huk um me rayakan ibadah non muslim -...
TRANSCRIPT
HUKUM MERAYAKAN IBADAH NON-MUSLIM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Muhammad Irsyad Noor
NIM: 1110043100003
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 05 Januari 2015
Muhammad Irsyad Noor
NIM: 1110043100003
v
ABSTRAK
Muhammad Irsyad Noor, NIM: 1110043100003, “Hukum Merayakan Ibadah
Non-Muslim”, Program Studi perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi
Perbandingan Mazhab Fikih, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2014 M. Tasyabbuh merupakan perbuatan
mengikuti menyerupai non-Muslim baik dalam hal gaya hidup, berpakaian, dan
sebahagian perbuatan mereka termasuk di dalamnya adalah peringatan hari-hari besar
non-Muslim. Oleh karena itu, tasyabbuh merupakan perbuatan yang dilarang dalam
Islam, sesuai sabda Rasulullah “barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia
termasuk golongan mereka”. Namun demikian, terdapat indikasi bahwa dalam
kehidupan sosial masyarakat terdapat hal-hal yang sangat berkaitan dengan non-
Muslim yaitu hubungan antar umat beragama dan juga kehidupan seorang Muslim
yang tinggal di dalam masyarakat yang mayoritas non-Muslim. Penelitian ini
menggunakan library research dengan analisis deskriptif. Di samping itu, dalam
penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan mengumpulkan data
dari kepustakaan yang kemudian dikelompokan menjadi data primer dan data
sekunder. Cara mendapatkan data diperoleh dengan cara membaca literatur buku,
makalah dan hasil laporan penelitian. Data mengenai hukum tasyabbuh lebih banyak
bersumber dari buku karya Ibnu Taimiyyah. Tujuan penelitian yaitu untuk mengkaji
kedudukan tasyabbuh dalam kehidupan sosial antar umat beragama seperti yang
dilaksanakan oleh Gus Nuril Arifin sewaktu ikut menghadiri perayaan Natal di Gereja
Bhetani Tayu Pati Jawa tengah pada tanggal 12 Desember tahun 2013. Berdasarkan
metode yang digunakan, hasil penelitian menunjukan bahwa hukum tasyabbuh
terhadap perayaan ibadah non-Muslim tidak semuanya tergolong perbuatan haram,
namun ada juga yang mubah bila terlepas dari kemaksiatan, kerusakan akibat
mengikuti perayaan ibadah non-Muslim tersebut dan juga keadaan di mana seseorang
itu menjalankan kehidupan bermasyarakat.
Kata kunci : Tasyabbuh
Pembimbing : Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA.
Daftar Pustaka : Tahun 1978 s.d Tahun 2011
.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbi al-‘Alamîn, penulis ucapkan rasa syukur yang tak
terkira ke hadirat Allah SWT, yang telah menerangi, menuntun, dan membukakan
hati serta pikiran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada
waktunya.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah ke haribaan Nabi Besar
Muhammad SAW. Semoga kita mendapatkan syafa’at-nya kelak. Amin.
Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu persyaratan kelulusan strata
satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa dalam proses
penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari peran dan sumbangsih pemikiran serta
intervensi dari banyak pihak. Karena itu dalam kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini,
diantaranya:
1. Bapak Dr. J.M. Muslimin, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Khamami Zada, MA, Ketua Jurusan Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Hj. Siti Hana, S.Ag. Lc. MA, Sekretaris Jurusan Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. A. Sudirman Abbas, MA, Dosen pembimbing yang senantiasa
membimbing penulis dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini dan
terimakasih atas bimbingan, kesabaran, keramahan hati serta nasehat-
nasehat berharga yang telah beliau berikan. Semoga beliau selalu dalam
lindungan Allah SWT.
5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberi ilmu, pengalaman dan nasehat kepada penulis. Semoga ilmu
yang penulis dapatkan dari mereka menjadi amal dan bermanfaat dunia
dan akhirat.
i
6. Teristimewa orang tua penulis, Abdul Azis Noor ayahanda dan Marsiyah
Ibunda tercinta yang telah mengantarkan penulis hingga seperti sekarang
dengan penuh kasih sayang, do’a, kesabaran, keikhlasan, dan perjuangan
hidup demi kelangsungan pendidikan putra-putrinya. Pimpinan dan
segenap staff perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.
7. Tak lupa kepada sahabat-sahabat penulis senasib seperjuangan di
Perbandingan Mazhab Fiqih. Banyak kenangan yang sudah terjadi
bersama kalian baik suka maupun duka, yang pasti akan menjadi sebuah
cerita di masa depan. diucapkan terimakasih sebesar-besarnya dan mohon
maaf jika ada salah kata. Kesuksesan untuk kita semua. Aminn.
Semoga semua kebaikan dan pengorbanan yang telah diberikan mendapat
ridha dari Allah SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan. Amin.
Jakarta, 05 Januari 2015 M
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ........................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 8
D. Metode Penelitian .................................................................................. 8
E. Sistematika Penulisan ............................................................................ 11
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI IBADAH DAN TASYABBUH
A. Pengetian dan Hakikat Ibadah ............................................................... 13
a. Pengertian Ibadah .............................................................................. 13
b. Hakikat Ibadah .................................................................................. 15
B. Larangan Tasyabbuh dalam Islam ......................................................... 16
C. Dalil-dalil Al-Qur’an dan al-Hadits ....................................................... 20
D. Hukum Tasyabbuh Terhadap Non-Muslim ........................................... 25
A. Bentuk-bentuk Tasyabbuh ...................................................................... 26
BAB III HUKUM MENGIKUTI PERAYAAN HARI BESAR NON-MUSLIM
A. Hukum Mengikuti Perayaan Hari Besar Non-Muslim .......................... 33
B. Hukum Memberi Salam dan Mengucapkan Selamat pada Hari Raya non-
Muslim ................................................................................................... 42
BAB IV HUBUNGAN SOSIAL MUSLIM DENGAN NON-MUSLIM
A. Hubungan Sosial Muslim dengan non-Muslim ..................................... 48
B. Alasan dan Dampak Mengikuti Peribadatan non-Muslim .................... 52
a. Alasan Mengikuti Ibadah Non-Muslim .............................................. 52
b. Dampak dari Mengikuti Ibadah Non-Muslim .................................... 56
C. Analisa Penulis Mengenai Tasyabbuh Terhadap Peribadatan Non-
Muslim ................................................................................................... 57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 61
B. Saran-saran ............................................................................................ 62
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 64
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan beragama tidak terlepas dari pemenuhan spiritual yang telah
diajarkan oleh setiap agama. Setiap umat beragama dituntut untuk melaksanakan
ibadah tersebut sebagai nilai keluhuran rohani dan tingkat pengabdiannya kepada
Tuhan. Pengamalan spriritual tersebut meliputi aspek eksoteris dan esoteris.
Dalam aspek eksoteris, setiap agama memiliki cara atau bentuk jasmaniah yang
dapat diamati di dalam praktek upacara ritual yang dilakukan masing-masing
agama. Sedangkan dalam aspek esoteris, setiap agama memiliki substansi yang
sama, yakni hubungan yang bersifat rahasia antara seorang hamba dengan
Tuhannya. Aspek esoteris dalam setiap agama memiiliki kesamaan rohaniah
mengenai ajaran kecintaan terhadap Tuhan.1
Pada waktu Nabi muhammad SAW masih hidup, segala persoalan hukum
yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban
hukum dengan menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an. Dan dalam keadaan tertentu
yang tidak ada jawabannya didalam Al-Qur’an, beliau memberikan jawaban
melalui penetapan beliau yang disebut al-Hâdis atau Sunnah. Al-Qur’an dan
penjelasannya dalam bentuk hadis disebut “sumber pokok hukum Islam”.2
1Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin (Tashawwuf dan Taqarrub)
(Jakarta: Atisa, 1992), h.184.
2Amir Syarifudin, UshulFiqh, jil. i. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 33.
2
Terhadap pemeluk agama lain, kaum muslimin diperintahkan agar bersikap
toleran. Sikap toleran terhadap non-muslim itu hanya terbatas pada urusan yang
bersifat duniawi, tidak menyangkut masalah aqidah, syariah, dan ibadah.
Firman Allah Swt :
هاقل يأ بدون.ٱل كفروني بدماتع ع
بد لأ ع
بدونماأ ع نتم
ناعبد ولأ
ولأ
اعبدتم بدول م ع بدونماأ ع نتم
دين أ ول دينكم )٩-٩٠١:٦ الكافرون/)لكم
Artinya : “Katakanlah: hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, dan aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan
untukkulah agamaku.”
Seorang ahli fiqih lebih mirip seorang dokter. Seorang dokter tidak akan bisa
menentukan obat bagi pasiennya kecuali setelah memperhatikan, memeriksa dan
menanyakan pasien tersebut, sehingga dokter ini dapat mengetahui kapan
pasiennya mulai sakit, sejauh mana rasa sakitnya, dan separah apa penyakit yang
dirasakannya. Setelah itu, baru sang dokter dapat menentukan obat yang cocok
bagi pasiennya.
Berkaitan dengan hal ini, Imam Ibnu Qayyim berkata dalam kitab ‘al-I’lam’
yang ditulisnya: “seorang mufti dan hakim (qȃdhȋ) tidak mungkin bisa menentukan
fatwa dan hukuman secara benar kecuali setelah memahami dua bentuk
pemahaman. Pertama, memahami realitas dan mendalaminya, menyimpulkan
hakikat satu ilmu yang tejadi akibat sebab-sebab (al-qarȃin), tanda-tanda dan
isyarat-isyarat hingga ia mendalaminya secara cermat. Kedua, memahami sesuatu
3
yang wajib dan realitas tersebut, yaitu memahami hukum Allah yang telah
diperintahkan dalam kitab-Nya atau melalui rasul-Nya dam hal realitas tersebut.
Kemudian, mencocokan salah satu bentuk tersebut dengan bentuk lainnya. Dengan
demikian, barang siapa yang telah bersungguh-sungguh dan mencurahkan
kemampuannya dalam hal tersebut, ia tidak akan ditinggalkan dua pahala atau satu
pahala.”1
KH Nuril Arifin atau yang biasa disapa dengan sebutan Gus Nuril menerima
undangan dari Pendeta dan gembala sidang Gereja Bethany Tayu, Pati-Jawa
Tengah 9 Desember 2013, bukan sekedar hadir namun sebagai salah satu
pembicara atau penceramah. Gus Nuril memberikan ceramah tentang membangun
hubungan antarumat beragama guna membangun kesatuan dan kekuatan bangsa
dan negara. Apakah ini termasuk toleransi antarumat beragama? Toleransi antar
Agama Dalam masyarakat Jawa sering disebut dengan teposeliro, Kalau aku
senang orang lain pun senang, kalau aku tidak suka orang lain pun tidak suka.
orang yang toleran senantiasa membina persaudaraan serta menghindari konflik
dengan orang lain. Ia memiliki prinsip hidup dan falsafah, “teman seribu terasa
kurang, musuh satu terlalu banyak.” Islam mengajarkan bahwa sesama muslim
1Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Minoritas, fatwa kontemporer terhadap kaum muslimin di tengah
masyarakat non-muslim. Penerjemah Adillah Obid (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 52.
4
harus bersatu serta tidak boleh bercerai-berai, bertengkar, dan bermusuhan, karena
sesama muslim adalah saudara.2
Jika memperhatikan isi ceramahnya, ada juga videonya, ceramah Gus Nuril
Arifin tersebut serat dengan unsur dakwah di dalamnya, karena dalam ceramah
Gus Nuril sangat mengagungkan Nabi Isa dan Nabi-nabi terdahulu tetapi sama
sekali tidak ada kalimat yang menyatakan Tuhan Yesus atau Tuhan Isa, tapi beliau
menyatakannya dengan Nabi Isa.
Mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal
Allah lah yang telah menciptakan jin-jin itu, dan mereka berbohong (dengan
mengatakan), 3
كءوجعلوا ش نٱلل لل وخرقوا سب حنهۥوخلقهم عل م بغي ۥبننيوبنت وتعل
ايصفون موتٱبديع ١٠٠عم رض ٱولس يكونلل ن
ۥأ تكنل ولم ۥول صحبة
ءعليم ش وهوبكل ء ش )٩٠٠-٦:٩٠٩الانعام /) ١٠١وخلقك
Artinya : “Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi
Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong
(dengan mengatakan): "Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan
perempuan", tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha
Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan. Dia Pencipta langit dan bumi.
Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia
menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.”
2Moderasi Islam: Tafsir Al-Qur’an Tematik, vol. 4 (Jakarta: Lajnah Pentashihan Al-Qur’an), h.
36.
3Jum’ah Amin Abdul Azis, Fiqih Dakwah, studi atas berbagai prinsip dan kaidah yang harus
dijadikan acuan dalam dakwah Islamiyah. Penerjemah, Abdus Salam Masykur (Surakarta: Era Adicitra
Intermedia, 2001), h. 132
5
Para Rasul telah berdakwah dan menyeru manusia untuk mengesakan Allah
dan melarang mereka dari menyekutukan-Nya. Mereka telah menjelaskan hakikat
tauhid itu dengan uslub yang beraneka ragam, antara lain dengan memperhatikan
ayat-ayat kauniyah, mengingatkan manusia akan nikmat Allah, menjelaskan akan
sifat-sifat kesempurnaan yang ada pada-Nya, atau dengan argument-argumen yang
logis, dengan membuat permisalan-permisalan, atau dengan merenungi diri
manusia itu sendiri dan cakrawala alam semesta.4
Allah SWT berfirman :
ٱلرسوليشاققمنو ل دماتبني سبيلٱل هدىمنبع غي مننيويتبع نٱل مؤ ماۦول له ونص مصياۦتول وساءت )٤:٩٩٤/ النساء)جهنم
Artintya : “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.”
Banyak orang-orang yang mengatakan bahwa Gus Nuril telah menyimpang
dari ajaran Islam, karena mengikuti ibadah hari besar non-muslim (Natal) dengan
alasan menyerupai orang-orang kafir.
4Jum’ah Amin Abdul Azis, Fiqih Dakwah, studi atas berbagai prinsip dan kaidah yang harus
dijadikan acuan dalam dakwah Islamiah, h.133.
6
الرمحنبنثابتاخربنا عبد اخرناانلرض حدثناعثمانبنايبشيبةاخربناابوللصلالللاابنعمرقالقالرسو حسانبنعطيةعنايبمنيبالريىشعن
(رواهابوداود ).5بقومفهومنه منتشبه:عليهوسلمArtinya : “Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata,
telah menceritakan kepada kami Abu An Nadhr berkata, telah menceritakan
kepada kami 'Abdurrahman bin Tsabit berkata, telah Menceritakan kepada kami
Hassan bin Athiyah dari Abu Munib Al Jurasyi dari Ibnu Umar ia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa bertasyabuh
(menyerupai) dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka." (H.R. Abu Daud).
Hadis di atas menetapkan bahwa haramnya meniru mereka dan secara dzahir
menunjukkan bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan kufur.
Apakah hukum mengucapkan salam kepada non muslim? Bagaimanakah
hukum berbaik hati dalam menghadiri pesta perkawinannya yang diwajibkan itu?
Lalu, apa hukum mengucapkan selamat terhadap hari-hari raya non muslim, lebih-
lebih jika dia mengucapkan selamat terhadap hari-hari raya kaum muslimin?
Bolehkah kita mengucapkan selamat kepada non muslim, khususnya di hari raya
natal (cristmas).6 Sebagaimana kita melihat ada sebagian kaum muslimin yang ikut
merayakan natal dan hari besar non-muslim lainnya, seperti mereka juga ikut
merayakan Idul Fitri dan Idul Adha. Apalagi, diantara keduanya (muslim dan non-
muslim) terdapat hubungan kerabat, tetangga, teman, dan hubungan-hubungan
5Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ‘Aunu al-Ma’bud bi syarh sunan Abu Daud, jil. 11, no. hadis: 4031
(Dar al-fikr, 1979), h. 165.
6Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Minoritas, Penerjemah Adillah Obid (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004),
h. 25.
7
sosial lainnya yang membutuhkan rasa cinta, kasih sayang dan hubungan yang
baik, yang biasa berlaku dalam tradisi masyarakat yang sehat.7
Oleh sebab itu, wajib bagi kita untuk melahirkan kajian fiqh yang cermat,
realistis dan kontemporer. Yaitu, kajian fiqh yang berangkat dari teks-teks yang jelas
hukumnya (muhkamat), dari kaidah-kaidah Syariah dan maqȃshid-nya. Akan tetapi
kajian tersebut tetap relevan dengan perubahan zaman, tempat dan kondisi manusia.
Kajian inilah yang kami usahakan dalam pembahasan skripsi ini.
Skripsi ini akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan elemen-elemen at-
Tasyabbuh ataupun penyerupaan orang Islam dengan bukan Islam dan gejolak sosial
yang terjadi di Masyarakat. Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya dan kepada-Nya
kami meminta pertolongan.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pada penelitian ini penulis akan membatasi pembahasan hanya beberapa
pendapat ulama Mazhab (di antara banyak mazhab yang ada) tentang Tasyabbuh
yang terdapat kontradiktif di dalamnya. Untuk mempermudah pembahasan
masalah di atas, penulis kemudian merumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut:
1. Apa Definisi Tasyabbuh?
2. Bagaimana Interaksi Sosial Muslim dengan Non-Muslim?
3. Bagaimana Hukum Merayakan Ibadah Non-Muslim?
7Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Minoritas, h. 205.
8
C. Tujuan Penulisan
Setiap penelitian yang dilakukan meniscayakan adanya tujuan. Adapun
tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Khusus
A) Memenuhi syarat menyelesaikan studi S1 di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
B) Untuk mengetahui bagaimana hukum mengikuti ibadah non-Muslim.
C) Mengetahui gejolak sosial yang tejadi di dalam masyarakat terhadap
perayaan ibadah non-Muslim.
D) Mengetahui bagaimana interaksi sosial yang dibolehkan dalam Syariat.
2. Tujuan Umum
a) Memberikan kontribusi kepada umat Islam dalam perbedaan pendapat.
b) Menstimulus para ulama fiqih untuk membantu umat islam yang awam
dalam mengamalkan ajaran agama dengan memberikan pendapat yang
paling kuat dan sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini.
D. Metode Penelitian
Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan atau proses sistematis untuk
memecahkan masalah yang dilakukan dengan menerapkan metode ilmiah.8
Metodologi mempunyai beberapa pengertian, yaitu (a) logika dari penelitian
8 Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan, kuantitatif dan kualitatif, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008), h. 3
9
ilmiah, (b) studi terhadap prosedur dan teknik penelitian, dan (c) suatu sistem dari
prosedur dan teknik penelitian. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa metode
penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta seni. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk
mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui
penelitian tersebut, diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah
dikumpulkan dan diolah. Oleh karena itu, metodologi penelitian yang diterapkan
harus sesuai dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.9
1. Jenis Pendekatan
Dalam ini penulis menggunakan metodelogi dengan pendekatan
kualitatif, yang memiliki karakteristik alami (natual setting) sebagai sumber
data langsung, deskriptif, proses lebih dipentingkan daripada hasil, analisis
data kualitatif cendrung dilakukan secara analisa induktif dan makna
merupakan hal yang esensial.10 Juga perlu dikemukakan metode penelitian
kualitatif tidak membutuhkan populasi dan sampel.11
Dalam masalah ini prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
mengambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seorang,
9Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 17.
10Lexi J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002)
cet. 13, h. 135.
11Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, h. 105.
10
lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta
yang tampak, atau sebagaimana adanya. 12
2. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data ini, terbagi kedalam dua bagian yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer yaitu kitab-kitab fiqih dan hadis. Sedangkan data-
data sekunder diambil dari kitab-kitab yang berkaitan dengan permasalahan
yang sedang diangkat dengan menggunakan sumber-sumber baik berupa karya
ilmiah, berupa buku-buku yang relevan, serta karya tulis lainnya yang
membahas permasalahan terebut.
1. Instrument pengumpulan data
Dengan membaca buku literatur yang relevan dengan topik masalah
dalam penelitian ini. Pengumpulan data berasal dari artikel, buku-buku,
majalah-majalah, serta informasi-informasi tertulis lainnya yang
berhubungan dengan pembahasan dalam skripsi ini.
2. Metode analisis data
Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif-analitis
dan komparatif. Metode deskriptif yaitu sebagai upaya mengkaji kemudian
memaparkan keadaan objek yang akan diteliti dan merujuk pada kata-kata
yang ada (baik primer maupun sekunder) kemudian menganalisanya secara
proporsional dan komprehensif sehingga akan tampak jelas perincian
12Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas
Press, 2007), h. 67
11
jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan dan
akan menghasilkan pengetahuan yang valid.
3. Teknik penarikan kesimpulan
Pada penelitian ini dengan menggunakan deduktif dan induktif.
Induktif yaitu menarik kesimpulan yang bersifat umum dari uraian-uraian
yang bersifat parsial yang terdapat dalam penelitian ini. Deduktif yaitu
dengan menarik kesimpulan bersifat khusus dengan menggunakan ukuran
dan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang bersifat umum.
4. Teknik penulisan
Penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta terbitan tahun 2013.
E. Sistematika Penulisan
Penelitian didefinisikan oleh banyak penulis sebagai suatu proses yang sangat
sistematik. Penelitian menggunakan metode ilmiah, penyelidikan pengetahuan
melalui metode pengumpulan data, analisis dan interpretasi data. Dikaitkan dengan
metode ilmiah, suatu proses penelitian sekurang-kurangnya berisi suatu rangkaian
urutan langkah-langkah.13
13 Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan: kuantitatif dan kualitatif, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008), h. 5
12
Penulisan ini dilakukan melalui langkah-langkah yang sistematis dan terarah
agar hasilnya dapat diperoleh secara optimal. Pembahasan ini dituangkan dalam
beberapa bab sebagai berikut:
Bab satu berisi pendahuluan yang melingkupi latar belakang penulisan skripsi
ini, selanjutnya penulis melakukaan identifikasi terhadap masalah yang sedang
penulis bahas. Untuk menghindari pembahasan yang teralalu luas maka penulis
berusaha membatasinya dengan batasan yang penulis rasa cukup disertai dengan
tujuan dan manfaat dari penelitian ini. Dan terakhir, penulis membuat sistematika
penulisan agar penelitian ini teratur dan terarah.
Bab dua berisi tinjauan umum tentang Ibadah, tasyabbuh, dasar-dasar
tasyabbuh kemudian hukum tasyabbuh dan bentuk-bentuk tasyabbuh.
Bab tiga berisi tentang hukum mengikuti perayaan hari besar non-muslim,
hukum memberi salam dan mengucapkan selamat pada hari raya non-muslim.
Bab empat berisi hubungan sosial muslim dengan non-muslim, alasan dan
dampak, serta analisa mengenai hukum mengikuti peribadatan non-Muslim.
Pada bab lima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan pembahasan tema
yang dipilih dan saran-saran.
13
BAB II
TASYABBUH
A. Pengertian dan Hakikat Ibadah
a. Pengertian Ibadah
Menurut ulama tauhid mengatakan bahwa ibadah adalah meng-Esakan
Allah Swt. Dengan sungguh-sungguh dan merendahkan diri serta menundukan
jiwa setunduk-tunduknya kepada-Nya.1 Pengertian ini didasarkan pada firman
Allah Swt :
ٱعبدواٱو تشكوالله ل )٤:٦٣/النساء)و Artinya : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun”.
Menurut ulama fiqih, ibadah adalah semua bentuk pekerjaan yang
bertujuan memperoleh keridlaan Allah Swt. Dan mendambakan pahala dari-Nya
di akhirat.
Secara bahasa, ibadah berasal dari kata عبد - يعبد masdarnya عبادة yang
berarti mengesakan; menyembah; mengabdi; menghinakan diri kepada Allah
SAW.2 Ibadah dalam arti taat diungkapkan dalam Al-Qur’an, antara lain dalam
QS Yasin 36 : 60:
1Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam Islam (Bogor:
Kencana, 2003), h. 135.
2 Kamus al-Azhar, (Jakarta Selatan: Senayan Publising, 2010), h. 486.
14
14
ت عبدواأ نلا
أ ء اد م ب ن كمي دإل عه
إناهٱل مأ ن يط ل كۥلشا بني م دو يس)مع
/٦٣:٣٦.( Artinya : “Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kamu wahai bani adam
supaya kamu tidak menyembah setan, sesungguhnya setan itu musuh yang nyata
bagi kamu”.
Ibadah ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya ada lima macam , yaitu:
1. Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan (ucapan lidah), seperti berdzikir,
berdo’a, tahmid, dan membaca Al-Qur’an.
2. Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan wujud perbuatannya,
seperti membantu atau menolong orang lain, jihad, dan tajhiz al-janazah
(mengurus jenazah).
3. Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya,
seperti shalat, zakat, dan haji.
4. Ibadah yang tata cara pelaksanaannya berbentuk menahan diri seperti
puasa, iktikaf, dan ihram.
5. Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang
telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan seseorang
yang berhutang kepadanya.1
Kewajiban-kewajiban ini dinamakan syiar-syiar karena merupakan tanda dan
simbol penampilan yang membedakan kehidupan individu Muslim dan
1Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam Islam, h.
137.
15
15
kehidupan non-Muslim sebagaimana membedakan masyarakat Islam dan
masyarakata non-Islam.2
a. Hakikat Ibadah
Menumbuhkan kesadaran diri manusia bahwa ia adalah makhluk Allah
Swt. yang diciptakan sebagai insan yang mengabdi kepada-Nya. Hal ini seperti
firman Allah Swt. Dalam QS al-Dzâriyat [51]:56:
ل عبدون إلا نس و ٱل نا ل قتٱل اخ اريات )و م (٦٣:٦٥الذ
Artinya : Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.
Pada Hakikatnya manusia itu diperintahkan untuk mengabdi kepada Allah
Swt. Karena itu, tidak ada alasan baginya untuk mengabaikan kewajiban
beribadah kepada-Nya.3 Allah Swt. Berfirman dalam QS Al-Baqarah [2]:21:
ا ه ي أ باكمٱنلااسٱي كمو ٱعبدوار ل ق يخ لاكمت تاقون ٱلا بلكمل ع منق ين لا
(٢٥ :٢البقرة /)Artinya : “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang sebelummu agar kamu bertaqwa”.
2Yusuf Al-Qardhawy, Anatomi Masyarakat Islam, Penerjemah Setiawan Budi Utomo (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 1999), h. 42.
3 Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam Islam, h.
139.
16
16
Pada prinsipnya ibadah merupakan sari ajaran Islam yang berarti
penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah Swt.4
B. Larangan Tasyabbuh dalam Islam
Tasyabbuh (التشبه) menurut bahasa adalah : الشئ الشئ : ماثله أشبه
“menyerupai” sesuatu terhadap sesuatu atau saling menyerupai. Kata-kata تشبه
berarti si fulan menyerupai hal tersebut atau serupa dan selaras dengan orang بغيره
lain, orang yang menyimpang di dalam perbuatan. التشبيه : “perumpamaan”.
Sebagian ulama menerangkan “bertemunya satu perkara dengan perkara lain
karena sifat yang mempunyai bagian antar keduanya." Seperti menyerupainya
seorang laki-laki dengan macan di dalam hal keberanian.5
Bagi al-Munawi, tasyabbuh bermaksud berhias seperti mana mereka
berhias, berusaha mengenali sesuai dengan perbuatan mereka, berakhlak dengan
akhlak mereka, berjalan seperti mereka berjalan, menyerupai mereka dalam
berpakaian dan sebahagian perbuatan mereka. Adapun tasyabuh yang sebenarnya
adalah bertepatan dari segi aspek zahir dan batin.6
4Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam Islam, h.
140. 5al-Mu’jam al-Wâsit. (tp., 1985), h. 490.
6Muhammad ‘Abd Ra’uf al-Munawi, Faid al-Qadir Syarh Jami’ al-Saghir (Beirut Dar al-
Ma’rifah, 1408 H), h. 6.
17
17
Berkaitan dengan larangan tasyabbuh ini, Allah SWT berfirman:
ل نت رض و ى ٱلهد هو ىٱللا هد قلإنا ملات هم ت تابع تا ح ى ر ٱنلاص ل ٱل هودو نك ع ي ل منو ٱللا من ال ك ٱلعلمم من اء ك يج ٱلا اء همب عد هو
أ ل ئنٱتاب عت ن صريو ل و
)٢:٥٢٦/ابلقره)Artinya : “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu
hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah
itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan
mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu”.
Pada ayat di atas, Allah SWT memberi khabar pada kata “millatahum”
maksudnya adalah agama mereka.7, tetapi ketika melarang, Allah SWT
mengungkapkannya dengan kata “ahwa’ahum” karena kaum Nasrani dan yahudi
tidak akan senang kepada kamu kecuali mengikuti agama mereka secara mutlak.8
Termasuk dalam mengikuti adalah dengan menyerupai mereka karena
menyerupai mereka berarti mengikuti keinginan mereka. Maka, orang-orang kafir
senang jika jika orang-orang Islam menyerupai sebahagian daripada urusan mereka.
Ini disebabkan dengan menyerupai satu urusan, boleh menjadi pendorong untuk
menyerupai dalam hal-hal lain.9
7Imam Jalalludin Al-Mahalli & Imam Jalludin As- Suyuthi, Tafsir al-Jalâlain berikut asbâbun
nuzûl ayat, Penerjemah Bahrun Abu Bakar, vol. 1 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996), h.63.
8Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm: lil Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm, (Dar El-Fikr
Beirut-Libanon, 2003), h. 19.
9Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm, h. 19.
18
18
Berkaitan dengan sikap orang-orang muslim terhadap non-muslim, suatu
ketika sekelompok orang Yahudi datang menemui Rasulullah SAW mereka berkata,
“As-Saamu ‘laikum.” (semoga kematian menimpamu menjawab). Maka Aisyah
berkata, “aku memahami kalimatnya.” (semoga kematian dan laknat menimpa
kalian). Maka Rasulullah SAW berkata, “Tenanglah wahai Aisyah. Sesungguhnya
Allah mencintai kelembutan dalam setiap urusan.” Aisyah berkata, “wahai
Rasulullah, apakah anda tidak mendengar apa yang mereka katakan?” Rasulullah
SAW menjawab, “Aku telah berkata ‘wa’alaikum’ (dan bagimu juga).10
Berkaitan dengan dengan sikap terhadap non muslim, Allah SWT berfirman:
وه نت ب ركمأ ندي ل ميرجوكمم ينو تلوكمفٱل ل ميق ين نٱلا ع كمٱللا ى نه ي ملا
ٱلمقسطني يب ٱللا همإنا تقسطواإل )٣٦:٨/الممتحنة)و Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil”.
Ketika berbicara tentang sikap adil, ayat yang sama juga mengantarkan pada
hal yang menyinggung sikap adil ini dan berbuat baik kepada orang sepanjang dia
tidak memerangi atau mengusir kaum muslimin.11 Seorang Filosofis Mr. N.E. Algra
mengatakan bahwa keadilan itu adalah persoalan kita semua dalam suatu
10Sa’id bin ShabirAbduh, Muzilul Ilbas Hukum Mengkafirkan dan Membid’ahkan, Penerjemah
Nurkholis (Jakarta: Griya Ilmu, 2005), h. 324.
11Jamȃl al-Dȋn ‘Athiyyah Muhammad, Fiqh Baru bagi Kaum Minoritas, Penerjemah Shofiyullah
(Bandung: Penerbit Marja, 2006), h.193.
19
19
masyarakat setiap anggota berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban itu. Orang
tidak boleh netral apabila terjadi sesuatu yang tidak adil.12
Dengan demikian, jelaslah bahwa “berlaku adil” adalah manhaj Allah dan
syari’at-Nya. Allah SWT mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-
Nya agar manusia berlaku adil. Dengan keadilan, bumi dan langit akan menjadi
makmur. Apabila tampak tanda-tanda keadilan dan tampak keadilan itu dengan cara
apapun, maka itulah syari’at Allah dan rasul-Nya.13
Sunnah Allah juga memutuskan bahwa segala perkara manusia dalam dunia
yang dilaksanakan dengan sikap adil sekalipun perkara dosa lebih sering sukses
dibandingkan perkara yang dilaksanakan dengan sikap zalim sekalipun tidak dalam
perkara dosa. Oleh karena itu, ada yang berkata: “sesungguhnya Allah akan
menegakkan negara yang adil sekalipun negara kafir, dan Dia tidak akan
menegakkan negara yang zalim sekalipun negara itu negara muslim.” Ada juga yang
berkata: “dunia akan abadi dengan keadilan walalupun bersama kekafiran, dan tidak
akan abadi dengan kezaliman walaupun bersama keislaman. Sebab, keadilan adalah
sistem segala sesuatu. Maka apabila perkara dunia dilaksanakan dengan adil, pasti
akan sukses sekalipun pelakunya di akhirat kelak tidak mendapatkan bagian apa-
12Lili Rasjidi & B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum- Mazhab dan Refleksinya (Bandung : Remadja
Karya Offset, 1989), hal. 25.
13Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, Penerjemah Faturrahman A. Hamid, (Jakarta: Amzah,
2005), h. 204.
20
20
apa, dan apabila tidak dilaksanakan dengan adil, pasti tidak akan sukses sekalipun
pelakunya di akhirat kelak mendapatkan balasan atas keimanannya.14
C. Dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits
Allah SWT berfirman :
ل ي كونواأ ل و ٱل ق من
ل ن ز ا و م ٱللا لكر وبهمقل ع ش نت
أ نوا ء ام ين للا ن
ي أ م
نهم م ثري ك و قلوبهم ت س ف ق د م ٱل ل يهم ع ال ط ف بل ق من ب ٱلكت وتوا
أ ين ٱلا ك سقون )٦٥:٥٣/الديد)ف
Artinya : “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk
tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun
(kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya
telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas
mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah
orang-orang yang fasik”.
Allah SWT berfirman, “dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya telah diturunkan Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang
panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras”. Allah malarang orang-orang
menyerupai orang-orang yang telah menerima al-Kitab sebelum mereka, dari
kalangan Yahudi dan Nasrani. Ketika masa telah berlalu lama, maka diubahlah
Kitab Allah dengan tangan-tangan mereka sendiri dan mereka menukarnya dengan
harga yang teramat sedikit dan melemparkannya dibelakang punggung mereka, dan
mulailah menghadapkan diri terhadap pendapat-pendapat yang bersimpang siur.
Mereka bertaklid kepada beberapa orang laki-laki mengenai urusan agama mereka
14Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h, 207.
21
21
dan menjadikan pendeta-pendeta dan uskup-uskup mereka sebagai tuhan-tuhan
selain Allah. Karena itulah hati mereka menjadi keras, mereka tidak lagi mau
menerima nasihat. Hati mereka tidak menjadi lunak ketika mendengar berita baik
atau kabar ancaman. “Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang
fasik.” Yaitu, fasik di dalam amal-amal mereka. Hati-hati mereka rusak dan amal-
amal mereka semuanya batil. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT.
فون ي ر سي ة لن اقلوب همق ع همو ج نا همل ع ق يث ان قضهمم و اضعهٱف بم نما م ع ن سواۦلك و ظ روابهح اذك ما )٦:٥٦/دةئالما)ام
Artinya : “(tetapi), karena mereka melanggar janjinya, kami kutuk mereka dan kami
jadikan hatinya keras membatu. Mereka semua mengubah perkataan (Allah) dari
tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang telah
mereka diperingatkan dengannya”.
Itulah sebabnya Allah SWT melarang orang-orang beriman bersikap sama
dengan mereka dalam perkara apa pun, baik masalah pokok ataupun masalah
furu’.15
Nabi Muhammad SAW bersabda:
حدثناعثمانبنايبشيبةاخبناابوانلرضاخرناعبدالرمحنبنثابتاخبناحسان):لمسصىلاللعليهوبنعطيةعنايبمنيبالريىشعنابنعمرقالقالرسولل
16.(ابو داودرواه)(بقومفهومنهم همنتشب
15Muhammad Nasib al-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, vol. 4
(Jakarta: Gema Insani Press), h. 599ز
16Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ‘Aunu al-Ma’bud bi syarh sunan Abu Daud, h. 165.
22
22
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah
menceritakan kepada kami Abu AnNadhr berkata, telah menceritakan kepada kami
'Abdurrahman bin Tsabit berkata, telah menceritakan kepada kami Hassan bin
Athiyah dari Abu Munib Al Jurasyi dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihiwasallam bersabda: "Barang siapa bertasyabuh (menyerupai)
dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka".
Muhammad Ibn Abi Syaibah dalam Musnafnya,
قالثناحسانبنعطيةعنحدثناهاشمبنالقاسمقالثناعبدالرمحنبنثابتإن":قالرسولاللصىلاللعليهوسلم:أيبمنيبالريشعنابنعمرقال
اللجعلرزيقحتترميحوجعلاللةوالصغارىلعمنخالفأمريمنتشبه .17رواه ابو داود() "بقومفهومنهم
Artinya : “dari Abu Munib al-Jarsyi, dari ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW
beersabda: Sesungguhnya Allah menjadikan rizkiku di bawah bayangan pedang,
dan dijadikan hina dan kecil barang siapa yang menyalahi urusanku, dan barang
siapa yang menyerupai suatu kaum dia adalah dari kalangan mereka”.
Imam at-Tirmidzi berkata :
للأنرسلا:حدثناقتيبةحدثناابنلهيعةعنعمروبنشعيبعنأبيهعنجدهمنتشبهبغريمن ا:صلاللعليهوسالمقال بالهودولبانل.ليسمن ا .صارلتشبهوا
:انلصاروتسليم,الشارةبالصابع:فإنتسليمالهود يذهالرتمروا)الشارةبالكف ).18
Artinya : “bukanlah termasuk golongan kami orang yang menyerupai dengan selain
kami. Janganlah menyerupai orang yahudi dan orang Nasrani. Maka apabila
berdamai dengan yahudi isyaratnya dengan jari-jari dan apabila berdamai dengan
Nasrani isyaratnya dengan telapak tangan.”
17Muhammad Ibn Abi Syaibah, al-Musnaf Ibn Abi Syaibah, juz. 7, ( Dar El-Fikr, t.t), h. 457.
18Sunan at-Tirmidzi, jil. iv (Dar al-Fikr, t.t), h. 159.
23
23
Hadits-hadits lain berkenaan dengan Tasyabbuh:
1. Syariat makan sahur untuk membedakan dengan ahli kitab.
قال وسل م رسولاللصىلاللعليه العاصان وبن بني:عنعمر ما فصلحر 19(.رواهمسلم)صيامناوصياماهلالكتابالكةالس
Artinya : Dari ‘Amru bin ‘Ashr.a., Rasulullah SAW bersabda: “pebedaan
puasa kita dengan puasa ahli kitab, ialah makan sahur”.
2. Disyariatkan mencukur kumis dan memelihara jenggot untuk membedakan
dengan kaum musyrikin.
Rasulullah SAW bersabda:
ان هلبنعثم ث ن اس دا نح ث ن ان افعع دا دح بنم ما ر نعم يعع ن اي زيدبنزر ث دا ح
ق ال ر عم :ابن المشكني الفوا خ لام و س ل يه ع اللا ىلا ص اللا ر سول حفواق ال أ
وفواالل يح أ و و ارب 20(.رواهمسلم)الشا
Artinya : “meriwayatkan kepada kami Sahal Ibn Utsman, meriwayatkan Yazid
Ibn Zura’ dari Umar Ibn Muhammad meriwayatkan kepada kami Nafi dari Ibn
Umar berkata: Rasulullah SAW bersabda berbedalah kalian dengan orang-
orang musyrik cukurlah kumis dan panjangkan jenggot”.
3. Larangan membangun masjid di kuburan karena menyerupai Ahli al-Kitab.
Rasulullah SAW bersabda:
19Shahih Muslim, jil. 2, hadis no. 2096 (Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t. ), h. 770.
20Sahih Muslim, jil. 1, (Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t. ), h. 377.
24
24
ب مسو هو ني موت أ بل ق لام ل يهو س ع اللا ىلا ص معتانلابا بق ال س ث نجند دا ح
ن أ اللا إل
أ بر أ قولإن ي ليالا نخ ق داتا ذ اللا ت ع ال ليلف إنا لمنكمخ ي كون
ب كر ب ا تا ذتأ ل ليالا تخ ما
أ من ا متاخذا كنت ل و و ليالا خ اهيم إبر اتا ذ ا م ك تاخذون نواي بل كمك ق ن نك م إونا ل
أ ليالا خ اجد س اليهمم نبي ائهمو ص
أ قبور نذ لك اكمع نه
أ إن اجد س م ت تاخذواالقبور ف ال ل
(.رواهمسلم) 21أ
Artinya : Dari Jundab r.a., “lima hari sebelum Rasulullah SAW. Meninggal,
aku mendengar beliau bersabda: aku tidak hendak mengambil salah seorang
dari kamu menjadi sahabat karibku, karena Allah telah mengambilku jadi
sahabat seperti Ibrahim. Kalaulah aku dibolehkan mengambil sahabat karib
Siantar umatku, tentu kuambil Abu Bakar. Ketahuilah! Sesungguhnya umat
yang sebelum kamu, mengambil kuburan para Nabi dan orang-orang saleh
mereka menjadi masjid. Karena itu, jangan sekali-kali kamu ambil kuburan
menjadi masjid. Aku sungguh melarang kamu berbuat demikian”.
4. Larangan berpakaian seperti pendeta
قرأتىلعمالكعننافععنإبراهيمبنعبداللابنحدثنايىيبنيىيقالحننيعنأبيهعنىلعبنأيبطابلأنرسولاللصىلاللعليهوسلمنىهعن
رواه)22.لبسالقيسوالمعصفروعنتتمالهبوعنقراءةالقرآنفالركوع (مسلم
Artinya : “Dari ‘Ali bin Abi Thalib r.a., katanya Rasulullah Saw telah melarang
berpakaian seperti pendeta dan memakai pakaian tercelup dengan warna
kuning, memakai cincin emas dan membaca Qur’an dala ruku’.”
21Shahih Muslim, jil. 1, hadis no. 531(Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t. ), h. 377.
22Shahih Muslim, jil. 3, hadis no. 2078 (Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t. ), h. 1648.
25
25
D. Hukum Tasyabbuh Terhadap Non-Muslim
Ibn Taimiyyah merumuskan dua penyerupaan yang bukan termasuk ke dalam
syariat Islam :
a. Amalan tasyabbuh yang dilakukan dengan ilmu pengetahuan bahwa ia
merupakan amalan khusus bagi agama lain. Pekerjaan ini dilakukan dengan
tujuan mengikuti/setuju dengan agama tersebut. Akan tetapi amalan ini
hanyalah sedikit. Ia juga dikelabui di dalam perbuatan tersebut karena serupa
manfaat dunia dan akhirat. Semua ini jangan ragu-ragu dalam
mengharamkannya. Karena membawa membawa kepada dosa besar atau
menjadikan kekufuran.
b. Orang yang mengerjakan tidak mengetahui hakikat dari apa yang ia kerjakan,
yaitu terbagi dua:
i) Amalan yang pada dasarnya diambil daripada agama lain. Yang dikerjakan
dalam keadaan yang serupa ataupun dengan beberapa perubahan dari segi
waktu, tempat, perbuatannya dan lain-lain. Inilah tasyabbuh yang
melibatkan masyarakat umum seperti ‘khamis raya’ atau perayaan krismas
orang-orang Nasrani. Maka sesungguhnya mereka yang terlibat dalam
amalan tasyabbuh ini biasanya anak-anak dari orangtuanya dan
kebanyakan dari mereka tidak mengetahui asal-usul dari perbuatan
tersebut. Maka dikategorikan seperti yang pertama apabila tidak mendapat
perhatian.
26
26
ii) Amalan yang tidak diambil dari orang kafir pun tetapi mereka mengerjakan
amalan yang sama secara kebetulan. Maka bagi perbuatan ini tidak
dikatagorikan sebagai amalan tasyabbuh. Akan tetapi ia meluputkan
manfaat membedakan diri dari mereka. Status makruhnya atau haramnya
perbuatan ini tergantung atas dalil-dalil syara’ meskipun ia merupakan
bentuk dari perbuatan tasyabbuh. Ini karena penyerupaan kita (orang
Islam) tidak lebih utama daripada penyerupaan mereka terhadap kita. Maka
disunnahkan bagi umat Islam untuk meninggalkan tasyabbuh untuk
kemaslahatan perbedaan. Seperti memanjangkan janggut, memakai alas
ketika salat dan sujud. Perbuatan ini dapat menjadi makruh seperti
mengakhirkan berbuka puasa.23
E. Bentuk-bentuk Tasyabbuh
Dalil-dalil menunjukan terhadap penyerupaaan dengan non-muslim dalam
semua yang dilarang darinya, dan perbedaan di dalam hal yang disyariatkan ada
dalam hal yang wajib dan adapula dalam hal yang sunah dalam beberapa tempat.
dan telah diterangkan perintah-perintah apa saja yang telah Allah dan Rasul-nya
bedakan dalam syariat, begitu juga dalam pekerjaan yang dengan niat menyerupai
dengan mereka (non muslim) atau tidak dengan niat.
Bentuk-bentuk yang dapat menyerupai mereka ada 3 bagian. Pertama, bagian
yang disyariatkan dalam agama kita dan juga disyariatkan bagi mereka non-muslim
23Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirȃt al-Mustaqȋm: Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm (Dar El-Fikr Beirut-
Libanon, 2003), h.203
27
27
atau kita tidak tahu bahwa hal tesebut disyariatkan pula bagi mereka dan tetapi
sama-sama kita kerjakan. Bagian yang tadinya disyariatkan kemudian di nasakh
dalam Al-Qur’an. Bagian yang tidak ada dalam syariat sama sekali dan itu adalah
hal yang baru. Dan inilah 3 bagian tersebut:
a. Pertama, sesuatu yang disyariatkan baik bagi muslim maupun non muslim atau
disyariatkan kepada kita dan mereka mengerjakannya. Seperti puasa ‘asyuro
atau sholat dan puasa. Maka di sini terdapat perbedaan dalam hal
mengamalkannya, seperti diperintahkan bagi kita untuk berbuka dengan yang
manis-manis dan pada saat magrib, berbeda dengan Ahli kitab. Diperintahkan
bagi kita untuk mengakhirkan sahur, berbeda dengan Ahli kitab. Seperti
diperintahkan bagi kita untuk Sholatdiatas alas, berbeda dengan sholatnya
orang Yahudi. Dan masih banyak lagi dalam ibadah dan kebiasaan.24
Rasulullah SAW bersabda :
رين لغ ق الشا او اللاحدنل لام ل يهو س ع اللا ىلا ص ر سولاللا 25.(رواهابوداود)ا ق ال
Artinya : “Rasulullah SAW bersabda: liang Lahat bagi kita, dan diluar liang
Lahat untuk selain kita.”
b. Kedua, sesuatu yang disyariatkan kemudian dinasakh. Seperti hari Sabtu,
menjawab sholat atau puasa hari Sabtu. Janganlah melaksanakan hal ini karena
24Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirȃt al-Mustaqȋm, h.166.
25Abu Daud, Sunan Abu Daud. Kitab Janȃiz, bab al-Lahd, jil. 2, (Dar al-Fikr, t.t ), h, 231
28
28
ini adalah ibadah wajib bagi mereka (yahudi), atau segala sesuatu yang
diharamkan bagi mereka.
Hari-hari besar yang disyariatkan dalam ibadah, seperti sholat atau zikir,
atau sodaqoh/zakat, atau ibadah haji dan juga adat istiadat. Dan jangan
mengikuti pekerjaan yang membuat kita meninggalkan amal ibadah wajib.
Rasulullah SAW bersabda:
ص ر سولاللا اعيدن اق ال ذ او ه ق ومعيدا لك ب اب كرإنا
ي اأ لام ل يهو س ع اللا ىلا
26(.رواهباري)
Artinya : “Rasulullah SAW bersada : wahai Abu Bakar, sesungguhnya bagi
setiap kaum terdapat hari raya, dan inilah hari raya kita (Idul Fitri dan Idul
Adha).”
c. Ketiga, sesuatu yang baru dari ibadah atau adat kebiasaan atau dari keduanya.
Yaitu lebih buruk dari yang paling buruk. Maka apabila ada orang muslim
membuat sesuatu yang baru adalah sangat buruk. Maka, bagaimana mungkin
menjalankan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Nabi SAW?...sesuatu yang
baru itu bagi orang-orang kafir. Maka menyetujuinya adalah buruk.27 Tidak
mengucapkan salam kepada Ahlu Dzimmah.
26Matan Sahih al-Bukhori. Kitab Jum’ah, vol. 1 (Jiddah: penerbit al-Haramain, tp. t), h.170.
27Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirȃt al-Mustaqȋm, h.169.
29
29
Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda:
م ال ىبالسا ار انلاص ل و ءواال هود ت بد ل ق ال لام ل يهو س ع اللا ىلا ص اللا ر سول نا أ
ر همفط د ح ضي قهف إذ ال قيتمأ
أ وهإل ر 28 يره(رواهابوهر)يقف اضط
Artinya : “sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : janganlah kalian mulai
mengucapkan salam kepada orang-orang yahudi dan Nasrani, dan jika kalian
bertemu dengan salah seorang diantara mereka di jalan, maka pepetlah
jalannya itu ke arah yang lebih sempit.”
Dari Annas r.a. ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda:
بداللا نع بندين ارع بداللا نع الكع ن ام خب أ بنيوسف بداللا ث ن اع دا ح
لام س إذ ا ق ال لام و س ل يه ع اللا ىلا ص اللا ر سول نا اأ نهم ع اللا ر ض ر عم بن
ل يكمال ل يك ع قلو ع ف ل يك امع دهمالسا ح قولأ اي 29.(يرواهبار)هودف إنام
Artinya : “diriwayatkan dari Abdullah Bin Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Jika ahlu kitab mengucapkan salam kepadamu maka jawablah ‘Wa
‘Alaikum’.
Selain dari pada itu terdapat beberapa kaidah umum yang telah
digariskan oleh para ulama yang dapat menjadi kriteria utama bagi
mengklasifikasikan sebuah amalan sebagai tasyabbuh dan dalam menetapkan
sikap yang perlu diambil dalam berhadapan dengan isu ini. Antara kriteria
tersebut adalah:
28Shahih Muslim, Kitab as-Salâm jil. 4, hadis no. 2167 (Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t. ), h.
1707. 29Al-Bukhori, Matan Sahih al-Bukhori, Kitab al-Isti’zȃn bab Ifsyȃus as-Salȃm, vol. 1, (tp., t.t), h.
91.
30
30
1. Tidak dikira tasyabbuh melainkan dengan niat.
Ini merujuk kepada hadis yang menunjukan setiap amalan tergantung
kepada niatnya.30 Maksud terpenting dari disyari’atkannya niat adalah
untuk membedakan ibadah dari adat, dan membedakan ibadah dari ibadah
lainnya. Contoh, menahan diri dari perbuatan yang membatalkan puasa,
adakalnya hal itu dilakukan karena memang pantangan terhadap makanan,
karena membahayakan, karena proses pengobatan, karena memang tidak
butuh terhadapa makanan tersebut, atau karena diet. Duduk di Masjid
adakalanya untuk istirahat, tujuan untuk iktikaf, melihat-lihat, dan lain-
lain.31
2. Diantara yang mereka lakukan di hari raya mereka, ada berupa kekufuran,
ada yang sekedar haram, namun ada juga yang mubah, yakni bila terlepas
dari kerusakan yang ditimbulkan dari penyerupaan diri tersebut. Perbedaan
antara satu dengan yang lain pada umumnya mudah dibaca. Namun
seringkali tidak nampak jelas bagi orang-orang awam.32
30Al-Bukhori, Sahih al-Bukhori, Kitab Bad’i al-wahyi, Bab kaifa Bad’i al-Wahyi Ila Rasulillah,
no. hadis: 1; Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Imarah, penerjemah. Ma’mur daud, jil. 4, no. hadis; 1861,
(Jakarta: Fa. Widjaya, 1986), h. 52.
31Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah: dalam perspektif fiqh, (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, dengan Anglo Media, 2004), h. 20.
32Kaidah ini boleh didapati dalam Ibn Taimiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqim, h. 201.
31
31
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah menyatakan hikmah dalam sikap
membedakan dengan orang kafir yang dapat menyokong kaidah ini dalam
karya beliau Ahkam Ahl al-Dzimmah, yaitu :
Demi mencapai perbedaan yang menyeluruh (dengan orang bukan Islam),
dan tidak menyerupai mereka dalam penampilan luaran, dan melaluinya dapat
mengelakkan daripada penyerupaan dari aspek batin. Ini karena penyerupaan
dalam salah satu dari aspek berkenaan akan mengundang kepada penyerupaan
kepada aspek yang lainnya. Ini merupakan hal diketahui secara pemerhatian.
Tidaklah dimaksudkan dengan perubahan dan perbedaan dalam aspek pakaian
dan selainnya hanya untuk membedakan orang kafir dan Muslim semata,
bahkan ia dibina atas beberapa objektif lain. Antara objektif yang utama ialah
bagi meninggalkan segala faktor yang dapat mengakibatkan penyetujuan dan
penyerupaan dengan mereka secara batin. Nabi SAW mengajarkan kepada
umatnya untuk meninggalkan penyerupaan dengan orang bukan Islam.33
3. Segala bentuk hari raya dan hari besar secara umum berpengaruh besar
pada agama dan dunia seseorang. Sebagaimana pengaruh zakat, shaum dan
haji.34 Oleh sebab itu seluruh syariat telah mengajarkannya :
Firman Allah SWT :
همن اسكوه كا نس لن ام ع ةيج ماأ (٢٢:٣٥/الج)ل ك
33Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahlu al-Zimmah, (Dar al-Hadis, 2005), 515.
34Ibnu Taimiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqim, h. 198.
32
32
Artinya : “Bagi tiap-tiap umat telah kamui tetapkan syari’at tertentu yang
mereka lakukan,”
Seorang hamba yang yang membiaskan diri melakukan amal
perbuatan yang tidak disyariatkan sebagai bagian dari kebutuhannya,
hasratnya untuk mengamalkan dan mengambil manfaat dari amal
perbuatan yang disyariatkan otomatis akan berkurang, selaras dengan
banyak sedikitnya amal pengganti yang ia biasakan.35
35Ibnu Taimiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqim, h.198.
33
BAB III
HUKUM MENGIKUTI PERAYAAN HARI BESAR NON-MUSLIM
A. Hukum Mengikuti Perayaan Hari Besar Non-Muslim
Secara garis besar, orang-orang non-muslim disini dibagi menjadi 4
kelompok: Kelompok Ahli Kitab, Kelompok Atheis dan Murtad, Kelompok
Paganis (penyembah berhala) dan Musyrikin, dan Kelompok orang-orang
munafik.
a. Kelompok Ahl al-Kitȃb
Siapakah yang disebut ahli al-kitâb? Mereka adalah orang-orang yang
beragama berdasarkan salah satu kitab samawi, dan mengikuti salah seorang
nabi. 1 Menurut Maududi, Imam as-Syafi’i memehami istilah Ahl al-Kitȃb
sebgai orang Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau, antara lain adalah bahwa Nabi
Mûsȃ dan Isa as. Hanya diutus kepada mereka, bukan kepada bangsa-bangsa
lain.2 Orang yang tetap berpegang pada agama yang dibawa nabinya sebelum
kenabian Muhammad SAW. Atau sesudah kedatangan beliau tapi dakwah Islam
belum sampai kepadanya, maka dia adalah orang yang Mukmin. Sedangakan
Kafir menurut bahasa adalah orang yang menolak atau mengingkari sesuatu.
Dalam arti teologis, sebutan kafir diberikan oleh masyarakat suatu agama
1Abullah Nashih 'Ulwan, Sikap Islam Terhadap Non Muslim, Penerjemah Kathur Suhardi,
(jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), h. 32.
2M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab-1001 Soal Keislaman yang patut anda
ketahui (Jakarta : Lentera Hati, 2008), h. 595.
34
34
kepada orang lain yang menolak atau tidak mempercayai seruan pembawa
agama itu. Dalam teologi islam, sebutan kafir tersebut diberikan kepada siapa
saja yang mengingkari atau tidak percaya kepada kerasulan Nabi Muhammad
(570-632 M) atau dengan kata lain tidak percaya bahwa agama yang diajarkan
olehnya berasal dari Allah SWT, pencipta alam. Kendati orang Kristen atau
Yahudi meyakini adanya Tuhan, mengakui adanya wahyu, membenarkan
adanya akhirat, dan lain-lain, mereka dalam teologi Islam tetap saja dapat diberi
predikat Kafir, karena mereka menolak kerasulan Nabi Muhammad agama
wahyu yang dibawanya.1
Dari sini akan muncul satu pertanyaan, mengapa ahli kitab ini tetap kufur,
padahal sudah mengetahui dakwah Nabi Muhammada SAW? Bukankah
mereka pengikut salah satu seorang nabi? Bukankah mereka memeluk salah
satu agama samawi? Pertanyaan yang sangat mengena, namun kalau
memahami hakikatnya secara mendalam, tentu tak akan ada kebimbangan
dalam diri orang yang bertanya seperti itu, dan dia boleh tarik kembali
perkataannya.
Sudah kita uraikan diatas bahwa risalah Islam adalah penutup seluruh
risalah sekaligus mencakup semua syariat yang terdahulu. Risalah Islam
mempunyai keistimewaan yaitu bersifat universal untuk seluruh alam, abadi
dan aktual sepanjang zaman. Kitab- kitab samawi yang sebelum islam yang
1Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Djambatani, 1992),
h. 508.
35
35
masih beredar diantara kelompok Yahudi dan Nashara sudah bermacam-macam
versinya, saling berbeda dan banyak menyimpang atau dirubah. Sedangkan Al-
Qur'an tak akan pernah dapat dirubah ataupun diselewengkan.2 Firman Allah
SWT :
فظونح ۥ لححح كرح إونا لح لحا ٱلذ ن نحز )٥١:٩/احلجر ) إنا نح
Artinya : "”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" .
Syariat Islam juga tidak akan bisa disamai oleh undang-undang atau
tatanan-tatanan lain.
ن ح وحمححن منح أ حك ٱسح و م لل )١:١٥املائدة /)يوقنونح م ا لذقح
Artinya : "dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin."
Atas dasar ini, sudah seharusnya setiap ahli al-kitâb, baik yahudi maupun
Nashara yang telah tahu dakwah Islam untuk beriman kepada Nabi yang Ummi,
yang telah dikabarkan dalam Taurat dan Injil. Mestinya ia beriman kepada yang
tertulis dalam Al-Quran dan syariat-syariat yang ada didalamnya. Kalau tidak,
berarti mereka menyembunyikan atau menutupi apa yang tertulis dalam Taurat
maupun Injil, kitab mereka sendiri.
Ada hakikat lain yang harus diketahui setiap manusia, bahwa siapa yang
beriman kepada sebagian kitab samawi dan mengingkari sebagian yang lain,
maka ia adalah orang kafir. Karena diantara kriteria iman ialah percaya kepada
2Sikap Islam Terhadap Non-Muslim, h. 33
36
36
kitab-kitab samawi secara keseluruhan, dan beriman kepada semua nabi dan
rasul.
a. Kelompok Atheis dan Murtad
Secara bahasa, murtad adalah kembali kejalan yang semula dilauli. Secara
istilah, murtad bermakna kembalinya orang yang telah beragama Islam yang
berakal dan sudah balig pada kekafiran karena kehendaknya sendiri tanpa ada
paksaan dari orang lain.3
Banyak sekali gambaran-gambaran atau bentuk-bentuk keyakinan yang
bathil dan pemikiran menyesatkan yang dapat menyeret seseorang pada
kemurtadan dan mengeluarkannya dari Islam ini, maka setiap orang muslim
harus mawas diri dalam menaggapi keyakinan, atau perkataan atau perbuatan
yang menyembul disekitarnya. Ia harus memagari diri dengan perbuatan-
perbuatan baik, berpegang teguh pada sendi-sendi Islam dan merujuki para
ulama yang mampu menyajikan fatwa dalam rangka menyingkirkan setiap
gangguan dan intimidasi yang dapat mengotori aqidah. Sedangkan Atheisme
adalah pengingkaran terhadap dzat Illahi, menolak risalah samawi yang telah
diturunkan Allah kepada Rasul-rasul-Nya. Karena seorang Atheis tidak mau
menerima agama Allah, mengingkari rukun iman dan dasar-dasar syariat.
Meskipun Atheisme termasuk dalam kelompok pengertian kemurtadan, tapi
justru ia lebih buruk dan lebih besar bahayanya bagi individu dan masyarakat
3Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, jil. 2 (Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Arabi, 1973), h. 256
37
37
dibandingkan dengan pengertian kemurtadan lain, seperti pemeluk agama
Nashrani dan Yahudi.4
b. Kelompok Paganis (penyembah berhala) dan Musyrikin
Siapakah yang disebut Paganis itu? Mereka adalah orang-orang yang
membuat sembahan selain Allah, atau ,mengambil tuhan selain Allah. Yang
termasuk kedalam kelompok ini adalah orang-orang musyrik Arab. Penyembah
api, bintang, orang-orang majusi, dan lain-lainnya yang sama menyembah
patung.
Untuk mendekatkan pada tujuan yang dimaksud, kita batasi pembahasan
ini dalam dua kelompok, yaitu:
i. Kelompok Musyrik Arab
Dalam menghadapi kelompok ini, Islam menyodorkan 2 pilihan; Islam
ataukah perang. Jizyah pun berlaku bagi mereka. Pendapat ini didukung oleh
jumhur fiqoha, seperti Hanafiah, Imam Ahmad, Malikiah, Zaidiah, dan lain-
lain. Mereka berkata, "Jizyah bisa diambil dari setiap orang kafir selain dari
penyembah berhala dari bangsa Arab."
Sedang Al-Auza'I, Ats-Tsauri dan sebagian mazhab Malikiyyah
berpendapat bahwa Jizyah bisa diambil dari setiap orang kafir, baik dari
bangsa Arab atau non Arab, dari ahli kitab maupun penyembah berhala.
4Abullah Nashih 'Ulwan, Sikap Islam Terhadap Non Muslim, h. 62.
38
38
ii. Kelompok Paganis selain Arab
Kata Jizyah berasal dari kata jaza’ yang berarti upah atau bayaran.
Secara istilah, adalah sejumlah uang yang diwajibkan kepada orang-orang
ahlul-kitab yang masuk dalam perlindungan dan perjanjian umat Islam.5
Dari Muhammad bin Hambal berkata, bahwa jaminan tidak berlaku
kecuali kepada ahli kitab atau orang-orang seperti mereka, seperti orang-
orang Majusi. Negara harus menjamin keamanan mereka dan mereka harus
melaksanakan beberapa syarat.
Firman Allah SWT:
رحسول وح رمح ٱلل ا حح مونح مح لح يحرذ لح بٱلحوم ٱألخر وح وح ينح لح يؤمنونح بٱلل تلوا ٱل ۥقحن يحد وحهم زيحةح عح يعطوا ٱل ت بح حح وتوا ٱلكتح
ينح أ منح ٱل يحدينونح دينح ٱحلحقذ
لح وحغرونح )٩:٩٩/بة اتلو) صح
Artinya : “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa
yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan
agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-
Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam keadaan tunduk”.
Para Ulama ahli Fiqih sepakat bahwa Jizyah diambil dari Ahl al-Kitȃb
dan Majusi.6 Dalam kitab bidayah al-Mujtahid, Syafi’i Abu Hanifah dan
Tsauri berpendapat bahwa kafir dzimmi wajib membayar zakat sama halnya
5Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Kitab al-Jihâd bab al-Jizyah jil. iii, (Dar al-Kutub, 1973) , h. 664.
6Imam Ibn Qayyim, Ahkȃm Ahl az-Dzimmah (Dȃrul al-Hadîts, 2005), h. 11.
39
39
orang Islam, juga seperti yang lain.7
c. Kelompok orang-orang munafik
Hiprokrisi atau kemunafikan adalah suatu sikap pada diri seseorang yang
mengaku-ngaku Islam, tetapi jauh dilubuk hatinya menyimpan bara kekufuran
yang menyala dan tujuan-tujuan yang menjijikan. Dalam mengahadapi orang-
orang yahudi yang berlindung kepada Islam, maka mereka diperlakukan
sebagaimana seorang Muslim yang murtad lalu memeluk agama lain. Atau
mereka diperlakukan sebagaimana seorang destroyer yang memperlihatkan
fanatismenya yang bakal merusak.
Mengenai hukum kehadiran/mengikuti perayaan non-muslim MUI
telah mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa kehadiran orang Islam pada
perayaan Natal adalah Haram (dilarang), karena itu umat Islam tidak boleh ikut
terlibat dalam upacara-upacara semacam itu. Fatwa itu ditandatangani oleh
Syukri Ghozali, ketua, dan Mas’udi, Sekretaris Komisi Fatwa.8
ارحفوا بحائلح تلحعح ا وحقح كم شعوب لنح عح وحجح نثحأ ر وح
ن ذحكح كم مذ لحقنح ا ٱلاس إنا خح هح يحأ يح
ح كم إن ٱلل ى تقحح أ كم عندح ٱلل كرحمح
حبري إن أ ليم خح )٩٩:٥١/احلجرات )عح
Artinya : ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".
7Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, wa Nihayatu al-Muqtasid, (al-Haramain, t.t), h. 178.
8Muhammad Atho Mudzar, Fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia: sebuah studi tentang
pemikiran hukum Islam di Indonesia, 1975-1988 (Jakarta: INIS, 1993), h. 117.
40
40
نيحا ا ف ٱدل احبهمح ا وحصح حكح بهۦ علم فحلح تطعهمح ا لحيسح ل ن تشكح ب محح أ ح اكح لعح دح هح إون جح
ثم إلح نحابح إلححن أ بيلح مح وحٱتبع سح ا عروف لونح مح ا كنتم تحعمح نحبذئكم بمح
رجعكم فحأ مح
)١٥:٥١/لقمان )
Artinya : “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah
jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu,
maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
حم يرج ل ين وح تلوكم ف ٱدلذ حم يقح ينح ل ن ٱل عح كم ٱلل ى نهح ل يح ن تحبححركم أ ن ديح وهم وكم مذ
ح يب هم إن ٱلل تقسطوا إلح )٨:٠٥/الممتحنه )ٱلمقسطنيح وح
Artinya : ”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil”.
Khusus berkaitan dengan perayaan hari-hari besar itu sendiri, menurut kaca
mata Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma’ maupun Qiyaas.
Dalil-dalil Al-Qur’an yang melarang kita untuk ikut serta dalam hari-hari raya
mereka. Adapun menurut Al-qur’an, adalah berdasarkan penafsiran beberapa
tabi’in mengenai firman Allah :
ا ام وا كرح ر وا بٱللغو مح ر ورح إوذحا مح دونح ٱلز حشهح ينح لح ي )٩١:٢٩/الفرقان ) وحٱل
Artinya : “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila
mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya”.
41
41
Abu Bakar Al-Khallaal meriwayatkan dalam al-Jâmi’, dengan sanadnya
sendiri dari Muhammad bin Sirin, berkenaan dengan firman Allah :
ينح لح ورح وحٱل دونح ٱلز حشهح )٩١:٢٩ /الفرقان) يArtinya : “dan orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan/kedustaan ...,”
Artinya adalah menghadiri Sya’âni (hari besar yang diperingati oleh orang
kristen dalam rangka mengenang kembali masuknya Al-Masih ke Baitul Maqdis.9
Abu Syaikh Al-Ashbahani meriwayatkan dengan sanadnya sehubungan
dengan “syarat-syarat yang dibebankan terhadap Ahli Dzimmah” dari Adh-
Dhahak, bahwa arti: “orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan
/kedustaan,” adalah: mereka yang tidak melontarkan kata-kata syirik.
Masih dengan sanadnya, dari Juwaibir, dari Adh-Dhahhak bahwa makna ayat
yang artinya: “orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan/kedustaan,”
mereka yang tidak menghadiri hari-hari besar kaum musyrikin.
Pernyataaan para tabi’in bahwa maksud ayat tersebut adalah larangan
(menghadiri) hari-hari raya orang kafir, tidak bertentangan dengan pernyataan
sebagian mereka bahwa yang dimaksud dengan larangan terhadap perbuatan syirik
atau berhala dimasa jahiliyyah, atau pernyataan sebagian mereka adalah larangan
9Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm: lilMukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm (Dar El-Fikr
Beirut-Libanon, 2003), h.169.
42
42
terhadap tempat digelarnya kemaksiatan.10
Adapun dalil Sunnah:
عن أنس قال قدم رسول الل صىل الل عليه و سلم المدينة ولهم يومان يلعبون الاهلية فقال رسول اللقالوا كنا نلعب فيهما ف "ما هذان الومان "فيهما فقال
إن الل قد أبدلكم بهما خريا منهما يوم األضىح ويوم "صىل الل عليه و سلم رواه ابوداود() 11الفطر
Artinya : Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu meriwayatkan : “ketika Rasulullah
Saw tiba di Madinah, Mereka (orang-orang Madinah) telah memiliki dua hari
yang mereka jadikan untuk bermain-main (bersuka ria). Beliau bertanya: “Ada
apa dengan dua hari ini?” mereka menjawab: “Di masa Jahiliyyah, kami biasa
bermain-main pada dua hari itu.” Maka Rasulullah Saw menanggapi;
“sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian hari yang lebih baik dari
hari itu yakni hari Idul Adhâ dan Idul Fitri.”
B. Hukum Memberi Salam dan Mengucapkan Selamat Pada Hari Raya
Non-Muslim
Ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang melarang seorang
Muslim memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits
tersebut menyatakan,
ب حن أ بيه عح
حن أ لح عح ءوا الحهودح وح لمح قحالح لح تحبدح لحيه وحسح عح ىل الل صح ن رحسولح الل
حةح أ يرح هرح
ضيحقهحوه إلح أ ر ريق فحاضطح هم ف طح دح حح
حم فحإذحا لحقيتم أ لح ى بالس ارح مسلم(رواه )12الصح
Artinya ; “diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu bertemu
10Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm, h. 170.
11 Abu Daud, Sunan Abi Daud, hadis no. 1134, jil. 1 (Dar al-Fikr, t.t), h. 364. 12Shahih Muslim, Kitab as- Salâm bab al-nahyu ‘an Ibtida’ Ahlu al-Kitâb bi al-Salâm, hadis no.
2167, jil 4 (Beirut al-‘Arabi: Daru Ihya, t.t), h. 1707
43
43
mereka di jalan, pepetlah jalannya itu ke arah yang lebih sempit”.
Ulama berbeda paham mengenai makna larangan tersebut. Dalam buku
Subul as-Salâm karya Muhammad bin Isma’îl al-Kanlani (jil. IV, hlm. 155) antara
lain dikemukakan bahwa sebagian ulama bermazhab Syafi’i tidak memahami
larangan tersebut dalam arti haram, sehingga mereka membolehkan menyapa non-
Muslim dengan ucapan salam. Pendapat ini merupakan juga pendapat sahabat
Nabi, Ibnu ‘Abbâs. Al-Qadhi ‘Iyadh dan sekelompok ulama lain membolehkan
mengucapkan salam kepada mereka kalau ada kebutuhan. Pendapat ini dianut juga
oleh ‘Alqamah dan al-Auza’i. 13
Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu. Bahkan
dalam riwayat Bukhori dijelaskan tentang sahabat Nabi bahwa orang Yahudi bila
megucapkan salam terhadap orang Muslim tidak berkata, “Assalâmu’alaikum,”
tetapi “Assâmu’alaikum,” yang berarti “kematian atau kecelakaan bagi anda”.14
Rasulullah SAW bersabda:
حس نحب بحكر بن أ
ح بن أ نحا عبحيد الل ح خبح
حيم أ ثحنحا هشح د يبحةح حح ب شح
حان بن أ ثحنحا عثمح د حح
نه قحالح عح الك رحضح الل حس بن مح نحثحنحا أ د لمح قحالح الب :حح لمح إذحا سح لحيه وحسح عح ىل الل صح
لحيكم قولوا وحعح هل الكتحاب فححلحيكم أ (رواه خباري و مسلم) 15عح
13 M. Quraish Shihab Menjawab-1001 Soal Keislaman yang patut anda ketahui (Jakarta : Lentera
Hati, 2008), h. 590.
14M. Quraish Shihab, h. 590.
15Shahih Bukhori, bab kaifa al-Roddu ‘ala Ahlu Dzimmah bi as-Salâm, hadis no. 5903, lihat juga
Shahih Muslim, bab an-Nahyu anil Ibtida’ ahl-Kitab, hadis no. 2163, jil. 4, (Beirut al-‘Arabi: Daru
Ihya, t.t), 1705.
44
44
Artinya : “diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda,
apabila Ahlu Kitab memberi salam kepadamu maka ucapkanlah ‘alaikum (bagi
andalah).”
Jika demikian wajarlah apabila Nabi melarang memulai salam untuk mereka
dan menganjurkan untuk menjawab salam mereka dengan “ ‘Alaikum,” sehingga
jika yang mereka maksud dengan ucapan itu adalah kecelakaan atau kematian,
maka jawaban yang mereka terima adalah “bagi andalah (kecelakaan itu)”.
Mengucapkan “Selamat Natal” masalahnya berbeda. Dalam masyarakat
kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tetapi tidak sedikit juga yang
membenarkan dengan beberapa catatan khusus.
Sebenarnya dalam al-Qur’an ada ucapan selamat atas kelahiran Isa:
يحومح موت وححيحومح أ يحومح ودلت وح ح م لعح لح ا وحٱلس يذ ث حح بعح
)٥٩:١١/مريم )أ
Artinya : “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku
dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup
kembali.”
Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat natal pertama yang
diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi persoalan ini jika diakitkan dengan
hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama
tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.
Yang melarang ucapan “Selamat Natal” mengaitkan ucapan itu dengan kesan
yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan ketuhanan Yesus
Kristus. Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan
45
45
“Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan.16
Ucapan selamat atas kelahiran Isâ (Natal), manusia agung lagi suci itu,
memang ada di dalam al-Qur’an, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran
agama Kristen yang keyakinannya terhadap agama ‘Isâ al-Maŝih berbeda dengan
pandangan Islam. Mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadirin perayaannya
dapat menimbulkan kesalah pahaman dan dapat mengantarkan kita kepada
pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-
Maŝih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentanga dengan akidah Islam.
Dengan alasan ini lahirlah larangan dan fatwa haram untuk mengucapkan
“Selamat Natal” sampai-sampai ada yang beranggapan ucapan selamat, aktivitas
apapun yang berkaitan atau membantu terlaksananya upacara Natal tidak
dibenarkan.
Dipihak lain ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat
Natal”. Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Qur’an mengaitkannya
dengan ucapan ‘Isâ,
بح وح نح ٱلكتح اتحى ءح بد ٱلل ا قحالح إنذ عح لحن نحبيذ عح )٥٩:١٥/مريم )جح
Artinya : “sesunguhnya aku ini, hamba Allah. Dia Memberiku al-Kitab dan Dia
menjadikan aku seorang Nabi”.
Salahkah bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan itu?
Bukankah al-Qur’an telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju
16M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab-1001 Soal Keislaman yang patut anda
ketahui (Jakarta : Lentera Hati, 2008), h. 590
46
46
kepada Nûh, Ibrȃhîm, Mûsȃ, Hȃrûn, keluarga Ilyas, serta para Nabi lain? Bukankah
setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh Nabi sebagai hamba dan utusan
Allah ? Apa salahnya kita mohonkan curahan solawat dan salam untuk Isȃ as.,
sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh Nabi dan Rasul? Tidak bolehkah kita
merayakan hari lahir (natal) Isa as.? Bukankah Nabi SAW. Juga merayakan hari
keselamatan Musa dari gangguan Fir’aun dengan berpuas ‘Asyura’, sambil
bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya,
عيد بن ج ن سح ب بش عححن أ يم عح نحا هشح ح خبح
حيح أ يح بن يح ثحنحا يح د ن حح باس بحري عح ابن عح
دح الحهودح دينحةح فحوحجح لمح المح لحيه وحسح عح ىل الل صح ا قحالح قحدمح رحسول الل نهمح عح رحضح الل فيه رح الل ظهح
حي أ ا الحوم ال ذح الوا هح قح ن ذحلكح فح اءح فحسئلوا عح شورح سح مو يحصومونح يحومح عح
لمح لحيه وحسح عح ىل الل الح الب صح قح فح نححن نحصومه تحعظيما لح ونح فح ح فرعح ائيلح لعح بحن إسح وحومه رح بصح مح
حولح بموسح منكم فحأ
حن أ (رواه مسلم) 17نح
Artinya : “Dari Ibnu Abbas r.a., katanya: “ketika Rasulullah SAW belum lama tiba
di Madinah, didapatinya orang-orang Yahudi puasa pada hari “Asyura. Lalu
mereka ditanya perihal hal itu (apa sebabnya mereka puasa pada hari itu).
Jawabmereka, “hari ini adalah hari kemenangan Musa dan Bani Israil atas
Fir’aun.Karena itu kami puasa pada hari ini untuk menghormati Musa.” Maka
besabda Nabi Saw., “kami lebih pantas memuliakan Musa daripada kamu.” Lalu
beliau perintahkan supaya kaum Muslimin puasa pada hari ‘Asyura”.
Bukankah “Para Nabi” sebagaimana sabda Nabi Saw., “bersaudara, hanya
ibunya yang bebeda?” bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita
bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas-batas
kemampuan kita, atas batas yang digariskan oleh anutan kita? Kalau demikian
17Shahih Muslim, Kitab Siyâm bab Soum Yaumu ‘Asyura, hadis no. 1130, jil 2 (Beirut al-
‘Arabi: Daru Ihya, t.t), h. 795
47
47
halnya, apa salahnya mengucapkan “Selamat Natal” selama akidah masih dapat
dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an
sendiri yang telah mengabadikan “Selamat Natal” itu?
Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara akidah,
karena kekhawatiran kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan
tersebut lebih banyak ditujukan kepada meraka yang dikhwatirkan kabur
akidahnya. Kalau demikian, jika seseorang ketika mengucapkannya tetap murni
akidahnya atau mengucapkannya sesuai kandungan “Selamat Natal’ Qur’ani,
kemudian mempertimbangkan situasi dan kondisi dimana ia diucapkan sehingga
tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim yang lain, maka
agaknya tidak beralasanlah larangan itu.
48
BAB IV
HUBUNGAN SOSIAL MUSLIM DENGAN NON-MUSLIM
A. Hubungan Sosial Muslim Dengan Non-Muslim
Islam tidak hanya sekedar bangsa dan memuji prinsip ini, tapi secara praktik
menjadikan hubungan antar sesama manusia, baik dalam tingkat individu,
kelompok, maupun negara, adalah hubungan yang didasari rasa aman dan damai.
Dan hal itu tidak hanya antar umat Islam saja, melainkan juga meliputi hubungan
dengan non-muslim.1
Hubungan umat Islam dengan mereka adalah hubungan yang bersifat ta'aruf
(saling mengenal), saling tolong-menolong, saling berbuat kebaikan dan berbuat
adil.2
Allah SWT berfirman :
ها يأ نث وجعلنكم شعوبا وقبائل لعارفوا إن ٱي
ن ذكر وأ نلاس إنا خلقنكم م
كرمكم عند كم إن ٱأ تقى
أ عليم خبري ٱلل )٩٤:٣١/احلجرات ) لل
Artinya : "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Allah SWT juga menganjurkan untuk melakukan kebaikan dan dengan cara
yang adil:
1Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Kitab Ta’zir bab al-Salâm fi al-Islâm, (Dar al-Kutub, 1973), h.
596.
2Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Dar al-Kutub, 1973) , h. 603.
49
وهم لا ينهىكم ن تبن ديركم أ ين ولم يرجوكم مد ين لم يقتلوكم ف ٱلد عن ٱلا ٱللا
يب )٠٦:٨/الممتحنة )ٱلمقسطني وتقسطوا إلهم إنا ٱللا
Artinya : "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil".
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Seluruh manusia
adalah keturunan Âdam dan Âdam diciptakan dari tanah.” Pada waktu haji wada’
Rasulullah Saw memberikan maklumat, “Wahai umat manusia, sesungguhnya
Tuhan kalian satu dan nenek moyang kalian satu pula....”.1
Konsekuensi dari hubungan semacam ini adalah terjadinya pertukaran
kepentingan, menjaga hal-hal yang bermanfaat, dan kuatnya hubungan
kemanusiaan. Semua ini tidak termasuk kedalam larangan yang berkaitan
menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (penolong orang yang dicintai dan
sebagainya). Sebab, yang dimaksud menjadikan orang-orang kafir sebagai wali
adalah bersekutu dengan mereka, menolong mereka dalam melawan umat Islam,
dan ridha (setuju) dengan hal-hal kekafiran yang mereka lakukan. Hal itu dilarang
karena membantu orang-orang kafir melawan umat Islam adalah tindakan yang
sangat membahayakan keutuhan umat Islam, melemahkan kekuatan jamaah umat
Islam, dan sudah pasti setuju dengan hal-hal kekafiran yang mereka lakukan adalah
sesuatu yang dilarang umat Islam. Sedangkan berdamai dengan orang-orang kafir,
1Jamȃl al-Dȋn ‘Athiyyah Muhammad, Fiqh Baru bagi Kaum Minoritas, Penerjemah Shofiyullah
(Bandung: Marja, 2006), h. 131
50
interaksi yang harmonis, bertukar kepentingan, tolong menolong dalam kebaikan,
maka semua ini adalah hal-hal yang diperintahkan oleh Islam.2
بلوكم ف ما ءاتىك ة وحدة ولكن لد ما لعلكم أ ستبقوا ٱليرت م فٱولو شاء ٱللا
)٥:٨٨/دة ئالما)
Artinya : “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”
Dari sinilah, Islam menentukan bahwa tidak terdapat perbedaan antara
orang Muslim dengan kafir dzimmy (orang kafir yang hidup ditengah masyarakat
Islam, dan mendapatkan perlingdungan dari pemerintah Islam).3 Apabila posisi
kita kuat, kita bisa menjaga kehormatan dan harta kita dari gangguan dan
kezaliman kaum kafir, bahkan seandainya ada saudara kita yang bermaksud
berbuat mungkar kita wajib mencegahnya. Imam Muslim meriwayatkan, sanadnya
dari Abu Zaid ra. Ia berkata Rasulullah SAW. Bersabda:
ر يبة حدثنا كيب بن فيبا كحدثنا محدد بن لثمن ى حدثنا محدد بن عفيحدثنا أبو بكر بن أيبأكل من حدثنا يفة يالمها عن لقبس بن مسلم عن طارق بن يهاب كهذل حديث أيب بكر قالد ترك ما ق بدأ باخلطة يوم للفبد قةل للصالة مركل فقام إلبه رعل فقال للصالة قةل لخلطة فقال
فبد أما هذل فقد قضى ما علبه مسفت رفول لهلل صلى لهلل علبه ك فلم يقول من هنالك فقال أبو ف
2Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Dar al-Kutub, 1973) , h. 603.
3Fiqih Sunnah, h. 604.
51
4رأى منكم منكرل فلبغريه ببده فإ مل يستط فةلسانه كمن مل يستط فةقلةه كذلك أضفف لإلميا )ركله مسلم(
Artinya : "siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran maka hendaklah
mengubahnya dengan tangannya. Bila tidak mampu, maka (hendaklah
mengubahnya) dengan lisannya, bila tidak mampu maka (hendaklah
mengubahnya) dengan hatinya dan ini merupakan selemah-lemahnya iman."
Memperingatkan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) agar menuju titik temu
(kalȋmah sawȃ) dengan kaum muslimin, karena tiga agama ini merupakan warisan
Ibrȃhȋm.
ءامنا منهم وقولوا ين ظلموا حسن إلا ٱلاهل ٱلكتب إلا بٱلات ه أ
أ ا ول تجدلوا
نزل إ نزل إلنا وأ
ي أ العكبوت )م ۥ سسلمون لكم إولهنا إولهكم وحد ونن ل بٱلا
/٩٢:٨٠( Artinya : “Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan
cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan
katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada
kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan
kami hanya kepada-Nya berserah diri."
Rasyid Ridha mengatakan, “dalam penciptaan seluruh umat manusia dari
satu jiwa terdapat sejumlah tanda yang sangat jelas tentang kuasa, pengetahuan,
hikmah, dan ke-Esaan Allah. Pengingatan akan hal itu mengandung petunjuk untuk
mensyukuri nikmat tersebut dan kewajiban untuk saling mengenal, berkasih
sayang dan saling tolong menolong antar umat manusia. Eksistensi keragaman
manusia ke dalam aneka bangsa dan suku ini tidak untuk memunculkan
4Muslim, Shahih Muslim, kitab al-Īman, jil. 1, hadis no. 49, (Beirut al-‘Arabi: Daru Ihya, t.t), h.
69.
52
permusuhan dan peperangan.5
ثم وٱلعدون ٱل وٱتلاقوى ول تعاونوا لع )٥:٩/الماعدة ) وتعاونوا لع ٱلبد
Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Perbuatab Ahli Kitab diklasifikasikan menjadi tiga bagian :
a. Bagian yang disyariatkan dalam agama kita, selain itu juga disyariatkan kepada
mereka, atau kita tidak tahu apakah dahulu hal itu juga disyariatkan kepada
mereka, namun yang jelas, sekarang mereka bisa melakukannya.
b. Bagian yang lain, yang pernah disyariatkan kepada mereka, namun telah
dihapus dalam ajaran Islam.
c. Bagian yang lain, perbuatan yang tidak pernah disyariatkan kepada mereka.
Nemun mereka mengada-adakannya (dalam agama mereka).
Ketiga bagian itu, mungkin berlaku dalam ibadah mahdhah, mungkin juga
berlaku hanya dalam adab pergaulan semata, tetapi juga mungkin meliputi ibadah
dan sekaligus adab pergaulan.6
A. Alasan dan Dampak Mengikuti Ibadah Non-Muslim
a. Alasan mengikuti Ibadah non-Muslim
5Jamȃl al-Dȋn ‘Athiyyah Muhammad, Fiqh Baru bagi Kaum Minoritas, Penerjemah Shofiyullah
(Bandung: Marja, 2006), h. 147.
6Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm: lil Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm, (Dar El-Fikr
Beirut-Libanon, 2003), h. 166.
53
Apabila penyerupaan diri dengan orang-orang non-muslim ini telah jelas
dan terbukti, maka harus kita nyatakan bahwa mengikuti ibadah hari-hari besar
mereka juga tidak diperbolehkan. Sebagaimana yang diulas sebelumnya bahwa
membedakan diri dengan Ahli Kitab merupakan perbuatan yang disyariatkan
pada agama Islam, dan membedakan diri tersebut mengandung kemaslahatan
bagi kita.
Akan tetapi kita akan sangat berlebihan juga hanya memberikan perhatian
kita kepadanya (mengikuti ibadah non-muslim) dan membicarakan serta
membahasnya berlarut-larut dan juga menganggapnya sebagai masalah yang
utama dan puncak tujuan kita. Maka sesungguhnya hal ini akan membawa kesan
yang buruk terhadap pemikiran Islam dan amal Islami atau kesan yang tidak
baik dalam pemikiran masyarakat awam. Keadaan seperti ini dapat
dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam, yang dapat membahayakan syari’at dan
dakwah Islam itu sendiri.7
Untuk golongan pertama, yaitu orang-orang non-Muslim yang berlaku baik
terhadap masyarakat Islam, hendaknya kita balas dengan kebaikan dan berlaku
moderat terhadap mereka. Yang dimaksud moderat disini adalah berlaku adil.
Sedangkan yang dimaksud berbuat baik adalah murah hati dan ramah. Jadi,
dalam Islam, perbuatan baik setingkat lebih tinggi dibanding dengan perbuatan
7 Khojrojiah, ”Larangan Tsyabbuh Dalam Hukum Islam (studi alasan dan dampak),” (Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 45
54
adil. Karena, definisi adil adalah mengambil hak anda dengan semestinya.
Sedangkan berbuat baik adalah, mengambil sebagian hak anda untuk orang lain.
Jadi, yang dimaksud adil dan moderat disini adalah memberikan hak
seseorang sebagaimana seharusnya, jangan sampai ada sedikitpun hak dia yang
terambil. Sedangkan perbuatan baik adalah memberikan hak lebih kepada
seseorang dengan menambahkan sikap pemurah dan ramah.
Adapun kalangan lain yang yang diharamkan untuk berlaku adil dan baik
adalah mereka yang telah memusuhi Islam dan kaum muslimin, memerangi dan
mengusir mereka dari tanah kelahirannya dengan cara yang zalim, kacuali
ketika telah mengucapkan "Allah adalah Tuhan kami". Hal tersebut sama
seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat Quraisy dan musyrik Mekah
terhadap Rasulullah SAW dan para sahabat beliau.8
Umat Kristen dengan senang mengundang orang-orang Islam datang
keperayaan-perayaan demikian dengan alasan kerukunan antar umat beragama
menurut asas ideologi negara Pancasila. Banyak orang Islam yang segan untuk
menolak undanga-undangan serupa itu, justru karena takut akan dituduh tidak
bertoleransi terhadap agama lain. Jika bagi pihak umat Kristen kehadiran orang-
8Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Minoritas: Fatwa Kontemporer Tehadap Kehidupan Kaum Muslimin
di Tengah Masyarakat Non-Muslim, Penerjemah Adillah Obid (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 199.
55
orang Islam pada perayaan natal adalah kesempatan paling baik untuk
mendekatkan tamu mereka itu pada kekristenan.9
Terdapat sejumlah pertimbangan yang perlu diperhatikan ketika membahas
solusi untuk problem pada skripsi ini, yaitu:
1. Orang Muslim yang tinggal di Negara non-Muslim, atau kaum muslim
minoritas yang jumlahnya cukup banyak, seperti di India. Jumlah kaum
Muslimin di India merupakan kaum minoritas. Akan tetapi jumlah kaum
minoritas ini mencapa 135 juta jiwa, sehingga tidak aneh kalau ada
peraturan hukum keluarga khusus bagi mereka.10
2. Seorang pelajar yang sedang melaksanakan pendidikannya di negara non-
Muslim.
3. Seorang pekerja/pegawai di perusahaan asing atau atasannya merupakan
seorang non-Muslim.
4. Seorang pimpinan daerah, atau bahkan juga seorang Ulama yang
mendapatkan undangan demi terjalinnya hubungan antar umat beragama.
Setelah kita mengetahui beberapa contoh di atas, dapat kita ketahui bahwa
mereka semua adalah golongan orang-orang yang hubungannya tidak terlepas
dengan non-muslim.
9 Muhammad Atho Mudzar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: sebuah studi tentang
pemikiran hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarno (Jakarta: INIS, 1993),
h. 118.
10Jamaludin Athiyah Muhammad, Fiqih Baru Bagi Kaum Minoritas: Ham dan Supremasi Hukum
sebagai Keniscayaan, Penerjemah Shofiyullah, (Bandung: Marja, 2006), h. 222.
56
Setiap perbuatan secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai
tujuan tertentu yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju
itu baik atau buruk, mendapatkan manfaat atau menimbulkan madharat.
Sebelum sampai pada perbuatan yang dituju itu ada serentetan perbuatan yang
mendahuluinya.11
b. Dampak mengikuti ibadah non-muslim
Meniru mereka dalam hal sepele yang dapat menjadi jalan dan tangga
menuju berbagai perbuatan buruk hukumnya adalah haram, apalagi kalau
sampai menggiring kepada kekufuran kepada Allah? Seperti mengambil berkah
salib, atau menerima pembabtisan (dari mereka) atau seperti orang yang
menyatakan: “yang kita sembah sebenarnya sama yaitu yang Esa hanya saja
caranya yang berbeda-beda,” dan pernyataan-pernyataan dan perbuatan sejenis
yang meliputi:
Adanya anggapan bahwa syariat agama Nasrani dan Yahudi yang telah
diubah dan bahkan telah dihapuskan adalah penghubung menuju ibadah kepada
Allah SWT.
Selebihnya ada juga yang beranggapan bahwa sebagian diantara
kandungan ajaran mereka yang bertentangan dengan agama Allah itu baik.12
11 Amir Syarifudin, Ushul Fiqh (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001) h. 396.
12Ibnu Taimiyah, Iqtia as-Siratal Mustaqim., h. 197.
57
Tabiat dasar manusia cenderung punya hasrat untuk meniru. Yakni, bahwa
manusia juga bahkan seluruh makhluk hidup telah dicipta untuk memiliki hasrat
untuk dapat tampil seperti yang ditirunya. Semakin besar kemiripan antara yang
ditiru dengan dirinya, semakin besar dan semakin besar hasratnya untuk dapat
menyamainya dalam karakter dan sifatnya. Sehingga ujung-ujungnya akan
sampai pada kesamaan antara keduanya.13
Meniru-niru gaya hidup secara lahiriyah akan menimbulkan rasa cinta dan
kasih sayang serta simpati dan loyalitas dalam hati. Demikian juga sebaliknya,
kecintaan dalam hati juga menimbulkan sikap meniru gaya hidup secara
lahiriyah. Ini hal yang dapat dibuktikan secara kongkrit berdasarkan
pengalaman. Sehingga bila ada dua orang lelaki yang berasal dari satu negeri,
kemudian keduanya saling bersua di rantau, antara keduanya pasti timbul rasa
cinta, simpati dan keakraban yang amat sangat. Meskipun di negeri mereka
sendiri keduanya tidak saling mengenal atau bahkan mungkin saling
berjauhan.14
B. Analisa Penulis Mengenai Tasyabbuh Terhadap Peribadatan non-Muslim
Telah kita sebutkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, atsar-atsar
dan qiyas, yang kesemuanya menunjukan bahwa tasyabbuh diri dengan mereka
(ahli kitab) secara garis besar dilarang. Sebaliknya membedakan diri dari tata cara
13Ibnu Taimiyah, Iqtia as-Siratal Mustaqim., h. 201.
14Ibnu Taimiyah, Iqtia as-Siratal Mustaqim., h. 202.
58
hidup mereka adalah disyariatkan. Bisa jadi wajib, mungkin juga disunnahkan atau
bahkan boleh-boleh saja, tergantung pada situasi dan kondisi.
Di sini penulis akan mengemukakan beberapa pandangan penulis mengenai
hukum mengikuti peribadatan non-Muslim dilihat dari beberapa sudut.
Pertama, pandangan penulis mengenai seseorang yang menghadiri ibadah
non-Muslim, bagi seseorang yang tinggal di daerah atau di Negeri non-Muslim
akan sangat kesulitan untuk hidup bermasyarakat dengan mereka terutama apabila
sedang dilaksanakannya hari-hari besar mereka. Mereka (non-Muslim) pasti akan
menunjukkan sikap kegembiraan mereka dengan mengajak kita untuk mengikuti
perayaan mereka. Tidak mungkin kita akan menolaknya karena bisa jadi itu
merupakan penghinaan bagi mereka atau mungkin nantinya kita pun akan
dikucilkan yang berakibat tidak baik bagi kehidupan bermasyarakat kita. Maka,
berdasarkan kaidah tidak dikira tasyabbuh melainkan dengan niat, seseorang yang
tinggal di daerah atau negeri yang mayoritas non-Muslim boleh saja mengikuti
perayaan hari besar mereka demi untuk menghargai kehidupan beragama dan adat
istiadat mereka. Begitu juga dengan seorang kepala daerah, yang sudah pasti akan
mendapat undangan apabila sedang terjadi perayaan hari-hari besar non-Muslim.
Maka bagi kepala daerah tersebut boleh saja menghadiri undangan tersebut dengan
tidak disertai niat untuk merayakan hari besar tersebut. Dan bagi seorang ulama
yang mendapat undangan pada hari besar non-muslim, menurut pendapat penulis
itu bisa menjadi hubungan yang baik antar umat beragama dan juga menjadi jalan
dakwah untuk menyebarkan Islam.
59
Kedua, pandangan penulis mengenai seseorang yang menghadiri ibadah
non-Muslim adalah haram, karena diantara yang mereka lakukan di hari raya
mereka ada berupa kekufuran, ada juga berupa kemaksiatan. Maka, sebagai
seorang Muslim sebaiknya berusaha keras untuk menjauhi hal tersebut.
Ketiga, bagi seorang pekerja atau pegawai di perusahaan asing atau memiliki
atasan yang memiliki keyakinan berbeda (non-Muslim) seringkali mendapat
undangan dari atasannya untuk ikut merayakan hari besar mereka. Undangan atau
ajakan dari atasan tersebut biasanya mempengaruhi kepada hasil kerja atau bahkan
kedudukan orang tersebut sebagai bawahannya. Maka dalam hal ini orang tersebut
boleh saja mengikuti undangan atasannya selama masih tidak bertentangan dengan
hal-hal yang disyari’atkan dalam Islam. Begitu juga seperti halnya seorang pelajar
yang berada di negeri yang mayoritas non-Muslim atau bahkan Universitas/
sekolah tempat ia belajar adalah bukan sekolah Islam yang sering melaksanakan
hari-hari besar non-muslim. Maka bagi pelajar tesebut boleh saja ikut merayakan
hari besar tersebut dengan menghindari hal-hal seperti kamaksiatan dan kekufuran.
Selanjutnya penulis menambahkan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang
mudah dipahami dan diamalkan. Ketika seseorang tidak bisa melakukan salat
dengan beridiri, maka ia boleh melakukannya dengan duduk, ketika ia tidak bisa
melakukan salat dengan duduk, maka ia boleh melakukannya dengan sambil
berbaring, ketika ia tidak bisa melakukan salat sambil berbaring, maka ia boleh
melakukannya dengan isyarat.
60
بكم ٱيريد )٩:٥٨٥/ الباقرة)لعس ٱليس ول يريد بكم ٱ للا
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu”.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhori dari Sa’id Maqbari, juga
disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda :
حد إلا غلبه ين أ ين يس ولن يشادا الد رواه بخاري()15إنا الد
Artinya : “agama Islam ini mudah, tidaklah seseorang mempersulit urusan
agama kecuali ia akan kalah”.
15Al-Bukhori, Matan Shahih Bukhori, bab al-Din Yusro, jil. 1 (Indonesia: al-Haromain, t.t), h. 16
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan penelitian dalam skripsi ini, maka penulis
dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Tasyabbuh adalah perbuatan menyerupai non-Muslim, melakukan sesuatu
seperti apa yang mereka lakukan, bertingkah laku seperti tingkah laku mereka,
gaya hidup seperti gaya hidup mereka, berpikir seperti gaya berpikir mereka,
lebih tepatnya dari segi aspek zahir dan batin. Adapun tasyabbuh pada zaman
sekarang bila dikaitkan dengan cara berpakaian, berjalan, berpenampilan, gaya
hidup sungguh tidak relevan lagi. Maka, yang lebih tepatnya dalam hal tasyabbuh
pada zaman sekarang yaitu dalam hal cara berpikir yang lebih cenderung seperti
mereka.
2. Dalam hal berhubungan dengan non-Muslim adalah hanya sebatas hubungan
yang bersifat ta’aruf (saling mengenal), saling tolong menolong, saling berbuat
kebaikan dan berbuat adil. Hubungan tersebut akan menciptakan perdamaian,
kebaikan dan interaksi yang harmonis dengan mereka. Dari sinilah Islam tidak
membedakan antara orang muslim dengan kafir dzimmi (orang yang hidup di
tengah masyarakat Islam, dan mendapat perlindungan dari pemerintah Islam).
3. Hukum merayakan ibadah non-Muslim adalah haram apabila di dalamnya
terdapat kekufuran dan juga kemaksiatan. Hukum merayakan ibadah non-
Muslim adalah mubah yakni apabila terlepas dari kerusakan yang ditimbulkan
62
akibat penyerupaan diri tersebut. Hukum merayakan ibadah non-Muslim adalah
mubah apabila diniatkan hanya untuk menjaga hubungan antar umat beragama,
memenuhi undangan dan menghormati mereka.
Selanjutnya penulis menambahkan, bahwa Islam adalah agama yang indah
dan universal, mengatur seluruh umatnya dalam segala aspek kehidupannya, baik
hubungan dengan Tuhan (vertikal) maupun hubungan dengan sesama manusia
(horizontal). Semua aturan dari Allah yang ditujukan kepada manusia pasti untuk
kebaikan manusia itu sendiri. Menurut pendapat penulis, kita sebagai umat Islam
yang berusaha memenuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sudah
sepatutnya menjauhkan diri dari perbuatan tasyabbuh tersebut agar terhindar dari
laknat Allah dan Rasul-Nya. Sudut pandang dari dampak yang ditimbulkan bagi
seseorang yang mengikuti ibadah non-muslim adalah akan menimbulkan semacam
simpati serta loyalitas dalam hati yang akan merusak imannya. Sebagai sabda
Rasulullah Saw. “Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis
dan panjangkan jenggot” dan juga Rasul melarang memakai pakaian seperti
pendeta. Apabila meniru-meniru dalam urusan dunia saja dilarang apalagi dalam
masalah ibadah dan agama.
A. Saran
Untuk kepentingan penelitian selanjutnya, maka peneliti menyarankan :
Pertama, perilaku ikut merayakan ibadah non-muslim bahkan sudah banyak
diperaktekan dikalangan masyarakat kecil, karena biasanya pada hari-hari besar
63
akan ada pembagian bingkisan atau uang, yang bagi masyarakat kecil itu
merupakan hal yang sangat membantu bagi kehidupan mereka.
Kedua, juga diharapkan adanya penelitian tentang bagaimana kehidupan
seorang muslim di tengah-tengah masyarakat non-muslim agar penelitian ini lebih
sempurna dan hasilnya lebih maksimal.
Ketiga, penulis menyarankan kepada berbagai elemen masyarakat, tokoh
masyarakat, alim ulama, agar memantau dan memberikan kontribusinya kepada
masyarakat dalam pemahaman agama, lebih dalamny yaitu dalam hubungan antar
umat beragama.
64
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Abduh, Sa’id bin Shabir. Muzilul Ilbas Hukum Mengkafirkan dan Membid’ahkan.
Penerjemah Nurkholis. Jakarta: Griya Ilmu, 2005.
Abi Syaibah, Muhammad Ibn Abi Syaibah. al-Musannaf. Maktabah al-Syamilah, juz.
7.
Albȃni, Muhammad Nasirudin Al-, Ringkasan Shahih Muslim. Penerjemah Imran
Rosadi, vol. 1. Jakarta: Pustaka Azzam, 2003.
Azis, Jum’ah Amin Abdul. Fiqih Dakwah, studi atas berbagai prinsip dan kaidah yang
harus dijadikan acuan dalam dakwah Islamiah. Penerjemah Abdus Salam
Masykur. Surakarta: Era Adicitra Intermedia, 2001.
Bisri, Cik Hasan, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi.
Tangerang Selatan : PT Logos Wacana Ilmu, 1998.
Bukhori. Matan Sahih Al-Bukhori. jil. 1. Jiddah: Penerbit al-Haramain, t.t.
Daud, Abu, Sunan Abi Daud, hadis no. 1134, jil. 1, Dar al-Fikr, t.t.
Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan, kuantitatif dan kualitatif. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008.
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam. Penerjemah Faturrahman A. Hamid. Jakarta:
Amzah, 2005.
Moderasi Islam: Tafsir Al-Qur’an Tematik, vol. 4. Jakarta: Lajnah Pentashihan Al-
Qur’an.
Moeleong, J Lexi, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2002.
Mu’jam al-Wasit. tp., 1985.
Mudzar, Muhammad Atho, Fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia, sebuah studi
tentang pemikiran hukum Islam di Indonesia, 1975-1988. Jakarta: INIS, 1993.
65
Muhammad, jamȃl al-Dȋn ‘Athiyyah, Fiqh Baru bagi Kaum Minoritas. Penerjemah
Shofiyullah Bandung: Penerbit Marja, 2006.
Munir, M, Metode Dakwah. Jakarta: Kencana, 2006.
Muslim, Shahih Muslim. Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t.
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta Gadjah Mada
Universitas Press 2007.
Qardhawi, Al- Yusuf, Fiqih Minoritas, fatwa kontemporer terhadap kaum muslimin di
tengah masyarakat non-muslim. Penerjemah Adillah Obid. Jakarta: Zikrul
Hakim, 2004.
Qayyim, Imam Ibn, Ahkȃm Ahl az-Dzimmah. Dȃrul al-Hadîts, 2005.
Rifa’i, al-, Muhammad Nasib, ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah Syihabuddin,
vol. 4. Jakarta: Gema Insani Press. t.t.
Rusd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, wa nihâyatu al-muqtasid. Jil. 1-2, Al-Haramain, t.t.
Shihab, M. Quraish, M. Quraish Shihab Menjawab-1001 Soal Keislaman yang patut
anda ketahui. Jakarta : Lentera Hati, 2008.
Sidharta, Lili Rasjidi & B. Arief. Filsafat Hukum- Mazhab dan Refleksinya. Bandung:
Remadja Karya Offset, 1989.
Suyuthi, As- Imam Jalalludin Al-Mahalli & Imam Jalludin, Tafsir al-Jalâlain berikut
asbâbun nuzûl ayat. Penerjemah, Bahrun Abu Bakar, vol. 1. Bandung: Sinar
Baru Algesindo, 1996.
Syarifudin, Amir, Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Taymiyyah, Ibn, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm lil Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm. Dar El-
Fikr Beirut-Libanon, 2003.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta:
Djambatani, 1992.
Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Dar al-Fikr, t.t.
66
Tuwaijiri, Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-, Ensiklopedia Islam Al-Kamil.
Penerjemah Achmad Munir Badjeber, dkk. Jakarta: Darus Sunnah Press,
2007.
Ulwan, Abullah Nashih , Sikap Islam Terhadap Non Muslim. t.p, t.t.