hukum serikat pekerja

25
Pendirian Serikat Pekerja Pada saat pendirian serikat pekerja, panitia pembentuk dan pekerja yang sudah menandatangani kesanggupan untuk menjadi anggota serikat pekerja diintimidasi oleh pihak HRD dengan ancaman bila Serikat pekerja sampai terbentuk, panitia pembentuk dan pekerja yang sudah menandatangani kesanggupan untuk menjadi anggota serikat pekerja akan di-PHK. Apa yang sebaiknya dilakukan oleh Panitia pembentuk? Panitia pembentuk serikat pekerja dapat melanjutkan pendirian serikat pekerja tersebut karena pendirian serikat pekerja dilindungi oleh: 1. Pasal 28 UUD 1945 yang mengatur adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul. 2. Pasal 5 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU Serikat Pekerja) yang menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh. Pihak yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh dengan cara melakukan pemutusan hubungan kerja dikenakan sanksi pidana paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp500 juta. Hal ini diatur dalam pasal 28 jo. pasal 43 ayat (1) UU Serikat Pekerja. Dalam UU Serikat Pekerja tidak diatur bahwa adanya kewajiban bagi pekerja untuk meminta ijin terlebih dahulu kepada perusahaan sebelum mendirikan serikat pekerja. Yang diatur dlm UU Serikat Pekerja adalah pemberitahuan setelah serikat pekerja itu mencatatkan diri ke dinas Tenaga Kerja Setempat (pasal 18 ayat [1] UU Serikat Pekerja). Jika HRD perusahaan tetap memberikan ancaman PHK jika serikat pekerja terbentuk, maka hal tersebut dapat dilaporkan ke bagian Pengawasan Dinas Tenaga Kerja setempat atau kepolisian. Kasus seperti ini pernah terjadi di Pengadilan Negeri Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Dalam kasus tersebut, General Manager sebuah perusahaan dikenakan sanksi pidana karena terbukti menghalang-halangi serikat pekerja. Peraturan perundang-undangan terkait: 1. UUD 1945 2. UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Upload: rojiih-nitikusuma

Post on 09-Feb-2016

324 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum Serikat Pekerja

Pendirian Serikat Pekerja

Pada saat pendirian serikat pekerja, panitia pembentuk dan pekerja yang sudah menandatangani kesanggupan untuk menjadi anggota serikat pekerja diintimidasi oleh pihak HRD dengan ancaman bila Serikat pekerja sampai terbentuk, panitia pembentuk dan pekerja yang sudah menandatangani kesanggupan untuk menjadi anggota serikat pekerja akan di-PHK. Apa yang sebaiknya dilakukan oleh Panitia pembentuk?

Panitia pembentuk serikat pekerja dapat melanjutkan pendirian serikat pekerja tersebut karena pendirian serikat pekerja dilindungi oleh:

1. Pasal 28 UUD 1945 yang mengatur adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul.2. Pasal 5 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU Serikat

Pekerja) yang menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh.

Pihak yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh dengan cara melakukan pemutusan hubungan kerja dikenakan sanksi pidana paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp500 juta. Hal ini diatur dalam pasal 28 jo. pasal 43 ayat (1) UU Serikat Pekerja. 

Dalam UU Serikat Pekerja tidak diatur bahwa adanya kewajiban  bagi pekerja untuk meminta ijin terlebih dahulu kepada perusahaan sebelum mendirikan serikat pekerja.  Yang  diatur dlm UU Serikat Pekerja adalah pemberitahuan setelah serikat pekerja itu mencatatkan diri ke dinas Tenaga Kerja Setempat (pasal 18 ayat [1] UU Serikat Pekerja).

Jika HRD perusahaan tetap memberikan ancaman PHK jika serikat pekerja terbentuk, maka hal tersebut dapat dilaporkan ke bagian Pengawasan Dinas Tenaga Kerja setempat atau kepolisian.

Kasus seperti ini pernah terjadi di Pengadilan Negeri Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Dalam kasus tersebut, General Manager sebuah perusahaan dikenakan sanksi pidana karena terbukti menghalang-halangi  serikat pekerja.

Peraturan perundang-undangan terkait:1. UUD 19452. UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Langkah Hukum Jika Serikat Pekerja Diintervensi Pengusaha

Di tempat kerja saya, serikat pekerja diambil dari jalur management yang ditentukan pengusaha, dan KKB yang dibuat semuanya sudah diplot oleh pengusaha. Bagaimana cara menggugat, dan melalui lembaga apa agar bisa meluruskan penyimpangan ini?

Di dalam pertanyaan, Saudara sampaikan antara lain bahwa “serikat pekerja diambil dari jalur manajemen oleh pengusaha”, tapi tidak dijelaskan apakah yang dimaksud “diambil” tersebut adalah pengurus ataukah anggota serikat pekerja. Dalam jawaban ini, kami mengasumsikan bahwa yang Saudara maksud adalah Pengurus Serikat Pekerja. 

Kemerdekaan berserikat atau membentuk serikat merupakan salah satu hak asasi setiap warga negara Indonesia yang dilindungi oleh UUD Negara RI Tahun 1945 dan juga UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kedudukan hak berserikat sebagai hak asasi setiap warga negara

Page 2: Hukum Serikat Pekerja

menjadikan hak tersebut tidak dapat dicabut atau dikurangi secara sewenang-wenang baik oleh negara, pemerintah, maupun warga negara lainnya. 

Ketentuan mengenai serikat pekerja (“SP”) secara umum dapat dilihat di dalam Pasal 104 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) dan secara khusus di dalam UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (“UUSP”). Pengertian SP menurut Pasal 1 angka-1 UUSP adalah:

Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UUSP tersebut di atas dan dihubungkan dengan ketentuan Pasal 3 undang-undang yang sama, maka salah satu asas SP adalah bebas, yang artinya SP dalam menjalankan hak dan kewajibannya tidak berada di bawah pengaruh atau tekanan dari pihak manapun, termasuk dari pengusaha. Di samping itu SP juga memiliki asas mandiri yang berarti SP dalam mendirikan, menjalankan, dan mengembangkan organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri tidak dikendalikan oleh pihak lain di luar organisasi. SP juga memiliki asas demokratis yang berarti SP dalam pembentukan organisasi, pemilihan pengurus, memperjuangkan, dan melaksanakan hak dan kewajiban organisasi dilakukan sesuai dengan prinsip demokrasi (Lihat penjelasan Pasal 3 UUSP).

Pasal 3 UUSP“Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab”

Jika dikaitkan dengan pertanyaan Saudara, maka tindakan “mengambil” pengurus SP dari jalur manajemen yang dilakukan oleh pengusaha telah melanggar asas SP yang bebas, mandiri, dan demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 UUSP. Di samping itu, dalam Pasal 9 UUSP juga dijelaskan bahwa pembentukan SP harus atas kehendak pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, partai politik, atau pihak manapun. Oleh karenanya, semakin jelas bahwa tindakan pengusaha “mengambil” Pengurus SP dari jalur manajemen adalah bentuk intervensi atau campur tangan yang selain melanggar asas SP, juga melanggar hukum.

Pasal 9 UUSP:“Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, partai politik, dan pihak manapun”

Upaya yang pekerja bisa lakukan terhadap permasalahan/perselisihan hubungan industrial karena tidak terpenuhinya hak berserikat sesuai ketentuan UUSP tersebut adalah mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial di Provinsi yang mewilayahi tempat kerja si pekerja. Namun, sebelum mengajukan gugatan, Pekerja harus terlebih dahulu menempuh musyawarah (perundingan bipartit) dengan pihak pengusaha dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Apabila dalam waktu tersebut pengusaha tidak mau berunding atau sudah berunding tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit tersebut dianggap gagal dan pekerja berdasarkan bukti-bukti bahwa perundingan bipartit gagal, kemudian mencatatkan perselisihan hubungan industrial tersebut kepada instansi ketenagakerjaan, dalam hal ini Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang melingkupi/membawahi wilayah tempat kerja si pekerja, untuk diselesaikan melalui perundingan tripatit. Apabila dalam perundingan tripartit juga tidak ditemukan kesepakatan, maka mediator (apabila perundingan dilakukan melalui mediasi) akan menerbitkan anjuran tertulis yang dijawab masing-masing pihak, baik pekerja maupun pengusaha dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari.

Page 3: Hukum Serikat Pekerja

Apabila pekerja maupun pengusaha tidak menjawab atau menolak anjuran tertulis dari mediator tersebut, maka pekerja atau pengusaha dengan melampirkan anjuran terulis tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Jenis gugatan perselisihan hubungan industrial yang dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial adalah gugatan mengenai:

a. Perselisihan hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

b. Perselisihan kepentingan; yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak; dan

d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, yaitu perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan;

Oleh karena Pekerja tidak dapat menjalankan haknya untuk berserikat sebagaimana diatur dalam UUSP disebabkan tindakan pengusaha “mengambil” pengurus dari jalur manajemen, maka gugatan jenis gugatan yang dapat diajukan adalah gugatan perselisihan hak. Gugatan tersebut dapat diajukan oleh si pekerja sendiri, atau dikuasakan kepada kuasa hukum (Advokat), atau dikuasakan kepada Pengurus SP apabila si pekerja menjadi Anggota SP. Gugatan diajukan ke bagian pendaftaran gugatan di kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah tempat kerja Pekerja.

Sebagai tambahan informasi bahwa untuk gugatan yang nilai gugatannya di bawah Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), maka tidak dikenakan biaya pendaftaran, biaya persidangan, maupun biaya eksekusi. Mengenai bagaimana teknis pemeriksaan di persidangan Pengadilan Hubungan Industrial, Saudara dapat melihat lebih lanjut di dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UUPPHI”) dari Pasal 81-Pasal 112.

Selain dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial, pekerja juga bisa melaporkan permasalahan tersebut kepada Pengawas Ketenagakerjaan di wilayah tempat kerja si pekerja untuk meminta agar si pengusaha tersebut diperiksa. Selain itu, pekerja juga dapat melaporkan atau mengadukan dugaan pelanggaran atas hak berserikat ini kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia yang beralamat di Jalan Latuharhary No. 42B, Menteng, Jakarta Pusat.

Di samping itu pula, apabila pekerja mempunyai bukti yang cukup mengenai adanya tindakan pengusaha yang menghalangi-halangi pekerja untuk menjadi pengurus atau anggota serikat pekerja dengan cara-cara mengintimidasi dan tekanan lainnya, pekerja dapat melaporkan hal tersebut kepada pihak Kepolisian. Tindakan tersebut diatur di dalam Pasal 28 UUSP yang menyatakan:

“Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara: a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau

melakukan mutasi; b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh; c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;

Page 4: Hukum Serikat Pekerja

d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.”

Ancaman hukuman atas tindakan tersebut sebagaimana diatur di dalam Pasal 43 ayat (1) UUSP adalah pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 

Sedangkan, terkait dengan pertanyaan Saudara mengenai Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama/Kesepakatan Kerja Bersama (PKB/KKB) yang sudah diplot oleh pengusaha, maka yang menjadi acuan untuk menjawabnya adalah ketentuan Pasal 116 s/d Pasal 135 UUK. Ketentuan ini dijabarkan lagi secara teknis dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. PER.16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (“Permenakertrans No. 16 Tahun 2011). Berdasarkan Pasal 116 ayat (2) UUK dan Pasal 12 ayat (3) Permenakertrans No. 16 Tahun 2011, penyusunan PKB/KKB harus dilaksanakan melalui perundingan secara musyawarah mufakat antara serikat pekerja dengan pengusaha. Lebih lanjut, di dalam Pasal 12 ayat (2) Permenakertrans No. 16 Tahun 2011 dinyatakan bahwa perundingan tersebut harus didasari iktikad baik dan kemauan bebas kedua belah pihak. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tersebut, menurut kami, apabila SP merasa atau mempunyai bukti bahwa penyusunan PKB/KKB tidak dilaksanakan melalui perundingan secara musyawarah dan pengusaha mempunyai iktikad tidak baik, serta melakukan intimidasi selama proses pembuatan PKB/KKB, maka SP dapat mengajukan gugatan dengan judul “perselisihan kepentingan” ke Pengadilan Hubungan Industrial dengan sebelumnya menempuh upaya perundingan bipartit dan perundingan tripartit dengan cara-cara sebagaimana yang sama sebagaimana telah kami sampaikan dan uraikan di atas.

Dasar hukum:1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ;4. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat BuruhUU No. 2 Tahun 2004

tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor

PER.16/MEN/XI/2011 Tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama

 

Wajibkah Perusahaan Memberikan Fasilitas Bagi Serikat Pekerja?

Apakah ada aturan hukum yang mewajibkan perusahaan memfasilitasi/menyediakan kantor untuk kegiatan Serikat Pekerja.

Sesuai dengan Pasal 104 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), membentuk serikat pekerja merupakan hak dari semua buruh/pekerja. Penjelasan Pasal 104 ayat (1) UUK menjelaskan bahwa kebebasan untuk membentuk, masuk atau tidak masuk menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan salah satu hak dasar pekerja/buruh. Selain itu, hak pekerja untuk membentuk serikat pekerja ini juga ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja (“UU Serikat Pekerja”).

Merujuk pada ketentuan Pasal 29 UU Serikat Pekerja:1. Pengusaha harus memberi kesempatan kepada pengurus dan/atau anggota serikat

pekerja/serikat buruh untuk menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dalam jam

Page 5: Hukum Serikat Pekerja

kerja yang disepakati oleh kedua belah pihak dan/atau yang diatur dalam perjanjian kerja bersama.

2. Dalam kesepakatan kedua belah pihak dan/atau perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diatur mengenai:

a) jenis kegiatan yang diberikan kesempatan;b) tata cara pemberian kesempatan;c) pemberian kesempatan yang mendapat upah dan yang tidak mendapat upah.

Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini memang belum mengatur secara khusus mengenai kewajiban perusahaan untuk menyediakan ruangan bagi kegiatan Serikat Pekerja (SP). Namun, dari ketentuan Pasal 29 UU Serikat Pekerja tersebut di atas, pengusaha harus memberi kesempatan bagi SP untuk menjalankan kegiatannya, dan mengenai tata cara pemberian kesempatan itu dapat disepakati oleh kedua belah pihak dan/atau diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Dalam praktiknya, umumnya ketentuan mengenai kewajiban perusahaan untuk menyediakan ruangan bagi SP untuk melakukan kegiatannya ini diatur dalam PKB. Meski memang, tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan fasilitas ruangan bagi SP dalam peraturan perundang-undangan.

Akan tetapi, dalam rangka perlindungan hak pekerja/buruh untuk berserikat dan pemberian kesempatan bagi SP untuk menjalankan kegiatannya, serta tetap menjaga suasana yang kondusif, umumnya memang perusahaan memberikan fasilitas ruangan bagi SP yang ada di perusahaannya. Bahkan ada perusahaan-perusahaan yang juga menyediakan fasilitas komputer untuk digunakan oleh pengurus SP yang bersangkutan.

Dasar Hukum:1. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Legalitas Kuasa Hukum dalam Pengadilan Hubungan Industrial

UU No 2 Tahun 2004 pada Pasal 87 menyatakan bahwa Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya. Sementara itu, UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat pada Pasal 31 mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja menjalankan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam UU Advokat, dipidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp 50 juta. Bagaimana solusi hukum tentang dua hal yang bertabrakan tersebut?

Benar bahwa sesuai bunyi Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) dan Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”) seperti yang Anda kutip dalam pertanyaan, memang terkesan kedua pasal dari dua UU yang berbeda itu saling “bertabrakan”.

Namun pada saat ini Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Organisasi Pengusaha yang hendak bertindak sebagai kuasa hukum di Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”) tidak lagi perlu khawatir akan dikenakan sanksi pidana atau denda sebagaimana diatur oleh Pasal 31 UU Advokat. Karena Mahkamah Konstitusi (“MK”) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-II/2004 Tahun 2004 telah menyatakan bahwa, Pasal 31 UU Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”). Lebih lanjut dinyatakan dalam putusan MK tersebut bahwa Pasal 31 UU Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

Page 6: Hukum Serikat Pekerja

Sebagai tambahan, kami juga pernah membahas mengenai pengujian Pasal 31 UU Advokat dalam artikel Pasal 31 Undang-Undang Advokat Dinyatakan Tidak Berlaku. Pada artikel tersebut dijelaskan bahwa Pasal 31 UU Advokat dianggap telah menutup akses untuk mendapatkan keadilan. Lebih lanjut MK juga berpendapat, keberadaan Pasal 31 jo. Pasal 1 ayat (1) UU Advokat telah membatasi kebebasan seseorang untuk memperoleh sumber informasi hanya pada seorang advokat. Jika orang di luar profesi advokat memberi konsultasi hukum, maka ia terancam pidana lima tahun penjara atau denda Rp50 juta.

Jadi, sejak “dibatalkannya” Pasal 31 UU Advokat oleh MK maka saat ini tidak ada lagi pertentangan antara pengaturan dalam UU Advokat dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan organisasi pengusaha yang bukan advokat untuk bertindak sebagai kuasa hukum di dalam PHI. 

Selain itu, kewenangan serikat pekerja/serikat buruh untuk mewakili anggotanya di PHI telah lama dijamin oleh UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (“UU Serikat Buruh”). Pasal 25 ayat (1) UU Serikat Buruh menyatakan bahwa, serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak untuk mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial. Pendampingan pekerja oleh wakil Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang bukan advokat sebagai kuasa hukum di PHI dalam praktiknya sudah banyak dilakukan. Pembahasan lebih jauh memgenai hal ini dapat disimak dalam artikel Kuasa dalam Perburuhan: Bukan Advokat? Tidak Masalah!

Dasar hukum:

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.2. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.3. Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat.4. Undang–Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.5. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-II/2004 Tahun 2004. 

Pencemaran Nama Baik oleh Atasan

Saya hanya ingin mengetahui informasi lebih jelas mengenai pencemaran nama baik. Ibu saya bekerja di salah satu instansi pemerintahan dan menjadi tertuduh kasus kehilangan di kantor beliau. Tanpa bukti yang kuat yang hanya mengandalkan analisa paranormal, pihak atasan dari ibu saya menuduh ibu saya melakukan pencurian dan meminta ganti rugi atas hal-hal yang tidak beliau lakukan. Kami tahu, kalau pihak atasan ibu saya ini sudah melakukan suatu tindak pidana korupsi, karena setahu saya beliau pernah dititipkan sejumlah uang agar tidak ada yang tahu mengenai perbuatan korupsi ini. Yang menjadi pertanyaan saya, apakah hal ini termasuk pencemaran nama baik seseorang atau tidak, karena telah dituduh tanpa bukti sama sekali?

Pada prinsipnya, dengan mendasarkan pada asas praduga tak bersalah, ibu Anda belum dapat dinyatakan bersalah karena melakukan pencurian sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan beliau bersalah.

Mengenai delik (tindak pidana) pencemaran nama baik ini diatur dalam Bab XVI Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yaitu bab mengenai Penghinaan.

Dan untuk menentukan apakah tindakan yang dilakukan oleh atasan dari ibu Anda adalah merupakan tindak pidana pencemaran nama baik atau bukan, kita perlu melihat isi dari Pasal 310 ayat (1) KUHP yang menyatakan:

Page 7: Hukum Serikat Pekerja

“Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (hal. 226) menjelaskan bahwa supaya seseorang dapat dihukum menurut Pasal 310 ayat (1) ini (menista), maka  penghinaan itu harus diakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu, dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak).

Dalam hal ini, apabila memang atasan ibu Anda menuduh ibu Anda melakukan pencurian dan memberitahukan hal tersebut kepada orang banyak sehingga ibu Anda malu atau terserang nama baiknya. Sedangkan belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk mendukung tuduhan itu, perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik/penghinaan.

Selanjutnya, dari pertanyaan Anda, kami asumsikan ibu Anda adalah seorang pegawai negeri. Maka kita perlu merujuk pula pada Pasal 316 KUHP yang menyatakan:

“Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam bab ini, dapat ditambah dengan sepertiga jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah.”

Jika pencurian yang dituduhkan oleh atasan ibu Anda dilakukan pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah, sesuai ketentuan di atas, pidana karena pencemaran nama baiknya akan ditambah sepertiga. Soesilo juga menjelaskan (hal. 229) bahwa penghinaan terhadap pegawai negeri ini bukanlah delik aduan.

Selain dari ranah hukum pidana, sebenarnya terhadap perbuatan penghinaan ini dapat dilakukan upaya hukum perdata sebagaimana dijelaskan oleh J. Satrio dalam bukunya Gugat Perdata atas Dasar Penghinaan sebagai Tindakan Melawan Hukum (hal. 2). Sesuai Pasal 1372 KUHPerdata yang berbunyi “Tuntutan perdata tentang hal penghinaan diajukan untuk memperoleh penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik” terhadap perbuatan penghinaan dapat dilakukan gugatan ganti rugi dengan mendasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUHPerdata).

Jadi, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan ibu Anda bersalah melakukan pencurian, jika atasannya menuduhkan dan menyebarkan hal tersebut kepada banyak orang, hal tersebut termasuk pencemaran nama baik.

Dasar hukum:1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73).

Kapan Pekerja Bisa Menikmati Hak Cuti Tahunan?

Pada Pasal 79 ayat 2 (c), hak cuti timbul setelah pekerja bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus. Pertanyaan saya, apakah hak cuti sudah timbul pada bulan ke-13 atau pada bulan ke-24, mengingat selama 12 bulan pertama tidak ada hak cuti?

Anda tidak menyebutkan dari undang-undang apa ketentuan yang Anda tanyakan. Kami asumsikan pasal yang Anda sebutkan adalah pasal dari UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”).

Page 8: Hukum Serikat Pekerja

Pasal 79 ayat (2) huruf c UUK menyatakan bahwa: 

“Cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.” 

Berdasarkan ketentuan tersebut, pengusaha wajib memberikan waktu cuti tahunan kepada pekerja setelah pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan (satu tahun) secara terus menerus. Hak cuti tahunan pekerja itu timbul setelah pekerja bekerja selama 12 bulan secara terus menerus. Maka pada bulan ke-13 seorang pekerja sudah dapat menikmati hak cuti tahunannya.

Lebih jauh dalam Pasal 79 ayat (3) UUK disebutkan bahwa pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Sehingga, dari ketentuan tersebut, perusahaan dapat memberikan cuti tahunan setelah seorang pekerja bekerja selama 12 bulan terus menerus, atau mengaturnya secara berlainan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, sepanjang tidak merugikan hak pekerja (minimal 12 hari per tahun, setelah 1 tahun bekerja).

Pada praktiknya, ada juga perusahaan yang memberikan hak cuti tahunan pekerja pada tahun pertama (12 bulan pertama) seseorang bekerja. Ada pula yang mengatur, semenjak seseorang bekerja, dia berhak mendapat cuti 1 hari per bulan.

Jadi, berdasarkan Pasal 79 ayat (3) UUK, selama tidak melanggar hak cuti tahunan dari pekerja, perusahaan dapat mengatur mengenai cuti tahunan secara lebih baik dari ketentuan-ketentuan UUK dalam perjanjian kerja (“PK”), peraturan perusahaan (“PP”), atau Peraturan Kerja Bersama (“PKB”).

Sedangkan UUK sendiri tidak mewajibkan perusahaan memberikan cuti tahunan pada pekerja yang belum bekerja selama 12 bulan. Maka, praktik pemberian cuti tahunan di tiap perusahaan tentu akan berbeda-beda, tergantung pada isi dari PK, PP, atau PKB di perusahaan.

Dasar hukum:Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Selasa, 07 February 2012

Pertanyaan:

Jika Mendapat Perlakuan Buruk dari Atasan di Tempat Kerja

Apa yang harus saya lakukan, apabila saya mendapat perlakuan yang buruk, seperti dibentak-bentak, diancam oleh atasan saya yang orang asing? Kepada siapa saya harus mengadu?

iisindayani

Jawaban:

Kasih Karunia Hutabarat, S.H.

Pengaturan mengenai pekerja/buruh dapat dilihat pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Sebelumnya, perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai “pekerja/buruh” dan “pemberi kerja” menurut UU Ketenagakerjaan:

Page 9: Hukum Serikat Pekerja

-   Pasal 1 angka 3:

“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”

-   Pasal 1 angka 4:

“ Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain “

Selanjutnya mengenai hak, setiap pekerja/buruh memiliki hak untuk memperoleh perlindungan dalam menjalankan pekerjaannya, dapat dilihat pada:

-   Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

“ Setiap pekerja/ buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :

a.      kesempatan dan kesehatan kerja;

b.      moral dan kesusilaan; dan

c.      perlakukan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama“

Dengan demikian, jika Anda mengalami perlakukan yang tidak baik atas tindakan yang dilakukan oleh atasan Anda, maka anda dapat menyampaikan pengaduan keluh kesah tersebut kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Tata cara penyampaian pengaduan dan keluh kesah adalah sebagai berikut:

1.      Tingkat Pertama:

Disampaikan kepada atasannya secara langsung;

2.      Tingkat Kedua:

Apabila penyelesaian tidak diperoleh pada tingkat pertama maka pengaduan dilanjurkan pada Lembaga Bipartit;

3.      Tingkat Ketiga:

Apabila penyelesaian tidak diperoleh pada tingkat kedua maka pengaduan diteruskan Serikat Pekerja untuk menyelesaikan dengan pengusaha;

4.      Tingkat Keempat:

Apabila penyelesaian tidak diperoleh pada tingkat ketiga maka pengaduan di sampaikan oleh salah satu pihak kepada pegawai perantara.

Hal lain yang dapat Anda lakukan terkait hal tersebut yaitu dengan mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja pada kantor di mana Anda bekerja. UU Ketenagakerjaan mengatur tentang hal ini, yaitu pada pasal berikut:

-   Pasal 169 ayat (1)

“Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut :

a.     Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;

Page 10: Hukum Serikat Pekerja

b.      Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

c.      Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;

d.      Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;

e.      Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau

f.       Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

-   Pasal 169 ayat (2)

“Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 (4)”

Sudah jelas dalam ketentuan undang-undang di atas bahwa tidak dibenarkan seorang pemberi kerja (dalam hal ini atasan/pengusaha) memperlakukan pekerja/buruh dengan tidak baik, terlebih mengancam pekerja/buruh.

Demikian jawaban dari kami kiranya dapat dipahami. Semoga dengan informasi yang telah disampaikan di atas Anda dapat mengambil keputusan dengan bijak.

Dasar hukum:

Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Jumat, 27 January 2012

Pertanyaan:

Langkah Hukum Jika Upah di Bawah Standar Minimum

Seorang teman saya bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai satpam dengan status pegawai tidak tetap atau harian dan upah yang diberikan masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR) yakni Rp29.200/hari dan sudah 2 tahun berjalan tidak mendapat kenaikan upah. Teman saya sudah pernah mengajukan kenaikan upah dengan membawa surat keputusan gubernur tentang Nilai UMR tahun 2010, tetapi pihak perusahaan hanya mengatakan bahwa teman saya hanya pegawai tidak tetap. Yang ingin saya tanyakan, apakah teman saya dapat menuntut pihak perusahaannya dan apa dasar hukum yang dapat digunakan oleh teman saya? Dan kepada siapa teman saya dapat mengadukan persoalan ini dikarenakan di perusahaan tempat dia bekerja tidak ada serikat pekerja? Terima kasih.

yettisusiana

Jawaban:

Diana Kusumasari

Sesuai ketentuan Pasal 90 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Pemerintah menetapkan

Page 11: Hukum Serikat Pekerja

upah minimum ini berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi (lihat Pasal 88 ayat [4] UUK). Dalam Pasal 89 ayat (1) dan ayat (2) UUK diatur lebih lanjut mengenai upah minimum sebagai berikut:

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas:

a.      upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;

b.      upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.

Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, Pasal 90 ayat (2) UUK memberikan kelonggaran bagi pengusaha untuk dapat melakukan penangguhan.

Anda tidak menyebutkan pada regional atau Provinsi/Kabupaten/Kota mana Anda tinggal/bekerja. Berdasarkan Pasal 89 ayat (1) di atas, ada 2 macam Upah Minimum. Kami contohkan ketentuan yang berlaku di Provinsi DKI Jakarta pada 2011, Upah Minimum berdasarkan Provinsi diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 196 Tahun 2010 tentang Upah Minimum Provinsi Tahun 2011 yang mengatur bahwa UMP Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp1.290.000,00 (satu juta dua ratus sembilan puluh ribu rupiah) per bulan (lihat Pasal 1). 

Di sisi lain, ada upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah Provinsi DKI Jakarta yang diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 17 Tahun 2011 tentang Upah Minimum Sektoral Provinsi (“UMSP”) Tahun 2011 yang mengatur antara lain seperti dikutip dalam boks di bawah ini (dikutip sebagian):

A.      Kelompok Bangunan dan Pekerjaan Umum

Mandor/Pengawas

 

Rp. 124.540,-/hari

B.      Kelompok Kimia, Energi dan Pertambangan

Industri bahan kosmetik dan kosmetik

 

Rp. 1.335.150,-/bulan

C.      Kelompok Logam, Elektronik dan Mesin

Industri macam-macam wadah dari logam/industri kemasan kaleng

 

Rp. 1.401.843,-/bulan

D.      Kelompok Otomotif

Industri kendaraan bermotor roda empat atau lebih

 

Rp. 1.414.227,-/bulan

E.       Kelompok Asuransi dan Perbankan

Asuransi

 

Rp. 1.419.000,-/bulan

Jadi, pengusaha dilarang memberikan upah di bawah ketentuan Upah Minimum berdasarkan UUK maupun Upah Minimum Regionalnya yakni UMP/UMK dan UMSP/UMSK.

Jika Anda ingin memperkarakan persoalan upah yang tidak dibayar sesuai ketentuan yang berlaku, Anda dapat menggunakan proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial . Prosedurnya adalah:

Page 12: Hukum Serikat Pekerja

1.      Mengadakan perundingan bipartit (antara pekerja dan pengusaha) secara musyawarah untuk mencapai mufakat.

2.      Apabila dalam waktu 30 hari setelah perundingan dimulai tidak tercapai kesepakatan, upaya selanjutnya adalah perundingan tripartit, yaitu dengan melibatkan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi setempat. Pada tahap ini, Anda perlu mengajukan bukti-bukti bahwa perundingan bipartit telah dilaksanakan, namun gagal mencapai kesepakatan.

3.      Apabila perundingan tripartit tetap tidak menghasilkan kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan perselisihan ini kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

Lebih jauh simak artikel Gaji Terakhir dan Bonus Tahunan Tidak Dibayar.

Selain itu, pekerja dapat menempuh upaya pidana yakni dengan melaporkan ke pihak kepolisian. Ketentuan pidana yang dapat dijadikan dasar pelaporan pengusaha yang membayarkan upah pekerjanya di bawah ketentuan upah minimum adalah Pasal 185 jo Pasal 90 UUK dengan ancaman sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Memang, tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa penegakan hukum pidana ketenagakerjaan ini masih sangat jarang ditemui. dalam artikel Polri Kurang “Melek” Hukum Perburuhan, Pengacara publik LBH Jakarta Kiagus Ahmad mengatakan salah satu penyebab minimnya penegakan hukum pidana ketenagakerjaan adalah karena kurang responsifnya polisi dalam menerima laporan dan atau aduan dari buruh. Kemudian, di dalam artikel Pembayar Upah Rendah Dihukum Penjara, majelis hakim Pengadilan Negeri Bangil, Jawa Timur, menghukum seorang pengusaha mebel satu tahun penjara. pengusaha tersebut dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana perburuhan dengan membayar rendah upah buruhnya dan menghalang-halangi buruhnya untuk berserikat. Selain penjara, si pengusaha juga dihukum denda sebesar Rp250 juta.

Menutup penjelasan kami, upaya hukum pidana adalah merupakan ultimum remedium (upaya terakhir), jadi sebaiknya baru ditempuh apabila upaya-upaya lain (sebagaimana dijelaskan di atas) telah ditempuh namun Anda tetap dirugikan dan tidak ada perubahan (dalam hal ini upah tidak disesuaikan dengan upah minimum yang berlaku).

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. 

Dasar hukum:

1.         Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

2.         Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;

3.         Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 196 Tahun 2010 tentang Upah Minimum Provinsi Tahun 2011;

4.         Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 17 Tahun 2011 tentang Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) Tahun 2011.

Kamis, 08 March 2012

Pertanyaan:

Denda Akibat Gaji Terlambat Dibayar

Page 13: Hukum Serikat Pekerja

Yth Bapak/Ibu: Di kantor saya pembayaran gaji sebelumnya dibayarkan setiap tanggal 1 setiap bulan, namun sekarang ada kebijakan baru bahwa pembayaran gaji dibayarkan dengan rentang waktu antara tanggal 1 - 4 setiap bulan, jadi pembayaran gaji kadang dilakukan pada tanggal 1 kadang tanggal 2/3/4. Hal ini berakibat pada pembengkakan bunga pada cicilan/kartu kredit/asuransi/pinjaman dll milik karyawan secara pribadi, karena mereka dari awal sudah menandatangani perjanjian bahwa jatuh tempo pembayaran adalah tanggal 1, selain memang kebutuhan bulanan yang sudah menipis. Dari sisi hukum, bolehkah pembayaran gaji dengan sistem seperti itu dilakukan? Mohon penjelasannya, Terimakasih.

Albani

Jawaban:

Adi Condro Bawono

Mengenai upah pekerja ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) sebagai berikut:

“Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang   sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh.”

Berdasarkan pengaturan tersebut dapat kita ketahui bahwa upah ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan.

Menurut ketentuan Pasal 10 ayat (1) PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (“PP 8/1981”), upah harus dibayarkan langsung kepada buruh pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan perjanjian. Lebih lanjut dalam Pasal 17 PP 8/1981 disebutkan pula bahwa jangka waktu pembayaran upah secepat-cepatnya dapat dilakukan seminggu sekali atau selambat-lambatnya sebulan sekali kecuali bila perjanjian kerja untuk waktu kurang dari satu Minggu.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka penentuan kapan upah dibayarkan seharusnya diatur dalam kesepakatan atau perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama (jika ada serikat pekerja) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan, berdasarkan penjelasan Anda, perusahaan tempat Anda bekerja telah mengeluarkan kebijakan bahwa upah akan dibayarkan pada tanggal 1 tiap bulannya yang selama ini telah disepakati oleh seluruh pekerja. Karena penentuan waktu pembayaran upah ditentukan sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan, maka pihak perusahaan tidak dapat menetapkan secara sepihak kebijakan pembayaran upah antaratanggal 1 sampai dengan tanggal 4 setiap bulannya.

Dengan demikian, jika pihak perusahaan hendak mengubah kesepakatan tanggal pembayaran upah, harus dilakukan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Karena dalam perusahaan tempat Anda bekerja, tanggal pembayaran upah sebelumnya telah disepakati adalah tanggal 1 dalam perjanjian (perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama), maka perusahaan wajib mematuhinya. Apabila perusahaan melakukan pembayaran upah setelah tanggal 1, artinya perusahaan melakukan keterlambatan pembayaran upahsebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (2) UUK.

Pasal 95 ayat (2) UUK menyatakan bahwa “Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. Persentase denda ini diatur oleh pemerintah (Pasal 95 ayat [3] UUK) yang kita temui dalam Pasal 19 PP 8/1981: 

Page 14: Hukum Serikat Pekerja

Pasal 19

1. Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung dari hari di mana seharusnya upah dibayar, upah tersebut ditambah dengan 5% (lima persen) untuk tiap hari keterlambatan.

2. Sesudah hari kedelapan tambahan itu menjadi 1 % (satu persen) untuk tiap hari keterlambatan, dengan ketentuan bahwa tambahan itu untuk 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari upah yang seharusnya dibayarkan.

3. Apabila sesudah sebulan upah masih belum dibayar, maka disamping berkewajiban untuk membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha diwajibkan pula membayar bunga sebesar bunga yang ditetapkan oleh bank untuk kredit perusahaan yang bersangkutan.

4. Penyimpangan yang mengurangi ketentuan dalam pasal ini adalah batal menurut hukum

Selengkapnya mengenai keterlambatan pembayaran upah dapat disimak artikel Gaji Tidak Tepat Waktu.

Sebagai tambahan, memang pada praktiknya keterlambatan pembayaran gaji atau upah pekerja oleh perusahaan dapat merugikan pihak pekerja, selain itu, sebagaimana dijelaskan artikel Aturan Keterlambatan Pembayaran Upah diuji Ke MK, pembayaran upah tidak tepat waktu mengakibatkan hubungan kerja menjadi tidak harmonis. Akan tetapi, pada kenyataannya praktik keterlambatan pembayaran upah masih sering terjadi, hal ini juga dibahas dalam artikel Aturan Keterlambatan   Pembayaran Upah Lindungi Buruh .

Demikian jawaban dari kami, semoga membantu.

Dasar hukum:

1.     Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

2.     Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.

Selasa, 25 January 2011

Pertanyaan:

Penyesuaian Skala Upah pada Perusahaan Multinasional

Kami bekerja di perusahaan tambang kelas dunia (raksasa) di mana di antara semua lokasi proyek di seluruh dunia, dari tempat kamilah (di Indonesia) laba perusahaan tempat kami bekerja yang paling besar. Namun, sayangnya Kami tidak menerima upah seperti layaknya perusahaan yang sama di lokasi proyek lainnya (di Afrika, Amerika, dll). Dari beberapa informasi yang kami dapatkan mengenai standar gaji di lokasi proyek lainnya itu, ternyata jauh berpuluh kali lipat dibandingkan dengan di lokasi proyek kami saat ini. Nah, dapatkah kami meminta "penyesuaian" skala upah /gaji kepada perusahaan kami seperti di lokasi proyek lainnya itu? Bagaimana dasar hukumnya?

spsiptfi

Jawaban:

Page 15: Hukum Serikat Pekerja

Umar Kasim

1.   Hubungan kerja (employment relation) terjadi karena adanya perjanjian kerja (employment agreement). Perjanjian kerja tersebut dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak (antara pengusaha dengan pekerja), dengan ketentuan –substansinya– tidak boleh bertengangan dengan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 54 ayat [1] jo Pasal 52 ayat [1] dan [3] UU No. 13/2003 jo Pasal 1320 dan Pasal 1338 Burgerlijk Wetboek).

Salah satu substansi (isi) perjanjian kerja dimaksud adalah besaran upah atau gaji dan cara pembayarannya (lihat Pasal 54 ayat [1] huruf e UU No. 13/2003). Walaupun hal tersebut ada yang dijabarkan rinci dan dituangkan lebih lanjut dalam peraturan perusahaan (“PP”) atau perjanjian kerja bersama (“PKB”), atau dibuat dalam bentuk struktur dan skala upah menjadilampiran yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari PP/PKB. Selain itu, ada juga (struktur dan skala upah) yang dibuat terpisah dengan surat keputusan Direksi (SK Direksi). Tapi, prinsipnya semuanya atas dasar kesepakatan tanpa ada paksaan, kehilafan atau penipuan (overeenkomst zonder dwang, dwaling en bedrog).

Dengan demikian, karena upah atau gaji merupakan salah satu item dari perjanjian kerja yang harus disepakati sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (lihat Pasal 91 ayat [1] UU No. 13/2003 jo Pasal 18 [lama] Permenaker No. Per-01/Men/1999), maka -hemat kami- dapat dan sah-sah saja apabila Saudara/(i) meminta "penyesuaian" Skala Upah/Gaji –menyesuaikan- seperti di lokasi proyek lainnya.

Namun saran kami, sebelum Saudara/(i) mengusulkan “kenaikan gaji” (istilah Sdr. meminta "penyesuaian" Skala Upah/Gaji), hendaknya Saudara/(i) betul-betul mendapatkan atau memiliki informasi (data) mengenai standar gaji di proyek lainnya sebagai bahan argumentasi penyesuaian dimaksud, sehingga lebih reasonable dalam mengusulkan (meminta) kesepakatan penyesuaian.

Informasi yang perlu Saudara/(i) miliki, misalnya, pola waktu kerja dan waktu istirahatnya (WKWI) atau ketentuan waktu kerja di negara yang bersangkutan, bagaimana ketentuan mengenai kerja lembur, apakah ada ketentuan penyimpangan WKWI, adakah bonus atau insentif tahunan, atau employee stock option program, dan lain sebagainya yang sedikit banyak berpengaruh terhadap pendapatan (income, salary atau take home pay).

Asumsi kami, perusahaan tempat Saudara/(i) bekerja adalah perusahaan multy national company (“MNC”) atau trans national company (“TNC”). Perusahaan semacam itu, walau tergabung dalam satu owners atau group (holding company) akan tetapi eksistensinya pada setiap negara –umumnya– merupakan entity yang berdiri sendiri atau merupakan subsidiary dari holding company dimaksud. Dengan demikian, biarpun satu group dalam TNC atau MNC, akan tetapi karena entity-nya ada pada negara yang berbeda kebijakannya, maka bisa jadi terdapat perbedaan syarat-syarat kerja atau terms and conditions, sehingga juga terdapat perbedaan hak/kewajiban terhadap pekerja. 

2.   Beberapa dasar hukum mengenai pengupahan, dapat Saudara/(i) lihat dalam daftar referensi (tersebut di bawah). Namun, secara umum UU Ketenagakerjaan (yakni UU No. 13/2003 dan peraturan-peraturan pelaksanaanya) tidak mengatur persentase dan perbandingan gaji atau upah antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya, baik lokal  maupun TNC atau MNC yang nota bene adalah merupakan domain para pihak untuk menyepakatinya.

Undang-undang hanya mengamanatkan kepada Pemerintah untuk menetapkan kebijakan pengupahan yang –antara lain– meliputi  kebijakan upah minimum dan  beberapa kebijakan upah lainnya, seperti upah kerja lembur, penyimpangan no work no pay, upah –masa– cuti, bentuk dan cara pembayaran upah, denda dan potongan upah, fasilitas yang diperhitungkan dengan upah, struktur dan skala upah, dan kebijakan upah untuk pembayaran pesangon serta kebijakan upah

Page 16: Hukum Serikat Pekerja

untuk pajak –income tax– (lihat Pasal 88 ayat [2] dan ayat [3] UU No. 13/2003 jo Pasal 4 PP No. 68/2009).

Salah satu kebijakan pengupahan (kebijakan upah minimum) yang ditegaskan dalam undang-undang adalah bahwa pengusaha dilarang membayar (memperjanjikan) upah lebih rendah dari upah minimum. Apabila pengusaha memperjanjikan pembayaran upah yang lebih rendah dari upah minimum, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum (nietig van rechtswege, null and void) (lihat Pasal 91 ayat [2] UU No. 13/2003). Selanjutnya ditegaskan juga bahwa dalam menetapkan (memperjanjikan) upah, dilarang atau tidak boleh ada diskriminasi antara pekerja/buruh laki-laki dan pekerja/buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (lihat Pasal 3 PP No. 8 Tahun 1981 jo Pasal 6 UU No. 13/2003 dan UU No. 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 100)

Dengan demikian, penyesuaian skala upah atau gaji dan kesepakatan upah/gaji di atas upah minimum merupakan domain para pihak untuk menyepakatinya atau mengaturnya. Walaupun demikian, agar ada kepastian hukum, dan guna mengurangi gap serta jenjang upah yang terlalu jauh antara upah tertinggi dan terendah, maka undang-undang memberikan pedoman struktur dan skala upah sebagai salah satu kebijakan pengupahan dan mengamanatkan kepada pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah dimaksud (lihat Pasal 92 ayat [1] UU No. 13/2003 jo Pasal 10 ayat [1] Kepmenakertrans No. Kep-49/Men/IV/2004).

Demikian penjelasan kami, semoga dapat menambah wawasan Saudara/(i).

Dasar hukum:

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)

2.      Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

3.      Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Nomor 100 Organisasi Perburuhan Internasional mengenai Pengupahan yang Sama Bagi Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya;

4.      Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah;

5.      Peraturan Pemerintah RI Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus.

6.      Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-49/Men/IV/2004 tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah;

7.      Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.Kep-226/Men/2000;

8.      Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-102/Men/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur;

9.      Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-17/Men/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak;

10. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep-234/Men/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu;

11. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Per-15/Men/VII/2005 tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum pada Daerah Operasi Tertentu.

Page 17: Hukum Serikat Pekerja

Senin, 05 December 2011

Pertanyaan:

Jika Pihak dalam Perjanjian Beriktikad Buruk

Mohon penjelasan, apakah setiap perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak itu tetap berkekuatan mengikat, sekalipun salah satu pihak telah melakukan iktikad buruk?

dandi-Wijaya

Jawaban:

Umar Kasim

Berdasarkan Pasal 1320 BurgerlijkWetboek  (BW atau KUH Perdata), ada 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni: (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan –para pihak– untuk membuat perjanjian; (3) –mengenai– suatu hal tertentu (ada objeknya); dan ada suatu sebab (causa) yang halal.

Dengan demikian, apabila suatu perjanjian sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian (termasuk telah disepakati oleh para pihak), maka sepanjang syarat lainnya juga terpenuhi (jika ada), perjanjian dimaksud tentu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (beginzel dercontract vrijheid). Demikian juga perjanjian tersebut mengikat sebagai -dan merupakan- undang-undang (pacta sun servanda) bagi mereka yang membuatnya (vide Pasal 1338 BW). 

Sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian, yang dimaksud dengan sepakat (Prof. Subekti, hal. 17), adalah konsensus untuk seia sekata (consensual) di antara para pihak. Dalam arti, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lainnya. Tidak ada –unsur-unsur– kehilafan (dwaling), tidak karena paksaan (dwang) dan juga bukan karena penipuan (bedrog) dari satu pihak terhadap pihak lainnya secara bertimbal-balik (Pasal 1321 BW).

Oleh karena itu, suatu perjanjian harus disertai dengan iktikad baik atau goodfaith, (vide Pasal 1338 ayat [3] BW). Apabila salah satu pihak mempunyai niat buruk (istilah Saudara: salah satu pihak telah melakukan iktikad buruk), maka menurut hemat kami, pihak yang bersangkutan telah sejak awal ada niat buruk (untuk melakukan penipuan) terhadap pihak lainnya sehingga tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian. Artinya, perjanjian yang mengandung unsur penipuan yang dilakukan –dan diniatkan– oleh salah satu pihak, atau mungkin –juga- oleh kedua belah pihak dalam konteks yang sebaliknya, tentu tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian.

Dengan perkataan lain, bilamana secara umum syarat sepakat tersebut tidak terpenuhi (dengan adanya penipuan), maka perjanjian dimaksud dapat dibatalkan (voidable). Namun, karena syarat yang diabaikan adalah syarat subjektif (yakni unsur “sepakat”), maka apabila salah satu pihak tidak berkenan dengan perjanjian yang mengandung unsur penipuan dimaksud, pihak lainnya dapat membatalkan (voidable). Maksudnya, pihak yang tidak suka dengan perjanjian (yang mengandung unsur penipuan) tersebut, dapat melakukan upaya pembatalan, dan tidak batal dengan sendirinya (null and void).

Demikian opini kami, mudah-mudahan dapat menambah wawasan Saudara. 

Dasar hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)

Page 18: Hukum Serikat Pekerja

Jumat, 17 September 2010

Pertanyaan:

Serikat Pekerja

Mohon penjelasannya apakah sebuah perusahaan melarang karyawanya mendirikan SP itu melanggar hukum? Terima kasih.

buruh.

Jawaban:

Shanti Rachmadsyah 

Membentuk serikat pekerja merupakan hak dari semua buruh/pekerja. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Penjelasan pasal 104 ayat (1) UU Ketenagakerjaan tersebut juga menegaskan bahwa kebebasan untuk membentuk, masuk atau tidak masuk menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan salah satu hak dasar pekerja/buruh.

Hak buruh untuk membentuk serikat pekerja diperkuat juga dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja (“UU Serikat Pekerja”). Pasal 5 ayat (1) UU Serikat Pekerja menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Kemudian di dalam Pasal 28 UU Serikat Pekerja diatur mengenai perlindungan hak pekerja/buruh untuk membentuk serikat pekerja, yaitu melarang seseorang menghalang-halangi atau memaksa buruh/pekerja untuk tidak membentuk serikat pekerja. Barangsiapa yang melanggar larangan dalam Pasal 28 ini dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp500 juta (Pasal 43 UU Serikat Pekerja).

Demikian yang dapat kami jelaskan, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja

2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan