i. pendahuluan2
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini sedang berkembang pesat dalam usaha mencari berbagai
faktor yang memegang peranan dalam timbulnya berbagai masalah penyaki tidak
menular seperti kanker, penyakit sistemis, serta berbagai penyakit menahun lainya
termasuk masalah gangguan saluran pernafasan. Meningkatnya masalah kesehatan
juga bertalian erat dengan berbagai gangguan kesehatan akibat kemajuan dalam
berbagai bidang terutama bidang industri yang banyak mempengaruhi keadaan
lingkungan, termasuk lingkungan fisik, biologis, maupun lingkungan sosial
budaya (Nasry Noor, 2009).
Perkembangan industri semakin maju di segala bidang termasuk industri
material seperti kebutuhan akan batu kerikil (split). Di samping perkembangan
industri yang pesat dan dapat meningkatkan taraf hidup ternyata juga dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat dan pekerja. Salah satunya
adalah debu yang terinhalasi selama bekerja, sehingga mengakibatkan penyakit
paru akibat kerja pada pekerja (Suma’mur, 2009).
Dewasa ini, para dokter yang bekerja di Puskesmas cukup banyak di
bebani tugas ganda yakni sebagai klinisi, mereka juga harus berfungsi sebagai
pelaksana usaha kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Tugas utamanya
sebagai seorang dokter akan terganggu dengan berbagai tugas lain yang
membutuhkan waktu dan tenaga sehingga tidak jarang dijumpai pelayanan
penderita yang sangat bersifat kuratif saja. Para penderita akan terperangkap
dalam suatu lingkaran setan, yakni mereka secara individu akan sembuh setelah
1
pengobatan, tetapi kemudian mereka kembali kelingkungan yang sama dengan
kemungkinan untuk menjadi sakit lagi (Nasry Noor, 2009).
Menurut terminologi lamanya penyakit berdiam didalam tubuh penderita
Bronkitis terbagi atas dua jenis, yaitu bronkitis akut dan bronkitis kronik.
Bronkitis akut timbul karena flu atau infeksi lain pada saluran napas dan dapat
membaik dalam beberapa hari atau beberapa pekan. Bronkitis kronis merupakan
iritasi atau radang menetap pada saluran napas yang harus ditangani dengan lebih
serius. Penelitian yang sering dilakukan banyak mengacu ke pembagian bronkitis
tersebut. Penelitian yang membahas tentang bronkitis tidak mempunyai data –
data yang lengkap yang bisa digunakan dalam penelitian – penelitian ilmiah
(Cunha, 2012).
Pada penelitian National Health Interview Survey (NHIS) dalam Aditama
(1992) di Amerika Serikat, terdapat 7,5 juta penduduknya mengidap bronkitis
kronik, lebih dari 2 juta orang menderita emfisema dan 6,5 juta orang menderita
asma. Kemudian penelitian yang pada tahun 2005, didapatkan angka Insidens rate
dari bronkitis akut berkisar 4,6 per 100. Bronkitis akut menempati peringkat
kesembilan sebagai penyakit yang paling umum diderita pasien rawat jalan atau
4,60% atau sekitar 12,5 juta orang. Data Insiden ekstrapolasi di Amerika Serikat,
untuk bronkitis akut: 12.511.999 per tahun, 1.042.666 per bulan, 240.615 per
minggu, 34.279 per hari, 1.428 per jam, dan 23 per menit (Setiyanto dkk., 2009).
Prevalensi rate untuk bronkitis kronik di Amerika Serikat berkisar 4,45% atau
12,1 juta jiwa dari populasi perkiraan yang digunakan 293 juta jiwa (Menezes et
al., 2010).
2
Bronkitis kronik termasuk dalam Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). PPOK merupakan penyakit kematian keempat di Negara
AmerikaSerikat. Diperkirakan 12 juta orang Amerika menderita bronchitis kronik
dan atau emfisema dan menyebabkan 40.000 kematian setiap tahunnya (Wilkins,
2006).
Di Inggris ini bronkitis merupakan penyakit paling banyak menimbulkan
hilangnya produktivitas. Salah satu faktor pencetus terjadinya penyakit paru
tersebut adalah adanya paparan gas emisi, partikulat seperti silikat (SiO2) pun zat
toksik lain yang terjadi secara akut maupun kronik pada orang yang terpajan yang
bersumber dari aktivitas transportasi, paparan asap rokok dan aktifitas industri.
Penelitian pada tahun 2006 di kota London Inggris, ditemukan 44 dari setiap 1000
orang dewasa yang berumur > 16 tahun menderita bronkitis akut. Sebagian besar
kejadian bronchitis terjadi pada musim gugur atau musim dingin yaitu sekitar
82% (Hisyam dkk. 2010).
Kemudian penelitian yang dilakukan di National Health Interview Survey
(NHIS) menemukan bahwa bronkitis kronik pada kaum pria (50-64 tahun) adalah
sebesar 17% dari jumlah populasi pria dan pada wanita sekitar 8%. Untuk daerah
ASEAN, negara Thailand adalah negara dengan angka prevalensi bronkitis
kronik yang paling tinggi yaitu berkisar 2.885.561 jiwa, dari populasi perkiraan
yang digunakan sebesar 64.865.523 jiwa. Negara Malaysia sekitar 1.064.404 dari
populasi perkiraan yang digunakan sebesar 23.552.482 jiwa (Menezes et al.,
2010). Di Australia, bronkitis akut tercatat menempati urutan kelima sebagai
alasan umum untuk berkonsultasi dengan dokter (Hisyam dkk. 2010).
3
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, asma,
bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke tiga (PMR 12,7%)
sebagai penyebab angka kesakitan umum di Indonesia setelah sistem sirkulasi,
infeksi, dan parasit (Jamal, 2004). Indonesia belum memiliki data yang akurat
tentang angka morbiditas bronkitis akut maupun bronkitis kronik. Data mengenai
bronkitis akut hanya dapat kita peroleh dari rumah sakit yang menyediakan bagian
penyakit respiratory atau pun rumah sakit sentra pendidikan. Penelitian untuk
membahas tentang bronchitis kronik jarang dilakukan, data angka kesakitan dapat
di perolehdari rumah sakit – rumahsakit sentra pendidikan (Depkes RI, 2007).
Penderita bronchitis yang tercatat di RSUD Bahteramas Propinsi Sulawesi
Tenggara pada tahun 2011 sebanyak 109, 2012, sebanyak 122, 2013 sebanyak
134, 2013 sebanyak 95, dan 2014 sebanyak 210 orang, dimana 20 hingga 40
persen diantara penderita berasal dari wilayah Kecamatan Moramo dan Moramo
Utara data (RSUD Bahteramas, 2015).
Di Kabupaten Konawe Selatan sendiri kejadian bronchitis pada tahun
2011 tercatat 56 kasus, 2012 tercatat 45 kasus, 2013 tercatat 67 kasus, dan 2014
sendiri tercatat 273 penderita bronkitis dari beberapa rumah sakit dan puskesmas
di wilayah Kabupaten Konawe Selatan (Dinkes Kab.Konsel, 2014).
Data dari Puskesmas Lalowaru Kecamatan Moramo Utara, pada tahun
2011 tercatat 235 orang penderita yang pernah terkena bronkitis, tahun 2012
dilaporkan kejadian bronchitis tercatat sebanyak 239 orang. Pada tahun 2013
kejadian bronchitis tercatat sebanyak 150 orang. Pada tahun 2014 kejadian
bronchitis tercatat sebanyak 134 orang. Pada tahun 2015, data hingga bulan Mei
tercatat sebanyak 36 kasus kejadian bronchitis (Data Puskesmas Lalowaru, 2015).
4
Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan, wilayah Kecamatan
Moramo Utara merupakan daerah yang mayoritas penduduknya bermata
pencaharian sebagai pemecah batu kerikil (split). Kegiatan usaha pengolahan batu
mengalami pertumbuhan sangat pesat. Permintaan bahan baku kerikil sebagain
bahan bangunan yang terus meningkat menjadi alasannya. Bahkan wilayah
Kecamatan Moramo Utara menjadi salah satu daerah penyuplai terbesar bahan
baku kerikil untuk kota Kendari. Selain itu, banyak tenaga kerja yang terserap dari
kegiatan tersebut. Akan tetapi selama proses fisik pengolahan batu menjadi kerikil
(split) cenderung akan menghasilkan polusi seperti partikel debu batu, sehingga
kegiatan tersebut berpotensi menimbulkan polusi udara ditempat kerja.
Dampak negatif dari kegiatan industri pengolahan batu adalah timbulnya
pencemaran udara oleh debu yang timbul pada proses pengolahan batu. Debu batu
ini akan mencemari udara dan lingkungannya sehingga pekerja pemecah batu
dapat terpapar debu selama proses pengolahan bahan baku. Bahan pencemar
tersebut dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Akibatnya masyarakat
yang berprofesi sebagai pemecah batu merupakan kelompok resiko tinggi terkena
gangguan kesehatan yaitu gangguan sistem pernafasan.
Industri pemecahan batu umumnya merupakan industri informal. Industri
informal biasanya dikelola oleh masyarakat dengan teknologi yang masih
sederhana, tanpa banyak tersentuh oleh peraturan perundangan, sehingga segala
peraturan yang berkaitan dengan perlindungan kesehatan dan keselamatan
terhadap tenaga kerja serta masyarakat sekitarnya kurang mendapat perhatian.
Pekerja pemecah batu split di kecamatan Moramo Utara menghabiskan
waktu kerja ± 9 jam/hari yaitu mulai dari pukul 08.00 – 16.00 WITA dengan
5
waktu istirahat yang berbeda-beda yang telah di jalani para pekerja bertahun-
tahun untuk memenuhi kebutuhan. Para pekerja sering mengeluh batuk atau
mengalami gangguan pernafasan. Penyebabnya karena masa kerja yang terlalu
menguras tenaga dan para pekerja tidak menggunakan masker pada saat bekerja.
Upaya pencegahan yang harus dilakukan adalah penggunaan masker pada saat
bekerja dapat mencegah masuknya debu secara langsung pada hidung dan mulut
serta pengurangan jam kerja dimana tujuannya menghindari pemaparan debu yang
terus-menerus.
Pekerja pemecah batu kebanyakan merupakan masyarakat lokal yang
bekerja dan berdomisili dibeberapa desa di Moramo Utara dan ada juga pekerja
yang berasal dari wilayah sekitar Moramo Utara seperti Kelurahan Nambo dan
Moramo. Lingkungan rumah dan lahan kosong kebanyakan yang dijadikan para
pekerja sebagai tempat memecah batu, dan pekerja banyak di dominasi oleh kaum
wanita. Kondisi keseharian masyarakat pemecah batu, menunjukan pekerja
pemecah batu bekerja tanpa menggunakan APD (alat pelindung diri), seperti
masker, sarung tangan, sepatu boot dan kaca mata. Pada saat kegiatan produksi
hal yang paling menyolok adalah debu yang berasal dari batu yang dipecah. Hal
tersebut dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dan terjadinya penyakit saluran
pernapasan sebagai akibat penimbunan debu dalam paru pekerja. Apabila kondisi
ini dibiarkan dimungkinkan resiko penyakit akibat kerja semakin meningkat.
Berbagai faktor penyebab timbulnya gangguan pada saluran pernafasan
akibat debu dapat disebabkan oleh debu yang meliputi ukuran partikel, bentuk,
konsentrasi, daya larut dan sifat kimiawi, serta lama paparan. Disamping itu,
faktor individual yang meliputi mekanisme pertahanan paru, anatomi dan fisiologi
6
saluran napas serta faktor imunologis. Penilaian paparan pada manusia perlu
dipertimbangkan antara lain sumber paparan, jenis pabrik, lamanya paparan,
paparan dari sumber lain. Pola aktivitas sehari-hari dan faktor penyerta yang
potensial seperti umur, jenis kelamin, etnis, kebiasaan merokok dan faktor
allergen (Lestari, 2000).
Faktor lingkungan kerja merupakan salah satu penyebab timbulnya
penyakit akibat kerja. Potensi bahaya dapat ditimbulkan dari aktivitas di tempat
kerja yang setiap saat dapat membahayakan pekerja. Berdasarkan uraian tersebut
diatas, maka peneliti mengadakan penelitian analisis faktor yang berhubungan
dengan kejadian bronchitis pada masyarakat pemecah batu di Wilayah Kerja
Puskesmas Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan tahun 2015.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka secara spesifik masalah
yang akan dilihat adalah sebagai berikut :
1. Apakah penggunaan alat pelindung diri berhubungan dengan kejadian
bronchitis pada masyarakat pemecah batu di Wilayah Kerja Puskesmas
Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan tahun 2015 ?
2. Apakah lama pemaparan berhubungan dengan kejadian bronchitis pada
masyarakat pemecah batu di Wilayah Kerja Puskesmas Moramo Utara
Kabupaten Konawe Selatan tahun 2015 ?
3. Apakah status gizi berhubungan dengan kejadian bronchitis pada masyarakat
pemecah batu di Wilayah Kerja Puskesmas Moramo Utara Kabupaten
Konawe Selatan tahun 2015 ?
7
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengankejadian
bronchitis pada masyarakat pemecah batu di Wilayah Kerja Puskesmas
Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
2.1. Untuk mengetahui hubungan penggunaan alat pelindung diri dengan
kejadian bronchitis pada masyarakat pemecah batu di Wilayah
Kerja Puskesmas Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan tahun
2015.
2.2. Untuk mengetahui hubungan lama pemaparan dengan kejadian
bronchitis pada masyarakat pemecah batu di Wilayah Kerja
Puskesmas Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan tahun 2015.
2.3. Untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian bronchitis
pada masyarakat pemecah batu di Wilayah Kerja Puskesmas
Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan tahun 2015.
8
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi ilmu pengetahuan
Menambah khasanah keilmuan, khususnya dalam hal peningkatan upaya
kesehatan dilingkungan kerja.
2. Bagi subjek penelitian
Memberikan informasi dan menambah pengetahuan kepada masyarakat
pemecah batu tentang efek kesehatan dari aktivias memecah batu.
3. Bagi insatansi
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi atau masukan yang
berharga, dalam menyusun rencana kebijakan yang dapat mendukung
terlaksananya upaya program kesehatan pada lingkungan kerja.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan
penelitian dengan topik yang relevan.
9