hukum adopsi anak
DESCRIPTION
makalahTRANSCRIPT
PEMBAHASAN MENGENAI ADOPSI ANAK
MENURUT HUKUM ISLAM
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Qowaid Fiqih
Dosen Pengampu: Bapak Ahmad Ghozali
Disusun Oleh
NAMA : A Hashfi Luthfi
NIM : 102111001
JURUSAN : Hukum Perdata Islam
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) WALI SONGO SEMARANG
TAHUN 2013
KATA PENGANTAR
Hamdan syukron senantiasa kehadirat Allah ‘Azza wa Jalla yang juga
maha sempurna, rahmat serta salam ta’dzim semoga abadi dalam pangkuan Nabi
Muhammad saw, serta keluarga dan para sahabat, berkat rahamat, hidayah, serta
inayah Allah swt penulis dapat menyelesaikan makalah qowaid fiqih yang
berjudul pembahasan mengenai Adopsi Anak Menurut Hukum Islam.
Makalah qowaid fiqih ini disusun dengan harapan dapat menjadi
pelengkap bagi siswa mahasiswa dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar
yang sesuai dengan metode yang terus dikembangkan saat ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih perlu
penyempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga keberadan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin.
2
BAB IPENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Semoga
Shalawat dan salam tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad
saw, keluarga dan para sahabatnya yang mulia.
Agama Islam diturukan dimuka bumi sebagai rahmatan lilalami. sebagai
rahmat bagi seluruh alam. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan, tetapi juga mengatur mencakup seluruh aspek kehidupan baik
politik, hukum, sosial dan budaya, serta masalah pengangkatan anak, orang
Islam dapat mengaurangi kehidupan dan memecahkan setiap problem dalam
kehidupan.
Keinginan untuk menpunyai anak adalah naluri manusiawi dan alami akan
tetapi kadang-kadang naluri ini terbentur pada takdir illahi, di mana kehendak
mempunyai anak tidak tercapai. Akan tetapi semua kuasa ada di tangan Tuhan.
Apapun yang mereka usahakan apabila Tuhan tidak menghendaki, maka
keinginan merekapun tidak akan terpenuhi, hingga jalan terakhir semua usaha
tidak membawa hasil, maka diambil jalan dengan pengangkatan anak (adopsi).
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengemukakan tentang salah satu
persoalan kebutuhan manusia, yakni khusus aspek pengangkatan anak dan
pewarisan anak angkat, dari berbagai macam cara pengangkatan anak. Sebagai
suatu gambaran, bahwa pengangkatan anak semakin bertambah di masyarakat
kita saat-saat ini
Dalam hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak dalam arti
menjadi anak kandung secara mutlak, sedang yang ada hanya di perbolehkan
atau suruhan untuk memelihara dengan tujuan memperlakukan anak dalam segi
kecintaan pemberian “nafkah, pendidikan atau pelayanan dalam segala
kebutuhan yang bukan memperlakukan sebagai anak kandung (nasab).
3
Permasalah inilah hendak penulis kaji secara mendalam yang berkaitan dengan
masalah pengangkatan anak dan pewarisan anak angkat.
Sedangkan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam
praktek pengadilan agama, berdasarkan pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum
Islam yang berlaku di Indonesia Inpres No I Tahun 1991 tangal 10 Juni 1991,
menetapkan bahwa anak angkat ialah yang dalam pemeliharaan untuk
hidupnya sendiri, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya
dari orang tua asli kepada orang tua angkat berdasarkan keputusan
pengadilan.untuk ityulah perlu adanya kajian tentang adopsi/pengngkatan anak
ini.
B. Perumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal mengenai :
A. Bagaimana Hukum Adopsi Anak Menurut Pandangan Islam?
B. Bagaimana Akibat Hukum dari Adopsi Anak?
4
BAB IIPEMBAHASAN
A. Hukum Adopsi Anak Menurut Pandangan Islam.
Pertama dilihat dari hukum positif Adopsi anak itu dikenal dalam seluruh
sistem hukum adat di Indonesia. Pengaturan tentang penangkatan anak di atur
antara lain di KUHPerdata1 (Untuk Golongan Tionghoa dan Timur Asing) dan
juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA).
Selain itu pengaturan teknisnya banyak tersebar dalam bentuk SEMA (Surat
Edaran Mahkamah Agung)
Kedua adopsi dilihat dari Ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil keharaman
pengangkatan anak dimaksud adalah surat Al-Ahzab: 4 -5:
وهو الحق يقول والله بافواهكم قولكم ذلكم ابناءكم دعياءكم ا جعل وما
في فاخوانكم اباءهم تعلموا لم فان الله عند اقسط هو الباءهم ادعوهم السبيل يهدى
وموالكم الدين
“... Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-
anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataamu yang kamu
ucapkan saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan
jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai
nama ayah-ayah mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dan kalau kamu
tidak mengetahui siapa ayah-ayah mereka, maka panggillah mereka sebagai
saudaramu seagama, dan budak-budak yang telah kamu merdekakan …”
Allah juga telah berfirman:
والعدوان االثم على تعاونوا وال والتقوى البر على وتعانوا
“Dan tolong menolonglah kamu dalam melakukan kebajikan dan takwa
dan jangan tolong menolong kamu dalam melakukan perbuatan dosa dan
permusuhan.” (Q.S. : Al-Maidah; 3)
1 A. Pitlo (M. Isa Arief, (Pent), Hukum Waris, Menurut KHU Perdata Belanda, PT. Intermasa,
Jakarta. 1986.
5
Dalam Surat Al-Maun: 1 - 3 Allah mengecam orang yang menyia-nyiakan
anak yatim dan tidak mau berusaha menggalang dana untuk meyantuni orang-
orang miskin. Mereka dianggap-Nya sebagai pendusta agama.
المسكين طعام على يحض وال اليتيم يدع الذي فذلك بالدين يكذب الذي ارايت
Kemudian Rasulullah saw telah menjanjikan, bahwa beliau akan bersama-
sama di dalam surga dengan orang-orang yang memelihara anak yatim.
الجنة في اليتيم وكافل انا
Dan masih banyak lagi ayat maupun hadits yang memandang mulia
kepada perbuatan yang membela kepentingan orang lemah, miskin dan yatim
piatu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mengangkat anak dengan
motif demi kesejahteraan anak angkat adalah termasuk pebuatan mulia, yang
jelas diperbolehkan.
Ketiga adopsi yang dilakukan apakah sudah sesuai dengan kaidah fiqh
menolak mafsadah dan meraih maslahah yaitu:2
لح المصا وجلب درءالمفاسد
Keempat dilihat dari kompilasi hukum Islam tentang wasiat wajibah untuk
anak angkat yang terhalang mendapat waris karena tidak ada hubungan nasab.
Kelima kemudian di singkronkan dengan Keputusan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Tentang Adopsi (pengangkatan anak). Rapat Kerja Nasional Majelis
Ulama Indonesia tahun 1984 yang berlangsung pada bulan Jumadil Akhir 1405
H./Maret 1984 memfatwakan tentang adopsi.
B. Akibat Hukum dari Adopsi Anak.
Sebelum membahas masalah hukum pengangkatan anak, terlebih dahulu
diuraikan secara singkat tentang defenisi anak angkat. Hal ini dimaksudkan
untuk memberikan gambaran dalam pembasan selanjutnya.
Dari berbagai definisi yang diberikan oleh para ahli, ada dua corak
pengertian anak angkat sebagaimana disampaikan oleh Mahmud Syaltut yang
2 Samsul Ma’araif, kaidah-kaidah Fiqih (bandung:Pustaka Ramadhan,2005), hlm 29
6
dikutif Andi Syamsul Alam bahwa ada dua pengertian anak
angkat. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan
penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status anak kandung
kepadanya sesuai dengan surat dan Al-Maidah; 3 untuk saling tolong menolong
dalam kebaikan.
Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan dia diberi
status sebagai anak kandung sehingga hak dan kewajibannya sama seperti anak
kandung dan dinasabkan kepada orang tua angkatnya. Adopsi yang seperti ini
yang dilarang oleh hujkum islam karena mngubah nasabnya kepada ayah
angkatnya dan itu bertentangan dengan al-Qur’an surat Al-Ahzab: 4 -5.
Persamaan dari dua jenis defenisi tersebut adalah dari aspek perlindungan
dan kepentingan anak seperti pemeliharaan, pengasuhan, kasih sayang,
pendidikan, masa depan dan kesejahteraan anak. Titik perbedaannya terletak
pada pentuan nasab dengan segala akibat hukumnya. Anak angkat yang tidak
dinasabkan kepada orang tua angkatnya tidak berhak waris mewarisi, menjadi
wali dan lain sebagainya. Sedang anak angkat yang dinasabkan dengan orang
tua angkatnya berhak saling mewarisi, menjadi wali, dan hak-hak lain yang
dipersamakan dengan anak kandung.
Definisi dalam UUPA tentang angkat adalah Anak angkat adalah anak
yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali
yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan,
dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan (Pasal 1 angka 9)
Tetapi UU yang sama juga memberikan definisi tentang anak asuh yaitu
Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk
diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan,
karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin
tumbuh kembang anak secara wajar (Pasal 1 angka 10)
Prinsipnya adalah bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang
tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah
menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak
7
dan merupakan pertimbangan terakhir. (pasal 14) pengangkatan anak diatur
dalam Pasal 39 – 41 UUPA.
Pasal 39
1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua
kandungnya.
3. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat.
4. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.
5. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Pasal 40
1. Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai
asal usulnya dan orang tua kandungnya.
2. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang
bersangkutan.
Pasal 41
1. Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
2. Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Lalu syarat dan prosedur apa yang mseti ditempuh untuk melakukan
pengangkatan anak yang keduanya adalah WNI
Syarat calon orang tua angkat (pemohon) Pengangkatan anak yang langsung
dilakukan antar orang tua kandung dengan orang tua angkat (private adoption)
8
diperbolehkan pengangkatan anak oleh orang yang sudah/belum menikah juga
diperbolehkan (single parents adoption).
Syarat bagi anak yang diangkat (SEMA No. 6/1983):
1. Dalam hal calon anak angkat tersebut berada dalam asuhan suatu
Yayasan Sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa
Yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan
pengangkatan anak. Ini berarti bagi pengangkatan anak yang tidak diasuh
dalam Yayasan Sosial tidak memerlukan surat izin dimaksud.
2. Calon anak angkat yang berada dalam asuhan Yayasan Sosial yang
dimaksud di atas harus pula mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau
Pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai
anak angkat.
3. Bagi pengangkatan anak WNA oleh orang tua angkat WNI dan anak
WNI oleh orang tua angkat WNA, usia anak yang diangkat harus belum
mencapai umur 5 tahun; dan ada penjelasan dari Menteri Sosial/pejabat yang
ditunjuk bahwa anak WNA/WNI tersebut diizinkan untuk diangkat sebagai
anak angkat oleh orang tua angkat WNI/WNA yang bersangkutan.
4. Pengangkatan anak antar WNI yang langsung dilakukan antara orang tua
kandung dengan orang tua angkat (private adoption) diperbolehkan. Begitu
pula pengangkatan anak antar WNI yang dilakukan oleh seorang yang tidak
terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption)
diperbolehkan.
5. Sedang pengangkatan anak WNA/WNI oleh orang tua angkat WNI/WNA
harus dilakukan melalui Yayasan Sosial yang memiliki izin dari Menteri
Sosial, sehingga pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua
kandung dengan calon orang tua angkat (private adoption) tidak
diperbolehkan. Demikian juga pengangkatan anak oleh orang yang tidak terikat
dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption) tidak
diperbolehkan.
6. Di samping itu bagi orang tua angkat WNA harus telah berdomisili dan
bekerja tetap di Indonesia sekrang-kuranya 3 tahun dan harus disertai izin
9
tertulis Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk, bahwa calon orang tua
angkat WNA memperoleh izin untuk mengajukan permohonan pengangkatan
anak seorang warga negera Indonesia;3
Syarat-syarat tersebut apabila ditinjau dari sudut hukum Islam dapat
dibenarkan, karena semua itu bertujuan demi mewujudkan kesejahteraan anak
atau demi menghindarkan aksi penyalahgunaan pengangkatan anak untuk
kepentingan tertentu yang dapat menimbulkan kesengsaraan dan kemelaratan
anak. Hal demikian sejalan dengan prinsip-prinsip hukum Islam, yakni
menolak mafsadah dan meraih maslahah لح المصا وجلب درءالمفاسد (dar’ul
mafaasid wa jalbul mashaalih).4
Meskipun dalam sistem hukum Islam anak angkat tidak dapat saling
mewarisi dengan orang tua angkatnya, namun ada instrument hukum lain yang
dapat melindungi kepentingan mereka terhadap harta peninggalannya yakni
lewat instrument wasiat wajibah. Hal ini didasarkan pada pasal 209 Kompilasi
Hukum Islam yakni :
1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176
sampai dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat
yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3
dari harta warisan anak angkat.5
2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia tahun 1984 yang
berlangsung pada bulan Jumadil Akhir 1405 H./Maret 1984 memfatwakan
tentang adopsi sebagai :
1. Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, ialah anak yang lahir dari
perkawinan (pernikahan).
3 SEMA No. 6 tahun 19834 Samsul Ma’araif, kaidah-kaidah Fiqih (bandung:Pustaka Ramadhan,2005), hlm 29
5 Kompilasi hukum Islam cet ke-1 (bandung :fokusmedia,2005) hlm 66<a
10
2. Mengangkat (adopsi) dengan pengertian anak tersebut putus hubungan
keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan
dengan syari’ah Islam.
3. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan
Agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara,
mengasuh dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang, seperti anak
sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal saleh yang dilanjutkan
oleh agama Islam.
4. Pengangkatan anak Indonesia oleh Warga Negara Asing selain
bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 34, juga merendahkan martabat bangsa.
11
BAB IIIPENUTUP
A. Simpulan
Adapun akibat hukum pengakatan anak adalah sebagai berikut:
1. Mengangkat (adopsi) dengan pengertian anak tersebut putus hubungan
keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan
dengan syari’ah Islam.
2. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan
Agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara,
mengasuh dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang, seperti anak
sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal saleh yang dilanjutkan
oleh agama Islam.
3. Orang tua angkat harus mendidik dan memelihara anak angkat sebaik-
baiknya.
4. Anak angkat tidak menjadi ahli waris orang tua angkat, maka ia tidak
mendapat warisan dari orang tua angkatnya. Demikian juga orang tua angkat
tidak menjadi ahli waris anak angkatnya, maka ia tidak mendapat warisan dari
anak angkatnya.
5. Anak angkat boleh mendapat harta dari orang tua angkatnya melalui
wasiat. Demikian juga orang tua angkat boleh mendapat harta dari anak
angkatnya melalui wasiat. Besarnya wasiat tidak boleh melebihi 1/3 harta.
6. Terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
7. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
12
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Shomad, Hukum Islam, Prenada Media Group, Jakarta, 2010.
A. Pitlo (M. Isa Arief, (Pent), Hukum Waris, Menurut KHU Perdata Belanda, PT.
Intermasa, Jakarta. 1986.
SEMA No. 6 tahun 1983
B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat, serta Akibat-Akibat
Hukumnya di Kemudian Hari, CV Rajawali, Jakarta, 1983.
M. Indris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukumj Kewarisan Islam
Dengan
Kewarisan Menurut KUH Perdata (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (terjemahan), Al-Ma‟arif, Banudng, 1988.
Samsul Ma’araif, kaidah-kaidah Fiqih (bandung:Pustaka
Ramadhan,2005)
Kompilasi hukum Islam cet ke-1 (bandung :fokusmedia,2005)
13