adopsi inovasi erp
DESCRIPTION
Adopsi InovasiKomunikasiTRANSCRIPT
Adopsi Inovasi Penerapan Electronic Road
Pricing (ERP) di Jakarta
Paper Matrikulasi Mata Kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi
Ditulis oleh:
Dina Andriana (1471600153)
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KOMUNIKASI (MIKOM)
FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS BUDI LUHUR
JAKARTA
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Urbanisasi di JABODETABEK khususnya Jakarta memberikan sumbangsih nyata
terhadap bertambahnya jumlah populasi manusia. Hal ini memberikan dampak negatif
terhadap masalah kemacetan lalu lintas di ibukota Jakarta. Jakarta merupakan kota
dengan tingkat kemacetan tertinggi di Indonesia. Masalah ini tercermin pada
perbandingan antara pemanfaatan kendaraan dengan total area jalan di Jakarta. Djoko
Kirmanto (Menteri Pekerjaan Umum (PU) menyatakan bahwa Jakarta akan mengalami
kemacetan total (gridlock) pada tahun 2020 (DetikFinance, Jumat, 25 Juni 2014).
Menurut data Polda Metro Jaya, rata-rata pertumbuhan jumlah kendaraan
bermotor dalam lima tahun terakhir mencapai 9,5% per tahun, sedangkan pertumbuhan
panjang jalan hanya 0,1% per tahun. Padahal, idealnya pertumbuhan panjang jalan
adalah 10% - 15% per tahun. Hal ini mengakibatkan semakin bertambahnya kemacetan
di Jakarta dari tahun ke tahun. (Tim Redaksi Butaru, 2009).
Pemerintah Kota Jakarta tidak tinggal diam dalam menghadapi masalah ini.
Beberapa solusi sudah dilaksanakan, seperti penggunaan busway, three in one, car
freeday dan metode park and ride di beberapa titik penting di Jakarta. Namun masalah
kemacetan belum sepenuhnya teratasi. Sehingga dibutuhkan suatu inovasi pada model
transportasi yang berfungsi untuk memberikan pemahaman terhadap seluruh
pemangku dan pengambil kebijakan terhadap transportasi kota. Model transportasi
tersebut juga dilengkapi dengan skenario electronic road pricing (ERP – Retribusi Lalu
Lintas Elektronik). Electronic Road Pricing (ERP) terbukti berhasil mengatasi masalah
kemacetan pada berbagai negara seperti Hongkong, Singapura, dan Inggris (Liu, 2010).
Penggunaan inovasi ERP diharapkan menjadi salah satu alternatif solusi untuk
mengurangi jumlah kendaraan pribadi yang melintas di jalan dan juga meningkatkan
fasilitas penggunaan kendaraan umum massa.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Identifikasi masalah dalam penerapan inovasi Electronic Road Pricing (ERP)
sebagai alternatif solusi kemacetan Jakarta adalah sejauh mana proses difusi inovasi
pada penerapan Electronic Road Pricing (ERP) diserap masyarakat.
2
BAB II
KAJIAN TEORI
1. Electronic Road Pricing (ERP)
Sistem Jalan Berbayar (bahasa Inggris: Electronic Road Pricing ) - (ERP) sistem
skema pengumpulan tol elektronik diadopsi di Singapura untuk mengatur lalu lintas
dengan cara jalan berbayar, dan sebagai mekanisme perpajakan penggunaan berbasis
untuk melengkapi Sertifikat berbasis pembelian Hak sistem.
ERP sebenarnya pertama kali ada pada tahun 1975 dengan nama ALS atau Area
Licensing Scheme. ALS ini kemudian dikembangkan menjadi ERP dan digunakan
dibeberapa negara. ERP diberlakukan dengan harapan bahwa pengendara kendaraan
pribadi akan beralih menggunakan kendaraan umum karena dikenakannya biaya bagi
mereka yang melewati ruas jalan tertentu yang terpasang alat ini. Biaya yang dikenakan
pun berbeda-beda, tergantung pada lokasi jalan dan jam yang biasanya merupakan jam
kemacetan. ERP di Indonesia saat ini baru mulai diuji coba di Jakarta, yaitu pada ruas
jalan Sudirman dan HR Rasuna saat sejak tanggal 30 September 2014 lalu. ERP akan
diterapkan di empat jalan di Jakarta. Keempatnya adalah, Jalan Sudirman, Thamrin,
Rasuna Said dan Kota Tua.
Gambar 1. Cara Kerja ERP (Sumber: lta.gov.sg)
Waktu pemberlakuan ERP pada pagi hari mulai dari pukul 07.00 hingga pukul
10.00 WIB. Pada siang hari, dari pukul 12.00 sampai 14.00 WIB, dan pada sore hari pada
pukul 16.00 hingga 19.00 WIB.
3
Berdasarkan kajian akademis, penerapan jalan berbayar bisa dilakukan dua cara.
Yakni manual road pricing dan electronic road pricing, yang akan dijelaskan sebagai
berikut:
1) Manual Road Pricing
Cara ini adalah penerapan road pricing yang paling sederhana dengan menggunakan
alat-alat manual seperti:
a. Nomor plat kendaraan.
Kendaraan yang boleh masuk ke kawasan jalan berbayar hanya kendaraan
dengan nomor tertentu. Contohnya, kendaraan dengan nomor terakhir ganjil
hanya bisa melewati pada Senin, Rabu dan Jumat. Sementara kendaraan
bernomor genap harus membayar jika ingin melewati jalan pada hari itu.
b. Stiker.
Setiap kendaraan yang lewat jalan berbayar harus dilengkapi dengan stiker dan
kendaraan yang tidak berstiker tidak boleh masuk. Petugas akan mengecek
setiap kendaraan sehingga kendaraan tidak dilengkapi stiker akan dikenai
denda.
2) Eletronic Road Pricing
Cara ini adalah penerapan jalan berbayar berbasis elektronik. Keunggulannya,
memudahkan proses pembayaran dan memungkinkan diterapkannya tarif yang
berbeda-beda sesuai kondisi kemacetan lalu lintas. Ada dua macam elektronic road
pricing berdasarkan teknologinya, yaitu:
a. Kamera elektronik.
Pada titik-titik masuk kawasan penerapan jalan berbayar dipasang kamera-
kamera elektronik yang dapat merekam nomor polisi setiap kendaraan yang
masuk ke lokasi jalan berbayar. Rekaman ini kemudian dimasukkan ke dalam
basis data kendaraan untuk kemudian dilakukan penagihan sesuai tarif yang
berlaku.
b. Alat pemindai elektronik.
Setiap kendaraan dilengkapi dengan alat pemindai elektronik yang diletakkan di
dalam kendaraan. Alat pemindai ini dapat berkomunikasi secara elektronik
dengan alat-alat pemindai di titik-titik masuk jalan berbayar.
4
Alat pemindai elektronik ini dapat memuat data kendaraan dan dapat
berlaku sebagai mesin pembayaran tunai yang akan langsung dipotong sejumlah
besarnya tarif jalan berbayar.
Penggunaan alat elektronik ini sangat sesuai jika tarif jalan berbayar yang
diterapkan bersifat fluktuatif sesuai dengan kondisi lalu lintas dan kemacetan.
2. Difusi Inovasi
a. Pengertian Difusi dan Inovasi
Difusi Inovasi terdiri dari dua padanan kata yaitu difusi dan inovasi. Rogers
(1983) mendefinisikan difusi sebagai proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan
melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara para anggota suatu
sistem sosial (the process by which an innovation is communicated through certain
channels overtime among the members of a social system). Disamping itu, difusi juga
dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses perubahan
yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial.
Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/dirasa
baru oleh individu atau kelompok masyarakat. Ungkapan dianggap/dirasa baru
terhadap suatu ide, praktek atau benda oleh sebagian orang, belum tentu juga pada
sebagian yang lain. Kesemuanya tergantung apa yang dirasakan oleh individu atau
kelompok terhadap ide, praktek atau benda tersebut.
Dari kedua padanan kata di atas, maka difusi inovasi adalah suatu proses
penyebar serapan ide-ide atau hal-hal yang baru dalam upaya untuk merubah suatu
masyarakat yang terjadi secara terus menerus dari suatu tempat ke tempat yang
lain, dari suatu kurun waktu ke kurun waktu yang berikut, dari suatu bidang tertentu
ke bidang yang lainnya kepada sekelompok anggota dari sistem sosial.
Tujuan utama dari difusi inovasi adalah diadopsinya suatu inovasi (ilmu
pengetahuan, tekhnologi, bidang pengembangan masyarakat) oleh anggota sistem
sosial tertentu. Sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi
sampai kepada masyarakat.
b. Elemen Difusi Inovasi
Menurut Rogers (1983) dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat)
elemen pokok, yaitu: suatu inovasi, dikomunikasikan melalui saluran komunikasi
5
tertentu, dalam jangka waktu dan terjadi diantara anggota-anggota suatu sistem
sosial.
1) Inovasi (gagasan, tindakan atau barang) yang dianggap baru oleh seseorang.
Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan
individu yang menerimanya.
2) Saluran komunikasi, adalah alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari
sumber kepada penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan
suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran
komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika
komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara
personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran
interpersonal.
3) Jangka waktu, yakni proses keputusan inovasi dari mulai seseorang mengetahui
sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya. Pengukuhan terhadap
keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi
waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan
seseorang (relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi), dan (c)
kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
4) Sistem sosial merupakan kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan
terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai
tujuan bersama.
c. Proses Putusan Inovasi
Penerimaan atau penolakan suatu inovasi adalah keputusan yang dibuat
seseorang/individu dalam menerima suatu inovasi. Menurut Rogers (1983), proses
pengambilan keputusan inovasi adalah proses mental dimana seseorang/individu
berlalu dari pengetahuan pertama mengenai suatu inovasi dengan membentuk
suatu sikap terhadap inovasi, sampai memutuskan untuk menolak atau menerima,
melaksanakan ide-ide baru dan mengukuhkan terhadap keputusan inovasi. Pada
awalnya Rogers (1983) menerangkan bahwa dalam upaya perubahan seseorang
untuk mengadopsi suatu perilaku yang baru, terjadi berbagai tahapan pada
seseorang tersebut, yaitu:
6
1) Tahap Awareness (Kesadaran), yaitu tahap seseorang tahu dan sadar ada
terdapat suatu inovasi sehingga muncul adanya suatu kesadaran terhadap hal
tersebut.
2) Tahap Interest (Keinginan), yaitu tahap seseorang mempertimbangkan atau
sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahuinya tersebut
sehingga ia mulai tertarik pada hal tersebut.
3) Tahap Evaluation (Evaluasi), yaitu tahap seseorang membuat putusan apakah ia
menolak atau menerima inovasi yang ditawarkan sehingga saat itu ia mulai
mengevaluasi.
4) Tahap Trial (Mencoba), yaitu tahap seseorang melaksanakan keputusan yang
telah dibuatnya sehingga ia mulai mencoba suatu perilaku yang baru.
5) Tahap Adoption (Adopsi), yaitu tahap seseorang memastikan atau
mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia mulai mengadopsi
perilaku baru tersebut.
Dari pengalaman di lapangan ternyata proses adopsi tidak berhenti segera
setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan berubah lagi sebagai
akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi. Oleh sebab itu, Rogers (1983)
merevisi kembali teorinya tentang keputusan tentang inovasi yaitu: Knowledge
(pengetahuan), Persuasion (persuasi), Decision (keputusan), Implementation
(pelaksanaan), dan Confirmation (konfirmasi).
1) Tahap pengetahuan.
Dalam tahap ini, seseorang belum memiliki informasi mengenai inovasi baru.
Untuk itu informasi mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui
berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui media elekt ronik, media
cetak, maupun komunikasi interpersonal diantara masyarakat. Tahapan ini juga
dipengaruhi oleh beberapa karakteristik dalam pengambilan keputusan, yaitu:
(1) Karakteristik sosial-ekonomi, (2) Nilai-nilai pribadi dan (3) Pola komunikasi.
2) Tahap persuasi.
Pada tahap ini individu tertarik pada inovasi dan aktif mencari informasi/detail
mengenai inovasi. Tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran
calon pengguna. Inovasi yang dimaksud berkaitan dengan karakteristik inovasi
itu sendiri, seperti: (1) Kelebihan inovasi, (2) Tingkat keserasian, (3)
Kompleksitas, ( 4) Dapat dicoba dan (5) Dapat dilihat.
7
3) Tahap pengambilan keputusan.
Pada tahap ini individu mengambil konsep inovasi dan menimbang
keuntungan/kerugian dari menggunakan inovasi dan memutuskan apakah akan
mengadopsi atau menolak inovasi.
4) Tahap implementasi.
Pada tahap ini mempekerjakan individu untuk inovasi yang berbeda-beda
tergantung pada situasi. Selama tahap ini individu menentukan kegunaan dari
inovasi dan dapat mencari informasi lebih lanjut tentang hal itu.
5) Tahap konfirmasi.
Setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan mencari
pembenaran atas keputusan mereka. Tidak menutup kemungkinan seseorang
kemudian mengubah keputusan yang tadinya menolak jadi menerima inovasi
setelah melakukan evaluasi.
Proses pengambilan keputusan inovasi dapat dilihat pada gambar berikut
(Rogers, 1983) dalam (Prisgunanto, 2004: 338).
Gambar 2 Model Proses Pengambilan Keputusan Inovasi Rogers
d. Keinovatifan dan Kategori Adopter
Rogers (1983) menjelaskan dalam menerima suatu inovasi ada beberapa
tipologi penerima adopsi yang ideal yaitu :
8
a) Inovator adalah kelompok orang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal
baru. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang memiliki gaya hidup dinamis
di perkotaan yang memiliki banyak teman atau relasi.
b) Pengguna awal (early adopter ). Kategori adopter ini menghasilkan lebih banyak
opini dibanding kategori lainnya, serta selalu mencari informasi tentang inovasi.
c) Mayoritas awal (early majority). Kategori pengadopsi seperti ini akan
berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan dalam mengadopsi
inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orang-orang seperti ini
menjalankan fungsi penting untuk menunjukkan kepada seluruh komunitas
bahwa sebuah inovasi layak digunakan atau cukup bermanfaat.
d) Mayoritas akhir (late majority). Kelompok yang ini lebih berhati-hati mengenai
fungsi sebuah inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan orang telah
mencoba dan mengadopsi inovasi sebelum mereka mengambil keputusan.
e) Lamban (laggard). Kelompok ini merupakan orang yang terakhir melakukan
adopsi inovasi. Mereka bersifat lebih tradisional, dan segan untuk mencoba hal
hal baru. Saat kelompok ini mengadopsi inovasi baru, kebanyakan orang justru
sudah jauh mengadopsi inovasi lainnya, dan menganggap mereka ketinggalan
zaman.
Rogers dalam Mc Kenzie (1997) menjelaskan dalam menerima inovasi baru
bahwa kelompok inovator hanya berkisar 2,5% sampai 3% saja dalam populasi,
sedangkan untuk kelompok Early adopter hanya mencapai 13,5% saja dalam suatu
populasi, untuk early majority dan late majority masing-masing 34% dalam suatu
populasi dan untuk kelompok laggard mencapai 16%.
Gambar 3. Model Difusi Inovasi
9
e. Karakteristik Inovasi
Karakteristik inovasi adalah sifat dari difusi inovasi, dimana karakteristik
inovasi merupakan salah satu yang menentukan kecepatan suatu proses inovasi.
Rogers (1983) mengemukakan ada 5 karakteristik inovasi, yaitu:
1) Relative Advantage (keuntungan relatif) adalah tingkat kelebihan suatu
inovasi, apakah lebih baik dari inovasi yang ada sebelumnya atau dari hal-hal
yang biasa dilakukan. Biasanya diukur dari segi ekonomi, prestasi sosial,
kenyamanan dan kepuasan. Semakin besar keuntungan relatif yang dirasakan
oleh adopter, maka semakin cepat inovasi tersebut diadopsi.
2) Compatibility atau kompatibilitas (keserasian) adalah tingkat keserasian dari
suatu inovasi, apakah dianggap konsisten atau sesuai dengan nilai-nilai,
pengalaman dan kebutuhan yang ada. Jika inovasi berlawanan atau tidak
sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut oleh adopter maka inovasi
baru tersebut tidak dapat diadopsi dengan mudah oleh adopter.
3) Complexity atau kompleksitas (kerumitan) adalah tingkat kerumitan dari suatu
inovasi untuk diadopsi, seberapa sulit memahami dan menggunakan inovasi.
Semakin mudah suatu inovasi dimengerti dan dipahami oleh adopter, maka
semakin cepat inovasi diadopsi.
4) Triability atau triabilitas (dapat diuji coba) merupakan tingkat apakah suatu
inovasi dapat dicoba terlebih dahulu atau harus terikat untuk
menggunakannya. Suatu inovasi dapat diuji cobakan pada keadaan
sesungguhnya, inovasi pada umumnya lebih cepat diadopsi. Untuk lebih
mempercepat proses adopsi, maka suatu inovasi harus mampu menunjukkan
keunggulannya.
5) Observability (dapat diobservasi) adalah tingkat bagaimana hasil penggunaan
suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat
hasil suatu inovasi, semakin besar kemungkinan inovasi diadopsi oleh orang
atau sekelompok orang.
f. Sistem Sosial
Sistem sosial merupakan kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan
terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai
tujuan bersama (Rogers, 1983).
10
Sistem sosial adalah sejumlah kegiatan atau sejumlah orang yang
mempunyai hubungan timbal balik relatif konstan. Hubungan sejumlah orang dan
kegiatannya itu berlangsung terus menerus. Sistem sosial memengaruhi perilaku
manusia, karena di dalam suatu sistem sosial tercakup pula nilai-nilai dan norma-
norma yang merupakan aturan perilaku anggota-anggota masyarakat. Dalam setiap
sistem sosial pada tingkat-tingkat tertentu selalu mempertahankan batas-batas yang
memisahkan dan membedakan dari lingkungannya (sistem sosial lainnya). Selain itu,
di dalam sistem sosial ditemukan juga mekanisme-mekanisme yang dipergunakan
atau berfungsi mempertahankan sistem sosial tersebut (Widjajati, 2010).
Proses difusi dalam kaitannya dengan sistem sosial ini dipengaruhi oleh
struktur sosial, norma sosial, peran pemimpin dan agen perubahan, tipe keputusan
inovasi dan konsekuensi inovasi. Difusi inovasi terjadi dalam suatu sistem sosial.
Dalam suatu sistem sosial terdapat struktur sosial, individu atau kelompok individu,
dan norma-norma tertentu. Berkaitan dengan hal ini, Rogers (1983) menyebutkan
adanya empat faktor yang memengaruhi proses keputusan inovasi. Keempat faktor
tersebut adalah: struktur sosial, norma sistem, peran pemimpin dan agen
perubahan.
Struktur sosial (social structure) adalah susunan suatu unit sistem yang
memiliki pola tertentu. Adanya sebuah struktur dalam suatu sistem sosial
memberikan suatu keteraturan dan stabilitas perilaku setiap individu dalam suatu
sistem sosial tertentu. Struktur sosial juga menunjukan hubungan antar anggota dari
sistem sosial. Hal ini dapat dicontohkan seperti terlihat pada struktur organisasi
suatu perusahaan atau struktur sosial masyarakat suku tertentu. Struktur sosial
dapat memfasilitasi atau menghambat difusi inovasi dalam suatu sistem. Katz (1961)
seperti dikutip oleh Rogers menyatakan bahwa sangatlah bodoh mendifusikan suatu
inovasi tanpa mengetahui struktur sosial dari adopter potensialnya, sama halnya
dengan meneliti sirkulasi darah tanpa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
struktur pembuluh nadi dan arteri. Penelitian yang dilakukan oleh Rogers dan
Kincaid (1981) di Korea menunjukan bahwa adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh
karakteristik individu itu sendiri dan juga sistem sosial dimana individu tersebut
berada.
Norma sistem (system norms) adalah suatu pola perilaku yang dapat
diterima oleh semua anggota sistem sosial yang berfungsi sebagai panduan atau
11
standar bagi semua anggota sistem sosial. Sistem norma juga dapat menjadi faktor
penghambat untuk menerima suatu ide baru. Hal ini sangat berhubungan dengan
derajat kesesuaian (compatibility) inovasi dengan nilai atau kepercayaan masyarakat
dalam suatu sistem sosial. Jadi, derajat ketidaksesuaian suatu inovasi dengan
kepercayaan atau nilai-nilai yang dianut oleh individu (sekelompok masyarakat)
dalam suatu sistem sosial berpengaruh terhadap penerimaan suatu inovasi tersebut.
Peran pemimpin (opinion leaders) dapat dikatakan sebagai orang-orang
berpengaruh, yakni orang-orang tertentu yang mampu memengaruhi sikap orang
lain secara informal dalam suatu sistem sosial. Dalam kenyataannya, orang
berpengaruh ini dapat menjadi pendukung inovasi atau sebaliknya, menjadi
penentang. Ia (mereka) berperan sebagai model dimana perilakunya (baik
mendukung atau menentang) diikuti oleh para pengikutnya. Jadi, jelas disini bahwa
orang berpengaruh memainkan peran dalam proses keputusan inovasi.
Agen perubahan (change agent) adalah suatu bagian dari sistem sosial yang
berpengaruh terhadap sistem sosialnya. Mereka adalah orang-orang yang mampu
memengaruhi sikap orang lain untuk menerima sebuah inovasi. Tetapi change agent
bersifat resmi atau formal, ia mendapat tugas dari kliennya untuk memengaruhi
masyarakat yang berada dalam sistem sosialnya. Change agent atau dalam bahasa
Indonesia yang biasa disebut agen perubah, biasanya merupakan orang-orang
profesional yang telah mendapatkan pendidikan atau pelatihan tertentu untuk
dapat memengaruhi sistem sosialnya. Di dalam buku ”Memasyarakatkan Ide-ide
Baru” yang ditulis oleh Rogers dan Shoemaker, fungsi utama dari change agent
adalah menjadi mata rantai yang menghubungkan dua sistem sosial atau lebih.
Dengan demikian, kemampuan dan keterampilan change agent berperan besar
terhadap diterima atau ditolaknya inovasi tertentu. Sebagai contoh, lemahnya
pengetahuan tentang karakteristik struktur sosial, norma dan orang kunci dalam
suatu sistem sosial misal: suatu institusi pendidikan), memungkinkan ditolaknya
suatu inovasi walaupun secara ilmiah inovasi tersebut terbukti lebih unggul
dibandingkan dengan apa yang sedang berjalan saat itu.
12
BAB III
METODE ANALISIS DAN PENGUMPULAN DATA
METODE ANALISIS DAN PENGUMPULAN DATA
Metode analisis yang digunakan pada penulisan ini adalah metode kualitatif
historis dan komparatif. Metode historis menurut Waluya (2007:8) yaitu “metode
pengamatan yang menganalisis peristiwa-peristiwa masa silam untuk merumuskan
prinsip-prinsip umum.” Sedangkan metode komparatif menurut Waluya (2007:8) yaitu
“metode pengamatan dengan membandingkan bermacam-macam masyarakat serta
bidang-bidangnya untuk memperoleh perbedaan dan persamaan sebagai petunjuk
tentang perilaku suatu masyarakat pada masa lalu dan masa mendatang.”
Penulis melakukan metode historis dan komparatif pada data yang ditemukan
dan mengkaji mengenai penerapan inovasi ERP dan penyerapan (adopsi) masyarakat
terhadap inovasi ERP tersebut.
13
BAB IV
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Dari teori difusi inovasi bahwa bagaimana suatu inovasi disampaikan, maka pada
penerapan inovasi Electronic Road Pricing (ERP) ini terdapat empat elemen pokok difusi
inovasi, yaitu:
1) Inovasi
Electronic Road Pricing (ERP) merupakan suatu inovasi dalam mengatasi kemacetan
jalan raya di Jakarta. Electronic Road Pricing (ERP) merupakan sistem skema
pengumpulan tol elektronik diadopsi di Singapura, London di Inggris dan Stockholm
di Swedia (metro.news.viva.co.id, Anggi Kusumadewi, Rohimat Nurbaya) untuk
mengatur lalu lintas dengan cara jalan berbayar, dan sebagai mekanisme
perpajakan penggunaan berbasis untuk melengkapi Sertifikat berbasis pembelian
Hak sistem.
Penerapan sistem ERP ini bertujuan untuk menekan angka kemacetan lalu lintas
yang nanti akan berkesinambungan pada pengurangan polusi CO2 yang berasal dari
apa kendaraan bermotor.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Muhammad Akbar mengatakan “di negara
lain yang sudah menerapkan sistem ini, kemacetan bisa berkurang sekitar 25-30%”
(Tribunnew.com, Rabu, 16 Juli 2014 12:08 WIB).
Rogers (1983) mengemukakan bahwa teorinya tentang keputusan tentang inovasi
dapat dibagi menjadi tahapan yaitu: Knowledge (pengetahuan), Persuasion
(persuasi), Decision (keputusan), Implementation (pelaksanaan), dan Confirmation
(konfirmasi).
a) Tahap pengetahuan.
Dalam tahap ini, seseorang belum memiliki informasi mengenai inovasi ERP.
Pada tahapan ini pemerintah melakukan proses pembelajaran hal-hal apa yang
menjadi alternatif jalan keluar dari masalah kemacetan ibukota.
b) Tahap persuasi.
Pada tahap ini pemerintah tertarik pada inovasi ERP dan aktif mencari
informasi/detail mengenai inovasi ERP dengan belajar dan mengadopsi pada
14
negara-negara yang sukses melakukan sistem ERP. Walaupun ada beberapa
negara seperti Hongkong dan Thailand yang gagal menerapkan sistem ERP ini.
c) Tahap pengambilan keputusan.
Pada tahap ini pemerintah mengambil konsep inovasi ERP dan menimbang
keuntungan/kerugian dari menggunakan inovasi ERP dan memutuskan untuk
menggunakan inovasi ERP dengan mengeluarkan Undang-undang dan Peraturan
Pemerintah terkait dengan kebijakan mengadopsi sistem ERP di Jakarta.
d) Tahap implementasi.
Pada tahap ini pemerintah melakukan tahapan penerapan inovasi ERP dengan
melakukan berbagai macam aspek seperti pengadaan alat, pembukaan tender,
proses pembentukan infrastruktur, dan uji coba sistem ERP. Selama tahap ini
pemerintah menentukan kegunaan dari inovasi dan dapat mencari informasi
lebih lanjut tentang hal itu.
e) Tahap konfirmasi.
Setelah sebuah penerapan inovasi ERP dibuat, pemerintah kemudian akan
melakukan berbagai penelitian terkait penerapan ERP pada masyarakat untuk
mendapatkan formula khusus ERP yang sesuai dengan Indonesia.
Rogers (1983) menjelaskan dalam menerima suatu inovasi ada beberapa
tipologi penerima adopsi yang ideal yaitu :
a) Inovator dalam sistem ERP ini adalah negara-negara pencetus ide yaitu
Swedia, Inggris dan Singapore.
b) Pengguna awal (early adopter ) adalah negara pencetus ide tersebut yaitu
Swedia, Inggris dan Singapore, karena negara-negara tersebut lebih awal
mengalami masalah kemacetan lalu lintas.
c) Mayoritas awal (early majority) adalah negara-negara maju berkembang
lainnya selain pencetus ide penggunaan inovasi ERP seperti Austria,
Australia, Hongkong, Portugal, Sri Lanka.
d) Mayoritas akhir (late majority), Indonesia termasuk pada kelompok late
majority karena begitu banyak pertimbangan dalam memutuskan untuk
ikut pada sistem ERP.
e) Lamban (laggard)
15
Pertama, negara-negara yang memang memiliki populasi dan kondisi
kemacetan yang sedikit seperti negara-negara kecil seperti Brunei
Darussalam, Belanda, New Zealand, Dili.
Kedua, negara-negara yang memiliki populasi membludak seperti India dan
China.
2) Saluran komunikasi
Pesan-pesan tentang penerapan ERP dilakukan pemerintah kota Jakarta
menggunakan segala lini saluran komunikasi. Tidak hanya pada saat mengajukan uji
coba jalur ERP. Namun jauh sebelum dibangun infrastruktur pendukung ERP, pada
tahapan perencanaan program ERP telah diwacanakan oleh sebagian besar media
massa Ibukota baik offline maupun portal berita online. Berdasarkan observasi yang
dilakukan penulis wacana perencanaan program ERP telah mulai diperbincangkan
media massa pada Maret 2011.
Gambar 3. Sosialisasi Penerapan ERP (sumber kompas.com)
16
3) Jangka waktu
Tahun 2009
Dari segi kebijakan Penerapan ERP sudah bisa dilakukan berdasarkan UU No. 22
tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Jika kita kembali mencermati
ayat 3 Pasal 133 UU No 22 / 2009 sebagai berikut:
Pembatasan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf bdapat dilakukan dengan pengenaan retribusi pengendalian Lalu Lintas yang diperuntukkan bagi peningkatan kinerja Lalu Lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tahun 2011
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai Manajemen dan Rekayasa Lalu
Lintas Nomor 32 Tahun 2011, penerapan sistem ERP disetujui untuk pembangunan
infrastrukturnya. Tujuan penerapan ERP adalah untuk mengurangi pengguna mobil
pribadi memasuki dalam kota dalam zona tertentu untuk mengurangi kemacetan,
dimaksudkan lebih jauh supaya pengguna mobil akan beralih ke angkutan umum
untuk memasuki zona ERP.
Terbitnya Perda RTRW yang menjelaskan sejumlah lokasi yang akan diterapkan
kebijakan ERP. Perda tersebut mengatur semua administrasi termasuk PP yang
mengatur tentang prosedur pemungutannya berdasarkan pada UU 28 tahun 2009
tentang Pajak dan Retribusi.
Tahun 2012 - 2013
Penerapan ERP ditunda karena masih menunggu landasan hukum dari Kementrian
Keuangan dan Kementrian Perhubungan.
Tahun 2014
Pada tahun 2014, Pemprov DKI Jakarta masih fokus pada penyelesaian tender
pengadaan alat penunjang. Dan pembangunan infrastruktur ERP mulai dikerjakan di
jalan Sudirman.
17
Gambar 4. Lokasi Konstruksu Gerbang Sensor On Board Unit (OBU) ERP di Jl. Sudirman, Jakarta. (sumber: lipsus.kompas.com)
Pada 15 Juli 2014, dilakukan uji coba ERP di depan Gedung Bank Panin, Jalan
Sudirman. Uji coba dilakukan oleh PT. Kapsch asal Swedia pada 50 kendaraan roda
empat milik internal perusahaan.
Pada 11 Agustus 2014, dilakukan uji coba ERP di jalan Rasuna Said ke arah
Mampang menuju Menteng, yang akan berlangsung selama 3 bulan. Penerapan uji
coba ini berkaitan dengan usaha sosialisasi pemprov DKI kepada masyarakat.
Tahun 2015
Pada Januari tahun ini baru dilaksanakan dan masih berlangsung proses tender
pengadaan alat untuk penerapan jalan berbayar atau ERP. Kedua perusaan itu
adalah perusahaan asal Swedia, Kapsch dan perusahaan asal Norwegia, Q-Free.
Keduanya merupakan perusahaan yang telah melakukan uji coba ERP.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengubah rencana penerapan sistem electronic
road pricing(ERP) alias jalan berbayar di sejumlah jalan utama. Sebelumnya, sistem
itu akan diberlakukan mulai akhir 2015. Namun, karena proses lelang, persiapan
kontrak, dan pembangunan infrastruktur memakan waktu, akhirnya ERP ditetapkan
mulai berlaku pada 2016
4) Sistem sosial
Dalam adopsi inovasi sistem ERP ini pemerintah yang memiliki peranan penting,
khususnya Pemprov DKI yang berkeingian kuat dalam mengantisipasi kemacetan
kota Jakarta yang diperkirakan akan stagnan pada tahun 2020. Kemudian pihak-
18
pihak lain yang saling terkait adalah kementrian-kementrian seperti perhubungan
dan keuangan. Selain itu tak mungkin dipungkiri andil media massa dalam
mengumpulkan opini masyarakat tentang penerapan sistem ERP di Jakarta.
19
BAB V
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Proses difusi inovasi pada penerapan Electronic Road Pricing (ERP) di Jakarta belum
selesai pada masa penggunaan inovasi baru pada tahapan implementasi. Difusi inovasi
ERP bertujuan untuk:
a) Meminimalisasi volume kemacetan.
b) Mengoptimalisasikan penggunaan jalan raya
c) Memberikan keadilan biaya penggunaan jalan/pajak bagi pengguna motor.
d) Meniadakan biaya tilang
e) Meniadakan human eror.
DAFTAR PUSTAKA
Uchjana, Onong. 2007. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Cita Aditya Bakti. Jakarta.
Prisgunanto, Ilham. 2004. Praktik Ilmu dalam Kehidupan Sehari-hari. Teraju, Jakarta
Bagja, Waluya. 2007. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat.
Penerbit PT. Setia Purna Inves: Bandung.
Rogers, Everett M. 1983. Diffusion of Innovations. The Free Press. Canada.
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2014/07/16/erp-akan-mengubah-pola-
perjalanan-masyarakat.
http://oto.detik.com/read/2014/06/30/115234/2623004/1597/jakarta-menyambut-
sistem-electronic-road-pricing
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2014/10/06/dishub-dki-klaim-sudah-
sosialisasi-erp
http://jakarta.kompasiana.com/transportasi/2014/06/15/tahapan-penerapan-erp-di-
dki-jakarta-658731.html
http://metro.news.viva.co.id/news/read/446736-terapkan-erp--jakarta-adopsi-sistem-
singapura-dan-stockholm