hubungankecerdasan spiritual dengan otonomi...
TRANSCRIPT
HUBUNGANKECERDASAN SPIRITUAL DENGAN OTONOMI
PROFESIONAL PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP
RUMAH SAKIT AL ISLAM BANDUNG
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi syarat mencapai gelar sarjana keperawatan
Pada Fakultas Keperawatan
Universitas Padjadjaran
SARAH NURUL KHOTIMAH
NPM.220110100134
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
BANDUNG
2014
CORRELATION SPIRITUAL INTELLIGENCE WITH PROFESIONAL
AUOTONOMY OF NURSES IN HOSPITALIZATION OF
RUMAH SAKIT AL ISLAM BANDUNG
MINI THESIS
A paper submitted in fulfillment or requirement for
degree of bachelor of Faculty of Nursing
Universitas Padjadjaran
SARAH NURUL KHOTIMAH
NPM.220110100134
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FACULTY OF NURSING
BANDUNG
2014
ABSTRAK
Kecerdasan spiritual dikenal sebagaithe ultimate intelligence yang
mengatur kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual.Spiritual berbicara
mengenai makna dannilai yang juga mempengaruhi seseorang untuk bertindak
dan mengambil keputusan. Perawat sebagai sebuah profesi memiliki otonomi
secara profesional untuk bertindak dan mengambil keputusan sendiri dalam area
keperawatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
kecerdasan spiritual dengan otonomi profesional perawat di ruang rawat inap
Rumah Sakit Al Islam (RSAI) Bandung.
Penelitian inimenggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan
penelitian deskripsi korelasi-cross sectional. Alat ukur menggunakanSpiritual
Intelligence Self Report Inventory (SISRI) dan Nursing Activity Scale (NAS).
Populasi dari penelitian ini adalah 323 perawat di ruang rawat inap RSAI
Bandung dan sampel sebanyak 97 orang. Pengambilan sampel diambil dengan
teknik random sampling. Data dikumpulkan melalui pengisian kuesioner.
Analisa data menunjukan rata-rata kecerdasan spiritual berada di atas
median dan otonomi profesional perawat 89,69% berada pada kategori high level.
Uji Spearman digunakan untuk menguji hubungan kecerdasan spiritual dengan
otonomi profesional perawat dengan hasil sebesar 0,574 dan p value0,000. Hasil
penelitian menunjukan terdapat hubungan yang positifpada tingkat sedang antara
kecerdasan spiritual dengan otonomi profesional perawat.
Saran dari peneliti adalah mempertahankan kegiatan mentoring
keagamaan dan mengembangkan evidence based practice untuk meningkatkan
otonomi profesional perawat.
Kata kunci : kecerdasan spiritual dan otonomi profesional perawat.
Kepustakaan : 37, 1991 – 2012
ABSTRACT
Spiritual intelligence is known as the ultimate intelligence that regulate
emotional and intellectual intelligence. Spiritual discussed the meaning and
values that influence a person to act and make decisions. Nurse as a profession
have autonomy to act professionality and make their own decisions in the area of
nursing.This research is aimed to determine the relationship of spiritual
intelligence with professional autonomy of nurses in the inpatient unit ofRumah
Sakit Al Islam(RSAI) Bandung.
The research used a quantitative approach to the description of the
research design of correlation-cross-sectional. Measuring instrument using the
Spiritual Self-Report Inventory (SISRI) and Nursing Activity Scale (NAS).
Population of this research are 323 nurses in the inpatient unit of RSAI Bandung
and samples was 97 people. Sampling with random sampling technique. Data
were collected through questionnaires.
Analysis of data showed an mean of spiritual intelligence is above the
median and the professional autonomy of nurses 89,69% at the high-level
category. Spearman’s test was used to test the relationship between Spiritual
Intelligence and Professional Autonomy of Nurses with a yield 0.574 and p value
of 0.000. The result showed a positive relationship of moderate level between
spiritual intelligence and Professional Autonomy of Nurses.
Advice from researcher is maintaining mentoring activities and developing
evidence-based practice to improve the professional autonomy of nurses.
Keyword : spiritual intelligence and professional nurse autonomy.
References :37, 1991 – 2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur pada Allah SWT berkat karunia dan rahmat-Nya kepada
penulis serta salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,
penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian yang berjudul
“HubunganKecerdasan Spiritual dengan Otonomi Profesional Perawat di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Al Islam Bandung.”
Kecerdasan spiritual merupakan penemuan yang fenomenal karena
dianggap sebagai kecerdasan utama yang mengatur kecerdasan intelektual dan
kecerdasan emosional. Salah satu bentuk dari hasil pikiran adalah perilaku dan
sikap untuk melakukan sesuatu, dimana isu keperawatan sudah masuk ke dalam
sebuah profesi yang memiliki otonomi profesional. Maka perlu dilakukan
penelitian secara kuantitatif untuk mengetahui bagaimana hubungan kecerdasan
spiritual dengan otonomi profesionalpada perawat di ruang rawat inap Rumah
Sakit Al Islam Bandung.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian
ini, terutama kepada:
1) Kusman Ibrahim, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keperawatan Unpad yang
telah menjadi pemimpin sekaligus inspirator di Fakultas Keperawatan
Unpad.
2) Dewi Puspasari, S.Kp., M.Kep. selaku Koordinator Skripsi yang telah
memberikan peluang untuk mengajukan penelitian ini.
3) Iyus Yosep, S.Kp., M.Si., M.Sc. selaku Pembimbing Utama yang
memberikan arahan khususnya untuk menemukan fenomena masalah dan
konsep penelitian secara keseluruhan.
4) Irman Somantri, S.Kp., M.Kep. selaku Pembimbing Pendamping yang
memberikan arahan khususnya dalam memahami metodologi penelitian.
5) Bagian Pendidikan dan Penelitian Rumah Sakit Al Islam Bandung beserta
para perawat yang membantu studi pendahuluan dalam penelitian ini.
6) Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ilmu Keperawatan Unpad yang
membantu proses administrasi penelitian.
7) Nunung Sholihah, Endang Wahid, B.Sc., Alm. H. Djuhara, Alm. dan
keluarga Ehfan‟s yang menjadi suporter terhebat dalam penyelesaian
penelitian ini.
8) Euis Sopiah, Acep Matin, Otoh Holisoh, Eneng Kona‟ah dan seluruh
Ikatan Keluarga Besar Ma‟mun Juariyah yang memberikan banyak
inspirasi untuk tetap belajar dan berkembang.
9) Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Keperawatan Unpad angkatan 2010,
BEM Kema Unpad 2011-2013, Rohis Quwwatul Azam 2011-2012,
Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam, dan Paguyuban Mahasiswa Garut
Intan yang sama-sama berbagi ilmu dan manfaat selama masa kuliah.
Penulis sangat menghargai dan mengucapkan terima kasih atas berbagai
sumbangan pikiran, teori, moril, dan materil yang sangat berarti bagi penulis.
Bandung, Juli 2014
Sarah Nurul Khotimah
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ………………………………………………………….. i
Lembar Persetujuan ……………………………………………………... iii
Lembar Pengesahan …………………………………………………….. iv
Abstrak ………………………………………………………………….. v
Abstract ……………………………………………………………......... vi
Kata Pengantar ………………………………………………….............. vii
Daftar Isi ………………………………………………………………... ix
Daftar Tabel …………………………………………………………….. xi
Daftar Skema ……………………………………………………………. xii
Daftar Lampiran …………………………………………………………. xiii
BAB I : PENDAHULUAN ………………………………………........... 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………... 1
1.2 Identifikasi Masalah ………………………………………… 8
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………… 8
1.4 Kegunaan Penelitian ……………….……………………….. 9
1.5 Kerangka Pemikiran ………………………………………… 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………… 11
2.1 Kecerdasan Spiritual ………………………………………… 11
2.2 OtonomiProfesional Perawat ……………………………….. 19
BAB III METODE PENELITIAN ………………………………………. 24
3.1 Rancangan Penelitian ……………………………………….. 24
3.2 Variabel Penelitian ………………………………………….. 24
3.3 Definisi Konseptual …………………………………………. 25
3.4 Definisi Operasional ………………………………………… 26
3.5 Populasi dan Sampel ………………………………………… 27
3.6 Teknik Pengumpulan Data ………………………………...... 28
3.7Instrumen Penelitian ………………………………………… 28
3.8Analisis Data ………………………………………………… 31
3.9Prosedur Pengumpulan Data ………………………………… 34
3.10Etika Penelitian …….. ……………………………………… 34
3.11Waktu dan Lokasi Penelitian ……………………………….. 36
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………………... 37
4.1 Hasil Penelitian ……………………………………………….. 37
4.2 Pembahasan …………………………………………………… 43
4.3Implikasi Terhadap Pelayanan dan Penelitian ………………... 52
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………… 53
5.1 Simpulan ……………………………………………………… 53
5.2 Saran ………………………………………………………….. 54
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 56
LAMPIRAN-LAMPIRAN ……………………………………………….. 59
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 : Definisi Operasional …………………………………… 26
Tabel 3.2 : Kisi-Kisi Instrumen Kecerdasan Spiritual….………….. 29
Tabel 3.3 : Kisi-Kisi Instrumen OtonomiProfesionalBerdasarkan
Dimensi ………………………………..………………… 30
Tabel 3.4 : Kisi-Kisi Instrumen Otonomi Profesional Berdasarkan
Hasil Ukur ………………………………………………… 31
Tabel 3.5 : Nilai Standar Deviasi …………………………………… 32
Tabel 3.6 : Nilai Mean………………………………………………. 32
Tabel 3.7 : Nilai Kovarians …………………………………………. 33
Tabel 4.1 : Tabel Numerik Kecerdasan Spiritual …………….. …….. 38
Tabel 4.2 : Kecerdasan Spiritual Perawat Berdasarkan Dimensi …… 39
Tabel 4.3 : Distribusi Frekuensi Otonomi Profesional ……………… 39
Tabel 4.4 : Otonomi Profesional Perawat Berdasarkan Dimensi …… 40
Tabel 4.5 : Gambaran Otonomi Profesional Perawat dengan Rata-Rata
Kecerdasan Spiritual …………………………………….. 41
Tabel 4.6 : Kecerdasan Spiritual Perawat dengan Otonomi Profesional
Perawat Pada Kategori Mid Level ……………………….. 42
Tabel 4.7 : Hasil Uji Bivariat Kecerdasan Spiritual dan Otonomi
Profesional Perawat ……………………………..……….. 43
DAFTAR SKEMA
Halaman
Skema 1.1. : Skema Kerangka Pemikiran……………………….......... 10
Skema 4.1 : Bagaimana Spiritualitas Diterjemahkan ke Dalam
Kebijakan Praktek ………………………………………... 51
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. :Pengantar Kuesioner
Lampiran 2. : Surat Persetujuan Sebagai Responden
Lampiran 2. : Kuesioner Kecerdasan Spiritual
Lampiran 3. : Kuesioner OtonomiProfesional
Lampiran 4 : Spiritual Intelligence Self-Report Inventory
Lampiran 5 : Nursing Activity Scale
Lampiran 6 : Berita Acara Seminar Proposal Penelitian
Lampiran 7. : Surat Izin Penelitian
Lampiran 8 : Kartu Bimbingan
Lampiran 9 : Input Data Penelitian
Lampiran 10 : Daftar Riwayat Hidup
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Pada dasarnya manusia adalah makhluk spiritual karena selalu terdorong
oleh kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan “mendasar” atau “pokok”.
Mengapa saya dilahirkan? Apakah makna hidup saya? Buat apa saya melanjutkan
hidup saat saya lelah, depresi, atau merasa terkalahkan? Apakah yang dapat
membuat semua itu berharga? Kita diarahkan, bahkan ditentukan oleh suatu
kerinduan yang sangat manusiawi untuk menemukan makna dan nilai dari apa
yang kita perbuat dan alami (Zohar & Marshall, 2010).
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan
makna atau value, yaitu kecerdasan inti yang menempatkan perilaku dan hidup
kita dalam konteks makna yang lebih luas dan lebih kaya, kecerdasan untuk
menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan
dengan yang lain (Najati, 2002). Kecerdasan spiritual menjadi dorongan manusia
dalam berperilaku dan mengambil keputusan atau memberikan makna pada
sesuatu. Bahkan dalam Sukidi (2002), kecerdasan spiritual adalah temuan yang
disebut-sebut sebagai the ultimate intelligence yaitu puncak kecerdasan.
Hubungan antara kecerdasan spiritual, dengan kecerdasan intelektual (IQ)
dan kecerdasan emosional (EQ) dijelaskan oleh Shariati dalam Rohaliyah (2006)
bahwa manusia adalah makhluk dua dimensional yang membutuhkan
penyelarasan kebutuhan akan kepentingan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu,
manusia harus memiliki konsep dunia atau kepekaan emosi dan intelligence yang
baik (EQ dan IQ) dan penting pula penguasaan ruhiyah vertikal atau kecerdasan
spiritual.
Berpikir bukanlah proses otak semata-mata dan bukan urusan IQ saja.
Sebab, manusia berpikir tidak hanya memakai otak, tetapi juga dengan emosi dan
tubuh (EQ), serta dengan semangat, visi, harapan, kesadaran akan makna dan nilai
(SQ) (Auliya, 2005). Sementara menurut Zohar dan Marshall (2010), kecerdasan
spiritual berperan paling penting di dalam menentukan keberhasilan, karena
kecerdasan ini adalah kecerdasan yang memfungsikan kecerdasan lain, yaitu
kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
Kecerdasan spiritual melampaui kemampuan untuk cerdas berpikir,
merasa, bertindak dan berperilaku dalam konteks situasional atau kerangka kerja
yang diberikan. Kecerdasan spiritual memungkinkan manusia untuk bijaksana
dalam merefleksikan situasi untuk menemukan dirinya yang lebih bermakna
sehingga mampu mengubah sesuatu menjadi lebih berharga (Mengel, 2005).
Dalam sebuah penelitian di Cina dan Taiwan oleh Yang (2009) dikatakan
bahwa spiritualitas penyedia layanan kesehatan menjadi isu penting dalam dunia
yang semakin sibuk dengan isu-isu material. Di dua Negara tersebut perawat
mengadopsi kesadaran budaya dan kepekaan karena mereka memberikan
perawatan holistik untuk klien. Sistem sosial memiliki dampak pada kecerdasan
spiritual perawat dan berpengaruh pada kehidupan sehari-hari mereka secara
pragmatis, objektif, dan rasional bergantung pada pengaturan kerja.
Hubungan kecerdasan spiritual dan profesionalisme dijelaskan dalam
Mengel et al, 2004 dalam Mengel (2005) bahwa kecerdasan spiritual sangat
penting ketika memasuki sebuah organisasi atau profesi untuk berkomunikasi
dengan stakeholder dan menciptakan nilai jual berdasarkan pada visi dan nilai-
nilai bersama, dan untuk mengubah suatu profesi menjadi sesuatu yang baru dan
lebih bermakna dengan bijak dalam mengatasi tantangan perubahan, krisis dan
kerugian yang akan dihadapi sebagian besar lingkungan kita yang semakin
kompleks.
Keperawatan sebagai sebuah profesi memiliki otonomi sendiri dimana
perawat bisa bertindak dan memutuskan sesuatu sesuai dengan area
keperawatannya. Menurut Berger dan Williams (1992), keperawatan sebagai
suatu profesi memiliki karakteristik sebagai kelompok pengetahuan yang
melandasi keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam tatanan praktek
keperawatan, mampu memberikan pelayanan yang unik kepada masyarakat,
memenuhi standar pendidikan yang telah diselenggarakan, bertanggung jawab dan
bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan, merupakan bagian dari
pekerjaan rutin, dan memiliki kewenangan dan fungsi mandiri.
Profesionalisme perawat sebagai suatu profesi yang dapat memberikan
kontribusi yang lebih nyata dan berkualitas dalam pelayanan kesehatan secara
umumnya, khususnya pelayanan keperawatan di rumah sakit harus dimulai dari
komitmen dan internalisasi perawat terhadap profesinya sendiri. Termasuk di
dalamnya adalah dukungan dari motivasi diri perawat dalam memberikan kontrol
terhadap area keperawatan.
Apabila secara organisasi keperawatan masih terbatas dalam
melaksanakan otonomi keperawatan, maka perawat sebagai individu bisa
melaksanakan otonomi profesionalnya secara mandiri yang kelak mampu
mempengaruhi otonomi struktural. Otonomi profesional perawat ini diukur oleh
Kelly (2001) dalam Waltz (2001) dalam Nursing Activity Scale. Individu perawat
dimasukan ke dalam tiga kategori otonomi profesional yaitu high level, mid level,
dan low level.
Otonomi mengandung arti bagi praktisi yaitu mempunyai kontrol terhadap
apa yang menjadi bidang garapnya. Selain itu, perawat juga harus memiliki nilai-
nilai personal yang diharapkan dapat dibagi atau ditampakkan sehingga dapat
memberikan gambaran positif terhadap profesi (Leddy & Pepper, 2000). Beberapa
poin penting dalam otonomi profesional menurut Kelly (2001) dalam Waltz
(2001) adalah tindakan dan keputusannya untuk karir keperawatannya sendiri,
kebijakan untuk klien, hubungan kolaborasi kerja dengan profesi lain, dan
bertanggung jawab terhadap instansi tempat dia bekerja.
Profesionalitas perawat harus diupayakan dengan menumbuhkan nilai dan
keyakinan terhadap profesi keperawatan agar pada saat memberikan pelayanan
keperawatan tidak terjadi pertentangan dengan apa yang sudah menjadi standar
bagi profesi keperawatan. Keyakinan bahwa keperawatan merupakan profesi
harus disertai dengan realisasi pemenuhan kontrol terhadap bidang garapannya
yang disebut dengan otonomi profesional (Cresia & Parker, 2001).
Jika otonomi profesional ini bisa terlaksana oleh individu perawat maka
akan berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat terhadap otonomi strukutral
keperawatan itu sendiri. Maka diperlukan hal positif yang bisa mengatur tindakan
dan keputusan yang diambil oleh perawat, diantaranya adalah kecerdasan
spiritual.
Kualitas dalam mengelola spiritualitas ini diatur oleh kecerdasan spiritual.
Menurut King (2008), kecerdasan spiritual termasuk ke dalam multiple
intelligences dengan empat komponen inti, yaitu berpikir Critical Existential
Thinking (CET), Personal Meaning Production (PMP), Transcendental
Awareness (TA), dan Conscious Expansion State (CES).
Setiap manusia memiliki kecerdasan spiritual yang akhirnya diwujudkan
dengan prinsip dan perilaku yang diatur oleh kecerdasan spiritual tersebut.
Menurut Agustian (2001) kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi
makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah
pemikiran tauhidi (integralistik) serta berprinsip “hanya karena Allah”.
Lebih lanjut diungkap Zohar dan Marshall (2010), bahwa inti dari
kecerdasan spiritual adalah makna, oleh karena penekanan kecerdasan spiritual
lebih pada makna maka spiritualitas dalam konsep kecerdasan spiritual tidak
terkait dengan agama. Dengan begitu bukanlah jaminan seseorang yang memiliki
pemahaman tinggi terhadap agama yang dianutnya akan pula memiliki tingkat
kecerdasan spiritual yang tinggi pula, sebaliknya mereka yang tingkat pemahaman
agamanya rendah juga tidak selalu kecerdasan spiritualnya rendah.
Agama dipandang sebagai suatu sistem yang terorganisir dari
kepercayaan, praktik, ritual, dan simbol (Koenig, 2000 dalam King, 2009),
sedangkan spiritualitas dianggap sebagai pencarian pribadi untuk memahami
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang kehidupan, tentang makna,
dan tentang hubungan dengan hal yang sakral atau transenden. Meski begitu,
agama menjadi „kendaraan‟ terbaik untuk menuju spiritualitas (Helminiak, 2001
dalam King, 2009). Oleh karena itu, peneliti melakukan studi pendahuluan di
Rumah Sakit Al Islam Bandung yang merupakan salah satu diantara tujuh Rumah
Sakit berbasis agama yang memiliki mentoring keagamaan, untuk melihat
kecerdasan spiritual perawat di Rumah Sakit tersebut dan apakah ada
hubungannya dengan otonomi profesional perawat tersebut.
Pankartz dalam Wade (1995) meneliti mengenai otonomi profesional
perawat dan menunjukan bahwa perawat kesehatan masyarakat/komunitas
memiliki skor yang secara signifikan lebih tinggi daripada perawat di rumah sakit.
Berdasarkan penelitian tersebut peneliti menentukan lokasi penelitian di area
rumah sakit, lebih spesifik di ruang rawat inap.
Dari tujuh orang perawat yang diwawancara pada hari Senin, 21 April
2014, mengenai pengambilan keputusan yang menjadi bagian dari otonomi
profesional, ditemukan bahwa ada tiga perawat yang masih ragu-ragu untuk
merencanakan rencana profesi keperawatan mandiri. Pengambilan keputusan
dalamtindakan keperawatanmasih dipengaruhi oleh tenaga medis lain, seperti
untuk memutuskan batasan asuhan keperawatan, pemberian terapi, dan
pendidikan kesehatan untuk perencanaan pulang. Perawat tersebut memiliki
kecerdasan spiritual yang baik namun memiliki sikap otonomi profesional yang
berbeda-beda, sementara spiritualitas berperan penting untuk menentukan
kebijakan dalam sebuah profesi (Mengel, 2005). Oleh karena itu, diteliti
hubungan kecerdasan spiritual dengan otonomi profesional perawat di ruang
rawat inap Rumah Sakit Al Islam Bandung.
Goss, et al (1994) dalam Fairholm (1997) mengatakan bahwa bekerja
bukan hanya efisiensi dan fleksibilitas namun juga kebutuhan untuk mengenali
sisi spiritual dari kehidupan pekerjaan. Saat ini upaya untuk menjadi seorang
profesional mengabaikan unsur kemanusiaan, maka spiritual menuntut sebuah
profesi untuk mengatur konteks pribadi baru di antara anggota untuk
menambahkan elemen spiritual agar menghasilkan perubahan yang berarti.
Dengan pengakuan yang berkembang tentang peran spiritualitas dalam
kesehatan, pemahaman perawatan spiritual yang berkaitan dengan keperawatan
menjadi penting, terutama karena perawatan spiritual telah diakui sebagai area
dari asuhan keperawatan. Dalam manajemen keperawatan, perawatan spiritual
difasilitasi oleh spiritualitas pribadi, pelatihan dalam perawatan spiritual dan
budaya yang mengimplementasikan perubahan untuk mendukung perawatan
spiritual (Biro, 2012).
Di antara kegiatan keperawatan yang dilaksanakan di ruang rawat inap
Rumah Sakit Al Islam Bandung adalah program Bimbingan Ibadah Pasien (BIP)
yang merupakan salah satu program unggulan. Program BIP mulai diterapkan di
Rumah Sakit Al Islam Bandung sejak tahun 2009. Pertama kali diterapkan di satu
ruangan perawatan sebagai pilot project, seiring waktu secara bertahap akhirnya
dapat diterapkan di seluruh ruang perawatan pada tahun 2010. Program BIP yang
dilaksanakan oleh perawat di ruang perawatan, meliputi menciptakan lingkungan
yang kondusif untuk beribadah, meningatkan waktu sholat, membimbing praktek
ibadah pasien seperti bersuci, shalat, zikir, membaca quran, dan lain-lain. Perawat
akan merujuk pasien kepada petugas kerohanian, apabila pada saat pelaksanaan
BIP ditemukan adanya hambatan yang perlu penanganan lebih lanjut.
Untuk memenuhi perawatan spiritual tersebut, perawat diberikan kegiatan
oleh manajamen Rumah Sakit Al Islam Bandung yaitu mentoring keagamaan
dengan satu pementor memegang 7-8 karyawan. Dengan visi unggul, terpercaya,
dan islami, Rumah Sakit Al Islam Bandung menerapkan nilai-nilai Islam ke dalam
seluruh aspek pelayanan dan pengelolaannya. Mentoring juga merupakan salah
satu cara untuk menjaga hubungan yang sehat antar-perawat, selain dari kelompok
dukungan, kegiatan rekreasi, liburan, dan menjadi sukarelawan (Schimdt, 2004).
Kegiatan tersebut bisa menjadi pengembangan kecerdasan spiritual,
namun belum ada penelitian yang menunjukan adanya hubungan antara
kecerdasan spiritual yang dimiliki perawat dengan otonomi profesional perawat di
ruang rawat inap Rumah Sakit Al Islam Bandung.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas timbul suatu pertanyaan yaitu “Apakah
terdapat hubungan antara kecerdasan spiritualdengan otonomi profesional perawat
di ruang rawat inap Rumah Sakit Al Islam Bandung.”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan
antarakecerdasan spiritual dan otonomi profesional perawat di ruang rawat inap
Rumah Sakit Al-Islam Bandung.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasikecerdasan spiritual perawat di ruang rawat inap
RSAI Bandung.
b. Mengidentifikasi kecerdasan spiritual perawat di ruang rawat inap
RSAI Bandung berdasarkan dimensinya.
c. Mengidentifikasi otonomi professional perawat di ruang rawat inap
RSAI Bandung.
d. Mengidentifikasi otonomi profesional perawat di ruang rawat inap
RSAI Bandung berdasarkan dimensinya.
e. Mengidentifikasi hubungan antara kecerdasan spiritual dengan
otonomi professional perawat di ruang rawat inap Rumah Sakit Al
Islam Bandung.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Bagi Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi perawat
mengenai pentingnya kecerdasan spiritual dalam meningkatkan otonomi
profesional perawat. Bagi manajemen Rumah Sakit, hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai masukan untuk memberikan pembekalan
serta pembinaan bagi para perawat tentang pentingnya kecerdasan spiritual dalam
mendorong otonomi profesional perawat.
1.4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan
bagi perawat pendidik untuk mengintegrasikannya dalam pembelajaran terkait
dengan kecerdasan spiritual dan otonomi profesional perawat.
1.4.3 Bagi Penelitian Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan acuan dan pertimbangan
maupun perbandingan bagi penelitian selanjutnya.
1.5 Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian yang dilakukan oleh King (2008) Kecerdasan Spiritual
memiliki empat komponen inti yang terdiri dari (1) Berpikir Kritis Eksistensial
(Critical Existential Thinking), (2) Pembentukan Persepsi Pribadi (Personal
Meaning Production), (3) Kesadaran Transendental (Transcendental Awareness),
(4) Pengembangan Area Kesadaran (Conscious State Expansion) dan memiliki
tiga kategori otonomi profesional menurut Kelly (2001) dalam Waltz (2001) yaitu
high level, mid level, dan low level.
Skema 1.1 Kerangka Pemikiran
Kecerdasan
Spiritual
Otonomi
Profesional Perawat
Perawat Ruang Rawat
Inap RSAI Bandung
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kecerdasan Spiritual
2.1.1. Definisi Kecerdasan Spiritual
Selama ini kita cenderung mempersepsikan kecerdasan terlalu sempit,
yaitu mengarah pada IQ. Padahal manusia mempunyai bermacam kecerdasan
yang seringkali terabaikan oleh diri kita sendiri. Kecerdasan bergantung pada
konteks, tugas serta tuntutan yang diajukan oleh kehidupan kita, dan bukan
tergantung pada nilai IQ, gelar perguruan tinggi atau reputasi bergengsi.
Suparman dalam Kusumawati (2007) menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan kecerdasan (intelligence) adalah kemampuan manusia untuk memperoleh
pengetahuan dan pandai melaksanakannya dalam praktik. Potensi kecerdasan
meliputi: kemampuan memahami, kemampuan menganalisa, kemampuan
membuat keputusan, sampai pada kemampuan menjalankan (mengeksekusi).
Kecerdasan spiritual telah memenuhi tiga kriteria utama untuk intelijen
yaitu kumpulan karakteristik kemampuan mental yang berbeda dari perilaku
istimewa, fasilitas adaptasi dan pemecahan masalah, dan berkembang selama
jangka hidup (lifespan) (King, 2008).
Menurut King (2008), kecerdasan spiritual didefinisikan sebagai satu set
kapasitas mental yang berkontribusi terhadap kesadaran, integrasi, dan aplikasi
adaptif aspek nonmateri dan hal yang disadari di area transenden, mengarah ke
hasil seperti eksistensial mendalam, peningkatan makna, pengakuan dari
transendensi-diri, dan penguasaan area spiritual.
Dalam teori lain, Tasmara (2001)mengatakan kecerdasan spiritual dari
sudut pandang keagamaan ialah suatu kecerdasan yang berbentuk dari upaya
menyerap kemahatahuan Allah dengan memanfaatkan diri sehingga diri yang ada
adalah Dia Yang Maha Tahu dan Maha Besar. Spiritual merupakan pusat lahirnya
gagasan, penemuan, motivasi, dan kreativitas yang paling fantastik. Sementara
Mujib (2001) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan kalbu yang
berhubungan dengan kualitas batin seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan
seseorang untuk berbuat lebih manusiawi, sehingga dapat menjangkau nilai-nilai
luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal pikiran manusia.
Maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan
yang meliputi tiga aspek yaitu hubungan antara kita dengan yang Di Atas
yang disimpulkan dalam transendental, hubungan kita dengan sesama yang
disimpulkan dalam makna pribadi dan makna keseharian, dan hubungan kita
dengan diri kita sendiri yang disimpulkan dalam area kesadaran. Tiga aspek
tersebut teraplikasikan dengan cara berpikir kritis eksistensial.
2.1.3 Ciri-Ciri Kecerdasan Spiritual
Menurut Tebba (2004), kecerdasan spiritual ditandai dengan ciri-ciri,
yaitu:
a. Mengenal motif kita yang paling dalam
Motif yang paling dalam berkaitan erat dengan motf kreatif. Motif
kreatif adalah motif yang menghubungkan kita dengan kecerdasan
spiritual. Ia tidak terletak pada kreatifitas, tidak bisa dikembangkan
lewat IQ. IQ hanya akan membantu untuk menganalisis atau mencari
pemecahan soal secara logis. Sedangkan EQ adalah kecerdasan yang
membantu kita untuk bsia menyesuaikan diri dengan orang-orang di
sekitar kita.
b. Memiliki tingkat kesadaran yang tinggi
Kesadaran yang tinggi memiliki arti tingkat kesadaran bahwa dia tidak
mengenal dirinya lebih, karena ada upaya untuk mengenal dirinya
lebih dalam. Misalnya, dia selalu bertanya diapa diriku ini? Sebab
hanya mengenal diri, maka dia mengenal tujuan dan misi hidupnya.
c. Bersikap responsif pada diri yang dalam
Melakukan intropeksi diri, refleksi diri dan mau mendengarkan suara
hati nurani ketika ditimpa musibah. Keadaan seperti itu mendorong
kita untuk melakukan intropeksi diri dengan melihat ke dalam hati
yang paling dalam.
d. Mampu memanfaatkan dan mentransenden kesulitan
Melihat ke hati yang paling dalam ketika menghadapi musibah disebut
menyransenden kesulitan. Orang yang cerdas secara spiritual tidak
mencari kambing hitam atau menyalahkan orang lain sewaktu
menghadapi kesulitan atau musibah, tetapi menerima kesulitan itu dan
meletakannya dalam rencana hidup yang lebih besar.
e. Sanggup berdiri, menentang, dan berbeda dengan orang banyak
Manusia mempunyai kecenderungan untuk ikut arus atau trend. Orang
yang cerdas secara spiritual mempunyai pendirian dan pandangan
sendiri walaupun harus berbeda dengan pendirian dan pandangan
umum.
f. Enggan menganggu atau menyakiti orang dan makhluk yang lain
Merasa bahwa alam semesta ini adalah sebauh kesatuan, sehingga
kalau mengganggu appaun dan siapapun pada akhirnya akan kembali
kepada diri sendiri. Orang yang cerdas secara spiritual tidak akan
menyakiti orang lain dan alam sekitarnya.
2.1.2. Mengukur Kecerdasan Spiritual
Dalam tesis yang disusun oleh King (2008) ada empat komponen
kecerdasan spiritual yang masing-masing mewakili pengukuran kecerdasan
spiritual secara menyeluruh yaitu Critical Existential Thinking (CET), Personal
Meaning Production (PMP), Transcendental Awareness (TA), dan Conscious
State Expansion (CSE).
2.1.2.1Critical Existential Thinking (CET)
Komponen pertama dari kecerdasan spiritual melibatkan kemampuan
untuk secara kritis merenungkan makna, tujuan, dan isu-isu eksistensial atau
metafisik lainnya (misalnya realitas, alam, semesta, ruang, waktu, dan kematian).
Berpikir kritis eksistensial dapat diterapkan untuk setiap masalah hidup, karena
setiap objek atau kejadian dapat dilihat dalam kaitannya dengan eksistensi
seseorang. Sementara beberapa mendefinisikannya sebagai „upaya untuk
memahami jawaban‟ (Koenig, 2000, dalam King 2009) atas pertanyaan-
pertanyaan yang akhirnya tampak, secara lebih praktis dianggap sebagai pola
perilaku yang berkaitan.
Pendapat lain mengatakan bahwa jika hanya mempertanyakan keberadaan
saja tidak menunjukan penguasaan lengkap dari komponen ini. Selain harus
mampu untuk merenungkan masalah eksistensial tersebut dengan berpikir
kritistapi juga sampai pada kesimpulan murni atau filosofi pribadi tentang
keberadaan, mengintegrasikan pengetahuan ilmiah dan pengalaman pribadi.
Berpikir kritis, yang didefinisikan sebagai mengkonsep secara aktif dan kreatif,
menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan/atau mengevaluasi informasi yang
dikumpulkan atau dihasilkan dari observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, atau
komunikasi (Scriven & Paul, 1992, dalam King, 2009).
Pada instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen ini pada
unsur eksistensi, makna peristiwa, kehidupan setelah kematian, hubungan
manusia dan alam semesta, dan mengenai Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi.
Namun, penelitian yang dilakukan King tidak merujuk kepada agama tertentu atau
non-agama sekalipun.
2.1.2.2 Personal Meaning Production (PMP)
Komponen inti kedua didefinisikan sebagai kemampuan untuk
membangun makna pribadi dan tujuan dalam semua pengalaman fisik dan mental,
termasuk kemampuan untuk membuat dan menguasai tujuan hidup. Nasel (2004)
dalam King (2009) setuju bahwa kecerdasan spiritual melibatkan kontemplasi
makna simbolis kenyataan dan pengalaman pribadi untuk menemukan tujuan dan
makna dalam semua pengalaman hidup.
Sebagaimana dikatakan Frankl Dalam Zohar & Marshall (2010) bahwa
pencarian kita akan makna merupakan motivasi penting dalam hidup kita.
Pencarian inilah yang menjadikan kita makhluk spiritual dan ketika kebutuhan
makna ini tidak terpenuhi, maka hidup kita terasa dangkal dan hampa.
Makna pribadi didefinisikan sebagai memiliki tujuan di dalam hidup,
memiliki arah, merasakan keteraturan, dan mengetahui alasan untuk
keberadaannya (Reker, 1997 dalam King, 2009). Meddin (1998) dalam King
(2009) mengidentifikasikan komponen kognitif makna pribadi sebagai kumpulan
prinsip yang memungkinkan seseorang untuk masuk akal pada kehidupannya dari
dalam dan lingkungan luar. Sebuah komponen kognitif juga disarankan oleh
Wong (1989) dalam King (2009) yang mendefinisikan makna pribadi sebagai
sistem kognitif yang dibangun oleh seseorang, yaitu mampu memberkati
kehidupan dengan makna pribadi dan kepuasan.
Pada instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen kepada
unsur-unsur kemampuan adaptasi dari makna dan tujuan hidup dan alasan hidup,
makna kegagalan, mengambil keputusan sesuai dengan tujuan hidup, serta makna
dan tujuan dari kejadian sehari-hari.
2.1.2.3Transcendental Awareness (TA)
Komponen ketiga melibatkan kemampuan untuk melihat dimensi
transenden diri, orang lain, dan dunia fisik (misalnya nonmaterial dan keterkaitan)
dalam keadaan normal maupun dalam keadaan membangun area kesadaran.
Wolman (2001) dalam King (2009) menjelaskan kesadaran transendental sebagai
kemampuan untuk merasakan dimensi spiritual kehidupan, mencerminkan apa
yang sebelumnya digambarkan sebagai merasakan kehadiran yang lebih nyata,
yang lebih tersebar dan umum dari indera khusus kita.
Transendental selalu dikaitkan dengan ketuhanan, namun hasil riset
Ecklund (2005) dalam Syahmuharnis & Sidharta (2006), mahasiswa doktor
tingkat akhir di Rice University, Houston, terhadap lebih dari 1.600 ilmuwan dari
21 universitas riset elit Amerika Serikat menyimpulkan, banyak orang Amerika
yang tidak percaya dengan Tuhan, namun meyakini dirinya memiliki spiritual.
Riset itu juga menemukan fakta bahwa spiritualisme kini menjadi hal yang
semakin penting di Amerika, namun tetap memisahkan/membedakannya dengan
agama.
Abraham Maslow, Hamel, Leclerc, dan Lefrancois (2003) dalam King
(2009) telah menggambarkan proses tambahan aktualisasi transenden, yang
mereka definisikan sebagai realisasi diri yang didirikan pada kesadaran
pengalaman dari Pusat Spiritual (Spiritual Center), juga disebut sebagai Batin
atau Inti. Csikszentmihalyi (1993) dalam King (2009) juga menyebutkan
transendensi-diri menggambarkan kesuksesan seseorang sebagai transcender yang
bergerak melampaui batas-batas keterbatasan pribadi mereka dengan
mengintegrasikan tujuan individu dengan yang lebih besar, seperti kesejahteraan
keluarga, masyarakat, umat manusia, planet, atau kosmos. Demikian pula, Le dan
Levenson (2005) dalam King (2009) menjelaskan transendensi-diri sebagai
kemampuan untuk bergerak di luar kesadaran egosentris, dan melihat hal-hal
dengan ukuran kebebasan yang cukup besar dari kondisi biologis dan sosial.
Pada instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen ini kepada
aspek non-fisik dan non-materi, mampu merasakan non-fisik dan non-materi,
memahami hubungan antar manusia, mendefinisikan non-fisik (ruh), kualitas
kepribadian/emosi, dan mampu memusatkan diri.
2.1.2.4. Conscious State Expansion (CSE)
Komponen terakhir dari model ini adalah kemampuan untuk memasukan
area kesadaran spiritual (misalnya kesadaran murni, kesadaran murni, dan
kesatuan) atas kebijakannya sendiri. Dari perspektif psikologis, perbedaan antara
kesadaran transendental dan pengembangan area kesadaran ini didukung oleh Tart
(1975) dalam King (2009) bahwa kesadaran transendental harus terjadi selama
keadaan sadar normal, sedangkan pengembangan area kesadaran meliatkan
kemampuan untuk mengatasi keadaan sadar dan area yang lebih tinggi atau
spiritual. Sebuah pengembangan badan penelitian telah menunjukan perbedaan
yang signifikan dalam fungsi otak antara semua tingkat dan area kesadaran,
termasuk yang berhubungan degan pengalaman spiritual dan meditasi. Area
tersebut adalah kesadaran kosmik, kesadaran murni, dan kesadaran unitive.
Kesadaran diri (self consciousness yang sering juga disebut dengan self
awareness) adalah pembeda utama antara orang yang memiliki spiritualisme
tinggi dengan yang tidak. Orang-orang yang memiliki kesadaran yang tinggi akan
selalu berpikir beberapa kali dalam merespons setiap situasi, mengambil waktu
sejenak untuk memahami apa yang tersembunyi maupun yang nyata sebelum
menunjukan respons awal. Ia selalu bertindak penuh perhitungan, pertimbangan,
dan hati-hati. (Syahmuharnis & Sidharta, 2006).
Dalam instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen ini ke
dalam unsur-unsur memasuki area kesadaran, mengontrol area kesadaran,
bergerak dalam area kesadaran, melihat masalah dalam area kesadaran, dan
mengembangkan teknik untuk area kesadaran.
2.2 Otonomi Profesional Perawat
2.2.1 Definisi Otonomi Profesional
Otonomi berasal dari kata Yunani yaitu autos dan nomos, yang berarti diri
untuk memerintah atau memgang kekuasaan (Dempster, 1994). Otonomi juga
diartikan sebagai hak kekuasaan sendiri, kebebasan pribadi, kebebasan
berkehendak, dan memiliki komunitas pemerintahan sendiri (Fowler & Fowler,
1995). Konsep otonomi Fowler (1995) yang berorientasi kepada kelompok
berbeda dari otonomi pribadi menurut Kipper (1992) yaitu kemerdekaan,
kebebasan, penentuan nasib sendiri dan kedaulatan. Hall (1968) dalam Wade
(1999) mengklasifikan otonomi profesional sebagai ciri struktural atau sikap yang
membentuk dasar bagi definisi yang dikutip oleh banyak disiplin imu. Otonomi
struktural atau bekerja adalah kebebasan pekerja untuk membuat keputusan
berdasarkan persyaratan pekerjaan.
Dari berbagai pengertian di atas, ditarik kesimpulan bahwa otonomi adalah
menentukan tanggung jawab dan wewenang individu. Otonomi sikap dan
keyakinan bahwa seseorang bebas untuk menggunakan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan sehingga mencerminkan cara individu melihat suatu
profesi.
Otonomi profesional agregat, yang meliputi dimensi sikap dan struktural,
adalah kebebasan sosial dan hukum yang diberikan pemerintah sendiri dan
pengendalian kegiatan profesi tanpa pengaruh dari kekuatan eskternal (Chitty,
1993 dalam Wade, 1999). Meskipun ada keterbatasan secara organisasional,
individu mungkin menunjukan sikap terhadap otonomi perawat profesional dan
mempengaruhi otonomi struktural. Maka, otonomi perawat profesinal
didefinisikan sebagai keyakinan dalam diri perawat ketika membuat keputusan
kebijakan yang bertanggung jawab, baik secara mandiri maupun kolaborasi, yang
mencerminkan advokasi untuk pasien.
2.2.2 Perawat Sebagai Profesi
Profesi, secara historis dikaitkan dengan pendidikan tinggi atau institusi
pembelajaran dan membawa implikasi pada tingkat kemampuan tertentu yang
dicapai melalui proses studi dan riset. Lebih lanjut, ada kesepakatan umum bahwa
profesionalisme berkaitan langsung dengan keahlian, otonomi dan pelayanan.
Seorang profesional bertindak secara konsensius, paham dan mengerti apa yang
dilakukannya dan bertanggung jawab terhadap dirinya dan orang lain (Perry &
Potter, 2005).
Hal-hal yang menjadi ciri-ciri dari professional nursing practice dalam
Leddy & Hood (2006) adalah: 1) Menggunakan pendekatan berfokus masalah
terhadap seluruh rentang proses manusia terhadap sehat dan sakit, 2)
Mengintegrasikan pengetahuan yang berhubungan dengan sehat pada data
subjektif dan objektif klien setelah sebelumnya memahami pengalaman dari
individu atau kelompok, 3) Mengaplikasikan keilmuan yang dimiliki untuk
mendiagnosa dan mengatasi respon manusia, 4) Menyediakan caring relationship
dengan klien untuk memfasilitasi kesehatannya dan penyembuhannya.
Sementara karakteristik suatu profesi dikategorikan oleh Leddy & Pepper
(2000) sebagai karakteristik intelektual, karakteristik personal, interpersonal,
komitmen untuk melayani masyarakt, otonomi dan nilai-nilai personal. Berikut
penjelasan karakteristik yang dimaksud: 1) Karakter intelektual; Karakteristik ini
mempunyai tiga komponen yaitu mempunyai batang tubuh keilmuan sebagai
landasan praktek profesi, adanya pendidikan khusus untuk mendapat keilmuan
tersebut, dan berdasarkan keilmuan dalam berpikir kritis dan kreatif. 2)
Karakteristik personal dan interpersonal, dilihat dari bagaimana cara berpikir
kritis dan kreatif, dan dalam melaksanakan praktek profesi. 3) Komitmen
melayani. Dimulai dari masa-masa Florence Nightingale, keperawatan sudah
diasosiasikan pelayanan kepada orang lain. 4) Otonomi, mengandung arti bagi
praktisi yaitu mempunyai kontrol terhadap apa yang menjadi bidang garapnya. 5)
Nilai-nilai personal, nilai-nilai yang harus dimiliki oleh anggota profesi yang
diharapkan dapat dibagi atau ditampakkan sehingga dapat memberikan opini
positif terhadap profesi.
Karakter-karakter diatas memperjelas bahwa perawat merupakan profesi
dan sudah semestinya perawat menampilkan karakter-karakter tersebut di dalam
memberikan pelayanan keperawatan kepada klien. Karakter-karakter dari profesi
harus benar-benar ada dalam diri seorang perawat, termasuk memiliki otonomi
terhadap profesinya sendiri.
2.2.3 Mengukur Otonomi Profesional
Lebih dari 50 tahun yang lalu, otonomi profesional keperawatan
didasarkan pada konsep tradisional yaitu otonomi laki-laki yang lebih tinggi
daripada perempuan. Pandangan ini mengesampingkan tentang hubungan perawat
dengan pasien, sikap dan perilaku profesi (Wade, 1999). Beberapa tahun
kemudian, Pankratz pada tahun 1974, mengakui keunikan otonomi profesional
dalam individu perawat. Otonomi profesional keperawatan didefinisikan sebagai
kesediaan untuk bertindak sebagai seorang profesional yang bertanggung jawab
dan menekankan kemandirian dan ketergantungan antara perawat dan pasien.
Area utama perawat adalah tanggung jawab advokasi pasien dengan adanya
pengakuan hubungan antara advokasi dan otonomi (Cassidy, 1991).
Pankartz akhirnya membuat cara untuk mengukur otonomi profesional
keperawatan, yaitu Pankratz Nursing Attitude Scale (PNAS). Penelitian ini
diawali dengan perbandingan pengaturan praktek memiliki skor otonomi yang
mengungkapkan bahwa perawat kesehatan masyarakat memiliki otonomi skor
secara signifikan lebih tinggi daripada perawat di rumah sakit. Penelitian lain juga
menunjukan bahwa perawat jiwa memiliki skor PNAS signifikan lebih tinggi
dibandingkan dengan perawat bedah, perawat kritis, dan perawat maternitas.
Sementara Akoma (1993) dalam Wade (1999) melaporkan bahwa tidak ada
perbedaan dalam skor PNAS untuk sampel perawat bedah, perawat kritis, maupun
perawat klinik. Ukuran sampel dan komposisi, serta penggunaan uji statistik non-
parametrik, mungkin telah mempengaruhi temuan ini.
Pada tahun 1987 (Wade, 1999), Schutzenhofer mendefinisikan otonomi
profesinal keperawatan sebagai praktek pekerjaan seseorang yang sesuai dengan
pendidikan seseorang, peran keanggotaan seseorang dalam organisasi, dan
mengendalikan kegiatan mereka sendiri tanpa adanya kontrol eksternal sehingga
Schutzenhofer membuat sebuah alat ukur, yaitu Schutzenhofer Professional
Nursing Autonomy Scale(SPNAS).
Kekurangan dari teori Schutzenhofer adalah tidak adanya pembahasan
mengenai hubungan antara perawat dan klien. Maka dikembangkanlah alat ukur
tersebut oleh Kelly (2001) dalam Waltz (2001) sesuai dengan teori Bough bahwa
otonomi profesional dalam keperawatan berkembang dari kapasitas advokasi dan
aktivitas untuk orang lain. Pengembangan alat ukur tersebut dinamakanNursing
Activity Scale (NAS).
Dalam penelitian ini, peneliti memakai alat ukur Nursing Activity Scale
(NAS) yang akan membagi tingkat profesionalitas individu perawat ke dalam tiga
tingkatan, yaitu high level, mid level, dan low level. Pemakaian alat ukur karena
sesuai dengan latar belakang masalah yang diangkat oleh peneliti dan alat ukur ini
sudah dimodifikasi dan divalidasi ulang oleh Kelly.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan rancangan penelitian deskripsi korelasi serta menggunakan
rancangan cross sectional dengan bentuk survey/kuesioner. Penelitian
korelasional merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada
tidaknya hubungan antara dua atau variabel. Dengan teknik korelasi seorang
peneliti dapat mengetahui hubungan variasi dalam sebuah variabel dengan variasi
yang lain (Arikunto, 2005). Metode cross sectional dilakukan dengan cara
mengukur variabel dependen dan variabel independen hanya satu kali tanpa
dilakukan tindak lanjut serta penelitian dilakukan pada satu waktu (Saryono,
2008).
3.2 Variabel Penelitian
Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
variabel bebas dan variabel terikat.
3.2.1 Variabel Bebas
Variabel bebas (independent variabel) adalah variabel yang menjadi sebab
timbulnya atau berubahnya dependent variable atau yang mempengaruhi stimulus
atau input (Sugiyono, 2006). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
kecerdasan spiritual.
3.2.2 Variabel Terikat
Variabel terikat (dependent variable) adalah variabel yang dipengaruhi
atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas, dan variabel ini sering
disebut
variabel respon atau output(Sugiyono, 2006). Variabel terikat dalam penelitian ini
adalah otonomi profesional perawat.
3.3 Definisi Konseptual
Definisi konseptual merupakan konklusi dari definisi variabel-variabel di
dalam penelitian ini, antara lain:
a. Kecerdasan spiritual adalah merenungkan makna, tujuan, dan isu-isu
eksistensial atau metafisik lainnya (misalnya realitas, alam semesta,
ruang, waktu, kematian) dengan empat dimensi yaitu critical
existential thinking, personal meaning production, transcendent
awareness, dan conscious state expansion.
b. Otonomi profesional perawat didefinisikan sebagai keyakinan dalam
diri perawat ketika membuat keputusan kebijakan yang bertanggung
jawab, baik secara mandiri maupun kolaborasi sehingga terbagi ke
dalam empat dimensi yaitu keputusan untuk diri sendiri, keputusan
untuk pasien, keputusan untuk sesama perawat, dan keputusan
terhadap profesi lain. Otonomi profesional perawat terbagi ke dalam
tiga tingkatan yaitu high level, mid level, dan low level.
3.3 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah melekatkan arti pada suatu variabel dengan
cara menetapkan kegiatan atau tindakan yang digunakan untuk mengukur variabel
tersebut, dengan kata lain definisi operasional merupakan spesifikasi kegiatan atau
tindakan yang perlu untuk mengukur variabel (Kerlinger, 1995). Dalam penelitian
ini, variabel yang dijelaskan adalah kecerdasan spiritual dan otonomi professional
perawat.
Kecerdasan spiritual adalah ukuran seorang perawat dalam memaknai
kejadian dalam hidupnya, sehingga perawat tersebut memahami tujuan hidupnya
dan menjadi dasar sebagai cara berpikir untuk memutuskan sesuatu. Otonomi
profesional perawat adalah aktivitas keperawatan untuk memutuskan sesuatu yang
mencakup tindakan seorang perawat terhadap profesinya sendiri, pasien, sesama
perawat, dan antar disiplin.
Variabel Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Kecerdasan
Spiritual (Spiritual
Intelligence)
Dengan
menjumlahkan total
skor item dengan
rentang skor per
item 0-4 dan
menentukan mean.
SISRI
(Spiritual
Intelligence
Self Report
Inventory)
dengan
skala likert.
Menggunakan
scoring dengan
rentang 0-96 dimana
semakin tinggi nilai
berarti semakin
tinggi hasilnya.
Interval
Otonomi
Profesional
Perawat
Dengan
menjumlahkan total
skor item sesuai
dengan kategori
skor 3, skor 2, dan
skor 1.
Nursing
Activity
Scale
(NAS)
dengan
skala likert.
High Level jika total
skor 181-240, Mid
Level jika total skor
121-180, dan Low
Level jika total skor
60-120.
Ordinal
Tabel 3.1 Definisi Operasional Kecerdasan Spiritual
3.4 Populasi dan Sampel
3.4.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek
yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2006). Populasi
dalam penelitian ini adalah perawat ruang rawat inap di Rumah Sakit Al Islam
Bandung yang berjumlah 323 orang.
3.4.2 Sampel
a. Mengukur Sampel
Menurut Donald Ary, 50 sampai 100 subjek penelitian sudah dapat
dianggap cukup untuk penelitian korelasional. Jika peneliti akan
menggeneralisasikan hasil penelitiannya mereka harus berhasil mengambil sampel
yang betul-betul representatif karena ciri dari penelitian korelasional adalah
bahwa penelitian tersebut tidak menuntut subjek penelitian yang tidak terlalu
banyak (Arikunto, 2005). Sementara menurut Nursalam (2003) jika besar populasi
kurang dari 1000 maka sampel bisa diambil 20-30%.
b. Memilih Sampel
Teknik sampling yang digunakan untuk memilih sampel adalah random
sample yaitu suatu cara pengambilan sample yang memberikan kesempatan atau
peluang yang sama untuk diambil kepada setiap elemen populasi. Hal ini
dilakukan dengan melaksanakan penelitian tidak hanya dalam satu waktu dan satu
hari saja.
Selama sembilan hari penelitian, pemilihan sampel dilakukan kepada
perawat ruang rawat inap RSAI Bandung tanpa melihat jadwal dinas dan ruangan
tempat berdinas karena representatif dari kecerdasan spiritual dan otonomi
profesional perawat tidak dipengaruhi oleh jadwal dinas dan ruangan tempat
berdinas.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan
tertutup. Penyampaian dan pengembalian kuesioner dilakukan secara langsung
pada saat sebelum atau sesudah perawat berdinas, sehingga sumber data yang
diperoleh adalah sumber primer.
3.6 Instrumen Penelitian
3.6.1 Instrumen Kecerdasan Spiritual
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kecerdasan
spiritual King (2008) yaitu Spiritual Intelligence Self Report Inventory (SISRI).
Instrumen ini menggunakan skala likert dengan rentang 0-4. Responden
memberikan nilai 0 jika sangat tidak sesuai, 1 jika tidak sesuai, 2 jika kadang-
kadang, 3 jika sesuai, dan 4 jika sangat sesuai. Total skor 24 item ini adalah
rentang nilai 0-96, skor tertinggi menunjukan level tertinggi dalam kecerdasan
spiritual.
Instrumen ini telah divalidasi dengan sampel 619 mahasiswa di universitas
Canada (488 perempuan dan 131 laki-laki) dengan rata-rata usia 22,53 tahun (SD
= 5,5; rentang umur = 17-59 tahun). Hasil uji menunjukan nilai alpha .92.
Subskala individu CET, PMP, TA, dan CSE juga menampilkan rata-rata koefisien
alpha yang memadai dari .78, .78, .87, dan .91. Analisa ini menunjukan sifat
psikometrik yang sangat baik dari SISRI-24.
Sub Variabel Item Jumlah
Berpikir Kritis Eksistensial (Critical
Existential Thinking)
1 (+), 3 (+), 5 (+), 9 (+), 13
(+), 17 (+), dan 21 (+)
7
Pembentukan Makna Pribadi (Personal
Meaning Production)
7 (+), 11 (+), 15 (+), 19
(+), dan 23 (+)
5
Kesadaran Transendental
(Transcendental Awareness)
2 (+), 6 (-), 10 (+), 14 (+),
18 (+), 20 (+), dan 22 (+)
7
Pengembangan Area Kesadaran
(Conscious Expansion State)
4 (+), 8 (+), 12 (+), 16 (+),
dan 24 (+)
5
Jumlah 24
Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Kecerdasan Spiritual
3.6.2 Instrumen Otonomi Profesional Perawat
Nursing Activity Scale (NAS), instrumen dengan 35 item yang
dikembangkan dari instrumen Schutzenhofer Professional Nursing Autonomy
Scale (SPNAS) dari Schutzenhofer (1987) dalam Waltz (2001). Pengembangan
instrumen ini dilakukan kepada dekan keperawatan, kepala perawat, dan perawat
spesialis oleh Kelly (2001) dalam Waltz (2001).
Uji reabilitas dan validitas dilakukan kepada 500 perawat wanita di
Midwestern untuk mengukur konsistensi internal. Responden merupakan perawat
yang sudah bekerja rata-rata 14 tahun dengan rata-rata usia 38,2 tahun. Format
respon terdiri dari skala Likert dengan 1 = sangat tidak sesuai; 2 = tidak sesuai; 3
= sesuai; 4 = sangat sesuai. Dalam uji ini itemukan hasil nilai alpha .92.
Validitas konten dikaji oleh Doktor bidang keperawatan di fakultas
keperawatan untuk memastikan berbagai perilaku autonomi. Landasan dalam
literatur keperawatan juga menjadi landasan bukti dari validasi konten. Level dari
hasil scoring terdiri dari: (a) 60-120 = lower lovel; (b) 121-180 = mid level; dan
(c) 181-240 = high level. Dari 35 item, hanya 30 item yang dinilai. Item 31, 32,
33, 34, dan 35, tidak dinilai karena hanya menjadi pembanding konsistensi
jawaban dengan lima item sebelumnya, yaitu 28, 29, 8, 18, dan 23.
Sub Variabel Item Jumlah
Tanggung jawab
terhadap diri sendiri
1, 2, 9, 18, 20, 21, 27, 28 8
Tanggung jawab
terhadap pasien
3, 4, 8, , 10, 15, 16, 17, 19 8
Tanggung jawab
terhadap keperawatan
7, 11, 12, 13, 14, 24, , 25 7
Tanggung jawab
terhadap profesi lain
5, 6, 22, 23, 26, 29, 30 7
Jumlah 30
Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen Nursing Activity Scaleberdasarkan
dimensinya
Instrumen Nursing Activity Scale ini juga dibagi berdasarkan tiga kategori
hasil ukurnya yang akan berpengaruh terhadap skor yang diberikan kepada
masing-masing item pernyataan, yaitu dikalikan 3 pada item yang termasuk ke
dalam kategori high level, dikalikan 2 pada item yang termasuk ke dalam kategori
mid level, dan dikalikan 1 pada item yang termasuk ke dalam kategori low level.
Kategori Item Jumlah
High Level(Skor: 3) 1, 2, 3, 4, 5, 6, 11, 12, 18, 28 10
Mid Level(Skor: 2) 7, 10, 13, 16, 19, 20, 21, 23, 24, 27 10
Low Level(Skor: 1) 8, 9, 14, 15, 17, 22, 25, 26, 29, 30 10
Jumlah 30
Tabel 3.4 Kisi-Kisi Instrumen Nursing Activity Scale berdasarkan hasil
ukurnya
3.7.1 Analisis Data
Sebelum melakukan analisa data, peneliti melakukan hal-hal yang harus
dilakukan terhadap data penelitian yang sudah terkumpul.
A. Cleaning
Tahapan ini dilakukan saat mengumpulkan data kuesioner dari
responden atau ketika memeriksa lembar observasi yaitu dengan cara
memeriksa kembali jawaban responden. Setelah pemeriksaan selesai
ditemukan tidak ada jawaban ganda atau belum terjawab.
B. Scoring
Setiap jawaban responden diberikan skor. Dalam instrumen kecerdasan
spiritual diberikan skor 0-4 untuk setiap item, sementara dalam instrumen
otonomi profesional perawat diberikan skor 1-4 untuk 10 item. 2-8 untuk 10
item, dan 3-12 untuk 10 item.
C. Entering
Setelah proses scoring selesai, peneliti memasukan data dan
melakukan uji normalitas. Setelah ditemukan bahwa data berdistribusi tidak
normal maka uji korelasi menggunakan uji spearman.
3.7.1 Analisa Univariat
Analisa univariat bertujuan untuk mendeksripsikan atau menjelaskan
karakteristik variabel-variabel yang diteliti. Dalam penelitian ini analisa univariat
dilakukan untuk melakukan uji normalitas dengan menghitung standar deviasi
(SD), rata-rata hitung (mean), dan kovarians (Cov). Distribusi data dikatakan
normal apabila jumlah nilai kovarians kurang dari 30%. Maka dalam penelitian ini
ditemukan data sebagai berikut:
Untuk mengukur standar deviasi, memakai rumus SD = √ ̅
dan
mendapatkan hasil seperti yang ditunjukan oleh tabel di bawah ini.
Standar Deviasi Hasil
SISRI
√
6,130
NAS
√
10,908
Tabel 3.5 Nilai Standar Deviasi
Untuk mengukur mean/rata-rata, memakai rumus Mean =
dan
mendapatkan hasil seperti yang ditunjukan oleh tabel di bawah ini:
Mean Hasil
SISRI
78,87
NAS
200,67
Tabel 3.6 Nilai Mean
Untuk mengukur kovarians dan menentukan data berdistribusi normal atau
tidak normal, memakai rumus Cov =
x 100% dan mendapatkan hasil seperti
yang ditunjukan oleh tabel di bawah ini;
Kovarians Kesimpulan
SISRI
x 100% = 7,77 % Normal
NAS
x 100% = 50 % Tidak Normal
Tabel 3.7Nilai Kovarians
Hasil uji normalitas menunjukan nilai kovarians 7,77% dan 50%. Oleh
karena itu disimpulkan bahwa dalam uji normalitas ini ditemukan data
berdistribusi tidak normal.
3.7.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilaksanakan untuk mendapatkan nilai kemaknaan
hubungan (korelasi) antara variabel independen dengan variabel dependen, serta
melihat variabel confounding terhadap hubungan variabel independen dengan
dependen. Berdasarkan hasil uji normalitas didapatkan data berdistribusi tidak
normal, maka peneliti menggunakan uji spearman. Peneliti yang menggunakan uji
ini me-ranking hasil observasinya pada dua variabel yang diukur dan kemudian
menentukan tingkat hubungan di antara variabel-variabel tersebut.
3.8 Prosedur Pengumpulan Data
3.8.1 Persiapan
Pengumpulan data diawali setelah melakukan studi pendahuluan,
merumuskan masalah penelitian, dan studi literatur yang berhubungan dengan
masalah penelitian dan instrumen penelitian. Setelah mendapatkan izin penelitian
dari Bagian Pendidikan dan Penelitian (Diklat) Rumah Sakit Al Islam Bandung,
peneliti mengatur kesepakatan jadwal dan proses penelitian yang akan
dilaksanakan maksimal satu bulan.
3.8.2 Pelaksanaan Penelitian
Peneliti mendapatkan data dengan mengelompokan populasi dan sampel,
memberikan informasi kepada perawat yang akan menjadi responden dan
menjamin kerahasiaan responden. Peneliti membagikan surat kesediaan dan
kuesioner di luar jam kerja untuk diisi oleh perawat dan mengumpulkannya
kembali di hari yang sama.
3.9 Etika Penelitian
Etika dalam penelitian ini sesuai dengan dua teori Nursalam (2003) yang
yaitu prinsip menghargai HAM dan inform consent.
3.9.1 Prinsip Menghargai Hak Asasi Manusia (Respect Human Dignity)
a. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self determination)
Subjek harus diperlakukan secara manusiawi. Semua perawat yang
dijadikan subjek penelitian mempunyai hak memutuskan apakah mereka bersedia
menjadi subjek ataupun tidak, tanpa ada paksaan. Dari semua perawat yang
diminta untuk menjadi responden tidak ada yang menolak untuk menjadi
responden.
b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right
to full disclosure)
Peneliti memberikan penjelasan secara rinci dan tidak ada yang ditutup-
tutupi. Adanya komunikasi antara peneliti dengan subjek penelitian sehingga
tujuan dari penelitian dapat tercapai.
c. Inform consent
Subjek diberikan informasi secara lengkap tentang tujuan penelitian yang
akan dilaksanakan sehingga subjek penelitian mengetahui perannya dalam
penelitian dan proses penelitian yang akan dilakukan.Inform consent yang
diberikan oleh peneliti terlampir.
3.9.2 Prinsip Keadilan (Right to Justice)
a. Hak untuk mendapatkan perilaku adil (right in fair treatment)
Subjek harus diperlakukan adil selama penelitian tanpa adanya
diskriminasi. Peneliti melakukan penelitian tidak dalam satu hari sehingga semua
perawat yang berdinas selama seminggu penelitian memiliki kesempatan untuk
menjadi responden.
b. Hak dijaga kerahasiannya (right to privation)
Subjek mempunyai hak untuk merahasiakan data yang diberikan. Untuk itu
perlu adanya anonymity (tanpa nama) dan confidentiality (rahasia). Data
penelitian ini disimpan oleh peneliti tanpa disebarluaskan kecuali untuk
kepentingan penelitian atau untuk mengkonfirmasi data.
3.10 Waktu dan Lokasi Penelitian
Tempat penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Al Islam Bandung.
Adapun pertimbangan instansi rumah sakit dipilih karena karakteristik Rumah
Sakit ini yang merupakan salah satu dari rumah sakit berbasis agama yang
memiliki kegiatan pengembangan spiritual terhadap petugas kesehatan, termasuk
perawat, dan lokasinya yang dekat dengan peneliti.Penelitian ini dilaksanakan
pada tanggal 16-24Mei tahun 2014 pada saat sebelum atau setelah perawat
berdinas.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan
spiritual dengan otonomi profesional perawat di ruang rawat inap Rumah Sakit Al
Islam Bandung. Dari 323 populasi perawat didapatkan jumlah sampel 97
responden dengan mengambil 30% dari populasi (Nursalam, 2003). Penelitian
dilaksanakan pada tanggal 16-24 Mei 2014. Teknik pengambilan sampel
dilakukan dengan cara random sampling. Data dikumpulkan dengan
menggunakan kuesioner Spiritual Intelligence Self Report Inventory (SISRI) dan
Nursing Activity Scale (NAS).
Karakteristik responden terdiri dari 92 orang perawat perempuan dan 5
orang perawat laki-laki dengan rentang usia 24-39 tahun dan rata-rata usia 33,5
tahun. Semua responden telah menjadi perawat di ruang rawat inap lebih dari satu
tahun.
Dari hasil penelitian tersebut dilakukan pengategorian terhadap kecerdasan
spiritual dan otonomi profesional perawat. Untuk mengukur kecerdasan spiritual
dengan melihat possible range, nilai tengah, dan actual range, sedangkan untuk
kategori otonomi profesional perawat terbagi menjadi 3 kategori yaitu high level,
mid level, dan low level. Selanjutnya dilakukan pula uji hubungan pada kedua
variabel tersebut dengan uji spearman karena hasil ukur penelitian merupakan
bentuk kategorik (ordinal/nominal) dan berdistribusi tidak normal.
4.1.1 Hasil Penelitian Univariat
4.1.1.1 Kecerdasan Spiritual
Hasil pengukuran kecerdasan spiritual pada perawat di ruang rawat inap
Rumah Sakit Al Islam Bandung dengan menggunakan Spiritual Intelligence Self-
Report Inventory (SISRI) dapat dilihat dalam tabel 4.1.
Possible Range Nilai Tengah Actual Range Mean
0-96 48 61-93 78,87
Tabel 4.1 Tabel Numerik Kecerdasan Spiritual
Berdasarkan tabel 4.1, dapat disimpulkan bahwa rata-rata kecerdasan
spiritual perawat di ruang rawat inap RS Al Islam Bandung, yaitu 78,87, berada di
atas nilai tengah dari instrumen Spiritual Intelligence Self-Report (SISRI), yaitu
48, dan mendapatkan nilai 93 sebagai tertinggi actual range yang mendekati nilai
tertinggi padapossible range, yaitu 96.
Karena instrumen SISRI tidak memiliki hasil ukur dalam kategori, maka
penelitia hanya menyimpulkan bahwa kecerdasan spiritual perawat di ruang rawat
inap Rumah Sakit Al Islam Bandung memiliki rata-rata dan nilai tertinggi di atas
nilai tengah dan nilai tertinggi dari possible range.
Hasil pengukuran kecerdasan spiritual perawat di ruang rawat inap RSAI
Bandung berdasarkan dimensinya yaitu Critical Existential Thinking (CET),
Personal Meaning Production (PMP), Transcendental Awareness (TA), dan
Conscious State Expansion (CSE), ditunjukan pada tabel berikuti ini.
Possible Range Median Actual Range Mean
CET 0-28 24 18-28 24,04 0,858
PMP 0-20 10 15-20 18,05 0,902
TA 0-28 24 15-28 21,79 0,778
CSE 0-28 10 6-18 14,78 0,739
Tabel 4.2 Kecerdasan Spiritual Perawat Berdasarkan Dimensi
Skor akhir adalah nilai yang telah disesuaikan dari mean dengan nilai
tertinggi possible range yang berbeda. Masing-masing mean memiliki nilai yang
lebih tinggi dari median. Dari data tersebut menunjukan bahwa skor tertinggi
berada pada dimensi Personal Meaning Production dan skor terendah berada pada
dimensi Conscious State Expansion.
4.1.1.2 Otonomi Profesional Perawat
Hasil pengukuran otonomi profesional perawat di ruang rawat inap Rumah
Sakit Al Islam Bandung dengan menggunakan Nursing Activity Scale (NAS)
dapat dilihat dalamtabel 4.3.
Otonomi Profesional F %
High Level 87 89,69%
Mid Level 10 10,31%
Low Level - -
Total 97 100%
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Otonomi ProfesionalPerawat di Ruang Rawat Inap
RSAI Bandung
Berdasarkan tabel 4.3, dapat diinterpretasikan otonomi profesional
perawat mayoritas berada di kategori high level, hanya sedikit yang berada di
kategori mid level, dan tidak ada perawat yang berada pada kategori low level,
yaitu dengan jumlahhigh level 89,69%, sebanyak 87 orang. Otonomi profesional
perawat mid level 10,31%, yaitu sebanyak 10 orang.
Dapat disimpulkan bahwa otonomi profesional perawat di ruang rawat
inap Rumah Sakit Al Islam Bandung mayoritas berada pada high level, hanya
sedikit di mid level, dan tidak ada yang menunjukan otonomi profesional pada low
level.
Hasil pengukuran otonomi profesional perawat di ruang rawat inap RSAI
Bandung berdasarkan dimensinya ditunjukkan oleh tabel berikut.
Possible Range Median Actual Range Mean
I 8-32 20 20-30 25,38 0,793
II 8-32 20 21-29 26,4 0,825
III 7-28 17,5 21-28 25,43 0,908
IV 7-28 17,5 21-26 23,55 0,841
Tabel 4.4 Otonomi Profesional Perawat Berdasarkan Dimensinya
Skor akhir adalah nilai yang telah disesuaikan dari mean dengan nilai
tertinggi possible range yang berbeda. Kolom I menunjukan tanggung jawab
perawat terhadap profesinya sendiri, kolom II menunjukan hubungan perawat
dengan pasien, kolom III menunjukan hubungan dengan sesama perawat, dan
kolom IV menunjukan hubungan dengan profesi kesehatan lainnya. Masing-
masing mean memiliki nilai yang lebih tinggi dari median. Dari data tersebut
menunjukan bahwa skor tertinggi berada pada dimensi tanggung jawab terhadap
karir keperawatan sesama perawat, dan skor terendah berada pada dimensikarir
keperawatan secara mandiri.
4.1.1.2 Gambaran Otonomi Profesional Perawat dan Rata-Rata Kecerdasan
Spiritualnya
Pada analisa ini dilihat pula rata-rata kecerdasan spiritual dilihat dari
kategori level pada otonomi profesional perawat. Hasil pengukuran otonomi
profesional perawat di ruang rawat inap Rumah Sakit Al Islam Bandung dengan
kategori high level dan mid level memiliki rata-rata kecerdasan spiritual yang
ditunjukan pada tabel 4.5.
Otonomi Profesional F Rata-Rata SQ
High Level 87 79,8
Mid Level 10 70,7
Low Level - -
Tabel 4.5Gambaran Otonomi Profesional Perawat dengan Rata-Rata
Kecerdasan Spiritual
Berdasarkan tabel 4.5 dapat diinterpretasikan bahwa perawat ruang rawat
inap dengan rata-rata kecerdasan spiritual 78,87 yang memiliki otonomi
profesional di high level memiliki kecerdasan spiritual di atas rata-rata, yaitu 79,8,
sementara perawat ruang rawat inap memiliki otonomi profesional di mid level
memiliki kecerdasan spiritual di bawah rata-rata, yaitu 70,7.
Hasil pengukuran kecerdasan spiritual perawat dengan otonomi
profesional yang berada pada kategori mid level berdasarkan dimensinya
ditunjukan oleh tabel berikut.
Possible Range Median Actual Range Mean
CET 0-28 14 18-23 21,23 0,750
PMP 0-20 10 15-20 17 0,85
TA 0-28 14 15-20 18 0,642
CSE 0-28 10 6-14 11,77 0,588
Tabel 4.6 Kecerdasan Spiritual Perawat dengan Otonomi Porfesional
Perawat Pada Kategori Mid Level
Skor akhir adalah nilai yang telah disesuaikan dari mean dengan nilai
tertinggi possible range yang berbeda. Berdasarkan tabel 4.6 tidak berbeda
dengan tabel 4.2, yaitu perawat dengan otonomi profesional pada kategori mid
level memiliki kecerdasan spiritual tertinggi pada dimensi personal meaning
production dan memiliki kecerdasan terendah pada dimensi transcendental
awareness.
..
4.1.2 Hasil Penelitian Bivariat
Data yang terkumpul dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji
spearman untuk mengetahui besarnya asosiasi atau keeratan hubungan antara
variabel kecerdasan spiritual dan variabel otonomi profesional perawat. Uji
korelasi menggunakan Uji Spearman dengan hasil yang ditunjukan pada tabel 4.5.
Median SD Range P Value Spearman
Kecerdasan Spiritual 67 6,130 61 – 93 0,00 0,574
Otonomi Profesional 195,5 10,908 173 – 218 0,00 0,574
Tabel 4.7. Hasil Uji Bivariat Kecerdasan Spiritualdan Otonomi Profesional
Perawat
Dari hasil perhitungan dengan uji korelasi spearman diperoleh nilai sig.
(2-tailed) untuk korelasi spearman adalah sebesar 0,00yang mana lebih kecil dari
nilai 0,05 . Keeratan hubungan korelasi yang terjadi adalah sebesar 0,574.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Ha diterima, yang memiliki makna
bahwa terdapat hubungan yang signifikan/bermakna antara kecerdasan spiritual
dan otonomi profesional perawat di ruang rawat inap RS Al Islam Bandung.
4.2 Pembahasan
Penelitian ini merupakan penelitian deksriptif korelasional. Penelitian ini
dilakukan selama sembilan hari di ruang rawat inap RSAI Bandung, yaitu pada
tanggal 16 Mei-24 Mei 2014. Pada bagian ini peneliti membahas tentang
permasalahan yang menjadi inti dari penelitian ini yaitu apakah ada hubungan
yang bermakna antara kecerdasan spiritual dengan otonomi profesional perawat di
ruang rawat inap Rumah Sakit Al Islam Bandung.
Pada pengujian hipotesis dengan menggunakanuji spearman,
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif dengan tingkat sedangantara
kecerdasan spiritual dengan otonomi profesional perawat di ruang rawat inap
Rumah Sakit Al Islam Bandung.
4.2.1 Gambaran Kecerdasan Spiritual Perawat di Ruang Rawat Inap RSAI
Bandung
Kecerdasan spiritual telah disadari menjadi salah satu kebutuhan perawat
sebagai pelayan kesehatan karena kecerdasan spiritual berkaitan dengan masalah
makna, motivasi, dan tujuan hidup. Kecerdasan spiritual menjadi sumber
kekuataan seseorang untuk menemukan makna dirinya dan menentukan
keputusan.Di Rumah Sakit Al Islam Bandung, dari 97 perawat ruang rawat inap
yang menjadi responden terdapat nilai rata-rata 78,87. Hasil penelitian
menunjukan nilai rata-rata berada di atas median dan nilai tertinggi kecerdasan
spiritual perawat di ruang rawat inap RSAI Bandung mendekati nilai tertinggi
possible range (tabel 4.1).
Namun nilai sangat rendah pada dimensi conscious state expansion, yaitu
pengembangan area kesadaran. Hal ini bisa terjadi karena area kesadaran
merupakan area yang dipengaruhi oleh kepekaan dan ketajaman intuisi dari faktor
internal (Ezra, 2008). Sementara dimensi lainnya bisa dikembangkan melalui
faktor eksternal, seperti transcendental awareness melalui ajaran dan keyakinan
mengenai Tuhan dan hal gaib lainnya, personal meaning production melalui nilai
dan moral yang ditanamkan, dan critical existential thinking melalui latihan
memecahkan masalah dan berpikir secara kritis.
Salah satu pengembangan kecerdasan spiritual dilaksanakan melalui
pelatihan Emotional Spiritual Quotient(ESQ) yang juga diadakan di Rumah Sakit
Al Islam Bandung. Dalam penelitian sebelumnya yang dilaksanakan di Rumah
Sakit Dr. M. Djamil Padang pada tahun 2009dengan pelatihan ESQ untuk
perawatnya ditemukan bahwa dari 82 perawat, 74% memiliki kecerdasan spiritual
yang tinggi, namun baru berada pada aspek pribadi saja.
Hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan di ruang rawat inap RSAI
Bandung, yaitu dimensi tertinggi kecerdasan spiritual adalah personal meaning
production, yaitu mengembangkan makna dalam area personal/pribadi. Hal ini
dikarenakan aspek pribadi lebih sering dipikirkan daripada yang lain, seperti
beradaptasi dengan situasi stres, menentukan tujuan hidup, menemukan makna
kegagalan, dan menemukan makna dalam pengalaman sehari-hari (King, 2008).
Kecerdasan spiritual berkembang seiring dengan pengalaman-pengalaman
yang dihadapi dalam sehari-hari, termasuk oleh perawat di ruang rawat inap.
Menurut Zohar dan Marshall (2010), kecerdasan yang kita gunakan untuk
menyeimbangkan makna dan nilai, dan menempatkan kehidupan kita dalam
konteks yang lebih luas dihasilkan dari pengalaman yang ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari.
Kebutuhan akan makna dan nilai tersebut dibutuhkan oleh profesi
keperawatan yang memiliki objek profesi yaitu manusia, maka meningkatkan
kecerdasan spiritual penting untuk dilakukan. Sukidi dalam Muhidin (2011)
menjelaskan cara meningkatkan kecerdasan spiritual adalah mengenali diri
sendiri, melakukan intropeksi diri, mengaktifkan hati secara rutin, dan
menemukan keharmonisan dan ketenangan hidup.
4.2.2 Gambaran Otonomi Profesional Perawat di Ruang Rawat Inap RSAI
Bandung
Membuat keputusan sendiri sesuai dengan batasan profesinya sudah
menjadi tanggung jawab seorang profesional. Namun tidak semua perawat
memiliki otonomi profesional yang tinggi. Dari 97 perawat ruang rawat inap yang
menjadi responden terdapat 87 perawat (89,69%) ada pada kategori high level dan
10 orang perawat (10,31%) ada pada kategori mid level, dan tidak ada perawat
yang berada pada kategori low level.
Hal ini sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa otonomi profesional
perawat berhubungan dengan makna dalam diri individu, termasuk kecerdasan
spiritual. Dalam Wade (1999) dijelaskan bahwa meskipun keperawatan memiliki
keterbatasan secara organisasional, individu masih bisa menunjukan sikap
terhadap otonomi perawat profesional dan mempengaruhi otonomi struktural,
karena keputusan secara individual dalam profesinya bisa mempengaruhi
pandangan masyarakat terhadap komunitas tersebut.
Dalam penelitian ini terlihat bahwa perawat memiliki otonomi untuk
memutuskan karir yang akan dijalaninya, termasuk pilihan untuk menjalani
keperawatan mandiri seperti membuat sebuah home care dan semacamnya. Sesuai
dengan penelitian pertama dengan menggunakan PNAS bahwa perawat kesehatan
masyarakat/komunitas memiliki otonomi profesional yang lebih tinggi daripada
perawat Rumah Sakit, hal tersebut disebabkan karena adanya pengaruh yang kuat
dari intervensi profesi lain sesuai dengan item pernyataan dalam penelitian ini.
Perawat juga sering kali menghadapi dilema etik terutama dalam masalah
pengobatan dan terapi. Etika mengandung tiga pengertian pokok, yaitu: nilai-nilai
atau norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah laku, kumpulan asas atau nilai moral, misalnya kode etik dan
ilmu tentang yang baik atau yang buruk (Ismaini, 2001).
Hasil penelitian otonomi profesional perawat memiliki perbedaan jika
dibandingkan dengan perilaku profesional perawat yang diteliti sebelumnya
yaituperilaku caring yang berusaha memberi kenyamanan, mengasihi, perhatian,
memfasilitasi koping, empati, tindakan konsultasi dan pemeliharaan kesehatan.
Penelitian di Rumah sakit Dr. M. Djamil Padang pada tahun 2009 menunjukan
bahwa rasio antara perawat dan pasien belum mencapai rasio ideal, ditambah
dengan beban kerja yang banyak menyebabkan perawat tidak mampu memenuhi
kriteria perilaku perawat yang diobservasi. Sehingga perawat menunjukan
perilaku caring yang buruk di Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang, yaitu sejumlah
79,2% dari 82 perawat.
Perbedaan dari perilaku caring yang diteliti oleh peneliti sebelumnya
dengan otonomi profesional adalah adanya hubungan antar-disiplin pada otonomi
profesional. Caring bisa dikembangkan di dalam komunitas keperawatan, bahkan
lebih dipengaruhi oleh individu perawat itu sendiri. Otonomi profesional perawat
dipengaruhi oleh hubungan dengan profesi lain dan sudut pandang keperawatan
secara organisasional.
Hasil penelitian yang menunjukan perilaku buruk, menurut Bhatt (2012)
diperlukan penekanan mengenai pentingnya memberikan pengajaran kurikulum
formal terkait profesionalisme. Penelitian oleh Passi et al (2010) menemukan
bahwa lima tema utama untuk mendukung pengembangan profesionalisme
mahasiswa kesehatan adalah desain kurikulum, seleksi mahasiswa, metode
pembelajaran, model peran dan metode penilaian. Mereka menyimpulkan bahwa
lima bidang membantu instansi pendidikan kesehatan untuk fokus pada
penekanan dan pendekatan dalam mengembangkan profesionalisme.
Pengembangan profesionalisme mahasiswa kesehatan bisa dilaksanakan
dengan memilih siswa melalui proses yang mencakup penyampaian pernyataan
pribadi dan wawancara calon mahasiswa. The Notre Dame Medical School
mengembangkan pendekatan untuk profesionalisme ditandai dengan; tanggung
jawan, menghormati diri dan pasien; kasih sayang; kewajiban kepada masyarakat
dan harapan masyarakat; kejujuran dan otonomi; kesadaran diri dan praktek
reflektif; kerendahan hati, keadilan sosial dan praktek non diskriminatif; dan
peduli terhadap mahasiswa lain dan kampus (Bhatt, 2012).
4.2.3 Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual dengan Otonomi Profesional
Perawat di Ruang Rawat Inap RSAI Bandung
Dari data yang telah diuraikan sebelumnya, menunjukan bahwa Ha
diterima, yang berarti bahwa hubungan antara kecerdasan spiritual dan otonomi
profesional perawat di ruang rawat inap Rumah Sakit Al Islam Bandung adalah
signifikan. Kesimpulan tersebut diperoleh berdasarkan hasil perhitungan statistik
dengan menggunakan uji korelasi spearman denganp value untuk korelasi
spearman adalah 0,000 yang mana lebih kecil dari nilaialpha. Besarnya keeratan
hubungan antara kecerdasan spiritual ini sebesar 0,574, menunjukan bahwa
hubungan antara kecerdasan spiritual dengan otonomi profesional perawat berada
di tingkat sedang.
Salah satu kriteria utama bagi kecerdasan spiritual yang tinggi adalah
menjadi apa yang disebut para psikolog „mandiri di lapangan‟. Itu berarti mampu
berdiri mempertahankan pendapatnya di depan orang banyak, berpegang pada
pendapat yang tidak tidak diterima orang lain jika itu memang benar-benar
diyakininya (Zohar dan Marshall, 2010). Hal ini menunjukan betapa kuatnya
hubungan antara kecerdasan spiritual dengan keputusan sesuai dengan apa yang
diyakini atau sesuai dengan batasan profesional.
Perawat yang sering merenungkan tujuan dan alasan atas keberadaannya,
memiliki otonomi yang tinggi ketika mengembangkan rencana karir, dan
mempertimbangkan untuk memasuki praktek keperawatan mandiri sesuai dengan
pendidikan dan pengalaman yang dimiliki.Otonomi berdasarkan kepada
kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan sesuai dengan aturan yang
diyakininya. Keyakinan di dalam diri tersebut diatur oleh kecerdasan spiritual.
Hubungan yang ditunjukan dalam penelitian di Rumah Sakit Dr. M.
Djamil pada tahun 2009 adalah perawat memiliki kecerdasan spiritual yang baik
namun tidak diikuti dengan perilaku yang baik. Selanjutnya berdasarkan hasil
korelasi spearman didapatkan hubungan yang lemah dan pola yang tidak
signifikan antara kecerdasan spiritual dengan perilaku responden, yaitu dalam
halcaring. Hal ini menunjukan bahwa kecerdasan spiritual lebih berpengaruh
kepada otonomi profesional perawat daripada kepada perilaku caring.
Dalam Wade(1999) perilaku perawat yang buruk dimungkinkan karena
faktor beban kerja yang tidak seimbang, rasio antara perawat dan pasien belum
mencapai rasio ideal, ditambah dengan beban kerja yang banyak terutama untuk
pekerjaan yang bersifat non fungsional.
Pengambilan keputusan adalah hal vital di dalam otonomi profesional
perawat, menentukan tindakan dan keputusannya untuk karir keperawatannya
sendiri, kebijakan untuk klien, hubungan kolaborasi kerja dengan profesi lain, dan
bertanggung jawab terhadap instansi tempat bekerja (Kelly, 2001 dalam Waltz,
2001).
Peranan perawat dalam pemeliharaan kesehatan sangat vital karena
perawat merupakan tulang punggungnya sebagian besar tim perawatan kesehatan.
Perawat di ruang rawat inap RSAI Bandung sangat menghargai profesi mereka.
Hal ini dapat dilihat dengan cara perawat bersikap positif terhadap pekerjaannya,
bahkan mampu memberi makna kehidupan dalam bekerja. Artinya bekerja
bukanlah suatu rutinitas yang membosankan tapi justru menyediakan kesempatan
untuk perkembangan pribadi dan memperluas hubungan dengan orang lain secara
profesional.
Secara umum hasil penelitian menunjukan ada hubungan yang positif
antara kecerdasan spiritual dengan otonomi profesional perawat di ruang rawat
inap RSAI Bandung, namun hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan pada
perawat di rumah sakit-rumah sakit lain. Penerapan populasi yang lebih luas
dengan karakteristik yang berbeda perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan
menggunakan atau menambah variabe-variabel lain yang belum disertakan dalam
penelitian ini, ataupun dengan menambah dan memperluas ruang lingkupnya.
Perspektif saat ini bersumber pada berbagai faktor sosial dan budaya
bahwa spiritualitas dinilai positif untuk mempengaruhi suatu organisasi atau
profesi (McGhee et al, 2008). Lebih lanjut McGhee memberikan gagasan bahwa
memungkinkan untuk mendorong spiritualitas di tempat kerja untuk
meningkatkan pengambilan keputusan pada tingkat pribadi dan dan iklim etika
ditingkatkan pada tingkat organisasi. Spiritualitas individu diterjemahkan ke
dalam otonomi profesional dalam konteks organisasi.
Dimensi spiritual mempengaruhi pilihan individu terhadap nilai-nilai yang
membentuk regulatif ideal. Model yang dikembangkan menjelaskan hubungan
antara nilai-nilai dan kebajikan yang menghasilkan pengambilan keputusan di
tempat kerja. Orang spiritual cenderung orang etis. Individu tersebut cenderung
menjadi manfaat yang signifikan bagi organisasi mereka (McGhee, 2008). Nilai-
nilai yang berkontribusi terhadap berkembangnya individu dan menghasilkan
kebijakan praktek dijelaskan dalam skema 4.1.
Skema 4.1 Bagaimana Spiritualitas Diterjemahkan ke Dalam Kebijakan
Praktek
Penjelasan skema 4.1 dijelaskan dalam McGhee dan Grant (2008), dimulai
dari hubungan antara spiritualitas dan nilai. Spiritualitas seseorang bekerja sesuai
dengan ideal regulatif yang terdiri dari nilai-nilai tertentu yang pada dasarnya
mencari kebaikan untuk orang lain. Oleh karena itu, spiritualitas menggabungkan
diri ke dalam siklus kebijakan. Siklus kebijakan (virtue cycle) adalah memperoleh
kebajikan dengan sadar dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral. Hal ini
berakar dalam sifat manusia, yaitu menempatkan suatu hubungan yang penuh
MORAL
VALUES
Core Values
of
Spirituality
Self-Transecendence
Interconnectedness
Self-Transecendence
Sense of Purpose
Ultimate Concern
Re
gul
ati
ve
Ide
al
VIRTUE
PRACTICAL
WISDOM
hormat dengan orang lain. Sebagai salah satu perkembangan dalam kebajikan
seseorang menjadi kebijakan praktek (practical wisdom) yang memungkinkan
seseorang untuk memahami lebih baik atau merasakan nilai moral dalam setiap
tindakan.
4.3 Implikasi Terhadap Pelayanan dan Penelitian
Sesuai dengan kegunaan dalam penelitian ini, implikasi terhadap
pelayanan dan penelitian di bidang keperawatan adalah menjadi pentingnya
kecerdasan spiritual dalam meningkatkan otonomi profesional perawat sehingga
kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan kecerdasan spiritual bisa
dikembangkan. Pengembangan kecerdasan spiritual tersebut bisa dilaksanakan
pada pendidikan keperawatan, manajemen keperawatan maupun Fprofesi
keperawatan.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian dan pengolahan data mengenai hubungan kecerdasan
spiritual dengan otonomi profesional perawat di ruang rawat inap RSAI Bandung,
didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1) Dari 97 sampel perawat rawat inap memiliki rata-rata kecerdasan spiritual
perawat di ruang rawa inap RSAI Bandung 78,87, nilai terendah 61, dan
nilai tertinggi 93. Perawat yang memiliki otonomi profesional high level
memiliki rata-rata kecerdasan spiritual di atas rata-rata, sementara perawat
yang memiliki otonomi profesional mid level memiliki rata-rata
kecerdasan spiritual di bawah rata-rata.
2) Kecerdasan spiritual perawat dilihat dari dimensinya memiliki nilai
tertinggi pada dimensi personal meaning production yang berpusat pada
membentuk makna pribadi dan nilai terendah pada conscious state
expansion yang mengatur area kesadaran yang lebih dalam.
3) Otonomi profesional perawat di ruang rawat inap RSAI Bandung
sebanyak 87 orang berada pada kategoi high level, 10 orang berada pada
kategori mid level, dan tidak ada perawat yang berada pada kategori low
level.
4) Otonomi profesional perawat di ruang rawat inap RSAI Bandung
berdasarkan dimensinya memiliki nilai tertinggi pada hubungan sesama
profesi keperawatan dan nilai terendah pada perencanaan keperawatan
mandiri.
5) Hubungan antara kecerdasan spiritual dengan otonomi profesional perawat
di ruang rawat inap RSAI Bandung berdasarkan perhitungan statistik
menunjukan bahwa hubungan antara kecerdasan spiritual dan otonomi
profesional perawat adalah signifikan/bermakna. Keeratan hubungan
antara kedua variabel berada di tingkat sedang, yaitu bernilai 0,574.
5.2 Saran
Saran-saran yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil penelitian
hubungan kecerdasan spiritual dengan otonomi profesional perawat di ruang
rawat inap RSAI Bandung adalah:
1) Bagi Keperawatan
Dari penelitian yang telah dilakukan ini, dapat memberikan gambaran bagi
perawat mengenai hubungan kecerdasan spiritual dan otonomi profesional
perawat.Meningkatkan dimensi kecerdasan spiritual terendah, yaitu conscious
state expansion, tidak mudah karena membutuhkan aspek kepekaan dan
ketajaman intuisi pribadi. Namun bisa diupayakan melalui cara-cara berikut, yaitu
mengenali kekuatan dan kelemahan pribadi, belajar berkonsentrasi dan bersikap
fokus, selalu mengevaluasi diri dan kondisi di sekitar, dan memiliki nilai-nilai
pribadi sebagai tolak ukur kehidupan (Ezra, 2008).
2) Bagi Rumah Sakit
Mempertahankan kegiatan mentoring sebagai pengembangan spiritual
perawat sehingga menjadi gambaran rumah sakit lain untuk mengadakan kegiatan
serupa. Meski otonomi profesional perawat berada pada kategori mid level dan
high level, namun dalam dimensi terendah terdapat data kurangnya melakukan
riset keperawatan untuk menyelidiki masalah keperawatan klinis yang terjadi
berulang. Maka disarankan untuk mengembangkan praktek berdasarkan
bukti/riset (evidence based practice) Evidence based practice mampu
meningkatkan profesionalisme yang lebih tinggi dalam hal peningkatan otoritas
dan otonomi (Bonell, 1999).
3) Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sebagai data
awal bagi penelitian selanjutnya mengenai otonomi profesional perawat,
khususnya perawat yang berada di ruang rawat inap berdasarkan kecerdasan
spiritual yang dimilikinya. Sehingga diharapkan akan ada penelitian tentang
hubungan antara variabel personal meaning production dengan hubungan antara
perawat.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, A.G. 2001. Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Arga
Arikunto, S. 2005. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Auliya, M. 2005. Melejitkan Kecerdasan Hati & Otak: Menurut Petunjuk Alquran
dan Neurologi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Berger & Williams. 1992. Fundamental of nursing: collaborating for optimal
health. USA: Apleton & Lange
Bhatt, T. 2012. The pros of professionalism. USA: University of Notre Dame
Biro, A. 2012. Creating Conditions for Good Nursing by Attending to the
Spiritual. Journal of Nursing Managament
Bonell, Chris. 1999. Evidence-based nursing: a stereotyped view of quantitative
and experimental research could work against professional autonomy and
authority. Journal of Advanced Nursing
Cassidy, V.R. & Oddi, L.F. 1991. Professional autonomy and ethical decision-
making among graduate and undergraduate nursing majors: a replication.
Journal of Nursing Education
Dempster, J.S. 1994. Autonomy: a professional issue of concern for nurse
practicioners. Nurse Practicioner Forum
Ezra, J. 2008. Meningkatkan Kesadaran Diri. Bandung: Jurnal Psikologi
Fowler H.W. & Fowler E.G. 1995. The Concise Oxford Dictionary of Current
English 8th
ed. Oxford: Clarendon
King, D.B. 2008. Rethinking Claims of Spiritual Intelligence: A Definition,
Model, and Measure. Canada: Trent University
King, D.B. 2009. A Viable and Self-Report Measure of Spiritual Intelligence.
Canada: Trent University
Kipper, B.A. 1992. Roget’s 21st Century Thesaurus in Dictionary Form. New
York: Dell
Kusumawati, R. 2007. Artificial Intelligence Menyamai Kecerdasan Buatan
Ilahi? Malang: UIN Malang Press
Leddy & Hood. 2006. Conceptual Bases of Professional Nursing. Philadelphia:
Lippincot William & Wilkins
Leddy & Pepper. 2000. Conceptual Bases of Professional Nursing. Philadelphia:
Lippincot William & Wilkins
Malini, H., Sartika, D. & Idianola. 2009. Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan
Perilaku Caring Perawat di RS. M. Djamil Padang. Universitas Andalas
McGhee, P. & Grant, P. 2008. Spirituality and Ethical Behaviour in the
Workplace: Wishful Thinking or Authentic Reality. Electronic of Business
Ethics and Organization Studies. http://ejbo.jyu.fi/ diakses tanggal 7 Juli
2014
Mengel, T. 2005. Wisdom and Knowledge-Leadership in Balance. Canada:
Trinity western University
Mujib, A. & Mudzikar, J. 2001. Nuansa-nuansaPsikologi Islam. Jakarta: PT Raja
GrafindoPersada
Najati, U. 2002. Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi. Jakarta: Hikmah
Nursalam. 2003. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu keperawatan:
Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta:
Salemba
Passi, V., Doug, M,. Peile, E., Thistlethwaite, & J., Johnson,N. 2010. Developing
medical professionalism in future doctors: a systematic review.
International Journal Medical Education
Perry & Potter. 2005. Fundamental of Nursing. Adelaide: Elsvier
Rohaliyah. 2006. SQ dan Tasawuf Bagi Masyarakat Modern (Telaah Substansi).
Semarang: Ushuluddin IAIN Semarang
Saryono. 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jogjakarta: Mitra Cendikia
Schimdt, M.A. & Kristen L.M. 2004. Spiritual Care in Nursing Practice. United
State America: Lippincott Williams & Wilkins
Sugiyono. 2006. Statistik Untuk Penelitian. Cetakan Kesepuluh Bandung: CV
Alfabeta
Sukidi. 2002. Kecerdasan Spiritual: Mengapa SQ Lebih Penting dari IQ dan EQ.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Syahmuharnis & Sidharta, H. 2006. Transcendental Quotient (Kecerdasan diri
terbaik). Jakarta: Republika
Tasmara, T. 2001. Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence). Jakarta:
Gema Insani
Tebba, S. 2004. Kecerdasan Sufistik Jembatan Menuju Makrifat. Jakarta:
Kencana
Wade, G.H. 1999. Professional nurse autonomy: concept analysis and application
to nursing education. Journal of Advanced Nursing
Waltz, C.F & Jenkins, L.S. 2001. Measurement of Nursing Outcomes Second
Edition. USA: Springer Publishing Company
Yang, K. & Wu, X. 2009. Spiritual Intelligence of Nurses in Two Chinese Social
Systems: A Cross-Sectional Comparison Study. Journal of Nursing
Research
Zohar, D. & Marshall, I. 2010. SQ: Kecerdasan Spiritual. Bandung: Mizan
Assalamualaikum wr. wb.
Saya adalah mahasiswi semester delapan Fakultas Keperawatan
Universitas Padjadjaran. Saat ini saya sedang melakukan penelitian tentang
hubungan antara kecerdasan spiritual denganotonomiprofesional perawat di ruang
rawat inap Rumah Sakit Al Islam Bandung. Untuk itu saya mohon kesediaan
Anda membantu saya untuk meluangkan waktu mengisi kuesioner ini.
Kuesioner ini berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan berbagai
perilaku, proses berpikir, dan karakteristik mental. Kuesioner terdiri atas dua
bagian yaitu tentang kecerdasan spiritual dan otonomiprofesional. Oleh karena itu,
jawablah setiap pernyataan dengan hati-hati dan jujur sesuai dengan keadaan diri
Anda bukan menjawab dengan keadaan yang Anda inginkan dan pastikan tidak
ada pernyataan yang terlewati.
Hasil dari kuesioner dan data pribadi Anda bersifat rahasia dan hanya
digunakan untuk kepentingan penelitian. Atas kesediaan Anda meluangkan waktu
dan kerjasama yang Anda berikan, saya ucapkan terimakasih.
Hormat Saya,
Sarah Nurul Khotimah
NPM: 220110100134
Surat Persetujuan
Nama (inisial) :
Usia :
Pendidikan :
Agama :
No. Telepon :
Bersedia untuk mengisi angket yang diberikan peneliti. Saya mengerti
bahwa saya menjadi bagian dari penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara kecerdasan spiritual dengan otonomiprofesional perawat di ruang
rawat inap RS Al Islam Bandung.
Bandung, Mei 2014
Responden,
___________________________
A. Kecerdasan Spiritual
Petunjuk:
Berikut ini Anda akan diberikan sejumlah pernyataan yang berkaitan
dengan kecerdasan spiritual. Anda diharapkan untuk membaca setiap pernyataan
dengan teliti. Pada setiap pernyataan, Anda diminta untuk melingkari pilihan skala
yang benar-benar menggambarkan keadaan diri Anda.
0 = Sama sekali tidak sesuai
1 = Tidak sesuai
2 = Kadang-kadang
3 = Sesuai
4 = Sangat sesuai
Contoh:
1. Saya menyukai olahraga renang 0 1 3 4
2. Saya menyukai lari pagi 0 1 2 3 4
Jika ingin mengganti jawaban, maka berilah coretan berupa tanda silang
pada kolom yang sebelumnya dilingkari pada jawaban yang sudah dilingkari dan
lingkarilah kolom yang benar-benar menggambarkan diri Anda.
Contoh:
1. Saya menyukai olahraga renang 0 3 4
2. Saya menyukai lari pagi 0 1 2 3 4
Dengan demikian, jawaban di atas menunjukan bahwa Anda tidak
menyukai olahraga berenang.
Selamat mengerjakan.
2
2 1
No. PERNYATAAN SKALA ITEM
1.
Saya sering mempertanyakan atau
merenungkan tentang makna
kenyataan (realitas)
0 1 2 3 4
2. Saya mengenali aspek yang lebih
bermakna dari tubuh fisik saya 0 1 2 3 4
3.
Saya merenungkan tujuan dan
alasan atas keberadaan saya di
dunia
0 1 2 3 4
4. Saya bisa memasuki area kesadaran
yang lebih dalam 0 1 2 3 4
5. Saya merenungkan apa yang terjadi
setelah kematian 0 1 2 3 4
6.
Saya merasakan energi selain fisik
dan materi (sesuatu yang tidak
berwujud)
0 1 2 3 4
7.
Kemampuan saya untuk
menemukan makna dan tujuan
hidup membantu saya beradaptasi
dengan situasi stress
0 1 2 3 4
8.
Saya dapat mengontrol kapan saya
memasuki area kesadaran yang
lebih dalam
0 1 2 3 4
9.
Saya mengembangkan pemikiran
sendiri tentang hal-hal seperti
kehidupan, kematian, kenyataan,
dan eksistensi
0 1 2 3 4
10.
Saya sadar hubungan yang lebih
dalam antara diri saya sendiri dan
orang lain
0 1 2 3 4
11. Saya mampu menentukan tujuan
atau alasan untuk hidup saya 0 1 2 3 4
12. Saya bisa bergerak antara tingkat
kesadaran yang lebih dalam 0 1 2 3 4
13. Saya sering merenungkan makna
peristiwa dalam hidup saya 0 1 2 3 4
14.
Saya mendefinisikan diri dengan
lebih dalam, termasuk jiwa (non-
fisik) saya
0 1 2 3 4
15.
Ketika saya mengalami kegagalan,
saya masih dapat menemukan
makna di dalamnya
0 1 2 3 4
16.
Saya sering melihat masalah dan
pilihan lebih jelas selama saya
sadar atau ikhlas
0 1 2 3 4
17. Saya sering merenungkan
hubungan antara manusia dan 0 1 2 3 4
seluruh alam semesta
18. Saya menyadari aspek nonmateri
(hal-hal ghaib) di dalam kehidupan 0 1 2 3 4
19. Saya mampu membuat keputusan
sesuai dengan tujuan hidup saya 0 1 2 3 4
20.
Saya mengakui kualitas pada orang
yang lebih berarti dari fisik mereka,
kepribadian, atau emosi
0 1 2 3 4
21.
Saya sangat merenungkan apakah
ada atau tidak ada beberapa
kekuatan yang lebih besar (Allah)
0 1 2 3 4
22.
Saya menyadari aspek nonmateri
kehidupan sehingga membantu saya
merasa terpusat
0 1 2 3 4
23.
Saya dapat menemukan makna dan
tujuan dalam pengalaman sehari-
hari saya
0 1 2 3 4
24.
Saya telah mengembangkan teknik
saya sendiri untuk memasuki area
kesadara yang lebih dalam
0 1 2 3 4
B. OtonomiProfesional
Petunjuk:
Berikut ini Anda akan diberikan sejumlah pernyataan yang berkaitan
denganotonomiprofesional. Anda diharapkan untuk membaca setiap pernyataan
dengan teliti. Pada setiap pernyataan, Anda diminta untuk melingkari pilihan skala
yang benar-benar menggambarkan keadaan diri Anda.
1 :Sangat Tidak Sesuai
2 : Tidak Sesuai
3 : Sesuai
4 : Sangat Sesuai
Contoh:
1. Saya melakukan olahraga berenang 1 2 3 4
2. Saya berlari di pagi hari 1 2 3 4
Jika ingin mengganti jawaban, maka berilah coretan berupa tanda silang
pada kolom yang sebelumnya dilingkari pada jawaban yang sudah dilingkari dan
lingkarilah kolom yang benar-benar menggambarkan diri Anda.
Contoh:
1. Saya melakukan olahraga berenang 1 4
2. Saya berlari di pagi hari 1 2 3 4
Dengan demikian, jawaban di atas menunjukan bahwaAnda kadang-
kadang melakukan olahraga berenang.
Selamat mengerjakan.
2
2 3
No. Pernyataan
Item Sangat
Tidak
Sesuai
Tidak
Sesuai
Sesuai Sangat
Sesuai
1. Mengembangkan rencana karir untuk
diri sendiri dan secara teratur me-
review pencapaian langkah-langkah
yang sudah direncanakan
1 2 3 4
2. Mempertimbangkan untuk memasuki
praktek keperawatan mandiri sesuai
dengan pendidikan dan pengalaman
yang dimiliki
1 2 3 4
3. Menolak perintah medis untuk
memulangkan pasien tanpa
kesempatan untuk tindak lanjut
keperawatan dalam menyelesaikan
rencana penkes (pendidikan
kesehatan)
1 2 3 4
4. Melakukan riset keperawatan untuk
menyelidiki masalah keperawatan
klinis yang terjadi berulang
1 2 3 4
5. Menolak untuk memberikan obat
kontra-indikasi meskipun dokter
mendesak bahwa obat tersebut harus
diberikan
1 2 3 4
6. Berkonsultasi dengan dokter jika
pasien tidak menanggapi rencana
pengobatan
1 2 3 4
7. Bergantung pada profesi keperawaan,
bukan pada dokter, untuk menentukan
keputusan dari apa yang saya lakukan
sebagai perawat
1 2 3 4
8. Mengevaluasi kebutuhan pasien yang
dirawat di Rumah Sakit untuk
perawatan di rumah dan menentukan
kebutuhan untuk rujukan tersebut
tanpa menunggu perintah dokter
1 2 3 4
9. Mengusulkan perubahan dalam
deskripsi pekerjaan saya kepada
atasan saya untuk mengembangkan
karir lebih lanjut
1 2 3 4
10. Menjawab pertanyaan pasien tentang
obat baru atau perubahan dalam
pengobatan sebelum pemberian obat,
baik telah atau belum dilakukan
sebelumnya oleh dokter
1 2 3 4
11. Mengadakan ronde keperawatan 1 2 3 4
12. Menghentikan obat yang bersifat 1 2 3 4
kontra-indikasi bagi pasien meskipun
ada tekanan dari rekan-rekan
keperawatan untuk melaksanakan
perintah medis
13. Berkonsultasi dengan perawat lain
ketika pasien tidak menanggapi
rencana asuhan keperawatan
1 2 3 4
14. Secara rutin melakukan inovasi dalam
perawatan pasien sesuai dengan
literatur keperawatan saat ini
1 2 3 4
15. Berinisiatif untuk meminta konsultasi
psikiatri dengan dokter jika penilaian
saya pasien menunjukan kebutuhan
tersebut
1 2 3 4
16. Mempromosikan kegiatan
keperawatan yang inovatif seperti
tindak lanjut pemantauan kepada
pasien yang baru pulang untuk
mengevaluasi efektivitas penkes
(pendidikan kesehatan)
1 2 3 4
17. Mengkaji tingkat pemahaman pasien
tentang prosedur diagnostik dan
resikonya sebelum berkonsultasi
dengan dokter jika pasien memiliki
pertanyaan tentang resiko dari
prosedur tersebut
1 2 3 4
18. Menerima tanggung jawab penuh atas
tindakan professional saya sendiri
tanpa mengharapkan untuk dilindungi
dokter atau Rumah Sakit dalam kasus
gugatan malpraktek
1 2 3 4
19. Mengembangkan saluran komunikasi
yang efektif di tempat saya bekerja
untuk memasukan kebijakan-
kebijakan yang mempengaruhi
perawatan pasien
1 2 3 4
20. Mengembangkan dan memperbaiki
instrumen pengkajian yang tepat
untuk area praktek klinis saya
1 2 3 4
21. Merekam dalam grafik data mengenai
pengkajian fisik pasien saya untuk
digunakan dalam perencanaan dan
implementasi asuhan keperawatan
1 2 3 4
22. Mengajukan perencanaan pulang
berkaitan dengan perawatan pasien,
meskipun tanpa ada perencanaan
pulang oleh dokter
1 2 3 4
23. Melaporkan seorang dokter yang 1 2 3 4
melakukan pelanggaran ke manajer
atau administrator yang sesuai
24. Memberikan masukan kepada
administrator mengenai desain unit
keperawatan yang baru atau
pembelian peralatan baru yang akan
digunakan oleh perawat
1 2 3 4
25. Melengkapi pengkajian psikososial
pada setiap pasien dan menggunakan
data tersebut dalam merumuskan
asuhan keperawatan
1 2 3 4
26. Menyesuaikan instrumen pengkajian
dari profesi lain untuk digunakan di
praktek klinik saya
1 2 3 4
27. Melaksanakan prosedur perawatan
pasien dengan menggunakan penilaian
profesional saya untuk memenuhi
kebutuhan individu pasien bahkan
ketika hal tersebut menyimpang dari
“buku acuan” yang dideskripsikan di
prosedur manual Rumah Sakit
1 2 3 4
28. Menolak sebuah penugasan sementara
untuk unit khusus ketika saya tidak
memiliki pendidikan dan pengalaman
untuk melaksanakan tuntutan tugas
1 2 3 4
29. Mengusulkan rujukan ke pelayanan
sosial dan bagian gizi atas permintaan
pasien meski tanpa adanya perintah
dokter
1 2 3 4
30. Menulis intervensi keperawatan untuk
meningkatkan tanda-tanda vital dari
pasien yang kondisinya memburuk
bahkan tanpa adanya perintah medis
untuk meningkatkan TTV tersebut
1 2 3 4
31. Menerima tugas sementara untuk unit
khusus meskipun tidak memiliki
pendidikan dan pengalaman untuk
bekerja di tempat tersebut
1 2 3 4
32. Membuat rujukan ke pelayanan sosial
dan bagian gizi hanya jika disarankan
oleh dokter
1 2 3 4
33. Mengkaji kebutuhan pasien untuk
asuhan keperawatan di rumah hanya
jika disarankan oleh dokter
1 2 3 4
34. Memberikan obat yang sudah pasien
laporkan membuatnya alergi jika
dokter setuju untuk bertanggung
jawab atas tindakan saya
1 2 3 4