka. Konflik tersebut
sering muncul ke permukaan akibat dari perbedaan kepentingan untuk
memanfaatkan sumberdaya guna memenuhi kebutuhan di satu sisi dan
konservasi sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan taman nasional di
sisi yang lain. Salah satu konsep konservasi yang banyak diterapkan akhir-akhir
ini adalah Integrated Conservation and Development Program (ICDP).
Pendekatan ini mulai diterapkan pada awal 1980-an di Taman Nasional Bogani
Nani Wartabone yang bertujuan untuk menjembatani kegiatan konservasi
dengan kegiatan pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat dengan
melibatkan masyarakat lokal (Wells dan Brandon 1995).
Konsep ICDP yang diharapkan dapat mengakhiri kontroversi antara
kepentingan pembangunan dan kepentingan konservasi yang dalam
pelaksanaannya, konsep ini kemudian mengalami perkembangan ke arah
penyusunan kesepakatan antara pengelola kawasan konservasi dan
masyarakat. Kesepakatan tersebut pada prinsipnya mengatur hak-hak dan
kewajiban-kewajiban masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang
terdapat di dalam kawasan taman nasional. Kesepakatan konservasi pada
prinsipnya mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat di sekitar
taman nasional dalam menggunakan sumberdaya alam di dalam kawasan.
Kesepakatan semacam ini di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dikenal
dengan istilah Kesepakatan Konservasi Desa (KKD), sementara di TNLL dikenal
sebagai Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM) (Adiwibowo et al. 2009).
Menurut Manullang (1998) KKM/KKD diperlukan karena beberapa
alasan: 1) masyarakat tidak atau belum sepenuhnya mengerti akan maksud
kehadiran sebuah kawasan konservasi di daerah mereka; 2) masyarakat
menyangka mereka akan sangat dirugikan oleh adanya kawasan konservasi di
daerah mereka; 3) pihak pengelola tidak atau belum mengenal sepenuhnya
keadaan dan aspirasi masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Selanjutnya
Manullang (1998) mengemukakan pula bahwa dengan tercapainya kesepakatan
formal antara masyarakat dan pengelola taman nasional, maka KKM/KKD dapat
54
membawa fungsi dan manfaat yakni: 1) alat untuk melaksanakan dan
mengendalikan proses pelimpahan wewenang pengelolaan sumberdaya alam
dari pemerintah kepada masyarakat; 2) media dan proses dimana pihak-pihak
yang berkepentingan bertemu untuk saling mengakui dan menghormati
kehadiran masing-masing; 3) alat yang menunjukkan keterbukaan dan
transparansi antar semua pihak; 4) alat untuk menjamin diakuinya hak-hak
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh pihak-pihak yang
berkepentingan; 5) alat untuk membagi tanggung jawab pengelolaan
sumberdaya alam di antara para pihak; 6) sarana untuk meredam konflik di
lapangan dengan membawanya ke meja perundingan; 7) alat pengendali
perilaku dari pihak-pihak yang terkait
Melalui KKM diharapkan kepentingan masyarakat terhadap sumberdaya
yang terdapat di dalam kawasan TNLL berdasarkan pada kesejarahan, pola
pengelolaan tradisional dan hukum adat atau hukum masyarakat setempat yang
disepakati untuk mendapat pengakuan dari Balai TNLL sebagai otoritas dalam
pengelolaan TNLL. Selain itu KKM diharapkan dapat meminimalisir dampak yang
terjadi akibat perambahan di sekitar kawasan TNLL, dengan keikutsertaan
masyarakat secara aktif dalam pengelolaan TNLL terutama dalam kegiatan
pengamanan kawasan. Kesepakatan tersebut dikenal dengan kesepakatan
konservasi masyarakat (KKM) yang disebut juga dengan community
conservation agreement (CCA).
Hasil studi dari kelompok peneliti STORMA (Stability of Rainforest Margin
in Indonesia), mengkaji KKM di TNLL yang difasilitasi oleh tiga LSM
memperlihatkan bahwa ketiga LSM tersebut memiliki sasaran masing-masing
yaitu: 1) CARE, lebih mengutamakan pada penguatan ekonomi masyarakat
desa, 2) TNC, mengutamakan aspek-aspek konservasi flora dan fauna, dan 3)
YTM memfokuskan diri pada advokasi hak tradisional. Ketiga sasaran tersebut
mengarah pada upaya penyusunan kesepakatan konservasi yang melibatkan
masyarakat. Selain itu, program CSIAD-CP (Central Sulawesi Integrated Area
Development Conservation Project), yang didanai oleh ADB juga dilakukan
dengan pelibatan masyarakat (Mappatoba 2004).
Kesepakatan konservasi berbasis masyarakat yang telah dibangun dan
sudah diterapkan dalam pengelolaan TNLL diantaranya adalah kesepakatan