hukum bisnis varia -...

1

Upload: phamnhi

Post on 01-Jul-2019

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUKUM BISNIS VARIA - bigcms.bisnis.combigcms.bisnis.com/file-data/1/1830/9e8cd415_Jun16-AsiaFinancialPTE.LTD..pdf · Senin, 15 Agustus 2016 HUKUM BISNIS 11 VARIA KEBAKARAN HUTAN National

VARIASenin, 15 Agustus 2016 11H U K U M B I S N I S

KEBAKARAN HUTAN

National Sago Ajukan BandingJAKARTA — PT National Sago

Prima (NSP) segera menyiapkan memori ban ding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta setelah perusahan dihukum untuk membayar denda Rp1,07 tri liun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selat an.

Majelis hakim mengabulkan se-ba gi an gugatan KLHK terhadap PT NSP. Hakim menyatakan bahwa PT NSP selaku tergugat terbukti telah lalai mengantisipasi kebakaran lahan dan hutan.

Tergugat dihukum membayar ganti rugi atas kerugian ekologis dan eko-no mis Rp319 miliar, serta biaya pe-mu lih an lahan Rp753 miliar.

Kuasa hukum NSP Rofiq Sungkar me ngatakan pihaknya akan meng-ajukan banding lantaran putusan hakim dianggap tidak masuk akal. Selain itu, denda yang diajukan oleh pe merintah juga terlalu besar dan meng ada-ada.

“Kami diberi waktu 14 hari untuk

pikir-pikir terkait putusan hakim. Namun kami mantap untuk me la ku-kan Banding,” katanya kepada Bis-nis, Minggu (14/8)

Anak perusahaan dari PT Sam-poer na Agro Tbk. ini digugat Ke men-terian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengganti ke ru gi-an atas kebakaran hutan dan lahan di Kepulauan Meranti, Riau, yang ter ja-di pada 30 Januari 2014—Maret 2014.

Rofiq mengatakan, kliennya me no-lak membayar ganti rugi atas ke ba-karan hutan dan lahan seluas 3.000 ha di kawasan bisnis milik PT NSP. Menurutnya, hakim yang benar-be-nar paham isu karhutla akan meng-ang gap kebakaran di Kepulauan Me ranti adalah murni bencana alam.

Rofiq menyatakan pihaknya telah men datangkan saksi ahli yang paham eko logi lingkungan. Saksi ahli secara tegas mengutarakan lahan tersebut bukan rusak akibat ulah manusia me lainkan murni bencana alam.

Kuasa hukum KLHK Patra M. Zein dari kantor hukum Patra M. Zen & Partners mengatakan siap me la yani gugatan banding dari kubu PT NSP. Pihaknya memang telah mem prediksi adanya upaya hukum ban ding oleh pihak lawan karena me re ka telah kalah telak di pengadilan negeri.

Menurutnya, PT NSP telah jelas lalai mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan dalam kegiatan usahanya di Kepulauan Meranti, Riau. Lahan PT NSP yang terbakar yaitu seluas 3.000 ha yang terdiri dari 2.000 ha lahan produktif dan 1.000 ha ka was-an produktif.

Adapun total lahan yang dimiliki oleh PT NSP di area tersebut 21.418 ha. PT NSP, lanjut dia, sengaja mem bakar hutan sebagai aksi land clearing.

“Kalau mengacu pada konsep strict lia bility, ya, tergugat memang harus gan ti rugi atas kebakaran hutan baik se ngaja atau tidak karena dia berope ra-si di area tersebut.” (Deliana Pradhita Sari)

Rio Sandy [email protected]

Dalam berkas permohonan, Junipa Pte Ltd mempunyai klaim terhadap PT Tehate Putra Tunggal (termohon I) dan PT Trimanten Gemilang (ter-mo hon II) atas pengalihan utang dari PT Bank UOB Indonesia. Junipa (pe mo hon) merupakan anak usaha yang sahamnya dimiliki penuh oleh UOB Ltd per 29 Juni 2015.

“Seluruh piutang Bank UOB Indo-nesia tersebut dialihkan kepada pe-mo hon berdasarkan perjanjian pada 29 Juni 2015,” tulis pemohon dalam ber kas permohonan penundaan ke-wa jiban pembayaran utang (PKPU) yang dikutip Bisnis, Minggu (14/8).

Perkara PKPU itu diajukan me-la lui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan register 76/Pdt.Sus-PKPU/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Persaoalan utang-piutang ber mu la sejak Bank UOB Indonesia mem be ri-kan fasilitas kredit kepada PT Tehate Putra senilai Rp47,88 miliar gu na fasi litas impor dan surat kredit ber-do ku men dalam negeri (SKBDN) I, SKBDN II, dan kredit surat promes. Selain itu, fasilitas kredit Rp9,89 mi-liar dan Rp15 miliar.

Bank asal Singapura tersebut juga telah memberikan fasilitas kre dit in-ves tasi konstruksi Rp6,92 mi liar dan Rp4,88 miliar. Adapun, pemberian pin jaman tersebut sejak Desember 2008 hingga Juli 2012.

Seluruh fasilitas kredit tersebut telah jatuh waktu sejak 30 Juni 2015. Dalam perkembangannya, piu tang Bank UOB Indonesia ter-se but dialihkan kepada pemohon ber da sarkan perjanjian pada 29 Juni 2015.

Akan tetapi, PT Tehate Putra tidak kun jung melakukan pelunasan utang hingga permohonan re struk-tu ri sasi utang diajukan pada 27 Juli 2016. Padahal, sebanyak tiga su rat pe ringatan telah dilayangkan ke pa-da termohon I.

Pihaknya memerinci utang PT Te hate Putra per 18 April 2016 ter-diri dari utang pokok Rp85,03 mi-liar dan bunga Rp20,13 miliar, se-hingga jumlah keseluruhan ta gih an mencapai Rp105,17 miliar. Per hi-

tung an bunga tersebut masih akan ber jalan hingga adanya pelunasan se luruh utang.

Sementara itu, utang terhadap PT Tri manten Gemilang atau termohon II berasal dari fasilitas kredit yang di berikan Bank UOB Indonesia se be-sar Rp23,2 miliar pada Maret 2011. Bank mengalihkan piutangnya ke-pa da pemohon per 29 Juni 2015.

Sama seperti termohon I, utang Tri manten Gemilang menjadi mem-beng kak karena tidak kunjung me-la ku kan pelunasan. Per 18 April 2016, pemohon menetapkan utang ter sebut menjadi Rp30,53 miliar se-te lah ditambahkan bunga Rp7,32 mi liar.

Sementara itu, Heru J. Juwono (ter mohon III) dan Edi Soebarkah (ter mohon IV) merupakan penjamin pri badi (personal guarantor) dari ter mohon I yang telah melepaskan hak-hak istimewanya sebagai pen-jamin. Personal guarantor mem be-ri kan jaminan kepada Bank UOB Indo nesia.

Pemohon berpendapat piutang bank telah dialihkan, maka ja min-an pribadi ikut pula beralih untuk men jamin pelunasan utang ter mo-hon I kepada dirinya. Ke ten tu an ter sebut sudah diatur dalam salah satu klausul dalam Akta Perjanjian Pen jaminan Pribadi No. 83/2015.

Seiring dengan dilepaskannya hak-hak istimewa termohon III dan IV, lanjutnya, mereka tidak dapat menuntut seluruh aset ter mo hon I habis terjual terlebih da hu lu untuk me lunasi utang. Pe mohon dapat lang sung meminta per tang gung ja-

wab an dari termohon III dan IV.Berdasarkan laporan keuangan

per 31 Desember 2015, termohon I memiliki kreditur lain yakni PT Bank Ekonomi Raharja Tbk., PT Bank CIMB Niaga Tbk., dan PT Bank Central Asia Tbk. Kreditur lain ter mohon II adalah PT Bank Pem-ba ngunan Daerah Jawa Timur Tbk. dan PT Sumi Indo Kabel.

Adapun, termohon III dan ter mo-hon IV sama-sama memiliki utang lain terhadap Bank Ekonomi Ra harja. Adapun, kreditur yang lain akan dibuktikan melalui per si dangan.

UPAYA PERDAMAIANBerdasarkan Undang-undang No.

37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU, debitur harus merestruk tu ri-sa si seluruh utangnya jika terbukti me miliki lebih dari satu kreditur yang tagihannya dapat dibuktikan se cara sederhana, jatuh tempo, dan dapat ditagih.

Sehubungan dengan putusan PKPU, pemohon mengusulkan tim peng urus yang terdiri dari Djawoto Jowono dan Suwandi.

Secara terpisah, kuasa hukum ter-mo hon I Hari mengaku akan segera me la kukan konsolidasi dengan prin-sipal untuk menempuh upaya per-da maian di luar persidangan.

“Saat ini saya belum bisa me masti-kan sikap klien bagaimana per da-maiannya,” kata Hari kepada Bis nis.

Sementara itu, dalam per kem-bang an kasus berbeda, CV Adhika Cipta mengajukan permohonan PKPU atas PT Tjimindi Subur. CV Andhika mengklaim utang yang su dah jatuh waktu dan dapat ditagih men capai Rp1,7 miliar.

Kuasa hukum Adhika Cipta Rudi Rachmat mengatakan bahwa per-mo honan PKPU sebagai langkah ter akhir terakhir guna meminta ke-pas tian hukum. “Utang termohon belum terbayarkan sejak 2012,” kata Rudi beberapa waktu lalu.

Utang termohon berasal dari pem belian bahan pewarna tekstil. Hu bungan hukum termohon me ru-pa kan penjual, sedangkan pemohon adalah perusahaan tekstil asal Bandung.

Rudi menjelaskan Tjimindi pernah ber status PKPU atas permohonan yang diajukan oleh PT Sarichem Poly warna pada 27 Agustus 2014. Ter mohon dan para krediturnya ber-ha sil mencapai perdamaian. “Saat itu, kami tidak terdaftar menjadi kre ditur Tjimindi karena telah di jan-ji kan utangnya dibayar tanpa meng-ikuti proses PKPU.”

JAKARTA — Junipa Pte Ltd, anak usaha UOB Ltd, meminta adanya restrukturisasi atas utang

terhadap PT Tehate Putra Tunggal dan PT Trimanten Gemilang sebesar Rp135,7 miliar.

Kewajiban para ter mo-hon merupakan pengalih-an utang dari PT Bank UOB Indonesia.

PT Tehate Putra ke-mung kinan menempuh upa ya perdamaian di luar per sidangan.

Dua orang turut menjadi termohon sebagai personal guarantor.

RESTRUKTURISASI UTANG

Junipa Ajukan PKPU Tehate & Trimanten

GOOGLE DIDENDA

Bloomberg/Chris Ratcliffe

Seorang tamu berada di kantor Google Inc. di London, Inggris, belum lama ini. Otoritas antimonopoli Rusia pada pekan lalu menjatuhkan denda sekitar Rp88 miliar kepada Google setelah membuktikan perusahaan itu bersalah

karena menyalahgunakan posisi dominannya di pasar dengan memaksa para pembuat telepon pintar memasang mesin pencarinya di Android.

Karena pemaksaan politik, seperti pada kasus APBN 2015, maka kebijakan fiskal terlihat kikuk dan bahkan banyak yang menyebut tidak rasional. Kebijakan fiskal saat ini (termasuk APBN 2016) tidak berpijak di bumi, alias tidak berpijak pada kaidah ekonomi yang rasional.

Lalu terjadi mismatch yang luar biasa, di mana pada 2015 terjadi shortfall di akhir tahun sebesar Rp234 triliun. Maka di sinilah terjadi kebingungan atau bahkan kekacauan menempatkan fiskal sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.

Alih-alih belajar dari shortfall tahun Lalu (2015), pemerintah justru menetapkan target penerimaan dalam negeri yang sangat tinggi. Penerimaan dinaikkan sampai sebesar 23,6% dari total realisasi penerimaan 2015 di tengah perlambatan ekonomi. Kebijakan fiskal 2016 pun tidak belajar pada kesalahan fatal tahun yang lalu sehingga diperkirakan terjadi kekurangan penerimaan dalam negeri.

Padahal berdasarkan tren lima tahun terakhir, pertumbuhan maksimal hanya sebesar 12,9%. Untuk menutupi kekurangan tersebut, pemerintah dan DPR mengambil langkah berani peng-ampunan pajak untuk menutupi kekurangan penerimaan tersebut. Politik menjadikan kebijakan fiskal sebagai kelinci percobaan, yang memaksakan diri dan bahkan utopis.

Target penerimaan dalam APBN 2016 yang terlalu optimistis membuat pemerintah harus merevisi target itu kembali. Target penerimaan dalam APBN-P 2016 pun diturunkan hanya dalam beberapa bulan saja, walau masih tampak ragu-ragu menyesuaikan dengan kenyataan faktual di lapangan.

Berdasarkan kesepakatan antara DPR dan Pemerintah, alokasi belanja dalam APBN-P 2016 turun hanya sebesar 0,61%, dari Rp2.095,7 triliun menjadi Rp2.082,9 triliun. Dalam APBN-P

2016, pos belanja terbesar yang dipotong adalah pos belanja K/L pemerintah pusat yang dipotong dari Rp784,1 triliun menjadi hanya Rp767,8 triliun.

Melihat perubahan APBN 2016 ke APBN-P 2016, keputusan politik dan kebijakan fiskalnya seperti main-main sehingga terlihat tidak kredibel di mata pelaku pasar. Keputusan politik atas anggaran negara di parlemen tidak menghasilkan keputusan apa pun sehingga kebijakan fiskal selama dua tahun terakhir ini dianggap lemah.

MASIH HARUS BERJUANGKabinet baru juga masih harus

berjuang menghadapi tantangan fiskal selama dua tahun terakhir ini. Banyak kesalahan yang harus diperbaiki, di mana politik fiskal tidak berpijak di bumi, tetapi menggantung di langit karena masih berpatokan pada sasaran janji kampanye ekonomi tumbuh 7% per tahun. Setelah kampanye, pemerintah harus berpijak pada kenyataan sehingga kebijakan fiskal akan lebih realistis.

Hingga semester 1/2016, realisasi penerimaan lebih buruk ketimbang realisasi belanja negara. Pada semester pertama tahun ini, penerimaan negara hanya Rp634 triliun, sementara belanjanya mencapai Rp864 triliun. Defisit penerimaan dan belanja negara terlihat masih sangat besar, yang pasti akan terbawa pada semester selanjutnya.

Pemerintah berharap pada penerimaan program pengampunan pajak, yang sedang berlangsung dalam beberapa minggu ini, di mana Presiden Joko Widodo terjun langsung untuk menyukses-kannya. Tetapi tak sedikit yang menyebutkan kebijakan peng-ampunan pajak yang pertama kali ini secara ekonomi politik kurang feasible sehingga sasaran tidak akan dapat dicapai dengan mudah.

Berdasarkan tren selama ini, realisasi penerimaan negara cenderung lebih stabil sepanjang tahun dibandingkan dengan

realisasi belanja yang menumpuk di akhir tahun. Jika dilihat dari kecenderungan ini, maka pada sisi belanja relatif ada percepatan. Masalahnya, jika sasaran penerimaan tidak tercapai, tekanan terhadap fiskal akan terus berlanjut dengan kondisi defisit yang terus membesar.

Hal ini membuat defisit anggaran dalam APBN-P 2016 berpeluang meleset. Melesetnya target defisit anggaran membuat pemerintah harus memotong kembali belanja. Di sini publik melihat bahwa perubahan anggaran harus disesuaikan berkali-kali. Kebijakan fiskal, DPR, dan pemerintah terlihat tidak kredibel dengan adanya ketidakpastian fiskal seperti ini.

Realisasi belanja pemerintah yang mencapai 25% sejatinya sedikit lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya mencapai 20,3%. Namun permasalahan sesungguhnya dari realisasi belanja kuartal I/2016 adalah kualitas belanja yang rendah dan tidak efisien dimana-mana. Aspek kualitatif ini masih belum diperhatikan sama sekali.

Salah satu contoh yang mengemuka adalah rendahnya realisasi belanja modal yang hanya mencapai 13,5%. Padahal, program infrastruktur merupakan program utama pemerintah, yang terus didengungkan tanpa henti. Bahkan, frekuensi terbesar kunjungan presiden adalah blusukan ke proyek-proyek infrastruktur.

Faktor-faktor yang menyebabkan realisasi belanja modal sangat lambat adalah proses lelang memakan waktu yang lama. Proses sanggah dan banding serta tidak ditemukannya peserta lelang potensial yang sesuai dengan kualifikasi yang ditetapkan juga menjadi persoalan tersendiri. Ada juga masalah pemblokiran anggaran karena data pendukung untuk proses pengadaan tidak lengkap.

Semua permasalahan di atas bermuara pada masalah birokrasi. Itu menunjukkan bahwa Paket Deregulasi dan Debirokratisasi selama ini tidak berhasil.

Tantangan Kredibilitas Fiskal (Sambungan dari Hal. 1)

djoko
Typewriter
djoko
Typewriter
Bisnis Indonesia, 15 Agustus 2016