identifikasi antalgin dalamjamu pegal linu yang beredar dipalembang secara kromatografi lapis tipis...

7
IDENTIFIKASI ANTALGIN DALAMJAMU PEGAL LINU YANG BEREDAR DIPALEMBANG SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS Subiyandono Dosen Jurusan Farmasi POLTEKKES DEPKES PALEMBANG RINGKASAN Penambahan bahan kimia obat ke dalam jamu merupakan salah satu cara yang dilakukan beberapa industri obat tradisional untuk meningkatkan khasiat tertentu dari obat tradisional. Hal ini dibuktikan dengan adanya penarikan beberapa merek jamu yang beredar di pasaran karena mengandung bahan kimia obat. Oleh karena itu, dilakukan identifikasi antalgin pada jamu pegal linu secara kromatografi lapis tipis dengan menggunakan dua larutan pengembang. Larutan pengembang I terdiri dari asam asetat : aseton : benzen : metanol (5 : 5 : 70 : 20) dan larutan pengembang II adalah sikloheksana : kloroform : metanol : Dietilamin (60 : 30 : 5 : 5). Identifikasi ini dilakukan terhadap 7 sampel jamu pegal linu yang diambil secara Purposive Sampling dengan bermacam-macam merek yang beredar di Pasar 16 Ilir Palembang . Pemisahan antalgin dari jamu pegal linu dilakukan dengan mengekstraksi jamu dengan kloroform 2 x 25 ml. Dari hasil eluasi didapatkan bahwa sampel S 3 positif mengandung antalgin karena harga Rf sampel sama dengan harga Rf baku pembanding, sedangkan sampel S 1 , S 2 , S 4 , S 5 , S 6 , S 7 tidak mengandung antalgin karena harga Rf sampel berbeda dengan harga Rf baku pembanding. A. PENDAHULUAN Bagi penduduk Indonesia, penggunaan jenis-jenis tumbuhan sebagai bahan ramuan untuk obat tradisional bukan merupakan hal yang baru. Baik dalam bentuk jamu yang terdiri dari berbagai jenis maupun yang bahan bakunya terdiri dari satu jenis. Hal itu telah berlaku sejak lama dan terus berlangsung serta diwariskan kepada generasi berikutnya secara turun-temurun (Santosa, 2000). Sejalan dengan kecenderungan “back to nature” atau kembali ke alam yang menjadi fenomena dalam beberapa tahun terakhir, upaya pencegahan dan pengobatan penyakit dengan cara tradisional juga dilakukan (Wiryowidagdo dan Sitanggang, 2002). Fenomena ini bertambah lagi ketika krisis ekonomi melanda Indonesia sejak tahun 1997, yaitu saat harga obat-obatan kimiawi semakin meningkat. Penggunaan tanaman obat sebagai bahan untuk mengobati penyakit dapat menjadi alternatif yang relatif murah dibandingkan dengan obat kimia. Oleh sebab itu, karena kepraktisan dan murahnya, popularitas obat tradisional semakin melambung (Duryatmo, 2003) Berdasarkan bukti empiris tentang pemanfaatan tanaman obat, maka penggunaan tanaman obat sebagai obat tradisional terbukti relatif aman. Penggunaan secara benar jarang sekali menimbulkan efek samping sebagaimana tercermin dari anggapan masyarakat bahwa obat tradisional merupakan obat yang aman tanpa efek samping. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar karena dapat terjadi bahwa obat tradisional menjadi tidak aman karena beberapa penyebab, diantaranya adalah pencampuran dengan bahan kimia (Handayani, 2001). Hal ini didukung pula dengan adanya Hasil Operasi Pengawasan dan Pengajian Laboratorium Badan POM periode 2001-2003, dimana ditemukan 78 produk jamu atau obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat. Bahan kimia obat yang dimaksud meliputi antalgin, furosemid, diazepam, fenilbutazon dan lain-lain. Obat-obat tradisional yang ditarik dari peredaran tersebut sebagian besar diproduksi dibeberapa kota yang ada di pulau Jawa, seperti Cilacap, Banyumas, dan Sumenep (Sampurno, 2003). Pencampuran dengan bahan kimia dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan khasiat tertentu dari obat tradisional. Penggunaan obat tradisional yang dapat diperoleh secara bebas, dosis yang tidak standar akan menyebabkan konsumsi bahan kimia tercampur tidak terkontrol. Hal tersebut dapat menyebabkan efek samping baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek (Handayani, 2001). Antalgin merupakan salah satu bahan kimia obat yang cenderung ditambahkan dalam obat tradisional atau jamu diantaranya jamu pegal linu. Dimana diketahui bahwa antalgin berkhasiat analgesik atau penghilang rasa sakit dan antipiretik atau penurun panas. Penggunaan antalgin dalam dosis yang tidak terkontrol dapat menimbulkan efek samping bahkan gangguan kesehatan antara lain perdarahan lambung, jantung berdebar, kerusakan organ hati dan lain-lain. Penambahan bahan kimia seperti inilah yang bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 246/Menkes/V/1990 yang menyatakan bahwa industri obat tradisional dilarang memproduksi segala jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat dan melanggar Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 serta Undang-Undang No.8 tahun 1999

Upload: molly-sheva-milanisti

Post on 21-Oct-2015

85 views

Category:

Documents


22 download

DESCRIPTION

nnnnn

TRANSCRIPT

Page 1: Identifikasi Antalgin Dalamjamu Pegal Linu Yang Beredar Dipalembang Secara Kromatografi Lapis Tipis 2

IDENTIFIKASI ANTALGIN DALAMJAMU PEGAL LINU YANG BEREDAR DIPALEMBANG SECARA

KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

Subiyandono

Dosen Jurusan Farmasi POLTEKKES DEPKES PALEMBANG RINGKASAN

Penambahan bahan kimia obat ke dalam jamu merupakan salah satu cara yang dilakukan beberapa industri obat

tradisional untuk meningkatkan khasiat tertentu dari obat tradisional. Hal ini dibuktikan dengan adanya penarikan

beberapa merek jamu yang beredar di pasaran karena mengandung bahan kimia obat. Oleh karena itu, dilakukan

identifikasi antalgin pada jamu pegal linu secara kromatografi lapis tipis dengan menggunakan dua larutan pengembang.

Larutan pengembang I terdiri dari asam asetat : aseton : benzen : metanol (5 : 5 : 70 : 20) dan larutan pengembang II

adalah sikloheksana : kloroform : metanol : Dietilamin (60 : 30 : 5 : 5). Identifikasi ini dilakukan terhadap 7 sampel jamu

pegal linu yang diambil secara Purposive Sampling dengan bermacam-macam merek yang beredar di Pasar 16 Ilir

Palembang . Pemisahan antalgin dari jamu pegal linu dilakukan dengan mengekstraksi jamu dengan kloroform 2 x 25

ml. Dari hasil eluasi didapatkan bahwa sampel S3 positif mengandung antalgin karena harga Rf sampel sama dengan

harga Rf baku pembanding, sedangkan sampel S1, S2, S4, S5, S6, S7 tidak mengandung antalgin karena harga Rf sampel

berbeda dengan harga Rf baku pembanding.

A. PENDAHULUAN

Bagi penduduk Indonesia, penggunaan jenis-jenis

tumbuhan sebagai bahan ramuan untuk obat

tradisional bukan merupakan hal yang baru. Baik

dalam bentuk jamu yang terdiri dari berbagai jenis

maupun yang bahan bakunya terdiri dari satu jenis.

Hal itu telah berlaku sejak lama dan terus berlangsung

serta diwariskan kepada generasi berikutnya secara

turun-temurun (Santosa, 2000).

Sejalan dengan kecenderungan “back to nature”

atau kembali ke alam yang menjadi fenomena dalam

beberapa tahun terakhir, upaya pencegahan dan

pengobatan penyakit dengan cara tradisional juga

dilakukan (Wiryowidagdo dan Sitanggang, 2002).

Fenomena ini bertambah lagi ketika krisis ekonomi

melanda Indonesia sejak tahun 1997, yaitu saat harga

obat-obatan kimiawi semakin meningkat. Penggunaan

tanaman obat sebagai bahan untuk mengobati

penyakit dapat menjadi alternatif yang relatif murah

dibandingkan dengan obat kimia. Oleh sebab itu,

karena kepraktisan dan murahnya, popularitas obat

tradisional semakin melambung (Duryatmo, 2003)

Berdasarkan bukti empiris tentang pemanfaatan

tanaman obat, maka penggunaan tanaman obat

sebagai obat tradisional terbukti relatif aman.

Penggunaan secara benar jarang sekali menimbulkan

efek samping sebagaimana tercermin dari anggapan

masyarakat bahwa obat tradisional merupakan obat

yang aman tanpa efek samping. Pendapat tersebut

tidak sepenuhnya benar karena dapat terjadi bahwa

obat tradisional menjadi tidak aman karena beberapa

penyebab, diantaranya adalah pencampuran dengan

bahan kimia (Handayani, 2001).

Hal ini didukung pula dengan adanya Hasil Operasi

Pengawasan dan Pengajian Laboratorium Badan

POM periode 2001-2003, dimana ditemukan 78

produk jamu atau obat tradisional yang mengandung

bahan kimia obat. Bahan kimia obat yang dimaksud

meliputi antalgin, furosemid, diazepam, fenilbutazon

dan lain-lain. Obat-obat tradisional yang ditarik dari

peredaran tersebut sebagian besar diproduksi

dibeberapa kota yang ada di pulau Jawa, seperti

Cilacap, Banyumas, dan Sumenep (Sampurno, 2003).

Pencampuran dengan bahan kimia dilakukan

dalam upaya untuk meningkatkan khasiat tertentu

dari obat tradisional. Penggunaan obat tradisional yang

dapat diperoleh secara bebas, dosis yang tidak standar

akan menyebabkan konsumsi bahan kimia tercampur

tidak terkontrol. Hal tersebut dapat menyebabkan efek

samping baik dalam jangka panjang maupun jangka

pendek (Handayani, 2001).

Antalgin merupakan salah satu bahan kimia obat

yang cenderung ditambahkan dalam obat tradisional

atau jamu diantaranya jamu pegal linu. Dimana

diketahui bahwa antalgin berkhasiat analgesik atau

penghilang rasa sakit dan antipiretik atau penurun

panas. Penggunaan antalgin dalam dosis yang tidak

terkontrol dapat menimbulkan efek samping bahkan

gangguan kesehatan antara lain perdarahan lambung,

jantung berdebar, kerusakan organ hati dan lain-lain.

Penambahan bahan kimia seperti inilah yang

bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI

No. 246/Menkes/V/1990 yang menyatakan bahwa

industri obat tradisional dilarang memproduksi segala

jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia

obat dan melanggar Undang-Undang Kesehatan No.

23 Tahun 1992 serta Undang-Undang No.8 tahun 1999

Page 2: Identifikasi Antalgin Dalamjamu Pegal Linu Yang Beredar Dipalembang Secara Kromatografi Lapis Tipis 2

tentang perlindungan konsumen, karena dalam hal ini

kesehatan masyarakat telah diabaikan oleh produsen

jamu.

Berdasarkan uraian di atas peneliti telah melakukan

penelitian untuk memeriksa ada atau tidaknya bahan

kimia obat antalgin pada jamu pegal linu yang beredar

di pasar16 ilir Palembang. Dalam melakukan penelitian

ini peneliti menggunakan metode Kromatografi Lapis

Tipis.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

246/Menkes/Per/V/1990 yang menyatakan bahwa

industri obat tradisional dilarang memproduksi segala

jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia

obat dan disertai laporan penarikan jamu yang banyak

beredar di pasaran, karena terdapat pencampuran

bahan kimia obat di dalam jamu dan diduga antalgin

merupakan salah satu bahan obat yang cenderung

ditambahkan pada jamu pegal linu. Sehingga dari

uraian di atas timbul suatu permasalahan, apakah

antalgin terdapat di dalam jamu pegal linu yang

beredar di pasar 16 ilir Palembang ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk memeriksa ada atau

tidaknya bahan kimia obat antalgin yang ditambahkan

pada jamu pegal linu dengan merek berbeda yang

beredar di pasar 16 ilir Palembang secara

Kromatografi Lapis Tipis.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat penelitian ini untuk menambah

pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti dalam

mengidentifikasi bahan kimia obat dalam jamu

terutama bahan kimia obat antalgin pada jamu pegal

linu secara Kromatografi Lapis Tipis.

2. Memberikan informasi kepada pembaca tentang

penambahan bahan kimia obat pada jamu terutama

penambahan antalgin pada jamu Pegal Linu.

D. Alat dan Bahan

1.Alat

a.Bejana Pengembang (Chamber)

b. Beker gelas 100 ml, 200 ml (Pirex)

c. Cawan porselen

d. Corong pisah (Pirex)

e. Erlemeyer 100 mL (Pirex)

f. Gelas ukur 100 ml, 25 ml (Pirex)

g. Kertas saring

h. Lampu UV dengan λλλλ 254 nm (Heraeus W-

Germany)

i. Lumpang dan alu

j. Oven (Memmert)

k. Plat TLC silica gel GF 254 (Merck, Darmstadt

Germany)

l. Seperangkat Alat Timbang

m.Pipet Tetes

n. Hair Drier (Pretty RS-350 International Hair Drier)

2. Bahan

a. Sampel (Jamu Pegal Linu)

b. Baku Pembanding Antalgin

c. Kloroform p.a (Merck, KGaA. 64271 Darmstadt

Germany)

d. Metanol p.a (Merck, D-6100 Darmstadt, F. R

Germany)

e. Asam Asetat glacial (Merck, DAB, Ph Eur, BP, USP,

E 260)

f. Aseton (Pro analisis)

g. Benzen (Merck)

h. Sikloheksana (merck)

i. Asam Asetat p.a (Merck, KGaA, 64271 Darmstadt

Germany)

J. Dietilamin

k. Aquadest

E. Prosedur Kerja

1. Pembuatan Larutan Sampel

Sebanyak 7 gram jamu yang telah diserbuk halus

dimasukkan kedalam erlemeyer 125 ml, tambahkan 75

ml air kocok selama 30 menit lalu disaring. Kemudian

tambahkan asam asetat (pH 3-4), ekstraksi dengan

kloroform 2 x 25 ml. Uapkan hingga kering, filtrat

dilarutkan dengan 2 ml methanol. (MA Balai POM,

Emscience / Modifikasi, 2005).

2. Pembuatan Larutan Baku Pembanding II

Sebanyak 7 gram jamu yang telah diserbuk halus,

ditambah dengan 25 mg antalgin masukkan ke dalam

erlemeyer 125 ml. Tambahkan 75 ml air kocok selama

30 menit lalu disaring. Kemudian tambahkan asam

asetat (pH 3-4), ekstraksi dengan kloroform 2 x 25 ml.

Uapkan hingga kering, kemudian filtrat dilarutkan

dengan 2 ml methanol.

(MA Balai POM, Emscience / Modifikasi, 2005).

3. Pembuatan Larutan Baku Pembanding I

Dibuat larutan baku antalgin 0,1 % b/v dalam

metanol

Page 3: Identifikasi Antalgin Dalamjamu Pegal Linu Yang Beredar Dipalembang Secara Kromatografi Lapis Tipis 2

Pembuatan larutan baku antalgin : Timbang antalgin

sebanyak 100 mg dan dilarutkan dengan metanol ad

100 ml di dalam labu ukur.

4. Penyiapan Bejana Pengembang

Bejana pengembang (chamber) dibersihkan, Bejana

dijenuhkan dengan cara meletakkan secarik kertas

saring yang bersih pada dinding dalam bejana dan

dibasahi dengan larutan pengembang. Larutan

pengembang (eluen) yang digunakan adalah :

Asam asetat : aseton : Benzen : metanol

(5 : 5 : 70 : 20 )

Sikloheksana : Kloroform : Methanol : Dietilamin

(60 : 30 : 5 : 5 )

(MA Balai POM, Emscience / Modifikasi, 2005)

5. Penyiapan Plat Kromatografi Lapis Tipis

Aktifkan plat KLT di oven pada suhu 105oC kemudian

diberi garis dengan pensil dengan jarak 2 cm dari tepi

atas dan 3 cm dari tepi bawah. Diberi skala masing-

masing 2 cm untuk tempat penotolan larutan sampel,

Bp1, Bp 2 (Roth dan Blaschke, 1988).

6. Pengerjaan Kromatografi Lapis

Tipis

a. Totolkan larutan sampel, Bp 1 dan Bp 2

dengan menggunakan pipet kapiler pada

plat KLT

kemudian di hair dryer agar cepat kering.

b. Plat KLT tersebut dimasukkan ke dalam

bejana pengembang dan tutup segera.

c. Biarkan beberapa saat sampai larutan

pengembang naik hingga garis batas.

d. Setelah larutan pengembang naik, plat

dikeluarkan dari bejana dan diamati

dibawah lampu UV,

kemudian tentukan harga Rf (Farmakope

Indonesia edisi IV, 1995).

Pengolahan dan Analisis Data

Data diperoleh dari hasil penelitian yamg

ditampilkan dalam bentuk tabel dengan cara

1,5 cm

20 cm

3 cm

15 cm

2 cm

BP I BP II

Gambar 1. Plat KLT

Page 4: Identifikasi Antalgin Dalamjamu Pegal Linu Yang Beredar Dipalembang Secara Kromatografi Lapis Tipis 2

membandingkan harga Rf dan warna bercak masing

masing sampel, baku pembanding I dan baku

pembanding II.

Apabila harga Rf sampel sama dengan harga Rf

baku pembanding, maka hal ini menunjukkan bahwa

jamu Pegal Linu yang diteliti positif mengandung

bahan kimia obat antalgin.

Harga Rf (Retardian Faktor) : Jarak titik pusat bercak dari titik awal Rf = ---------------------------------------------------

Jarak garis depan dari titik awal

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan identifikasi yang telah

dilakukan terhadap 7 sampel jamu pegal

linu dengan cara Kromatografi Lapis Tipis

yang

dilakukan di Laboratorium Jurusan

Farmasi Politeknik Kesehatan Departemen

Kesehatan Palembang, maka didapatkan

data sebagai berikut:

Tabel 1. Harga Rf Sampel dan Baku Pembanding menggunakan eluen 1, yaitu :

Asam asetat : Aseton : Benzen : Metanol ( 5 : 5 : 70 : 20 )

No

Nama

Jarak titik

pusat dari titik

awal

Jarak garis

depan dari titik

awal

Harga Rf

Hasil

1. Baku Pembanding I

Bercak noda

11, 2

15

0, 75

+

2. Baku Pembanding II

Bercak noda 1

Bercak noda 2

Bercak noda 3

11, 2

11, 1

14, 1

15

15

15

0, 75

0, 74

0, 68

+

-

-

3. Sampel I (S1)

Bercak noda 1

Bercak noda 2

Bercak noda 3

9, 5

11, 4

14, 3

15

15

15

0, 63

0, 76

0, 94

-

-

-

4. Sampel II (S2)

Bercak noda

12

15

0, 80

-

5. Sampel III (S3)

Bercak noda 1

Bercak noda 2

Bercak noda 3

9, 6

11, 2

14, 1

15

15

15

0, 64

0, 75

0, 94

-

+

-

6. Sampel IV (S4)

Bercak noda

14, 1

15

0, 94

-

7. Sampel V (S5)

Bercak noda 1

Bercak noda 2

9

10, 2

15

15

0, 60

0, 68

-

-

8. Sampel VI (S6)

Bercak noda 1

Bercak noda 2

Bercak noda 3

3, 9

7, 9

14, 1

15

15

15

0, 26

0, 53

0, 94

-

-

-

Page 5: Identifikasi Antalgin Dalamjamu Pegal Linu Yang Beredar Dipalembang Secara Kromatografi Lapis Tipis 2

9. Sampel VII (S7)

Bercak noda 1

Bercak noda 2

Bercak noda 3

8, 1

11, 8

12, 9

15

15

15

0, 54

0, 79

0, 86

-

-

-

Tabel 2. Harga Rf Sampel dan Baku Pembanding menggunakan eluen 2, yaitu :

Sikloheksana : Kloroform : Metanol : Dietilamin ( 60 : 30 : 5 : 5 )

No

Nama

Jarak titik

pusat dari

titik awal

Jarak garis

depan dari

titik awal

Harga Rf

Hasil

1. Baku Pembanding I

Bercak noda

7, 6

15

0, 51

+

2. Baku Pembanding II

Bercak noda 1

Bercak noda 2

7, 6

6, 6

15

15

0, 51

0, 44

+

-

3. Sampel I (S1)

Bercak noda 1

Bercak noda 2

Bercak noda 3

4, 4

7, 9

8, 5

15

15

15

0, 29

0, 53

0, 57

-

-

-

4. Sampel II (S2)

Bercak noda

4

15

0, 27

-

5. Sampel III (S3)

Bercak noda 1

Bercak noda 2

Bercak noda 3

3, 8

7, 6

9, 8

15

15

15

0, 25

0, 51

0, 65

-

+

-

6. Sampel IV (S4)

Bercak noda

6, 6

15

0, 44

-

7. Sampel V (S5)

Bercak noda 1

Bercak noda 2

4

5, 6

15

15

0, 27

0, 37

-

-

8. Sampel VI (S6)

Bercak noda 1

Bercak noda 2

7, 4

11, 8

15

15

0, 49

0, 79

-

-

9. Sampel VII (S7)

Bercak noda 1

10, 7

15

0, 71

-

Page 6: Identifikasi Antalgin Dalamjamu Pegal Linu Yang Beredar Dipalembang Secara Kromatografi Lapis Tipis 2

Keterangan :

+ = mengandung bahan kimia obat antalgin

- = tidak mengandung bahan kimia obat antalgin

B. PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan terhadap 7 sampel jamu

pegal linu yang beredar di Pasar 16 Ilir Palembang.

Dimana pengambilan sampel dilakukan secara

purposive sampling. Identifikasi dilakukan

menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis.

Digunakannya Kromatografi Lapis Tipis sebagai

metode untuk mengidentifikasi antalgin pada jamu

pegal linu karena metode ini mempunyai kelebihan

dibandingkan dengan kromatografi lain yaitu

peralatan yang diperlukan sedikit, murah, sederhana,

waktu yang diperlukan untuk analisis sedikit, jumlah

cuplikan yang sedikit dan daya pisah yang cukup baik (

Sudjadi, 1988 ).

Dalam metode Kromatografi Lapis Tipis, untuk

mengidentifikasi antalgin dalam jamu pegal linu dapat

diamati pada kromatogram berdasarkan

perbandingan harga Rf masing-masing sampel dengan

harga Rf baku pembanding I dan baku pembanding II.

Dimana harga Rf didapat dari perbandingan antara

jarak titik pusat bercak dari titik awal dengan jarak

garis depan dari titik awal.

Warna bercak masing-masing sampel dan baku

pembanding dilihat di bawah lampu UV dengan

panjang gelombang 254 nm. Selain menggunakan

lampu UV, untuk mengidentifikasi antalgin dapat

menggunakan pereaksi warna potassium

permanganat.

Apabila dari perbandingan tersebut didapatkan

bahwa harga Rf sampel sama dengan harga Rf baku

pembanding I dan baku pembanding II maka sampel

tersebut dikatakan mengandung bahan kimia obat

antalgin. Baku pembanding I adalah bahan kimia obat

antalgin yang digunakan sebagai baku pembanding,

sedangkan baku pembanding II adalah campuran

sampel dan bahan kimia obat antalgin yang berfungsi

sebagai kontrol kerja terhadap sampel.

Penelitian terhadap jamu pegal linu dilakukan

melalui proses pengekstraksian. Dimana baik sampel

maupun baku pembanding II diektraksi dengan

menggunakan kloroform 2 x 25 ml. Hasil ekstraksi

diuapkan hingga kering, kemudian filtrat dilarutkan

dengan 2 ml metanol. Sedangkan baku pembanding I

dibuat dengan konsentrasi 0, 1 %b/v menggunakan

pelarut metanol .

Setelah itu masing-masing larutan ditotolkan

menggunakan pipet kapiler pada plat KLT yang telah

diaktifkan di oven dan diberi tanda. Kemudian plat

dimasukkan kedalam bejana pengembang yang telah

dijenuhkan dengan larutan pengembang, biarkan

beberapa saat sampai larutan pengembang naik

sampai garis batas. Dalam penelitian ini digunakan dua

larutan pengembang. Larutan pengembang pertama

yaitu, asam asetat : aseton : Benzen : metanol dan

larutan pengembang kedua yaitu, sikloheksana :

kloroform : metanol : dietilamin.

Setelah larutan pengembang naik, plat dikeluarkan

dari bejana pemgembang, kemudian plat dilihat di

bawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm

dan dihitung harga Rf masing-masing sampel dan

baku pembanding. Dari kedua kromatogram dengan

larutan pengembang yang berbeda menunjukkan

bahwa pada kromatogram didapatkan noda bercak

dari setiap sampel maupun baku pembanding. Dimana

terdapat beberapa sampel yang jumlah bercak

nodanya lebih dari satu yaitu sampel S1, S3, S5, dan S6..

Selain sampel tersebut baku pembanding II juga

memberikan dua bercak noda. Timbulnya bercak

noda ini disebabkan karena adanya bahan kimia yang

terkandung di dalam sampel maupun bercak noda

yang berasal dari warna jamu dari masing-masing

sampel.

Selanjutnya bercak noda dari masing-masing

sampel maupun baku pembanding diberi tanda dan

dilakukan perhitungan harga Rf. Hasil perhitungan Rf

dari kedua kromatogram dengan dua larutan

pengembang yang berbeda didapatkan bahwa sampel

S3 mempunyai harga Rf yang sama dengan harga Rf

baku pembanding yaitu, 0, 75. Pada kromatogram

dengan larutan pengembang kedua juga

menunjukkkan sampel S3 mempunyai harga Rf yang

sama dengan harga Rf baku pembanding yaitu, 0, 51.

Sehingga dapat dikatakan bahwa sampel S3 positf

mengandung antalgin, sedangkan sampel S1, S2, S4, S5,

S6, S7 tidak mengandung antalgin karena perbedaan

harga Rf dengan baku pembanding I maupun baku

pembanding II.

Page 7: Identifikasi Antalgin Dalamjamu Pegal Linu Yang Beredar Dipalembang Secara Kromatografi Lapis Tipis 2

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah dilakukan identifikasi terhadap 7 sampel

jamu pegal linu yang diambil secara Purposive

Sampling dengan bermacam-macam merek yang

beredar di Pasar 16 Ilir Palembang dengan

mengunakan metode Kromatografi Lapis Tipis, dapat

disimpulkan bahwa :

1. Sampel S3 positif mengandung bahan kimia obat

antalgin.

2. Sampel S1, S2, S4, S5, S6, S7, S8 negatif mengandung

bahan kimia obat antalgin.

B. Saran

Penulis menyarankan agar dilakukannya

identifikasi terhadap jenis jamu lain yang diduga

mengandung bahan kimia obat dengan mengunakan

metode yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Auterhoff H dan K. H. Kovar. 2002. Identifikasi Obat

terbitan ke-5. Terjemahan oleh : Sugiarso N.

C. ITB, Bandung, Indonesia, hal : 34-35.

Anief, M.1996. Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat

dan Penggunaan. Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta, Indonesia.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan.. 2003. Daftar

Obat Tradisional yang Mengandung Bahan

Kimia Obat. Surat Penarikan 2 Januari 2003.

Clarke, C. G. E. 1978. Isolation and Identification of Drug

Volume I. The Royal Veterinary College, hal :

318-319.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995.

Farmakope Indonesia edisi IV. Direktorat

Jendral Pengawasan Obat dan Makanan,

Jakarta, hal : 920

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995.

Farmakope Indonesia edisi IV, Direktorat

Jendral Pengawasan Obat dan Makanan,

Jakarta, hal : 537-538

Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan. 2005. Metoda

Analisa PPOM 2005: Identifikasi Antalgin

dalam Obat Tradisional Sediaan Padat. Dirjen

POM. Palembang, Indonesia

Duryatmo,S. 2003. Aneka Ramuan Berkhasiat Dari

Temu-Temuan. Puspa Swara, Jakarta,

Indonesia.

Handayani, L. dan Suharmiati. 2002. Meracik Obat

Tradisional Secara Rasional, Medika

(majalah) No: 10 tahun XXVIII, Oktober

2002, Halaman : 648-651.

Handayani, L. 2001. Pemanfaatan Obat Tradisional

dalam Menangani Masalah Kesehatan.

Majalah Kedokteran Indonesia. Vol: 51, No;3

:hal: 139-144.

Mursito, B.2001. Sehat Diusia Lanjut dengan Ramuan

Tradisional. Penebar Swadaya, Jakarta,

Indonesia.

Reynolds. J. E. F. 1996. Martindale: The Extra

Pharmacopoeia (edisi 31). Royal

Pharmaceutical Society. London, hal : 39-40.

Sampurno. 2003. Peringatan Kedua Untuk Jamu Kimia.

(http://www.republika.com), Diakses: 26

Desember 2005.

Stahl, E. 1985. Analisa Obat Secara Kromatografi dan

Mikroskopi: Kromatografi Lapis Tipis. ITB,

Bandung, Indonesia.

Sudjadi, 1988. Metode Pemisahan. Kanisius. Fakultas

Farmasi UGM, Yogyakarta, Indonesia.

Santosa, D dan Didik Gunawan. 2000. Ramuan

Tradisional Untuk Penyakit Kulit. Penebar

Swadaya, Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun

1992. Tentang Kesehatan.PT. CV. Eko Jaya,

Jakarta, Indonesia, Hal : 5

Undang- Undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1999.

Tentang Perlindungan Konsumen. PT. CV.

Eko Jaya, Jakarta, Indonesia.

Warmbrand W. 1985. Hidup Bebas Dari Rasa Sakit

dan Derita. Pionir Jaya, Bandung.

Wilmana P. F. 1995. Analgesik – Antipiretik Analgesik

Anti-Inflamasi Nonsteroid dan Obat Pirai.

Dalam : Ganiswarna, S. G, dkk (Editor).

Farmakologi dan Terapi. Bagian

Farmakologi Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia. hal :

215-216.

Winarno. M. W. dan D. Sundari. 1997. Informasi

Tanaman Obat untuk Kontrasepsi

Tradisional. Cermin Dunia Kedokteran No.

120, hal : 25.

Wiryowidagdo, S dan M. Sitanggang. 2002. Obat

Tradisional Untuk Penyakit Jantung, Darah

Tinggi dan Kolesterol. Agromedia Pustaka,

Jakarta.