ica - stakeholder - the principal agent model

Upload: yeshasirius

Post on 16-Oct-2015

20 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

CG

TRANSCRIPT

Shareholders dan Stakeholders. Dua kata bahasa Inggris tersebut kedengarannya hampir sama atau mendekati sama, dan memang keduanya terkait dengan hal yang sama, yaitu tata kelola suatu organisasi korporasi. Hampir sama atau mendekati sama berarti tidak sama persis. Dalam beberapa konteks, memang harus dibedakan secara tegas agar tidak menimbulkan kerancuan dalam memahami organisasi terkait dan dalam mengidentifkasi hak, kewenangan dan kewajiban masing-masing shareholders dan stakeholders. Sebutan bahasa Indonesia, (para) pemegang saham untuk shareholders dan (para) pemangku kepentingan untuk stakeholders memang lebih memperlihatkan perbedaan antara keduanya. Dalam CG, shareholders dan stakeholders merepresentasi dua regim yang berbeda. Yang pertama mewakili teori Shareholder Primacy (Teory Keutamaan Pemegang Saham) / The Principal Agent Of Finance Model; sedangkan yang kedua mewakili Stakeholder Theory (Teori Pemangku Kepentingan).

Stakeholder TheoryStakeholders adalah setiap kelompok yang berada di dalam maupun luar perusahaan yang mempunyai peran dalam menentukan perusahaan. Stakeholders bisa berarti pula setiap orang yang mempertaruhkan hidupnya pada perusahaan. Penulis manajemen yang lain menyebutkan bahwa stakeholders terdiri atas berbagai kelompok penekan (pressure group) yang mesti di pertimbangkan perusahaan. (Rhenald Kasali p 63 )Stakeholders ini secara umum bisa di bagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang di dalam perusahaan atau di sebut internal stakehoders dan yang berada di luar perusahaan yang di sebut external stakeholderStakeholders InternStakeholders Extern

1. Pemegang saham2. Manajemen dan Top Executive3. Karyawan4. Keluarga Karyawan1. Komsumen2. Penyalur3. Pemasok4. Bank5. Pemerintah6. Pesaing7. Komunitas8. Pers

Alkhafaji (1989, p. 103) mendefinisikan stakeholders sebagai ...those groups with a direct interest in the survival of the corporation; without their support the corporation might cease to exist. This concept refers to the obligation that a corporation might have to constituent groups in society other than stockholders. Dalam kaitan ini, para pekerja (employees), para kreditur (creditors and bankers), para supplier (suppliers), para konsumen (consumers) dan masyarakat (local community) merupakan stakeholders utama yang dikenal dalam cakupan lebih luas dari definisi stakeholding (lihat misalnya Freeman 1984)

Stakeholder theory atau prespektif stakeholding mempunyai sudut pandang bahwa keberadaan korporasi selayaknya mengacu kepada peningkatan kemakmuran berbagai pihak yang bekepentingan (stakeholders) secara lebih luas, dibanding hanya terhadap kepentingan para pemilik korporasi (shareholders).( Lukviarman 2005)

Secara umum, perspektif ini memberikan penekanan kepada perlunya; (a) partisipasi stakeholders di dalam pengambilan keputusan korporasi, (b) hubungan kontraktual jangka panjang antara korporasi dengan stakeholders, (c) hubungan berbasis kepercayaan (trust relationships), (d) berjalannya etika bisnis menyangkut hubungan korporasi dengan pihak lainnya. Dengan demikian konsepsi stakeholding memberikan implikasi bahwa manajemen harus mempertimbangkan stakeholders dengan kepentingan yang berbeda di dalam membuat berbagai keputusan organisasi

Penerapan sistim GCG dalam suatu organisasi diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) melalui beberapa hal berikut: 1. Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kesinambungan suatu organisasi yang memberikan kontribusi kepada terciptanya kesejahteraan pemegang saham, pegawai dan stakeholders lainnya dan merupakan solusi yang elegan dalam menghadapi tantangan organisasi kedepan 2. Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan 3. Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para stakeholders 4. Pendekatan yang terpadu berdasarkan kaidah-kaidah demokrasi, pengelolaan dan partisipasi organisasi secara legitimate 5. Menimalkan agency cost dengan mengendalikan konflik kepentingan yang mungkin timbul antara pihak prinsipal dengan agen 6. Memimalkan biaya modal dengan memberikan sinyal positif untuk para penyedia modal. Meningkatkan nilai perusahaan yang dihasilkan dari biaya modal yang lebih rendah, meingkatkan kinerja keuangan dan persepsi yang lebih baik dari para stakeholders atas kinerja perusahaan di masa depan

GCG lebih ditekankan kepada proses, sistim, prosedur dan peraturan yang formal ataupun informal yang menata organisasi dimana aturan main yang ada diterapkan dan ditaati. GCG berorientasi kepada penciptaan kesinambungan antara tujuan ekonomi dan sosial atau antara tujuan individu dan masyarakat (banyak orang) yang diarahkan kepada peningkatan efisiensi dan efektivitas dalam hal pemakaian sumber daya organisasi sejalan dengan tujuan organisasi.

Shareholder Primacy/ Shareholding / The Principal Agent ModelShareholders adalah pemegang saham dalam sebuat perusahaan, entah yg minoritas / mayoritas.biasanya berada diluar perusahaan.Shareholder Primacy merupakan suatu konsepsi dalam tata kelola organisasi korporasi yang menyatakan bahwa kepentingan pemegang saham merupakan prioritas utama. Utama dalam hal ini dibandingkan dengan kepentingan orang, kelompok lain atau masyarakat pada umumnya. Teori ini mengatakan bahwa segala kegiatan pengelolaan korporasi atau perusahaan ditujukan bagi penciptaan laba yang sebesar-besarnya bagi pemegang saham. Direksi atau pengurus ditunjuk dan dipercayakan untuk mengurus dan mengelola semua sumber daya perusahaan demi profit atau laba bagi pemegang saham alias pemilik perusahaan.

Peletak dasar teori Shareholder Primacy tidak lain adalah ilmuwan ekonomi klasik Adam Smith (The Wealth of Nations, 1776) yang meyakini bahwa kepentingan diri merupakan faktor pendorong bagi usahawan untuk menggunakan kekayaan industrial dan tenaga kerja secara efisien dan untuk mengembangkan usaha semata-mata untuk tujuan akumulasi laba bagi dirinya. Dalam perkembangan, teori ini semakin dikukuhkan dengan adanya putusan Mahkamah Agung Negara Bagian Michigan, Amerika Serikat, dalam perkara klasik Dodge vs Ford Motor Co. (170 N.W. 1919). Dodge bersaudara (John Francis Dodge dan Horace Elgin Dodge), selaku pemegang saham minoritas (10%) dalam Ford Motor Company menggugat Henry Ford, sang pemegang saham mayoritas, yang ketika itu menjabat sebagai Presiden Direktur/CEO. Dalam gugatan mereka, Dodge bersaudara menuntut agar direksi/perusahaan membatalkan rencananya untuk menghentikan pembayaran dividen tambahan kepada pemegang saham dan tidak menahan surplus modal di perusahaan. Dalam pembelaannya, Henry Ford menyatakan: "My ambition is to employ still more men, to spread the benefits of this industrial system to the greatest possible number, to help them build up their lives and their homes. To do this we are putting the greatest share of our profits back in the business." Dengan pembelaannya tersebut, Henry Ford tampak lebih mementingkan karyawan dan masyarakat, dibandingkan dengan pemegang saham. Faktanya memang waktu itu, biaya karyawan meningkat secara dramatis dan harga produk perusahaan terus-menerus diturunkan. Meskipun demikian, Mahkamah Agung Negara Bagian Michigan memenangkan Dodge bersaudara dengan menyatakan bahwa: A business corporation is organized and carried on primarily for the profit of the stockholders. The powers of the directors are to be employer for that end. The discretionof directors is to be exercised in the choice of means to attain that end, and does not extend to a change in the end itself, to the reduction of profits, or to the non-distribution of profits among stockholders in order to devote them to other purposes.

Lebih jauh, Mahkamah Agung Michigan berpendapat bahwa sebagai Direksi, Henry Ford mempunyai kewajiban kepada pemegang saham untuk menjalankan usaha sepenuhnya guna mendapatkan laba bagi pemegang saham. Mahkamah Agung Michigan bahkan memerintah Direksi Ford Motor Company untuk membagikan dividen tambahan sebesar 39 juta US dollar.

Dengan dominasi sistem ekonomi kapitalisme atas perekonomian dunia, teori Shareholder Primacy tersebut pun diadopsi ke dalam hukum korporasi di banyak Negara di dunia. Shareholder Primacy juga menjiwai hukum korporasi Indonesia, baik ketika masih berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas maupun Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; meskipun dalam Undang-undang yang terakhir, teori Shareholder Primacy sudah sedikit diusik dengan kehadiran ketentuan Pasal 74 mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility/CSR).

Setidaknya ada dua pilar dalam konstruksi hukum korporasi Indonesia yang menjamin terselenggaralnya kepentingan pemegang saham: (1) struktur kepemilikan saham (shareholding structure) dan (2) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagai pemegang kewenangan istimewa. Struktur kepemilikan saham merupakan lembaga yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku, dengan cara mempertahankan hubungan struktural antara pengambil bagian saham[endnoteRef:2][i] (atau pemegang saham) dan perseroan. Hubungan struktural tersebut terbentuk dengan tersedianya salah satu organ perseroan terbatas, yaitu RUPS, sebagai wadah khusus para pemegang saham atau pemilik bagian modal perseroan yang namanya tertera di anggaran dasar sebagai pemilik sah atas saham (legal owner).[endnoteRef:3][ii] RUPS memiliki kewenangan-kewenangan yang tidak diberikan kepada organ perseroan lainnya. Kewenangan RUPS meliputi antara lain: menetapkan perubahan anggaran dasar, mengangkat dan memberhentikan anggota direksi dan komisaris serta menetapkan penggunaan laba perseroan. Perlu diingat bahwa ketentuan hukum yang berlaku menetapkan bahwa seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen.[endnoteRef:4][iii] Dengan kewenangan istimewa tersebut, RUPS sebagai wadah pemegang saham dapat mengendalikan perseroan untuk menjamin kepentingan-kepentingan pemegang saham. [2: ] [3: ] [4: ]

Jadi, Shareholder atau pemilik sah atas saham (legal owner) merupakan pihak yang memiliki hubungan struktural dengan perseroran dan mempunyai kewenangan untuk mengendalikan perseroan demi kepentingan pemegang saham atau pemilik modal/perseroan.

Perspektif shareholding yang cenderung dianggap tradisionalis mempunyai pandangan bahwa korporasi merupakan instrumen legal pemilik dalammemaksimumkan kepentingannya berupa keuntungan atas investasi yang dilakukan. Untuk mengakomodasikan hal ini, dikenal tiga tingkatan struktur governance yang hirarkis diatur dalam undang-undang perusahaan dengan tujuan untuk menjaga kepentingan pemilik tersebut. Struktur hirarkis ini disertai dengan berbagai aturan (regulasi) lainnya, atau lebih dikenal dengan governance mechanisms, yang melaksanakan fungsinya melalui mekanisme checks and balances di dalam suatu sistem CG. Berdasarkan polarisasi perspektif yang ada, berbagai pendekatan dan analisis di dalam memahami fenomena governance juga didasarkan pada sudut pandang (views) yang berbeda. Perbedaan ini tergambar dari sudut asumsi dan presuppositions yang mendasari setiap sudut pandang yang ada, sehingga menghasilkan berbagai derivasi dengan varian berbeda. Salah satu diantaranya adalah sudut pandang keuangan (the finance view of CG) sebagai model yang dominan hingga akhir abad ke-20. Sudut pandang keuangan mengacu kepada konsepsi agency problems yang bersifat universal serta kebutuhan terhadap seperangkat mekanisme yang dapat digunakan untuk menyelesaikan problems tersebut. Sebagai representasi dari perspektif shareholding, the finance model of CG menekankan perlunya perlindungan maksimal terhadap hak-hak para pemegang saham (shareholder rights) melalui seperangkat peralatan control mechanisms, terutama pada perusahaan publik. ( Lukviarman, 2005 )