hukum terilusikan sedemikian feminim

Upload: nurfan-fatriah-mansyur

Post on 08-Jan-2016

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Hukum terilusikan sedemikian feminim, sehingga Justicia, tentu selalu tergambarkan sebagai perempuan. Orang Yunani percaya bahwa dua figur dewi bernama Themis dan Dike, penentu keadilan pada semua sawala hukum. Keduanya satu keluarga sebagai ibu dan anak. Sosok yang diberhalakan Yunani selalu berdinasti, sehingga keputusan tertinggi pasti dipegang oleh Dewa Alfa. Zeus atau siapapun yang berkelamin laki-laki dari Istana Olympus, penentu hukum tertinggi yang tak bisa ditumbangkan. Orang Mesir kuno juga percaya pada Maat dan Isis sebagai dua Dewi Keadilan. Aturan dasar dari hukum berbasis Idolatry atau eidololatria (pemberhalaan), yakni jangan pernah mengadili sang dewa, komandan, atau superior. Zeus yang tinggal di Olympus atau pembesar yang menetap di istana, harus dikebalkan dari semua pasal dan ayat sebagai terduga, tersangka, dan terdakwa. Esensi hukum Indonesia dan Barat berbasis fetis mulai dari ikon, lambang, citra, dan imaji.. Bahkan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) harus berhenti di pentagutan ini, ketika Boediono sebagai Zeus level II dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) sebagai Zeus derajat III, tak mungkin disentuh pasal pemberatan. Selalu ada Zeus dalam kultus deifikasi. Era mitologi, hukum dipercayakan pada perempuan, bahkan keseimbangan antara kebaikan dan kejahatan tergantung pada timbangan di lentik jemarinya. Hukum memang mitos, bahkan keadilan itu ilusi lama yang tak selesai di keseimbangan berat dacin pada mizan. Androgini bukan tentang hermafrodit yang berkaitan dengan orang yang berkategori entah kelamin di berantah genital. Androgini dapat berbentuk ambiguitas antara dua atau tiga, bahkan sejamak-jamaknya kejahatan, korupsi, kebatilan, kezaliman, dan kesesesatan, yang didentumkan dalam ketukan palu di ruang pengadilan. Hukum yang androgini bisa dilacak dalam mitologi Yunani. Ketika semua pasal tak lebih lebih dari fiksi. Pada mulanya hanya ada dua manusia yakni andro dari matahari dan gyne dari bumi. Demikianlah azali manusia, yang menyimbolkan kelamin dan gender. Selain bumi dan matahari, ada juga makhluk dari bulan. Dari benda yang bercahaya saat malam itulah, muncul Anasyromenos yang abal-abal sebagai lelaki dan perempuan. Mulanya tak ada masalah, hingga Anasyromenos berhasrat merebut kuasa Olympus. Zeus kemudian mengambil jalan keras, lalu memotong makhluk ambigender atau polygender tersebut, membuangnya ke area tak bergalur. Dalam ketidak-jejakan di segregasi itu, Anasyromenos diawasi oleh Apollo agar tak berulah lagi untuk mengusik Zes. Kronos, ayah Zeus yang disekap di tartaros (neraka) kemudian menghibahkan kemampuan apotrepein pada sosok androgini tersebut untuk mengjungkirkan peristiwa apapun. Sang androgini lalu memutar kronologis alur nasibnya, sebelum Zeus menaruhnya di area pembuangan. Apollo tak selamanya bisa mengawasi, hingga androgini membalik lintasan waktu melalui jalur hukum. Hukum adalah satu-satunya kuasa yang nyaris seperti Dewa, karena waktu bisa dijungkalkan dengan pasal, ayat, dan perundang-undang. Selama masa pemencilan, sang androgini mempelajari karakter lelaki dan perempuan. Anasyromenos memastikan keadilan lelaki bisa digoncangkan dari kecantikan. Zeus mengidap adiksi seksual pada siapapun wanita cantik. Zeus bahkan menjadi dewa dengan frekwensi selingkuh paling tertinggi. Hanya Hera yang selalu menyurvei perselingkuhan itu. Berdasarkan hasil survei, Hera makin benci semua wanita yang disukai Zeus, bahkan kesumat pada anak-anak mereka. Hasrat merebut kuasa dewa tertinggi, tak pernah berhenti hingga sang androgini membuat diri sebagai paduan setengah dewa dan separuh dewi dengan julukan Apotropaioi Theo. Cara yang dilakukan Anasyromenos, melalui vaskania (mata setan). Vaskania kemudian disebut nazar oleh orang Turki. Istilah baru itu terucap setelah Konstantinopel dibebaskan Sultan Muhammad Al-Fatih (1432- 1481), karena diperkenalkannya bahasa Arab pada warga Roma, yang bertradisi Yunani. Nazar berasal dari bahasa Arab yang berarti penglihatan. Kuasa terbesar dari nazar adalah mata uang, sehingga Dewi Justicia dapat ditutupi lentik kelopak penglihatannya dengan kain, sebagai alegori alat pembayaran. Bagi Apotropaioi Theo, cara mengelabui Zeus harus dengan mata. Modus itu kemudian dimanipulasikan pada sosok Dewi Hera yang selalu menunjukkan kehadirannya dengan bulu burung merak atau oleh Aristoteles (384 SM 322 SM) disebut sebagai burung persia. Kekhasan pada bulu burung itu yakni selalu terbentuk gambar satu mata. Hera juga disebut sebagai Bopis atau si mata sapi. Siapapun yang berkarakter Bopis akan selalu melihat bahwa rumput di kandang tetangga selalu berwarna lebih hijau. Mereka yang bermata hijau, hanya melihat uang sebagai hasrat tertinggi, sebagaimana lazim pada kejahatan korupsi. Demikianlah hukum dipercayakan simbolnya pada wanita dan matanya. Hukum berbasis epik itu kemudian juga dianut di Indonesia, sebagaimana lambang timbangan pada Kejaksaan Agung. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) juga menggunakan gambaran keadilan perempuan yang menekuk kaki sambil mengangkat timbangan. Lambang Mahkamah Agung, meski diambil dari khasanah Mahabharata, tetapi penggunaan senjata Cakra milik Kresna, adalah variasi dari apotrepein. Pusaran Cakra bisa membalikkan waktu ke paralel lain, sebagai kuasa Anasyromenos. KPK juga menggunakan ikon, logo, dan lambang yang berkaitan dengan dunia saga, terutama karakter berupa Garuda. Burung besar itu merupakan alterasi lelaki dari kewanitaan merak. Mengapa mitologi dari tanah India dan Yunani bisa paralel? Mitos merupakan prilaku khayalan yang didasari ajaran etis yang disebut fiksi. Menurut Budayawan Makassar, Alwy Rachman, fiksi merupakan harapan yang dicita-citakan. Dasar dari semua fiksi yakni menata moral, bahkan dalam seburuk apapun karakter tersebut. India, Mesir, dan Yunani, serupa keberhalaan moralitasnya. Hukum berbasis thagut, tak ada pada Abrahamic religions (agama-agama berbasis Nabi Ibrahim). Dalam pemberantasan korupsi, seharusnya tak ada lagi mitos kekebalan hukum ketika Abraham hadir di puncak teratas keadilan. Bila Abrahamic religions bisa mengalahkan imunitas religi berlapik berhala, maka seharusnya demikianlah pula KPK yang Abrahamic laws. Kini saatnya kuasa Zeus harus berakhir. Olympus bukan kuasa langit yang tak bisa diruntuhkan.(*) Oleh; Ostaf Al Mustafa Sekretaris Bidang Komunikasi Publik Pergerakan pada Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Sulsel