jurusan ilmu kesehatan masyarakat fakultas …lib.unnes.ac.id/17938/1/6450405039.pdf · ketua...
TRANSCRIPT
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN IMPLEMENTASI
MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS)
DI PUSKESMAS DI KOTA SEMARANG
TAHUN 2010
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh :
Agita Maris Nurhidayati
NIM. 6450405039
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
ii
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Semarang Juli 2011
ABSTRAK
Agita Maris Nurhidayati.
Faktor yang Berhubungan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Di Puskesmas Di Kota Semarang Tahun 2010, VI + 120 halaman + 23 tabel + 2 gambar + 17 lampiran
Setiap tahun 12 juta anak di dunia meninggal sebelum berusia 5 tahun. Tujuh
diantara setiap sepuluh anak ini meninggal oleh karena diare, pneumonia, campak,
malaria atau malnutrisi dan sering merupakan kombinasi dari kondisi-kondisi tersebut. Manajemen Terpadu Balita Sakit adalah suatu pendekatan yang terintegrasi/ terpadu
dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita) secara menyeluruh.
Kegiatan MTBS merupakan upaya pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk
menurunkan angka kesakitan dan kematian sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan kesehatan dasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui faktor yang berhubungan dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010. Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan pendekatan cross
sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua petugas pemegang program manajemen terpadu balita sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Besar sampel
penelitian sebanyak 37 sampel dengan teknik pengambilan sampel secara total sampling.
Instrumen penelitian ini adalah kuesioner. Data primer diperoleh dari hasil observasi, dokumentasi, dan wawancara secara langsung. Data sekunder diperoleh dari Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kesehatan Kota Semarang. Analisis data
dilakukan secara univariat dan bivariat menggunakan uji Chi Square dengan derajat kemaknaan (α) = 0,05.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan sikap petugas (p = 0,040), pelatihan MTBS yang diikuti petugas (p = 0,037), kepemimpinan kepala puskesmas (p =
0,032), rapat koordinasi tingkat puskesmas (p = 0,037), sistem pencatatan/ pelaporan
MTBS (p = 0,031), pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan (p = 0,036), pelaksanaan evaluasi oleh kepala puskesmas (p = 0,013) dengan implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit, dan tidak ada hubungan antara pengetahuan petugas
tentang MTBS (p=0,160), motivasi kerja petugas (p = 0,180), ketersediaan peralatan (p = 0,630), alokasi dana (p = 0,212) dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit.
Saran yang dapat disampaikan, antara lain: 1). Bagi Dinas Kesehatan Kota Semarang adalah perlunya diadakan pelatihan bagi petugas, peningkatan pelaksanaan
supervisi MTBS, dan perlu kiranya membuat suatu kebijakan kesehatan mengenai
MTBS. 2). Bagi petugas pemegang program dianjurkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit, serta melakukan sosialisasi mengenai
MTBS ke masyarakat. 3). Bagi peneliti lain adalah perlunya diadakan penelitian yang
lebih mendalam dalam bidang kesehatan yang berkaitan dengan masalah MTBS.
Kata Kunci : Manajemen Terpadu Balita Sakit, Puskesmas, Petugas Kesehatan, Praktik Pelaksanaan MTBS, Implementasi MTBS
Kepustakaan : 51 (1996-2010)
iii
epartment of Public Health Sciences Faculty of Sport Sciences
Semarang State University July 2011
ABSTRACT
Agita Maris Nurhidayati. Factors Associated with Implementation of Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) on Public Health Center in the Semarang City in 2010, VI + 120 pages + 2 tables + 23 pictures + 17 appendix Every year 12 million children in the world die before 5 years old. Seven among every ten children die from diarrhea, pneumonia, measles, malaria or malnutrition and often a combination of these conditions. Integrated Management of Childhood Illness is an integrated approach / integrated in the management of sick infants with a focus on the health of children aged 0-59 months (Children Under Five) thoroughly.
An IMCI activity was an effort aimed at health care to reduce morbidity and mortality while enhancing the quality of health care in primary health outpatient unit. The purpose of this study was to determine factors related to the implementation of Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) at Public health centers in the Semarang City in 2010.
This type of research was explanatory research with cross sectional approach. The populations in this study were all officers of integrated management programs holders toddler illness (IMCI) at health centers in the city of Semarang. Large sample study of 37 samples with a total sampling technique of sampling. This research instrument was a questionnaire. Primary data obtained from observations, documentation, and interviews directly. Secondary data obtained from the Central Java Provincial Health Office, Public Health Department Semarang City. Data analysis was performed using univariate and bivariate Chi Square test with degrees of significance (á) = 0.05.
The conclusion of this study was there was a relationship attitude of staff (p = 0.040), followed by IMCI training officers (p = 0.037), head of health center leadership (p = 0.032), Public Health Center Level coordination meetings (p = 0.037), recording system / IMCI reporting (p = 0.031), the implementation of IMCI supervision by the Department of Health (p = 0.036), the evaluation by the head of the health center (p = 0.013) with the implementation of Integrated Management of Childhood Illness, and there is no relationship between of knowledge workers on IMCI (p = 0160),officers work motivation (p = 0.180), availability of equipment (p = 0.630), the allocation of funds (p = 0.212) with the implementation of Integrated Management of Childhood Illness.
Suggestions that could be delivered, among others: 1). For the City Health Department Semarang is the need of holding training for officers, improving supervision of the implementation of IMCI, and it is necessary to create a health policy on IMCI. 2). For a program officer holders are encouraged to improve the quality of care Integrated Management of Childhood Illness, and dissemination of IMCI into the community. 3). For other researchers was the need for a more in-depth research conducted in health-related problems IMCI. Keywords : Integrated Management of Childhood Illness, Public Health Center,
Health Officer, IMCI Implementation Practice, Implementation of IMCI
Bibliography : 51 (1996-2010)
iv
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan dan tiada jalan sulit bila
dihadapi dengan kesabaran dan ketenangan hati, maka apabila kamu telah
selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang
lain, dan hanya kepada Tuhanmulah kamu berharap”(Q.S. Al-Insyiroh: 6-8).
“Kejarlah impianmu sampai kau dapat, jangan cepat menyerah walau banyak
rintangan menghadang, jangan putus asa disaat kau jatuh, jangan menyerah
disaat kau hancur, jadikanlah rintangan adalah awal dari perjuanganmu, tetap
semangat walau dalam keadaan apapun, hanya keyakinan dan semangat yang
akan membawa kamu menuju kesuksesan”(Penulis).
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada :
1. Ayahanda Tafsir, dan Ibunda Sri Sugiharti
(Almh), sebagai Dharma Bakti Ananda
2. Adikku tersayang, Dik A. Rijal Ainun Najib
3. Almamaterku UNNES
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi yang berjudul ”
Faktor yang Berhubungan dengan Implementasi Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) Di Puskesmas Di Kota Semarang Tahun 2010 ” dapat
terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Jurusan Ilmu Kesehatan
Masyarakat, pada Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.
Sehubungan dengan penyelesaian skripsi ini, dengan rasa rendah hati
disampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas
Negeri Semarang, Drs. Said Junaidi, M.Kes., atas ijin penelitian.
2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, dr. H. Mahalul Azam M.Kes.,
atas persetujuan penelitian dan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Dosen Pembimbing I, dr. H. Mahalul Azam, M.Kes., atas bimbingan, arahan
dan motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.
4. Dosen Pembimbing II, dr. Hj. Arulita Ika Fibriana, M.Kes (Epid)., atas
bimbingan, arahan dan motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.
5. Dosen Jurusan IKM, atas bekal ilmu pengetahuan yang telah diberikan
selama di bangku kuliah.
6. TU Jurusan IKM, Bapak Sungatno atas semua bantuannya dalam mengurus
ijin skripsi sampai terselesaikan.
vii
7. Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian Dinas Kesehatan Kota
Semarang, Dra. Johana, atas ijin penelitian.
8. Kepala Puskesmas di wilayah Kota Semarang, atas pemberian ijin penelitian.
9. Ayahanda Tafsir dan Ibunda Sri Sugiharti (Almh) terima kasih atas do’a,
perhatian, pengorbanan, cinta dan kasih sayang, serta motivasi, sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
10. Adikku A. Rijal Ainun Najib atas do’a, dukungannya sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
11. Masku Aris Solihin atas bantuan, dan motivasinya sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
12. Sahabatku (Milly, Tya Cunil, Rifky, Zecky, Upie) atas bantuan, dan
semangatnya dalam penyusunan skripsi ini.
13. Semua teman IKM Angkatan 2005, terutama teman-teman bimbingan, atas
bantuan dan motivasinya dalam penyelesaian skripsi ini.
14. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga amal baik dari semua pihak mendapatkan pahala yang berlipat
ganda dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.
Semarang, November 2011
Penyusun
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
ABSTRAK ..................................................................................................... ii
ABTRACT ..................................................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 8
1.5 Keaslian Penelitian .................................................................................... 9
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 12
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................ 13
2.1 Landasan Teori ......................................................................................... 13
2.2 Kerangka Teori ......................................................................................... 67
ix
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 68
3.1 Kerangka Konsep ...................................................................................... 68
3.2 Hipotesis Penelitian ................................................................................... 68
3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian ................................................................. 70
3.4 Variabel Penelitian .................................................................................... 70
3.5 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ................................. 72
3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................. 74
3.7 Sumber Data Penelitian ............................................................................. 75
3.8 Instrumen Penelitian ................................................................................. 76
3.9 Teknik Pengambilan Data ......................................................................... 80
3.10 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ...................................................... 81
BAB IV HASIL PENELITIAN .................................................................... 84
4.1 Deskripsi Data Penelitian .......................................................................... 84
4.2 Hasil Penelitian ......................................................................................... 85
4.2.1 Analisis Univariat ........................................................................... 85
4.2.2 Analisis Bivariat ............................................................................. 93
BAB V PEMBAHASAN ............................................................................... 106
5.1 Pembahasan .............................................................................................. 106
5.1.1 Hubungan antara Pengetahuan Petugas dengan Implementasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) .............................................................. 106
5.1.2 Hubungan antara Sikap Petugas dengan Implementasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) .............................................................. 107
x
5.1.3 Hubungan antara Motivasi Kerja Petugas dengan Implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ............................................ 109
5.1.4 Hubungan antara Pelatihan MTBS yang Diikuti Petugas dengan
Implementasi Terpadu Balita Sakit (MTBS) ......................................... 110
5.1.5 Hubungan antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan Implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ............................................ 111
5.1.6 Hubungan antara Ketersediaan Peralatan yang Digunakan dalam
Pemeriksaan MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) ...................................................................................... 112
5.1.7 Hubungan antara Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan dengan
Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ...................... 113
5.1.8 Hubungan antara Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas dengan
Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ...................... 115
5.1.9 Hubungan antara Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan MTBS
dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ............... 116
5.1.10 Hubungan antara Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan
dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ............... 117
5.1.11 Hubungan antara Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas
dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ............... 118
5.2 Hambatan dan Kelemahan Penelitian ......................................................... 120
xi
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 121
6.1 Simpulan .................................................................................................. 121
6.2 Saran ........................................................................................................ 123
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 125
LAMPIRAN .................................................................................................. 129
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian ................................................................... 9
Tabel 1.2 Matriks Perbedaan Penelitian .................................................... 11
Tabel 3.1 Definsi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel .................. 72
Tabel 3.2 Pedoman untuk Memberikan Interpretasi terhadap Koefisien
Kontingensi ............................................................................. 83
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden ............................ 86
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Sikap Responden ....................................... 87
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Motivasi Kerja Responden ......................... 87
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Keikutsertaan Pelatihan Responden............ 88
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kepemimpinan Kepala Puskesmas ............. 88
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Ketersediaan Peralatan MTBS ................... 89
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan ........... 89
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas ......... 90
Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan
MTBS ...................................................................................... 91
Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Supervisi MTBS .................... 91
Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Evaluasi MTBS ..................... 92
Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Implementasi MTBS ................................. 92
Tabel 4.13 Tabulasi Silang antara Pengetahuan Petugas dengan
Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ............ 93
xiii
Tabel 4.14 Tabulasi Silang antara Sikap Petugas dengan Implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ................................. 94
Tabel 4.15 Tabulasi Silang antara Motivasi Kerja Petugas dengan
Implementasi Manejemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ............ 95
Tabel 4.16 Tabulasi Silang antara Keikutsertaan Pelatihan MTBS oleh
Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) .................................................................................... 96
Tabel 4.17 Tabulasi Silang antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas
dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit .............. 97
Tabel 4.18 Tabulasi Silang antara Ketersediaan Peralatan yang Digunakan
dalam Pemeriksaan MTBS dengan Implementasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) .................................................... 98
Tabel 4.19 Tabulasi Silang antara Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan
dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) .................................................................................... 100
Tabel 4.20 Tabulasi Silang antara Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas
dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) .................................................................................... 101
Tabel 4.21 Tabulasi Silang antara Sistem Pencatatan/ Pelaporan
Pelaksanaan MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) ................................................................. 102
xiv
Tabel 4.22 Tabulasi Silang antara Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh
Dinas Kesehatan dengan Implementasi Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) ................................................................. 103
Tabel 4.23 Tabulasi Silang antara Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh
Kepala Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) ................................................................. 104
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Gambar 2.1 Kerangka Teori ....................................................................... 67
Gambar 3.1 Kerangka Konsep ..................................................................... 68
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Keputusan Penetapan Dosen Pembimbing Skripsi .......................... 129
2. Form Pengajuan Ijin Penelitian ............................................................... 130
3. Surat Ijin Permohonan Penelitian untuk Kesbangpolinmas Kota
Semarang............................................................................................... 131
4. Surat Ijin Permohonan Penelitian untuk Dinas Kesehatan Kota
Semarang............................................................................................... 132
5. Surat Ijin Penelitian dari Kesbangpolinmas Kota Semarang ..................... 133
6. Surat Ijin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Semarang ...................... 134
7. Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian dari Dinas Kesehatan
Kota Semarang ...................................................................................... 135
8. Surat Ijin Permohonan Validitas dan Reliablitas untuk
Kesbangpolimnas Kabupaten Semarang.................................................. 136
9. Surat Ijin Permohonan Validitas dan Reliabilitas untuk Dinas Kesehatan
Kabupaten Semarang ............................................................................. 137
10. Surat Tugas Panitia Ujian Sarjana ........................................................... 138
11. Kuesioner Penelitian .............................................................................. 139
12. Rekapitulasi Jawaban Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ................ 148
13. Rekapitulasi Data Identitas Responden Penelitian ................................... 154
14. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Pengetahuan Petugas ............. 155
15. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Sikap Petugas ....................... 156
16. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Motivasi Kerja Petugas ......... 157
xvii
17. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Pelatihan MTBS yang
Diikuti oleh Petugas ............................................................................... 158
18. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Kepemimpinan Kepala
Puskesmas ............................................................................................. 159
19. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Ketersediaan Peralatan .......... 160
20. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Aloksi Dana dari Dinas
Kesehatan .............................................................................................. 161
21. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Rapat Koordinasi Tingkat
Puskesmas ............................................................................................. 162
22. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Sistem Pencatatan/
Pelaporan Pelaksanaan MTBS ................................................................ 163
23. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Pelaksanaan Supervisi
MTBS oleh Dinas Kesehatan .................................................................. 164
24. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Pelaksanaan Evaluasi MTBS
oleh Kepala Puskesmas .......................................................................... 165
25. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Implementasi MTBS ............. 166
26. Analisis Univariat dan Bivariat ............................................................... 167
27. Peta Kota Semarang ............................................................................... 182
28. Dokumentasi Penelitian .......................................................................... 183
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) yang dalam
bahasa Indonesia disebut Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah
suatu pendekatan yang terintegrasi/ terpadu dalam tatalaksana balita
sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita) secara
menyeluruh. MTBS bukan merupakan suatu program kesehatan tetapi suatu
pendekatan/ cara penatalaksanaan balita sakit. Kegiatan MTBS merupakan
upaya pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
di unit rawat jalan kesehatan dasar (puskesmas dan jaringannya termasuk
Puskesmas Pembantu (Pustu), Pondok Bersalin Desa (Polindes), Pos
Kesehatan Desa (Poskesdes), dll) (Departemen Kesehatan RI, 1999).
Pada tahun 1992, WHO mulai mengembangkan cara yang cukup
efektif serta dapat dikerjakan untuk mencegah sebagian besar penyebab
kematian bayi dan balita melalui program “Integrated Management of
Childhood Illness (IMCI)” atau dikenal sebagai program Manajemen Terpadu
Balita (MTBS) untuk diterapkan dan direplikasikan di negara-negara yang
mempunyai angka kematian bayi (AKB) di atas 40 per 1000 kelahiran hidup.
Menurut World Health Organization (WHO), bila tatalaksana ini dilakukan
dengan baik, akan mampu mencegah kematian balita akibat infeksi saluran
2
pernafasan akut (ISPA) hingga sebesar 60-80%, dan mencegah kematian
akibat diare sebesar 90%. Penerapan MTBS akan efektif jika ibu/ keluarga
segera membawa balita sakit ke petugas kesehatan yang terlatih serta
mendapatkan pengobatan yang tepat. Oleh karena itu, pesan mengenai kapan
ibu perlu mencari pertolongan bila anak sakit merupakan bagian yang penting
dalam MTBS (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI,
2008).
Di Indonesia angka kematian bayi sebesar 50 per 1000 kelahiran
hidup sedangkan angka kematian balita sebesar 64 per 1000 kelahiran hidup.
Hal ini yang menyebabkan WHO merekomendasikan untuk melaksanakan
program MTBS yang diadaptasikan sesuai dengan permasalahan kesehatan
bayi dan balita di Indonesia. Proses adaptasi MTBS berlangsung selama 2
tahun dengan bantuan tenaga Ikatan Dokter Ahli Anak (IDAI) berdasarkan
epidemiologi penyakit, sistem pelayanan kesehatan yang berlaku, konseling
nutrisi, penggunaan istilah lokal. Sejak Juni 1997 telah dilakukan orientasi
MTBS dan fasilitator secara bertahap. Tetapi hasil yang didapatkan belum
memenuhi target yaitu 60% dari jumlah balita yang mendapatkan pelayanan
MTBS (Mahmulsyah Munthe, 2006).
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, pada
kelompok bayi (0-11 bulan), penyebab terbanyak kematian adalah penyakit
diare sebesar 42% dan pneumonia 24%, sedangkan pada kelompok balita,
kematian akibat diare sebesar 25,2%, pneumonia 15,5%, Demam Berdarah
Dengue (DBD) 6,8% dan campak 5,8%, kejadian gizi buruk pada balita
3
sebesar 5,4% dan gizi kurang sebesar 13% (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2008).
Bila dilaksanakan dengan baik, pendekatan MTBS tergolong lengkap
untuk mengantisipasi penyakit-penyakit yang sering menyebabkan kematian
bayi dan balita di Indonesia. Dikatakan lengkap karena meliputi upaya
preventif (pencegahan penyakit), perbaikan gizi, upaya promotif (berupa
konseling) dan upaya kuratif (pengobatan) terhadap penyakit-penyakit dan
masalah yang sering terjadi pada balita. WHO telah mengakui bahwa
pendekatan MTBS sangat cocok diterapkan negara-negara berkembang dalam
upaya menurunkan angka kematian, kesakitan dan kecacatan pada bayi dan
balita. Menurut laporan Bank Dunia (1993), MTBS merupakan jenis
intervensi yang paling cost effective yang memberikan dampak terbesar pada
beban penyakit secara global. Bila puskesmas menerapkan MTBS berarti
turut membantu dalam upaya pemerataan pelayanan kesehatan dan membuka
akses bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperoleh pelayanan
kesehatan yang terpadu (Awi Muliadi Wijaya, 2009).
Menurut data hasil survei yang dilakukan sejak tahun 1990-an hingga
saat ini (SKRT 1991, 1995, SDKI 2003 dan 2007), penyakit/ masalah
kesehatan yang banyak menyerang bayi dan anak balita masih berkisar pada
penyakit/ masalah yang kurang-lebih sama yaitu gangguan perinatal,
penyakit-penyakit infeksi dan masalah kekurangan gizi. Berdasarkan
kenyataan (permasalahan) di atas, pendekatan MTBS dapat menjadi solusi
yang jitu apabila diterapkan dengan benar. Pada sebagian besar balita sakit
4
yang dibawa berobat ke puskesmas, keluhan tunggal jarang terjadi. Menurut
data WHO, tiga dari empat balita sakit seringkali memiliki beberapa keluhan
lain yang menyertai dan sedikitnya menderita 1 dari 5 penyakit tersering pada
balita yang menjadi fokus MTBS. Hal ini dapat diakomodir oleh MTBS
karena dalam setiap pemeriksaan MTBS, semua aspek/ kondisi yang sering
menyebabkan keluhan anak akan ditanyakan dan diperiksa (Awi Muliadi
Wijaya, 2009).
Hingga akhir tahun 2009, penerapan MTBS telah mencakup 33
provinsi, namun belum seluruh puskesmas mampu menerapkan. Menurut data
laporan rutin yang dihimpun dari Dinas Kesehatan provinsi seluruh Indonesia
melalui pertemuan nasional program kesehatan anak tahun 2010, jumlah
puskesmas yang melaksanakan MTBS hingga akhir tahun 2009 sebesar
51,55%. Puskesmas dikatakan sudah menerapkan MTBS bila sudah
melakukan pendekatan MTBS minimal 60% dari jumlah kunjungan balita
sakit di puskesmas tersebut (Awi Muliadi Wijaya, 2009).
Berdasarkan data kualitas anak dan gambaran program anak Provinsi
Jawa Tengah tahun 2009, didapatkan data cakupan jumlah balita yang
mendapatkan pelayanan MTBS di seluruh kabupaten (yang berjumlah 35
kabupaten) dengan cakupan yang berbeda di masing-masing kabupaten
tersebut. Namun sebanyak 40% kabupaten diantaranya belum dapat
menerapkan MTBS dengan baik, dengan cakupan jumlah balita yang
mendapatkan pelayanan MTBS dibawah 60% seperti yang terjadi pada Kota
Semarang yakni 8,25% (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2009).
5
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang ”Faktor yang
Berhubungan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1.2.1 Rumusan Masalah Umum
Faktor apa sajakah yang berhubungan dengan implementasi MTBS di
Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?
1.2.2 Rumusan Masalah Khusus
1.2.2.1 Adakah hubungan antara pengetahuan petugas pemegang
program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di
Kota Semarang Tahun 2010?
1.2.2.2 Adakah hubungan antara sikap petugas pemegang program
MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota
Semarang Tahun 2010?
1.2.2.3 Adakah hubungan antara motivasi kerja petugas pemegang
program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di
Kota Semarang Tahun 2010?
6
1.2.2.4 Adakah hubungan antara pelatihan MTBS yang diikuti petugas
dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang
Tahun 2010?
1.2.2.5 Adakah hubungan antara kepemimpinan kepala Puskesmas
dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang
Tahun 2010?
1.2.2.6 Adakah hubungan antara ketersediaan peralatan yang digunakan
dalam pemeriksaan MTBS, seperti: formulir tatalaksana MTBS,
kartu nasihat ibu, dan obat dengan implementasi MTBS di
Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?
1.2.2.7 Adakah hubungan antara alokasi dana dari Dinas Kesehatan
untuk pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di
Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?
1.2.2.8 Adakah hubungan antara rapat koordinasi tingkat Puskesmas
dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang
Tahun 2010?
1.2.2.9 Adakah hubungan antara sistem pencatatan/ pelaporan
pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di
Kota Semarang Tahun 2010?
1.2.2.10 Adakah hubungan antara pelaksanaan supervisi MTBS oleh
Dinas Kesehatan terhadap pelaksanaan MTBS dengan
implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun
2010?
7
1.2.2.11 Adakah hubungan antara pelaksanaan evaluasi (penilaian)
MTBS oleh kepala Puskesmas terhadap pelaksanaan MTBS
dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang
Tahun 2010?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui beberapa faktor yang berhubungan dengan
implementasi MTBS di Puskesmas Kota Semarang Tahun 2010.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan petugas
pemegang program MTBS dengan implementasi MTBS di
Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?
1.3.2.2 Untuk mengetahui hubungan antara sikap petugas pemegang
program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di
Kota Semarang Tahun 2010?
1.3.2.3 Untuk mengetahui hubungan antara motivasi kerja petugas
pemegang program MTBS dengan implementasi MTBS di
Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?
1.3.2.4 Untuk mengetahui hubungan antara pelatihan MTBS yang diikuti
oleh petugas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota
Semarang Tahun 2010?
8
1.3.2.5 Untuk mengetahui hubungan antara kepemimpinan kepala
Puskesmas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota
Semarang Tahun 2010?
1.3.2.6 Untuk mengetahui hubungan antara ketersediaan peralatan yang
digunakan dalam pemeriksaan MTBS, seperti:formulir
tatalaksana MTBS, kartu nasihat ibu, dan obat dengan
implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun
2010?
1.3.2.7 Untuk mengetahui hubungan antara alokasi dana dari Dinas
Kesehatan untuk kegiatan MTBS dengan implementasi MTBS di
Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?
1.3.2.8 Untuk mengetahui hubungan antara rapat koordinasi tingkat
Puskesmas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota
Semarang Tahun 2010?
1.3.2.9 Untuk mengetahui hubungan antara sistem pencatatan/ pelaporan
pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di
Kota Semarang Tahun 2010?
1.3.2.10 Untuk mengetahui hubungan antara pelaksanaan supervisi MTBS
oleh Dinas Kesehatan terhadap pelaksanaan MTBS dengan
implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun
2010?
1.3.2.11 Untuk mengetahui hubungan antara pelaksanaan evaluasi
(penilaian) MTBS oleh kepala Puskesmas terhadap pelaksanaan
9
MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota
Semarang Tahun 2010?
1.4 Manfaat Penelitian
Peneitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi berbagai
pihak antara lain :
1. Bagi Peneliti
Sebagai latihan dalam memecahkan masalah-masalah pelayanan
kesehatan khususnya yang berkaitan dengan penerapan MTBS dalam
mengintegrasikan berbagai teori dan konsep yang didapatkan dalam
perkuliahan ke dalam aplikasi penelitian ilmiah., dan hasil penelitian
diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti
dalam memahami permasalahan-permasalahan yang ada di puskesmas.
2. Bagi Puskesmas
Dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan guna meningkatkan
kinerja petugas dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat, dan
sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan terhadap balita yang sakit.
3. Bagi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk diadakan
penelitian selanjutnya mengenai MTBS di wilayah yang lain.
10
1.5 Keaslian Penelitian
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
N
No.
Judul/ Peneliti/
Lokasi Penelitian Tahun Desain Variabel Hasil
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Hubungan Penerapan
Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) diare dengan kesembuhan diare akut
pada balita di
Puskesmas I Kartasura/ Rosyidah Munawarah/
di Puskesmas I
Kartasura
2008 Mengguna
kan desain penelitian
prospektif dengan
pendekatan
kuantitatif dengan
mengukur
Chi Square untuk
mengukur nilai p
Variabel bebas :
Penerapan Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS)
diare
Variabel terikat :
kesembuhan
diare akut pada balita
Tidak ada hubungan
antara penerapan MTBS diare dengan
kesembuhan diare akut pada balita di
Puskesmas I Kartasura.
didapatkan balita yang tidak sembuh
berdasarkan MTBS
dengan rencana terapi A untuk diare akut tanpa
dehidrasi sebesar 13,33% dan balita yang
tidak sembuh dengan
rencana terapi B untuk diare akut dehidrasi
ringan sebesar 50%,
tetapi tidak bermakna secara statistik. dan
hanya 6,25% balita dengan diare akut yang
tidak sembuh dengan
terapi tanpa MTBS.
2.
(1)
Evaluasi Pelaksanaan
Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di
Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan
Selatan/ Hari Pratono/ di
Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan
Selatan
(2)
2007
(3)
Deskriptif
dengan
pendekatan studi kasus
(4)
Menilai
pelaksanaan
MTBS dengan pengamatan
langsung untuk mengetahui alur
pelayanan dan
keterpaduan pelayanan.
kepatuhan
(5)
Alur pelayanan praktik
MTBS sudah mengikuti
pola pemeriksaan dengan pelayanan yang
terintegrasi yang melibatkan tim yang
dikelola oleh seorang
case manager serta dengan intervensi yang
terintegrasi meliputi
pengobatan,
(6)
11
Petugas Dinilai dengan
Membandingkan
dengan Cheklis Berdasarkan
Buku Bagan MTBS.
Promosi dan pencegahan. Kepatuhan
terhadap standar MTBS
cukup dengan nilai 67%. Praktik MTBS ini
mendapat dukungan manajemen dari Dinas
Kesehatan Kabupaten
Tanah Laut. Peran seorang case manager
sebagai
penanggungjawab pelaksanaan MTBS
yang didukung oleh manajemen Puskesmas
menjadikan praktik
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
tetap terjaga
kelangsungannya.
12
Sedangkan perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian
sebelumnya dapat dilihat pada matrik dibawah ini:
Tabel 1.2 Matrik Perbedaan Penelitian
No Pembeda Rosyidah
Munawarah Hari Pratono
Agita Maris
Nurhidayati
(1) (2) (3) (4 ) (5)
1 Judul Hubungan Penerapan
Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) Diare dengan
Kesembuhan Diare Akut Pada
Balita di Puskesmas I
Kartasura
Evaluasi Pelaksanaan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
di Puskesmas di
Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan
Selatan
Faktor yang Berhubungan
dengan Implementasi Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) di
Puskesmas di Kota Semarang
2 Tahun dan
Tempat
Penelitian
2008, Puskesmas I
Karatasura
2007, di Kabupaten
Tanah Laut Propinsi
Kalimantan Selatan
2010, di Puskesmas di
Kota Semarang
3 Rancangan Penelitian
Desain penelitian prospektif dengan
pendekatan kuatitatif dengan mengukur
Chi Square untuk
mengukur nilai p
Deskriptif dengan pendekatan studi kasus
Survey explanatory dengan pendekatann
crosss sectional
4
Variabel Penelitian
Variabel bebas : Penerapan Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) diare
Variabel terikat :
Kesembuhan diare akut pada balita
Variabel bebas : Menilai Pelaksanaan
MTBS dengan Pengamatan Langsung
untuk Mengetahui
Alur pelayanan dan Keterpaduan
Pelayanan.
Variabel terikat : Kepatuhan petugas
dinilai dengan membandingkan
dengan cheklis
berdasarkan buku bagan MTBS.
Variabel Bebas : 1. Pengetahuan petugas
pemegang program MTBS.
2. Sikap petugas
pemegang program MTBS.
3. Motivasi kerja
petugas pemegang program MTBS.
4. Pelatihan MTBS yang pernah diiukuti
petugas.
5. Kepemimpinan kepala puskesmas.
6. Ketersediaan
peralatan yang digunakan dalam
pemeriksaan MTBS. 7. Alokasi dana dari
dinkes untuk kegiatan
MTBS.
13
(1)
(2)
(3)
(4)
8. Rapat koordinasi tingkat puskesmas
(5)
9. Sistem pencatatan/
pelaporan
pelaksanaan MTBS. 10. Pelaksanaan
supervisi MTBS oleh
dinkes terhadap pelaksanaan MTBS.
11. Pelaksanaan evaluasi (penilaian) MTBS
oleh kepala
puskesmas terhadap pelaksanaan MTBS.
Variabel Terikat : Implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
1.6.1 Ruang lingkup tempat
Lokasi penelitian dilaksanakan di seluruh puskesmas di Kota Semarang
yang berjumlah 37 puskesmas.
1.6.2 Ruang lingkup waktu
Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan
September 2011.
1.6.3 Ruang lingkup materi
Materi yang dipaparkan adalah materi yang berkenaan dengan bidang
Ilmu Kesehatan Masyarakat yang mencakup tentang Administrasi
Kebijakan Kesehatan (AKK), terkait dengan masalah kebijakan
pemerintah mengenai penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) di pelayanan kesehatan dasar.
14
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
2.1.1.1 Pengertian MTBS
Manajemen Terpadu Balita Sakit merupakan suatu pendekatan
keterpaduan dalam tatalaksana balita sakit yang datang berobat ke fasilitas
rawat jalan pelayanan kesehatan dasar yang meliputi upaya kuratif terhadap
penyakit pneumonia, diare, campak, malaria, infeksi telinga, malnutrisi dan
upaya promotif dan preventif yang meliputi imunisasi, pemberian vitamin A
dan konseling pemberian makan yang bertujuan untuk menurunkan angka
kematian bayi dan anak balita dan menekan morbiditas karena penyakit
tersebut (Departemen Kesehatan RI, 2006f: 2).
Manjemen Terpadu Balita Sakit merupakan suatu pendekatan
keterpaduan dalam tatalaksana balita sakit. MTBS bukan merupakan program
vertikal. Manajemen Terpadu Balita Sakit atau IMCI (Integrated
Management of Childhood Illness) di Indonesia merupakan bagian dari
primary health care. Oleh karena itu sebagai focal point bagi kegiatan ini
adalah Direktorat Bina Kesehatan Keluarga, Direktorat Jenderal Binkesmas,
Depkes RI yang dalam hal ini adalah pada Subdirektorat Bina Kesehatan Bayi
dan Anak Prasekolah. Langkah-langkah yang diterapkan dalam MTBS, jelas
bahwa keterkaitan peran dan tanggung jawab antar petugas kesehatan di
15
puskesmas perlu memahami MTBS dan perannya untuk memperlancar
penerapan MTBS. Persiapan yang perlu dilakukan oleh setiap puskesmas
yang akan mulai menerapkan MTBS dalam pelayanan pada balita sakit
meliputi diseminasi informasi MTBS kepada seluruh petugas puskesmas,
rencana penerapan MTBS di puskesmas, rencana penyiapan obat dan alat
yang akan digunakan dalam pelayanan MTBS, serta pencatatan dan pelaporan
hasil pelayanan MTBS di puskesmas. Kegiatan diseminasi informasi MTBS
kepada seluruh petugas puskesmas dilaksanakan dalam suatu pertemuan yang
dihadiri oleh semua petugas yang meliputi perawat, bidan, petugas gizi,
petugas imunisasi, petugas obat, pengelola SP2TP, pengelola program P2M,
petugas loket dan lain-lain. Diseminasi informasi dilaksanakan oleh petugas
yang lebih dilatih MTBS, bila perlu dihadiri oleh supervisor dari Dinas
Kesehatan kabupaten/ kota (Departemen Kesehatan RI, 2006f: 2).
Manajemen Terpadu Balita Sakit merupakan suatu bentuk
pengelolaan balita yang mengalami sakit, yang bertujuan untuk meningkatkan
derajat kesehatan anak serta kualitas pelayanan kesehatan anak. Bentuk ini
sebagai salah satu cara yang efektif untuk menurunkan angka kematian dan
kesakitan pada bayi dan anak, mengingat bentuk pengelolaan ini dapat
dilakukan pada pelayanan tingkat pertama seperti di unit rawat jalan,
puskesmas, polindes dan lain-lain. Bentuk manajemen ini dilaksanakan secara
terpadu tidak terpisah, dikatakan terpadu karena bentuk pengelolaannya
dilaksanakan secara bersama dan penanganan kasus tidak terpisah-pisah yang
meliputi manajemen anak sakit, pemberian nutrisi, pemberian imunisasi,
16
pencegahan penyakit sereta promosi untuk tumbuh kembang (Aziz Alimul
Hidayat, 2008: 142).
MTBS merupakan sistem untuk mengklasifikasikan penyakit dan
pemberian pengobatan atau tindakan dengan panduan bagan alur MTBS.
Bagan alur MTBS memandu petugas kesehatan untuk mengenali gejala-gejala
penyakit balita, mengklasifikasikan penyakit tersebut, dan memberikan
pengobatan atau tindakan yang diperlukan. Intervensi inti dari MTBS adalah
keterpaduan tatalaksana kasus dari 5 penyebab utama dari kematian balita,
antara lain ISPA, diare, campak, malaria, dan malnutrisi, serta kondisi yang
biasa mengikutinya. Pada setiap negara, kombinasi intervensi yang ada pada
MTBS dapat dimodifikasi untuk mencakup kondisi penting lain yang sudah
mempunyai cara pengobatan dan/ atau cara pencegahan yang efektif.
Intervensi utama dari strategi MTBS global bisa berubah, tergantung adanya
data baru hasil penelitian tentang penyebab utama penyakit anak.
Selama ini upaya menurunkan angka kematian bayi (AKB) dan balita
(AKBa) di tingkat pelayanan kesehatan dasar disamping menekankan
pencegahan primer melalui upaya-upaya yang bersifat promotif dan preventif,
telah memanfaatkan upaya pencegahan sekunder termasuk upaya kuratif dan
rehabilitatif di unit rawat jalan.
Pendekatan program perawatan balita sakit di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia, yang dipakai selama ini adalah program
intervensi secara terpisah untuk masing-masing penyakit. Program intervensi
secara vertikal, antara lain pada program pemberantasan penyakit infeksi
17
saluran pernafasan akut (ISPA), program pemberantasan penyakit diare,
program pemberantasan penyakit malaria, dan penanggulangan kekurangan
gizi. Penanganan yang terpisah seperti ini akan menimbulkan masalah
kehilangan peluang dan putus pengobatan pada pasien yang menderita
penyakit lain selain penyakit yang dikeluhkan dengan gejala yang sama atau
hampir sama. Untuk mengatasi kelemahan program atau metode intervensi
tersebut, pada tahun 1994 WHO dan UNICEF mengembangkan suatu paket
yang memadukan pelayanan terhadap balita sakit dengan cara memadukan
intervensi yang terpisah tersebut menjadi satu paket tunggal yang disebut
Integrated Management of Chilhood Ilness (IMCI). IMCI yang oleh WHO
dikembangkan di negara-negara Afrika dan India telah berhasil memberikan
keterampilan terhadap tenaga kesehatan yang bertugas di pelayanan kesehatan
dasar. Keterampilan tersebut antara lain meliputi bagaimana cara melakukan
klasifikasi penyakit, menilai status gizi, melakukan pengobatan secara benar,
melakukan proses rujukan dengan cepat dan benar dan juga dapat menjadikan
pengurangan biaya pada pelayanan kesehatan. Pada tahun 1997 IMCI mulai
dikembangkan di Indonesia dengan nama Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) yaitu suatu program yang bersifat menyeluruh dalam menangani
balita sakit yang datang ke pelayanan kesehatan dasar. Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) menangani balita sakit menggunakan suatu algoritme,
program ini dapat mengklasifikasi penyakit-penyakit secara tepat, mendeteksi
semua penyakit yang diderita oleh balita sakit, melakukan rujukan secara
cepat apabila diperlukan, melakukan penilaian status gizi dan memberikan
18
imunisasi kepada balita yang membutuhkan. Selain itu, bagi ibu balita juga
diberikan bimbingan mengenai tata cara memberikan obat kepada balitanya di
rumah, pemberian nasihat mengenai makanan yang seharusnya diberikan
kepada balita tersebut dan memberi tahu kapan harus kembali ataupun segera
kembali untuk mendapat pelayanan tindak lanjut, sehingga Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) merupakan paket komprehensif yang meliputi
aspek preventif, promotif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilaksanakan
pada pelayanan kesehatan dasar.
2.1.1.2 Tujuan MTBS
MTBS bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di
unit rawat jalan fasilitas kesehatan dasar, yang pada gilirannya diharapkan
mempercepat penurunan angka kematian dan kesakitan bayi dan balita.
2.1.1.3 Strategi MTBS
MTBS merupakan kombinasi perbaikan tatalaksana balita sakit
(kuratif) dengan aspek nutrisi, imunisasi (preventif dan promotif). Penyakit
anak dipilih yang merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan bayi
dan anak balita. Diantaranya strategi seperti berikut ini :
1. Kuratif meliputi
a. Pneumonia e. DBD
b. Diare f. Masalah telinga
c. Malaria g. Masalah gizi
d. Campak
2. Promotif dan preventif
19
a. Upaya mengurai missed opportunities imunisasi
b. Konseling gizi
c. Konseling pemberian ASI
d. Suplemen Vitamin A
Menurut WHO dalam Depkes RI (2006a) implementasi strategi
MTBS di seluruh dunia mengikuti tiga komponen, yaitu: memperbaiki
keterampilan petugas kesehatan lewat pembekalan tentang petunjuk MTBS
dan kegiatan promosi, perbaikan sistem kesehatan yang dibutuhkan untuk
pengelolaan anak sakit dengan efektif serta perbaikan kesehatan keluarga dan
masyarakat.
Strategi utama dari MTBS adalah pengelolaan masalah penyakit anak
di negara berkembang dengan fokus penting pada pencegahan kematian anak.
Strategi tersebut meliputi intervensi pada kegiatan preventif dan kuratif
dengan tujuan untuk memperbaiki pelayanan di sarana pelayanan kesehatan
dan pelayanan rumah. Implementasi MTBS juga berguna untuk memperbaiki
keterampilan petugas kesehatan pada tingkat pertama pelayanan kesehatan
juga termasuk kemampuan berkomunikasi dan konseling sehingga diharapkan
kualitas layanan kesehatan pada anak juga dapat diperbaiki serta komunikasi
yang baik pada orang tua. Implementasi MTBS merupakan gabungan antara
tatalaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) serta pemecahan
masalahnya pada tingkat distrik dan sarana pelayanan kesehatan sekitarnya,
petugas kesehatan serta anggota masyarakat yang dilayani.
2.1.1.4 Pelaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit
20
Tenaga kesehatan di unit rawat jalan di fasilitas kesehatan tingkat
dasar meliputi :
a. Paramedis (bidan, perawat)
b. Dokter puskesmas (karena merupakan supervisor dari paramedis)
2.1.1.5 Pelaksanaan MTBS
1. Pelaksanaan Saat Pelatihan
Para fasilitator dari Dinas Kesehatan mengundang tenaga ahli untuk
melatih peserta (dokter puskesmas, perawat dan bidan) dilatih selama 48 jam
dengan ketentuan 4 hari teori, 2 hari praktek di Puskesmas dan RSUD di
bangsal anak dan perinatologi. Dalam pelaksanaan praktek langsung dengan
pasien dengan menggunakan formulir MTBS dan MTBM serta bagan,
diharapkan dalam pelaksanaan sesuai dengan bagan dan alur MTBS sebagai
bahan ajar acuan dalam pelatihan tersebut setiap peserta diberikan modul
sebanyak 7 buah dengan materi pada masing-masing modul sebagai berikut:
Modul I memuat tentang pengantar MTBS, modul II memuat tentang
penilaian dan klasifikasi anak sakit umur 2 bulan sampai 5 tahun, modul III
memuat tentang penentuan tindakan dan pemberian obat, modul IV memuat
tentang konseling bagi ibu, modul V memuat tentang tindak lanjut yang perlu
diberikan, modul VI memuat tentang manajeman terpadu bayi muda umur 1
hari sampai 2 bulan, modul VII memuat tentang pedoman penerapan MTBS
di Puskesmas.
2. Pelaksanaan Di Puskesmas
21
Pelaksanaan MTBS di puskesmas dilakukan setiap hari, tempat
pelaksanaannya disediakan ruangan khusus untuk MTBS dimasing-masing
puskesmas. Setelah diadakan pelatihan dari dokter puskesmas, perawat dan
bidan maka akan diadakan kalakarya yang melibatkan seluruh lapisan
organisasi puskesmas mulai dari kepala puskesmas sampai staf walaupun
tidak semua nantinya sebagai pelaksana MTBS. Kala karya ini bertujuan
untuk menyatukan persepsi, visi dan misi dari semua lapisan organisasi
puskesmas yang ada tentang MTBS.
2.1.1.6 Indikator Keberhasilan Program MTBS
Indikator prioritas MTBS yang digunakan dalam fasilias pelayanan
dasar meliputi keterampilan petugas kesehatan, dukungan sistem kesehatan
dalam menjalankan MTBS dan kepuasan ibu balita atau pendamping balita
(Departemen Kesehatan RI, 2006a).
Sedangkan Indikator keberhasilan MTBS adalah angka mortalitas dan
morbiditas anak balita menurun, juga cakupan neonatal dalam kunjungan
rumah meningkat.
2.1.1.7 Sasaran Manajeman Terpadu Balita Sakit
Menurut Departemen Kesehatan RI (2006a), sasaran dari Manajemen
Terpadu Balita Sakit, meliputi :
1. Bayi muda umur 1 minggu - 2 bulan
2. Anak umur 2 bulan - 5 tahun
2.1.1.8 Langkah-langkah dalam Melaksanakan MTBS
22
Pada Manajemen Terpadu Balita Sakit ini model pengelolaannya
dapat meliputi :
1. Penilaian adanya tanda dan gejala dari suatu penyakit dengan cara
bertanya, melihat dan mendengar, meraba dengan kata lain dapat
dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik secara dasar dan anamnesa.
2. Membuat klasifikasi, dengan menentukan tingkat kegawatan dari suatu
penyakit yang digunakan untuk menentukan tindakan bukan diagnosis
khusus penyakit.
3. Menentukan tindakan dan mengobati, yakni memberikan tindakan
pengobatan di fasilitas kesehatan, membuat resep serta mengajari ibu
tentang obat serta tindakan yang harus dilakukan di rumah.
4. Memberikan konseling dengan menilai cara pemberian makan dan kapan
anak harus kembali ke fasilitas pelayanan kesehatan.
5. Memberikan pelayanan tindak lanjut pada kunjungan ulang.
2.1.1.9 Penyesuaian Alur Pelayanan MTBS
Salah satu konsekuensi penerapan MTBS di puskesmas adalah waktu
pelayanan menjadi lebih lama. Untuk mengurangi waktu tunggu bagi balita
sakit, perlu dilakukan penyesuaian alur pelayanan. Khusus untuk pelayananan
bayi muda (sehat maupun sakit) dapat dilaksanakan di unit rawat jalan
puskesmas ataupun pustu, akan tetapi diutamakan dikerjakan pada saat
kunjungan neonatal oleh para bidan di desa.
23
Penyesuaian alur pelayanan balita sakit disusun dengan memahami
langkah-langkah pelayanan yang diterima oleh balita sakit. Langkah-langkah
tersebut adalah sejak penderita datang hingga mendapatkan pelayanan yang
lengkap meliputi :
1. Pendaftaran
2. Pemeriksaan dan konseling
3. Tindakan yang diperlukan (di Klinik)
4. Pemberian obat, atau
5. Rujukan, bila diperlukan
2.1.1.10 Penatalaksanaan Balita Sakit dengan Pendekatan MTBS
Seorang balita sakit dapat ditangani dengan pendekatan MTBS oleh
petugas kesehatan yang telah dilatih. Petugas memakai tool yang disebut
algoritma MTBS untuk melakukan penilaian atau pemeriksaan, yakni dengan
cara : menanyakan kepada orang tua/ wali, apa saja keluhan-keluhan/ masalah
anak kemudian memeriksa dengan cara 'lihat dan dengar' atau 'lihat dan raba'.
Setelah itu petugas akan mengklasifikasikan semua gejala berdasarkan hasil
tanya-jawab dan pemeriksaan. Berdasarkan hasil klasifikasi, petugas akan
menentukan jenis tindakan/ pengobatan, misalnya anak dengan klasifikasi
pneumonia berat atau penyakit sangat berat akan dirujuk ke dokter
puskesmas, anak yang imunisasinya belum lengkap akan dilengkapi, anak
dengan masalah gizi akan dirujuk ke ruang konsultasi gizi, dst.
Gambaran tentang begitu sistematis dan terintegrasinya pendekatan
MTBS dapat dilihat pada item di bawah ini tentang hal-hal yang diperiksa
24
pada pemeriksaan dengan pendekatan MTBS. Ketika anak sakit datang ke
ruang pemeriksaan, petugas kesehatan akan menanyakan kepada orang tua/
wali secara berurutan, dimulai dengan memeriksa tanda-tanda bahaya umum
seperti :
a. Apakah anak bisa minum/menyusu?
b. Apakah anak selalu memuntahkan semuanya?
c. Apakah anak menderita kejang? Kemudian petugas akan
melihat/memeriksa apakah anak tampak letargis/tidak sadar?
Setelah itu petugas kesehatan akan menanyakan keluhan utama lain:
a. Apakah anak menderita batuk atau sukar bernafas?
b. Apakah anak menderita diare?
c. Apakah anak demam?
d. Apakah anak mempunyai masalah telinga?
e. Memeriksa status gizi
f. Memeriksa anemia
g. Memeriksa status imunisasi
h. Memeriksa pemberian vitamin A
i. Menilai masalah/keluhan-keluhan lain
Berdasarkan hasil penilaian hal-hal tersebut di atas, petugas akan
mengklasifikasi keluhan/penyakit anak, setelah itu melakukan langkah-
langkah tindakan/pengobatan yang telah ditetapkan dalam
penilaian/klasifikasi. Tindakan yang dilakukan antara lain :
a. Mengajari ibu cara pemberian obat oral di rumah
25
b. Mengajari ibu cara mengobati infeksi lokal di rumah
c. Menjelaskan kepada ibu tentang aturan-aturan perawatan anak sakit di
rumah, misal aturan penanganan diare di rumah
d. Memberikan konseling bagi ibu, misal: anjuran pemberian makanan
selama anak sakit maupun dalam keadaan sehat
e. Menasihati ibu kapan harus kembali kepada petugas kesehatan
2.1.1.11 Praktik MTBS Di Puskesmas
Pada pelayanan MTBS di puskesmas, petugas puskesmas ikut
berperan dalam menentukan kelancaran dan pelaksanaan langkah-langkah
dari MTBS tersebut. Oleh karena itu seluruh petugas puskesmas perlu
memahami MTBS dan perannya untuk memperlancar penerapan MTBS.
Petugas puskesmas tersebut, antara lain: bidan, perawat, petugas gizi, petugas
imunisasi, petugas obat, pengelola SP2TP, maupun petugas loket. Pada
pelaksanaannya, petugas memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing
dan disesuaikan dengan jumlah kunjungan balita yang sakit dan juga petugas
kesehatan yang ada. Untuk dapat melaksanakan peran dan tanggung jawabnya
maka, petugas harus mengetahui tentang MTBS tersebut. Hal ini berkaitan
dengan perilaku dari petugas tersebut (Departemen Kesehatan RI, 2006f: 2).
Pemeriksaan balita sakit di puskesmas ditangani oleh tim yang
dipimpin oleh pengelola MTBS atau pemegang program MTBS yang
berfungsi sebagai case manager. Semua kegiatan pemeriksaan dan konseling
tersebut dilakukan di ruang khusus MTBS. Case manager di sini adalah bidan
26
yang telah dilatih MTBS yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan
kegiatan MTBS.
1. Fungsi dan Kedudukan Case Manager.
Kedudukan case manager tidak ada dalam struktur organisasi
puskesmas. Pemilihannya oleh kepala puskesmas berdasarkan pertimbangan
pernah mengikuti pelatihan dan sanggup untuk mengelola MTBS. Dalam
keseharian pengelola bertanggung jawab kepada koordinator KIA puskesmas.
Case manager bertanggung jawab melakukan pemeriksaan dari penilaian
membuat klasifikasi serta mengambil tindakan serta melakukan konseling
dengan dipandu buku/ bagan dan tercatat dalam formulir pemeriksaan. Case
manager bertanggung jawab mengelola kasus balita sakit dari penilaian,
membuat klasifikasi, dan menentukan tindakan, serta case manager
menentukan konseling yang diperlukan oleh pasien. Apabila memerlukan
konseling gizi, kesehatan lingkungan (kesling), serta imunisasi, petugas
mengirim ke petugas yang dibutuhkan dan pasien akan disuruh kembali
kepada case manager. Sesudah mendapatkan konseling baru dilakukan
penulisan resep serta penjelasan agar ibu/ pengantar balita mematuhi perintah
yang diberikan dalam pengobatan di rumah. Konseling mengenai cara
pemberian obat, dosis, lama pemberian, waktu pemberian, cara pemberian
dan lain-lain menjadi hal yang rutin dilakukan. Hasil kegiatan pemeriksaan
dicatat dalam register kunjungan, kemudian direkap setiap akhir bulan untuk
laporan kegiatan MTBS kepada Dinas Kesehatan.
27
Keberadaan tim dalam penanganan balita sakit sangat mendukung
praktik MTBS. Tim yang dipimpin oleh seorang manajer kasus (case
manager) yaitu seorang bidan yang bertanggungjawab kepada bidan
koordinator KIA. Apabila ada masalah yang berkenaan dengan MTBS bidan
koordinator mengkonsultasikan kepada kepala puskesmas. Manajer kasus
mendistribusikan tugas serta pekerjaan kepada anggota tim lainnya yaitu
petugas gizi untuk menangani konseling gizi, petugas imunisasi untuk
pemberian imunisasi yang dibutuhkan anak pada saat pemeriksaan serta
petugas kesehatan lingkungan yang menangani penyuluhan berkenaan dengan
penyakit yang diakibatkan oleh perilaku dan lingkungan. Kejelasan tugas
dalam pembagian kerja menyebabkan penanganan kasus lebih efektif.
Masing-masing petugas bisa mengerti pekerjaan dan tugas-tugas yang lain
sehingga ketika petugas lain yang diperlukan tidak ada, petugas yang ada bisa
mengambil alih. Sifat yang fleksibel antar anggota tim inilah yang membantu
dalam praktik MTBS sehingga pekerjaan terus berlangsung walaupun ada
anggota tim yang tidak ada.
2.1.2 Pelayanan Kesehatan
2.1.2.1 Konsep Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan menurut Levey dan Loomba (1973) dalam Azrul
Azwar (1996) adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan
kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat.
28
Pelayanan kesehatan adalah segala kegiatan yang secara langsung atau
tidak langsung berupaya untuk menghasilkan pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan atau dituntut oleh masyarakat untuk mengatasi masalah
kesehatannya (Budioro B, 1997: 117). Sedangkan menurut (Soekidjo
Notoatmodjo, 2005: 5), pelayanan kesehatan adalah tempat atau sarana yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
Menurut Djoko Wijono (2000: 204), pelayanan kesehatan adalah
suatu proses kegiatan pemberian jasa atau pelayanan di bidang kesehatan
yang hasilnya dapat berupa hasil pelayanan yang bermutu, kurang bermutu,
atau tidak bermutu yang tergantung dari proses pelaksanaan kegiatan
pelayanan itu sendiri, sumber daya yang berkaitan dengan kegiatan
pelayanan, dan faktor lingkungan yang mempengaruhi, serta manajemen
mutu pelayanan.
Baik atau tidaknya keluaran (output) suatu pelayanan kesehatan sangat
dipengaruhi oleh masukan (input), proses (process), dan lingkungan
(environment), maka mutu pelayanan kesehatan ada kaitannya dengan unsur-
unsur pokok yaitu sebagai berikut (Azrul Azwar, 1996: 46) :
1. Unsur Masukan
Yang dimaksud dengan unsur masukan adalah semua hal yang
diperlukan untuk terselenggaranya pelayanan kesehatan. Unsur masukan ini
banyak macamnya, diantaranya meliputi : tenaga (man) yaitu petugas
kesehatan, dana (money), manajemen, serta sarana (material) yang
mendukung kelancaran kegiatan. Secara umum disebutkan apabila tenaga dan
29
sarana (kuantitas dan kualitas) tidak sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan (standard of personnels and facilities), serta jika dana yang
tersedia tidak sesuai kebutuhan, maka sulit diharapkan baiknya mutu
pelayanan.
2. Unsur Proses
Yang dimaksud dengan unsur proses adalah semua tindakan yang
dilakukan pada pelayanan kesehatan. Tindakan tersebut secara umum dapat
dibedakan dua macam yakni tindakan medis (medical procedure) yang
bersifat penyembuhan penyakit dan tindakan non-medis (non-medical
procedures) yang meliputi pelayanan administrasi, dan pelayanan apotek.
Secara umum disebutkan apabila kedua tindakan ini tidak sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan (standard of conduct), maka sulit diharapkan
baiknya mutu pelayanan.
3. Unsur Lingkungan
Yang dimaksud unsur lingkungan adalah keadaan sekitar yang
mempengaruhi pelayanan kesehatan. Untuk suatu institusi kesehatan, keadaan
sekiar yang terpenting adalah kebijakan (policy), organisasi (organization)
dan manajemen (management). Secara umum disebutkan apabila kebijakan,
organisasi, dan manajemen tersebut tidak sesuai dengan standar atau tidak
bersifat mendukung, maka sulit diharapkan baiknya mutu pelayanan
kesehatan.
4. Unsur Keluaran
Yang dimaksud dengan unsur keluaran adalah yang menunjuk pada
penampilan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan (performance).
30
Penampilan yang dimaksudkan disini banyak macamnya. Secara umum dapat
dibedakan atas dua macam. Pertama, penampilan aspek medis (medical
performance). Kedua penampilan aspek non-medis (non-medical
performance). Secara umum disebutkan apabila kedua penampilan ini tidak
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (standard of performance) maka
berarti sulit diharapkan baiknya pelayanan kesehatan yang bermutu (Azrul
Azwar, 1996).
Pada output ini yang dimaksud adalah sistem Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan pada balita yang sedang sakit. Dengan diterapkannya pendekatan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di puskesmas diharapkan dapat
membantu mempermudah dalam proses anamnesis, pemeriksaan, serta
diagnosis penyakit pada balita.
2.1.2.2 Macam Pelayanan Kesehatan
Menurut pendapat Hodgetts dan Cascio (1983) dalam Azrul Azwar
(1996) bentuk dan jenis pelayanan kesehatan adalah :
a. Pelayanan Kedokteran
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan
kedokteran ( medical service) ditandai dengan cara pengorganisasian yang
dapat bersifat sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu
organisasi (institution), tujuan utamanya untuk menyembuhkan penyakit dan
memelihara kesehatan serta sasarannya terutama untuk perseorangan dan
keluarga.
b. Pelayanan Kesehatan Masyarakat
31
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan
kesehatan masyarakat (public health services) ditandai dengan cara
pengorganisasian yang umumnya secara bersama-sama dalam satu organisasi,
tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah penyakit. Sasarannya terutama untuk kelompok dan masyarakat.
Menurut Azrul Azwar (1996: 38) pelayanan kesehatan yang ditujukan
kepada masyarakat harus memiliki berbagai persyaratan pokok, antara lain :
1. Tersedia dan berkesinambungan (continous and available)
Pelayaan kesehatan yang baik adalah pelayanan kesehatan tersebut
harus tersedia di masyarakat (available) serta bersifat berkesinambungan
(continous), artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh
masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat
adalah pada setiap saat dibutuhkan.
2. Dapat diterima dan wajar (acceptable)
Pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan
dan kepercayaan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan
adat istiadat, kebudayaan, keyakinan, dan kepercayaan masyarakat, serta
bersifat tidak wajar, bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang baik.
3. Mudah dicapai (accessible)
Pengertian ketercapaian yang dimaksudkan di sini adalah terutama
dari sudut lokasi. Dengan demikian untuk dapat mewujudkan pelayanan
kesehatan yang baik, maka pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi
32
sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah
perkotaan saja, dan sementara itu tidak ditemukan di daerah pedesaan,
bukanlah pelayanan kesehatan yang baik.
4. Mudah dijangkau (affordable)
Pengertian keterjangkauan yang dimaksud disini adalah dari sudut
biaya. Untuk dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini harus dapat
diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan
ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal dan karena itu hanya
mungkin dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja, bukanlah pelayanan
kesehatan yang baik.
5. Bermutu (certifiable)
Pengertian mutu yang dimaksudkan di sini adalah yang menunjuk
pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang
di satu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan dipihak lain
tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah
ditetapkan.
2.1.3 Standar Pelayanan Kesehatan
Menurut Imbalo S. Pohan (2003: 32) standar pelayanan kesehatan
adalah suatu pernyataan tentang mutu yang diharapkan yaitu yang
menyangkut masukan, proses, dan keluaran atau outcome system pelayanan
kesehatan. Sedangkan di kalangan profesi pelayanan kesehatan sendiri
terdapat berbagai definisi tentang standar pelayanan kesehatan antara lain :
1. Petunjuk Pelaksanaan
33
Pernyataan dari para ahli yang merupakan rekomendasi untuk
dijadikan suatu prosedur. Petunjuk pelaksanaan digunakan sebagai referensi
teknis yang luwes dan menjelaskan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan oleh pemberi pelayanan kesehatan dalam kondisi klinis tertentu.
2. Protokol
Ketentuan rinci dari pelaksanaan suatu proses atau pelaksanaan suatu
kondisi klinis.
3. Standar Prosedur Operasional (SPO)
Pernyataan tentang harapan bagaimana petugas kesehatan melakukan
suatu kegiatan yang bersifat administratif.
4. Spesifikasi
Penjelasan rinci dari karakteristik atau ukuran dari suatu produk
pelayanan kesehatan atau keluaran (outcome).
2.1.4 Indikator Pelayanan Kesehatan
Pada dasarnya indikator mutu pelayanan kesehatan dibagi menjadi 2
macam, yaitu :
1. Indikator Subyektif
Indikator ini tergantung dari pendapatan atau pandangan pemakai jasa
pelayanan kesehatan. Pada umumnya indikator ini berupa keluhan atau
ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan.
2. Indikator Obyektif
34
Indikator ini berhubungan erat dengan asuhan keperawatan, karena
dalam hal ini sangat berkaitan erat dengan kehendak atau keinginan
pemenuhan kebutuhan dan keinginan kelompok atau perseorangan dari
konsumen. Maka tolok ukurnya adalah profesional, yaitu standar praktek
asuhan keperawatan yang telah ditetapkan.
Menurut Lori Di Prete dalam Imbalo S. Pohan (2003: 19) terdapat
dimensi mutu pelayanan kesehatan yaitu :
1. Kompetensi Teknik
Kompetensi teknik menyangkut keterampilan, kemampuan, dan
penampilan atau kinerja pemberi pelayanan kesehatan.
2. Keterjangkauan atau Akses terhadap Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan itu harus dicapai oleh masyarakat, tidak
terhalang oleh keadaan geografis, sosial, ekonomi, organisasi dan bahasa.
3. Efektifitas Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan itu harus efektif artinya pelayanan kesehatan
harus mampu mengobati atau mengurangi keluhan yang ada, mencegah
terjadinya penyakit serta berkembangnya dan atau meluasnya penyakit yang
ada.
4. Efisiensi Pelayanan Kesehatan
Sumber daya kesehatan itu sangat terbatas, oleh sebab itu dimensi
efisiensi ini sangat penting dalam pelayanan kesehatan.
5. Kesinambungan Pelayanan Kesehatan
35
Artinya pasien harus dapat dilayani sesuai kebutuhannya, termasuk
rujukan jika diperlukan tanpa mengulangi prosedur diagnosis dan terapi yang
tidak perlu.
6. Keamanan
Dimensi keamanan pelayanan kesehatan itu harus aman, baik bagi
pasien, bagi pemberi pelayanan kesehatan atau masyarakat sekitarnya.
Pelayanan kesehatan yang bermutu harus aman dari resiko cedera, infeksi,
efek samping, atau bahaya lain yang ditimbulkan oleh pelayanan kesehatan
itu sendiri.
7. Kenyamanan
Kenyamanan tidak berhubungan langsung dengan efektivitas
pelayanan kesehatan, namun mempengaruhi kepuasan pasien. Sehingga
mendorong pasien untuk datang berobat kembali ke tempat tersebut.
Kenyamanan juga terkait dengan penampilan fisik pelayanan kesehatan,
pemberi pelayanan, peralatan medik dan non medik.
8. Informasi
Pelayanan kesehatan yang bermutu harus mampu memberikan
informasi yang jelas tentang apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana
pelayanan kesehatan itu dilaksanakan.
9. Ketepatan Waktu
Agar berhasil pelayanan kesehatan itu harus dilaksanakan dalam
waktu dan cara yang tepat. Oleh pemberi pelayanan yang tepat dan
36
menggunakan peralatan dan obat yang tepat serta dengan biaya yang efisien
(tepat).
10. Hubungan Antar Manusia
Hubungan antar manusia merupakan interaksi pemberi pelayanan
kesehatan dengan pasien atau konsumen, antar sesama pemberi pelayanan
kesehatan, hubungan atasan-bawahan, Dinas Kesehatan, rumah sakit,
puskesmas, pemerintah daerah, LSM, masyarakat, dan lain-lain.
Hubungan antara manusia yang baik akan menimbulkan kepercayaan
atau kredibilitas dengan cara saling menghargai, menjaga rahasia, saling
menghormati, responsif, dan memberi perhatian.
2.1.5 Mutu Pelayanan
Mutu adalah penentuan pelanggan, bukan ketetapan insinyur, pasar,
atau ketetapan manajemen. Mutu berdasarkan pengalaman nyata pelanggan
terhadap produk dan jasa pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya,
dijanjikan atau tidak, sadar atau hanya dirasakan, operasional teknik atau
subyektif sama sekali dan selalu menggambarkan target yang bergerak dalam
pasar yang kompetitif (Djoko Wijono, 1999: 3). Mutu pelayanan kesehatan
adalah hasil akhir (outcome) dari interaksi dan ketergantungan antara
berbagai aspek, komponen atau unsur organisasi pelayanan kesehatan sebagai
suatu sistem (Djoko Wijono, 1999: 38).
Djoko Wijono (1999) mengatakan bahwa mutu pelayanan kesehatan
dapat semata-mata dimaksudkan dari aspek teknis medis yang hanya
berhubungan langsung antara pelayanan medis dan pasien saja, atau mutu
37
pelayanan kesehatan dari sudut pandang sosial dan sistem pelayanan
kesehatan secara keseluruhan, termasuk akibat-akibat manajemen
administrasi, keuangan, peralatan dan tenaga kesehatan lainnya. Juga
dikatakan bahwa pembahasan tentang kualitas pelayanan kesehatan yang baik
mengenal dua pembatasan, yaitu:
1. Pembatasan pada derajat kepuasan pasien
Kualitas pelayanan kesehatan yang baik adalah apakah pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan tersebut dapat menimbulkan rasa puas pada
diri setiap pasien dengan tingkat kepuasan pasien rata-rata pendidikan yang
menjadikan sasaran utama pelayanan kesehatan tersebut.
2. Pembatasan pada upaya yang dilakukan
Kualitas pelayanan kesehatan yang baik adalah apabila tata cara
penyelenggaraannya sesuai dengan standar serta kode etik profesi yang telah
ditetapkan.
Mutu pelayanan kesehatan dapat diukur melalui tiga cara (Imbalo S.
Pohan, 2003: 85), yaitu :
1. Pengukuran mutu prospektif
Merupakan pengukuran mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan
sebelum pelayanan kesehatan diselenggarakan.
2. Pengukuran mutu konkuren
Merupakan pengukuran mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan
selama pelayanan kesehatan sedang berlangsung.
38
3. Pengukuran mutu pelayanan retrospektif
Merupakan pengukuran mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan
sesudah pelayanan kesehatan selesai dilaksanakan.
Pada umumnya untuk meningkatkan mutu pelayanan ada dua cara
(Djoko Wijono, 1999: 37-38) :
1. Meningkatkan mutu dan kuantitas sumber daya, tenaga, biaya, peralatan,
perlengkapan dan materi yang diperlukan dengan menggunakan teknologi
tinggi atau dengan kata lain meningkatkan input atau struktur, namun cara
ini mahal.
2. Memperbaiki metode atau penerapan teknologi yang dipergunakan dalam
kegiatan pelayanan, hal ini berarti memperbaiki proses pelayanan
organisasi pelayanan kesehatan.
Mutu produk dan jasa pelayanan secara langsung dipengaruhi oleh 9
faktor fundamental (Djoko Wijono, 1999: 10) :
1. Men : kemajuan teknologi, komputer dan lain-lain memerlukan pekerja-
pekerja spesialis yang makin banyak.
2. Money : meningkatnya kompetisi disegala bidang memerlukan
penyesuaian pembiayaan yang luar biasa termasuk untuk mutu.
3. Materials : bahan-bahan yang semakin terbatas dan berbagai jenis
material yang diperlukan.
4. Machines dan mechanization : selalu perlu penyesuaian-penyesuaian
seiring dengan kebutuhan kepuasan pelanggan.
39
5. Modern information methods : kecepatan kemajuan teknologi komputer
yang harus selalu diikuti.
6. Markets : tuntutan pasar yang semakin tinggi dan luas.
7. Management : tanggung jawab manajemen mutu oleh perusahaan.
8. Motivation : meningkatnya mutu yang kompleks perlu kesadaran mutu
bagi pekerja-pekerja.
9. Mounting product requirement : persyaratan produk yang meningkat yang
diminta pelanggan perlu penyesuaian mutu terus-menerus.
Menurut Prof. A. Donabedian dalam Djoko Wijono (1999: 48), ada
tiga pendekatan evaluasi (penilaian) mutu yaitu dari aspek :
1. Standar struktur
Adalah standar yang menjelaskan peraturan dan sistem, misalnya
personel, peralatan, gedung, rekam medis, keuangan, obat, dan fasilitas.
2. Standar proses
Yaitu menyangkut semua aspek pelaksanaan kegiatan pelayanan
kesehatan, melakukan prosedur dan kebijakan.
3. Luaran atau outcome
Adalah hasil akhir atau akibat dari pelayanan kesehatan. Standar
luaran akan menunjukkan apakah pelayanan kesehatan berhasil atau gagal.
Mutu sumber daya manusia kesehatan sangat menentukan
keberhasilan upaya dan manajemen kesehatan. Mutu pelayanan kesehatan
sangat dipengaruhi oleh kualitas sarana fisik, jenis tenaga yang tersedia, obat,
alat kesehatan dan sarana penunjang lainnya, proses pemberian pelayanan,
40
dan kompensasi yang diterima serta harapan masyarakat pengguna. Dengan
demikian maka peningkatan kualitas fisik serta faktor-faktor tersebut di atas
merupakan prakondisi yang harus dipenuhi. Selanjutnya proses pemberian
pelayanan ditingkatkan melalui peningkatan mutu dan profesionalisme
sumber daya kesehatan sebagaimana diuraikan di atas (Departemen
Kesehatan RI, 1999: 25).
2.1.6 Karakteristik Mutu Pelayanan Kesehatan
Menurut Zethamal, Parasuraman dan Berry (1985) yang dikutip dalam
Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (2001: 27), bahwa lima kelompok
karakteristik yang digunakan para pelanggan dalam mengevaluasi kualitas
jasa/ pelayanan kesehatan, yaitu :
1. Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai
dan sarana komunikasi, yang semuanya dapat dirasakan langsung oleh
pelanggan.
2. Kehandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan
yang dijanjikan dengan segera dan dapat memuaskan pelanggan.
3. Daya tanggap (responsiveness), yaitu kemampuan dari karyawan
memberikan pelayanan kepada pelanggan untuk membantu pelanggan dan
memberikan jasa dengan cepat dan tepat, serta mendengar dan mengatasi
keluhan yang diajukan pelanggan.
4. Jaminan (assurance), mencakup kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat
dipercaya yang dimiliki para staf, yaitu bebas dari bahaya, risiko dan
keragu-raguan. Karakteristik jaminan ini merupakan gabungan dari
41
dimensi kompetensi (ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh
para karyawan) dan dimensi kesopanan.
5. Empati (emphaty), meliputi kemampuan membina hubungan, komunikasi
yang baik, perhatian dan memahami kebutuhan pelanggan. Karakteristik
perhatian ini merupakan gabungan dari akses (kemudahan untuk
memanfaatkan jasa), komunikasi (kemampuan melakukan komunikasi
untuk menyampaikan informasi kepada pelanggan/ memperoleh
masukan), pemahaman pada pelanggan (usaha untuk mengetahui dan
memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan).
2.1.7 Pelayanan Kesehatan Dasar (Puskesmas)
2.1.7.1 Pengertian Puskesmas
Puskesmas adalah suatu unit pelaksana fungsional yang berfungsi
sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran serta
masyarakat dalam bidang kesehatan serta pusat pelayanan kesehatan tingkat
pertama yang menyelenggarakan kegiatannya secara menyeluruh, terpadu,
dan berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam
suatu wilayah tertentu.
Pelayanan kesehatan yang memadai merupakan tumpuan masyarakat.
Pelayanan kesehatan adalah salah satu kebutuhan mendasar selain pangan dan
juga pendidikan. Pelayanan kesehatan bukan salah monopoli rumah sakit saja.
Penduduk Indonesia yang jumlahnya melebihi 200 juta jiwa tidak mungkin
harus bergantung dari rumah sakit yang jumlahnya sedikit dan tidak merata
penyebarannya.
42
Pelayanan kesehatan yang bermutu masih jauh dari harapan
masyarakat, serta berkembangnya kesadaran akan pentingnya mutu, maka UU
Kesehatan Nomor 23 tahun 1992 menekankan pentingnya upaya peningkatan
mutu pelayanan kesehatan, khususnya ditingkat Puskesmas.
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah organisasi
fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat
menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat,
dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul
oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya kesehatan tesebut diselenggarakan
dengan menitikberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna
mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu
pelayanan kepada perorangan. Pengelolaan puskesmas biasanya berada di
bawah Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota.
2.1.7.2 Fungsi Puskesmas
Sesuai dengan Sistem Kesehatan Nasional (SKN), puskesmas sebagai
fasilitan pelayanan kesehatan tingkat pertama mempunyai tiga fungsi sebagai
berikut :
a. Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan
Puskesmas harus mampu membantu menggerakkan (motivator,
fasilitator) dan turut serta memantau pembangunan yang diselenggarakan di
tingkat kecamatan agar dalam pelaksanaannya mengacu, berorientasi serta
dilandasi oleh kesehatan sebagai faktor pertimbangan utama.
43
b. Pusat Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga
Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitas yang bersifat
non instruktif guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat
atau keluarga agar mampu mengidentifikasi masalah, merencanakan dan
mengambil keputusan untuk pemecahannya dengan benar.
c. Pusat Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
Upaya pelayanan kesehatan tingkat pertama yang diselenggarakan
puskesmas bersifat holistik, komprehensif, terpadu dan berkesinambungan.
Pelayanan kesehatan tingkat pertama meliputi pelayanan kesehatan
masyarakat dan pelayanan medik. Pada umumnya pelayanan kesehatan
tingkat pertama ini bersifat pelayanan rawat jalan.
2.1.7.3 Program Pokok Puskesmas
Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh
(comprehensive health care services) kepada seluruh masyarakat di wilayah
kerjanya, puskesmas menjalankan beberapa usaha pokok yang meliputi 6
(enam) program wajib yaitu :
a. Upaya Promosi Kesehatan
b. Upaya Kesehatan Lingkungan
c. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana
d. Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat
e. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
f. Upaya Pengobatan
44
Semua kegiatan program pokok yang dilaksanakan di puskesmas
dikembangkan berdasarkan program pokok pelayanan kesehatan dasar seperti
yang dianjurkan oleh badan kesehatan dunia (WHO) yang dikenal dengan
“basic seven” WHO. Basic seven tersebut terdiri dari : 1) Maternal and Child
Health Care, 2) Medical Care, 3) Environmenial Sanitation, 4) Health
Education, untuk kelompok, kelompok masyarakat, 5) Simple Laboratory, 6)
Communicable Disease Control, dan 7) Simple Statistic, atau pencatatan dan
pelaporan. Dari ke-12 program pokok puskesmas, basic seven WHO harus
lebih diprioritaskan untuk dikembangkan sesuai dengan masalah kesehatan
masyarakat yang potensial berkembang di wilayah kerjanya, kemampuan
sumber daya manusia (staf) yang dimiliki oleh puskesmas, dukungan sarana/
prasarana yang tersedia di puskesmas, dan peran serta masyarakat (Azrul
Azwar, 1996: 125).
2.1.7.4 Manajemen Puskesmas
Manajemen telah ada sejak lama, dikatakan demikian oleh karena
pengertian pokok dari manajemen adalah mencapai tujuan yang telah
dikehendaki dengan jalan menggunakan orang atau orang lain untuk bekerja,
guna mendapat hasil yang dicita-citakan (Hani T. Handoko, 2001: 76).
Pengertian lain dari manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya secara efektif
dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan manajemen adalah
terciptanya pengelolaan semua program-program secara baik dan teratur
45
berdasarkan urutan-urutan kebutuhan dan waktu pelaksanaan (Malayu S.P.
Hasibuan, 2009: 2).
Sedangkan menurut A. A. Gde Muninjaya (1999: 15), manajemen
adalah ilmu atau seni tentang bagaimana menggunakan sumber daya secara
efisien, efektif dan rasional untuk mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan pengertian tersebut, manajemen
mengandung tiga prinsip pokok yang menjadi ciri utama penerapannya yaitu
efisien dalam pemanfaatan sumber daya, efektif dalam memilih alternatif
kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi, dan rasional dalam pengambilan
keputusan.
Manajemen hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Dengan manajemen yang baik, akan memudahkan terwujudnya
tujuan suatu organisasi, sehingga daya guna dan hasil guna unsur-unsur
manajemen akan dapat ditingkatkan. Adapun unsur-unsur manajemen itu
meliputi unsur 5M yaitu: man, money, methode, machines, dan materials.
Agar dapat memberi pelayanan dengan baik maka dibutuhkan
berbagai sumber daya yang harus diatur dengan proses manajemen secara
baik (Tjandra Yoga A, 2002: 15). Dibidang kesehatan manajemen diartikan
sama dengan administrasi kesehatan yaitu suatu proses yang menyangkut
perencanaan, pengorganisasian, pengawasan, tata cara dan kesanggupan yang
tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan terhadap kesehatan,
perawatan kedokteran serta lingkungan yang sehat dengan jalan menyediakan
dan menyelenggarakan berbagai upaya kesehatan yang ditujukan kepada
46
perseorangan, keluarga, kelompok, dan atau masyarakat (Azrul Azwar, 1996:
5).
Dari uraian tersebut jelas bahwa peranan kantor dalam Sistem
Kesehatan Indonesia tidak hanya sebagai pelaksana fungsi administrasi saja
tetapi juga sebagai pelaksana fungsi pelayanan kesehatan. Dengan kata lain
kantor Departemen Kesehatan dan atau Kantor Dinas Kesehatan yang
terdapat di kabupaten juga bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan
kesehatan masyarakat. Sedangkan pelaksana pelayanan kesehatan masyarakat
sehari-hari dipercayakan kepada puskesmas yang oleh pemerintah didirikan di
semua kecamatan. Puskesmas merupakan suatu unit pelaksanaan fungsional
yang berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan
peran serta masyarakat dibidang kesehatan yaitu dalam rangka fungsi
promotif (penyuluhan) dan pengambilan kebijakan publik oleh pemerintah
(advokasi) yang mengarah pada usaha preventif (pencegahan) serta pusat
pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan kegiatannya
secara menyeluruh, terpadu dan berkeseimbangan pada suatu masyarakat
yang bertempat tinggal pada suatu wilayah tertentu (Azrul Azwar, 1996: 119).
Agar dapat menjalankan fungsi dan tugasnya sebagaimana mestinya,
maka puskesmas didukung oleh suatu sistem manajemen yang sebenarnya
sudah dibakukan oleh Depkes. Pada hakikatnya puskesmas :
a. Melaksanakan fungsi-fungsi manajemen seperti P1 (Perencanaan), P2
(Pelaksanaan dan Penggerakan), P3 (Pengarahan, Pengawasan, dan
Penilaian).
47
b. Dengan dukungan sumber daya seperti tenaga, dana, peralatan, teknologi,
informasi, dan lain-lainnya, yang biasanya terbatas, dan karena itu harus
dimanfaatkan secara efektif dan efisien.
c. Untuk dapat menghasilkan kegiatan-kegiatan pokok yang telah
ditetapkan.
d. Agar tercapai target atau sasaran yang telah direncanakan.
Ada beberapa komponen kegiatan dalam manajemen puskesmas yang
pedoman pelaksanaannya sudah digariskan untuk dapat dilaksanakan oleh
puskesmas agar dapat berfungsi secara optimal. Komponen manajemen
puskesmas tersebut antara lain :
1. Perencana Tingkat Puskesmas (PTP)
Perencanaan tingkat puskesmas dapat diartikan sebagai suatu proses
kegiatan sistematis untuk menyusun atau menyiapkan kegiatan yang akan
dilaksanakan oleh puskesmas pada tahun berikutnya untuk meningkatkan
cakupan dan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam upaya
mengatasi masalah-masalah kesehatan setempat. Maksud dari kegiatan PTP
ini adalah untuk dapat disusunnya 2 rumusan perencanaan, yaitu: Rencana
Usulan Kegiatan (RUK) dan Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK).
2. Penggerakan dan Pelaksanaan (Mini Lokakarya)
Maksud dari mini lokakarya adalah untuk melaksanakan fungsi
manajemen P2 (Penggerakan dan Pelaksanaan), yaitu untuk meningkatkan
kemampuan tenaga puskesmas untuk bekerja sama dalam tim, baik lintas
48
program (antar program dalam puskesmas) maupun lintas sektoral (dengan
sektor-sektor lain di luar puskesmas). Maksud tersebut dilaksanakan dengan
mengadakan rapat kerja secara periodik untuk tim antar program dalam
puskesmas dan antar sektor dengan unit-unit terkait lainnya di luar
puskesmas.
3. Sistem Pencatatan dan Pelaporan Puskesmas (SP3)
Dalam manajemen diperlukan tersedianya data atau informasi yang
akurat, tepat waktu, dan kontinue serta mutakhir secara periodik. Data atau
informasi tersebut adalah untuk mendukung fungsi-fungsi manajemen seperti
perencanaan, penggerakkan, pelaksanaan, pengawasan, pengarahan dan
penilaian. SP3 adalah tata cara pencatatan dan pelaporan yang lengkap untuk
pengelolaan puskesmas, meliputi keadaan fisik, tenaga, sarana dan kegiatan
pokok yang dilakukan serta hasil yang dicapai oleh puskesmas.
Proses pelaksanaan SP3 sebenarnya mencakup 3 hal, yaitu :
pencatatan, pelaporan, dan pengolahan/ analisis/ pemanfaatan. Pencatatan
hasil kegiatan oleh pelaksana dicatat dalam buku-buku register yang berlaku
untuk masing-masing program. Data tersebut kemudian direkapitulasi ke
dalam format laporan SP3 yang sudah dibakukan.
4. Stratifikasi Puskesmas
Tujuan diadakannya stratifikasi puskesmas adalah untuk mendapatkan
gambaran tentang tingkat perkembangan fungsi puskesmas secara terus
menerus dalam rangka pembinaan dan pengembangannya. Aspek yang dinilai
adalah mengenai hal-hal sebagai berikut :
49
a. Hasil cakupan program kegiatan pokok puskesmas
b. Proses manajemen (P1, P2, P3)
c. Sumber daya atau sarana (tenaga, dana, perlengkapan, dan obat-obatan)
d. Aspek lingkungan
(Budioro, 2002: 134).
Untuk terselenggaranya berbagai upaya kesehatan perorangan dan
upaya kesehatan masyarakat yang sesuai dengan azas penyelenggaraan
puskesmas perlu ditunjang oleh manajeman puskesmas yang baik.
Manajemen puskesmas adalah rangkaian kegiatan yang bekerja secara
sistematik untuk menghasilkan luaran puskesmas yang efektif dan efisien.
Rangkaian kegiatan sistematis yang dilaksanakan oleh puskesmas membentuk
fungsi-fungsi manajeman.
Dengan manajemen yang baik, akan memudahkan terwujudnya tujuan
suatu organisasi, sehingga daya guna dan hasil guna unsur-unsur manajemen
akan dapat ditingkatkan. Untuk meningkatkan mutu pelayanan dalam
program MTBS di puskesmas dapat terkait dengan unsur-unsur dalam
manajemen puskesmas itu sendiri. Adapun unsur-unsur dari manajemen
pelayanan MTBS tersebut, dapat meliputi unsur 5M yaitu : man, money,
methode, machines, dan materials. Secara lebih rinci faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit antara lain :
a. Man (Manusia)
Merujuk pada manusia sebagai tenaga kerja atau dengan kata lain
merupakan sumber daya manusia di puskesmas. Penerapan Manajemen
50
Sumber Daya Manusia (SDM) di puskesmas telah lama diterapkan seiring
dengan makin berkembangnya puskesmas ke era-desentralisasi. Setiap
kebijakan yang dijalankan harus didukung dengan ketersediaan sumber daya
manusia bidang kesehatan yang ada. Profesi kesehatan juga telah berkembang
menjadi jabatan fungsional yang mempunyai tugas pokok dan fungsi yang
jelas sesuai tingkat keahlian atau profesi yang dijabatnya. Man adalah segala
hal permasalahan yang terkait dengan aspek tenaga kerja dilihat dari aspek :
lemahnya pengetahuan, kurang keterampilan, pengalaman, kelelahan,
kekuatan fisik, lambatnya kecepatan kerja, banyak tekanan kerja, stress dll.
b. Machines (Mesin)
Merupakan sarana kesehatan yang digunakan puskesmas untuk
mencapai tujuan organisasi dan segala masalah yang terkait dengan aspek
peralatan, merujuk pada mesin sebagai fasilitas/ alat penunjang kegiatan
perusahaan baik operasional maupun nonoprasional. Mesin merupakan sarana
kesehatan atau bahan-bahan yang digunakan untuk pelayanan kesehatan
seperti alat-alat kesehatan , alat-alat laboratorium kesehatan sederhana.
c. Money (Uang/ Modal/ Alokasi Dana dari Dinkes)
Merupakan unsur pembiayaan atau anggaran di puskesmas merujuk
pada uang sebagai modal untuk pembiayaan seluruh kegiatan perusahaan,
misalnya ketidaktersediaan anggaran. Namun untuk penerapan MTBS di
puskesmas, tidak ada dana khusus untuk menunjang pelaksanaan MTBS.
Rata-rata puskesmas masih mengharapkan bantuan sarana dan prasarana dari
51
tingkat kabupaten bahkan provinsi. Terutama untuk pengadaan formulir
MTBS dan ARI timer.
d. Method (Metode/ Prosedur)
Merupakan cara-cara yang dijalankan puskesmas untuk mencapai
tujuan organisasi/ misi puskesmas, merujuk pada metode/ prosedur sebagai
panduan pelaksanaan kegiatan suatu perusahaan/ organisasi.
e. Materials (Bahan baku)
Merupakan prasarana kesehatan atau bahan-bahan yang digunakan
untuk pelayanan kesehatan seperti : materi penyuluhan kesehatan, buku-buku
petunjuk (Philip Kotler & Kevin Lane Keller, 2006, Muh.Fakhrurrozie,
2009).
Selain komponen di atas mengenai petugas MTBS, faktor yang juga
berperan dalam kelancaran kegiatan MTBS adalah adanya materials yang
digunakan untuk menunjang keberlangsungan kegiatan Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS).
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS)
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) masih menjadi sesuatu
yang baru bagi tenaga-tenaga kesehatan terutama yang berada di pelayanan
kesehatan dasar di Indonesia. Oleh karena itu akan terus dikembangkan
sehingga dapat menjadi standar dalam menangani balita sakit di pelayanan
kesehatan dasar dalam rangka menurunkan angka kematian bayi dan balita.
52
Keberhasilan pelaksanaan MTBS tersebut sangat didukung oleh
berbagai faktor, salah satunya adalah faktor sumber daya manusia dalam hal
ini petugas puskesmas yang bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan
ibu dan anaknya khususnya menyangkut MTBS. Pelaksanaan MTBS ini
terintegrasi dengan program-program kesehatan dasar lainnya, untuk itu perlu
dilakukan manajemen sumber daya manusia yang baik.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
kualitas dan cakupan pelayanan MTBS di puskesmas, namun cakupan
pelayanan MTBS cenderung bervariasi di setiap daerah. Dalam hal ini
Depkes RI mengupayakan strategi pelayanan MTBS secara komprehensif.
Dalam upaya tersebut mengarah pada peningkatan kualitas sumber daya
manusia, peningkatan manajemen pelayanan dan evaluasi cakupan MTBS
termasuk supervisi yang dilakukan oleh puskesmas maupun Dinas Kesehatan
(Departemen Kesehatan RI, 2006a).
Evaluasi keberhasilan pelayanan kesehatan dasar selama ini hanya
difokuskan kepada jangkauan pelayanan, cakupan pelayanan, dan peran serta
masyarakat dalam pelayanan kesehatan, sedangkan mutu pelayanan tidak
pernah dievaluasi atau dinilai. Hal ini disebabkan karena fokus pelayanan
kesehatan masih ditujukan untuk mencapai pemerataan pelayanan yang
menjangkau banyaknya penduduk yang dapat dilayani (aspek equity). Dalam
perjalanannya, pelaksanaan MTBS masih mengalami kendala seperti
keterbatasan fasilitas, kemampuan petugas yang masih menggunakan cara-
cara konvensional pada pemeriksaan bayi dan balita sakit. Oleh karena itu
53
diperlukan upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan dalam program
MTBS.
2.2.1 Faktor Pemudah (predispossing factor)
2.2.1.1 Pengetahuan Petugas
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan tindakan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui indera manusia yaitu indera manusia seperti indera penglihatan,
pendengaran, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga (Soekidjo Notoatmodjo, 2003: 127).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior) (Soekidjo
Notoatmodjo, 2003: 122). Pengetahuan petugas kesehatan mengenai
pelayanan kesehatan akan mempengaruhi tindakan petugas tersebut.
Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2003: 128) pengetahuan yang
dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu :
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata
kerja untuk mengukur bahwa seseorang tahu apa yang dipelajari antara lain :
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
2. Memahami (comprehension)
54
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan dan menyebutkan. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus
makan makanan yang bergizi.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya) misalnya dapat
menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving
cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.
4. Analisis (analysis)
Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi tersebut dan masih ada kaitanya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian dari suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat
menyesuaikan dan sebagainya.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian
55
itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek
penelitian atau responden (Soekidjo Notoatmodjo, 2003: 130).
2.2.1.2 Sikap Petugas
Sikap (attitude) merupakan pernyataan yang menyenangkan maupun
tidak menyenangkan seseorang terhadap objek, orang lain atau peristiwa. Hal
ini mencerminkan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu dalam
melakukan pekerjaan. Sikap mempunyai tiga komponen, yaitu : kesadaran,
perasaan, dan perilaku. Kesadaran akan menimbulkan perasaan pada
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan yang kemudian akan
menghasilkan perilaku yang akan mempengaruhi hasil kerja (Robbins, 2008:
92).
Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2003: 130) sikap merupakan reaksi
atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau
objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan
reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Seperti halnya
pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu :
1. Menerima ( Receiving)
Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
56
2. Merespons (Responding)
Menberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu
usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan,
lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide
tersebut.
3. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan
orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala risiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.
2.2.1.3 Motivasi Kerja Petugas
Menurut Winslow (1991) yang dikutip oleh Budioro B (2002: 5),
keberhasilan program kesehatan masyarakat dengan kemauan dan
kesadarannya sendiri bersedia menerima semua yang diwajibkan kepada
mereka. Lebih akan berhasil lagi bila mereka dengan pengetahuan dan
pengertian serta sikap yang positif merasa ikut bertanggung jawab atas
terselenggaranya program tersebut. Hal ini akan dapat dicapai dengan lebih
berhasil dan lebih mantap bila diberikan penyuluhan.
Motivasi berasal dari perkataan motif yang artinya adalah rangsangan,
dorongan, dan ataupun pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang sehingga
orang tersebut memperlihatkan perilaku tertentu. Sedangkan yang dimaksud
57
motivasi adalah upaya untuk menimbulkan rangsangan, dorongan, dan
ataupun pembangkit tenaga pada seseorang atau sekelompok masyarakat
tertentu, untuk mau berbuat dan bekerja sama secara optimal untuk
melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan (Azrul Azwar, 1996: 288).
2.2.1.4 Pelatihan MTBS yang Diikuti Petugas
Petugas yang baru saja ditunjuk untuk melakukan suatu jenis kegiatan,
jarang secara tepat sesuai kebutuhan, mereka harus dilatih agar dapat
melaksanakan pekerjaan dengan efektif.
Program pelatihan dapat mempengaruhi perilaku kerja dalam dua
cara. Yang paling jelas adalah dengan langsung memperbaiki keterampilan
yang diperlukan untuk karyawan itu agar berhasil menyelesaikan
pekerjaannya. Peningkatan kemampuan memperbaiki potensi karyawan itu
untuk berkinerja pada tingkat yang lebih tinggi. Tentu saja apakah potensi
tersebut bisa terealisasi sebagian besar merupakan soal motivasi. Manfaat
kedua adalah bahwa pelatihan itu meningkatkan keefektifan diri seorang
karyawan. Keefektifan diri seorang karyawan merupakan pengharapan
seseorang bahwa ia dapat dengan sukses melaksanakan perilaku yang dituntut
untuk memproduksi suatu hasil. Bagi para karyawan, perilaku-perilaku
tersebut adalah tugas-tugas kerja dan hasilnya adalah kinerja yang efektif.
Karyawan dengan keefektifan diri yang tinggi mengandung harapan yang
kuat mengenai kemampuan mereka untuk sukses berkinerja dalam situasi
baru. Mereka percaya diri dan mengharapkan untuk sukses.
58
Maka pelatihan merupakan suatu cara untuk mempengaruhi secara
positif keefektifan diri karena para karyawan mungkin lebih bersedia untuk
menjalankan tugas-tugas pekerjaan dan mengarahkan tingkat upaya yang
tinggi, atau dalam lingkup harapan, individu-indiviu lebih mungkin untuk
mempersepsikan upaya mereka sebagai mengarah ke kinerja (Stephen P.
Robbins, 2001: 235).
Tujuan dari pelatihan ini yaitu dihasilkannya petugas kesehatan yang
terampil menangani bayi dan balita sakit dengan menggunakan tatalaksana
MTBS. Sasaran utama pelatihan MTBS ini adalah perawat dan bidan, akan
tetapi dokter puskesmas pun perlu terlatih MTBS agar dapat melakukan
supervisi penerapan MTBS di wilayah kerja puskesmas (Yeyen, 2006).
2.2.1.5 Kepemimpinan Kepala Puskesmas
Kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam
mempengaruhi prestasi kerja organisasi karena kepemimpinan merupakan
aktifitas yang utama agar tujuan organisasi tercapai.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk memberikan
pengaruh kepada perubahan perilaku orang lain baik secara langsung maupun
tidak. Seorang manajer yang ingin kepemimpinannya lebih efektif, ia harus
mampu :
a. Memotivasi dirinya sendiri untuk bekerja dan banyak membaca
b. Memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap permasalahan organisasi. Ia
harus selalu merasa ditantang untuk mengatasi hambatan kerja yang dapat
menjadi penghalang tercapainya tujuan organisasi yang ia pimpin.
59
c. Menggerakkan (memotivasi) stafnya agar mereka mampu melaksanakan
tugas pokok organisasi sesuai dengan kewenangan yang diberikan
kepadanya dan tanggung jawab yang melekat pada setiap tugas (A.A. Gde
Muninjaya, 1999: 70).
Keberhasilan perusahaan jasa dalam mempertahankan keberadaannya
sangat tergantung kepada semangat seluruh sumber daya manusia yang ada
dalam perusahaan untuk memberikan yang terbaik bagi perusahaan maupun
konsumen dibandingkan dengan apa yang dilakukan para pesaingnya.
Memegang teguh nilai-nilai dalam organisasi tidak hanya dijadikan pedoman
dalam menghadapi para konsumen, tetapi juga diharapkan melekat dalam
gaya hidup sehari-hari. Untuk itu, diperlukan persyaratan penting agar bisa
menanamkan nilai-nilai istimewa kepada karyawan. Disinilah peran seorang
pimpinan organisasi, mampu menunjukkan yang terbaik dan memberikan
contoh perilaku istimewa yang diinginkan, tidak sekedar komando atau
perintah-perintah saja. Manusia adalah faktor yang sangat menentukan dalam
perusahaan jasa, terutama pada industri yang lebih banyak menggunakan
manusia daripada mesin (labor intensive). Apabila manusia dengan semua
perilaku baiknya, yang menjunjung nilai organisasi yang baik dapat
dimanfaatkan secara optimal, maka kemampuannya ini merupakan kekuatan
yang potensial dalam mencapai tujuan suatu organisasi (Farida Jasfar, 2005:
231).
60
2.2.2 Faktor Pemungkin (enabling factor)
2.2.2.1 Peralatan yang Digunakan dalam Pemeriksaan MTBS
Adapun peralatan penunjang pemeriksaan balita sakit yang digunakan
dalam penerapan MTBS antara lain : timer ISPA atau arloji dengan jarum
detik, tensimeter dan manset anak, gelas, sendok, dan teko tempat air matang
dan bersih untuk membuat oralit, infuse set dengan wing needles, semprit dan
jarum suntik, timbangan bayi, termometer, kasa/ kapas, pipa lambung, alat
penumbuk obat, alat pengisap lendir, RDT (Rapid Diagnostic Test) untuk
malaria (Departemen Kesehatan RI, 2006c).
a. Formulir Tatalaksana MTBS yang Digunakan dalam Pemeriksaan MTBS
Penyiapan formulir tatalaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) dan Kartu Nasihat Ibu (KNI) perlu dilakukan untuk memperlancar
pelayanan. Formulir tatalaksana MTBS digunakan oleh petugas dalam
memberikan pelayanan terhadap balita yang sakit.
b. Kartu Nasihat Ibu (KNI) yang Digunakan dalam Kegiatan MTBS
Kartu Nasehat Ibu (KNI) diberikan dengan tujuan agar ibu/ pengasuh
mudah dalam mengingat konseling atau nasehat mengenai cara perawatan
anak dan pemberian obat di rumah sesuai dengan yang disampaikan oleh
bidan/ petugas kesehatan di puskesmas.
c. Obat yang Digunakan dalam Pemeriksaan MTBS
Logistik yang dimaksud meliputi obat-obatan. Adapun obat-obatan
yang digunakan dalam penanganan balita sakit adalah obat yang sudah lazim
ada dan telah termasuk dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
61
(Departemen Kesehatan RI, 2006: 4). Obat-obat yang diperlukan adalah:
kotrimoksazol tablet dewasa atau tablet atau sirup, sirup amoksilin atau tablet
amoksilin, kaplet ampisilin, kapsul tetrasiklin, tablet asam nalidiksat, tablet
klorokuin, tablet primakuin, tablet sulfaduksin pirimetamin (fansidar), tablet
kina, diazepam suppositoria, suntikan kloramfenikol, suntikan gentamisin,
suntikan penisilin prokain, suntikan ampisilin, suntikan kinin, suntikan
fenobarbital, diazepam infeksi (5 mg dan 10 mg), tablet nistatin, tablet
parasetamol atau sirup, tetrasiklin atau kloramfenikol salep mata, gentian
violet 1% (sebelum digunakan, harus diencerkn menjadi 0,25% atau 0,5%
sesuai kebutuhan), sirup besi (sulfat ferosus) atau tablet besi, vitamin A
200.000 IU dan 100.000 IU, tablet pirantel pamoat, aqua bides untuk pelarut,
oralit 200cc, cairan infuse: ringer laktat, dextrose 5% NaCl, alkohol 70%,
glycerin, povidone iodine. Pada saat ini, beberapa obat dan alat yang jarang/
belum ada di puskesmas adalah: asam nalidiksat, suntikan kloramfenikol,
suntikan gentamisin, suntikan kinin, infus set (untuk anak dan bayi) dan
manset anak.
Walaupun obat dan alat tersebut belum ada di puskesmas, tidak akan
menghambat pelayanan bagi balita sakit, karena obat-obat tersebut pada
umumnya merupakan obat pilihan kedua atau obat yang dibutuhkan bagi anak
yang akan dirujuk, sehingga pemberian obat tersebut dapat diserahkan kepada
institusi tempat rujukan (Departemen Kesehatan RI, 2006c).
62
2.2.2.2 Alokasi Dana dari Dinkes untuk Kegiatan MTBS
Karena tidak ada dana khusus untuk menunjang pelaksanaan MTBS
yang dialokasikan oleh puskesmas sampai saat ini, maka Dinas Kesehatan
kabupaten, Dinas Kesehatan provinsi, dan Departemen Kesehatan RI masih
berusaha mengalokasikan dana untuk memenuhi sarana tersebut. Namun
selalu dijelaskan kepada pihak puskesmas bahwa hal tersebut tidak dapat
berlangsung terus menerus sehingga diharapkan sedikit demi sedikit
puskesmas dapat memenuhi kebutuhan sarana penunjang tersebut sendiri.
Saat ini sarana penunjang cukup tersedia, sehingga penatalaksanaan MTBS
dapat berjalan baik. Adapun sarana tersebut meliputi tenaga paramedis dan
medis terlatih, yang mengerjakan tatalaksana MTBS, alat bantu hitung napas,
barang cetakan berupa pencatatan formulir, kartu nasehat ibu dan penyediaan
obat-obatan (Djoko Mardijanto dan Mubasysyir Hasanbasri, 2005).
2.2.2.3 Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, pemimpin satuan organisasi
memerlukan koordinasi pengaturan tata kerja dan tata hubungan lainnya, oleh
karenanya diperlukan kesamaan pengertian masing-masing anggota dalam
organisasi tentang hal tersebut, supaya terjadi hubungan yang harmonis di
antara satuan-satuan organisasi dalam usaha bersama mencapai tujuan
organisasi.
Menurut George R. Terry dalam Azrul Azwar (1996: 112), koordinasi
adalah suatu usaha yang sinkron/ teratur untuk menyediakan jumlah dan
waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu
63
tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan.
Selain itu, koordinasi merupakan suatu proses atau kegiatan untuk
menyatukan tujuan-tujuan atau kegiatan-kegiatan dari berbagai unit
organisasi ke arah pencapaian tujuan utama atau tujuan bersama supaya
efisien dan efektif.
Secara sederhana rapat sama dengan pertemuan. Dalam istilah
kerennya disebut juga meeting. Rapat merupakan media untuk melakukan
musyawarah dan mufakat, khususnya dalam membahas masalah pelayanan
puskesmas. Hal ini dilakukan untuk menelaah rencana kerja, target kegiatan
dan capaian hasil pelayanan. Pada dasarnya rapat bertujuan mempertemukan
berbagai sudut pandang, dan menyampaikan curah pendapat, dalam
menerapkan visi dan misi puskesmas. Rapat kerja yang dilaksanakan ada
yang bersifat evaluasi, konsultasi dan koordinasi.
Rapat koordinasi adalah melaksanakan pertemuan dalam rangka
koodinasi terpadu kegiatan antar program maupun antar instansi (lintas
sektoral) yang terkait dengan masalah kesehatan masyarakat, sehingga
tercapai tujuan pembangunan kesehatan yang menyeluruh. Dalam tatanan
institusi lainnya yang terkait, pelaksanaan rapat kerja tersebut umumnya
dijalankan dengan teknis yang berbeda. Sedangkan dalam tatanan pelayanan
organisasi sosial politik, biasanya kegiatan rapat kerja tersebut memiliki
jenjang yang bertahap dari tingkat daerah sampai pusat. Apapun nama
rapatnya, tentu manfaatnya akan sama untuk melakukan evaluasi, konsultasi
dan koordinasi, dalam rangka mencapai tujuan institusi.
64
Fungsi koordinasi pada hakikatnya hampir sama dengan proses
menghubung-hubungkan (komunikasi) antar berbagai unit atau individu
dalam organisasi, baik dalam arah horisontal maupun vertikal, agar ada
kesatuan gerak yang sinkron antara berbagai ”departemen” tadi dalam upaya
mencapai tujuan bersama yang telah digariskan. Fungsi koordinasi
merupakan salah satu fungsi administrasi yang sangat penting yang harus
dilakukan oleh pimpinan atau manajer yang membawahi berbagai
”departemen” agar berbagai kegiatan yang beraneka-ragam di dalamnya yang
mungkin kait-mengkait, saling bergantung dan saling mendukung yang satu
dengan yang lainnya tetap sinkron dan searah untuk mencapai tujuan
organisasi.
Tanpa koordinasi yang baik antar program-program (koordinasi
internal) yang berkaitan dengan faktor tersebut, dan juga koordinasi eksternal
(lintas sektoral) dengan instansi terkait, akan sulit untuk mengupayakan
percepatan (akselarasi) pelaksanaan program pelayanan kesehatan di
puskesmas (Budioro B, 2002: 95).
Dengan adanya rapat koordinasi yang berfungsi untuk melaksanakan
fungsi manajemen P2 (penggerakan dan pelaksanaan), yaitu untuk
meningkatkan kemampuan tenaga puskesmas untuk bekerjasama dalam team,
baik lintas program (antar program dalam puskesmas), maupun lintas sektoral
(dengan sektor-sektor lain di luar puskesmas). Maksud tersebut yakni
dilaksanakan dengan mengadakan rapat kerja secara periodik untuk team
65
antar program dalam puskesmas dan antar sektor dengan unit-unit terkait
lainnya diluar puskesmas.
Secara garis besarnya ”mini lokakarya” dalam bentuk rapat kerja ini
adalah untuk memperoleh antara lain :
1. Masukan dari berbagai program seperti KIA, KB, Gizi, P2M, HS, PKM,
dan lain-lain.
2. Menginventarisasikan apa yang sudah dilakukan dalam kurun waktu yang
lalu.
3. Masukan tentang kegiatan peran serta masyarakat.
4. Memperhitungkan beban kerja, pembagian tugas dan tanggung jawab, dan
merealokasikan kebutuhan sumber daya untuk penyesuaian kegiatan
dalam kurun waktu berikutnya.
5. Penggalangan kerjasama dalam team, baik antar program dalam
puskesmas maupun antar sektor dengan unit-unit lainnya di luar
puskesmas (Budioro, 2002: 167).
Untuk melaksanakan suatu rencana yang telah disusun dalam rapat
koordinasi sehingga terwujud dalam kegiatan sehari-hari, banyak hal yang
harus dilakukan. Salah satu diantaranya yang dipandang mempunyai peranan
yang cukup penting adalah menyusun rencana pelaksanaan (plan of action).
Untuk dapat menyusun Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK) yang
disebut juga ”Plan Of Action” (POA) yang disusun untuk tahun yang sedang
berjalan setelah Rakerkesda (Rapat Kerja Kesehatan Daerah) Dati II untuk
dilaksanakan dalam tahun anggaran yang sama (yang sedang berjalan) dengan
66
pembiayaan dan sumberdayanya (DIP- APBN, DIP Dati I dan II, Inpres
Kesehatan dan sumber lainnya). Penyusunan RPK dilakukan melalui suatu
pembahasan dalam ”mini lokakarya” atau rapat koordinasi tersebut dan terdiri
dari 2 langkah utama, yaitu :
1. Langkah penyusunan rencana pelaksanaan kegiatan yang harus dirinci dan
menjelaskan hal-hal sebagai berikut :
a. Jenis kegiatan
b. Rincian kegiatan
c. Volume kegiatan
d. Lokasi pelaksanaan
e. Tenaga pelaksana
f. Sumber pembiayaan
g. Penjadwalan, dll.
2. Langkah analisa hambatan, potensial, yaitu untuk mengantisipasi
hambatan yang mungkin timbul atau dihadapi dalam pelaksanaan suatu
kegiatan, agar dibahas dan diinventarisasikan hambatan-hambatan
tersebut serta langkah-langkah penanggulangannya (Budioro B, 2002:
166).
Sesungguhnya peranan rencana pelaksanaan dalam dalam pekerjaan
administratisi cukup penting. Dengan adanya rencana pelaksanaan, dapatlah
dilaksanakan berbagai kegiatan tepat pada waktunya, serta pemakaian sumber
sesuai dengan peruntukannya (Azrul Azwar, 1996: 242).
67
Keterpaduan pelayanan yang dilakukan praktik MTBS menunjukan
suatu kerja tim yang kompak dan fleksibel dengan dipandu buku panduan
atau formulir MTBS menggambarkan bahwa MTBS merupakan suatu sistem
pelayanan kesehatan (Rafless Bencoolen, 2011).
2.2.2.4 Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan MTBS
Pencatatan/ pelaporan di puskesmas yang menerapkan MTBS sama
dengan puskesmas yang lain yaitu menggunakan sistem pencatatan dan
pelaporan terpadu puskesmas (SP2TP). Dengan demikian semua pencatatan
dan pelaporan yang digunakan tidak perlu mengalami perubahan. Perubahan
yang perlu dilakukan adalah konversi klasifikasi MTBS kedalam kode
diagnosis dalam SP2TP sebelum masuk kedalam sistem pelaporan
(Departemen Kesehatan RI, 2006a).
a. Pencatatan hasil
Pencatatan seluruh hasil pelayanan yaitu kunjungan, hasil
pemeriksaan hingga penggunaan obat tidak memerlukan pencatatan khusus.
Pencatatan yang telah ada di puskesmas digunakan sebagai alat pencatatan.
Alat pencatatan yang dapat digunakan adalah :
1. Register kunjungan
2. Register rawat jalan
3. Register kohort bayi
4. Register kohort balita
5. Register imunisasi
68
6. Register malaria, demam berdarah dangue, diare, ISPA, gizi dan lain-
lain
7. Register obat
b. Pelaporan hasil pelayanan
Sebagaimana dengan pencatatan hasil pelayanan MTBS, pelaporan
yang digunakan juga tidak memerlukan perubahan. Pelaporan yang
digunakan adalah :
1. Laporan bulanan 1/ laporan bulanan data kesakitan (LB 1)
2. Laporan pemakaian dan lembar permintaan obat (LP LPO)
3. Laporan bulanan gizi, KIA, Imunisasi dan P2M (LB 3)
4. Laporan mingguan diare
5. Laporan kejadian luar biasa
(Departemen Kesehatan RI, 2006f).
2.2.3 Faktor Penguat (reinforcing factor)
2.2.3.1 Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinkes
Menurut Nasrul Effendy (1998: 183), supervisi adalah upaya
pengarahan dengan cara mendengarkan alasan dan keluhan tentang masalah
dalam pelaksanaan dan memberikan petunjuk serta saran-saran dalam
mengatasi permasalahan yang dihadapi pelaksana, sehingga meningkatkan
daya guna dan hasil guna serta kemampuan pelaksana dalam melaksanakan
upaya kesehatan di puskesmas. Adapun tujuan dari supervisi antara lain :
a. Terselenggaranya upaya kesehatan puskesmas secara berhasil guna dan
berdaya guna.
69
b. Terselenggaranya program upaya kesehatan puskesmas sesuai dengan
pedoman pelaksanaan.
c. Kekeliruan dan penyimpangan dalam pelaksanaan dapat diluruskan
kembali.
d. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
e. Meningkatnya hasil pencapaian pelayanan kesehatan.
Supervisi selain merupakan monitoring langsung yang merupakan
kegiatan lanjutan pelatihan. Melalui supervisi dapat diketahui bagaimana
petugas yang sudah dilatih tersebut menerapkan semua pengetahuan dan
keterampilannya. Selain itu supervisi dapat merupakan suatu proses
pendidikan dan pelatihan berkelanjutan dalam bentuk on the job training.
Supervisi harus dilaksanakan pada setiap tingkatan dan di semua pelaksana,
karena dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk
mengatasi masalah dan kesulitan yang mereka temukan. Suatu umpan balik
tentang penampilan kerja mereka harus selalu diberikan untuk meningkatkan
kinerja petugas.
2.2.3.2 Pelaksanaan Evaluasi (penilaian) MTBS oleh Kepala Puskesmas
Evaluasi pembangunan kesehatan perlu senantiasa dilaksanakan
secara rutin dimaksudkan untuk mengetahui gambaran secara menyeluruh
upaya pelayanan kesehatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan
pembangunan kesehatan. Apakah pelaksanaannya telah sesuai dengan
rencana yang telah dibuat maupun tolok ukur yang telah ditetapkan.
70
Pada umumnya evaluasi dilaksanakan terhadap program-program
pembangunan kesehatan khususnya evaluasi/ penilaian terhadap
pembangunan kesehatan di tingkat kabupaten/ dati II, rumah sakit pemerintah
dengan instrumen stratifikasi rumah sakit atau akreditasi rumah sakit swasta
serta penilaian terhadap puskesmas dengan instrumen sratifikasi puskesmas.
Penilaian (evaluasi) menurut Djoko Wijono (1997: 135) adalah
kegiatan untuk membandingkan antara hasil yang telah dicapai dengan
rencana yang telah ditentukan. Penilaian merupakan alat penting untuk
membantu pengambilan keputusan sejak tingkat perumusan kebijakan
maupun pada tingkat pelaksanaan program.
Menurut WHO, evaluasi adalah suatu cara yang sistematis untuk
memperbaiki kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan sekarang serta untuk
meningkatkan perencanaan yang lebih baik dengan menyeleksi secara
seksama alternatif-alternatif tindakan yang akan datang. Ini menyangkut
analisa yang kritis mengenai berbagai aspek pengembangan dan pelaksanaan
suatu program dan kegiatan-kegiatan yang membentuk program itu,
relevansinya, rumusannya, efisiensinya dan efektivitasnya, biayanya dan
penerimaannya oleh semua pihak yang terlibat.
Dengan demikian maksud dan tujuan evaluasi dalam pembangunan
kesehatan adalah untuk memperbaiki program-program kesehatan dan
pelayanan kesehatan, dan untuk mengarahkan alokasi sumber daya, tenaga
dan dana kepada program-program dan pelayanan kesehatan yang ada saat ini
dan dimasa yang akan datang (Djoko Wijono, 1997: 216).
71
Sedangkan menurut Wahid Iqbal Mubarak (2009: 378), evaluasi
merupakan kegiatan menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan yang
sudah ditentukan sebelumnya. Adapun tujuan dari evaluasi antara lain sebagai
berikut :
1. Membantu perencanaan di masa yang akan datang.
2. Mengetahui apakah sarana yang tersedia dimanfaatkan dengan sebaik-
baiknya.
3. Menentukan kelemahan dan kekuatan daripada program , baik dari segi
teknis maupun administratif yang selanjutnya diadakan perbaikan-
perbaikan.
4. Membantu menentukan strategi, artinya mengevaluasi apakah cara yang
telah dilaksanakan selama ini masih bisa dilanjutkan, atau perlu diganti.
5. Mendapatkan dukungan dari sponsor (pemerintah atau swasta), berupa
dukungan moral maupun material.
6. Motivator, jika program berhasil , maka akan memberikan kepuasan dan
rasa bangga kepada para staf, hingga mendorong mereka bekerja lebih
giat lagi.
.
72
2.3 Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber: A.A. Gde Muninjaya (1999), Azrul Azwar (1996), Budioro B (2002),
Depkes RI (2006), Djoko Wijono (1997, 2000), Farida Jasfar (2005),
Faktor Pemungkin (Enabling Factors) ;
Implementasi
Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS)
di puskesmas
Faktor Penguat (Reinforcing Factors) :
Rapat koordinasi tingkat puskesmas
Alokasi dana dari Dinkes
Ketersediaan peralatan yang digunakan dalam
pemeriksaan MTBS
Sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS
Pelaksanaan evaluasi (penilaian) MTBS oleh kepala puskesmas
Pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinkes
Faktor Pemudah (Predispossing Factors) ;
Pengetahuan petugas
Pelatihan MTBS yang diikuti oleh petugas
Motivasi kerja petugas
Sikap petugas
Kepemimpinan kepala puskesmas
73
Nasrul Effendy (1998), Stephen P. Robbins (2008), Soekidjo
Notoatmodjo (2003), Wahid Iqbal Mubarak (2009).
74
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Variabel Bebas Variabel
Terikat
Gambar 3.1
Kerangka Konsep
Implementasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS)
di puskesmas
Pengetahuan petugas
Sikap petugas
Motivasi kerja petugas
Pelatihan MTBS yang diikuti petugas
Kepemimpinan kepala puskesmas
Ketersediaan peralatan pemeriksaan MTBS
Alokasi dana dari Dinkes
Rapat koordinasi tingkat puskesmas
Sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan
MTBS
Pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinkes
terhadap pelaksanaan MTBS
Pelaksanaan evaluasi MTBS oleh kepala puskesmas terhadap pelaksanaan MTBS
75
3.2 Hipotesis Penelitian
3.2.1Hipotesis Mayor
Ada faktor yang berhubungan dengan implementasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010.
3.2.2Hipotesis Minor
3.2.2.1 Ada hubungan antara pengetahuan petugas pemegang program MTBS
dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun
2010.
3.2.2.2 Ada hubungan antara sikap petugas pemegang program MTBS dengan
implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010.
3.2.2.3 Ada hubungan antara motivasi kerja petugas pemegang program MTBS
dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun
2010.
3.2.2.4 Ada hubungan antara pelatihan MTBS yang diikuti oleh petugas dengan
implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010.
3.2.2.5 Ada hubungan antara kepemimpinan kepala puskesmas dengan
implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010.
3.2.2.6 Ada hubungan antara ketersediaan peralatan yang digunakan dalam
pemeriksaan MTBS, seperti: formulir tatalaksana MTBS, kartu nasihat
ibu, dan obat dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota
Semarang Tahun 2010.
76
3.2.2.7 Ada hubungan antara alokasi dana dari Dinas Kesehatan untuk kegiatan
MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang
Tahun 2010.
3.2.2.8 Ada hubungan antara rapat koordinasi tingkat puskesmas dengan
implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010.
3.2.2.9 Ada hubungan antara sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS
dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun
2010.
3.2.2.10 Ada hubungan antara pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas
Kesehatan terhadap pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di
Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010.
3.2.2.11 Ada hubungan antara pelaksanaan evaluasi (penilaian) MTBS oleh
kepala puskesmas terhadap pelaksanaan MTBS dengan implementasi
MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010.
3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian penjelasan
(explanatory research) yaitu menjelaskan hubungan antara variabel
pengaruh dan variabel terpengaruh melalui pengujian hipotesis.
Metode yang digunakan adalah metode survei dengan pendekatan
cross sectional yaitu melakukan pengumpulan data yang menyangkut
variabel bebas dan variabel terikat pada saat yang bersamaan (Soekidjo
Notoatmodjo, 2005: 26).
77
3.4 Variabel Penelitian
Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota
suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok yang
lain (Soekidjo Notoatmodjo, 2005: 70). Adapun variabel dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
3.4.1 Variabel Bebas
Variabel bebas (independent variable) adalah variabel yang
mempengaruhi variabel terikat (dependent) (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:
70). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang
berhubungan dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
yaitu : pengetahuan petugas pemegang program MTBS, sikap petugas
pemegang program MTBS, motivasi kerja petugas pemegang program
MTBS, pelatihan MTBS yang diikuti oleh petugas, kepemimpinan kepala
puskesmas, ketersediaan peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan
(seperti: formulir tatalaksana MTBS, kartu nasihat ibu, dan obat), alokasi
dana dari Dinas Kesehatan untuk kegiatan MTBS, rapat koordinasi tingkat
puskesmas, sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS, pelaksanaan
supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan terhadap pelaksanaan MTBS, serta
pelaksanaan evaluasi (penilaian) MTBS oleh kepala puskesmas terhadap
pelaksanaan MTBS.
3.4.2 Variabel Terikat
Variabel terikat (dependent) adalah variabel yang dipengaruhi variabel
bebas (independent) (Soekidjo Notoatmodjo, 2005: 70). Variabel terikat
78
dalam penelitian ini adalah implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS).
3.5 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel
Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel
No. Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran Klasifikasi Skala
Pengukuran
1.
Variabel Terikat :
Implementasi
MTBS
Penerapan pelaksanaan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
yang dilakukan oleh
petugas, dengan
menggunakan lembar standar operasional
minimum tatalaksana
balita sakit.
Wawancara dengan
menggunakan kuesioner
1. Rendah, jika skor
X
2. Tinggi, jika skor X
(Agus Irianto, 2007: 44)
Ordinal
2.
Variabel Bebas :
Pengetahuan petugas
Pengetahuan petugas adalah pengetahuan
petugas pemegang
program MTBS
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
MTBS
Wawancara dengan menggunakan
kuesioner
- Jawaban benar =1
- Jawaban salah =0
1. Pengetahuan kurang, jika < 60% jawaban
benar
2. Pengetahuan cukup,
jika 60%-80% jawaban benar
3. Pengetahuan baik, jika
> 80 % jawaban benar
(Yayuk Farida Baliwati,
2004: 117).
Ordinal
Sikap petugas
Merupakan reaksi atau respon emosional
petugas pemegang
program MTBS
terhadap pelaksanaan MTBS yang lebih
bersifat penilaian
pribadi dan dapat
dilanjutkan dengan kecenderungan untuk
melakukan suatu
tindakan
Wawancara dengan menggunakan
kuesioner dengan
pilihan jawaban
a. Tidak setuju =0 b. Setuju = 1
1. Kurang, jika: (µ-1,0 σ)
2. Cukup, jika:
≥ (µ-1,0 σ) s.d
< (µ+1,0 σ) 109-110).
3. Baik, jika:
≥ (µ+1,0 σ)
(Saifuddin Azwar, 2005:
109-110).
Ordinal
Motivasi kerja petugas
Suatu dorongan kerja yang timbul pada diri
petugas pemegang
program MTBS untuk
menerapkan MTBS guna mencapai
Wawancara dengan menggunakan
kuesioner dengan
pilihan jawaban
a.Tidak setuju =0 b.Setuju = 1
1. Rendah, jika: (µ-1,0 σ)
2. Sedang, jika:
≥ (µ-1,0 σ) s.d
< (µ+1,0 σ) 3. Tinggi, jika:
Ordinal
79
(1)
(2)
indikator keberhasilan program MTBS
(3)
(4)
≥ (µ+1,0 σ)
(Saifuddin Azwar, 2005:
109-110)
(5)
(6)
Pelatihan MTBS
yang diikuti
petugas
Pelatihan merupakan
proses atau cara yang
perlu diikuti oleh petugas terlebih dahulu
sebelum melaksanakan
suatu jenis kegiatan
MTBS
Wawancara dengan
menggunakan
kuesioner
1. Belum Pernah, jika
skor X
2. Pernah, jika skor X
(Agus Irianto, 2007: 44)
Nominal
Kepemimpinan kepala puskesmas
Kemampuan seseorang Kepala Puskesmas
untuk memberikan
pengaruh kepada
perubahan perilaku staffnya baik secara
langsung maupun tidak,
agar kegiatan organisasi
terebut dapat berjalan dengan baik.
Wawancara dengan menggunakan
kuesioner
1. Kurang, jika: (µ-1,0 σ)
2. Cukup, jika:
≥ (µ-1,0 σ) s.d
< (µ+1,0 σ) 3. Baik, jika:
≥ (µ+1,0 σ)
(Saifuddin Azwar, 2005: 109-110)
Ordinal
Ketersediaan
peralatan
pemeriksaan
MTBS
Seluruh peralatan yang
digunakan untuk
kegiatan MTBS, yang
terdiri atas: formulir MTBS dan Kartu
Nasihat ibu, serta
logistik (peralatan dan
obat yang mendukung dalam kegiatan
pemeriksaan MTBS
Wawancara dengan
menggunakan
kuesioner
1. Tidak Lengkap, jika
skor X
2. Lengkap, jika skor
X
(Agus Irianto, 2007: 44)
Nominal
Alokasi dana dari
dinkes
Uang/ dana dari Dinkes
yang digunakan untuk
kegiatan MTBS
Wawancara dengan
menggunakan
kuesioner
1. Ada, jika nilai yang
didapatkan dari
kuesioner =1 2. Tidak ada, jika nilai
yang didapatkan dari
kuesioner =0
Nominal
Rapat koordinasi
tingkat
puskesmas
pertemuan dalam
rangka koodinasi
terpadu kegiatan antar program maupun antar
instansi (lintas sektoral)
untuk menyusun
rencana pelaksanaan kegiatan.
Wawancara dengan
menggunakan
kuesioner
1. Tidak Ada, jika skor
X
2. Ada, jika skor X
(Agus Irianto, 2007: 44)
Nominal
Sistem
pencatatan/
pelaporan pelaksanaan
Ada tidaknya
pencatatan yang
meliputi jumlah kunjungan balita yang
sakit yang datang ke
Wawancara dengan
menggunakan
kuesioner
1. Kurang, jika:
(µ-1,0 σ)
2. Cukup, jika: ≥ (µ-1,0 σ) s.d
< (µ+1,0 σ)
Ordinal
80
3.6 Populasi dan Sampel Penelitian
3.6.1 Populasi
Populasi secara umum dapat diartikan wilayah generalisasi yang
terdiri atas, subyek atau obyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulanya (Sugiyono, 2005 : 55). Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh petugas pemegang program (yang bertindak sebagai case manager)
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di 37 puskesmas yang berada di
Kota Semarang yang berjumlah 37 orang.
(1)
MTBS
(2)
Puskesmas dan jumlah balita sakit yang
ditangani dengan
menggunakan
pendekatan MTBS.
(3)
(4)
3. Baik, jika: ≥ (µ+1,0 σ)
(Saifuddin Azwar, 2005:
109-110)
(5)
(6)
Supervisi dinkes terhadap
pelaksanaan
MTBS
Ada tidaknya pembinaan, bimbingan
dan pengawasan pro-
gram MTBS yang
dilakukan oleh Dinkes
Wawancara dengan menggunakan
kuesioner
- Jawaban, ya =1
Jawaban, tidak =0
1. Rendah, jika skor
X
2. Tinggi, jika skor X
(Agus Irianto, 2007: 44)
Ordinal
Evaluasi (penilaian) pelaksanaan MTBS
Ada tidaknya penilaian hasil pelaksanaan
kegiatan Manajemen
Terpadu Balita Sakit
(MTBS)
Wawancara dengan menggunakan
kuesioner
1. Rendah, jika skor
X
2. Tinggi, jika skor X
(Agus Irianto, 2007: 44)
Ordinal
81
3.6.2 Sampel
Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan
cara tertentu sehingga dapat dianggap mewakili populasinya (Sudigdo,
2008: 49). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan
dengan total sampling/ sampel jenuh yaitu teknik penentuan sampel apabila
semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Sugiyono, 2005: 61).
Jadi sampel yang diambil adalah semua petugas pemegang program (case
manager) MTBS di Puskesmas di Kota Semarang yang berjumlah 37 orang.
3.7 Sumber data Penelitian
Sumber data penelitian dalam penelitian ini di dapatkan dari data
primer dan data sekunder.
3.7.1 Data primer
Data primer merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan sendiri
oleh peneliti dari responden selama penelitian. Data primer diperoleh dari
hasil observasi, dokumentasi, dan wawancara secara langsung dengan
menggunakan lembar kuesioner yang telah dirancang. Pengisian kuesioner
dengan metode wawancara terhadap responden. Kuesioner berisi pertanyaan
yang sudah ada alternatif jawabannya.
3.7.2 Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh peneliti dari orang lain
yang dalam penelitian ini berasal dari instansi-instansi kesehatan yaitu dari
82
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Dinas kesehatan Kota Semarang,
yaitu data mengenai gambaran program anak, data kualitas anak, data
jumlah kunjungan balita yang sakit, data jumlah balita yang mendapatkan
pelayanan MTBS, data kegiatan kesehatan anak, data rekapitulasi program
kesehatan anak, data pencapaian indikator SPM, serta data kematian bayi
dan balita.
3.8 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk
pengumpulan data (Soekidjo Notoatmodjo, 2005: 48). Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner yang digunakan
untuk memperoleh data berdasarkan pertanyaan dan pernyataan mengenai
faktor-faktor yang berhubungan dengan implementasi Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010.
Kuesioner dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian jika sudah
memenuhi syarat validitas dan reliabilitas. Untuk itu kuesioner tersebut
harus di uji coba ” trial” lapangan.
1) Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukan alat ukur tersebut
benar-benar mengukur apa yang diukur. Kuesioner diujikan pada petugas
pemegang program MTBS di 20 Puskesmas yang berada di wilayah
Kabupaten Semarang, dimana di wilayah kerja tersebut memiliki
karakteristik yang sama dengan wilayah Kota Semarang. Adapun Puskesmas
tersebut meliputi: Puskesmas Ungaran, Puskesmas Lerep, Puskesmas
83
Kalongan, Puskesmas Leyangan, Puskesmas Jimbaran, Puskesmas Bergas,
Puskesmas Pringapus, Puskesmas Bawen, Puskesmas Ambarawa,
Puskesmas Sumowono, Puskesmas Banyubiru, Puskesmas Jambu,
Puskesmas Tuntang, Puskesmas Gedangan, Puskesmas Pabelan, Puskesmas
Getasan, Puskesmas Jetak, Puskesmas Tengaran, Puskesmas Susukan, dan
Puskesmas Suruh.
Pengujian validitas instrumen pada penelitian ini menggunakan
program SPSS versi 12.00, dimana hasil akhirnya (r hitung) dibandingkan
dengan nilai r tabel product moment pearson, dimana untuk uji validitas
dengan N = 20 dan taraf signifikansi 5% diketahui bahwa nilai r tabel =
0,444. Jika r hitung > r tabel = 0,444, maka butir atau variabel pertanyaan
tersebut dinyatakan valid.
Dari hasil perhitungan uji validitas seluruh jumlah soal yang
berjumlah 69 butir soal, yang terdiri dari 12 butir soal untuk vaiabel
pengetahuan petugas, 10 butir soal untuk variabel sikap petugas, 2 butir soal
untuk variabel pelatihan MTBS yang diikuti oleh petugas, 15 butir soal
untuk variabel motivasi kerja petugas, 10 butir soal untuk variabel
kepemimpinan kepala puskesmas, 4 butir soal untuk variabel ketersediaan
peralatan MTBS, 1 butir soal untuk variabel alokasi dana, 3 butir soal untuk
variabel rapat koordinasi tingkat puskesmas, 4 butir soal untuk variabel
sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS, 3 butir soal untuk variabel
pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan, 2 butir soal untuk
variabel pelaksanaan evaluasi MTBS oleh kepala puskesmas terhadap
84
pelaksanaan MTBS, serta 3 butir soal untuk variabel implementasi MTBS,
yang dilakukan melalui program SPSS versi 12.00 diperoleh hasil 67 butir
soal dinyatakan valid, dan 2 butir soal tidak valid untuk variabel
pengetahuan petugas. Sehingga dilakukan uji validitas kembali yaitu dengan
menghilangkan 2 butir soal yang tidak valid tersebut, dan dilakukan
perhitungan uji validitas terhadap 67 butir soal kembali.
Berdasarkan hasil perhitungan uji validitas dari 67 butir soal tersebut
dengan menggunakan program SPSS versi 12.00, maka diperoleh koefisien
korelasi (rxy) atau r hitung untuk variabel pengetahuan petugas pada butir
soal no.1 = 0,600, soal no.2 = 0,735, soal no.3 = 0,519, soal no.4 = 0,660,
soal no.5 = 0,526, soal no.6 = 0,527, soal no.7 = 0,527, soal no.8 = 0,585,
soal no.9 = 0,579, dan soal no.10 = 0,563.
Pada variabel sikap petugas diperoleh koefisien korelasi (r hitung)
untuk butir soal no.1 = 0,570, soal no.2 = 0,620, soal no.3 = 0,459, soal no.4
= 0,654, soal no.5 = 0,567, soal no.6 = 0,563, soal no.7 = 0,687, soal no.8 =
0,928, soal no.9 = 0,694, dan soal no.10 = 0,766.
Pada variabel pelatihan MTBS yang diikuti oleh petugas diperoleh
koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,613, dan soal no.2 =
0,514.
Pada variabel motivasi kerja petugas diperoleh koefisien korelasi (r
hitung) untuk butir soal no.1 = 0,526, soal no.2 = 0,570, soal no.3 = 0,455,
soal no.4 = 0,478, soal no.5 = 0,546, soal no.6 = 0,585, soal no.7 = 0,527,
soal no.8 = 0,605, soal no.9 = 0,478, dan soal no.10 = 0,541, soal no.11 =
85
0,539, soal no.12 = 0,543, soal no.13 = 0,627, soal no.14 = 0,738, dan soal
no.15 = 0,839.
Pada variabel kepemimpinan kepala puskesmas diperoleh koefisien
korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,458, soal no.2 = 0,462, soal no.3
= 0,532, soal no.4 = 0,484, soal no.5 = 0,455, soal no.6 = 0,519, soal no.7 =
0,448, soal no.8 = 0,500, soal no.9 = 0,519, dan soal no.10 = 0,494.
Pada variabel ketersediaan peralatan MTBS diperoleh koefisien
korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,458, soal no.2 = 0,535, soal no.3
= 0,600, dan soal no.4 = 0,538.
Pada variabel alokasi dana dari Dinas Kesehatan diperoleh koefisien
korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,466.
Pada variabel rapat koordinasi tingkat puskesmas diperoleh koefisien
korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,490, soal no.2 = 0,486, dan soal
no.3 = 0,483.
Pada variabel sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS
diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,567, soal
no.2 = 0,512, soal no.3 = 0,473, dan soal no.4 = 0,502.
Pada variabel pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan
diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,573, soal
no.2 = 0,490, dan soal no.3 = 0,526.
Pada variabel pelaksanaan evaluasi MTBS oleh kepala puskesmas
terhadap pelaksanaan MTBS diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk
butir soal no.1 = 0,535, dan soal no.2 = 0,496.
86
Pada variabel implementasi MTBS diperoleh koefisien korelasi (r
hitung) untuk butir soal no.1 = 0,527, soal no.2 = 0,454, dan soal no.3 =
0,599.
Sehingga semua butir soal yang berjumlah 67 pertanyaan dinyatakan
valid, karena koefisien korelasi (rxy) atau r hitung lebih besar dari r tabel =
0,444.
2) Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Soekidjo Notoatmodjo,
2002: 118). Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu
tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala
yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama. Seperti halnya
dengan uji validitas, untuk mengetahui apakah instrumen penelitian ini
reliabel atau tidak maka digunakan program komputer. Adapun tolak ukur
untuk mempresentasikan derajat reliabilitas adalah dengan menggunakan
metode Alpha Cronbach. Apabila pengujian reliabilitas dengan metode
Alpha, maka nilai r hitung diwakili oleh Alpha. Jika Alpha hitung lebih besar
daripada r tabel dan Alpha hitung bernilai positif, maka instrumen penelitian
tersebut reliabel.
Berdasarkan hasil perhitungan uji reliabilitas dari 67 butir soal
tersebut dengan menggunakan program SPSS versi 12.00, maka diperoleh
nilai Alpha = 0,967, sehingga instrumen (kuesioner) penelitian tersebut
dinyatakan reliabel.
87
3.9 Teknik Pengambilan Data
Teknik pengambilan data yang dilakukan selama penelitian ini adalah
:
3.9.1Wawancara
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
dengan menggunakan lembar kuesioner yang berisi pertanyaan atau
pernyataan yang berhubungan dengan variabel penelitian yang harus
dijawab responden. Pengumpulan data diambil dari data primer (jawaban
lembar kuesioner) dan data sekunder yang diambil dari puskesmas maupun
dari Dinas Kesehatan Kota Semarang.
3.9.2Dokumentasi
Dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk mencari data
pendukung dari kegiatan penelitian yang berupa visual, yaitu : foto kegiatan
penelitian.
3.10 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan, dilakukan pengolahan data dengan
tahapan sebagai berikut :
3.10.1 Editing
Sebelum diolah data tersebut diteliti terlebih dahulu. Data atau
keterangan yang telah dikumpulkan perlu dibaca sekali lagi dan diperbaiki
88
jika dirasakan masih ada kesalahan dan keraguan data. Langkah ini
dimaksudkan untuk melakukan pengecekan kelengkapan data,
kesinambungan data, dan keseragaman data mengenai karakteristik
responden serta gambaran wilayah dan gambaran kesehatan.
3.10.2 Koding
Data yang sudah dikumpulkan dalam bentuk kalimat yang pendek
atau panjang, untuk memudahkan analisa, maka jawaban tersebut perlu
diberi kode. Mengkode jawaban adalah menaruh angka pada tiap jawaban.
3.10.3 Entri
Data yang telah dikode kemudian dimasukkan dalam program
komputer untuk selanjutnya diolah dengan dengan bantuan soft ware .
3.10.4 Tabulasi
Sebagai kelanjutan dari tahap entri data, maka dilakukan tabulasi data
yaitu mengelompokkan data sesuai dengan variabel dan kategori data
penelitian. Tabulasi data yang dilakukan meliputi variabel faktor yang
berhubungan dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS).
3.10.5 Analisis Data
Teknik analisis data penelitian ini diolah secara statistik dengan
menggunakan program SPSS versi 12.00. Adapun analisisnya sebagai
berikut :
89
3.10.5.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil
penelitian. Dalam penelitian ini hanya menghasilkan distribusi persentase
dari tiap variabel (Soekidjo Notoatmodjo, 2002: 188).
3.10.5.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mencari hubungan antara variabel
bebas dan variabel terikat dengan uji statistik yang disesuaikan dengan skala
data yang ada. Uji statistik yang digunakan adalah chi-square atau chi
kuadrat. Taraf signifikansi yang digunakan adalah 95% dengan
menggunakan nilai kemaknaan atau p sebesar 5% (Sugiyono, 2005: 104).
Menurut Sopiyudin Dahlan (2004:18), syarat uji chi-square adalah tidak
ada sel dengan nilai observed yang bernilai 0 dan sel yang mempunyai nilai
expected kurang dari 5, maksimal 20% dari jumlah sel. Jika syarat uji chi-
square tidak terpenuhi, maka uji alternatifnya :
1. Alternatif uji chi-square untuk tabel 2x2 adalah uji fisher.
2. Alternatif uji chi-square untuk tabel 2xK adalah uji kolmogorov-smirnov.
3. Alternatif uji chi-square untuk tabel selain 2x2 dan 2xK adalah uji
penggabungan sel.
Dasar pengambilan keputusan yang dipakai adalah berdasarkan
probabilitas. Adapun kriteria hubungan berdasarkan nilai p value
(probabilitas) yang dihasilkan dibandingkan dengan nilai kemaknaan,
sebagai berikut :
1. Jika p<0,05 =Ho ditolak, artinya kedua variabel “ada hubungan”.
90
2. Jika p 0,05 =Ho diterima, artinya kedua variabel “tidak ada hubungan”.
Sedangkan untuk mengetahui besarnya hubungan antara variabel
bebas dengan variabel terikat, maka dipakai koefisien kontingensi yang
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3.2 Pedoman untuk Memberikan Interpretasi terhadap Koefisien
Kontingensi
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00-0,199 Sangat Lemah
0,20-0,399 Lemah
0,40-0,599 Sedang
0,60-0,799 Kuat
0,80-1,000 Sangat Kuat
Sumber: Sopiyudin Dahlan, 2008: 236
91
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Data Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kota Semarang terletak antara garis 6º50’ - 7º10’ Lintang Selatan dan
garis 109º35’ - 110º50’ Bujur Timur. Dibatasi sebelah Barat dengan
Kabupaten Kendal, sebelah Timur dengan Kabupaten Demak, sebelah Selatan
dengan Kabupaten Semarang, dan sebelah Utara dibatasi oleh Laut Jawa
dengan panjang garis pantai meliputi 13,6 Km. Ketinggian Kota Semarang
terletak antara 0,75 sampai dengan 348,00 di atas garis pantai.
Dengan luas wilayah sebesar 373,70 km2 , Kota Semarang terbagi
dalam 16 kecamatan dan 177 kelurahan. Dari 16 kecamatan yang ada,
Kecamatan Mijen (57,55 km2) dan Kecamatan Gunungpati (54,11 km
2),
dimana sebagian besar wilayahnya berupa persawahan dan perkebunan.
Sedangkan kecamatan dengan luas terkecil adalah Semarang Selatan (5,93
km2) dan Kecamatan Semarang Tengah (6,14 km
2), sebagian besar
wilayahnya berupa pusat perekonomian dan bisnis Kota Semarang, seperti
bangunan toko/ mall, pasar, perkantoran dan sebagainya.
Jumlah penduduk Kota Semarang menurut registrasi sampai dengan
akhir Desember tahun 2009 sebesar 1.506.924. jiwa, terdiri dari 748.515 jiwa
penduduk laki-laki dan 758.409 jiwa penduduk perempuan. Dengan jumlah
92
sebesar itu Kota Semarang termasuk dalam 5 besar Kabupaten/ Kota yang
mempunyai jumlah penduduk terbesar di Jawa Tengah.
Lokasi penelitian ini berada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota
Semarang yang berjumlah 37 puskesmas, yaitu Puskesmas Poncol,
Puskesmas Miroto, Puskesmas Bandarharjo, Puskesmas Bulu Lor, Puskesmas
Halmahera, Puskesmas Bugangan, Puskesmas Karangdoro, Puskesmas
Pandanaran, Puskesmas Lamper Tengah, Puskesmas Karangayu, Puskesmas
Lebdosari, Puskesmas Manyaran, Puskesmas Krobokan, Puskesmas
Ngemplak Simongan, Puskesmas Gayamsari, Puskesmas Candilama,
Puskesmas Kagok, Puskesmas Pegandan, Puskesmas Genuk, Puskesmas
Bangetayu, Puskesmas Tlogosari Wetan, Puskesmas Tlogosari Kulon,
Puskesmas Kedungmundu, Puskesmas Rowosari, Puskesmas Ngesrep,
Puskesmas Padangsari, Puskesmas Srondol, Puskesmas Pudakpayung,
Puskesmas Gunungpati, Puskesmas Sekaran, Puskesmas Mijen, Puskesmas
Karangmalang, Puskesmas Tambakaji, Puskesmas Purwoyoso, Puskesmas
Ngaliyan, Puskesmas Mangkang, dan Puskesmas Karanganyar.
Responden dalam penelitian ini adalah petugas pemegang program
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang dalam satu puskesmas
diambil satu orang petugas, sehingga berjumlah 37 orang petugas pemegang
program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).
93
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk mengetahui gambaran distribusi
frekuensi dan presentase dari masing-masing variabel. Analisis univariat
dilakukan terhadap tiap variabel-variabel yang meliputi pengetahuan petugas,
sikap petugas, motivasi kerja petugas, pelatihan MTBS yang diikuti oleh
petugas, kepemimpinan kepala puskesmas, ketersediaan peralatan yang
digunakan dalam pemeriksaan MTBS, alokasi dana dari Dinas Kesehatan
untuk kegiatan MTBS, rapat koordinasi tingkat puskesmas, sistem pencatatan/
pelaporan pelaksanaan MTBS, pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas
Kesehatan terhadap pelaksanaan MTBS, serta evaluasi (penilaian)
pelaksanaan MTBS oleh kepala puskesmas, serta implementasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS).
4.2.1.1. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka
dapat diperoleh distribusi data pengetahuan petugas tentang Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini :
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden
Pengetahuan Responden Frekuensi Persentase (%)
Kurang 2 5,4
Cukup 24 64,9
Baik 11 29,7
Jumlah 37 100,0
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
94
Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui bahwa responden yang memiliki
pengetahuan kurang sebanyak 2 orang (5,4%), responden yang memiliki
pengetahuan cukup sebanyak 24 orang (64,9%), serta sebanyak 11 orang
(29,7%) memiliki pengetahuan baik.
4.2.1.2. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka
dapat diperoleh distribusi data sikap petugas yang dapat dilihat pada Tabel 4.2
berikut ini :
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Sikap Responden
Sikap Responden Frekuensi Persentase (%)
Cukup 13 35,1
Baik 24 64,9
Jumlah 37 100,0
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa responden yang memiliki
sikap cukup sebanyak 13 orang (35,1%), dan responden yang memiliki sikap
baik sebanyak 24 orang (64,9%).
4.2.1.3. Distribusi Responden Berdasarkan Motivasi Kerja
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka
dapat diperoleh distribusi data motivasi kerja petugas yang dapat dilihat pada
Tabel 4.3 berikut ini :
95
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Motivasi Kerja Responden
Motivasi Kerja Responden Frekuensi Persentase (%)
Sedang 2 5,4
Tinggi 35 94,6
Jumlah 37 100,0
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.3 diketahui bahwa responden yang memiliki
motivasi kerja sedang sebanyak 2 orang (5,4%), dan responden yang memiliki
motivasi kerja tinggi sebanyak 35 orang (94,6%).
4.2.1.4. Distribusi Responden Berdasarkan Keikutsertaan Pelatihan MTBS
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka
dapat diperoleh distribusi data keikutsertaan pelatihan MTBS oleh petugas
yang dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut ini :
Tabel 4.4 Distribusi Keikutsertaan Pelatihan Responden
Pelatihan yang Diikuti Frekuensi Persentase (%)
Belum Pernah 22 59,5
Pernah 15 40,5
Jumlah 37 100.0
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.4 diketahui bahwa responden yang belum pernah
mengikuti pelatihan sebanyak 22 orang (59,5%) dan responden yang pernah
mengikuti pelatihan sebanyak 15 orang (40,5%).
4.2.1.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kepemimpinan Kepala Puskesmas
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka
dapat diperoleh distribusi data kepemimpinan kepala puskesmas yang dapat
dilihat pada Tabel 4.5 berikut ini :
96
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kepemimpinan Kepala Puskesmas
Kepemimpinan Frekuensi Persentase (%)
Cukup 8 21,6
Baik 29 78,4
Jumlah 37 100.0
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.5 diketahui bahwa responden yang menjawab
kepemimpinan kepala puskesmas cukup sebanyak 8 orang (21,6%), dan
responden yang menjawab kepemimpinan kepala puskesmas baik sebanyak
29 orang (78,4%).
4.2.1.6. Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan Peralatan MTBS
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka
dapat diperoleh distribusi data ketersediaan peralatan MTBS yang dapat
dilihat pada Tabel 4.6 berikut ini :
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Ketersediaan Peralatan MTBS
Ketersediaan Peralatan Frekuensi Persentase (%)
Tidak Lengkap 18 48,6
Lengkap 19 51,4
Jumlah 37 100.0
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.6 diketahui bahwa responden yang menjawab
bahwa ketersediaan peralatan MTBS di puskesmas tidak lengkap sebanyak 18
orang (48,6%), dan responden yang menjawab bahwa ketersediaan peralatan
MTBS di puskesmas lengkap sebanyak 19 orang (51,4%).
97
4.2.1.7. Distribusi Responden Berdasarkan Alokasi Dana dari Dinkes
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka
dapat diperoleh distribusi data alokasi dana dari Dinkes yang dapat dilihat
pada Tabel 4.7 berikut ini :
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Alolasi Dana
Alokasi Dana Frekuensi Persentase (%)
Tidak Ada 30 81,1
Ada 7 18,9
Jumlah 37 100,0
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.7 diketahui bahwa responden yang menjawab
tidak ada alokasi dana sebanyak 30 orang (81,1%), dan responden yang
menjawab ada alokasi dana sebanyak 7 orang (18,9%).
4.2.1.8. Distribusi Responden Berdasarkan Rapat Koordinasi Tingkat
Puskesmas
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka
dapat diperoleh distribusi data rapat koordinasi tingkat puskesmas yang dapat
dilihat pada Tabel 4.8 berikut ini :
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Rapat Koordinasi Tingkat Pukesmas
Rapat Koordinasi Frekuensi Persentase (%)
Tidak Ada 22 59,5
Ada 15 40,5
Jumlah 37 100,0
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
98
Berdasarkan Tabel 4.8 diketahui bahwa responden yang menjawab
tidak ada rapat koordinasi tingkat Puskesmas sebanyak 22 orang (59,5%), dan
responden yang menjawab ada rapat koordinasi tingkat puskesmas sebanyak
15 orang (40,5%).
4.2.1.9. Distribusi Responden Berdasarkan Sistem Pencatatan/ Pelaporan
Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka
dapat diperoleh distribusi data sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang dapat dilihat pada Tabel 4.9
berikut ini :
Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Sistem Pecatatan/ Pelaporan Pelaksanaan
MTBS
Sistem Pencatatan/
Pelaporan Frekuensi Persentase (%)
Cukup 19 51,4
Baik 18 48,6
Jumlah 37 100,0
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.9 diketahui bahwa responden yang menjawab
sistem pencatatan/ pelaporan MTBS cukup sebanyak 19 orang (51,4%), dan
responden yang menjawab sistem pencatatan/ pelaporan MTBS baik
sebanyak 18 orang (48,6%).
99
4.2.1.10. Distribusi Responden Berdasarkan Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh
Dinas Kesehatan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka
dapat diperoleh distribusi data pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas
Kesehatan yang dapat dilihat pada Tabel 4.10 berikut ini :
Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinas
Kesehatan
Pelaksanaan Supervisi Frekuensi Persentase (%)
Rendah 13 35,1
Tinggi 24 64,9
Jumlah 37 100,0
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.10 diketahui bahwa responden yang menjawab
pelaksanaan supervisi rendah sebanyak 13 orang (35,1%), dan responden
yang menjawab pelaksanaan supervisi tinggi sebanyak 24 orang (64,9%).
4.2.1.11. Distribusi Responden Berdasarkan Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh
Kepala Puskesmas
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka
dapat diperoleh distribusi data pelaksanaan evaluasi MTBS oleh kepala
puskesmas yang dapat dilihat pada Tabel 4.11 berikut ini :
Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Evaluasi MTBS
Pelaksanaan Evaluasi Frekuensi Persentase (%)
Rendah 12 32,4
Tinggi 25 67,6
Jumlah 37 100,0
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
100
Berdasarkan Tabel 4.11 diketahui bahwa responden yang menjawab
pelaksanaan evaluasi MTBS rendah sebanyak 12 orang (32,4%), dan
responden yang menjawab pelaksanaan evaluasi MTBS tinggi sebanyak 25
orang (67,6%).
4.2.1.12. Distribusi Responden Berdasarkan Implementasi Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka
dapat diperoleh distribusi data implementasi MTBS yang dapat dilihat pada
Tabel 4.12 berikut ini :
Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Implementasi Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS)
Pelaksanaan Supervisi Frekuensi Persentase (%)
Rendah 20 54,1
Tinggi 17 45,9
Jumlah 37 100,0
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.12 diketahui bahwa responden yang menjawab
implementasi MTBS rendah sebanyak 20 orang (54,1%), dan responden yang
menjawab implementasi MTBS tinggi sebanyak 17 orang (45,9%).
101
4.2.2 Analisis Bivariat
4.2.2.1. Hubungan antara Pengetahuan Petugas dengan Implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Hubungan antara pengetahuan petugas dengan implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat dalam tabulasi
sebagai berikut :
Tabel 4.13 Tabulasi Silang antara Pengetahuan Petugas dengan Implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Pengetahuan
tentang MTBS
Implementasi MTBS Jumlah
P value Rendah Tinggi
n % n % N %
Kurang + Cukup 16 43,24 10 27,0 26 70,3 0,160
Baik 4 10,81 7 18,9 11 29,7
Jumlah 20 54,1 17 45,9 37 100
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.13 dapat diketahui bahwa dari 26 responden
yang memiliki pengetahuan kurang dan cukup tentang MTBS terdapat 16
responden (43,24%) dengan implementasi MTBS rendah dan 10 responden
(27,0%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 11 responden
yang memiliki pengetahuan baik tentang MTBS, terdapat 4 responden
(10,81%) dengan implementasi MTBS rendah dan 7 responden (18,9%)
dengan implementasi MTBS tinggi.
102
Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf
kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,160 dimana itu lebih dari 0,05
(0,160> 0,05) berarti Ho diterima atau dapat dikatakan tidak ada hubungan
antara pengetahuan petugas tentang MTBS dengan implementasi MTBS di
Puskesmas di Kota Semarang.
4.2.2.2. Hubungan antara Sikap Petugas dengan Implementasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Hubungan antara sikap petugas dengan implementasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat dalam tabulasi sebagai berikut :
Tabel 4.14 Tabulasi Silang antara Sikap Petugas dengan Implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Sikap
Petugas
Implementasi MTBS
Jumlah
P value
CC Rendah Tinggi
n % n % N %
Cukup 10 27,03 3 8,11 13 35,14 0,040 0,320
Baik 10 27,03 14 37,8 24 64,83
Jumlah 20 54.1 17 45.9 37 100
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.14 dapat diketahui bahwa dari 13 responden
yang memiliki sikap cukup, terdapat 10 responden (27,03%) dengan
implementasi MTBS rendah dan 3 responden (8,11%) dengan implementasi
MTBS tinggi. Sedangkan dari 24 responden yang memiliki sikap baik,
terdapat 10 responden (27,03%) dengan implementasi MTBS rendah dan 14
responden (37,8%) dengan implementasi MTBS tinggi.
103
Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf
kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,040 dimana itu kurang dari 0,05
(0,040 < 0,05) berarti Ho ditolak atau dapat dikatakan ada hubungan antara
sikap petugas dengan implementasi MTBS . Berdasarkan Symmetric
Measures didapatkan Coefisient Contingency sebesar 0,320. Hal ini dapat
dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara sikap petugas terhadap
implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang.
4.2.2.3. Hubungan antara Motivasi Kerja Petugas dengan Implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Hubungan antara motivasi kerja petugas dengan implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat dalam tabulasi
sebagai berikut :
Tabel 4.15 Tabulasi Silang antara Motivasi Kerja Petugas dengan
Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Motivasi Kerja
Petugas
Implementasi MTBS
Jumlah
P value Rendah Tinggi
n % n % N %
Sedang 2 5,4 0 0 2 5,4 0,489
Tinggi 18 48,7 17 45,9 35 94,6
Jumlah 20 54,10 17 45,9 37 100
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.15 dapat diketahui bahwa dari 2 responden yang
memiliki motivasi kerja sedang, terdapat 2 responden (5,4%) dengan
implementasi MTBS rendah dan tidak ada responden dengan implementasi
104
MTBS tinggi. Sedangkan dari 35 responden yang memiliki motivasi kerja
tinggi terdapat 18 responden (48,7%) dengan implementasi MTBS rendah
dan 17 responden (45,9%) dengan implementasi MTBS tinggi.
Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf
kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,489 dimana itu lebih dari 0,05 (0,489
> 0,05) berarti Ho diterima atau dapat dikatakan tidak ada hubungan antara
motivasi kerja petugas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota
Semarang.
4.2.2.4. Hubungan antara Pelatihan MTBS yang Diikuti Petugas dengan
Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Hubungan antara keikutsertaan pelatihan MTBS oleh petugas dengan
implementasi MTBS dapat dilihat dalam tabulasi sebagai berikut :
Tabel 4.16 Tabulasi Silang antara Keikutsertaan Pelatihan MTBS oleh
Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS)
Pelatihan yang
Diikuti
Implementasi MTBS
Jumlah
P value
CC Rendah Tinggi
n % n % N %
Belum Pernah 15 40,54 7 18,9 22 59,44 0,037 0,325
Pernah 5 13,51 10 27,0 15 40,51
Jumlah 20 54,1 17 45,9 37 100
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.16 dapat diketahui bahwa dari 22 responden
yang belum pernah mengikuti pelatihan MTBS , terdapat 15 responden
105
(40,54%) dengan implementasi MTBS rendah dan 7 responden (18,9%)
dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 15 responden yang
pernah mengikuti pelatihan MTBS, terdapat 5 responden (13,51%) dengan
implementasi MTBS rendah dan 10 responden (27%) dengan implementasi
MTBS tinggi.
Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf
kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,037 dimana itu kurang dari 0,05
(0,037 < 0,05) berarti Ho ditolak atau dapat dikatakan ada hubungan antara
keikutsertaan pelatihan MTBS oleh petugas dengan implementasi MTBS.
Berdasarkan Symmetric Measures didapatkan Coefisient Contingency sebesar
0,325. Hal ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara
pelatihan MTBS yang diikuti petugas terhadap implementasi MTBS di
Puskesmas di Kota Semarang.
4.2.2.5. Hubungan antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan
Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Hubungan antara kepemimpinan kepala puskesmas dengan
implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat dalam
tabulasi sebagai berikut :
106
Tabel 4.17 Tabulasi Silang antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan
Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Kepemimpinan
Kepala
Puskesmas
Implementasi MTBS
Jumlah
P value
CC Rendah Tinggi
n % n % N %
Cukup 7 18,92 1 2,7 8 21,62 0,032 0,332
Baik 13 35,14 16 43,2 29 78,34
Jumlah 20 54.1 17 45,9 37 100
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.17 dapat diketahui bahwa dari 8 responden yang
mengatakan kepemimpinan kepala puskesmas cukup, terdapat 7 responden
(18,92%) dengan implementasi MTBS rendah dan 1 responden (2,7%)
dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 29 responden yang
mengatakan kepemimpinan kepala puskesmas baik, terdapat 13 responden
(35,14%) dengan implementasi MTBS rendah dan 16 responden (43,2%)
dengan implementasi MTBS tinggi.
Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf
kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,032 dimana itu kurang dari 0,05
(0,032 < 0,05) berarti Ho ditolak atau dapat dikatakan ada hubungan antara
kepemimpinan kepala puskesmas dengan implementasi MTBS. Berdasarkan
Symmetric Measures didapatkan Coefisient Contingency sebesar 0,332. Hal
ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara kepemimpinan
107
kepala puskesmas terhadap implementasi MTBS di Puskesmas di Kota
Semarang.
4.2.2.6. Hubungan antara Ketersediaan Peralatan yang Digunakan dalam
pemeriksaan MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS)
Hubungan antara ketersediaan peralatan yang digunakan dalam
pemeriksaan MTBS dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) dapat dilihat dalam tabulasi sebagai berikut :
Tabel 4.18 Tabulasi Silang antara Ketersediaan Peralatan yang Digunakan
dalam pemeriksaan MTBS dengan Implementasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Ketersediaan
Peralatan
Implementasi MTBS
Jumlah
P value Rendah Tinggi
n % n % N %
Tidak Lengkap 9 24,32 9 24,32 18 48,6 0,630
Lengkap 11 29,73 8 21,62 19 51,4
Jumlah 20 54,1 17 45,9 37 100
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.18 dapat diketahui bahwa dari 18 responden
yang mengatakan ketersediaan peralatan MTBS tidak lengkap, terdapat 9
responden (24,32%) dengan implementasi MTBS rendah dan 9 responden
(24,32%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 19 responden
yang mengatakan ketersediaan peralatan MTBS lengkap, terdapat 11
108
responden (29,73%) dengan implementasi MTBS rendah dan 8 responden
(21,62%) dengan implementasi MTBS tinggi.
Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf
kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,630 dimana itu lebih dari 0,05 (0,630
> 0,05) berarti Ho diterima atau dapat dikatakan tidak ada hubungan antara
ketersediaan peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan MTBS dengan
implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang.
4.2.2.7. Hubungan antara Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan dengan
Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Hubungan antara alokasi dana dari dinas kesehatan dengan
implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat dalam
tabulasi sebagai berikut :
Tabel 4.19 Tabulasi Silang antara Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan
dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Alokasi Dana
Implementasi MTBS
Jumlah
P value Rendah Tinggi
n % n % N %
Tidak Ada 18 48,65 12 32,43 30 81,1 0,212
Ada 2 5,4 5 13,51 7 18,9
Jumlah 20 54.1 17 45,9 37 100
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.19 dapat diketahui bahwa dari 30 responden
yang mengatakan tidak ada alokasi dana, terdapat 18 responden (48,65%)
109
dengan implementasi MTBS rendah dan 12 responden (32,43%) dengan
implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 7 responden yang mengatakan
ada alokasi dana, terdapat 2 responden (5,4%) dengan implementasi MTBS
rendah dan 5 responden (13,51%) dengan implementasi MTBS tinggi.
Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf
kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,212 dimana itu lebih dari 0,05 (0,212
> 0,05) berarti Ho diterima atau dapat dikatakan tidak ada hubungan antara
alokasi dana dari Dinkes dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota
Semarang.
4.2.2.8. Hubungan antara Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas dengan
Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Hubungan antara rapat koordinasi tingkat puskesmas dengan
implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat dalam
tabulasi sebagai berikut :
Tabel 4.20 Tabulasi Silang antara Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas
dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Rapat
Koordinasi
Implementasi MTBS
Jumlah
P value
CC Rendah Tinggi
n % n % N %
Tidak Ada 15 40,54 7 18,9 22 59,44 0,037 0,325
Ada 5 13,51 10 27,0 15 40,51
Jumlah 20 54.1 17 45.9 37 100
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
110
Berdasarkan Tabel 4.20 dapat diketahui bahwa dari 22 responden
yang mengatakan tidak ada rapat koordinasi, terdapat 15 responden (40,54%)
dengan implementasi MTBS rendah dan 7 responden (18,9%) dengan
implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 15 responden yang mengatakan
ada rapat koordinasi, terdapat 5 responden (13,51%) dengan implementasi
MTBS rendah dan 10 responden (27,0%) dengan implementasi MTBS tinggi.
Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf
kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,037 dimana itu kurang dari 0,05
(0,037 < 0,05) berarti Ho ditolak atau dapat dikatakan ada hubungan antara
rapat koordinasi dengan implementasi MTBS. Berdasarkan Symmetric
Measures didapatkan Coefisient Contingency sebesar 0,325. Hal ini dapat
dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara rapat koordinasi tingkat
puskesmas terhadap implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang.
4.2.2.9. Hubungan antara Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan
MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS)
Hubungan antara sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS
dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat
dalam tabulasi sebagai berikut :
111
Tabel 4.21 Tabulasi Silang antara Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan
MTBS dengan Implementasi MTBS
Sistem
Pencatatan/
Pelaporan MTBS
Implementasi MTBS
Jumlah
P value
CC Rendah Tinggi
n % n % N %
Cukup 7 18,92 12 32,43 19 51,35 0,031 0,334
Baik 13 35,14 5 13,51 18 48,65
Jumlah 20 54,1 17 45,9 37 100
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.21 dapat diketahui bahwa dari 19 responden
yang mengatakan sistem pencatatan/ pelaporan MTBS cukup, terdapat 7
responden (18,92%) dengan implementasi MTBS rendah dan 12 responden
(32,43%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 18 responden
yang mengatakan sistem pencatatan/ pelaporan MTBS baik, terdapat 13
responden (35,14%) dengan implementasi MTBS rendah dan 5 responden
(13,51%) dengan implementasi MTBS tinggi.
Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf
kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,031 dimana itu kurang dari 0,05
(0,031 < 0,05) berarti Ho ditolak atau dapat dikatakan ada hubungan antara
sistem pencatatan/ pelaporan MTBS dengan implementasi MTBS.
Berdasarkan Symmetric Measures didapatkan Coefisient Contingency sebesar
0,334. Hal ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara sistem
pencatatan/ pelaporan MTBS terhadap implementasi MTBS di Puskesmas di
Kota Semarang.
112
4.2.2.10. Hubungan antara Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinas
Kesehatan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS)
Hubungan antara pelaksanaan supervisi MTBS oleh dinas kesehatan
dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat
dalam tabulasi sebagai berikut :
Tabel 4.22 Tabulasi Silang antara Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinkes
dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Pelaksanaan
Supervisi
MTBS
Implementasi MTBS
Jumlah
P value
CC Rendah Tinggi
n % n % N %
Rendah 4 10,81 9 24,32 13 35,13 0,036 0,325
Tinggi 16 43,24 8 21,62 24 64,86
Jumlah 20 54,1 17 45,9 37 100
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 4.22 dapat diketahui bahwa dari 13 responden
yang mengatakan pelaksanaan supervisi MTBS rendah, terdapat 4 responden
(10,81%) dengan implementasi MTBS rendah dan 9 responden (24,32%)
dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 24 responden yang
mengatakan pelaksanaan supervisi MTBS tinggi, terdapat 16 responden
(43,24%) dengan implementasi MTBS rendah dan 8 responden (21,62%)
dengan implementasi MTBS tinggi.
113
Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf
kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,036 dimana itu kurang dari 0,05
(0,036 < 0,05) berarti Ho ditolak atau dapat dikatakan ada hubungan antara
pelaksanaan supervisi MTBS oleh dinas kesehatan dengan implementasi
MTBS. Berdasarkan Symmetric Measures didapatkan Coefisient Contingency
sebesar 0,325. Hal ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah
antara pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinkes terhadap implementasi
MTBS di Puskesmas di Kota Semarang.
4.2.2.11. Hubungan antara Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala
Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS)
Hubungan antara pelaksanaan evaluasi MTBS oleh kepala puskesmas
dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat
dalam tabulasi sebagai berikut :
Tabel 4.23 Tabulasi Silang antara Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala
Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS)
Pelaksanaan
Evaluasi MTBS
Implementasi MTBS
Jumlah
P value
CC Rendah Tinggi
n % n % N %
Rendah 10 27,03 2 5,4 12 32,43 0,013 0,377
Tinggi 10 27,03 15 40,5 25 67,53
Jumlah 20 54,1 17 45,9 37 100
Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011
114
Berdasarkan Tabel 4.23 dapat diketahui bahwa dari 12 responden
yang mengatakan pelaksanaan evaluasi MTBS rendah, terdapat 10 responden
(27,03%) dengan implementasi MTBS rendah dan 2 responden (5,4%)
implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 25 responden yang mengatakan
pelaksanaan evaluasi MTBS tinggi, terdapat 10 responden (27,03%) dengan
implementasi MTBS rendah dan 15 responden (40,5%) dengan implementasi
MTBS tinggi.
Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf
kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,013 dimana itu kurang dari 0,05
(0,013 < 0,05) berarti Ho ditolak atau dapat dikatakan ada hubungan antara
pelaksanan evaluasi MTBS oleh kepala puskesmas dengan implementasi
MTBS. Berdasarkan Symmetric Measures didapatkan Coefisient Contingency
sebesar 0,377. Hal ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah
antara pelaksanaan evaluasi MTBS oleh kepala puskesmas terhadap
implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang.
115
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Pembahasan
5.1.1 Hubungan antara Pengetahuan Petugas dengan Implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
antara pengetahuan petugas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil
analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value = 0,036 (p value < 0,05).
Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 26
responden yang memiliki pengetahuan kurang dan cukup tentang MTBS
terdapat 16 responden (43,24%) dengan implementasi MTBS rendah dan 10
responden (27,0%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 11
responden yang memiliki pengetahuan baik tentang MTBS, terdapat 4
responden (10,81%) dengan implementasi MTBS rendah dan 7 responden
(18,9%) dengan implementasi MTBS tinggi.
Hal ini dapat dimengerti bahwa petugas yang mempunyai
pengetahuan baik cenderung akan baik dalam menerapkan tatalaksana
terhadap balita sakit dengan menggunakan pendekatan MTBS, sesuai dengan
teori perilaku yang mengatakan bahwa perilaku seseorang terhadap sesuatu
akan sesuai dengan tingkat pemahaman terhadap sesuatu tersebut.
116
Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Rogers (1974) dalam Soekidjo
Notoatmodjo (2003: 121), bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan
lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Titin Irawati (1998),
yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pengetahuan
dengan kepatuhan bidan desa terhadap standar minimal pelayanan antenatal
ANC 5T di Kabupaten Dt.II Cianjur dan sejalan pula dengan penelitian
Yuliana (2000) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
pengetahuan petugas dengan kepatuhan petugas terhadap standar ANC di 6
puskesmas pelaksana QA di Kabupaten Bekasi Jawa Barat.
Hal ini tidak sejalan dengan pendapat Benyamin Bloom dalam
Soekidjo Notoatmodjo (2003: 127), yang menyatakan bahwa perilaku dibagi
dalam 3 domain yaitu pengetahuan tentang sesuatu materi, sikap terhadap
materi tersebut, serta tindakan sehubungan dengan materi tersebut. Artinya
perilaku baru dimulai dari petugas mengetahui terlebih dahulu apa isi dari
tatalaksana MTBS, sehingga akan menimbulkan suatu pengetahuan baru,
kemudian timbul suatu respon batin yang merupakan sikap terhadap
tatalaksana MTBS tersebut.
106
117
5.1.2 Hubungan antara Sikap Petugas dengan Implementasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
antara sikap petugas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil
analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value = 0,040 (p value < 0,05).
Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 13 responden
yang memiliki sikap cukup, terdapat 10 responden (27,03%) dengan
implementasi MTBS rendah dan 3 responden (8,11%) dengan implementasi
MTBS tinggi. Sedangkan dari 24 responden yang memiliki sikap baik,
terdapat 10 responden (27,03%) dengan implementasi MTBS rendah dan 14
responden (37,8%) dengan implementasi MTBS tinggi.
Hal ini dapat dimengerti bahwa petugas yang mempunyai sikap baik
cenderung akan baik dalam menerapkan tatalaksana terhadap balita sakit
dengan menggunakan pendekatan MTBS, sesuai dengan teori perilaku yang
mengatakan bahwa perilaku seseorang terhadap sesuatu akan sesuai dengan
tingkat pemahaman terhadap sesuatu tersebut.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sri Hastuti (2010) yang
menunjukkan adanya pengaruh antara sikap terhadap penatalaksanaan MTBS
pada petugas kesehatan di Puskesmas Kabupaten Boyolali.
Hal ini sejalan dengan pendapat Soekidjo Notoatmodjo (2003: 130),
perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki serta dalam hal tertentu oleh material yang
118
tersedia. Sikap dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah pengalaman
pribadi, kebudayaan orang lain yang dianggap penting oleh media massa,
institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama serta emosi dari dalam
diri atau individu. Sikap tidak dibawa orang sejak lahir, melainkan dibentuk
sepanjang perkembangannya. Sikap dapat berubah-ubah, oleh karena itu sikap
dapat dipelajari. Sikap tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berkaitan
dengan suatu objek.
5.1.3 Hubungan antara Motivasi Kerja Petugas dengan Implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara motivasi kerja petugas dengan implementasi Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Hal ini didasarkan
pada hasil analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value = 0,180 (p value >
0,05).
Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 2
responden yang memiliki motivasi kerja sedang, terdapat 2 responden (5,4%)
dengan implementasi MTBS rendah dan tidak ada responden dengan
implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 35 responden yang memiliki
motivasi kerja tinggi terdapat 18 responden (48,7%) dengan implementasi
MTBS rendah dan 17 responden (45,9%) dengan implementasi MTBS tinggi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wiwiek Pudjiastuti
(2002: 104) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara motivasi
119
dengan kepatuhan petugas dalam tatalaksana MTBS di Puskesmas DKI
Jakarta.
Motivasi merupakan dorongan yang dapat menggerakan seseorang
untuk berperilaku tertentu, yang muncul dari dalam diri seseorang dalam
upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Budioro, 2002: 92).
Oleh karena itu, untuk dapat menunjang program MTBS secara baik,
responden harus tetap dapat menumbuhkan akan pentingnya motivasi kerja.
Hal ini dikarenakan motivasi kerja dapat mengarahkan kepada perilaku yang
merefleksikan kinerja seseorang dalam suatu organisasi. Sehingga semakin
baik motivasi kerja seorang petugas, maka diharapkan semakin baik pula
kinerja petugas dalam menerapkan penatalaksanaan terhadap balita sakit
dengan melakukan pemeriksaan yang menggunakan pendekatan Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS).
5.1.4 Hubungan antara Pelatihan MTBS yang Diikuti Petugas dengan
Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
antara pelatihan MTBS yang diikuti petugas dengan implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang.
Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value
= 0,037 (p value < 0,05).
Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 22
responden yang belum pernah mengikuti pelatihan MTBS , terdapat 15
responden (40,54%) dengan implementasi MTBS rendah dan 7 responden
120
(18,9%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 15 responden
yang pernah mengikuti pelatihan MTBS, terdapat 5 responden (13,51%)
dengan implementasi MTBS rendah dan 10 responden (27%) dengan
implementasi MTBS tinggi..
Sesuai dengan pernyataan Departemen Kesehatan Republik Indonesia
(2002: 125) yang menyatakan bahwa kemampuan dan keterampilan tenaga
pemeriksa antara lain ditentukan oleh pelatihan. Pelatihan merupakan salah
satu upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Tujuan dari pelatihan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ini
yaitu dihasilkannya petugas kesehatan yang terampil menangani bayi dan
balita sakit dengan menggunakan tatalaksana MTBS. Sasaran utama pelatihan
MTBS ini adalah perawat dan bidan, akan tetapi dokter puskesmas pun perlu
terlatih MTBS agar dapat melakukan supervisi penerapan MTBS di wilayah
kerja puskesmas (Yeyen, 2006).
5.1.5 Hubungan antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan
Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
antara kepemimpinan kepala puskesmas dengan implementasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Hal ini
didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value =
0,032 (p value < 0,05).
Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 8
responden yang menjawab kepemimpinan kepala puskesmas cukup, terdapat
121
7 responden (18,92%) dengan implementasi MTBS rendah dan 1 responden
(2,7%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 29 responden
yang menjawab kepemimpinan kepala puskesmas baik, terdapat 13 responden
(35,14%) dengan implementasi MTBS rendah dan 16 responden (43,2%)
dengan implementasi MTBS tinggi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wiwiek Pudjiastuti
(2002: 107) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara komitmen
pimpinan dengan kepatuhan petugas dalam tatalaksana MTBS di Puskesmas
DKI Jakarta.
Hal ini selaras dengan pendapat dari Anwar dalam Widiyaningsih
(2007), menyebutkan bahwa kepemimpinan merupakan inti dari manajemen
karena kepemimpinan adalah motor penggerak dari sumber daya manusia dan
sumber daya lainnya. Pemeliharaan dan pengembangan sumber daya manusia
merupakan keharusan mutlak. Kurangnya pemeliharaan dan perhatian pada
tenaga bisa menyebabkan semangat kerja menjadi rendah, cepat lelah, bosan
serta lamban dalam menyelesaikan tugas, sehingga dapat menurunkan
prestasi kerja yang bersangkutan.
5.1.6 Hubungan antara Ketersediaan Peralatan yang Digunakan dalam
pemeriksaan MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS)
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara ketersediaan peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan MTBS
dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas
122
di Kota Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi
Square diperoleh p value = 0,630 (p value > 0,05).
Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 18
responden yang menjawab ketersediaan peralatan MTBS tidak lengkap,
terdapat 9 responden (24,32%) dengan implementasi MTBS rendah dan 9
responden (24,32%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 19
responden yang menjawab ketersediaan peralatan MTBS lengkap, terdapat 11
responden (29,73%) dengan implementasi MTBS rendah dan 8 responden
(21,62%) dengan implementasi MTBS tinggi.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Wiwiek Pudjiastuti
(2002: 106) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara ketersediaan
sumberdaya atau sarana MTBS dengan kepatuhan petugas dalam tatalaksana
MTBS di Puskesmas DKI Jakarta. Dimana sumberdaya atau sarana untuk
kegiatan MTBS bukan merupakan barang atau alat bantu, karena sudah
tercakup dalam sarana esensial Puskesmas, kecuali untuk formulir tatalaksana
MTBS dan Kartu Nasehat Ibu (KNI) yang memerlukan penggandaan secara
khusus.
Menurut pendapat Azrul Azwar (1996) yang menyatakan bahwa
sarana (alat) merupakan suatu unsur dari organisasi untuk mencapai suatu
tujuan. Sarana termasuk dalam salah satu unsur dalam pelayanan kesehatan
yang dibutuhkan untuk mencapai penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Oleh karena itu, agar pelayanan menjadi bermutu maka persyaratan
ketersediaan sarana prasarana harus tetap terpenuhi.
123
Berdasarkan hasil penelitian maka diharapkan sarana pendukung
MTBS yang dimiliki masing-masing puskesmas dapat dimanfaatkan secara
maksimal oleh petugas untuk mendukung pemeriksaan yang dilakukan agar
mendapatkan hasil yang akurat. Sarana yang dimaksudkan disini adalah
semua sarana dan prasarana yang digunakan untuk menunjang
keberlangsungan kegiatan Manajemen Terpadu Balita Sakit, yang terdiri atas
: ruang MTBS, formulir MTBS dan kartu nasihat ibu, serta logistik (peralatan
dan obat-obatan yang mendukung dalam kegiatan pemeriksaan MTBS pada
balita sakit, yang meliputi : thermometer, stetoskop, dan timer ISPA atau
arloji). Sarana tersebut hampir sama dengan sarana yang dibutuhkan pada
puskesmas atau poli pongobatan pada umumnya begitu juga dengan obat
MTBS.
5.1.7 Hubungan antara Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan dengan
Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara alokasi dana dari Dinas Kesehatan dengan implementasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Hal ini
didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value =
0,212 (p value > 0,05).
Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 30
responden yang mengatakan tidak ada alokasi dana, terdapat 18 responden
(48,65%) dengan implementasi MTBS rendah dan 12 responden (32,43%)
dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 7 responden yang
124
mengatakan ada alokasi dana, terdapat 2 responden (5,4%) dengan
implementasi MTBS rendah dan 5 responden (13,51%) dengan implementasi
MTBS tinggi.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Djoko Mardijanto dan
Mubasysyir Hasanbasri (2005), yang hasil penelitiannya menyebutkan bahwa
tidak ada dana khusus untuk menunjang pelaksanaan MTBS. Rata-rata
puskesmas masih mengharapkan bantuan sarana dan prasarana dari tingkat
Kabupaten bahkan Provinsi. Terutama untuk pengadaan formulir MTBS dan
ARI timer. Sarana penunjang cukup tersedia sehingga penatalaksanaan balita
sakit dengan MTBS dapat berjalan baik. Sarana tersebut meliputi tenaga
paramedis dan medis terlatih MTBS yang mengerjakan tatalaksana MTBS,
alat bantu hitung napas, barang cetakan yang antara lain meliputi formulir
MTBS dan Kartu Nasehat Ibu serta obat-obatan.
Menurut A. A. Gde Muninjaya (2004: 159), dana operasional
diarahkan untuk menunjang pelaksanaan kegiatan program oleh masing-
masing staf pelaksana program. Alokasinya digunakan untuk biaya kunjungan
pembinaan ke lapangan, pemeliharaan, dan pembelian alat penunjang
kegiatan rutin program dan sebagainya.
Karena tidak ada dana khusus untuk menunjang pelaksanaan MTBS
yang dialokasikan oleh puskesmas sampai saat ini, maka Dinas Kesehatan
kabupaten, Dinas Kesehatan provinsi, dan Departemen Kesehatan RI masih
berusaha mengalokasikan dana untuk memenuhi sarana tersebut. Namun
selalu dijelaskan kepada pihak puskesmas bahwa hal tersebut tidak dapat
125
berlangsung terus menerus sehingga diharapkan sedikit demi sedikit
puskesmas dapat memenuhi kebutuhan sarana penunjang tersebut sendiri.
5.1.8 Hubungan antara Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas dengan
Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
antara rapat koordinasi tingkat puskesmas dengan implementasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Hal ini
didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value =
0,037 (p value < 0,05).
Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 22
responden yang mengatakan tidak ada rapat koordinasi, terdapat 15 responden
(40,54%) dengan implementasi MTBS rendah dan 7 responden (18,9%)
dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 15 responden yang
mengatakan ada rapat koordinasi, terdapat 5 responden (13,51%) dengan
implementasi MTBS rendah dan 10 responden (27,0%) dengan implementasi
MTBS tinggi.
Menurut George R. Terry dalam Azrul Azwar (1996: 112) yang
dimaksud rapat koordinasi adalah melaksanakan pertemuan dalam rangka
koodinasi terpadu kegiatan antar program maupun antar instansi (lintas
sektoral) yang terkait dengan masalah kesehatan masyarakat, sehingga
tercapai tujuan pembangunan kesehatan yang menyeluruh.
Dalam hal ini keterpaduan pelayanan yang dilakukan praktik MTBS
menunjukkan suatu kerja tim yang kompak dan fleksibel dengan dipandu
126
buku panduan atau formulir MTBS menggambarkan bahwa MTBS
merupakan suatu sistem pelayanan kesehatan (Rafless Bencoolen, 2011).
Maksud tersebut yakni dilaksanakan dengan mengadakan rapat kerja
secara periodik untuk team antar program dalam puskesmas dan antar sektor
dengan unit-unit terkait lainnya diluar puskesmas guna menunjang kegiatan
puskesmas yang berkaitan dengan masalah Manajemen Terpadu Balita Sakit.
Tanpa koordinasi yang baik antar program-program (koordinasi
internal) yang berkaitan dengan faktor tersebut, dan juga koordinasi eksternal
(lintas sektoral) dengan instansi terkait, akan sulit untuk mengupayakan
percepatan (akselarasi) pelaksanaan program pelayanan kesehatan di
Puskesmas (Budioro B, 2002: 95).
5.1.9 Hubungan antara Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan MTBS
dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
antara sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS dengan implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang.
Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value
= 0,031 (p value < 0,05).
Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 19
responden yang mengatakan sistem pencatatan/ pelaporan cukup, terdapat 7
responden (18,92%) dengan implementasi MTBS rendah dan 12 responden
(32,43%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 18 responden
yang mengatakan sistem pencatatan/ pelaporan baik, terdapat 13 responden
127
(35,14%) dengan implementasi MTBS rendah dan 5 responden (13,51%)
dengan implementasi MTBS tinggi.
Menurut Nasrul Effendy (1998: 185), Sistem Pencatatan dan
Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP) merupakan tata cara pencatatan dan
pelaporan yang lengkap untuk pengelolaan puskesmas, meliputi keadaan
fisik, tenaga sarana dan kegiatan pokok yang dilakukan serta hasil yang
dicapai oleh puskesmas.
Dengan adanya pencatatan dan pelaporan maka dapat tersedianya data
dan informasi yang akurat, tepat waktu dan mutakhir secara periodik dan
teratur untuk pengelolaan program kesehatan masyarakat melalui puskesmas
di berbagai tingkat administrasi.
5.1.10 Hubungan antara Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinas
Kesehatan dengan Implementasi MTBS
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
antara pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan dengan
implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di
Kota Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square
diperoleh p value = 0,036 (p value < 0,05).
Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 13
responden yang mengatakan pelaksanaan supervisi MTBS rendah, terdapat 4
responden (10,81%) dengan implementasi MTBS rendah dan 9 responden
(24,32%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 24 responden
yang mengatakan pelaksanaan supervisi MTBS tinggi, terdapat 16 responden
128
(43,24%) dengan implementasi MTBS rendah dan 8 responden (21,62%)
dengan implementasi MTBS tinggi.
Menurut Nasrul Effendy (1998: 183) supervisi adalah upaya
pengarahan dengan cara mendengarkan alasan dan keluhan tentang masalah
dalam pelaksanaan dan memberikan petunjuk serta saran-saran dalam
mengatasi permasalahan yang dihadapi pelaksana, sehingga meningkatkan
daya guna dan hasil guna serta kemampuan pelaksana dalam melaksanakan
upaya kesehatan di puskesmas.
Supervisi selain merupakan monitoring langsung yang merupakan
kegiatan lanjutan pelatihan. Melalui supervisi dapat diketahui bagaimana
petugas yang sudah dilatih tersebut menerapkan semua pengetahuan dan
keterampilannya. Selain itu supervisi dapat merupakan suatu proses
pendidikan dan pelatihan berkelanjutan dalam bentuk on the job training.
Supervisi harus dilaksanakan pada setiap tingkatan dan di semua pelaksana,
karena dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk
mengatasi masalah dan kesulitan yang mereka temukan. Karena merupakan
suatu umpan balik tentang penampilan kerja mereka harus selalu diberikan
untuk meningkatkan kinerja petugas.
5.1.11 Hubungan antara Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala
Puskesmas dengan Implementasi MTBS
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
antara pelaksanaan evaluasi MTBS oleh kepala puskesmas dengan
implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di
129
Kota Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square
diperoleh p value = 0,013 (p value < 0,05).
Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 12
responden yang mengatakan pelaksanaan evaluasi MTBS rendah, terdapat 10
responden (27,03%) dengan implementasi MTBS rendah dan 2 responden
(5,4%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 25 responden
yang mengatakan pelaksanaan evaluasi MTBS tinggi, terdapat 10 responden
(27,03%) dengan implementasi MTBS rendah dan 15 responden (40,5%)
dengan implementasi MTBS tinggi.
Penilaian (evaluasi) menurut Djoko Wijono (1997: 135) adalah
kegiatan untuk membandingkan antara hasil yang telah dicapai dengan
rencana yang telah ditentukan. Penilaian merupakan alat penting untuk
membantu pengambilan keputusan sejak tingkat perumusan kebijakan
maupun pada tingkat pelaksanaan program.
Dengan demikian maksud dan tujuan evaluasi dalam pembangunan
kesehatan adalah untuk memperbaiki program-program kesehatan dan
pelayanan kesehatan, dan untuk mengarahkan alokasi sumber daya, tenaga
dan dana kepada program-program dan pelayanan kesehatan yang ada saat ini
dan dimasa yang akan datang (Djoko Wijono, 1997: 216).
Kepala puskesmas memegang peranan yang sangat penting dalam
rangka evaluasi pelaksanaan tatalaksana pemeriksaan terhadap balita sakit
dengan menggunakan pendekatan MTBS, oleh karena kepala puskesmaslah
yang berhubungan langsung dengan petugas pelaksana. Evaluasi ini
130
menyimpulkan bahwa pelaksanaan MTBS telah berjalan bergantung pada
petugas yang sudah pernah dilatih. Kinerja petugas dalam pemeriksaan proses
MTBS meliputi kelengkapan pengisian formulir tatalaksana MTBS dan
pembuatan klasifikasi keluhan pada balita yang sakit.
5.2 Hambatan dan Kelemahan Penelitian
5.2.1 Hambatan Penelitian
Penelitian mengenai faktor yang berhubungan dengan implementasi
MTBS, tidak selalu berjalan dengan lancar. Adapun kendala yang dihadapi
yaitu:
1. Peneliti mengalami kesulitan dalam mencari alamat tempat penelitian
karena luasnya wilayah penelitian sehingga membutuhkan waktu yang
relatif lama untuk pengumpulan data.
2. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner untuk unsur pendukung
penerapan MTBS kurang mendalam yang sesuai dengan indikator dalam
formulir tatalakana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).
5.2.2 Kelemahan Penelitian
1. Dalam penelitian ini diperlukan adanya kerjasama, keseriusan maupun
kejujuran responden dalam menjawab pertanyaan. Sehingga
memungkinkan terjadinya bias dalam penelitian ini. Hal tersebut
dikarenakan, responden yang diteliti adalah petugas kesehatan, sehingga
jawaban yang didapat cenderung bersifat subyektif, karena dipengaruhi
131
oleh ingatan, pengetahuan, persepsi, dan sosial responden saat wawancara
dilaksanakan.
2. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner untuk variabel pengetahuan
petugas, cenderung mempunyai pilihan alternatif jawaban yang hampir
senada (mirip/ sama), sehingga dalam uji validitas terdapat 2 butir soal
yang tidak valid.
3. Desain/ rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
Crossectional, dimana data yang diambil selama penelitian berlangsung.
Sehingga hasil yang diperoleh hanya mencerminkan implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dalam jangka waktu tersebut
saja.
132
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor yang berhubungan
dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
6.1.1 Tidak ada hubungan antara pengetahuan petugas tentang MTBS dengan
implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di
Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,160.
6.1.2 Ada hubungan antara sikap petugas dengan implementasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun
2010 dengan nilai p value = 0,040.
6.1.3 Tidak ada hubungan antara motivasi kerja petugas dengan implementasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Di Kota
Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,489.
6.1.4 Ada hubungan antara pelatihan MTBS yang diikuti petugas terhadap
implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Di
Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,037.
6.1.5 Ada hubungan antara kepemimpinan kepala puskesmas terhadap
implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010 dengan
nilai p value = 0,032.
133
6.1.6 Tidak ada hubungan antara ketersediaan peralatan MTBS dengan
implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di
Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,630.
6.1.7 Tidak ada hubungan antara alokasi dana dengan implementasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun
2010 dengan nilai p value = 0,212.
6.1.8 Ada hubungan antara rapat koordinasi tingkat puskesmas terhadap
implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di
Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,037.
6.1.9 Ada hubungan antara sistem pencatatan/ pelaporan MTBS dengan
implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di
Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,031.
6.1.10 Ada hubungan antara pelaksanaan supervisi MTBS oleh dinas kesehatan
dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di
Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,036.
6.1.11 Ada hubungan antara pelaksanan evaluasi oleh kepala puskesmas dengan
implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di
Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,013.
134
6.2 Saran
Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian ini, beberapa saran yang
dapat diberikan antara lain :
6.2.1 Bagi Dinas Kesehatan Kota Semarang
6.2.1.1 Perlunya diadakan pelatihan bagi petugas yang belum pernah
mendapatkan pelatihan. Penekanan pelatihan pada pentingnya klasifikasi
pada tatalaksana balita sakit, penanganan bila ditemukan balita sakit
dalam keadaan memburuk, dan sistem pencatatan/ pelaporan
pelaksanaan MTBS.
6.2.1.2 Bagi petugas yang sudah pernah mendapat pelatihan diharapkan perlu
kiranya diadakan pelatihan dengan cara on the job training, dengan
tujuan untuk refresing.
6.2.1.3 Perlunya peningkatan pelaksanaan supervisi MTBS dengan disertakan
bimbingan teknis, tentang penatalaksanaan kasus balita sakit, meliputi
pemeriksaan dan klasifikasinya, pemantauan berkala terhadap
pelaksanaan kegiatan MTBS di puskesmas, serta pencatatan/ pelaporan
pelaksanaan program MTBS.
6.2.1.4 Perlu kiranya membuat suatu kebijakan kesehatan tentang pelayanan
kesehatan pada balita sakit di puskesmas dengan menggunakan
pendekatan MTBS, karena hal ini diperlukan sebagai pedoman bagi
pimpinan puskesmas dalam menetapkan kebijakan pelayanan di
puskesmas.
135
6.2.2 Bagi Petugas Pemegang Program Di Puskesmas
6.2.2.1 Meningkatkan kualitas pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS), baik di puskesmas maupun saat kunjungan rumah.
6.2.2.2. Melakukan sosialisasi dan memberikan penyuluhan mengenai MTBS ke
ibu-ibu yang mempunyai anak balita pada saat posyandu dan kunjungan
rumah.
6.2.3 Bagi Peneliti selanjutnya
6.2.3.1. Diharapkan perlu adanya penelitian lebih mendalam dengan mempeluas
sampel serta lebih memperhatikan variabel-variabel yang terkait.
6.2.3.2. Perlunya diadakan penelitian yang lebih mendalam dalam bidang
Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK), tentang evaluasi program
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sehingga dapat mengetahui
lebih jauh tentang MTBS dan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan
di puskesmas yang berkaitan dengan masalah Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS).
136
DAFTAR PUSTAKA
A. A. Gde Muninjaya, 1999, Manajemen Kesehatan Edisi 1, Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
____________________, 2004, Manajemen Kesehatan Edisi 2, Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
A. Aziz Alimul Hidayat. 2008, Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan, Jakarta: Salemba Medika
Agus Irianto, 2007, Statistik Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Azrul Azwar, 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, Jakarta: Binarupa Aksara.
Awi Muliadi Wijaya, 2009, Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau
Integrated Management of Childhood Illness (IMCI), http://www.infodokterku.com/index.php?option=com_content&view=arti
cle&id=54:mtbs-imci&catid=27:helath-programs&Itemid=44, diakses tanggal 22 April 2011.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2008, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Laporan Nasional
2007. http://www.infodokterku.com/index.php?option=com_content&view= article & id 37:manajemen-terpadu-balita-sakit-mtbs&catid=27:helath
programs & Itemid= 28, diakses 1 Juni 2010.
Budioro B, 2002, Pengantar Administrasi Kesehatan Masyarakat, Semarang: FKM Universitas Diponegoro.
Departemen Kesehatan RI, 1999, Informasi Manajemen Terpadu Balita Sakit,
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
______________________, 1999, Gerakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan sebagai Strategi Pembangunan Nasional untuk mewujudkan
Indonesia Sehat 2010, Jakarta: DepKes RI.
______________________, 2002, Pedoman Perencanaan Penerapan MTBS, Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
137
______________________, 2006a, Manajemen Terpadu Balita Sakit Modul 1
Pengantar, Jakarta: DepKes RI.
______________________, 2006b, Manajemen Terpadu Balita Sakit Modul 2 Penilaian dan Klasifikasi Anak Sakit Umur 2 Bulan Sampai 5 tahun,
Jakarta: DepKes RI.
______________________, 2006c, Manajemen Terpadu Balita Sakit Modul 3 Menentukan Tindakan Dan Memberi Pengobatan, Jakarta: DepKes RI.
______________________, 2006d, Manajemen Terpadu Balita Sakit Modul 4
Konseling Bagi Ibu, Jakarta: DepKes RI.
______________________, 2006e, Manajemen Terpadu Balita Sakit Modul 5 Tindak Lanjut, Jakarta: DepKes RI.
______________________, 2006f, Manajemen Terpadu Balita Sakit Modul 7
Pedoman Penerapan MTBS Di Puskesmas, Jakarta: DepKes RI.
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. 2009, Data Kualitas Anak dan Gambaran Program Anak Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009, Semarang:
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah.
Dinkes Kota Semarang, 2009, Rekap Laporan Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita (Umur 2 Bulan-5 Tahun) Tahun 2009, Semarang: Dinas Kesehatan
Kota Semarang.
___________________, 2009, Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Semarang, Semarang: Dinkes Kota Semarang.
Djoko Mardijanto dan Mubasysyir Hasanbasri, 2005, Evaluasi Manajemen
Terpadu Balita Sakit Di Kabupten Pekalongan, JMPK Vol. 08/No.01/Maret/2005.
Djoko Wijono, 1997, Manajemen Kepemimpinan dan Organisasi Kesehatan,
Surabaya: Airlangga University Press.
_____________, 1999, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Surabaya: Airlangga University Press.
Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana, 2001, Total Quality Management.
Yogyakarta: Andi Offset.
Farida Jasfar, 2005, Manajemen Jasa Pendekatan Terpadu, Bogor: Ghalia Indonesia.
125
138
Faridah, 2009, Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Motivasi
Kerja Petugas Pelaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Kota Surabaya, Semarang: UNDIP.
Imbalo S. Pohan, 2003, Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan (Penerapannya
dalam Pelayanan Kesehatan), Jakarta: EGC. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, 2007, Pedoman Penyusunan Skripsi
Mahasiswa Program Strata I, Semarang: UNNES Press.
_________________________________, 2010, Petunjuk Penyusunan Skripsi Mahasiswa Program Strata I, Semarang: UNNES Press.
Mahmulsyah Munthe, Tjahjono Kuntjoro, 2006, Strategi Perbaikan Mutu
pelayanan MTBS di Puskesmas Rantau Panjang Kabupaten Merangin, Jambi, Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Manajemen Terpadu Balita
Sakit,http://www.scribd.com/doc/21336672/Manajemen-Terpadu-Balita-Sakit, diakses tanggal 14 Agustus 2010.
Muh. Fakhrurrozie, 12 Agustus 2009, Forum Puskesmas,
http://puskesmassungkai.wordpress.com/2009/08/12/aplikasi-manajemen-sumber-daya-manusia-di-puskesmas-sungkai-kecamatan-simpang-empat-
kabupaten-banjar/, diakses tanggal 21 April 2011.
Nasrul Effendy, 1998, Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Philip Kotler & Kevin Lane Keller, Marketing Manaagement, 2006,
http://id.wikipedia.org/wiki/5M New Jersey, PEarson Education, Inc, diakses tanggal 16 Mei 2011.
Rafless bencoolen, Makalah Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Rabu 06
April 2011, http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com/2011/04/makalah-manajemen-terpadu-balita-sakit.html, diakses 20 April 2011.
Rosyidah Munawarah, 2008, Hubungan Penerapan Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) Diare dengan Kesembuhan Diare Akut pada Balita di Puskesmas I Kartasura, Skirpsi: UMS.
Saiffudin Azwar, 2005, Penyusunan Skala Psikologi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Soekidjo Notoatmodjo, 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.
139
__________________, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-Prinsip
Dasar), Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sopiyudin Dahlan, 2008, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, Jakarta: Salemba Medika.
Sri Hastuti, 2010, Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Motivasi terhadap
Penatalaksanaan MTBS Pada Petugas Kesehatan Di Puskesmas Kabupaten Boyolali, Tesis: Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Stephen P. Robbins, 2001, Perilaku Organisasi (Konsep, Kontroversi, Aplikasi) Edisi Kedelapan, Jakarta: PT. Prenhallindo.
________________, 2008, Perilaku Organisasi edisi 12, Jakarta: Salemba
Empat.
Sudigdo Sastroasmoro dan Sofyan Ismael, 2002, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi Ke-2, Jakarta: CV. Sagung Seto.
Sugiyono, 2005, Statistika Untuk Penelitian, Bandung: CV. Alfabeta.
Titin Irawati, 1998, Analisis Kepatuhan Bidan di Desa terhadap Standar Minimal Pelayanan Antenatal 5T di Kabupaten Dt.II Cianjur Tahun 1998, Tesis:
FKM Universitas Indonesia.
Wahid Iqbal Mubarak dan Nurul Chayatin, 2009, Ilmu Kesehatan Masyarakat
Teori dan Aplikasi, Jakarta: Salemba Medika.
Widiyaningsih, 2007, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Petugas
UKS Puskesmas di Kota Cirebon Tahun 2007, Skripsi: Universitas Diponegoro.
Yayuk Farida Baliwati, dkk, 2004, Pengantar Pangan dan Gizi, Jakarta: Penebar Swadaya.
Yeyen, 2006, Pelatihan MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit),
http://30300086.blog.friendster.com/2006/12/pelatihan-mtbs-manajemen-terpadu-balita-sakit/, diakses 21 April 2011.
Yuliana Nurbaety, 2000, Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Petugas
terhadap Standar Antenatal Care (ANC) di 6 Puskesmas Pelaksana QA di Kabupaten Bekasi Jawa Barat, Tesis: FKM Universitas Indonesia.
140
Lampiran – lampiran
Lampiran 1- 10 Surat-surat ijin penelitian
141
KUESIONER PENELITIAN
”Faktor yang Berhubungan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) di Puskesmas Kota Semarang Tahun 2010”.
Kode Responden :
Tanggal wawancara :
Petunjuk Pengisian Kuesioner
a. Lengkapilah terlebih dahulu identitas diri Anda di tempat yang telah tersedia.
b. Bacalah dengan teliti setiap pertanyaan dan kemungkinan jawaban.
c. Untuk menentukan pilihan jawaban, berilah tanda silang (X) pada jawaban yang
Anda pilih atau beri tanda ( √ ) pada kolom ”S” untuk jawaban setuju dan kolom
”TS” untuk jawaban tidak setuju.
d. Untuk menentukan pilihan jawaban, berilah tanda silang (X) pada jawaban yang
Anda pilih atau beri tanda ( √ ) pada kolom ”Y” untuk jawaban Ya, kolom ”T”
untuk jawaban Tidak, dan kolom ”K” untuk jawaban Kadang-kadang.
e. Apabila Anda ingin merubah jawaban yang telah diberikan tanda silang (X),
maka berilah tanda sama dengan (=) pada jawaban tersebut.
f. Jawaban yang Anda berikan dijamin kerahasiannya.
I. Data Karakteristik Responden
1. Nama Responden :
.............................................................................
2. Pangkat/ NIP :
.............................................................................
3. Umur :
.............................................................................
4. Alamat :
.............................................................................
5. Jenis Kelamin :
.............................................................................
6. Jabatan/ Status Kepegawaian :
.............................................................................
7. Pendidikan terakhir :
.............................................................................
Lampiran 11
142
8. Lama Bertugas :
.............................................................................
9. Lama Bertugas di Tempat Sekarang :
.............................................................................
10. Puskesmas Tempat Bekerja :
.............................................................................
11. Pelatihan MTBS : Pernah/ Tidak Pernah, Berapa
Kali.....................
II. Pengetahuan Petugas
1. Apa yang dimaksud dengan MTBS?
a. Manajemen Terpadu Balita Sehata
b. Manajemen Tepadu Balita Sakit
2. Apakah tujuan dari program MTBS?
a. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
b. Untuk pengelolaan masalah penyakit pada anak balita
3. Apakah petugas pernah mengadakan sosialisasi tentang program MTBS ke
masyarakat/ ibu balita yang berkunjung sebelum pemeriksaan?
a. Pernah
b. Tidak pernah
4. Adakah keterkaitan MTBS dengan program lain di puskesmas?
a. Ya
b. Tidak ada
5. Apakah Anda selalu melakukan pencatatan dan pelaporan setelah melaksanakan
pelayanan MTBS?
a. Ya
b. Tidak
6. Apakah Anda melakukan rujukan bila ditemukan penderita dalam keadaan
memburuk?
a. Ya
b. Tidak
7. Klasifikasi apa sajakah yang termasuk dalam strategi kuratif MTBS?
a. Konseling gizi, Konseling pemberian ASI, dan Suplemen Vitamin A
b. Diare, Campak, dan Masalah gizi
8. Indikator keberhasilan dari program MTBS meliputi:
143
a. Angka mortalitas dan mobiditas menurun
b. Angka mortalitas dan mobiditas meningkat
9. Langkah-langkah apa sajakah dalam pelaksanaan MTBS?
a. Melakukan pemeriksaan terhadap balita sakit
b. Menilai dan membuat klasifikasi anak sakit
10. Apakah tanda bahaya umum pada anak balita yang sakit?
a. Anak tidak bisa minum atau menetek, anak kejang, anak selalu
memuntahkan semuanya, anak letargis atau tidak sadar
b. Napas cepat, sudah berapa lama anak batuk atau sukar bernapas, tarikan
dinding dada kedalam, stridor pada anak yang tenang
144
III. Sikap Petugas
No. Pernyataan Sikap S TS Skor
11. Saya merasa kesulitan untuk melakukan klasifikasi penyakit pada bayi atau
balita sakit sebagaimana sistem pengklasifikasian pada MTBS
12. Sebagai petugas pelaksana MTBS saya merasa bertanggung jawab
atas berlangsungnya Program ini
13. Saya melaksanakan MTBS, sesuai dengan alur pelaksanaan MTBS
14. Saya selalu memberikan penjelasan kepada ibu yang memeriksakan bayi atau
balita
15. Saya selalu memberikan kartu nasehat ibu
16. MTBS membutuhkan konsentrasi tersendiri, dan saya mampu menjalankan
dengan baik
17. Potensi yang saya miliki kurang mendukung dalam memperoleh prestasi kerja
yang optimal
18. Saya merasa bosan dan jenuh terhadap pekerjaan ini
19. Promosi jabatan dapat meningkatkan produktivitas kerja
20. Pekerjaan yang saya lakukan bersifat kreatif dan inovatif
IV. Pelatihan MTBS yang Diikuti Petugas
21. Apakah saudara pernah mengikuti pelatihan mengenai MTBS?
a. Ya
b. Tidak
22. Apabila ada pelatihan, apakah Saudara sering diikutsertakan?
a. Ya, selalu
b. Tidak selalu
145
V. Motivasi Kerja
No. Pernyataan Motivasi Kerja S TS Skor
23. Sebagai pelaksana program MTBS, saya mengerjakan tugas yang diberikan
pimpinan sesuai target pencapaian yang telah di tetapkan sebelumnya
24. Pada saat melaksanakan kegiatan MTBS, saya dan tim MTBS selalu
bekerjasama dengan baik
25. Tugas dan tanggung jawab mengenai pelaksanaan MTBS, telah disampaikan
kepada saya pada saat akan dimulainya penerapan MTBS di Puskesmas
26. Dalam perencanaan pencapaian MTBS, saya selalu dilibatkan dalam rapat
koordinasi dengan tim MTBS
27. Saya mendapatkan bimbingan dan arahan setiap saya mendapati masalah terkait
dengan pelaksanaan MTBS
28. Kerjasama team MTBS membuat saya dapat melaksanakan program MTBS
dengan baik
29. Melaksanakan pelayanan dengan MTBS di Puskesmas ini, bagi saya membuat
tantangan untuk maju
30. Hubungan kerja (terkait program MTBS) antara saya dan pimpinan terjalin
dengan baik dan tidak kaku
31. Di Puskesmas ini, kerjasama terjalin dengan baik diantara teman-teman
sehingga mendorong saya bekerja keras dalam penerapan MTBS
32. Jika mempunyai loyalitas yang tinggi, pekerjaan apapun pasti dapat terselesaikan
33. Kurang tanggap dalam bekerja karena saya merasa ribet dengan adanya progam
baru
34. Saya merasa senang dan semangat dalam melakukan pekerjaan ini
35. Saya tidak selalu menjalani tugas dengan SOP dalam bekerja
36. Atasan sering memberikan pengarahan dalam melaksanakan tugas
37. Penghargaan dapat memotivasi saya untuk bekerja
146
VI. Kepemimpinan Kepala Puskesmas
No. Pernyataan Kepemimpinan Y T K Skor
38. Kepala Puskesmas memberikan perhatian terhadap hasil kerja saudara
(misalnya dengan menanyakan perkembangan, kesulitan, hambatan dalam
pengelolaan data)
39. Kepala Puskesmas mengingatkan untuk selalu menyajikan laporan tepat
waktu
40. Kepala Puskesmas bersikap ramah dan bijaksana
41. Kepala Puskesmas mau menerima usulan atau gagasan yang saya
sampaikan
42. Kepala Puskesmas memberi petunjuk tentang apa yang akan saudara
kerjakan
43. Kepala Puskesmas mengevaluasi pekerjaan saya, bila hasil pekerjaan saya
dianggap tidak memuaskan atau memuaskan
44. Kepala Puskesmas selalu mengikutsertakan saya bila ada suatu kegiatan
yang berhubungan dengan pekerjaan saya yang berkaitan dengan masalah
MTBS
45. Kepala Puskesmas tidak begitu menyimak dengan baik setiap keluhan yang
saya sampaikan
46. Kepala Puskesmas memberi semangat pada staf untuk berpartisipasi dalam
tim kerja
47. Kepala Puskesmas selalu memonitoring dan mengevaluasi tugas atau
pekerjaan saudara
VII. Ketersediaan Peralatan yang Digunakan dalam Pemeriksaan MTBS
48. Apakah alat pemeriksaan yang dibutuhkan untuk pelaksanaan MTBS di
Puskesmas ini selalu tersedia untuk balita sakit yang datang?
a. Ya
b. Tidak
49. Apakah formulir tatalaksana MTBS selalu tersedia untuk setiap balita yang
ditangani dengan MTBS?
a. Ya
b. Tidak
147
50. Apakah kartu nasihat ibu (KNI) selalu tersedia bagi ibu/ pengantar dari balita
sakit yang datang?
a. Ya
b. Tidak
51. Apakah obat-obatan yang dibutuhkan untuk pelaksanaan MTBS di Puskesmas
ini selalu tersedia untuk balita sakit yang datang?
a. Ya
b. Tidak
VIII. Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan
52. Adakah alokasi dana khusus untuk pelaksanaan MTBS di Puskesmas tempat
saudara bekerja?
a. Ya, ada
b. Tidak ada
IX. Rapat Koordinasi
53. Apakah di Puskesmas Anda bekerja, terdapat agenda/ jadwal rapat kerja untuk
melaksanakan kegiatan MTBS?
a. Ada
b. Tidak ada
c. Tidak tahu
54. Apakah untuk melaksanakan kegiatan MTBS, terlebih dahulu dilakukan rapat
koordinasi internal antar program yang ada Puskesmas secara periodik?
a. Ya, Selalu
b. Kadang-kadang
c. Jarang
d. Tidak pernah
55. Apakah dalam melaksanakan kegiatan MTBS, terlebih dahulu dilakukan rapat
koordinasi eksternal antar sektor diluar Puskesmas?
a. Ya, Selalu
b. Kadang-kadang
c. Jarang
d. Tidak pernah
148
X. Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan MTBS
56. Apakah dalam setiap pelaksanaan kegiatan Manajemen Terpadu Balita Sakit
selalu dilakukan pencatatan jumlah balita sakit yang berkunjung?
a. Ya, selalu
b. Tidak selalu
57. Apakah dalam setiap pelaksanaan kegiatan MTBS selalu dilakukan pencatatan
jumlah balita sakit yang dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan
pendekatan MTBS?
a. Ya, selalu
b. Tidak selalu
58. Apakah dalam setiap pelaksanaan kegiatan MTBS selalu dilakukan pencatatan
mengenai jumlah perlengkapan dan obat yang dibutuhkan?
a. Ya
b. Tidak
59. Apakah dalam setiap pelaksanaan kegiatan MTBS selalu dilakukan pelaporan
secara sistematik setiap bulan?
a. Ya, selalu
b. Tidak selalu
XI. Supervisi Dinkes terhadap Pelaksanaan MTBS
60. Di Puskesmas tempat Anda bekerja, apakah pernah dilakukan supervisi
menyangkut pembinaan program MTBS oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang?
a. Ya
b. Tidak
61. Di Puskesmas tempat Anda bekerja, apakah pernah dilakukan supervisi
menyangkut pengawasan (meliputi pemantauan dan koordinasi) program MTBS
oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang?
a. Ya
b. Tidak
62. Apakah supervisi tersebut dilaksanakan secara periodik (1 tahun 2X) ?
a. Ya
b. Tidak
149
XII. Evaluasi (Penilaian) Pelaksanaan MTBS oleh Kepala Puskesmas
63. Apakah Kepala Puskesmas melakukan evaluasi pelaksanaan MTBS di
Puskesmas tempat saudara bekerja?
a. Ya
b. Jarang
c. Tidak pernah
64. Apakah evaluasi tersebut dilakukan secara periodik (1 bulan sekali) ?
a. Ya
b. Jarang
c. Tidak pernah
XIII. Pertanyaan Pendukung Penerapan MTBS
65. Apakah pelayanan MTBS dilaksanakan setiap hari?
a. Ya
b. Tidak
66. Apakah semua balita sakit yang datang dilayani dengan MTBS?
a. Ya
b. Tidak
67. Apabila formulir MTBS habis, apakah Anda tetap memberikan pelayanan
MTBS?
a. Ya
b. Tidak
150
Daftar Tilik Observasi Pelaksanaan Pemeriksaan MTBS Di Puskesmas :
Apakah petugas menanyakan indikator tatalaksana MTBS terhadap pengantar balita,
yang meliputi :
No. Indikator Tatalaksana MTBS Y T Skor
1. Apakah anak bisa minum/ menyusu?
2. Apakah anak selalu memuntahkan semuanya?
3. Apakah anak menderita kejang?
4. Apakah anak tampak letargis/ tidak sadar?
5. Apakah anak menderita batuk atau sukar bernafas?
6. Apakah anak menderita diare?
7. Apakah anak demam?
8. Apakah anak mempunyai masalah telinga?
9. Apakah petugas memeriksa kondisi status gizi balita tersebut?
10. Apakah petugas memeriksa masalah anemia balita tersebut?
11. Apakah petugas memeriksa status imunisasi balita tersebut?
12. Apakah petugas memeriksa pemberian vitamin A?
13. Apakah petugas menilai masalah/ keluhan-keluhan lain?
14. Apakah petugas mengajari ibu/ pengantar balita mengenai cara pemberian obat oral di rumah?
15. Apakah petugas mengajari ibu/ pengantar balita mengenai cara mengobati infeksi lokal di rumah?
16. Apakah petugas menjelaskan kepada ibu/ pengantar balita tentang aturan-
aturan perawatan anak sakit di rumah (misal : aturan penanganan diare di
rumah) ?
17. Apakah petugas memberikan konseling bagi ibu (misal : anjuran pemberian
makanan selama anak sakit maupun dalam keadaan sehat) ?
151
18. Apakah petugas menasihati ibu/ pengantar balita mengenai kapan harus kembali kepada petugas kesehatan?
152
UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS
ALL VARIABELS Case Processing Summary
N %
Cases Valid 20 100.0
Excluded(a) 0 .0
Total 20 100.0
a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
.967 67
Item Statistics
Mean Std. Deviation N
P1 .75 .444 20
P2 .60 .503 20
P3 .85 .366 20
P4 .75 .444 20
P5 .75 .444 20
P6 .85 .366 20
P7 .85 .366 20
P8 .80 .410 20
P9 .70 .470 20
P10 .65 .489 20
P11 .80 .410 20
P12 .55 .510 20
P13 .70 .470 20
P14 .75 .444 20
P15 .85 .366 20
P16 .65 .489 20
P17 .75 .444 20
P18 .65 .489 20
P19 .70 .470 20
P20 .65 .489 20
P21 .75 .444 20
P22 .90 .308 20
P23 .75 .444 20
P24 .65 .489 20
153
Lanjutan : P25 .60 .503 20
P26 .60 .503 20
P27 .75 .444 20
P28 .80 .410 20
P29 .85 .366 20
P30 .70 .470 20
P31 .60 .503 20
P32 .70 .470 20
P33 .65 .489 20
P34 .55 .510 20
P35 .75 .444 20
P36 .55 .510 20
P37 .55 .510 20
P38 1.45 .605 20
P39 1.10 .641 20
P40 1.60 .503 20
P41 1.60 .503 20
P42 1.55 .510 20
P43 1.75 .444 20
P44 1.00 .725 20
P45 1.00 .918 20
P46 1.75 .444 20
P47 1.85 .366 20
P48 .35 .489 20
P49 .85 .366 20
P50 .75 .444 20
P51 .60 .503 20
P52 .75 .444 20
P53 1.60 .503 20
P54 1.75 .444 20
P55 1.35 .813 20
P56 .85 .366 20
P57 .80 .410 20
P58 .60 .503 20
P59 .85 .366 20
P60 .70 .470 20
P61 .80 .410 20
P62 .55 .510 20
P63 1.70 .470 20
P64 1.45 .510 20
P65 .85 .366 20
P66 .65 .489 20
P67 .70 .470 20
154
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
P1 58.70 319.589 .600 .966
P2 58.85 315.924 .735 .966
P3 58.60 322.358 .519 .967
P4 58.70 318.642 .660 .966
P5 58.70 320.747 .526 .967
P6 58.60 322.253 .527 .967
P7 58.60 322.253 .527 .967
P8 58.65 320.555 .585 .966
P9 58.75 319.355 .579 .966
P10 58.80 319.221 .563 .966
P11 58.65 320.766 .570 .966
P12 58.90 317.779 .620 .966
P13 58.75 321.355 .459 .967
P14 58.70 318.747 .654 .966
P15 58.60 321.726 .567 .966
P16 58.80 319.221 .563 .966
P17 58.70 318.221 .687 .966
P18 58.80 313.011 .928 .965
P19 58.75 317.461 .694 .966
P20 58.80 315.747 .766 .966
P21 58.70 319.379 .613 .966
P22 58.55 323.524 .514 .967
P23 58.70 320.747 .526 .967
P24 58.80 319.116 .570 .966
P25 58.85 320.871 .455 .967
P26 58.85 320.450 .478 .967
P27 58.70 320.432 .546 .966
P28 58.65 320.555 .585 .966
P29 58.60 322.253 .527 .967
P30 58.75 318.934 .605 .966
P31 58.85 320.450 .478 .967
P32 58.75 319.987 .541 .966
P33 58.80 319.642 .539 .966
P34 58.90 319.147 .543 .966
P35 58.70 319.168 .627 .966
P36 58.90 315.674 .738 .966
P37 58.90 313.884 .839 .966
P38 58.00 319.053 .458 .967
P39 58.35 318.345 .462 .967
P40 57.85 319.503 .532 .967
P41 57.85 320.345 .484 .967
155
P42 57.90 320.726 .455 .967
Lanjutan : P43 57.70 320.853 .519 .967
P44 58.45 317.208 .448 .967
P45 58.45 312.261 .500 .967
P46 57.70 320.853 .519 .967
P47 57.60 322.674 .494 .967
P48 59.10 321.042 .458 .967
P49 58.60 322.147 .535 .967
P50 58.70 319.589 .600 .966
P51 58.85 319.397 .538 .967
P52 58.70 321.695 .466 .967
P53 57.85 320.239 .490 .967
P54 57.70 321.379 .486 .967
P55 58.10 314.726 .483 .967
P56 58.60 321.726 .567 .966
P57 58.65 321.608 .512 .967
P58 58.85 320.555 .473 .967
P59 58.60 322.568 .502 .967
P60 58.75 319.461 .573 .966
P61 58.65 321.924 .490 .967
P62 58.90 319.463 .526 .967
P63 57.75 320.092 .535 .967
P64 58.00 320.000 .496 .967
P65 58.60 322.253 .527 .967
P66 58.80 321.116 .454 .967
P67 58.75 319.039 .599 .966
Scale Statistics
Mean Variance Std. Deviation N of Items
59.45 329.313 18.147 67
156
DATA MENTAH HASIL PENELITIAN
I. VARIABEL PENGETAHUAN PETUGAS
Kode
Resp.
No. Item Pertanyaan Total
Persentase
( % ) Kategori
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
R 01 1 0 1 1 1 1 0 1 1 0 7 70 Cukup
R 02 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 7 80 Cukup
R 03 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 7 70 Cukup
R 04 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 8 80 Cukup
R 05 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 7 70 Cukup
R 06 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 8 80 Cukup
R 07 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 8 80 Cukup
R 08 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 9 90 Baik
R 09 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 9 90 Baik
R10 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 7 70 Cukup
R 11 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 9 90 Baik
R 12 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 9 90 Baik
R 13 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 7 70 Cukup
R 14 1 0 1 1 1 1 0 1 0 1 7 70 Cukup
R 15 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 7 70 Cukup
R 16 1 0 0 1 1 1 0 1 0 1 6 60 Cukup
R 17 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 8 80 Cukup
R 18 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 8 80 Cukup
R 19 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 7 70 Cukup
R 20 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 5 50 Kurang
R 21 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 5 50 Kurang
R 22 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 9 90 Baik
R 23 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 9 90 Baik
R 24 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 9 90 Baik
R 25 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 7 70 Cukup
R 26 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 8 80 Cukup
R 27 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 9 90 Baik
R 28 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 9 90 Baik
R 29 0 0 1 1 1 1 0 1 0 1 6 60 Cukup
R 30 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 7 70 Cukup
R 31 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 8 80 Cukup
R 32 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 7 70 Cukup
R 33 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 8 80 Cukup
R 34 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 8 80 Cukup
R 35 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 9 90 Baik
R 36 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 9 90 Baik
R 37 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 8 80 Cukup
157
II. VARIABEL SIKAP PETUGAS
Kode
Resp.
No. Item Pertanyaan Total Kategori
P13 P14 P15 P16 P17 P18 P19 P20 P21 P22
R 01 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 6 Cukup
R 02 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 5 Cukup
R 03 0 1 1 0 0 0 1 1 0 1 5 Cukup
R 04 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 7 Baik
R 05 0 1 1 1 0 1 1 0 0 1 6 Baik
R 06 1 1 1 0 0 1 0 1 0 1 6 Cukup
R 07 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 9 Baik
R 08 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 8 Baik
R 09 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 9 Baik
R10 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 9 Baik
R 11 0 1 1 1 0 0 1 0 0 1 5 Cukup
R 12 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 9 Baik
R 13 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 9 Baik
R 14 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 8 Baik
R 15 0 1 1 1 0 0 1 0 0 1 5 Cukup
R 16 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10 Baik
R 17 0 1 1 0 0 0 0 1 1 1 5 Cukup
R 18 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 9 Baik
R 19 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 8 Baik
R 20 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 5 Cukup
R 21 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 5 Cukup
R 22 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 8 Baik
R 23 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 9 Baik
R 24 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 9 Cukup
R 25 0 1 1 0 0 1 1 1 0 1 9 Cukup
R 26 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 7 Baik
R 27 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 8 Baik
R 28 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 9 Baik
R 29 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 9 Baik
R 30 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 9 Baik
R 31 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 8 Baik
R 32 1 1 0 1 0 0 0 1 0 1 5 Cukup
R 33 0 1 1 0 0 1 1 1 0 1 6 Cukup
R 34 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 9 Baik
R 35 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 9 Baik
R 36 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 8 Baik
R 37 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 8 Baik
158
III. VARIABEL MOTIVASI KERJA PETUGAS
Kode
Resp.
No. Item Pertanyaan
Total Kategori P25 P26 P27 P28 P29 P30 P31 P32 P33 P34 P35 P36 P37 P38 P39
R 01 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 13 Tinggi
R 02 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 Tinggi
R 03 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 Tinggi
R 04 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 13 Tinggi
R 05 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 14 Tinggi
R 06 0 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 10 Sedang
R 07 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 13 Tinggi
R 08 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 14 Tinggi
R 09 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 Tinggi
R10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 14 Tinggi
R 11 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 12 Tinggi
R 12 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 Tinggi
R 13 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 14 Tinggi
R 14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14 Tinggi
R 15 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 14 Tinggi
R 16 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 Tinggi
R 17 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 13 Tinggi
R 18 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 13 Tinggi
R 19 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 13 Tinggi
R 20 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 Tinggi
R 21 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 13 Tinggi
R 22 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 Tinggi
R 23 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 Tinggi
R 24 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 14 Tinggi
R 25 0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 12 Tinggi
R 26 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 14 Tinggi
R 27 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 10 Sedang
R 28 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 Tinggi
R 29 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 14 Tinggi
R 30 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14 Tinggi
R 31 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 14 Tinggi
R 32 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 14 Tinggi
R 33 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 14 Tinggi
R 34 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 Tinggi
R 35 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 Tinggi
R 36 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 Tinggi
R 37 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 13 Tinggi
159
IV. VARIABEL PELATIHAN MTBS YANG DIIKUTI PETUGAS
Kode Resp.
No. Item Pertanyaan
Total Kategori P23 P24
R 01 1 1 2 Pernah
R 02 1 0 1 Tidak Pernah
R 03 1 0 1 Tidak Pernah
R 04 1 1 2 Pernah
R 05 1 0 2 Tidak Pernah
R 06 0 0 0 Tidak Pernah
R 07 1 0 1 Tidak Pernah
R 08 1 1 2 Pernah
R 09 1 0 1 Tidak Pernah
R10 0 0 0 Tidak Pernah
R 11 1 0 1 Tidak Pernah
R 12 1 1 2 Pernah
R 13 1 0 1 Tidak Pernah
R 14 1 0 1 Tidak Pernah
R 15 1 1 2 Pernah
R 16 1 1 2 Pernah
R 17 1 1 2 Pernah
R 18 1 1 2 Pernah
R 19 1 0 1 Tidak Pernah
R 20 1 1 2 Pernah
R 21 0 0 0 Tidak Pernah
R 22 1 0 1 Tidak Pernah
R 23 0 0 0 Tidak Pernah
R 24 1 0 1 Tidak Pernah
R 25 1 0 1 Tidak Pernah
R 26 1 1 2 Pernah
R 27 1 0 1 Tidak Pernah
R 28 1 1 2 Pernah
R 29 1 1 2 Pernah
R 30 1 1 2 Pernah
R 31 1 0 1 Tidak Pernah
R 32 1 0 1 Tidak Pernah
R 33 1 0 1 Tidak Pernah
R 34 1 0 1 Tidak Pernah
R 35 1 1 2 Pernah
R 36 1 1 2 Pernah
R 37 1 0 1 Tidak Pernah
160
V. VARIABEL KEPEMIMPINAN KEPALA PUSKESMAS
Kode
Resp.
No. Item Pertanyaan Total Kategori
P40 P41 P42 P43 P44 P45 P46 P47 P48 P49
R 01 1 1 1 2 2 2 1 0 2 1 13 Cukup
R 02 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 13 Cukup
R 03 1 2 2 2 2 1 1 0 1 1 13 Cukup
R 04 2 2 2 2 1 1 2 0 2 1 15 Baik
R 05 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
R 06 1 1 1 1 1 2 1 2 1 2 13 Cukup
R 07 1 2 2 2 1 1 1 1 1 1 13 Cukup
R 08 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 19 Baik
R 09 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
R10 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 19 Baik
R 11 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
R 12 1 1 2 2 1 1 2 1 2 1 14 Baik
R 13 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 15 Baik
R 14 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
R 15 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
R 16 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
R 17 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 13 Cukup
R 18 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
R 19 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
R 20 2 2 2 1 2 2 2 0 2 2 17 Baik
R 21 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
R 22 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2 18 Baik
R 23 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
R 24 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
R 25 1 1 2 2 2 1 1 2 2 1 15 Baik
R 26 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
R 27 0 2 1 1 1 0 1 1 1 1 9 Cukup
R 28 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
R 29 1 1 1 1 1 1 1 0 1 2 10 Cukup
R 30 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
R 31 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
R 32 2 2 2 1 1 2 2 0 2 2 16 Baik
R 33 1 1 2 2 1 1 2 2 2 1 15 Baik
R 34 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 19 Baik
R 35 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
R 36 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
R 37 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 Baik
161
VI. VARIABEL KETERSEDIAAN PERALATAN MTBS
Kode Resp. No. Item Pertanyaan
Total Kategori P50 P51 P52 P53
R 01 1 0 1 1 3 Tidak Lengkap
R 02 1 1 0 1 3 Tidak Lengkap
R 03 1 1 1 1 4 Lengkap
R 04 1 1 1 1 4 Lengkap
R 05 1 1 1 1 4 Lengkap
R 06 1 1 0 1 3 Tidak Lengkap
R 07 1 0 0 1 2 Tidak Lengkap
R 08 1 1 0 1 3 Tidak Lengkap
R 09 1 1 1 1 4 Lengkap
R10 1 1 0 1 3 Tidak Lengkap
R 11 1 1 1 1 4 Lengkap
R 12 1 1 0 1 3 Tidak Lengkap
R 13 1 0 1 1 3 Tidak Lengkap
R 14 1 1 1 1 4 Lengkap
R 15 1 1 1 1 4 Lengkap
R 16 1 1 1 1 4 Lengkap
R 17 1 1 1 1 4 Lengkap
R 18 1 1 1 1 4 Lengkap
R 19 1 1 0 1 3 Tidak Lengkap
R 20 1 1 1 1 4 Lengkap
R 21 1 1 1 1 4 Lengkap
R 22 0 0 0 1 1 Tidak Lengkap
R 23 1 1 0 1 3 Tidak Lengkap
R 24 1 1 1 1 4 Lengkap
R 25 1 1 0 1 3 Tidak Lengkap
R 26 1 1 1 1 4 Lengkap
R 27 1 1 0 1 3 Tidak Lengkap
R 28 1 1 0 1 3 Tidak Lengkap
R 29 1 1 1 1 4 Lengkap
R 30 1 1 0 1 3 Tidak Lengkap
R 31 1 1 1 1 4 Lengkap
R 32 1 1 1 1 4 Lengkap
R 33 1 1 1 1 4 Lengkap
R 34 1 0 0 1 2 Tidak Lengkap
R 35 1 1 0 1 3 Tidak Lengkap
R 36 1 1 0 1 3 Tidak Lengkap
R 37 1 1 1 1 4 Lengkap
162
VII. VARIABEL ALOKASI DANA
Kode Resp. No. Item Pertanyaan
Total Kategori
P54
R 01 0 0 Tidak Ada
R 02 0 0 Tidak Ada
R 03 0 0 Tidak Ada
R 04 1 1 Ada
R 05 1 1 Ada
R 06 0 0 Tidak Ada
R 07 0 0 Tidak Ada
R 08 0 0 Tidak Ada
R 09 0 0 Tidak Ada
R10 0 0 Tidak Ada
R 11 0 0 Tidak Ada
R 12 0 0 Tidak Ada
R 13 0 0 Tidak Ada
R 14 0 0 Tidak Ada
R 15 1 1 Ada
R 16 0 0 Tidak Ada
R 17 0 0 Tidak Ada
R 18 1 1 Ada
R 19 0 0 Tidak Ada
R 20 1 1 Ada
R 21 0 0 Tidak Ada
R 22 0 0 Tidak Ada
R 23 0 0 Tidak Ada
R 24 0 0 Tidak Ada
R 25 0 0 Tidak Ada
R 26 1 1 Ada
R 27 0 0 Tidak Ada
R 28 0 0 Tidak Ada
R 29 0 0 Tidak Ada
R 30 0 0 Tidak Ada
R 31 0 0 Tidak ada
R 32 1 1 Ada
R 33 0 0 Tidak Ada
R 34 0 0 Tidak Ada
R 35 0 0 Tidak Ada
R 36 0 0 Tidak Ada
R 37 0 0 Tidak Ada
163
VIII. VARIABEL RAPAT KOORDINASI
Kode Resp.
No. Item Pertanyaan
Total Kategori P55 P56 P57
R 01 1 1 1 3 Tidak Ada
R 02 1 0 0 1 Tidak Ada
R 03 1 1 1 3 Tidak Ada
R 04 1 3 1 5 Ada
R 05 1 3 0 4 Ada
R 06 1 1 0 2 Tidak Ada
R 07 2 1 0 3 Tidak Ada
R 08 1 0 0 1 Tidak Ada
R 09 2 3 0 5 Ada
R10 1 2 1 4 Ada
R 11 2 1 0 3 Tidak Ada
R 12 1 1 0 2 Tidak Ada
R 13 1 1 0 2 Tidak Ada
R 14 1 0 0 1 Tidak Ada
R 15 1 3 0 4 Ada
R 16 1 1 1 3 Tidak Ada
R 17 1 1 0 2 Tidak Ada
R 18 2 1 0 3 Tidak Ada
R 19 1 2 0 3 Tidak Ada
R 20 1 1 0 2 Tidak Ada
R 21 1 3 0 4 Ada
R 22 1 1 1 3 Tidak Ada
R 23 1 3 1 5 Ada
R 24 2 3 3 8 Ada
R 25 1 1 1 3 Tidak Ada
R 26 2 3 1 6 Ada
R 27 1 0 0 1 Tidak Ada
R 28 1 3 0 4 Ada
R 29 2 1 1 4 Ada
R 30 1 0 1 2 Tidak Ada
R 31 2 1 1 4 Ada
R 32 1 1 0 2 Tidak Ada
R 33 1 3 0 4 Ada
R 34 1 1 0 2 Tidak Ada
R 35 1 1 1 3 Tidak Ada
R 36 1 1 3 5 Ada
R 37 2 1 1 4 Ada
164
IX. VARIABEL SISTEM PENCATATAN/ PELAPORAN MTBS
Kode Resp.
No. Item Pertanyaan
Total Kategori
P58 P59 P60 P61
R 01 0 1 0 1 2 Cukup
R 02 0 1 0 1 2 Cukup
R 03 1 1 1 0 3 Baik
R 04 0 1 0 1 2 Cukup
R 05 0 1 0 1 2 Cukup
R 06 1 1 0 1 3 Baik
R 07 1 1 0 1 3 Baik
R 08 1 1 0 1 3 Baik
R 09 0 1 0 1 2 Cukup
R10 0 1 0 1 2 Cukup
R 11 1 1 1 0 3 Baik
R 12 0 1 0 1 2 Cukup
R 13 0 1 0 1 2 Cukup
R 14 1 1 1 1 4 Baik
R 15 0 1 0 1 2 Cukup
R 16 1 1 0 1 3 Baik
R 17 0 1 0 1 2 Cukup
R 18 0 1 0 1 2 Cukup
R 19 1 1 1 1 4 Baik
R 20 0 1 0 1 2 Cukup
R 21 0 1 1 0 2 Cukup
R 22 0 1 0 1 2 Cukup
R 23 1 1 0 1 3 Baik
R 24 0 1 0 1 2 Cukup
R 25 0 1 0 1 2 Cukup
R 26 0 1 0 1 2 Cukup
R 27 1 1 0 1 3 Baik
R 28 1 1 1 1 4 Baik
R 29 0 1 0 1 2 Cukup
R 30 1 1 1 1 4 Baik
R 31 1 1 0 1 3 Baik
R 32 1 1 0 1 3 Baik
R 33 0 1 0 1 2 Cukup
R 34 1 1 0 1 3 Baik
R 35 1 1 1 1 4 Baik
R 36 1 1 0 1 3 Baik
R 37 1 1 0 1 3 Baik
165
X. VARIABEL PELAKSANAAN SUPERVISI MTBS OLEH DINKES
Kode Resp.
No. Item Pertanyaan
Total Kategori
P62 P63 P64
R 01 1 0 1 2 Rendah
R 02 1 0 1 2 Rendah
R 03 1 1 1 3 Tinggi
R 04 1 1 1 3 Tinggi
R 05 1 0 1 2 Rendah
R 06 0 1 1 2 Rendah
R 07 1 1 1 3 Tinggi
R 08 1 1 1 3 Tinggi
R 09 0 1 1 2 Rendah
R10 1 1 1 3 Tinggi
R 11 0 1 1 2 Tinggi
R 12 1 1 1 3 Tinggi
R 13 1 0 1 2 Rendah
R 14 1 1 1 3 Tinggi
R 15 1 0 1 2 Rendah
R 16 1 1 1 3 Tinggi
R 17 1 1 1 3 Tinggi
R 18 1 1 1 3 Tinggi
R 19 1 1 1 3 Tinggi
R 20 1 0 1 2 Rendah
R 21 1 0 1 2 Rendah
R 22 0 1 1 2 Rendah
R 23 1 1 1 3 Tinggi
R 24 1 0 1 2 Rendah
R 25 1 1 1 3 Tinggi
R 26 0 1 1 2 Rendah
R 27 1 1 1 3 Tinggi
R 28 1 1 1 3 Tinggi
R 29 1 1 1 3 Tinggi
R 30 1 0 1 2 Rendah
R 31 1 1 1 3 Tinggi
R 32 1 1 1 3 Tinggi
R 33 1 1 1 3 Tinggi
R 34 1 1 1 3 Tinggi
R 35 1 1 1 3 Tinggi
R 36 1 1 1 3 Tinggi
R 37 1 1 1 3 Tinggi
166
XI. VARIABEL PELAKSANAAN EVALUASI MTBS OLEH KA-PUS
Kode Resp.
No. Item Pertanyaan
Total Kategori P65 P66
R 01 1 1 2 Rendah
R 02 1 1 2 Rendah
R 03 1 1 2 Rendah
R 04 2 1 3 Tinggi
R 05 2 2 4 Tinggi
R 06 1 1 2 Rendah
R 07 1 1 2 Rendah
R 08 1 1 2 Rendah
R 09 2 2 4 Tinggi
R10 2 2 4 Tinggi
R 11 1 2 3 Tinggi
R 12 2 2 4 Tinggi
R 13 2 1 3 Tinggi
R 14 1 1 2 Rendah
R 15 2 2 4 Tinggi
R 16 1 2 3 Tinggi
R 17 1 1 2 Rendah
R 18 2 2 4 Tinggi
R 19 2 2 4 Tinggi
R 20 2 2 4 Tinggi
R 21 2 2 4 Tinggi
R 22 2 1 3 Tinggi
R 23 2 2 4 Tinggi
R 24 2 2 4 Tinggi
R 25 1 1 2 Rendah
R 26 2 2 4 Tinggi
R 27 1 1 2 Rendah
R 28 2 2 4 Tinggi
R 29 2 2 4 Tinggi
R 30 1 2 3 Tinggi
R 31 2 2 4 Tinggi
R 32 1 2 3 Tinggi
R 33 2 2 4 Tinggi
R 34 1 1 2 Rendah
R 35 1 2 3 Tinggi
R 36 1 1 2 Rendah
R 37 1 2 3 Tinggi
167
XII. VARIABEL IMPLEMENTASI MTBS
Kode Resp.
No. Item Pertanyaan
Total Kategori
P67 P68 P69
R 01 1 0 1 2 Rendah
R 02 1 0 1 2 Rendah
R 03 1 0 1 2 Rendah
R 04 1 1 1 3 Tinggi
R 05 1 1 1 3 Tinggi
R 06 1 0 1 2 Rendah
R 07 1 0 1 2 Rendah
R 08 1 0 1 2 Rendah
R 09 1 1 1 3 Tinggi
R10 1 1 1 3 Tinggi
R 11 1 0 1 2 Rendah
R 12 1 1 1 3 Tinggi
R 13 1 1 1 3 Tinggi
R 14 1 0 1 2 Rendah
R 15 1 1 1 3 Tinggi
R 16 1 0 1 2 Rendah
R 17 1 0 1 2 Rendah
R 18 1 0 1 2 Rendah
R 19 1 0 1 2 Rendah
R 20 1 1 1 3 Tinggi
R 21 1 0 1 2 Rendah
R 22 1 1 1 3 Tinggi
R 23 1 0 1 2 Rendah
R 24 1 1 1 3 Tinggi
R 25 0 0 1 1 Rendah
R 26 1 1 1 3 Tinggi
R 27 1 0 1 2 Rendah
R 28 1 1 1 3 Tinggi
R 29 1 1 1 3 Tinggi
R 30 1 1 1 3 Tinggi
R 31 1 0 1 2 Rendah
R 32 0 1 1 2 Rendah
R 33 1 0 1 2 Rendah
R 34 1 1 1 3 Tinggi
R 35 1 1 1 3 Tinggi
R 36 1 1 1 3 Tinggi
R 37 1 0 1 2 Rendah
168
HASIL ANALISIS UNIVARIAT
Frequencies
Statistics
Statistics (Lanjutan)
Frequency Table
Pengetahuan Petugas
(Sebelum Gabung)
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid kurang 2 5.4 5.4 5.4
cukup 24 64.9 64.9 70.3
baik 11 29.7 29.7 100.0
Total 37 100.0 100.0
Pengetahuan Petugas (Setelah Gabung)
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid kurang+cukup 26 70.3 70.3 70.3
baik 11 29.7 29.7 100.0
Total 37 100.0 100.0
Pengetahuan Petugas
Sikap Petugas
Motivasi Kerja
Pelatihan MTBS
Kepemimpinan Kepala
Puskesmas
Ketersediaan Peralatan
MTBS
N Valid 37 37 37 37 37 37
Missing 0 0 0 0 0 0
Alokasi Dana
Rapat Koordinasi
Tingkat Puskesmas
Sistem Pencatatan/ Pelaporan
Pelaksanaan Supervisi
MTBS oleh Dinkes
Pelaksanaan Evaluasi
MTBS oleh Kepala
Puskesmas
Implementasi MTBS
N Valid 37 37 37 37 37 37
Missing 0 0 0 0 0 0
Lampiran
169
Sikap Petugas
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid cukup 13 35.1 35.1 35.1
baik 24 64.9 64.9 100.0
Total 37 100.0 100.0
Motivasi Kerja
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid sedang 2 5.4 5.4 5.4
tinggi 35 94.6 94.6 100.0
Total 37 100.0 100.0
Pelatihan MTBS
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak pernah 22 59.5 59.5 59.5
pernah 15 40.5 40.5 100.0
Total 37 100.0 100.0
Kepemimpinan Kepala Puskesmas
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid cukup 8 21.6 21.6 21.6
baik 29 78.4 78.4 100.0
Total 37 100.0 100.0
Ketersediaan Peralatan MTBS
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak lengkap 18 48.6 48.6 48.6
lengkap 19 51.4 51.4 100.0
Total 37 100.0 100.0
Alokasi Dana
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak ada 30 81.1 81.1 81.1
ada 7 18.9 18.9 100.0
Total 37 100.0 100.0
170
Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak ada 22 59.5 59.5 59.5
ada 15 40.5 40.5 100.0
Total 37 100.0 100.0
Sistem Pencatatan/ Pelaporan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid cukup 19 51.4 51.4 51.4
baik 18 48.6 48.6 100.0
Total 37 100.0 100.0
Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinkes
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid rendah 13 35.1 35.1 35.1
tinggi 24 64.9 64.9 100.0
Total 37 100.0 100.0
Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid rendah 12 32.4 32.4 32.4
tinggi 25 67.6 67.6 100.0
Total 37 100.0 100.0
Implementasi MTBS
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid rendah 20 54.1 54.1 54.1
tinggi 17 45.9 45.9 100.0
Total 37 100.0 100.0
171
HASIL ANALISIS BIVARIAT
1. CR0SSTAB VARIABEL PENGETAHUAN PETUGAS TENTANG MTBS DENGAN
IMPLEMENTASI MTBS
Sebelum Penggabungan Sel
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Pengetahuan Petugas * Implementasi MTBS
37 100.0% 0 .0% 37 100.0%
Pengetahuan Petugas * Implementasi MTBS Crosstabulation
Implementasi MTBS Total
rendah tinggi
Pengetahuan Petugas
kurang Count 1 1 2
Expected Count 1.1 .9 2.0 % within Pengetahuan
Petugas 50.0% 50.0% 100.0%
cukup Count 15 9 24
Expected Count 13.0 11.0 24.0 % within Pengetahuan
Petugas 62.5% 37.5% 100.0%
baik Count 4 7 11
Expected Count 5.9 5.1 11.0 % within Pengetahuan
Petugas 36.4% 63.6% 100.0%
Total Count 20 17 37
Expected Count 20.0 17.0 37.0 % within Pengetahuan
Petugas 54.1% 45.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 2.089(a) 2 .352 Likelihood Ratio 2.101 2 .350 Linear-by-Linear Association 1.260 1 .262 N of Valid Cases 37
a 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .92.
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std. Error(a)
Approx. T(b)
Approx. Sig.
Nominal by Nominal Phi .238 .352
Cramer's V .238 .352
Contingency Coefficient .231 .352
Interval by Interval Pearson's R .187 .165 1.127 .267(c)
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .200 .164 1.209 .235(c)
N of Valid Cases 37
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
172
c Based on normal approximation.
CR0SSTAB PENGETAHUAN PETUGAS TENTANG MTBS DENGAN IMPLEMENTASI
MTBS
Setelah Penggabungan Sel
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Pengetahuan Petugas * Implementasi MTBS 37 100.0% 0 .0% 37 100.0%
Pengetahuan Petugas * Implementasi MTBS Crosstabulation
Implementasi MTBS Total
rendah tinggi
Pengetahuan Petugas
kurang+cukup Count 16 10 26
Expected Count 14.1 11.9 26.0
% within Pengetahuan Petugas 61.5% 38.5% 100.0%
baik Count 4 7 11
Expected Count 5.9 5.1 11.0
% within Pengetahuan Petugas 36.4% 63.6% 100.0%
Total Count 20 17 37
Expected Count 20.0 17.0 37.0
% within Pengetahuan Petugas 54.1% 45.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.973(b) 1 .160 Continuity Correction(a) 1.089 1 .297 Likelihood Ratio 1.982 1 .159 Fisher's Exact Test .279 .148 Linear-by-Linear Association
1.919 1 .166
N of Valid Cases 37
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.05.
173
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std. Error(a)
Approx. T(b)
Approx. Sig.
Nominal by Nominal Phi .231 .160
Cramer's V .231 .160 Contingency Coefficient .225 .160
Interval by Interval Pearson's R .231 .160 1.404 .169(c) Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .231 .160 1.404 .169(c)
N of Valid Cases 37
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.
2. CR0SSTAB SIKAP PETUGAS DENGAN IMPLEMENTASI MTBS
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Sikap Petugas * Implementasi MTBS 37 100.0% 0 .0% 37 100.0%
Sikap Petugas * Implementasi MTBS Crosstabulation
Implementasi MTBS
Total
rendah tinggi
Sikap Petugas cukup Count 10 3 13
Expected Count 7.0 6.0 13.0
% within Sikap Petugas 76.9% 23.1% 100.0%
baik Count 10 14 24
Expected Count 13.0 11.0 24.0
% within Sikap Petugas 41.7% 58.3% 100.0%
Total Count 20 17 37
Expected Count 20.0 17.0 37.0
% within Sikap Petugas 54.1% 45.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 4.220(b) 1 .040
Continuity Correction(a) 2.920 1 .087
Likelihood Ratio 4.403 1 .036
Fisher's Exact Test .082 .042
Linear-by-Linear Association 4.106 1 .043
N of Valid Cases 37
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.97.
174
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std. Error(a)
Approx. T(b)
Approx. Sig.
Nominal by Nominal Phi .338 .040
Cramer's V .338 .040
Contingency Coefficient .320 .040
Interval by Interval Pearson's R .338 .148 2.123 .041(c)
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .338 .148 2.123 .041(c)
N of Valid Cases 37
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.
3. CR0SSTAB MOTIVASI KERJA PETUGAS DENGAN IMPLEMENTASI MTBS
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Motivasi Kerja * Implementasi MTBS
37 100.0% 0 .0% 37 100.0
%
Motivasi Kerja * Implementasi MTBS Crosstabulation
Implementasi MTBS Total
rendah tinggi
Motivasi Kerja sedang Count 2 0 2
Expected Count 1.1 .9 2.0
% within Motivasi Kerja 100.0% .0% 100.0%
tinggi Count 18 17 35
Expected Count 18.9 16.1 35.0
% within Motivasi Kerja 51.4% 48.6% 100.0%
Total Count
20 17 37
Expected Count 20.0 17.0 37.0
% within Motivasi Kerja 54.1% 45.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.797(b) 1 .180 Continuity Correction(a) .373 1 .541 Likelihood Ratio 2.558 1 .110 Fisher's Exact Test .489 .285 Linear-by-Linear Association
1.749 1 .186
N of Valid Cases 37
a Computed only for a 2x2 table b 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .92.
175
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std. Error(a)
Approx. T(b)
Approx. Sig.
Nominal by Nominal Phi .220 .180 Cramer's V .220 .180 Contingency Coefficient .215 .180 Interval by Interval Pearson's R .220 .080 1.337 .190(c) Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .220 .080 1.337 .190(c) N of Valid Cases 37
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.
4. CR0SSTAB PELATIHAN MTBS YANG IIKUTI PETUGAS DENGAN
IMPLEMENTASI MTBS
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Pelatihan MTBS * Implementasi MTBS
37 100.0% 0 .0% 37 100.0%
Pelatihan MTBS * Implementasi MTBS Crosstabulation
Implementasi MTBS Total
rendah tinggi
Pelatihan MTBS tidak pernah Count 15 7 22
Expected Count 11.9 10.1 22.0
% within Pelatihan MTBS
68.2% 31.8% 100.0%
pernah Count 5 10 15
Expected Count 8.1 6.9 15.0
% within Pelatihan MTBS
33.3% 66.7% 100.0%
Total Count 20 17 37
Expected Count 20.0 17.0 37.0
% within Pelatihan MTBS
54.1% 45.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 4.361(b) 1 .037
Continuity Correction(a) 3.071 1 .080
Likelihood Ratio 4.432 1 .035
Fisher's Exact Test .050 .039
Linear-by-Linear Association
4.243 1 .039
N of Valid Cases 37
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.89.
176
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std. Error(a)
Approx. T(b)
Approx. Sig.
Nominal by Nominal Phi .343 .037 Cramer's V .343 .037 Contingency Coefficient .325 .037 Interval by Interval Pearson's R .343 .155 2.163 .037(c) Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .343 .155 2.163 .037(c) N of Valid Cases 37
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.
5. CR0SSTAB KEPEMIMPINAN KEPALA PUSKESMAS DENGAN IMPLEMENTASI
MTBS
Case Processing Summary
Cases Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kepemimpinan Kepala Puskesmas * Implementasi MTBS
37 100.0% 0 .0% 37 100.0%
Kepemimpinan Kepala Puskesmas * Implementasi MTBS Crosstabulation
Implementasi MTBS
Total rendah tinggi
Kepemimpinan Kepala Puskesmas
cukup Count 7 1 8
Expected Count 4.3 3.7 8.0
% within Kepemimpinan Kepala Puskesmas
87.5% 12.5% 100.0%
baik Count 13 16 29
Expected Count 15.7 13.3 29.0
% within Kepemimpinan Kepala Puskesmas 44.8% 55.2% 100.0%
Total Count 20 17 37
Expected Count 20.0 17.0 37.0
% within Kepemimpinan Kepala Puskesmas
54.1% 45.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 4.597(b) 1 .032 Continuity Correction(a) 3.040 1 .081 Likelihood Ratio 5.129 1 .024 Fisher's Exact Test .048 .037 Linear-by-Linear Association
4.473 1 .034
N of Valid Cases 37
a Computed only for a 2x2 table b 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.68.
177
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std. Error(a)
Approx. T(b)
Approx. Sig.
Nominal by Nominal Phi .352 .032 Cramer's V .352 .032 Contingency Coefficient .332 .032 Interval by Interval Pearson's R .352 .129 2.228 .032(c) Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .352 .129 2.228 .032(c) N of Valid Cases 37
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.
6. CR0SSTAB KETERSEDIAAN PERALATAN DENGAN IMPLEMENTASI MTBS
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Ketersediaan Peralatan MTBS * Implementasi MTBS
37 100.0% 0 .0% 37 100.0%
Ketersediaan Peralatan MTBS * Implementasi MTBS Crosstabulation
Implementasi MTBS
Total rendah tinggi
Ketersediaan Peralatan MTBS
tidak lengkap Count 9 9 18
Expected Count 9.7 8.3 18.0
% within Ketersediaan Peralatan MTBS 50.0% 50.0% 100.0%
lengkap Count 11 8 19
Expected Count 10.3 8.7 19.0
% within Ketersediaan Peralatan MTBS 57.9% 42.1% 100.0%
Total Count 20 17 37
Expected Count 20.0 17.0 37.0
% within Ketersediaan Peralatan MTBS
54.1% 45.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .232(b) 1 .630 Continuity Correction(a) .023 1 .879 Likelihood Ratio .232 1 .630 Fisher's Exact Test .746 .440 Linear-by-Linear Association
.226 1 .635
N of Valid Cases 37
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.27.
178
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std. Error(a)
Approx. T(b)
Approx. Sig.
Nominal by Nominal Phi -.079 .630 Cramer's V .079 .630 Contingency Coefficient .079 .630 Interval by Interval Pearson's R -.079 .164 -.470 .641(c) Ordinal by Ordinal Spearman Correlation -.079 .164 -.470 .641(c) N of Valid Cases 37
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.
7. CR0SSTAB ALOKASI DANA DENGAN IMPLEMENTASI MTBS
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Alokasi Dana * Implementasi MTBS
37 100.0% 0 .0% 37 100.0%
Alokasi Dana * Implementasi MTBS Crosstabulation
Implementasi MTBS Total
rendah tinggi
Alokasi Dana tidak ada Count 18 12 30
Expected Count 16.2 13.8 30.0
% within Alokasi Dana 60.0% 40.0% 100.0%
ada Count 2 5 7
Expected Count 3.8 3.2 7.0
% within Alokasi Dana 28.6% 71.4% 100.0%
Total Count 20 17 37
Expected Count 20.0 17.0 37.0
% within Alokasi Dana 54.1% 45.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 2.257(b) 1 .133 Continuity Correction(a) 1.169 1 .280 Likelihood Ratio 2.293 1 .130 Fisher's Exact Test .212 .140 Linear-by-Linear Association
2.196 1 .138
N of Valid Cases 37
a Computed only for a 2x2 table b 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.22.
179
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std. Error(a)
Approx. T(b)
Approx. Sig.
Nominal by Nominal Phi .247 .133
Cramer's V .247 .133
Contingency Coefficient .240 .133
Interval by Interval Pearson's R .247 .155 1.508 .141(c)
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .247 .155 1.508 .141(c)
N of Valid Cases 37
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.
8. CR0SSTAB RAPAT KOORDINASI TINGKAT PUSKESMAS DENGAN
IMPLEMENTASI MTBS
Case Processing Summary
Cases Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas * Implementasi MTBS
37 100.0% 0 .0% 37 100.0%
Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas * Implementasi MTBS Crosstabulation
Implementasi MTBS Total
rendah tinggi
Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas
tidak ada Count 15 7 22
Expected Count 11.9 10.1 22.0
% within Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas
68.2% 31.8% 100.0%
ada Count 5 10 15
Expected Count 8.1 6.9 15.0
% within Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas 33.3% 66.7% 100.0%
Total Count 20 17 37
Expected Count 20.0 17.0 37.0
% within Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas 54.1% 45.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 4.361(b) 1 .037 Continuity Correction(a) 3.071 1 .080 Likelihood Ratio 4.432 1 .035 Fisher's Exact Test .050 .039 Linear-by-Linear Association
4.243 1 .039
N of Valid Cases 37
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.89.
180
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std. Error(a)
Approx. T(b)
Approx. Sig.
Nominal by Nominal Phi .343 .037 Cramer's V .343 .037 Contingency Coefficient .325 .037 Interval by Interval Pearson's R .343 .155 2.163 .037(c) Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .343 .155 2.163 .037(c) N of Valid Cases 37
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.
9. CR0SSTAB SISTEM PENCATATAN/ PELAPORAN PELAKSANAAN MTBS
DENGAN IMPLEMENTASI MTBS
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent
Sistem Pencatatan/ Pelaporan * Implementasi MTBS
37 100.0% 0 .0% 37 100.0%
Sistem Pencatatan/ Pelaporan * Implementasi MTBS Crosstabulation
Implementasi MTBS Total
rendah tinggi
Sistem Pencatatan/ Pelaporan
cukup Count 7 12 19
Expected Count 10.3 8.7 19.0
% within Sistem Pencatatan/ Pelaporan 36.8% 63.2% 100.0%
baik Count 13 5 18
Expected Count 9.7 8.3 18.0
% within Sistem Pencatatan/ Pelaporan 72.2% 27.8% 100.0%
Total Count 20 17 37
Expected Count 20.0 17.0 37.0
% within Sistem Pencatatan/ Pelaporan 54.1% 45.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 4.659(b) 1 .031 Continuity Correction(a) 3.343 1 .067 Likelihood Ratio 4.771 1 .029 Fisher's Exact Test .049 .033 Linear-by-Linear Association
4.533 1 .033
N of Valid Cases 37
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.27.
181
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std. Error(a)
Approx. T(b)
Approx. Sig.
Nominal by Nominal Phi -.355 .031 Cramer's V .355 .031 Contingency Coefficient .334 .031 Interval by Interval Pearson's R -.355 .153 -2.245 .031(c) Ordinal by Ordinal Spearman Correlation -.355 .153 -2.245 .031(c) N of Valid Cases 37
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.
10. CR0SSTAB PELAKSANAAN SUPERVISI MTBS OLEH DINKES DENGAN
IMPLEMENTASI MTBS
Case Processing Summary
Cases Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinkes * Implementasi MTBS
37 100.0% 0 .0% 37 100.0%
Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinkes * Implementasi MTBS Crosstabulation
Implementasi MTBS Total
rendah tinggi
Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinkes
rendah Count 4 9 13
Expected Count 7.0 6.0 13.0 % within Pelaksanaan
Supervisi MTBS oleh Dinkes
30.8% 69.2% 100.0%
tinggi Count 16 8 24 Expected Count 13.0 11.0 24.0 % within Pelaksanaan
Supervisi MTBS oleh Dinkes
66.7% 33.3% 100.0%
Total Count 20 17 37 Expected Count 20.0 17.0 37.0 % within Pelaksanaan
Supervisi MTBS oleh Dinkes
54.1% 45.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 4.375(b) 1 .036 Continuity Correction(a) 3.049 1 .081 Likelihood Ratio 4.448 1 .035 Fisher's Exact Test .047 .040 Linear-by-Linear Association
4.257 1 .039
N of Valid Cases 37
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.97.
182
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std. Error(a)
Approx. T(b)
Approx. Sig.
Nominal by Nominal Phi -.344 .036 Cramer's V .344 .036 Contingency Coefficient .325 .036 Interval by Interval Pearson's R -.344 .154 -2.167 .037(c) Ordinal by Ordinal Spearman Correlation -.344 .154 -2.167 .037(c) N of Valid Cases 37
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.
11. CR0SSTAB PELAKSANAAN EVALUASI MTBS OLEH KEPALA PUSKESMAS
DENGAN IMPLEMENTASI MTBS
Case Processing Summary
Cases Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas * Implementasi MTBS
37 100.0% 0 .0% 37 100.0%
Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas * Implementasi MTBS Crosstabulation
Implementasi MTBS Total
rendah tinggi
Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas
rendah Count 10 2 12
Expected Count 6.5 5.5 12.0 % within Pelaksanaan Evaluasi
MTBS oleh Kepala Puskesmas 83.3% 16.7% 100.0%
tinggi Count 10 15 25
Expected Count 13.5 11.5 25.0
% within Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas 40.0% 60.0% 100.0%
Total Count 20 17 37 Expected Count 20.0 17.0 37.0
% within Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas
54.1% 45.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-
sided) Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 6.130(b) 1 .013 Continuity Correction(a) 4.510 1 .034 Likelihood Ratio 6.585 1 .010 Fisher's Exact Test .017 .015 Linear-by-Linear Association
5.965 1 .015
N of Valid Cases 37
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.51.
183
Symmetric Measures
Value Asymp. Std.
Error(a) Approx.
T(b) Approx.
Sig.
Nominal by Nominal Phi .407 .013 Cramer's V .407 .013 Contingency Coefficient .377 .013 Interval by Interval Pearson's R .407 .138 2.636 .012(c) Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .407 .138 2.636 .012(c) N of Valid Cases 37
a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.
184
PETA KOTA SEMARANG
KETERANGAN :
Kota Semarang terletak antara garis 6º50’ - 7º10’ Lintang Selatan dan
garis 109º35’ - 110º50’ Bujur Timur. Luas Wilayah : 373,70 km
2
Jumlah Kecamatan : 16 Kecamatan Jumlah Kelurahan : 177 Kelurahan
Jumlah Puskesmas : 37 Puskesmas
185
DOKUMETASI PENELITIAN
Dokumentasi 1
Wawancara dan Pengisian Kuesioner oleh Responden
Dokumentasi 2
Wawancara dan Pengisian Kuesioner oleh Responden
Lampiran
186
Dokumentasi 3
Pemeriksaan Balita Sakit oleh Petugas
Dokumentasi 4
Pemeriksaan Balita Sakit oleh Petugas
187
Dokumentasi 5
Salah Satu Lokasi Penelitan (Puskesmas Mijen)
Dokumentasi 6
Peralatan yang Digunakan dalam Pemeriksaan MTBS