hybrid contract dalam keuangan syariah

138
Hybrid Contract dalam Keuangan Syariah Posted on : 22-04-2013 | By : Agustianto | In : Artikel , Fikih Muamalah 35 Perkembangan perbankan dan keuangan syariah syariah mengalami kemajuan yang sangat pesat dan menghadapi tantangan yang makin kompleks. Perbankan dan lembaga keuangan syariah harus bisa memenuhi kebutuhan bisnis modern dengan menyajikan produk- produk inovatif dan lebih variatif serta pelayanan yang memuaskan. Tantangan ini menuntut para praktisi, regulator, konsultan, dewan syariah dan akademisi bidang keuangan syariah untuk senantiasa aktif dan kreatif dalam memberikan respon terhadap perkembangan tersebut. Para praktisi dituntut secara kreatif melakukan inovasi produk; regulator membuat regulasi yang mengatur dan mengawasi produk yang laksanakan oleh praktisi, Dewan syariah dituntut secara aktif dan kreatif mengeluarkan fatwa-fatwa yang dibutuhkan industri sesuai tuntutan zaman, dan akademisi pun dituntut memberikan pencerahan ilmiah dan tuntunan agar produk maupun regulasi mendukung kebutuhan industry modern dan benar-benar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip syariah. Salah satu pilar penting untuk menciptakan produk perbankan dan keuangan syariah dalam menyahuti tuntutan kebutuhan masyarakat modern, adalah pengembangan hibryd conctract (multi akad). Bentuk akad tunggal sudah tidak mampu meresponi transaksi keuangan kontemporer. Metode hybrid contracy seharusnya menjadi unggulan dalam pengembangan produk. Dr Mabid Al-Jarhi, mantan direktur IRTI IDB pernah mengatakan, kombinasi akad di zaman sekarang adalah sebuah keniscayaan. Cuma masalahnya, literatur ekonomi syariah yang ada di Indonesia sudah lama mengembangkan teori bahwa syariah tidak membolehkan dua akad dalam satu transaksi akad (two in one). Larangan ini ditafsirkan secara dangkal dan salah, sehingga menyempitkan pengembangan produk bank syariah. Padahal syariah membolehkannya dalam ruang lingkup yang sangat luas. Harus difahami, bahwa larangan two in one hanya terbatas dalam dua kasus saja sesuai dengan sabda-sabda Nabi Muhammad SAW yang terkait dengan itu. Two in one tidak boleh diperluas kepada masalah

Upload: inam-fanany-za

Post on 19-Jan-2016

239 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

gopd good in'am fanany za

TRANSCRIPT

Page 1: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Hybrid Contract dalam Keuangan Syariah

Posted on : 22-04-2013 | By : Agustianto | In : Artikel, Fikih Muamalah 35

Perkembangan perbankan dan keuangan syariah syariah mengalami kemajuan yang sangat pesat dan menghadapi tantangan yang makin kompleks. Perbankan dan lembaga keuangan syariah harus bisa memenuhi kebutuhan bisnis modern dengan   menyajikan produk-produk   inovatif dan lebih variatif serta  pelayanan yang memuaskan.   Tantangan  ini menuntut para praktisi, regulator, konsultan, dewan syariah dan  akademisi bidang keuangan syariah untuk senantiasa aktif dan kreatif dalam memberikan respon terhadap perkembangan tersebut. Para praktisi dituntut secara kreatif melakukan inovasi produk; regulator membuat regulasi yang mengatur dan mengawasi produk yang laksanakan oleh praktisi, Dewan syariah dituntut secara aktif dan kreatif mengeluarkan fatwa-fatwa yang dibutuhkan industri sesuai tuntutan zaman,  dan akademisi pun dituntut memberikan pencerahan ilmiah dan tuntunan agar produk maupun regulasi mendukung kebutuhan industry modern dan benar-benar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip syariah.

Salah satu pilar penting untuk menciptakan produk perbankan dan keuangan syariah dalam menyahuti tuntutan kebutuhan masyarakat modern, adalah pengembangan hibryd conctract (multi akad).  Bentuk akad tunggal sudah tidak mampu meresponi transaksi keuangan kontemporer. Metode hybrid contracy seharusnya menjadi unggulan dalam pengembangan produk. Dr Mabid Al-Jarhi, mantan direktur IRTI IDB pernah mengatakan, kombinasi akad di zaman sekarang adalah sebuah keniscayaan. Cuma masalahnya, literatur ekonomi syariah yang ada di Indonesia sudah lama mengembangkan teori bahwa syariah tidak membolehkan dua akad dalam satu transaksi akad (two in one). Larangan ini ditafsirkan secara dangkal dan salah, sehingga menyempitkan pengembangan produk bank syariah. Padahal syariah membolehkannya dalam ruang lingkup yang sangat luas.

Harus difahami, bahwa larangan two in one hanya terbatas dalam dua kasus saja sesuai dengan sabda-sabda Nabi Muhammad SAW yang terkait dengan itu. Two in one tidak boleh diperluas kepada masalah lain yang tidak relevan dan tidak pas konteksnya. Para dosen, ahli ekonomi syariah, bankir syariah dan konsultan harus mempelajari secara mendalam pandangan ulama tentang akad two in one dan al-ukud al-murakkabah, agar pemahaman terhadap design kontrak syariah, bisa lebih komprehensif, dinamis dan tidak kaku. Kekakuan itu bisa terjadi karena kedangkalan metodologis syariah dan kelangkaan litaratur yang sampai kepada kita.

Memang ada tiga buah hadits Nabi Saw yang menunjukkan larangan penggunaan hybrid contract. Ketiga hadits itu berisi tiga larangan,  pertama larangan  bay’ dan salaf, larangan bai’ataini fi bai’atin, dan larangan shafqataini fi shafqatin. Ketiga hadits itulah yang selalu dijadikan rujukan para konsultan dan banker syariah tentang larangan two in one. Namun harus dicatat, larangan itu hanya berlaku kepada dua kasus, karena maksud hadits kedua dan ketiga sama, walaupun redaksinya berbeda. Telaah dan analisis atas ketiga hadits ini akan diuraikan pada paparan  selanjutnya.

Pandangan Ulama

Page 2: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Aliudin Za’tary dalam buku Fiqh Muamalah Al-Maliyah  al-Muqaran mengatakan “ Tidak ada larangan dalam syariah tentang  penggabungan dua akad dalam satu transaksi, baik akad  pertukaran (bisnis) maupun akad tabarru’. Hal ini berdasarkan keumuman dalil-dalil  yang memerintahkan  untuk  memenuhi (wafa)  syarat-syarat dan akad-akad”

Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum hybrid contract adalah sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Ulama  yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya. (Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 69). Kecuali menggabungkan dua akad yang menimbulkan riba atau menyerupai riba, seperti menggabungkan qardh dengan akad yang lain, karena adanya larangan hadits menggabungkan jual beli dan  qardh. Demikian pula menggabungkan jual beli cicilan dan jual beli cash dalam satu transaksi

Menurut Ibn Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.( Ibn Taimiyah, Jâmi’ al-Rasâil, j. 2, hal. 317)

Nazih Hammad dalam buku  al-’Uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy menuliskan, ”Hukum  dasar dalam  syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi  hybrid contract , selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati. (Nazîh Hammâd, al-’uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy, hal.

Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama.(Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 1, hal. 344)

Al-Syâtiby menjelaskan perbedaan antara hukum asal dari ibadat dan muamalat. Menurutnya, hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum.  Sedangkan hukum asal dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifât ila ma’âny). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan (ta’abbud).[1] ( Al-Syâtiby, al-Muwâfaqât, j. 1, hal. 284)

Pendapat ini didasarkan pada beberapa nash yang menunjukkan kebolehan multi akad dan akad secara umum. Pertama firman Allah dalam surat al-Mâidah ayat 1 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah olehmu akad-akad”. (QS. Al-Mâidah : 1)

Istilah Hibrid Contract dan Pengertiannya .

Page 3: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Buku-buku  teks fikih muamalah kontemporer,  menyebut istilah hybrid contract dengan  istilah yang beragam,  seperti     al-’uqûd  al-murakkabah, al-’uqûd  al-muta’addidah , al-’uqûd al-mutaqâbilah, al-’uqûd al-mujtami’ah,  dan al-’Ukud al-Mukhtalitah, Namun istilah yang paling populer ada dua macam , yaitu al-ukud al-murakkabah dan al-ukud al mujtami’ah.

Al-“Imrani dalam buku Al-Ukud al-Maliyah al-Murakkabah mendefinisikan hybrid contract yaitu “Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih –seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sahraf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah … dst.– sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.”

Macam-macam hybrid contract

Pertama, Multi Akad yang mukhtalithah (bercampur) yang memunculkan nama baru, seperti bay’ istighlal , bay’  tawarruq, musyarakah mutanaqishah dan bay wafa’.

Jual beli istighlal merupakan percampuran 3 akad, yaitu 2 akad jual beli dan ijarah, sehingga bercampur  3 akad. Akad ini disebut juga  three in one

Jual Beli Tawarruq percampuran 2 akad jual beli. Jual Beli 1 dengan pihak pertama, Jual Beli kedua dengan pihak ketiga.

Musyarakah  Mutanaqishah (MMQ). Akad ini campuran akad syirkah milik dengan  Ijarah  yang mutanaqishah atau jual beli yang disifati dengan mutanaqishah (decreasing). Percampuran akad-akad ini melahirkan nama baru, yaitu musyarakah mutanaqishah (MMQ). Substansinya hampir sama dengan IMBT, karena pada akhir periode barang menjadi milik nasabah, namun  bentuk ijarahnya berbeda,  karena transfer of title ini bukan dengan janji hibah atau beli, tetapi karena transfer of tittle yang mutanaqishah, karena itu  sebutannya ijarah saja, bukan IMBT.

Bay’ wafa’ adalah percampuran (gabungan) 2 akad jual beli yang melahirkan nama baru. Pada  awal kelahirannya di abad 5 Hijriyah, akad  ini merupakan multiakad (hybrid), tetapi dalam proses sejarah menjadi 1 akad, dengan nama baru  yaitu bay wafa’.

Kedua Hybrid Contract yang mujtami’ah/mukhtalitah dengan nama akad baru, tetapi menyebut nama akad yang lama, seperti  sewa beli (bay’ at-takjiry) Lease and purchase. Contoh lain  ialah mudharabah musytarakah pada life insurance dan deposito bank syariah.

Contoh lainnya yang cukup menarik  ialah menggabungkan wadiah dan mudharabah pada GIRO, yang biaa disebut   Tabungan dan Giro Aotomatic Transfer Mudharabah dan Wadiah. Nasabah mempunyai 2 rekening, yakni tabungan dan giro sekaligus.(2  rekening dlm 1 produk).Setiap rekening dapat pindah secara otomatis jika salah rek membutuhkan.

Ketiga Hybrid  contract, yang akad-akadnya  tidak bercampur dan tidak melahirkan nama akad baru. tetapi nama akad dasarnya tetap ada dan eksis dan dipraktekkan dalam suatu transaksi. Contohnya :

Page 4: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

1. Kontrak  akad pembiayaan take over pada  alternatif 1 dan 4 pada fatwa DSN MUI No  31/2000

2. Kafalah wal ijarah pada kartu kredit,

3. Wa’ad untuk wakalah murabahah, ijarah, musyarakah, dll pada pembiayaan rekening koran or line facility

5. Murabahah wal wakalah pd pembiayaan murabahah basithah.

6.Wakalah bil ujrah pada L/C, RTGS,  General Insurance, Factoring,

7.Kafalah wal Ijarah pada LC, Bank Garansi, pembiayaan multi jasa / multi guna, kartu kredit.

8.Mudharabah wal murabahah/ijarah/istisna pada pembiayaan terhadap karyawan koperasi instansi.

9. Hiwalah bil Ujrah pada factoring.

10. Rahn wal ijarah pada REPO SBI dan SBSN

11.Qardh, Rahn dan Ijarah pada produk gadai emas di bank syariah

Keempat, Hybrid Contract  yang  mutanaqidhah (akad-akadnya berlawanan).  Bentuk ini dilarang dalam syariah.  Contohnya menggabungkan akad     jual beli dan pinjaman (bay’ wa salaf). Contoh lain, menggabungkan qardh wal ijarah dalam satu akad. Kedua contoh tersebut dilarang oleh nash (dalil) syariah, yaitu hadits Rasulullah Saw.  Contoh lainnya  : menggabungkan  qardh dengan janji hadiah

Contoh-contoh penerapan hybrid contract di atas, masih perlu penjelasan luas dan memadai, namun karena ruangan kolom  yang terbatas, kajiannya besifat ringkas. Selain itu pembahasan tentang konsep hybrid contract ini dan penerapannya dalam transaksi perbankan dan keuangan masih membutuhkan kajian yang panjang.  Namun demikian, para pembaca yag ingin mendalami hyibrid contract dalam teori dan aplikasinya secara mendalam dapat mengikuti Training dan Workshop Fikih Muamalah perbankan dan keuangan level advance yang digelar setiap bulan di kantor MES Pusat Jakarta.

Oleh : Agustianto

Page 5: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Asas Pengembangan Akad dalam Ekonomi Syariah

0

Posted on : 25-04-2013 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics 7Oleh : AgustiantoKetua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Pascasarjana UI

Formulasi akad-akad dalam hukum ekonomi syariah yang menjelma menjadi produk-produk keuangan dibangun di atas asas-asas syariah yang fundamental. Setidaknya ada empat asas utama  yang harus dijadikan landasan dalam pengembangan akad dan produk ekonomi dan keuangan  syariah.Pertama adalah Maslahah, berarti semua aktifitas ekonomi syariah harus dilakukan atas dasar pertimbangan kemaslahatan, dalam arti ; mendatangkan kemanfaatan dan menghindarkan mudharat/bahaya ( jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid) Konsekuensi logis dari asas  ini ada dua hal, pertama, segala bentuk bisnis dan keuangan yang mendatangkan manfaat (utility) dan kebajikan adalah maslahah dan karena itu ia adalah syariah. Hal ini sesuai dengan kaedah ushul fiqh Mata wujidatil maslahah fa tsamma syar’ul (Segala sesuatu yang mengandung maslahah, hal itu adalah syariah).  Kedua bahwa segala bentuk mu’amalat yang dapat merusak (mafsadat) atau mengganggu kehidupan masyarakat tidak dibenarkan, seperti riba, spekulasi, perjudian, penipuan, penjualan narkotika secara tidak sah, prostitusi dan sebagainya.Kedua, asas kemudahan (taysir) , keringanan (takhfif) dan ‘adamul haraj (menghindarkan kesulitan). Taysir, takhfif dan ‘adamul haraj memiliki makna yang identik, karena itu ketiganya dipandang sebagai satu asas. Jadi, asas kedua dalam syariah Islam adalah kemudahan, keringanan dan menghindarkan kesulitan. Namun banyak orang yang tidak memahami syariah, menganggap syariah itu sulit dan ribet. Padahal sangat banyak ayat Alquran dan hadits yang menyebutkan bahwa syariah Islam menghendaki kemudahan dan menolak kesulitan.Sejumlah ayat Alquran menunjukkan dengan tegas tentang asas kemudahan dan keringanan ini. Sebagaimana dalam firman Allah SWT di dalam surat al-Baqarah: 185 “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)Surat al-Hajj ayat 78 dinyatakan: “Dan dia sekali-kali Allah tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. Dalam surat al-Maidah ayat 6, Allah SWT berfirman: “Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu sekalian”. Ayat lain yang menjadi rujukan asas  ini adalah QS. Al-Nisa’ ayat 28: yuridullahu an-yukhaffifa ‘ankum“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu”Selain Alquran, banyak pula hadits Nabi SAW yang menjadi asas muamalah ini, di antaranya adalah:“Agama itu adalah mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”.Dalam hadits lain disebutkan “Yassiru wa la Tu’assiru“ Mudahkanlah dan jangan mempersukar”.Sabda Nabi Saw “Kalian semua (kaum muslimin dengan perantara Nabi SAW) diutus untuk memberi kemudahan; tidak untuk menyulitkan”. (HR. Bukhari dan Muslim)Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya agama Allah adalah agama yang mudah’. (Kata-kata itu) diucapkan tiga kali.” (HR. Ahmad)

Page 6: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan di antara dua perkara, kecuali beliau memilih yang lebih mudah atau ringan, selama yang lebih mudah itu bukan perbuatan dosa.” (HR. Bukhari dan Muslim)“Permudahlah dan jangan mempersulit (Yassiru wa la tu’assiru).”

Sabda Nabi Saw, “Aku diutus untuk membawa agama yang Mudah”(Bu’itstu bil hanafiyyah as- samhah).

Pengembangan produk-produk keuangan dan perbankan syariah harus didasarkan kepada asas dan prinsip ini, agar lembaga bisnis dan keuangan syariah cepat berkembang, lincah, lues dan fleksibel dan menghadapi kemajuan bisnis kontemporer. Mengabaikan prinsip kedua ini akan membuat produk dan gerak bank syariah menjadi kaku dan rumit.  Atas dasar asas taysir (dan tentu saja maslahah juga), maka Fatwa DSN membolehkan kartu kredit syariah, Pembiayaan Rekening Koran Syariah. Atas dasar asas ini pula syariah membolehkan hedging untuk tujuan maslahah, Margin During Contruction untuk Pembiayaan Pertanian, pembiayaan multiguna,KTA syariah,  refinancing pada bentuk-bentuk tertentu, commodity syariah, pembiayaan property indent dengan Musyarakah Mutanaqishah, Ijarah maushufah fiz zimmah, Sewa-beli (bay’ al-istikjar), bay’ wafa’. Bay istighlal, bay taqsith. Semuanya didasarkan kepada prinsip kemudahan dan  kemaslahatan.Ketiga adalah asas kebolehan, yang biasa disebut Mubah, artinya segala bentuk aktifitas dalam ekonomi (mu’amalat) pada dasarnya hukumnya adalah boleh (mubah), kecuali jika ditentukan lain oleh suatu dalil. Prinsip (kaidah) ini merupakan landasan dalam menentukan hukum suatu transaksi ekonomi. Saya tidak sependapat dengan pihak yang beranggapan bahwa praktik ekonomi syariah banyak membawa kesulitan. Menurut hemat saya, kaidah syariah di atas menunjukkan bahwa hukum Islam memberi kesempatan luas bagi perkembangan bentuk dan macam mu’amalat baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat. Atas dasar itu, maka dikembangkan teori-teori hybrid contracts, pemilihan system anuitas pada murabahah, mudharabah muntahiyah bit tamlik, mudharabah bil wadi’ah (gabungan akad mudharabah dan wadi’ah), sewa beli (lease and purchase ; tanpa akad janji hibah), gabungan hiwalah dan syirkah pada factoring, dsb.Keempat adalah Adil, artinya setiap aktifitas ekonomi harus mengarah pada terciptanya keadilan dan keseimbangan (al-’adlu wa at-tawazun). Ekonomi syariah harus dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan dan menghindari unsur-unsur kezaliman. Segala bentuk aktifitas ekonomi yang mengandung unsur penindasan tidaklah dibenarkan. Setiap aktifitas ekonomi harus memperhatikan keseimbangan antara pihak-pihak yang melakukan transaksi. Prinsip ini menekankan perlu adanya keseimbangan sikap dalam melakukan aktifitas perekonomian. Misalnya, setiap upaya untuk mendapatkan keuntungan tentu saja di situ ada resiko-resiko kerugian yang harus ditanggungnya. Jika keuntungan yang diharapkan lebih besar, di situ faktor resiko kerugiannya juga lebih besar. Sebaliknya, setiap transaksi bisnis yang mempunyai resiko besar, biasanya juga menjanjikan keuntungan yang besar pula. Harus ada sikap proporsional antara upaya meraih keuntungan dan kesiapan untuk menanggung kerugian, sesuai kaidah al-ghunmu bil-ghurmi wal-ghurmu bil-ghunmi. Setiap investor yang menerima keuntungan dari investasi, harus siap menerima kerugian ketika bisnis mengalami kerugian (al-kharaj bidh-dhaman)

Page 7: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

10 Alasan Mengapa Teori dan Praktik Hybrid Contracts Perlu Dipahami dalam Mengembangkan Perbankan dan Keuangan Syariah

0

Posted on : 25-04-2013 | By : Agustianto | In : Artikel, Fikih Muamalah 5

Oleh : Agustianto Mingka

(Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Dosen Pascasarajana Keuangan Syariah  Universitas Indonesia dan Trainer Iqtishad Consulting)

Hybrid Contracts sebenarnya bukanlah teori baru dalam  khazanah fikih muamalah. Para ulama klasik Islam sudah lama mendiskusikan topic ini berdasarkan dalil-dalil syara’ dan ijtihad yang shahih. Namun, dalam kajian fikih muamalah di pesantren bahkan di Perguruan Tinggi Islam, isu ini kurang banyak dibahas, karena belum banyak bersentuhan dengan realita bisnis  di masyarakat. Pada masa kemajuan lembaga keuangan dan perbankan di masa sekarang, konsep dan topichybrid contracts kembali mengemuka dan menjadi teori dan konsep yang tak terelakkan. Sejumlah buku dan karya ilmiah pun bermunculan membahas dan merumuskan teori al-‘ukud al-murakkabah (hybrid contracts) ini, terutama karya-karya ilmiah dari Timur Tengah .

Tanpa memahami konsep dan teori hybrid kontracts, maka seluruh stake holders ekonomi syariah akan mengalami kesalahan dan kefatalan, sehingga dapat menimbulkan kemudhratan, kesulitan dan kemunduran bagi industri keuangan dan perbankan syariah. Semua pihak yang berkepentingan dengan ekonomi syariah, wajib memahami dan menerapkan konsep ini, mulai dari dirjen pajak, regulator (BI dan OJK), bankers/praktisi LKS,  DPS, notaris, auditor, akuntan, pengacara, hakim, dosen (akademisi), dsb. Jadi semua pihak yang terkait dengan ekonomi dan keuangan syariah wajib memahami teori dan praktek ini dengan tepat dan dengan baik.

Setidaknya terdapat 10 alasan utama mengapa teori dan praktek hybrid contracts, perlu dan wajib diketahui terutama oleh praktisi keuangan/perbankan syariah, regulator, pejabat pajak, pakar ekonomi Islam, DPS, akuntan, notaries, auditor  dan praktisi hukum ekonomi syariah:

Pertama :,karena hybrid contracts terkait dengan  pajak. Banyak produk perbankan dan keuangan syariah yang mengandung hybrid contracts, seperti Musyarakakah Mutanaqishah (MMq), Ijarah Muntahiyah bit Tamlik (IMBT),  pembiayaan take over, pembiayaan rekening koran, line facility, pasar uang syariah dengan commodity syariah dan masih banyak lagi. Pejabat dirjen pajak harus memahami teori hybrid contracts dengan tepat agar tidak salah dalam penagihan pajak.

Page 8: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Kedua, hybrid contracts terkait dengan akuntansi dan PSAK, karena dari sekian banyak akad dalam sebuah produk pembiayaan, harus diketahui akad mana yang dicatatkan dalam pembukuan. Dalam akad MMq misalnya, apakah akad ijarah atau musyarakah yang dicatatkan, demikian pula dalam hybrid contracts  lainnya, seperti kafalah bil ujrah pada L/C, hiwalah bil ujrah pada anjak piutang, wakalah bil ujrah pada factoring, produk gadai yang mengandung tiga akad, rahn, qardh dan ijarah. Apakah penerapan hybrid contracts membutuhkan PSAK baru yang lebih relevan dengan teori hybrid contracts.

Ketiga, hybrid contracts sangat terkait dengan inovasi produk. Bank-bank syariah yang ingin mengembangkan dan menginovasi produk harus memahami teori hybrid contracts agar bank syariah bisa unggul dan dapat bersaing dengan konvensional. Dengan demikian, peranan hybrid contracts sangat penting bagi insdustri perbankan dan keuangan. Jangan sampai terjadi banker syariah menolak peluang yang halal karena kedangkalan keilmuan tentang teori-teori pengembangan akad-akad syariah. Untuk itu teori hybrid contracts harus digunakan dan difahami dgn baik agar bank syariah bisa lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan produk-produknya. Selain itu hybrid contracts terkait dengan manajemen risiko, termasuk risiko hukum, karena itu praktisi bank syariah mutlak harus memehami teori dan prakteknya

Keempat hybrid contracts terkait dengan regulasi. Para regulator (Bank Indonesia dan para direktur lembaga keuangan syariah di  OJK) harus memahami dengan baik teori dan praktek ini agar tidak salah dalam membuat aturan. Kesalahan dalam membuat regulasi, akan berbahaya dan mengganggu pengembangan bank syariah dan LKS.

 

Kelima hybrid contracts terkait dengan putusan hakim di Pengadilan, putusan arbitrer di Basyarnas dan terkait dengan risiko hukum. Para hakim yang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah wajib memahami ini. Berapa banyak putusan pengadilan yang salah, akibat tidak memahami teori hybrid kontracts, contoh kasus pembiayaan take over di Bukit Tinggi. Maka pengacara syariah juga harus mengerti tentang teori dan praktik hybrid contracts agar tidak salah dalam melihat akad akad yg serba hybrid, seperti musyarakah mutanaqishah, pembiayaan take over, novasi, IMBT, dll

 

Keenam hybrid contracts terkait dgn struktur draft kontrak. Teori hybrid contracts akan memandu (memberi pedoman) kepada legal officer dan notaris, akad-akad apa saja yang bisa disatukan dalam satu draft perjanjian (kontrak) dan akad-akad apa saja yang harus dipisahkan. Bahkan sampai kepada akad-akad apa saja yang harus dinotarilkan dan akas-akad apa saja yang dibuat di bawah tangan.

Ketujuh, hybrid contracts terkait dengan aspek syariah (syariah compliance). Apakah hybrid contratcs (multi akad) itu mengandung riba atau gharar, apakah hybrid itu mengandung ta’alluq yang diharamkan, apakah hybrid contracts itu termasuk akad bay’atain fi bay’atin atau shafqatain fi shafqah. Bagaimana penafsiran para ulama tentang hadits itu. Apa dan bagaimana dalil mereka?, Pendapat mana yang paling rajih (kuat) dan paling maslahah.

Page 9: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Bagaimana pula akad hybrid yang muallaq), dsb. Semua pertanyaan itu dibahas secara tuntas dan mendalam dalam workshop hybrid contracts.

Kedelapan, hybrid contracts terkait dengan biaya (cost) notaris. Kalau notaries tidak memahami teori hybrid, maka semua akad-akad dalam satu produk, akan dikenakan biaya, semakin banyak akad dalam satu produk, maka akan semakin banyak biayanya. Misalnya produk pembiayaan take over terdiri dari 3 akad, MMq terdiri dari 4 akad, IMBT terdiri dari 2 akad ditambah wa’ad, kartu kredit terdiri dari 3 akad, gadai (bisa) terdiri dari 3 akad, ijarah bertingkat (dua akad), begitu pula ijarah multijasa.  Bahkan pembiayaan murabahah bisa terdiri dari 3 akad, murabahah, wakalah dan jaminan. Berhubung banyaknya akad dalam satu produk, maka teori hybrid contracts ini harus difahami notaries dan legal officer dengan baik.

Kesembilan, hybrid contracts terkait dengan hukum positif (harmonisasi) dgn hukum positif. Hal ini termasuk masalah penting, karena banyak sekali notaries yang salah faham tentang akad-akad syariah, karena tidak memahami teori syariah tentang hybrid contracts. Hybrid contracts dirumuskan kadang sebagai makharij (jalan keluar) untuk mewujudkan sharia compliance yaitu agar kontraknya halal dan sesuai  syariah, karena itu semua akad itu harus dilaksanakan walaupun kelihatan seperti berputar (berbelit), tetapi semua itu dimaksudkan untuk kepatuhan kepada syariah, Dalam prakteknya, terkadang tidak semua akad-akad itu harus dinotarilkan sebagai akad otentik. Hal ini terjadi misalnya dalam akad pembiayaan KPR melalui Musyarakah Mutanaqishah, termasuk pembiayaan take over, instrument commodity syariah untuk pasar uang, pembiayaan multiguna syariah, hedging dengan Islamic swap, dan sebagainya.

Kesepuluh hybrid contracts terkait dengan ke-simple-an dan efisiensi. Tanpa memahami teori hybrid contracts selalu terjadi pemborosan (tenaga dan kertas) dan pengulangan pasal-pasal perjanjian yang tidak perlu. Seringkai terjadi format-format akad yang terlalu tebal, karena pasal-pasalnya berulang-ulang di setiap judul akad, dan ini menimbulkan pemborosan tenaga,  kertas, dan biaya lainnya, seperti yang telah terjadi saat ini dimana praktisi perbankan memisahkan akad Musyarakah Mutanaqishah dan ijarah, padahal keduanya bisa disatukan, sehingga lebih efisien dan simple, Demikian pula pada pembiayaan take over, sindikasi dan lain-lain sebagainya.

Berdasarkan 10 alasan di atas, maka Iqtishad Consulting, kembali menggelar Workshop Nasional Hybrid Contracts dalam Produk Perbankan dan Keuangan Syariah di Jakarta, Hotel Sofyan, Jakpus, tgl  20-21 Juni 2013. Pembicara Agustianto Mingka dan Dr.A.Riawan Amin,M.Sc. Biaya Per Peserta Rp 2,5 juta. Jika Group minimal 3 orang mendapatkan diskon special @Rp 2.200.000. Berminat ? Hubungi  Direktur Iqtishad Consulting Joko Wahyuhono (HP )

  

Page 10: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Leverage Model Bank Syariah

0

Posted on : 22-12-2012 | By : Agustianto | In : Artikel, Perbankan Syariah 16

Oleh : Agustianto Mingka

Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Pascasarjana UI

Salah satu rekomendasi penting Silaturrahim Nasional Masyarakat Ekonomi Syariah yang baru digelar 15 Desember 2012 ialah perlunya menerapkan leverage model untuk akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia. Ketua Umum Assosiasi Bank Syariah Indonesia Yuslam Fauzi membacakan rekomendasi tersebut. Beberapa waktu sebelumnya Bank Indonesia sudah mengkaji rencana penerapan leverage model tersebut untuk segera diterapkan sebagai strategi pengembangan bank syariah di Indonesia.

Leverage model merupakan penyaluran pembiayaan syariah melalui kantor cabang induk perusahaan. Artinya bank umum syariah (BUS) akan menggunakan cabang milik bank umum konvensional dalam menawarkan produk-produk syariah. Sistem ini sebenarnya mirip dengan office channeling yang sudah berjalan, Cuma office channeling hanya terbatas pada penghimpunan dana (funding). Dengan leverage model, bank konvensional dapat menyalurkan pembiayaan syariah dengan menggunakan akad-akad syariah dan ketentuan syariah.

 

Cara ini memiliki banyak manfaat, pertama, mendorong peningkatan pertumbuhan dan market share perbankan syariah. Sebagaimana dimaklumi, market share perbankan syariah syariah sat ini, baru sekitar 4 persen. Dengan system leverage model diharapkan ekspansi pembiayaan perbankan syariah makin besar. Kebijakan ini sangat strategis dalam mendongkrak pertumbuhan asset perbankan syariah, namun  bank syariah harus lebih agressif dalam menghimpun dana masyarakat (DPK), karena selama ini bank syariah juga kekurangan likuiditas, hal itu terlihat dari FDR bank syariah yang berada di atas 100 persen. Untuk itu dana haji wajib ditempatkan di bank-bank syariah agar likuiditas bank syariah cukup dan memadai.

 

Kedua, leverage model akan meningkatkan efisiensi perbankan syariah karena cara ini akan mengurangi biaya Bank Umum Syariah (BUS) dalam ekspansi pembukaan cabang. Biaya membuka cabang baru jauh lebih mahal. Dengan demikian system leverage model akan lebih efektif dan efisien dalam pemasaran produk, tanpa membuka jaringan kantor cabng baru, sehingga beban operasional bank syariah bisa turun. Selama ini BOPO bank syariah selalu lebih tinggi dibanding bank konvensional.

 

Page 11: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Untuk penerapan leverage model setidaknya setidaknya  empat  hal  yang harus diperhatikan, pertama system teknologi informasi, System IT antara bank konvensional dan bank syariah harus terkoneksi. Jika IT terintegrasi, traksaksi yang terjadi bisa langsung tercatat di bank syariah.Masyarakat tidak perlu ragu terjadinya percampuran bank syariah dan bank konvensional, karena system IT memisahkan pencatatannya. Di sini berlaku kaedah fiqh “tafriqul halal ‘anil haram” (memisahkan asset yang halal dari yang haram).

Kedua, Selain pilar teknologi, hal lainya yang perlu dipersiapkan adalah SDMnya. SDM di kantor cabang bank konvensional yang mengelola pembiayaan syariah  harus dibekali ilmu syariah, agar tidak melanggar prinsip-prinsip syariah.

Jadi, penerapan leverage model tidak perlu dikhawatirkan akan mempengaruhi kredibilitas perbankan syariah dengan pelanggaran prinsip syariah, karena sumber daya Insaninya terlebih dahulu diberi pembekalan (pelatihan) dan tampaknya saat ini belum diperlukan sertifikasi syariah, karena kalau menunggu sertifikasi dulu maka proses penerapannya akan memakan waktu lama, jadi cukup pembekalan saja, dan diharapkan pihak internal atau DPS sesekali perlu  melakukan pengawasan (peninjauan) ke kantor cabang bank konvensional tersebut. Tegasnya, leverage model tak perlu  dikhawatirkan karena product features, SOP dan pengawasan berjalan dengan baik.

Ketiga, akad-akad syariah yang digunakan, Akad-akad yang bisa digunakan antara bank syariah dengan bank konvensional, yaitu wakalah bil ujrah atau mudharabah. Jika akad wakalah bil ujrah, maka bank konvensional akan mendapatkan fee, sedangkan pada akad mudharabah, maka bank konvensional mendapatkan bagi hasil. Namun di masa depan, bisa dimungkinkan penerapan akad musyarakah, karena akad pembiayaannya kepada nasabah secara syariah. Dengan cara ini, dana bank konvensional menggunakan prinsip syariah. Namun dalam hal ini perlu kajian lagi, karena bank konvensinal akan memberikan dana bagi hasil itu kepada nasabahnya secara bunga.

Keempat, Satu hal lagi yang harus diperhatikan adalah soal target. Untuk memberhasilkan sistem leverage model ini, bank konvensional harus memasang target pembiayaan syariah kepada setiap cabangnya. Keberhasilan office channeling, sehingga bisa melampaui target, disebabkan karena bank induknya memasang target kepada setiap cabangnya. Berdasarkan hasil penelitian thesis (2011) di PSTTI UI, Bank Permata Syariah sukses menerapkan office channeling, karena bank induknya memasang target funding kepada setiap cabangnya. Sedangkan bank lain yang tidak memasang target, perolehan dana pihak ketiga jauh lebih rendah dibanding permata. Perolehan Bank Bank Permata Syariah 5 kali lipat lebih besar dari perolehan bank syariah yang tidak memasang target.

Kesuksesan model bisnis ini sangat bergantung kepada komitmen bank induk  untuk mengembangkan bisnis syariahnya. Salah satunya dengan memasukan key performance indikator bisnis syariah ke dalam parameter bisnis di seluruh cabang konvensionalnya.

Kalau diperlukan nantinya, dalam rangka pengawalan ‘leverage model‘ perlu ada sistem pemberian award penghargaan dan punishment, supaya nanti bila ada penyimpangan bisa segera diluruskan

Page 12: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Kita berharap otoritas perbankan BI segera merampungkan regulasi dan SOP leverage  tersebut, agar tahun 2013 sudah bisa diterapkan. Untuk tahap awal bisa dibuat dulu pilot project atau percontohan pada bank-bank tertentu dan di kota-kota tertentu, misalnya di Jakarta dan Surabaya, agar lebih mudah memantaunya, Tahun berikutnya baru diberlakukan di daerah-daerah lain.

Pembiayaan syariah yang akan dilakukan kantor cabang konvensional, utamanya untuk usaha sektor riil usaha kecil, menengah dan besar (corporate), termasuk gadai emas dan pembiayaan pembelian emas (murabahah emas) agar masyarakat memiliki simpanan emas yang berdaya tahan inflasi.

Materi Kuliah Hiwalah yang Harus dikuasai Dosen Perbankan Syariah, Dosen Fikih Muamalah, Dosen Hukum Bisnis Islam, Bankir Syariah, Notaris, Konsultan, dan Hakim

0

Posted on : 21-11-2012 | By : Agustianto | In : Artikel, Fikih Muamalah 6

1. Teori Hawalah dalam Fikih Muamalah.2. Tujuh alternatif skim hybrid contract pd pembiayaan take over  kredit konvensional ke

bank syariah.

3. Skim take over modal kerja dari BK ke Bank Syariah

4. Take over dan top up dgn Musyarakah Mutanaqishah (MMq)  dan skim    lainnya.

5. Praktek Hawalah pada Novasi subjektif dan objektif serta novasi mudharabah dan novasi syirkah

6. Hawalah : Factoring without recourse atau  with recourse

7. Perbedaan hawalah dan wakalah bil-ujrah pd factoring serta risiko   masing-masing

8. Aplikasi Hawalah muthlaqah dalam bentuk Forfaiting

9. Aplikasi hybrid pada hiwalah dan syirkah utk factoring

Page 13: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

10. Aplikasi Hawalah pada Letter of Credit (L/C)

11. Aplikasi Hiwalah pada Refinancing

12. Aplikasi hiwalah pd pembiayaan multijasa

13. Aplikasi hiwalah pd Kartu Kredit

14. Hiwalah pada cessi dan subrogasi.

15. Bolehkah pada hiwalah (factoring) diproteksi surety bond dari Asuransi syariah, bgmn pandangan ulama tentangnya.

16. Dalam kondisi  dharurat atau hajat, take over sesame bank syariah dapat dilakukan, Bagaimana design-design atau skim-skim take over sesama bank syariah atau sesama LKS?

17. Studi syariah tentang skim-skim take over dan bay’ al’inah.

18. Materi Kuliah juga  akan membahas hiwalah muqayyadah dan hiwalah muhtlaqah,juga hiwalah haq dan hiwalah dayn.

19. Hawalah dalam fatwa-fatwa DSN.

20. Hawalah pada PBI, SE BI dan KHEI.

21. Contoh-Contoh Kontrak Hawalah dan take over

33 Point Penting Materi Kajian Hybrid Contracts dalam Produk Perbankan Syariah

0

Posted on : 09-11-2012 | By : Agustianto | In : Artikel, Fikih Muamalah 21

1. Konsep syariah tentang Al-’Ukud al-Murakkabah (Hybrid Contracts)

2. Pembagian Terminologi Hybrid Contracts dalam Fikih Islam

a. Al-’Ukud al-Murakkabah

b. al-’Uqûd al-mujtami’ah,

Page 14: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

c. al-’Uqûd al-muta’addidah,

d. al-’Uqûd al-mutakarrirah,

e. al-’Uqûd al-mutadâkhilah,

f. al-’Uqûd al-mukhtalithah.

3. Bentuk-bentuk Hybrid Contracts

a. Al-’Ukud al-Murakkabah

b. al-’Uqûd al-Mutaqabilah

c. al-’Uqûd al-Mutanajisah

d. al-’Uqûd al-Mutanaqidhah

e. al-’Uqûd al-mutadâkhilah,

f. al-’Uqûd al-mukhtalithah.

4. Macam-macam  Hybrid Contracts dan Aplikasinya di Perbankan Syariah

5. Hukum Hybrid Contracts Menurut Ulama

6. Argumentasi (Dalil Syariah) tentang Hybrid Contracts

7. Hybrid Contracts yang dilarang syariah

8. Akad Two in One yang dibolehkan.

9. Analisis Para Ulama terhadap hadits-hadits dua akad dalam satu transaksi

10. Dhawabith (ketentuan syariah ) tentang  Hybrid Contracts

11. Akibat Hukum Hybrid Contract

12. Hybrid Contracts dalam PembiayaanTake Over

13. Hybrid Contracts dalam Pembiayaan Properti (MMQ)

14. Hybrid Contracts dalam Gadai Syariah

15. Hybrid Contracts dalam Kartu Kredit

Page 15: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

16. Hybrid Contracts dalam Pembiayaan Rekening Koran

17. Hybrid Contracts dalam Pembiayaan Line Facility

18. Hybrid Contracts dalam Pembiayaan Multiguna

19. Hybrid Contracts dalam dalam IMBT dan Sewa Beli

20. Hybrid Contracts dalam Product Giro

21. Hybrid Contracts dalam Factoring / Anjak Piutang

22. Hybrid Contracts  dalam Pembiayaan Property Indent

23. Hybrid Contracts  dalam Pembiayaan Multijasa

24. Hybrid Contracts  dalam Restrukturisasi Pembiayaan Bermasalah

25. Hybrid Contracts  dalam Hedging Syariah (Swap)

26. Hybrid Contracts  dalam Linkage Program Bank-Multifinance, BPRS, Kopsyah.BMT

27. Hybrid Contracts  dalam Refinancing Syariah

28. Hybrid Contracts  dalam Trade Finance dan L/C

29. Hybrid Contracts  dalam MDC untuk pembiayaan pertanian 4-5 tahun.

30. Hybrid Contracts  (5 Akad dalam Satu Produk) pada Pasar Uang Syariah Antar Bank)

31. Ketentuan Hybrid Contracts :

a. Akad-akad yang Harus Dipisahkan (aqdin mustaqillin)

b. Akad-akad yang yang boleh disatukan dalam satu transaksi

c  Akad-akad di bawah tangan

d. Akad-akad yang yang harus dinotarilkan

e. Akad-akad yang memakai materai dan yang tidak perlu memakai materai.

32. Hybrid Contracts dan Kewajiban Pajak (PPn)

33. Solusi Kontradiksi antara Hukum Fiqh Muamalah degan Hukum Positif.

Page 16: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

 

Inovasi Produk Perbankan Syariah (Bagian 1)

1

Posted on : 21-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Perbankan Syariah 58

Oleh : Agustianto

Fakta menunjukkan, bahwa inovasi produk perbankan syariah di Indonesia masih kurang dan masih jauh tertinggal. Produknya  masih  monoton dan bahkan terkesan kaku, kurang  dinamis. Berdasarkan kajian dari praktisi perbankan syariah dari Kuwaity Investment Company., Baljeet Kaur Grewal,(2007) Indonesia menduduki kluster ketiga dalam inovasi produk bank  syariah dan pengembangan pasar. Sedangkan kluster keempat yang merupakan kluster tertinggi adalah Malaysia, Uni Emirat Arab dan Bahrain. Kluster keempat adalah negara yang paling inovatif dan variatif dalam pengembangan produk. Sementara Indonesia, Brunei Darussalam dan Afrika Utara, Turkey dan Qatar  berada di bawah negara kluster ke empat. Dengan demikian, negara-negara ini (Indonesia, Brunei, Afrika Urata, Trurley dan Qatar), masih kalah jika dibandingkan dengan kluster keempat.

Menurut kajian Baljeet dari Kuwait tersebut, negara-negara pengembang bank syariah dibagi kepada empat kluster. Kluster keempat (tertinggi), adalah Malaysia, Kuwait, Bahrain dan Uni Emirat Arab, Kluster Ketiga, Indonesia, Brunei, Afrika Utara, Turki dan Qatar, Kluster Kedua, Jerman, USA, Singapura, Lebanon dan Syiria,  Sedangkan kluster yang paling rendah masih wait and see adalah China, India, Hongkong dan Azerbeijan.

Hubungan Inovasi dan pengembangan bank syariah

Page 17: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Tak bisa dibantah, bahwa terdapat hubungan yang kuat antara inovasi produk dengan pengembangan pasar bank syariah, Artinya,  semakin inovatif bank syariah membuat produk, semakin cepat pula pasar berkembang. Maka, lemahnya inovasi produk bank syariah, bagaimanapun  berimbas secara signifikan kepada lambatnya pengembangan pasar (market expansion). Lemahnya inovasi produk dan pengembangan pasar (market expansion) bank syariah harus segera di atasi, agar akselerasi pengembangan bank syariah lebih cepat. Inovasi produk diperlukan agar bank syariah bisa lebih  optimal dalam memanfaatkan fenomena global. Karena itu harus melakukan inisiatif akselerasi luar biasa dalam pengembangan pasar dan pengembangan produk.

Kurangnya inovasi produk antara lain, dikarenakan kemampuan SDM  yang masih terbatas. Jangankan untuk mengembangkan produk dengan kreatif dan inovatif, untuk memahami konsep produk yang sudah ada, kemampuan SDM bank syariah masih terbatas. Para officer bank syariah umumnya sudah memahami konsep dasar produk syariah yang sudah ada, namun masih banyak officer bank syariah yang belum memahami dengan baik konsep dan penerapan fatwa-fatwa Dewan Syarah Nasional yang jumlahnya sudah mencapai 78 fatwa. Akibatnya, masih banyak fatwa DSN MUI yang belum diterapkan sebagian besar bank syariah, seperti pembiyaan rekening koran, pembiayaan multi jasa, syirkah mutanaqishah, mudharabah musytarakah, ijarah muwazy, hiwalah pada anjak piutang, L/C dan lain-lain.

Padahal ada sekitar 50an konsep lagi yang perlu dikembangkan sebagai produk khas bank syariah, selain dari fatwa DSN yang sudah ada. Jadi masih banyak  produk inovatif yang belum difatwakan DSN-MUI. Produk-produk inovatif ini   siap dijadikan rujukan dalam inovasi produk di tengah persaingan dengan bank konvensional dan semakin kompleknya kebutuhan finansial masyarakat. Ke 50an  konsep inovasi ini berasal dari penggalian terhadap fiqh muamalah kontemporer yang didasarkan pada ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh, falsafah tasyri’, tarikh tasyri’ dan maqashid syariah. Penggalian ini akan menciptakan produk yang unggul dan khas syariah yang pada gilirannya akan mewujudkan differensiasi produk.  Upaya inovasi semacam inilah yang akan membedakan produk-produk bank syariah dengan bank-konvensional, sehingga tidak muncul tuduhan simplistis yang mengatakan bahwa produk bank syariah itu hanyalah jiplakan (copy paste) semata dari bank konvensional yang  ditambah label atau akad-akad syariah. Selain penggalian mendalam kepada konsep syariah (fiqh muamalah), pengembangan produk yang inovatif  dapat juga berasal dari praktek perbankan syariah di luar negeri.

Kunci pengembangan

Inovasi produk menjadi kunci perbankan syariah untuk  lebih kompetitif dan lebih berkembang dengan cepat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Keberhasilan sistem perbankan syari’ah di masa depan  akan banyak tergantung kepada kemampuan bank-bank syari’ah menyajikan produk-produk yang menarik, kompetitif dan memberkan kemudahan transaksi, sesuai dengan kebutuhan masyarakat..

Inovasi produk harus menjadi strategi prioritas bagi bank-bank syariah , sebab inovasi  memiliki peran penting di tengah pasar yang kompetitif. karena itu industri perbankan syariah harus dapat terus melakukan inovasi-inovasi baru. Produk-produk bank syari’ah yang ada sekarang cendrung statis, hanya terbatas di tabungan, deposito, giro, pembiayaan murabahah, mudharabah, syirkah,

Page 18: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

dan itu sangat sedikit sekali. Makanya bank-bank syariah  harus mengembangkan variasi dan kombinasinya, sehingga menambah daya tarik bank syari’ah. Hal itu akan meningkatkan dinamisme perbankan syari’ah menghadapi keutuhan masyarakat modern yang semakin kompleks.  Karena itu bank-bank harus mengalokasikan dana untuk peningkatan kualitas SDM dengan menggelar training atau wokrshop inovasi produk, bahkan membantu memberikan beasiswa bagi karyawannya untuk kuliah S2 Ekonomi Syariah. Seandainya tidak bisa menyeluruh beasiswanya,  minimal sebagian, sepertiga atau seperempat dari biaya kuliah.

Harus dicatat, melakukan inovasi produk bukan hanya dengan meniru atau merujuk produk-produk yang sudah dipraktekkan di luar negeri. Inovasi produk juga dapat dilakukan dengan menggali dan mengembangkan secara kreatif konsep-konsep fiqh muamalah kontemporer dengan menggunakan ilmu ushul fiqh, qawaid fiqh, tarikh tasyri’ dan falsafahnya, serta dan ilmu maqashid syariah. Metode Ijtihad insya’iy dan ijtihad intiqa’iy sangat diperlukan dalam melakukan inovasi produk.

Dari berbagai survey, juga ujian perbankan syariah yang saya lakukan terhadap ribuan karyawan bank syariah  serta pengalaman mengajar di lima pascasarjana ekonomi syariah  selama lebih 4 tahun belakangan ini, saya menyimpulkan     betapa minimnya tingkat pengetahuan SDM perbankan syariah tentang konsep inovasi produk perbankan syariah. Meskipun saat ini sudah banyak kuliah  S2 (program pascasarjana) ekonomi dan perbankan Islam di Jakarta, namun tingkat kajian dan silabusnya masih tingkat dasar atau intermediate, Padahal saat ini sudah banyak literatur terkini (terbitan 2007-2010)  tentang inovasi produk dari luar negeri. Setidaknya terdapat lebih dari seratusan buku-buku fiqh muamalah kontemporer untuk level advance yang bisa memperkaya produk bank syariah.

Silabus fiqh muamalah kontemporer pada level advance ini seharusnya sudah diajarkan di program pasasarjana ekonomi Islam, namun karena sebagian besar in put mahasiswa berasal dari ekonomi konvensional, maka secara terpaksa kajian fiqh muamalahnya pada level intermediate. Fiqh muamalah komtemporer pada level advance ini hanya bisa diajarkan jika, mahasiswa sudah memahami fiqh muamalah klasik dengan baik ditambah  ushul fiqh dan qawaid fiqh klasik.

Latar belakang keilmuan para mahasiswa pascasarjana yang umumnya berasal dari S1 non ekonomi Islam, mengakibatkan mereka masih awam dalam fiqh muamalah, ilmu ushul fiqh keuangan dan qawaid fiqh ekonomi. Padahal untuk melakukan inovasi produk  mesti mengkaji fiqh muamalah kontemporer level advance. Fiqh Muamalah kontemporer tingkat advance hanya bisa diberikan kepada mereka yang sudah pernah mempalajari fiqh muamalah, ushul fiqh dan qawaid fiqh ekonomi.

Seharusnya, mata kuliah fiqh muamalah di pascasarjana di bagi kepada 3 bagian, pertama matrikulasi, intermediate dan fiqh muamalah kontemporer untuk tingkat advance. Jadi, jangan berharap banyak dari lulusan pascasarjana Ekonomi Islam untuk melakukan inovasi produk, jika yang diajarkan masih fiqh muamalah klasik dan tingkat intermediate. Nah, kalau di pascaarjana saja, masalahnya seperti itu, bayangkan, bagaimana pula kemampuan inovasi  para bankir syariah yang belum kuliah pascasarjana ekonomi syariah dan belum training tingkat advance .

Page 19: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Rendahnya tingkat studi fiqh muamalah di Indonesia, karena belum ada buku-buku berbahasa Indonesia yang berisi fiqh muamalah kontemporer yang memenuhi standar untuk pengembangan inovasi produk. Selain itu, keterbatasan dosen yang memahami praktek keuangan modern dan fiqh muamalah sekaligus. Di UIN,  IAIN, STAIN, banyak dosen fiqh muamalah (termasuk para guru besar syariah dan doktor ilmu syariah),  umumnya hanya memahami fiqh muamalah klasik dan sedikit kontemporer, tanpa memahami praktek perbankan dan keuangan secara baik dan memadai, seperti praktek L/C, pembiyaan rekening koran, line facility, multi jasa, repo surat berharga, anjak piutang (factoring), foreign exchange, Islamic  treasury investment, islamic swap, hedging,    bahkan praktek bank garansi dan pembiayaan take over pun kadang tidak dipahami dengan baik. Para ahli syariah hanya dapat memahami itu semua jika mereka mengikuiti training atau workshop sistem perbankan.

Penulis adalah Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, Dosen Pascasarjana PSTTI Universitas Indonesia, Pascasarjana Islamic Economics and Finance  Trisakti, Pascasarjana Universitas Paramadina dan Pascasarjana UI Az-Zahra serta Pascasarjana IAIN Cirebon.

Model Dan Skim Inovasi Produk Perbankan Syariah (Bagian 2)

1

Posted on : 21-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Perbankan Syariah 26

Oleh : Agustianto

Tak bisa dibantah, bahwa inovasi produk menjadi kunci perbankan syariah untuk  lebih kompetitif dan lebih berkembang dengan cepat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Inovasi produk harus menjadi strategi prioritas bagi bank-bank syariah, karena inovasi memiliki peran penting dalam merambah dan menguasai pasar yang selalu berubah. Untuk itulah  industri perbankan syariah dituntut  terus-menerus melakukan inovasi-inovasi baru secara kreatif. Keberhasilan sistem perbankan syari’ah di masa depan  akan banyak tergantung kepada kemampuan bank-bank syari’ah menyajikan produk-produk yang menarik, kompetitif dan memberkan kemudahan transaksi, sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Studi inovasi produk perbankan syariah dalam tulisan ini, dilakukan dengan pendekatan fikih muamalah, artinya semua produk inovatif yang ditawarkan berasal dari khazanah akad-akad fikih muamalah yang sangat demikian luas, dengan menggunakan ilmu ushul fiqh, maqashid syariah, qawa’id fiqh, dan tarikh tasyri’.

Berikut  akan dipaparkan sebagian skim dan  model inovasi produk bank-bank syariah, baik produk financing, funding, jasa-jasa, maupun treasury products.   Di antara  produk yang bisa dikembangkan di bank syariah adalah pembiayaan multi guna, KTA (Kredit Tanpa Agunan), murabahah commodity untuk treasury product, Pembiayaan perkebunan sawit dengan metode

Page 20: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Margin During Contruction, bay’ wafa’ dan bay’ istighlal untuk usaha mikro, hedging dengan forward dan swap, tawarruq emas berlandaskan istihsan dan maslahah, dsb.

Pembiayaan multiguna

Pembiayaan multi guna dapat menggunakan skim tawarruq emas atau bay wafa wal ijarah yang disebut dengan bay’ istighlal (lihat Qanun Al-Majallah al-Ahkam al-‘adliyah). Skim tawarruq emas  ini diambil dari banyak buku fiqh, terutama buku, Tawarruq Mashrafi ‘an Thoriq bay’ al-ma’adin (Tawarruq di perbankan melalui jual beli emas). Mayoritas ulama menyetujui bay’  tawarruq, Namun Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim memakruhkanya. Fatwa ulama OKI hanya mengharamkan tawarruq munazzam yang banyak dilakukan sebagian bank syariah Malaysia. Tawarruq munazzam tidak lain adalah bay al-‘inah itu sendiri, maka hukumnya dilarang.

Kalau kita mengambil pendapat mayoritas ulama, maka penerapan tawarruq , no problem, Namun jika kita mengambil pendapat Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim, kemakruhannya dapat dihilangkan dengan metode istihsan, maslahah dan maqashid. Jika kita menggunakan metode istihsan, maka harus bisa ditunjukkan bahwa tawarruq yang hendak ditertapkan di perbankan, harus berbeda karakternya dengan tawarruq yang dimakruhkan, sebagian ulama. Pada tawarruq perbankan itu, harus ada syarat ketat dari bank syariah, yakni bahwa dana tawarruq harus digunakan untuk sector riil ( yang produktif) dan officer perbankan harus mencek kebenaran terwujudnya sector riil di lapangan.

Jadi, untuk mewujudkan itu officer bank syariah dalam visibility study dan analisa pembiayaan harus mensyaratkan bahwa penggunaan uang tawarruq memang untuk sector riel, seperti  usaha mikro, pertanian dan kegiatanusaha produktif lainnya, atau semi produktif seperti pendidikan, renovasi rumah, dan sebagainya. Multi guna artinya penggunaan uang tersebut dapat digunakan  untuk apa saja, asalkan untuk sector riil yang sesuai syariah.

KTA Syariah

Skim tawarruq emas juga dapat digunakan untuk pembiyaan KTA syariah. Produk KTA syariah harus diluncurkan dan dikembangkan, mengingat saat ini bank-bank asing konvensional sangat gencar menawarkan produk KTA konvensional. Potensi pasar KTA syariah mencapai 2000 triliun rupiah. Jangan biarkan bank-bank asing menguasai pasar kita. Kalau bank syariah tidak masuk di pasar tersebut, maka dominasi bank-bank asing konvensional, makin merajalela masuk ke UKM rakyat Indonesia, padahal cukup banyak skim akad yang bisa digunakan untuk KTA Syariah tersebut, antara lain dengan tawarruq (emas), atau bay wafa’ dan istighlal.

Bay’ wafa’ dan istighlal dapat pula digunakan untuk pembiayaan multi guna. Mekanismenya, Pertama, nasabah menjual assetnya (rumah, perkebunan, atau mobil), ke bank syariah dengan harga misalkan Rp 200 juta, dengan janji nasabah akan membeli (melunasi) kembali  rumah tersebut 2 tahun depan dengan harga yang sama, yakni Rp 200.juta. Dengan jual beli ini, nasabah mendapatkan uang cash dari bank dan dengan demikian rumah menjadi milik bank. Kedua, selanjutnya, bank menyewakan rumah itu kepada nasabah itu kembali dengan margin tertentu.

Page 21: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Bank mendapatkan keuntungan (margin) dengan cara penyewaan tersebut. Besaran biaya sewa bulanan dapat memilih dua alternatif, Pertama, biaya sewa bulanan dan margin  disesuaikan dengan besaran cicilan normal pembiayaan, misalnya Rp 10  juta per bulan.Ketika masa ijarah selesai, maka rumah itu kembali dijual bank kepada nasabah dengan harga tertentu.   Pilihan kedua, dalam perjanjian itu di syaratkan nasabah untuk menyimpan sejumlah dana setiap bulan misalkan Rp 9,2 juta dan ketika jumlah simpanan mencapai Rp 200 juta, maka janji nasabah untuk membeli kembali rumah tersebut diwujudkan. Syarat tersebut tidak dilarang dalam syariah, karena itu ia dibolehkan.

Margin During Contruction  (MDC)

Tawarruq emas yang berlandaskan istihsan dan maslalah dapat pula digunakan untuk pembiyaan perkebunan sawit dimana produksinya (hasil buahnya) baru akan terjadi 4 tahun mendatang. Misalkan pengusaha perkebunan sawit mengajukan pembiyaan Rp 10 milyard, namun sawit baru berbuah 4 tahun kemudian, Setelah dana dikucurkan kepada nasabah, Sejak bulan pertama nasabah diharuskan membayar margin  dari pembiayaan tersebut, padahal sawit baru berbuah 4 tahun mendatang. Sekali lagi harus dicatat, skim akad tawarruq emas yang digunakan dalam pembiayaan ini, bukanlah tawarruq biasa dalam fikih klasik,  Tawarruq mashrafiy ini bukanlah  tanpa control, tanpa visibility study, dan tanpa underlying asset. Bahkan underlying assetnya  berganda. Pertama, emas sebagai media jual beli, kedua, usaha produkitif riil perkebunan sawit.

Orang mungkin bisa mengkritik tawarruq emas yang pengunaan uangnya tidak jelas. Namun jika penggunaan uang itu jelas untuk usaha sector riil seperti perkebunan sawit, maka tawarruq itu akan mendorong kegiatan produksi dan mempunyai multiplier effect bagi masyarakat desa, menyediakan lapangan kerja, dsb. Di sinilah dalil syariah istihsan berperan dan diterapkan, dimana tawarruq emas ini memiliki kekhususan yang berbeda dengan tawarruq yang dimakruhkan,  Tawarruq emas ini memiliki purpose financing yang jelas untuk sektor riil dan memiliki multiplier effect untuk menghidupkan ekonomi masyarakat. Dalam konteks ini pembiayaan sawit dengan model tawarruq ini  mengandung kemaslahatan yang jelas. Dengan demikian penerapan tawarruq emas untuk pembiayaan sawit dengan system margin during contruction( MDC), memiliki dalil yang kuat secara syariah (ushul fiqh), yaitu istihsan dan maslahah. Maslahah adalah inti dari konsep maqashid syariah. (Bersambung).

Melahirkan Mujtahid Ekonomi Islam yang Kredibel

0

Posted on : 17-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics

Page 22: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

45

Oleh : Agustianto

Anggota Pleno DSN-MUI

 

Perkembangan sains dan teknologi modern telah menimbulkan dampak besar terhadap kehidupan manusia, termasuk terhadap kegiatan ekonomi dan bisnis, seperti tata cara perdagangan melalui e-commerce, system pembayaran dan pinjaman dengan kartu kredit, ekspor impor dengan media L/C, sms banking, dan sebagainya. Masalah-masalah ekonomi dan bisnis semakin banyak dan berkembang yang semuanya membutuhkan jawaba syariah, seperti exchange rate, waqf saham, MLM, hukum jaminan fiducia dalam pembiayaan, jaminan resi gudang, dsb.

Sejalan dengan perkembangan lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syariah  yang sangat pesat, seperti asuransi, mortgage, leasing, obligasi, mutual fund, capital market, pasar uang, sampai kepada, instrumen pengendalian moneter oleh bank sentral, Semunya membutuhkan ijtihad yang kreatif dan inovatif. Produk-produk perbankan, asuransi dan lembaga keuangan syariah lainnya  harus dikembangkan secara inovatif, agar bisa memenuhi kebutuhan pasar.  Semua ini menjadi tantangan bagi para pakar syariah.

Untuk memberikan jawaban secara tepat dan relevan dengan kemajuan zaman dan kebutuhan bisnis, diperlukan pakar-pakar ekonomi syariah (mujtahid) yang handal dan credible yang memenuhi kualifikasi sebagai ulama ekonomi syariah. Hal ini di karenakan terjadinya perubahan sosial dalam bidang muamalah  secara cepat, akibat dari akselerasi globalisasi. Sehubungan dengan itu, maka pengajaran fiqh muamalah pun tidak cukup secara a priori bersandar (merujuk) pada kitab-kitab klasik semata, karena formulasi fiqh muamalah masa lampau sudah banyak yang mengalami irrelevansi dengan konteks kekinian. Rumusan-rumusan fiqh muamalah tersebut harus diformulasi kembali agar bisa menjawab segala problem dan kebutuhan ekonomi keuangan modern.

Rumusan fiqh muamalah yang “lengkap”, berlimpah dan mendatail yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik, sebagian besarnya merupakan hasil ijtihad para ulama terdahalu dalam memecahkan dan menjawab tantangan dan problematika  ekonomi di zamannya. Tentunya formulasi fiqh mereka banyak dipengaruhi atau setidaknya diwarnai oleh situasi dan kondisi sosial ekonomi yang ada pada zamannya. Karena itu terdapat kaedah popular, “Perubahan hukum (fiqh) karena perubahan zaman, tempat, situasi, kondisi dan kebiasaan”.

 

Dengan demikian, konsep-konsep dan formulasi  fiqh klasik tersebut perlu diapresiasi secara kritis sesuai konteks zaman, tempat dan situasi, kemudian dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dengan menggunakan ijtihad kreatif dalam koridor syariah.

Page 23: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Untuk melakukan ijtihad dalam memberikan solusi dan jawaban bagi problematika ekonomi dan keuangan syariah dewasa ini, kita harus melahirkan mujtahid-mujtahid ekonomi Islam yang berkualitas dan memiliki ilmu yang integraif. Adapun kualifikasi yang harus dicapai untuk melahirkan para mujtahid ekonomi Islam tersebut antara lain : Pertama, Menguasai secara mendalam disiplin  ilmu ushul fiqh, qawaidh fiqh, falsafah hukum Islam, dan ilmu tarikh tasyri. Disiplin-disiplin ilmu ini mesti dikuasai oleh ahli ekonomi Islam, apalagi para anggota Dewan Syariah Nasional dan dosen pascasarjana ekonomi Islam yang membidangi materi fiqh muamalah dan ushul fiqh.  Di masa depan anggota Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah harusnya  memiliki kapasitas keilmuan yang memadai, mendalami ilmu-ilmu syariah dan juga ekonomi keuangan modern. Menurut KH. Ma’rif Amin pada Studium General di Pascasarjana UI Maret 2008, rekruitmen anggota tersebut mirip dengan perekrutan TNI di tahun 1945. Akibatnya, untuk memenuhi kualifikasi ulama ekonomi syariah yang diharapkan sangat sulit. Kondisi ini harus dimaklumi untuk saat ini, karena kelangkaan intelektual yang komprehensif ilmunya. Ilmu-ilmu syariah yang harus dimiliki mujtahid ekonomi syariah seperti Dewan Syariah Nasional, meliputi ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh, tarikh tasyrik, falsafah tasyrik dan maqashid syariah,

Untuk menguasai ilmu ushul fiqh saja, menurut Ibnu Taymiyah paling tidak harus dibaca dan ditelaah 100 buku/kitab tentang ilmu ushul fiqh, termasuk muqaranah mazahib fil ushul fiqh. Selain itu, ahli ekonomi syariah harus menguasai ratusan qaidah-qaidah fiqh ekonomi terapan. Kitab Undang-Undang Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah dari Khilafah Turki Usmani (1876 M) yang berisi 100 qaidah fiqh ekonomi sangatlah tidak memadai, karena terlalu bercorak Hanafi centris. Padahal terdapat ratusan qaidah lain dari mazhab yang lain. Karena itu perlu banyak membaca literature Arab tentang qaidah-qaidah fiqh ini. Ilmu tarikh tasyrik dan falsafah tasyri’ juga mesti dimiliki para ulama ekonomi syariah. Kalau tidak, akan menimbulkan kekakuan dan kebingungan dalam menjawab persoalan-persoalan  ekonomi. Sekedar contoh, seorang yang ingin menjadi mujtahid ekonomi syariah harus membaca ensiklopedi kaedah fiqh ekonomi keuangan, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Munazzamah lil Mu’amalatil Maliyah, tulisan ’Athiyyah Abdullah ’Athiyyah Ramadhan. Selain itu, harus dikuasai   3 jilid kitab Qaidah Fiqh Ekonomi yang sangat kompehensif, yaitu Jamharah al-Qawa’id al-fiqhiyyah fil Muamalat al-Maliyah. Tulisan Ali Ahmad An-Nadawi. Buku ini secara khusus membahas kaedah-kaedah fiqh ekonomi keuangan secara modern, mendalam dan luas. Yang lebih penting dalam ushul fiqh adalah pengetahuan tentang maqashid syariah. Untuk menguasai konsep  ini dan aplikasinya wajib dibaca dan dikuasai kitab Al-Muwafaqat fi Ushul asy Syari’ah karangan Al-Syatibi, kitab Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah tulisan Thahir bin Asyur. Al-Mustashfa dan Syifaul Ghalil Al-Ghazali, juga perlu dilihat Risalah ath-Thufi, sebagai perbandingan. Sebenarnya masih banyak buku-buku lainnya tentang Maqashid Syariah yang mesti dikuasai mujtahid ekonomi Islam.. Pengetahuan tentang asbun nuzul dan  nasakh mansukh, merupakan bagian dari pengetahun ilmu ushul fiqh, karena itu mujtahid ekonomi syariah harus menguasainya.

Kedua, mujtahid ekonomi syariah harus menguasai ayat-ayat dan tafsir tentang ekonomi dan keuangan (sebaiknya hafal ayat-ayat tersebut yang jumlahnya sekitar 370 ayat), demikian pula hadits-hadits tentang ekonomi dan ulumul hadits. Sebetulnya mujtahdi itu tidak hanya menguasai ayat-ayat ekonomi  saja tetapi juga ayat-ayat syariah lainnya. Sebaiknya juga, mujtahid ekonomi syariah  menguasai pemikiran ekonomi para ilmuwan Islam klasik, seperti Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, Ibnu Sina, Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Abu Yusuf, Asy-Syaybani, Ibnu Maskawaih,

Page 24: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Al-Mawardy, Asy-Syatibi, Ibnu Qudamah, Ibnu Rusydi sampai Ibnu ‘Abidin. dan lain-lain. Pendeknya seorang mujtahid harus menguasai sejarah pemikiran ekonomi Islam sejak masa Nabi sampai komtemporer.  Ketiga, memahami dengan baik masalah ekonomi keuangan kontemporer. (Akan semakin baik dan sempurna jika  pernah terlibat sebagai praktisi) dan semakin baik lagi jika menguasai statistik dan ekonometrik. Tetapi ilmu ekonometrik ini tidak menjadi syarat bagi anggota Dewan Syariah atau Dewan Pengawas Syariah. Ilmu tersebut diperlukan para peneliti di Perguruan Tinggi atau yang membidangi manajemen resiko misalnya.

Lebih jauh, sebagai kualifikasi keempat, ulama sekarang harus juga belajar ilmu ekonomi mikro dan makro, akuntansi dan teknik perbankan dan keuangan. Tanpa ilmu ekonomi makro, pemahaman tentang riba misalnya pasti tidak tepat dan jauh dari sempurna. Untuk menghasilkan fiqur ahli seperti ini, dibutuhkan universitas (pendidikan tinggi)  mulai dari S1 sampai S3 yang secara khusus mendalami ilmu-ilmu ekonomi syariah. Keahlian khusus tersebut lebih akan bisa menghasilkan ulama yang lebih kredibel, jika sejak usia dini (misalnya ibtidaiyah) telah bergelut dengan disiplin ilmu-ilmu syariah di atas. Melalui pendidikan di S1, S2 dan S3, pemahaman ilmu ekonomi modern dan perbankan bisa seimbang dengan ilmu-ilmu syariah. Apalagi ketika di level tsanawiyah sudah dijarkan materi ekonomi dan perbankan Islam. Kelima, pakar ekonomi syariah harus  khazanah pemikiran fiqh muamalah klasik dari berbagai mazhab dan ulama sepajang sejarah. Yang terakhir pengusaan bahasa Arab dengan baik dan juga bahasa Inggris. Keharusan menguasai bahasa Inggris karena saat ini banyak literature ekonomi Islam yang menggunakan bahasa Inggris dan forum-forum ekonomi Islam internasional selalu menggunakan bahasa Inggris tersebut.

Dengan demikian, seorang mujtahid ekonomi syariah setidaknya harus memenuhi kualifikasi  enam syarat tersebut di atas. Kalaupun sebagian anggota DPS dan DSN masih jauh dari kualifikasi tersebut, hal itu harus dimaklumi, karena saat ini ini kita  masih dalam proses menuju perbaikan dan peningkatan kualitas.

Untuk melahirkan mujtahid ekonomi syariah yang kredibel dan memenuhi syarat, maka pendidikan ekonomi syariah harus ada yang diarahkan untuk mencetak mujtahid ekonomi syariah yang kredibel yang diawali sejak usia dini, mulai dari  pendidikan Ibtidaiyah, Tsawiyah dan Aliyah. Setelah jenjang pendidikan tersebut, seorang calon mujtahid harus masuk ke pendidikan ekonomi syariah di level S1, S2 dan S3.

Namun harus dicatat, melahirkan mujtahid ekonomi syariah berbeda dengan melahirkan praktisi ekonomi syariah atau sarjana ekonomi syariah biasa. Untuk melahirkan praktisi ekonomi syariah atau sarjana ekonomi syariah dapat ditempuh melalui pendidikan di perguruan Tinggi yang membuka program Studi Ekonomi Islam, yang inputnya dapat berasal dari   tamatan SMU atau MAN, namun untuk melahirkan mujathid ekonomi syariah harus berasal dari latar pendidikan madrasah salafiyah atau pesantren salafiyah yang benar-benar mendalami ilmu-ilmu syariah secara focus, seperti ilmu ushulk fiqh, waq’aid fiqh, tarikh tasyri;, tadfsir dan hadits bersama ilmu mutstalahul hadits dan ulkumul quran.Tentunya denga ilu nahu dan sharf dan bias diandalkan. Semua ulama terkemuka, seperti Imam Syafii, Imam Ghazali, Imam Nawawi, Syahwaliulah ad-Dahlawi dan ribuan ulama lainnya Mereka memulai pendidikan syariah dari usia yang sangat dini, sehingga di usia 12 – 15 tahun telah mendalami ilmu-ilmu syariah secara mantap. Jika calon mujtahid telah mendalami ilmu syariah secara mantap dengan kemampuan

Page 25: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

bahasa yang mantap pula, maka mereka dikuliahkan di pendidikan ekonomi syariah yang seimbang kurikulumnya antara ilmu ekonomi dan ilmu syariah.

Mujtahid ekonomi syariah sedikit jumlahnya, karena sulit melahirkannya. Jika setiap propinsi ada 2 atau 3 mujtahid, hal itu sudah sangat luar biasa dan itu sulit ditemukan. Dari sebuah Perguruan Tinggi Islam IAIN dan UIN  misalnya, tidak setiap wisuda melahirkan orang-orang pintar yang bisa menjadi mujtahid. Bahkan bertahun-tahun Perguruan Tinggi tersebut tidak melahirkan mujtahid ekonomi syariah. Kemampuannya harus jauh di atas rata-rata kebanyakan orang. Sedangkan untuk melahirkan mujahid (pejuang, pegiat) ekonomi syariah di dunia praktisi jauh lebih gampang. Banyak lembaga pendidikan yang bisa mewujudkannya. Bahkan praktisi ekonomi syariah saat ini lulusan pendidikan ekonomi sekuler yang disyariahkan.

Upaya Syafi’iy Antonio mencari input mahasiswa dari pesantren merupakan sebuah usaha yang sangat strategis untuk melahirkan mujtahid ekonomi syariah. Namun pesantrenya harus pilihan dan unggulan, diutamakan pesantren salafiyah yang standar kurikulumnya dan kitab-kitab rujukannnya sama dengan di Mesir. Penulis masih ingat, ketika sekolah di madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, kurikulum dan standarnya sama dengan pendidikan di Timur Tengah, berbeda dengan pesantren-pesantren terkenal seperti Gontor. Di madrasah salafiyah itu didalami berbagai disiplin ilmu seperti, Ilmu nahwu, sharf, balaghah, mantiq, ushul fiqh, qawa’id fiqh, tarikh tasyti’, ilmu fiqh, ulumul quran mustahalhul hadits, tafsir, hadits, faraidh,  ilmu tawhid, akhlak, Sejarah Tamaddun Islam, Semuanya harus dimantapkan sejak usia yang paling dini. Semua mata pelajaran menggunakan bahasa Arab. Ilmu Nahwu dengan nama buku Nahwul Wadhih, yang terdiri dari 3 jilid wajib ditamatkan di Madrasah Ibtidaiyah.. Sedangkan di Pesantren Gontor, buku ini digunakan di tingkat Aliyah. Di Madrasah Aliyah,

Mujtahid ekonomi syariah hanya bisa dilahirkan jika inputnya berasal dari pendidikan madrasah atau pesantren salafiyah yang unggulan. Setelah ilmu-ilmu syariah selesai dikuasai, maka seorang calon mujtahid masuk pendidikan ekonomi syariah atau jurusan muamalah di IAIN Salafiyah, mulai dari S1,S2 sampai S3. IAIN Salafiyah adalah jurusan syariah yang menggunakan literatur bahasa Arab, di mana ujian dan jawaban menggunakan bahasa Arab Fushah.

Penutup

Melahirkan mujtahid ekonomi syariah harus diwujudkan, walaupun upaya ini dirasakan sangat sulit, Melahirkan ulama sekaliber Wahbah az-Zuhayli, Mustafa Anas Zarqa’, Yusuf Qardhawi, Ali Ahmad An-Nadawi tidaklah mudah, Namun mendekati kapasitas mereka tersebut tidaklah sesulit melahirkan ulama seperti mereka. Pemerintah dan MUI sebagai dua pilar kemajuan paradaban Islam, harus memikirkan untuk melahirkan ulama sekaliber Wahbah Az-Zuhayli, melalui program beasiswa. Jika memungkinkan, Bank Indonesia dan lembaga keuangan syariah membiyai 3 – 5 orang unggulan Indnesia untuk kuliah di luar negeri di bidang ekonomi syariah. Jadi beasiswa bukan saja untuk menciptakan ilmuwan (ekonom) syariah, seperti IIUM Malaysia, UK Durham University, tetapi juga beasiswa untuk melahirkan ulama ekonomi syariah.

Kalau kita memadakan ulama, mujtahid seperti anggota DPS dan DSN saat ini, masih jauh dari harapan, karena masih banyak yang sama sekali tidak memiliki latar belakang keilmuan syariah

Page 26: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

yang memadai. Kalau pun ada ulama, tapi paradigma dan metodologinya masih klasik sentries, belum menangkap konsep-konsep brilian Asy-Syatibi, juga  belum menerapkan falsafah tasyrik, tarikh tasyrik secara komprtehsnif. Hal itu terlihat pada fatwa-fatwa yang dikeluarkan DSN, misalnya dalam akad-akad sukuk, akad ijarah, mudharabah, syirkah, dan lain-lain.  Selain itu, penguasaan ekonomi keuangan  sebagian DPS masih rendah.

Terakhir, kita berharap dan berdo’a, agar di masa depan semua kelemahan  itu dapat ditingkatkan. Apa yang dicapai saat ini oleh ulama ekonomi syariah Indonesia sudah merupakan capaian yang luar biasa. Walaupun kita  belum puas dengan kondisi sekarang. Karena problem itulah maka tulisan ini diturunkan, agar ada yang memikirkan masa depan ulama mujtahid ekonomi syariah. Sebab sampai saat ini belum pernah ada pemikiran yang memikirkan upaya melahirkan mujtahid ekonomi Islam, Semua pakar terfokus memikirkan bagaimana melahirkan praktisi ekonomi syariah yang profesional dan unggul dan bagaimana melahirkan sarjana ekonomi syariah yang handal.

(Penulis adalah Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, Anggota Dewan Syariah Nasional dan Dosen Ushul Fiqh Ekonomi dan Fiqh Muamalah (for Islamic Banking and Finance) pada Pascasarjana UI, IEF S2 Universitas Trisakti,  Program Magister Universitas Paramadina dan Univ. Az-Zahro)

Epistemologi Ekonomi Islam

1

Posted on : 18-02-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics

10

Oleh : Agustianto

Ditulis tahun 2004

 

Pendahuluan

Seluruh disiplin ilmu pengetahuan ilmiah mestilah memiliki landasan epistemologis. Dengan kata lain sebuah ilmu, baru dapat dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu jika ia memenuhi syarat-syarat ilmiah (scientific).  Salah satu syarat dalam kajian filsafat adalah epistemologi. Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas secara mendalam segenap proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan.

Page 27: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Epistemologi pada hakikatnya membahas tentang filsafat pengetahuan yang berkaitan dengan asal-usul (sumber)  pengetahuan, bagaimana memperoleh pengetahuan tersebut (metodologi) dan kesahihan (validitas) pengetahuan tersebut.

Ilmu ekonomi Islam (Islamic economics) sebagai sebuah disiplin ilmu, jelas memiliki landasan epistemologis. Membahas epistemologi ekonomi Islam berarti mengkaji asal-usul (sumber) ekonomi Islam, metodologinya dan validitasnya secara ilmiah. Inilah yang akan dibahas dalam tulian ini.

Pengertian Epistemologi

Secara etimologi,  epistemologi berasal dari kata Yunani epiteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti teori, uraian atau alasan. Jadi epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan. 1

Secara terminology,  Dagobert D. Renes dalam kamusnya Dictionary of Philosophy, (1971) menjelaskan bahwa : epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin, structure, methods, and validity of knowledge. (Runes, 1971: 94)

Dengan demikian, epistemologi merupakan salah satu cabang  filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan. Epistemologi ini pada umumnya disebut filsafat pengetahuan.  Dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah Epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh  J.F Ferrier pada tahun 1854

Dalam pengertian terminologis ini, Miska Muhammad Amin, mengatakan bahwa epistemologi terkait dengan masalah-masalah yang meliputi : a) filsafat, yaitu sebagai cabang filsafat yang berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan,  b) Metoda, sebagai metoda, bertujuan mengantar manusia untuk memperoleh pengetahuan, dan c) sistem, sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri.3

Empirisme

Metode Empiris pada mulanya dirintis oleh Aristoteles dan akhirnya mendapat sambutan yang besar pada zaman klasik Islam oleh para filosof muslim, seperti Ibnu Sina, Al-Faraby, Al-Kindy, Ibnu Rusydi, Ibnu Maskawaih dan lain sebagainya. Bahkan Ibnu Taymiyah juga sesungguhnya banyak mengembangkan metode empirisme walaupun beliau tidak dipengaruhi filsafat Yunani.

Metode empirisme selanjutnya dikembangkan pada zaman Renaisans dengan tokoh utamanya Francis Bacon (1561-1626). Filsafat Bacon ini mempunyai peran penting dalam metode induksi dan sistematisasi prosedur ilmiah, bersifat praktis, yaitu untuk memberi kekuasaan pada manusia atas alam melalui penyelidikan ilmiah. Karena itu, usaha yang dilakukannya pertama kali adalah menegaskan tujuan pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan tidak akan mengalami perkembangan dan tidak akan bermakna kecuali apabila ia mempunyai kekuatan yang dapat membantu manusia meraih kehidupan yang lebih baik.

Page 28: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Sikap Bacon mengenal ciri dan tugas filsafatnya terdapat dalam Novum Organum (organum baru) pengetahuan. Menurutnya alam tidak dapat dikuasai kecuali dengan jalan mentaatinya dengan cara mengenalnya lebih dulu dan diperlukan observasi, pengukuran, penjelasan, dan pembuktian.

Rasionalisme

Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia menurut aliran ini  yakni memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap objek.Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme, adalah kelemahan alat indera yang terbatas. Kelemahan itu dapat dikoreksi seandainya akal digunakan.

Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan, pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja. Akan tetapi untuk sampainya manusia kepada kebenaran diperlukan akal Laporan indera menurut rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas, belum sistimatis atau masih chaos.  Bahan pengalaman inderawi harus dipertimbangkan oleh akal. Akal mengatur dan mensistimatoisasi pengalaman itu secara logis sehingga terbentuklah pengetahuan.

Metode-PositivismeMetode ini dikemukankan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari gejala yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan berbagai persoalan di luar fakta. Karena  itu  Ia menolak metafisika dan agama. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan segala gejala.  Dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan,positivisme  terbatas  pada gejala-gejala empiris saja

 

Epstemologi ilmu pengetahuan terdiri dari tiga bagian, yaitu

1.Observasi

Observasi merupakan upaya untuk melihat, mengamati, dan mengevaluasi kenyataan yang ada, kemudian menetapkan asumsi, klasifikasi, abstraksi, tipe ideal dengan menunjukkan generalisasinya. Observasi  merupakan proses yang harus dilakukan guna mendapatkan informasi selengkap mungkin mengenai suatu obyek.

Ilmu pengetahuan tidak mungkin terlepas dari realitas. Observasi diperlukan untuk mengamati realitas, perilaku dan femonena secara berulang. Pengetahuan tentang realitas dan fenomena menjadi pengalaman.  Observasi juga diperlukan  sebagai bukti akan keberadaan suatu fenomena  yang berhubungan erat dengan aktivitas manusia. Dengan observasi manusia bias melakukan aktivitas yang lebih efisien dan memprediksikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

2. Deduksi

Page 29: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Membuat kesimpulan partikulir dari pernyataan umum.

Deduktif merupakan proses berpikir dengan metode rasional untuk mendapatkan kebenaran guna menartik kesimpulan yang bersifat individual dari yang  bersifat umum.

Metode qiyas dalam ushul fiqh sesungguhnya mirip  dengan metode deduksi ini

Membuat kesimpulan umum dari pernyataan2/kenyataan2 khusus. Para Ulama banyak melakukan metode induksi, Ibnu Taymiyah, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusydi bahkan Imam Syafii.

3. Induksi

Membuat kesimpulan umum dari pernyataan2/kenyataan2 khusus. Para Ulama banyak melakukan metode induksi, Ibnu Taymiyah, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusydi bahkan Imam Syafii.

Sementara itu menurut Jujun S. Sumantri, pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun body of knowledge dengan berdasarkan pada:

1. Kerangka Pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun.

2. menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi kerangka pemikiran tersebut.

3. Melakukan verifikasi terhadap hipotesis tersebut untuk menguji kebenaran pernyataan secara factual

Epistemologi  Islam

Epistemologi di dalam Islam memiliki beberapa macam  antara lain : (a) perenungan    (contemplation) tentang Sunnatullah sebagaimana dianjurkan didalam Alquran, (b) penginderaan ( sensation), (c) Tafaqquh (perception , concept), (d) penalaran (reasoning).

Epistemologi di dalam Islam tidak berpusat kepada manusia yang menganggap manusia sendiri sebagai makhluk mandiri dan menentukan segala-galanya, melainkan berpusat kepada Allah, sehingga berhasil atau tidaknya tergantung setiap usaha manusia, kepada iradat Allah.

Epistemologi Islam  mengambil titik tolak Islam sebagai subjek untuk membicarakan filasafat pengetahuan, maka di satu pihak epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Di lain pihak, epistemology Islam berpusat pula pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan ( kebenaran ). Di sini manusia berfungsi subyek  yang mencari kebenaran. Manusia sebagai khalifah Allah berikhtiar untuk memperoleh pengetahuan sekaligus memberi interpretasinya. Dalam Islam, manusia memiliki pengetahuan, dan mencari pengetahuan itu sendiri sebagai suatu kemuliaan.

Ada beberapa perbedaan antara Filsafat Pengetahuan Islam ( Epistemologi Islam ) dengan Epistemologi pada umumnya. Pada garis besarnya, perbedaan itu terletak pada masalah yang bersangkutan dengan sumber pengetahuan dalam Islam, yakni wahyu dan ilham. Sedangkan masalah kebenaran epistemologi pada umumnya menganggap kebenaran hanya berpusat pada

Page 30: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

manusia sebagai makhluk mandiri yang menentukan kebenaran. Epistemologi Islam membicarakan pandangan para pemikir Islam tentang pengetahuan, di mana manusia tidak lain hanya sebagai khalifah Allah, sebagai makhluk pencari kebenaran. Manusia tergantung kepada Allah sebagai pemberi kebenaran

Menurut pandangan Syed Nawab Haider Naqvi, ada empat aksioma etika yang mempengaruhi ilmu ekonomi Islam, yaitu tawhid, keadilan, kebebasan dan tanggung jawab[1]

Pengaruh asumsi dan pandangan yang dipakai dalam penelitian ekonomi Islam harus terbukti faktual, berbagai dimensi manusia adalah kenyataan faktual.Metodologi ekonomi Islam mengungkap permasalahan manusia dari sisi manusia yang multi dimensional tersebut. Keadaan ini digunakan untuk menjaga obyektifitas dalam mrngungkapkan kebenaran dalam suatu femomena.

Sikap ini melahirkan sikap dinamis dan progressif untuk menemukan kebenaran hakiki. Kebenaran hakiki adalah ujung dari kebenaran.

Sumber Ilmu Ekonomi Islam

Menurut M. Akram Khan, sumber pembentukan ilmu ekonomi Islam adalah :

1. Al-quran2. As-Sunnah

3. Hukum Islam dan Yurisprudensinya (Ijtihad)

4. Sejarah Peradaban Umat islam

5. berbagai data yang berkaiatan dengan kehidupan ekonomi

 

Sementara itu Masudul Alam Chowdhury, merumuskan metodologi islamic economic dengan istilah shuratic process. Penggunaan istilah shuratic berasal dari dari kata syura/musyawarah, untuk menunjukkan bahwa proses ini bersifat konsultatif dan dinamis. Metodologi ini merupakan upaya untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang bersifat transenden, sekaligus didukung oleh kebenaran empiris dan rasional yang merupakan tolak ukur utama kebenaran ilmiah saat ini. Sementara seorang muslim meyakini bahwa kebenaran utama dan mutlak berasal dari Allah, Sedangkan kebenaran dari manusia bersifat tidak sempurna. Akan tetapi manusia dikaruniai akal  dan berbagai fakta empiris di sekitarnya sebagai wahana untuk memahami kebenaran dari Allah. Perpaduan kebenaran wahyu dan kebenaran ilmiah akan menghasilkan suatu kebenaran yang memiliki tingkat keyakinan yang tinggi.

Menurut Chouwdhury  sumber utama dan permulaan dari segala ilmu pengatahuan (primordial stock of knowledge) adalah Al-quran, sebab ia merupakan kalam Allah. Pengetahuan yang ada dalam Al-Quran memiliki kebenaran mutlak (absolute), telah mencakup segala kehidupan secara komprehensif (complete) dan karenanya tidak dapat dikurangi dan ditambah (irreducible).

Page 31: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Akan tetapi, Al-quran pada dasarnya tidak mengetahui pengetahuan yang praktis, tetapi lebih pada prinsip-prinsip umum. Ayat-ayat Alquran diimplementasikan dalam perilaku nyata oleh Rasulullah, karena itu as-Sunnah juga adalah sumber ilmu pengetahuan berikutnya. Al-Quran dan Sunnah kemudian dapat dielaborasi  dalam hokum-hukum dengan menggunakan metode epistemological deduction, yaitu menarik prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam kedua sumber tersebut untuk diterapkan dalam realitas individu.

Selanjutnya dalam epistemology ekonomi Islam diperlukan ijtihad dengan menggunakan rasio/akal. Ijtihad terbagi kepada dua macam, yaitu ijtihad istimbathi dan ijtihad tathbiqi. Ijtihad istimbathi bersifat deduksi, sedangkan ijtihad tathbiqi bersifat induksi.

Dari segi kuantitas orang yang berijtihad, ijtihad dibagi kepada dua, yaitu ijtihad fardi (individu) dan ijtihad jama’iy (kumpulan orang banyak). Ijtihad yang dilakukan secara bersama disebut ijma’ dan dianggap memiliki tingkat kebenaran ijtihad yang paling tinggi.

Dalam membicarakan epistemology ekonomi Islam, digunakan metode desuksi dan induksi. Ijtihad tahbiqi yang banyak mengunakan induksi akan menghasilkan kesimpulan yang lebih operasional, sebab ia didasarkan pada kenyataan empiris. Selanjutnya, dari keseluruhan proses ini –yaitu kombinasi dari elaborasi kebenaran wahyu Allah dan As Sunnah dengan pemikiran dan penemuan manusia yang dihasilkan dalam ijtihad akan menghasilkan hukum dalam berbagai bidang kehidupan. Jika diperhatikan, maka sesungguhnya Shuratic proses ini merupakan suatu metode untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang memiliki akar kebenaran empiris (truth based on empirical process).

Metodologi Ekonomi Islam

Dalam perspektif Islam, eksistensi suatu metodologi merupakan sebuah keniscayaan, sebab prinsip dasar ajaran Islam adalah kebenaran. Manusia diperintahkan untuk mengikuti kebenaran dan dilarang mengikuti persangkaan. Untuk memperoleh kebenaran itu manusia harus memiliki pengetahuan. Ekonomi Islam sebagai sebuah disiplin ilmu yang bersumber dari syari’ah memiliki metodologi tertentu sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri.

Dengan demikian, epistemologi ilmu ekonomi konvensional jelas berbeda dengan  ilmu ekonomi Islam. Ilmu ekonomi konvensional disusun berdasarkan metodologi dengan pendekatan rasionalisme dan empirisme, dengan demikian sumbernya adalah rasio dan pengalaman belaka. Sedangkan ilmu ekonomi Islam bersumber dari syari’ah (Alquran dan Sunnah). Oleh karena itu dalam beberapa hal metodologi ilmu ekonomi Islam berbeda dengan ilmu ekonomi konvensional, namun dalam beberapa hal keduanya  dapat menggunakan metodologi yang sama, khususnya pada tataran penggunaaan ijtihad.

Dalam sejarah bahkan, para ilmuwan muslim klasik telah banyak memberikan konstribusi yang besar terhadap metodologi ilmiah modern. Ibnu Taymiyah (w.11110 dikenal sebagai ilmuwan yang banyak menggunakan metode induktif. Demikian pula Ibnu Khaldun (1332-1406) sering menggunakan metode induktif dalam menganalisis ekonomi sosial.

Page 32: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Ibnu Rusydi atau Averros yang tinggal di Spanyol adalah ilmuwan muslim yang paling berjasa mengajarkan pemikiran rasionalisme di Eropa, ketika di Eropa sedang berlangsung kejumudan pemikiran.Upaya itu pada gilirannya mengilhami para ilmuwan Eropa untuk meretas kejumudan pemikiran yang pada akhirnya melahirkan era renaisance. Muhammad Anas Zarqa (1992), menjelaskan bahwa ekonomi Islam itu terdiri dari 3 kerangka metodologi. Pertama adalah presumptions and ideas, atau yang disebut dengan ide dan prinsip dasar dari ekonomi Islam. Ide ini bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid. Ide ini nantinya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang ilmiah dalam membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam itu sendiri. Kedua adalah nature of value judgement, atau pendekatan nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi. Pendekatan ini berkaitan dengan konsep utilitas dalam Islam. Ketiga, yang disebut dengan positive part of economics science. Bagian ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga pendekatan metodologi tersebut, maka ekonomi Islam dibangun.

 

Secara garis besar metodologi ilmu ekonomi Islam tersusun secara sistimatis sebagai berikut :

Pertama, Al-Quran adalah sumber kebenaran yang paling utama, sehingga ia merupakan sumber primer  ilmu ekonomi Islam. Al-quran yang merupakan wahyu dari Allah tidak saja memuat dalil-dalil normatif tetapi juga fakta empiris yang bersifat empiris, faktual dan obyektif. Al-quran tersebut selanjutnya dijelaskan oleh Sunnah Nabi Saw yang juga dipandang sebagai wahyu ghairu matlu sesuai dengan Firman Allah, “Muhammad itu tidak bertutur menurut hawa nafsunya.(An-najm: 4). Dengan demikian, Al-Quran dan sunnah merupakan sumber utama ajaran Islam. segala metodologi harus bersumber dari Al-quran dan Sunnah tersebut. Dari persepektif ini, epistemologi ekonomi konvensional dan ekonomi Islam memiliki perbedaan yang sangat mendasar.

Kedua, Setelah Al-Quran dan Sunnah, ekonomi Islam digali dan dikembangkan dengan menggunakan ijtihad, yaitu penggunaan rasio untuk menemukan kebenaran. Pada tataran ijtihad inilah epistemologi ekonomi konvensional memiliki kesamaan dengan ekonomi Islam. Ijtihad adalah upaya penggunaaan rasio untuk merumuskan dan menyimpulkan suatu hukum atau menghasilkan suatu teori. Dalam ilmu ushul,  metodologi ijtihad antara lain mengunakan qiyas, maslahah, sadduz zari’ah, istihsan, ‘urf, dsb. Dengan ijtihad para ulama melakukan penelitian induktif.

Ekonomi Islam dapat menerima metode ilmiah ekonomi konvensional sepanjang metodologi itu tidak bertentangan  ajaran Islam. Metode ilmiah melalui istiqra’  akan menghasilkan suatu kebenaran  yang didasarkan atas  realitas obyektif dan empiris.Kebenaran ilmiah versi Barat hanya mengakomodir kebenaran  yang bisa ditangkap pancaindra, sementara kemampuan rasio dan pancaindra banyak memiliki keterbatasan.

Ilmu ekonomi Islam kontemporer disusun dengan mengikuti aturan main (rule of game) syari’ah dan juga kaedah-kaedah ilmiah keilmuan modern.

Aksilogi

Page 33: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Membicarakan aksilogi semata tidak sempurna, tanpa mengkaji aksiologisnya. Karena itu mengkaji epistemology islam harus mengikutsertakan kajian aksilogis. Kajian aksilogis ekonomi Islam ialah membicarakan  ekonomi islam dari segi nilai dan manfaat dari ilmu

Pada umumnya orang tidak akan melakukan sesuatu  apabila tidak dapat dirasakan manfaatnya. Kebenaran suatu ilmu pengetahuan menurut Islam adalah sebanding dengan kemanfaatan (aksilogis) suatu ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang bermanfaat adalah apabila :

1). Mendekatkan pada kebenaran Allah dan bukan menjauhkannya.

2). Dapat membantu umat manusia merealisasikan tujuan-tujuannya.

3). Dapat memberikan pedoman bagi sesama.

4). Dapat menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan.

Penutup

Berdasarkan kajian epistemologi ekonomi Islam di atas, jelaslah bahwa ekonomi Islam bukanlah hanya suatu system atau norma saja sebagaimana yang pernah disangkakan orang di masa lampau. Ekonomi Islam adalah sebuah disiplin ilmu yang ditemukan melalui metodologi keilmuan ilmiah. Karena itu para imuwan kontemporer menyebutnya Islamic economics (ilmu ekonomi Islam). Akan tetapi sumber ilmu pengetahuan dalam Islam bukan semata rasio dan empiris sebagaimana yang diajarkan aliran positivisme. Ekonomi Islam memiliki sumber utama yaitu Alquran dan Sunnah. Sedangkan ijtihad (penggunaan rasio) adalah sumber ilmu berikutnya. Ekonomi Islam dapat menerima metode ilmiah ekonomi konvensional yang berdasarkan rasio dan pengamalan empiris. Penerimaan ini karena Islam memberikan peluang ijtihad bagi manusia untuk melakukan observasi dan penelitian ilmiah (istiqra’) baik melalui deduktif maupun induktif.

3 Miska Muhammad Amien, op. cit., h. 3.

[1]Syed Nawab haider Naqvi, Ethics and Economics an Islamic Synthesis, The Islamic Foundation, London, p.48056

Teologi Ekonomi Islam

0

Posted on : 19-01-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics

Page 34: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

8

Oleh : Agustianto

Dalam pandangan Al Quran, filsafat fundamental dari ekonomi Islam adalah tauhid (39:38). Hakikat tauhid adalah penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi, baik menyangkut ibadah maupun muamalah, dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah.

Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktifitas umat Islam, baik ekonomi, politik, sosial maupun budaya.

Dalam konteks ini Ismail Al-Faruqi mengatakan, “It was al-tawhid as the first principle of the economic order that created the first walfare state and Islam that institutionalized that first socialist more for social justice as well as for the rehabilitation from them to be described in terms of the ideals of contemporary western societes”.

(Tauhid-lah sebagai prinsip utama tata ekonomi yang menciptakan “negara sejahtera” yang pertama, dan Islamlah yang melembagakan gerakan sosialis pertama. Islam (dengan konsep tauhid) telah melakukan lebih banyak keadilan sosial dan pengembalian martabat manusia. Konsep dan pengertian yang canggih ini ditemukan dalam masyarakat Barat masa kini).

Jadi, ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan tauhid. Landasan filosofis inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme dan sosialisme, karena keduanya didasarkan pada filsafat sekularisme dan materialisme.

Konsep tauhid menjadi dasar ekonomi, dalam tataran ini, disebut teologi ekonomi Islam. Teologi ekonomi Islam yang berbasiskan tauhid tadi, mengajarkan dua pokok utama : Pertama, Allah menyediakan sumber  daya alam sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia yang berperan sebagai khalifah, dapat memanfaatkan sumber daya yang banyak itu untuk kebutuhan hidupnya. Dalam pandangan teologi Islam, sumber daya-sumber daya itu, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung (tak terbatas) banyaknya, sebagaimana dalam firmannya “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak bias menghitungnya”. (QS. 14:34).

Berbeda dengan pandangan di atas, para ahli ekonomi konvensional selalu mengemukakan jargon bahwa sumber daya alam terbatas (limited). Karena itu menurut ekonomi Islam, krisis ekonomi yang dialami suatu negara, bukan terbatasnya sumber daya alam, melainkan karena tidak meratanya distribusi (maldistribution), sehingga terwujud ketidak adilan sumber daya (ekonomi).

Tak terhitung banyak ayat-ayat Al Quran yang menyebutkan bahwa alam dan seluruh isinya disediakan untuk kepentingan manusia. Ayat-ayat itu menunjukkan bahwa pertanian, perdagangan, industri baik barang maupun jasa dan berbagai bentuk kegiatan produktif juga untuk kehidupan manusia.

Page 35: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Meskipun sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia sebagai khalifah Allah tidak boleh boros dan serakah dalam menggunakannya. Boros adalah perbuatan setan (QS. 17:35) dan serakah adalah perilaku binatang. Karena itu, dalam memanfaatkan sumber daya, harus efisien dan memikirkan kepentingan generasi mendatang serta memperhatikan lingkungan.

Berdasarkn prinsip tersebut, maka pemerintah tidak boleh membuat kebijakan yang merugikan generasi mendatang. Misalnya mengeksploitir sumber minyak lalu meninggalkan sumurnya kering sepanjang satu generasi, atau menjadikan lahan kering kerontang dan menguras habis barang-barang tambang yang menjadi jatah generasi mendatang karena alasan kemakmuran saat ini atau mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Perbuatan memutlakkan waktu sekarang, tanpa memikirkan masa depan, termasuk bentuk hubungan dominasi dan eksploitatif. Hal itu sama saja dengan melupakan prinsip bahwa setiap individu dan masyarakat adalah bagian dari keseluruhan umat manusia. Tidak seorangpun, bahkan pemerintah sekalipun, berhak mengeksploitasi sumber daya untuk kepentingan satu generasi tertentu.

Kedua, Tauhid sebagai landasan ekonomi Islam bermakna bahwa semua sumber daya yang ada di alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara absolut (mutlak dan hakiki). Hanya Allah yang mengatur segala sesuatu, termasuk mekanisme hubungan antar manusia, sistem dan perolehan rezeki. Realitas kepemilikan mutlak tidak dapat dibenarkan oleh Islam, karena hal itu berarti menerima konsep kepemilikan absolut, yang jelas berlawanan dengan konsep tauhid.

Selanjutnya, konsep tauhid mengajarkan bahwa Allah itu Esa, Pencipta segala makhluk  dan semua makhluk tunduk kepadanya. Salah satu makhluk yang diciptakannya adalah manusia yang berasal dari substansi yang sama serta memiliki hak dan kewajiban yang sama (musawat) sebagai khalifah Allah di muka bumi. Semua sumber daya alam, flora dan fauna ditundukkan oleh Allah bagi manusia sebagai sumber manfaat ekonomis (QS 6: 142-145), 16: 10-16).

Di sini tampak jelas konsep persamaan manusia, yang merupakan implikasi dari tauhid. Konsep persamaan manusia, menunjukkan bahwa Islam mengutuk manusia yang berkelas-kelas. Maka, implikasi dari doktrin ini ialah bahwa antara manusia terjalin persamaan dan persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, saling membantu dan bekerjasama dalam ekonomi, yakni syirkah, qiradh, dan mudharabah (profit and lost sharing). Dokter egalitarian seperti itu, jelas berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme yang individualistis.

Meskipun sumber daya yang tersedia untuk manusia adalah pemberian Tuhan dan manusia hanyalah sekedar pihak yang diberi amanah karena pemilik mutlak adalah Allah, hal ini tidak berarti bahwa Islam menafikan kepemilikan pribadi. Islam tetap mangakui kepemilikan pribadi, tetapi tidak bersifat absolut (hakiki), karena pemilik sebenarnya adalah Allah SWT. Manusia hanyalah pemilik relatif.

Konsep kepemilikan ini membawa sejumlah implikasi yang sangat penting yang membawa perbedaan revolusioner dengan sistem ekonomi lain seperti kapitalisme dan sosialisme. Pertama, bahwa sumber daya di peruntukkan bagi semua orang, bukan untuk sebagian kecil manusia (QS. 2:29). Sumber-sumber itu harus digunakan dengan adil untuk kesejahteraan semua orang secara

Page 36: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

meenyeluruh. Penguasaan konglomerat atas jutaan hektar hutan atau ratusan ribu hektar perkebunan, sehingga terjadi penumpukan asset pada segelintir orang tertentu, bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam.

Dalam prinsip Islam, kesejahteraan bukan hanya milik seseorang atau keluarga tertentu, tetapi juga untuk orang lain secara menyeluruh. Dengan demikian, seseorang sebagai pengemban amanah, tidak akan menjadi egois, rakus, jahat, dan bekerja untuk kesejahteraan dirinya sendiri.

Kedua, setiap orang harus memperoleh sumber-sumber daya itu dengan cara yang sah dan halal, bukan hasil kolusi dan cara-cara curang lainnya. Bertindak secara tidak fair adalah melanggar fungsi kekhalifahan manusia.

Keempat, tidak seorang pun berwenang menghancurkan atau memboroskan sumber-sumber daya pemberian Tuhan. Tindakan ini oleh Al Quran disamakan dengan fasad (kerakusan, kejahatan dan korupsi) yang dilarang Tuhan (QS. 2:205). Karena itu ketika Abu Bakar, mengirim Yazid bin Abi Sufyan dalam suatu peperangan, ia melarang Yazid membunuh dengan sembarangan atau merusak kehidupan tumbuh-tumbuhan atau binatang sekalipun di daerah musuh.

Jika hal ini tidak diizinkan, sekalipun dalam kondisi perang dan di daerah musuh, maka tidak ada alasan untuk mengizinkannya pada saat damai dan di negeri sendiri. Dengan memikian, maka benar-benar tidak dibolehkan menghancurkan dan memusnahkan barang-barang yang telah diproduksi, baik dengan membakar atau membuangnya kelautan, dengan alasan agar harga baran itu tetap tinggi.

 

Silabus Ushul Fiqh Keuangan Kontemporer

2

Posted on : 15-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Ushul Fiqh 49

SILABUS USHUL FIQH EKONOMI KEUANGAN TERBARU

PASCASARJANA EKONOMI ISLAM DI PERG,TINGGI INDONESIA

Bobot : 3 SKS

Page 37: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Dosen : Agustianto

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 Buku Referensi:

Materi Perkuliahan (Uraian Topik Bahasan)

I Pengantar Kuliah dan Pendahuluan :  Pengertian, Obyek Kajian,  dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh

Perbedaan Ushul fiqh, Fiqh, Syariah dan Qawaid Fikih

Urgensi dan Kegunaan Ushul Fiqh dalam Ekonomi Keuangan

 

II Sejarah Ushul Fikih dan Penerapanya serta  Signifikansinya dalam Pengembangan Ekonomi Keuangan Islam.

II Sumber-Sumber Hukum Ekonomi Islam  Alquran sebagai sumber Hukum Ekonomi Islam Kehujjahan Alquran dan Pandangan Ulama

Muhkamat dan Mutasyabihat

Qath’iy dan Zanniy dalam Alquran : Kiatannya dengan Ijtihad

Kandungan Alquran tentang Ekonomi Keuangan

Penafsiran (istimbath) Tekstual dan Kontektual dalam ekonomi Islam

Pandangan Asy-Syatibi tentang  Qath’iy dan Zhanniy.

Hadits sebagai Sumber Hukum Ekonomi Islam

Hadits Qawliyah dalam ekonomi keuangan

Hadits Fi’liyah dalam Ekonomi Keuangan

Hadits Taqririyah dalam Ekonomi Keuangan

Pembagian hadits : Ahad dan Mutawatir

Qath’iy dan Zhanniy dalam Hadits

Kedudukan hadits terhadap Alquran

Kedudukan hadits Ahad menurut Ulama

Hadits Shahih Hasan dan Dha’if dan contohnya dalam ekonomi

IV Ijma’ sebagai Sumber Hukum Ekonomi Islam  Pengertian dan  Kedudukan Ijma’ Perkembangan Pendapat ulama ttg Ijma’

Persyaratan Ijma’ dan Pandangan Ulama tentangnya

Pembagian Ijma’ dan Pandangan Ulama

Ijma’ dalam masalah Ekonomi, Keungan dan Kontrak Perbankan

V Qiyas Sebagai Sumber Hukum Ekonomi Islam 

- Pengertian dan Rukun Qiyas,

Pembagian Qiyas : Qiyas Jaliy, Qiyas Khafiy, Qiyas Awlawy, Qiyas

Musawy dan Qiyas Adwan serta Penerapannya dalam Ekonomi

Metode menetapkan illat dalam masalah muamalah : Takhrijul

Page 38: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

1. Materi Agutianto  Ushul Fiqh Ekonomi Keuangan Kontemporer2. Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya Wahbah Az-Zuhaili.

3. Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya Zakiuddin Sya’ban

4. Ushul Fiqh karya Ali Hasballah

5. Al-Qiyas wa Tathbiqatuhu al-Mu’ashirah karya Muhammad Mukhtar as-Salamiy.

6. Fiqh al-Maslahah wa Tathbiqatuha al_Mu’ashirah karya  Husein Hamid Hasan

7. Sadduz zari’aj wa tathbiqatuha fi majalil mu’amalat karyaSyekh Abdullah bin Baih Univ. King Abdul Aziz

8. Atsarul ‘urf wa Tathbiqatuhu al-Mu’ashirah fi fiqh al-Muamalat al-Maliyah,karyaAdil bin Abdul Qadir Qutaih

9. Al-Istihsan wa Tathbiqatuhu al-Mu’ashirah, IRTI, IDB

10. Ahmad Hasan, Ijmak, The Doctrine Of  Ijma’ In Islam, Terjemahan, Rahmani Astuti, Pustaka, Bandung, 1985

11. Ushul  Fiqh karya Muhammad Al-Khudhari (wafat 1927 M).

12. Ushul Al-Fiqh karya Abdul Wahab Khallaf (wafat 1955 M).

13. Jamharah al-Qawa’id al-Fiqhoyyah fil Mu’amalat al-Maliyah, Oleh . Ali Ahmad An-Nadawy, 3 Jilid.

14. Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyyah al-Mu’ashirah wa al-Iqtishad al-Islamy. Oleh Dr Ali Ahmad Salus

15. Al-Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah Lil Mu’amalat al-Maliyah Oleh Abdullah ‘Athiyah Ramadhan.

16. Ushul Al-Fiqh karya Muhammad Abu Zahrah (wafat 1974 M).

17. Ushul Al-Fiqh karya Muhammad Zuhair Abun-Nur.

18. Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya Syaikh Syakir Al Hambali.

19. Ar-Risalah karya Imam Asy-Syafi.iy (150 -204)

20. Khabar Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad Ar-Ra’y, ketiganya karya Isa bin Aban bin Shadaqah Al-Hanafi (wafat th 221 H).

21. An-Nasikh Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).

22. Al-Ijma’, Ibthal At-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud bin Ali Az-Zhahiri (200-270 H).

Page 39: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

23. Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu’taziliy Asy-Syafi’i (wafat th 436H).

24. Al-Burhan karya Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini/Imamul-haramain (410-7. 478 H).

25. Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad (wafat 505 H).

26. Al-Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy (wafat 606 H).

27. Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi (wafat 631 H).

28. Ushul Al-Karkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi (wafat 340 H).

29. Ushul Al-Jashash karya Abu Bakar Al-Jashash (wafat 370 H).

30. Ushul as-Sarakhsi karya Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsi (wafat 490 H).

31. Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad Al-Bazdawi (wafat 482 H).

32. Badi’un-Nizham karya Muzhaffaruddin Ahmad bin Ali As-Sa’ati Al-hanafi (wafat 694 H).

33. At-Tahrir karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid yang dikenal dengan Ibnul Hammam (wafat 861 H).

34. Jam’ul-Jawami’ karya Abdul Wahab bin Ali As Subki (wafat 771 H).

35. Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Al-Gharnathi yang dikenal dengan nama Asy-Syathibi (wafat 790 H).

36. At-Taqhrib karya Al-Qadhi Abu Bakr Al-Baqillani Al-Maliki (wafat th 403 H).

37. Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-Mu’taziliy Asy-syafi’i (wafat th 436 H).

38. Al-Mustashfa karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Asy-Syafi’i (wafat 505 H).

39. Al-‘Uddah Fi Ushul Al-Fiqh karya Al-Qadhi Abu Ya’la Muhammad bin Al-Husain bin Muhammad Al-Hambali (380-458 H).

40. At-Tamhid Fi Ushul Al-Fiqh karya Mahfuzh bin Ahmad bin Husain Abul Khattab Al-Kalwadzani Al-Hambali – murid Abu Ya’la (432-510 H).

41. Raudhatun-Nazhir Wa Junnatul-Munazhir karya Muwaffaquddin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi Al-Hambali (541-620 H).

42. Al-Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy Asy-Syafi’i (wafat 606 H).Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi Asy-Syafi’i (wafat 631 H).

Page 40: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

43. Irsyadul-fuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani (wafat 1255 H). Kitab yang ditulis dengan metode Hanafiyah.

44. Al-Ushul karya Ubaidullah bin Al-Husain bin Dallal Al-Karkhi Al-Hanafi (260-340 H).

45. Al-Ushul karya Ahmad bin Ali Al-Jash-shash Al-Hanafi (wafat th 370 H).

46. Al-Ushul karya Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl Abu Bakr As-Sarakhsi th 490 H).

47. Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad bin Al-Husain Al-Bazdawi Al-Hanafi (wafat th. 482 H).

48. Ta’sis An-Nazhar karya Ubaidullah bin Umar bin Isa Abu Zaid Ad-Dabbusi Al-Hanafi (wafat th 430 H).

49. Al-Manar karya Hafizhuddin Abdullah bin Ahmad An-Nasafi Al-Hanafi (wafat th 701 H).

50. At-Tamhid Fi Takhrij Al-Furu’ ‘alal-Ushul karya Jamaluddin Abdur Rahim bin Al-Hasan bin ‘Ali  Al-Isnawi Asy-Syafi’i (704-772 H).

Beberapa Buku Ushul Fiqh Kontemporer

1. Tas-hil Al-Wushul Ila Ilmil-Ushul karya Muhammad Abdur Rahman Al-Mahlawi Al-Hanafi (wafat 1920 M karya Ali Hasbullah dan lain-lain

2. Jalaluddin Abdur Rahman, Al-Masholih al-Mursalah wa Makanatuhu fit Tasyri’, Dar Kitab al-Jani’ Cairo, 1992

3. Abu Ya’la Muhammad Ibnu A-Husein Al-Farra’, Al-Uddah fi Ushul Fiqh, Riyadh, 1990.

4. Ibrahim Abu Sulaiman, Al-Fikry al-Ushul, Dar Al-Syuruq Mekkah Al-Mukarramah, 1982.

5. Masadir al-Tasyri’ al-Islami Fi ma La Nassa Fih, karya Abdul wahab al-Khallaf, Dar al-Qalam, Kuwait, 1972.

6. Ahmad fahmi Abu Sinnah,  Al-‘Uruf Wa al-‘Adah Fi Ra’y al-Fuqaha’, Matba’ah al-azhar, Mesir, 1947.

7. Abu Husain Al-Bashry, Al-Mu’tamad fi Ushul Fiqh, Beirut, 1982 Said Ramadhan Al-Buwaithy, Dhawabith al-Mashlahah, Muassasah ar-Risalah Beirut,  1977

8. Ath-Thufi Al-Hambaly, Syarah Al-Mukhtashar Ar-Raudhah, tt. (ada dalam buku Abdul Wahhab Khallaf),

9. Yusuf Qasim, Ushul al-Ahkam fi al-Syari’ah, Dar al-Nahdhoh al-’Arabiyyah, Cairo, 1994

10. Abu Ishaq Al-Syatibi, Al-I’tisham, Dar Tsaqafah al-Islamiyah, Beirut, tt

Page 41: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

11. Muhammad Ma’ruf  Al-Dawalibi,  Al-Madkhal Ila ‘Ilm Usul al-Fiqh, Dar al-‘ilm al-Malayin, Mesir, 1965.

12. Huyen Hamid Hasan, Nazriyah al-Maslahah Fi al-Fiqh al-Islami, Dar al-Nadhah al-‘Arabiyah, Mesir, 1971.

13. Mustafa Said, Al-Khan, Asar al-Ikhtilaf Fi al-Qawa’id al-Usuliyah Fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, Muassasah al-Risalah, Mesir, tt. Zakaria Al-Subari, Masadir al-Ahkam al-Islami, Sahib Muhammad Abdul Rauf; Kairo, 1985.

14. Husein Hamid Hasan, Al-Madkhal li Dirasah Fi al-Fiqh al-Islami, Dar al-Nadhah al-‘Arabiyah, Kairo, tt.

15. Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyah Dalam Bidang Fiqh Islam, INIS, Jakarta, 1991. Hasan, Ah

16. Al-Madani, Muhammad, Mawatin al-Ijtihad Fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Maktabah al-Manar, Kuwait, tt. (Edisi Indonesia, Ruang Lingkup Hukum Islam, Dalam Buku Dasar Pemikiran Hukum Islam, Terj. Husein Muhammad, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987.

17. Abu Jail Isa, Ijtihad al-Rasul, Dar Al-Bayan, Kuwait, 1969

18. Amiur Nuruddin , Ijtihad Umar Ibn al-Khattab, Studi Tentang Perubahan Hukum Dalam Islam, Rajawali Press, Jakarta, 1991.

19. Yusuf Qardawi,  Al-Ijtihad Fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Dar al-Qalam, Kuwait, (Edisi Indonesia, Ijtihad Dalam Syari’ah Islam, Terj. Ahmad Syatary, Bulan Bintang, Jakarta, 1987).

20. Yusuf Qardawi,  Al-Ijtihad Wa al-Tajdid Baina al-Dawabit al-Syari’ah Wa al-Hayat al-Mu’asarah, Majalah al-Ummah no. 45, Tahun IV, Ramadan 1404 H., (Edisi Indonesia,

21. Pembaharuan Ijtihad, Dalam Dasar Pemikiran Hukum Islam, Terj. Husein Muhammad, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987.

22. Yusuf Musa, Muhammad, Al-Ijtihad Wa Ma Hajatuna Ilaih, Dar al-Kutub al-Hadisah, Kairo, tt.

23. Muhammad Zakaria al-Bardisi, Ushul Fiqh, Dar an-Nahdhoh al-Arabiyah, Mesir, 1969.

24. Abdul Mujib, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Nurcahaya, Yogyakarta, 1980

25. Ibnul Hajib, Mukhtashar al-Muntaha, Mathba’ah al-Amirah, Mesir, 1326 H.

26. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh, Dar At-Tauzy, Kairo, 1992.

27. Al-Suyuti, Jalaluddin, Al-Asybah Wa al-Nazhair, Dar al-Fikri, Beirut, tt .

28. Ali Ahmad An-Nadwa, al-Qawaid wa adh-Dhawabith al-mustakhlishah min tahrir lil al-Imam Jamaluddin Hasyriry, Syarah Jami’ al-Kabir, Mathba’ah al-Madany, Mesir.

Page 42: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Bahaya Transaksi Derivatif

0

Posted on : 13-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics 33

Oleh : Agustianto

Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dan Dosen Pascasarjana UI, Trisakti dan Univ.Paramdina

Krisis keuangan global yang terjadi di Amerika Serikat telah menimbulkan keterpurukan ekonomi yang sangat dalam bagi perekonomian AS. Krisis keuangan yang berawal dari krisis subprime mortgage itu merontokkan sejumlah lembaga keuangan AS. Raksasa keuangan sebesar Lehman Brothers pun bisa tumbang. Nyatanya dia tidak sendirian, pelaku bisnis raksasa lainnya juga mengalami nasib tragis yang sama, seperti Washington Mutual Bank. Perusahaan asuransi terbesar di dunia American International Group (AIG) dan perusahaan sekuritas raksasa Merrill Lynch, Morgan Stanley dan Goldman Sachs mengalami sempoyongan yang luar biasa. Pemerintah AS terpaksa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut. Para investor mulai kehilangan kepercayaan, sehingga harga-harga saham di bursa-bursa utama dunia pun rontok, termasuk Indonesia.

Page 43: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Menyusul tumbangnya banyak perusahaan finansial, pencaplokan perusahaan pesaing makin marak. Pengambil alihan secara paksa (hostile takeover) menjadi sesuatu yang wajar dalam dinamika pasar. Bagi perusahaan finansial yang memiliki produk derivatif luas di pasar, keberadaan perusahaan bisa dipermainkan para spekulan. Saat perusahaan mulai goyah pencaplokan oleh perusahaan lain tidak terhindarkan. Pasar menjadi ganas dan liar, tidak terkendali.

Para analis menilai, bencana pasar keuangan akibat rontoknya perusahaan keuangan dan bank-bank besar di Negeri Paman Sam satu per satu, tinggal menunggu waktu saja. Inikah tanda-tanda keruntuhan sebuah imperium, negara adi daya bernama Amerika Serikat?

Sebagai negara adi daya dengan gross domestic bruto (GDP) terbesar di dunia, Amerka Serikat seharusnya mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dalam menjaga kestabilan dan kesehatan sistem dan pasar keuangan di negaranya, karena akan berdampak besar bagi negara-negara lain. Tetapi justru Amerika Serikat yang tersungkur jatuh ke jurang krisis keuangan yang sangat dalam.  Dalam sistem ekonomi konvensional kapitalisme  yang anutnya, dihalalkan kegiatan bisnis derivatif dan  spekulatif di pasar uang dan pasar modal. Praktek bunga, maysir dan gharar menjadi kebiasaan.

Ada banyak analisis terkait dengan kehancuran pasar finansial, mulai dari kebijakan defisit AS, kebijakan suku bunga rendah di era Greenspan, keserakahan elit politik, kegiatan spekulatif para petinggi perusahaan, seperti dilakukan Dick Fuld, CEO Lehman Brothers, tingginya biaya program politik luar negeri, manipulasi laporan keuangan dan lain-lain. Hampir semua analisis itu tidak menukik kepada akar masalah yang paling dalam, sehingga apapun obat dan strategi pemulihan yang diberikan pasti tidak mujarab. Penyakit krisis pasti kembali kambuh dan terus berulang. Paparan dalam tulisan ini akan menjelaskan akar masalah yang sesungguhnya dari krisis keuangan yang selalu terjadi sepanjang sejarah, termasuk krisis keuangan saat ini yang bermula dari Amerika Serikat.

Menurut perspektif ekonomi syariah, penyebab utama krisis yang terjadi saat ini adalah (satanic trinity), yaitu trinitas setan yang terdiri dari riba, maysir dan gharar. Sistem dan pasar keuangan dan capital market di Amerika  telah didominir  oleh setan tiga serangkai atau trinitas setan (satanic trinity) yang terdiri dari (1) bunga (riba) dalam transaksi keuangan; Praktek riba terlihat jelas pada bisnis derivatif yang sangat laris di pasar uang dan pasar modal AS. (2) Produk derivatif yang tak jelas underline transactionnya itu disebut juga dengan gharar, karena ketidak jelasan produk riilnya. Produk gharar ini disamarkan dengan istilah produk hybrids dan derivatives yang   dibungkus dan dikemas dengan mekanisme securitisation insurance atau guarantee; (3) Peri laku dan praktek spekulatif atau untung-untungan (maisir) yang juga tanpa dilandasi transaksi riil. .

Sebenarnya, krisis keuangan global dapat dibedakan kepada dua macam krisis, Pertama krisis di pasar modal (capital market) dan kedua krisis di pasar uang (money market). Kedua bentuk financial market itu membuka peluang kepada transaksi dengan tingkat spekulasi yang tinggi. Keduanya menggunakan bunga sebagai instrumen. Keduanya juga memisahkan sektor moneter dan sektor riel sebagaimana diajarkan sistem ekonomi kapitalisme.

Page 44: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Di capital market konvensional, sangat dimungkinkan terjadinya short selling dan margin trading . Kegiatan bisnis tersebut sangat sarat dengan motif spekulasi. Sementara di pasar uang terdapat dua kesalahan besar yang berakibat kepada krisis, pertama, kegiatan transaksi valas yang bermotif spekulasi, baik spot maupun bukan, seperti forward, options dan swaps transaction. Kedua bahwa yang menjadi standar keuangan international adalah fiat money.

Islam yang berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah dari langit tentu memiliki ajaran yang unggul, rasional dan ilmiah dan empiris. Menurut ekonomi Islam, sektor moneter dan sektor riil tidak boleh terpisah, sedangkan dalam sistem ekonomi kapitalisme keduanya terpisah secara diametral. Akibat keterpisahan itu, maka arus uang (moneter) berkembang dengan cepat sekali, sementara arus barang di sektor riil semakin jauh tertinggal. Sektor moneter dan sektor riil menjadi sangat tidak seimbang.

Pakar manajamen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai adanya decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa.

Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi pada kedua pasar keuangan di atas, yaitu di pasar modal dan pasar valas (money market) sehingga ekonomi dunia terjangkit penyakit yang bernama balon economy (bubble economy). Disebut ekonomi balon, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Jadi, bublle economy adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riel, bahkan sektor riel tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya.

 

Sekedar ilustrasi dari fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum krisis moneter Asia, dalam satu hari, dana yang gentayangan dalam transaksi maya di pasar modal dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun dolar AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS.

Padahal arus perdagangan barang secara international dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika, 18-8-2000).

Dalam tulisan Agustianto di sebuah seminar Nasional tahun 2007 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, disebutkan bahwa volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation and derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 trillion hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya (Rasio 500 : 6 ), Jadi sekitar 1-an %. Celakanya lagi, hanya 45 persen dari transaksi di pasar, yang spot, selebihnya adalah forward, futures,dan options. Sementara itu menurut Kompas September 2007, uang yang beredar dalam ransaksi valas sudah mencapai 1,3 triliun dalam setahun. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan semakin melejit meningalkan sektor riel. Dengan demikian balonnya semakin besar dan semakin rawan mengalami letupan. Ketika balon itu meletus, maka terjadilah krisis seperti yang sering kita saksikan di muka bumi ini.

Page 45: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Gejala decoupling, sebagaimana digambarkan di atas, disebabkan, karena fungsi uang bukan lagi sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar AS.

Berdasarkan realitas itulah, maka Konferensi Tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riel.

Kegiatan bisnis yang memisahkan sektor moneter dan riil, tidak lain adalah praktek riba. Istilah kontemporer menyebutnya derivatif. Dalam transaksi derivatif saat ini, sesungguhnya telah menyatu tiga serangkai riba, maysir dan gharar. Sistem bisnis derivatif dalam pandangan Islam, merupakan sebuah kejahatan besar, sehinga pelakunya abadi di neraka (2:275), karena dosanya tak termaafkan. Dampaknya bisa menghangcurkan ekonomi banyak negara sebagai mana yang kita rasakan dan saksikan saat ini. Jika sebuah negara terjun ke jurang krisis, maka ratusan juta bisa menderita, Bayangkan jika 10, 20 atau 30 negara diterpa krisis, berapa milyard umat manusia yang menjadi sengsara dan makin miskin akibat sistem yang salah, sistem yang menghalalkan riba, maysir dan gharar. Oleh karena jahatnya transaksi derivatif, maka  George Soros menyebutnya sebagai hydrogen bombs, sementara Warren Buffett menjulukinya sebagai financial weapons of mass destruction

Transkasi derivatif telah menjelma menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan menciptakan mega-catastrophic yang dapat meluluhlantakkan sistem finansial global. Hal ini disebabkan ekspansi derivatif telah menciptakan bubble yang sangat besar dalam ekonomi dunia.

Para ekonom dan pakar keuangan telah mengidentifikasi dan berkonklusi bahwa transaksi derivatif menjadi punca dan penyebab utama semua bencana ekonomi besar yang terjadi sejak tahun 1929 di Amerika Serikat. Sistem riba, maysir dan gharar (derivative) jugalah yang berada di belakang crash pasar saham Wall Street tahun 2001 yang dikenal sebagai Black Monday, juga krisis keuangan dan perbankan di tahun 1987

Bisnis derivative ini jugalah  menjadi penyebab terjadinya krisis finansial Asia 1997/1998; penyebab kolapsnya hedge fund raksasa Long Term Capital Management (LTCM) tahun 1998; ambruknya bank dagang tertua Inggris, Barrings Bank; kolapsnya Enron; pemicu krisis ekonomi Argentina; serta menjadi pemantik krisis keuangan dan ekonomi global saat ini. Hal ini terjadi karena, menurut Kavaljit Singh (2000), transaksi derivatif yang awalnya digunakan untuk mengurangi risiko (hedging) akibat pergerakan harga tidak lagi wujud, malahan menjadi instrumen spekulasi.

Upaya saat ini yang banyak dibahas untuk mengurangi dampak buruk derivatif adalah membuat regulasi dan supervisi yang sophisticated (Bisnis, 20 Maret). Namun, Menurut Aziz Setiawan, pakar ekonomi Islam Paramadina, ketika regulasi tidak menyentuh pembatasan kemampuan bermutasi dan bermetamorfosis derivatif, ancaman krisis sistemik akan selalu ada. Metamorfosis dan mutasi derivatif berkembang ketika terjadi pemisahan risiko dari aktivitas ekonomi riil,

Page 46: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

sehingga risiko bertransformasi menjadi “komoditas” dan membuatnya dapat ditransaksikan secara terpisah.

 

Komoditisasi risiko membuat risiko menjadi semakin berbiak. Ketika risiko terpisah dari sektor riil, tidak ada batasan jenis risiko yang bisa ditransaksikan, mulai dari saham, obligasi, komoditas, indeks, valuta, rating perusahaan, penyelesaian takeover, cuaca serta risiko lainnya. Lebih jauh lagi bahkan, derivatif dapat diturunkan dari derivatif lainnya, sehingga lahirlah options on futures, futures on options, options on options, dan lain-lain.

 

Hal ini, membuat volume dan pertumbuhan derivatif terpisah dari sektor riil. Karena sektor riil jauh lebih kompleks dan dihadapkan pada berbagai kendala, maka pertumbuhan pasar derivatif jauh lebih cepat dari barang dan jasa riil. Maka tak mengherankan bila volume derivatif telah berbiak lebih sepuluh kali lipat dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) seluruh dunia yang hanya US$60 triliun.Berdasarkan data Bank for International Settlements (BIS), volume transaksi derivatif dalam 6 tahun terakhir telah membengkak lebih dari enam kali lipat; dari sekitar US$100 triliun menjadi US$683 triliun tahun 2008. Akhirnya regulasi tanpa menyentuh aspek pembatasan kemampuan bermutasi dan bermetamorfosis derivatif, tidak akan terlalu membantu meredam daya ledak bom waktu ini.

Dalam sebuah seminar di STAN Jakarta, di mana saya dan Aviliani ketika itu sebagai pembicara, beliau mengatakan, bahwa perbandingan transaksi sector riil dan sector keuangan telah membengkak secara spektakuler, yakni 1 banding 3000. Ini Artinya, jika transaksi bisnis riil hanya 1 triliun US dolar seathaun, maka transaksi derivative di sector keuangan 3000 kali lipatnya, yakni sebanyak 3000 triliun US dollar dalam setahun. Percepatan ini terjadi dalam 6 tahun belakangan ini.

 

Alquran dan transaksi derivatif

Pelarangan riba yang secara tegas terdapat dalam Al-Qur’an (QS: 2 :275-279), pada hakikatnya merupakan pelarangan terhadap transaksi maya atau derivatif . Firman Allah, “Allah menghalalkan jual-beli (sektor riel) dan mengharamkan riba (tranksaksi maya)”.

Dalam transaksi maya, tidak ada sektor riel (barang dan jasa) yang diperjualbelikan. Mereka hanya memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi. Tambahan (gain) yang diperoleh dari jual beli itu termasuk kepada riba, karena gain itu diperoleh bighairi wadhin, yakni tanpa ada sektor riel yang dipertukarkan, kecuali mata uang  atau kertas-kertas itu sendiri. Dalam transaski derivatif juga tidak ada ma’kud ’alaih, berupa barang/jasa yang menjadi rukun dalam transaksi bisnis. Transaski inilah yang  dilarang Alquran dan hadits dengan istilah riba dan gharar.

Page 47: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Pencipta alam semesta dan pencipta manusia, Dialah Allah Rabbbul ‘Alamin, Dialah yang paling dan Maha pintar dari siapapun. Dia sudah memberikan jawaban dalam kitabnya Alquran bahwa akar masalah kerusakan ekonomi adalah riba (QS.30 : 39 -41) . Dalam semua Kitab suci yang diturunkanya Taurat dan Injil, dia juga telah mengharamkan riba. Tak diragukan sedikitpun bahwa akar masalah yang paling utama adalah sistem riba yang menjadi instrumen dan jantung kapitalisme dalam seluruh transaksi keuangan. Walaupun harus diakui bukan riba satu-satunya yang menjadi akar terjadinya krisis finansial tersebut.

Dalam surah Ar-Rum ayat 41 Allah berfirman, :”Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah”

Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi yang dijalankan oleh manusia, pendekarnya adalah Amerika dan Eropa dan selanjutnya diikuti oleh Indonesia dan negara lainnya. Ayat sebelumnya yakni ayat 39 berbicara dengan jelas bahwa sistem riba tidak akan menumbuhkan ekonomi masyarakat, tetapi malah merusak perekonomian. Firman Allah “Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia betambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39)

Ayat Alquran tersebut berbicara dalam konteks ekonomi makro, artinya menganalisis ekonomi secara agregat, bukan secara mikro, seperti membandingkan harga jual beli murabahah dengan bunga bank konvesnional. Bunga bank konvensional bagi banyak orang tak begitu terasa bagi kerusakan ekonomi, tetapi ketika bunga sudah menjadi sistem finansial global dan nasional, maka dampaknya luar biasa jahat bagi pembangunan ekonomi. Bunga, sedikit atau banyak tetap disebut riba, sebagaimana daging babi yang sedikit dengan yang banyak, yang sedikit tetap daging babi juga. Hadits Nabi Saw, “Sedikit dan banyaknya hukumnya haram”. Demikian pula riba, baik diterapkan dalam ekonomi mikro maupun makro tetap haram.

Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Pakar Ekonomi Islam asal USA, Prof.Dr.Monzer Kahf mengatakan, “Riba has a great contribution to the current crisis but it is alone not the sole element in it, of course Riba contributed through creating layers of financial transactions that resulted in a domino effect of institutions and the economy at large, but there is the lust for profit that caused over stretching of finance to persons who cannot continue paying their debts, their also the expanded consumerism in the American society that shares in creating unbearable debt burdens, etc.”

Jadi menurutnya, riba’ telah memberikan  kontribusi yang besar kepada krisis ini meskipun ia mengakui bahwa riba’ itu sendiri bukanlah satu-satunya elemen penyebab krisis. Riba  memberikan konstribusi  melalui  transaksi-transaski derivative dan spekulatif  pada institusi institusi keuangan. Penyebab lainnya ialah hawa nafsu serakah  mencari keuntungan dari mereka yang tidak berdaya meneruskan pembayaran hutang. Sikap ini juga adalah gejala dari expanded consumerism dalam masyarakat Amerika itu sendiri.

Page 48: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Kegagalan sistem keuangan sebagai akibat dari trinitas setan itu, dengan bahasa yang berbeda, secara implisit diakui oleh Henry Poulson, Menteri Keuangan A.S. Dalam laporannya sebagai Ketua President’s Working Group(PWG) on Financial Markets (April 2008), Poulson dengan tegas menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya krisis subprime mortgages di A.S. adalah: (1) merosotnya mutu/standar penjaminan bagi subprime mortgages; (2) erosi yang signifikan terhadap disiplin pasar yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dengan proses sekuritisasi, termasuk originators, underwriters, credit rating agencies, dan global investors; (3) kegagalan dalam menyediakan dan memperoleh informasi risiko (risk disclosures) yang memadai; (4) kelemahan yang mencolok (significant flaws) pada perusahaan pemeringkat kredit, khususnya dalam menilai: a) subprime residential mortgage backed securities (RMBS) dan b) collateralized debt obligations (CDOs)yang dikaitkan dengan RMBS dan asset backed securities (ABS) lainnya; (5) kelemahan manajemen risiko pada sejumlah institusi keuangan besar di A.S. dan Eropa; dan (6) kelemahan regulasi termasuk mengenai persyaratan modal dan keterbukaan informasi (disclosure) yang gagal dalam memitigasi kelemahan manajemen risiko.

Keenam hal tersebut di atas yang menurut Poulson marak terjadi  sejak tahun 2004, bertepatan dengan masa jabatan kedua Presiden Bush, secara sengaja atau tidak sengaja, telah ikut menyuburkan transaksi yang bersifat gharar dan maisir sehingga transaksi keuangan yang seharusnya didasarkan kepada underline asset, keterbukaan dan fairness berubah menjadi transaksi keuangan yang bersifat sangat spekulatif dan juga addictive yang sangat berbahaya dan sulit dihentikan.

Interaksi pasar modal yang penuh gharar dan maisir dengan perbankan yang ribawi, selain dengan cepat menggoyahkan sendi-sendi sistem dan pasar keuangan–akibat asset write down yang menggerus aset dan modal serta bad debt yang menggerus laba, juga semakin menjauhkan kegiatan sektor keuangan dari sektor riil. Lebih buruk lagi, dampak negatif tersebut juga harus dirasakan oleh perusahaan dan negara yang sebelumnya tak ada permasalahan serius.

Hindari Maghrib

Perlu ditegaskan kembali bahwa  ekonomi kapitalisme yang rawan krisis itu, tidak melarang praktik maghrib, sedangkan ekonomi Islam sangat keras mengecamnya. Magrib adalah akronim dari maysir, gharar dan riba. Tiga macam praktik terlarang inilah yang menjadi faktor dan biang utama krisis. Maysir adalah kegiatan bisnis yang berbentuk judi dan spekulasi. Spekulasi selalu terjadi di pasar modal dalam bentuk short selling dan margin trading. Sedangkan gharar ialah transaksi maya, drivatif dan karena itu ia menjadi bisnis resiko tinggi). Riba ialah pencarian keuntungan tanpa dilandasi kegiatan transaksi bisnis riel. Di pasar modal seringkali para investor meraup keuntungan tanpa adanya underlying asset, atau sektor riel yang melandasinya. Tujuan investor bukan untuk menanam saham secara riil di sebuah emiten, tetapi semata untuk meraih gain melalui praktik margin trading. Selain itu harus diketahui bahwa di dalam financial market, margin trading dan fiat standart ditetapkan berdasarkan instrumen bunga.

Di pasar uang kegiatan transaksi spekulasi valas semacam transaksi swap, forward dan options selalu terjadi. Semua transaksi tersebut bertentangan dengan syariah, karena mengandung riba. Sementara itu, ekonomi syariah adalah ekonomi yang berusaha menempatkan keseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil (atau bisa disebut economy 1 on 1). Artinya ekonomi yang

Page 49: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

mengkaitkan secara ketat antara sektor moneter dan sektor reil. Tegasnya, one monetery unit for one real asset. Dalam kerangka itulah Ekonomi Islam mengajarkan kegiatan bisnis riel melalui jual beli, bagi hasil dan ijarah

Jantung dari sistem ekonomi kapitalisme adalah riba. Riba adalah punca dari segala macam krisis. Artinya riba adalah biang utama terjadimya krisis. Kegiatan spekulasi dalam bentuk margin trading dan short selleing di pasar modal adalah riba, karena tanpa dilandasari oleh underlying transaction yang riel. Kegitan traksaksi derivatif di bursa berjangka dan bursa komoditi semuanya adalah riba. Kegiatan spekuasi valas dengan motif untuk spekulasi, bukan untuk transaksi adalah kegiatan ribawi. Sedangkan untuk jaga-jaga (preceutionary) hukumnya makruh.

Ambillah 100-an buku-buku Islam (fiqh, tafsir dan hadits), lalu lihat dan analisis-lah definisi riba. Dari ratusan definisi riba itu disimpulkan, bahwa riba ialah az-ziyadah lam yuqabilha ‘iwadh, artinya, riba adalah tambahan yang diperoleh tanpa didasarkan adanya ‘iwadh. Iwadh ialah transaksi bisnis riel yang terdiri dari 3 macam, yaitu jual beli, bagi hasil dan ijarah, Jual beli contohnya ialah seperti jual beli dengan segala macamnya (jual beli murabahah, salam, istisna), Transaksi bisnis riel juga dapat diwujudkan dengan bagi hasil dan ijarah,. Bagi hasil diwujudkan dengan konsep mudharabah, syirkah, mudharabah musytarakah, musyarakah mutanaqishah dan muzara’ah. Sedangkan ijarah diwujudkan dengan ijarah biasa, ijarah muwazy (paralel), IMBT.

Transaksi mudharabah dan musyarakah serta transaksi jual beli murabahah, salam, istisna’ dan ijarah (leasing), memastikan keterkaitan sektor moneter dan sektor riel. Oleh karena itu pula salah satu rukun jual beli ialah ada uang ada barang (ma’kud ‘alaihi). Dengan demikian, future trading dan margin trading yang tidak diikuti dengan pengiriman barang adalah tidak sah. Jelasnya bahwa konsep ekonomi Islam menjaga keseimbangan sektor riel dan sektor moneter. Begitu pula dengan perbankan Islam yang pertumbuhan pembiayaannya tidak dapat terlepas dari pertumbuhan sektor riel yang dibiayainya.

Yang jelas tidak boleh ada tambahan (keuntungan) tanpa adanya transaksi bisnis riel. Seorang spekulan mata uang, yang maraup keuntungan dari selisih harga beli dollar dan jualnya, adalah pelaku riba. Dalam ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadian sebagai komoditas sebagaimana yang banyak dipraktikkan dewasa ini dalam kegiatan transaksi bisnis valuta asing. Menurut Ekonomi Islam, transaksi valas hanya dibenarkan apabila digunakan untuk kebutuhan transaksi di sektor riel, seperti membeli barang untuk kebutuhan import, berbelanja atau membayar jasa di luar negeri dan sebagainya. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulasi, amat dilarang dalam Islam. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulatif menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.

Dampak spekulasi valas ialah nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Solusinya adalah mengatur sektor finansial agar menjauhi dari segala transaksi yang mengandung riba, seperti transaksi-transaksi maya di pasar uang. Mengambil gain dan keuntungan tanpa didasarkan pada kegiatan bisnis sektor riil adalah riba, baik di pasar uang maupun di pasar modal. Maka, seorang spekulan saham di pasar modal juga telah melakukan praktik riba.bahkan lebih jauh ia telah masuk kepada praktik gharar dan maysir. Demikian pula seorang yang ikut dalam transaksi bursa berjangka juga telah melakukan transaksi ribawi.

Page 50: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Karena ekonomi Islam tidak memisahkan sektor moneter dan sektor riil, maka jumlah uang yang beredar menurut Islam, ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riel atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Demikian kata Ibnu Taymiyah di buku Majmu’ Fatawa pada abad pertengahan Islm

Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikti pertumbuhan sektor riel, Inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, yaitu ekonomi konvensional, jelas memisahkan antara sektor finansial dan sektor riel. Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis, Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riel, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang.

Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara,apalagi negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riel.

Spekulasi mata uang yang mengganggu ekonomi dunia, umumnya dilakukan di pasar-pasar uang. Pasar uang di dunia ini saat ini, dikuasai oleh enam pusat keuangan dunia (London, New York, Chicago, Tokyo, Hongkong dan Singapura). Nilai mata uang negara lain, bisa saja tiba-tiba menguat atau sebaliknya. Lihat saja nasib rupiah semakin hari semakin merosot dan nilainya tidak menentu.

Di pasar uang tersebut, peran spekulan cukup signifikan untuk menggoncang ekonomi suatu negara. Lihatlah Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata pernah sempoyongan gara-gara ulah spekulan di pasar uang, apalagi kondisinya seperti Indonesia, jelas menjadi bulan-bulanan para spekulan. Demikian pula ulah George Soros di Asia Tenggara tahun 1997..

Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen yang tepat, biasanya satu peristiwa politik yang menimbulkan ketidakpastian.

Menjelang momentum tersebut, secara perlahan-lahan mereka membeli rupiah, sehingga permintaan akan rupiah meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan. Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepas secara sekaligus dalam jumlah besar. Pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain.

Kesadaran ekonom dan negara maju

Sebenarnya, sebagian pakar ekonomi dunia telah menyadari kerapuhan sistem moneter kapitalisme seperti itu. Teori Bubble growth dan random walk telah memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang bahaya transaksi maya (bisnis dan spekulasi mata uang dan bisnis (spekulasi) saham di pasar modal).

Page 51: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Para pemimpin negara-negara G7 pun, telah menyadari bahaya dan keburukan transaksi maya dalam perekonomian. Pada tahun 1998 mereka menyepakati bahwa perlu adanya pengaturan di pasar uang sehingga tidak menimbulkan krisis yang berkepanjangan. Jadi, bila negara-negara G7 telah menyadari bahaya transaksi maya, mengapa Indonesia masih belum melihat dampak negatifnya bagi perekonomian dan segera mendorong konsep dan blueprint ekonomi Islam..

Selanjutnya, untuk meminimalisir kegiatan spekulasi dan bubble economy para ekonom Barat mengusulkan untuk mengetatkan regulasi investasi. Ben Bernake, Chairman of Federal Reserve bahkan sampai meminta kepada konggres AS untuk menyetujui penambahan regulasi bagi bank investasi agar tidak terjadi spekulasi yang berlebihan di pasar aset keuangan. Pendapat senada juga diutarakan oleh Direktur IMF Strauss-Kahn mengenai perlunya penambahan aturan dan transparansi untuk menghidari krisis yang lebih parah. Meskipun kedua pernyataan ini terdengar berlawanan dengan semangat kapitalisme AS, namun akhirnya sebagian ekonom dan pengamat pasar keuangan sepakat bahwa liberalisasi pasar keuangan cenderung mendorong kepada ketidakstabilan ekonomi.

Joseph  Stiglitz, pemenang Hadiah Nobel 2002 dari Harvard University  mengatakan, “Pada akhirnya, Negara AS yang selama ini membangga-banggakan sistem kapitalisme yang dianutnya ke berbagai negara di dunia, mendapat kritikan tajam setelah AS sendiri tidak mampu membuktikan bahwa model ekonomi yang dianutnya adalah model ekonomi yang bisa mensejahterakan umat manusia”.

Menurut Stiglitz, krisis keuangan di AS yang menjalar menjadi krisis keuangan global bahkan lebih buruk dari Great Depression pada era 1930-an, telah membuka mata masyarakat internasional akan rapuhnya sistem kapitalisme yang dianut Negeri Paman Sam. Sistem ini terbukti, pada akhirnya hanya membuat mereka yang menganutnya menjadi sengsara dan menderita .(Washington Post)

Sementara itu, menurut Krugman, peraih Nobel Ekonomi 2008,   ekonomi dunia akan mengalami resesi dalam kurun waktu yang lama. Dia mengakui bahwa krisis ini memang menakutkan,

PernyAtaan senada diungkapkan Investor dunia, George Soros. Dia menilai krisis yang menerjang pasar finansial saat ini sangat serius. Krisis ini, menurutnya, lebih hebat dibanding krisis finansial lainnya sejak berakhirnya Perang Dunia kedua,. Soros menegaskan yang terancam resesi bukan hanya perekonomian Amerika Serikat saja, tapi juga Eropa.

Karena kegawatan sistem moneter global tersebut, PM Inggris Gordon Brown mengatakan agar dibentuk arsitektur keuangan dunia baru menyerupai Bretton Woods yang muncul setelah Perang Dunia II. Bagi Eropa, krisis ini begitu dalam, AS harus siap dengan sistem baru itu, Christian de Boissieu, ekonom dan penasihat Presiden Sarkozy. mengatakan pembentukan sistem itu kemudian harus melibatkan pengganti Presiden Bush.Di samping itu, Kanselir Jerman Angela Merkel mendukung pertemuan G-8, yang juga dihadiri pemimpin China, Brasil, dan India di New York. Pertemuan itu mengusulkan pembentukan Bretton Woods II, seperti usulan Perancis.

Page 52: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Sementara itu, negara-negara  kaya dan berkembang yang tergabung dalam Kelompok 20 (G-20) yang menguasai 85 persen perekonomian dunia, menyatakan, bahwa mereka  bertekad akan menggunakan segala cara untuk mengatasi krisis finansial yang mengguncang pasar dunia. untuk menjamin stabilitas dan berfungsinya dengan baik pasar financial.

Para pemimpin Asia dan Eropa yang bertemu dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-7 Asem di Beijing, China, pada 25 Oktober 2008  telah mnyepakati untuk segera melakukan perombakan sistem moneter dan finansial internasional secara menyeluruh dan efektif. Mereka juga menyerukan kepada Dana Moneter Internasional (IMF) agar segera mengambil peran utama dalam membantu negara-negara yang kesulitan keuangan.

Usulan perombakan sistem moneter dan finansial internasional sebelumnya keras disuarakan Eropa. Kini suara itu makin menguat dengan dukungan dari negara-negara Asia melalui KTT Asem yang dihadiri para pemimpin dari 43 negara itu.

 

Presiden Perancis Nicolas Sarkozy menyatakan, ”Eropa berusaha menawarkan untuk keluar dari krisis keuangan yang di luar perkiraan. Ini adalah pertemuan tingkat tinggi yang sangat bermanfaat dan menjanjikan. Eropa dan Asia memiliki banyak hal yang bisa dilakukan bersama.

 

Dengan menyatunya suara Eropa dan Asia itu, tinggal Amerika Serikat yang masih harus menetapkan pendirian. AS selama ini diketahui enggan merombak sistem finansialnya yang memiliki banyak kelemahan dalam hal kontrol. Alasannya, karena khawatir akan mengganggu asas perdagangan bebas.

Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, pernah mengungkapkan, kapitalisme mutakhir yang digerakkan sektor keuangan (financially-driven capitalism) tumbuh pesat luar biasa sejak awal dasawarsa 1980-an. Transaksi di sektor keuangan meroket ratusan kali lipat dibandingkan dengan nilai perdagangan dunia

.Di negara-negara maju, lalu lintas modal bebas bergerak praktis tanpa pembatasan. Sementara itu, makin banyak saja negara berkembang yang mengikuti jejak meliberalisasikan lalu lintas modal. Jika pada tahun 1970-an hanya 20 persen emerging market countries yang tergolong liberal dalam lalu lintas modal mereka, dewasa ini sudah meningkat dua kali lipat.

Uang dan instrumen keuangan lainnya tak lagi sekadar sebagai penopang sektor produksi riil, melainkan telah menjelma sebagai komoditas perdagangan, diternakkan beranak pinak berlipat ganda dalam waktu singkat. Produk-produk keuangan dengan berbagai macam turunannya menghasilkan ekspansi kapitalisme dunia yang semu.

 

Page 53: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

 

Reformasi Moneter Indonesia

Sudah menjadi keniscayaan bagi Indonesia untuk meredisign  kebijakan ekonomi moneter Indonesia karena sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini bila diteruskan  sangat berbahaya bagi kesejahteraan Indonesia di masa depan. Sistem kapitalisme senantiasa mengancam krisis demi krisis. Sistem kapitalisme itu sangat rawan dan gampang menciptakan krisis. Selain itu, sistem kapitalisme akan menciptakan kesenjangan pendapatan dan ketidak-adilan  ekonomi, sistem kapitalisme belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat banyak

Kegagalan ekonomi kapitalisme seharusnya dijadikan momentum dan pelajaran bagi bangsa Indonesia untuk melakukan reformasi sistem moneter secara bertahap Sudah saatnya pemerintah mengubah paradigma kebijakan pembangunan ekonomi nasional dari orientasi akumulasi kapital kepada orientasi keadilan sesuai dengan prinsip syariah Islam dan realitas sosial masyarakat yang bersumber dari akar sejarah bangsa.

Tidak ada satu pihak pun yang memiliki akal sehat,  yang menolak urgensinya pendekatan makro dalam pembangunan ekonomi untuk keselamatan Negara di masa depan. Pendekatan makro diperlukan untuk menganalisis perilaku ekonomi masyarakat. Misalnya, mengapa banyak pengangguran dan kemiskinan ? Mengapa inflasi tinggi? Mengapa nilai kurs berfluktuasi, mengapa harga-harga saham berjatuhan, dsb.

Selanjutnya,  Pemerintah diharapkan (didsak)  agar lebih akomodatif terhadap sistem  ekonomi syariah yang telah terbukti selama 40 tahun berkembang dengan pesat di saat krisis global datang mnelanda secara bertubi-tubi. Bahkan jika kita menarik  sejarah ke masa yang lebih lampau, tercatat bahwa selama 4000an tahun ekonomi dunia mengalami stabilitas, hal ini dikarenakan ekonomi syariah memiliki konsep yang unggul dalam mewujudkan stabilitas, kesejahteraan, dan inflasi serta keadilan / pemerataan.

Selama ini sudah memang ada perbankan dan LKS, namun dalam skala yang lebih luas dan makro, pemerintah belum menjadikan ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi andalan. Jika Indonesia masih berkiblat ke Barat (Amerika dan Eropa) yang memiliki sistem ekonomi yang rapuh, maka yakinlah Indonesia pasti akan terancam krisis terus-menerus sepanjang sejarah. Kebijakan pemerintah baru-baru ini (Kontan, 25 April 2009), yang tidak menggunakan dollar dalam transaksi di Departemen Perhubugan patut diacungi jempol dan hendaknya regulasi ini diterapkan secara bertahap ke berbagai macam transkasi lainnya, dunia parawisata, dan sebagainya.

Selanjutnya, pemerintah jangan setengah hati menerapkan bank-bank syariah, asuransi syariah, surat berharga syariah negara, pasar modal syariah, leasing, pegadaian syariah dan lembaga keuangan mikro syariah yang pro kepada sektor riil dan kemaslahatan ekonomi rakyat. Dengan krisis ini sesungguhnya Allah hendak mengingatkan betapa sistem ribawi itu ternyata merusak dan menghancurkan perekonomian umat manusia. Inilah makna firman Allah Luyuziiqahum ba’dhal lazi ‘amiluu la’allahum yarj’iuun. (QS.30 : 41) Maksudnya, krisis itu Kami timpakan

Page 54: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

kepada mereka (akibat ulah tangan mereka), supaya mereka kembali kepada sistem yang benar, sebuah sistem ilahiyah yang berasal dari Tuhan Allah. Itulah ekonomi syariah. Allahu Akbar.

Indonesia, harus dengan cepat dan cerdas mengambil langkah-langkah drastis untuk mengatasi crisis global. Dampak ke sektor perbankan memang perlu diantisipasi secara prioritas, termasuk dampak psikologis, mengingat peranan sektor perbankan yang lebih besar serta trauma krisis moneter tahun 1997-1998.

Tantangan yang dihadapi perekonomian Indonesia juga masih cukup besar termasuk masih adanya tekanan  inflasi dan nilai tukar (Indonesia adalah satu-satunya negara menaikkan suku bunga!!)  serta masih tingginya tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan.  Perlu ditambahkan bahwa target-target ekonomi makro yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) belum ada yang tercapai sesuai yang direncanankan.

Kestabilan ekonomi termasuk kestabilan sektor keuangan merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Oleh karena itu, langkah-langkah jangka pendek di atas, perlu segera disertai dengan langkah-langkah untuk membami dan meninggalkan sistem dan praktek trinitas setan sebagaimana diutarakan sebelumnya, apalagi bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sistem keuangan dan perbankan syariah yang bebas dari riba, gharar dan maisir sebagaimana dimaksud dalam UU Perbankan Syariah yang telah diundangkan baru-baru ini, perlu segera dikembangkan secara serius. Namun sistem keuangan tanpa trinitas setan itu, juga belum dan masih perlu dilengkapi dengan nilai-nilai ekonomi islami lainnya. Sistem ekonomi islami telah secara tepat dijadikan acuan oleh para pendiri atau founding fathers kita sebagaimana tercantum dalam Mukadimah dan sejumlah pasal UUD 1945 yang pada pokoknya mengimpikan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.

Ajaran-ajaran Islam, seperti perintah untuk berlaku adil khususnya bagi para penguasa atau umara, perintah untuk membayar zakat, infak dan sedekah bagi orang yang berada, hukum waris, anjuran untuk hidup sederhana serta larangan hidup mewah dan berlebihan (prohibition of extravagance), perintah untuk membantu fakir miskin, penyelenggaraan baitul maal oleh negara dan lainnya, jelas sangat sarat dengan nilai-nilai keadilan (justice) termasuk keadilan distributif (distributive justice) dan nilai-nilai kemakmuran bersama (social welfare

Reformulasi Fikih Muamalah di Era Modern

1

Posted on : 16-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Fikih Muamalah 29

Page 55: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Oleh : Agustianto

Anggota DSN-MUI dan Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam

Perkembangan sains dan teknologi modern telah menimbulkan dampak besar terhadap kehidupan manusia, termasuk terhadap kegiatan ekonomi bisnis. Bentuk-bentuk bisnis dan isu-isu baru berkembang dengan cepat, seperti hedging, sekuritisasi, money market, capital market, investasi emas, jual beli valuta asing, tata cara perdagangan melalui e-commerce, bursa komodity, indeks trading (ta’amul bil mu’syar), system pembayaran dan pinjaman dengan kartu kredit, ekspor impor dengan media L/C, dsb.

Demikian pula perkembangan lembaga-lembaga perbankan dan keuangan mengalami kemajuan yang sangat pesat, seperti  perbankan,  leasing (multifinance), mutual fund, sampai kepada, instrumen pengendalian moneter oleh bank sentral, exchange rate, waqf saham, MLM, jaminan fiducia dalam pembiayaan, jaminan resi gudang, dsb. Produk-produk perbankan syariah juga harus dikembangkan secara inovatif, agar bisa memenuhi kebutuhan pasar. Semua ini menjadi tantangan bagi pakar syariah.

Oleh karena perubahan sosial dalam bidang muamalah terus berkembang cepat, akibat dari akselerasi globalisasi, maka pengajaran fiqh muamalah tidak cukup secara a priori bersandar (merujuk) pada kitab-kitab klasik semata, karena formulasi fiqh muamalah masa lampau sudah banyak yang mengalami irrelevansi dengan konteks kekinian. Rumusan-rumusan fiqh muamalah tersebut harus diformulasi kembali agar bisa menjawab segala problem dan kebutuhan ekonomi keuangan modern.

Rumusan fiqh muamalah yang “lengkap”, berlimpah dan mendatail yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik, sebagian besarnya merupakan hasil ijtihad para ulama terdahalu dalam memecahkan dan menjawab tantangan dan problematika  ekonomi di zamannya. Tentunya formulasi fiqh mereka banyak dipengaruhi atau setidaknya diwarnai oleh situasi dan kondisi sosial ekonomi yang ada pada zamannya. Karena itu terdapat kaedah populer

Dengan demikian, konsep-konsep dan formulasi  fiqh klasik tersebut perlu diapresiasi secara kritis sesuai konteks zaman, tempat dan situasi, kemudian dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dengan menggunakan ijtihad kreatif dalam koridor syariah.

Reformulasi fiqh muamalah untuk menjawab tantangan modernitas yang sangat kompleks dewasa ini harus  dengan memperhatikan beberapa point penting  berikut .

nPertama, Menggunakan ilmu ushul fiqh, qawaidh fiqh, falsafah hukum Islam, dan ilmu tarikh tasyriekonomi, selaian ilmu musthalahul hadits dan ulmul quran wat tafsir. Disiplin-disiplin ilmu ini mesti dikuasai oleh ahli ekonomi Islam, apalagi para anggota Dewan Syariah Nasional dan dosen pascasarjana ekonomi Islam yang membidangi materi fiqh muamalah dan ushul fiqh.

Di masa lalu kompetensi mereka masih memprihatinkan, namundi masa sekarang telah terjadi perbaikan yang signifikan terutama di lembaga Dewan Syariah Nasaional (DSN-MUI). Dulu itu dimaklumi, dikarenakan ada di antara mereka ada yang tidak berlatar belakang pendidikan ilmu

Page 56: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

syariah. Menurut KH. Ma’rif Amin pada Studium general di Pascasarjana UI, rekruitmen anggota tersebut mirip dengan perekrutan TNI di tahun 1945.

Meskipun demikian, upaya DSN dan kinerjanya harus diacungi jempol dalam mengeluarkan fatwa-fatwa. Di masa kini para anggota Dewan Syariah sudah banyak diisi tokoh dan fiqur yang handal dan ahli (expert) dalam ilmu-ilmu syariah dan memahami dengan baik masalah ekonomi keuangan kontemporer. Ilmu-ilmu syariah yang harus dimiliki Dewan Syariah Nasional, ,meliputi ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh, tarikh tasyrik fil muamalah, falsafah tasyrik dan maqashid syariah, penguasaan bahasa Arab, menguasai ayat-ayat dan tafsir tentang ekonomi dan keuangan, demikian pula hadits-hadits tentang ekonomi dan ilmu muhtalahul hadits, dan sebaiknya menguasai pemikiran ekonomi para ilmuwan Islam klasik.

Untuk menguasai ilmu ushul fiqh saja, menurut Ibnu Taymiyah paling tidak harus dibaca dan ditelaah 100 buku/kitab tentang ilmu ushul fiqh, termasuk muqaranah mazahib fil ushul fiqh. Untuk menghasilkan fiqur ahli seperti ini, dibutuhkan universitas (pendidikan tinggi)  mulai dari S1 sampai S3 yang secara khusus mendalami ilmu-ilmu ekonomi syariah. Keahlian khusus tersebut lebih akan bisa menghasilkan ulama yang lebih kredibel, jika sejak usia dini (misalnya ibtidaiyah) telah bergelut dengan disiplin ilmu-ilmu syariah di atas. Melalui pendidikan di S1, S2 dan S3, pemahaman ilmu ekonomi modern dan perbankan bisa seimbang dengan ilmu-ilmu syariah. Apalagi ketika di level tsanawiyah sudah dijarkan materi ekonomi dan perbankan Islam.

Kedua, Dalam reformulasi fiqh muamalah, maslahah menjadi pedoman dan acuan, sesuai dengan kaedah

Artinya: “Di mana ada kemaslahatan di situ ada syariah

Ketiga, khazanah pemikiran muamalah klasik masih banyak yang relevan diterapkan untuk zaman modern dewasa ini, maka produk pemikiran fiqh tyersebut perlu dipelihara dan dipertahankan, sesuai dengan kaedah.

Artinya: Memelihara konsep lama yang mengandung kemaslahatan (masih relevan) dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih maslahah

Keempat, berijtihad secara kolektif (ijtihad jama’iy). Saat ini tidak zamannya lagi berijtihad secara individu. Untuk memecahkan dan menjawab persoalan ekonomi keuangan kontemporer, para ahli harus berijtihad secara jamaah (kolektif). Ijtihad berjamaah (jama’iy)  dilakukan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Dalam kondisi sekarang bentuk ijtihad ini semakin dibutuhkan, mengingat terpisahkannya disiplin keilmuan para ahli. Ada ulama ahli syariah di satu pihak dan di pihak lain ada ahli / praktisi ekonomi yang bukan ahli syariah.

Di zaman dulu yang serba dharurat, disparitas keilmuan masih ditolerir pada lembaga MUI seperti DSN. Namun sekarang kondisi itu sudah membaik signifikan. Kedua disiplin keilmuan ekonomi dan syariah tersebut disatukan dalam ijtihad jama’iy.  Di masa depan, disparitas keilmuan tersebut semakin mengecil dan akan dihilangkan dengan berkembangnya pendidikan Tinggi di S1 sampai S3 jurusan ekonomi Islam.

Page 57: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Kembali kepada  ijtihad jama’iy, kedudukannya sangat kuat, apalagi bila dibandingkan dengan ijtihad individu (fardy). Jika lembaga ijtihad kolektif dikolektifkan lagi pada lembaga di atasnya yang lebih besar, maka kedudukannya dalam syariah semakin kuat dan mengikat umat, sekalipun namanya fatwa. Misalnya. Organisasi Muhammadiyah memiliki lembaga fatwa Majlis Tarjih atau Nahdhatul Ulama memiliki Majma’ Buhuts. Masing-masing mereka berijtihad secara kolektif. Selanjutnya di lembaga fatwa MUI mereka berijtihad secara kolektif lagi.Hal ini dikarenakan MUI merupakan kumpulan berbagai ormas Islam yang memiliki dewan fatwa. Dengan demikian terjadi dua kali ijtihad kolektif. Bahkan hasil ijtihad tersebut dapat dikolektifkan lagi secara internasional, seperti Rabitah Alam al-Islamy, Organisasi Konferensi Islam, dsb.

Keputusan ijtihad  secara internasional dapat disebut sebagai ijma’. Apalagi ijtihad kolektif itu dilakukan berkali-kali oleh semua ulama dan majma’ buhuts, tentu eksistensi ijma’nya tidak diragukan, seperti ijma’nya para ulama tentang keharaman bunga uang. Keputusan ijtihad kolektif seperti itu memiliki kekuatan mengikat yang tidak bisa ditawar-tawar. Keputusan itu bisa menjadi rujukan, dalil dan sumber hukum Islam.

(Penulis juga adalah Dosen Fikih Muamalah dan Ushul Fikih Keuangan di Program Pascasarjana Ekonomi Keuangan Syariah UI, Pascasarjana Islamic Economics and Finance Unievrsitas Trisakti, Dosen Pascasarjana Manajemenm Bisnis dan Keuangan Islam Univ.Paramadina, Dosen Pascasarjana  Ekonomi Islam Universitas Az-Zahra, Pascasarjana Ekonomi Islam IAIN Syech Nurjati Cirebon, IAIN-SU Medan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Univ Prof.Dr.HAMKA Jakarta)

 

Urgensi Maslahah dalam Ijtihad Ekonomi Islam

0

Posted on : 16-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Ushul Fiqh 34

Oleh : Agustianto

Perkembangan lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syariah mengalami kemajuan yang sangat pesat baik di panggung internasional mauppun di Indonesia. Lembaga-lembaga itu antara lain  asuransi, sukuk, pegadaian, mortgage, leasing dan multifinance, capital market, mutual fund, factoring, MLM (Multi Level Marketing), dsb.

Loncatan kemajuan sains dan teknologi modern telah menimbulkan dampak besar terhadap kehidupan manusia, khususnya terhadap kegiatan ekonomi bisnis, seperti tata cara perdagangan

Page 58: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

melalui e-commerce, system pembayaran dan pinjaman dengan kartu kredit, sms banking, perdagangan international / ekspor impor dengan media L/C, sampai kepada, instrumen pengendalian moneter, exchange rate, waqf saham, jaminan fiducia (rahn tasjiliy)  dalam pembiayaan, jaminan resi gudang, dsb,

Prinsip Utama

Prinsip utama dalam formulasi ekonomi Islam dan perumusan fatwa-fatwa serta produk keuangan  adalah maslahah. Penempatan maslahah sebagai prinsip utama, karena mashlahah merupakan konsep yang paling penting dalam syariah, Dalam studi prinsip ekonomi Islam, maslahah ditempatkan pada posisi kedua, yaitu sesudah prinsip  tawhid. Mashlahah adalah tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama syariah Islam itu sendiri. Para ulama merumuskan maqashid syari’ah (tujuan syariah) adalah mewujudkan kemaslahatan. Imam Al-Juwaini, Al-Ghazali, Asy-Syatibi, Ath-Thufi dan sejumlah ilmuwan Islam terkemuka, telah sepakat tentang hal itu. Dengan demikian, sangat tepat dan proporsional apabila maslahah ditempatkan sebagai prinsip kedua dalam ekonomi Islam.

Secara umum, maslahah diartikan sebagai kebaikan (kesejahtraan) dunia dan akhirat. Para ahli ushul fiqh mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang mengandung manfaat, kegunaan, kebaikan dan menghindarkan mudharat, kerusakan dan mafsadah. (jalb al-naf’y wa daf’ al-dharar). Imam Al-Ghazali menyimpulkan, maslahah adalah upaya mewujudkan dan memelihara lima kebutuhan dasar, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Penerapan maslahah dalam ekonomi Islam (muamalah) memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibanding ibadah. Ajaran Islam tentang muamalah umumnya bersifat global, karena itu ruang ijtihad untuk bergerak lebih luas. Ekonomi Islam yang menjadi salah satu bidang muamalah berbeda dengan ibadah murni (ibadah mahdhah). Ibadah bersifat dogmatik (ta`abbudi), sehingga sedikit sekali ruang untuk berijtihad. Ruang ijtihad dalam bidang ibadah sangat sempit. Lain halnya dengan ekonomi Islam (muamalah) yang cukup terbuka bagi inovasi dan kreasi baru dalam membangun dan mengembangkan ekonomi Islam. Oleh karena itu prinsip maslahah dalam bidang muamalah menjadi acuan dan patokan penting. Apalagi bila menyangkut kebijakan-kebijakan ekonomi yang oleh Shadr dikategorikan sebagai manthiqah al firagh al tasyri`y (area yang kosong dari tasyri`/hukum). Sedikitnya nash-nash yang menyinggung masalah yang terkait dengan kebijakan-kebijakan ekonomi teknis, membuka peluang yang besar untuk mengembangkan ijtihad dengan prinsip  maslahah.

Kemaslahatan dalam bidang muamalah dapat ditemukan oleh akal / pemikiran manusia melalui ijtihad.Misalnya, akal manusia dapat mengetahui bahwa curang dan menipu dalam kegiatan bisnis adalah perilaku tercela. Demikian pula praktik riba. Para filosof Yunani yang hidup di zaman klasik, bisa menemukan dengan pemikirannya bahwa riba adalah perbuatan tak bermoral yang harus dihindari.

Al mashlahah sebagai salah satu model pendekatan dalam ijtihad menjadi sangat vital dalam pengembangan ekonomi Islam dan siyasah iqtishadiyah (kebijakan ekonomi). Mashlahah adalah tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat. Mashlahah merupakan esensi dari kebijakan-kebijakan syariah (siyasah syar`iyyah) dalam merespon dinamika sosial, politik, dan ekonomi.

Page 59: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Maslahah `ammah (kemaslahatan umum) merupakan landasan muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara syar’i, bukan semata-mata profit motive dan material rentability sebagaimana dalam ekonomi konvensional.

Dengan demikian, pengembangan ekonomi Islam dalam menghadapi perubahan dan kemajuan sains teknologi  yang pesat haruslah didasarkan kepada maslahah. Jadi , untuk mengembangkan ekonomi Islam, para ekonom muslim cukup dengan berpegang kepada maslahah. Karena maslahah adalah saripati dari syari’ah. Para ulama menyatakan ”di mana ada maslahah, maka  di situ ada syari’ah Allah ”. Artinya, segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, maka di itulah  syari’ah Allah. Dengan demikian maslahah adalah konsep paling utama dalam syariat Islam.

Apabila kemaslahatan dalam ekonomi mungkin dan dapat dijangkau dan ditemukan oleh akal dan pemikiran manusia, sedangkan dalam ibadah umumnya sulit dijangkau pemikiran manusia, seperti mengapa shalat fardhu hanya lima kali sehari semalam, mengapa shalat subuh dua rakaat, mengapa shalat isya 4 rakaat, mengapa hajar aswad sunnah dicium dan banyak contoh lainnya. Seandainya tidak ada nash dan Nabi Muhammad menjelaskan, niscaya manusia tidak bisa menjangkau dan menemukannya. Para  ulama hanya bisa mereka-reka hikmahnya, yang bentuknya bukan elaborasi prinsip  maslahah, tetapi berupa hikmah  dan falsafah tasyri’ belaka.

Sedangkan dalam bidang muamalah,  manusia dapat menemukan maslahah suatu syariah. Misalnya, mengapa Ibnu Taimiyah membenarkan intervensi harga oleh pemerintah, padahal Nabi Saw tidak melakukanya. Mengapa Umar mengimpor gandum dari Mesir ketika terjadi kelangkaan gandum di Mesir, mengapa dalam transaksi ekonomi harus ada saksi yang adil, mengapa riba, gharar, spekulasi, penipuan, kecurangan, maysir  dilarang dan mengapa bagi hasil ditawarkan dan banyak contoh lainnya.

Muamalat adalah aturan syari’ah tentang hubungan sosial di antara manusia. Dalam muamalat, dijelaskan secara luas illat, rahasia dan tujuan kemaslahatan suatu hukum muamalat. Ini mengandung indikasi agar manusia memperhatikan kemaslahatan dalam bidang muamalat dan tidak hanya berpegang pada tuntutan teks nash semata, karena mungkin suatu teks ditetapkan berdasarkan kemaslahatan tertentu, kondisi, adat, waktu dan tempat tertentu. Sehingga ketika maslahah berubah maka berubah pula ketentuan muamalah (perekonomian)

Dengan pertimbangan maslahah,   regulasi perekonomian bisa berubah dari teks nash kepada konteks nash yang mengandung maslahah. Misalnya, Nabi Muhammad Saw tidak mau mencampuri persoalan harga di Madinah, ketika para sahabat mendesaknya untuk menurunkan harga. Tetapi ketika kondisi berubah di mana distorsi harga terjadi di pasar, Ibnu Taimiyah mengajarkan bahwa pemerintah boleh campur tangan dalam masalah harga. Secara tekstual, Ibnu Taymiyah kelihatannya melanggar nash hadits Nabi Saw. Tetapi karena pertimbangan kemaslahatan, di mana situasi berbeda dengan masa Nabi, maka Ibnu Taymiyah memahami hadits tersebut secara kontekstual berdasarkan pertimbangan maslahah.

Kehadiran lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syari’ah juga didasarkan kepada maslahah. Inovasi zakat produktif dan waqaf tunai juga didasarkan kepada maslahah. Pendeknya semua aktivitas dan perilaku dalam perekonomian acuannya adalah maslahah. Jika di dalamnya

Page 60: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

ada kemaslahatan, maka hal itu dibenarkan dan dianjurkan oleh syari’ah. Sebaliknya jika di sana ada kemudratan dan mafsadah, maka prakteknya tidak dibenarkan, seperti ihtikar , spekulasi valas dan saham, gharar, judi, dumping, dan segala bisnis yang mengandung riba.   Demikian pula dalam membicarakan perilaku konsumen dalam kaitannya dengan utility. Dalam ekonomi konvensional, tujuan konsumen adalah untuk memaksimalkan utility, sedangkan dalam ekonomi Islam untuk memaksikumkan maslahah. Utility adalah sebuah konsep yang kepuasaan (manfaatnya) bersifat material dan keduniaan belaka, sedangkan maslahah adalah utility yang mengandung unsur-unsur  akhirat, bersifat spiritual dan transendental.

Penutup

Maslahah merupakan konsep terpenting dalam pengembangan ekonomi Islam. Para ulama sepanjang sejarah senantiasa menempatkan maslahah sebagai pinsip utama dalam syariah. Maslahah merupakan tujuan dari syariah Islam. Tujuan syariah biasa dikenal dengan sebutan maqashid syariah.

(Penulis adalah Anggota DSN MUI, Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indoensia dan Dosen Pascasarjana Ekonomi Keuangan UI, Universitas Trisakti dan Universitas Paramadina, Pascasarjana UI Az Zahra dan Pascasarjana IAIN Syech Nurjati)

Strategi Jitu Meningkatkan Market Share Bank Syariah

1

Posted on : 05-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Perbankan Syariah 26

Oleh : Agustianto

Market share bank syariah di Indonesia saat ini, relatif masih kecil, belum mencapai 4 % dari total asset bank secara nasional. jumlah nasabah Bank syariah saat ini,  baru sekitar 7 juta orang dengan asset Rp 100 triliun . Padahal jumlah umat Islam potensial untuk menjadi customer bank syariah lebih dari 100 juta orang. Dengan demikian, mayoritas umat Islam belum berhubungan dengan bank syariah.

Banyak faktor yang menyebabkan mengapa umat Islam belum berhubungan dengan bank-syariah, antara lain  Pertama, Tingkat pemahaman dan pengetahuan umat tentang bank syariah masih sangat rendah. Masih banyak yang belum mengerti dan salah faham tentang bank syariah dan menggangapnya sama saja dengan bank konvensional, Bahkan sebagian ustaz yang tidak memiliki ilmu yang memadai tentang ekonomi Islam (ilmu ekonomi makro;moneter)  masih berpandangan miring tentang bank syariah. Kedua, Belum ada gerakan bersama dalam skala besar untuk  mempromosikan bank syariah. Ketiga, Terbatasnya pakar dan SDM ekonomi syari’ah. Keempat, Peran pemerintah masih kecil dalam mendukung dan mengembangkan ekonomi syariah. Kelima, Peran ulama, ustaz dan dai’ masih relatif kecil. Ulama yang berjuang keras mendakwahlan ekonomi syariah selama ini terbatas pada DSN dan kalangan akademisi

Page 61: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

yang telah tercerahkan. Bahkan masih banyak anggota DSN yang belum menjadikan tema khutbah dan pengajian tentang bank dan ekonomi syariah. Keenam, para akademisi di berbagai perguruan tinggi, termasuk perguruan Tinggi Islam belum optimal. Ketujuh, p;eran ormas islam juga belum optimal membantu dan mendukung gerakan bank syariah. Terbukti mereka masih banyak yang berhubungan dengan bank konvensional.

Kedelapan, dan ini yang paling utama, Bank Indonesia dan  bank-bank syariah belum menemukan strategi jitu dan ampuh dalam memasarkan bank syariah sehingga umat datang berduyun-duyun ke bank-bank Syariah.

Alhamdulillah, stretegi jitu dan sangat ampuh tersebut telah lama kita temukan dan telah lama terbukti dengan ampuh menggiring dan menyadarkan umat untuk menabung, mendepsitokan uangnya di bank syariah serta bertransaksi perbankan dengan bank syuariah.

Untuk itu perlu strategi jitu memasarkan bank syariah kepada masyarakat. Pola dan sistem pemasaran bank syariah selama ini masih belum tepat dan perlu perubahan-perubahan mendasar. Sistem dan strategi pemasaran bank syariah selama ini belum bisa membuahkan pertumbuhan cepat atau loncatan perumtumbuhan yang memuaskan (quantum growing) bank syariah. Karena itu tidak aneh jika market share bank syariah masih berkisar di angka 1,5 %. Padahal bank syariah telah bertkembang pesat sejak tahun 2000. Bahan Bank Muamalat telah berkembang sejak tahun 1992.

Oelh karena para prakrtisi bukan berasal dari latar belakang ulama/da’i, maka mereka tidak memahami psikologi dakwah ekonomi syari’ah.

Bayangkan, di Indonesia  misalnya jumlah mesjid mencapai 1 juta buah, lebih banyak dari jumlah desa yang ada di Indoensia. Belum lagi miushalla dan jumlah majlis ta’lim. Jika semua ustaz yang berkhutbah mengkampanyekan bank syariah secara haqqulk yakin, maka bisa diupatiskan lebu sertayus juta ummat akan hijrah ke bank syariah. Jika setiap mesjid diisi 100 orang jamaah, maka 100 juta ummat akan menkjadi lahan potensial untuk bank syariah. Tetapi Bank Indoensia dan bank-bank syariah belum menyadari potensi ini.

Karena itu saya berulang kali mendesak semua pihak untuk menyadarkan para ustad dan mengisi atau membekali mereka dengan ilmu ekonomi makro dan ilmu moneter serta keunggulan-keunggnan ekonomi dan bank syariah. Juga menjelaskan bagaimana dampak buruk bunga bagi perekonomian dunia dan Indonesia. Meskipun ada seminar, tulisan  dan berbagai penjelasan, namun semua itu belum optimal dan belum tajam mendoktrin umat secara rasional tentang keunggulan bank syariah dan kezaliman bank konvensional.

Materi ceramah ulama DSN atau DPS masih banyak yang  bersifat emosional kegamaan, karena label syariah. Yang lebih kita utamakan adalah pendekatan rasional obyektif, bahwa bank syariah tersebut betul-betul unggul dan menciptakan kemaslahatan umat manusia. Sebaliknya sistem riba telah menimbulkan kerusakan ekonomi dunia dan masyarakat.

Kita telah melakukan upaya brainwashing para ulama/ustaz dan hasilnya alhamdulilah dalam waktu bebarapa bulan jamaah dan umat datang berduyun-duyun ke bank syariah yang

Page 62: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

menimbulkan antrian panjangdi bank syariah, sehingga sebuah kantor kas saja bisa menjadi terbaik se-Indonesia. Bukti empiris ini telah diuji di berapa kota, seperti Medan dan Binjei. Para ulama di sebuah kota ditraining dalam bentuk workshop lalu diminta untuk mendakwahkan keunggulan bank syariah dan dengan penuh keyakinan mendalam menyampaikan keharamna bunga bank konvensikonal. Jika jamaah setiap mesjid 500 orang dan ustaz yang mendakwahkan ada 200 orang. Maka sasaran potensial nasabah bank syariah ada 100 ribu orang. Belum lagi dihitung setiap ustaz memiliki ribuan jamaah pengajian dikali jumlah uztaz yang ribuan juga jumlahnya. Jika potensi ini digerakkan, maka  bank-bank  syariah akan tumbuh spektakuler dan dalam waktu singkat bisa menguasai  pasar perbankan nasional.

Sekarang masih ada ustaz yang meragukan keharaman bunga bak, karena ilmunya masih terbatas dalam ekonomi Islam. Jangankan mengecap pendidikan  S2 dan S1, di bidang ekonomi Islam, malah sama sekali belum pernah belajar ilmu ekonomi makro, mikro, moneter dan akuntansi. Mereka  belum pernah  ditraining dengan modul khusus yang telah disiapkan untuk membrainwashing para ustaz/ulama.

Untuk itu kita harus menciptakan ustaz/dai/ulama bank syariah yang memiliki ilmu yang memasdai ntuk mendakwahkan bank syariah. Mereka tidak saja bertekad untuk mengajak umat ke bank syariah, tetapi malah dipastikan membenci seluruh sistem bunga seetelah mendapat training jitu. Mereka selama ini masih berhubungan dengan sistem biunga karena belum memahami ilmu ekonomi monener Islam, 15 keunggulan bank syariah, perbedaan bunga dan margoin murabaha, bahkan ada yang belum bisa famabeda bunga dan bagi hasil.

Dampak Bunga Terhadap Keterpurukan Ekonomi Indonesia (1) (Studi Kasus 1997 – 2004)

0

Posted on : 01-06-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Bunga (Riba), Fikih Muamalah 39

Pendahuluan

Dalam Islam, riba merupakan dosa besar yang banyak dikecam oleh Al-quran maupun Sunnah. Al-quran secara tegas mengancam pelaku riba dengan masuk neraka yang mereka kekal di dalamnya (2 : 275). Al-Quran juga secara ekplisit menyebut riba sebagai perbuatan yang zalim (QS.2: 278 dan QS 4: 160).  Selain Al-quran, sangat banyak  pula hadits Nabi  yang dengan tegas mengutuk pelaku riba, juru tulis  dan para saksinya (H.R.Muslim). Riba  menurut Nabi Saw lebih besar dosanya dari 33 kali berzina. Bahkan dikatakan oleh Nabi Saw, Bahwa Riba memiliki 73 tingkatan, yang paling ringan daripadanya ialah seperti seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri (Al-Hakim).[1]

Nabi Muhammad Saw  dalam masa kerasulannya  dengan gigih memberantas riba yang demikian meluas di tengah masyarakat Arab pada waktu itu. Sejarah mencatat, bahwa perekonomian jazirah Arabia, ketika itu adalah ekonomi dagang, bukan ekonomi yang berbasis

Page 63: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

sumber daya alam. Minyak bumi belum ditemukan dan sumberdaya alam lainnya terbatas.[2] Menurut W. Montgomeri Watt, perekonomian Arab pada waktu itu sudah tergolong maju dan kaya.[3] Kota Mekkah ketika itu menjadi kota dagang internasional yang dilalui tiga jalur besar perdagangan dunia, Pertama, lalu lintas perdagangan antara Romawi dan India yang melalui Arab, dikenal sebagai jalur dagang Selatan. Kedua, jalur dagang Romawi dan Persia disebut sebagai jalur dagang Utara, Ketiga, jalur dagang Sam dan Yaman disebut jalur Utara-Selatan. Oleh karena Mekkah sebagai pusat dagang inyternasional, maka tidak heran jika mayoritas penduduk Mekkah berprofesi sebagai pedagang.[4]

Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab bahkan menjadi alat resmi, yakni mata uang dinar dan dirham. Sistem devisa bebas diterapkan dan tidak ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar atau dirham. Transaksi tidak tunai (hutang) dikenal luas di kalangan para pedagang.[5]

Berdasarkan kenyataan itu, dapat dipastikan bahwa perekonomian Arab, khususnya Mekkah sudah maju dan berkembang. Perekonomian di zaman Rasulullah bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal barter, tetapi jauh dari gambaran seperti itu.

Salah satu tradisi bisnis dalam kegiatan perdagangan yang dilakukan orang-orang Mekkah sebelum kenabian Muhammad adalah praktek ekonomi ribawi. Jadi adalah tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi di masa Nabi hanya untuk kebutuhan konsumtif. Pinjaman produktif untuk keperluan modal dagang dipastikan terjadi secara massif di kota Mekkah dan jazirah Arab lainnya. Praktek riba inilah yang dihilangkan Nabi Muhammmad saw secara bertahap dalam kurun waktu  lebih dari 22 tahun.

Ajaran Al-quran maupun hadits yang melarang riba meniscayakan praktek ekonomi yang diajarkan Rasulullah adalah sistem ekonomi bebas riba (free interest) Kemudian sistem ekonomi anti riba dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan Daulah Islamiyah. Praktek ekonomi bebas riba tersebut  harus diaktualkan dan dipraktekkan kembali di tengah semaraknya sistem ekonomi ribawi  saat ini.

Sejak berabad-abad kaum muslimin di berbagai belahan dunia mempratekkan ekonomi ribawi kapitalisme akibat penjajahan kolonial yang mendesakkan sistem riba itu dalam sistem ekonomi negara-negara muslim melalui lembaga perbankan, asuransi dan  koperasi. Indonesia termasuk negara yang  mempraktekkan sistem riba tersebut,  sejak kedatangan penjajah Belanda ke Indonesia. Maka tidak aneh apabila  saat ini sistem ekonomi ribawi begitu masih dominan dalam sistem perekonomian Indonesia. Undang-Undang yang mengatur tentang perbankan di Indonesia dalam waktu yang sangat panjang hanya membenarkan sistem bunga. Baru pada tahun 1992, keluar UU No 7/1992  yang menyebutkan bahwa sistem perbankan di Indonesia dapat menggunakan sistem bagi hasil. Pada tahun 1992 itu juga lahirlah Bank Muamalat Indonesia. Selama lima enam tahun  berkembang di Indonesia, BMI masih menjadi pemain tunggal sebagai bank syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter di Indonesia yang mengakibatkan bank-bank konvensional mengalami goncangan hebat yang pada akhirnya sebagian besar di antaranya  ditutup (dilikuidasi), karena mengalami negative spread, sedangkan sebagaian lainnya masuk bengkel BPPN.

Page 64: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Bank Muamalat dan sejumlah BPR Syari’ah yang menarapkan sistem bagi hasil selamat dari bagai krisis tersebut. Hal ini disebabkan karena bank syari’ah menerapkan sistem bagi hasil Penerapan bagi hasil di bank syari`ah, membuat bank-bank syari`ah lebih tangguh dan tahan dari pengaruh gejolak moneter, baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani membayar bunga simpanan nasabah. Bank syari`ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank syari`ah selamat dari negative spread.

Banyak kalangan menilai bahwa keterpurukan ekonomi Indonesia sejak tahun 1997, disebabkan oleh tingginya tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme. Asumsi tersebut di satu sisi memang benar, namun harus diakui bahwa faktor sistem moneter konvensional yang memakai instrumen bunga juga menjadi salah satu faktor yang membuat semakin terpuruknya ekonomi Indonesia.

Makalah ini akan membahas pengaruh bunga perbankan tersebut terhadap keterpurukan ekonomi Indonesia, yang secara khusus menganalisa kasus krisis moneter 1997  yang berlanjut sampai tahun 2004. Tulisan ini  diawali dengan paparan ringkas tentang riba dalam perspektif historis dan argumentasi  pengharaman riba. Selanjutnya dibahas pengaruh bunga terhadap keterpurukan ekonomi Indonesia.  Untuk lebih melengkapi tulisan ini, dipaparkan juga tentang ijma’ ulama tentang keharaman bunga bank yang disertai dengan eksplanasi mengenai solusi instrumen bagi bagi hasil sebagai pengganti bunga.

Makalah ini secara sengaja tidak membahas defenisi riba  dan bunga, karena defenisi keduanya sangat jelas. Sangat banyak kajian dan literatur yang telah mengulas defenisi riba dan bunga tersebut. Kata Prof.Dr.Azfalur Rahman dalam buku Muhammad A Trader, “Tidak ada gunanya membuang-buang waktu untuk mendefenisikan bunga dan riba, karena kedua sangat identik dan saling menggantikan. Islam tidak membedakan interetres dan usury. Riba mencakup keduanya. Karena itu bunga bank sekarang ini memenuhi defenisi riba”[6]

 

Sejarah Ringkas Bunga

Menurut pakar sejarah ekonomi, kegiatan bisnis dengan sistem bunga telah ada sejak tahun 2500 sebelum Masehi, baik yunani kuno, Romawi kuno, dan Mesir Kuno. Demikian juga pada tahun 2000 sebelum Masehi, di Mesopotamia ( wilayah Iraq sekarang ) telah berkembang sistem bunga. Sementara itu, 500 Tahun sebelum Masehi Temple Of Babillion mengenakan sistem bunga sebesar 20 % setahun.[7]

Sejarah mencatat, bangsa Yunani kuno yang mempunyai peradaban tinggi, melarang keras peminjaman uang dengan bunga. Aristoteles dalam karyanya Politics telah mengecam sistem bunga yang berkembang pada masa Yunani kuno. Dengan mengandalkan pemikiran rasional filosofis, tanpa bimbingan wahyu, ia menilai bahwa bunga merupkan sistem yang tidak adil. Menurutnya, uang bukan seperti ayam yang bisa bertelur. Sekeping mata uang tidak bisa beranak kepingan mata uang lainnya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa meminjamkan uang dengan bunga adalah sesuatu yang rendah derajatnya. Sementara itu, Plato dalam bukunya “ Laws”, juga mengutuk bunga dan memandangnya sebagai praktek yang zholim. Dua filosofi Yunani yang

Page 65: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

paling terkemuka itu dipandang cukup representatif untuk mewakili pandangan filosofi Yunani tentang bunga.[8]

Selanjutnya, pada tahap- tahap awal, kerajaan Romawi Kuno, juga melarang keras setiap pungutan atas bunga dan pada perkembangan berikutnya mereka membatasi besarnya  suku bunga melalui undang – undang. Kerajaan romawi  adalah negara pertama yang menerapkan peraturan tentang bunga untuk melindungi para konsumen. Kebiasaan bunga juga brkembang di tanah arab sebelum Nabi Muhammad  menjadi rasul. Catatan sejarah menunjukan bahwa bangsa Arab cukup maju dalam perdagangan. Hal ini digambarkan dalam Al- qur’an dalam surat al – quraisy dan buku – buku sejarah dunia. Bahkan kota Mekkah saat itu pernah menjadi kota dagang internasional yang dilalui tiga jalur – jalur perdagangan dunia, Eropa dan Afrika, India, dan China, serta Syam dan Yaman.

Suatu hal yang tak bisa di – bantah, bahwa dalam rangka menunjang arus perdagangan yang begitu pesat, mereka membutuhkan fasilitas pembiayaan yang memadai guna menunjang kegiatan produksi.  Peminjaman modal untuk perdagangan dilakukan dengan sistem bunga. Tegasnya, pinjaman uang pada saat itu, bukan semata untuk konsumsi, tetapi juga untuk usaha – usaha produktif. Sistem bunga inilah selanjutnya yang dilarang Al- Qur’an secara bertahap.

Sementara itu, tradisi bunga terus berkembang di Eropa dan menjadi sistem ekonomi kapitalis. Raja Inggris, Hendri VIII, pada tahun 1545 M, mengatakan bahwa riba tidak dibenarkan, sedangkan bunga dibolehkan asal tidak berlebihan.[9] Gaung Raja Hendri VIII itu sampai ke Belanda. Ketika Belanda menjajah Indonesia,mereka menyebar luaskan pandangan Hendri VIII, sehingga ada orang Indonesia yang melarang dan mempraktekkan bunga. Mereka membedakan bunga dan riba. Padahal bunga dan riba sama saja. Ayat Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 30 yang melarang riba yang berlipat ganda, belum selesai (tuntas).[10] Sebab setelah itu, turun ayat lagi tentang riba yang mengharamkan segala bentuk riba, baik riba yang berlipat ganda maupun yang ringan bunganya (Q.S. 2 : 275 : 279).

Argumentasi larangan riba

Larangan riba merupakan salah satu  pembeda utama antara sistim ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Argumentasi larangan riba dalam ekonomi Islam  telah banyak dibahas para ulama dan ilmuwan Islam sepanjang sejarah.

Menurut Prof. A. M. Sadeq (1989) dalam artikelnya “Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic Perspective” yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics,[11] menyebutkan bahwa pengharamkan riba dalam ekonomi, setidaknya, disebabkan oleh empat  alasan;

Pertama, sistim ekonomi ribawi telah menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat terutama bagi para pemberi modal (bank) yang pasti menerima keuntungan tanpa mau tahu apakah para peminjam dana tersebut memperoleh keuntungan atau tidak. Kalau para peminjam dana mendapatkan untung dalam bisnisnya, maka persoalan ketidakadilan mungkin tidak akan muncul.

Page 66: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Namun, bila usaha bisnis para peminjam modal bankrut, para peminjam modal juga harus membayar kembali modal yang dipinjamkan dari pemodal plus bunga pinjaman. Dalam keadaan ini, para peminjam modal yang sudah bankrut seperti sudah jatuh di timpa tangga pula, dan bukankah ini sesuatu yang sangat tidak adil?

Kedua, sistim ekonomi ribawi juga merupakan penyebab utama berlakunya ketidakseimbangan antara pemodal dengan peminjam. Keuntungan besar yang diperoleh para peminjam yang biasanya terdiri dari golongan industri raksasa (para konglomerat) hanya diharuskan membayar pinjaman modal mereka plus bunga pinjaman dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan milyaran keuntungan yang mereka peroleh.

Padahal para penyimpan uang di bank-bank adalah umumnya terdiri dari rakyat menengah ke bawah. Ini berarti bahwa keuntungan besar yang diterima para konglomerat dari hasil uang pinjamannya tidaklah setimpal dirasakan oleh para pemberi modal (para penyimpan uang di bank) yang umumnya terdiri dari masyarakat menengah ke bawah.

Ketiga, sistim ekonomi ribawi akan menghambat investasi karena semakin tingginya tingkat bunga dalam masyarakat, maka semakin kecil kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi. Masyarakat akan lebih cenderung untuk menyimpan uangnya di bank-bank karena keuntungan yang lebih besar diperolehi akibat tingginya tingkat bunga.

Keempat, bunga dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para businessman yang menggunakan modal pinjaman. Biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa perusahaan untuk menjual produknya dengan harga yang lebih tinggi pula. Melambungnya tingkat harga, pada gilirannya, akan mengundang terjadinya inflasi akibat semakin lemahnya daya beli konsumen. Semua dampak negatif sistim ekonomi ribawi ini secara gradual, tapi pasti, akan mengkeroposkan sendi-sendi ekonomi umat. Krisis ekonomi tentunya tidak terlepas dari pengadopsian sistim ekonomi ribawi seperti disebutkan di atas.

Tak bisa dibantah bahwa  sistim ekonomi ribawi akan menggerogoti sendi-sendi ekonomi masyarakat. Hal itu terlihat dengan jelas pada praktek perbankan konvensional yang menganut sistim ribawi. Tingkat bunga dijadikan acuan untuk meraih keuntungan para pemberi modal. Bank tidak mau tahu apakah para peminjam memperoleh keuntungan atau tidak atas modal pinjamannya, yang penting para peminjam harus membayar modal pinjamannya plus bunga pinjaman. Semakin tinggi tingkat bunga dalam sebuah negara, maka semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh para pemberi modal dan semakin merusak sendi-sendi ekonomi umat akibat dampak negatif sistim ekonomi ribawi dalam masyarakat.

Demikian pula, akibat terlalu tingginya tingkat bunga yang dibebankan kepada para peminjam, maka semakin sukarnya para peminjam untuk melunasi bunga pinjamannya. Apalagi dalam sistim ekonomi konvensional, biasanya pihak bank tidak terlalu selektif dalam meluncurkan kreditnya kepada masyarakat. Pihak bank tidak mau tahu apakah uang pinjamannya itu digunakan pada sektor-sektor produktif atau tidak, yang penting bagi mereka adalah semua dana yang tersedia dapat disalurkan kepada masyarakat. Sikap bank yang beginilah yang menyebabkan semakin tingginya kredit macet dalam ekonomi akibat semakin menunggaknya hutang peminjam modal yang tidak sanggup dilunasi ketika jatuh tempo kepada pihak bank.

Page 67: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Akibatnya, bank-bank akan memiliki defisit dana yang dampaknya sangat mempengaruhi tingkat produksi dalam masyarakat.

Sistem ekonomi ribawi juga menjadi penyebab utama tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimaksudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi.

Sebagai contoh, bila tingkat bunga di Indonesia, katakanlah, 12% dengan tingkat inflasi 8 %, maka tingkat bunga riel adalah 4% (12% – 8%). Ini berarti walaupun tingkat bunga nominal (tingkat bunga sebelum dikurangi dengan tingkat inflasi) tinggi di Indonesia, ini tidak secara otomatis akan mempengaruhi investor untuk membeli Rupiah, karena pada dasarnya tingkat bunga riel di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat bunga riel di negara-negara lain.

Inilah penyebab utama semakin menurunnya nilai (depresiasi) Rupiah akibat rendahnya permintaan akan Rupiah. Tinggi rendahnya nilai Rupiah sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan penawaran Rupiah di pasar uang. Semakin banyak jumlah permintaan mata uang Rupiah, maka semakin tinggi nilai mata uang Rupiah, dan sebaliknya. Begitu juga dengan penawaran, semakin tingginya jumlah Rupiah yang beredar di pasar, sementara permintaan akan Rupiah rendah, maka nilai rupiah akan menurun, dan sebaliknya.

Sebenarnya, inilah yang sedang berlaku di Indonesia, dimana jangankan businessman asing, para businessman dalam negeripun lebih cenderung membeli Dolar atau mata uang asing lainnya dengan menjual Rupiah di pasar valuta asing. Ini juga bermakna semakin berkurangnya dana asing yang masuk ke Indonesia, ditambah lagi dengan larinya dana dalam negeri ke luar sehingga akan sangat mempengaruhi ketersediaan dana yang memadai sebagai modal pembangunan ekonomi. Hal ini jelas semakin memperparah penurunan nilai mata uang Rupiah dan semakin minimnya dana asing dan lokal yang tersedia untuk pembangunan ekonomi, yang pada gilirannya, akan menyebabkan krisis ekonomi terjadi berkepanjangan.

Memang, harus diakui bahwa semakin rendahnya nilai Rupiah, maka semakin memperkuat daya saing komoditas eksport Indonesia di pasar internasional karena relatif murahnya harga komoditas eksport tersebut di pasar internasional bila dibeli dengan mata uang asing.

Tetapi, penurunan nilai Rupiah ini tidak akan memberi pengaruh signifikan sebab kebanyakan komposisi bahan mentah komoditas eksport Indonesia adalah terdiri dari bahan mentah yang diimport dari negara luar. Dengan kata lain, kenaikan harga barang mentah akibatnya tingginya nilai mata uang (appresiasi) asing jelas akan menyebabkan biaya untuk memproduksikan komoditas eksport tersebut akan bertambah mahal sehingga produk akhir komoditas itu harus dijual dengan harga yang mahal pula. Ini menunjukkan bahwa penurunan nilai Rupiah tidak akan memberi kelebihan daya saing eksport Indonesia di pasar internasional.

Page 68: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Permasalahan di atas, sebenarnya, tidak pernah terjadi kalau sistim ekonomi Islam diadopsi dalam sistim ekonomi negara. Kenapa tidak? Karena nilai uang tidak akan dipengaruhi oleh perbedaan tingkat bunga riel sebab ekonomi Islam tidak mengenal sistim bunga (riba). Inilah yang menyebabkan nilai uang dalam ekonomi tanpa bunga tidak mengalami volatilitas yang membahayakan.

[1] Muhammad Ali Ash-Shobuni, Jarimah ar-Riba, Akhtar al-Jaraim ad-Diniyyat wa al-Ijtima’iyat, Kairo, Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1997, hlm. 23. Lihat juga, Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, terjemahan  Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta, Dana Bhakti Waqaf, Jilid 2, 1996, hlm. 80

[2] Irfan Mahmud Ra’na, Economic Sistem Under Umar the Great, Pakistan, M.Asraf, 1977, hlm. 80

[3] Watt, Montgomery W, Prophet Muhammad A State  Man , London, 1982, p. 57

[4] Irfan Mahmud Ra’na, op.cit, hlm. 81

[5] Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press, 2001, hlm 28

[6] Afzalur Rahman, Muhammad A Trader, London, The Muslim Schools Trust, 1982, Edisi Indonesia Muhammad sebagai Pedagang, Jakarta, Swarna Bumi, 1997, hlm. 318

[7] Karnaen Perwata Atmaja dan M.Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta, Dana Bhakti Waqaf, 1992.

[8]Syafi’I Antonio,  Muhammad, Bank Syari’ah, Ulama dan Cendikiawan, Jakarta, Tazkia Institute dan Bank Indonesia, 1999, hlm. 65-66

[9] Afzzalur  Rahman, Muhammad A Trader, op.cit, hlm. 320. Syafi’I Antonio, Muhammad,  op.cit, hlm. 69-71

[10] Lihat empat tahapan turunnya ayat  tentang riba, Umer Chapra, Toward  A Justr Monetary System, terjemahan Lukman hakim, Al-Quran menuju sistem Moneter yang Adil, Yogyakarta, Dana Bkhati Waqaf,  1997, hlm.213-216

[11] A. M. Sadeq. “Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic Perspective” yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics, 1989, hlm 27-28

 

Page 69: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Dampak Bunga Terhadap Keterpurukan Ekonomi Indonesia (2)

0

Posted on : 02-06-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Bunga (Riba), Fikih Muamalah

Krisis moneter yang pada mulanya terjadi di Thailand menular ke Malaysia, Philipine, Korea dan Indonesia. Pasar saham dan kurs  uang tersungkur jatuh secara dahsyat. Bank sentral terpaksa turun tangan dengan mencetak uang baru, melakukan transaksi forward dan menaikkan tingkat bunga yang tidak terduga. Volatilitas krisis  menimbulkan badai yang kuat menuju kehancuran dan mengakibatkan goncangnya sistem perbankan yang rapuh. Padahal lembaga perbankan merupakan tulang punggung perusahaan manufacturing yang selama ini mengandalkan bunga rendah. Selama tahun pertama krisis  kurs mata uang di lima negara terdepresiasi  35 – 80 %, bahkan Indonesia, mencapai 400 %. Hal ini menyebabkan menciutnya nilai kekayaan dari negara-negara tersebut khususnya Indonesia.

Nilai rupiah yang pada mulanya setara dengan Rp 2.445, meningkat secara tajam menjadi Rp 17.000-an. Dalam masa yang panjang, nilai rupiah ini bertenggger di atas Rp 10.000.-. Kondisi ini membuat lembaga perbankan terpaksa menaikkan suku bunga secara tajam pula, yaitu mencapai 70 %. Akibatnya lembaga perbankan konvensional kesulitan mengembalikan bunga tabungan/deposito nasabah, sementara pendapatannya lebih kecil dari kewajibannya untuk membayar bunga, ditambah lagi kredit macet akibat krisis moneter.  Inilah yang disebut dengan negative spread yang berarti lembaga perbankan terus-menerus merugi dan modalnya semakin terkuras yang pada gilirannya  berakibat pada likuidasi sejumlah bank.

Bank-bank raksasa yang memiliki nasabah jutaan  orang, yang kekurangan modal, terpaksa direkap (disuntik modal)  oleh pemerintah melalui Bank Indonesia dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sejumlah sekitar Rp 400 triliun.

Kalau tidak dibantu, pastilah bank-bank rekap itu mati/tutup karena CARnya di bawah standart yang ditetapkan pemerintah (8 %).

Karena pemerintah tidak memiliki uang cash/riil, maka pemerintah membantu modal bank konvensional itu dalam bentuk obligasi. Kalau namanya obligasi, pastilah memiliki bunga. Bunga ini selanjutnya kembali menjadi beban pemerintah yang tak lain adalah dana APBN. Dana APBN adalah milik rakyat dan bangsa Indonesia, bukan milik para konglomerat pemilik bank. Membantu modal bank ribawi itu, berarti membantu para kapitalis (pemilik dana).

Data-data di bawah ini menginformasikan jumlah BLBI yang diberikan pemerintah kepada bank-bank konvensional dan besar bunga yang mereka terima dari negara pada September 2002.(Hilmi, SE, Mei 2002)

Page 70: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Bunga obligasi yang diberikan kepada bank-bank konvensional tersebut sebesar 10 % pada September 2002. Jika jumlah obligasi mencapai Rp 400 Triliun, maka kewajiban pemerintah membayar bunga obligasi sebesar Rp 40 triliun dalam setahun. Pada masa-masa sebelumnya, yakni pasca krisis 1998, bunga obligasi ini sebesar 17 %. Semakin suku bunga, maka semakin besar beban negara membayar bunganya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sumbangan bunga obligasi yang diberikan pemerintah pada tahun 2001 sebesar Rp 61,2 Triliyun. Dana yang sangat besar ini menjadi beban APBN. Padahal dana APBN tersebut seharusnya diutamakan untuk kesejehteraan ekayat yang masih masih dilanda kemsikinan dan kebodohan, tetapi karena ini meneraplkanm sistemn ekoomi ribawi (kapitalisme),maka terpelsa keprtingan rakayat dikorbankan demi membantu bank-bank raksasa. Inilah ironi dan keanehan atau ketidakwarasan sistem ekonomi ribawi.,

Kondisi dana APBN yang dikuras riba berlanjut terus setiap tahun sampai   sekarang, walaupun cenderung semakin mengecil. Oleh karena beban membayar bunga itu, tidak mengherankan jika APBN kita defisit terus menerus. Pada tahun 2002 APBN defisit Rp 54 triliun. Pada tahun 2003 defisit Rp 45 triliun, pada tahun 2004 difisit Rp 35 triliun. Masih defisitnya APBN tahun 2004 yang lalu , karena dana APBN masih dikuras bunga bank sebesar Rp 68 Trilyun.

Membayar Bunga SBI

Selain kewajiban membayar bunga obligasi, pemerintah juga berkewajiban untuk membayar bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) kepada lembaga-lembaga perbankan yang menempatkan dana rakyat di Bank Indonesia. Pada tahun 2002 besar bunga SBI 17 %. Penempatan dana tersebut dilakukan oleh bank-bank pemerintah maupun bank-bank swasta. Dana masyarakat yang ditabung di lembaga perbankan ternyata lebih banyak disimpan di Bank Indoenesia, sehingga fungsi intermediasi perbankan saat itu lumpuh

Hal itu terlihat dengan jelas pada LDR lembaga perbankan konvensional yang masih sangat rendah. Pada tahun 2001-2003, LDR bank konvensional berkisar, sekitar 30 – 40 %. Ini berarti bahwa hanya 30-40 % saja tabungan masyarakat yang disalurkan, padahal sektor riel mengharapkan bantuan modal. Sisanya 60 – 70 % terperangkap pada kegiatan riba yang jelas menjadi beban pemerintah yang pada gilirannya menjadi beban rakyat.[1]

Page 71: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Lembaga perbankan yang menempatkan uangnya di Bank Indonesia, akan mendapatkan bunga SBI. Pada tahun 2001-2002, bunganya mencapai 17 %[2]. Bayangkan, pada saat itu dana  bank konvensional yang disimpan di SBI mencapai Rp 500 Trilyun. Dengan demikian, pemerintah berkewajiban membayar bunga SBI  sebesar 17 % x Rp 500 triliun, yaitu Rp 85 Trilyun, untuk satu tahun. Uang sebesar ini jelas  menjadi beban APBN. Oleh karena itu tak mengherankan jika APBN dari tahun ke tahun terus mengalami defisit. Kondisi ini berlangsung selama hampir tiga tahun. Untunglah sejak tahun 2003 bunga SBI  mengalami penurunan secara bertahap. Pada awal tahun 2004 bunganya berkisar 8-9 %. Meskipun demikian, angka ini ini tetap menggerogoti uang negara dalam jumlah yang besar.

Beban APBN

Yang perlu dicatat dan menjadi keprihatinan besar di sini adalah, bahwa  pembayaran bunga obligasi dan bunga SBI dibebankan kepada rakyat. Dana APBN yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, malah digunakan untuk membantu bank-bank raksasa.

Lebih dari itu, kewajiban membayar bunga obligasi dan bunga SBI telah membuat APBN defisit. Untuk mengatasi defisit APBN pemerintah terpaksa berhutang ke lembaga-lembaga ribawi internasional. Padahal hutang Indonesia telah mencapai titik yang membahayakan ketika itu. Apabila       pada tahun 2002 saja, hutang Indonesia total Rp 1401 Trilyun, (hutang luar negeri Rp 742 Trilyun, hutang dalam negeri  sebesar Rp 659 Trilyun, maka pada tahun 2003, hutang Indonesia telah mencapai Rp 2000 Trilyun. Jika kita hanya mampu  membayar  hutang  tersebut  Rp 2 Trilyun setahun, berarti hutang luar negeri itu baru lunas lebih dari seribu tahun, itupun kalau tidak ditambah hutang baru. Hutang ini, jelas menjadi beban cucu dan cicit kita di masa depan, yang diprediksikan 20 turunan generasi ke depan masih menanggung hutang dan bunga ini

 

Pada tahun 2004, Indonesia  menambah hutang baru lebih dari 3 milyar dolar AS. Setiap tahun bangsa Indonesia harus menambah hutang, untuk menutupi defisit APBN. Hutang ini jelas menjadi beban yang berat bagi generasi Indonesia mendatang.

 

Selain meninggalkan beban hutang yang besar bagi generasi mendatang, pemerintah juga terpaksa menaikkan  harga barang-barang strategis seperti harga BBM yang berkali-kali dinaikkan sepanjang tahun 2001-2003, bahkan di tahun 2005 ini. Hal ini dimaksudkan untuk menambah in come negara dalam rangka memenuhi APBN yang defisit. Tarif dasar listrik dan telephone juga ketika itu terpaksa dinaikkan untuk menambah income negara mengatasi defisit APBN. Inilah akibat berantai dari sistem ribawi dalam sistem perekonomian Indonesia.

Pajak juga dinaikkan, tetapi  banyak dikuras oleh pembayaran bunga. Kasihan rakyat, mereka dizalimi hanya untuk menyumbang bank-bank rekap. Ironisnya lagi, tanpa berbuat apa-apa, bank rekap bergembira ria menerima riba sebesar Rp 61, 2 Trilyun dari pemerintah pada tahun 2001 dan ini berlangsung terus, meskipun mengalami penurunan sampai tahun 2003.

Page 72: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Dari data dan fakta tersebut, maka tak seorang pun bisa membantah, bahwa bunga bank memainkan peran penting dalam merusak perekonomian bangsa Indonesia yang telah semakin memerosokkan Indonesia ke dalam jeratan hutang yang membahayakan.. Bunga juga telah membuat harga BBM, TDL dan telephon naik. Bahkan lebih dari itu, Indonesia terpaksa menjual beberapa asset negara strategis, seperti Indosat, BCA dan perkebunan demi untuk menutupi defisit APBN. Pajak rakyat yang seharusnya digunakan untuk pembangunan, ternyata sangat banyak disumbangkan  kepada bank-bank rekap dalam bentuk bunga obligasi dan bunga SBI. Berdasarkan kenyataan ini, maka benarlah apa yang dikatakan oleh Anwar Nasution, Deputi Senior Gubernur BI, bahwa bank-bank rekap tersebut, adalah parasit bagi perekonomian Indonesia. Hal yang sama juga sering diungkapkan oleh pakar-pakar  dan praktisi perbankan nasional lainnya, seperti Dr. Drajat Wibowo, direktur INDEF, Hilmi, ( pengawas bank dari Bank Indonesia), dsb. Dari fakta di atas jelaslah bahwa bunga membawa petaka kehancuran ekonomi Indonesia.(Kompas 25 Februari 2002).

Selanjutnya, kita perlu menyaksikan fakta ketidakwarasan/kegilaan pelaku riba sebagaimana yang disebutkan Al-Quran (2:275)., yaitu fakta penjualan (devestasi) sebuah bank swasta raksasa, sebut saja bank ABC. Harga penjualannya sebesar Rp 5 Trilyun. Namun anehnya, pemerintah memberi bunga obligasi kepada bank ini sebesar Rp 9 Trilyun tahun 2001. Penjualan ini menurut H. Hilmi, mantan pejabat Senior Bank Indonesia, menurut tindakan sableng (gila). Sebab menurutnya, setiap penjualan asset, si penjual menerima uang. Tapi dalam sistem yang sableng ini, tidak demikian adanya, “Si penjual tidak dapat uang”, malah nombok lagi dalam jumlah besar dan selanjutnya menyumbang bunga terus menerus.

Karena itu pula, Drajat Wibawa, Ekonom Senior INDEF, mengatakan bahwa perbuatan penjualan saham BCA milik pemerintah (sistem riba) dengan harga Rp 5 Trilyun, tidak sesuai logika dan dikatakannya bahwa perbuatan itu adalah sableng secara kolektif.

Drajad Wibawa, Ekonom Senior INDEF, menulis, (Kompas 25 Februari 2002).

“Kalau transaksi yang jelas-jelas merugikan dan tidak sesuai dengan logika (abnormal/gila) di atas diteruskan, Indonesia memang akan mempunyai landmark kebodohan kolektif. Ini akan menjadi preseden bagi divestasi Bank Danamon. Bank Niaga dan bank-bank lainnya di bawah APBN. Ini juga menjadi preseden bagi proses privatisasi BUMN karena skema sablengnya Stanchart bisa ditiru dengan mudah”.

Dikatakannya demikian, karena di dalam divestasi BCA terlihat perbuatan yang tidak logis. Adalah logis kalau dalam  setiap penjualan asset, si penjual menerima uang. Tetapi dalam penjualan BCA tidak demikian. Secara net, ternyata pemerintah tidak menerima uang, malah mengeluarkan uang dalam jumlah besar.

Gambarannya perhitungannya ialah, bahwa pada tahun 2002 pemerintah menerima uang hasil penjualan BCA Rp 5 Trilyun. Tetapi sebaliknya pemerintah justru mengeluarkan uang untuk BCA sangat besar yaitu berupa bunga (riba) obligasi saja sebesar Rp 9,1 Trilyun. Pemerintah memberinya Rp 9,1 Trilyun. Sementara dalam neracanya 31-12-2002 terlihat laba Rp 3 Trilyun. Laporannya itu menunjukkan bahwa BCA terlihat hebat. Tapi ingat, laba ini diperoleh karena mendapat sumbangan bunga riba dari pemerintah sebsar Rp 9,1 Trilyun tadi.

Page 73: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Karena pemerintah bisa bertindak “gila / sableng” seperti itu ? Menurut H. Hilmi, SE, biasanya mereka berdalih, bahwa karena semua penyelesaian tidak ada yang baik, maka karena pusing atau mungkin sempoyongan seperti orang sableng (gila). Mereka terpaksa memilih jalan yang terbaik di antara yang terjelek itu. Serba susah, itulah suatu dilema yang kita hadapi, karena sistem riba.

 

Melihat realitas di       atas, sistem moneter yang menggunakan instrumen bunga adalah sistem yang tidak logis, dan jika ada orang yang masih menggunakannnya berarti ia termasuk tidak waras/gila, sebagaimana diungkapkan Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah 275. “Orang-orang yang memakan (mempraktekkan) riba, tidak dapat berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran pikirannya sudah gila. Mereka itu mengatakan bahwa riba dan jual beli sama saja (bisa ditafsirkan bank riba dan bank syariah sama saja). Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa yang telah sampai kepadanya nasehat dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mempraktekkan riba, maka apa yang pernah dipraktekkan di masa lalu menjadi urusan Allah. Tetapi, siapa yang mengulangi lagi sistem riba , maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka . mereka kekal didalamnya”.

Indonesia tidak bisa berdiri karena bunga, terlihat dari hutang Indonesia yang demikian besar dan kesulitan ekonomi yang dalam. Dan kalau sistem bunga ini diteruskan, maka bangsa Indonesia sebenarnya sudah tidak waras lagi, karena sistem bunga yang sudah jelas-jelas membawa petaka,  masih dipertahankan. Karena itu, menjadi kewajiban ummat untuk kembali ke ajaran Ilahi, ajaran Allah Swt, Tuhan yang menciptakan manusia, juga menciptakan sistemnya untuk kita ikuti dan amalkan. Ajaran Ilahi itu teraktualisasi dalam bank-bank Islam yang sekarang tengah berkembang dengan pesat.

Ijma’ Ulama tentang keharaman Bunga Bank

Setelah menjelaskan dampak dan pengaruh bunga terhadap keterpurukan ekonomi Indonesia, perlu juga dipaparkan di sini ijma’ ulama tentang keharaman bunga bank. Hal ini dianggap penting karena masih ada intelektual muslim yang masih meragukan keharaman bunga bankdan masih ada ilmuwan muslim yang mengganggap persoalan bunga bank sebagai masalah khilafiyah secara tidak proporsional.

Seluruh ahli ekonomi Islam dunia, telah sepakat bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syari’ah Islam, dan hukum mengambilnya adalah haram. Menurut Prof.Dr.M.Akram Khan  (pakar ekonomi Islam asal Pakistan), kesepakatan itu telah menjadi ijma’ ulama (ahli ekonomi) dunia.  Prof. Dr Ali Ash-Shobuni (ulama terkemuka  dari Mesir) dalam buku Jarimah ar-Riba, juga mengatakan bahwa  para ahli ekonomi Islam telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Kesepakatan  itu terjadi berkali-kali di forum ulama Internasional sejak tahun 1973 sampai saat ini. Menurutnya, tahun 1976 telah dilaksanakan Konferensi Ekonomi Islam se-dunia di Mekkah yang dihadiri 300 ulama dan pakar keuangan Islam. Tak seorang pun di antara pakar ekonomi Islam itu menolak kaharaman bunga bank. Bahkan sebelum tahun 1976, yakni tahun 1973, seluruh ulama OKI yang berasal dari 44 negera sepakat tentang keharaman bunga bank tersebut (lihat, M.Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, 1999).

Page 74: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan pendapat tentang keharaman bunga bank. Perdebatan tentang halal-haramnya bunga bank telah selesai  sekitar 30 tahun yang lalu. Kalau ada ummat Islam masih mempersoalkan hukum bunga bank, berarti ia terlambat 30 tahun.

Kalau pun ada tokoh yang berkomentar tentang kebolehan bunga bank, pastilah mereka bukan ahli  dalam ekonomi/moneter Islam, seperti,  Gusdur atau Syafi;i ma’arif atau ulama yang sama sekali tak faham tentang perbankan syari’ah dan ilmu moneter, seperti Muhmmad Abduh dan AS.Hasan dari Bandung. Karena itu pendapat mereka tertolak dan tidak bisa menggugurkan ijma’ ulama yang ahli di bidangnya.

Kalau kita mau berpikir logis, kita harus menyerahkan persoalan hukum moneter kepada ahlinya. Analoginya, jika seluruh dokter spesialis kulit telah sepakat tentang jenis penyakit kulit seseorang, lalu ada segelintir dokter gigi membantahnya, maka sangat aneh bila orang mengikut pendapat dokter gigi yang tak ahli di bidang kulit. Pendapat dokter gigi itu sangat aneh dan  amat menyesatkan.

Pakar ekonomi Islam adalah mereka yang memiliki latar belakang pendidikan ekonomi, sejak awal, sampai Professor dan doktor di bidang ekonomi/moneter Islam. Mereka paham betul tentang ilmu moneter dan mengerti secara mendalam tentang teknis perbankan. Mereka antara antara lain, 1. Prof.Dr.Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy,2.  Prof.Dr.Muhammad Abdul Mannan,MA, 3.Prof.Dr.M.Umer Chapra, 4. Prof.Dr.Masudul Alam Khudary, 5. Prof.Dr. Monzer Kahf, 6. Prof.Dr. M.Akram Khan, 7. Prof.Dr.Kursyid Ahmad, 8.Prof.Dr.Dhiauddin Ahmad, 9. Prof.Dr. Muhammad Muslehuddin, 10.Prof.Dr. Afzalur Rahman, 11. Prof.Dr. Munawar  Iqbal Quraisy, 12. Prof.Dr.Hasanuz Zaman, 13. Prof. Dr.M.Sudin Haroen, 14. M.Fahim Khan,.15. Prof.Dr.Volker Ninhaus, 16. Dr.Mustaq Ahmad. 17. Abbas Mirakhor, 18. Ausaf Ahmad, 19. Rauf Ahmed Azhar, 20. Syed Nawab haidar Naqvi, 21. Baqir al-Sadr, 22. Ahmad Najjar, 23. Ahmad Shalah Janjum (Pakistan), 24. Muhammad Ahmad sakr, 25 .Kadim Al-Sadr, 26. Abdul Hadi Ghanameh, 27. Manzoor Ali, 28. Dr.Ali Ahmad Rusydi, 29. Dr.Muhammad Ariff, 30. Dr. Zubeir Hasan, 31.Prof.Dr Muhammad Iqbal Anjum, 32. Prof.Dr.Mazhar Islam, 33. Dr. Fariruddin Ahmad, 34. Dr.Syahadat Husein 35.Dr.Badruddin (Oman)  dan banyak lagi pakar ekonomi Islam lainnya.-. Semua mereka mengecam dan mengharamkan bunga, karena bunga  telah menimbulkan dampak sangat buruk bagi perekonomian dunia dan negara. Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1930 s/d 2000, adalah bukti paling nyata dari dampak sistem bunga.

Setelah tahun 1976, para ahli ekonomi Islam terus melangsungkan kegiatan-kegiatan konferensi Ekonomi Islam Internasional. Dalam beberapa konferesnsi, hukum halal-haram bunga bank tidak lagi menjadi pembahasan, sebab sudah disepakati sejak awal akan keharamannya. Kesekapatan-kesekapatan itu didukung lagi oleh Lembaga Islam Internasional, yaitu oleh para ulama dunia yang tergabung dalam Rabithah Alam al-Islami.

Jadi, kalau seluruh ahli ekonomi Islam dunia sepakat tentang keharaman bunga bank, dikuatkan lagi oleh ulama OKI dan Rabithah Alam Al-islami serta majma’ buhuts (lembaga fatwa) di seluruh dunia, mengapa ada segelintir orang yang tak ahli tentang ekonomi Islam berkomentar membantah keharaman bunga bank. Itu adalah sebuah keanehan dan secara keilmuan cukup memalukan. Hal ini jelas apabila kita ambil sindiran Alquran tentang mereka yang tak ahli dalam bidang itu. Firman Allah, “Kemudian kami jadikan bagi kamu syari’ah untuk urusan itu, maka

Page 75: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

ikutilah syari’ah itu, jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. Menurut ayat ini, orang yang tidak mengikuti syari’ah (termasuk ekonomi syari’ah), adalah karena dua alasan. Pertama, Mereka mengikuti hawa nafsu, karena terganggu kepentinga dunianya, 2. Mereka memang tidak tahu tentang syari’ah itu (dalam hal ini ekonomi Syari’ah).

Seorang Professor muslim sekalipun, tapi tidak pernah mendalami ilmu moneter, (tidak ahli ilmu moneter) mereka wajar jika seringkali mereka tidak tahu tentang praktek moneter  dan dampaknya dalam ekonomi makro. Kalau mereka telah mendalami itu, bisa dipastikan mereka akan mengharamkan bunga, sebagaimana ijma”nya ratusan pakar ekonomi Islam lainnya. Bahkan, pakar ekonomi non Muslim sekalipun banyak yang melarang bunga seperti  Roy Davies dan Glyin Davies, Rodney Wilson, Rodnet Shakespeare, Volker Ninhaus, dll..

[1] Karena itu, Menteri Perdagangan dan Industri ketika itu, menulis surat kepada Bank Indonesia. Dia kesal melihat 60-70 % uang bank meninggalkan sektor riel, usaha kecil dan menengah. Uang itu menari bersenang-senang dalam alunan simponi ribawi dan terkadang nongkrong  berjudi di pasar Valas. Sebagiannya ber-riba ria di “pasar antar bank”. Dan yang paling happy adalah di SBI tadi.  Realitas yang amat buruk itu, tidak terjadi di bank-bank syari’ah. Hal ini terlihat dari FDR bank syariah yang saat ini mencapai 115 %. Ini artinya, bahwa seluruh dana pihak ketiga (berupa tabungan, deposito dan giro) disalurkan kepada ekonomi rakyat, malah diambil lagi dari modal perbankan itu sendiri sebesar 15 %. Sehingga bank syariah benar-benar berperan menumbuhkan sektor riel dan fungsi intemediasinya benar-benar terwujud..Kenyataan ini merupakan kebalikan total dari sebagian besar bank konvensional. Bank konvensional memiliki fungsi intermediasi yang masih  rendah.

[2] Apabila bunga SBI  sebesar Rp 17  % lebih,  sementara bunga yang harus dibayarkan kepada deposan atau penabung hanyalah berkisar 11-12 %. Maka dengan ongkang-ongkang saja lembaga perbankan konvensional meraup spread berupa bunga/riba, dalam jumlah besar, hampir mencapai 5-6 %. Jika sebuah bank konvensional menempatkan dana 100 triliun, maka spread yang diperolehnya setahun Rp 5 -6 triliun.

 

Dampak Bunga Terhadap Keterpurukan Ekonomi Indonesia (3)

0

Posted on : 03-06-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Bunga (Riba), Fikih Muamalah

Page 76: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Instrumen Pengganti Bunga : Sistem Bagi Hasil

Sebagai dimaklumi bahwa dalam ekonomi kapitalisme,  bunga bank (interest rate) merupakan nadi dari sistem perekonomian. Hampir tak ada sisi dari perekonomian, yang luput dari mekanisme kredit bunga bank (credit system). Mulai dari transaksi lokal pada semua struktur ekonomi negara, hingga perdagangan internasional.

Salah satu sebab  ketertarikan pasar terhadap bunga bank adalah kepastian hasil. Sedangkan setiap usaha tidak bisa dipastikan harus berhasil sejumlah sekian, karena pada kenyataannya, setiap usaha pasti berhadapan dengan resiko yang mengandung kemungkinan rugi, untung, dan pulang modal. Keuntungan pun bisa besar, sedang dan kecil. Namun, selama berabad-abad, ekonomi dunia telah didominasi  sistem bunga, sehingga telah mengkristal dalam setiap aktivitas bisnis masyarakat dunia.

 

Karena mengkristalnya sistem bunga tersebut, terbentuklah dinamika yang khas dalam perekonomian konvensional, terutama pada sektor moneternya. Bahkan kini pasar moneter konvensional tidak lagi terbatas pada pasar modal, uang dan obligasi, tapi bertambah dengan munculnya pasar derivatif, yang merupakan turunan dari ketiga pasar tersebut. Kesemuanya tetap menggunakan bunga bank sebagai harga dari produk-produknya. Maka tak heran jika perkembangan di pasar moneter konvensional begitu spektakuler. Menurut data dari sebuah NGO asal Amerika Serikat, volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation dan derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 triliun hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi yang terjadi dalam perdagangan dunia di sektor riil US$ 6 triliun setiap tahun. Bayangkan dengan empat hari transaksi di pasar uang, nilainya sudah menyamai transaksi di sektor riil selama setahun.

 

Dampak perkembangan yang begitu besar pada sektor moneter jelas menghambat perkembangan sektor riil. Jika diasumsikan money supply (uang beredar) tetap, maka sistem kredit dengan bunganya yang ada pada pasar-pasar moneter akan menyedot uang beredar. Sehingga bukan hanya ketidakstabilan moneter yang terjadi, tetapi juga kemerosotan sektor riil. Secara global kemerosotan ini akan berpengaruh pada returns yang diperebutkan pada sektor moneter. Sehingga jika ini terus yang menjadi kecenderungannya, maka wajar sebagian pakar memprediksi terjadinya krisis ekonomi yang besar, tidak hanya di negara-negara dunia ketiga, tetapi juga negara-negara maju (negara pemilik modal).

Syari’ah Islam dengan tegas  meyakini bahwa bunga bank yang bersifat pre-determined akan mengeksploitasi perekonomian, cenderung terjadi misalokasi sumber daya dan penumpukan kekayaan dan kekuasaan pada segelintir orang. Hal ini akan membawa pada ketidakadilan, ketidakefisienan, dan ketidakstabilan perekonomian. Seperti dikemukakan Umer Chapra (1996), bungalah yang telah menyebabkan semakin jauh jarak antara pembangunan dan tujuan yang akan dicapai. Bunga juga merusak tujuan-tujuan yang ingin didapat, pertumbuhan ekonomi, produktivitas dan stabilitas ekonomi.Bahkan Roy Davies dan Glyn Davies, dalam bukunya A

Page 77: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

History of Money from Ancient Times to the Present Day (1996) mengatakan bahwa bunga telah memberi andil besar dalam lebih dari 20 krisis yang terjadi sepanjang abad 20.

Dalam  ekonomi syari’ah, dikotomi sektor moneter dan riil tidak dikenal. Sektor moneter dalam definisi ekonomi Islam adalah mekanisme pembiayaan transaksi atau produksi di pasar riil, sehingga jika menggunakan istilah konvensional, maka karakteristik perekonomian Islam adalah perekonomian riil, khususnya perdagangan. Inilah yang dianjurkan Islam,”Allah menghalalkan jual beli (perdagangan) dan mengharamkan riba”.(QS.2:275). Jual beli atau perdagangan adalah kegiatan bisnis sektor riel.

Dalam ekonomi syari’ah sistem bagi hasillah (profit and loss sharing) yang kemudian menjadi jantung dari sektor ‘moneter’ Islam, bukan bunga. Karena sesungguhnya, bagi hasil sebenarnya sesuai dengan iklim usaha yang memiliki kefitrahan untung atau rugi. Tidak seperti karakteristik bunga yang memaksa agar hasil usaha selalu positif. Jadi penerapan sistem bagi hasil pada hakikatnya menjaga prinsip keadilan tetap berjalan dalam perekonomian. Karena memang kestabilan ekonomi bersumber dari prinsip keadilan yang dipraktikkan dalam perekonomian.

Jadi, solusi ekonomi Islam terhadap bunga (riba) dalam sistim pinjam meminjam dana yang digunakan untuk berbisnis adalah “Sistim Bagi Hasil” (Profit-Loss Sharing), baik melalui skim mudharabah atau musyarakah. Dalam kasus pertanian bisa dalam bentuk muzara’ah.  Selain dalam bentuk bagi hasil, solusi Islam untuk menggantikan bunga juga  dapat memakai produk jual beli (bai’), seperti ba’i murabahah, salam dan istishna’.

Secara umum, sistim bagi hasil ini ada yang disebut dengan mudharabah, yaitu bentuk usaha bisnis yang dilakukan oleh dua pihak dimana dalam menjalankan usaha bisnis ini satu pihak bertindak sebagai pemodal dan pihak lainnya bertindak sebagai pelaksana bisnis (enterpreneur).

Sementara itu, musyarakah dimaksudkan sebagai suatu bentuk usaha bisnis/syarikat yang modalnya di biayai oleh semua partai yang terlibat dalam bisnis tersebut. Kedua bentuk bisnis ini, jauh lebih berkeadilan dibandingkan dengan bentuk bisnis dalam ekonomi konvensional, sebab apapun keuntungan atau resiko yang terjadi terhadap bisnis ini, ke semua partai yang terlibat dalam bisnis ini memiliki hak yang sama terhadap hasil usaha yang diperoleh.

Bila bisnis merekaberhasil, maka semua pihak akan menerima keuntungan dan sebaliknya, bila bisnis mereka bankrut maka kerugianpun harus ditanggung bersama. Jumlah pembagian keuntungan yang akan diperoleh mereka dalam mudharabah adalah berdasarkan penjanjian bersama, katakanlah 60% untuk pembagi modal dan sisanya, 40% untuk mereka yang memenej bisnis.

Namun, bila usaha mudharabah mengalami kerugian, maka pelaksana tidak bertanggung jawab atas kehilangan modal yang diberikan pemodalnya. Ini tidak berarti para pelaksana tidak mengalami kerugian apapun, sebab ianya juga dirugikan atas jasa dan jerih payahnya yang disumbangkan untuk memajukan bisnis mereka. Dengan kata lain, pemodal rugi atas modalnya, dan pelaksana rugi atas usaha dan jerih payahnya.

Page 78: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Bila kita melihat dalam sistim ekonomi ribawi (bunga), peminjam sudah ditentukan besarnya jumlah bunga yang harus dibayarkan ke bank dengan tidak mempertimbangkan apakah dana yang dipinjam itu berhasil dibisniskan atau tidak. Dengan kata lain, berhasil atau tidak bisnis para peminjam modal, peminjam harus membayar pinjaman plus bunganya. Sedangkan dalam ekonomi Islam baik dalam bentuk usaha mudharabah mahupun musyarakah, jumlah pembagian hasil yang diterima belumlah diketahui secara pasti sebelum usaha itu berhasil atau gagal.

Mereka hanya tahu persentase pembagian hasil, tetapi mereka tidak pernah tahu berapa jumlah pembagian hasil sebenarnya yang akan mareka terima sebelum usaha itu berhasil atau tidak. Dalam sistim ini, keuntungan dan kerugian adalah menjadi tanggung jawab bersama. Perbedaan pembagian hasil yang pre-determined (ex-ante) dalam sistim ekonomi ribawi inilah yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan dalam ekonomi umat sehingga ia dilarang oleh Islam dibandingkan dengan sistim ekonomi Islam yang pembagian hasilnya berdasarkan post-determined (ex-post) yang jauh lebih adil dan mensejahterakan umat

Selain  sistem bagi hasil, Islam mensyaratkan mekanisme zakat dalam perekonomian, serta dukungan dari istrumen sejenisnya seperti infaq, shadaqah dan wakaf. Mekanisme zakat memastikan aktivitas ekonomi dapat berjalan pada tingkat yang minimal, yaitu pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer. Sedangkan infaq, shadaqah dan instrumen sejenis lainnya mendorong permintaan secara agregat, karena fungsinya yang membantu umat untuk mencapai taraf hidup di atas tingkat minimum. Selanjutnya oleh negara, infaq-shadaqah dan instrumen sejenisnya, serta pendapatan negara lainnya digunakan untuk mengentaskan kemiskinan melalui program-programpembangunan.

 

Sebagai dua ketentuan orisinil dalam sistem ekonomi Islam, mekanisme zakat dan pelarangan riba memiliki fungsi saling mengokohkan sistem perekonomian. Di satu sisi zakat menjaga agar aktivitas ekonomi tetap berjalan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan hidup seluruh masyarakat negara, di sisi lain pelarangan riba – diganti mekanisme bagi hasil – menjaga keseimbangan, keadilan dan kestabilan segala aktivitas ekonomi di dalamnya. Dengan karakter khasnya, ekonomi Islam diperkirakan akan lebih stabil dibandingkan sistem konvensional..

Bagi perekonomian Indonesia, landasan konvensional sudah terbukti tidak memberikan “pelayanan” yang baik. Jadi sudah waktunya pemerintah memikirkan untuk beralih pada perekonomian Islam dengan segala perangkatnya, dan menjadikannya sebagai sebuah kebijakan yang sistematis di semua sisi pembangunan ekonomi. Bukan menjadikan ekonomi Islam sekadar kebijakan yang merespon pasar seperti yang dilakukan pada dunia perbankan.

Ekonomi Islam bukan saja menjanjikan kestabilan “moneter” tetapi juga pembangunan sektor riil yang lebih kokoh. Krisis moneter yang telah menjelma menjadi krisis multi dimensi di Indonesia ini, tak dapat diobati dengan varibel yang menjadi sumber krisis sebelumnya, yaitu sistem bunga dan utang, tetapi harus oleh variabel yang jauh dari karakteristik itu. Dalam hal ini oleh ekonomi Islam dengan sistem bagi hasilnya dalam dunia perbankan dan lembaga finansial lainnya

Penutup

Page 79: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Tak bisa dibantah, bahwa bunga (interest) telah menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian banyak negara dan fakta itu terjadi di mana-mana. Bunga memainkan peranan penting dalam mengakibatkan timbulnya krisis. Sistim ekonomi ribawi telah menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat terutama bagi para pemilik modal  yang pasti menerima keuntungan tanpa menangung resiko.

Keburukan bunga juga disebabkan karena bunga menambah biaya produksi bagi para businessman yang menggunakan modal pinjaman. Biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa perusahaan untuk menjual produknya dengan harga yang lebih tinggi pula. Melambungnya tingkat harga, pada gilirannya, akan mengundang terjadinya inflasi akibat semakin lemahnya daya beli konsumen. Semua dampak negatif sistim ekonomi ribawi ini secara gradual, tapi pasti, akan mengkeroposkan sendi-sendi ekonomi umat. Krisis ekonomi tentunya tidak terlepas dari pengadopsian sistim ekonomi ribawi seperti disebutkan di atas.

Sistem ekonomi ribawi juga menjadi penyebab utama tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi.

Di Indonesia,  bunga bank memainkan peran penting dalam merusak perekonomian bangsa Indonesia. Bunga telah menguras dana APBN dalam jumlah besar.  Bunga semakin memerosokkan Indonesia ke dalam jeratan hutang yang membahayakan. Bunga juga telah membuat harga BBM, TDL dan telephon naik. Bunga juga secara tidak langsung telah memaksa negara menjual asset-asset negara strategis. Bunga telah menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat Indonesia secara luas dan berkepanjangan. Oleh karena iktu tepatlah Allah dalam Al-Quran mengatakan bahwa pelaku riba pasti masuk neraka yang mereka kekal di dalamnya selama-lamanya (2:275). Dari kenyataan dampak bunga yang demikian hebat, tepatlah sabda Nabi Muhammad Saw yang menyatakan  bahwa riba adalah dosa besar yang kadarnya lebih dari 33 kali berzina atau menzinai ibu kandung sendiri. Sebagai solusi dari sistem ekonomi ribawi adalah ekonomi syari’ah yang membawa keadilan dan kesejahteraan bersama dunia dan akhirat.

 

DAFTAR  PUSTAKA

A. M. Sadeq. “Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic Perspective” yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics, 198

 

Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press, 2001

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, terjemahan  Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta, Dana Bhakti Waqaf, Jilid 2, 1996

Page 80: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

————————-, Muhammad A Trader, London, The Muslim Schools Trust, 1982, Edisi Indonesia Muhammad sebagai Pedagang, Jakarta, Swarna Bumi, 1997

Anwar Iqbal  Quraisy,  Islam and the Theory of Intrest, (Lahore:Sheikh Muhammad Ashraf, 1946).

——————————, Economic and Social System of Islam, (Lahore : Islamic Book Service, 1979)

Irfan Mahmud Ra’na, Economic Sistem Under Umar the Great, Pakistan, M.Asraf, 1977

Karnaen Perwata Atmaja dan M.Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta, Dana Bhakti Waqaf, 1992.

Muhammad Ali Ash-Shobuni, Jarimah ar-Riba, Akhtar al-Jaraim ad-Diniyyat wa al-Ijtima’iyat, Kairo, Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1997

 

M.Abdul Mannan, Islamic Economiys, Theory and Practice, terj. M.Nastangin, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dana Bakti Waqaf, 1997

 

Masudul Alam Al-Khudury, Money in Islam, London and New York, USA, Rotledge, 1997

 

Monzer Kahf, The Islamic  Economy, Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System, Edisi Indonesia, Ekonomi Islam,  Pustaka pelajar,  1995

Ash-Shiddiqy,  Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil  dalam Hukum Islam, Jogyakarta, Dana Bhakti Primayasa,

 

Umer Chapra, Toward  A Justr Monetary System, terjemahan Lukman hakim, Al-Quran menuju sistem Moneter yang Adil, Yogyakarta, Dana Bkhati Waqaf,  1997

 

Watt, Montgomery W, Muhammad A Prophet and The State  Man , London, 1982

 

Transaksi Derivatif dalam Perspektif Syariah (Bag:1)

Page 81: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

1

Posted on : 09-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics 12

Krisis keuangan global yang terjadi di Amerika Serikat telah menimbulkan keterpurukan ekonomi yang sangat dalam bagi perekonomian AS. Krisis keuangan yang berawal dari krisis subprime mortgage itu merontokkan sejumlah lembaga keuangan AS. Raksasa keuangan sebesar Lehman Brothers pun bisa tumbang. Nyatanya dia tidak sendirian, pelaku bisnis raksasa lainnya juga mengalami nasib tragis yang sama, seperti Washington Mutual Bank. Perusahaan asuransi terbesar di dunia American International Group (AIG) dan perusahaan sekuritas raksasa Merrill Lynch, Morgan Stanley dan Goldman Sachs mengalami sempoyongan yang luar biasa. Pemerintah AS terpaksa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut. Para investor mulai kehilangan kepercayaan, sehingga harga-harga saham di bursa-bursa utama dunia pun rontok, termasuk Indonesia.

Menyusul tumbangnya banyak perusahaan finansial, pencaplokan perusahaan pesaing makin marak. Pengambil alihan secara paksa (hostile takeover) menjadi sesuatu yang wajar dalam dinamika pasar. Bagi perusahaan finansial yang memiliki produk derivatif luas di pasar, keberadaan perusahaan bisa dipermainkan para spekulan. Saat perusahaan mulai goyah pencaplokan oleh perusahaan lain tidak terhindarkan. Pasar menjadi ganas dan liar, tidak terkendali.

Para analis menilai, bencana pasar keuangan akibat rontoknya perusahaan keuangan dan bank-bank besar di Negeri Paman Sam satu per satu, tinggal menunggu waktu saja. Inikah tanda-tanda keruntuhan sebuah imperium, negara adi daya bernama Amerika Serikat?

Sebagai negara adi daya dengan gross domestic bruto (GDP) terbesar di dunia, Amerka Serikat seharusnya mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dalam menjaga kestabilan dan kesehatan sistem dan pasar keuangan di negaranya, karena akan berdampak besar bagi negara-negara lain. Tetapi justru Amerika Serikat yang tersungkur jatuh ke jurang krisis keuangan yang sangat dalam.  Dalam sistem ekonomi konvensional kapitalisme  yang anutnya, dihalalkan kegiatan bisnis derivatif dan  spekulatif di pasar uang dan pasar modal. Praktek bunga, maysir dan gharar menjadi kebiasaan.

Ada banyak analisis terkait dengan kehancuran pasar finansial, mulai dari kebijakan defisit AS, kebijakan suku bunga rendah di era Greenspan, keserakahan elit politik, kegiatan spekulatif para petinggi perusahaan, seperti dilakukan Dick Fuld, CEO Lehman Brothers, tingginya biaya program politik luar negeri, manipulasi laporan keuangan dan lain-lain. Hampir semua analisis itu tidak menukik kepada akar masalah yang paling dalam, sehingga apapun obat dan strategi pemulihan yang diberikan pasti tidak mujarab. Penyakit krisis pasti kembali kambuh dan terus berulang. Paparan dalam tulisan ini akan menjelaskan akar masalah yang sesungguhnya dari krisis keuangan yang selalu terjadi sepanjang sejarah, termasuk krisis keuangan saat ini yang bermula dari Amerika Serikat.

Page 82: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Menurut perspektif ekonomi syariah, penyebab utama krisis yang terjadi saat ini adalah (satanic trinity), yaitu trinitas setan yang terdiri dari riba, maysir dan gharar. Sistem dan pasar keuangan dan capital market di Amerika  telah didominir  oleh setan tiga serangkai atau trinitas setan (satanic trinity) yang terdiri dari (1) bunga (riba) dalam transaksi keuangan; Praktek riba terlihat jelas pada bisnis derivatif yang sangat laris di pasar uang dan pasar modal AS. (2) Produk derivatif yang tak jelas underline transactionnya itu disebut juga dengan gharar, karena ketidak jelasan produk riilnya. Produk gharar ini disamarkan dengan istilah produk hybrids dan derivatives yang   dibungkus dan dikemas dengan mekanisme securitisation insurance atau guarantee; (3) Peri laku dan praktek spekulatif atau untung-untungan (maisir) yang juga tanpa dilandasi transaksi riil. .

Sebenarnya, krisis keuangan global dapat dibedakan kepada dua macam krisis, Pertama krisis di pasar modal (capital market) dan kedua krisis di pasar uang (money market). Kedua bentuk financial market itu membuka peluang kepada transaksi dengan tingkat spekulasi yang tinggi. Keduanya menggunakan bunga sebagai instrumen. Keduanya juga memisahkan sektor moneter dan sektor riel sebagaimana diajarkan sistem ekonomi kapitalisme.

Di capital market konvensional, sangat dimungkinkan terjadinya short selling dan margin trading . Kegiatan bisnis tersebut sangat sarat dengan motif spekulasi. Sementara di pasar uang terdapat dua kesalahan besar yang berakibat kepada krisis, pertama, kegiatan transaksi valas yang bermotif spekulasi, baik spot maupun bukan, seperti forward, options dan swaps transaction. Kedua bahwa yang menjadi standar keuangan international adalah fiat money.

Islam yang berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah dari langit tentu memiliki ajaran yang unggul, rasional dan ilmiah dan empiris. Menurut ekonomi Islam, sektor moneter dan sektor riil tidak boleh terpisah, sedangkan dalam sistem ekonomi kapitalisme keduanya terpisah secara diametral. Akibat keterpisahan itu, maka arus uang (moneter) berkembang dengan cepat sekali, sementara arus barang di sektor riil semakin jauh tertinggal. Sektor moneter dan sektor riil menjadi sangat tidak seimbang.

Pakar manajamen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai adanya decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa.

Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi pada kedua pasar keuangan di atas, yaitu di pasar modal dan pasar valas (money market) sehingga ekonomi dunia terjangkit penyakit yang bernama balon economy (bubble economy). Disebut ekonomi balon, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Jadi, bublle economy adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riel, bahkan sektor riel tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya.

Sekedar ilustrasi dari fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum krisis moneter Asia, dalam satu hari, dana yang gentayangan dalam transaksi maya di pasar modal dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun dolar AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS.

Page 83: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Padahal arus perdagangan barang secara international dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika, 18-8-2000).

Dalam tulisan Agustianto di sebuah seminar Nasional tahun 2007 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, disebutkan bahwa volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation and derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 trillion hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya (Rasio 500 : 6 ), Jadi sekitar 1-an %. Celakanya lagi, hanya 45 persen dari transaksi di pasar, yang spot, selebihnya adalah forward, futures,dan options. Sementara itu menurut Kompas September 2007, uang yang beredar dalam ransaksi valas sudah mencapai 1,3 triliun dalam setahun. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan semakin melejit meningalkan sektor riel. Dengan demikian balonnya semakin besar dan semakin rawan mengalami letupan. Ketika balon itu meletus, maka terjadilah krisis seperti yang sering kita saksikan di muka bumi ini.

Gejala decoupling, sebagaimana digambarkan di atas, disebabkan, karena fungsi uang bukan lagi sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar AS.

Berdasarkan realitas itulah, maka Konferensi Tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riel.

Oleh : Agustianto

Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dan Dosen Pascasarjana UI, Trisakti dan Univ.Paramdina

ransaksi derivatif dalam perspektif syariah (bagian II dari 5 tulisan)

0

Posted on : 10-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics 11

Oleh : Agustianto

Page 84: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dan Dosen Pascasarjana UI, Trisakti dan Univ.Paramdina

Kegiatan bisnis yang memisahkan sektor moneter dan riil, tidak lain adalah praktek riba. Terminologi  kontemporer menyebutnya derivatif. Dalam transaksi derivatif saat ini, sesungguhnya telah menyatu tiga serangkai yang berkelindan, yaitu  riba, maysir dan gharar. Riba ialah pengambilan keuntungan tanpa dilandasi kegiatan transaksi bisnis riel. Semua ulama dari seluruh mazhab merumuskan definsi riba seperti itu. Sedangkan maysir adalah kegiatan bisnis yang berbentuk judi dan atau spekulasi.  Spekulasi selalu terjadi di pasar modal dalam bentuk short selling dan margin trading. Sedangkan gharar ialah suatu praktik bisnis yang tidak ada ma’ukud alaihnya dan merupakan bentuk bisnis beresio tinggi. Maka para ekonom muslim menyebutnya sebagai transaksi maya atau  drivatif juga. Dengan demikian gharar adalah bagian yang tak terpisahkan dari praktik transaski derivatif itu sendiri.

Di pasar modal seringkali para investor meraup keuntungan tanpa adanya underlying asset, atau sektor riel yang melandasinya. Tujuan investor bukan untuk menanam saham secara riil di sebuah emiten, tetapi semata untuk meraih gain melalui praktik margin trading. Selain itu harus diketahui bahwa di dalam financial market, margin trading dan fiat standart ditetapkan berdasarkan instrumen bunga. Jadi, ketiga serangkai riba, maysir dan gharar terkait secara berkelindan.

Sistem bisnis derivatif dalam pandangan Islam, merupakan sebuah kejahatan besar, sehinga pelakunya abadi di neraka (2:275), karena dosanya tak termaafkan. Mengapa demikian ?, Karena dampaknya bisa menghangcurkan ekonomi banyak negara sebagai mana yang kita rasakan dan saksikan saat ini. Jika sebuah negara terjun ke jurang krisis, maka ratusan juta bisa menderita, Bayangkan jika 10, 20 atau 30 negara diterpa krisis, berapa milyard umat manusia yang menjadi sengsara dan makin miskin akibat sistem yang salah, sistem yang menghalalkan riba, maysir dan gharar. Oleh karena jahatnya transaksi derivatif, maka  George Soros menyebutnya sebagai hydrogen bombs, sementara Warren Buffett menjulukinya sebagai financial weapons of mass destruction

Transkasi derivatif telah menjelma menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan menciptakan mega-catastrophic yang dapat meluluhlantakkan sistem finansial global. Hal ini disebabkan ekspansi derivatif telah menciptakan bubble yang sangat besar dalam ekonomi dunia.Para ekonom dan pakar keuangan telah mengidentifikasi dan berkonklusi bahwa transaksi derivatif menjadi punca dan penyebab utama semua bencana ekonomi besar yang terjadi sejak tahun 1929 di Amerika Serikat. Sistem riba, maysir dan gharar (derivative) jugalah yang berada di belakang crash pasar saham Wall Street tahun 2001 yang dikenal sebagai Black Monday, juga krisis keuangan dan perbankan di tahun 1987Bisnis derivative ini jugalah  menjadi penyebab terjadinya krisis finansial Asia 1997/1998; penyebab kolapsnya hedge fund raksasa Long Term Capital Management (LTCM) tahun 1998; ambruknya bank dagang tertua Inggris, Barrings Bank; kolapsnya Enron; pemicu krisis ekonomi Argentina; serta menjadi pemantik krisis keuangan dan ekonomi global saat ini. Hal ini terjadi karena, menurut Kavaljit Singh (2000), transaksi derivatif yang awalnya digunakan untuk mengurangi risiko (hedging) akibat pergerakan harga tidak lagi wujud, malahan menjadi instrumen spekulasi.

Page 85: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Upaya saat ini yang banyak dibahas untuk mengurangi dampak buruk derivatif adalah membuat regulasi dan supervisi yang sophisticated (Bisnis, 20 Maret). Namun, Menurut Aziz Setiawan, pakar ekonomi Islam Paramadina, ketika regulasi tidak menyentuh pembatasan kemampuan bermutasi dan bermetamorfosis derivatif, ancaman krisis sistemik akan selalu ada. Metamorfosis dan mutasi derivatif berkembang ketika terjadi pemisahan risiko dari aktivitas ekonomi riil, sehingga risiko bertransformasi menjadi “komoditas” dan membuatnya dapat ditransaksikan secara terpisah.

 

Komoditisasi risiko membuat risiko menjadi semakin berbiak. Ketika risiko terpisah dari sektor riil, tidak ada batasan jenis risiko yang bisa ditransaksikan, mulai dari saham, obligasi, komoditas, indeks, valuta, rating perusahaan, penyelesaian takeover, cuaca serta risiko lainnya. Lebih jauh lagi bahkan, derivatif dapat diturunkan dari derivatif lainnya, sehingga lahirlah options on futures, futures on options, options on options, dan lain-lain.

 

Hal ini, membuat volume dan pertumbuhan derivatif terpisah dari sektor riil. Karena sektor riil jauh lebih kompleks dan dihadapkan pada berbagai kendala, maka pertumbuhan pasar derivatif jauh lebih cepat dari barang dan jasa riil. Maka tak mengherankan bila volume derivatif telah berbiak lebih sepuluh kali lipat dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) seluruh dunia yang hanya US$60 triliun.

Berdasarkan data Bank for International Settlements (BIS), volume transaksi derivatif dalam 6 tahun terakhir telah membengkak lebih dari enam kali lipat; dari sekitar US$100 triliun menjadi US$683 triliun tahun 2008. Akhirnya regulasi tanpa menyentuh aspek pembatasan kemampuan bermutasi dan bermetamorfosis derivatif, tidak akan terlalu membantu meredam daya ledak bom waktu ini.

Dalam sebuah seminar di STAN Jakarta, di mana saya dan pengamat ekonomi Aviliani ketika itu sebagai pembicara, beliau mengatakan, bahwa perbandingan transaksi sector riil dan sector keuangan telah membengkak secara spektakuler, yakni 1 banding 3000. Ini Artinya, jika transaksi bisnis riil hanya 1 triliun US dolar setahun, maka transaksi derivative di sector keuangan 3000 kali lipatnya, yakni sebanyak 3000 triliun US dollar dalam setahun. Percepatan ini terjadi dalam 6 tahun belakangan ini. Jika praktek ini dibiarkan, maka krisis demi krisis pasti terjadi lagi dan mengorbankan milyaran umat manusia di muka bumi. Karena itu, solusi penyembuhan efektif dan ampuh adalah kembali kepada system ekonomi ilahiyah, ekonomi syariah.

 

Transaksi derivatif dalam perspektif syariah (bagian III dari 5 tulisan)

Page 86: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

0

Posted on : 10-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics 12

Alquran dan transaksi derivatif

Oleh : Agustianto

Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dan Dosen Pascasarjana UI, Trisakti dan Univ.Paramdina

Pelarangan riba yang secara tegas terdapat dalam Al-Qur’an (QS: 2 :275-279), pada hakikatnya merupakan pelarangan terhadap transaksi maya atau derivatif . Firman Allah, “Allah menghalalkan jual-beli (sektor riel) dan mengharamkan riba (tranksaksi maya)”.

Dalam transaksi maya, tidak ada sektor riel (barang dan jasa) yang diperjualbelikan. Mereka hanya memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi. Tambahan (gain) yang diperoleh dari jual beli itu termasuk kepada riba, karena gain itu diperoleh bighairi wadhin, yakni tanpa ada sektor riel yang dipertukarkan, kecuali mata uang  atau kertas-kertas itu sendiri. Dalam transaski derivatif juga tidak ada ma’kud ’alaih, berupa barang/jasa yang menjadi rukun dalam transaksi bisnis. Transaski inilah yang  dilarang Alquran dan hadits dengan istilah riba dan gharar.

Pencipta alam semesta dan pencipta manusia, Dialah Allah Rabbbul ‘Alamin, Dialah yang paling dan Maha pintar dari siapapun. Dia sudah memberikan jawaban dalam kitabnya Alquran bahwa akar masalah kerusakan ekonomi adalah riba (QS.30 : 39 -41) . Dalam semua Kitab suci yang diturunkanya Taurat dan Injil, dia juga telah mengharamkan riba. Tak diragukan sedikitpun bahwa akar masalah yang paling utama adalah sistem riba yang menjadi instrumen dan jantung kapitalisme dalam seluruh transaksi keuangan. Walaupun harus diakui bukan riba satu-satunya yang menjadi akar terjadinya krisis finansial tersebut.

Dalam surah Ar-Rum ayat 41 Allah berfirman, :”Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah”

Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi yang dijalankan oleh manusia, pendekarnya adalah Amerika dan Eropa dan selanjutnya diikuti oleh Indonesia dan negara lainnya. Ayat sebelumnya yakni ayat 39 berbicara dengan jelas bahwa sistem riba tidak akan menumbuhkan ekonomi masyarakat, tetapi malah merusak perekonomian. Firman Allah “Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia betambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39)

Ayat Alquran tersebut berbicara dalam konteks ekonomi makro, artinya menganalisis ekonomi secara agregat, bukan secara mikro, seperti membandingkan harga jual beli murabahah dengan bunga bank konvesnional. Bunga bank konvensional bagi banyak orang tak begitu terasa bagi

Page 87: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

kerusakan ekonomi, tetapi ketika bunga sudah menjadi sistem finansial global dan nasional, maka dampaknya luar biasa jahat bagi pembangunan ekonomi. Bunga, sedikit atau banyak tetap disebut riba, sebagaimana daging babi yang sedikit dengan yang banyak, yang sedikit tetap daging babi juga. Hadits Nabi Saw, “Sedikit dan banyaknya hukumnya haram”. Demikian pula riba, baik diterapkan dalam ekonomi mikro maupun makro tetap haram.

Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Pakar Ekonomi Islam asal USA, Prof.Dr.Monzer Kahf mengatakan, “Riba has a great contribution to the current crisis but it is alone not the sole element in it, of course Riba contributed through creating layers of financial transactions that resulted in a domino effect of institutions and the economy at large, but there is the lust for profit that caused over stretching of finance to persons who cannot continue paying their debts, their also the expanded consumerism in the American society that shares in creating unbearable debt burdens, etc.”

Jadi menurutnya, riba’ telah memberikan  kontribusi yang besar kepada krisis ini meskipun ia mengakui bahwa riba’ itu sendiri bukanlah satu-satunya elemen penyebab krisis. Riba  memberikan konstribusi  melalui  transaksi-transaski derivative dan spekulatif  pada institusi institusi keuangan. Penyebab lainnya ialah hawa nafsu serakah  mencari keuntungan dari mereka yang tidak berdaya meneruskan pembayaran hutang. Sikap ini juga adalah gejala dari expanded consumerism dalam masyarakat Amerika itu sendiri.

Kegagalan sistem keuangan sebagai akibat dari trinitas setan itu, dengan bahasa yang berbeda, secara implisit diakui oleh Henry Poulson, Menteri Keuangan A.S. Dalam laporannya sebagai Ketua President’s Working Group(PWG) on Financial Markets (April 2008), Poulson dengan tegas menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya krisis subprime mortgages di A.S. adalah: (1) merosotnya mutu/standar penjaminan bagi subprime mortgages; (2) erosi yang signifikan terhadap disiplin pasar yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dengan proses sekuritisasi, termasuk originators, underwriters, credit rating agencies, dan global investors; (3) kegagalan dalam menyediakan dan memperoleh informasi risiko (risk disclosures) yang memadai; (4) kelemahan yang mencolok (significant flaws) pada perusahaan pemeringkat kredit, khususnya dalam menilai: a) subprime residential mortgage backed securities (RMBS) dan b) collateralized debt obligations (CDOs)yang dikaitkan dengan RMBS dan asset backed securities (ABS) lainnya; (5) kelemahan manajemen risiko pada sejumlah institusi keuangan besar di A.S. dan Eropa; dan (6) kelemahan regulasi termasuk mengenai persyaratan modal dan keterbukaan informasi (disclosure) yang gagal dalam memitigasi kelemahan manajemen risiko.

Keenam hal tersebut di atas yang menurut Poulson marak terjadi  sejak tahun 2004, bertepatan dengan masa jabatan kedua Presiden Bush, secara sengaja atau tidak sengaja, telah ikut menyuburkan transaksi yang bersifat gharar dan maisir sehingga transaksi keuangan yang seharusnya didasarkan kepada underline asset, keterbukaan dan fairness berubah menjadi transaksi keuangan yang bersifat sangat spekulatif dan juga addictive yang sangat berbahaya dan sulit dihentikan.

Page 88: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Interaksi pasar modal yang penuh gharar dan maisir dengan perbankan yang ribawi, selain dengan cepat menggoyahkan sendi-sendi sistem dan pasar keuangan–akibat asset write down yang menggerus aset dan modal serta bad debt yang menggerus laba, juga semakin menjauhkan kegiatan sektor keuangan dari sektor riil. Lebih buruk lagi, dampak negatif tersebut juga harus dirasakan oleh perusahaan dan negara yang sebelumnya tak ada permasalahan serius.

Transaksi derivatif dalam perspektif syariah (bagian IV dari 5 tulisan)

0

Posted on : 10-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics 10

Oleh : Agustianto

Hindari Maghrib

Perlu ditegaskan kembali bahwa  ekonomi kapitalisme yang rawan krisis itu, tidak melarang praktik maghrib, sedangkan ekonomi Islam sangat keras mengecamnya. Magrib adalah akronim dari maysir, gharar dan riba. Tiga macam praktik terlarang inilah yang menjadi faktor dan biang utama krisis. Maysir adalah kegiatan bisnis yang berbentuk judi dan spekulasi. Spekulasi selalu terjadi di pasar modal dalam bentuk short selling dan margin trading. Sedangkan gharar ialah transaksi maya, drivatif dan karena itu ia menjadi bisnis resiko tinggi). Riba ialah pencarian keuntungan tanpa dilandasi kegiatan transaksi bisnis riel. Di pasar modal seringkali para investor meraup keuntungan tanpa adanya underlying asset, atau sektor riel yang melandasinya. Tujuan investor bukan untuk menanam saham secara riil di sebuah emiten, tetapi semata untuk meraih gain melalui praktik margin trading. Selain itu harus diketahui bahwa di dalam financial market, margin trading dan fiat standart ditetapkan berdasarkan instrumen bunga.

Di pasar uang kegiatan transaksi spekulasi valas semacam transaksi swap, forward dan options selalu terjadi. Semua transaksi tersebut bertentangan dengan syariah, karena mengandung riba. Sementara itu, ekonomi syariah adalah ekonomi yang berusaha menempatkan keseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil (atau bisa disebut economy 1 on 1). Artinya ekonomi yang mengkaitkan secara ketat antara sektor moneter dan sektor reil. Tegasnya, one monetery unit for one real asset. Dalam kerangka itulah Ekonomi Islam mengajarkan kegiatan bisnis riel melalui jual beli, bagi hasil dan ijarah

Jantung dari sistem ekonomi kapitalisme adalah riba. Riba adalah punca dari segala macam krisis. Artinya riba adalah biang utama terjadimya krisis. Kegiatan spekulasi dalam bentuk margin trading dan short selleing di pasar modal adalah riba, karena tanpa dilandasari oleh

Page 89: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

underlying transaction yang riel. Kegitan traksaksi derivatif di bursa berjangka dan bursa komoditi semuanya adalah riba. Kegiatan spekuasi valas dengan motif untuk spekulasi, bukan untuk transaksi adalah kegiatan ribawi. Sedangkan untuk jaga-jaga (preceutionary) hukumnya makruh.

Ambillah 100-an buku-buku Islam (fiqh, tafsir dan hadits), lalu lihat dan analisis-lah definisi riba. Dari ratusan definisi riba itu disimpulkan, bahwa riba ialah az-ziyadah lam yuqabilha ‘iwadh, artinya, riba adalah tambahan yang diperoleh tanpa didasarkan adanya ‘iwadh. Iwadh ialah transaksi bisnis riel yang terdiri dari 3 macam, yaitu jual beli, bagi hasil dan ijarah, Jual beli contohnya ialah seperti jual beli dengan segala macamnya (jual beli murabahah, salam, istisna), Transaksi bisnis riel juga dapat diwujudkan dengan bagi hasil dan ijarah,. Bagi hasil diwujudkan dengan konsep mudharabah, syirkah, mudharabah musytarakah, musyarakah mutanaqishah dan muzara’ah. Sedangkan ijarah diwujudkan dengan ijarah biasa, ijarah muwazy (paralel), IMBT.

Transaksi mudharabah dan musyarakah serta transaksi jual beli murabahah, salam, istisna’ dan ijarah (leasing), memastikan keterkaitan sektor moneter dan sektor riel. Oleh karena itu pula salah satu rukun jual beli ialah ada uang ada barang (ma’kud ‘alaihi). Dengan demikian, future trading dan margin trading yang tidak diikuti dengan pengiriman barang adalah tidak sah. Jelasnya bahwa konsep ekonomi Islam menjaga keseimbangan sektor riel dan sektor moneter. Begitu pula dengan perbankan Islam yang pertumbuhan pembiayaannya tidak dapat terlepas dari pertumbuhan sektor riel yang dibiayainya.

Yang jelas tidak boleh ada tambahan (keuntungan) tanpa adanya transaksi bisnis riel. Seorang spekulan mata uang, yang maraup keuntungan dari selisih harga beli dollar dan jualnya, adalah pelaku riba. Dalam ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadian sebagai komoditas sebagaimana yang banyak dipraktikkan dewasa ini dalam kegiatan transaksi bisnis valuta asing. Menurut Ekonomi Islam, transaksi valas hanya dibenarkan apabila digunakan untuk kebutuhan transaksi di sektor riel, seperti membeli barang untuk kebutuhan import, berbelanja atau membayar jasa di luar negeri dan sebagainya. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulasi, amat dilarang dalam Islam. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulatif menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.

Dampak spekulasi valas ialah nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Solusinya adalah mengatur sektor finansial agar menjauhi dari segala transaksi yang mengandung riba, seperti transaksi-transaksi maya di pasar uang. Mengambil gain dan keuntungan tanpa didasarkan pada kegiatan bisnis sektor riil adalah riba, baik di pasar uang maupun di pasar modal. Maka, seorang spekulan saham di pasar modal juga telah melakukan praktik riba.bahkan lebih jauh ia telah masuk kepada praktik gharar dan maysir. Demikian pula seorang yang ikut dalam transaksi bursa berjangka juga telah melakukan transaksi ribawi.

Karena ekonomi Islam tidak memisahkan sektor moneter dan sektor riil, maka jumlah uang yang beredar menurut Islam, ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riel atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Demikian kata Ibnu Taymiyah di buku Majmu’ Fatawa pada abad pertengahan Islm

Page 90: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikti pertumbuhan sektor riel, Inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, yaitu ekonomi konvensional, jelas memisahkan antara sektor finansial dan sektor riel. Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis, Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riel, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang.

Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara,apalagi negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riel.

Spekulasi mata uang yang mengganggu ekonomi dunia, umumnya dilakukan di pasar-pasar uang. Pasar uang di dunia ini saat ini, dikuasai oleh enam pusat keuangan dunia (London, New York, Chicago, Tokyo, Hongkong dan Singapura). Nilai mata uang negara lain, bisa saja tiba-tiba menguat atau sebaliknya. Lihat saja nasib rupiah semakin hari semakin merosot dan nilainya tidak menentu.

Di pasar uang tersebut, peran spekulan cukup signifikan untuk menggoncang ekonomi suatu negara. Lihatlah Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata pernah sempoyongan gara-gara ulah spekulan di pasar uang, apalagi kondisinya seperti Indonesia, jelas menjadi bulan-bulanan para spekulan. Demikian pula ulah George Soros di Asia Tenggara tahun 1997..

Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen yang tepat, biasanya satu peristiwa politik yang menimbulkan ketidakpastian.

Menjelang momentum tersebut, secara perlahan-lahan mereka membeli rupiah, sehingga permintaan akan rupiah meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan. Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepas secara sekaligus dalam jumlah besar. Pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain.

 

Related Posts

Transaksi derivatif dalam perspektif syariah (bagian V penutup)

Page 91: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

0

Posted on : 10-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics 13

Oleh : Agustianto

Kesadaran ekonom dan negara maju

Sebenarnya, sebagian pakar ekonomi dunia telah menyadari kerapuhan sistem moneter kapitalisme seperti itu. Teori Bubble growth dan random walk telah memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang bahaya transaksi maya (bisnis dan spekulasi mata uang dan bisnis (spekulasi) saham di pasar modal).

Para pemimpin negara-negara G7 pun, telah menyadari bahaya dan keburukan transaksi maya dalam perekonomian. Pada tahun 1998 mereka menyepakati bahwa perlu adanya pengaturan di pasar uang sehingga tidak menimbulkan krisis yang berkepanjangan. Jadi, bila negara-negara G7 telah menyadari bahaya transaksi maya, mengapa Indonesia masih belum melihat dampak negatifnya bagi perekonomian dan segera mendorong konsep dan blueprint ekonomi Islam..

Selanjutnya, untuk meminimalisir kegiatan spekulasi dan bubble economy para ekonom Barat mengusulkan untuk mengetatkan regulasi investasi. Ben Bernake, Chairman of Federal Reserve bahkan sampai meminta kepada konggres AS untuk menyetujui penambahan regulasi bagi bank investasi agar tidak terjadi spekulasi yang berlebihan di pasar aset keuangan. Pendapat senada juga diutarakan oleh Direktur IMF Strauss-Kahn mengenai perlunya penambahan aturan dan transparansi untuk menghidari krisis yang lebih parah. Meskipun kedua pernyataan ini terdengar berlawanan dengan semangat kapitalisme AS, namun akhirnya sebagian ekonom dan pengamat pasar keuangan sepakat bahwa liberalisasi pasar keuangan cenderung mendorong kepada ketidakstabilan ekonomi.

Joseph  Stiglitz, pemenang Hadiah Nobel 2002 dari Harvard University  mengatakan, “Pada akhirnya, Negara AS yang selama ini membangga-banggakan sistem kapitalisme yang dianutnya ke berbagai negara di dunia, mendapat kritikan tajam setelah AS sendiri tidak mampu membuktikan bahwa model ekonomi yang dianutnya adalah model ekonomi yang bisa mensejahterakan umat manusia”.

Menurut Stiglitz, krisis keuangan di AS yang menjalar menjadi krisis keuangan global bahkan lebih buruk dari Great Depression pada era 1930-an, telah membuka mata masyarakat internasional akan rapuhnya sistem kapitalisme yang dianut Negeri Paman Sam. Sistem ini terbukti, pada akhirnya hanya membuat mereka yang menganutnya menjadi sengsara dan menderita .(Washington Post)

Sementara itu, menurut Krugman, peraih Nobel Ekonomi 2008,   ekonomi dunia akan mengalami resesi dalam kurun waktu yang lama. Dia mengakui bahwa krisis ini memang menakutkan,

Page 92: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

PernyAtaan senada diungkapkan Investor dunia, George Soros. Dia menilai krisis yang menerjang pasar finansial saat ini sangat serius. Krisis ini, menurutnya, lebih hebat dibanding krisis finansial lainnya sejak berakhirnya Perang Dunia kedua,. Soros menegaskan yang terancam resesi bukan hanya perekonomian Amerika Serikat saja, tapi juga Eropa.

Karena kegawatan sistem moneter global tersebut, PM Inggris Gordon Brown mengatakan agar dibentuk arsitektur keuangan dunia baru menyerupai Bretton Woods yang muncul setelah Perang Dunia II. Bagi Eropa, krisis ini begitu dalam, AS harus siap dengan sistem baru itu, Christian de Boissieu, ekonom dan penasihat Presiden Sarkozy. mengatakan pembentukan sistem itu kemudian harus melibatkan pengganti Presiden Bush.Di samping itu, Kanselir Jerman Angela Merkel mendukung pertemuan G-8, yang juga dihadiri pemimpin China, Brasil, dan India di New York. Pertemuan itu mengusulkan pembentukan Bretton Woods II, seperti usulan Perancis.

Sementara itu, negara-negara  kaya dan berkembang yang tergabung dalam Kelompok 20 (G-20) yang menguasai 85 persen perekonomian dunia, menyatakan, bahwa mereka  bertekad akan menggunakan segala cara untuk mengatasi krisis finansial yang mengguncang pasar dunia. untuk menjamin stabilitas dan berfungsinya dengan baik pasar financial.

Para pemimpin Asia dan Eropa yang bertemu dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-7 Asem di Beijing, China, pada 25 Oktober 2008  telah mnyepakati untuk segera melakukan perombakan sistem moneter dan finansial internasional secara menyeluruh dan efektif. Mereka juga menyerukan kepada Dana Moneter Internasional (IMF) agar segera mengambil peran utama dalam membantu negara-negara yang kesulitan keuangan.

Usulan perombakan sistem moneter dan finansial internasional sebelumnya keras disuarakan Eropa. Kini suara itu makin menguat dengan dukungan dari negara-negara Asia melalui KTT Asem yang dihadiri para pemimpin dari 43 negara itu.

Presiden Perancis Nicolas Sarkozy menyatakan, ”Eropa berusaha menawarkan untuk keluar dari krisis keuangan yang di luar perkiraan. Ini adalah pertemuan tingkat tinggi yang sangat bermanfaat dan menjanjikan. Eropa dan Asia memiliki banyak hal yang bisa dilakukan bersama.

Dengan menyatunya suara Eropa dan Asia itu, tinggal Amerika Serikat yang masih harus menetapkan pendirian. AS selama ini diketahui enggan merombak sistem finansialnya yang memiliki banyak kelemahan dalam hal kontrol. Alasannya, karena khawatir akan mengganggu asas perdagangan bebas.Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, pernah mengungkapkan, kapitalisme mutakhir yang digerakkan sektor keuangan (financially-driven capitalism) tumbuh pesat luar biasa sejak awal dasawarsa 1980-an. Transaksi di sektor keuangan meroket ratusan kali lipat dibandingkan dengan nilai perdagangan duniaDi negara-negara maju, lalu lintas modal bebas bergerak praktis tanpa pembatasan. Sementara itu, makin banyak saja negara berkembang yang mengikuti jejak meliberalisasikan lalu lintas modal. Jika pada tahun 1970-an hanya 20 persen emerging market countries yang tergolong liberal dalam lalu lintas modal mereka, dewasa ini sudah meningkat dua kali lipat.

Page 93: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

Uang dan instrumen keuangan lainnya tak lagi sekadar sebagai penopang sektor produksi riil, melainkan telah menjelma sebagai komoditas perdagangan, diternakkan beranak pinak berlipat ganda dalam waktu singkat. Produk-produk keuangan dengan berbagai macam turunannya menghasilkan ekspansi kapitalisme dunia yang semu.

Reformasi Moneter Indonesia

Sudah menjadi keniscayaan bagi Indonesia untuk meredisign  kebijakan ekonomi moneter Indonesia karena sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini bila diteruskan  sangat berbahaya bagi kesejahteraan Indonesia di masa depan. Sistem kapitalisme senantiasa mengancam krisis demi krisis. Sistem kapitalisme itu sangat rawan dan gampang menciptakan krisis. Selain itu, sistem kapitalisme akan menciptakan kesenjangan pendapatan dan ketidak-adilan  ekonomi, sistem kapitalisme belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat banyak

Kegagalan ekonomi kapitalisme seharusnya dijadikan momentum dan pelajaran bagi bangsa Indonesia untuk melakukan reformasi sistem moneter secara bertahap Sudah saatnya pemerintah mengubah paradigma kebijakan pembangunan ekonomi nasional dari orientasi akumulasi kapital kepada orientasi keadilan sesuai dengan prinsip syariah Islam dan realitas sosial masyarakat yang bersumber dari akar sejarah bangsa.

Tidak ada satu pihak pun yang memiliki akal sehat,  yang menolak urgensinya pendekatan makro dalam pembangunan ekonomi untuk keselamatan Negara di masa depan. Pendekatan makro diperlukan untuk menganalisis perilaku ekonomi masyarakat. Misalnya, mengapa banyak pengangguran dan kemiskinan ? Mengapa inflasi tinggi? Mengapa nilai kurs berfluktuasi, mengapa harga-harga saham berjatuhan, dsb.

Selanjutnya,  Pemerintah diharapkan (didsak)  agar lebih akomodatif terhadap sistem  ekonomi syariah yang telah terbukti selama 40 tahun berkembang dengan pesat di saat krisis global datang mnelanda secara bertubi-tubi. Bahkan jika kita menarik  sejarah ke masa yang lebih lampau, tercatat bahwa selama 4000an tahun ekonomi dunia mengalami stabilitas, hal ini dikarenakan ekonomi syariah memiliki konsep yang unggul dalam mewujudkan stabilitas, kesejahteraan, dan inflasi serta keadilan / pemerataan.

Selama ini sudah memang ada perbankan dan LKS, namun dalam skala yang lebih luas dan makro, pemerintah belum menjadikan ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi andalan. Jika Indonesia masih berkiblat ke Barat (Amerika dan Eropa) yang memiliki sistem ekonomi yang rapuh, maka yakinlah Indonesia pasti akan terancam krisis terus-menerus sepanjang sejarah. Kebijakan pemerintah baru-baru ini (Kontan, 25 April 2009), yang tidak menggunakan dollar dalam transaksi di Departemen Perhubugan patut diacungi jempol dan hendaknya regulasi ini diterapkan secara bertahap ke berbagai macam transkasi lainnya, dunia parawisata, dan sebagainya.

Selanjutnya, pemerintah jangan setengah hati menerapkan bank-bank syariah, asuransi syariah, surat berharga syariah negara, pasar modal syariah, leasing, pegadaian syariah dan lembaga keuangan mikro syariah yang pro kepada sektor riil dan kemaslahatan ekonomi rakyat. Dengan krisis ini sesungguhnya Allah hendak mengingatkan betapa sistem ribawi itu ternyata merusak

Page 94: Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah

dan menghancurkan perekonomian umat manusia. Inilah makna firman Allah Luyuziiqahum ba’dhal lazi ‘amiluu la’allahum yarj’iuun. (QS.30 : 41) Maksudnya, krisis itu Kami timpakan kepada mereka (akibat ulah tangan mereka), supaya mereka kembali kepada sistem yang benar, sebuah sistem ilahiyah yang berasal dari Tuhan Allah. Itulah ekonomi syariah. Allahu Akbar.

Indonesia, harus dengan cepat dan cerdas mengambil langkah-langkah drastis untuk mengatasi crisis global. Dampak ke sektor perbankan memang perlu diantisipasi secara prioritas, termasuk dampak psikologis, mengingat peranan sektor perbankan yang lebih besar serta trauma krisis moneter tahun 1997-1998.

Tantangan yang dihadapi perekonomian Indonesia juga masih cukup besar termasuk masih adanya tekanan  inflasi dan nilai tukar (Indonesia adalah satu-satunya negara menaikkan suku bunga!!)  serta masih tingginya tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan.  Perlu ditambahkan bahwa target-target ekonomi makro yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) belum ada yang tercapai sesuai yang direncanankan.

Kestabilan ekonomi termasuk kestabilan sektor keuangan merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Oleh karena itu, langkah-langkah jangka pendek di atas, perlu segera disertai dengan langkah-langkah untuk membami dan meninggalkan sistem dan praktek trinitas setan sebagaimana diutarakan sebelumnya, apalagi bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sistem keuangan dan perbankan syariah yang bebas dari riba, gharar dan maisir sebagaimana dimaksud dalam UU Perbankan Syariah yang telah diundangkan baru-baru ini, perlu segera dikembangkan secara serius. Namun sistem keuangan tanpa trinitas setan itu, juga belum dan masih perlu dilengkapi dengan nilai-nilai ekonomi islami lainnya. Sistem ekonomi islami telah secara tepat dijadikan acuan oleh para pendiri atau founding fathers kita sebagaimana tercantum dalam Mukadimah dan sejumlah pasal UUD 1945 yang pada pokoknya mengimpikan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.

Ajaran-ajaran Islam, seperti perintah untuk berlaku adil khususnya bagi para penguasa atau umara, perintah untuk membayar zakat, infak dan sedekah bagi orang yang berada, hukum waris, anjuran untuk hidup sederhana serta larangan hidup mewah dan berlebihan (prohibition of extravagance), perintah untuk membantu fakir miskin, penyelenggaraan baitul maal oleh negara dan lainnya, jelas sangat sarat dengan nilai-nilai keadilan (justice) termasuk keadilan distributif (distributive justice) dan nilai-nilai kemakmuran bersama (social welfare