ii (domba tangkas) dan juga untuk menghasilkan daging....
TRANSCRIPT
7
II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Domba Garut
Domba Garut merupakan ruminansia kecil yang dimanfaatkan sebagai
ternak fancy (domba tangkas) dan juga untuk menghasilkan daging. Taksonomi
domba menurut Heriyadi et al., (2002) yaitu:
Kingdom : Animalia
Phylum :Chordata
Sub Phylum : Vertebrata (bertulang belakang)
Class : Mamalia (hewan menyusi)
Ordo : Artiodactyla (hewan berkuku genap)
Sub Ordo : Ruminansia (hewan yang memiliki rumen)
Family : Bovidae (hewan pemamah biak)
Genus : Ovis
Species : Ovis aries
Domba Garut diyakini berasal dari Kabupaten Garut sebagai Sumber Daya
Genetik Ternak (SDGT) lokal dari Jawa Barat, yang keberadaannya yaitu di
daerah Cibuluh, Cikandang, Cikeris dan di Kecamatan Cikajang serta Kecamatan
Wanaraja. Domba Garut telah mengalami perkembangan yang pesat, dikarenakan
telah banyak dilakukannya penelitian mengenai rumpun domba ini. Pernyataan
tersebut dilandasi berdasarkan teori-teori bahwa seluruh rumpun domba yang
berada di seluruh dunia dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yakni
kelompok domba bermuka putih dan kelompok domba bermuka hitam.
Heriyadi (2011) menyebutkan bahwa domba bermuka putih secara genetik
membawa warna yang lebih dominan dibandingkan warna pada domba muka
8
hitam, yang artinya apabila domba muka hitam disilangkan secara terus-menerus
dengan domba muka putih, maka warna hitam pada bagian muka semakin lama
akan semakin memudar, sedangkan dari sisi bentuk ekor, domba berekor tipis
lebih dominan dibandingkan domba ekor segitiga, yang apabila domba ekor tipis
disilangkan dengan domba ekor segitiga (Domba Garut), maka hasil
persilangannya akan berekor tipis.
Gambar 1. Domba Garut di TTP (Sumber Data Primer 2019)
Domba Garut memiliki ciri khas yakni, ekor ngabuntut beurit atau ngabuntut
bagong, dalam kombinasi antara kuping rumpung (lebih kecil dari 4 cm) atau
ngadaun hiris (4-8 cm) (Heriyadi et al., 2001). Domba Garut dan Domba Priangan
memiliki kesamaan ciri khas dari warna bulu ataupun bentuk ekor, tetapi
perbedaan Domba Garut dan Priangan yakni dapat dilihat dari lebar dan panjang
kuping. Domba Priangan memiliki panjang daun kuping yang lebih panjang
dengan ukuran lebih dari 8 cm serta bentuk tanduk yang lebih kecil dari Domba
Garut (Santoso et al., 2012). Disebutkan pula bahwa Domba Garut memiliki profil
muka cembung, dan memiliki bulu pada bagian di seputaran leher yang tumbuh
memanjang. Domba Garut memiliki sifat kuantitatif meliputi berat badan Domba
9
Garut jantan sebesar 57,74 kg dan Domba Garut betina sebesar 36,89 kg, panjang
badan Domba Garut jantan sebesar 63,41 cm dan Domba Garut betina sebesar
56,37 cm, lingkar dada Domba Garut jantan sebesar 88,73 cm dan Domba Garut
betina sebesar 77,41cm, tinggi pundak Domba Garut jantan sebesar 74,34 cm dan
Domba Garut betina 65,61 cm, dan lebar dada Domba Garut jantan sebesar 22,08
cm dan Domba Garut betina sebesar 16,04 cm (Heriyadi, 2011). Berbeda dengan
karakteristik Domba Priangan yang memiliki rata-rata bobot induk sebesar 30,83
kg, panjang badan induk sebesar 60, 82 cm, tinggi pundak sebesar 61,70 cm, dan
lingkar dada sebesar 82,68 cm (Choiria et al., 2016).
2.1.1.1. Bobot Lahir Domba Garut
Bobot lahir atau berat lahir merupakan berat saat anak domba (cempe) baru
dilahirkan oleh induknya, yang bobot lahir tersebut juga merupakan sifat penting
yang mempengaruhi daya tahan hidup dan pertumbuhan domba selama hidupnya
(Ghasemi et al., 2019). Ditambahkan pula bahwa apabila bobot lahir yang tinggi
di atas rataan, umumnya memiliki kemampuan hidup yang lebih tinggi dalam
melewati masa kritis, memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dan berat sapih
yang lebih tinggi. Sebab itu, bobot lahir memiliki korelasi yang positif dengan
berat sapih, dengan arti bahwa kemajuan seleksi pada bobot lahir akan
mengakibatkan meningkatnya kemajuan genetik untuk berat sapih (Istiqomah et
al., 2006).
Menurut Faid et al., (2016) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan
bahwa korelasi genetik pada sifat-sifat domba yaitu bobot lahir dan bobot sapih
positif, artinya jika seleksi dilakukan pada suatu sifat, maka seharusnya
menghasilkan perbaikian genetik pada sifat lainnya. Disebutkan pula oleh
Kurnianto (2009) dan Ilham (2015) bahwa bobot lahir yang rendah dapat terulang
kembali pada kelahiran berikutnya pada induk yang sama apabila kondisi
10
lingkungannya relatif sama dari sebelumnya, dikarenakan ripitabilitas bobot lahir
domba yang tergolong tinggi yakni sebesar 0,35.
Diketahui umumnya bobot lahir Domba Garut jantan dan betina yaitu
sebesar 2,8 kg dan 2,4 kg (SNI, 2009). Berdasarkan beberapa penelitian, hasil
penelitian Istiqomah et al., (2006) menemukan bobot lahir Domba Garut jantan
dan betina sebesar 2,37 kg dan 2,29 kg, sedangkan hasil penelitian Anang et al.,
(2013) menemukan bobot lahir Domba Garut jantan dan betina di
UPTD-BPPTDK Margawati Garut yaitu sebesar 2,36 kg dan 2,27 kg.
Disebutkan bahwa bobot lahir berat lahir dipengaruhi oleh rumpun domba,
paritas induk, jenis kelamin, tipe kelahiran, kondisi intra-uterin (lingkungan fetus),
genotip induk dan anak, lingkungan induk, nutrisi induk pada masa kebuntingan,
Body Condition Score (BCS) induk, lama kebuntingan, dan umur induk
(Istiqomah et al., 2006; Ilham, 2015; Thomas et al., 2015).
2.1.1.2. Bobot Prasapih Domba Garut
Bobot prasapih adalah bobot domba setelah dilahirkan dan sebelum disapih.
Bobot lahir mempengaruhi laju pertumbuhan prasapih, sehingga laju pertumbuhan
domba dengan bobot lahir rendah terlihat lebih lambat dibandingkan anak domba
yang bobot lahirnya tinggi, selain dipengaruhi oleh bobot lahir, bobot prasapih
juga dipengaruhi oleh jenis kelamin. Bobot prasapih pada ternak jantan akan lebih
tinggi dibandingkan betina (Sumadi et al., 2014). Berdasarkan hasil penelitian
Anang et al., (2013) bahwa bobot domba pada umur 30, 60, dan 90 hari pada
Domba Garut jantan dan betina di UPTD-BPPTDK Margawati yakni sebesar 6,44
kg, 8,46 kg, 10,29 kg dan 6,15 kg, 8 kg, 9,58 kg.
11
2.1.1.3. Bobot Sapih Domba Garut
Bobot sapih merupakan berat saat anak domba dipisahkan dari induknya
dari segi pemeliharaan dan kandangnya. Diketahui bahwa bobot sapih juga
merupakan suatu indikator dalam kemampuan induk menghasilkan susu dan
kemampuan anak domba untuk mendapatkan susu dan tumbuh. Bobot sapih
biasanya disesuaikan dengan bobot domba pada umur 100 hari, atau terhadap
rerata umur pada saat disapih, yang seleksi terhadap bobot sapih sangat penting
dan harus digunakan di Indonesia (Hardjosoebroto, 1994).
Bobot sapih Domba Garut jantan dan betina yaitu sebesar 11,5 kg dan 9,1 kg
(SNI, 2009). Berdasarkan hasil penelitian Anang et al., (2013) ditemukan bobot
sapih pada Domba Garut jantan dan betina di UPTD-BPPTDK Margawati Garut
yaitu sebesar 11,5 kg dan 10,64 kg, sedangkan hasil penelitian Sumadi et al.,
(2014) menemukan bobot sapih Domba Garut jantan dan betina di balai yang
sama yaitu sebesar 14,63 kg dan 10,60 kg. Menurut Ilham (2015) dan Thomas et
al., (2015) bahwa bobot sapih dipengaruhi oleh rumpun domba, kondisi pakan,
paritas induk, BCS induk, nutrisi induk pada masa kebuntingan, jenis kelamin,
tipe kelahiran..
2.1.1.4. Seleksi
Seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk membiarkan ternak-ternak
tertentu bereproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak diberi kesempatan untuk
bereproduksi. Menurut Warwick et al., (1990) bahwa salah satu fungsi seleksi
yaitu mengubah frekuensi gen yang mengatur sifat kuantitatif maupun kualitatif.
Dijelaskan oleh Kurnianto (2009) bahwa proses seleksi dalam ilmu pemuliaan
yaitu dapat diartikan sebagai upaya memilih dan mempertahankan ternak-ternak
yang dianggap baik untuk terus dipelihara sebagai tetua bagi generasi yang akan
datang dan mengeluarkan ternak-ternak (culling) yang dianggap kurang baik.
12
Seleksi merupakan salah satu cara untuk melakukan perbaikan mutu
genetik terak, yang kelebihan dalam proses seleksi yaitu dapat mempertahankan
kemurnian ternak (Rahmat et al., 2007). Diketahui pula bahwa proses seleksi
sering tidak ditujukan terhadap satu sifat saja melainkan terhadap beberapa
macam sifat, dengan proses seleksi yang ditujukan kepada sifat-sifat yang
benar-benar penting bila ditinjau dari segi ekonomi (Hardjoesoebroto, 1994). Jika
pada seleksi domba, sifat-sifat yang ditujukan dalam kegiatan seleksi yaitu dapat
dari berat lahir, berat prasapih, dan berat sapih.
Hasil penelitian Maria et al., (1993) menyatakan seleksi pada domba
sangat efektif jika dilakukan pada berat sapih, sedangkan seleksi kurang efektif
jika dilakukan pada sifat berat lahir dan berat sebelum anak domba disapih,
dikarenakan nilai heritabilitas berat sapih lebih tinggi dari berat lahir, sehingga
respon seleksinya akan lebih cepat jika seleksi dilakukan pada berat sapih.
2.1.2 Taman Teknologi Pertanian
Pemerintah Pusat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2015-2019 menetapkan salah satu sasarannya adalah
pembangunan Taman Teknologi Pertanian (TTP) di daerah Kabupaten/Kota
dengan fungsi yaitu: 1) Pusat penerapan teknologi di bidang pertanian,
peternakan, perikanan dan pengolahan hasil, industri manufaktur, ekonomi kreatif,
dan jasa-jasa lainnya yang telah dikaji oleh lembaga penelitian, swasta, perguruan
tinggi untuk diterapkan dalam skala ekonomi; 2) Tempat pelatihan, pemagangan,
pusat diseminasi teknologi, dan pusat advokasi bisnis ke masyarakat luas.
Menurut Juliana et al., (2018) Taman Agro Inovasi merupakan salah satu
program Balitbangtan yang diharapkan dapat menarik minat dunia usaha untuk
berkerjasama dengan Balitbangtan dalam permasyarakatan inovasi Balitbangtan.
Ditambahkan pula oleh Khoirunnas dan Niswah (2017) bahwa secara konseptual
13
Taman Teknologi Pertanian (TTP) ialah salah satu pilihan model yang
dikembangkan Kementan, dalam upaya menumbuhkan klaster-klaster bisnis baru
sebagai dampak dari difusi teknologi dan pengembangan kawasan yang dikelola
bersama instansi terkait dan masyarakat atau kelompok tani setempat.
Taman Teknologi Pertanian (TTP) atau Agro Techno Park (ATP) berada di
tingkat Kabupaten/Kota dan dikembangkan di lahan Pemerintah Daerah dengan
pembangunan pada lahan masyarakat. Syakir (2015) menyebutkan bahwa TTP
merupakan: (a) Tempat untuk penerapan teknologi pertanian hulu-hilir
berwawasan agrobisnis yang bersifat spesifik lokasi, (b) Tempat untuk
percontohan dan penerapan inovasi yang telah dikembangkan di TSP, dan (c)
Tempat pelatihan, pemagangan, inkubasi kemitraan usaha, diseminasi teknologi,
dan pusat advokasi bisnis ke masyarakat luas.
Hansson et al., (2005) menyatakan taman sains sebagai instrumen kebijakan
yang meningkatkan promosi atau mendukung pengembangan dan inovasi spesifik
lokasi dalam pendirian perusahaan baru melalui jaringan antar akademik institusi
dan industri, serta peran khusus taman sains menyediakan kedekatan antar peneliti
yang dipekerjakan di berbagai lembaga dan perusahaan untuk meningkatkan
interaksi dan transfer pengetahuan ilmiah ke dalam konteks komersial.
2.1.3 Pemberdayaan
Menurut Sulistiyani (2004) bahwa pemberdayaan dapat dimaknai sebagai
suatu proses menuju berdaya atau suatu proses dalam memperoleh daya, kekuatan,
kemampuan maupun suatu proses pemberian daya, kekuatan, kemampuan dari
pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.
Pengertian “proses” menunjuk pada serangkaian tindakan atau merupakan
langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan
pentahapan upaya mengubah masyarakat yang kurang berdaya menuju
14
keberdayaan. Proses akan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan
secara bertahap untuk mengubah kondisi masyarakat lemah baik, knowledge,
attitude, maupun practice (KAP) menuju pada penguasaan pengetahuan,
sikap-perilaku sadar dan kecakapan-keterampilan yang baik.
Penjelasan lainnya, yaitu menurut Mardikanto dan Soebianto (2013) bahwa
pemberdayaan merupakan upaya untuk membangun daya itu sendiri dengan
mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya. Proses pemberdayaan
dapat berupa serangkaian kegiatan atau tindakan yang dilakukan untuk
memperkuat dan mengoptimalkan masyarakat yang belum berdaya menuju
keberdayaan. Menurut Sulisyowati (2003) dalam Sulistyati (2009) bahwa upaya
dalam memberdayakan masyarakat harus dilaksanakan melalui 3 (tiga) strategi
yakni: 1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang; 2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki; dan 3)
3) Pemberdayaan masyarakat mengandung arti melindungi.
Sulistyati et al., (2016) mendefinisikan pemberdayaan ialah upaya
membangun daya masyarakat penerima bantuan ternak domba secara terencana
dan sistematis melalui pembinaan dan bimbingan berdasarkan dimensi yakni
kemampuan (enabling), kekuatan (empowering) dan kemandirian (self help).
Ditambahkan pula oleh Sulistyati et al., (2011) bahwa pendekatan pemberdayaan
menempatkan masyarakat bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek atau pelaku
pembangunan yang menentukan hidup dan merupakan pembangunan yang
berpusat pada rakyat. Pemberdayaan akan mengantar masyarakat dalam proses
untuk menganalisis masalah dan peluang yang ada, serta mencari jalan keluar
sesuai sumber daya yang dimiliki.
15
Berkenaan dengan pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat, menurut
Sulistiyani (2004) bahwa inti dari pemberdayaan yakni meliputi tiga hal,
pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering),
terciptanya kemandirian (self help), sehingga berdasarkan hal tersebut bahwa
pemberdayaan tidak saja terjadi pada masyarakat yang tidak memiliki
kemampuan, akan tetapi pada masyarakat yang memiliki daya yang masih
terbatas, dapat dikembangkan hingga mencapai kemandirian.
Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan ialah untuk membentuk
individu dan masyarakat menjadi mandiri. Sulistiyani (2004) menyebutkan
kemandirian meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa
yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang
dialami oleh masyarakat, ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan,
memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai
pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya
kemampuan yang terdiri atas kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif,
dengan pengerahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan internal
masyarakat tersebut.
Sary (2015) menambahkan bahwa pemberdayaan sumber daya manusia
pertanian perlu dikembangkan terus menerus agar semakin maju dan efisien serta
diarahkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi melalui usaha
diversifikasi, intensifikasi dan ekstensifikasi sehingga taraf hidup kesejahteraan
petani dapat diperbaiki.
2.1.4 Keberdayaan Peternak
Keberdayaan adalah kekuatan (power), yaitu kekuatan untuk berubah atau
gerak dinamis untuk mencapai tujuan (Page dan Czuba, 1999). Keberdayaan yaitu
sebagai pencapaian dari suatu pemberdayaan yang memiliki makna sebagai
16
kemampuan dalam bersenyawa dengan masyarakat sekitar sehingga dapat
mengembangkan diri serta dapat mencapai kemajuan (Kartasamita, 1996).
Disebutkan pula bahwa keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang
memungkinkan suatu masyarakat bertahan dan dalam pengertian yang dinamis
mampu mengembangkan diri dan berhasil mencapai tujuan (Arintadisastra, 2001).
Menurut Yunasaf (2011) bahwa peternak yang berdaya dipersonifikasi
sebagai seorang individu yang memiliki keterampilan memelihara ternak yang
baik, pengelolaan usaha yang baik, serta sebagai individu otonom. Peternak
sebagai manajer diharapkan dapat mengambil keputusan yang tepat agar usahanya
mencapai keberhasilan dan peternak sebagai pemelihara ternak dapat menguasai
dan melaksanakan aspek teknis beternak dengan baik, sedangkan peternak sebagai
individu otonom diharapkan dapat bersikap kritis di dalam memperjuangkan
hak-haknya. Ditambahkan Aminah et al., (2015) bahwa peternak yang berdaya
memiliki pengetahuan dan keterampilan, berperan dalam mengambil keputusan
dan mampu mengelola dan mengatasi masalah usahatani.
Keberdayaan dalam konteks masyarakat menurut Wrihatnolo dan
Dwidjowijoto (2007) ialah kemampuan individu yang bersenyawa dalam
masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat bersangkutan. Masyarakat
yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat serta
inovatif, tentu memiliki keberdayaan yang tinggi. Keberdayaan masyarakat adalah
unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat untuk bertahan (survive).
Sebab-sebab peternak belum berdaya secara makro berhubungan dengan
arus pembangunan yang lebih menempatkan peternak sebagai objek, karena
penerapan pendekatan pembangunan yang tidak memberdayakan, sehingga
potensi kreatif peternak menjadi kurang berkembang (Yunasaf, et al., 2007).
17
1) Keberdayaan Sebagai Pemelihara Ternak
Mauludin et al., (2012) menyebutkan bahwa keberdayaan peternak sebagai
pemelihara ternak yaitu tingkat berkembangnya kemampuan peternak dalam
menguasai dan melaksanakan aspek teknis dalam beternak dan kemampuan yang
memadai dalam mengambil keputusan dalam rangka mencapai keberhasilan.
Menurut Arintadisastra (2001) bahwa upaya dalam memberdayakan
masyarakat harus dilaksanakan melalui tiga cara, yaitu: 1) Menciptakan suasana
atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, dengan
pengenalan nilai bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi yang
dapat dikembangkan, sehingga dengan kata lain pemberdayaan merupakan upaya
untuk membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya
untuk mengembangkannya; 2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki
masyarakat, dalam hal ini diperlakukan langkah nyata seperti pembukaan akses
kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya
dalam memanfaatkan peluang; 3) Melindungi atau mencegah masyarakat lemah
menjadi bertambah lemah atau tidak berdaya.
2) Keberdayaan Peternak Sebagai Manajer
Pengertian manajer ialah seseorang yang memimpin, mengawasi atau
mengarahkan suatu usaha dalam upayanya menghasilkan keuntungan (Ensminger,
1993). Peternak harus bisa berperan sebagai manajer di peternakannya sendiri dan
menguasai manajerial dalam usaha ternaknya, dikarenakan manajerial merupakan
faktor penting dalam keberhasilan usaha tani ternak Untuk meraih sukses dalam
kegiatan usaha ternaknya seorang manajer usaha ternak memerlukan kemampuan
yang baik dan perlu meluangkan manajemen. Menurut Prawirokusumo (1990) jika
seorang manajer menguasai keahlian manajemen, maka seorang manajer akan
18
mampu bertahan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam
dunia bisnisnya.
Langkah awal bagi manajemen yang efektif menurut Mahekam (1991) ialah
kemampuan menetapkan sasaran atau tujuan yang diharapkan dan direncanakan
untuk dicapai suatu bisnis. Para peternak dalam arti ekonomi adalah para manajer
sumber daya yang memanipulasi tenaga kerja, lahan, modal dan sumber daya
lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Ditambahkan pula oleh Thoha
(2009) bahwa seorang manajer yang efektif mampu berperan dalam memproduksi,
melaksanakan, melakukan informasi dan memadukan (intergrating).
Seorang manajer baik dalam perusahaan besar maupun kecil harus memiliki
kemampuan dalam mengambil keputusan dan menanggapi berbagai tantangan,
serta selain itu, seorang manajer harus memiliki tanggung jawab terhadap kinerja
dan kefektifan perusahaan. Langkah awal bagi manajemen yang efektif adalah
kemampuan menetapkan sasaran atau tujuan yang diharapkan dan direncanakan
untuk dicapai suatu bisnis. Disebutkan bahwa seorang manajer yang efektif
mampu menyusun dan merinci tujuan dari usahanya, selain itu manajer juga harus
mampu membuat keputusan mengenai tindakan-tindakan yang akan dan tidak
akan mencapai sasaran perusahaan (Griffin dan Ebert, 2007).
Prawirokusumo (1990) menyebutkan bahwa peternak dikatakan berdaya
apabila telah mampu memelihara ternak dengan baik, yakni peternak telah mampu
menguasai seluruh aspek teknis dalam beternak dengan baik dan benar. Peternak
yang berdaya ialah peternak yang telah memiliki kemandirian dan keterampilan
yang baik dalam beternak, hal ini dimaksudkan agar mendapatkan hasil produksi
yang optimal dan menguntungkan.
Ditambahkan oleh Djaelani et al., (2009) bahwa usaha gaduhan sapi potong
yang dilakukan dapat memberdayakan peternak rakyat, yang hal ini dapat dilihat
19
pada peningkatan pendapatan, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan populasi
sapi potong berdasarkan usaha gaduhan sapi potong yang telah dilakukan.
2.1.5 Kemitraan
Dasar hukum kemitraan diwujudkan dengan lahirnya Undang-Undang No.9
Tahun 1995 tentang usaha kecil, serta Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997
tentang kemitraan. Kemitraan usaha (partnership) sendiri didefinisikan sebagai
kerja sama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang
disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah
atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling
memperkuat, dan saling menguntungkan.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.940/ktsp/OT.210/10/97
tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, menyebutkan bahwa tujuan
kemitraan Usaha Pertanian ialah untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan
usaha, meningkatkan sumber daya kelompok mitra, dan skala usaha, dalam rangka
menumbuhkan dan meningkatkan skala usaha, dalam rangka menumbuhkan dan
meningkatkan kemampuan kelompok mitra yang mandiri. Berdasarkan SK
Menteri Pertanian tersebut, bahwa pola kemitraan terbagi menjadi lima pola
kemitraan yaitu; (1) Pola inti plasma, (2) Pola Sub Kontrak, (3) Pola Dagang
Umum, pola keagenan, (4) Pola Keagenan, dan (5) Pola Kerja sama Operasional
Agribisnis (KOA).
Spencer (1977) dalam Saptana (2013) mendefinisikan kemitraan usaha
(partnership) ialah merupakan suatu asosiasi yang terdiri dari dua orang atau
lebih, sebagai pemilik bersama yang menjalankan suatu bisnis mencari
keuntungan. Kemitraan bisnis atau ekonomi dapat didefinisikan sebagai suatu
proses melalui mana pihak-pihak yang terlibat membangun keunggulan kompetitif
20
lebih melalui penyatuan dalam suasana saling percaya yang berfokus pada
improvisasi bersama.
Sulistyati et al., (2004) menambahkan bahwa kemitraan mempertemukan
antara pihak peternak dan pihak penguasa modal sebagai penyedia modal sehingga
nampak pola kemitraan yang merupakan suatu sistem agribisnis peternakan yang
perlu diberdayakan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pihak yang bermitra menurut
(Djokopranoto dan Indrajit, 2002) yaitu: 1) Para pihak yang bermitra harus
bersedia melepaskan sebagian dari kebebasannya dalam posisi kekuasaanya demi
kesempatan memperoleh keuntungan yang lebih besar; (2) Para pihak yang
bermitra harus saling berkontribusi secara sebanding baik dalam investasi maupun
keuntungan yang didapat; 3) Pemasok perlu mengubah sikapnya dari sekedar
mengusahakan kepuasan pembeli, menjadi lebih proaktif dalam memikirkan dan
mengusahakan agar pembelinya lebih memiliki kemampuan bersaing melalui
proyeksi bersama; 4) Pembeli juga perlu mengubah sikapnya dari sekedar
berusaha membeli dalam jumlah yang besar sehingga menekan biaya, menjadi
lebih berpartisipasi dengan pemasok dalam usaha yang dapat menguntungkan
kedua belah pihak; 5) Tidak hanya investasi dan keuntungan yang dipikul
bersama, tetapi juga biaya ekstra yang mungkin timbul, dan jangan pula
membebankan biaya tersebut kepada salah satu pihak saja; dan 6) kedua belah
pihak yang bermitra harus berkerja sama dengan anggota rantai pasok lain untuk
meningkatkan kemampuan jaringan rantai pasok secara keseluruhan.
Menurut Suryana (2009) kemitraan merupakan suatu kegiatan kerja sama
antar pelaku agribisnis dimulai dari ingkar pra-produksi, produksi, hingga
pemasaran yang dilandasi asas saling membutuhkan dan menguntungkan antara
pihak-pihak yang berkerja sama, dalam hal ini perusahaan dan petani peternak
untuk saling berbagi biaya, resik dan manfaat.
21
Mat Sukur (1996) dalam Sulistyati et al., (2004), yang menyatakan bahwa
azas kemitraan usaha agribisnis mengacu pada terciptanya suasana seimbang,
keselarasan dan keterpaduan antar pelaku kemitraan dengan azas operasional
sebagai berikut: (1) Dari segi hukum kedudukan antar sesama mitra usaha adalah
sama; (2) Saling menguntungkan; (3) Saling mempercayai; (4) Saling memerlukan
antara pengusaha sebagai pemasok bahan baku dan peternak memerlukan
penampungan hasil dan bimbingan; (5) Saling melaksanakan etika bisnis.
Menurut Saptana (2013) bahwa pengembangan ekonomi petani dan usaha
kecil melalui kemitraan usaha harus didasarkan pada semangat kemitraan usaha
yaitu; 1) Mempunyai tujuan yang sama; 2) Saling menguntungkan; 3) Saling
mempercayai; 4) Bersifat saling terbuka; 5) Menjalin kerja sama jangka panjang;
dan 6) Secara terus menerus mengusahakan perbaikan dalam mutu dan biaya.
Disebutkan oleh Sulistiyani (2004) bahwa esensi kemitraan usaha dalam bisnis
terletak pada kontribusi bersama, baik berupa tenaga (labor), modal (capital),
lahan (land) maupun kepemilikan lainnya, atau kombinasi antar faktor tersebut
untuk tujuan ekonomi, yang pengendalian kegiatannya dilakukan bersama dan
pembagian keuntungan atau kerugian didistribusikan di antara mitra
kontributornya.
Tujuan terjadinya suatu kemitraan menurut Sulistiyani (2004) ialah untuk
mencapai hasil yang lebih baik, dengan saling memberikan manfaat antar pihak
yang bermitra, sehingga dengan demikian, kemitraan hendaknya memberikan
keuntungan kepada pihak-pihak yang bermitra dan bukan sebaliknya ada suatu
pihak yang dirugikan atau merugikan. Upaya dalam terjadinya sebuah kemitraan
yang kuat dan saling menguntungkan serta memperbesar manfaat memerlukan
komitmen yang seimbang antara satu sama lain. Manfaat yang dapat dicapai dari
22
usaha kemitraan menurut Hafsah (2000) meliputi produktivitas, efisiensi, jaminan
kualitas, kuantitas, dan kontinuitas, resiko serta sosial.
Ditambahkan pula oleh Syahyuti (2006) bahwa telah dirumuskan tujuh
model kemitraan usaha yang dijalankan oleh direktorat teknis yaitu; 1) Model inti
plasma; 2) Model sistem pertanian kontrak; 3) Model sub kontrak; 4) Model
dagang umum; 5) Model vendor; 6) Model keagenan; dan 7) Model kerja sama
operasional agribisnis (KOA).
1) Model Inti Plasma
Model ini merupakan hubungan kemitraan antara Usaha Kecil (UK) atau
petani dengan usaha besar (perusahaan pertanian), yang Usaha Menengah
(UM) atau Usaha Besar (UB) tersebut bertindak sebagai inti dan Usaha
Kecil selaku plasma.
2) Model Sistem Pertanian Kontrak (Contract Farming)
Model ini yaitu apabila terjadinya hubungan kerja sama antara kelompok
Usaha Kecil (UK) dengan perusahaan pengolah skala Usaha Menengah
(UM) dan Usaha Besar (UB) yang dituangkan dalam suatu perjanjian
kontrak jual beli secara tertulis untuk jangka waktu tertentu, sehingga
sistem ini sering disebut sebagai kontrak pembelian.
3) Model Sub Kontrak
Dalam model ini, disebutkan bahwa Usaha Kecil (UK) memproduksi
komponen atau jasa yang merupakan bagian dari produksi Usaha
Menengah (UM) atau Usaha Besar (UB).
4) Model Dagang Umum
23
Pola kemitraan dagang umum yaitu suatu hubungan kemitraan usaha antar
kelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang kelompok mitra tersebut
memasok kebutuhan perusahaan mitra sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan.
5) Model Vendor
Model Vendor yaitu Usaha Menengah (UM) dan Usaha Besar (UB)
menggunakan hasil produksi yang merupakan spesialisasi kerja Usaha
Kecil (UK) untuk melengkapi produk yang dihasilkan Usaha Menengah
dan Usaha Besar.
6) Model Keagenan
Pada model ini kelompok mitra (usaha kecil) diberi hak khusus untuk
memasarkan barang dan jasa usaha perusahaan mitra (usaha menengah dan
usaha besar).
7) Model Kerja sama Operasional Agribisnis (KOA)
Model KOA, yaitu kelompok mitra menyediakan lahan, sarana produksi
dan tenaga kerja, sedangkan perusahaan mitra menyediakan modal dan
sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas
pertanian.
Sulistiyani (2004) bahwa kemitraan usaha agribisnis merupakan suatu
rangkaian proses meliputi tahapan-tahapan yaitu: 1) Membangun hubungan
dengan calon mitra; 2) Mengerti kondisi bisnis pihak-pihak yang bermitra; 3)
Menentukan target atau tujuan yang akan dicapai; (4) Mengembangkan strategi;
(5) Mengembangkan program; (6) Memulai pelaksanaan kemitraan agribisnis; (7)
Memonitor dan mengevaluasi perkembangan kemitraan usaha agribisnis.
Ditambahkan oleh Saptana (2013) bahwa strategi kemitraan usaha agribisnis dapat
berhasil jika dilakukan secara bertahap meliputi: (1) Pemberdayaan; (2)
24
Pengembangan; (3) Peningkatan daya saing; (4) Pendalaman industri; dan (5)
Dukungan pemerintah.
2.1.6 Teori Pertukaran
Teori Pertukaran sosial berangkat dari asumsi “saya memberi supaya engkau
memberi”. Skema memberi dan mendapatkan kembali jumlah yang sama ini
menimbulkan begitu banyak pertukaran atau tingkah laku yang dipertukarkan di
dalam kehidupan sosial (Raho, 2007). Disebutkan pula bahwa teori Homans
memandang perilaku sosial sebagai pertukaran aktivitas, yang ternilai ataupun
tidak dan kurang lebih menguntungkan bagi dua orang yang saling berinteraksi
(Ritzer dan Goodman, 2017).
Raho (2007) menjelaskan bahwa dalam mengembangkan teori pertukaran,
Homans mengemukakan terdapat beberapa proposisi untuk menjelaskan tingkah
laku sosial yang paling dasar. Adapun proposisi-proposisi dari Homans yaitu,
proposisi sukses, proposisi rangsangan atau stimulus, proposisi nilai, proposisi
kejenuhan dan proposisi persetujuan dan agresi.
Disebutkan pula oleh Ritzer dan Goodman (2007) bahwa proposisi yang
merupakan inti dari teori pertukaran sosial Homans meliputi; proposisi sukses,
proposisi stimulus, proposisi nilai, proposisi kelebihan dan kekurangan, proposisi
agresi-pujian, dan proposisi rasional.
1) Proposisi Sukses
Apabila jika seseorang sering melakukan suatu tindakan dan orang tersebut
mendapatkan imbalan dari apa yang dilakukan, maka semakin besar
kecenderungan orang tersebut akan melakukan kembali pada waktu yang
akan datang.
2) Proposisi Stimulus
25
Apabila jika pada masa lalu terjadi stimulus tertentu, atau serangkaian
stimulus ialah situasi ketika tindakan seseorang diberikan imbalan, maka
semakin mirip stimulus saat ini dengan stimulus masa lalu, semakin besar
kecenderungan orang tersebut mengulangi tindakan yang sama atau serupa.
3) Proposisi Nilai
Apabila jika semakin bernilai tindakan bagi seseorang, maka semakin
cenderung orang tersebut melakukan tindakan serupa.
4) Proposisi Kelebihan dan Kekurangan
Apabila jika pada saat tertentu, seseorang semakin sering menerima
imbalan tertentu, maka semakin kurang bernilai imbalan yang selanjutnya
diberikan kepadanya.
5) Proposisi Agresi – Pujian
Proposisi A : Apabila ketika tindakan seseorang tidak mendapatkan
imbalan yang diharapkan atau menerima hukuman yang tidak diharapkan,
maka orang tersebut akan marah, cenderung berperilaku agresif dan akibat
perilaku tersebut menjadi lebih bernilai untuknya.
Proposisi B : Apabila ketika tindakan seseorang menerima imbalan yang
diharapkannya, khususnya imbalan yang lebih besar dari yang
diharapkannya, atau tidak mendapatkan hukuman yang diharapkan maka
seseorang tersebut akan senang. Seseorang tersebut cenderung berperilaku
menyenangkan dan hasil tindakan ini lebih bernilai baginya.
6) Proposisi Rasional
Apabila ketika seseorang memilih tindakan alternatif, seseorang tersebut
akan memilih tindakan sebagaimana yang dipersepsikannya kala itu, jika
nilai hasilnya dikalikan dengan probabilitas keberhasilan, maka hasilnya
lebih besar.
26
2.1.7 Kelompok
Ditemukan beberapa pengertian mengenai kelompok. Soekanto (1990)
kelompok merupakan kesatuan manusia yang hidup bersama karena adanya
hubungan yang sama di antara mereka, yang hubungan tersebut antara lain
menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu
kesadaran untuk saling membantu. Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa
kelompok ialah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama sehingga
terdapat hubungan timbal-balik dan saling pengaruh-mempengaruhi serta
memiliki kesadaran untuk saling tolong-menolong. Menurut Mulyana (2001)
menjelaskan bahwa kelompok merupakan sekumpulan orang yang mempunyai
tujuan bersama, yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama,
mengenal satu sama lainnya dan memandang mereka sebagai bagian dari
kelompok tersebut.
Salah satu ciri terpenting dari suatu kelompok menurut Bowo et al., (2011)
ialah adanya suatu tujuan bersama yang ingin dicapai oleh anggota-anggota
kelompok yang bersangkutan. Andarwati (2012) menambahkan bahwa ciri-ciri
kelompok yaitu memiliki ikatan yang nyata, interaksi dan interelasi sesama
anggotanya, struktur dan pembagian tugas yang jelas, kaidah-kaidah atau
norma-norma terntentu yang disepakati bersama dan keinginan tujuan bersama.
Terbentuknya suatu kelompok didasari pada alasan individu untuk
melibatkan diri bergabung. Kelompok akan terbentuk dan bisa berjalan jika
adanya kesepakatan dan persatuan antar individu. Hal tersebut menujukan bahwa
hendaknya memahami dengan baik mengenai maksud dan tujuan mereka berada
di dalam kelompok. Jika tidak ada keterlibatan secara bersama, maka kelompok
akan sangat rentan dekat dengan pembiaran yang berujung pada konflik
kepentingan (Duha, 2016).
27
Kelompok memiliki peran penting dalam menunjang kesejahteraan peternak
karena dengan adanya kelompok, peternak dapat saling bertukar pikiran dan
menjalin kerja sama. Selain itu, dengan adanya kelompok, peternak mampu
mengembangkan usaha sehingga lebih efisien dalam pengelolaan usahanya.
(Maryanti dan Suryawati, 2001). Kelompok juga dapat berperan sebagai suatu
kelas belajar, unit produksi usahatani, dan sebagai wahana kerja sama antara
anggota kelompok dengan pihak lain (Departemen Pertanian, 2007).
Bowo et al.,(2011) menyatakan kelompok merupakan aspek penting yang
sangat diperhatikan dalam program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat
yang dibuat oleh pemerintah, oleh karena itu biasanya dalam suatu program
pemerintah dibentuk kelompok untuk menjadi pengelola dalam setiap dana
bantuan dan pelatihan pemberdayaan pada suatu program pembangunan. Ruhimat,
(2017) menambahkan bahwa kapasitas kelembagaan kelompok tani merupakan
salah satu faktor penting dalam program pengembangan usahatani, tingkat
kapasitas kelompok dipengaruhi secara langsung oleh tingkat kedinamisan dan
tingkat partisipasi, serta secara tidak langsung dipengaruhi oleh kapasitas anggota,
peran penyuluh, pihak luar dan karakteristik individu anggota.
2.1.8 Usaha Domba Garut
Domba di Indonesia umumnya mampu berkembang dan bertahan di semua
zona agroekologi, oleh karena itu domba tersebar hampir di seluruh wilayah
Indonesia. Ternak domba telah dipelihara oleh masyarakat pedesaan sebagai
komoditas tabungan yang apabila sewaktu-waktu dapat diuangkan untuk menutupi
kebutuhan rumah tangga termasuk biaya-biaya lain seperti biaya pendidikan,
kesehatan, pesta perkawinan atau acara khitanan. Selain pemeliharaan domba
sebagai tabungan, terdapat juga beberapa peternak yang memelihara domba
28
sebagai kesenangan, seperti memelihara Domba Garut untuk seni ketangkasan
(Herlina et al., 2015).
Diketahui bahwa daerah Jawa Barat merupakan salah satu provinsi sentra
peternakan domba di Indonesia, dengan jumlah populasi mencapai 10.038.828
ekor atau 55,58% dari total populasi domba yang ada di Indonesia (Badan Pusat
Statistik Provinsi Jawa Barat, 2017).
Salah satu jenis domba yang berada di daerah Jawa Barat yaitu Domba
Garut. Domba Garut merupakan salah satu sumber daya genetik di Jawa Barat
yang perlu dijaga dan dilestarikan. Heriyadi (2011) menyatakan bahwa asal-usul
perkembangan Domba Garut diyakini berasal dari domba lokal asli Garut, yaitu
dari daerah Cibuluh dan Cikeris di Kecamatan Cikajang serta Kecamatan
Wanaraja, dengan ciri-ciri yaitu kuping rumpung atau ngadaun hiris yang
berkombinasi dengan ekor segi tiga (ngabuntut beurit/ngabuntut bagong), yang
ciri ini sangat khas dan tidak terdapat pada domba manapun di seluruh muka
bumi.
Karakter Domba Garut secara kualitatif digambarkan dengan; warna bulu
hitam, putih, cokelat atau kombinasi; bentuk daun telinga terdiri atas dua bentuk
yaitu bentuk daun telinga rumpun yang kurang dari 4 cm dan bentuk daun telinga
ngedaun hiris dengan panjang 4-8 cm; bentuk ekor terdiri atas dua bentuk yaitu
ekor ngabuntut bagong dan ekor ngabuntut burit; dan bentuk tanduk terdiri atas
beberapa bentuk yaitu tanduk leang, tanduk gayor, tanduk ngabendo, dan tanduk
ngagolong tambang, (Badan Standardisasi Nasional, 2015).
Disebutkan oleh Nurachma et al., (2015) bahwa Domba Garut diketahui
memiliki keistimewaan dibandingkan domba lokal lainnya yang ada di Jawa
Barat, karena selain sebagai penghasil daging, Domba Garut sangat terkenal
terkait dengan budaya ketangkasan domba. Disebutkan pula oleh Heriyadi (2011)
29
bahwa seni tangkas pada Domba Garut sudah menjadi kebudayaan masyarakat
Jawa Barat terutama terutama masyarakat Priangan sejak zaman dahulu sampai
sekarang.
Domba merupakan salah satu komoditas unggulan yang perlu
dikembangkan, karena memiliki prospek yang baik (Heriyadi dan Mayasari,
2006). Berdasarkan hasil penelitian Purwano (1983) di Kecamatan Cikajang
Kabupaten Garut mengungkapkan bahwa pendapatan usaha domba lebih rendah
dibanding pendapatan yang diperoleh dari usaha tani, namun usaha domba dapat
meningkatkan pendapatan petani skala kecil, sedang dan besar masing-masing
sebesar 61,87%; 27,0%; 18,89% dari pendapatan awal yang hanya berasal dari
usaha tani.
Salah satu aspek keberhasilan beternak dapat melalui penerapan
pedoman-pedoman pembibitan kambing dan domba yang baik (Good Breeding
Practice), dengan memperhatikan aspek-aspek yang ada, seperti pemilihan lokasi
(lahan dan sumber air), sarana dan prasarana (kandang, bibit, seleksi induk dan
seleksi pejantan), pemeliharaan (pakan hijauan, pemberian konsentrat),
reproduksi, dan kesehatan ternak (Permentan, 2006).
2.2 Kerangka Pemikiran
Taman Teknologi Pertanian (TTP) merupakan suatu program Kementerian
Pertanian dalam mewujudkan visi pembangunan Indonesia periode pemerintahan
2014-2019 (“Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian
berlandaskan gotong-royong”), dengan agenda prioritas meningkatkan
produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional.
Disebutkan bahwa TTP merupakan wadah untuk menerapkan teknologi
pertanian hulu-hilir, berwawasan agrobisnis dan bersifat spesifik lokasi dengan
kegiatan meliputi; penerapan teknologi pra-produksi, produksi, panen,
30
pascapanen, pengolahan hasil, pemasaran, wahana untuk pelatihan dan
pembelajaran bagi masyarakat, serta pengembangan kemitraan agrobisnis dengan
swasta. Diketahui fungsi-fungsi TTP meliputi : 1) Pengembangan inovasi bidang
pertanian dan peternakan yang telah dikaji, untuk diterapkan dalam skala
ekonomi; 2) Sebagai tempat pelatihan, pemagangan, pusat diseminasi teknologi,
dan pusat advokasi bisnis ke masyarakat luas.
Salah satu TTP yang dibangun pada tahun 2015 adalah TTP Cikajang yang
berlokasi di Desa Cikandang, Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut Jawa Barat.
TTP Cikajang mempunyai visi (“Menjadi kawasan agrobisnis hortikultura dataran
tinggi unggulan nasional berbasis inovasi teknologi ramah lingkungan”) dan misi
(“menyediakan pelayanan teknis dalam upaya menciptakan wirausaha berbasis
inovasi; mendiseminasikan inovasi teknologi hortikultura”).
Pemberdayaan dimaknai sebagai suatu proses untuk berdaya atau suatu
proses untuk memperoleh (daya, kekuatan, kemampuan) dan atau pemberian
(daya, kekuatan, kemampuan) dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang
kurang atau belum berdaya. Diketahui bahwa keberdayaan peternak yakni tingkat
berkembangnya peternak dalam menguasai dan melaksanakan aspek teknis dalam
beternak yang baik, sehingga dapat meningkatkan keberdayaan peternak dari
peternak tradisional menjadi peternak mandiri. Adanya keberdayaan dapat
meningkatkan harkat dan martabat melepaskan perangkap diri dari kemiskinan
dan keterbelakangan.
Proses pemberdayaan (empowering) yang dilakukan TTP kepada peternak di
kawasan TTP Cikajang merupakan kondisi yang dapat menumbuhkan atau upaya
untuk meningkatkan pengetahuan (knowledge), sikap-perilaku (attitude), dan
kecakapan-keterampilan (practise). Selain itu TTP Cikajang juga melakukan kerja
sama pola kemitraan dengan peternak di sekitar TTP. Berdasarkan uraian, pola
31
kemitraan model inti plasma yang diterapkan di TTP Cikajang dengan
aturan-aturan yang disepakati bersama antara TTP (sebagai inti) dan peternak
(sebagai plasma). Pada kemitraan terjadi sistem pertukaran antara inti (TTP)
dengan plasma (peternak), untuk menganalisa keberdayaan di analisis dengan
pendekatan teori pertukaran (exchange theory).
Berdasarkan teori pertukaran sosial Homans yang membagi atas beberapa
proposisi, kemungkinan proposisi yang sesuai permasalahan tentang kerja sama
pola model inti plasma menurut peneliti yaitu, proposisi sukses, proposisi stimulus
dan proposisi nilai.
Tujuan pemberdayaan yaitu: (1) Terciptanya enabling (menciptakan suasana
yang mendukung potensi peternak); (2) Empowering (mengembangkan potensi
dari peternak); (3) Terciptanya self help (kemandirian). Harapan dampak proses
pemberdayaan yang dilakukan TTP kepada peternak adalah terciptanya
keberdayaan. Keberdayaan adalah kemampuan mengembangkan potensi yang
dimiliki, kemampuan memperkuat potensi yang ada seperti peningkatan
pengetahuan, keterampilan, dalam teknis pemeliharaan ternak, mampu mengelola
dan berperan dalam mengambil keputusan untuk mengatasi usahanya, serta
terbukanya kesempatan memanfaatkan peluang ekonomi, sehingga apa yang di
programkan pemerintahan periode 2014-2019 meningkatkan produktivitas rakyat
dapat terwujud. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan kecenderungan
keterkaitan variabel sebagai berikut:
1) TTP berperan dalam pemberdayaan peternak domba di Desa Cikandang
dilihat dari pengembangan kapasitas peternak, memperkuat sumber daya
yang ada dan kemandirian peternak.
Program Kementan RI PeriodePemerintahan 2014-2019
Kebijakan
TTP CIKAJANG
Kelompok
- Kelompok ternak- Kelompok tani
Pemberdayaan
Pengembangan Memperkuat potensi/daya
Pola Kemitraan
Model Inti plasma Teori pertukaran
Keberdayaan / dampak
Pemeliharaan ternak Individu yang otonom
32
2) Kerja sama pola kemitraan model inti plasma berlaku sistem pertukaran
proposisi sukses, proposisi stimulus, dan proposisi nilai sebagai salah satu
cara pemberdayaan peternak domba.
3) Kerja sama pola kemitraan dan pemberdayaan memberikan dampak
terhadap kinerja peternak (kemampuan/enabling, kekuatan/empowering,
dan kemandirian/self help) .
Kerangka pikir penelitian digambarkan pada bagan berikut:
33
Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian
2.3. Batasan Konsep Penelitian
Batasan konsep dalam penelitian ini adalah :
1) Pengertian peternak domba dalam penelitian ini adalah peternak domba
yang tergabung dalam TTP yang menerima bantuan domba.
2) TTP dalam penelitian ini adalah TTP Cikajang yang berlokasi di desa
Cikandang, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.
3) Memberdayakan peternakan domba dalam penelitian ini meliputi
pemberdayaan yang dilakukan TTP dan kerja sama pola kemitraan dengan
peternak domba.
4) Kinerja peternak dalam penelitian ini meliputi peternak sebagai pemelihara
ternak atau kemampuan peternak yang memiliki keterampilan memelihara
ternak (enabling), individu otonom atau kekuatan untuk berubah dalam
mencapai tujuan (empowering), dan kemampuan mengambil keputusan
yang tepat dalam mencapai keberhasilan (self help).