ii. bab ii tinjauan pustaka ii.1. sejarah value · pdf filec. undang-undang tentang bangunan...
TRANSCRIPT
II. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Sejarah Value Engineering
Value Engineering mulai dikembangkan sejak perang dunia kedua. Pada saat itu
industri di Amerika Serikat mengalami kekurangan bahan baku untuk proses
produksinya. Salah satu perusahaan yang terkena dampaknya adalah General
Electric Company. Pada tahun 1947 Lawrence D. Miles, seorang staf teknik dari
General Electric Company mendapat tugas untuk mengatasi masalah tersebut.
Tugasnya adalah mendapatkan bahan pengganti bagi bahan baku yang biasa
dipakai untuk proses produksi serta mengembangkan suatu metoda untuk
mengganti fungsi dari komponen yang terlalu mahal. Metoda yang dikembangkan
oleh Miles dikenal sebagai teknik analisa nilai (Value analysis technique) dan
menjadi metode standar General Electric Company bagi studi peningkatan nilai
(Marzuki, 2006).
Setelah teknik analisa nilai ini dikenal manfaatnya, maka mulai dipergunakan pula
pada proses-proses produksi di perusahaan lainnya dan lambat laun metoda ini
berkembang tidak lagi hanya sekedar menganalisis produk yang telah jadi, tapi
juga mengupayakan suatu rekayasa (engineering) untuk produk yang akan
dibangun atau lebih dikenal dengan metoda Value Engineering. Perkembangan
Value Engineering dicatat sebagai berikut:
a. Tahun 1954 digunakan di bidang pengadaan oleh angkatan laut Amerika
Serikat;
b. Tahun 1956 digunakan oleh angkatan darat AS;
c. Tahun 1961 digunakan oleh angkatan udara AS;
d. Tahun 1964 digunakan pemerintah AS untuk meningkatkan mutu
manajemen;
e. Tahun 1967 digunakan Biro Riset Dan Rekayasa Departemen Kantor Pos AS;
f. Tahun 1969 digunakan NASA;
g. Tahun 1969 digunakan Public Building Service (PBS)/General Service
Administration (GSA);
14
h. Tahun 1970 diperkenalkan di Jepang oleh Institute of Business and
Management of Tokyo;
i. Tahun 1972 diwajibkan dipakai oleh Construction Management Services;
j. Tahun 1975 digunakan oleh Environmental Protection Agency (EPA);
k. Tahun 1976 digunakan oleh Departemen Transportasi AS;
l. Tahun 1978 digunakan oleh perusahaan Chemint of Milan di Italia;
m. Tahun 1978 digunakan oleh Departemen Of Public Work Of Canada melalui
British Columbia Building Corporation;
n. Tahun 1979 digunakan oleh perusahaan Brian Farmer Of Woolworth Inc.
Dan Mc. Lachan Group of Sydney untuk Australian Mutual Provident (AMP)
di Australia;
o. Tahun 1986 mulai diperkenalkan di Indonesia oleh Dr Ir. Suriana Chandra
melalui seminar-seminar yang diadakan di berbagai kota;
p. Tahun 1986 digunakan di Indonesia pada Proyek Pembangunan Jalan Layang
Cawang;
q. Tahun 1987 dianjurkan pemakaiannya di Indonesia oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas), Departemen Keuangan, dan Direktorat
Jenderal Cipta Karya untuk seluruh pembangunan rumah dinas dan gedung
negara di atas 1 milyar rupiah;
r. Tahun 1990-an sampai 2007 tidak diketahui perkembangannya;
s. Bulan Mei Tahun 2007 Departemen Pekerjaan Umum mengeluarkan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bagi tenaga ahli Value
Engineering. Hal ini mengisyaratkan peluang perkembangan kembali VE di
Indonesia.
II.2. Perkembangan Value Engineering Di Indonesia
Value Engineering mulai diperkenalkan pada tahun 1986 oleh Bapak Dr. Ir.
Suriana Chandra melalui seminar-seminar di berbagai kota. Pada tahun itu juga
metoda ini digunakan pada Proyek Pembangunan Jalan Layang Cawang. Pada
tahun 1987 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Departemen
Keuangan, dan Direktorat Jenderal Cipta Karya menganjurkan pemakaian VE di
15
Indonesia untuk seluruh pembangunan rumah dinas dan gedung negara di atas 1
milyar rupiah.
Periode sejak tahun 1990-an sampai awal tahun 2003, perkembangan VE di
Indonesia tidak banyak diketahui. Jika ditinjau dari regulasi yang dikeluarkan
pemerintah terkait dengan konstruksi pada periode tersebut, seperti:
a. Undang-Undang Perumahan Dan Pemukiman Nomor 24 tahun 1992;
b. Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 18 tahun 1999;
c. Undang-Undang Tentang Bangunan Gedung Nomor 28 tahun 2002;
d. Peraturan Pemerintah Nomor 28, 29, 30 Tahun 2000;
e. Keputusan Menteri (Kepmen) Pemukiman dan Prasarana Wilayah
(Kimpraswil) Nomor 332/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis
Pembangunan Gedung Negara,
Maka tampaknya anjuran Bappenas tahun 1987 untuk menerapkan VE pada
pembangunan rumah dinas dan gedung negara, tidak ditindaklanjuti dengan
penyusunan regulasi yang lebih tinggi tingkatan hukumnya, karena tidak ada satu
klausulpun pada regulasi periode tersebut yang menyinggung penerapan program
VE. Beberapa praktisi dibidang konstruksi memperkirakan pada periode ini
perkembangan VE telah berhenti.
Pada periode selanjutnya mulai tahun 2003 sejak dikeluarkannya Keppres 80
Tentang Pedoman Pengadaan Barang Dan Jasa Bagi Instansi Pemerintah, sampai
awal tahun 2007, perkembangan VE di Indonesia masih belum menunjukkan
perkembangan yang berarti. Pada periode ini kewajiban penerapan Keppres 80
dianggap menjadi penghambat berkembangnya penerapan VE secara meluas
khususnya pada proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah. Keppres 80
meskipun disatu sisi menyatakan bahwa pihak yang terkait dengan pelaksanaan
pengadaan penyedia jasa dan barang harus menghindari dan mencegah terjadinya
pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa,
namun disisi lain tidak memberi ruang yang leluasa bagi penyedia jasa untuk
berkreasi mengupayakan penghematan dengan metoda-metoda dan inovasi-
inovasi baru yang lebih baik. Proses-proses yang diatur dalam Keppres 80 tersebut
16
sangat teknis dan rinci. Keppres 80 berjalan paralel dengan Kepmen Kimpraswil
nomor 339/KPTS/M/2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Jasa
Konstruksi Oleh Instansi Pemerintah dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5
tahun 2004 tentang keharusan melaksanakan Keppres 80 tahun 2003. Value
Engineering yang dalam aplikasinya menuntut keleluasaan berkreasi, dan
melakukan analisis kembali terhadap desain awal seringkali tidak diakomodasi
atau tidak dipahami oleh owner (panitia pengadaan) dan aparat penegak hukum.
Keterbatasan pemahaman aparat penegak hukum terkait dengan pelaksanaan
konstruksi menyebabkan mereka berpegang pada aturan-aturan kaku yang
sebenarnya masih harus disempurnakan. Hal ini juga menjadi penyebab
masyarakat jasa konstruksi kemudian enggan menerapkan VE pada pelaksanaan
proyek konstruksi.
Sejak tahun 2007 geliat perkembangan VE di Indonesia kembali mulai terasa.
Departemen Pekerjaan Umum telah mengeluarkan Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia (SKKNI) bagi tenaga ahli value engineer sebagai bentuk
pengakuan atas profesi VE. Pada tahun ini juga telah terbentuk Himpunan Ahli
Value Engineering Indonesia (HAVEI). Penerapan VE pada proyek-proyek
konstruksi mulai tampak meskipun umumnya dilaksanakan pada proyek-proyek
swasta. Pada proyek pemerintah sebenarnya metoda VE telah diterapkan secara
terbatas oleh kontraktor untuk mendapatkan manfaat peningkatan nilai.
Sayangnya hal ini hanya dilakukan secara internal instansi kontraktor dan
penghematan yang dihasilkan menjadi keuntungan bagi kontraktor semata.
Perkembangan metoda VE kedepan tampaknya akan lebih menjanjikan
dibandingkan masa-masa sebelumnya.
Mengingat perkembangan VE yang belum cukup baik dan ketersediaan literatur
yang menggambarkan perkembangan VE di Indonesia yang sangat minim, maka
penelitan ini tidak didasarkan pada prinsip-prinsip penerapan VE di Indonesia,
melainkan bercermin pada prinsip-prinsip penerapan VE di Amerika dan negara-
negara lannya, yang perkembangan VE dan ketersediaan literaturnya telah lebih
baik.
17
II.3. Pengertian Value Engineering
Ada tiga nama yang sering digunakan untuk studi mengenai nilai yaitu, analisis
nilai (Value Analysis), rekayasa nilai (Value Engineering) dan manajemen nilai
(Value Management). Konsep dasar ketiga studi tersebut adalah sama sehingga
namanya sering dipertukarkan (NCHRP, 2005).
Menurut Zimmerman dan Hart (1982), Value Engineering adalah penerapan suatu
teknik manajemen melalui pendekatan yang sistematis dan terorganisasi dengan
menggunakan analisis fungsi pada suatu proyek atau produk sehingga diperoleh
hasil yang mempunyai keseimbangan antara fungsi dengan biaya, keandalan,
mutu dan hasil guna (Performance). Program ini berusaha mengidentifikasi dan
menghilangkan biaya (Cost) yang tidak perlu melalui suatu rencana kerja (Job
plan) yang terencana.
II.4. Karakteristik Value Engineering
Berdasarkan definisi VE di atas dapat dirumuskan karakteristik-karakteristik Value
Engineering sebagai berikut:
1. Pendekatan yang sistematis;
2. Pendekatan yang terorganisasi;
3. Penggunaan analisis fungsi;
4. Adanya objek berupa proyek, produk atau proses;
5. Bertujuan meningkatkan value.
II.4.1. Pendekatan yang sistematis
Pelaksanaan VE disusun dalam suatu Job plan yang sistematis yang meliputi tiga
tahap utama: pre-study, value study, dan post study. Masing-masing tahapan
terdiri dari fase-fase berbeda. Semua tahap dan fase dilaksanakan secara berurutan
(sequential). Job plan VE dalam penelitian ini didasarkan Pada Value
Methodology Standard yang dikeluarkan oleh Society Of American Value
Engineer (SAVE) tahun 1998, seperti tampak pada gambar berikut ini:
18
Mengumpulkan user/costumer attitudesMelengkapi data-data yang dibutuhkanMemutuskan faktor-faktor evaluasiMenentukan batasan studiMembangun data model Memutusan komposisi tim
PRE-STUDY
1. Fase InformasiMelengkapi paket-paket dataMemperbaiki lingkup studi
2. Fase Analisis FungsiIdentifikasi fungsiKlasifikasi fungsiMengembangkan model fungsiMenetapkan worth untuk fungsiMenentukan Cost untuk fungsiMenetapkan value index (VI)Pemilihan fungsi untuk studi lanjutan
3. Fase KreatifMenciptakan berbagai ide terkait dengan fungsi yang dianalisis
4. Fase EvaluasiMerangking dan membandingkan ide-ideMemilih ide untuk pengembangan
5. Fase PengembanganBenefit analysisMelengkapi data-data teknisRencana implementasiPersiapan proposal akhir
6. Fase PresentasiOral reportWritten reportDapatkan komitmen untuk implementasi
VALUE STUDY
POST STUDY
Lengkapi perubahan yang terjadiLaksanakan perubahan Monitor status
Gambar II-1 Tahapan kegiatan dalam Job Plan Sumber: SAVE International (1998)
II.4.1.1. Pre-Study
Pada tahap ini ada enam langkah yang harus dilaksanakan, yaitu: mengumpulkan
user/costumer attitudes, mengumpulkan data-data terkait dengan proyek,
menentukan faktor penentu dalam melakukan evaluasi, menentukan batasan studi,
membangun model dan menentukan komposisi tim VE. Langkah dan aktivitas
yang dilakukan pada tahap ini tampak pada tabel berikut:
Tabel II-1 langkah dan aktivitas tahap Pre-Study
LANGKAH AKTIVITAS
1A Mengetahui hal-hal utama yang mempengaruhi pembelian produk, atau pada proyek infrastruktur, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi user memanfaatkan fasilitas infrastruktur
1B Mendefinisikan dan menilai tingkat kepentingan suatu feature dan karakteristik produksi suatu proyek
1C Mengetahui dan menilai kegagalan serius produk dari sudut pandang user dan komplain yang mungkin akan terjadi
1D Membandingkan proyek dengan proyek lain yang sejenis
1 Mengumpulkan user/costumer attitudes
1E Hasil dari kegiatan ini nantinya akan menjadi dasar referensi jika terjadi ketidak sesuaian penilaian value pada fase informasi
19
LANGKAH AKTIVITAS
2 Mengumpulkan data-data terkait dengan proyek
2A
Mengumpulkan data-data dari user, desainer, arsitek, cost estimator mengenai: gambar rencana, spesifikasi proyek, dokumen lelang, rencana proyek (project plans). standar desain, regulasi, hasil test, laporan-laporan kegagalan, dan jurnal-jurnal serta data-data proyek serupa
3 Menentukan faktor untuk evaluasi 3A diskusi bersama dengan owner/user faktor apa yang menjadi kriteria
dalam mengevaluasi ide-ide atau gagasan yang akan dikembangkan
4 Menentukan batasan studi 4A Diskusi bersama owner mengenai batasan studi yang dilakukan oleh
tim VE
5 Membangun model 5A Berdasarkan batasan studi tentukan model biaya (cost), waktu, flow chart dan diagram distribusi yang sesuai untuk studi yang dilaksanakan.
6 Menentukan komposisi tim VE 6A Team leader memilih anggota tim sesuai dengan kebutuhan proyek
Sumber: SAVE International (1998)
II.4.1.2. Value Study
Tahap value study adalah tahap utama dalam aplikasi VE. Pada tahap ini ada
enam fase yang harus dilalui yaitu: fase informasi, fase analisis fungsi, fase
kreatif, fase evaluasi, fase pengembangan, dan fase presentasi seperti tampak pada
gambar berikut:
20
Gambar II-2 Tahap Value Study dan fase-fase di dalamnya Sumber: SAVE International, (1998)
Tahap value study ini biasanya dilakukan dalam suatu workshop yang umumnya
berlangsung selama 40 jam selama lima hari. Beberapa penyesuaian sering
dilakukan untuk mengantisipasi kendala sumber daya yang menyebabkan
pelaksanaan workshop menjadi lebih lama atau sebaliknya mempercepat
pelaksanaan workshop menjadi kurang dari lima hari.
II.4.1.3. Post Study
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada fase ini ditujukan untuk meyakinkan
implementasi rekomendasi. Rekomendasi tersebut berisi perubahan-perubahan
yang telah disetujui untuk dilaksanakan. Team leader selanjutnya memantau
perkembangan pelaksanaan perubahan desain yang dilakukan oleh bagian desain.
21
Setiap alternatif harus didesain terpisah dan dikonfirmasi juga persyaratan
kontraktual yang turut berubah. Selanjutnya desain perubahan tersebut diserahkan
ke bagian finansial untuk dilakukan audit akhir dan mengukur keuntungan yang
diperoleh dari penerapan metoda ini.
II.4.2. Pendekatan Yang Terorganisasi
Pendekatan yang terorganisasi dicapai melalui penugasan multidisiplin tim yang
independen pada pelaksanaan studi VE. Keberhasilan penerapan VE tidak terlepas
dari kesiapan tim VE ini. Tim ini terdiri antara 5 sampai 7 orang dengan
kompetensi yang berbeda-beda sesuai dengan proyek yang akan dianalisis. Tim
tersebut dipimpin oleh seorang koordinator team dan beberapa orang praktisi VE.
Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh koordinator tim dan praktisi VE berdasarkan
standar yang ditetapkan SAVE adalah :
Tabel II-2 Persyaratan dan kualifikasi Tim VE
Persyaratan Jabatan Pendidikan Pengalaman Kualifikasi Kepribadian
Koodinator Tim VE
1. Sarjana Min. 4 Thn.
2. Training VE Modul I
3. Training VE Modul II
4. Seminar VE
1. Telah 5 tahun dibidang relevan
2. Telah 2 tahun melaksanakan workshop VE
1. Punya kemampuan teknis 2. Keahlian memimpin tim 3. Kemampuan berkomunikasi 4. Memahami proses dalam
konstruksi dan hal-hal yang terkait, seperti pabrikasi, pengadaan, kontrak dan biaya
5. Kemampuan training
Pemimpin, cerdik, mampu memecahkan kebuntuan dalam memunculkan alternatif dan komunikator
Praktisi VE
1. Sarjana Min. 4 Thn.
2. Training VE Modul I
Telah 3 tahun dibidang relevan
1. Punya kemampuan teknis 2. kreatif 3. kemampuan berkomunikasi 4. memahami proses dalam
konstruksi dan hal-hal yang terkait, seperti pabrikasi, pengadaan, kontrak dan biaya
5. kemampuan training
Orientasi tim , tidak mudah patah semangat, cerdik dan dihargai dalam tim
Sumber: SAVE International (1998)
Materi training yang terkandung dalam Modul I dan modul II menyangkut :
konsep-konsep dasar VE, konsep pengaplikasian metode VE, analisis finansial,
manajemen, pengelolaan seminar VE dan materi lain yang berhubungan. Di luar
kebutuhan praktis untuk pelaksanaan proyek, individu-individu yang berminat
pada bidang Value Engineering juga dapat mengikuti training secara mandiri pada
22
lembaga-lembaga training VE, seperti Society Of American Value Engineer
(SAVE, sebuah lembaga profesi yang menghimpun praktisi VE di Amerika
Serikat), Institute of Value Management (IVM) di Inggris, European National
Value Associations, lembaga Value Management di Hongkong, dll. Jenjang karir
profesional dalam VE:
1. Certified value specialist (CVS) : menyelesaikan modul I dan II dan berhak
memimpin workshop VE. CVS adalah jenjang tertinggi dalam training VE;
2. Associate value specialist (AVS): Menyelesaikan modul I dan II namun belum
mampu memimpin workshop VE. AVS adalah jenjang kedua dalam training
VE;
3. Value Methodology Practitioner (VMP): Menyelesaikan modul I, dapat
menjadi anggota tim VE. VMP adalah jenjang paling rendah dalam training
VE, (sumber: SAVE International).
II.4.3. Penggunaan Analisis Fungsi
Pada dasarnya setiap biaya yang dikeluarkan adalah untuk membeli fungsi. Fungsi
adalah sesuatu yang menyebabkan suatu produk (barang atau jasa) dibeli.
Keberadaan fungsi pada suatu konstruksi/produk menyebabkan konstruksi/produk
tersebut menjadi bernilai sehingga owner/user rela mengeluarkan sejumlah biaya
(cost) untuk mendapatkan fungsi yang mereka butuhkan, (Zimmerman & Hart,
1982). Fungsi dalam kajian VE dibagi 2, yaitu:
1. Basic function. Adalah fungsi utama yang menjadi tujuan suatu produk dibuat.
Tidak berjalannya fungsi tersebut menyebabkan produk menjadi tidak
berguna;
2. Secondary function Adalah fungsi pelengkap sehingga performansi produk
menjadi lebih baik.
Basic dan secondary function dinilai dengan suatu kriteria tertentu yang telah
disyaratkan oleh owner/user, seperti: daya dukung, keindahan, kenyamanan,
keamanan, biaya, kemampuan untuk diperbaiki, biaya perbaikan, dll.
Untuk memudahkan analisis fungsi digunakanlah diagram FAST (Function
Analysis System Technique), berdasarkan hasil analisis FAST selanjutnya disusun
prioritas fungsi yang harus dikaji lebih lanjut. Fungsi ini biasanya adalah fungsi
23
yang memiliki nilai value index lebih besar dari 2 (Zimmerman & Hart, 1982).
Value index adalah perbandingan antara cost dan worth. Penjelasan mengenai cost
dan worth akan disajikan pada sub-bab II.4.3.2. dan II.4.3.3.
II.4.3.1. FAST Diagram
FAST (Function Analysis System Technique) adalah suatu metoda untuk
menganalisis, mengorganisasi dan mencatat fungsi-fungsi dari suatu sistem secara
terstruktur. Dengan menggunakan metoda ini nantinya akan dapat dibangun suatu
diagram yang menggambarkan fungsi-fungsi setiap elemen dalam suatu proyek
secara sistematis dan dapat dicari hubungan antara masing-masing fungsi serta
batasan lingkup permasalahan yang dikaji. Fungsi-fungsi dalam diagram FAST
diidentifikasi dengan menggunakan kata kerja (Verb) dan kata benda (Noun).
Di dalam diagram FAST terkandung hal-hal berikut ini:
a. Lingkup permasalahan yang dikaji (scope of the problem under study )
ditandai dengan dua garis putus-putus vertikal. Garis tersebut membatasi
permasalahan yang menjadi kajian;
b. Fungsi yang paling tinggi (highest order function). Tujuan atau keluaran yang
mesti dihasilkan dari basic function dan subject dalam studi harus merujuk
pada fungsi yang paling tinggi ini. Fungsi ini terletak di luar garis batas
sebelah kiri;
c. Fungsi paling rendah (lowest order function). Fungsi ini terletak di luar garis
putus-putus vertikal sebelah kanan. Fungsi ini merupakan masukan yang
menjelaskan bagaimana fungsi yang lebih tinggi dilaksanakan;
d. Basic function adalah fungsi dasar yang menjadi tujuan dilaksanakannya studi;
e. Objective or specification adalah parameter tertentu yang harus menjadi
landasan dan tujuan yang harus dicapai agar fungsi tertinggi dapat dipenuhi.
Model diagram FAST tampak pada gambar II-3 dibawah ini
24
Gambar II-3 Model dasar FAST Diagram Sumber : Zimmerman dan Hart (1982)
Sebagai contoh identifikasi fungsi menggunakan diagram FAST tampak pada
gambar II-4. Disini keep record merupakan fungsi tertinggi (highest order
function), yang menjadi rujukan fungsi utama (basic function) dan fungsi-fungsi
pendukung lainnya. Fungsi utama disini adalah maintain information, fungsi ini
diperoleh melalui fungsi pendukung record information dan correct information.
Fungsi record information diperoleh melalui fungsi make marks, sementara
fungsi make marks didapat melalui fungsi deposit medium, selanjutnya fungsi
deposit medium diperoleh melalui fungsi apply pressure. Sementara itu untuk
dapat mewujudkan fungsi correct information, maka diperlukan fungsi remove
mark, fungsi remove mark dilakukan melalui fungsi absorb medium. Ketika itu
juga aktivitas rub eraser dibutuhkan. Untuk mewujudkan fungsi absorb medium
maka dibutuhkan fungsi apply pressure. Ketika fungsi apply pressure muncul
pada saat itu juga diperlukan fungsi secure eraser. Apply pressure dipenuhi
melalui fungsi transmit force. Untuk memudahkan fungsi trasmit force
diwujudkan, maka dibutuhkan fungsi acomodate grip. Pada saat bersamaan
fungsi-fungsi independent lainnya dapat timbul seperti, fungsi protect wood,
Highest order Function
Basic Function
SequentialFunction
SequentialFunction
SequentialFunction
concurrentor synonymous
Functions
concurrentor synonymous
Functions
SupportFunction
Lowest order Function
Design objective
Design criteria
Fuction that happen all the time
Scope of problem under study
Higher order scope
Lower order scope
How
Why
25
improve appearance dan display information. Hold pencil adalah fungsi paling
rendah (lowest order function) yang mengawali analisis fungsi suatu proyek.
Gambar II-4 Contoh aplikasi FAST pada pensil Diadaptasikan dari contoh yang dikembangkan J. Jerry Kaufman (SAVE International, 1998)
II.4.3.2. Biaya (Cost)
Biaya (cost) disini adalah harga yang harus dibayar untuk setiap item. Seringkali
biaya bagi satu pihak merupakan harga yang harus dibayarkan pihak lain.
II.4.3.3. Worth
Worth adalah biaya paling rendah yang dibutuhkan untuk mewujudkan basic
function masing-masing item dengan metoda yang paling mungkin dilakukan dan
dengan teknologi yang tersedia saat ini. Jika perbandingan cost dan worth (Value
Index) lebih besar dari 2 maka ada indikasi inefisiensi pada desain elemen tersebut
(Zimmerman & Hart,1982). Contoh perhitungan Value Index (VI) tampak pada
tabel II-3 berikut:
26
Tabel II-3 Contoh Perhitungan Cost-Worth Ratio
Sumber: Dell’Isola. AJ (1975) Dimana: B : Basic Function S : Secondary Function VI : Value Index merupakan pembagian antara cost dan worth Worth : Biaya untuk mewujudkan basic function Cost : Biaya untuk mendapatkan sebuah pensil (harga jual)
II.4.4. Diterapkan Pada Suatu Objek/Proyek
Value Engineering diaplikasikan pada objek tertentu seperti, proyek, produk
maupun proses. Dalam penelitian ini fokus kajian diarahkan pada proyek
konstruksi saja. Proyek konstruksi yang sesuai untuk penerapan Value
Engineering adalah proyek konstruksi dengan biaya besar, kompleks dan sumber
biayanya berasal dari anggaran publik.
II.4.4.1. Biaya Proyek
Di Amerika Serikat, VE wajib diterapkan pada proyek yang menelan biaya lebih
besar dari 25 juta dolar Amerika dan pada proyek jembatan yang menelan
anggaran lebih besar dari 20 juta dolar Amerika, (Regulasi Federal Highway
Administration (FHWA) dikutip dari Clark, 1999). Bagi proyek-proyek yang
nilainya dibawah 20 juta dolar penerapan VE masih mungkin dilaksanakan jika
pada proyek tersebut diperkirakan akan ada potensi penghematan dan adanya
permintaan penerapan VE dari manajer proyek.
Departement of Transportation negara-negara bagian di Amerika Serikat
menetapkan nilai proyek yang relatif lebih kecil bagi penerapan VE dibandingkan
yang disyaratkan oleh FHWA (Clark, 1999) seperti :
Item Name : PENCIL Function Component Verb Noun Kind Remark Worth Original Cost
Pencil make marks B $0.07 Penghapus remove marks S VI = 0.07/0.03 $0.01 Ferrule hold eraser S VI = 3.5 $0.005 Wood hold lead S $0.025 Paint protect wood S $0.005 provide beauty S Markings identify product S $0.005 Graphite makes marks B $0.02 $0.02
27
1. California Departement of Transportation (Caltran) menetapkan anggaran
lebih besar dari 1 juta dolar Amerika ;
2. New Jersey Departement of Trasnportation (NJDOT) menetapkan anggaran 5
juta dolar atau lebih ;
3. Utah Departement of Transportation (UDOT) menetapkan anggaran lebih
besar dari 2 juta dolar ;
4. Virginia Departement of Transportation (VDOT) menetapkan anggaran lebih
besar dari 2 juta dolar.
II.4.4.2. Kompleksitas Pekerjaan
Kompleksitas pekerjaan juga merupakan dasar pertimbangan penerapan VE pada
proyek-proyek konstruksi khususnya fasilitas infrastruktur. Kompleksitas
pekerjaan sangat terkait dengan jenis konstruksi yang akan dibangun. Prinsip-
prinsip yang melandasi kompleksitas pekerjaan menurut Clark (1999), adalah:
a. Metode pelaksanaan pekerjaan yang spesifik. Metoda pelaksanaan semacam
ini umumnya jarang dikerjakan sebelumnya, sehingga sedikit sekali penyedia
jasa yang mampu melaksanakannya. Membutuhkan keterlibatan multidisiplin
engineer dengan akurasi pekerjaan yang tinggi, seperti pembangunan proses
kontrol pada jaringan pengeboran minyak lepas pantai, dll.
b. Pemecahan masalah pelaksanaan proyek yang mahal. Penyediaan komponen
yang mahal dan seringkali harus didatangkan dari luar negeri, seperti
teknologi pengeboran pada batuan masif, software perhitungan dan analisis
mutakhir, dll.
c. pengaruh eksternal proyek yang besar. Jalan akses yang sulit, kondisi alam di
sekitar proyek yang menuntut aplikasi teknologi baru, jarak angkut yang jauh
dan mahal, kondisi tanah keras yang dalam, dll.
d. persyaratan-persyaratan yang sangat kompleks dan mengikat, seperti standar
ambang kebisingan yang diperbolehkan, standar keamanan, waktu
pelaksanaan, energi yang digunakan, perlindungan kebakaran dan standar-
standar lainnya yang harus dipenuhi.
28
II.4.4.3. Sumber Pembiayaan
Di Amerika penerapan VE umumnya dilakukan pada proyek yang dananya
bersumber dari dana Federal. Beberapa studi masih terus dilakukan mengenai
peluang penerapan VE pada proyek yang bukan berasal dari anggaran pemerintah
namun besar anggaran melebihi 25 juta dolar Amerika.
II.4.5. Value
Tujuan penerapan VE adalah untuk meningkatkan value. SAVE International
mendefinisikan value sebagai, biaya terendah yang dapat memenuhi pencapaian
fungsi, kualitas dan performansi lainnya yang sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan owner/user. Dalam Value Engineering dikenal sedikitnya 4 macam
value (Zimmerman & Hart, 1982), yaitu:
1. Nilai guna (use value), adalah nilai yang menunjukkan seberapa besar
kegunaan suatu produk/proyek akibat sudah terpenuhiya suatu fungsi, yang
umumnya dipengaruhi oleh kualitas dan sifat produk/proyek tersebut.
2. Nilai Biaya (cost value), adalah nilai yang menunjukkan seberapa besar biaya
total yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk dan memenuhi semua
fungsi yang diinginkan
3. Nilai tukar (exchange value), adalah nilai yang menunjukkan seberapa besar
keinginan konsumen menukarkan sejumlah uang untuk mendapatkan produk
tertentu.
4. Nilai kebanggaan/prestise (esteem value), adalah nilai yang menunjukkan
seberapa besar kemampuan produk/proyek tersebut membangkitkan minat
konsumen untuk memilikinya, atau dengan kata lain rasa kebanggaan
memiliki produk tersebut. Kemampuan ini ditentukan oleh sifat khusus dari
produk seperti daya tarik, keindahan, ataupun gengsi yang ditimbulkan setelah
memiliknya.
Dell ’isola seperti dikutip oleh Clark. JA, (1999) menggambarkan value dengan
menggunakan persamaan berikut:
)()(
LCCCostCicleLiveiPerformansQualitysesuaiFungsiValue =
29
Dimana:
Fungsi : Kegunaan yang spesifik yang harus dihasilkan oleh desain/elemen
Quality : Harapan, keinginan, kebutuhan owner atau pengguna (quality, safety,
reliability, time, maintenable, cost, dll)
LCC : Keseluruhan daur hidup biaya (life cycle cost) pada proyek tersebut
mulai tahap conception, planning, design, bidding, construction,
maintanance sampai tahap disposal.
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan value, yaitu:
a. Menurunkan performansi dan biaya, dimana penurunan performansi harus
lebih kecil dibandingkan penurunan biaya.
b. Performansi tetap, biaya turun.
c. Performansi dinaikkan, biaya diturunkan.
d. Performansi dinaikkan, biaya tetap
e. Performansi dan biaya dinaikkan, namun kenaikan performansi lebih besar
dibandingkan kenaikan biaya.
II.5. Life Cycle Cost
Analisis life cycle cost adalah analisis yang menghitung keseluruhan biaya dari
suatu konstruksi sepanjang umur rencananya. Biaya-biaya tersebut meliputi: biaya
perencanaan, riset dan pengembangan, pelaksanaan/produksi, operasi, perbaikan
dan biaya disposal. Dalam menentukan kebijakan memproduksi suatu produk atau
servis suatu skema waktu dari keseluruhan biaya harus disusun untuk membantu
memperlihatkan biaya-biaya yang dibutuhkan dan mengontrol alokasi biaya yang
dikeluarkan.
Dalam aplikasi VE wawasan mengenai biaya-biaya yang muncul pasca konstruksi
(biaya produksi, maintenance dan disposal) harus turut dipertimbangkan untuk
memberikan analisis yang lebih baik dan lengkap.
30
II.6. Proses Project Delivery dan Waktu Penerapan Value Engineering
Proses project delivery adalah tahapan proses pelaksanaan proyek mulai dari
tahap persiapan, desain, pelaksanaan sampai tahapan penyelesaian dan serah
terima dari pelaksana kepada pemilik proyek. Proses project delivery ini dapat
disesuaikan dengan karakteristik proyek yang akan dibangun, kesepakatan pihak-
pihak terlibat dan tuntutan persyaratan regulasi khususnya bagi proyek-proyek
yang didanai oleh pemerintah. Pada pelaksanaan desain konvensional dimana
pihak yang terlibat langsung didalamnya adalah pemilik proyek (owner) sekaligus
pemberi tugas dan konsultan desain, maka tahapan yang umumnya berlangsung
adalah tahap perencanaan (planning), dilanjutkan dengan pelelangan perusahaan
penyedia jasa konsultansi dan pelaksanaan desain oleh konsultan terpilih, sampai
serah terima pekerjaan, berupa site plan analysis, master plan, gambar rencana
(bestek), rencana kerja dan syarat-syarat (RKS) dan hasil lainnya, sesuai kontrak
kerja antara owner dan konsultan. Pada tahap pelaksanaan konstruksi model
konvensional, dimana pihak yang terlibat secara langsung adalah pemilik proyek
(owner) sekaligus pemberi tugas dan kontraktor, maka tahapan yang umumnya
dilalui adalah, tahap pelelangan perusahaan penyedia jasa pelaksanaan konstruksi,
dilanjutkan dengan proses pelaksanaan konstruksi hingga tahap serah terima
proyek. Pada proyek-proyek yang kompleks dimana tingkat kesulitan pelaksanaan
cukup tinggi dan keterlibatan teknologi serta tenaga ahli yang beragam, seperti
pembangunan pembangkit tenaga listrik, model proses project delivery umumnya
menggunakan sistem turn key. Model ini memberi keleluasaan kepada pihak
penyedia jasa (baik berasal dari konsultan desain, maupun kontraktor atau join
operation antara keduanya) untuk melaksanakan dua kegiatan utama sekaligus,
yaitu pelaksanaan desain dan konstruksi. Banyak lagi model proses project
delivery lainnya yang sering digunakan dalam pelaksanaan suatu proyek, seperti
swakelola, built-operate-transfer (BOT) dengan berbagai variasinya.
Value Engineering dapat diterapkan pada setiap tahapan proyek dengan peluang
penghematan yang berbeda-beda. Tahapan-tahapan tersebut pada penelitian ini
didasarkan pada pendapat Zimmerman dan Hart (1982) serta Clark (1999),
31
sebagai berikut: tahap pemikiran (conception), perencanaan (planning), desain
(design) dan implementasi seperti tampak pada gambar berikut ini:
Gambar II-5 Kurva Pengaruh Waktu Penerapan Value Engineering Sumber: Zimmerman & Hart, (1982) dan Clark, 1999
II.6.1. Tahap Pemikiran (Conception Phase)
Pada tahap ini investigasi awal dilakukan untuk melihat kelayakan proyek dan
potensi return on investment (ROI) yang akan didapat. Analisis benefit cost ratio
telah dilakukan sehingga pada akhirnya dapat diketahui apakah proyek akan
menguntungkan atau tidak.
II.6.2. Tahap Perencanaan (Planning)
Tahap ini adalah kelanjutan tahap pemikiran. Pada tahap ini ditentukan tujuan dan
sasaran yang akan dicapai dari proyek, berdasarkan persyaratan-persyaratan yang
telah ditetapkan. Owner menyusun syarat-syarat yang harus terpenuhi dari proyek.
Memutuskan lokasi yang akan dibangun, selanjutnya konsultan desain
menyiapkan site analysis plan dan master plan. Value Engineering sangat
berpeluang diterapkan pada tahap ini dimana keputusan-keputusan besar yang
mempengaruhi keseluruhan pelaksanaan proyek dilakukan.
High
Low
Penghematan
Pengadaan Detail Desain
Preliminary Desain
Definisi Proyek
Kemampuan mempengaruhi biaya, kualitas dan jadwal proyek
Biaya implementasi perubahan proyek
Konstruksi
High
Low
Conception Desain Implementasi Perencanaan
32
II.6.3. Tahap Preliminary Design (35% desain)
Pada tahap ini tim desain telah mulai mewujudkan definisi proyek dengan
batasan-batasan yang telah dijelaskan pada saat definisi proyek. Data-data awal
telah mulai dikumpulkan, data-data proyek sebelumnya yang mirip dengan proyek
yang akan dilaksanakan juga mulai dihimpun. Meskipun demikian informasi yang
tersedia masih bersifat umum dan belum mendetail. Gambar rencana awal,
metoda pelaksanaan dan estimasi biaya perkiraan juga mulai disusun meskipun
dengan tingkat akurasi yang minim.
Ada dua aliran yang berbeda dalam memandang waktu yang paling cocok untuk
penerapan metode Value Engineering. Aliran pertama memandang waktu yang
paling sesuai adalah pada tahap preliminary design (35% desain selesai) dengan
pertimbangan pada saat ini desain telah mulai mengidentifikasi elemen-elemen
konstruksi dan perkiraan biaya untuk elemen-elemen konstuksi tersebut, sehingga
hasil yang diperoleh akan lebih baik. Aliran kedua memandang waktu yang paling
tepat sesungguhnya adalah pada tahap conception atau planning. Penerapan
analisis fungsi pada tahap preliminary design lebih umum digunakan
dibandingkan pada tahap conception dan planning.
II.6.4. Tahap Detail Design (100% desain)
Pada tahap ini desain telah dibuat secara rinci. Dimana gambar rencana telah
terperinci, metoda pelaksanaan juga telah disusun, rencana anggaran biaya telah
cukup akurat. Pada tahap ini informasi telah terkumpul cukup lengkap. Tim desain
telah melaksanakan survey lapangan, pengujian laboratorium dan perhitungan
dengan menggunakan standar-standar yang ditetapkan. Teknologi untuk survey
dan pengolahan data yang belum tersedia di dalam negeri harus diadakan dari luar
negeri, pembelian hak paten, pembayaran royalti dan lain-lain. Pelaksanaan VE
pada tahap ini masih cukup baik meskipun dengan konsekuensi harus membayar
biaya desain kembali jika terjadi perubahan desain.
33
II.6.5. Tahap Pengadaan/Tender
Pada tahap ini program VE dapat dilakukan oleh kontraktor selaku peserta
pelelangan/tender. Kontraktor setelah mempelajari dokumen lelang dapat
mengajukan usulan-usulan perubahan kepada owner melalui panitia lelang.
Disamping itu pihak owner juga dapat melakukan revisi setelah mengetahui
adanya peluang peningkatan value. Selanjutnya perubahan dokumen lelang
dihimpun dalam suatu addendum.
II.6.6. Tahap Konstruksi
Studi VE yang dilakukan pada tahap ini dapat terjadi dalam situasi :
a. Apabila suatu item yang telah ditetapkan pada tahapan sebelumnya
memerlukan penelitian lebih lanjut sebelum diputuskan. Meskipun terjadi
keterlambatan, namun pada akhirnya akan memberikan potensi penghematan
biaya dan peningkatan kualitas yang signifikan.
b. Apabila pada tahap perencanaan belum dilakukan studi VE, sementara dengan
dilakukannya studi VE pada tahap ini tetap memberikan keuntungan yang
besar.
c. Apabila kontraktor melihat adanya potensi keuntungan pada bidang
pekerjaannya
Biaya-biaya tambahan yang mungkin timbul akibat perubahan-perubahan seperti:
biaya pemesanan kembali, biaya pembongkaran dan biaya yang timbul sebagai
kompensasi penambahan waktu pelaksanaan.
II.7. Value Engineering Proposal (VEP)
Value Engineering proposal adalah Value Engineering yang diterapkan pada
tahap desain oleh owner dengan potensi penghematan biaya mencapai 25% dari
total anggaran proyek.
II.7.1. Para Pihak Terlibat Dalam Program VE Proposal
Pada pelaksanaan VEP para pihak yang terlibat adalah :
1. User (Pengguna) dalam hal ini pengguna adalah masyarakat yang nantinya
akan memanfaatkan fasilitas infrastruktur tersebut;
34
2. Owner (pemilik/pemberi tugas) adalah pemilik yang menginvestasikan
sejumlah dana untuk mewujudkan proyek infrastruktur;
3. Manajer Konstruksi adalah pihak yang ditugaskan oleh owner selaku pemilik
untuk mengatur hubungan kerja antara para pihak yang terlibat dalam proyek
konstruksi;
4. Konsultan desain adalah pihak yang ditugaskan untuk melakukan desain, baik
desain pendahuluan maupun detail desain;
5. Konsultan VE adalah konsultan yang ditugaskan untuk melaksanakan studi
VE. Dalam hal ini studi VE dapat dilakukan sejak masa konseptual sampai
sebelum kontrak kerja konstruksi di tanda-tangani.
II.7.2. Proses Pelaksanaan VE Proposal
Adapun proses pelaksanan program Value Engineering proposal tampak pada
gambar berikut:
35
Gambar II-6 Proses Pelaksanaan Value Engineering Proposal (VEP) Diolah dari beberapa sumber
36
II.8. Value Engineering Change Proposal (VECP)
Value Engineering change proposal (VECP) pada dasarnya sama dengan Value
Engineering Proposal (VEP). Jika pada VEP proses pelaksanaan studi VE
dilakukan sebelum kontrak kerja konstruksi ditanda-tangani maka VECP
dilaksanakan oleh kontraktor dengan dibantu oleh tim VE yang dibiayai oleh
kontraktor dan dilaksanakan setelah penandatanganan kontrak konstruksi
dilakukan. VECP biasanya dilaksanakan jika di dalam kontrak kerja terdapat
klausul mengenai VECP atau dengan persetujuan owner. Penghematan yang
dihasilkan dari pelaksanaan VECP akan dibagi antara kontraktor dan owner.
Penerapan VECP kurang banyak memberikan penghematan jika dibandingkan
dengan penerapan VEP. Jika pada VEP penghematan yang dihasilkan dapat
mencapai 25% maka pada VECP penghematan hanya mencapai 5% saja. Hal ini
disebabkan semakin mendekati masa penyelesaian proyek semakin kecil peluang
menerapkan inovasi-inovasi yang dapat menghemat biaya disamping semakin
besar tambahan biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan redesain dan
pembongkaran.
Penghematan yang diperoleh dari penerapan VECP berasal dari perbaikan desain
yang kurang akurat dilakukan oleh konsultan desain karena keterbatasan waktu
penyelesaian desain, penerapan teknologi terkini dalam pelaksanaan proyek yang
lebih efisien dengan kualitas yang lebih baik dan penggunaan material baru yang
lebih murah dengan tingkat keandalan yang tidak kalah dibandingkan material
sebelumnya dan potensi penghematan yang mungkin akan didapat selama life
cycle proyek, khususnya penghematan biaya operasional dan maintenance.
II.8.1. Para Pihak Terlibat
Para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Value Engineering Change Proposal
adalah: Kontraktor, Owner (Pemilik/pemberi tugas), Manajer Konstruksi,
Konsultan Desain, Konsultan VE.
37
II.8.2. Proses Pelaksanaan VECP
Proses pelaksanaan VECP dimulai setelah kontrak kerja konstruksi ditanda-
tangani antara owner dan kontraktor terpilih. Proses pelaksanaan VECP adalah:
Gambar II-7 Proses Pelaksanaan Value Engineering Change Proposal (VECP) Sumber: US Departement of Defense, (2003)
38
II.9. Pengaruh Kebiasaan(Habit) Dan Sikap (Attitudes) Para Pihak Berkompeten Terhadap Kesuksesan Penerapan Value Engineering
Hukum alamiah manusia yang paling mendasar adalah melakukan sesuatu
berdasarkan kebiasaan (habit). Pikiran hanya alat yang digunakan pada saat
genting dimana kebiasaan tidak dapat lagi mengatasi situasi. (Carlyle, dikutip dari
Zimmerman dan Hart, 1982). Habit cenderung kaku, susah berubah berbeda
secara diametral dengan ilmu pengetahuan (knowledge). Knowledge bersifat cair,
selalu berkembang dan selalu berubah (Zimmerman & Hart, 1982). Habit
seringkali mengabaikan ide-ide perubahan dan cenderung untuk mencari solusi
permasalahan berdasarkan pengalaman di masa lalu. Dalam penerapan praktis di
industri konstruksi seringkali para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan
konstruksi menolak ide-ide baru yang belum pernah mereka laksanakan
sebelumnya. Mereka hanya berpegang teguh pada kebiasaan (habit) yang telah
sering mereka praktekkan. Seringkali konsultan desain hanya meniru desain-
desain sebelumnya untuk digunakan kembali pada desain saat ini. Demikian juga
kontraktor hanya terpaku menggunakan metoda pelaksanaan konstruksi yang
sama tanpa inisiatif mengembangkannya dengan metoda-metoda baru yang lebih
baik. meskipun demikian tidak semua habit buruk, banyak juga habit baik yang
dipraktekkan dalam pelaksanaan konstruksi. Kebiasaan mengevaluasi hasil
pekerjaan dan menyusun perencanaan perbaikan di masa akan datang adalah salah
satu habit yang masuk dalam kategori ini.
Sikap memegang peranan penting dalam setiap pengambilan keputusan sekaligus
turut berperan dalam mempertahankan kebiasaan buruk. Roadblock seringkali
merupakan ekspresi dari sikap dan mengaburkan fakta yang sebenarnya.
Seringkali sikap membunuh ide-ide baik sebelum ide tersebut sempat
berkembang. Pada awalnya, penemuan-penemuan penting seringkali dihadapkan
pada sikap sinis bahkan antipati, usulan Francis Crocker untuk membangun kereta
gantung ( Palm Spring Tramway) di California awalnya menjadi cibiran dan
dicemooh sebagai “Crocker Folly”. Diawal bajak tanah pertanian diciptakan dari
besi untuk menggantikan bajak tanah dari kayu, bermacam penolakan muncul
39
karena anggapan bajak dari besi tersebut akan meracuni tanah dan mendorong
tumbuhnya rumput liar.
Seiring dengan perkembangan zaman, pola pikir masyarakatpun semakin terbuka
dan lebih maju dibandingkan masyarakat sebelumnya. Namun sikap buruk dalam
menerima ide-ide baru tetap harus diwaspadai karena dewasa ini dapat saja
muncul dalam bentuk yang lain. Komentar-komentar seperti:
a. “hal itu akan membutuhkan approval tingkat tinggi...”
b. “itu terlalu ambisius untuk kita...”
c. “ pihak desainer tidak akan menyukai perubahan desain..”
d. “kita tidak boleh mengatakan kepada klien bahwa kita merubah desain kita..”
e. “bos hanya suka satu tipe konstruksi saja..”
f. “biaya tidak terlalu penting dalam hal ini..”
g. “itu harus dilaksanakan dengan cara seperti ini...”
h. “kita selalu melakukan dengan cara ini dan tidak pernah ada masalah kenapa
sekarang harus mencari cara baru?”
Masih akrab terdengar dan merupakan perwujudan dari ketakutan melakukan
inovasi baru dan keluar dari kungkungan kebiasaan masa lalu.
Kreativitas dan kondisi yang sehat bagi munculnya ide-ide baru sangat penting
dalam pelaksanaan Value Engineering. Pada tahap value study di fase kreatif, para
pihak yang terlibat diharapkan dapat mencurahkan segenap ide yang dimilikinya,
meskipun ide-ide tersebut terkesan mustahil, (dijelaskan pada bab II, sub-bab
II.4.1.2). Habit dan attitude buruk akan menjadi penghambat keberhasilan
pelaksanaan fase kratif ini.
II.10. Infrastruktur
Infrastruktur (prasarana) adalah bangunan atau fasilitas fisik yang mendukung
keberlangsungan dan pertumbuhan ekonomi dan sosial suatu masyarakat. Kualitas
infrastruktur sangat ditentukan oleh pencapaian fungsi dan tujuan dibangunnya
infrastruktur tersebut (pertumbuhan kegiatan ekonomi dan sosial suatu
masyarakat). Semakin besar kontribusi infrastruktur dalam meningkatkan
40
pertumbuhan kegiatan ekonomi dan sosial suatu masyarakat maka semakin
berkualitas fasilitas infrastruktur tersebut.
II.10.1. Peranan infrastruktur
Pencapaian kesejahteraan manusia tergantung dari infrastruktur fisik yang
berfungsi untuk mendistribusikan sumber daya dan pelayanan publik. Kualitas
dari pelayanan infrastruktur memberikan dampak kepada kualitas hidup,
kesehatan dan sosial juga kelangsungan perekonomian dan aktivitas bisnis dari
wilayah pengaruhnya, oleh karenanya, kekuatan ekonomi suatu bangsa dapat
diketahui dari aset infrstruktur yang dimilikinya.
II.10.2. Kategori fasilitas infrastruktur
Fasilitas fisik infrastruktur, berdasarkan fungsi utama dan pelayanannya dapat
dikategorikan kedalam tujuh kelompok yaitu:
1. Infrastruktur transportasi
2. Bangunan air terutama air kotor
3. Pengelolaan limbah
4. Produksi distribusi energi
5. Bangunan umum
6. Fasilitas rekreasi dan
7. Infrastruktur telekomunikasi