hubungan pola asuh ibu dengan kemandirian_siap print out
TRANSCRIPT
HUBUNGAN POLA ASUH IBU DENGAN KEMANDIRIAN ANAK USIA PRA SEKOLAH USIA 4 - 6 TAHUN
DI TK MELATI DHARMA WANITA III MOJOROTO KOTA KEDIRI
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh:
RETNO YUNITA SARINIM. 10.054
PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NUSANTARA PGRI KEDIRI2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah proses di mana seseorang mengembangkan kemampuan
sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat di mana dia
hidup, proses sosial di mana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang
terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga dia dapat
memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan
individu yang optimun (Ihsan, 2010: 4). Sedangkan kemandirian adalah
kemampuan mengatur diri sendiri sesuai dengan hak dan kewajiban, tidak
bergantung pada orang lain sampai batas kemampuannya, mampu
bertanggungjawab atas keputusan, tindakan dan perasaannya sendiri serta mampu
membuang pola perilaku yang mengingkari kenyataan.
Keluarga sebagai unit sosial terkecil terdiri dari anggota keluarga seperti
ayah, ibu, dan anak-anak (Dariyo, 2007: 9). Pola asuh orang tua merupakan salah
satu faktor penting dalam mengembangkan ataupun menghambat tumbuhnya
kreativitas. Seorang anak yang dibiasakan dengan suasana keluarga yang terbuka,
saling menghargai, saling menerima dan mendengarkan pendapat keluarganya,
maka ia akan tumbuh menjadi generasi yang terbuka, fleksibel, penuh inisiatif,
dan produktif, suka akan tantangan dan percaya diri. Perilaku kreatif dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik. Kehidupan keluarga merupakan
lingkungan pertama dan utama bagi anak. Oleh karena itu, pola pengasuhan orang
tua menjadi sangat penting bagi anak dan akan mempengaruhi kehidupan anak
hingga ia dewasa (Rachmawati dan Kurniati, 2010: 8).
Data dari TK Melati Dharma Wanita III Mojoroto Kota Kediri jumlah anak
pra-sekolah didapatkan tahun 2009 sebanyak 49 anak, tahun 2010 sebanyak 43
anak dan tahun 2011 sebanyak 46 anak. Selain itu didapat data dari para guru TK
Melati Dharma Wanita Mojoroto Kediri bahwa sebagian besar anak pra-sekolah
belum bisa mandiri sesuai perkembangan usianya (4 – 6 tahun) sesuai dengan
lingkungan sekitarnya, hal ini dibuktikan dengan sebagian besar anak pra-sekolah
belum bisa mengikat tali sepatu sendiri tetapi masih membutuhkan bantuan dari
para guru di sekolah.
Pola asuh orang tua yang menerima, akan membuat anak merasa disayang,
dilindungi, dianggap berharga, dan diberikan dukungan oleh orang tuanya. Pola
asuh ini sangat kondusif mendukung pembentukan kepribadian yang pro-sosial,
percaya diri, dan mandiri namun sangat peduli dengan lingkungannya. Sementara
itu, pola asuh yang menolak dapat membuat anak merasa tidak diterima, tidak
disayang, dikecilkan, bahkan dibenci oleh orang tuanya. Anak-anak yang
mengalami penolakan dari orang tuanya akan menjadi pribadi yang tidak mandiri,
atau kelihatan mandiri tetapi tidak mempedulikan orang lain. Dampak negatif
yang lain, anak akan mudah tersinggung, dan berpandangan negatif terhadap
orang lain, bahkan terhadap kehidupannya, bersikap sangat agresif kepada orang
lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya berharga (Wibowo, 2012: 79).
Orang tua harus mendorong anak untuk berani mencoba mengemukakan
pendapat, gagasan, melakukan sesuatu atau mengambil keputusan sendiri (asalkan
tidak membahayakan atau merugikan orang lain atau diri sendiri. Jangan
mengancam atau menghukum anak kalau pendapat atau perbuatannya dianggap
salah oleh orang tua. Anak tidak salah, mereka umumnya belum tahu, dalam
tahap belajar. Selain itu orang tua harus mendorong kemandirian anak dalam
melakukan sesuatu, menghargai usaha-usaha yang telah dilakukannya, memberi
pujian untuk hasil yang telah dicapainya walau sekecil apapun. Cara-cara ini
merupakan salah satu unsur penting pengembangan kreativitas anak (Ayuningsih,
2010: 91).
Berdasarkan hal di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
“Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Kemandirian Anak Pra Sekolah di TK Melati
Dharma Wanita III Mojoroto Kota Kediri”.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dianalisa
pada penelitian ini adalah “Adakah hubungan pola asuh ibu dengan kemandirian
anak prasekolah di TK Melati Dharma Wanita III Mojoroto Kota Kediri?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengidentifikasi hubungan pola asuh ibu dengan kemandirian anak
prasekolah di TK Melati Dharma Wanita III Mojoroto Kota Kediri?”
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi pola asuh ibu yang digunakan pada anak usia pra
sekolah di TK Melati Dharma Wanita III Mojoroto Kota Kediri.
b. Mengidentifikasi kemandirian anak prasekolah di TK Melati Dharma
Wanita III Mojoroto Kota Kediri.
c. Menganalisa hubungan pola asuh ibu dengan kemandirian anak pra
sekolah di TK Melati Dharma Wanita III Mojoroto Kota Kediri.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Ibu atau Orang tua
Hasil penelitian ini diharapkan meningkatkan pengetahuan pada ibu
tentang pola asuh dalam memandirikan anak, sehingga anak bisa memenuhi
kebutuhan sehari-hari secara mandiri.
2. Bagi Guru
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi guru
TK untuk mengajarkan kemandirian pada anak selama berada di sekolah dan
diterapkan sampai di rumah.
3. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman untuk penerapan ilmu yang
telah di dapat selama kuliah, dalam rangka pemahaman pola asuh ibu tentang
kemandirian anak prasekolah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Pola Asuh
1. Definisi pola asuh
Pola asuh atau parenting style adalah salah satu faktor yang secara
signifikan turut membentuk karakter anak. Hal ini didasari bahwa pendidikan
dalam keluarga merupakan pendidikan utama dan pertama bagi anak, yang
tidak bisa digantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Keluarga harmonis,
rukun dan damai, akan tercermin dari kondisi psikologis dan karakter anak-
anaknya. Begitu sebaliknya, anak kurang berbakti, tidak hormat, bertabiat
buruk, sering melakukan tindakan di luar moral kemanusiaan atau berkarakter
buruk, lebih banyak disebabkan oleh ketidakharmonisan dalam keluarganya
yang bersangkutan (Wibowo, 2012: 75).
Pola asuh orang tua merupakan salah satu faktor penting dalam
mengembangkan ataupun menghambat tumbuhnya kreativitas. Seorang anak
yang dibiasakan dengan suasana keluarga yang terbuka, saling menghargai,
saling menerima dan mendengarkan pendapat keluarganya, maka ia akan
tumbuh menjadi generasi yang terbuka, fleksibel, penuh inisiatif, dan
produktif, suka akan tantangan dan percaya diri. Perilaku kreatif dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik. Kehidupan keluarga merupakan lingkungan
pertama dan utama bagi anak. Oleh karena itu, pola pengasuhan orang tua
menjadi sangat penting bagi anak dan akan mempengaruhi kehidupan anak
hingga ia dewasa (Rachmawati dan Kurniati, 2010: 8).
2. Macam-macam pola asuh
a. Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter ini ciri utamanya adalah orang tua membuat
hampir semua keputusan. Anak-anak mereka dipaksa tunduk, patuh, dan
tidak boleh bertanya apalagi membantah. Iklim demokratis dalam keluarga
sama sekali tidak terbangun. Laksana dalam dunia militer, anak tidak
boleh membantah perintah sang komadan/ orang tua meski benar atau
salah. Secara lengkap, ciri khas pola asuh otoriter ini diantaranya:
1) Kekuasaan orang tua sangat dominan
2) Anak tidak diakui sebagai pribadi
3) Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat
4) Orang tua akan sering menghukum jika anak tidak patuh (Wibowo,
2012: 76)
Kondisi tersebut mempengaruhi perkembangan diri pada anak.
Banyak anak yang dididik dengan pola asuh otoriter ini, cenderung
tumbuh berkembang menjadi pribadi yang suka membantah,
memberontak dan berani melawan arus terhadap lingkungan sosial.
Kadang-kadang anak tidak mempunyai sikap peduli, antipati, pesimis dan
anti sosial. Hal ini, akibat dari tidak adanya kesempatan bagi anak untuk
mengemukakan gagasan, ide, pemikiran maupun insentifnya. Apapun
yang dilakukan oleh anak tidak pernah mendapat perhatian, penghargaan
dan penerimaan yang tulus oleh lingkungan keluarga atau orang tuanya
(Dariyo, 2007: 206).
b. Pola asuh permisif
Pola asuh permisif memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Orang tua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat
2) Dominasi pada anak
3) Sikap longgar atau kebebasan dari orang tua
4) Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orang tua
5) Kontrol dan perhatian orang tua terhadap anak sangat kurang, bahkan
tidak ada (Wibowo, 20012: 77).
Bila anak mempu mengatur seluruh pemikiran, sikap dan
tindakannya dengan baik, kemungkinan kebebasan yang diberikan oleh
orang tua dapat dipergunakan untuk mengembangkan kreativitas dan
bakatnya, sehingga ia menjadi seorang individu yang dewasa, inisiatif dan
kreatif. Tetapi hal itu tak banyak ditemui dalam kenyataan, karena
ternyata sebagian besar anak tidak mampu menggunakan kesempatan itu
dengan sebaik-baiknya. Mereka justru menyalahgunakan suatu
kesempatan, sehingga cenderung melakukan tindakan-tindakan yang
melanggar nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan sosial. Dengan
demikian perkembangan diri anak cenderung menjadi negatif (Dariyo,
2007: 207).
c. Pola asuh demokratis
Pola asuh demokratis ialah gabungan antara pola asuh permisif dan
otoriter dengan tujuan untuk menyeimbangkan pemikiran, sikap dan
tindakan antara anak dan orang tua. Baik orang tua maupun anak
mempunyai kesempatan yang sama untuk menyampaikan suatu gagasan,
ide atau pendapat untuk mencapai suatu keputusan. Dengan demikian
orang tua dan anak dapat berdiskusi, berkomunikasi atau berdebat secara
konstruktif, logis, rasional demi mencapai kesepakatan bersama. Karena
hubungan komunikasi antara orang tua dengan anak dapat berjalan
menyenangkan, maka terjadi pengembangan kepribadian yang mantap
pada diri anak. Anak makin mandiri, matang dan dapat menghargai diri
sendiri sendiri dengan baik. Pola asuh demokratis akan berjalan secara
efektif bila ada 3 syarat yaitu:
1) Orang tua dapat menjalankan fungsi sebagai orang tua yang memberi
kesempatan kepada anak untuk mengemukakan pendapatnya.
2) Anak memiliki sikap yang dewasa yakni dapat memahami dan
menghargai orang tua sebagai tokoh utama yang tetap memimpin
keluarganya.
3) Orang tua belajar memberi kepercayaan dan tanggungjawab terhadap
anaknya (Dariyo, 2007: 208).
Pola asuh demokratis bertolak belakang dengan pola asuh otoriter.
Orang tua memberikan kebebasan kepada putra-putrinya untuk
berpendapat dan menentukan masa depannya. Secara lengkap, pola asuh
demokratis ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Orang tua senantiasa mendorong anak untuk membicarakan apa yang
menjadi cita-cita, harapan dan kebutuhan mereka
2) Pada pola asuh demokratis ada kerjasama yang harmonis antara orang
tua dan anak
3) Anak diakui sebagai pribadi, sehingga segenap kelebihan dan potensi
mendapat dukungan serta dipupuk dengan baik
4) Karena sifat orang tua yang demokratis, mereka akan membimbing
dan mengarahkan anak-anak mereka
5) Ada kontrol dari orang tua yang tidak kaku (Wibowo: 2012: 77)
d. Pola Asuh Indulgent (Penelantaran)
Karakter pola asuh penelantaran mempunyai ciri sebagai berikut:
1) Menelantarkan secara psikis.
2) Kurang memperhatikan perkembangan psikis anak.
3) Anak dibiarkan berkembang sendiri.
Efek pola asuh indulgent terhadap perilaku belajar anak :
1) Anak dengan pola asuh ini paling potensial telibat dalam kenakalan
remaja seperti penggunaan narkoba, merokok diusia dini dan tindak
kriminal lainnya.
2) Impulsive dan agresif serta kurang mampu berkonsentrasi pada suatu
aktivitas atau kegiatan (RaiSamba, 2012)
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh
a. Pendidikan
Pendidikan adalah proses di mana seseorang mengembangkan
kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam
masyarakat di mana ia hidup, proses sosial di mana orang dihadapkan
pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang
datang dari sekolah), sehingga dia dapat memperoleh atau mengalami
perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimun
(Ihsan, 2010: 4).
b. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik
lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Menurut Mariner yang dikutip
dari Nursalam (2003) lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada
disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi
perkembangan dan perilaku orang tau kelompok (Wawan dan Dewi, 2010:
18).
c. Sosial budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat
mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi (Wawan dan Dewi,
2010: 18).
B. Konsep Kemandirian
1. Definisi kemandirian
Menurut Lie (2004) kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan
kegiatan atau tugas sehari-hari sesuai dengan tahapan perkembangan dan
kapasitasnya. Sedangkan menurut Mu’tadin (2002) kemandirian merupakan
suatu sikap individu yang diperoleh secara komulatif selama perkembangan,
dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi
berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu mampu berfikir dan
bertindak sendiri. Dengan demikian seseorang dapat memilih jalan hidupnya
untuk berkembang yang lebih mantap (Purno, 2007).
2. Klasifikasi tingkat kemandirian
a. Minimal care
Mandiri atau hampir tidak memerlukan bantuan, mampu makan dan
minum sendiri, mampu berjalan sendiri, mampu berpakaian dan
berdandan sendiri, mampu BAB dan BAK tanpa bantuan.
b. Partial care
Memerlukan bantuan orang lain sebagian, membutuhkan bantuan
untuk berjalan, membutuhkan bantuan makan (menyuapi), membutuhkan
dalam berpakaian dan berdandan, membutuhkan bantuan BAB dan BAK.
c. Total care
Memerlukan bantuan orang lain sepenuhnya dan memerlukan waktu
yang lama, membutuhkan dua orang atau lebih dalam berjalan,
membutuhkan bantuan penuh untuk berpakaian dan berdandan,
membutuhkan bantuan penuh dalam makan, memrlukan bantuan penuh
dalam mandi, membutuhkan bantuan penuh dalam BAB dan BAK
3. Bentuk-bentuk kemandirian anak pra-sekolah
Bentuk-bentuk kemandirian yang perlu dikuasai anak pra sekolah adalah
sebagai berikut:
a. Usia 3-4 Tahun
1) Sikat gigi sendiri meski belum sempurna
Ajak anak menyiapkan sikat gigi, odol dan gelas berisi air
matang untuk berkumur. Dengan arahan orangtua, biarkan anak
menggosok sendiri giginya.
2) Buka-pakai baju kaus dan celana berkaret
Di akhir usia 3 tahun, anak dapat membedakan mana bagian
depan dan mana bagian belakang baju kausnya sehingga tidak lagi
terbolak-balik.
Ajak anak menyediakan baju dan celana yang akan dipakai.
Biarkan ia membuka baju/celana dan memakainya sendiri. Tak
masalah jika dia memakai baju dari bagian tangannya terlebih dulu
atau dari bagian kepalanya, tergantung mana yang lebih disukai anak.
Begitupun untuk celana, boleh kaki kiri atau kanan duluan, suka-suka
si kecil. Biasanya anak akan memakai celana dalam posisi duduk, baru
kemudian berdiri setelah kedua kakinya masuk ke dalam masing-
masing lubang celana.
3) Memakai sepatu berperekat
Sediakan sepatu dengan “kancing” berperekat, sehingga mudah
dilepas-pasang oleh si kecil. Biarkan anak memakai dan membuka
sepatunya sendiri. Umumnya anak 3 tahun sudah dapat memasukkan
kakinya ke dalam sepatu.
4) Mandi sendiri dengan arahan
Minta anak menyiram badannya dengan air, lalu menyabuninya.
Sebaiknya gunakan sabun cair. Ingatkan bila ada bagian yang terlupa.
Untuk menyabuni tubuh bagian belakang, si kecil masih butuh
dibantu. Setelah itu, minta ia membilas badannya. Beri tahu jika masih
ada busa sabun yang tersisa di badannya, agar ia menyiramkan air ke
bagian tersebut. Usai mandi, minta anak mengeringkan badannya
dengan handuk.
4) Pipis di toilet
Begitu anak bilang ingin pipis, minta ia segera ke toilet dan
membuka celananya sendiri. Usai pipis, ajari anak untuk membasuh
alat kelaminnya dengan menyiramkan air pakai gayung atau
semprotan air. Anak sudah bisa kok memegang dan menyendok air
dengan gayung kecil, juga menekan semprotan air sendiri.
5) Mencuci tangan tanpa dibantu
Setiap kali hendak makan atau setelah melakukan suatu aktivitas
seperti bermain dan buang air, biasakan anak untuk mencuci
tangannya dengan sabun hingga bersih. Ajak anak ke wastafel atau ke
tempat keran air. Biarkan ia sendiri yang membuka keran air dan
membasahi tangannya di bawah air yang mengalir, menyabuninya,
sebaiknya menggunakan sabun cair, lalu membilasnya. Setelah itu,
mengeringkannya dengan lap bersih yang telah tersedia.
6) Sediakan peralatan makan khusus untuk anak baik dalam bentuk,
ukuran maupun bahannya yang tak mudah pecah. Orangtua bisa
membantu menaruhkan makanan sesuai porsi makan si anak, baik
berupa nasi dengan lauk pauknya, mie, dan sebagainya.
7) Menuang air tanpa tumpah dan minum sendiri dari gelas tanpa gagang
maupun cangkir bergagang.
Sediakan gelas/cangkir dan teko/botol kecil berisi air, letakkan di
tempat yang mudah dijangkau anak. Setiap kali anak minta minum,
suruh ia untuk menuangkan air minum dari teko/botol tersebut ke
dalam gelas/cangkirnya. Ingat, semua peralatan tersebut terbuat dari
bahan yang tak mudah pecah. Sebagai latihan menuang air, sangat
baik bila orangtua juga menyediakan mainan seperangkat alat minum
teh, sehingga anak bisa bermain tuang air ke dalam cangkir-cangkir
kecilnya. Ingatkan untuk tidak terlalu penuh menuangnya agar tidak
tumpah.
8) Membereskan mainan usai bermain
Sediakan beberapa kotak dengan warna berbeda sebagai wadah
penyimpan mainan. Setiap kali usai bermain, ajak anak menyimpan
kembali mainannya ke dalam kotak-kotak tersebut. Bila ada mainan
yang tercecer, minta anak untuk mengambil mainan itu dan menaruh
ke dalam wadahnya.
9) Buka-tutup pintu, baik dengan pegangan yang diputar maupun ditekan
ke bawah. Anak juga dapat memutar anak kunci.
Minta anak untuk membukakan pintu ketika terdengar suara
ketukan di pintu atau menutup pintu kamar ketika ia habis keluar-
masuk kamar. Hindari menggantungkan anak kunci di sisi dalam pintu
untuk menghindari risiko anak terkunci sendirian di dalam
ruangan/kamar.
b. Usia 4-6 Tahun
Selain kemampuan-kemampuan yang sudah dikuasai di usia 3-4
tahun, maka di usia 4-5 tahun anak seharusnya dapat pula melakukan
aktivitas-aktivitas berikut ini:
1) Menggunakan pisau untuk memotong makanan.
Berikan pisau yang tidak terlalu tajam. Di atas piring, letakkan
makanan yang mudah dipotong seperti sejuring pepaya yang sudah
dikupas, ubi atau kentang rebus, dan lainnya. Tunjukkan bagaimana
cara memotongnya, lalu minta anak untuk melakukannya sendiri. Bila
anak mengalami kesulitan, bantu dengan cara memegang tangannya.
Bisa juga, saat ibu sedang memotong-motong sayuran yang
hendak dimasak, libatkan si kecil. Atau, ajak anak bermain masak-
masakan, misal memotong tahu yang dibuat dari lilin mainan.
2) Buka-pakai baju berkan-cing depan
Latih anak membuka kancing dan memasangkannya dengan
menggunakan kancing agak besar. Tunjukkan bagaimana caranya, lalu
minta anak untuk melakukannya sendiri. Bila anak mengalami
kesulitan, bantu dengan memegang tangannya. Setelah anak terampil
buka-pasang kancing besar, barulah latih dia buka-pasang kancing dari
bajunya.
3) Buka-tutup celana beresleting
Contohkan bagaimana cara membuka dan menutup resleting, lalu
minta anak melakukannya sendiri. Bila mengalami kesulitan barulah
dibantu dengan memegang tangannya.
4) Menalikan sepatu
Tunjukkan bagaimana cara mengikat dan membuka tali sepatu.
Minta anak melakukannya sambil dibantu. Sering-seringlah mengajak
anak melakukan latihan ikat-buka tali sepatu.
5) Mandi sendiri tanpa arahan.
Anak sudah bisa mandi sendiri dengan menggunakan gayung
mandi maupun shower tanpa arahan. Begitupun membersihkan
badannya dengan sabun. Meski demikian, tak ada salahnya orangtua
sesekali mengontrol cara anak mandi dan menyabuni badan.
6) Cebok sehabis buang air kecil/besar
Khusus anak perempuan, ajarkan cara membasuh alat
kelaminnya dari arah depan ke belakang dan bukan sebaliknya,
terutama usai buang air besar. Jelaskan alasannya dengan bahasa
sederhana, yakni agar kotoran dan kuman yang mungkin tertinggal di
anus tidak terbawa ke vagina. Setelah itu, minta anak untuk
mengeringkan alat kelaminnya dengan handuk kecil yang bersih agar
tidak lembap. Saat memakai celana kembali, ingatkan anak untuk
berpegangan pada dinding kamar mandi agar tidak terjatuh akibat
ketidakseimbangan tubuhnya.
7) Menyisir rambut
Setiap usai mandi, minta anak untuk menyisir sendiri rambutnya.
Bagi si Upik yang berambut panjang, tentu masih perlu bantuan
orangtua bila rambutnya hendak diikat kuda ataupun dikepang
(Basuki, 2012)
4. Fakor-faktor yang mempengaruhi kemandirian anak
Menurut Soetjiningsih faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemandirian
anak usia sekolah adalah sebagai berikut:
a. Faktor internal merupakan faktor yang ada dari diri anak itu sendiri,
meliputi:
1) Faktor emosi yang ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi
dan tidak terganggunya kebutuhan emosi anak.
2) Faktor intelektual yang ditunjukkan dengan kemampuan untuk
mengatasi masalah yang dihadapi anak.
b. Faktor eksternal merupakan faktor yang datang atau ada dari luar diri anak
itu sendiri, meliputi:
1) Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapainya
atau tidak tingkat kemandirian anak usia prasekolah. Pada usia ini
anak memerlukan kebebasan untuk bergerak kesana-kemari dan
mempelajari lingkungan.
2) Karekteristik sosial dapat mempengaruhi kemandirian anak, misalnya:
tingkat kemandirian abak dari keluarga miskin berbeda dengan anak
dari keluarga kaya.
3) Stimulasi, anak yang mendapat stimulasi terarah dan teratur akan lebih
cepat mandiri dibanding dengan anak yang kurang atau tidak
mendapat stimulasi
4) Pola asuh, anak dapat mandiri akan membutuhkan kesempatan,
dukungan dan dorongan. Peran orang tua sebagai pengasuh sangat
diperlukan bagi anak sebagai penguat perilaku yang telah
dilakukannya. Oleh karena itu pola pengasuhan merupakan hal yang
penting dalam pembentukan kemandirian anak.
5) Cinta dan kasih sayang kepada anak hendaknya diberikan sewajarnya
karena ini akan mempengaruhi kemandirian anak bila diberikan
berlebihan akan menjadi anak kurang mandiri.
6) Kualitas informasi anak-orang tua yang dipengaruhi pendidikan orang
tua, dengan pendidikan yang baik informasi dapat diberikan kepada
anak karena orang tua dapat menerima informasi dari luar terutama
tentang cara meningkatkan kemandirian anak.
7) Status pekerjaan ibu, apabila ibu bekerja diluar rumah untuk mencari
nafkah maka ibu tidak dapat memantau kemandirian anak sesuai
perkembangan usianya. Sedangkan ibu yang tidak bekerja bisa
memantau langsung kemandirian anak dan memandirikan anaknya
(Wulandari, 2007).
C. Konsep Anak Pra-sekolah
1. Definisi
Masa prasekolah merupakan fase perkembangan individu pada usia 2-6
tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria dan
wanita, dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training), dan mengenal
beberapa hal yang dianggap berbahaya (mencelakakan dirinya) (Mansur,
2011: 78).
Menurut Munandar masa prasekolah merupakan masa-masa untuk
bermain dan mulai memasuki taman kanak- kanak. Waktu bermain
merupakan sarana untuk tumbuh dalam lingkungan dan kesiapannya dalam
belajar formal. Pada tahap perkembangan anak usia prasekolah ini, anak mulai
menguasai berbagai ketrampilan fisik, bahasa, dan anak pun mulai memiliki
rasa percaya diri untuk mengeksplorasi kemandiriannya. Pendidikan
prasekolah merupakan suatu pola pendidikan formal dan informal yang di
lakukan dari usia lahir sampai umur enam tahun sebelum memasuki usia
sekolah dasar (Wibowo, 2012).
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak
a. Faktor instrinsik
Faktor instrinsik yang mempengaruhi kegagalan berkembang terutama
berkaitan dengan terjadinya penyakit pada anak, yaitu:
1) Kelainan kromosom (misalnya sindroma Down dan sindroma Turner)
2) Kelainan pada sistem endokrin, misalnya kekurangan hormon tiroid,
kekurangan hormon pertumbuhan atau kekurangan hormon lainnya.
3) Kerusakan otak atau sistem saraf pusat yang bisa menyebabkan
kesulitan dalam pemberian makanan pada bayi dan menyebabkan
keterlambatan pertumbuhan.
4) Kelainan pada sistem jantung dan pernafasan yang bisa menyebabkan
gangguan mekanisme penghantaran oksigen dan zat gizi ke seluruh
tubuh
5) Anemia atau penyakit darah lainnya
6) Kelainan pada sistem pencernaan yang bisa menyebabkan malabsorbsi
atau hilangnya enzim pencernaan sehingga kebutuhan gizi anak tidak
terpenuhi.
Menurut Soetjiningsih secara umum terdapat dua faktor yang
mempengaruhi tumbuh kembang anak yaitu faktor genetik (instrinsik) dan
faktor lingkungan (ekstrinsik). Faktor genetik merupakan modal dasar
dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Faktor ini
adalah bawaan yang normal dan patologis, jenis kelamin, suku bangsa/
bahasa, gangguan pertumbuhan di negara maju lebih sering diakibatkan
oleh faktor ini, sedangkan di negara yang sedang berkembang, gangguan
pertumbuhan selain diakibatkan oleh faktor genetik juga faktor lingkungan
yang kurang memadai untuk tumbuh kembang anak yang optimal.
b. Faktor ekstrinsik
1) Faktor psikis dan sosial (misalnya tekanan emosional akibat penolakan
atau kekerasan dari orang tua)
2) Depresi bisa menyebabkan nafsu makan anak berkurang. Depresi bisa
terjadi jika anak tidak mendapatkan rangsangan sosial yang cukup,
seperti yang dapat terjadi pada bayi yang diisolasi dalam suatu
inkubator atau pada anak yang kurang mendapatkan perhatian dari
orang tuanya.
3) Faktor ekonomi (dapat mempengaruhi masalah pemberian makanan
kepada anak, tempat tinggal dan perilaku orang tua). Keadaan
ekonomi yang pas-pasan dapat menyebabkan anak tidak memperoleh
gizi yang cukup untuk perkembangan dan pertumbuhannya.
4) Faktor lingkungan (termasuk pemaparan oleh infeksi, parasit atau
racun).
Lingkungan merupakan faktor yang menentukan tercapai atau tidaknya
potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan
tercapainya potensi bawaan sedangkan lingkungan yang kurang baik akan
menghambatnya. Lingkungan ini merupakan lingkungan “bio-psiko-
fisiko-sosial” yang mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari
konsepsi sampai akhir hayatnya.
c. Faktor pendukung
Faktor-faktor pendukung perkembangan anak, antara lain:
1) Terpenuhi kebutuhan gizi pada anak tersebut
2) Peran aktif orang tua
3) Lingkungan yang merangsang semua aspek perkembangan anak
4) Peran aktif anak
5) Pendidikan orang tua
3. Perkembangan dalam masa prasekolah
a. Perkembangan fisik
Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan
berikutnya. Dengan meningkatnya pertumbuhan tubuh, baik yang
menyangkut ukuran berat dan tinggi, maupun kekuatannya,
memungkinkan anak untuk dapat lebih mengembangkan ketrampilan
fisiknya dan mengeksplorasi lingkungannya dengan atau tanpa bantuan
dari orang tuanya. Perkembangan sistem saraf pusat memberikan kesiapan
kepada anak untuk dapat lebih meningkatkan pemahaman dan penguasaan
terhadap tubuhnya.
Proporsi tubuhnya berubah secara dramatis, seperti pada usia tiga
tahun, rata-rata tingginya sekitar 80-90 cm, dan beratnya sekitar 10-13 kg,
sedangkan pada usia lima tahun tingginya mencapai 100-110 cm. Tulang
kakinya tumbuh dengan cepat, namun pertumbuhan tengkoraknya tidak
secepat usia sebelumnya. Pertumbuhan tulang-tulangnya semakin besar
dan kuat. Pertumbuhan giginya semakin lengkap/ komplit, sehingga dia
sudah menyenangi makanan padat, seperti daging, sayuran, buah-buahan,
dan kacang-kacangan (Mansur, 2011: 78).
b. Perkembangan emosi
Pola emosi umum yang terjadi pada masa anak-anak antara lain
adalah sebagai berikut:
1) Takut, yaitu perasaan terancam oleh suatu objek yang dianggap
membahayakan.
2) Cemas, yaitu perasaan takut yang bersifat khayalan, yang tidak ada
objeknya.
3) Marah, merupakan perasaan tidak senang, atau benci baik terhadap
orang lain, diri sendiri atau objek tertentu yang diwujudkan dalam
bentuk verbal (kata-kata kasar/makian/ sumpah serapah) atau
nonverbal (seperti mencuit, memukul, menampar, menendang, dan
merusak).
4) Cemburu, yaitu perasaan tidak senang terhadap orang lain yang
dipandang telah merebut kasih sayang dari seseorang yang telah
mencurahkan kasih sayang kepadanya.
5) Kegembiraan, kesenangan, dan kenikmatan, yaitu perasaan yang
positif, nyaman karena terpenuhinya keinginannya.
6) Kasih sayang, yaitu perasaan senang untuk memberikan perhatian atau
perlindungan terhadap orang lain, hewan atau bend.
7) Fobia, yaitu perasaan takut terhadap objek yang tidak patut ditakutinya
(takut yang abnormal) seperti takut ulat, kecoa, dan lain-lain.
8) Ingin tahu, yaitu perasaan ingin mengenal, mengetahui segala sesuatu
atau objek-objek, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik.
c. Perkembangan bahasa
Beberapa perkembangan bahasa menurut Clara dan William Sterm, adalah
sebagai berikut:
1) Prastadium (tahun pertama)
Kata pertama yang diucapkan anak dimulai dari suara-suara raban
seperti yang kita dengar keluar dari mulut seorang bayi.
2) Kalimat satu kata (12-18 bulan)
Satu perkataan dimaksudkan untuk mengungkapkan satu perasaan atau
satu keinginan.
3) Masa memberi nama (18-24 bulan)
Perkembangan bahasa ini seakan-akan terhenti selama beberapa bulan
karena anak memusatkan perhatiannya untuk belajar berjalan.
4) Masa kalimat tunggal (24-30 bulan)
Bahasa dan bentuk kalimat makin baik dan sempurna. Anak telah
menggunakan kalimat tunggal. Sekarang ia mulai menggunakan
awalan dan akhiran yang membedakan bentuk dana warna bahasanya.
5) Masa kalimat majemuk (>30 bulan)
Anak mengucapkan kalimat yang makin panjang dan bagus. Anak
telah mulai menyatakan pendapatnya dengan kalimat majemuk.
Sesekali ia menggunakan kata perangkai, akhirnya timbullah anak
kalimat.
d. Perkembangan bermain
Usia anak prasekolah dapat dikatakan sebagai masa bermain, karena
setiap waktunya diisi dengan kegiatan barmain. Kegiatan bermain yang
dimaksud adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan kebebasan batin
untuk memperoleh kesenangan.
e. Perkembangan kepribadian
Pada masa ini berkembang kesadaran dan kemampuan untuk
memenuhi tuntutan dan tanggung jawab. Oleh karena itu, agar tidak
berkembang sikap membandel anak yang kurang terkontrol, pihak orang
tua perlu menhadapinya secara bijaksana, penuh kasih sayang, dan tidak
bersikap keras. Meskipun mereka mulai menampakkan keinginan untuk
bebas dari tuntutan orang tua, namun pada dasarnya mereka masih sangat
membutuhkan perasaan, asuhan, bimbingan, atau curahan kasih sayang
orang tua.
f. Perkembangan moral
Pada masa ini anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas
terhadap kelompok sosialnya (orang tua, saudara dan teman sebaya).
Melalui pengalaman berinteraksi dengan temannya, anak belajar
memahami tentang kegiatan atau perilaku mana yang baik/ boleh/
diterima/ disetujui atau buruk/ tidak boleh. Berdasarkan pengalamannya
itu, maka pada masa ini anak harus bertingkah laku (seperti mencuci
tangan sebelum makan, menggosok gigi sebelum tidur) (Mansur, 2011:
78).
D. Kerangka Konseptual
Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang
ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan
(Notoatmodjo, 2005: 69).
Otoriter
Faktor-faktor pola asuh:1. Faktor
pendidikan2. Faktor
lingkungan3. Faktor sosial
budayaKemandirian
Faktor internal:1. Emosi2. IntelektualFaktor eksternal:1) Lingkungan2) Karekteristik
sosial 3) Stimulasi 4) Pola asuh5) Cinta dan kasih
sayang 6) Kualitas informasi
anak-orang tua 7) Status pekerjaan
ibu
Minimal care
Parsialcare
Total care
Anak pra-sekolah
Pola asuh ibu
Permisif Demokratis
Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Berpengaruh
: Berhubungan
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Kemandirian Anak Pra-Sekolah di TK Melati Dharma Wanita III Mojoroto Kota Kediri
E. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dri rumusan masalah atau pertanyaan
penelitian. Menurut La Biondo-Wood dan Haber (1994) hipotesis adalah suatu
pernyataan asumsi tentang hubungan antara dua atau lebih variabel yang
diharapkan bisa menjawab suatu pertanyaan dalam penelitian (Nursalam, 2008:
56).
Ho : Tidak ada hubungan pola asuh ibu dengan kemandirian anak prasekolah di
TK Melati Dharma Wanita III Mojoroto Kota Kediri.
Penelantaran
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data penelitiannya (Arikunto, 2006: 160). Pada bab ini akan disajikan
antara lain:
A. Desain Penelitian
Desain atau rancangan penelitian merupakan hasil akhir dari suatu tahap
keputusan yang dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu
penelitian bisa diterapkan (Nursalam, 2008: 77). Sedangkan menurut Alimul
(2003), desain penelitian merupakan bentuk rancangan yang digunakan dalam
melakukan prosedur penelitian.
Desain penelitian yang digunakan adalah korelasi, dimana penelitian ini
bertujuan untuk menentukan faktor apakah yang terjadi sebelum atau bersama-
sama tanpa adanya suatu intervensi dari peneliti (Nursalam, 2008: 80). Rancangan
penelitian yang digunakan cross sectional, yaitu peneliti hanya melakukan
observasi dan pengukuran variabel pada satu saat tertentu saja, setiap subjek
hanya dikenai satu kali pengukuran tanpa dilakukan tindak lanjut atau
pengulangan penelitian (Saryono, 2008: 49).
B. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 2012.
2. Tempat Penelitian
Lokasi penelitian di di TK Melati Dharma Wanita Mojoroto Kota Kediri.
C. Kerangka Kerja
Kerangka kerja merupakan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam
penelitian yang ditulis dalam bentuk kerangka atau alur penelitian (Alimul, 2003:
58).
di Puskesmas Mrican Kota Kediri
Penelitian MasalahHubungan pola asuh ibu dengan pembentukan kemandirian anak prasekolah
di TK Melati Dharma Wanita Mojoroto Kota Kediri
PopulasiSemua ibu dan semua anak pra sekolah usia 4-6 thn di Tkmelati darmawanita Wanita Mojoroto Kota Kediri sebanyak 46 anak
Tehnik sampling“Consecutive sampling”
SampelSebagian ibu dan anak pra sekolah usia 4-6 tahun di TK Melati Dharma
Wanita Mojoroto Kota Kediri yang sesuai dengan kriteria inklusi
Instrumen dan Pengumpulan DataIbu yang sesuai dengan kriteria inklusi diberi penjelasan dan menandatangani
informed consent kemudian diberi kuesioner untuk diisi setelah selesai dikumpulkan kembali pada peneliti
Diagram 3.1 Kerangka Kerja Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Pembentukan Kemandirian Anak Prasekolah di TK Melati Dharma Wanita Mojoroto Kota Kediri
D. Samping Desain
1. Populasi penelitian
Populasi adalah setiap subyek yang memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan (Nursalam, 2008: 89). Sedangkan menurut Notoatmodjo (2005: 79)
populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti. Populasi
dalam penelitian adalah semua ibu dan anak prasekolah di TK Melati Dharma
Wanita III Mojoroto Kota Kediri sebanyak 46 anak.
2. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian populasi terjangkau yang dapat digunakan sebagai
subjek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2008: 91). Sedangkan menurut
Notoatmodjo (2005: 79) sampel adalah sebagian yang diambil dari
Analisa DataSetelah data terkumpul kemudian ditabulasikan dan dikelompokkan sesuai dengan sub variabel yang diteliti, kemudian untuk mencari
hubungan menggunakan uji statistik spearman rank
Hasil
Kesimpulan
keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi.
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian ibu dan anak prasekolah di TK
Melati Dharma Wanita III Mojoroto Kota Kediri yang sesuai dengan kriteria
inklusi.
Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian dapat
mewakili dalam sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel
(Alimul, 2003: 35). Kriteria inklusi dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1) Ibu yang mempunyai anak prasekolah
2) Ibu yang mempunyai anak sekolah di TK Melati Dharma Wanita III
Mojoroto Kota Kediri
3) Ibu yang bersedia menjadi responden
4) Ibu yang bisa membaca dan menulis
3. Sampling Penelitian
Sampling adalah proses penyeleksi dari populasi untuk dapat mewakili
populasi. Teknik sampling merupakan cara-cara yang tepat dalam
pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai
dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2008: 93).
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik “consecutive
sampling”, di mana teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel
diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan/ masalah
dalam penelitian), sehingga sampel dapat mewakili karakteristik populasi
yang telah dikenal sebelumnya berdasarkan kriteria (Nursalam, 2008: 94).
E. Identifikasi Variabel
Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda
terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain-lain) (Nursalam, 2008: 97). Variabel
adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian
(Arikunto, 2006: 118).
1. Variabel independen (X)
Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi atau dianggap
menentukan variabel terikat. Variabel ini dapat merupakan faktor risiko,
prediktor, kausa/ penyebab (Suryono, 2008: 36). Variabel independen dalam
penelitian ini adalah pola asuh ibu.
2. Variabel dependen (Y)
Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi. Variabel ini
disebut juga kejadian, luaran, manfaat, efek atau dampak (Saryono, 2008: 36).
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kemandirian anak prasekolah.
F. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional
berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk
melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau
fenomena (Alimul, 2009: 79). Adapun definisi dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Tabel 3.1 Definisi Operasional Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan Kemandirian Anak Prasekolah di TK Melati Dharma Wanita III Mojoroto Kota Kediri
VariabelDefinisi
OperasionalParameter Alat Ukur Skala Skor
Independen:Pola asuh ibu
Kemampuan orang tua dalam menyediakan waktu, perhatian dan dukungan agar dapat berkembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial
Pola asuh ibu:1. Otoriter2. Permisif3. Demokratis4. Penelantaran
Kuesioner Nominal
Jawaban Ya: 1Tidak : 0Tiap pola asuh skor maksimal adalah 5, maka jawaban yang paling banyak adalah pola asuh yang digunakan orang tua
Dependen:kemandirian anak prasekolah
kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sesuai dengan tahapanperkembangandan kapasitasnya
1. Menggunakan pisau untuk memotong makanan.
2. Buka-pakai baju berkan-cing depan
3. Buka-tutup celana beresleting
4. Menalikan sepatu
5. Mandi sendiri tanpa arahan.
6. Cebok sehabis buang air kecil/besar
7. Menyisir rambut
Kuesioner Ordinal
Skor jawaban jika:4 : Selalu3 : Sering2 : Kadang1 : Tidak pernahSelanjutnya dijumlahkan kemudian dikategorikan:22-28 : minimal
care15-21 : partial
care7-14 : total care
G. Pengumpulan Data dan Analisa Data
1. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh
peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan
hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga
lebih mudah diolah (Arikunto, 2006: 160).
Dalam penelitian ini alat ukur pengumpulan data yang digunakan adalah
angket/ kuesioner. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang
digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan
tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui (Arikunto, 2006: 151).
2. Proses Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan cara peneliti untuk mengumpulkan data
dalam penelitian (Alimul, 2009: 86). Dalam proses pengumpulan data terlebih
dahulu peneliti meminta permohonan ijin kepada beberapa pihak terkait, yaitu
kepada Kepala TK Melati Dharma Wanita III Mojoroto Kota Kediri.
Selanjutnya peneliti meminta ijin kepada responden secara door to door
melalui lembar informed consent untuk proses pengambilan data yang ada di
tempat penelitian. Untuk pola asuh pengumpulan data secara primer (langsung
pada ibu) sedangkan untuk kemandirian anak pengumpulan data secara
sekunder (melalui ibu).
3. Analisa Data
Analisa data adalah kegiatan dalam penelitian dengan melakukan
analisis data yang meliputi: persiapan, tabulasi dan aplikasi data (Alimul,
2003: 40). Setelah semua data terkumpul melalui angket atau kuesioner, maka
langkah selanjutnya adalah analisa data yaitu dengan melakukan tabulasi atau
pengelompokkan suatu sub variabel yang diteliti dengan cara pemberian skor
dan penilaian.
a. Mengukur pola asuh ibu
Variabel pola asuh ibu diberi kode sebagai berikut:
1 : Otoriter
2 : Permisif
3 : Demokratis
4 : Penelantaran
Selanjutnya menetapkan pemberian skor, skor diukur dengan
menggunakan jawaban ya = 1 dan jawaban tidak = 0 kemudian
dijumlahkan sesuai tiap pola asuh dengan skor maksimal adalah 5, maka
jawaban yang paling banyak adalah pola asuh yang digunakan orang tua.
b. Mengukur pembentukan kemandirian
Kemandirian anak diberi kode sebagai berikut:
4 : Selalu
3 : Sering
2 : Kadang
1 : Tidak pernah
Selanjutnya dijumlahkan kemudian dikategorikan:
22-28 : Minimal care
15-21 : Partial care
7-14 : Total care
Nilai terendah adalah 7
Data yang dikumpulkan kemudian diuji dengan menggunakan tabulasi
silang ”Spearman Rank” dengan menggunakan rumus:
ρ = 1 −6∑ b
i2
n (n2 − 1 )
Keterangan:
ρ = Koefisien korelasi Spearman Rank
n = Jumlah responden
Setelah nilai ditemukan, ada tidaknya korelasi antara pola asuh ibu
dengan pembentukan kemandirian anak prasekolah di TK Melati Dharma
Wanita III Mojoroto Kota Kediri dikonsulkan ke dalam SPSS pada taraf
kesalahan 0,05%.
a. Tidak ada hubungan pola asuh ibu dengan kemandirian anak prasekolah di
TK Melati Dharma Wanita III Mojoroto Kota Kediri, bila harga rho hitung
≥ harga rho tabel maka Ho ditolak dan H1 diterima.
b. Tidak ada hubungan pola asuh ibu dengan kemandirian anak prasekolah di
TK Melati Dharma Wanita III Mojoroto Kota Kediri, bila harga rho hitung
≤ harga rho tabel maka Ho diterima dan H1 ditolak.
(Sugiyono, 2006)
c. Tabulating
Tabulasi penyusunan data dalam bentuk tabel adalah kegiatan untuk
mengolah data yang rusak (data mentah) ke dalam tabel-tabel yang telah
disiapkan (Nursalam, 2003). Rencana tabel yang digunakan adalah
sebagai berikut:
1) Distribusi frekuensi berdasarkan data khusus responden
Tabel 3.3 Distribusi frekuensi pola asuh ibu di TK Melati Dharma
Wanita III Mojoroto Kota Kediri
No. Pola Asuh Frekuensi Prosentase1 Otoriter2 Permisif3 Demokratis4 Penelantaran
Jumlah
Tabel 3.4 Distribusi frekuensi kemandirian anak prasekolah di TK Melati Dharma Wanita III Mojoroto Kota Kediri
No. Kemandirian Frekuensi Prosentase1 Minimal care2 Partial care3 Total care
Jumlah
2) Tabulasi silang pola asuh ibu dengan pembentukan kemandirian anak
Tabel 3.5 Tabulasi silang pola asuh ibu dengan kemandirian anak prasekolah di TK Melati Dharma Wanita III Mojoroto Kota Kediri
Pola AsuhKemandirian
Otoriter Permisif Demokratis Situasional ∑
Minimal care (a) (b) (c) (d)
Partial care (e) (f) (g) (h)Total care (i) (j) (k) (l)
∑
H. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan ijin dari
kepada Kepala TK Melati Dharma Wanita Mojoroto untuk mendapatkan
persetujuan. Kemudian kuesioner dikirim ke subjek yang diteliti dengan
menekankan pada masalah etik yang meliputi:
1. Lembar persetujuan menjadi responden (Informed Consent)
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan
responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Tujuan
Informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian,
mengetahui dampaknya (Alimul, 2008: 83). Responden yang memenuhi
syarat akan diberi penjelasan tentang tujuan penelitian, jika responden
bersedia untuk diteliti. Maka responden harus menandatangani lembar
persetujuan (Informed), hanya diberi kode tertentu.
2. Anonomity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas subjek, peneliti tidak
mencantumkan nama responden pada lembar kuesioner dan lembar tersebut
hanya diberi kode tertentu.
3. Confidentility (kerahasiaan)
Kerahasiaan merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya.
Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh
peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset
(Alimul, 2008: 83).
4. Keterbatasan
Keterbatasan merupakan suatu masalah dalam suatu penelitian baik
berupa waktu, tempat, dan alamat, serta masalah-masalah lainnya yang dapat
menghambat peneliti dalam melakukan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Alimul, Aziz. (2003). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika.
___________. (2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Ayuningsih, Diah. (2010). Psikologi Perkembangan Anak: Pola Pendidikan Sesuai Karakter dan Kepribadian Anak. Yogyakarta: Pustaka Larasati.
Basuki. (2011). Kemandirian Anak, tigamedia.blogspot.com, diunduh tanggal 23 Juni 2012, jam 10.07 WIB
Fuad Ihsan, Haji. (2010). Dasar-dasar Kependidikan: Komponen MKDK. Jakarta: Rineka Cipta.
Dariyo, Agoes. (2007). Psikologi Perkembangan: Anak Tiga Tahun Pertama. Bandung: PT. Refika Aditama.
Mansur, Herawati. (2011). Psikologi Ibu dan Anak Untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Purno, Arief. (2007). Pola Asuh dengan Kemandirian Anak Usia Sekolah, digilib.unimus.ac.id, diunduh tanggal 07 Juni 2012, jam 14.46 WIB.
Rachmawati, Yeni dan Kurniati, Euis. (2010). Strategi Pengembangan Kreativitas Pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Saryono. (2008). Metodologi Keperawatan Kesehatan: Penuntun Praktis Bagi Pemula. Jakarta: Mitra Cendikia Press.
Sugiyono, (2006). Statistika untuk Penelitian. Jawa Barat: IKAPI.Wibowo, Agus. (2012). Pendidikan Karakter Usia Dini: Strategi Membangun
Karakter di Usia Emas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wawan dan Dewi. (2010). Teori dan Pengukuran: Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.
Wulandari, Isni. (2007). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Anak Usia Prasekolah, digilib.unimus.ac.id, diunduh tanggal 23 Juni 2012, jam 11.32 WIB