~i~repository.uinbanten.ac.id/5734/2/jawahir al khamsah... · 2020. 10. 27. · tersebut -- terkait...

182
~i~

Upload: others

Post on 28-Jan-2021

13 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • ~i~

  • ~ii~

  • ~iii~

  • ~iv~

  • ~v~

  • ~vi~

    Judul Buku:

    “Kitab al-Jawahir al-Khamsah: Legasi Kitab Tasawuf Sepanjang Zaman dalam Konteks Historis Kesultanan Banten

    Penulis: Dr. Muhamad Shoheh, M.A

    Editor: Tim Quantum

    Desain Kover: Kuswanto

    Perwajahan: Tim Quantum

    Penerbit: Quantum

    Jl. Ngipik No:66, Ngipik, Kec. Baturetno, Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Jogjakarta.

    ISBN: 978-602-5908-15-6

    Tahun Terbit2020

  • ~vii~

    DAFTAR ISI

    /

    SAMBUTANSambutan Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten _________________________xi

    Sambutan Dari Promotor ____________________________________ xiii

    Bagian Kesatu

    Pengantar _________________________________________________________ 3

    Bagian KeduaKitab al-Jawahir al-Khamsah: Pengarang dan Penyalinan _________________________________15

    A. Kitab al-Jawāhir al-Khamsah _____________________________ 15

    B. Biografi Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi ________________________________________19

    C. Karya-Karya Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi _________________________________________24

    D. Penyalin Naskah Kitab al-Jawāhir al-Khamsah ______ 25

  • ~viii~

    Bagian KetigaKitab al-Jawahir al-Khamsah dan Kaitannya Dengan Konteks Kesultanan Banten ________________________37A. Konteks Sosial-Politik ___________________________________ 37B. Konteks Sosial-Intelektual ______________________________ 44C. Konteks Sosial-Keagamaan ______________________________ 55

    Bagian Keempat

    Tinjauan Isi Kitab al-Jawahir al-Khamsah __________________ 69

    A. Sistematika dan Latar belakang Penulisan Kitab al-Jawāhir al-Khamsah ________________70

    B. Pokok-Pokok Kandungan Teks Kitab al-Jawāhir al-Khamsyah ____________________________ 77

    1. Permata Pertama: Ibadah dan Tatacaranya (Abrār) ____ 77

    2. Permata Kedua: Zuhūd dan Tata caranya (Akhyār) _____ 86

    3. Permata Ketiga: Doa dan Tata caranya (Shaṭṭār) ________ 89

    C. Tinjauan Atas Kitab al-Jawahir al-Khamsah ___________ 126

    Bagian Kelima

    KESIMPULAN __________________________________________________ 137

    DAFTAR PUSTAKA ____________________________________________ 151

    Biografi Penulis _______________________________________________ 165

  • ~ix~

    SAMBUTAN

  • ~x~

  • ~xi~

    Sambutan Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten

    Prof. Dr. H. Fauzul Iman, M.A.

    Assalamu’alaikum Wr. Wb.

    Puji syukur kita panjatkan kehadirat ilahi Rabbi, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada kita sehingga kita masih berkesempatan untuk menambah amal kebajikan di dunia ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Semoga kita tetap berada dalam bimbingan sunnah-sunnah nya sehingga kita selamat dunia dan akhirat. Amiin.

    Buku yang berjudul Kitab Al-Jawahir al-Khamsah: Legasi Kitab Klasik Sepanjang Zaman dalam Konteks Historis Kesultanan Banten ini merupakan buku yang ditulis oleh saudara Muhamad Shoheh, yakni salah seorang dosen tetap pada Fakultas Ushuluddin dan Adab UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten. Buku yang diangkat dari Disertasi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia ini sangat penting untuk dibaca dan ditelaah oleh para peneliti, dosen, mahasiswa, dan para santri di pesantren serta khalayak umum lainnya, mengingat kajiannya berbasis kajian teks Arab abad pertengahan. Pada buku ini, penulis berusaha

  • ~xii~

    menjelaskan bahwa proses penyalinan teks Kitab Al-Jawahir al-Khamsah sangat terkait dengan konteks historis di Haramain, India, dan Nusantara. Penulis berhasil memetakan kajian teks Kitab al-Jawahir al-Khamsah dalam konteks Islamisasi di India dan konteks perlawanan ulama dan rakyat Banten dalam melawan penjajah Belanda yang sudah hampir menguasai seluruh infrastruktur politik kesultanan Banten. Oleh karena itu, buku ini sangat inspiratif untuk memahami lembaga dan Gerakan Tarekat di Banten sekitar abad XVIII, sehingga dapat menyadarkan kita bahwa Tarekat dan kaum Sufi itu tidak diam ketika melihat kedzaliman dan ketidakadilan. Mereka berontak dan terus berusaha melawan.

    Kehadiran buku ini, setidaknya, menambah daftar refe-ren si terkait sejarah Kesultanan Banten dan daftar referensi terkait sumber rujukan tradisi dan kekuatan orang Banten dalam melawan penjajah Belanda. Oleh karena itu, sebagai Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, saya menyambut baik akan terbitnya buku ini, dan saya berharap buku ini dapat menjadi sumber inspirasi dan dapat menjadi lokomotif penggerak budaya literasi di lingkungan UIN SMH Banten khususnya dan PTKIN umumnya. Semoga dengan terbitnya buku ini membawa manfaat dan wawasan yang lebih luas lagi, khususnya kajian Islam yang menggunakan referensi utama berupa Khazanah Manuskrip Nusantara.

    Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

    Serang, 17 Maret 2020

  • ~xiii~

    Sambutan Dari Promotor

    Prof. Dr. Titik Pudjiastuti

    Assalamu’alaikum wr. wb.

    Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmatnya kepada kita semua dan shalawat serta salam kepada baginda nabi besar Muhammad SAW.

    Sebagai promotor dan pembimbing akademik saudara Dr. Muhamad Shoheh, M.A. saya sangat bersyukur atas terbitnya buku al-Jawāhir al-Khamsah: Legasi Kitab Tasawuf Sepanjang Zaman. Buku ini merupakan hasil riset filologis Dr. Shoheh selama ia menempuh studi S3 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Departemen Ilmu Susastra, Universitas Indonesia.

    Saya mengenal Dr. Muhammad Shoheh, M.A. sejak ia mengikuti program diklat metodologi penelitian filologi yang diselenggarakan oleh Puslitbang Lektur Kemenag RI pada tahun 2008. Saya lebih mengenalnya lagi ketika ia melanjutkan studi S3 di FIB UI pada tahun 2010 sampai dengan Januari 2015. Sebagai pengurus kerjasama program Beasiswa Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI dengan Universitas Indonesia, saya bangga karena Dr.

  • ~xiv~

    Muhammad Shoheh, M.A. berhasil menyelesaikan studi S3 nya tepat waktu.

    Dalam buku yang diterbitkannya ini, Dr. Shoheh mengkaji teks naskah al-Jawahir al-Khamsah yang diperkirakan disalin pada sekitar tahun 1750 – 1780 di Banten, saat Kesultanan Banten tengah menghadapi tekanan Belanda secara ekonomi dan militer. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari berbagai catatan -- salah satunya di halaman 53 naskah tersebut -- terkait silsilah dan inisiasi tarekat Shattariyah, Dr. Shoheh mengindikasikan bahwa teks al-Jawahir al-Khamsah versi Kesultanan Banten itu disalin atas dasar kebutuhan masyarakat Banten. Melalui analisis teksnya, penulis buku ini dapat menyimpulkan bahwa penyalin naskah adalah Muhammad Habib bin Mahmud bin Shaykh Abdul Qahhar atau yang dikenal dengan julukan Faqîh Najamuddin.

    Dalam catatan sejarah, salah satu keturunan Shaykh Abdul Qahhar yang biasa melakukan penyalinan karya-karya ulama abad ke-18 adalah Shaykh Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani. Beliau adalah ulama Banten keturunan Arab yang sempat menjadi penasehat, anak angkat, dan murid Sultan Abu Nasr Muhammad Zayn al-‘Ashiqin yang memerintah kesultanan Banten pada sekitar tahun 1753-1777. Informasi mengenai hal ini dapat dilacak pada karya-karya Shaykh Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani, seperti: Mashāhid al-Nāsik fi Maqāmāt al-Sālik (A 31), naskah Fath al-Mulk li-yaṣila ilā Malik al-Mulk alā Qā’idah Ahl al-Sulūk (A 111), dan naskah Risālah fi Shurūt al-Ḥajj (Kitab ke-4 dalam naskah A 131).

  • ~xv~

    L.W.C. van den Berg & R. Friederich (1873) juga menyebutkan hal tersebut dalam buku katalog naskah mereka.

    Selain mengkaji teks naskah al-Jawāhir al-Khamsah versi Kesultanan Banten, penulis juga menyampaikan informasi mengenai teks asli al-Jawāhir al-Khamsah, bahwa teks ini merupakan teks Arab karya ulama besar India yang hidup pada abad ke-16, bernama Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi. Beliau mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Sultan Babur (1482-1530) pendiri kesultanan Mughal (1526-1748M). Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi adalah penasehat utama Sultan Humayun (1530-1539; 1555-1556), putra Sutan Babur. Ketika kesultanan Mughal diserang oleh Sher Khan Suri dari Afghanistan pada tahun 1539/1540, Shaykh Muhamad al-Ghawth al-Hindi dan Sultan Humayun ditawan dan diasingkan di Gujarat. Dalam masa pengasingan yang berlangsung selama 16 tahun (1539-1555) Shaykh Muhamad al-Ghawth al-Hindi menulis teks al-Jawāhir al-Khamsah. Setelah Sultan Humayun berhasil mengalahkan Sher Khan Suri pada tahun 1555, Shaykh Muhamad al-Ghawth al-Hindi kembali ke Gwalior dan tinggal di Delhi dan Agra. Selain menghasilkan teks al-Jawāhir al-Khamsah, Shaykh Muhammad al-Ghawth juga mendirikan Khanaqah (Ribāṭ) di Gwalior dengan konsentrasi mengembangkan ajaran tarekat shattariyah. Oleh lawan-lawan politiknya, Shaykh Muhamad al-Ghawth al-Hindi kerap dituduh sebagai ulama yang mengembangkan ajaran tarekat atau praktek sufi yang sesat (heretic), terutama yang berkaitan dengan konsep Mi’rāj.

  • ~xvi~

    Membaca buku ini selain mendapat pengetahuan, kita juga diajak mengembara ke masa silam Kesultanan Banten di abad ke-18, mengetahui dan mengenal tarekat yang berlangsung di Banten pada masa itu. Semoga karya ini bermanfaat dan memotivasi pembaca sekalian. Selamat membaca !

    Wassalamu’alaikum wr. wb.

    Jakarta, 19 Maret 2020

  • ~1~

    Bagian Kesatu

  • ~2~

  • ~3~

    Pengantar

    Syukur Alhamdulillah saya ucapkan atas terbitnya buku ini. Buku “Kitab al-Jawahir al-Khamsah: Legasi Kitab Tasawuf Sepanjang dalam Konteks Historis Kesultanan Banten” adalah buku esensial dari disertasi saya saat meraih gelar doktor di Universitas Indonesia pada Jurusan Susastra konsentrasi kajian Filologi. Sebenarnya sudah lama saya ingin mengemas disertasi itu ke dalam beberapa jilid buku, hanya saja karena kesibukan kantor yang menyita, keinginan itu belum juga bisa tercapai. Alasan itu terdengar klise, tapi begitulah faktanya hingga keinginan tersebut terus saja menjadi keinginan hingga terbitnya buku ini. Karena alasan itulah, saya sekali lagi ingin mengucapkan “Syukur Alhamdulillah”. Betapapun, karena manuskrip merupakan alat dan instrumen jalan pintas (shortcut tool) yang paling efektif untuk melakukan penelusuran jejak khazanah pemikiran masa lalu. Di samping manuskrip juga merupakan jejak hidup manusia yang pernah ada dan paling langgeng. Hal itulah yang selalu memotivasi saya untuk menulis buku, dan tentunya juga artikel-artikel ilmiah agar khazanah pemikiran kita umat Islam bisa lebih berkembang.

    Buku “Kitab al-Jawahir al-Khamsah: Legasi Kitab Tasawuf Sepanjang dalam Konteks Historis Kesultanan Banten”

  • ~4~

    diterbitkan sebagai upaya memperkenalkan khazanah atau legasi klasik yang memiliki peran dan pengaruh besar bagi kita, khususnya umat Islam dalam memahami dan menyegarkan kembali pemahaman agama dan keberagamaan kita. Membaca kitab klasik berupa Manuskrip “al-Jawahir al-Khamsah” karya yaitu Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi, seorang ulama sufi yang sangat menonjol dari Tarekat Shattariyah. Tarekat inilah yang kemudian memberikan konstribusi besar bagi dakwah dan penyebaran Islam di negara India. Tarekat Shattariyah sendiri berdiri pada abad ke 15 M. Tarekat yang pada abad ke 18 M menyebar di Nusantara—Aceh dan Banten juga di Mindano, Filipina— didirikan oleh Shaykh Abdullah al-Shathar. Nama Tarekat Shattariyah itu dinisbatkan kepada pendirinya.

    Kita juga akan segera menyadari bahwa salah satu sebab mengapa penduduk Nusantara dapat dengan mudah menerima Islam di masa awal kedatangannya adalah karena Islam yang disebarkan adalah Islam yang toleran dan disampaikan secara damai. Bentuk Islam yang akomodatif dan disampaikan melalui cara-cara yang menarik yang kerap dihubungkan dengan usaha keras para wali atau guru sufi. Belakangan organisasi yang dibentuknya berupa tarekat, juga menambah peran tersebut sehingga persebaran Islam menjadi demikian cepat dan mencapai puncaknya di abad 15 M. Berkaitan dengan hal ini, dapat dipastikan terdapat korelasi antara peristiwa-peristiwa politik dengan gelombang konversi masyarakat Nusantara ke dalam Islam. Lahirnya banyak organisasi sufi berupa tarekat merupakan salah satu pendorong utama terjadinya gelombang konversi ke dalam

  • ~5~

    Islam sejak akhir abad ke-13. Peristiwa politik yang dimaksud adalah kejatuhan kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad tahun 1258 M oleh serangan Hulagu Khan dari Mongol. Peristiwa tersebut secara tidak langsung telah mendorong terciptanya pertumbuhan massal masyarakat muslim di belahan Asia dan Afrika.

    Pada sisi lain, ulama sufi juga telah berperan penting dalam pembentukan dan pergembangan institusi-institusi Islam non-politik seperti madrasah, tarekat, futuwwah (per saudaraan pemuda), kelompok-kelompok dagang, dan kerajinan tangan (tawa’if). Pendapat ini juga memiliki relevansi dengan pen-dapat yang mengatakan bahwa, setidaknya sejak abad ke-13, para sufi pengembara telah berhasil mengislamkan sejum-lah besar penduduk Nusantara, karena kemampuan mereka dalam menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif, dengan menekankan kesesuaian antara Islam dengan kepercayaan dan praktek keagamaan lokal.

    Setelah kejatuhan Baghdad tahun 1258, peranan kaum sufi kian menjadi penting dalam memelihara keutuhan dunia muslim dengan menghadapi tantangan kecendrungan perpecahan kawasan-kawasan kekhalifahan ke dalam wilayah-wilayah linguistik Arab, Persia, dan Turki. Pada abad-abad berikutnya, tarekat semakin menjadi organisasi yang disiplin dan stabil. Pertumbuhan dan perkembangan organisasi para guru sufi yang berupa tarekat seakan menandai kebangkitan ulama sebagai sebuah kelompok sosial yang semakin sadar akan tugasnya dalam dakwah, memelihara, memperluas ruang, dan wilayah pengaruh Islam.

  • ~6~

    Di antara yang berperan dalam proses Islamisasi dan penguatan Islam di kawasan Nusantara pada periode awal hingga abad ke-18 M selain jaringan sufi, jaringan ulama, dan jaringan niaga, adalah jaringan literatur (literary networks). Jaringan literatur sanggup menghubungkan masya rakat muslim secara lintas geografis dan budaya. Lebih dari itu, jaringan literatur juga mampu memunculkan teks-teks turunan dari teks-teks sumber yang penting bagi pembentukan identitas global dan lokal Islam Nusantara. Dalam konteks penguatan pengaruh Islam, teks-teks keagamaan Islam Nusantara dengan berbagai genre dan tema kajian berperan besar menajamkan jejak Islam di tengah masyarakat, sehingga patut mendapatkan perhatian para pengkaji Islam.

    Khusus untuk wilayah anak benua India (sub-continent), meski Islam telah datang ke wilayah ini sejak tahun 711 M., tapi penduduknya tidak serta merta melakukan konversi ke dalam Islam dalam jumlah besar. Hal ini setidaknya berlangsung hingga abad ke-10 M. Dalam Kitab al-Hind, Al-Biruni menyimpulkan bahwa setidaknya ada lima sebab mengapa proses Islamisasi di India amat sulit dilakukan hingga abad ke-11, antara lain karena umumnya masyarakat India sangat menolak segala sesuatu yang sifatnya dari luar, seperti bahasa, agama, tradisi, dan kebencian terhadap orang asing, serta fanatisme dan keangkuhan budaya. Proses Islamisasi baru berjalan lebih cepat setelah tampilnya beberapa organisasi tarekat, seperti: tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah, Chistiyah, Suhrawardiyah, Muḥammadiyah, Madariyah, Khalwatiyah, Firdawsiyah, dan Shattariyah.

  • ~7~

    Di abad ke-16 M., bersamaan dengan periode awal berdiri-nya Kesultanan Mughal, terdapat ulama sufi kharismatis yang juga menjadi pembimbing Sultan Babur dan anaknya, Humayun, yaitu Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi. Ia adalah tokoh dan khalifah tarekat Shattariyah yang berhasil memapankan doktrin dan ajaran tarekat Shattariyah lewat karyanya yang terkenal berjudul al-Jawahir al-Khamsah. Selain terkenal sebagai khalifah tarekat Shattariyah, ia juga pernah membantu Sultan Babur menaklukkan daerah Gwalior, sehingga sering disebut sebagai Shaykh Muhammad al-Ghawth Gwalior. Hubungan dekat tarekat Shattariyah dengan penguasa Mughal tampaknya tidak hanya dibagun oleh para shaykhnya, karena selanjutnya para pengikut tarekat ini juga sering terlibat aktif dalam politik kenegaraan.

    Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi adalah tokoh ulama tarekat yang sangat dekat dan kerap menjalin hubungan dan komunikasi dengan tokoh-tokoh agama Hindu. Ia juga sempat menulis kitab Bahr al-Hayat yang merupakan terjemahan dari kitab Amrita Kunda, yang di dalamnya disebutkan adanya beberapa persamaan antara konsep dan ritual Islam (khususnya ritual dalam tasawuf) dengan konsep dan ritual Hindu. Melalui kitab Amrita Kunda inilah, Shaykh Muḥammad al-Ghawth mengadopsi tehnik dan praktek Yoga menjadi bagian dari formula zikir tarekat Shattariyah.

    Setelah kematian Shaykh Muḥammad al-Ghawth, kekhalifahan Shattariyah dipegang oleh Shaykh Sibghatullah bin Ruḥullah Jamal al-Barwaji (wafat 1015H/1606 M). Ia adalah ulama kelahiran India keturunan Persia, yang juga

  • ~8~

    menjadi kawan dekat Shaykh Faḍlullah al-Burhanpuri al-Hindi (w.1029H/1620M), yang pengarang kitab al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Kitab kasik fenomenal yang isinya sempat menjadi perbincangan hangat di Nusantara seputar masalah tujuh tingkatan wujud (martabat tujuh) yang bersifat sangat filosofis. Shaykh Sibghatullah inilah yang kemudian menyebarkan kitab al-Jawahir al-Khamsah ke jaringan ulama di Makkah dan Madinah, sehingga akhirnya tersebar ke Melayu-Nusantara, termasuk Banten. Tentunya, sebaran kitab ini dapat terjadi melalui hubungan guru murid yang kala itu terjalin melalui ḥalāqah ‘ilmiyah di kedua masjid di Haramayn tersebut. Dengan kata lain, interaksi keilmuan tersebut kemudian melahirkan pertukaran pengetahuan dan transmisi “tradisi kecil” Islam dari India.

    Sebagaimana disebutkan, bahwa kitab al-Jawahir al-Khamsah dapat dikenal dan tersosialisasi secara luas di Haramayn berkat jasa Sayyid Sibghatullah. Dari ulama inilah akhirnya Shaykh Ahmad al Qushasyi (975-1071/1567-1660) dan Ahmad al-Shinawi (975/1567-1028/1619) menyebarkan ajaran tarekat Shattariyah kepada murid-murid yang datang belajar kepadanya. Dari Sayyid Sibghatullah pula, kitab al-Jawahir al-Khamsah dikenal oleh para ulama dan murid-murid yang sempat menuntut ilmu kepada kedua muridnya tadi, yakni Syaikh Aḥmad al-Qushashi (w. 1660) dan Ibrahim al-Kurani (w. 1102/1690). Di samping mengajar di Masjid Nabawi, Sibghatullah juga memiliki ribat atau lembaga pengajaran sufi yang banyak dikunjungi oleh murid-murid yang beragam. Halaqah yang dipimpinnya selalu dihadiri murid-murid dan jamaah haji dari Kesultanan Aceh dan

  • ~9~

    Banten yang juga memberinya informasi tentang Islam di Nusantara.

    Salah satu ulama Nusantara abad ke-17 M yang mengin-formasikan keberadaan kitab al-Jawahir al-Khamsah dan sempat menjadikannya sebagai rujukan untuk salah satu karyanya adalah Shaykh Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri (1024-1105/1615-1693). Dalam karyanya yang berjudul Tanbih al-Mashi, ‘Abd al Ra’uf setidaknya empat kali menyebut dan merujuk kitab al-Jawahir al-Khamsah, terutama untuk mengemukakan rumusan ajaran tarekat Shattariyah yang tidak dijumpainya dalam kitab-kitab karangan kedua guru utamanya, al-Qushashi dan al-Kurani. Ada kemungkinan naskah salinan kitab al-Jawahir al-Khamsah tersebut juga sampai ke Aceh pada masa itu, naskah tersebut terdapat di Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar. Akan tetapi, semenjak wafatnya pimpinan Zawiyah, Tgk. Dahlan al-Fayrushi pada 2006, akses terhadap naskah dalam koleksi ini sangat terbatas.

    Pada pertengahan kedua abad ke 18 M, tarekat Shattariyah juga dianut oleh penguasa Banten. Ia adalah Sultan Abu Nasr bin Muhammad Zayn al-‘Ashiqin (1753-1773) beserta anak didiknya yang kemudian menjadi mufti kerajaan, yaitu Shaykh ’Abdullah bin ‘Abd al-Qahhar al-Jawi al-Bantani sepulangnya menuntut ilmu di Haramayn atau Makkah dan Madinah. Bahkan keduanya kemudian menjadi khalifah tarekat Shattariyah di wilayah ini. Melalui Sultan Banten ke 12 dan ulama keturunan Arab-Banten itulah tarekat Shattariyah disebarkan ke daerah Jawa Barat dan sekitarnya (a.l.: Banten,

  • ~10~

    Bogor dan Cianjur). Meski jauh sebelum masa ini (sekitar 1670-1680), Shaykh Yusuf juga sempat menjadi pengajar tarekat Khalwatiyah dan Shattariyah, namun terbatas di kalangan istana dan komunitas Makassar saja.

    Di Lanao del Sur, Mindanao, setidaknya terdapat dua naskah Shattariyah yang terkait dengan ulama Banten abad ke-18 ini. Kedua naskah yang dimaksud, oleh Christomy diberi judul Ta’lif Shaykhuna al-Shaykh al-Haj ‘Abd al-Qahhar al-Shattari al-Bantani. Shaykh Abdullah bin Abd al-Qahhar al-Bantani ternyata menjadi guru intelektual bagi sejumlah ulama Mindanao, Filipina Selatan, pada masa lalu. Salah satu manuskrip tasawuf berjudul Sayyid al-Ma’arif karangan ulama Mindanao, Shaykh Ihsan al-Din, misalnya menyebutkan, “…bahwasanya Shaykh kita, Shaykh Haji Abdullah bin Abd al-Qahhar al-Bantani al-Shathari al-Syafi’i Banten telah mengambil Tarekat Shaṭtariyah jalan kepada Allah swt.”

    Dengan mengikuti Teori “sufi” tampaknya benar ada relevansi dengan kondisi Banten dalam tataran khusus, di mana Kemunduran Politik dan Ekonomi yang dialami kesultanan Banten dimungkinkan telah berdampak pada bangkitnya semangat keagamaan masyarakat Banten, terutama pada sisi ajaran substansi Islam, yang pada masa selanjutnya mendorong terbentuknya Gerakan Tarekat.

    Akhirnya, saya ingin mempersilakan para pembaca untuk bisa berkenalan dan berinteraksi dengan kitab al-Jawahir al-Khamsah yang merupakan rujukan paling awal tarekat Shattariyah, yang juga merupakan buku panduan

  • ~11~

    praktis (manual book) bagi para murid dan penganut tarekat tersebut. Tentu saja, saya juga ingin menyampaikan rasa terima kasih saya yang tulus kepada Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, yang telah banyak memberikan dukungan dan kemudahan kepada saya saat bertugas dan mengambil gelar doktor saya. Kepada teman-teman saya di Fakultas Ushuluddin dan Adab UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, yang telah memberikan suasana kerja dan persahabatan yang menyenangkan. Juga kepada Tim Penerbit Quantum Jogja yang telah memberikan apresiasi dan antusias yang hebat kepada saya untuk menerbitkan buku ini. Semoga buku ini dapat menginspirasi dan mendorong banyak pihak untuk melakukan riset dan penelitian terhadap khazanah manuskrip Nusantara.

    Selamat Membaca.

    UIN SMH Banten, April 2020

    Dr. Muhamad Shoheh, M.A

  • ~12~

  • ~13~

    Bagian Kedua

  • ~14~

  • ~15~

    Kitab al-Jawahir al-Khamsah: Pengarang dan Penyalinan

    A. Kitab al-Jawāhir al-Khamsah

    Naskah kitab al-Jawāhir al-Khamsah merupakan salah satu karya Shaykh Muhammad bin Khatiruddin bin Bayazid bin Khawwajah Farid al-Attar atau yang lebih dikenal dengan nama Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi (wafat 970H/1562M). Pada sejumlah katalog naskah, kamus-kamus biografi (al-Tarājim), dan naskah-naskah yang ditemukan, karya ini diberi judul Jawāhir al-Khams, al-Jawāhir al-Khams, dan al-Jawāhir al-Khamsah. Padahal, jika diteliti secara seksama pada teksnya masing-masing, pengarangnya sendiri menyebutnya al-Jawāhir al-Khamsah bukan Jawāhir al-Khams atau al-Jawāhir al-Khams. Hal itu dapat dibuktikan melalui petikan berikut ini:

    “... fa-‘araḍtu ‘alayhi jamî’a mā jama’tu, fa-fariḥa farḥan ‘aẓîman, wa-da’ā lî du’ā’an kathîran ‘amîman, wa-albasanî qamîṣahu al-khāṣ bihi, wa-sharrafanî bi-‘aṭāyatin, fa-wajadtu bishārah al-qāhu ‘alá wajhihi fa-irtadda bashîran, fa-a’ṭaytuhu hādhā al-kitāb [al-musammá] bi-al Jawāhir al Khamsah fî yadihi al-sharîfah, fa-ṭāla’a jamî’ahu, wa-qāla: waṣaltu ilá muntahá al-himmah ...” (Naskah al-Jawāhir al-Khamsah, A 37: 13; A 42: 4).

  • ~16~

    Secara gramatikal, kalimat ‘al-Jawāhir al-Khamsah’ berbentuk ṣifat wa-mawṣūf (sifat dan mensifati), sedangkan kata ‘al-Jawāhir’ (واهر merupakan bentuk (الجjamak dari kata ‘al-Jawhar’ (وهر yang berarti sisi (الجterdalam, substansi, esensi, isi, inti; sebagai lawan dari “bentuk” (form) yang bersifat fisik. Makna ini tentu saja ditinjau dari sudut pandang filosofis. Pada sisi lain, al-Jawhar juga bermakna materi, atom, berlian, dan permata.

    Adapun kata ‘Khamsah’ adalah kata yang berposisi sebagai sifat dari kata Jawāhir. Dalam tata bahasa Arab, bilangan tunggal jantan (mudhakkar) mendapat akhiran ta’ terikat (بوطة املر dan penyesuaian jenis disesuaikan (التاء dari bentuk tunggal kata benda (االمس املفرد). Jadi, karena kata al-Jawāhir merupakan bentuk jamak dari al-Jawhar yang berbentuk jantan, maka kata bilangannya mesti jantan pula, yaitu al-Khamsah (مسة Oleh karena itu, judul naskah ini .(الخyang paling sesuai dengan kaidah tata bahasa Arab adalah al-Jawāhir al-Khamsah (مسة واهر الخ .(الج

    Pada beberapa naskah, judul teks ini kadang ditulis ‘al-Jawāhir al-khams’, kadang juga ditulis ‘al-Jawāhir al-khamsah’. Al-Jawāhir al-Khamsah banyak dikutip oleh para ulama Timur Tengah, khususnya pengikut tarekat Shattariyah. Oleh karenanya Shaykh ‘Abd al-Ra’ūf ibn ‘Alî al-Jāwi al-Fansūrî dalam menulis karyanya yang berjudul Ithāf al-Dhakî menjadikannya sebagai salah satu sumber rujukan utama. Karya ini kemudian diberi penjelasan (sharḥ) oleh al-Shināwî dalam karyanya yang berjudul Tajalliyāt al-Bashā’ir: Ḥāsiyat ‘alā Kitāb al-Jawāhir li al-Ghawth al-Hindî.

  • ~17~

    Orang yang pertama kali memperkenalkan Kitab al-Jawāhir al-Khamsah kepada kalangan ulama Haramayn adalah Shaykh Sibghatullah bin Ruhullah al-Gujarati (wafat 1015H/1606M). Shaykh Sibghatullah sendiri adalah murid dari Shaykh Wajihuddin al-Allawi (wafat. 1018H/1609M), yakni salah seorang murid Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi yang paling gigih membela gurunya dari berbagai tuduhan sesat para ulama di Gujarat. Melalui ribāṭ atau lembaga tarekat yang dimilikinya di Madinah dan juga peran aktifnya selama di Makkah dan Madinah, sehingga kitab al-Jawāhir al-Khamsah dapat tersosialisasi dan menyebar di kalangan ulama di Haramain. Shaykh Sibghatullah bin Ruhullah Jamal al-Barwaji sendiri adalah seorang ulama kelahiran India tapi keturunan Persia. Ia adalah kawan dekat Shaykh Fadlullah al-Burhanpuri al-Hindi (wafat1029H/1620M), pengarang kitab al-Tuḥfah al-Mursalah ilá Rūḥ al-Nabî yang isinya sempat menjadi perbincangan hangat seputar masalah martabat tujuh (tujuh tingkatan wujud yang bersifat sangat filosofis). Shaykh Sibghatullah inilah yang kemudian menyebarkan kitab al-Jawāhir al-Khamsah ke jaringan ulama di Makkah dan Madinah, sehingga kemudian tersebar juga ke Melayu-Nusantara, termasuk Banten. Jadi proses penyalinan naskah al-Jawāhir al-Khamsah itu terjadi jauh setelah pengarangnya sendiri telah wafat.

    Hal ini dapat kita lacak melalui petikan akhir dari al-Jawhar al-rābi’ pada kitab al-Jawāhir al-Khamsah khususnya pada naskah A 42, halaman 530 yang berbunyi:

    “intahá musammá al-kitāb al-Jawhar al Rābi’ min al-

  • ~18~

    Jawāhir al-Khams li-Sayyid Muḥammad al-Ghawth qaddasa Allāhu sirrahu, āmîn, yā Rabb al’Ālamîn”

    Artinya: telah selesai (penyalinan) kitab yang diberi nama “kitab permata keempat” dari “kitab lima permata” karangan Sayyid Muhammad al-Ghawth, semoga Allah mensucikan ruhnya, āmîn yā Rabb al-‘ālamîn. Kalimat “qaddasa Allāhu sirrahu” menunjukkan do’a yang dipanjatkan kepada Allah semoga Allah mengampuni orang yang telah meninggal (dalam hal ini Shaykh Muhammad al-Ghawth), dan mensucikan ruhnya, sehingga dapat diterima di sisi-Nya.

    Tentu saja persebaran kitab al-Jawāhir al-Khamsah ini dapat terjadi melalui hubungan guru murid yang kala itu terjalin melalui ḥalāqah ‘ilmiyyah di kedua masjid di Haramain tersebut. Dengan kata lain, interaksi keilmuan tersebut kemudian melahirkan pertukaran pengetahuan dan transmisi “tradisi kecil” Islam dari India.

    Bila kita merujuk pada kamus-kamus biografi yang ditulis oleh Haji Khalifah, al-Zarkali dan Umar Rida al-Kahhalah, maka didapatkan informasi bahwa kitab al-Jawāhir al-Khamsah1 ini dibagi ke dalam dua jilid, di mana jilid I membahas tentang ‘ibadah, zuhud, dan tatacara berdo’a, sedangkan jilid 2 membahas tentang zikir dan amalan para

    1. ‘Umar Riḍā al-Kaḥḥālah dalam kitāb Mu’jam al-Mu’allifîn, juz 9, h. 282, Khayr al-Dîn al-Ẓarkalî dalam kitāb al-A’lām, Juz 6, h. 114, dan Ḥājî Khalî-fah dalam karyanya Kashfu al-Ẓunūn, juz 1 h. 614, menyebut bahwa karya Shaykh Muḥammad al-Ghawth ini berjudul al-Jawāhir al-Khams. Sedangkan al-Qanūjî dalam kitāb Abjad al-‘Ulūm, Muḥammad al-Muḥibbî dalam kitāb Khulāṣat al-Āthar fi A’yān al-Qarn al-Ḥādî ‘Ashar, dan ‘Abd al-Ḥayy ibn Fakhr al-Dîn al-Ḥusnî dalam kitāb Nuzhat al-Khawāṭir wa Bahjat al-Masāmi’ wa al-Nawaẓir menyebut bahwa karya Shaykh Muḥammad al-Ghawth ini berjudul al-Jawāhir al-Khamsah.

  • ~19~

    ahli hakekat dan amalan ahli tarekat. Secara umum, kitab al-Jawāhir al-Khamsah ini isinya membahas tentang lima buah pokok substansi atau esensi yang bersifat praktis dalam upaya mendekati Allah yang harus diikuti oleh para sālik.

    B. Biografi Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi

    Pengarang Kitab al-Jawāhir al-Khamsah adalah Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi. Lahir di Gwalior pada 7 Rajab 907H/16 Januari 1502M. dan meninggal pada 14 Ramadan 970H/7 Mei 1563M. Namun, pada naskah Itḥāf al-Dhakî yang pernah disunting oleh Oman Fathurahman, terdapat data yang agak berbeda terkait tahun lahir dan wafatnya tokoh ini. Pada naskah tersebut disebutkan bahwa Shaykh Muhammad al-Ghawth lahir pada 906H/1500M dan wafat pada 969H/1561 dan, ada juga yang menyebut bahwa ia wafat tahun 970H/1562M, sebagaimana juga tiga kamus biografi yang disebutkan di atas mencatat tahun kematiannya adalah 970H/1562M., dan dimakamkan di kompleks pemakaman di Gwalior, sebuah kota kecil di Madya Pradesh, India. Kompleks pemakaman yang sangat menarik dari segi arsitekturalnya dibangun oleh sultan Akbar untuk menghormati sang guru yang kharismatis tersebut.

    Nama lengkap Shaykh Muhammad al-Ghawth, sebagai-mana yang tertulis pada pendahuluan Kitab al-Jawāhir al-Khamsah adalah Muhammad bin Khatiruddin bin Latif bin Mu’inuddin Qitāl bin Khatiruddin bin Bayazid bin Khawwajah Farid al-Attar bin Asma Wasil bin Ahmad al-Sadiq bin Najibuddin bin Taqiyyuddin bin Nurullah Abu Bakr Ali Yahya

  • ~20~

    bin Abdullah bin Ismail bin Jafar al-Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal Abidin bin Husain bin Ali r.a. (Naskah al-Jawahir al-Khamsah, A 42: 5). Tiga kamus biografi baik al-Zarkali (al-A’lām, Juz 6: 114), Haji Khalifah (Kashfu al-Ẓunūn, Juz 1: 614), maupun Umar Rida al-Kahhalah (Mu’jam al-Mu’allifin, juz 9: 282), menyebut ulama ini dengan sebutan Abū al-Muayyad (bapak yang dikuatkan) dan biasa dijuluki dengan sebutan al-Ghawth (penolong). Ia adalah seorang ulama sufi kelahiran India yang memiliki kedalaman ilmu syari’at dan tasawuf. Semasa mudanya, ia menggunakan 13 tahun dari usianya untuk bermeditasi dan mempraktekkan ajaran asketisme atau kezuhudan yang diajarkan oleh gurunya, Shaykh Muwahhidin al-Shaykh Zuhūr al-Hāj Hazur (Shaykh Haji Hudūrî), di puncak gunung Chunar/Janar (arah timur kota Uttar Pradhes, distrik Mirzapur).

    Sekitar tahun 925H/1520M, ia menyaksikan kekejaman yang dilakukan oleh Sultan Ibrahim Lodi (1517-1526) dalam menaklukkan benteng pertahanan di Gwalior. Meski sebelumnya telah diberi hadiah dan disarankan agar me-nying kir dari wilayah benteng tersebut, ia tetap saja tidak menuruti saran Sultan Delhi tersebut. Kekejaman yang dimaksud antara lain karena Sultan Ibrahim Lodi telah membunuh sejumlah bangsawan yang menentangnya dan memenjarakan sisanya yang masih hidup. Setelah peris-tiwa tersebut, hubungan pertemanan yang telah terjalin lama antara keduanya menjadi retak. Setelah itu, Shaykh Muhammad al- Ghawth al-Hindi kerap mengkritik kebijakan Sultan. Hubungan tak menyenangkan antara keduanya itu berakhir ketika akhirnya Ibrahim Lodi gugur beserta ribuan

  • ~21~

    pasukannya akibat serangan Zahiruddin Babur (1482-1530) di Panipat tanggal 21 April 1526M. Gugurnya Ibrahim Lodi menandai berakhirnya kekuasaan para budak Turki di India dan menjadi awal berdirinya kesultanan Mughal (1526-1748M).

    Pada tahun yang sama (1526) Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi berperan menjadi penghubung untuk mere-dam pemberontakan gubernur Gwalior, Tatar Khan, sehingga Sultan Babur berkenan mengampuni gubernur tersebut. Demikian juga terhadap Rahim Dad, yang memberontak tahun 1530, Shaykh Muhammad al-Ghawth berusaha melakukan pembelaan terhadapnya. Namun pada kasus yang lain, Shaykh Muhammad al-Ghawth mengutuk keras pemberontakan yang dilakukan oleh penguasa Afghan, Bayazid karena telah melakukan kekerasan dan menghancurkan kota-kota terdekatnya, sehingga akhirnya Sultan Babur menghukum mati Bayazid tahun 1531. Peran yang dilakukan Shaykh Muhammad al-Ghawth itu menandai hubungan dekatnya dengan Sultan Babur, pendiri kesultanan Mughal.

    Memang, dalam beberapa sumber disebutkan bahwa para tokoh Shattariyah dikenal kooperatif dan mempunyai hubungan dekat dengan para sultan yang berkuasa, sehingga aktifitas tarekat Shattariyah dapat mudah berkembang dengan cepat. Mereka tak jarang juga terlibat aktif dalam politik praktis, sebagaimana ditunjukkan di atas. Shaykh Bahlul atau Shaykh P’hul, kakak laki-laki Muhammad al-Ghawth yang juga menjadi shaykh tarekat Shattariyah, mempunyai hubungan sangat dekat dengan Humayun (1530-1539; 1555-

  • ~22~

    1556) sultan Mughal pengganti sultan Babur. Sebagian besar hidupnya didedikasikan menjadi penasehat Sultan Humayun, hingga akhirnya ia dihukum mati di Bengal oleh Mirza Hindal, tokoh pemberontak yang menentang kekuasaan Humayun. Ketika Sultan Humayun berhasil dikalahkan oleh Sher Khan Suri dari Afghanistan tahun 1540, Shaykh Muhammad al-Ghawth terpaksa menyingkir atau mengasingkan diri ke Gujarat untuk menyelamatkan diri, karena ia mempunyai hu bungan yang sangat dekat dengan Sultan Mughal itu. Penga singan nya ini berjalan selama 16 tahun hingga Sultan Humayun kembali berkuasa tahun 1555M. Semasa pengasingannya inilah ia menulis buku al-Jawāhir al Khamsah tahun 956 Hijriyah. Shaykh Muhammad al-Ghawth akhirnya kembali ke India Utara, Gwalior, dan diterima dengan baik di Delhi dan Agra setelah Sultan Humayun kembali berkuasa.

    Semasa Sultan Jalaluddin Muhammad Akbar (1556-1605), pengganti Humayun, Shaykh Muhammad al-Ghawth tidak memiliki hubungan yang dekat sebagaimana dengan kedua sultan sebelumnya, bahkan terkesan memiliki hubungan yang tidak harmonis. Hal ini, disebabkan karena pengaruh Shaykh Gada’i, salah satu tokoh tarekat Suhrawardiyah dan menjadi pemimpin sadrus-sudūr (pejabat resmi kepercayaan sultan) sehingga berposisi lebih kuat. Shaykh Gada’i bersama Bayram Khan (penasehat politik beraliran Syi’ah sejak masa Humayun), kerap memposisikan kedua tarekat tersebut pada posisi saling berhadapan penuh pertentangan. Selain itu, ia terus memotivasi sultan Akbar untuk menerapkan politik ekspansionis ke wilayah sekitarnya. Kedua tokoh tersebut juga kerap menuduh bahwa Shaykh Muhammad al-Ghawth

  • ~23~

    mengajarkan praktek sufi yang sesat (heretic), terutama terkait ajarannya tentang Mi’rāj. Itulah sebabnya kemudian mengapa Shakh Muhammad al Ghawth lebih memilih kembali ke kampung halamannya, Gwalior, dan berkonsentrasi mengembangkan khanāqahnya .

    Di Gwalior, tanah kelahirannya, ia memiliki tanah pertani-an yang luas dan dilengkapi sejumlah peternakan sapi. Peternakan sapi yang dibangunnya merupakan peternakan yang sangat terkenal di wilayah itu. Pada tahun 966H/1559M, Sultan Akbar menyempatkan diri mengunjungi khanāqah yang dibangun Shaykh Muhammad al-Ghawth, dalam rangkaian perjalanannya berburu di Gwalior. Pada kesempatan itu, Shaykh Muhammad al Ghawth memberikan sambutan yang antusias sambil memberikan sejumlah hadiah. Tak lupa Akbar juga diinisiasi oleh Shaykh Muhammad al Ghawth menjadi pengikut tarekat Shattariyah. Namun dengan sinis, Sultan Akbar menyebut bahwa inisiasi dirinya ke dalam tarekat Shattariyah hanyalah sebuah lelucon, karena Akbar justru lebih tertarik pada hadiah berupa sapi jantan dari sang Shaykh. Kejadian itu mengindikasikan bahwa Akbar tetap berada di bawah pengaruh Shaykh Gada’i yang makin kuat.

    Di antara murid setia Shaykh Muhammad al-Gahwth adalah Badusha, Abdul Qadir, Shahul Hamid Meeran, Tamil Nadu, Fadlullah al-Shattari atau Shah Fazl Shattari. Selain sultan Humayun dan Sultan Akbar, Tansen juga merupakan murid utama shaykh Muhammad al-Ghawth. Tansen adalah guru musik kesayangan Sultan Akbar. Jadi, di samping mempelajari dan mengajarkan musik, Tansen juga mempelajari ilmu

  • ~24~

    tasawuf kepada Shaykh Muhammad al-Ghawth, karena bagi Tansen keduanya itu memiliki keterkaitan yang sangat erat. Setelah wafat, Tansen juga dimakamkan berdekatan dengan pusara gurunya.

    C. Karya-Karya Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi

    Selama hidupnya, Shaykh Muhammad al-Ghawth telah menulis sejumlah karya dalam beberapa bahasa, namun tidak semuanya sampai kepada kita. Sebut saja misalnya karya yang berjudul Bahr al-Ḥayāt (The Ocean of Life). Kitab tersebut adalah karya terjemahan berbahasa Parsi dari Kitab Hindu yang berjudul Amrita kunda (The Pool of Water of Life) yang sebelumnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Shaykh Abdul Quddus Ganguhi (wafat 1537) menjadi Ḥawd al-Ḥayāt (The Pool of Life) dari karya aslinya yang berbahasa Sansekerta yang tidak lain merupakan buku bimbingan praktek Yoga. Salah satu salinannya merupakan karya Shaykh Muhammad al-Ghawth yang sengaja ia diktekan melalui muridnya yang bernama Husayn Gwaliori di kota Broach, Gujarat, sekitar tahun 1550, untuk meluruskan ketidakjelasan yang ada pada Kitab berbahasa Arab.

    Karya lainnya berjudul Jawāhir-i khamsa yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi al-Jawāhir al-Khamsah oleh penyebar tarekat Shattariyah di Makkah, yakni Shaykh Shibghatullah (wafat 1606). Melalui tokoh yang disebutkan terakhir inilah, ajarannya dapat menyebar hingga Afrika Utara dan Indonesia melalui para penuntut ilmu dan jamaah haji yang datang ke Haramayn (Makkah

  • ~25~

    dan Madinah). Secara umum kitab al-Jawāhir al-Khamsah ini isinya membahas tentang ilmu rahasia huruf dan al-Asmā’ Allāh (Nama-Nama Allah).

    Selain kedua karya tersebut di atas, ia juga menulis kitab yang berjudul Kalîd-i Makhāzin, Zamā’ir, Basāi’r, Mi’rāj, Kanzu’l waḥdāt, dan Risālā-i Mi’rājiyya. Karya-karyanya ini setidaknya mengungkap tentang ajarannya terkait dengan tarekat Shattariyah. Namun dari sejumlah karya yang ada, tampaknya hanya kitab al-Jawāhir al-Khamsah yang dapat tersosialisasi secara lebih luas hingga keluar batas wilayah India.

    D. Penyalin Naskah Kitab al-Jawāhir al-Khamsah

    Sebagaimana telah dinyatakan di atas, bahwa kitāb al-Jawāhir al-Khamsah dapat dikenal umum dan tersosialisasi secara luas di Haramain berkat jasa Sayyid Shibghatullah. Dari tokoh inilah, dua orang muridnya yang terkenal, Aḥmad al-Qushāshî (975-1071/1567-1661) dan Ahmad al-Shinawi (975/1567-1028/1619) menyebarkan ajaran tarekat Shattariyah kepada murid-murid yang datang belajar kepadanya di Haramain (Mekkah dan Madinah). Dari Sayyid Shibghatullah itu pula, kitab al-Jawāhir al-Khamsah menjadi dikenal oleh para ulama dan murid-murid yang sempat menuntut ilmu di Haramayn kepada Shaykh Aḥmad al-Qushāshî (975-1071/1567-1661) dan Ibrahim al-Kurānî(1023-1102/1614-1690). Di samping mengajar di Masjid Nabawi, Shibghatullah juga memiliki ribāṭ atau lembaga pendidikan tarekat yang banyak dikunjungi oleh muridnya yang beragam. Ḥalāqah atau tempat kajian

  • ~26~

    yang dipimpinnya selalu dihadiri murid-murid dan jamaah haji dari Kesultanan Aceh dan Banten yang juga memberinya informasi tentang Islam di Nusantara.

    Terkait dengan siapakah penyalin kelima naskah al-Jawāhir al-Khamsah itu, menurut peneliti bukanlah hal yang mudah untuk dipecahkan. Kecuali untuk naskah yang nyata-nyata dicatat oleh C. Snouck Hurgronje, bahwa penyalinnya adalah Sayyid Umar bin Ali al-Habshi pada Maret 1892 M (Jumadil Awwal 1309H). Namun, hingga kini belum ditemukan informasi memadai tentang biografi yang bersangkutan. Ada kemungkinan ia adalah seorang ulama keturunan Arab yang juga berposisi sebagai kenalan atau teman dekat C. Snouck Hurgronje selama tinggal di Batavia (Jakarta sekarang). Ia sengaja diminta Snouck Hurgronje untuk menyalin sejumlah kitab koleksi perpustakaan India Office. Demikian juga halnya dengan Haji Sa’idi, tokoh ulama Jakarta yang sempat diminta Snouck untuk menyalin Kitab Ithāf al-dhakî koleksi Universitas Leiden (MS. Leiden Or. 7050). Kitab ini juga disalin di Batavia pada Maret 1892 oleh Haji Sa’idi dari Kitab naskah India Office Islamic 1180 (volgn. 684).

    Untuk kedua naskah yang diduga kuat berasal dari Banten (MS A.37 dan MS A.42), yang karena keduanya tidak memiliki kolofon, maka agak sulit untuk melacak siapakah penyalin kedua naskah tersebut. Pelacakan tentang siapakah penyalin kedua naskah tersebut, akhirnya penulis fokuskan dengan memeriksa beberapa catatan pinggir pada halaman pelindung yang ada di bagian awal dan akhir naskah. Namun, catatan itu tampaknya hanyalah catatan pemilik naskah,

  • ~27~

    bukan menunjuk kepada penyalin naskah. Satu-satunya informasi yang dapat dijadikan pijakan adalah catatan pada halaman 53 berupa silsilah tarekat Shattariyah. Silsilah tarekat yang dimaksud menyebutkan nama Muhammad Habib bin Mahmud. Ayahnya bernama Shaykh Maḥmūd bin Shaykh ‘Abdul Qahhār. Ia adalah tokoh kesultanan Banten yang sempat menduduki jabatan Fakîh Najāmuddîn. Kesimpulan ini dapat rujuk pada naskah A. 37 halaman 53 yang berbunyi:

    Bismillāh al-Raḥmān al-Raḥîm, al-ḥamdu li-Allāh waḥdah waṣ-ṣalātu was-salāmu ‘alá man lā nabiyya ba’dahu wa-ālihi wa-aṣḥābihi wa-khayri junūdihi wa-ba’du, fa-aqūlu al-faqîr ilá mawlāhu al-ghanî Muḥammad Ḥabîb ibn Maḥmūd al-mulaqqab faqîh Najm al-Dîn wa-al-faqîr, akhadhtu al-ijāzata wa-al-silsilata al-Shaṭṭāriyah min shaykhînā wa-qudwātinā wa-mawlānā Maḥmūd ibnu Maulānā ‘Abdul Qahhār, wa-huwa akhadha min abîhi Shaykh ‘Abdul Qahhār qaddasa Allāhu asrārahu, wa-huwa akhadha min Shaykh Ḥāji ‘Abd al-Muḥyî raḥmatu Allāh ‘alayh, wa-huwa akhadha min al-Shaykh al-‘ārif bi-Allāh al-kāmil Shaykh ‘Abd al-Ra’ūf, ...(naskah al Jawahir al Khamsah A 37: 53).

    Pada kutipan tersebut, kita tidak menemukan nama ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār, yang ada hanyalah Mahmud bin ‘Abdul Qahhār. Tetapi keduanya adalah bersaudara karena berasal dari ayah yang sama, yakni Shaykh ‘Abdul Qahhār. Tokoh yang bernama Shaykh ‘Abdul Qahhār tidak terlalu jelas riwayat dan asal usulnya. Ada yang menyebut bahwa ia adalah salah satu keturunan dari Sharif Muhammad, raja Champa. Sharif Muhammad sendiri adalah putra Sharif Abdullah Bo

  • ~28~

    Teri Teri, yakni ayah dari Sharif Hidayatullah, Mawlana Abdul Muzaffar, dan Siti Zainab (istri Sunan Kalijaga). Informasi ini diperoleh dari buku Manāqib Shaykh ‘Abd al-Malik (Tok Pulau Manis) karangan Ibrahim Muhammad, Kelantan, Malaysia. Tentu saja informasi ini memerlukan penelusuran lebih lanjut lagi.

    Terkait di manakah letak makam Shaykh ‘Abdul Qahhār al-Bantani? Maka, berdasarkan penelusuran penulis tatkala membimbing Praktikum Profesi Mahasiswa semester VII Jurusan SPI angkatan 2018 Fakultas Ushuluddin dan Adab UIN “SMH” Banten ke komplek pemakaman Sunan Gunung Djati di Cirebon bersama sejumlah dosen pembimbing dan diantar oleh Dr. Opan Sopari, M. Hum (salah seorang keturunan keluarga Kesultanan Cirebon), di jelaskan bahwa di bagian puncak komplek makam Sunan Gunung Djati, selain terdapat makam Sunan Gunung Djati dan makam ibu Ong Tien), juga terdapat dua makam yang berjejeran/bersisian langsung dengan makam Sunan Gunung Djati, tepatnya pada sisi kanan/arah timur makam Sunan Gunung Djati (masih berada dalam cungkup makam Sunan Gunung Djati) terdapat makam Fatahillah (Fadhilah Khan) dan makam Shaykh ‘Abdul Qahhār.

    Adapun yang banyak disebut dalam sejarah adalah putra shaykh ‘Abdul Qahhār sendiri, yakni Shaykh ‘Abdullāh bin ‘Abdul Qahhār al-Bantani. Beliau adalah ulama Banten keturunan Arab yang sempat menjadi penasehat, anak angkat, dan murid dari Sultan Abu Naṣr Muḥammad Zayn al-‘Āshiqîn yang memerintah kesultanan Banten sekitar tahun 1753-

  • ~29~

    1777M. Informasi ini dapat dilacak pada karya-karyanya, seperti: Mashāhid al-Nāsik fî Maqāmāt al-Sālik (MS A. 31), naskah Fatḥ al-Mulk li-yaṣila ilá Malik al-Mulk alá Qā’idah Ahli al-Sulūk (MS A. 111), dan naskah Risālah fi Shurūṭi al-Ḥajji (Kitab ke-4 dalam naskah/MS A. 131). Selain itu, L.W.C. van den Berg & R. Friederich (1873) pada buku katalognya juga kerap menyebut tokoh yang dimaksud.

    Dapat dipastikan, bahwa Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār al-Bantani itulah yang telah menyalin naskah kitab tersebut, mengingat dialah yang kerap aktif menyalin sejumlah naskah-naskah tasawuf di Banten, baik atas inisiatif sendiri sejak menuntut ilmu di Makkah dan Madinah, maupun atas permintaan sultan. Adapun cucu/keponakannya, Haji Muḥammad Ḥabîb bin Maḥmūd bin ‘Abdul Qahhār adalah pewaris naskah salinan al-Jawāhir al-Khamsah tersebut, karena sepeninggal sultan ‘Āshiqîn, ia sempat mendampingi sultan Abu al-Mafākhir Muḥammad ‘Aliyuddin I dan menjabat sebagai Fakîh Najmuddîn sebagaimana tercantum pada halaman akhir naskah kitab tersebut. Meski demikian, tidak ditemukan informasi yang memadai untuk melacak biografi dan latar belakang tokoh yang dimaksud. Informasi yang ada hanyalah bahwa ia adalah penganut tarekat Naqshābandiyah yang dibai’at pada malam Selasa, tanggal 26 Muharram 1193H/1778 M, tahun Zei. Selain itu, orang tuanyanya, Mahmud, adalah tokoh ulama yang pernah menjabat jabatan hakim kerajaan (qadi) yang bergelar Fakîh Najamuddîn. Dari sini, dapat diprediksi, bahwa ia adalah ulama yang masih punya hubungan dekat dengan pihak kesultanan Banten. Ia juga memiliki sifat tawaddu, rendah hati, yakni salah satu

  • ~30~

    sifat yang memang kebanyakan dimiliki ulama penganut tarekat. Terbukti dengan selalu ia menyebut dirinya sebagai faqîr yang Ḥaqîr, sebagai bukti literer yang kerap ia tunjukkan dalam karya salinan beberapa kitab yang ditulisnya bahwa ia bukan siapa, hamba yang lemah, haus ilmu, dan rendah hati.

    Demikian juga halnya dengan naskah kitab lainnya, sulit melacak siapakah penyalin naskah ini. Informasi yang didapat hanyalah pada halaman 2 bagian awal naskah, di mana disebutkan bahwa pemilik naskah ini adalah faqîr ‘Abdullāh. Siapakah tokoh yang dimaksud, tidak dapat diketahui dengan pasti, karena minimnya data yang bisa dijadikan pendukung untuk memperkuat asumsi yang lebih luas. Keterangan tambahan yang ditemukan hanyalah, bahwa kitab ini diwakafkan untuk kepentingan agama Islam dan untuk kepentingan agama anak-anaknya. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut ini:

    Qāla al-shaykh ‘Alî al-Qurshi: “ra’aytu arba’atan min al-mashāyikh yataṣarrafūn fî qubūrihim ka-taṣarrufi al-aḥyā’ sayyidî al-shaykh ‘Abd al-Qādir wa al-shaykh Ma’rūf al-Karkhî wa-al-shaykh ‘a-q-y-k al-Munjî wa al-shaykh Ḥayyāt bin Ḥusayn al-Ḥarranî(?) raḍiya Allāh ‘anhum, wa-kāna lahu kalām ‘ālin fî al-ma’ārif”. Min manāqib al-shaykh ‘Abd al-Qādir Jaylānî qad yamunnu sirrahu. ‘Alāmat kitāb Jawāhir al-Khams milikě faqîr ‘Abd Allah dadině waqaf ing anak2kě dêning ugamê Islam (naskah al-Jawāhir al Khamsah, 42: 2).

    Jika dugaan kuat ini terkait dengan kesultanan Banten,

  • ~31~

    maka orang yang menyebut dirinya sebagai faqîr ‘Abdullāh ada kemungkinan merupakan seorang keturunan kesultanan Banten, yang memiliki pengetahuan agama yang luas (boleh jadi ia adalah seorang ulama kerajaan yang pernah menjabat sebagai fakîh/hākim). Dapat diduga bahwa ia adalah Shaykh ‘Abdullāh bin ‘Abdul al-Qahhār al-Bantāni, yang pada naskah-naskah Banten lainnya nyata-nyata disebutkan namanya. Namun di masa Sultan Abu al-Mafākhir Muḥammad Aliyuddîn (Sultan Aliuddin I alias Sultan Gomok) (1777-1802) ulama ini mengundurkan diri dan berhijrah ke Cianjur, akibat Sultan ini lebih cenderung kepada ulama yang baru kembali dari Makkah dan memiliki perbedaan pandangan dalam menentukan awal puasa dan hari Raya.

    Terkait dengan hal ini, terdapat beberapa surat kesultanan Banten yang ditulis oleh tokoh yang juga bernama Haji ‘Abdullāh, Pangeran ‘Abdullāh atau Kyai ‘Abdullāh, setidaknya surat yang tersimpan di Bagian Naskah Timur, Universiteits-Bibliotheek, Leiden, dengan nomor UB Cod. Or 2240 Ia 79 (No. 509), UB Cod. Or. 2241 IIIb. 19 (Klt. 12/No. 246), dan UB Cod. Or. 2241 IIIb. 18 (Klt. 13/No. 247). Pada ketiga Naskah tersebut, ia terkadang menyebut dirinya Haji ‘Abdullāh atau Pengeran ‘Abdullāh. Adapun pada surat terakhir ia disebut oleh Pangeran Rajabasa sebagai Kyai ‘Abdullāh. Data ini tentu saja perlu ditelusuri lebih jauh apakah ada kaitannya dengan tokoh yang sedang dibahas ini.

    Yang pasti, ketiga nama yang disebut terakhir menunjuk-kan bahwa ia adalah pejabat kesultanan Banten yang juga mengurusi perdagangan dan ekonomi kesultanan, tapi bukan

  • ~32~

    seorang tokoh ulama yang punya kecendrungan pada ajaran tasawuf, meski terkadang disebut sebagai Kyai ‘Abdullāh. Apalagi, berdasarkan data pada naskah surat Cod. Or 2240 Ia 79 (No. 509), sangat jelas disebutkan bahwa ia sempat dikirim (dibuang) Belanda ke Ambon. Dalam kesempatan itu ia minta agar gaji/uang jaminannya sebesar 80 pon beras per bulan dibayarkan. Ia juga meminta Kompeni Belanda mengirimkan pelayan masing-masing empat orang laki-laki dan dua orang perempuan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa ia tidak lain adalah Sharîf ‘Abdullāh alias Sultan Sharifuddîn Ratu Wakil (1750-1752) yang sempat memerintah Banten bersama ibu mertuanya Ratu Sharifah Fatimah, dan bukanlah Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār.

    Adapun khusus untuk kitab al-Jawāhir al-Khamsah yang merupakan koleksi Perpustakaan Universitas King ibn Sa’ud, 1957, berdasarkan catatan kecil di halaman awal naskah disebutkan bahwa naskah ini adalah salinan milik Muhammad ibn al-Marḥūm Uthmān yang diperolehnya dari Mawlānā al-Sayyid Ahmad Muhsin al-Ghujarati, India, sebagaimana tertulis:

    “Dakhala fî milki al-faqîr ilá Allah subḥāanahu wa ta’ālá Muḥammad ibn al-Marḥūm ‘Uthmān adkhala min mawlānā al-sayyid Aḥmad Muḥsin al-Ghujārātî wa Allah ta’ālá a’lam sanat 1115 Hijriyyah, tam” (Naskah al Jawahir al Khamsah, 1 :189 خ.ج).

    Namun tokoh tersebut agak sulit untuk ditelusuri biografinya. Kemungkinan besar ia adalah pelajar yang datang

  • ~33~

    ke Makkah pada abad ke-12 Hijriyah, karena dari namanya mengindikasikan bahwa ia bukan orang Arab, melainkan berasal dari Gujarat, India.

  • ~34~

  • ~35~

    Bagian Ketiga

  • ~36~

  • ~37~

    Kitab al-Jawahir al-Khamsah dan Kaitannya Dengan Konteks Kesultanan Banten

    A. Konteks Sosial-Politik

    Naskah al-Jawāhir al-Khamsah yang berasal dari Banten disalin sekitar pertengahan abad ke 18M. Masa itu adalah masa di mana Kesultanan Banten telah memasuki masa kemunduran secara politik, ekonomi, sosial, maupun keagamaan, hingga akhirnya berada di bawah kendali pemerintah Hindia Belanda. Periode yang dimaksud adalah periode 1750-1830, di mana Kesultanan Banten tengah mengalami krisis politik sehingga menimbulkan pecahnya pemberontakan berskala besar dan menyebar ke seluruh wilayah Kesultanan, termasuk Lampung, Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah.

    Pemberontakan tersebut dipimpin oleh Kiai Tapa dan Tubagus Buang. Keduanya adalah tokoh utama yang berani mengobarkan perjuangan rakyat menentang kebijakan Kesultanan yang kala itu telah berkongsi dengan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Krisis politik berawal dari masa Sultan Muhammad Zain al-‘Arifin (1733-1748) atau Sultan Sepuh yang kala itu telah dipengaruhi permaisurinya yang keturunan Arab, yaitu Ratu Sharifah Fatimah. Secara perlahan, permaisuri itulah sebenarnya yang memegang kendali kebijakan kesultanan hingga penentuan sang putra mahkota.

  • ~38~

    Pada tahun 1746, Pangeran Arif Gusti bersama Kiai Tapa dan Tubagus Buang melakukan pemberontakan menolak keputusan Sultan Sepuh karena telah mengangkat Syarif ‘Abdullah (menantu Ratu Sharifah) sebagai putra mahkota. Keputusan Sultan tentu saja mendapat persetujuan Belanda, sehingga Sultan memintanya untuk menangkap para pemberontak tersebut. Dengan alasan untuk mengamankan keputusan Gubernur Jenderal, maka ditangkaplah Pangeran Arif Gusti dan dibuang ke Sri Lanka (Ceylon) tahun 1747, sedangkan Kyai Tapa dan Tubagus Buang berhasil meloloskan diri dan membangun kekuatan di sekitar gunung Munara.

    Tindakan Ratu Sharifah lainnya adalah kerap bertindak semena-mena terhadap para abdi dalem dan rakyat Banten secara umum. Sultan sendiri terlihat tak mampu berbuat banyak, karena sudah berada di bawah kendali sang Ratu. Untuk memuluskan ambisinya agar dapat duduk menjadi penguasa tertinggi di Banten, Ratu Sharifah Fatimah memfitnah Sultan bahwa ia telah gila dan kerap memprovokasi rakyat untuk menentang pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Mendengar laporan itu, pada tahun 1748 pemerintah Hindia Belanda mengirimkan satu armada untuk menangkap Sultan Banten, untuk kemudian selanjutnya dibuang ke Ambon hingga wafat tahun 1758. Sebagai pengganti Sultan, Pangeran Sharif ‘Abdullah didudukkan sebagai Sultan dengan gelar Sultan Sharifuddin, sedangkan Ratu Sharifah Fatimah menduduki jabatan Mangkubumi. Dengan demikian, tercapailah cita-cita dan ambisinya. Sejak itulah, pemerintah Hindia Belanda memperoleh kebebasan dalam menguasai pantai utara Jawa Barat dan Sukabumi Selatan. Pemerintah Hindia Belanda

  • ~39~

    juga memperoleh ganti rugi dalam bentuk setengah dari hasil tambang emas di Tulang Bawang, produksi lada di Lampung, dan Timah di Tangerang.

    Tindakan-tindakan Sharifah Fatimah itulah yang kemudian menyulut api kemarahan para bangsawan dari kesultanan Banten beserta rakyatnya. Selanjutnya, di bawah pimpinan Kiai Tapa dan Tubagus Buang mereka mulai menyusun kekuatan untuk mengadakan perlawanan dan pemberontakan terhadap kesultanan maupun penguasa Hindia Belanda di Batavia. Perlawanan itu berlangsung selama lebih dari 3 tahun (1750-1753).

    Sebagai akibat dari kondisi tersebut, Pemerintah Hindia Belanda merasa terdesak oleh berbagai serangan yang datang. Serangan ternyata tidak hanya datang dari rakyat Banten, tetapi juga dari Mataram dan wilayah Nusantara lainnya. Maka, untuk memulihkan keamanan dan kembali memperkuat pertahanan ekonomi, politik dan militer, pihak Gubernur Jenderal Belanda di Batavia memutuskan untuk menangkap Ratu Sharifah Fatimah dan Pangeran Sharif ‘Abdullah beserta seluruh pengikut dan keluarganya, karena dianggap sebagai sumber masalah. Mereka kemudian dibuang ke pulau Edam di Teluk Batavia tahun 1752, sedangkan Pangeran ‘Arif Gusti dikembalikan dari tempat pengasingannya di Ceylon untuk didudukkan kembali sebagai Putera Mahkota. Pengembalian posisi Pangeran ‘Arif Gusti oleh Belanda tentu saja setelah sang Pangeran menyetujui berbagai persyaratan. Sementara itu, jabatan Sultan diberikan kepada Pangeran Aria Adisantika (adik Sultan Zain al-‘Arifin) selama setahun, untuk kemudian

  • ~40~

    diberikan kepada Pangeran ‘Arif Gusti. Sejak itu ia bergelar Sultan Abū Naṣr Muhammad Zain al-‘Āshiqîn. Sejak itulah, gerakan pemberontakan mulai melemah dan berangsur-angsur mereda.

    Selama memerintah, Sultan Zain al-‘Āshiqîn kurang ter-tarik pada politik. Ia lebih mementingkan minatnya pada kajian agama Islam, sementara urusan pemerintahan diserah kan pada Perdana Menteri. Untuk memutuskan ber-bagai masalah penting dalam lingkup kerajaan, ia selalu berkonsultasi dengan Gubernur Jenderal Belanda di Batavia mana-mana dianggap penting dan selalu tunduk kepada keinginan dan keputusan Belanda. Sejak itu tampak sekali ketidak berdayaan kesultanan Banten di mata Belanda, karena segala keputusan sultan harus mendapat persetujuan Kompeni di Batavia terlebih dahulu. Termasuk dalam hal menentukan putra mahkota, dan berbagai posisi jabatan di bawah Sultan, seperti Perdana Menteri, Mangkubumi, Kapten Cina selaku penarik bea cukai, Shahbandar (kepala pelabuhan), dan lain-lain.

    Setelah kematian Sultan Zain al-‘Āshiqîn tahun 1777, Sultan Abū al-Mafākhir Muhammad Aliyuddîn (Sultan Aliyuddin I atau Sultan Gomok) juga mewarisi sifat ayahnya yang kurang berminat pada masalah-masalah pemerintahan dan politik. Ia justru lebih suka menghabiskan waktunya bersama para selirnya dan membaca serta menyalin buku-buku keagamaan Islam di danau Tasikardi. Naskah kitab al-Jawāhir al-Khamsah yang dibahas dalam buku ini diduga kuat disalin oleh ulama dan orang kepercayaan di masanya

  • ~41~

    yang juga menjabat sebagai Faqîh Najmuddîn, karena pada halaman awal dan akhir naskah kitab tersebut kerap disebut-sebut namanya.

    Sebagaimana juga ayahnya, Sultan Aliyuddin I, ia tampak begitu lemah dan sangat bergantung kepada kekuasaan Pemerintah Belanda di Batavia. Untuk mengamankan posisinya dari berbagai intrik saudara-saudaranya maupun pihak keluarga istana lainnya, ia kerap meminta bantuan Belanda untuk menanggulanginya. Bantuan dan perlindung-an yang diberikan Belanda tentu saja dilakukan dengan kompensasi-kompensasi yang selalu memberatkan Kesul tan-an Banten, sehingga kesultanan terus mengalami keterpuruk-an yang makin berat. Kondisi itulah yang membuat kesultanan Banten sulit bangkit dari keterpurukan. Sementara Sultan makin lemah dan tergantung dengan pihak penjajah. Sebelum akhirnya VOC dibubarkan akibat kebangkrutan yang diderita nya pada 1 Maret 1796. Sejak itu pula, semua hutang dan wilayah Nusantara diambilalih dan ditangani langsung pemerintah Kerajaan Belanda.

    Sementara itu, sehubungan sistem kerja rodi yang diterapkan oleh Daendles untuk pembuatan jalan kereta api dari Anyer ke Panarukan sepanjang 1000 KM., banyak sekali pekerja yang mati akibat terkena hawa beracun, serangan penyakin Malaria, kelaparan, dan sebab-sebab lainnya. Karena Sultan menolak mengirimkan 1000 orang rakyat setiap harinya untuk sistem kerja rodi tersebut, maka pada 21 Nopember 1808 diseranglah istana Surosowan. Sultan Aliyuddin II (1803-1808) sendiri ditangkap oleh Daendles

  • ~42~

    dan dibuang ke Ambon, sedangkan Mangkubumi Wargadireja dihukum pancung. Demikianlah babak akhir dari Kesultanan Banten, sebelum akhirnya tentara Inggris di bawah pimpinan Raffles (1811-1816) memaksa Sultan Muhammad Shafiuddin menyerahkan jabatannya sebagai penguasa Banten kepada pemerintah Inggris, dan Kesultanan Banten dihapuskan sejak tahun 1813.

    Jadi dapat ditarik kesimpulan, bahwa Kitab al-Jawāhir al-Khamsah—yang saat ini menjadi koleksi PNRI dan berasal dari Banten—disalin dalam suasana di mana Kesultanan Banten tengah berada dalam kondisi sudah teramat lemah secara politik dan ekonomi, karena intervensi Kompeni Belanda yang sudah sedemikian kuat. Hal seperti itu diperlemah lagi oleh kondisi Sultan yang sudah “merasa nyaman” dengan jaminan hidup yang diberikan Gubernur Jenderal VOC di Batavia per bulannya. Sejak itu, Kesultanan Banten tidak lain hanyalah sebagai bagian dari struktur pemerintahan Kompeni Belanda, terutama sejak ditanda-tanganinya perjanjian tahun 1752 oleh Sultan Zain al-‘Āshiqîn.

    “Rasa nyaman” dua orang Sultan Banten, yakni Sultan Zain al-‘Āshiqîn (1753-1777) dan Sultan Abū al-Mafākhir Muhammad Aliyuddin I (1777-1802) itu diungkapkan oleh Komandan Belanda dengan ungkapan, bahwa keduanya kurang tertarik pada masalah politik, keduanya justru lebih senang dan lebih fokus untuk membaca dan menulis buku-buku keagamaan Islam. Bahkan, yang lebih mengecewakan adalah bahwa Sultan Gomok alias Sultan Aliyuddin itu lebih suka menikmati hidup bersama para selirnya di Danau

  • ~43~

    Tasikardi. Ia juga bertingkah sudah ke barat-baratan, lebih senang bergaul dengan orang-orang Eropa, dan terakhir lebih condong dan taat kepada “seorang ulama Arab yang baru datang dari Makkah”. Berkaitan dengan hal ini, ulama-ulama yang kerap mempengaruhi Sultan dan berasal dari negeri asing itu kerap disebut sebagai “paus-paus orang asing”. Hal itu digunakan untuk sebutan ejekan bagi ulama zaman itu, karena rupanya di abad ke-18M Belanda begitu anti-Katholik.

    Tidak berbeda dengan anaknya, Sultan Abu al-Naṣr Muhammad Zain al-‘Āshiqîn juga kurang peduli terhadap nasib rakyatnya, bahkan justru hidup bermewah-mewahan. Akibatnya Sultan kerap berhutang kepada Belanda. Sebenarnya, Sultan Zain al-‘Āshiqîn adalah seorang Sultan yang baik hati, namun tidak memiliki penasehat yang baik, sedangkan para bangsawan sangat tergantung kepada Sultan. Pada umumnya para bangsawan sudah cukup puas dengan tempat tinggal yang menyenangkan, perahu-kesenangan, dan dikelilingi oleh wanita-wanita cantik. Pengawas gudang lada sang raja adalah Kiai Aria Astradinata. Ia adalah anak seorang tukang batu Cina yang telah masuk Islam. Jabatan sebagai kepala gudang ini dianggap sebagai suatu jabatan yang bersifat turun-temurun. Adapun paman dari Sultan Zain al-‘Āshiqîn, Pangeran Raja Kusuma, adalah seorang yang ‘alim tetapi agak serakah. Ia telah tua dan uzur dan hanya menghabiskan waktunya untuk beribadah serta menangisi nasib tanah airnya yang makin hari dilanda peperangan dan kemerosotan.

  • ~44~

    B. Konteks Sosial-Intelektual

    Pada sekitar abad ke-18M, Kesultanan Banten memiliki seorang ulama terkenal yang juga menjadi khalifah tarekat Shattariyah. Ia adalah Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār. Ulama ini hidup semasa dengan Sultan Zain al-‘Āshiqîn (1753-1777) dan Sultan Aliyuddin I (1777-1802). Ia sempat bermukim di Makkah selama tiga tahun. Sekembalinya dari Makkah, ia sempat menduduki jabatan Faqîh Najmuddîn di Kesultanan Banten, sebelum akhirnya ia mengundurkan diri dan berhijrah ke Cianjur hingga wafat. Ulama inilah yang kemudian melahirkan para pejabat di Cianjur. Putra dan cucunya, yakni Shaykh Mahmud dan Shaykh Muhammad Habib juga sempat menduduki jabatan Faqîh Najmuddîn sepeninggalnya. Terkait ditemukannya Kitab al-Jawāhir al-Khamsah (MS A. 37) di Perpustakaan Nasional RI (PNRI) yang berasal dari koleksi perpustakaan kesultanan Banten, diduga kuat berasal dari masa ulama yang dimaksudkan ini. Mengingat pada naskah tersebut dijumpainya sejumlah catatan pinggir pada bagian awal maupun akhirnya.

    Dari garis keilmuan, sebelum Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār berangkat ke Makkah, ia sempat belajar dengan orang tuanya, Shaykh ‘Abdul Qahhār, yang memang berdarah Arab. Adapun ibunya, dapat dipastikan adalah wanita berdarah Banten yang mungkin masih terkait secara genealogis dengan kesultanan. Berdasarkan penelusuran, ia adalah anak didik Pangeran Arif Gusti, yang setelah dilantik menjadi raja bergelar Sultan Abū Naṣr Muhammad Ārif Zain al-‘Āshiqîn (1753-1777). Kepada pangeran inilah ia belajar dasar-dasar

  • ~45~

    ilmu agama Islam. Tentunya pada saat sebelum Pangeran ini berada dalam pengasingannya di Ceylon (Srilanka) selama kurang lebih 5 tahun (1747-1752), karena menolak menikah dengan salah seorang keluarga Ratu Sharifah Fatimah.

    Sebelum Pangeran ‘Arif Gusti ini berada di pengasingan, Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār telah berangkat ke Makkah dan tinggal di sana untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman dari para ulama Makkah dan Madinah selama kurang lebih 3 tahun (sekitar 1745-1748). Jadi, tatkala terjadi kudeta kesultanan yang dilakukan Ratu Sharifah Fatimah beserta keluarga dan menantunya, Pangeran Sharif ‘Abdullah, yang berakibat pada pembuangan Sultan Zain al-‘Ārifîn (1733-1748) dan Pangeran ‘Ārif Gusti (Sultan Zain al-‘Āshiqîn) ke Ceylon pada 1747, Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār justru tidak berada di Banten. Tatkala pecah pemberontakan yang dipimpin Kiai Tapa dan Tubagus Buang tahun 1750-1753, ada kemungkinan ulama ini tidak turut campur dalam konflik politik dan militer melawan Belanda tersebut. Karena kemungkinan justru menyingkir ke daerah Bogor, Sukabumi, ke Cianjur, dan terakhir ke Cirebon, untuk menyebarkan ajaran tarekat Shattariyah, Qadiriyah, dan Rifa’iyah yang dianutnya hingga akhir hayatnya.

    Setelah Pangeran ‘Ārif Gusti dikembalikan dari penga-singan nya, lalu dinobatkan menjadi Sultan Banten tahun 1753, barulah Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār sesekali kembali ke Banten untuk memenuhi permintaan Sultan Zain al-‘Āshiqîn menyalin atau menulis sejumlah karya, khususnya terkait ilmu tasawuf. Sebagaimana diketahui

  • ~46~

    dari laporan pihak Belanda, Sultan Zain al-‘Āshiqîn adalah seorang Sultan yang kurang memiliki ketertarikan pada masalah pemerintahan, tetapi ia lebih memiliki perhatian pada ilmu-ilmu agama Islam. Untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi kesultanan, ia lebih mempercayakan Mangkubumi (Perdana Menteri) untuk mengurusinya.

    Selama di Makkah, berdasarkan catatan Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār pada karyanya yang yang berjudul Fatḥ al-Muluk li-yasila ilá Malik al-Muluk ‘alá Qā’idah Ahli al-Sulūk, dapat kita temukan daftar sejumlah nama-nama gurunya selama ia mengembara di Makkah, Madinah, dan Yaman.

    Selama di Madinah, Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār antara lain berguru kepada Shaykh Ibrahim al-Madani bin Muhammad Tahir al-Madani al-Kurdi yang telah memberinya ijazah untuk mengajarkan kitab al-Simṭ al-Majîd karya Shaykh Ahmad al-Qushāshî al-Madani al-Anṣārî. Hal ini dapat kita maklumi, karena Shaykh Ibrahim al-Madani tidak lain adalah putra dari Shaykh Muhammad Ṭāhir al-Madani yang disebut-sebut sebagai anak sekaligus pengganti Shaykh Ibrahim al-Kurani. Dengan demikian guru Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār adalah cucu ulama kenamaan abad ke 17 yang juga menjadi guru bagi para ulama terkenal Nusantara lain semisal Shaykh Yusuf al-Makassari dan Shaykh ‘Abdul Ra’uf bin Ali al-Jāwî. Dari Shaykh Ibrahim al-Madani, Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār juga menerima bai’at tarekat Naqshābandiyah.

    Ketika berada di Makkah, Shaykh ‘Abdullah belajar kepada al-Imām Muhammad ibn Ali al-Tabari, putra ‘Ali al-Tabari

  • ~47~

    yang juga guru dari para ulama Nusantara terkenal abad 17M sebagaimana disebutkan di atas. Guru penting ini pernah berguru kepada Shaykh ‘Abdullah ibn Salim al-Basri al-Makki yang juga menjadi guru beberapa ulama asal Nusantara abad ke 17. Dari Imam Muhammad ibn ‘Alî al-Tabari inilah Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār menerima ajaran tarekat Shattariyah yang kemudian ia sebarkan ke daerah Banten dan sekitarnya sekembalinya dari Makkah. Shaykh ‘Abdullah juga menerima ijāzah pengajaran kitab hadits karangan Shaykh Muhammad ‘Ali al-Ṭabari yang berjudul Fayḍ al-AḤad fî al-’Ilmi bi ‘Uluwwi al-Isnād.

    Selama di Makkah, Shaykh ‘Abdullah juga berguru kepada Imam ‘Abdul Wahhāb al-Shāfi’i dan Shaykh ‘Abdul Wahhāb al-Ṭanṭāwi al-Misri al-Azharî. Dari kedua ulama ini Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār belajar ilmu fiqh, tafsir Bayḍawi dan sebagian ilmu hadits di halaqah sekitar Masjid al-Haram. Selain itu, ia juga memperoleh silsilah hadits dan rawinya dari Shaykh Sa’id al-Shibli hingga tersambung sampai Rasulullah saw. Demikian juga dari Shaykh ‘Ali al-Yamani, Shaykh Ahmad al-Istambuli al-Misri, Shaykh ‘Aṭa al-Misri, Shaykh Aḥmad al-Mahalli, Shaykh Sa’id al-Maghribi al-Maliki, Shaykh Salim al-Gharnūq al-Hadrami, dan Sayyid ‘Umar bin ‘Aqil, serta Shaykh ‘Abdullah al-Qattān al-Makki.

    Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār juga sempat belajar dan diijāzahkan ilmu qirā’at sab’ah di Makkah dari Shaykh Yusuf ibn Aḥmad al-Ghazi al-Qudsi dan Shaykh ‘Umar al-Hafiz al-Darir, serta dari Sayyid Muhammad al-Mafazi. Sedangkan selama di Yaman ia sempat belajar ilmu qira’at kepada Shaykh Isma’il al-Bazi al-Zubaydi.

  • ~48~

    Adapun silsilah ilmu hadits-nya, tersambung kepada Rasulullah dimulai dari Shaykh Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Tabari al-Husayni al-Makki, lalu dari Shaykh ‘Abdullah ibn Salim al-Basri al-Makki, dari gurunya Shaykh Muhammad al-Maktabi al-Dimashqi, dari Shaykh al-Islam al-Najm al-Ghazi al-Shafi’i, dari bapaknya al-Badr al-Ghazi, dari Abi Yahya Zakaria al-Anṣārî, dia dari al-Hafiz ibn Hajar ibn Na’im, dia berasal dari Abî al-Fadl ‘Abdul Rahim al-Iraqi, dan dia berasal dari Abi al-Fatḥ Muhammad ibn Muhammad al-Maydumi, dan dia berasal dari Abi al-Farj ‘Abdul Latîf al-Harrani, dia dari Abi al-Farj Abd al-Raḥîm ibn ‘Ali al-Jawzi, dan dia berasal dari Abi Sa’id Isma’il ibn Salih al-Nisaburi, dan dia dari Abi Salih al-Mu’dhin, dan dia dari Abi Tahir Muhammad ibn Muhammad ibn Mahsh al-Zayyadi, dan dia dari Abi Ḥamid AḤmad ibn Muhammad ibn Yahya ibn Bilal al-Bazzār, dari Abd al-Rahman ibn Bashar ibn al-Hakim al-Nisaburi, dia dari Sufyan, dari Uyaynah, dari Amru ibn Dinar, dan dari Abi Qabus, seorang hamba dari ‘Abdullah ibn ‘Umar, dan dari ‘Abdullah ibn Amru ibn al-‘As, dari Rasulullah saw.

    Sejak berada di Haramayn maupun ketika kembali ke Banten, Shaykh Abdullah bin Abdul Qahhar kerap menulis karya, di antara yang paling populer menurut catatan Carl Brockelmann adalah Risālah fî Shurūṭ al-Ḥajj yang ditulis di Makkah pada tahun 1161H/1748M dan Kitāb al-Masā’il yang ditulis tahun 1159H/1746M. Selain itu, tercatat karya-karya Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār antara lain Futūḥ al-Asrār fî Faḍā’il al-Tahlîl wa al-Adhkār (1154H/1741M), al-Fatḥiyyah (1158H/1745M), Manhaj al-Ṣālih (1178H/1764M), Matan

  • ~49~

    al-Tahiyyah fî Uṣūl al-Hadith, al-Kāfi fî ‘Ilm al-‘Arūd, Kitāb al-Marsūmā, Kitāb al-Hajibiyyah, dan Waṣiyyāt al-Ṭullāb.

    Selama di Haramain, Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār tidak hanya belajar, tetapi juga sempat mengajar dan memiliki sejumlah murid dari berbagai wilayah di Nusantara. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya dua naskah Shattariyah yang menyebutkan adanya silsilah Shattariyah terkait dengan Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār al-Bantānî yang ditulis oleh muridnya yang berasal dari Mindanao. Kedua naskah tersebut oleh Tommy Christomy dalam kunjungannya ke Maranao, Lanao del Sur, Mindanao Selatan, diberi judul Ta’lîf Shaykhunā al-Shaykh Ḥāji ‘Abdullāh ibn ‘Abdul Qahhār al-Shaṭṭārî Banten. Kedua naskah itu adalah milik Dr. Ulumuddin, salah seorang pemimpin Syi’ah di Marawi City. Berdasarkan kolofon yang tertera pada halaman 84 naskah kedua tertulis bahwa naskah itu selesai disalin pada bulan Sha’bān tahun 1236H/1821M. di salin oleh Muhammad Sa’îd. Jika dicermati lebih dalam, tampaknya Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār adalah tokoh penting bagi murid yang berasal dari Mindanao ini.

    Jalur Shattariyah di Maranao menunjukkan siapa “guru kita” di Makkah yang populer bagi mereka. Dan Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār adalah salah satunya. Silsilah tarekat Shattariyah diperoleh melalui talqîn dan bay’at dari Imam Muhammad al-Ṭabarî, dari Shaykh ‘Abdul Wahhāb bin ‘Abdul Ghani dari Shaykh Saleh Khatib Daud ibn Shamsuddin. Silsilah ini sejalan dengan silsilah yang terdapat pada naskah Cod. Or 7327 dan Cod. Or.

  • ~50~

    Adanya ketersambungan intelektual antara Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār al-Bantānî ini dengan seorang murid lainnya dari negeri yang sama, yakni Shaykh Ihsanuddin Mindanao. Dalam salah satu naskah karyanya yang berjudul Sayyid al-Ma’ārif Shaykh Ihsanuddin menyebutkan, “... bahwasanya Shaykh kita, Shaykh Haji ‘Abdullah ibn ‘Abdul Qahhār al-Shaṭṭārî al-Shāfi’î Banten telah mengambil Tarekat al-Shaṭṭārî jalan kepada Allah ...” Ungkapan “Shaykh kita” pada petikan tersebut menunjukkan bahwa Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār begitu dihormati oleh muridnya yang berasal dari Mindanao tersebut.

    Naskah Sayyid al-Ma’ārif adalah salah satu manuskrip di antara 49 manuskrip Islam Melayu dan Arab yang terdapat di maktabah/perpustakaan al-Imam Aṣṣādiq, Masjid Karbala, milik ālim Usmān Imam. Naskah ini merupakan warisan dari Haji Muhammad Sa’îd bin Imam sa Bayang atau biasa disebut Sa’îdunā yang merupakan ulama pengembara abad ke 19 asal Mangonaya, Marawi City, Mindanao, yang pernah berkunjung ke Borneo, Riau Lingga, Johor, dan Palembang, tujuh tahun sebelum proses keberangkatannya ke Haramain.

    Lebih jauh bahkan dapat ditelusuri, bahwa hubungan antara ulama Banten dengan murid-muridnya yang berasal dari Mindanao itu tidak hanya terkait dalam kisaran ilmu tasawuf dan tarekat saja, melainkan juga ilmu kebal dan debusnya. Naskah Mindanao dalam hal ini menyebutnya dengan istilah ‘ilmu tabarruk’ yang di dalamnya mencakup Ajian Braja Lima, Braja Sembilan, termasuk Rajah-Rajah, Isim, serta petunjuk puasa tujuh isnain dan tujuh khamis dan mandi

  • ~51~

    tujuh purnama . Namun ‘ilmu tabarruk’ yang disebutkan itu tidak dipelajari dari Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār melainkan dari Kiai lain yang juga ulama Banten, namun belum diketahui dengan pasti. Ulama Banten itu disebut-sebut berasal dari Karang Tanjung, Pandeglang. Adapun muridnya bernama Tuan Haji Basaruddin, orang Mindanao. Sebagaimana disebutkan dalam naskah “... Kiai masih orang Banten di Karang Tanjung nama kampungnya maka mengajar ia kepada Tuan Haji Basaruddin orang Malimdanaw ...”.

    Dalam konteks Kitab ini, justru murid dari Mindanao itu sendiri yang datang ke Banten untuk menimba ilmu-ilmu tersebut, karena di Mindanao sendiri saat itu berada dalam situasi perang menghadapi penjajah Spanyol dan belakangan Amerika. Ilmu-ilmu kekebalan dari Banten tersebut dipandang sangat dibutuhkan masyarakat dalam menghadapi tekanan penjajah sebagaimana halnya masyarakat Kesultanan Banten yang tengah menghadapi tekanan kolonial Belanda.

    Selain itu, dalam salah satu manuskrip fikih yang berjudul al-Mustahal terdapat catatan pinggir (scholia) yang ditulis dengan gaya miring ke berbagai posisi (sebagaimana banyak dijumpai dalam kitab-kitab pesantren tradisional). Catatan pinggir tersebut ditutup dengan ungkapan “... min [dari] Shaykh ‘Abdul Jalāl rahmat Allāh ‘alayhi, qadi Banten ...”. Melihat namanya, sang guru tampaknya adalah ulama fikih yang juga memiliki keterkaitan dengan Kesultanan Banten saat itu.

    Jika ditelaah lebih jauh, Karang Tanjung adalah sebuah desa kecil yang terletak di kaki gunung Karang dan termasuk

  • ~52~

    wilayah kabupaten Pandeglang. Di desa ini setidaknya terdapat tiga makam kuno ulama besar yang kerap diziarahi oleh masyarakat sekitar maupun dari luar daerah, yakni makam Shaykh ‘Abdul Jabbar, makam Shaykh Jumanten Jaga Raksa Nagara, dan makam Shaykh ‘Abdul Halim (guru para ulama Pandeglang semisal Kyai Idrus, pendiri pesantren Turus, Kyai Saleh yang terkenal amat bersahaja, Kyai Halimi, Kyai Ruyani dan masih banyak lagi). Shaykh ‘Abdul Jabbar itulah yang kemungkinan besar menjadi tempat berguru ulama Mindanao tadi.

    Ulama tarekat Shattariyah Banten lainnya adalah Shaykh Muhammad Habib bin Mahmud bin ‘Abdul Qahhar. Jika dicermati dari namanya, ia adalah cucu dari Shaykh ‘Abdul Qahhār (ulama Banten yang berasal dari Arab). Garis genealogis ini menjadi bukti bahwa ia masih memiliki hubungan darah dengan Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār. Setidaknya, ia adalah cucu dari Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār al-Bantānî yang pernah menjadi mufti kesultanan di era Sultan Abū al-Naṣr Muḥammad Zain al-‘Āshiqîn (1753-1777M). Akan tetapi tidak diperoleh informasi komprehensif terkait dengan riwayat hidup dan pendidikannya selama ia hidup. Data yang diperoleh dari naskah al-Jawāhir al-Khamsah Banten (MS A. 37) menyatakan bahwa Shaykh Muhammad Habib adalah putra dari Shaykh Mahmud bin ‘Abdul Qahhār. Bersamaan dengan disalinnya naskah tersebut, ia menginformasikan bahwa ia tengah menjabat sebagai Faqîh Najmuddîn atau Hakim Agung dari Kesultanan Banten. Sultan yang tengah berkuasa saat itu adalah Sultan Abū al-Mafākhir Muhammad ‘Aliyudin (1777-1802). Dapat dipastikan bahwa jabatan itu

  • ~53~

    ia emban sejak keberangkatan pamannya untuk menuntut ilmu ke Haramain sekitar tahun 1745. Setelah pamannya itu kembali, jabatan itu tetap diembannya sehingga Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār lebih memilih mengembara ke wilayah Bogor, Sukabumi, Cirebon, dan terakhir menetap di Cianjur hingga akhir hayatnya.

    Dalam konteks ini, terdapat kaitan erat dengan naskah Shaṭṭārî Muḥammadiyyah yang telah diteliti Dr. Mahrus el-Mawa untuk keperluan penulisan disertasinya. Dalam naskah tersebut, silsilah tarekat Shaṭtāriyah yang diperoleh Kyai Haji Muhammad Yunus berasal dari Shaykh Najmudddîn yang terhubung kepada Shaykh ‘Abdul Muḥyî Safarwadi Pamijahan (1071-1151H/1650-1730M), lalu tersambung kepada Shaykh ‘Abdul Ra’ūf Singkel. Nama Shaykh Najmuddîn yang tercantum dalam silsilah tersebut, ada kemungkinan merupakan gelar bagi tokoh yang disebutkan dalam naskah al- Jawāhir al-Khamsah milik PNRI (MS A. 37) ini dengan nama sebenarnya Shaykh Muhammad Habib bin Mahmud bin ‘Abdul Qahhār, yang kemungkinan merupakan keponakan laki-laki dari Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār al-Bantānî. Tentu saja, kesimpulan ini masih memerlukan penelusuran lebih lanjut untuk membuktikan kebenarannya dan menambah informasi lebih lengkapnya.

    Satu hal yang lebih menarik adalah, bahwa ijāzah dan silsilah tarekat Shattariyah Shaykh Muhammad Habib diperoleh dari ayahnya sendiri, Shaykh Mahmud bin ‘Abdul Qahhār. Shaykh Mahmud sendiri memperolehnya dari ayahnya, Shaykh ‘Abdul Qahhār. Tatakala shaykh Muhammad

  • ~54~

    Habib menyebutkan nama kakeknya, ia menambahkan kata “qaddasa Allāhu asrārahu” yang berarti “semoga Allah mensucikan ruhnya”. Data ini menunjukkan bahwa saat silsilah tersebut ditulis, saat itu sang kakek (Shaykh ‘Abdul Qahhār) telah meninggal dunia. Silsilah tersebut, dari Shaykh ‘Abdul Qahhār lalu tersambung kepada Shaykh ‘Abdul Muhyi Pamijahan, lalu tersambung pula kepada Shaykh ‘Abdul Ra’ūf, dan seterusnya (Naskah al-Jawāhir al-Khamsah, A 37: 53). Ini adalah informasi berbeda, karena pada silsilah yang tertera pada beberapa karya Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār, ijāzah dan silsilah tarekat Shattariyah diperolehnya tidak dari jalur Shaykh ‘Abdul Muhyi dan Shaykh ‘Abdul Ra’ūf Singkel, melainkan dari Shaykh Ibrahim al-Madani bin Muhammad Ṭāhir al-Madani al-Kurdi, sebagaimana diterangkan di atas (Naskah Fatḥ al-Muluk, ff. 50-53). Shaykh Muhammad Ṭāhir sendiri adalah anak sekaligus pengganti Shaykh Ibrahim al-Kurani. Jadi, silsilah dan ijāzah tarekat Shattariyah yang diperoleh Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār justru langsung dari cucu al-Kurani di Makkah, dan tidak melalui jalur yang lain.

    Terakhir, juga ditemukan adanya naskah Keraton Cirebon milik Elang Panji yang menyatakan bahwa Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār al-Bantānî juga merupakan guru bagi ulama tarekat Shattariyah di Cirebon. Dalam naskah tasawuf berbahasa Jawa tersebut dinyatakan bahwa Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār menerima ijāzah dan bai’at tarekat Shattariyah melalui jalur Shaykh Saleh Khatib yang berguru langsung kepada Shaykh al-Qushāshî di Madinah, jadi tidak melalui Shaykh ‘Abdul Ra’ūf Singkel ataupun Shaykh Ibrahim

  • ~55~

    al-Kurani. Jalur silsilah ini mirip dengan silsilah Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār versi Melayu-Mindanao yang dijumpai dalam koleksi Shaykh Muhammad Sa’îd di Marawi City.

    Secara umum, silsilah pada dasarnya merupakan jalinan yang menjelaskan keterhubungan dengan para sufi otoritatif penyebar tarekat yang kepadanya diharapkan diperoleh barakah. Pada sisi lain dapat dijelaskan juga bahwa silsilah-silsilah yang telah disebutkan di atas merupakan fakta yang menjelaskan akan relasi dan legitimasi tarekat Shattariyah Banten dengan dunia yang lebih luas yang bersifat internasional. Silsilah juga merupakan fakta yang dapat menjelaskan otentisitas ajaran tarekat yang dianut, bagaimana transmisi keilmuan dan realitas hubungan sosial itu dapat terjadi secara langsung.

    C. Konteks Sosial-Keagamaan

    Untuk memperoleh gambaran tentang kondisi sosial-keagamaan pada abad ke-18M di Kesultanan Banten sebagai sebuah konteks yang mengilhami dan melatarbelakangi penyalinan sejumlah naskah-naskah keagamaan Islam, khususnya terkait dengan ilmu tasawuf dan tarekat, maka dapat ditelusuri perkembangannya sejak akhir abad ke 17 M. Zaman itu ditandai dengan kemegahan dan kemajuan yang dicapai Kesultanan Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa yang didampingi ulama besar asal Makasar, Shaykh Yusuf al-Makassari. Kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya tunduk kepada kompeni Belanda karena kalah perang selama beberapa tahun. Sultan Ageng Tirtasaya sendiri wafat dalam

  • ~56~

    pengasingan di Batavia tahun 1692. Demikian juga halnya dengan Shaykh Yusuf yang meninggal di pengasingannya, Tanjung Harapan, Afrika Selatan, pada 23 Mei 1699.

    Semasa jayanya sekitar abad ke-16 dan ke-17, Pelabuhan Banten merupakan pusat perdagangan internasional yang penting di Nusantara. Orang-orang Banten kerap menjalin hubungan perdagangan dengan banyak mitra dagangnya dari berbagai negara, seperti dari Inggris, Denmark, Cina, Indo-Cina, India, Persia, Filipina, dan Jepang. Kapal-kapal Kesultanan Banten juga banyak yang melakukan pelayaran ke berbagai wilayah Nusantara, bahkan hingga ke manca negara. Hubungan diplomatik dengan beberapa negara Eropa dan Asia lain juga terjalin melalui pengiriman duta-duta besar. Dengan demikian, dapat dibayangkan begitu ramainya kota pelabuhan Banten saat itu, sehingga pelajar-pelajar Muslim kerap datang dan pergi untuk menimba ilmu di Kesultanan ini.

    Posisi sebagai ‘kota pelajar’ abad ke-16M dan 17M itu kemudian berangsur meredup seiring melemahnya kekuasaan politik dan militer Sultan Ageng Tirtayasa. Terutama semenjak dipagang putranya, Sultan Haji Abu Naṣr ‘Abdul Qahhār (1682-1687) dan beberapa Sultan sesudahnya. Semenjak itu Kesultanan Banten kerap dilanda perang saudara untuk memperebutkan kursi Kesultanan yang sering kali juga dipropagandai Belanda. Dalam suasana seperti itu, rakyat makin menderita akibat diterapkannya pajak yang tinggi, juga akibat praktek monopoli dagang yang dipaksakan oleh Kompeni. Sementara pihak Kesultanan tak mampu

  • ~57~

    berbuat banyak apalagi menolak, karena telah dililit hutang beserta bunganya yang makin membengkak. Seluruh biaya perang yang pernah dikeluarkan pihak Kompeni juga harus dibayarkan oleh pihak Kesultanan. Seluruh kewajiban itu tertuang dalam perjanjian yang ditanda-tangani Sultan Haji pada 17 April 1684 dan terpaksa harus ditaati oleh seluruh keturunan dan Sultan-Sultan penerusnya kelak.

    Pertempuran besar yang menelan banyak korban selanjutnya terjadi sepanjang tahun 1750-1753, terutama yang dipimpin oleh Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang. Pertempuran itu berakhir dengan kesepakatan yang sangat merugikan pihak Kesultanan Banten pada tahun 1752. Tidak mengherankan jika kemudian banyak terjadi kerusuhan, pemberontakan, perampokan, serta pembunuhan yang dilatarbelakangi oleh kesulitan ekonomi dan sulitnya hidup yang dialami rakyat, meski sebagian pihak kesultanan tetap menikmati kemudahan hidup yang relatif terjamin atas back up kompeni Belanda.

    Dari sebagian kaum bangsawan, juga terdapat kaum ulama dan terpelajar yang ikut menikmati jaminan hidup di bawah lindungan kompeni Belanda. Hal itu dapat dibuktikan di mana pada sejumlah naskah perjanjian yang ditanda-tangani Sultan Banten sejak masa Sultan Haji hingga masa-masa akhir Kesultanan, ternyata dapat kita temukan sejumlah nama ulama yang ikut menyetujui perjanjian itu, meskipun secara substansi sangat merugikan Kesultanan dan rakyat Banten secara umum. Dalam perjanjian antara Sultan Haji dengan Belanda pada 17 April 1684 misalnya, Kiyai Suko Tajuddin juga

  • ~58~

    ikut menanda-tangani perjanjian itu, di samping Pangeran Dipaningrat, Pangeran Natanagara dan Pangeran Natawijaya. Demikian juga pada perjanjian terkait kudeta tak berdarah Ratu Sharifah Fatimah bersama menantu atau keponakannya, Sultan Sharif ‘Abdullah, terhadap Sultan Zainal Arifin pada 28 Nopember 1748 yang ditetapkan Gubernur Jenderal Gustaff Willem Baron van Imhoff, terdapat nama-nama seperti: Pangeran Kusuma Ningrat selaku perdana menteri, Faqîh Najmuddîn, penghulu ‘Abdul Ra’ūf, penghulu ‘Abdul Muluk, penghulu ‘Abdul Salman, dan penghulu Muhammad Hamim.

    Dengan demikian, baik pihak keluarga Kesultanan maupun kaum ulama, ada yang cenderung memilih posisi aman dengan berlindung di bawah proteksi pemerintah kompeni Belanda dan Sultan, dan ada ulama yang berposisi menentang segala kebijakan yang merugikan Kesultanan serta yang berakibat pada penyengsaraan rakyat. Kaum ulama yang mengambil sikap menentang kebijakan kompeni maupun kebijakan sultan yang sudah tunduk pada penjajah kebanyakan kemudian menyingkir ke daerah pedalaman, terutama ke daerah Banten wilayah selatan untuk kemudian mendirikan pesantren dan pusat tarekat. Tipe ulama seperti ini biasanya ada yang nyata-nyata menonjolkan penentangan dan ketidak-setujuannya terhadap pihak istana dengan memobilisasi masa dan mengangkat senjata. Hal ini seperti yang ditunjukkan Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang. Ada pula tipe ulama yang tidak menunjukkan secara nyata penentangannya terhadap kompeni Belanda maupun Sultan, tetapi tetap menyingkir dari istana dan tidak mau lagi berhubungan dengan segala yang terkait dengan Kesultanan.

  • ~59~

    Perpecahan di kalangan ulama itu memang sudah terjadi sejak masa Maulana Muhammad (1580-1596M) berkuasa, terutama sejak kedatangan Kiai Dukuh yang berasal dari Arab yang kemudian bergelar Pangeran Kasunyatan. Sejak itu, seakan terjadi dualisme terkait posisi ulama dalam Kesultanan Banten, karena di samping qāḍî yang telah lebih dulu ada, ternyata juga terdapat semacam ‘perguruan’ di Kasunyatan, meski bersifat non-formal. Oleh karenanya dapat disimpulkan, bahwa di Banten kala itu terdapat dua tipe ulama, yakni ulama kota dan desa. Keduanya ada yang bersifat independen dan ada yang bersifat ambivalen. Di kota sendiri, ada ulama istana/kraton yang tunduk pada Sultan, ada pula yang bersikap independen yang posisinya kadang dekat dengan Sultan, tapi terkadang juga mengambil jarak dengan Sultan. Untuk mengambil jarak biasanya mereka akhirnya hijrah ke desa. Pada tahun 1780 terjadi konflik antara qadi dengan ulama kota independen akibat perbedaan pendapat dalam tata cara menentukan awal dan akhir puasa bulan Ramadan. Karena Sultan Abu al-Mafākhir Muhammad Aliyuddin (1777-1802) lebih memilih cara-cara yang diperkenalkan oleh seorang ulama yang baru kembali dari Makkah, akibatnya sang qāḍî memilih mundur dan meletakkan jabatannya. Qāḍî tersebut tidak lain adalah Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār al-Bantānî. Dan ia akhirnya memilih untuk pindah ke Cianjur lalu ke Cirebon hingga wafatnya.

    Kemudian, siapakah yang dimaksud dengan “seorang ulama yang baru kembali dari Makkah” itu? Hingga kini belum bisa dipastikan, apakah yang dimaksud dalam “ungkapan sindiran” tersebut adalah Shaykh Muhammad

  • ~60~

    Habib bin Mahmud, yang tidak lain adalah cucu dari Shaykh ‘Abdul Qahhār alias keponakan dari Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār sendiri atau ulama lainnya. Peristiwa tersebut bertepatan dengan wafatnya Sultan Banten ke 12, yakni Sultan Abu Nasr Muhammad Zain al-‘Āsh