hubungan peran perempuan dalam sistem … · perempuan dalam gerakan petani lahan pasir kulon progo...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN PERAN PEREMPUAN DALAM SISTEM
PENGHIDUPAN PENDUDUK DENGAN PERAN
PEREMPUAN DALAM GERAKAN PETANI LAHAN PASIR
KULON PROGO YOGYAKARTA
FIKA FATIA QANDHI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hubungan Peran
Perempuan dalam Sistem Penghidupan Penduduk dengan Peran Perempuan dalam
Gerakan Petani Lahan Pasir Kulon Progo Yogyakarta adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Fika Fatia Qandhi
NIM I34100132
iv
v
ABSTRAK
FIKA FATIA QANDHI Hubungan Peran Perempuan dalam Sistem Penghidupan
Penduduk dengan Peran Perempuan dalam Gerakan Petani Lahan Pasir Kulon
Progo Yogyakarta. Di bawah bimbingan SATYAWAN SUNITO
Gerakan petani tidak pernah luput dari peran dan keterlibatan perempuan di
dalamnya. Perempuan tidak hanya berperan di bidang domestik, namun peran
perempuan juga dirasakan sebagai pendorong dan penyokong gerakan petani.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis peran perempuan dalam gerakan
petani lahan pasir Kulon Progo, serta menganalisis hubungannya dengan peran
perempuan dalam sistem penghidupan penduduk pesisir. Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode penelitian survei. Metode penarikan sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah acak sederhana dengan jumlah responden
sebanyak 30 orang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan
pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa perempuan terlibat
secara sadar di dalam perjuangan, namun secara umum pembagian kerja di dalam
gerakan petani di Kulon Progo masih mengikuti pembagian kerja gender
tradisional. Perempuan terlibat aktif dalam perlawanan-perlawanan lingkup lokal,
dimana aksi-aksi tersebut bersifat spontan, tanpa ada perencanaan, dan setiap
warga berkesempatan untuk ikut serta.
Kata kunci: Gerakan petani, Peran gender, Peran perempuan
ABSTRACT
FIKA FATIA QANDHI The Relationship between Women Role in Livelihood
System with Their Role in The Movement of Sand Land Farmer of Kulon Progo
Yogyakarta. Under the guidance of SATYAWAN SUNITO
The farmer movement never occur without women role in the movement.
Women not only play domestic role, but also as a booster and advocate in the
farmer movement. The purpose of this study is to analyze the role of women in
the movement of Kulon Progo farmer, as well as to analyze the relationship
between women role in livelihood system of coastal society. The study was
conducted using research survey method. The sampling method used in this study
is simple random sampling with 30 correspondences. This study uses a
quantitative approach and qualitative approach. The results shows that women
consciously involved in the movement, but in general the division of labor in the
movement still follow the traditional gender. Women are actively involved in the
local fight, where the actions were spontaneous, without any plan and every
member of the society had the chance to participate.
Key Words: Farmer movement, Gender role, Women role
vi
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
HUBUNGAN PERAN PEREMPUAN DALAM SISTEM
PENGHIDUPAN PENDUDUK DENGAN PERAN PEREMPUAN
DALAM GERAKAN PETANI LAHAN PASIR
KULON PROGO YOGYAKARTA
FIKA FATIA QANDHI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
viii
ix
Judul Skripsi : Hubungan Peran Perempuan dalam Sistem Penghidupan
Penduduk dengan Peran Perempuan dalam Gerakan Petani
Lahan Pasir Kulon Progo Yogyakarta
Nama : Fika Fatia Qandhi
NIM : I34100132
Disetujui oleh
Dr Satyawan Sunito
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, M.Sc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus: _______________
x
xi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah yang berjudul Hubungan Peran Perempuan dalam Sistem
Penghidupan Penduduk dengan Peran Perempuan dalam Gerakan Petani Lahan
Pasir Kulon Progo Yogyakarta dengan baik. Penelitian yang dilaksanakan sejak
bulan Februari 2014 ini mengangkat tema peran perempuan dengan lokasi
penelitian di Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo,
Yogyakarta.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Bapak
Dr Satyawan Sunito selaku pembimbing skripsi. Penulis juga menyampaikan
hormat dan terima kasih kepada orang tua tersayang, Ayahanda Saiful Fikri dan
Ibunda Elidawati serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan,
bantuan, dan doa untuk penulis. Selain itu, penghargaan dan terima kasih penulis
sampaikan untuk Keluarga Besar Mas Warsito, Mas Widodo, Mbak Isyanti,
Keluarga Besar Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo, dan seluruh
responden serta masyarakat pesisir Kulon Progo. Kemudian penulis ucapkan
terima kasih kepada Mas Eko dan Muhammad Ichsan yang membantu penulis
dalam proses penelitian ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh keluarga besar
SKPM terutama kepada para dosen, staf, dan seluruh civitas akademik
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah
memberikan ilmu dan bantuan untuk penulis. Ungkapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada sahabat-sahabat SKPM 47 sebagai keluarga kedua yang telah
memberikan banyak dukungan dan semangat. Kemudian terima kasih juga penulis
sampaikan kepada para sahabat Fida, Arin, Chakim, Aktiandari dan Idah, atas
dukungannya. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak
yang telah berkontribusi dalam kehidupan penulis yaitu Badan Eksekutif
Mahasiswa FEMA IPB, serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per
satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Oktober 2014
Fika Fatia Qandhi
xii
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Kegunaan Penelitian 4
PENDEKATAN TEORITIS 5
Tinjauan Pustaka 5
Gerakan Petani 5
Bentuk-bentuk dan Strategi Perlawanan Petani 6
Faktor-faktor Munculnya Gerakan Petani 9
Bentuk-bentuk Peran Perempuan 12
Peran Gender 14
Analisis Gender 15
Kerangka Penelitian 17
Hipotesis Penelitian 19
Definisi Operasional 19
PENDEKATAN LAPANGAN 25
Metode Penelitian 25
Lokasi dan Waktu Penelitian 25
Teknik Pengambilan Informan dan Responden 26
Teknik Pengumpulan Data 27
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 27
PROFIL DESA BUGEL 29
Kondisi Geografis 29
Kondisi Sosial Budaya 29
Kondisi Pertanian Lahan Pasir 31
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir 35
Ikhtisar 39
PENDAPAT PEREMPUAN TENTANG KONFLIK DI KULON PROGO
DAN GERAKAN PETANI KULON PROGO
41
Pendapat Perempuan tentang Konflik di Kulon Progo 41
Pendapat Perempuan tentang Gerakan Petani Lahan Pasir Kulon Progo 43
Ikhtisar 49
PERAN PEREMPUAN DALAM SISTEM PENGHIDUPAN PENDUDUK 51
Peran Gender 51
Peran Reproduktif 52
Peran Produktif 53
Peran Sosial (Masyarakat) 57
Akses dan Kontrol 58
Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya Fisik/Material 58
Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya Sosial-Budaya 60
xiv
Akses dan Kontrol terhadap Pasar Komoditas dan Tenaga Kerja 61
Akses dan Kontrol terhadap Manfaat 62
Ikhtisar 62
PERAN PEREMPUAN DALAM GERAKAN PETANI LAHAN PASIR
KULON PROGO
65
Keterlibatan Perempuan dalam Gerakan Petani 65
Akses dan Kontrol Perempuan terhadap Gerakan Petani 74
Faktor-faktor Lain yang Mempengaruhi Peran Perempuan dalam
Gerakan Petani
78
Ikhtisar 80
PENUTUP 83
Simpulan 83
DAFTAR PUSTAKA 85
LAMPIRAN 87
RIWAYAT HIDUP 111
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Klasifikasi peran gender 15
Tabel 2 Tabel kronologi gerakan petani lahan pasir Kulon Progo 46
Tabel 3 Pembagian peran reproduktif laki-laki dan perempuan Desa
Bugel,2014
53
Tabel 4 Pembagian peran produktif laki-laki dan perempuan Desa
Bugel pada pertanian komoditas cabai keriting, 2014
54
Tabel 5 Pembagian peran produktif laki-laki dan perempuan Desa
Bugel pada pertanian komoditas melon, 2014
55
Tabel 6 Pembagian peran produktif laki-laki dan perempuan Desa
Bugel pada sektor perdagangan dan peternakan, 2014
56
Tabel 7 Pembagian peran sosial laki-laki dan perempuan Desa
Bugel, 2014
57
Tabel 8 Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel
terhadap sumberdaya fisik/material, 2014
60
Tabel 9 Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel
terhadap sumberdaya sosial-budaya, 2014
61
Tabel 10 Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel
terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja, 2014
62
Tabel 11 Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel
terhadap manfaat, 2014
62
Tabel 12 Keterlibatan perempuan dalam gerakan petani Desa Bugel,
2014
70
Tabel 13 Tingkat keterlibatan perempuan Desa Bugel dalam gerakan
petani, 2014
72
Tabel 14 Tabulasi silang antara tingkat pendidikan perempuan
dengan tingkat keterlibatan perempuan Desa Bugel dalam
gerakan petani, 2014
74
Tabel 15 Akses dan kontrol perempuan Desa Bugel dalam gerakan
petani, 2014
75
Tabel 16 Tingkat akses dan kontrol perempuan Desa Bugel dalam
gerakan petani, 2014
76
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka penelitian peran perempuan dalam gerakan
petani lahan pasir kulon progo
18
Gambar 2 Peta Desa Bugel 89
Gambar 3 Salah satu ladang cabe keriting di Desa Bugel 106
Gambar 4 Salah satu contoh tanaman cabe keriting di Kulon Progo 106
Gambar 5 Kegiatan konvoi Ulang Tahun PPLP tahun 2014 106
Gambar 6 Salah satu kegiatan Fundrising PPLP yakni penyablonan
baju
106
Gambar 7 Wawancara dengan petani Kulon Progo 106
Gambar 8 Masyarakat pesisir saat memeriahkan Ulang Tahun PPLP
tahun 2014
106
Gambar 9 Hasil lukisan bertema perlawanan petani oleh seniman 107
Gambar 10 Wawancara dengan petani Kulon Progo 107
Gambar 11 Perempuan Desa Bugel ketika menyiangi tanaman 107
Gambar 12 Aksi solidaritas petani Kulon Progo di Titik 0 KM,
Jogjakarta
107
Gambar 13 Perempuan memetik cabe keriting ketika panen raya 107
Gambar 14 Kegiatan panen raya di Garongan 107
Gambar 15 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 22 Desember 2010 108
Gambar 16 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 22 Desember 2010 108
Gambar 17 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 22 Desember 2010 108
Gambar 18 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 22 Desember 2010 108
Gambar 19 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010 108
Gambar 20 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010 108
Gambar 21 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010 109
Gambar 22 Kegiatan Ulang Tahun PPLP tahun 2014 109
Gambar 23 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010 109
Gambar 24 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010 109
Gambar 25 Kegiatan diskusi petani Kulon Progo di Bandung 109
Gambar 26 Kegiatan menonton film perjuangan petani Trisik 109
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta Desa Bugel 89
Lampiran 2 Jadwal kegiatan penelitian 90
Lampiran 3 Kerangka responden 91
Lampiran 4 Kuesioner penelitian 96
Lampiran 5 Panduan pertanyaan wawancara mendalam 105
Lampiran 6 Dokumentasi penelitian 106
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris. Bagi sebagian besar penduduk
Indonesia yang kehidupannya masih tergantung pada sektor pertanian, maka
pemilikan dan penguasaan lahan merupakan faktor penting. Dilema yang dihadapi
tentang peruntukan lahan pada sektor pertanian seringkali bersaing dengan sektor
lain seperti industri, pemukiman, dan perdagangan. Dilihat dari segi aspek hukum,
hak memiliki dan menguasai pada umumnya melekat pada tiga jenis subyek
hukum yaitu masyarakat, negara atau pemerintah, dan perusahaan swasta.
Fauzi (1999) menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan politik agraria yang
dibangun oleh Orde Baru, pertama adalah menjadikan masalah land reform hanya
sebagai masalah teknis. Kedua, menghapus semua legitimasi partisipasi organisasi
petani di dalam program land reform. Ketiga, penerapan kebijakan massa
mengambang (floating mass) pada menjelang pemilu tahun 1971 dengan
memotong hubungan massa pedesaan dengan partai-partai politik. Keempat,
diundangkannya UUPD (Undang-undang Pemerintahan Desa) tahun 1979. Dan
kelima, terlibatnya unsur polisi dan militer di dalam pengawasan dinamika
pembangunan desa. Pembangunan kapitalisme di sektor agraria terlihat dari
dilaksanakannya program revolusi hijau, eksploitasi hutan, dan agroindustri.
Pembangunan kapitalisme ini melahirkan konflik agraria dan aksi protes agraria.
Terdapat sejumlah konflik utama yang muncul: Pertama, pemerintah
mewajibkan petani untuk mempergunakan unsur-unsur revolusi hijau, demi
tercapai-terjaganya swasembada beras. Kedua, perkebunan mengambil alih tanah
tanah yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Ketiga, terdapat sejumlah kasus
dimana pemerintah melakukan pengambilalihan (penggusuran) tanah untuk apa
yang dinyatakan sebagai “program pembangunan” baik oleh pemerintah sendiri
maupun swasta. Keempat, konfilik akibat eksploitasi hutan. Aksi protes terhadap
penindasan dan penaklukan petani ini mempunyai ciri khas, yakni: protes
dilakukan oleh sejumlah petani korban, dengan didampingi oleh Organisasi Non
Pemerintah (Ornop) tertentu; protes disalurkan pada parlemen dan pemerintah; isu
protes bersifat kausitis; dan media massa dipercaya akan membantu penyelesain
masalah.
Kondisi inilah yang membuat petani melakukan perlawanan-perlawanan.
Perlawanan-perlawanan tersebut diwujudkan dalam sebuah gerakan, yang sering
digaungkan dengan gerakan petani. Henry A. Landsberger dan Yu. G. Alexandrov
dalam Landsberger (1984) mendefinisikan gerakan sebagai reaksi kolektif
terhadap kedudukan rendah. Kedudukan rendah ini digambarkan sebagai petani
yang posisinya selalu termarjinalkan dari berbagai aspek, baik ekonomi maupun
politik. Wolf dalam Landsberger (1984) mendefinisikan petani sebagai penduduk
yang secara eksistensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat keputusan yang
otonom tentang proses cocok tanam, termasuk proses penggarapan atau penerima
bagi hasil maupun pemilik-penggarap selama mereka berada pada posisi pembuat
keputusan yang relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka. Hal ini
jelas memperlihatkan bahwa petani adalah individu yang mandiri, berhak
2
menentukan apa yang terbaik bagi hidup mereka, berhak mengambil keputusan,
dan berhak memperjuangkan yang menjadi hak-hak mereka.
Di dalam pergerakan petani, jarang sekali digambarkan secara terperinci
bagaimana peran perempuan. Padahal keterlibatan perempuan dalam kegiatan
pertanian tidak saja menjadi bagian terbesar dari tenaga kerja di sektor pertanian,
tetapi juga memiliki pengetahuan dan keterampilan utama dalam kegiatan
pekerjaan pertanian. Rasa kepemilikan atas lahan yang melekat pada perempuan
tidak dapat memungkiri keterlibatan perempuan dalam setiap gerakan petani.
Kodrat perempuan sebagai yang melahirkan anak membuat perempuan menjadi
produsen primer dan pekerja pemeliharaan sedangkan laki-laki identik dengan
pengelola kebudayaan. Identifikasi ini mengakibatkan perempuan diberi peran di
sektor domestik, mengurus rumah tangga dan laki-laki dalam peran publik,
mengurus berbagai hal yang berhubungan dengan sektor produksi. Hampir secara
universal, berlaku batas-batas sosial dan politik atas laki-laki dan perempuan yang
disebabkan berlakunya perbedaan peran gender (Wahyuni 2007).
Salah satu contoh kasus yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah
gerakan petani lahan pasir yang berada di Kulon Progo. Saouki, dkk (2010)
menyatakan bahwa di Kulon Progo, terjadi konflik perebutan penguasaan lahan
pantai yang mengandung bijih besi, antara Raja, yakni pihak Kraton Yogyakarta,
Paku Alaman, dan masyarakat pesisir Kulon Progo. Pihak Kerajaan ingin
membuka pertambangan pasir besi di lahan ini. Bermula dari rencana proyek
besar penambangan pasir besi oleh PT. Jogja Magasa Mining (JMM) yang saham
utamanya dimiliki oleh keluarga besar Kraton Yogyakarta dan Paku Alaman serta
bekerja sama dengan PT Indomine Australia. Rencana ini disetujui oleh Pemda
Kulon Progo dengan alasan dapat meningkatkan pemasukan daerah. Lahan pantai
yang direncanakan sebagai lahan tambang seluas lebih dari 3000 Ha, sepanjang 22
Km dari garis pantai. Pembangunan ini direncanakan di sejumlah desa di empat
kecamatan. Desa-desa tersebut adalah Jangkaran dan Palihan di Kecamatan
Temon, Glagah dan Karangwuni di Kecamatan Wates, Nomporejo, Kranggan dan
Banaran di Kecamatan Galur, dan Garongan, Pleret, Bugel, dan Karangsewu di
Kecamatan Panjatan.
Konsesi penambangan pasir besi jelas sangat merugikan petani lahan pasir.
Lahan pasir yang selama ini memberikan kehidupan kepada petani. Lahan pasir
yang dulunya lahan kering kini dengan teknologi hasil temuan petani mampu
menumbuhkan berbagai macam tanaman. Kondisi ini lah yang membuat petani
lahan pasir Kulon Progo melakukan perlawanan. Pada kasus ini peneliti
melakukan penelitian di salah satu desa yang lahan pertaniannya termasuk dalam
wilayah konsesi penambangan pasir besi, yakni Desa Bugel. Desa Bugel memiliki
sejarah panjang atas pengolahan lahan pasir. Lahan pasir telah menghidupi
keluarga-keluarga petani Kulon Progo dan masyarakat luas melalui hasil pertanian
mereka. Petani-petani di wilayah selatan Desa Bugel secara langsung maupun
tidak langsung terlibat dalam gerakan petani, baik laki-laki maupun perempuan,
tua maupun muda. Sebagai salah satu daerah basis perlawanan, salah satu tokoh
perempuan gerakan petani lahan pasir Kulon Progo berasal dari Desa Bugel. Hal
ini mendorong keterlibatan perempuan desa Bugel lainnya untuk ikut dalam
perlawanan. Perempuan Desa Bugel terlibat aktif dalam perlawanan-perlawanan
menolak pertambangan pasir besi. Keberhasilan perlawanan petani hingga saat ini
menolak penambangan pasir besi merupakan hasil dari berbagai upaya
3
perlawanan yang telah petani lakukan, yang melibatkan berbagai kalangan, baik
perlawanan secara terbuka maupun secara sembunyi-sembunyi. Oleh karena itu,
menarik bagi peneliti untuk menganalisis bagaimana hubungan peran perempuan
dalam sistem penghidupan penduduk dengan peran perempuan dalam gerakan
petani lahan pasir Kulon Progo Yogyakarta?
Rumusan Masalah
Peranan perempuan tidak hanya dirasakan dalam rumah tangga.
Perempuan juga terlibat dan berperan di bidang pertanian. Wahyuni (2007)
menyatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam kegiatan pertanian tidak saja
menjadi bagian terbesar dari tenaga kerja di sektor pertanian, tetapi perempuan
juga memiliki pengetahuan dan keterampilan utama dalam kegiatan pekerjaan
pertanian. Secara tradisional perempuan memiliki keterampilan memilih benih
padi yang baik dan menyimpannya untuk ditanam pada musim tanam berikutnya.
Perempuan juga mampu memilih lahan yang cocok untuk budidaya pertanian.
Mereka juga mampu memilih tanaman yang cocok untuk pengobatan.
Kemampuan tersebut dipelajari para perempuan untuk kebutuhan bertahan hidup
keluarganya. Keterlibatan perempuan dalam bidang pertanian inilah yang
memupuk rasa memiliki atas lahan dan hasil pertanian. Hal ini merupakan salah
satu alasan perempuan terlibat langsung dalam gerakan petani. Perempuan
memiliki pendapat dan gambaran tersendiri mengenai konflik yang mereka hadapi
dan perlawanan-perlawanan yang mereka lakukan. Oleh karena itu penting bagi
peneliti untuk mengetahui bagaimana pendapat perempuan tentang konflik yang
terjadi di Kulon Progo dan gerakan petani Kulon Progo?
Di dalam sistem penghidupan penduduk secara alami tumbuh pembagian
kerja atas laki-laki dan perempuan. Selain itu juga terdapat perbedaan akses dan
kontrol terhadap sumber daya yang dimiliki bersama antara laki-laki dan
perempuan. Nilai-nilai gender antara satu budaya dengan budaya lain adalah
berbeda. Begitu pula dengan budaya masyarakat pesisir selatan yang mayoritas
bermata pencaharian sebagai petani lahan pasir. Baik perempuan maupun laki-laki
petani lahan pasir tidak pernah terlepas dari aktivitas reproduktif, aktivitas
produktif, dan aktivitas sosial atau yang bersifat kemasyarakatan. Di mana di
setiap aktivitas tersebut muncul pembagian kerja serta akses dan kontrol yang
berbeda antara laki-laki dan perempuan terhadap sumber daya yang dimiliki
bersama. Oleh karena itu penting bagi peneliti untuk menganalisis bagaimana
peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk petani lahan pasir Kulon
Progo?
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh petani tidak pernah terlepas
dari keterlibatan perempuan di dalamnya. Hafid (2001) menyatakan bahwa
masuknya perempuan dalam kelompok elit petani telah mendorong semangat
perjuangan petani. Partisipasi kaum perempuan telah mendorong petani untuk
terjun dalam kancah perjuangan hak milik tanahnya. Dalam kasus tanah
Jenggawah, terlihat bahwa perempuan juga ikut andil dalam proses pengambilan
keputusan, dalam hal ini diidentikkan dengan menggunakan pertimbangan hati
nurani. Sehingga komposisi antara laki-laki dan perempuan akan melahirkan
komposisi strategis yang harmonis. Perempuan juga berperan dalam mobilisasi
4
massa dan dalam mengomunikasikan perjuangan-perjuangan yang mereka
lakukan kepada sesama perempuan lainnya. Selain itu, kehadiran perempuan juga
memperkuat kesan bahwa persoalan menuntut hak oleh petani Jenggawah bukan
hanya persoalan kaum pria saja. Perjuangan tersebut tidak semata persoalan
politis, tetapi sudah masuk pada persoalan keluarga dan kesejahteraan anak-
anaknya. Oleh karena itu penting bagi peneliti untuk menganalisis bagaimana
peran perempuan dalam gerakan petani lahan pasir Kulon Progo?
Tidak dapat dipungkiri perempuan banyak terlibat dalam kegiatan-
kegiatan produktif seperti dalam halnya kegiatan pertanian, kegiatan sosial
kemasyarakatan, kegiatan pendidikan, dan kegiatan-kegiatan sosial
kemasyarakatan lainnya. Tidak jarang perempuan menempati posisi penting dan
terlibat aktif di dalamnya. Begitu pula dalam hal gerakan petani. Perempuan yang
terlibat langsung dalam kegiatan pertanian dan merasakan langsung manfaat dari
adanya lahan pasir memiliki rasa kepemilikan yang besar terhadap lahan pasir.
Posisi dan peran-peran yang yang diambil atau diberikan perempuan dalam
gerakan petani diduga memiliki hubungan dengan posisi dan peranan perempuan
dalam sistem penghidupan penduduk. Oleh karena itu penting bagi peneliti untuk
menganalisis bagaimana hubungan peran perempuan dalam sistem penghidupan
penduduk dengan peran perempuan dalam gerakan petani?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian umum
pada penelitian ini adalah menganalisis peran perempuan dalam gerakan petani
lahan pasir Kulon Progo. Adapun tujuan khusus pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui pendapat perempuan tentang konflik yang terjadi di Kulon
Progo dan gerakan petani Kulon Progo.
2. Menganalisis peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk
petani lahan pasir Kulon Progo.
3. Menganalisis peran perempuan dalam gerakan petani lahan pasir Kulon
Progo.
4. Menganalisis hubungan antara peran perempuan dalam sistem
penghidupan penduduk dengan peran perempuan dalam gerakan petani
lahan pasir Kulon Progo.
Kegunaan Penelitian
Secara khusus kegunaan dari penelitian ini bagi peneliti adalah untuk
menambah pengetahuan yang berkaitan dengan peran perempuan dalam gerakan
petani lahan pasir Kulon Progo yang diperlukan sebagai bahan penelitian dan
skripi peneliti guna memenuhi syarat kelulusan sebagai sarjana pada Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor. Secara umum, kegunaan dari penelitian ini adalah
menambah pengetahuan dan hasil penelitian terkait peran perempuan dalam
gerakan petani lahan pasir Kulon Progo.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Gerakan Petani
Wolf dan Moore dalam Landsberger (1984) mengatakan terdapat tiga
karakteristik yang mencirikan petani, diantaranya adalah subordinasi legal,
kekhususan kultural, dan khususnya ‘pemilikan de facto’ atas tanah. Sepuluh
tahun kemudian Wolf dalam monografnya, mendefiniskan peasants sebagai
tukang cocok tanam pedesaan yang surplusnya dipindahkan kepada kelompok
penguasa yang dominan. Bukan pemilikan, tetapi lepasnya penguasaan
terhadapnya dan penguasaan atas tenaga kerjanya sendiri. Dengan kata lain telah
ditutupi oleh sistem lain dimana kontrol atas alat-alat produksi, termasuk
penentuan tenaga kerja manusia, berpindah-pindah dari tangan produsen primer
kepada kelompok-kelompok yang tidak melakukan proses produktif itu sendiri.
Namun kemudian Wolf juga mendefinisikan petani sebagai penduduk yang secara
ekstensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat keputusan yang otonom
tentang proses cocok tanam, mencakup penggarapan atau penerima bagi hasil
maupun pemilik-penggarap selama mereka ini berada pada posisi pembuat
keputusan yang relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka.
Landsberger dan Alexandrov dalam Landsberger (1984) mendefinisikan
bahwa petani adalah para tukang cocok tanam pedesaan yang menduduki posisi
yang relatif rendah pada berbagai dimensi yang penting. Dimensi penting yang
dimaksudkan disini adalah dimensi ekonomi dan politik. Dimensi ekonomi dan
politik dapat dibagi ke dalam tiga rangkaian dimensi yang setara yakni
pengendalian atas masukan ekonomi dan politik yang relevan, pengendalian
proses transformasi dalam ekonomi dan politik, dan dimensi yang berkaitan
dengan tingkat faedah dari keluaran (output) dari masing-masing sektor ini di
masyarakat. Suatu contoh dalam hal masukan ekonomi, para tukang cocok tanam
desa dapat diukur dari (1) jumlah masukan yang mereka kendalikan (tanah,
modal, tenaga kerja); dan (2) kepastian dengan mana mereka mengendalikan
masukan itu. Dalam hal proses transformasi, petani dapat melakukan partisipasi,
kurang lebih dalam perumusan nyata keputusan-keputusan politik. Pada akhirnya
petani, sedikit atau banyak, memperoleh keuntungan dari isi keputusan yang
dibuat.
Namun seringkali posisi petani disubordinatkan. Petani sering
dianalogikan sebagai masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan untuk merubah
struktur, pasrah terhadap kondisi yang menimpa mereka dan patuh terhadap
aturan-aturan yang ada. Petani seringkali hanya dijadikan obyek-obyek
pembangunan lewat program-program yang terlihat revolusiener, padahal
terkadang sama sekali tidak menyuntuh kebutuhan petani. Kondisi-kondisi ini
menimbulkan ketidakpuasan dalam diri petani. Landsberger dan Alexandrov
(1984) menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis situasi yang seringkali memainkan
peranan dalam merangsang ketidakpuasan petani, diantaranya yakni inkonsistensi
status, kemorosotan relatif dari status lama seseorang atau dari harapan orang
6
tentang statusnya yang sekarang dan perasaan adanya ancaman terhadap status di
masa depan. Inkonsistensi status didefinisikan sebagai kedudukan yang relatif
baik menurut satu karakteristik sementara tetap rendah menurut karakteristik lain,
yang merupakan salah satu pencetus pemberontakan petani di Inggris di tahun
1831 dan di Perancis di tahun 1789. Dalam kedua kasus tersebut, perbaikan nasib
petani telah terjadi dalam berbagai hal, namun di sisi lain justru hal tersebut lah
yang membuat ketaksanggupan yang masih ada seperti dalam hal pajak
perkawinan dan kerja bakti yang menyulitkan petani. Kemudian, kedudukan yang
tak menguntungkan dibandingkan dengan yang lain –kemorosotan relatif-
sedikitnya memainkan peranan di Mexico, dimana meningkatnya kontak dengan
Amerika Serikat memungkinkan petani untuk membandingkan nasibnya dengan
tetangganya dan akibatnya menjadi tidak puas. Dan yang terakhir adalah
kemorosotan sehubungan dengan masa lalu atau yang diharapkan sekarang
ataupun ancaman terhadapnya di masa depan, sebagaimana terjadi dalam kasus
pemberontakan Pugachev.
Salah satu perubahan masyarakat yang dapat menghasilkan ketidakpuasan
petani adalah penggusuran petani dan komunitas petani yang telah ada
sebelumnya, pencaplokan hak-hak meraka oleh tuan-tuan tanah dan negara dalam
suatu proses feodalisasi, yang akan membawa kepada perasaan merosotnya status
petani. Kebijaksanaan pencaplokan serupa itu mungkin dicetuskan oleh
perangsang-perangsang seperti keinginan untuk mengambil keuntungan dari
kesempatan komersial dan teknik yang baru, atau dari tekanan negatif pada elite
politik dan ekonomi, seperti kekalahan perang.
Rasa ketidakpuasan yang timbul tersebut kemudian mendorong petani
untuk melakukan gerakan-gerakan perlawanan terhadap kondisi yang
memarginalkan mereka. Landsberger dan Alexandrov dalam Landsberger (1984)
mendefinisikan gerakan sebagai reaksi kolektif terhadap kedudukan rendah.
Kedudukan rendah ini digambarkan sebagai petani yang posisinya selalu
termarginalkan dari berbagai aspek, baik ekonomi maupun politik. Rasa-rasa
ketidakpuasan inilah yang juga mendasari gerakan-gerakan petani yang ada di
Indonesia seperti dalam kasus Serikat Petani Pasundan, SPPQT, kasus tanah
Jenggawah, dan kasus petani di Desa Cisarua. Di negara-negara lain kondisi ini
juga terlihat dalam gerakan-gerakan petani yang ada di negara India, Zimbabwe,
dan Filipina.
Bentuk-bentuk dan Strategi Perlawanan Petani
Bentuk-bentuk perlawanan petani sangat beragam, mulai dari yang bersifat
sembunyi-sembunyi hingga aksi terbuka, mulai dari laten hingga manifes.
Perlawanan-perlawanan petani merupakan representasi dari rasa ketidakpuasan
petani dan permasalahan-permasalahan agraria yang terjadi. Bentuk-bentuk
perlawanan petani berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Oleh
karenanya gerakan petani bersifat unik. Gerakan-gerakan ini juga berkaitan erat
dengan pengetahuan lokal masyarakat petani setempat, jaringan yang dimiliki
oleh petani dan kultur yang berkembang di daerah tersebut. Hal ini lah yang akan
menentukan strategi apa yang dipilih oleh petani dalam perlawanan-
perlawanannya. Beberapa gerakan petani disokong oleh organisasi non
7
pemerintah. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Aprianto (2008) yang
menyatakan bahwa kelahiran gerakan sosial baru di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari hadirnya organisasi non pemerintah (Ornop) sebagai aktor kritis
terhadap pembangunan di tingkat lokal, nasional dan internasional.
Terdapat dua pendekatan yang dilakukan oleh gerakan sosial dalam rangka
memasuki ruang politik kenegaraan yakni, pertama, mendorong keterlibatan tokoh
atau pemimpin dari gerakan sosial untuk memasuki ranah politik praktis dari
tingkat yang paling rendah yaitu kepala desa maupun level eksekutif dan legislatif
baik lokal maupun nasional. Kedua, menyiapkan upaya-upaya untuk melakukan
intervensi dan mempengaruhi agenda-agendda negara dalam rangka pelaksanaan
gerakan sosial. Atas alasan tersebut, berbagai serikat tani kemudian mendorong
upaya untuk memasuki ranah politik praktis dalam rangka membuka peluang
jalannya gagasan dari gerakan sosial. Hal ini pula lah yang dilakukan oleh petani-
petani di Salatiga melalui SPPQT.
Hasil penelitian Purwandari (2006) menunjukkan bahwa pola perlawanan
yang dikembangkan oleh organisasi petani SPPQT (Serikat Paguyuban Petani
Qoryah Thoyibah) tidak dilakukan dengan mengubah struktur yang ada,
melainkan mempergunakan struktur yang ada dan menjadi bagian dari sistem
tersebut untuk kemudian memperbaiki sistem dari dalam. Perlawanan dilakukan
terhadap kemapanan yang ada dengan cara memperkuat aliansi dan menjadi
bagian dari agenda negara.Gerakan perlawanan yang dikembangkan SPPQT
merupakan basis dekonstruksi sosial. Saat ini strategi yang dikembangkan adalah
SPPQT mulai masuk dalam pembahasan APBD dan masuk dalam ranah politik.
SPPQT mulai ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan. Upaya yang
saat ini dikembangkan adalah penguatan pola gerakan sebagai upaya
mempengaruhi kebijakan lokal.
Selain itu juga terdapat perlawanan-perlawanan yang dilakukan secara
kolektif melalui afiliasi dengan lembaga swadaya masyarakat dan lembaga
hukum. Hafid (2001) menyatakan bahwa strategi perlawanan yang dilakukan oleh
petani Jenggawah adalah perlawanan kolektif. Cara yang digunakan adalah
dengan unjuk rasa. Selain itu, petani Jenggawah juga menguatkan jaringan dengan
beberapa lembaga hukum dan LSM. Perlawanan petani dalam bentuk yang lebih
radikal dan langsung yakni lewat aksi massa juga merupakan jalan yang dipilih
petani. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Serikat Petani Pasundan (SPP). Aji
(2005) menyatakan bahwa salah satu kewajiban anggota SPP adalah melakukan
aksi massa. Beberapa aksi massa tersebut adalah reclaiming atau secara aktif
melakukan penguasaan tanah, ekspansi anggota baru di lingkungan sekitarnya
untuk menambah jumlah anggota OTL, dukungan solidaritas terhadap OTL-OTL
yang lain melalui pengerahan massa, dan (d) aksi demonstrasi untuk mendesakkan
isu-isu penyelesaian sengketa tanah dan reformasi agraria yang dilakukan secara
bersama-sama dengan organisasi lain.
Strategi yang dilakukan SPP berbeda antara aksi massa yang dilakukan “di
dalam” dengan aksi massa “di luar”. Sebagai suatu bentuk perlawanan langsung,
aksi massa “di dalam” seringkali dilakukan secara rahasia (underground),
terutama aksi reclaiming yang mana mereka harus berhadapan dengan “preman
perkebunan”, kepolisian, bahkan militer. Massa SPP ini tidak terlihat karena
menyatu dengan warga desa lainnya, sementara secara bergerilya mereka
melakukan perlawanan sehingga pihak lawan akan kesulitan mendeteksi gerakan-
8
gerakannya. Sedangkan aksi massa “di luar” atau yang sering disebut dengan
demonstrasi dilakukan dengan cara sebaliknya. Aksi massa ini dilakukan secara
terbuka dan justru menggalang kekuatan-kekuatan dari organisasi tani di luar SPP.
Strategi aksi massa yang terbuka antara lain diperlihatkan pada jumlah massa
yang sangat besar di tempat-tempat tertentu seperti kantor DPR, DPRD, di jalan-
jalan protokol; sejumlah poster, baliho, bendera SPP, lagu-lagu perjuangan dan
menyebarkan “statement” yang terkait dengan tema aksi saat itu.
Hal ini juga dilakukan oleh gerakan-gerakan petani di Zimbabwe, India,
dan Filipina. Kasus gerakan petani di India, Routledge (2005) menyatakan bahwa
gerakan petani di India dipelopori oleh organisasi Narmada Bachao Andolan
(NBA). NBA melancarkan dua bentuk perjuangan yang saling berkait. Pertama,
disebut dengan perlawanan wacana. Perang-perang kata ini meliputi kesaksian,
lagu, syair dan naras (slogan-slogan), disertai riset serta analisis rinci tentang
dampak waduk dan alternatif-alternatif pembangunan berkelanjutan. Kedua,
dikenal dengan istilah perlawanan fisik. Taktik-taktik perjuagan mereka melebar
menjangkau berbagai macam repetoar perlawanan, termasuk bentuk-bentuk
konflik institusional dan ekstra-institusional, serta aneka metode aksi langsung
non-kekerasan- mulai dari demonstrasi dan pawai, perkemahan dan pendudukan
satyagraha, puasa serta mogok makan.
Kemudian kasus gerakan petani di Filipina, Boras dan Franco (2005)
menyatakan bahwa jenis-jenis aksi yang digunakan adalah dengan melakukan
pendudukan tanah, pemogokan, demonstrasi jalan, aksi di tempat kerja dan dialog.
Gerakan petani di Filipina juga diwakili oleh nama organisasi UNORKA
(Koordinator Nasional Organisasi Lokal Rakyat Pedesaan Otonom). Aksi-aksi
kolektif UNORKA tampil beragam mulai dari pendudukan tanah paksa sampai
dialog, dari turun ke jalan sampai serangan-serangan legal, dari surat petisi sampai
menyegel gerbang DAR (Departemen Reforma Agraria) untuk mendramatisasi
protes mereka. Selanjutnya kasus yang terjadi di Zimbabwe, Moyo (2005)
menyatakan bahwa perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh petani adalah
dengan melakukan pendudukan tanah dan invansi. Invasi mencakup kunjungan
sementara yang berlangsung hanya sekian hari, serta kunjungan sporadis yang
berulang-ulang dan tidak diikuti aksi menetap berkepanjangan.
Namun kondisi sebaliknya, yakni perlawanan yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi dan lokalistik terjadi pada kasus petani di Desa Cisarua.
Kinseng dan Ariendi (2011) menyatakan bahwa bentuk perlawanan kecil yang
dilakukan di Desa Cisarua ialah memperluas lahan garapan secara diam-diam
dengan koordinasi yang dilakukan hanya berdasarkan asas sama tahu saja.
Organisasi yang anonim, bersifat non formal, dengan bentuk perlawanan kecil dan
sembunyi-sembunyi yang dilakukan setiap hari oleh petani Desa Cisarua dengan
penuh kesabaran dan kehati-hatian serta berpura-pura bodoh dengan berpura-pura
tidak mengetahui bahwa lahan yang mereka garap merupakan tanah HGU yang
tidak boleh digarap oleh petani. Perjuangan yang dilakukan oleh petani ialah
bersifat individual, tidak secara kolektif.
Beberapa kasus di atas, terlihat bahwa terdapat berbagai macam bentuk
perlawanan yang dilakukan oleh petani, diantaranya perlawanan secara sembunyi-
sembunyi dan perlawanan terbuka dan langsung. Perlawanan secara terbuka dan
langsung diantaranya dilakukan dengan melakukan aksi massa, unjuk rasa,
pendudukan tanah, pemogokan, reclaiming, demonstrasi, pawai, perkemahan,
9
puasa, mogok makan, dialog, melancarkan serangan-serangan legal melalui surat
petisi. Sedangkan perlawanan secara sembunyi-sembunyi dilakukan dalam bentuk
perlawanan kecil secara diam-diam dan berpura-pura bodoh. Selain itu bentuk
perlawanan tidak langsung dapat terlihat dengan memasuki ruang politik
kenegaraan dan mempergunakan struktur yang ada dan menjadi bagian dari sistem
tersebut untuk kemudian memperbaiki sistem dari dalam. Selain itu terdapat pula
perlawanan yang dilakukan secara individual maupun kolektif serta perlawanan
wacana dan perlawanan fisik. Perlawanan wacana meliputi perang-perang kata
seperti kesaksian, lagu, syair, dan naras (slogan-slogan), disertai riset serta
analisis rinci tentang dampak waduk dan alternatif-alternatif pembangunan
berkelanjutan.
Faktor-faktor Munculnya Gerakan Petani
Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya
masih menggantungkan penghidupannya pada sektor pertanian. Oleh karena itu
lahan memegang peranan penting bagi kesejahteraan masyarakat. Lahan
merupakan hal yang paling esensial dan keberadaannya seringkali diperebutkan
oleh berbagai pihak, pada umumnya diwakili oleh tiga aktor yakni, masyarakat,
negara, dan pihak swasta. Lahan merupakan bagian dari kajian agraria. Berbicara
mengenai agraria di Indonesia tidak pernah terlepas dari historis Indonesia sejak
dari zaman kolonialisme, era Orde Lama hingga Orde Baru. Era Orde Lama
ditandai dengan lahirnya UUPA. Fauzi (1999) menyatakan bahwa berlakunya
UUPA berusaha mengatasi dualisme hukum agraria masa kolonial, yakni: hukum
yang berasal dari penjajah (kolonial), disebut juga Hukum Barat, dan hukum yang
berasal dari adat asli Indonesia. Dengan UUPA, pemerintah, dan masyarakat
pasca kolonial melaksanakan rekonstruksi bangunan politik agraria untuk
pemenuhan tujuan-tujuan pendirian negara bangsa sebagaimana tercantum pada
dokumen-dokumen dasar negara: Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
UUPA beserta peraturan-peraturan jabarannya, ingin mengubah kenyataan yang
berkembang di masa kolonial. Yakni, menjamin hak rakyat petani atas sumber
daya agraria (bumi, air, ruang angkassa, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya) dan mengatur perolehan hasilnya agar rakyat menjadi makmur. Usaha
ini disebut juga sebagai pembaruan agraria (land reform).
Fauzi (1999) dalam bukunya Petani dan Penguasa menyatakan bahwa pada
masa selanjutnya terjadi perubahan penguasa politik (suksesi rezim) dari Orde
Lama ke Orde Baru, yang berakibat pada berhentinya pelaksanaan populisme dan
dimulainya skenario politik agraria yang baru yang merubah seluruh sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Retorika “Revolusi” dan praktek politik
agraria populis digantikan secara drastis dan dramatis oleh retorika
“Pembangunan” dan praktek politik agraria kapitalis. Strategi pembangunisme ini
dijalankan dengan mengaitkan diri dengan kapitalisme internasional, yang
dilakukan dengan membuka diri terhadap agen-agen donasi internasional seperti
World Bank (WB), International Monetary Funds (IMF), dan International Group
for Goverment of Indonesia (IGGI). Kebijakan-kebijakan politik agraria yang
dibangun oleh Orde Baru, pertama adalah menjadikan masalah land reform hanya
sebagai masalah teknis. Kedua, menghapus semua legitimasi partisipasi organisasi
10
petani di dalam program land reform. Ketiga, penerapan kebijakan massa
mengambang (floating mass) pada menjelang pemilu tahun 1971 dengan
memotong hubungan massa pedesaan dengan partai-partai politik. Keempat,
diundangkannya UUPD (Undang-undang Pemerintahan Desa) tahun 1979. Dan
kelima, terlibatnya unsur polisi dan militer di dalam pengawasan dinamika
pembangunan desa. Pembangunan kapitalisme di sektor agraria terlihat dari
dilaksanakannya program revolusi hijau, eksploitasi hutan dan agroindustri.
Pembangunan kapitalisme ini melahirkan konflik agraria dan aksi protes
agraria. Terdapat sejumlah konflik utama yang meruyak: Pertama, pemerintah
mewajibkan petani untuk mempergunakan unsur-unsur revolusi hijau, demi
tercapai terjaganya swasembada beras. Kedua, perkebunan mengambil alih tanah
tanah yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Ketiga, terdapat sejumlah kasus
dimana pemerintah melakukan pengambilalihan (penggusuran) tanah untuk apa
yang dinyatakan sebagai “program pembangunan” baik oleh pemerintah sendiri
maupun swasta. Keempat, konfilik akibat eksploitasi hutan.
Berdasarkan sejarah panjang politik agraria di atas, terlihat bahwa
landasan terciptanya konflik atas lahan di Indonesia yang terus terjadi hingga saat
ini adalah hasil dari sebuah perencanaan panjang pada era Orde Baru yang secara
sengaja mengaburkan agenda land reform. Hal tersebut berdampak pada
terciptanya kondisi tumpang tindih kepemilikan lahan, perebutan lahan,
penguasaaan lahan yang tidak seimbang, dan berbagai kondisi ketimpangan
lainnya. Alexandrov dan Landsberger dalam Landsberger (1984) menyatakan
bahwa permulaan suatu gerakan petani tidak hanya sendirinya mewakili suatu
perubahan, tetapi merupakan konsekuensi dari perubahan yang mendahului
sebagaimana halnya setiap kejadian historis. Gerakan petani tidak hanya terjadi
secara simultan. Pembentukan gerakan petani dapat dilatarbelakangi oleh berbagai
kejadian, diantaranya yakni: (a) kejadian jangka pendek yang mempercepat –
kalah perang, pajak baru, sederetan panen yang gagal—sebagai hal yang berbeda
dari perubahan jangka panjang dalam struktur sosial, ekonomi maupun politik:
seperti kemorosotan aristokrasi yang berdasar feodal, pembukaan kemungkinan
komersial dalam pertanian dan tendensi sentralistis pada pemerintah nasional, (b)
perubahan pada fase pertama membawa akibat kepada kelas yang mendominasi
petani dan baru kemudian diteruskan kepada petani, (c) perubahan-perubahan di
sektor ekonomi dan (d) perubahan-perubahan obyektif.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Purwandari (2006) yang
menyatakan bahwa petani-petani di Salatiga mendapatkan tekanan struktural yang
tidak hanya terkait persoalan teknik produksi, namun juga menyentuh akar
kehidupan petani terutama terkait dengan hak atas tanah. Kondisi ini juga dialami
oleh petani di Desa Cisarua yang memiliki keterbatasan akses dan penguasaan
lahan akibat dilegitimasinya lahan di wilayah desa tersebut sebagai HGU untuk
perkebunan milik negara. Kasus tanah jenggawah juga muncul sebagai bentuk
kekecewaan panjang petani terhadap kebijakan pemerintah, yang memberikan
kewenangan kepada PTPN X untuk mengambil tanah milik petani di Jenggawah.
Kasus serupa juga terjadi di Tanah Pasundan, dimana sebagian besar lahan
dikuasai oleh PTPN dan PT. Perhutani. Hal ini juga diperkuat dengan hasil
penelitian Aprianto (2008) yang menyatakan bahwa munculnya gerakan sosial,
walau masih embrional, pada tingkat tertentu merupakan bagian dialektika untuk
melakukan perubahan kebijakan atas proses pembangunan yang tidak adil. Hal ini
11
mengindikasikan bahwa akar-akar pembangunan yang ditanamkan pada era Orde
Baru tidak menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sangat mendasar
yakni permasalahan pendistribusian lahan secara adil dan merata, sebagaimana
yang diamanahkan dalam UUPA Tahun 1960. Padahal kepemilikan dan
penguasaan atas lahan mutlak diperlukan untuk pengembangan sektor pertanian.
Pergolakan agraria juga terjadi di beberapa negara belahan lain di dunia.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa permasalahan agraria bukan hanya menjadi
agenda bangsa namun juga dunia. Boras dan Franco (2005) menyatakan bahwa
pergolakan agraria di Filipina berpangkal dari periode kolonial Spanyol (1565-
1898). Selama kurun waktu tiga setengah abad penjajahan Spanyol inilah, konsep
kepemilikan privat individu sebesas-bebasnya atas tanah diperkenalkan. Konsep
yang diperkenalkan pada abad-16 ini, membentuk landasan sosial dan ekonomi
untuk perkembangan bertahap distribusi kepemilikan dan kontrol tanah yang
sangat kacau balau. Selama kurun waktu tersebut terjadi pemberontakan-
pemberontakan besar. Kondisi yang melatarbelakangi terjadinya pergolakan di
Filipina tidak jauh berbeda dengan kondisi yang terjadi di Indonesia, yang sama-
sama mengalami masa penjajahan yang sangat panjang. Pada masa tersebut
Indonesia dan Filipina sebagai negara terjajah tidak memiliki kekuasaan untuk
mengatur kepemilikan lahan bagi warga negaranya sendiri dan hal ini diperparah
dengan langgengnya sistem tersebut di masa pemerintahan selanjutnya.
Hal yang sama juga terjadi di Zimbabwe. Moyo (2005) menyatakan bahwa
di Zimbabwe, masyarakat sipil yang didominasi kaum perkotaan, termasuk
gerakan ornop tidak pernah memprioritaskan agenda land reform, sementara
masyarakat sipil pedesaan secara formal telah disisihkan dari debat pertanahan
akibat mengalami kemiskinan berbasis kelas. Selain itu, prospek akan
demokratisasi dan land reform egaliter di Zimbabwe pupus akibat perubahan arah
kebijakan dari sosialisme ke neoliberalisme. Pemaksaan program-program
penyesuaian struktural di seantero Afrika pada tahun 1980an dirasionalisasi
dengan penjelasan tentang adanya ‘krisis’ ekonomi politik di Afrika.
Selain itu, kondisi yang melatarbelakangi lahirnya permasalahan agraria
juga dapat dipengaruhi oleh adanya adopsi budaya barat yang diinisiasi dalam
bentuk proyek-proyek pembangunan, sebagaimana yang terjadi di India.
Routledge (2005) menyatakan bahwa pergolakan di India terjadi bersamaan
dengan pembangunan waduk raksasa, yang diasosiasikan sebagai wujud
pembangunan berkelanjutan mengenai penanggulangan kemarau. Penerapan
pembangunan kerap didahului oleh penciptaan abnormalitas di suatu tempat.
Masalah-masalah ini karenanya membutuhkan profesionalisasi dan
institusionalisasi praktek-praktek pembangunan. Hal ini terjadi melalui wacana
pakar-pakar pembangunan, kolonisasi proses pembangunan oleh otoritas seperi
otoritas Kontrol Narmada serta diperkuat dengan iming-iming manfaat dan
kegunaan bagi calon pengguna dan penerima manfaat.
Berdasarkan kasus-kasus di atas, jelas petani adalah pihak yang selalu
dijadikan obyek pembangunan dan paling dirugikan dari program-program
pembangunan yang ada. Petani menjadi kaum mayoritas yang terpinggirkan di
tanahnya sendiri. Petani sering berada di posisi yang tersudutkan dan tertekan.
Tekanan-tekanan ini datang dari berbagai pihak mulai dari kebijakan pemerintah
yang tidak berpihak kepada petani hingga pengambilalihan dan penguasaan lahan
secara besar-besaran oleh pemilik modal. Hal ini lah yang mendorong petani
12
untuk melakukan perlawanan-perlawanan yang diwujudkan dalam bentuk
tindakan-tindakan nyata, yang sering disebut sebagai gerakan petani. Petani secara
mandiri mengorganisir dan melakukan perlawanan-perlawanan.
Hasil-hasil penelitian di atas menunjukan bahwa banyak hal yang
melatarbelakangi lahirnya perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh petani.
Diantaranya adalah keterbatasan akses dan penguasaan lahan akibat
dilegitimasinya lahan petani oleh pihak pemerintah maupun swasta atau dengan
kata lain kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada nasib petani. Kondisi ini
memperlihatkan bahwa land reform tidak menjadi primadona dalam agenda
pemerintah yang berakibat pada terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan dan
dominasi penguasaan lahan oleh sejumlah pihak yang berkuasa. Hal ini diperkuat
dengan belum adanya perubahan kebijakan yang tegas atas proses pembangunan
yang tidak adil. Perlawanan-perlawanan yang mencuat juga dapat disebabkan oleh
adanya proses adopsi budaya barat yang diinisiasi dalam bentuk proyek-proyek
pembangunan yang telah merasuki di hampir semua negara-negara dunia ketiga.
Bentuk-bentuk Peran Perempuan
Peranan perempuan meliputi banyak hal, baik dalam rumah tangga, bidang
pertanian, perkebunan, dan gerakan-gerakan sosial. Wahyuni (2007) menyatakan
bahwa keterlibatan perempuan dalam kegiatan pertanian tidak saja menjadi bagian
terbesar dari tenaga kerja di sektor pertanian, tetapi perempuan juga memiliki
pengetahuan dan keterampilan utama dalam kegiatan pekerjaan pertanian. Secara
tradisional perempuan memiliki keterampilan memilih benih padi yang baik dan
menyimpannya untuk ditanam pada musim tanam berikutnya. Perempuan juga
mampu memilih lahan yang cocok untuk budidaya pertanian. Mereka juga mampu
memilih tanaman yang cocok untuk pengobatan. Kemampuan tersebut dipelajari
para perempuan untuk kebutuhan bertahan hidup keluarganya. Kodrat perempuan
sebagai yang melahirkan anak membuat perempuan menjadi produsen primer dan
pekerja pemeliharaan. Peran perempuan diidentifikasi dengan alam dan
pemelihara kehidupan, sedangkan laki-laki identik dengan pengelola kebudayaan.
Identifikasi ini mengakibatkan perempuan diberi peran di sektor domestik,
mengurus rumah tangga dan laki-laki dalam peran publik, mengurus berbagai hal
yang berhubungan dengan sektor produksi.
Kemudian Sukesi (1995) menyatakan bahwa dalam perkebunan tebu
rakyat, wanita menunjukkan peran kerja yang nyata, baik pekerjaan pengelolaan
maupun pekerjaan fisik. Keterampilan kerjanya tidak berbeda dengan pekerja pria,
namun ruang geraknya dibatasi oleh nilai-nilai gender di rumah tangga dan di
perkebunan tebu. Curahan kerja wanita diperlukan terutama dalam kedudukan
sebagai pekerja keluarga dan buruh tani. Di rumah tangga, wanita mendominasi
pekerjaan rumah tangga dan melakukan pekerjaan jasa bagi terlaksananya
produksi tebu, namun kurang mendapat perhatian. Kekuasaan wanita nyata tetapi
sebatas rumah tangga dan pengelolaan tanaman pangan yang subsisten.
Di sisi lain, perempuan juga berperan dalam gerakan petani. Hafid (2001)
menyatakan bahwa masuknya perempuan dalam kelompok elit petani telah
mendorong semangat perjuangan petani. Partisipasi kaum perempuan telah
mendorong petani untuk terjun dalam kancah perjuangan hak milik tanahnya.
13
Dalam kasus tanah Jenggawah, terlihat bahwa perempuan juga ikut andil dalam
proses pengambilan keputusan, dalam hal ini diidentikkan dengan menggunakan
pertimbangan hati nurani. Sehingga komposisi antara laki-laki dan perempuan
akan melahirkan komposisi strategis yang harmonis. Perempuan juga berperan
dalam mobilisasi massa dan dalam mengomunikasikan perjuangan-perjuangan
yang mereka lakukan kepada sesama perempuan lainnya. Selain itu, kehadiran
perempuan juga memperkuat kesan bahwa persoalan menuntut hak oleh petani
Jenggawah bukan hanya persoalan kaum pria saja. Perjuangan tersebut tidak
semata persoalan politis, tetapi sudah masuk pada persoalan keluarga dan urusan
perut anak-anaknya.
Tidak hanya sebatas itu, perempuan juga terlibat dalam gerakan-gerakan
sosial yang meliputi aspek-aspek yang lebih luas. Suryochondro (1995) dalam
tulisannya memaparkan gerakan-gerakan wanita di beberapa negara. Gerakan
wanita di Inggris memperjuangkan perolehan hak pilih. Di Amerika, setelah
Revolusi Amerika berakhir (1861-1863) kaum wanita mulai ikut bergerak dalam
rangka pembaharuan kehidupan agama. Selain itu, kaum wanita juga berperan
dalam gerakan anti perbudakan yang dimulai tahun 1830. Kemudian, gerakan
wanita di Jepang dimulai pada abad ke-19 yang menuntut persamaan hak pria dan
wanita dalam keluarga dan masyarakat, peningkatan kesempatan pendidikan bagi
wanita, penghapusan sistem selir, dan penghapusan perizinan pelacuran. Di India,
yang menjadi jajahan Inggris sejak tahun 1857 dan memperoleh kemerdekaan
tahun 1947, timbuk gerakan wanita yang bergandengan dengan gerakan
kemerdekaan. Dalam hal ini Mahatma Gandhi sangat berjasa dengan mendorong
wanita berpartisipasi dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan bangsa. Dan
terakhir gerakan wanita di Filipina sangat dipengaruhi oleh kekuasaan politik.
Sedangkan di Indonesia pada awal pergerakan perempuan berperan dalam
memperjuangkan kemerdekaan dengan mengusung semangat nasionalisme.
Rahayu, dkk (2005) mengatakan bahwa berdasarkan sejarah panjang
perjuangan SPP, peran perempuan sangat besar. Mulai dari awal penguasaan
lahan sampai pada penataan produksi dan upaya mempengaruhi kebijakan baik di
tingkat desa maupun tingkat nasional. Upaya keterlibatan perempuan dalam
organisasi sangat penting. Upaya keterlibatan ini bisa dilihat dalam musyawarah-
musyawarah organisasi. Keterlibatan mereka tidak hanya dalam persoalan
penggarapan lahan akan tetapi keterlibatan perempuan dalam kegiatan-kegiatan
organisasi dari mulai pendidikan sampai pada pengambilan keputusan, itu tersebut
merupakan hal penting bagi agenda SPP ke depan karena peranan perempuan
dalam gerakan reforma agraria merupakan hal yang tidak terbantahkan dalam
perjuangannya. Munculnya pemimpin-pemimpin perempuan di desa-desa bagi
SPP adalah keharusan. Pelibatan perempuan secara aktif mulai dari menentukan
bibit tanaman, pengolahan dan pemeliharaan tanaman, panen, dan sampai pada
pemasaran bersama. Di dalam organisasi SPP perempuan harus terlibat dalam
musyawarah-musyawarah organisasi, ikut menentukan jalan atau tidaknya
organisasi, ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan organisasi, ikut
terlibat dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah, baik di tingkat desa, maupun
di tingkat nasional. Hal-hal yang sudah dan harus dilakukan perempuan dalam
organisasi SPP adalah:
14
1. Ikut ambil bagian dalam musyawarah keluarga dan berani memutuskan
sikap menghadapi persoalan-persoalan keluarga dan persoalan
kampungnya.
2. Ikut ambil bagian dalam musyawarah keluarga dan musyawarah
kampungnya menentukan sikap dalam pengelolaan organisasi SPP.
3. Ikut ambil bagian dalam musyawarah kampungnya dan menentukan sikap
apa yang harus diambil dalam musyawarah tersebut.
4. Ikut ambil bagian dan berperan aktif dalam musyawarah-musyawarah di
kampungnya dari tingkat kelompok, kampung, desa, kabupaten dan
tingkat nasional.
5. Bersama-sama dengan petani laki-laki, pemuda dan pihak lain mengurus
organisasi SPP dan melakukan pembagian kerja yang adil sehingga
organisasi tertata dan terkelola dengan baik.
6. Ikut ambil bagian dalam merumuskan dan melaksanakan kerja-kerja
organisasi SPP yang telah disepakati bersama.
7. Bersama-sama dengan petani lainnya baik laki-laki dan perempuan belajar
bersama dalam mengelola organisasi dan mengelola desanya.
8. Ikut ambil bagian dalam upaya penyelesaian sengketa agraria di desanya
melalui organisasi SPP dan pemerintahan desa.
9. Memperkuat peran-peran perempuan dalam organisasi, misalnya membuat
kegiatan-kegiatan khusus perempuan, contohnya: pengajian perempuan,
pendidikan ibu-ibu, diskusi, dan lain-lain.
Dari penjelasan kasus di atas, terlihat bahwa peranan perempuan pada
nyatanya sangat esensial dan beragam. Terlihat bahwa perempuan berperan dalam
proses pengembangan pertanian, beperan dalam bidang perkebunan, gerakan-
gerakan petani dan gerakan-gerakan sosial. Peranan perempuan di berbagai
bidang ini menggugat pemikiran-pemikiran pihak yang mengsubordinatkan
peranan perempuan.
Peran Gender
Peran merupakan suatu status yang dijalankan oleh seorang individu yang
berada pada suatu kelompok atau situasi sosial tertentu. Maksud dari peran gender
menurut Hubeis (2010):
“Peran gender menampilkan kesepakatan pandangan dalam
masyarakat dan budaya tertentu perihal ketepatan dan kelaziman
bertindak untuk seks tertentu (jenis kelamin tertentu) dan masyarakat
tertentu”.
Sementara itu, lebih terperinci lagi, Mugniesyah yang diacu oleh Aini
(2014) mengemukakan bahwa peranan gender adalah suatu perilaku yang
diajarkan dalam masyarakat, komunitas, dan kelompok sosial tertentu yang
menjadikan aktivitas-aktivitas, tugas-tugas dan tanggung jawab tertentu
dipersepsikan umur, kelas, ras, etnik, agama dan lingkungan geografi, ekonomi,
dan sosial. Definisi ini menunjukkan bahwa peran gender di suatu wilayah akan
berbeda dari peran gender lainnya sesuai dengan karakterisktik wilayahnya.
Secara universal peran gender antara laki-laki dan perempuan diklasifikasikan ke
15
dalam tiga peran pokok, yaitu peran reproduktif (domestik), peran produktif
(publik) dan peran sosial (masyarakat), Hubeis (2010):
1) Peran Reproduktif (domestik)
Merupakan peran yang dilakukan seseorang untuk melakukan
kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumber daya insani (SDI) dan
tugas kerumahtanggaan. Tidak jarang kegiatan reproduktif ini tidak
dianggap sebagai suatu pekerjaan yang konkret dan tidak diperhitungkan
sebagai kerja produktif yang menghasilkan pendapatan.
2) Peran Produktif
Merupakan peran yang menyangkut pekerjaan yang menghasilkan
barang dan jasa perihal kebedaan tanggung jawab antara laki-laki dengan
perempuan. Misalnya laki-laki identik melakukan pekerjaan yang berat
dengan menggunakan bantuan mesin, sedangkan perempuan melakukan
pekerjaan yang ringan.
3) Peran Masyarakat (sosial)
Peran masyarakat terkait dengan kegiatan jasa partisipasi politik.
Kegiatan jasa masyarakat banyak yang bersifat relawan dan biasanya
dilakukan oleh perempuan. Sedangkan kegiatan politik di masyarakat
terkait dengan status dan kekuasaan seseorang, sehingga pada umumnya
dilakukan oleh laki-laki. Terdapat klasifikasi tiga peran gender (Hubeis
2010):
Tabel 1 Klasifikasi peran gender
Gender Reproduktif Produktif Sosial
Perempuan Peran utama:Istri,
ibu, ibu rumah
tangga (keluarga)
Acap diasumsikan
tidak memiliki
peran produktif
Pembantu (turut)
mencari nafkah
keluarga
Manajemen, jasa,
penyuluhan
terkait pada aspek
peran reproduktif
Pekerja tidak
dibayar
(informal)
Laki-laki Bapak kepala
rumah tangga
Peran utama:
mencari nafkah
keluarga
Kepemimpinan
Politik
Ketahanan/militer
Pekerja dibayar
Sumber: Hubeis 2010
Analisis Gender
Salah satu alat analisis gender adalah kerangka Harvard yang dapat
digunakan untuk keperluan menganalisis situasi hubungan gender dalam keluarga
dan masyarakat. Kerangka Harvard terdiri atas tiga komponen, Overholt et al.
(1986) yang diacu oleh ILO (tanpa tahun) menyatakan komponen tersebut adalah
aktivitas, profil akses dan kontrol, dan faktor-faktor yang mempengaruhi
pembagian kerja, akses dan kontrol.
16
1) Profil Aktivitas
Profil aktivitas didasarkan pada pembagian kerja gender yang
dapat dilihat dari profil kegiatan. Profil ini mencakup informasi mengenai
siapa yang melakukan kegiatan, kapan, dan dimana kegiatan dilaksanakan,
berapa frekuensi dan waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut, dan
berapa pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Analisis
pembagian kerja pada penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi
peran perempuan dalan sistem penghidupan penduduk dan dalam gerakan
petani.
2) Profil Akses dan Kontrol
Akses adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya
maupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan
terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Selanjutnya
kontrol adalah penguasaan atau kewenangan penuh untuk mengambil
keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Profil akses dan
kontrol (peluang dan penguasaan) terhadap sumber daya mencakup
informasi mengenai siapa yang mempunyai peluang dan penguasaan
terhadap sumber daya fisik atau material, pasar komoditas dan pasar kerja,
dan sumber daya sosial-budaya. Berikutnya, profil peluang dan
penguasaan terhadap manfaat mencakup informasi mengenai siapa yang
mempunyai peluang dan penguasaaan atas hasil pendapatan, kekayaan
bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, prestise, dan seterusnya.
Akses dan kontrol juga dapat dilihat dari tinggi rendahnya
partisipasi. Aksesbilitas dapat diukur dengan partisipasi kuantitatif, yaitu
berapa jumlah laki-laki dan perempuan yang berperanserta dalam lembaga
tertentu dengan kedudukan dan tugas apa. Selanjutnya kontrol diukur
dengan partisipasi kualitatif yaitu bagaimana peranan laki-laki dan
perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan di dalam sistem
penghidupan penduduk dan gerakan petani. Kegunaan analisis ini adalah
untuk memperlihatkan hierarki wewenang, pengambilan keputusan dan
peran serta perempuan. Selain itu pola pengambilan keputusan dalam
keluarga juga dapat digunakan untuk melihat siapa yang bertanggung
jawab untuk apa dan siapa memperoleh manfaat apa.
3) Faktor-faktor pengaruh
Untuk memecahkan permasalahan yang menyangkut hubungan
gender perlu dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian kerja,
akses, dan kontrol terhadap sumber daya dan manfaat, partisipasi dalam
lembaga, dan pengambilan keputusan dalam keluarga. Faktor-faktor
tersebut bisa berupa struktur kependudukan, kondisi ekonomi, kondisi
politik, pola-pola sosial budaya, sistem norma, perundang-undangan,
sistem pendidikan, lingkungan, religi, dan lain-lain. Analisis ini berguna
untuk mengkaji fator-faktor apa saja yang mendorong keterlibatan
perempuan dalam gerakan petani.
17
Kerangka Penelitian
Gerakan petani merupakan bentuk perlawanan petani terhadap sistem yang
dengan sengaja berupaya untuk mengambil hak petani atas tanah. Gerakan petani
dilakukan atas dasar kesadaran petani dan rasa kepemilikan atas tanah yang telah
menghidupi keluarga dan orang banyak. Oleh karena itu, gerakan petani
melibatkan seluruh pihak dan seluruh lapisan dari masyarakat, laki-laki dan
perempuan. Peran-peran yang diambil atau diberikan kepada perempuan dalam
gerakan petani berhubungan dengan peran perempuan dalam sistem penghidupan
penduduk. Peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk mencakup tiga
peran, yakni: peran reproduktif, peran produktif, dan peran sosial (masyarakat).
Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis gender kerangka
Harvard untuk mengetahui peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk
serta untuk mengetahui peran perempuan dalam gerakan petani. Variabel yang
digunakan adalah aktivitas, akses, kontrol, dan faktor-faktor pengaruh lainnya.
Pada sistem penghidupan penduduk, variabel aktivitas meliputi aktivitas pada
kegiatan reproduktif, kegiatan produktif, kegiatan sosial. Kemudian variabel akses
meliputi akses terhadap sumberdaya fisik/material, akses terhadap sumberdaya
sosial-budaya, akses terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja serta akses
terhadap manfaat. Selanjutnya variabel kontrol meliputi kontrol terhadap
sumberdaya fisik/material, kontrol terhadap sumberdaya sosial-budaya, kontrol
terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja serta kontrol terhadap manfaat.
Sedangkan pada gerakan petani, variabel aktivitas meliputi kegiatan-kegiatan
yang terdapat dalam gerakan petani. Sedangkan variabel akses dan kontrol
meliputi akses dan kontrol terhadap kegiatan-kegiatan gerakan petani. Adapun
faktor-faktor pengaruh yang terdapat dalam analisis gender akan dianalisis
menggunakan metode kualitatif, untuk mengetahui hubungan peran perempuan
dalam sistem penghidupan penduduk terhadap posisi dan peran perempuan dalam
gerakan petani. Kerangka penelitian disajikan pada gambar di bawah ini.
18
Perkembangan politik-
ekonomi makro
Agenda pembangunan
untuk pertumbuhan
ekonomi
Rencana proyek
pertambangan pasir besi
Perlawanan petani
Peran perempuan dalam
gerakan petani
1. Keterlibatan
perempuan dalam
gerakan petani
2. Akses dan kontrol
perempuan dalam
gerakan petani
Peran perempuan dalam
sistem penghidupan
penduduk
1. Peran reproduktif
2. Peran produktif
3. Peran sosial
Peran perempuan dalam
sistem penghidupan
penduduk
1. Akses dan kontrol
terhadap sumberdaya
fisik/material
2. Akses dan kontrol
terhadap sumberdaya
sosial-budaya
3. Akses dan kontrol
terhadap pasar
komoditas dan tenaga
kerja
4. Akses dan kontrol
terhadap manfaat
Faktor-faktor
pengaruh lainnya
1. Hubungan
penduduk dengan
keraton Jogjakarta
2. Ancaman dari
rencana
eksploitasi pasir
besi
Keterangan:
: hubungan (secara kuantitatif deskriptif)
: hubungan (secara kualitatif deskriptif)
: fokus penelitian
Gambar 1 Kerangka penelitian hubungan peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk
dengan peran perempuan dalam gerakan petani
19
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini dapat disajikan sebagai berikut:
1. Diduga terdapat hubungan nyata antara peran perempuan dalam kegiatan
reproduktif, produktif, dan sosial masyarakat petani dengan peran
perempuan dalam gerakan petani.
2. Diduga terdapat hubungan nyata antara akses (kesempatan) perempuan
terhadap sumber daya dan manfaat dengan peran perempuan dalam
gerakan petani.
3. Diduga terdapat hubungan nyata antara kontrol (penguasaan) perempuan
terhadap sumber daya dan manfaat dengan peran perempuan dalam
gerakan petani.
Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan definisi yang digunakan oleh peneliti dalam
mengukur variabel-variabel yang diteliti. Adapun definisi operasional yng
digunakan adalah sebagai berikut:
1. Pembagian kerja reproduktif adalah pembagian kerja gender yang dapat
dilihat dari profil kegiatan peran yang dilakukan seseorang untuk
melakukan kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumberdaya
manusia dan tugas kerumahtanggaan. Adapun aktivitas reproduktif dalam
penelitian ini adalah berbelanja kebutuhan rumah sehari-hari, memilih
pangan yang akan dikonsumsi, memasak, membereskan rumah,
menyetrika pakaian, mengasuh anak-anak, merawat orang sakit, dan
mencuci pakaian. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala nominal
yang terbagi menjadi tiga kategori yakni:
- Dominan laki-laki, apabila laki-laki melakukan sebagian atau lebih
pekerjaan reproduktif tertentu.
- Dominan perempuan, apabila perempuan melakukan sebagian atau
lebih pekerjaan reproduktif tertentu.
- Bersama, apabila laki-laki dan perempuan melakukan sebagian atau
lebih pekerjaan reproduktif tertentu.
2. Pembagian kerja produktif adalah pembagian kerja gender yang dapat
dilihat dari profil kegiatan peran yang menyangkut pekerjaan yang
menghasilkan barang dan jasa perihal kebedaan tanggung jawab antara
laki-laki dengan perempuan. Kerja produktif dalam penelitian ini terdiri
dari lima kategori, yakni pertanian komoditas cabai keriting, pertanian
komoditas melon, perdagangan, peternakan, dan lain-lainnya terkait
bidang jasa. Masing-masing kategori pada pembagian kerja produktif akan
dijabarkan dalam bentuk pertanyaan yang terangkum dalam kuesioner.
Berikut aktivitas produktif pada berbagai sektor:
Pertanian komoditas cabe keriting: mengolah lahan, membersihkan
lahan, mencangkul, membuat petak-petak tanaman/bedengan,
menyebar pupuk dasar, memasang mulsa dan penyempurnaan
kompos, menanam, menyiram tanaman, menyiang tanaman,
20
mengendalikan hama dan penyakit, melakukan pemupukan
sususlan, dan memetik hasil panen.
Pertanian komoditas melon: mengolah lahan, membersihkan lahan,
mencangkul, melakukan pemupukan dasar, menanam, menyiram
tanaman, menyiang tanaman, mengendalikan hama/menyemprot
pestisida, memupuk tanaman, memetik hasil panen, dan menjarang
buah.
Perdagangan: menjaga toko/warung/berjualan di pasar, membeli
barang/bahan baku, membuat produk, dan mengatur keuangan.
Peternakan: membersihkan kandang, menyiapkan makan ternak,
menggembalakan ternak, merawat ternak, dan melakukan
pemasaran hasil.
Sektor jasa: mengajar, menarik ojek, kuli bangunan, bekerja di
pabrik, bekerja di kantor.
Skala pengukuran yang digunakan adalah skala nominal. Variabel
pembagian kerja produktif dibagi menjadi tiga kategori, yakni:
- Dominan laki-laki, apabila laki-laki melakukan sebagian atau lebih
jenis pekerjaan produktif tertentu.
- Dominan perempuan, apabila perempuan melakukan sebagian atau
lebih jenis pekerjaan produktif tertentu.
- Bersama, apabila laki-laki dan perempuan melakukan sebagian atau
lebih jenis pekerjaan produktif tertentu.
3. Pembagian kerja sosial adalah pembagian kerja gender yang dapat dilihat
dari profil kegiatan peran masyarakat terkait dengan kegiatan sosial dan
jasa partisipasi politik. Aktivitas sosial dalam penelitian ini adalah
kegiatan keagamaan, kegiatan PNPM, kegiatan kelompok tani/Gapoktan,
gotong-royong, rapat RT/lainnya, penyuluhan pertanian, dan hajatan.
Skala pengukuran yang dipakai adalah skala nominal yang terbagi menjadi
tiga kategori yakni:
- Dominan laki-laki, apabila laki-laki melakukan sebagian atau lebih
pekerjaan sosial tertentu.
- Dominan perempuan, apabila perempuan melakukan sebagian atau
lebih pekerjaan sosial tertentu.
- Bersama, apabila laki-laki dan perempuan melakukan sebagian atau
lebih pekerjaan sosial tertentu.
4. Akses terhadap sumberdaya fisik adalah kesempatan untuk menggunakan
sumber daya fisik/material maupun hasilnya tanpa memiliki wewenang
untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber
daya tersebut. Sumberdaya fisik diantaranya adalah lahan pertanian, modal
uang untuk kebutuhan keluarga, modal uang untuk kegiatan pertanian,
sarana produksi pertanian, dan hasil pertanian. Skala pengukuran yang
dipakai adalah skala nominal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni:
- Laki-laki, apabila laki-laki memiliki kesempatan untuk menggunakan
sebagian atau lebih sumberdaya fisik/material tertentu.
- Perempuan, apabila perempuan memiliki kesempatan untuk
menggunakan sebagian atau lebih sumberdaya fisik/material tertentu.
- Bersama, apabila laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan untuk
menggunakan sebagian atau lebih sumberdaya fisik/material tertentu.
21
5. Akses terhadap sumberdaya sosial-budaya adalah kesempatan untuk
menggunakan sumber daya sosial-budaya tanpa memiliki wewenang untuk
mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya
tersebut. Sumberdaya sosial-budaya adalah mengeyam pendidikan,
mengikuti penyuluhan pertanian, mengikuti penyuluhan lainnya, ikut
menentukan komoditas tanaman, dan ikut menentukan strategi
pengelolaan pertanian. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala
nominal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni:
- Laki-laki, apabila laki-laki memiliki kesempatan untuk menggunakan
sebagian atau lebih sumberdaya sosial-budaya tertentu.
- Perempuan, apabila perempuan memiliki kesempatan untuk
menggunakan sebagian atau lebih sumberdaya sosial-budaya tertentu.
- Bersama, apabila laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan untuk
menggunakan sebagian atau lebih sumberdaya sosial-budaya tertentu.
6. Akses terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja adalah kesempatan untuk
menggunakan sumber daya pasar komoditas dan tenaga kerja tanpa
memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara
penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Sumberdaya pasar komoditas
dan tenaga kerja adalah menyediakan (membeli) bibit dan saprotan,
menentukan waktu penjualan, menentukan tempat penjualan, menentukan
jumlah komoditas yang akan dijual, menentukan jumlah buruh tani,
pengelolaan usaha pertanian, dan pengelolaan usaha non pertanian. Skala
pengukuran yang dipakai adalah skala nominal yang terbagi menjadi tiga
kategori yakni:
- Laki-laki, apabila laki-laki memiliki kesempatan untuk menggunakan
sebagian atau lebih sumberdaya pasar komoditas dan tenaga tertentu.
- Perempuan, apabila perempuan memiliki kesempatan untuk
menggunakan sebagian atau lebih sumberdaya pasar komoditas dan
tenaga tertentu.
- Bersama, apabila laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan untuk
menggunakan sebagian atau lebih sumberdaya pasar komoditas dan
tenaga tertentu.
7. Akses terhadap manfaat adalah kesempatan untuk menggunakan hasil
pendapatan, kekayaan bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, prestise, dan
lain-lain tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap
cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Sumberdaya manfaat
adalah hasil pendapata, kekayaan bersama, kebutuhan dasar, dan
pendidikan di keluarga. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala
nominal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni:
- Laki-laki, apabila laki-laki memiliki kesempatan untuk menggunakan
sebagian atau lebih hasil pendapatan, kekayaan bersama, kebutuhan
dasar, pendidikan, dan prestise.
- Perempuan, apabila perempuan memiliki kesempatan untuk
menggunakan sebagian atau lebih hasil pendapatan, kekayaan bersama,
kebutuhan dasar, pendidikan, dan prestise.
- Bersama, apabila laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan untuk
menggunakan sebagian atau lebih hasil pendapatan, kekayaan bersama,
kebutuhan dasar, pendidikan, dan prestise.
22
8. Kontrol terhadap sumberdaya fisik/material adalah penguasaan atau
kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil
sumber daya fisik atau material. Sumberdaya fisik diantaranya adalah
lahan pertanian, modal uang untuk kebutuhan keluarga, modal uang untuk
kegiatan pertanian, sarana produksi pertanian, dan hasil pertanian. Skala
pengukuran yang dipakai adalah skala nominal yang terbagi menjadi tiga
kategori yakni:
- Laki-laki, apabila laki-laki memiliki kewenangan untuk mengambil
keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya fisik/material tertentu.
- Perempuan, apabila perempuan memiliki kewenangan untuk
mengambil keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya
fisik/material tertentu.
- Bersama, apabila laki-laki dan perempuan memiliki kewenangan untuk
mengambil keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya
fisik/material tertentu.
9. Kontrol terhadap sumberdaya sosial-budaya adalah penguasaan atau
kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan
sumberdaya sosial-budaya. Sumberdaya sosial-budaya adalah mengeyam
pendidikan, mengikuti penyuluhan pertanian, mengikuti penyuluhan
lainnya, ikut menentukan komoditas tanaman, dan ikut menentukan
strategi pengelolaan pertanian. Skala pengukuran yang dipakai adalah
skala nominal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni:
- Laki-laki, apabila laki-laki memiliki kewenangan untuk mengambil
keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya sosial-budaya tertentu.
- Perempuan, apabila perempuan memiliki kewenangan untuk
mengambil keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya sosial-
budaya tertentu.
- Bersama, apabila laki-laki dan perempuan memiliki kewenangan untuk
mengambil keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya sosial-
budaya tertentu.
10. Kontrol terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja adalah penguasaan atau
kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan pasar
komoditas dan tenaga kerja. Sumberdaya pasar komoditas dan tenaga kerja
adalah menyediakan (membeli) bibit dan saprotan, menentukan waktu
penjualan, menentukan tempat penjualan, menentukan jumlah komoditas
yang akan dijual, menentukan jumlah buruh tani, pengelolaan usaha
pertanian, dan pengelolaan usaha non pertanian. Skala pengukuran yang
dipakai adalah skala nominal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni:
- Laki-laki, apabila laki-laki memiliki kewenangan untuk mengambil
keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya pasar komoditas dan
tenaga kerja tertentu.
- Perempuan, apabila perempuan memiliki kewenangan untuk
mengambil keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya pasar
komoditas dan tenaga kerja tertentu.
- Bersama, apabila laki-laki dan perempuan memiliki kewenangan untuk
mengambil keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya pasar
komoditas dan tenaga kerja tertentu.
23
11. Kontrol terhadap manfaat adalah penguasaan atau kewenangan penuh
untuk mengambil keputusan atas hasil pendapatan, kekayaan bersama,
kebutuhan dasar, pendidikan, prestise, dan lain-lain. Sumberdaya manfaat
adalah hasil pendapata, kekayaan bersama, kebutuhan dasar, dan
pendidikan di keluarga. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala
nominal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni:
- Laki-laki, apabila laki-laki memiliki kewenangan untuk mengambil
keputusan atas sebagian atau lebih hasil pendapatan, kekayaan
bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, dan prestise.
- Perempuan, apabila perempuan memiliki kewenangan untuk
mengambil keputusan atas sebagian atau lebih hasil pendapatan,
kekayaan bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, dan prestise.
- Bersama, apabila laki-laki dan perempuan memiliki kewenangan untuk
mengambil keputusan atas sebagian atau lebih hasil pendapatan,
kekayaan bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, dan prestise.
12. Tingkat keterlibatan perempuan dalam gerakan petani adalah pembagian
kerja gender yang dapat dilihat dari profil kegiatan-kegiatan gerakan
petani. Kegiatan dalam gerakan petani dapat dibagi ke dalam tiga kategori
besar yakni:
Kegiatan dalam internal PPLP-KP: proses inisiasi pembentukan
PPLP, diskusi terkait rencana pertambangan di awal pembentukan
PPLP, memberi pendapat ketika diskusi berlangsung, mengambil
keputusan ketika menentukan sikap terkait rencana pertambangan,
dan kegiatan perayaan hari terbentuknya PPLP-KP.
Kegiatan diskusi dan menjalin solidaritas: diskusi tentang
perjuangan masyarakat di kampus-kampus, pementasan teater di
kampus Atma Jaya, diskusi tentang perjuangan masyarakat di
beberapa kumpulan masyarakat yang juga memperjuangkan lahan
pertaniannya, pementasan teater di kampus Universitas Gadjah
Mada, kunjungan ke Kebumen dalam rangka menjalin solidaritas,
pembentukan kesenian teater “unduk gurun”, pembentukan FKMA
(Forum Komunikasi Masyarakat Agraris), diskusi di Gerbang
Revolusi, Garongan, menjalin solidaritas dengan seniman,
menjalin solidaritas dengan agamawan, menjalin solidaritas dengan
akademisi, kampanye di dunia maya, menjalin solidaritas dengan
masyarakat pendukung penolakan penambangan pasir besi yang
bertempat di Australia, dan menjalin solidaritas dengan CAF
(Casual Anarchist Federalism) yang berada di Inggris.
Kegiatan aksi dan demontrasi: memblokade jalur lalu lintas
pertambangan, aksi penutupan jalan menuju pilot plan proyek,
pencegatan pekerja pilot proyek PT.JMI, mendatangi gedung-
gedung pemerintahan, kampanye penolakan pertambangan pasir
besi di Filipina, aksi-aksi demontrasi, pembuatan surat presiden
pertama, kedua dan ketiga, aksi demo di pemerintahan Kabupaten
Kulon Progo, aksi demo di kantor DPR yang pertama sampai
kelima, dan mengorganisir petani-petani ketika sebelum dan saat
aksi-aksi demontrasi berlangsung.
24
Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal yang terbagi
menjadi tiga kategori, yakni:
- Tinggi, apabila skor total variabel pada setiap jenis kegiatan berada
pada rentang 1-3
- Sedang, apabila skor total variabel pada setiap jenis kegiatan berada
pada rentang 4-6
- Rendah, apabila skor total variabel pada setiap jenis kegiatan berada
pada rentang 7-9
13. Tingkat akses perempuan terhadap gerakan petani adalah kesempatan
untuk mengikuti kegiatan-kegiatan gerakan petani. Akses terhadap
kegiatan kegiatan dalam gerakan petani diantaranya adalah kesempatan
untuk mengikuti diskusi-diskusi terkait rencana penolakan penambangan
pasir besi, kesempatan untuk mengikuti pertemuan dengan kelompok
gerakan petani lainnya, kesempatan untuk mengikuti diskusi dengan
kelompok gerakan petani lainnya, kesempatan untuk menjalin solidaritas
dengan kelompok gerakan petani lainnya, kesempatan untuk menjalin
solidaritas dengan individu-individu lainnya (seniman, agamawan, dan
akademisi), kesempatan untuk mengikuti aksi-aksi, demonstrasi, atau
kampanye, dan kesempatan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan gerakan
petani lainnya (pementasan drama, pencegatan pihak penambang, dll).
Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal yang terbagi
menjadi tiga kategori, yakni:
- Tinggi, apabila skor total variabel berada pada rentang 6-8
- Sedang, apabila skor total variabel berada pada rentang 9-11
- Rendah, apabila skor total variabel berada pada rentang 12-14
14. Tingkat kontrol perempuan terhadap gerakan petani adalah penguasaan
atau kewenangan penuh perempuan untuk mengambil keputusan atas
kegiatan-kegiatan gerakan petani. Kontrol terhadap kegiatan kegiatan
dalam gerakan petani diantaranya adalah kewenangan untuk mengikuti
diskusi-diskusi terkait rencana penolakan penambangan pasir besi,
kewenangan untuk mengikuti pertemuan dengan kelompok gerakan petani
lainnya, kewenangan untuk mengikuti diskusi dengan kelompok gerakan
petani lainnya, kewenangan untuk menjalin solidaritas dengan kelompok
gerakan petani lainnya, kewenangan untuk menjalin solidaritas dengan
individu-individu lainnya (seniman, agamawan, dan akademisi),
kewenangan untuk mengikuti aksi-aksi, demonstrasi, atau kampanye, dan
kewenangan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan gerakan petani lainnya
(pementasan drama, pencegatan pihak penambang, dll). Skala pengukuran
yang digunakan adalah skala ordinal yang terbagi menjadi tiga kategori,
yakni:
- Tinggi, apabila skor total variabel berada pada rentang 6-8
- Sedang, apabila skor total variabel berada pada rentang 9-11
- Rendah, apabila skor total variabel berada pada rentang 12-14
25
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian survei.
Penelitian survei adalah penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas
populasi untuk mewakili seluruh populasi. Informasi yang dikumpulkan dalam
penelitian survei adalah informasi dari responden dengan menggunakan
kuesioner. Penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam penelitian deskriptif.
Menurut Bungin (2005), penelitian deskriptif dimaksudkan hanya untuk
menggambarkan, menjelaskan, atau meringkaskan berbagai kondisi, situasi,
fenomena atau berbagai variabel penelitian menurut kejadian sebagaimana adanya
yang dapat dipotret, diwawancara, diobservasi, serta yang dapat diungkapkan
melalui bahan dokumenter.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dan
pendekatan penelitian kualitatif untuk memperkaya data dan informasi yang
diperoleh. Pendekatan kuantitatif akan diteliti menggunakan instrumen kuesioner.
Terdapat tiga konsep yang diukur secara kuantitatif. Pertama, ialah konsep
mengenai peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk dengan variabel
yang diukur berupa peran (pembagian kerja) reproduktif, peran (pembagian kerja)
produktif, peran (pembagian kerja) sosial, akses dan kontrol terhadap sumberdaya
fisik/material, akses dan kontrol terhadap sumberdaya sosial-budaya, akses dan
kontrol terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja serta akses dan kontrol
terhadap manfaat. Kedua ialah konsep peran perempuan dalam gerakan petani
dengan variabel yang diukur peran perempuan dalam kegiatan-kegiatan gerakan
petani, serta akses dan kontrol terhadap kegiatan-kegiatan gerakan petani
Pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara wawanacara mendalam,
observasi, dan studi dokumentasi terkait. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk
menjelaskan atau menggambarkan mengenai sejarah pertanian lahan pasir, sejarah
kepemilikan, penguasaan, dan penggarapan lahan pasir, gerakan petani lahan pasir
Kulon Progo, faktor-faktor yang mempengaruhi peran perempuan dalam gerakan
petani dan untuk menggambarkan pendapat perempuan mengenai masalah yang
sedang mereka hadapi dan perlawanan yang mereka lakukan.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di desa yang lahan pertaniannya terkena
konsesi penambangan pasir besi. Hal ini dikarenakan desa tersebut berada di
sepanjang pesisir pantai selatan yang memiliki sejarah panjang atas pengolahan
lahan pasir. Lahan pasir telah menghidupi keluarga-keluarga petani Kulon Progo
dan masyarakat luas melalui hasil pertanian mereka. Petani-petani di wilayah
selatan secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam gerakan petani, baik
laki-laki maupun perempuan, tua mapun muda. Hal ini disebabkan besarnya rasa
kepemilikan atas lahan pertanian dan hasil pertanian petani.
26
Lokasi penelitian bertempat di Desa Bugel, Kecamatan Panjatan,
Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Jogjakarta. Pemilihan lokasi ini dilakukan
secara purposive. Terdapat tiga alasan peneliti memilih Desa Bugel, yakni:
pertama, lokasi ini termasuk lokasi konsesi proyek pertambangan pasir besi;
kedua, Desa Bugel merupakan salah satu desa yang menjadi basis perlawanan
petani Kulon Progo; dan ketiga, salah satu tokoh perempuan dalam pergerakan
petani Kulon Progo berasal dari Desa Bugel. Penelitian ini akan dilaksanakan
selama delapan bulan, yaitu terhitung sejak Februari 2014 sampai dengan Oktober
2014. Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti meliputi penyusunan
proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data
lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan
perbaikan skripsi. Adapun tabel jadwal penelitian yang dilakukan oleh peneliti
terlampir pada Lampiran 2.
Teknik Pengambilan Informan dan Responden
Populasi dalam penelitian ini adalah perempuan yang bertempat tinggal di
Desa Bugel wilayah selatan. Sumber data dalam penelitian ini adalah responden
dan informan. Responden akan diwawancarai sesuai dengan kuesioner yang telah
dibuat karena jawabannya dianggap dapat mewakili keberadaannya sebagai
individu yang lahan pertaniannya terancam oleh konsesi pertambangan pasir besi
dan terlibat dalam gerakan petani. Responden hanya memberikan informasi terkait
dengan dirinya. Unit analisa atau unit yang akan diteliti oleh peneliti adalah
perempuan yang terlibat dalam gerakan petani. Alasan pemilihan unit analisa ini
dikarenakan sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yakni menganalisis hubungan
peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk peran perempuan dalam
gerakan petani lahan pasir Kulon Progo. Metode penarikan sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah pengambilan sampel acak sederhana dari
populasi perempuan pesisir Desa Bugel bagian selatan, yang mencakup dua
dusun. Hal ini dikarenakan unit penelitian atau satuan elementer dari populasi
bersifat homogen yakni petani lahan pasir dan terlibat dalam gerakan petani. Oleh
karena itu, jumlah sampel yang akan diambil adalah sebanyak 30 perempuan yang
lahan pertaniannya terkena konsesi penambangan pasir besi dari 458 perempuan.
Penarikan sampel pada penelitian ini menggunakan aplikasi Microsoft Excell
2010 dengan menggunakan rumus =randbetween(1;458).
Informan diperlukan untuk melengkapi data yang didapat melalui
responden. Warga yang dapat berperan sebagai informan adalah mereka yang
terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam perlawanan petani
lahan pasir Kulon Progo. Informan kunci dalam penelitian ini adalah tokoh
masyarakat maupun tokoh yang dituakan, laki-laki dan perempuan baik di desa
yang bersangkutan maupun di dalam internal kelompok PPLP-KP. Pemilihan
informan di wilayah ini menggunakan teknik bola salju (snow ball). Metode ini
dipilih untuk mendapatkan informan yang benar-benar terlibat, mengetahui, dan
memahami pergerakan dan perlawanan yang dilakukan.
27
Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam peneilitian ini terdiri dari data primer dan
sekunder. Data primer didapatkan langsung di lapangan dengan cara observasi,
kuesioner, serta wawancara mendalam yang dilakukan langsung kepada
responden maupun informan. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen
tertulis yang terdapat di Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP).
Data sekunder berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini,
seperti dokumen sejarah penguasaan lahan, data lahan yang terkena konsesi
penambangan pasir besi, data masyarakat yang menjadi anggota PPLP-KP
maupun data mengenai kegiatan-kegiatan perlawanan yang dilakukan oleh PPLP-
KP. Data sekunder juga diperoleh melalui berbagai literatur yang berkaitan
dengan permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu buku, laporan
hasil penelitian, artikel, dan sebagainya.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini mempunyai dua jenis data yang akan diolah dan dianalisis,
yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif menggunakan aplikasi
Microsoft Excell 2010. Pembuatan tabel frekuensi untuk melihat data awal
responden untuk masing-masing variabel secara tunggal menggunakan aplikasi
Microsoft Excell 2010. Selanjutnya pembuatan tabulasi silang untuk melihat
hubungan antara tingkat pendidikan perempuan dengan peran perempuan dalam
gerakan petani.
Data kualitatif dianalisis melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian
data, dan verifikasi.Pertama ialah proses reduksi data dimulai dari proses
pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, hingga transformasi data hasil wawancara
mendalam, observasi, dan studi dokumen. Tujuan dari reduksi data ini ialah untuk
mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak
perlu. Kedua ialah penyajian data yang berupa menyusun segala informasi dan
data yang diperoleh menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dibaca ke dalam
sebuah laporan. Verifikasi adalah langkah terakhir yang merupakan penarikan
kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi.
28
29
PROFIL DESA BUGEL
Profil Desa Bugel menjelaskan mengenai kondisi keadaan Desa Bugel yang
dijadikan sebagai tempat penelitian. Informasi yang terkandung dalam bab ini
antara lain kondisi geografis, kondisi sosial budaya, serta kehidupan sosial
ekonomi masyarakat pesisir sebelum dan sesudah pengolahan lahan pasir.
Kondisi Geografi
Desa Bugel merupakan dataran rendah yang terletak di pinggiran
Samudera Hindia meluas ke arah utara. Menurut sejarah lisan yang dituturkan
warga, istilah ‘bugel’ menunjuk pada satu sisa akar pohon (bugel) yang tersisa
dari kebakaran besar di desa tersebut. Secara demografis, desa ini terletak di
Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo. Desa ini terletak di sebelah utara
jalan Daendeles dengan ketinggian 0.5 meter diatas permukaan laut. Batas-batas
wilayah Desa Bugel yakni sebelah barat berbatasan dengan Desa Pleret; sebelah
timur berbatasan dengan Desa Tirtorahayu dan Desa Karangsewu; sebelah utara
berbatasan dengan Desa Depok dan Desa Kanoman; dan sebelah selatan
berbatasan dengan Samudera Hindia. Jarak desa Bugel dengan kecamatan kurang
lebih 3 Km, ke kota Kabupaten kurang lebih 8 Km, ke ibukota Provinsi kurang
lebih 20 Km.
Secara administratif Desa Bugel memiliki luas wilayah sebesar 642.32 ha
dan terdiri dari 10 pedukuhan, 20 RW dan 41 RT, yang terdiri dari pekarangan
seluas 443.69 ha, persawahan 127.63 ha dan lainnya seluas 20.25 ha. Pola
penggunaan lahan terdiri atas: tegalan 26.73 %; pertanian sawah 17.36 %; lahan
pasir 16.35% (untuk pertanian 119 Ha). Selain itu adalah kawasan industri, hutan,
bangunan, pemukimam, kawasan peternakan, perdagangan, rekreasi dan olahraga,
perikanan darat dan tawar. Di Desa Bugel terdiri dari wilayah lahan pasir dan
lahan tanah liat. Lahan pasir di pedukuhan I dan II, sedangkan lahan tanah liat
terletak di pedukuhan III sampai dengan pedukuhan X. Desa Bugel terletak di
kawasan tepi pantai dengan kondisi topografi yang landai dan datar. Elevasi
ketinggian rata-rata Desa Bugel adalah 0.5 meter sampai dengan 10 meter diatas
permukaan laut.
Kondisi Sosial Budaya
Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk Desa Bugel ialah
Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia. Salah satu tokoh pelopor utama penemu
pengelolaan lahan pasir tinggal di Desa Bugel, beliau bernama Pak KMN.
Temuan-temuannya adalah budidaya cabe keriting, palawija dan buah-buahan
lainnya, seperti semangka dan jeruk. Beliau juga penemu teknologi pertanian lain
seperti irigasi sumur bronjong. Sejarah kelompok tani dan sistem lelang juga
datang salah satunya dari Pak KMN dan salah satunya dimulai dari Desa Bugel,
sebelum akhirnya tersebar ke desa-desa pesisisir lainnya. Sehingga bisa dikatakan
pertanian lahan pasir untuk budidaya cabe keriting dan buah semangka di pesisir
30
Kulon Progo yang terbaik (dari segi kualitas dan kuantitas) adalah di Garongan
dan Bugel. Pak KMN juga merupakan pendiri dan ‘sesepuh’ Paguyuban Petani
Lahan Pasir (PPLP) Kulon Progo, sehingga salah satu inisiator perundingan dan
gerakan atau mobilisasi masa kerap datang dari Beliau, selain tentunya tokoh
lainnya.
Terdapat beberapa kelompok di desa ini yakni Kelompok Tani Sugih
Mulyo, kelompok pasar lelang, Garuda, dan kelompok pengajian. Keseluruhan
kelompok yang ada di Desa Bugel merupakan basis bagi pergerakan perlawanan
petani menolak rencana pertambangan pasir besi. Kelompok tani Sugih Mulyo
merupakan bagian dari Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP).
Garuda merupakan basis gerakan petani bagi pemuda-pemuda Desa Bugel.
Keberadaan kelompok perjuangan pemuda dirasa penting oleh PPLP-KP, agar
perjuangan tetap ada dan terus berlanjut. Penting menanamkan kesadaran bahwa
lahan pertanian yang kini telah mengubah kesejahteraan hidup para petani layak
diperjuangkan dari segala bentuk penindasan. Kegiatan-kegiatan dari kelompok
pemuda ini diantaranya adalah touring menggunakan sepeda motor. Kegiatan ini
diadakan untuk mempererat tali silaturahmi diantara sesama pemuda pesisir.
Kegiatan tersebut juga aktif untuk menyebarkan semangat perjuangan pemuda
untuk melawan rencana pertambangan pasir besi serta sebagai media saling
berbagi informasi.
Berbeda dengan kelompok pemuda, kelompok pengajian diikuti oleh
seluruh kalangan, baik anak-anak, remaja, dewasa maupun tua serta baik
perempuan maupun laki-laki. Kelompok pengajian ini ada di tujuh desa di
sepanjang desa pesisir. Setiap malam secara bergantian masyarakat desa pesisir
berdoa untuk menolak rencana pertambangan pasir besi. Pengajian ini tidak
pernah terputus, berlangsung secara terus-menerus hingga saat ini. Di Desa Bugel
sendiri pengajian diadakan pada hari rabu. Masyarakat pesisir menyebutnya
dengan “mujadahan”. Mujadahan ada atas inisiatif dari masyarakat pesisir. Ide
untuk melakukan mujadahan bermula dari kejadian penangkapan salah satu
masyarakat pesisir yang tidak bersalah oleh aparat Kepolisian Pemerintah Daerah
Kabupaten Kulon Progo. Sejak saat itu masyarakat pesisir merasa perlu adanya
kegiatan untuk mendoakan agar rencana pertambangan pasir besi tidak pernah
terlaksana di Kulon Progo.
Sejak adanya isu pertambangan pasir besi, masyarakat pesisir Desa Bugel
terbagi menjadi dua kelompok yakni kelompok masyarakat pro pertambangan dan
kelompok masyarakat kontra pertambangan. Masyarakat kontra pertambangan
memiliki kesepakatan bersama untuk memberikan sanksi sosial kepada
masyarakat yang pro pertambangan. Sanksi sosial tersebut berupa diputuskannya
hubungan kekeluargaan, baik antara tetangga maupun sesama saudara kandung.
Masyarakat kontra pertambangan tidak lagi memiliki rasa empati kepada
masyarakat yang pro pertambangan. Menurut pengakuan warga, ketika
masyarakat pro pertambangan mengadakan hajatan maka masyarakat yang kontra
tidak menghadiri hajatan tersebut. Bahkan jika ada diantara masyarakat yang pro
pertambangan meninggal dunia, maka masyarakat kontra pertambangan tidak
melayat orang tersebut. Selain itu, antara masyarakat pro dan kontra
pertambangan memiliki tempat ibadah masing-masing dalam satu Desa Bugel.
Masyarakat pro pertambangan Bugel memiliki kelompok sendiri yang dinamakan
Peduli Rakyat yang disingkat dengan Perak. Kelompok ini dibentuk dan dibiayai
31
oleh JMI (Jogja Magasa Iron), yang merupakan salah satu pemilik saham dalam
proyek pertambangan pasir besi.
Kondisi Pertanian Lahan Pasir1
Penemuan pengetahuan dan teknologi pengolahan lahan pasir merupakan
temuan warga petani pesisir sendiri. Dari satu kondisi kehidupan yang serba
miskin dan tertinggal kemudian sejak tahun 1985, pengetahuan hasil
eksperimentasi tanpa lelah akhirmya menunjukkan hasilnya. Lahan pasir yang
sebelumnya kering dan tandus dapat diubah menjadi lahan subur yang bisa di
tanamai beragam tanaman pangan, palawija dan buah-buahan yang dapat menjadi
produk unggulan2. Kehidupan kemiskinan ekonom dan ketertinggalan secara
sosial dan budaya yang dialami wong cubung berbalik secara revolusioner sejak
ditemukannya pengolahan lahan pasir. Pak KMN di desa Bugel pada mulanya
hanya melakukan eksperimentasi kecil-kecilan mengolah lahan pasir dengan
pupuk kandang, sebab ia terinspirasi atas temuan satu pohon cabe yang tetap
hidup di lahan pasir dekat pantai. Setelah bertahun-tahun mencoba pengolahan
lahan pasir dengan pupuk kandang sebagai pengikat dan ditambahkan dengan
obat-obat kimia yang sesuai kebutuhkan tanaman palawijanya ternyata dapat
berhasil. Sejak tahun 1985 kemudian pengetahuan dan teknologi itu menyebar di
sekitar desa-desa pesisir. Pada tahun 1990-an telah menjadi model pertanian lahan
pasir diseluruh pesisir Kulon Progo, dengan tanaman utamanya cabe keriting dan
semangka.
Budidaya Palawija dan Buah-buahan (Cabe Keriting dan Semangka)
Sejak ditemukannya pengolahan lahan pasir, para petani di Bugel dan
Garongan terinspirasi untuk mengeksperimentasikan pertanian lahan pasir ini
dengan beragam tanaman pangan. Sudah banyak jenis tanaman pangan yang
diujicobakan di lahan pasir, dari padi, kedelai, jagung kacang-kacangan, segala
umbi-umbian, beragam buah-buahan; jeruk, melon, blewah, dan segala macam
sayur mayur dapat tumbuh dengan sehat. Namun, hasil produksinya di pasaran
cukup rendah. Lalu eksperimentasi para petani pesisir inipun berlanjut untuk
mencoba jenis tanaman lain yang orientasinya menjadi tanaman unggulan. Sejak
ditemukannya cabe keriting dengan jenis Lado dan Helik yang prosesnya cukup
panjang, setelah menyeleksi dan mencoba jenis cabe keriting lainnya, kemudian
buah semangka sebagai produk unggulan petani pesisir. Mayoritas petani pesisir
cenderung menanam keduanya sebagai produk unggulan (khususnya di desa
Garongan dan Bugel). Meskipun dalam prakteknya model tanam tumpang sari
dengan tanaman sayur mayur dan palawija lainnya tetap dilakukan, seperti kacang
1 Kondisi pertanian lahan pasir ini berdasarkan hasil riset yang dilaksanakan atas kerjasama STPN
(Sekolah Tinggi Pertanahan Negara) dan SAINS (Sajogyo Institute) yang berjudul Laporan
Kabupeten Kulon Progo. Laporan ini menganalisis dinamika penguasaan agraria dan sistem
produksi di wilayah pesisir yang berhimpitan dengan benturan klaim penguasaan dan kepentingan
peruntukan uang. 2 Secara Lebih detail sejarah penemuan pengetahuan dan teknologi pertanian lahanpasir ini telah di
dokumentasikan dalam sebuah film yang mengangkat kisah biografi Pak karman (dari dusun
Bugel) dengan Judul “ Menyebar Asa di Pasir” (sebuah Film Dokumenter), oleh Jurusan Ilmu
Komunikasi FISIP UNS.
32
panjang, sawi, terong dan sebagainya, namun tanaman tersebut hanya untuk
tambahan saja. Atau menurut bahasa warga “sekedar untuk tambahan beli pulsa”.
Sebab, bagaimanapun warga Garongan dan Bugel sudah mapan dengan cabe
keriting dan buah semangka.
Penghasilan dari tanaman cabe merah kriting dan lahan pasir yang subur
telah mengubah drastis kehidupan sosial ekonomi masyarakat garongan dan
sekitarnya. Meski luas lahan mereka rata-rata hanya 2000-3000 m2 (dan paling
luas di Desa Garongan hanya 7000 m2) sudah cukup bahkan lebih untuk
kebutuhan sehari-hari. Setiap panen raya pada bulan Juni hingga Agustus, dengan
luas lahan 2000-3000 m2 dengan harga cabe Rp 7000-10.000/Kg untung bersih
(setelah dipotong ongkos produksi dan buruh panen) yang masuk 15-20 juta.
Tanaman semangka mesipun tidak sebesar cabe keriting, namun penghasilan
panennya hampir separuh dari panen cabe keriting. Dengan penghasilan seperti
itu, masyarakat dipesisir Kulon Progo (khususnya di desa Bugel dan Garongan)
akan mempertahankan mati-matian atas lahan mereka, dan sangat wajar jika
mereka sangat bergantung sekali dengan hasil tanaman cabe dan semangka dari
lahan pasir mereka.
Tonggak-tonggak irigasi
Salah satu temuan penting dari petani pesisir yang mendukung
pengetahuan dan teknologi pertanian lahan pasir adalah teknologi irigasi. Seiring
ditemukannya teknik pengolahan lahan pasir dengan pupuk kandang yang telah
berhasil untuk tanaman cabe dan palawija, petani juga memikirkan bagaimana
irigasi untuk tanaman tersebut. Tonggak-tonggak perubahan dari teknologi irigasi
ala pesisir Kulon Progo ini bertahap. Pada mulanya, tahap pertama, kebutuhan air
di pasok dari sumur-sumur sederhana yang dibuat dengan menggali pasir sedalam
mungkin agar muncul air tawar untuk tanaman. Namun setiap dua meter, selalu
ambruk lagi, meski air sudah di dapatkan.
Tahap kedua, dibuat sumur bronjong. Dengan membuat anyaman bambu
yang bungkus sarung untuk menayaringnya dari pasir. Cukup lumayan hasilnya
namun tidak terlalu mencukupi untuk kebutuhan tanaman dan pertanian yang ada.
Tahap ketiga, mulai dibuat sumur renteng. Setelah lubang-lubang sumur dibuat
dibawah sumur utama dipasang bambu-bambu panjang yang telah dilubangi
tengahnya untuk menghubungkan ke sumur-sumur lain untuk ditimba airnya dan
disiramkan secara manual dengan gembor ke tanaman-tanaman cabe.
Tahap keempat, dibuat sumur renteng yang menggunakan asbes. Pada
tahap ini sumur-sumur renteng lebih kuat karena telah dibuat dengan asbes yang
memagari sumur-sumur tersebut, sehingga tidak mudah runtuh kembali dan
menjaga agar air tetap tergenang banyak. Tahap kelima, sumur dengan paralon.
Setelah melalui usaha-usaha untuk memudahkan mendapatkan air para petani
melirik paralon sebagai pengganti bambu-bambu dan sumur asbes. Dengan pompa
air dan paralon yang saling menghubungkan akhirnya air dapat dipompa keluar
dan mudah dialirkan dan diambil untuk disiramkan ke tanaman.
Tahap keenam, siram dengan selang. Semakin hari petani berusaha
memudahkan untuk menyiram tanaman cabe mereka yang memang membutuhkan
siraman setiap hari. Saat mengenal selang, mereka tidak lagi menggunakan
gembor. Penggunaan paralon yang lebih rapi dan saling menghubungkan di titik-
titik tertentu sepanjang luas lahan yang ada, mereka memasang selang panjang
33
yang di ujungnya diberi semacam shower yang bisa menjadi alat siram pengganti
gembor. Sehingga sampai saat ini, dengan cadangan air tawar yang cukup dan
peralatan siram selang paralon ini sangat dimudahkan dan tercukupi untuk
menyirami tanaman cabe mereka. Belakangan ini mereka mulai melirik modal
penyiraman tanaman yang dikembangkan untuk tanaman buah naga di daerah
Gelagah yang memakai teknologi siraman yang berputar sendiri ala siraman
rumput kebun untuk diuji cobakan. Sayang masih tergolong mahal, sehingga
belum banyak yang mencoba.
Jalan Usaha Tani
Faktor penting lainnya yang mendukung penemuan teknologi pengolahan
lahan pasir hingga produktifitas cabe keriting dan semangka di desa Bugel dan
Garongan serta beberapa desa di sekitar pesisir Kulon Progo adalah keberadaan
jalan usaha tani yang menembus dari jalan utama ke lahan garapan dan pemajekan
warga. Sebelumnya para petani sangat kesulitan untuk mengangkut hasil panen
mereka, sehingga membuat banyak petani tidak maksimal untuk menanam
beragam tanaman di lahan pasir mereka (baik pemajekan maupun garapan).
Berkat kerja keras, negosiasi dan tekanan beberapa tokoh kelompok tani ke pihak
pemerintah desa (Garongan dan Bugel), ke kecamatan Panjatan, ke kabupaten
hingga provinsi untuk menyuarakan pentingnya jalan usaha tani ini akhirnya
berhasil. Pak Karman di desa Bugel dan Pak Diro di desa Garongan dengan
kelompok taninya adalah beberapa orang yang ikut mendorong keberhasilan
dibangunnya jalan usaha tani tersebut.
Jalan makadam (dengan batu putih) ini dibangun untuk memudahkan
transportasi dari lahan sawah warga ke jalan raya. Mereka menyebut jalan ini
sebagai ‘jalan usaha tani’. Sebagian besar jalan usaha tani yang ada di daerah
Bugel dan Garongan adalah hasil perjuangan warga sendiri, meski awalnya
ditolak oleh pemerintah desa maupun pemerintah daerah setempat dengan alasan
akan memperluas lahan pertanian warga di tanah Paku Alaman Grond. Namun,
akhirnya warga tetap diberi keleluasaan untuk membangun jalan tersebut,
sebagian dana pembangunan berasal dari pemerintah sementara para petani
membangun dan meratakan jalan secara swadaya dan bergotong royong. Dengan
dibangunnya jalan usaha tani tersebut warga pesisir sekarang semakin
dimudahkan untuk mengangkut hasil panen dan hasil bumi ke jalan utama.
Sistem Lelang
Sejarah Lelang, di temukan dan dimulai dari gagasan Pak Sudiro (Ketua
Kelompok Tani Bangun Karyo) di Desa Garongan sejak tahun 2002. Latar
belakang munculnya sistem lelang ini di dasari oleh keresahan para petani pesisir
yang kerap dibohongi dan dipermainkan soal harga, hasil pertanian mereka
(terutama semangka dan cabe keriting). Sebab sebelumnya (saat sistem lelang
belum ditemukan), para pembeli dan juragan membeda-bedakan harga hasil panen
petani pesisir sesuai hasil negosiasi dengan para petani. Jika petani bisa ditekan,
maka akan dapat harga murah dan sebaliknya.
Akibatnya, diantara para petani sering terjadi ketegangan dan konflik.
Sehingga antar mereka berkompetisi untuk ‘saling mendekat dan menjilat’ para
juragan dan pembeli hasil panen mereka, yang mengarah pada kompetisi yang
tidak sehat. Bahkan, lebih jauh konflik tersebut merembet sampai pada unit
34
keluarga, sebab antar satu keluarga dengan keluarga lain saling bersaing dan
mengejek hasil penjualan cabe mereka yang dihargai lebih murah dan yang lain
membanggakan diri karena terjual dengan harga yang tinggi dan lebih mahal.
Pada tahun 2002, Pak Sudiro sebagai ketua kelompok tani Bangun Karyo,
berusaha mencari jalan penyelesaian nasib petaninya dengan berusaha
mengumpulkan hasil panen cabe di kelompoknya di satu tempat, yaitu di
rumahnya sendiri. Kemudian para pembeli dan juragan cabe diminta datang dan
menawar harga. Bagi para pembeli dan juragan yang mampu menawar paling
tinggi dialah yang berhak untuk membawa pulang semua hasil panen di kelompok
Pak Sudiro.
Ternyata inisiatif awal ini dilihat oleh kelompok dan para juragan cabe
yang lain. Sehingga para juragan dan pembeli cabe yang belum dapat kula’an
(bahan jualan) meminta jatah dari Pak Diro dan kelompoknya. Melihat permintaan
dan kemampuan untuk menentukan harga yang lebih baik seperti itu, Pak Diro
berinisiatif untuk mengajak kelompok tani lainnya untuk mengumpulkan hasil
panen cabe mereka di satu tempat untuk kemudian di “lelang” kan ke juragan dan
pembeli cabe. Ternyata gagasan itu disambut baik dan antusias.
Pada awalnya, para juragan dan pembeli cabe menulis harga tawaran
mereka pada secarik kertas dan dimasukkan ke dalam kotak kecil (seperti kotak
amal masjid), kemudian kotak tersebut diputarkan ke rumah-rumah para juragan
dan pembeli cabe. Sehingga pada saat itu masih terjadi manipulasi harga, ketika
pembawa kotak berkunci itu ‘kong kalikong’ dengan salah satu juragan dan
pembeli cabe, yang kemudian memberi harga lebih tinggi, setelah melihat harga
dari pembeli lainnya.
Namun sekarang, kotak tempat harga para juragan itu harus ditaruh di
tempat terbuka dan ketika para juragan dan pembeli cabe memasukkan secarik
kertas harga pembelian mereka dimaksukkan di depan khalayak umum. Sehingga
keamanan kotak tersebut bisa terjaga. Dan setelah semua juragan dan pembeli
selesai memasukkan harga mereka, maka panitia membuka dan membacakan
harga-harga tersebut, dan menuliskannya di white board yang telah disediakan,
sesuai dengan jenis cabe yang dibeli dan dari kelompok mana yang hendak dibeli.
Masing-masing juragan dan pembeli boleh menaruh dua atau tiga harga
sekaligus, baik langsung maupun melalui titipan ke orang lain (melalui pesan
singkat atau telepon) yang hadir di tempat lelang. Dan bagi pemilik harga
tertinggilah yang akan menjadi pemenang untuk mengangkut semua hasil panen
di tempat lelang tersebut. Rata-rata harga selisih antar pembeli tidaklah jauh,
berkisar Rp.2000-3000. Sehingga prediksi dan keahlian untuk menakar pasar
mutlak diperlukan bagi para pembeli dan juragan cabe di pesisir, jika tidak ia akan
mudah kalah.
Bagi para petani cabe di pesisir Kulon Progo, sistem Lelang sangat
menguntungkan hasil lelang mereka. Selain daulat harga cabe mereka ada dari
para pembeli dan juragan cabe, juga sebagai media untuk memutus konflik antar
petani dan ketegangan di dalam keluarga yang dulu kerap terjadi di setiap musim
panen cabe. Sekarang sistem lelang telah jamak digunakan dan tersebar di
kalangan petani pesisir Kulon Progo, khususnya dan hanya untuk tanaman cabe,
tidak pernah untuk hasil panen pertanian yang lain.
Setelah marak dan dipakai oleh banyak kelompok Tani Cabe di pesisir
Kulon Progo, kini sistem lelang sudah mulai diakui pemerintah dan mulai
35
didukung untuk dikembangkan lebih luas dengan bantuan pembuatan tempat tetap
dan alat pendukung dari pasar lelang. Jika dihitung, maka dapat disebutkan bahwa
fasilitas pasar lelang yang sudah ada di desa-desa adalah sebagai berikut:
1. Desa Glagah : 2 tempat
2. Desa Garongan : 1 tempat
3. Desa Bugel : 1 tempat
4. Desa Karang Sewu : 2 tempat
5. Desa Trisik : 1 tempat
6. Desa Karangwuni : belum ada
Penanganan Hama ala Petani
Beberapa petani pesisir telah menemukan teknologi dan pengetahuan
tentang bagaimana menangani hama-hama tanaman di lahan pasir mereka secara
mandiri. Salah satu yang pernah diseminarkan dan diakui oleh pihak Fakultas
Pertanian Kampus Universitas Gajah Mada (UGM) dalah temuan Pak Karman,
pelopor pertanian lahan pasir dari Bugel, tentang hama Uret di cabe keriting3.
Meskipun pengetahuannya pada mulanya didapatkan dari pendidikan dan
pelatihan dari Dinas Pertanian, namun keuletannya dalam menekuni dan
menghayati tanaman lahan pasirnya menjadikan ia peka dan tahu persis beragam
hama dan virus yang menghinggapi tanamannya sejak hama tersebut dikeluarkan
dari induknya hingga berkembang menjadi bentuk hama dan kemudian menjadi
induk baru. Namun banyak temuan pengetahuan data teknologi dalam pertanian
lahan pasir yang hanya ia ingat saja dan sebagian ia tulis ala kadarnya. Namun
begitu, sampai saat ini telah banyak mahasiswa dari beragam jurusan dan beragam
strata S1, S2 dan S3 dan mendampingi doktor-doktor dalam bidang pertanian dari
beragam kampus di Indonesia dalam studi dan penelitiannya tentang pertanian di
lahan pasir.
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir4
I. Sebelum Pengolahan Lahan Pasir
Kondisi lahan pasir di pesisir Kulon Progo sebelum ditemukannya teknik
dan teknologi pengolahan menjadi lahan subur seperti sekarang ini, merupakan
gurun pasir tandus yang penuh alang-alang. Orang-orang yang dulu ingin
memanfaatkan lahan pasir tersebut hanya bisa dilakukan di musim kemarau
3 Lebih jauh lihat, makalah Pak karman tentang “Penaganan Hama Uret di Cabe Keriting” makalah
sipresentasikan di UGM pada tahun 2007 (tidak diterbitkan), kemudian atas seizin beliau,
temuanitu dikembangkan salah seorang calon doktor pertanian di UGM dan menjadikan
temuannya itu sebagai bahan desertasinya, dan menjadikannya seorang Doktor pertanian. Pada
bulan agustus 2009 lalu, pak Karman berkat jasa dan temuannya dalam dunia pertanian lahan pasir
dan telah membantu dunia akademik dengan membimbing dan membantu puluhan mahasiswa S1,
S2 dan S3 dalam kajian di pertanianlahan pasir, dianugerahi penghargaan sebagai petani pelopor
petanian lahan pasir oleh fakultas Pertanian UGM. Lihat, Kompas, 29 September 2009. 4 Sejarah kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir ini berdasarkan hasil riset yang
dilaksanakan atas kerjasama STPN (Sekolah Tinggi Pertanahan Negara) dan SAINS (Sajogyo
Institute) yang berjudul Laporan Kabupeten Kulon Progo. Laporan ini menganalisis dinamika
penguasaan agraria dan sistem produksi di wilayah pesisir yang berhimpitan dengan benturan
klaim penguasaan dan kepentingan peruntukan uang.
36
dengan beberapa tanaman saja yaitu tanaman ketela dan kentang kleci (kecil).
Sulit diharapkan gurun pasir tersebut memenuhi kebutuhan sehari-hari
masyarakat. Ketika musim kemarau datang angin laut yang keras yang mengarah
ke desa selalu membawa penyakit debu dan pasir yang menyebabkan sakit mata
massal (belek’an) di hampir seluruh desa di pesisir. Banyak warga yang keluar
dan bekerja di luar desa karena tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan
kemelaratan. Sebagian kecil menjadi TKI ke Malaysia, Hongkong, dan Timur
Tengah.
Sebagian warga hidup dengan berdagang kecil-kecilan, berjualan ternak
(blantik), buruh tani dan penggembala kambing. Menurut Pak Diro seorang
pelopor dan ketua kelompok tani di Garongan, banyak warga Garongan dulu yang
bekerja sebagai Rembang tebu (pemanen tebu), pembuat sungai, atau pencari batu
apung di pantai, sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Banyak diceritakan warga Garongan dan Bugel, bahwa dalam kehidupan
sehari-hari untuk makan nasi saja hanya bisa sekali, selebihnya adalah ketela (ubi
jalar atau ubi kayu) yang rebus atau digoreng. Rata-rata warga tidak mengecap
pendidikan, jikapun ada hanya sampai Sekolah Dasar saja, dan sebagian besar
tidak lulus. Sebagaimana diceritakan sebelumnya, kondisi lingkungan masyarakat
desa Garongan dan Bugel tergolong sangat tertinggal dan miskin secara sosial dan
ekonomi dibanding desa-desa lain di kecamatan Panjatan.
Secara fisik tempat tinggal mereka masih berupa gedek anyaman (bambu)
dan beratap blarak (anyaman daun kelapa). Mayoritas basis subsitensi warga
adalah buruh tani dan landless hanya bergantung pada petani kaya di sebelah desa
(non-pasir). Meskipun mereka ada yang menanam tanaman di lahan pasir, di
musim kemarau seperti: kacang tanah, ketela kaspo, ketela muntul dan kentang
kleci. Namun tak cukup untuk kebutuhan minimum keseharian, maka apapun
kerja buruh yang bisa menghasilkan akan dilakukan.
Kondisi kemiskinan dan ketertinggalan inilah yang kemudian membuat
orang luar (non-pasir) yang lebih sejahtera sering menyebut mereka sebagai
“Wong Cubung”. Jika ditelusuri lebih jauh setidaknya ada empat hal yang
menjadikan kemiskinan warga desa pesisir atau wong cubung ini bertahan terus
menerus, yaitu; pertama: Persepsi terhadap lahan pasir dan gurun atau bentuk
hubungan dengan alam (gurun pasir). Bagi masyarakat pesisir waktu itu gurun
pasir hanyalah lahan kering yang sudah tak bisa diolah lagi ibarat tanah mati.
Kalaupun mereka coba-coba untuk mengolahnya adalah sekedar saja, dan itupun
bergantung pada air hujan atau ladang tadah hujan, dan sifatnya berpindah-
pindah sesuai dengan kondisi lahan yang hendak ditanamai. Karena itu mayoiritas
‘wong cubung’ tidak berharap banyak dari lahan pertanian pasir mereka, tetapi
lebih banyak kerja di luar pertanian, sebgaimana dijelaskan di muka.
Kedua, keterbatasan kemampuan untuk pemanfaatan lahan pasir.
Ketidaktahuan, ketiadaan pengetahuan dan teknologi pertanian pengolahan lahan
pasir menjadikan masyarakat pesisir atau wong cubung berasumsi bahwa sampai
kapanpun tanaman yang cocok bagi lahan pasir kering mereka adalah tanaman
tahan kering seperti kacang tanah, ketela kaspo, ketela muntul dan kentang kleci.
Meskipun sebenarnya mereka tahu bahwa tanaman tersebut tidak akan mencukupi
kebutuhan subsistensi mereka sehari-hari. Namun, hanya itulah yang mereka
mampu saat itu. Sementara untuk keluar dari dunia pertanian, tingkat
keterampilan dan pendidikan mereka tak memungkinkan untuk berkompetisi.
37
Maka, sebagian anak muda mengadu nasib menjadi buruh kasar di kota terdekat
atau merantau ke kota besar, sebagian kecil keluar negeri menjadi TKI, khususnya
ke Singapura, Hongkong dan Timur Tengah.
Ketiga, Ketidakpastian ‘Identitas ‘ Lahan Pasir. Sebab pertama dan kedua
tak bisa dilepaskan dari faktor ketiga ini. Sebagian nenek-moyang pertama yang
mendiami gurun pasir ini mengerti bahwa mereka hanyalah nunut (numpang) di
lahan milik Paku Alaman Grond. Meskipun dapat dipastikan mereka tak tahu
persis bagaimana bentuk legalitas identitas lahan Pakualaman Grond itu termasuk
batas wilayahnya. Yang mereka tahu waktu itu adalah seluruh pesisir Kulon Progo
adalah milik keraton Paku Alaman. Ketidaktahuan pengetahuan hukum formal
pertanahan di lahanpasir ini mengakibatkan para ‘wong cubung’ tak punya
kemampuan dan imajinasi lebih untuk mengolah lahan pasir yang mereka diami
selama ini. Yang penting masih bisa hidup, tinggal dan menetap diatas lahan pasir
tersebut sudah untung. Meskipun demikian seiring terbukanya informasi,
mendorong sebagian kecil dari warga memahami status lahan yang disebut
terlantar atau tanah merah dan boleh untuk diolah oleh warga yang mendiaminya
selama tidak mengubah bentuk aslinya. Sebagian lain kemudian jug amengetahui
status tanah absente, tanah swapraja dan UU Pokok Agraria 1960 yang
mendorong dan menjamin mereka untuk mengelola lahan pasir tersebut sebgai
lahan pertanian mereka.
Keempat, Relasi kuasa Timpang Pembangunan: Pusat-Pinggiran. Ketika
sebagian warga pesisir sudah mulai menetap dan mengembangkan lahan pasir
mereka menjadi pertanian meskipun belum seperti sekarang ini, mereka
dihadapkan pada kenyataan bahwa daerah pesisir belum dipandang ‘potensial’
secara ekonomi-politik bagi pemerintah daerah dan provinsi. Sehingga
pembangunan di sekitar pesisir tidak sekuat dan sepesat di daerah kabupaten lain,
seperti Bantul dan Sleman. Disain pembangunan yang timpang ini bukan saja
karena daya potensi pesisir Kulon Progo yang secara ekonomi politik tidak sekuat
kabupaten lain, namun secara sosial daerah Garongan khususnya, dianggap tempat
kriminalitas (para Garong) tinggal dan bersembunyi. Sehingga memakai istilah
Chambers (1983), pembangunan pedesaan hanya berorientasi menurut kacamata
kalangan ‘elit’ dan ‘orang luar’ dan menutup potret ‘kemiskinan’ yang sebenarnya
berdiam kuat di dalam pinggir-pinggir pedesaan yang hampir ‘tak terdengar’
karena terlapisi oleh kebijakan pembangunanisasi yang melulu pada orientasi ke
pusat dan meminggirkan yang pinggiran.
Keempat faktor yang saling terhubung dan membangun relasi secara
dinamis inilah yang ikut mendorong proses kemiskinan di masyarakat pesisir atau
wong cubung sebelum ditemukannya teknologi dan pengetahuan pengolahan
lahan pasir.
II. Sesudah Pengolahan Lahan Pasir
Pada tahun 19855 setelah berulangkali berusaha untuk merubah lahan pasir
sebagai lahan pertanian yang tidak berhasil, salah seorang dari (penduduk) yang
2 Dalam sebuah presentasi di UGM seorang petani Kulo Progo bernama Karman menjelaskan
secara kronologis bagaimana mula rencana penambangan Pasir Besi di Kulon Progo. Disampaikan
dalam acara Kuliah Umum Mahasiswa Baru Fakultas Pertanian UGM, 23 Agustus 2008, Gedung
Auditorium Harjono Danusastro, Bulaksumur. Sukarman adalah Pengurus Paguyuban Petani
Lahan Pasir (PPLP) Pesisir Kulon Progo D.I. Yogyakarta, penangkar benih cabe, pengiat lembaga
38
sedang berjalan-jalan di bibir pantai tanpa sengaja melihat sebatang tanaman cabe
liar yang tumbuh dan berbuah di tengah gumuk pasir yang menggurun. Muncullah
gagasan, “mengapa cabe ini bisa tumbuh di pasir ini, kenapa tak dicoba menanam
cabe?”. Maka, dimulailah sejarah pertama penanaman cabe di lahan pasir yang
tandus dan kerontang itu.
Persolan awal yang muncul adalah air tawar. Lalu warga pesisir mulai
menggali pasir yang terus-menerus longsor untuk menemukan air. Dari usaha
keras tersebut warga menemukan bahwa 3 meter di bawah hamparan gumuk pasir
pantai ini ternyata tersimpan air tawar, benar-benar tawar, sehingga ikan sungai
pun mampu hidup. Penemuan ini oleh petani pesisir dianggap sebagai berkah
yang luar biasa.
Namun kondisi pasir yang mudah longsor membuat warga kesulitan
mengambil air setiap saat. Maka, berbagai macam eksperimentasi untuk
mengatasi longsoran pasir tersebut di coba. Awalnya warga mencoba membuat
dinding sumur dari anyaman kelapa berkerangka bambu (gronjong) bahkan
dengan kain sarung. Cara ini pada mulanya cukup membantu. Akan tetapi timbul
masalah baru, angin pantai yang membawa serta garam ternyata dapat
mengeringkan tanaman warga. Maka, mulailah para petani pesisir memagari
hamparan ladangnya dengan anyaman daun kelapa. Dengan pupuk, teknologi dan
teknik pengolahan pertanian yang sederhana sudah cukup membawa dan mampu
membantu warga pesisir pantai memperbaiki keadaan, setidaknya dua tahun
berikutnya.
Pada tahun 1987-1989, sumur berdinding gronjong tradisional mulai diganti
dengan sumur berdinding semen dan dilengkapi dengan timba. Pekerjaan
menimba menjadi lebih ringan dari sebelumnya ketika masih harus mengangkut
air ke atas. Simpanan penghasilan warga yang mulai cukup dikumpulkan secara
gotong royong digunakan untuk memperbaiki pengairan dalam jangka waktu dua
tahun.
Pada tahun 1990-1992, petani pesisir Kulon Progo mulai memikirkan cara
pengairan yang lebih menghemat tenaga, yaitu dengan sumur renteng. Sumur
induk yang sudah dibikin warga sebelumnya, dilengkapi dengan sumur-sumur
kecil yang dihubungkan oleh pipa, yang pada awalnya terbuat dari bambu lalu kini
berganti menjadi pipa plastik. Dengan adanya sumur-sumur penampung ini, petani
pesisir tidak harus bolak-balik ketika menyiram tanaman. Bahkan akhirnya setelah
cukup dana dan kemampuan warga dengan bergotong royong mampu membeli
pompa air untuk mengangkut air dari sumur induk. Kini, beberapa kelompok tani
termasuk PPLP (Paguyuan Petani Lahan Pasir) telah mengembangkan penyiraman
dengan selang, tanpa sumur renteng lagi.
Menurut keterangan dari petani pesisir,6 pada tahun 1995, menteri pertanian
waktu itu sempat berkunjung di daerah Kulon Progo dan membawa serta para
pakar dan perwakilan kelompok tani dari seluruh Indonesia untuk belajar dari
ekonomi petani Gisik Pranaji. Bab ini hendak menjelaskan kilasan sejarah berdasarkan dari
persepekif warga petani Kulon Progo tersebut dengan menambahkan, menganalisa dan membahas
beberapa bagian yang terkait dengan tema kajian ini berdasarkan pada hasil diskusi dan
wawancara penulis dengan petani Pesisir kulon Progo. 6 Presentasi dan Diskusi Petani Pesisir Kulon Progo di Sajogyo Institute (SAINS) Bogor, tanggal
19 November 2008.
39
pengalaman petani pesisir tersebut mengubah lahan tandus menjadi lahan
produktif yang subur. Satu tahun berikutnya, Universitas Gadjah Mada melakukan
penelitian untuk membantu menanggulangi angin dengan menanam cemara
udang, sebagai benteng pertahanan menggantikan peran gumuk pasir yang telah
berubah menjadi hamparan palawija. Kehadiran para ilmuwan kampus ini cukup
sangat membantu petani pesisir Kulon Progo meningkatkan produksi dan
keuntungan pertanian mereka. Pada saat teknologi sederhana dan tepat guna
diterapkan, seperti: mulsa (penutup tanah) jerami dan pelapisan tanah liat di
bawah permukaan ladang pasir membuat tanaman mereka lebih sehat dan subur.
Bisa dibayangkan kesenangan dan kebahagiaan warga atas hasil pertanian
mereka, ketika harga cabe di tingkat petani Rp. 7000,00/kg pendapatan petani
pesisir bisa mencapai per bulan (3-4 kali panen) dapat 5-10 juta rupiah. Padahal
harga cabe belakangan ini rata-rata Rp. 15.000/ kg. Maka tak heran, menurut
pengakuan para petani pesisir tersebut, mereka mampu meningkatkan taraf hidup
serta kepercayaan diri atas kemampuan mereka sendiri. Selain itu petani Pesisir
juga mampu menyekolahkan anak-anak mereka sampai jenjang perguruan tinggi,
dengan harapan generasi mendatang tak perlu lagi mengulang sejarah kemiskinan
di pesisir Kulon Progo dulu.
Dampak lainnya, keberhasilan pengelolaan tanaman cabe ini membuat para
pemuda di desa lebih memilih untuk menetap di desanya ketimbang migrasi ke
kota, sebab lahan kini pasir telah menjanjikan penghidupan. Warga pesisir juga
mampu membantu menolong petani lain di luar daerah mereka untuk menjadi
buruh petik dengan upah yang di atas rata-rata (Rp. 25.000,00 per orang belum
termasuk makan). Maka, tak heran jika petani pesisir Kulon Progo sekarang
termasuk menjadi pemasok cabe yang cukup penting bagi pasar nasional, dengan
hasil rata-rata 70 ton per hari. Belum lagi hasil tani yang lain seperti sawi, melon,
semangka, jagung, dan bawang merah yang menjadi hasil sampingan yang juga
dapat tumbuh subur di lahan pasir yang dulu tandus-kerontang itu.
Keberhasilan gemilang seperti inilah yang membawa petani pesisir
bermimpi, suatu hari kelak, kawasan di mana mereka tinggal, akan berubah
menjadi lebih kaya akan jenis tanaman dan satwa serta memberi manfaat kepada
banyak orang disekitarnya, suatu ketika dapat menjadi kawasan wisata tani yang
berwawasan lingkungan (desa wisata). Selain akan mendatangkan pemasukan
bagi pemerintah melalui desa wisata, keanekaragaman dan keajaiban alam di
kawasan ini akan melahirkan ilmuwan kampus yang mumpuni di bidang pertanian
dan lebih banyak lagi.
Ikhtisar
Desa Bugel merupakan dataran rendah yang terletak di pinggiran
Samudera Hindia meluas ke arah utara. Lahan yang digunakan untuk pertanian
seluas 119 Ha.Salah satu tokoh pelopor utama penemu pengelolaan lahan pasir
tinggal di Desa Bugel, beliau bernama Pak KMN. Temuan-temuannya adalah
budidaya cabe keriting, palawija dan buah-buahan lainnya, seperti semangka dan
jeruk. Beliau juga penemu teknologi pertanian lain seperti irigasi sumur bronjong.
Sejarah kelompok tani dan sistem lelang juga datang salah satunya dari Pak KMN
dan salah satunya dimulai dari Desa Bugel, sebelum akhirnya tersebar ke desa-
40
desa pesisisir lainnya. Sehingga bisa dikatakan pertanian lahan pasir untuk
budidaya cabe keriting dan buah semangka di pesisir Kulon Progo yang terbaik
(dari segi kualitas dan kuantitas) adalah di Garongan dan Bugel. Pak KMN juga
merupakan pendiri dan ‘sesepuh’ Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP) Kulon
Progo, sehingga salah satu inisiator perundingan dan gerakan atau mobilisasi
masa kerap datang dari Beliau, selain tentunya tokoh lainnya.
Kondisi lahan pasir di pesisir Kulon Progo sebelum ditemukannya teknik
dan teknologi pengolahan menjadi lahan subur seperti sekarang ini, merupakan
gurun pasir tandus yang penuh alang-alang. Sebagian warga hidup dengan
berdagang kecil-kecilan, berjualan ternak (blantik), buruh tani dan penggembala
kambing. Kondisi lingkungan masyarakat Desa Bugel tergolong sangat tertinggal
dan miskin secara sosial dan ekonomi dibanding desa-desa lain di kecamatan
Panjatan. Namun, sejak adanya pengolaan lahan pasir, mereka mampu
meningkatkan taraf hidup serta kepercayaan diri atas kemampuan mereka sendiri.
Selain itu petani Pesisir juga mampu menyekolahkan anak-anak mereka sampai
jenjang perguruan tinggi, dengan harapan generasi mendatang tak perlu lagi
mengulang sejarah kemiskinan di pesisir Kulon Progo dulu. Dampak lainnya,
keberhasilan pengelolaan tanaman cabe ini membuat para pemuda di desa lebih
memilih untuk menetap di desanya ketimbang migrasi ke kota, sebab lahan kini
pasir telah menjanjikan penghidupan. Warga pesisir juga mampu memmbantu
menolong petani lain di luar daerah mereka untuk menjadi buruh petik dengan
upah yang di atas rata-rata (Rp. 25.000,00 per orang belum termasuk makan).
Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk Desa Bugel ialah Bahasa
Jawa dan Bahasa Indonesia. Terdapat beberapa kelompok di desa ini yakni
Kelompok Tani Sugih Mulyo, kelompok pasar lelang, Garuda, dan kelompok
pengajian. Keseluruhan kelompok yang ada di Desa Bugel merupakan basis bagi
pergerakan perlawanan petani menolak rencana pertambangan pasir besi. Sejak
adanya isu pertambangan pasir besi, masyarakat pesisir Desa Bugel terbagi
menjadi dua kelompok yakni kelompok masyarakat pro pertambangan dan
kelompok masyarakat kontra pertambangan. Masyarakat kontra pertambangan
memiliki kesepakatan bersama untuk memberikan sanksi sosial kepada
masyarakat yang pro pertambangan. Sanksi sosial tersebut berupa diputuskannya
hubungan kekeluargaan, baik antara tetangga maupun sesama saudara kandung.
PENDAPAT PEREMPUAN DESA BUGEL TENTANG KONFLIK
PEREBUTAN LAHAN PASIR KULON PROGO
Bab ini berisi tentang pendapat perempuan pesisir Desa Bugel terhadap
masalah yang mereka hadapi yakni konflik perebutan lahan pasir Kulon Progo
antara JMI (PT. Indomines Australia, Kesultanan Jogjakarta, Paku Alaman),
pemerintah, dan masyarakat pesisir serta pendapat mereka terhadap perlawanan
yang mereka lakukan, baik perlawanan fisik maupun perlawanan non fisik.
Pendapat Perempuan Desa Bugel tentang Konflik Perebutan Lahan
Bagi perempuan Desa Bugel konflik yang berlangsung antara masyarakat
pesisir, Paku Alaman Ground, Sultan Ground, dan korporasi tidak hanya konflik
perebutan lahan. Namun konflik perampasan ruang hidup ribuan masyarakat
pesisir yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian. Menurut cerita
perempuan Desa Bugel TSB, 41 tahun
Isu penambangan sudah ada sejak lama. Beberapa tahun lalu ada
beberapa pihak yang masuk ke beberapa desa pesisir. Mereka meminta
izin kepada sesepuh-sesepuh desa untuk meneliti kandungan-kandungan
yang terdapat dalam lahan pasir. Kami tidak mengetahui hal tersebut,
kami hanya melihat mereka sedang mengebor lahan pasir. Kami tidak
tahu siapa mereka dan untuk apa itu dilakukan. Usut punya usut ketika isu
pertambangan santer di masyarakat, kami tahu bahwa itu semua adalah
untuk kepentingan penambangan. Tahun 2008 puncak-puncaknya tekanan
yang diberikan kepada kami. JMI terus memaksa kami untuk menyetujui
penambangan. Mereka mengklaim bahwa lahan pertanian kami milik
PAG dan SG. Padahal kami jelas-jelas mempunyai bukti bahwa pada
masa Sultan Hamengku Buwono IX lahan tersebut telah diberikan kepada
kami dan dalam isi surat tersebut disebutkan bahwa lahan pesisir Kulon
Progo hanya diperuntukan untuk kegiatan pertanian, tidak boleh
diperuntukan untuk penambangan ataupun aktivitas-aktivitas yang dapat
mengubah fungsi lahan. Kami benar-benar tidak menyangka bahwa
Sultan Hamengku Buwono X menarik kembali surat tersebut, apa yang
telah diberikan kepada rakyat. Mereka sudah dibutakan dengan
kekuasaan dan uang. Raja justru berpihak kepada kepentingan asing.
Kami seolah-seolah penghambat proyek pembangunan yang harus
disingkirkan. Tidak hanya itu, sekarang Sultan sedang gencar membangun
hotel-hotel diikuti aksi penggusuran di atas lahan masyarakat. Selain itu
juga sudah dicanangkan pembangunan bandara untuk mendukung
beroperasinya penambangan. Dimana hati nurani mereka semua?
Selain itu, Konflik di Kulon Progo juga merubah tatanan sosial
masyarakat. Masyarakat jadi terkotak-kotak ke dalam tiga kelompok, yakni
kelompok masyarakat pro pertambangan, kelompok masyarakat kontra
pertambangan, dan kelompok masyarakat netral. Kelompok masyarakat netral
tidak berpihak ke kelompok mana pun, masyarakat pesisir menyebutnya “mereka
pihak yang mengambil posisi aman, mereka hanya memikirkan kepentingan
42
mereka sendiri, mereka tidak ikut melawan, namun sebenarnya posisi mereka
diuntungkan dengan adanya perlawanan masyarakat pesisir,”. Setidaknya terdapat
tiga penyebab terbentuknya kelompok pro dan netral terhadap pertambangan.
Pertama, kelompok masyarakat pro pertambangan dan kelompok masyarakat
netral pada umumnya adalah masyarakat pesisir yang tidak bermata pencaharian
sebagai petani. Pada umumnya mereka bekerja di setor pemerintahan, sebagai
pegawai negeri sipil dan lain sebagainya. Mereka tidak menggantungkan
hidupnya pada lahan pertanian. Kedua, mereka adalah penduduk pendatang di
pesisir Kulon Progo sehingga mereka tidak memiliki keterikatan sejarah dengan
lahan pasir. Mereka tidak menjadi bagian dalam sejarah masyarakat pesisir Kulon
Progo yang telah berhasil mengubah lahan tandus menjadi lahan subur untuk
pertanian. Ketiga, mereka yang berpegang teguh pada nilai-nilai adat Kesultanan
Jogjakarta. Kelompok ini menganggap bahwa seluruh tanah yang mereka miliki
adalah milik raja. Raja berhak menentukan untuk apa diperuntukan lahan yang
dimiliki rakyat. Segala sesuatu yang datang dari raja akan membawa berkah.
Masyarakat harus “manut” dan menghormati perintah raja. Membangkang
terhadap keputusan raja maka akan membawa petaka. Oleh karena itu ketika isu
pertambangan pasir besi berhembus, masyarakat kelompok ini mempercayai
bahwa pertambangan akan membawa pada kemakmuran dan kemajuan masyakat
pesisir Kulon Progo.
Sejak adanya rencana pertambangan pasir besi, timbul kesenjangan di
antara masyarakat pro dan kontra pertambangan. Perempuan pesisir Desa Bugel
ELS, 29 tahun dan WWI, 44 tahun menuturkan bahwa
Kesenjangan tersebut sangat nyata terlihat di masyakarat. Kami
sangat ketat menerapkan sanksi sosial kepada masyarakat yang pro
pertambangan. Itu telah menjadi kesepakatan di seluruh desa pesisir
Kulon Progo. Bentuk sanksi sosial tersebut adalah terputusnya hubungan
dengan kelompok masyarakat pro pertambangan. Jika mereka adalah ibu
dan anak, maka terputuslah hubungan antara ibu dan anak kandungnya,
jika mereka adalah tetangga maka terputus lah hubungan tetangga
diantara mereka. Antara kelompok masyarakat pro dan kontra
pertambangan tidak boleh saling berkomunikasi, tidak boleh melayat
masyarakat pro yang meninggal dunia, tidak boleh menghadiri hajatan
yang diadakan oleh masyarakat pro, dan tidak boleh menjenguk
masyarakat pro yang sedang sakit. Di Desa Karang Huni, bahkan mayat
masyarakat pro tidak boleh dikebumikan di tanah pesisir Kulon Progo. Di
Desa Bugel sendiri, tempat ibadah masyarakat pro dan kontra
pertambangan terpisah. Pernah terjadi insiden bentrok antara masyarakat
pro dan kontra pertambangan karena tiba-tiba masyarakat pro
pertambangan melarang kami melintas jalan di depan masjid orang-orang
pro. Kami ya tidak bisa menerima diperlakukan seperti itu. Itu kan jalan
umum, mereka tidak berhak bertindak seperti itu. Kesenjangan tersebut
tidak saja terjadi di antara kami orang dewasa, bahkan anak-anak secara
otomatis di dalam alam bawah sadar mereka tertanam rasa untuk
melawan dan menolak orang-orang yang pro pertambangan. Di sekolah,
anak-anak kontra pertambangan tidak mau berteman dengan anak-anak
pro pertambangan, bahkan mereka menolak sekelas dengan anak-anak
pro. Kami para orang tua padahal tidak pernah mengajarkan seperti itu,
43
karena mereka masih anak-anak. Di sekolah, anak-anak kami tidak
menggambar pemandangan seperti pada anak umumnya seumuran
mereka, yang mereka gambar adalah truk-truk pihak penambangan yang
datang ke desa kami, mereka juga menggambarkan mobil-mobil yang
digunakan orang tuanya untuk melakukan aksi demonstrasi.
Namun menurut salah satu anggota PPLP, jumlah masyarakat yang pro
pertambangan sekitar 10% dari total keseluruhan masyakat pesisir Kulon Progo.
Pada umumnya mereka bertempat tinggal di bagian utara Kulon Progo. Di sisi
lain, konflik tersebut juga menyatukan antara masyarakat desa pesisir satu dengan
desa pesisir lainnya di sepanjang pantai selatan Kulon Progo. Sebelumnya
perempuan pesisir tidak mengenal perempuan pesisir di desa lain karena kegiatan
perkumpulan kelompok tani dihadiri oleh laki-laki. Sehingga mobilitas mereka
terbatas di dalam desa tempat mereka tinggal. Rencana pertambangan membuat
masyarakat pesisir memutuskan untuk menyatukan kekuatan melawan
pertambangan. Seiring perlawanan dan pergerakan yang berlangsung intensitas
interaksi antara masyarakat pesisir meningkat. Hal ini meningkatkan rasa
memiliki dan rasa senasib sepenanggungan diantara masyarakat pesisir. Salah satu
prakarsa yang dilakukan oleh perempuan pesisir adalah dilaksanakannya
“mujadahan”. Mujadahan merupakan bentuk perlawanan dari sisi agamawi
melalui doa-doa yang dipanjatkan setiap malam untuk menolak rencana
pertambangan pasir besi.
Pendapat Perempuan Desa Bugel tentang Gerakan Petani Lahan Pasir
Kulon Progo
Perempuan Desa Bugel berpendapat bahwa terdapat perbedaan perlawanan
yang dilakukan oleh petani pada masa awal pergerakan petani dan pergerakan
petani saat ini. Berbagai dinamika perlawanan mewarnai gerakan petani lahan
pasir Kulon Progo baik dalam internal maupun eksternal masyarakat pesisir. Pada
masa awal pergerakan, petani banyak melakukan perlawanan secara fisik. Di awal
pergerakan, masyarakat pesisir berada pada tahap mempelajari strategi
perlawanan yang tepat untuk diterapkan. Untuk itu, masyarakat pesisir melalui
wadah PPLP banyak melakukan diskusi-diskusi dengan kelompok gerakan petani
lainnya, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), LBH (Lembaga Bantuan
Hukum), aktivis, salah seorang kesultanan Jogjakarta, dan lain-lainnya. PPLP
banyak menjalin solidaritas dengan kelompok-kelompok dan pihak-pihak yang
berpihak kepada nasib petani. Seperti kebanyakan pergerakan petani di daerah
maupun belahan dunia lain, PPLP juga menempuh berbagai jalur birokrasi untuk
menyuarakan konflik perebutan lahan yang mereka hadapi.
Langkah yang telah ditempuh petani pesisir diantaranya adalah
berdemonstrasi di Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo menuntut
pembatalan proyek pertambangan pasir besi; berdemonstrasi di Universitas
Gadjah Mada menuntut penghentian kerjasama reklamasi lahan
pascapenambangan oleh Fakultas Kehutanan dengan PT. JMI, dimana dalam aksi
ini melibatkan sebanyak 3000 massa; menduduki kantor DPRD Kulon Progo
menuntut pembatalan proyek pertambangan pasir besi karena berpotensi pada
44
pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia); melakukan audiensi dengan komisi VII
DPR RI dan Kedutaan Besar Australia untuk meminta kejelasan identitas Indo
Mines Ltd, pihak Kedutaan Besar Australia menyatakan ketidaktahuannya atas
keterlibatan Indo Mines Ltd dan memberikan keterangan bahwa alamat
perusahaan Indo Mines Ltd tidak sesuai dengan yang diinformasikan kepada
publik; melakukan dialog dengan Komnas HAM terkait proyek penambangan
pasir besi yang berpotensi terjadinya pelanggaran HAM; mengadakan pertemuan
dengan LBH; mengirimkan surat kepada DPRD untuk mengajukan pembatalan
PERDA No.2 Tahun 2010; dan mengirimkan surat pernyataan sikap penolakan
rencana pertambangan pasir besi kepada presiden RI.
Selain itu masyarakat juga banyak melakukan perlawanan-perlawanan
fisik, seperti melakukan aksi-aksi demonstrasi, baik di Kantor Pemerintahan
Daerah Kabupaten Kulon Progo, Universitas Gadjah Mada maupun di Kantor
DPR RI; aksi memblokir jalan menuju kawasan pesisir untuk kepentingan
pengagkutan material bahan Pilot Project PT. JMI; aksi langsung
menghentindakan tindakan yang meresahkan masyarakat yakni datangnya enam
mobil tanpa seizin warga yang dilakukan oleh oknum Pakualaman di Bugel; dan
aksi melakukan penutupan Pilot Project di Gupit setelah tiga tahun beroperasi
tanpa mengindahkan kepentingan lingkungan. Gerapan petani tersebut ada yang
direncanakan dan ada pula yang dilakukan secara spontan. Aksi spontan tersebut
banyak dilakukan oleh perempuan. Menurut pengakuan salah satu laki-laki pesisir
PJO, 50 tahun menyatakan bahwa,
Perempuan-perempuan disini sangar mbak, pemberani-pemberani.
Kalau ada orang asing yang masuk kesini, perempuan-perempuan disini
langsung keluar bawa parang ngehadang, pernah kaca mobil dihancurin.
Saya aja gak berani mbak. Istri saya sama anak perempuan saya itu gak
takut sama sekali. Kalau ada aksi-aksi istri saya paling depan meneriakan
“bertani atau mati, tolak tambang besi!”. Kami para laki-laki pesisir,
khususnya saya sendiri tidak pernah memaksa istri ataupun anak saya
untuk ikut dalam aksi-aksi perlawanan fisik tersebut, tetapi itu kemauan
mereka sendiri.
Namun masyarakat pesisir mengakui bahwa segala bentuk perlawanan
fisik melalui jalur birokrasi dan aksi-aksi demontrasi ke kantor pemerintah
tersebut tidak menghasilkan perubahan apa-apa, dalam artian rencana proyek
pertambangan pasir besi belum dibatalkan. Berbagai bentuk aksi demonstrasi
tersebut tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah, baik pemerintah daerah
maupun pemerintah pusat. Proses perlawanan panjang tersebut membuat
masyarakat menyadari bahwa penguasa (pemerintah, Kesultanan Jogjakarta, dan
Paku Alaman) tidak pernah berpihak kepada nasib masyarakat pesisir Kulon
Progo. Pihak penguasa justru berpihak kepada kepentingan pemodal dan memaksa
masyarakat pesisir menerima logika-logika ekonomi pembangunan.
Bahkan salah satu desa pesisir, yakni Desa Karang Huni, sebagian besar
warganya telah menjual lahan pertanian mereka kepada PT. JMI. Hal ini terjadi,
salah satunya karena masyarakat Desa Karang Huni menokohkan salah satu warga
sebagai pemimpin mereka. Hal ini berdampak ketika pemimpin tersebut
memutuskan untuk menjual lahannya maka masyarakat lain juga ikut menjual
45
lahan mereka. Lahan Desa Karanghuni kini telah dibangun pabrik. Menurut
masyarakat pesisir Desa Bugel WST, 29 tahun
Masyarakat pesisir Desa Karang Huni kini menyesal telah menjual
lahannya. Mereka tidak dapat menanam lagi. Mereka kehilangan mata
pencaharian yang selama ini menghidupi mereka. Mereka menjual
lahannya dengan harga Rp. 75.000/m2. Harga yang sangat murah dan
tidak sebanding dengan manfaat yang kami dapatkan jika ditanami cabai
keriting, semangka, dan melon. Warga Karang Huni telah termakan janji-
janji manis PT. JMI. PT. JMI membuat kesepakatan dengan warga Desa
Karang Huni yang menjual lahannya dalam sebuah perjanjian. Perjanjian
yang sifatnya rahasia. Kami mengetahui perjanjian tersebut dari warga
Desa Karang Huni yang masih mempertahankan lahan pertaniannya.
Hanya tiga warga Desa Karang Huni yang masih bertahan. Setelah kami
pelajari, perjanjian tersebut sangat merugikan warga Desa Karang Huni
sebagai penjual. Dalam satu pasal disebutkan bahwa jika ada pihak
ketiga yang mengklaim lahan milik penjual, maka penjual wajib
mengembalikan uang yang telah diterima dari pihak pembeli. Pihak ketiga
tersebut bisa saja orang-orang PT. JMI dengan mengatasnamakan pihak
lain. Yaa, orang-orang bayaran PT. JMI lah mbak. Namun, warga Desa
Karang Huni tidak mempelajari bahkan tidak membaca isi perjanjian
tersebut. PT. JMI sangat licik menggelabui masyarakat. Mereka
menyodorkan isi perjanjian tersebut yang harus ditandatangi masyarakat
beserta uang senilai Rp. 10.000.000,- sebagai uang muka. Hebatnya lagi
mereka tidak berhubungan langsung dengan masyarakat Desa Karang
Huni. JMI memanfaatkan kepala desa dan tokoh-tokoh masyarakat untuk
memuluskan proses penjualan lahan tersebut.
Menyadari hal tersebut, masyarakat pesisir melalui wadah PPLP
menyusun strategi perlawanan baru. Perlawanan-perlawanan yang dilakukan
secara mandiri, tidak bekerjasama dengan lembaga atau partai politik manapun.
Masyarakat pesisir menunjukan bahwa perlawanan mereka tidak mewakili
kepentingan pihak manapun, murni memperjuangkan ribuan ruang hidup
masyarakat pesisir. Perlawanan panjang yang telah dilakukan membuat
masyarakat pesisir selektif terhadap pihak-pihak yang berusaha masuk ke dalam
kawasan pesisir Kulon Progo, dalam bentuk apapun baik sebagai peneliti,
akademisi, aktivis, kaum intelektual, maupun calon-calon legislatif dari salah satu
partai politik. Masyarakat mengakui tidak semua pihak dapat dipercaya dan loyal
kepada masyarakat pesisir. Oleh karena itu, masyarakat pesisir memutuskan hanya
ada satu pintu masuk bagi pihak yang ingin berinteraksi dan bersolidaritas dengan
masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir memiliki kesepakatan untuk menolak
semua pihak yang masuk ke desa tanpa izin terlebih dahulu. Reaksi penolakan
tersebut dapat berupa menutup mulut, mengintrogasi, mengusir, hingga aksi
kekerasan. Menurut salah satu informan WDD, 34 tahun menyatakan bahwa
Kami harus tetap waspada kepada semua pihak yang datang kepada
kami. Banyak pengkhianat berkeliaran di sekitar kami. Contohnya banyak
orang yang mengaku mahasiswa untuk melakukan penelitian disini,
padahal sebenarnya intel. Banyak lembaga yang mengaku ingin
membantu kami, padahal ingin mempengaruhi kami untuk menerima
46
pertambangan. Kami pernah ditawarkan untuk melakukan AMDAL
(Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Mereka mengatakan bahwa
jika proyek pertambangan pasir besi tidak lolos AMDAL maka kami punya
bukti untuk menolak pertambangan. Tapi kami tidak bodoh, kami tahu
AMDAL dilakukan untuk kepentingan siapa. Semua itu hanya akal-akalan
pemodal dan peguasa saja. Dengan kami menyetujui dilakukannya
AMDAL sama saja dengan kami menyutujui dilaksanakannya proyek
pertambangan. Oleh karena itu, kami harus sangat hati-hati memutuskan
dengan siapa kami bersolidaritas. Kami tidak ingin dibuat bergantung
dengan pihak mana pun.
Berikut adalah kronologi gerakan petani lahan pasir Kulon Progo
Tabel 2 Kronologi Perjuangan Petani Lahan Pasir Kulon Progo
No Tanggal Kegiatan Penolakan Petani Lahan Pasir Kulon Progo
1 1 April 2006 Masyarakat pesisir dari 4 kecamatan dan 10 desa
yang berkepentingan mempertahankan fungsi
ekosistem dan matapencaharian sebagai petani lahan
pantai membentuk organisasi perjuangan yang
bersifat independen, yaitu Paguyuban Petani Lahan
Pantai Kulon Progo (PPLP KP), dengan agenda
utama penolakan rencana pertambangan pasir besi.
2 27 Agustus 2007 PPLP KP berdemonstrasi di Kantor Pemerintahan
Daerah Kabupaten Kulon Progo dengan tuntutan
pembatalan proyek pertambangan pasir besi. Bupati
(Toyo S, Dipo) dan Ketua DPRD Kulon Progo
(Kasdiyono) menyetujui tuntutan masyarakat secara
tertulis, dengan konsekuensi pengunduran diri.
3 1 Maret 2008 Warga Bugel melakukan aksi memblokir jalan
menuju kawasan pesisir untuk kepentingan
pengangkutan material bahan Pilot Project PT JMI.
Aksi ini terjadi karena Bupati dan Ketua DPRD
Kulon Progo mengingkari kesepakatan dengan
masyarakat yang ditandatangani di depan ribuan
warga Kulon Progo pada 27 Agustus 2007.
4 4 Februari 2008 Sejumlah perwakilan masyarakat pesisir melakukan
audiensi dengan Komisi VII DPR RI dan Kedutaan
Australia untuk meminta kejelasan identitas Indo
Mines Ltd, pihak Kedutaan Besar Australia
menyatakan ketidaktahuannya atas keterlibatan Indo
Mines Ltd dan memberikan keterangan bahwa
alamat perusahaan Indo Mines Ltd tidak sesuai
dengan yang diinformasikan kepada publik.
5 21 Juni 2008 Sebanyak 3000 massa PPLP KP berdemonstrasi di
Universitas Gadjah Mada menuntut penghentian
kerjasama reklamasi lahan pascapenambangan oleh
Fakultas Kehutanan UGM dengan PT.JMI. Tuntutan
47
ini disetujui oleh Rektor UGM Prof. Soedjarwadi
dan Dekan Fakultas Kehutanan UGM Prof. M.
Na’iem dengan penandatangan surat pernyataan.
Aksi ini terjadi karena UGM tidak memberi sikap
secara resmi setelah PPLP KP mengirim surat
permintaan klarifikasi sebanyak 3 kali.
6 23-25 Oktober
2008
Masyarakat pesisir menduduki kantor DPRD Kulon
Progo untuk menuntut pembatalan proyek
penambangan pasir besi karena berpotensi pada
pelanggaran Hak Azasi Manusia. Dalam aksi ini,
legislatif tidak bersedia menemui masyarakat.
Selanjutnya, PPLP KP meminta bantuan LBH DIY
untuk mengirimkan surat pengaduan ke KOMNAS
HAM agar KOMNAS HAM meminta kejelasan
sikap Gubernur DIY dan Pemerintah Kabupaten
Kulon Progo tentang aspek HAM dalam proyek
tersebut.
7 3-6 Juni 2008 KOMNAS HAM telah melakukan penyilidikan dan
pemeriksaan terhadap rencana proyek penambangan
pasir besi di Kulon Progo Yogyakarta. Pemantauan
tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi yang
menjelaskan bahwa berdasarkan data, informasi, dan
fakta proyek penambagan pasir besi di Kulon Progo
sangat berpotensi memicu terjadinya pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak atas
tanah, hak atas pekerjaan, hak atas aman, hak atas
informasi, dan hak petani.
8 27 Oktober 2008 Sekumpulan massa (sekitar 300 orang) dari luar
kawasan konflik melakukan perusakan dan
pembakaran 7 posko penolakan proyek dan 1 rumah
milik warga pesisir yang menolak pertambangan.
Peristiwa ini terdomentasikan melalui media televisi
swasta, menurut kesaksian dan dokumentasi
lapangan, satuan kepolisian yang siap di tempat
kejadian melakukan pembiaran dan pengarahan
tindakan kekerassan massa tidak bertanggungjawab
tersebut.
9 19 Juli 2009 PPLP KP mengadakan pertemuan di LBH membahas
kasus kriminalisasi terhadap Tukijo atas tuduhan
pencemaran nama baik Kepala Dusun Bedoyo,
Isdiyanto, karena Tukijo menyakan tujuan pendataan
tanah warga.
10 20 Oktober 2009 Konsultasi publik terkait KA AMDAL oleh
pemrakarsa yang tidak melibatkan masyarakat
terundang dan tidak menampung aspirasi masyarakat
terdampak. Konsultasi publik ini diwarnai aksi
pemukulan dan penembakan gas air mata, jumlah
terbesar korban kekerasan aparat negara adalah kaum
48
perempuan.
11 April 2010 Warga mengirimkan surat pernyataan sikap
penolakan rencana pertambangan pasir besi kepada
Presiden RI.
12 Mei 2010 Kunjungan ESDM di Bugel untuk investigasi
permasalahan sosial di tingkat masyarakat terkait
penolakan rencana pertambangan pasir besi. Warga
mengirim surat kepada DPRD DIY yang isinya
menuntut DPRD DIY mengusut dugaan skandal
perundang-undangan dalam proses penyusunan
Perda No 2 Tahun 2010 tentang RTRWP DIY 2009-
2029 oleh Pemerintah DIY (Gubernur).
13 Juni 2010 Warga mengirimkan surat kepada DPRD untuk
mengajukan pembatalan Perda No 2 Tahun 2010
karena secara hukum melanggar UU No 10 Tahun
2004 dan Permendagri No 28 Tahun 2008.
14 15 Desember 2010 Aksi rapat akbar menolak rencana pertambangan
pasir besi bertepatan dengan penilain dokumen KA
AMDAL di Bugel.
15 16 Desember 2010 Aksi langsung warga menghentikan tindakan yang
meresahkan masyarakat yang dilakukan oleh oknum
Pakualaman di Bugel, dimana datang enam mobil
tanpa seizin warga.
16 9 Februari 2011 Mediasi oleh KOMNAS HAM di Bugel,
menghasilkan rekomendasi deadlock untuk konteks
mediasi (mempertemukan kepentingan para pihak).
Sumber: Dokumen PPLP-KP “Bertani atau Mati”
Periode berikutnya masyarakat pesisir banyak melakukan aksi-aksi untuk
menunjukan perlawanan mereka melalui sebuah buku yang berjudul “menanam
adalah melawan”, melalui hasil karya petani pesisir Kulon Progo tersebut,
masyarakat pesisir Kulon Progo banyak diundang ke kampus-kampus dalam
kegiatan bedah buku dan diskusi terkait konflik agraria. Selain itu, masyarakat
pesisir memiliki dua website PPLP dan satu website solidaritas Australia, proses
pembuatan website ini melibatkan aktivis yang bersolidaritas dengan PPLP.
Beberapa masyarakat pesisir juga aktif menyuarakan issu-issu konflik agraria
melalui media sosial seperti facebook. PPLP juga membentuk kesenian teater
yang diberi nama “unduk gurun”. Kesenian teater ini menceritakan tentang
konflik yang terjadi di Kulon Progo dan langsung diperankan oleh masyarakat
pesisir Kulon Progo. Teater ini telah tampil di beberapa universitas, diantaranya
yakni Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Kampus
Atma Jaya, dan di berbagai aksi solidaritas dan diskusi yang dilakukan di
beberapa kota seperti Jakarta, Jogjakarta, dan Bogor.
Selain itu, masyarakat pesisir juga melakukan solidaritas dengan seniman
Yogyakarta. Salah satu bentuk aksi solidaritas tersebut adalah kegiatan bedah
buku, diskusi, dan kegiatan penggalangan dana. Kegiatan penggalangan dana
tersebut berupa penjualan buku “menanam adalah melawan”, penjualan kaos yang
bertemakan perlawanan, penjualan hasil lukisan yang mengangkat tema konflik
pertambangan, penjualan kalender yang mengusung tema perlawanan dan
49
pergolakan konflik di pesisir Kulon Progo dan didesain langsung oleh seniman,
dan penjualan DVD yang mengangkat kasus konflik perebutan lahan. Hasil
penjualan dalam kegiatan penggalangan dana tersebut didonasikan sepenuhnya
untuk kegiatan-kegiatan gerakan petani.
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh petani pesisir melalui PPLP
adalah bersama-sama dengan Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan
(FPPKAS) dan FOSWOT Lumajang melakukan pertemuan dan diskusi. Hasil dari
beberapa pertemuan dan diskusi tersebut menyepakati untuk membantu sebuah
wadah perjuangan petani mandiri dan independen yang dinamai Forum
Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA). Organisasi ini memiliki orientasi yang
lepas dari campur tangan dan intervensi dari LSM, partai politik, dan lembaga
donor. Hingga saat ini setidaknya ada dua belas komunitas petani yang tergabung
di dalamnya dan berasal dari beberapa daerah, diantaranya adalah: FPPKS
Kebumen, ARMP Bantul, PPLP Kulon Progo, SPBS Blora, JMPPK Pati, KT
Berdikari Sumedang, Bale Ruhayat Ciamis, Grapad Banten, Foswot Lumajang,
FPR Ogan Ilir, SKKL Al Faz Sidoerjo, Fornel, dan PMS Jepara. Salah satu
agenda kegiatan FKMA adalah sekolah tani, sebagai langkah untuk saling
bertukar pengetahuan dalam sektor pengorganisasian perjuangan, teknologi
pertanian, mekanisme pasar berbasis komunitas, dan hal-hal lain terkait dengan
visi misi keadilan agraria. Tidak hanya dalam skala lokal maupun nasional,
masyarakat pesisir juga menjalin solidaritas dengan CAF (Casual Anarchist
Federalism) yang berada di Inggris, dengan masyarakat pendukung penolakan
pertambangan pasir besi yang bertempat di Australia, dan melakukan kampanye di
Filipina.
Ikhtisar
Bagi perempuan Desa Bugel konflik yang berlangsung antara masyarakat
pesisir, Paku Alaman Ground, Sultan Ground, dan korporasi tidak hanya konflik
perebutan lahan. Namun konflik perampasan ruang hidup ribuan masyarakat
pesisir yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian. Konflik di Kulon
Progo merubah tatanan sosial masyarakat. Masyarakat jadi terkotak-kotak ke
dalam tiga kelompok, yakni kelompok masyarakat pro pertambangan, kelompok
masyarakat kontra pertambangan, dan kelompok masyarakat netral. Berbagai
dinamika perlawanan mewarnai gerakan petani lahan pasir Kulon Progo baik
dalam internal maupun eksternal masyarakat pesisir. Pada masa awal pergerakan,
petani banyak melakukan perlawanan secara fisik. Selanjutnya masyarakat pesisir
juga menempuh berbagai jalur birokrasi untuk menyuarakan konflik perebutan
lahan yang mereka hadapi. Masyarakat juga banyak melakukan perlawanan-
perlawanan fisik, seperti melakukan aksi-aksi demonstrasi di berbagai instansi
Proses perlawanan panjang tersebut membuat masyarakat menyadari
bahwa penguasa tidak pernah berpihak kepada nasib masyarakat pesisir Kulon
Progo. Pihak penguasa justru berpihak kepada kepentingan pemodal dan memaksa
masyarakat pesisir menerima logika-logika ekonomi pembangunan. Oleh karena
itu, masyarakat pesisir melalui wadah PPLP menyusun strategi perlawanan baru.
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan secara mandiri, tidak bekerjasama dengan
lembaga atau partai politik manapun.
50
51
PERAN PEREMPUAN DESA BUGEL DALAM SISTEM
PENGHIDUPAN MASYARAKAT PESISIR
Bab ini menjelaskan mengenai peran perempuan desa bugel dalam sistem
penghidupan penduduk masyarakat pesisir. Dilihat dari tiga aspek yakni
pembagian kerja, akses, dan kontrol. Pembagian kerja perempuan dan laki-laki
meliputi tiga peran yakni peran reproduktif, peran produktif, dan peran sosial.
Akses meliputi akses terhadap sumberdaya fisik dan material, akses terhadap
sumberdaya sosial dan budaya, akses terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja,
dan akses terhadap manfaat. Sedangkan kontrol meliputi kontrol terhadap
sumberdaya fisik dan material, kontrol terhadap sumberdaya sosial dan budaya,
kontrol terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja, dan kontrol terhadap manfaat.
Peran Gender
Peran merupakan suatu status yang dijalankan oleh seorang individu yang
berada pada suatu kelompok atau situasi sosial tertentu. Peran gender menurut
Hubeis (2010) menampilkan kesepakatan pandangan dalam masyarakat dan
budaya tertentu perihal ketepatan dan kelaziman bertindak untuk seks tertentu
(jenis kelamin tertentu) dan masyarakat tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa
peran gender disuatu wilayah akan berbeda dari peran gender lainnya sesuai
dengan karakterisktik wilayahnya. Pun dengan peran gender yang ditampilkan
masyarakat pesisir yang berada di Desa Bugel. Setidaknya terdapat tiga hal yang
menjadikan peran gender di Desa Bugel berbeda dengan peran gender di daerah
lainnya. Pertama, kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Bugel sebelum
berkembanganya pertanian lahan pasir. Di mana pada masa itu masyarakat hidup
dalam kondisi kemiskinan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat
bekerja sebagai buruh tani, menanam tanaman apa saja yang dapat tumbuh di
lahan pasir yang gersang dan tandus, serta banyak pula yang bekerja ke luar
daerah untuk mengadu nasib. Kondisi keterbelakangan dan kemiskinan yang
menghimpit masyarakat kala itu membentuk karakteristik peran gender yang
berbeda pada masyarakat pesisir. Secara alami timbul peran-peran apa saja yang
harus dilakukan oleh perempuan dan peran-peran apa saja yang harus dilakukan
oleh laki-laki dalam rangka untuk terus mempertahankan dan memenuhi
kebutuhan hidup. Oleh karena itu, peran gender pada masyarakat pesisir
cenderung egaliter.
Kedua, pengelolaan lahan pasir yang membutuhkan keterampilan dan
pengetahuan khusus. Hanya masyarakat pesisir yang mengetahui bagaimana
mengolah lahan pasir milik mereka, apa yang dibutuhkan oleh tanaman,
bagaimana merawat tanaman, bagaimana memilih bibit yang cocok dengan lahan
pasir, dan hal-hal lainnya. Pengolahan pertanian di lahan pasir sangat berbeda
dengan pengolahan pertanian di lahan biasa. Membutuhkan dana yang tidak
sedikit dan tenaga yang banyak, terutama ketika mulai menanam dan saat musim
panen. Pengelolaan pertanian lahan pasir tidak hanya dilakukan oleh laki-laki,
tetapi perempuan juga menjadi bagian terbesar dalam sejarah pertanian lahan pasir
Kulon Progo. Ketiga, adanya konflik semenjak berhembusnya isu rencana
pertambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo. Konflik yang melibatkan
52
masyarakat pesisir, pemerintah, dan pihak Kesultanan ini dalam prosesnya sangat
menguras tenaga dan pikiran masyarakat pesisir. Secara fisik masyarakat pesisir
harus mempersiapkan diri untuk melawan pihak-pihak yang dengan sengaja ingin
mengambil ruang hidup mereka. Masyarakat juga harus mengerahkan tenaga dan
pikiran mereka untuk terus berjuang melawan mega proyek rencana pertambangan
pasir besi. Di sisi lain, sebagai petani masyarakat juga harus tetap melangsungkan
hidup mereka dengan menanam dan merawat tanaman mereka. Hasil tanaman
yang menjadi sumber kehidupan mereka. Di dalam kondisi seperti ini lah
perempuan dan laki-laki masyarakat pesisir tampil saling melengkapi peran
gender yang pada awalnya telah tumbuh secara alami. Kondisi-kondisi dan
tekanan-tekanan yang mereka hadapi membuat masyarakat demikian tanggap
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Masyarakat tidak lagi
mempermasalahkan peran apa yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki dan peran
apa yang harus dilakukan oleh perempuan. Masyarakat menyadari perjuangan
melawan rencana pertambangan pasir besi adalah milik bersama. Terlihat bahwa
masyarakat tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Bagi masyarakat
pesisir “menanam adalah melawan”. Perempuan mengambil peran-peran yang
dapat dilakukan oleh mereka. Apapun yang mereka lakukan pada dasarnya
bermuara pada hal yang sama yakni untuk mempertahankan lahan pertanian
mereka. Secara universal peran gender antara laki-laki dan perempuan
diklasifikasikan ke dalam tiga peran pokok, yaitu peran reproduktif (domestik),
peran produktif (publik) dan peran sosial (masyarakat), Hubeis (2010).
Pembagian Peran Reproduktif
Peran reproduktif (domestik) merupakan peran yang dilakukan seseorang
untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumber daya insani
(SDI) dan tugas kerumahtanggaan. Tidak jarang kegiatan reproduktif ini tidak
dianggap sebagai suatu pekerjaan yang konkret dan tidak diperhitungkan sebagai
kerja produktif yang menghasilkan pendapatan. Kegiatan-kegiatan
kerumahtanggaan masyarakat pesisir Desa Bugel banyak dilakukan oleh kaum
perempuan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pembagian kerja reproduktif di
wilayah-wilayah lainnya di Indonesia, mengikuti budaya timur pada umumnya.
Bagi masyarakat pesisir tugas-tugas kerumahtanggaan telah menjadi tanggung
jawab kaum perempuan sebagai istri. Dapat dikatakan bahwa peran reproduktif
diberikan kepada kaum perempuan dan telah menjadi kesepakatan bersama di
dalam keluarga dan masyarakat pesisir. Berikut pada tabel di bawah ini dapat
dilihat pembagian peran reproduktif antara laki-laki dan perempuan di Desa
Bugel.
53
Tabel 3 Pembagian peran reproduktif laki-laki dan perempuan Desa Bugel, 2014
Aktivitas reproduktif
Pelaku Dominan
peran Dominan
perempuan Bersama
Dominan
laki-laki
Berbelanja kebutuhan rumah
sehari-hari 30 0 0 Perempuan
Memilih pangan yang akan
dikonsumsi 29 1 0 Perempuan
Memasak 30 0 0 Perempuan
Membereskan rumah 27 3 0 Perempuan
Menyetrika pakaian 29 0 0 Perempuan
Mengasuh anak-anak 0 28 0 Bersama
Merawat orang sakit 0 30 0 Bersama
Mencuci pakaian 29 0 0 Perempuan
Dominan peran reproduktif Perempuan
Dari tabel 3 terlihat bahwa dari 30 responden keseluruhannya menyatakan
bahwa aktivitas reproduktif dominan dilakukan oleh perempuan, baik dilakukan
oleh ibu maupun anak perempuan. Aktivitas-aktivitas reproduktif tersebut
diantaranya adalah berbelanja kebutuhan rumah sehari-hari, memilih pangan yang
akan dikonsumsi, memasak, membereskan rumah, mencuci pakaian, dan
menyetrika pakaian. Adapun aktivitas reproduktif yang dilakukan secara bersama-
sama antara laki-laki dan perempuan adalah mengasuh anak-anak dan merawat
orang sakit.
Pembagian Peran Produktif
Peran produktif merupakan peran yang menyangkut pekerjaan yang
menghasilkan barang dan jasa perihal kebedaan tanggung jawab antara laki-laki
dengan perempuan. Misalnya laki-laki identik melakukan pekerjaan yang berat
dengan menggunakan bantuan mesin, sedangkan perempuan melakukan pekerjaan
yang ringan. Masyarakat pesisir Desa Bugel sangat menggantungkan hidupnya
pada pertanian lahan pasir. Komoditas unggulan pertanian lahan pasir adalah
cabai, semangka, dan melon. Selain itu masyarakat juga menanam berbagai jenis
sayuran yang ditanam secara tumpang sari dengan komoditas unggulan cabai,
semangka, dan melon. Oleh sebab itu mayoritas masyarakat pesisir aktivitas
produktifnya adalah bertani. Selain bertani, ada juga beberapa masyarakat yang
berdagang menjual berbagai jenis kebutuhan hidup sehari-hari dengan membuka
warung kecil-kecilan dan ada yang beternak ayam dan kerbau. Namun, pada
umumnya tidak untuk dijual, namun untuk konsumsi keluarga. Selain itu, ada juga
beberapa masyarakat pesisir yang bekerja sebagai guru. Namun, tetap bagi
masyarakat pesisir mata pencahariaan utama mereka adalah bertani. Walaupun
setiap harinya mereka mengajar di sekolah dan setiap harinya pula ke ladang
untuk bertani. Menurut salah satu pengakuan responden DRT, 46 tahun
menyatakan bahwa
54
Bertani adalah pekerjaan pilihan hati mbak. Bertani itu pekerjaan
yang paling menyenangkan. Saya bebas dan mandiri untuk mengatur
waktu, tidak terikat dengan jam kerja seperti kebanyakan yang telah
dirasakan masyarakat pesisir yang bekerja ke kota besar sebagai buruh-
buruh pabrik maupun tenaga kerjadi Indonesia (TKI). Benar-benar
berbeda bekerja sebagai petani dengan menjadi buruh pabrik. Saya
merasa menjadi orang yang merdeka dengan bertani.
Bertani di lahan pasir tidak hanya melibatkan laki-laki, perempuan juga
ikut serta di dalamnya. Bahkan beberapa anak remaja mengolah lahan pertanian
pemberian orang tuanya secara mandiri. Bertani bagi masyarakat pesisir tidak
hanya milik laki-laki sebagai kepala rumah tangga, namun milik keluarga. Tabel
berikut adalah pembagian kerja pada aktivitas produktif.
Tabel 4 Pembagian kerja produktif laki-laki dan perempuan Desa Bugel pada
pertanian komoditas cabai keriting, 2014
Aktivitas produktif
Pelaku Dominan
peran Dominan
perempuan Bersama
Dominan
laki-laki
Mengolah lahan 0 2 28 Laki-laki
Membersihkan lahan 3 2 25 Laki-laki
Mencangkul 0 0 27 Laki-laki
Membuat petak-petak
tanaman/bedengan 0 0 30 Laki-laki
Menyebar pupuk dasar (5
kompos) 26 1 3 Perempuan
Memasang mulsa dan
menyempurnakan kompos 0 2 28 Laki-laki
Menanam 2 28 0 Bersama
Menyiram tanaman 24 1 5 Perempuan
Menyiang tanaman 30 0 0 Perempuan
Mengendalikan hama dan
penyakit tanaman 0 20 10 Bersama
Memberi pupuk susulan 24 1 5 Perempuan
Memetik hasil panen 30 0 0 Perempuan
Dominan peran produktif pada pertanian cabai keriting Bersama
Pada pertanian komoditas cabai keriting, pekerjaan yang dominan
dilakukan oleh perempuan adalah menyebar pupuk dasar, menyiang tanaman, dan
memetik hasil panen. Pada umumnya di Desa Bugel, pemetikan hasil panen
komoditas cabai keriting selalu menggunakan jasa buruh. Hal ini dikarenakan
luasnya lahan yang dimiliki setiap masing-masing keluarga, sehingga tidak
memungkinkan jika dilakukan secara mandiri atau hanya dalam lingkup keluarga.
Buruh yang digunakan untuk memetik hasil panen adalah buruh perempuan.
Karena bagi masyarakat pesisir Desa Bugel perempuan sangat teliti dan hati-hati.
Buruh perempuan ini ada yang berasal dari dalam desa pesisir, adapula yang
didatangkan dari luar desa pesisir, tergantung kebutuhan dari luas lahan pertanian
55
yang dimiliki. Upah yang diberikan untuk buruh petik tergantung dari harga pasar
cabai saat panen. Harga tertinggi yang pernah dicapai oleh petani yakni pada
panen tahun 2013 dengan kisaran harga Rp.30.000,-/kg. Pada harga puncak
tersebut petani menghargai buruh petik dengan kisaran harga bersih Rp.50.000,-
/hari. Selain itu buruh petik juga mendapatkan makanan ringan di pagi hari dan
makan berat di siang hari. Jam kerja buruh petik perempuan berlangsung dari jam
08.00-16.00. Di samping itu pada pertanian komoditas cabai keriting, pekerjaan
yang dominan dilakukan oleh laki-laki adalah mengolah lahan, membersihkan
lahan, mencangkul, membuat petak-petak tanaman/bedengan, pemasangan mulsa
dan penyempurnaan kompos. Beberapa pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki
juga menggunakan tenaga kerja upahan. Beberapa pekerjaan yang pada umumnya
dilakukan oleh tenaga kerja upahan adalah ketika pengolahan lahan, pembuatan
petak tanaman/bedengan, pemasangan mulsa, dan pada saat penanaman.
Sedangkan kegiatan yang dilakukan bersama-sama adalah ketika menanam,
menyiram tanaman, dan mengendalikan hama dan penyakit. Pembagian kerja
tersebut ada dan terjadi secara alami.
Tabel 5 Pembagian kerja produktif laki-laki dan perempuan Desa Bugel pada
pertanian komoditas melon, 2014
Aktivitas produktif
Pelaku Dominan
peran Dominan
perempuan Bersama
Dominan
laki-laki
Mengolah lahan 0 2 28 Laki-laki
Membersihkan lahan 0 2 28 Laki-laki
Mencangkul dan melakukan
pemupukan dasar 2 1 27 Laki-laki
Menanam 2 25 3 Bersama
Menyiram tanaman 24 1 5 Perempuan
Menyiang tanaman 30 0 0 Perempuan
Mengendalikan hama dan
penyakit tanaman 0 20 10 Bersama
Memberi pupuk tanaman 28 1 1 Perempuan
Memetik hasil panen dan
menjarang buah 8 22 0 Bersama
Dominan peran produktif pada pertanian komoditas melon Bersama
Pada pertanian komoditas semangka dan melon pembagian kerja antara
laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda dengan pertanian pada komoditas
cabai keriting. Pekerjaan yang dominan dilakukan perempuan diantaranya adalah
menyiram tanaman, menyiangi tanaman, dan memupuk tanaman. Pekerjaan yang
dominan dilakukan oleh laki-laki adalah mengolah lahan, membersihkan lahan
serta mencangkul dan melakukan pemupukan dasar. Sedangkan pekerjaan yang
dominan dilakukan bersama-sama diantaranya adalah menanam, mengendalikan
hama/menyemprot pestisida, dan memetik hasil panen serta penjarangan buah. Di
samping itu, petani pesisir juga menanam berbagai jenis sayuran, dimana sebagian
hasilnya digunakan untuk konsumsi keluarga dan sebagian lainnya untuk dijual ke
pasar. Pembagian kerja pada tanaman sayuran ini adalah sama dengan pembagian
56
kerja pada tanaman komoditas cabai keriting, semangka atau melon. Hal ini
dikarenakan sayuran ditanaman secara tumpang sari bersamaan dengan cabai
keriting, semangka atau melon. Dengan kata lain, pengerjaannya dilakukan secara
bersamaan, yang membedakan adalah waktu pemanenan. Tanaman sayuran dapat
dipanen dalam waktu yang lebih singkat, yakni, dua hingga tiga minggu. Pada
umumnya, pemetikan hasil panen tanaman sayuran juga dilakukan oleh
perempuan. Sebagian masyarakat pesisir menjual tanaman sayuran kepada
pengumpul dan sebagian lagi langsung ke pasar.
Tabel 6 Pembagian kerja produktif laki-laki dan perempuan Desa Bugel pada
sektor perdagangan dan peternakan, 2014
Aktivitas produktif
Pelaku
Dominan
perempuan Bersama
Dominan
laki-laki
n % N % N %
Perdagangan menjaga warung/berjualan
di pasar 3 10.0 0 0.0 0 0.0
membeli barang/bahan baku 3 10.0 0 0.0 0 0.0
membuat produk 0 0.0 0 0.0 0 0.0
mengatur keuangan 3 10.0 0 0.0 0 0.0
Peternakan
membersihkan kandang 5 16.7 0 0.0 0 0.0
menyiapkan makan ternak 5 16.7 0 0.0 1 3.0
memberi makan ternak 5 16.7 0 0.0 1 3.0
menggembalakan ternak 0 0.0 0 0.0 0 0.0
merawat ternak 2 6.0 2 5.0 1 3.0
memasarkan hasil ternak 5 16.7 1 3.0 0 0.0
Selanjutnya pembagian kerja produktif di sektor perdagangan dan
peternakan lebih didominasi oleh perempuan. Dari 30 responden terdapat 3
responden yang memiliki usaha sampingan membuka warung. Pembagian kerja
pada ketiga responden tersebut didominasi oleh perempuan mulai dari menjaga
warung, membeli barang/bahan baku, membuat produk hingga mengatur
keuangan. Di samping itu, dari 30 responden terdapat 6 responden yang beternak.
Pekerjaan ini juga didominasi oleh perempuan. Dari 6 responden, 5 diantaranya
segala pekerjaan yang terkait hewan ternak dilakukan oleh perempuan. Pekerjaan
tersebut diantaranya membersihkan kandang, menyiapkan makan ternak, memberi
makan ternak, merawat ternak. Dan hanya satu responden yang pekerjaan tersebut
dominan dilakukan oleh laki-laki. Adapun pekerjaan yang dilakukan bersama-
sama adalah merawat ternak. Selain keempat aktivitas produktif di atas, terdapat
satu kategori aktivitas produktif lainnya yang bersifat jasa. Namun, diantara 30
responden tidak ada yang melakukan aktivitas tersebut. Adapun kegiatan yang
termasuk di dalamnya adalah mengajar, menarik ojek, bekerja sebagai kuli
bangunan, bekerja di pabrik, dan bekerja di kantor.
57
Pembagian Peran Sosial
Peran sosial (masyarakat) terkait dengan kegiatan jasa partisipasi politik.
Kegiatan jasa masyarakat banyak yang bersifat relawan dan biasanya dilakukan
oleh perempuan. Sedangkan kegiatan politik di masyarakat terkait dengan status
dan kekuasaan seseorang, sehingga pada umumnya dilakukan oleh laki-laki.
Kegiatan sosial pada masyarakat pesisir Desa Bugel cukup beragam. Budaya
tolong-menolong sangat melekat di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
pesisir. Ketika musim tanam tiba, masyarakat pesisir saling bahu-membahu untuk
membantu petani lainnya mengolah lahan dan menanam tanaman. Demikian pula
saat musim panen tiba masyarakat petani secara bergantian saling membantu
memetik hasil panen. Selain itu juga terdapat kegiatan-kegiatan keagamaan seperti
pengajian bagi anak-anak dan remaja serta mujadahan yang khusus
diselenggarakan untuk menolak rencana pertambangan pasir besi.
Selain itu, di Desa Bugel juga terdapat kelompok tani yang bergerak
secara aktif. Bagi masyarakat pesisir, kelompok tani merupakan wadah bagi
petani untuk saling berkumpul dan berdiskusi dalam menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapi petani pada tanaman mereka. Hal ini membuat petani
secara mandiri terus mengembangkan teknologi pertanian lahan pasir,
mengembangkan teknologi pengendalian hama dan penyakit tanaman, dan lain-
lainnya. Kelompok tani Sugih Mulyo juga aktif mengikuti penyuluhan-
penyuluhan yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Kulon Progo.
Sebagai salah satu pelopor teknologi pertanian lahan pasir, tidak jarang para
tokoh-tokoh pengembang pertanian lahan pasir yang ada di Desa Bugel juga
memberikan penyuluhan-penyuluhan dan kuliah-kuliah di Fakultas Pertanian,
Universitas Gadjah Mada. Berikut adalah pembagian kerja pada aktivitas sosial di
Desa Bugel.
Tabel 7 Pembagian kerja sosial laki-laki dan perempuan Desa Bugel, 2014
Aktivitas sosial
Pelaku Dominan
peran Dominan
perempuan Bersama
Dominan
laki-laki
Kegiatan keagamaan 1 29 0 Bersama
Kegiatan PNPM 0 0 21 Laki-laki
Kegiatan kelompok tani 0 0 30 Laki-laki
Mengikuti mujadahan 0 30 0 Bersama
Gotong-royong 0 27 3 Bersama
Mengikuti rapat RT/lainnya 0 1 29 Laki-laki
Kegiatan penyuluhan 0 0 30 Laki-laki
Menghadiri hajatan 2 27 1 Bersama
Dominan peran sosial Laki-laki
Tabel 7 memperlihatkan bahwa mayoritas aktivitas sosial yang
berlangsung di masayarakat Desa Bugel dilakukan oleh laki-laki. Dari delapan
aktivitas sosial tersebut terdapat empat akvitas yang dominan dilakukan secara
bersama-sama yakni kegiatan keagamaan (mujadahan), kegiatan pengajian,
kegiatan gotong-royong, dan menghadiri hajatan. Sedangkan kegiatan PNPM,
58
kegiatan kelompok tani, kegiatan penyuluhan, dan kegiatan rapat RT/lainnya
dominan dilakukan oleh laki-laki. Terlihat bahwa peran-peran yang diambil oleh
perempuan dalam aktivitas sosial merupakan aktivitas yang terbatas di dalam
desa, sukarela, non-komersial serta yang berhubungan dengan warga desa
sedangkan peran-peran yang diambil oleh laki-laki merupakan aktivitas yang
termasuk dalam ranah publik, melibatkan pihak luar, dan komersial. Perempuan
menyerahkan kegiatan-kegiatan kelompok tani, penyuluhan, PNPM, dan rapat
RT/lainnya untuk diikuti oleh laki-laki atau suaminya. Dengkan kata lain
perempuan terlibat aktif dalam aktivitas sosial informal sedangkan laki-laki
terlibat aktif dalam aktivitas sosial-formal. Pembagian peran ini merupakan model
pembagian kerja yang umum di pedesaan.
Akses dan Kontrol
Akses adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya maupun
hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara
penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Selanjutnya kontrol adalah
penguasaan atau kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan
dan hasil sumber daya. Profil akses dan kontrol (peluang dan penguasaan)
terhadap sumber daya mencakup informasi mengenai siapa yang mempunyai
peluang dan penguasaan terhadap sumber daya fisik atau material, pasar
komoditas dan pasar kerja, dan sumber daya sosial-budaya. Berikutnya, profil
peluang dan penguasaan terhadap manfaat mencakup informasi mengenai siapa
yang mempunyai peluang dan penguasaaan atas hasil pendapatan, kekayaan
bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, prestise, dan seterusnya.
Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya Fisik/Material
Akses terhadap sumberdaya fisik/material adalah kesempatan untuk
menggunakan sumber daya fisik/material maupun hasilnya tanpa memiliki
wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil
sumber daya tersebut. Akses terhadap sumberdaya fisik meliputi kesempatan
untuk memanfaatkan lahan pertanian, kesempatan menggunakan modal uang
untuk pemenuhan kebutuhan keluarga, kesempatan menggunakan modal uang
untuk pemenuhan kegiatan pertanian, kesempatan untuk menggunakan sarana
produksi pertanian, dan kesempatan menggunakan hasil pertanian untuk
pemenuhan kebutuhan keluarga. Berdasarkan hasil kuesioner terlihat bahwa di
Desa Bugel akses perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya fisik/material
cenderung sama. Khususnya pada kesempatan untuk memanfaatkan lahan
pertanian, kesempatan untuk menggunakan sarana produksi pertanian, dan
kesempatan menggunakan hasil pertanian untuk pemenuhan kebutuhan keluarga.
Selanjutnya kesempatan menggunakan modal uang untuk pemenuhan kebutuhan
keluarga dominan dimiliki perempuan, sedangkan kesempatan menggunakan
modal uang untuk pemenuhan kegiatan pertanian dominan dimiliki laki-laki.
Hal ini sebanding dengan kontrol yang sama antara laki-laki dan
perempuan terhadap sumberdaya fisik dan material. Kontrol terhadap sumberdaya
59
fisik/material adalah penguasaan atau kewenangan penuh untuk mengambil
keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya fisik atau material. Laki-laki
dan perempuan memiliki kewenangan yang sama atas penggunaan lahan
pertanian, sarana produksi pertanian, dan hasil pertanian untuk pemenuhan
kebutuhan keluarga. Sementara itu, perempuan memiliki kewenangan penuh atas
modal uang untuk pemenuhan kebutuhan keluarga. Modal uang untuk pemenuhan
kebutuhan keluarga ini merupakan sejumlah uang yang dimiliki oleh rumah
tangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pembagian
peran reproduktif pada masyarakat pesisir Desa Bugel, yakni kerja reproduktif
dominan dilakukan oleh perempuan dan kewenangan modal uang untuk
pemenuhan kebutuhan keluarga sehari-hari juga dikuasai oleh perempuan.
Kondisi ini memperlihatkan perempuan diberi dan mengambil kewenangan dalam
ranah kerumahtanggan yang terkait pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Hal ini berbeda dengan penguasaan modal uang untuk pemenuhan
kegiatan pertanian dimana dikuasai oleh laki-laki. Pengelolaan pertanian lahan
pasir membutuhkan modal yang besar. Pada umumnya sebelum mulai menanam
cabai keriting, petani lahan pasir Desa Bugel meminjam sejumlah uang ke Bank
sebagai modal awal, yang akan dikembalikan secara bertahap ketika panen raya
berlangsung. Modal ini untuk penyediaan bibit, pupuk, pestisida, pekerja, dan
segala keperluan dan perlengkapan untuk menanam cabai keriting. Akses pada
kredit bank berbeda dengan akses pada modal uang untuk pemenuhan kebutuhan
keluarga sehari-hari. Akses pada kredit bank, secara resmi juga dimiliki oleh
perempuan selama memenuhi syarat-syarat pengajuan kredit pada bank setempat.
Namun, pengajuan kredit pada bank setempat bukanlah pekerjaan yang mudah,
membutuhkan kemampuan bernegosiasi dengan pihak bank setempat. Kemudian
modal uang tersebut harus dikelola secara efektif dan efisien. Hal ini dikarenakan
petani berkewajiban untuk mengembalikan uang pinjaman tersebut, disamping
juga harus mengelola modal uang untuk keperluan kegiatan pertanian dalam satu
musim tanam dan menabung untuk persiapan musim tanam berikutnya. Di sisi
lain, seluruh perencanaan penanaman komoditas cabai keriting juga didiskusikan
oleh laki-laki dalam kelompok tani, mulai dari waktu tanam, harga bibit unggul
yang akan digunakan, cara pengendalian hama dan penyakit tanaman serta harga
obat yang akan digunakan, harga pupuk, dan lain-lainnya. Dengan kata lain, laki-
laki adalah pelaku yang lebih mengetahui modal uang yang dibutuhkan untuk
menanam komoditas cabai keriting, perkiraan hasil yang didapatkan, dan
tabungan yang akan disimpan. Oleh karena itu kewenangan atas modal uang
untuk pemenuhan kegiatan pertanian dikendalikan oleh laki-laki. Berikut disajikan
tabel yang memperlihatkan akses dan kontrol terhadap sumberdaya fisik 30
responden yang berada di Desa Bugel
60
Tabel 8 Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel terhadap
sumberdaya fisik/material, 2014
Sumberdaya fisik/material Akses Kontrol
PR B LK PR B LK
Lahan pertanian 0 30 0 0 30 0
Modal uang untuk
kebutuhan keluarga 24 6 0 28 2 0
Modal uang untuk kegiatan
pertanian 0 5 25 0 2 28
Sarana produksi pertanian 0 25 5 0 22 8
Hasil pertanian 0 30 0 3 27 0
Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya Sosial-Budaya
Akses terhadap sumberdaya sosial-budaya adalah kesempatan untuk
menggunakan sumber daya sosial-budaya tanpa memiliki wewenang untuk
mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut,
sedangkan kontrol adalah penguasaan atau kewenangan penuh untuk mengambil
keputusan atas penggunaan sumberdaya sosial-budaya. Variabel dari akses
terhadap sumberdaya sosial-budaya diantaranya adalah kesempatan untuk
mengeyam pendidikan, kesempatan untuk mengikuti kegiatan penyuluhan
pertanian, kesempatan untuk mengikuti kegiatan penyuluhan lainnya, kesempatan
untuk menentukan tanaman apa yang akan ditanami pada musim-musim tertentu,
dan kesempatan utuk menentukan strategi pengelolaan pertanian. Dari
keseluruhan variabel akses tersebut, data dominan menunjukan laki-laki memiliki
akses yang besar terhadap sumberdaya sosial-budaya. Laki-laki juga memiliki
kewenangan penuh atas sumberdaya sosial budaya. Laki-laki memiliki
kesempatan dan kewenangan penuh khususnya akses dan kontrol yang
menyangkut bidang pertanian, diantaranya yakni mengikuti kegiatan penyuluhan
pertanian, mengikuti kegiatan penyuluhan lainnya, menentukan tanaman apa yang
akan ditanami pada musim-musim tertentu, dan menentukan strategi pengelolaan
pertanian. Hal-hal yang menyangkut bidang pertanian seperti menentukan waktu
tanam, menentukan strategi pengelolaan pertanian, bagaimana membasmi hama
pada tanaman media lahan pasir, dan lain sebagainya selalu didiskusikan secara
bersama-sama di dalam kelompok tani yang diikuti oleh laki-laki. Oleh karena itu
laki-laki memiliki kesempatan dan kewenangan lebih besar dalam menentukan
pengelolaan pertanian lahan pasir. Sedangkan untuk kesempatan dan kewenangan
untuk menentukan siapa yang berhak mengeyam pendidikan diputuskan secara
bersama-sama. Keseluruhan responden tidak membeda-bedakan pendidikan antara
anak laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki kesempatan yang sama atas
pendidikan.
61
Tabel 9 Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel terhadap
sumberdaya sosial-budaya, 2014
Sumberdaya sosial-budaya Akses Kontrol
PR B LK PR B LK
Mengeyam pendidikan 0 30 0 0 30 0
Mengikuti penyuluhan pertanian 0 0 30 0 0 30
Mengikuti penyuluhan lainnya 0 0 30 0 0 30
Ikut menentukan komoditas tanaman 0 0 30 0 0 30
Ikut menentukan strategi
pengelolaan pertanian 0 2 28 0 2 28
Akses dan Kontrol terhadap Pasar Komoditas dan Tenaga Kerja
Akses terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja adalah kesempatan untuk
menggunakan sumber daya pasar komoditas dan tenaga kerja tanpa memiliki
wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil
sumber daya tersebut. Akses terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja
diantaranya adalah kesempatan untuk menyediakan (membeli) bibit dan saprotan,
kesempatan untuk menentukan waktu penjualan hasil pertanian, kesempatan untuk
menentukan tempat penjualan hasil pertanian, kesempatan untuk menentukan
jumlah hasil pertanian yang akan dijual, kesempatan untuk menentukan jumlah
buruh tani yang akan digunakan ketika panen berlangsung, kesempatan untuk
pengelolaan usaha pertanian, dan kesempatan pengelolaan usaha non pertanian.
Pada tabel di bawah terlihat bahwa laki-laki memiliki akses yang lebih besar
terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja dibandingkan perempuan. Sebanyak 30
responden perempuan menyatakan bahwa kesempatan untuk penyediaan bibit dan
saprotan, menentukan waktu penjualan hasil pertanian, dan menentukan tempat
penjualan hasil pertanian dimiliki oleh laki-laki dalam wadah kelompok tani.
Adapun dalam menentukan jumlah hasil pertanian yang akan dijual dan
pengelolaan usaha pertanian, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang
sama. Sedangkan perempuan memiliki kesempatan lebih besar dalam menentukan
jumlah buruh tani yang akan digunakan ketika panen berlangsung. Hal ini
dikarenakan buruh tani yang digunakan untuk memetik hasil panen adalah
perempuan. Perempuan dianggap lebih teliti, hati-hati, dan telaten. Jumlah buruh
tani ini disesuaikan dengan luas lahan yang dimiliki petani. Perempuan-
perempuan pesisir Desa Bugel menggunakan jaringan yang mereka miliki untuk
mendapatkan buruh petik. Pada umumnya adalah orang-orang yang memiliki
hubungan kerabat dengan mereka. Kondisi yang sama juga terlihat dalam kontrol
terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja. Laki-laki memiliki kewenangan penuh
atas penyediaan bibit dan saprotan, menentukan waktu penjualan hasil pertanian,
dan menentukan tempat penjualan hasil pertanian. Perempuan memiliki
kewenangan penuh dalam menentukan jumlah buruh tani yang akan digunakan
ketika panen berlangsung. Selanjutnya laki-laki dan perempuan memiliki
kewenangan yang sama atas pengelolaan usaha pertanian dan dalam menentukan
jumlah hasil pertanian yang akan dijual.
62
Tabel 10 Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel terhadap pasar
komoditas dan tenaga kerja, 2014
Pasar komoditas dan
tenaga kerja
Akses Kontrol
PR B LK PR B LK
Menyediakan (membeli) bibit dan
saprotan 0 1 29 0 1 29
Menentukan waktu penjualan 0 0 30 0 0 30
Menentukan tempat penjualan 0 0 30 0 0 30
Menentukan jumlah komoditas yang
akan dijual 0 28 2 0 28 2
Menentukan jumlah buruh tani 22 8 0 25 5 0
Pengelolaan usaha pertanian 0 30 0 0 27 3
Pengelolaan usaha non pertanian 1 1 1 0 2 1
Akses dan Kontrol terhadap Manfaat
Akses terhadap manfaat meliputi kesempatan atas pemanfaatan hasil
pendapatan, kesempatan atas pemanfaatan kekayan bersama, kesempatan atas
pemanfaatan kebutuhan dasar, dan kesempatan atas pendidikan keluarga. Kontrol
terhadap manfaat adalah penguasaan atau kewenangan penuh untuk mengambil
keputusan atas pemanfaatan kekayan bersama, pemanfaatan kebutuhan dasar, dan
pendidikan keluarga. Masyarakat pesisir Desa Bugel memperlihatkan bahwa
antara laki-laki dan perempuan memiliki akses dan kontrol yang sama atas
pemanfaatan kekayaan bersama, pemanfaatan kebutuhan dasar, dan pendidikan
keluarga. Hal ini berdasarkan pernyataan dari 30 responden dalam kuesioner. Hal
ini sebagaimana diperlihatkan tabel di bawah ini.
Tabel 11 Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel terhadap
manfaat, 2014
Manfaat Akses Kontrol
PR B LK PR B LK
Hasil pendapatan 0 30 0 0 30 0
Kekayaan bersama 0 30 0 0 30 0
Kebutuhan dasar 3 27 0 0 30 0
Pendidikan di keluarga 0 30 0 0 30 0
Ikhtisar
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas reproduktif pada
masyarakat pesisir Desa Bugel dominan dilakukan oleh perempuan. Aktivitas-
aktivitas reproduktif tersebut diantaranya adalah berbelanja kebutuhan rumah
sehari-hari, memilih pangan yang akan dikonsumsi, memasak, membereskan
rumah, mencuci pakaian, dan menyetrika pakaian. Adapun aktivitas reproduktif
yang dilakukan secara bersama-sama antara laki-laki dan perempuan adalah
63
mengasuh anak dan merawat orang sakit. Hal ini berbeda dengan pembagian kerja
pada aktivitas produktif. Dominan peran di sejumlah jenis kegiatan produktif
dilakukan secara bersama. Jenis kegiatan produktif tersebut diantaranya adalah
pertanian komoditas cabai keriting dan pertanian komoditas semangka dan melon.
Sedangkan aktivitas pada sektor perdagangan dan peternakan didominasi oleh
perempuan.
Selanjutnya pada peran sosial, dominan dilakukan oleh laki-laki. Terdapat
empat akvitas sosial yang dominan dilakukan secara bersama-sama yakni kegiatan
keagamaan (mujadahan), kegiatan pengajian, kegiatan gotong-royong, dan
menghadiri hajatan. Sedangkan kegiatan PNPM, kegiatan kelompok tani, kegiatan
penyuluhan, dan kegiatan rapat RT/lainnya dominan dilakukan oleh laki-laki.
Terlihat bahwa peran-peran yang diambil oleh perempuan dalam aktivitas sosial
merupakan aktivitas yang terbatas di dalam desa, sukarela, non-komersial serta
yang berhubungan dengan warga desa sedangkan peran-peran yang diambil oleh
laki-laki merupakan aktivitas yang termasuk dalam ranah publik, melibatkan
pihak luar, dan komersial. Pembagian peran ini merupakan kesepakatan bersama
antara laki-laki dan perempuan. Perempuan menyerahkan kegiatan-kegiatan
kelompok tani, penyuluhan, PNPM, dan rapat RT/lainnya untuk diikuti oleh laki-
laki atau suaminya.
Sementara itu, akses dan kontrol antara perempuan dan laki-laki terhadap
sumberdaya fisik/material cenderung sama pada masyarakat pesisir Desa Bugel.
Khususnya pada kesempatan untuk memanfaatkan lahan pertanian, menggunakan
sarana produksi pertanian, dan menggunakan hasil pertanian untuk pemenuhan
kebutuhan keluarga. Selanjutnya kesempatan menggunakan modal uang untuk
pemenuhan kebutuhan keluarga dominan dimiliki perempuan, sedangkan
kesempatan menggunakan modal uang untuk pemenuhan kegiatan pertanian
dominan dimiliki laki-laki.
Hal ini berbeda dengan akses dan kontrol terhadap sumberdaya sosial dan
budaya yang didominasi oleh laki-laki. Laki-laki memiliki kesempatan dan
kewenangan penuh khususnya akses dan kontrol yang menyangkut bidang
pertanian, karena didiskusikan secara bersama-sama di dalam kelompok tani yang
diikuti oleh laki-laki. Oleh karena itu laki-laki memiliki kesempatan dan
kewenangan lebih besar dalam menentukan pengelolaan pertanian lahan pasir.
Sedangakan untuk kesempatan dan kewenangan untuk menentukan siapa yang
berhak mengeyam pendidikan diputuskan secara bersama-sama.
Hal ini juga terlihat dalam akses dan kontrol terhadap pasar komoditas dan
tenaga kerja yang dominan dimiliki oleh laki-laki. Kesempatan untuk penyediaan
bibit dan saprotan, menentukan waktu penjualan hasil pertanian, dan menentukan
tempat penjualan hasil pertanian dimiliki oleh laki-laki dalam wadah kelompok
tani. Adapun dalam menentukan jumlah hasil pertanian yang akan dijual dan
pengelolaan usaha pertanian, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang
sama. Sedangkan perempuan memiliki kesempatan lebih besar dalam menentukan
jumlah buruh tani yang akan digunakan ketika panen berlangsung. Kondisi yang
sama juga terlihat dalam kontrol terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja.
Sedangkan pada akses dan kontrol terhadap manfaat memperlihatkan bahwa
antara laki-laki dan perempuan memiliki akses dan kontrol yang sama, yakni atas
pemanfaatan kekayaan bersama, pemanfaatan kebutuhan dasar, dan pendidikan
keluarga.
64
PERAN PEREMPUAN DALAM GERAKAN PETANI
LAHAN PASIR KULON PROGO
Bab ini menjelaskan mengenai peran perempuan pesisir Desa Bugel dalam
gerakan petani lahan pasir Kulon Progo. Peran perempuan dilihat dari berbagai
aspek, yakni keterlibatan perempuan dalam berbagai aktivitas pergerakan
perlawanan petani, kesempatan perempuan terlibat dalam gerakan petani, dan
kewenangan perempuan dalam gerakan petani.
Keterlibatan Perempuan dalam Aktivitas Gerakan Petani
Gerakan petani tidak dapat menghindari kegiatan pertanian dan kegiatan
kerumahtanggaan yang merupakan proses biologis. Pekerjaan pertanian (budidaya
tanaman dan ternak) dan pekerjaan rumah tangga tidak dapat ditinggalkan, secara
berkelanjutan harus ada yang mengurus. Suatu bentuk pembagian kerja
merupakan keharusan. Pembagian kerja yang berlaku pada masyarakat pedesaan
di Indonesia umumnya dipengaruhi oleh pembagian gender yang tradisional.
Dimana perempuan ditempatkan pada kerja reproduktif dan laki-laki pada kerja
produktif.
Tahun 2006 merupakan tonggak awal perjuangan masyarakat pesisir
menolak rencana penambangan pasir besi, yakni dibentuknya Paguyuban Petani
Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP). PPLP-KP merupakan wadah bagi seluruh
petani untuk saling berbagi informasi dan menyusun strategi rencana penolakan
pertambangan pasir besi. Seluruh petani lahan pasir tergabung dalam kelompok
tani yang ada di setiap desa. Seluruh kelompok tani ini kemudian menghimpun
diri dalam wadah PPLP-KP. Ide pembentukan PPLP-KP pada awalnya timbul
karena keresahan warga atas issu yang berkembang di masyarakat terkait adanya
rencana pertambangan di sepanjang lahan pasir Kulon Progo. Jauh sebelum issu
pertambangan pasir besi berkembang, pihak penambang telah melakukan
penelitian-penelitian terkait kandungan yang terdapat dalam pasir. Namun, pada
masa itu masyarakat belum menyadari sepenuhnya. Berdasarkan hasil penelitian-
penelitian tersebut, ditemukan tidak hanya kandungan besi yang terkandung
dalam lahan pasir, namun terdapat kandungan-kandungan mineral lainnya yang
memiliki daya jual tinggi. Hal ini lah yang membuat pihak penambang terus
mendesak masyarakat untuk menjual lahannya.
Desa Bugel merupakan salah satu basis perlawanan petani melawan
rencana mega proyek pertambangan pasir besi. Sejak tahun 2006 hingga saat ini,
masyarakat pesisir Desa Bugel telah melakukan banyak perlawanan, baik
perlawanan yang bersifat terbuka maupun secara sembunyi-sembunyi, baik secara
fisik maupun secara non-fisik. Oleh karena itu, Desa Bugel memiliki sejarah
panjang dalam memperjuangkan lahan pertanian mereka. Beberapa inisiator dan
tokoh perjuangan petani lahan pasir berasal dari Desa Bugel, yang tidak hanya
laki-laki, namun juga perempuan. Tokoh perempuan ini lah yang mengawali
pergerakan perempuan di Desa Bugel. Berikut profil singkat mengenai tokoh
perempuan yang berasal dari Desa Bugel.
66
Keterlibatan peran perempuan Desa Bugel dalam gerakan petani tidak
terlepas dari peran Ibu IST. Dari sudut pandang perempuan pesisir, peran-peran
yang lakukan oleh laki-laki adalah sama dengan peran-peran yang dilakukan oleh
perempuan dalam gerakan petani. Antara laki-laki dan perempuan saling
melengkapi. Perempuan mengambil peran sesuai kapasitas yang mereka miliki.
Adapun peran perempuan dalam gerakan petani dapat dibagi ke dalam beberapa
jenis aksi perlawanan petani, yakni:
1. Menanam sebagai suatu prinsip
Perempuan pesisir memiliki konsepsi bahwa menanam dan
merawat tanaman yang mereka lakukan setiap harinya adalah bagian
dalam melawan. Dengan mereka tetap menanam, masyarakat pesisir ingin
Ibu IST, Tokoh Pergerakan Perempuan Desa Bugel
Beliau bernama Ibu IST. Ibu IST adalah penduduk asli Desa Bugel, yang lahir
dan dibesarkan di desa pesisir Kulon Progo. Beliau bekerja sebagai petani lahan pasir.
Selain sebagai petani, beliau terlibat aktif dalam program-program PNPM Mandiri
yakni sebagai tim pengelola kegiatan desa tahun 2014, pengelolaan lembaga PAUD
(Pendidikan Anak Usia Dini), program pengembangan desa pesisir tangguh, dan
terlibat aktif dalam Para Legal LBH (Lembaga Bantuan Hukum). Keterlibatan beliau
dalam LBH adalah awal mula keterlibatan beliau dalam PPLP-KP (Paguyuban Petani
Lahan Pasir-Kulon Progo). Sejak berdiri pada tahun 2006, PPLP-KP bersolidaritas
dengan Para Legal LBH. PPLP-KP banyak melakukan diskusi-diskusi dengan LBH
untuk membahas kasus kriminalisasi terhadap Pak Tukijo atas tuduhan pencemaran
nama baik Kepala Dusun Bedoyo, Isdiyanto, karena Pak Tukijo menanyakan tujuan
pendataan tanah warga. Sejak saat itu lah interaksi antara Ibu IST dengan PPLP-KP
meningkat dan beliau memutuskan untuk bergabung dengan PPLP-KP. Bagi beliau
keputusan untuk ikut melawan menolak rencana pertambangan pasir besi dan
mempertahankan lahan pertanian adalah panggilan hati. Setelah bergabung dengan
PPLP-KP beliau menyadari bahwa perlawanan ini harus dilakukan bersama-sama,
laki-laki dan perempuan. Gerakan petani ini adalah milik bersama. Perjuangan ini
adalah milik bersama. Perjuangan untuk mempertahankan ruang hidup petani lahan
pasir yang ingin direnggut oleh sekelompok penguasa, baik penguasa modal maupun
penguasa kebijakan. Menurut beliau, kesadaran perempuan Desa Bugel untuk
menolak rencana pertambangan pasir besi tidaklah serta merta ketika issu rencana
pertambangan pasir besi berhembus sejak tahun 2006. Oleh karena itu, Beliau
memanfaatkan kelompok-kelompok sosial yang ada dalam masyarakat pesisir untuk
menyebarkan semangat perjuangan seperti kelompok-kelompok pengajian. Selain itu
beliau juga banyak berkomunikasi dengan para petani perempuan ketika di ladang.
Secara bertahap perempuan-perempuan di Desa Bugel terdorong untuk terlibat dalam
gerakan petani. Beliau terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan dalam PPLP-KP. Ibu
IST adalah satu-satunya perempuan yang ikut dalam rapat-rapat inti yang dilakukan
oleh PPLP-KP. Beliau ikut memberikan pendapat dalam diskusi-dikusi yang terkait
strategi perjuangan petani. Beliau adalah salah seorang perempuan yang memberikan
orasi ketika aksi-aksi demo berlangsung. Ketika orasi berlangsung, beliau adalah
orang yang mengumpulkan massa perempuan, menggerakkan perempuan, dan
mengkoordinir perempuan dalam beberapa kesempatan aksi-aksi perlawanan. Beliau
menyebarkan semangat perjuangan kepada perempuan-perempuan Desa Bugel
melalui berbagai kesempatan seperti ketika perempuan-perempuan sedang bekerja di
ladang, ketika berkumpul istirahat di ladang, dan dalam kegiatan-kegiatan sosial
lainnya, seperti pengajian, hajatan, dan gotong-royong.
67
menunjukan keberadaan mereka dan sikap keras penolakan mereka atas
rencana pertambangan pasir besi. Rencana pembangunan yang diagung-
agungkan oleh kelompok penguasa, sama sekali tidak bernilai di mata
masyarakat pesisir Kulon Progo.
2. Aksi-aksi politik.
Perempuan-perempuan Desa Bugel juga terlibat aktif dalam
perlawanan-perlawanan fisik yang dilakukan oleh PPLP-KP. PPLP-KP
telah melakukan banyak aksi-aksi perlawanan secara fisik di masa awal
pergerakan petani. Hal ini merespon aksi JMI (Jogja Magasa Iron) yang
secara terang-terangan meneror dan menekan masyarakat agar menyetujui
rencana pertambangan pasir besi dengan menjual lahan mereka. Namun
masyarakat pesisir yang tergabung dalam PPLP-KP telah mendeklrasikan
bahwa menolak pertambangan pasir besi adalah harga mati. Tidak dapat
ditawar-tawar, tidak ada negosiasi, dan tidak ada kata menerima dengan
syarat dan ketentuan apapun. Diantara perlawanan-perlawanan fisik
tersebut adalah aksi yang bertujuan menuntut hak politik.
Aksi tersebut diantaranya adalah aksi mendatangi gedung-gedung
pemerintahan, aksi-aksi demonstrasi, aksi pembuatan surat untuk presiden
yang dilakukan sebanyak tiga kali, aksi demo di pemerintah Kabupaten
Kulon Progo, aksi demo di kantor DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) baik
DPRD maupun DPR RI yang dilakukan sebanyak lima kali, dan aksi-aksi
mengorganisir petani ketika sebelum dan saat aksi-aksi demosntrasi
berlangsung. Berdasarkan hasil kuesioner terhadap 30 responden
perempuan, terlihat bahwa mayoritas perempuan terlibat aktif dalam
kegiatan-kegiatan aksi dan demonstrasi. Diantaranya yakni aksi demo di
Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, aksi demo di kantor DPRD Kulon
Progo, dan aksi demo ke UGM (Universitas Gadjah Mada) terkait
keberpihakan UGM kepada JMI dengan kesediannya melakukan penelitian
terkait reklamasi lahan pasca penambangan. Aksi-aksi demo yang diikuti
oleh perempuan adalah aksi-aksi yang masih dalam lingkup Kulon Progo
dan dilakukan dalam waktu satu hari. Ketika aksi demo berlangsung,
perempuan ikut menyuarakan menolak rencana pertambangan pasir besi.
Selain itu, masyarakat pesisir juga pernah menduduki kantor
DPRD Kulon Progo untuk menuntut pembatalan proyek pertambangan
pasir besi karena berpotensi pada pelanggaran Hak Asasi Manusia. Aksi
ini dilakukan selama tiga hari dan hanya diikuti oleh laki-laki. Selama tiga
hari tersebut perempuan-perempuan pesisir setiap harinya memasak untuk
dikirimkan kepada suami dan anak laki-laki mereka yang sedang
memperjuangkan hak atas ruang hidup petani lahan pasir Kulon Progo.
Selama tiga hari pula perempuan-perempuan lah yang mengambil peran
laki-laki di ladang untuk merawat tanaman. Disinilah terlihat, perempuan-
perempuan pesisir menggantikan peran-peran yang biasanya dilakukan
oleh laki-laki, terutama peran-peran produktif di sektor pertanian. Di
dalam aksi tersebut petani pesisir melibatkan orang-orang yang
bersolidaritas dengan PPLP-KP. Orang-orang yang berpihak kepada
petani, yang ikut memperjuangkan nasib petani lahan pasir sesuai
kemampuan yang mereka miliki.
3. Aksi-aksi fisik mencegah masuknya JMI (Jogja Magasa Iron)
68
Aksi-aksi fisik ini merupakan aksi-aksi yang tidak direncanakan,
sehingga bersifat spontan. Aksi ini menjadi kewajiban seluruh masyarakat
pesisir untuk menjaga agar tidak ada pihak asing yang masuk ke desa
pesisir Kulon Progo. Masyarakat pesisir telah memiliki kesepakatan untuk
tidak menerima pihak manapun yang berusaha masuk ke desa pesisir tanpa
izin dari pihak yang telah ditunjuk oleh PPLP. Baik mahasiswa yang ingin
melakukan penelitian, LSM yang ingin bersolidaritas, dan peneliti yang
mengatasnamakan lembaga tertentu. Seluruh pihak yang ingin masuk ke
desa pesisir harus melalui “satu pintu”. Menurut salah satu pengakuan
perempuan Desa Bugel DRT, 46 tahun menyatakan bahwa
Saat itu ketika menjelang magrib terdapat enam mobil Paku
Alaman yang melintas di Desa Bugel tanpa seizin warga.
Kemudian secara otomatis saya langsung keluar membawa parang
untuk mencegat keenam mobil tersebut. Saya berdiri di tengah
jalan dan mengatakan “berhenti!”. Suasana hening petang itu
membuat ibu-ibu yang lain seketika keluar membawa parang.
Beberapa warga langsung menghubungi warga di desa pesisir
lainnya. Tidak sampai lima menit warga pesisir lain sudah
berkumpul di Desa Bugel. Kami para ibu-ibu langsung
menghadang orang per orang pekerja JMI. Satu orang pekerja di
hadang oleh tiga perempuan lengkap dengan parang masing-
masing. Saya sudah tidak berpikir lagi bagaimana keselamatan
saya atas tindakan saya tersebut. Bagi saya menolak
pertambangan adalah harga mati.
4. Aksi-aksi non fisik
Selain perlawanan secara fisik, masyarakat pesisir yang tergabung
dalam PPLP-KP juga melakukan aksi-aksi non fisik seperti menjalin
solidaritas dan melakukan diskusi-diskusi. Kegiatan-kegiatan diskusi
dilakukan di sepanjang perjuangan petani lahan pasir. Pada awal
pergerakan PPLP-KP banyak melakukan diskusi-diskusi dengan petani-
petani di daerah lain yang juga menghadapi mega proyek pertambangan.
Tujuannya adalah untuk mempelajari strategi perlawanan, memperluas
jaringan, dan menjalin solidaritas. Hasil dari solidaritas yang terjalin
diantara petani tersebut terbentuk FKMA (Forum Komunikasi Masyarakat
Agraris).
Petani pesisir juga melakukan diskusi dengan mahasiswa-
mahasiswa di kampus-kampus. Diskusi-diskusi terkait perjuangan
masyarakat pesisir melawan kepentingan korporasi dan penguasa. Di
dalam kegiatan diskusi tersebut, petani pesisir Kulon Progo juga
menampilkan pementasan teater yang mengisahkan kehidupan petani
pesisir sebelum dan setelah adanya proyek pertambangan pasir besi. Teater
yang diberi nama “unduk gurun” ini bersolidaritas dengan seniman-
seniman Jogja. Selain teater PPLP-KP juga mendorong kampanye di dunia
maya melalui media sosial seperti facebook dan website. Alamat website
PPLP-KP adalah http://petanimerdeka.tk/. Semua itu dilakukan untuk
menyebarkan dan memperluas isu rencana pertambangan pasir besi.
Menurut petani pesisir WDD, 34 tahun hal ini dikarenakan
69
Selama ini media massa bungkam terhadap nasib kehidupan
petani lahan pasir atas rencana mega proyek pertambangan pasir
besi Kulon Progo. Media massa dikuasai oleh pihak-pihak tertentu
yang memiliki kepentingan. Padahal kasus-kasus perampasan
tanah dan konflik agraria sangat penting diangkat dan diketahui
masyarakat luas. Kami sangat menyadari perjuangan ini akan
tetap terus berlanjut. Untuk itu kami harus terus
mengkampanyekan perjuangan kami, menyebarkan issu mengenai
rencana pertambangan yang tidak berdampak pada pembangunan
ekonomi kami, justru merusak kehidupan kami. Kami
menginginkan lahan kami. Kami hanya ingin ruang hidup kami
tidak diusik. Kami hanya ingin menanam karena menanam adalah
kehidupan kami.
Perjuangan petani lahan pasir Kulon Progo tidak hanya berada
dalam lingkup lokal maupun nasional. Namun mereka juga menjalin
solidaritas dengan orang-orang luar negeri yang peduli terhadap nasib
kehidupan petani pesisir Kulon Progo. Diantaranya yakni mereka
bersolidaritas dengan CAF (Casual Anarchist Federalism) yang berada di
Inggris, warga Australia, dan warga Filipina. Solidaritas dengan
masyarakat Filipina diwujudkan dalam bentuk diskusi masyarakat pesisir
Kulon Progo dengan masyarakat Filipina yang dilaksanakan di Filipina.
Berdasarkan hasil kuesioner terlihat bahwa mayoritas perlawanan-
perlawanan non fisik tersebut dilakukan oleh laki-laki dan banyak
melibatkan solidaritas-solidaritas PPLP. Hal ini sama halnya dengan
kegiatan-kegiatan internal PPLP seperti proses inisiasi pembentukan
PPLP, diskusi internal PPLP terkait strategi perlawanan petani, dan
keputusan-keputusan kunci yang diambil petani dalam rangka menolak
rencana pertambangan pasir besi.
Mayoritas kegiatan-kegiatan tersebut diikuti oleh petani laki-laki.
Hanya satu perempuan yang ikut dalam rapat-rapat inti PPLP-KP, yakni
tokoh perempuan dari Desa Bugel. Namun, hal ini tidak berarti perempuan
pesisir tidak mengetahui perlawanan-perlawanan apa saja yang akan
dilakukan oleh PPLP. Sebagian besar perempuan pesisir mengetahui
langsung dari suami apa hasil yang dirapatkan oleh PPLP. Sebagian lain
mengetahui hal tersebut dari perempuan-perempuan pesisir lainnya ketika
sama-sama bekerja di ladang. Perempuan pesisir Desa Bugel STY, 33
tahun menyatakan bahwa
Kami menyerahkan berbagai keputusan perlawanan tersebut
di tangan petani-petani laki-laki dalam forum PPLP. Kami
percaya semua itu dilakukan untuk mempertahankan lahan
pertanian kami. Kami selalu mendukung segala bentuk perjuangan
yang menjadi keputusan dalam PPLP. Kami tidak ingin terpecah.
Saya sebagai istri tidak mungkin ikut dalam rapat-rapat yang
dilakukan oleh PPLP karena biasanya rapat berlangsung hingga
larut malam. Dan terkadang memang dilakukan pada dini hari
untuk menghindari mata-mata ataupun intel JMI maupun Paku
Alaman. Saya berkewajiban untuk menjaga anak-anak. Toh pada
70
akhirnya suami saya juga menyampaikan hasil rapat kepada saya.
Oleh karena itu, untuk urusan tersebut saya serahkan kepada
suami dan laki-laki pesisir Kulon Progo lainnya.
Sebagai bentuk protes, masyarakat pesisir juga mengirimkan surat
pernyataan sikap penolakan rencana pertambangan pasir besi kepada
presiden RI. Ini dilakukan oleh petani-petani pesisir (laki-laki) dan orang-
orang yang bersolidaritas dengan petani. Perempuan tidak terlibat dalam
proses pembuatannya. Namun mereka mengetahui aksi dan isi dari surat
tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa ketidakikutsertaan perempuan di
dalamnya bukan karena ketidaktahuan perempuan akan aksi tersebut,
namun karena mereka memilih menyerahkan hal tersebut kepada orang-
orang yang mumpuni melakukan hal tersebut. Segala bentuk gerakan
menolak pertambangan selalu didukung oleh kaum perempuan.
5. Aksi-aksi internal petani pesisir dalam wadah PPLP-KP
Petani-petani pesisir yang tergabung dalam PPLP-KP memiliki
sejumlah kegiatan-kegiatan yang bersifat internal seperti perayaan Ulang
Tahun PPLP yang bertepatan pada tanggal 1 April, panen raya, syawalan,
mujadahan. Di dalam kegiatan tersebut, perempuan terlibat aktif di
dalamnya. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak kalah pentingnya dengan
perlawanan-perlawanan petani yang telah dijabarkan di atas. Kegiatan
ulang tahun, panen raya, syawalan, dan mujadahan merupakan momen
penting bagi masyarakat pesisir untuk berkumpul dan bersilaturahmi
antarsesama. Di dalam kegiatan ini pula masyarakat saling menguatkan
dalam perjuangan menolak penambangan pasir besi. Selain itu juga bentuk
apresiasi atas hasil kerja keras petani dan menunjukkan eksistensi petani
pesisir Kulon Progo, khususnya di mata JMI, Paku Alaman, dan
Kasultanan Yogyakarta. Berikut merupakan gambaran tingkat keterlibatan
perempuan dalam gerakan petani.
Tabel 12 Keterlibatan perempuan Desa Bugel dalam gerakan petani,2014
Keterlibatan perempuan dalam gerakan petani Jumlah
responden
Kegiatan dalam PPLP-KP
Proses inisiasi pembentukan PPLP 0
Diskusi terkait rencana penambangan pasir besi di awal
pembentukan PPLP
0
Memberikan pendapat ketika diskusi berlangsung 0
Mengambil keputusan ketika menentukan sikap terkait perencanaan
penambangan pasir besi
0
Perayaan hari terbentuknya PPLP-KP 30
Kegiatan diskusi dan menjalin solidaritas
Diskusi tentang perjuangan masyarakat pesisir di kampus-kampus 0
Pementasan teater di kampus Atma Jaya, Jakarta 0
Diskusi tentang perjuangan masyarakat pesisir di beberapa
kumpulan masyarakat yang juga memperjuangkan lahan
pertaniannya
0
71
Pementasan teater di kampus Universitas Gajah Mada 0
Kunjungan ke Kebumen dalam rangka menjalin solidaritas 0
Proses pembentukan kesenian teater “unduk gurun” 0
Proses pembentukan FKMA (Forum Komunikasi Masyarakat
Agraris)
0
Diskusi di Gerbang Revolusi, Garongan 0
Menjalin hubungan dengan seniman terkait strategi perlawanan
penambangan pasir besi
0
Menjalin hubungan dengan agamawan terkait strategi perlawanan
penambangan pasir besi
30
Menjalin hubungan dengan akademisi terkait strategi perlawanan
penambangan pasir besi
0
Kampanye permasalahan petani di dunia maya 0
Menjalin solidaritas dengan masyarakat pendukung penolakan
penambangan pasir besi yang bertempat di Australia
0
Menjalin solidaritas dengan CAF (Casual Anarchist Federalism)
yang berada di Inggris
0
Kegiatan aksi dan demonstrasi
Memblokade jalur lalu lintas rencana penambangan untuk
menghalangi aktivitas rutin pihak penguasa pertambangan pasir
besi
21
Aksi penutupan jalan menuju pilot plan proyek penambangan pasir
besi
22
Pencegatan pekerja pilot proyek PT. Jogja Magasa Iron (JMI) oleh
warga masyarakat Gupit
22
Mendatangi gedung-gedung pemerintahan 27
Kampanye penolakan pertambangan pasir besi di Filipina 0
Mengikuti aksi-aksi demosntrasi 27
Pembuatan surat untuk presiden yang pertama 0
Pembuatan surat untuk presiden yang kedua 0
Pembuatan surat untuk presiden yang ketiga 0
Aksi demo di pemerintah Kabupaten Kulon Progo 9
Aksi demo di kantor DPR yang pertama 27
Aksi demo di kantor DPR yang kedua 27
Aksi demo di kantor DPR yang ketiga 27
Aksi demo di kantor DPR yang keempat 27
Aksi demo di kantor DPR yang kelima 27
Mengorganisir petani-petani ketika sebelum dan saat aksi-aksi
demontrasi berlangsung
0
72
Tabel 13 Tingkat keterlibatan perempuan Desa Bugel dalam gerakan petani,
2014
Variabel tingkat keterlibatan perempuan
dalam gerakan petani Skala Jumlah responden
Kegiatan dalam PPLP-KP Tinggi -
Sedang -
Rendah 30
Kegiatan diskusi dan menjalin solidaritas Tinggi -
Sedang -
Rendah 30
Kegiatan aksi dan demonstrasi Tinggi 3
Sedang 24
Rendah 3
Tabel 13 memperlihatkan tingkat keterlibatan perempuan yang dibagi
dalam ke dalam tiga kategori kegiatan. Pemberian skor dan dan pemberian skala
ke dalam tingkat tinggi, sedang, dan rendah adalah upaya penulis untuk
mengetahui tingkat keterlibatan perempuan pesisir Desa Bugel secara kuantitatif.
Upaya penulis untuk mengkuantitatifkan data kuesioner tersebut pada dasarnya
banyak kelemahan. Pertama, pengkategorian kegiatan perlawanan yang hanya
dibagi ke dalam tiga bagian umum. Seharusnya dapat dibedakan perlawanan-
perlawanan yang berada dalam lingkup lokal dan nasional, perlawanan-
perlawanan yang membutuhkan mobilitas tinggi dan perlawanan sehari-hari.
Perlawanan-perlawanan dalam lingkup lokal diantaranya adalah aksi-aksi
memblokade jalur lalu lintas rencana pertambangan untuk menghalangi aktivitas
rutin pihak penguasa pertambangan pasir besi, aksi penutupan jalan menuju pilot
plan proyek pertambangan pasir besi, dan aksi pencegatan pekerja pilot priyek PT.
JMI (Jogja Magasa Iron) oleh masyarakat Gupit. Aksi-aksi tersebut bersifat
spontan, tanpa ada perencanaan, dan setiap warga berkesempatan untuk ikut serta.
Di Desa Bugel, terlihat bahwa perempuan terlibat aktif dalam aksi-aksi ini.
Perempuan Desa Bugel menjadi garda terdepan untuk aksi-aksi tersebut. Namun
beda halnya dengan aksi-aksi demontrasi di UGM dan kantor DPR, baik DPRD
Kabupaten Kulon Progo maupun DPR RI. Aksi-aksi tersebut merupakan aksi-aksi
yang direncanakan, membutuhkan koordinasi dan kerjasama. Aksi-aksi ini banyak
melibatkan laki-laki dalam hal perencanaan melalui diskusi-diskusi dan rapat.
Namun hal ini tidak berarti perempuan tidak terlibat di dalamnya. Perempuan
terlibat secara sadar di dalam perjuangan, namun secara umum pembagian kerja di
dalam gerakan petani di Kulon Progo masih mengikuti pembagian kerja gender
tradisional. Hal ini terlihat dari salah satu peran perempuan pesisir ketika akan
melakukan aksi demontrasi yakni menyiapkan segala perlengkapan makanan dan
minuman. Selain itu, saat demo berlangsung, perempuan juga ikut berpartisipasi
dengan menyuarakan tuntutan petani lahan pasir Kulon Progo.
Perempuan juga terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan panen raya,
mujadahan, syawalan, dan Ulang Tahun PPLP-KP. Ulang Tahun PPLP-KP
misalnya perempuan menjadi bagian dalam panitia pelaksanaan, terutama di
bidang yang membutuhkan keterampilan yang secara tradisional dikaitkan dengan
perempuan, seperti memasak. Namun beda halnya dalam aksi-aksi solidaritas dan
73
diskusi, baik dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional, yang dilakukan
oleh laki-laki. Hal ini dikarenakan ada bagian yang harus tetap dilakukan dan
berlanjut seperti menjaga anak, memasak, dan bekerja di ladang. Hal-hal yang
tidak dapat ditinggalkan. Oleh karena itu, untuk beberapa kondisi terdapat aksi-
aksi yang hanya dapat diikuti oleh laki-laki. Namun, bukan berarti perempuan
tidak terlibat di dalamnya. Dukungan perempuan diwujudkan dalam bentuk
kesediaannya untuk tetap menjalankan kelangsungan hidup keluarganya melalui
kesepatakan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Kondisi ini
memperlihatkan bahwa peran perempuan di dalam gerakan tani mengikuti
pembagian kerja tradisional.
Keterlibatan perempuan dalam gerakan petani berhubungan dengan peran
perempuan dalam aktivitas reproduktif, aktivitas produktif, dan aktivitas sosial.
Kondisi ini terlihat dari peran perempuan yang mengemuka dalam setiap kegiatan
gerakan petani berhubungan dengan kerja-kerja reproduktif, yang dominan
dilakukan oleh perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat aksi dan
demontrasi misalnya, perempuan-perempuan diberi tanggung jawab untuk
menyiapkan konsumsi. Begitu pula dengan kegiatan-kegiatan syawalan, ulang
tahun PPLP, dan panen raya, perempuan berperan aktif dalam kerja-kerja
reproduktif yang terdapat di dalamnya. Peran perempuan dalam gerakan petani
tidak terlepas dari pembagian peran gender pada sistem penghidupan masyarakat
pesisir Kulon Progo. Perempuan diberi dan mengambil peran sesuai kapasitas
yang mereka miliki. Perempuan-perempuan di Desa Bugel tidak hanya dituntut
untuk menjadi istri yang menjalankan tugas kerumahtanggan, menjadi ibu yang
mengurus anak-anaknya, dan menjadi pelaku kerja produktif yang merawat
tanaman melainkan juga dituntut oleh keadaan untuk melakukan perlawanan
untuk mempertahankan ruang hidup mereka.
Peran perempuan dalam gerakan petani juga berhubungan dengan
pembagian peran produktif, khususnya peran produktif pada pertanian komoditas
unggulan cabe keriting dan melon. Pada pembagian peran produktif terlihat bahwa
perempuan melakukan aktivitas diantaranya yakni menyebar pupuk dasar (5
kompos), menyiram tanaman, menyiangi tanaman, memberi pupuk susulan, dan
memetik hasil panen. Sedangkan laki-laki melakukan aktivitas mengolah lahan,
membersihkan lahan, mencangkul, membuat petak-petak tanaman/bedengan, dan
menyempurnakan kompos. Berdasarkan pembagian peran tersebut, empat di
antaranya perempuan mengerjakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan secara
kontinu setiap harinya sedangkan laki-laki lebih dominan pada pekerjaan yang
dilakukan sewaktu-waktu namun membutuhkan tenaga yang lebih besar. Kondisi
ini berhubungan dengan keterbatasan mobilisasi perempuan untuk terlibat dalam
kegiatan-kegiatan gerakan petani yang berada dalam lingkup nasional dan
internasional serta aksi-aksi yang berlangsung dalam beberapa hari seperti
pendudukan kantor DPRD Kabupaten Kulon Progo yang berlangsung selama tiga
hari. Oleh karena itu, aksi-aksi tersebut banyak dilakukan oleh laki-laki sedangkan
perempuan berperan untuk menggantikan peran-peran produktif sehari-hari yang
dilakukan oleh laki-laki. Sebab mengurus tanaman merupakan keharusan.
Hal ini juga berhubungan dengan pembagian peran sosial dalam
masyarakat pesisir Kulon Progo yang dominan dilakukan oleh laki-laki. Pada
aktivitas sosial perempuan terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang terbatas di dalam
desa, sukarela, non komersial serta yang berhubungan dengan warga desa
74
sedangkan peran-peran yang diambil oleh laki-laki merupakan aktivitas yang
termasuk dalam ranah publik, melibatkan pihak luar, dan komersial. Gerakan
petani merupakan bagian dari aktivitas sosial. Pembagian peran dalam aktivitas
sosial sejalan dengan pembagian peran dalam gerakan petani. Kondisi ini tidak
berarti perempuan berkurang perannya dalam gerakan petani.
Peran perempuan pesisir Desa Bugel juga tidak dibeda-bedakan
berdasarkan status pendidikan. Tidak ada perlakukan khusus bagi siapa saja yang
ikut berjuang karena semuanya memperjuangkan atas ruang hidup yang sama.
Secara keseluruhan, peran antara satu perempuan dengan perempuan lainnya di
pesisir Desa Bugel adalah sama. Terlihat bahwa dari 30 responden, sebanyak 12
responden berpendidikan tamat SLTA/SMA, 12 responden tamat SLTP/SMP, 4
responden tamat SD, dan 2 responden tidak tamat SD. Namun, data tingkat
keterlibatan perempuan dalam gerakan petani menunjukan bahwa tidak terdapat
perbedaan peran antara perempuan yang berpendidikan SD, SLTP/SMP, dan
SLTA/SMA. Hal ini sebagaimana terlihat dalam tabulasi silang berikut,
Tabel 14 Tabulasi silang antara tingkat pendidikan perempuan dengan tingkat
Keterlibatan Perempuan Desa Bugel dalam Gerakan Petani, 2014
Tingkat
peran
perempuan
Tingkat pendidikan perempuan Total
Tinggi Sedang Rendah
N % N % N % N %
Tinggi 0 0 0 0 0 0 0 0
Sedang 12 100 12 100 6 100 30 100
Rendah 0 0 0 0 0 0 0 0
Total 12 100 12 100 6 100 30 100
Akses dan Kontrol Perempuan dalam Gerakan Petani
Di dalam pergerakan petani lahan pasir Kulon Progo, perempuan dan laki-
laki pada dasarnya memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat di dalam setiap
kegiatan gerakan petani. Sebagai salah satu daerah basis perlawanan petani,
perempuan-perempuan Desa Bugel justru didorong untuk terlibat aktif dalam
gerakan petani. Namun, keterlibatan perempuan sama sekali tidak didasari atas
dasar unsur paksaan dari pihak manapun. Perempuan-perempuan desa Bugel
tergerak atas dasar kemauan dalam diri sendiri. Menurut LKM, 59 tahun dan
PRD, 50 tahun menyatakan bahwa
Walaupun secara fisik dan pemikiran kami tidak menyumbangkan
apa-apa untuk perlawanan petani lahan pasir, setidaknya kami selalu
mendukung apapun bentuk perlawanan yang dilakukan oleh petani
pesisir. Kami ikut mendoakan agar penambangan tidak pernah terjadi di
lahan pasir Kulon Progo. Kami ikut mendoakan untuk keselamatan semua
masyarakat pesisir yang sedang berjuang mempertahankan lahan
pertaniannya. Tidak ada lagi lapangan pekerjaan yang bisa menerima
75
orang tua seusia kami selain menjadi petani. Perusahaan tambang tidak
mungkin menerima kami sebagai buruh di pabrik mereka.
Namun dalam prosesnya, kesempatan antara laki-laki dan perempuan Desa
Bugel untuk terlibat dalam gerakan petani tidak lah sama. Hal ini bukan karena
adanya kesenjangan akses antara laki-laki dan perempuan melainkan situasi dan
kondisi perlawanan yang menuntut mereka untuk membagi peran serta tanggung
jawab yang harus diemban oleh laki-laki dan perempuan, baik peran reproduktif,
peran produktif, peran sosial, maupun peran-peran dalam gerakan petani.
Perbedaan akses berdampak pada perbedaan kontrol antara laki-laki dan
perempuan dalam gerakan petani.
Secara normatif tidak ada pembatasan keterlibatan perempuan. Namun
secara riil harus ada pengaturan peran yang dibatasi oleh kegiatan pertanian yang
bersifat biologis. Dalam hal ini pembagian pekerjaan tradisional mengemuka dan
menempatkan peranan perempuan lebih dominan di aspek “lokal” dan “dapur”.
Hal ini berdampak pada kontrol yang lemah dari perempuan di dalam kegiatan
gerakan-gerakan petani. Pola ini akan menghambat peranan dan pengetahuan
perempuan secara umum di ranah politik. Tetapi, peran “dapur” dari perempuan di
dalam gerakan, tidak berarti perempuan kurang kesadaran politiknya. Berikut
disajikan tabel yang menunjukan akses dan kontrol perempuan dalam gerakan
petaani dan tingkat akses dan kontrol perempuan dalam gerakan petani.
Tabel 15 Akses dan kontrol perempuan Desa Bugel dalam gerakan petani, 2014
Kegiatan dalam gerakan petani Akses Kontrol
Diskusi-diskusi terkait rencana penolakan penambangan
pasir besi
8 0
Pertemuan dengan kelompok gerakan petani lainnya 0 0
Diskusi dengan kelompok gerakan petani lainnya 0 0
Menjalin solidaritas dengan kelompok gerakan petani
lainnya
0 0
Menjalin solidaritas dengan individu-individu lainnya
(seniman, dan lain-lain)
0 0
Aksi-aksi, demonstrasi, atau kampanye terkait rencana
penolakan penambangan pasir besi
30 0
Kegiatan-kegiatan gerakan petani lainnya (pementasan
drama, penjegatan pihak penambang, dll)
30 0
76
Tabel 16 Tingkat akses dan kontrol perempuan Desa Bugel dalam gerakan
petani, 2014
Variabel tingkat akses dan kontrol perempuan
dalam gerakan petani Skala Jumlah responden
Tingkat akses Tinggi -
Sedang 30
Rendah -
Tingkat kontrol Tinggi -
Sedang -
Rendah 30
Dari tabel 15 terlihat bahwa akses perempuan dalam aktivitas gerakan
petani berada dalam posisi sedang. Akses terhadap kegiatan-kegiatan dalam
gerakan petani meliputi kesempatan untuk mengikuti diskusi-diskusi terkait
rencana penolakan penambangan pasir besi, kesempatan untuk mengikuti
pertemuan dengan kelompok gerakan petani lainnya, kesempatan untuk menjalin
solidaritas dengan kelompok gerakan petani lainnya, kesempatan untuk menjalin
solidaritas dengan individu-individu lainnya seperti seniman dan agamawan,
kesempatan untuk mengikuti aksi, demonstrasi, atau kampanye terkait rencana
penolakan pertambangan pasir besi, dan kesempatan untuk mengikuti kegiatan-
kegiatan gerakan petani lainnya (pementasan teater, penjegatan pihak penambang,
dll). Hasil kuesioner kepada 30 responden menunjukan bahwa seluruh responden
memiliki kesempatan untuk mengikuti aksi, demonstrasi, atau kampanye terkait
rencana penolakan pertambangan pasir besi, dan kesempatan untuk mengikuti
kegiatan-kegiatan gerakan petani lainnya seperti penjegatan pihak penambang dan
pihak-pihak asing lain yang berusaha masuk ke kawasan pesisir Kulon Progo.
Sementara itu, laki-laki memiliki akses untuk semua kegiatan dalam gerakan
petani.
Hal ini menunjukan bahwa perempuan memiliki kesempatan untuk
kegiatan-kegiatan yang bersifat perlawanan fisik, baik perlawanan yang dilakukan
secara spontan maupun perlawanan yang direncanakan. Perempuan melakukan
kegiatan-kegiatan gerakan petani yang telah menjadi keputusan bersama para
petani laki-laki dalam forum PPLP. Perempuan tidak memiliki kesempatan untuk
ikut dalam kegiatan-kegiatan gerakan petani yang berlangsung dalam forum rapat,
diskusi, dan menjalin solidaritas. Hal ini dikarenakan kegiatan tersebut
memerlukan mobilitas yang tinggi, membutuhkan waktu, dan tanggung jawab
serta komitmen yang tinggi. Perempuan memiliki tanggung jawab lain dalam
rumah tangga. Hal ini telah menjadi kesepakatan bersama antara laki-laki dan
perempuan. Disinilah terlihat perempuan dan laki-laki saling melengkapi peran
antara satu dengan lainnya yang sama-sama ditujukan untuk mempertahankan hak
mereka atas tanah dari pertambangan. Dapat dikatakan bahwa antara perempuan
dan laki-laki pesisir Desa Bugel memiliki akses yang sama dalam gerakan petani,
namun dalam bentuk yang berbeda. Laki-laki memiliki kesempatan dalam
kegiatan-kegiatan yang langsung berkaitan dengan gerakan petani.
Kondisi ini berkaitan dengan kontrol perempuan terhadap kegiatan-
kegiatan dalam gerakan petani. Tabel di atas menunjukkan bahwa kontrol
perempuan terhadap kegiatan-kegiatan dalam gerakan petani adalah rendah. Hal
77
ini dikarenakan perempuan tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti rapat-
rapat dalam forum PPLP, diskusi dengan kelompok-kelompok gerakan petani
lainnya, dan menjalin solidaritas. Oleh karena itu perempuan berperan
menjalankan hasil keputusan dalam forum PPLP. Laki-laki memiliki kewenangan
penuh untuk menentukan strategi perlawanan petani dan langkah-langkah apa
yang harus ditempuh untuk menolak pertambangan pasir besi. Salah satu
koordinator PPLP WDD, 34 tahun mengutarakan bahwa
Tahun 2008 merupakan puncak-puncaknya perlawanan petani
pesisir. Kita menghadapi tekanan luar biasa dari pihak JMI. Mereka tidak
hanya meneror kami petani pesisir, tetapi mereka juga melakukan aksi-
aksi kekerasan seperti merusak dan membakar tujuh posko penolakan
proyek dan satu rumah milik warga pesisir yang menolak pertambangan.
Hal ini diperparah dengan dukungan pemerintah daerah setempat dalam
bentuk pembiaran dan pengarahan terhadap tindakan kekeran massa yang
tidak bertanggung jawab tersebut tersebut oleh aparat kepolisian. Banyak
sekali intel yang memata-matai aktivitas yang kami lakukan dalam PPLP.
Oleh karena itu kami harus sangat berhati-hati dengan pihak manapun
yang berusaha masuk dalam PPLP. Kami harus melakukan rapat-rapat
rahasia dan mengelabui intel-intel tersebut. Untuk itu kami melibatkan
laki-laki pesisir di dalamnya yang harus siap kapan saja jika dibutuhkan.
Perempuan tidak mungkin kami libatkan dalam rapat-rapat yang sering
kami lakukan ketika dini hari. Hanya ada satu perempuan yang kami ajak
dalam rapat-rapat tersebut yang berasal dari Desa Bugel. Karena beliau
memiliki tekad baja dan benar-benar berkomitmen dalam perjuangan ini.
Kami mempertimbangkan banyak hal karena yang kami hadapi
merupakan penguasa yang dapat bertindak sesuai keinginan mereka.
Kami harus sangat hati-hati. Kami berbagi peran dengan istri dan anak-
anak kami. Cara melawan yang sudah pasti dan sampai sekarang yang
kami lakukan adalah menanam.
Akses dan kontrol perempuan terhadap sumberdaya dan manfaat
berhubungan dengan akses dan kontrol perempuan dalam gerakan petani. Akses
dan kontrol perempuan terhadap manfaat dan sumberdaya fisik khususnya
terhadap lahan pertanian dan hasil pertanian berhubungan dengan keterlibatan dan
akses perempuan dalam gerakan petani. Akses dan kontrol terhadap manfaat dan
sumberdaya fisik yang dimiliki dan dikuasai bersama berhubungan dengan
besarnya rasa kepemilikan perempuan atas lahan pertanian yang mendorong
perempuan untuk terllibat aktif dalam setiap gerakan petani. Sementara itu, akses
dan kontrol perempuan yang rendah terhadap sumberdaya sosial-budaya dan pasar
komoditas dan tenaga kerja berhubungan dengan rendahnya kontrol perempuan
terhadap keputusan-keputusan dalam gerakan petani. Hal ini dikarenakan wadah
PPLP berkesinambungan dengan kelompok tani, yang sejak lama diikuti oleh
laki-laki. Perempuan tidak memiliki kontrol terhadap kegiatan-kegiatan dalam
kelompok tani, hal ini linier dengan rendahnya kontrol perempuan dalam gerakan
petani.
Upaya penulis untuk mengkategorikan skala akses dan kontrol ke dalam
tingkat tinggi, sedang, dan rendah tidak dapat menggambarkan semua aspek
gerakan petani yang kompleks. Hal ini dikarenakan penulis tidak membedakan
78
akses dan kontrol ke dalam kegiatan yang bersifat publik dan politik. Seharusnya
terdapat pembedaan antara akses dan kontrol kepada kegiatan-kegiatan seperti
mujadahan, panen raya, syawalan, ulang tahun, menanam dan akses dan kontrol
kepada kegiatan-kegiatan yang masuk dalam ranah politik seperti aksi-aksi
demontrasi ke kantor DPRD, DPR RI, dan UGM. Hal ini berkaitan dengan
keterlibatan perempuan dalam gerakan petani. Perempuan pesisir Desa Bugel
memiliki akses dan kontrol yang tinggi pada kegiatan-kegiatan yang berada dalam
internal petani dan PPLP-KP, sedangkan untuk kegiatan-kegiatan diskusi, aksi ke
luar kota, dan aksi-aksi solidaritas yang membutuhkan mobilitas tinggi perempuan
tidak memiliki akses dan kontrol. Namun, hal ini tidak berarti perempuan tidak
berperan di dalamnya.
Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Peran Perempuan
dalam Gerakan Petani
Selain peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk, banyak
faktor-faktor lain yang mempengaruhi peran perempuan dalam gerakan petani.
Faktor-faktor tersebut dapat berupa struktur kependudukan, kondisi ekonomi,
kondisi politik, pola-pola sosial budaya, sistem norma, perundang-undangan,
sistem pendidikan, lingkungan, religi, dan lain-lain. Melihat konflik yang terjadi
di Kulon Progo setidaknya terdapat dua faktor yang mempengaruhi peran
perempuan dalam gerakan petani. Pertama, pengaruh dari perkembangan politik-
ekonomi skala besar dan cepat, dalam hal ini adalah penambangan pasir besi.
Pada masa orde baru, pemerintah membuka seluas-luasnya pintu bagi pemodal
untuk mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia yang ditukar dengan
pemberian pinjaman uang (hutang luar negeri). Pemerintah beralasan karena
kebutuhan yang mendesak akan suntikan dana untuk pembangunan ekonomi
Indonesia. Oleh karena itu sumberdaya alam pertama yang “dijual” oleh
pemerintah Orba adalah sumberdaya hutan. Pemerintah juga memberikan
konsensi untuk perusahaan tambang, perusahaan perkebunan, dan lain sebagainya.
Untuk mendukung seluruh kegiatan eksploitasi tersebut, pemerintah merumuskan
dan mensahkan berbagai kebijakan untuk memuluskan berbagai proyek tersebut.
Kebijakan-kebijakan tersebut jelas sangat melindungi kepentingan pemodal. Hal
ini tidak lepas dari intervensi lembaga-lembaga asing, penguasa asing, dan
pemodal. Masa orde baru merupakan peletak dasar eksploitasi besar-besaran atas
sumberdaya alam Indonesia.
Tidak jauh berbeda yang terjadi pada masa sekarang, perkembangan
politik-ekonomi skala besar dan berlangsung cepat mempengaruhi perkembangan
politik dan ekonomi di Indonesia. Indonesia sebagai negara yang sangat
bergantung kepada suntikan dana asing tidak pernah lepas dari intervensi asing.
Negara-negara maju sengaja menciptakan kondisi ketergantungan kepada negara-
negara berkembang untuk melanggengkan kekuasaan dan kekayaan negara
mereka. Ini merupakan bentuk penjajahan baru, penjajahan yang tidak tampak.
Hal ini didukung dengan sikap serakah para penguasa Indonesia yang korup. Bagi
pemerintah Indonesia ini adalah ladang untuk menumpuk pundi-pundi kekayaan.
Proyek pertambangan pasir besi di Kulon Progo salah satu contohnya adalah
merupakan bagian dari program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan
79
Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025). MP3EI merupakan proyek besar-
besaran untuk mengeruk sumberdaya alam Indonesia, dari Sabang sampai
Merauke. Untuk kepentingan program MP3EI pemerintah memangkas regulasi
yang menghambat pengusaha; menyusun daftar mega proyek dengan membuat
peta lokasi proyek MP3EI yang dibagi-bagi ke dalam lima koridor yakni koridor
Sumatera, koridor Jawa, koridor Kalimantan, koridor Sulawesi, koridor Bali-Nusa
Tengara, dan koridor Maluku-Papua; mengubah individu menjadi subyek
industri; dan melayani pengusaha dengan infrastruktur; dan memeras keringat
rakyat dengan memangkas subsidi. Untuk pelaksanaan proyek ini pemerintah
membentuk Komite Eksekutif yang disingkat dengan KP3EI. KP3EI disusun
segaris dengan struktur pemerintahan. Artinya setiap pejabat negara secara
langsung merupakan para panitia pelaksana MP3EI7. Hal ini menunjukan
pemerintah atas nama pembangunan telah menjual seluruh aset sumberdaya alam
Indonesia untuk dieksploitasi secara besar-besaran. Di beberapa daerah Indonesia,
masyarakat tidak menyadari kepentingan siapa yang dilayani oleh pemerintah,
untuk siapa proyek MP3EI. MP3EI didesain seolah-seolah untuk kemakmuran
masyarakat dan untuk meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi
Indonesia. Sehingga banyak masyarakat Indonesia tidak melakukan perlawanan
dan secara tidak sadar mendukung MP3EI. Hanya sedikit masyarakat Indonesia
yang “konsisten” melakukan perlawanan terhadap proyek MP3EI. Salah satunya
adalah yang dilakukan masyarakat pesisir Kulon Progo. Perkembangan politik dan
ekonomi yang begitu cepat tidak dapat dihindari. Masyarakat pesisir selatan
Kulon Progo yang sebagian besar adalah petani dipaksa berhadapan dengan
proyek MP3EI, yakni proyek pertambangan pasir besi. Proyek pertambangan pasir
besi jelas menyangkut ribuan nasib petani Kulon Progo yang telah berpuluh-puluh
tahun menggantungkan hidupnya pada pertanian lahan pasir. Pertanian lahan
pasir, yang tidak hanya dimiliki dan dikuasai oleh laki-laki, melainkan juga
perempuan. Oleh karena itu melawan merupakan suatu keharusan bagi
masyarakat pesisir untuk mempertahankan dan melangsungkan hidup. Perlawanan
petani yang terjadi di Kulon Progo, dilakukan oleh laki-laki dan perempuan secara
bersama-sama. Hal ini dikarenakan rencana proyek penambangan tidak hanya
menyangkut hajat hidup lelaki, namun juga perempuan. Perempuan pesisir juga
berkewajiban ikut melakukan perlawanan. Perempuan Desa Bugel yang pada
awalnya tidak tergerak untuk terlibat dalam gerakan petani, lambat laun akibat
tekanan yang semakin besar dari proyek pertambangan pasir besi (JMI sebagai
pemilik saham) mendorong perempuan untuk terlibat aktif dalam perlawanan-
perlawanan. Menurut penuturan seorang warga pesisir WDD, 34 tahun
Rasanya kalau saya tidak ikut dalam aksi-aksi demonstrasi “rugi”.
Keputusan kami untuk bertahan dengan menanam adalah keputusan
politik. Mengapa? Karena setiap manusia itu berpolitik. Setiap orang
berkuasa dan kekuasaan ada di setiap diri orang. Jika keputusan politik
pemodal adalah menambang untuk mendapatkan keuntungan, maka kami
7 Dalam sebuah persentasi di Galeri Garuda, Jakarta. Hendro Sangkoyo membedah buku
“Menanam adalah Melawan” karya Widodo, petani Kulon Progo dan menjelaskan
kesinambungannya dengan Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI). Disampaikan dalam acara Solidaritas Menembus Batas, 27 Maret 2014, Galeri
Garuda, Pinang Ranti, Jakarta Timur.
80
juga bisa melawan dengan membuat keputusan untuk terus menanam
karena kami punya kekuasaan atas lahan kami.
Kedua, hubungan penduduk dengan Keraton Yogyakarta yang berubah
besar. Sejak bergulirnya rencana pertambangan pasir besi di Kulon Progo,
masyarakat memiliki konsepsi sendiri atas Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan
dan Keraton Jogjakarta. Hubungan antara Keraton Yogyakarta dengan masyarakat
pesisir Kulon Progo berubah besar. Masyarakat memiliki sikap skeptis dan apatis
terhadap Keraton Yogyakarta. Sikap apatis ini salah satunya ditunjukan dengan
ketidakikutsertaannya dalam pemilihan calon legislatif dan pemilihan calon
presiden. Masyarakat pesisir tidak lagi menghargai dan mempercayai Raja dalam
hal ini Sultan sebagaimana masyarakat Yogyakarta pada umumnya. Bagi WST,
27 tahun
DIY tidak layak disebut sebagai daerah Istimewa. Kalau orang
banyak yang mengatakan bahwa Yogyakarta adalah istimewa, bagi kami
ya istimewa menindas rakyatnya. Banyak mitos berkembang mengatakan
bahwa dalam angka Jawa idealnya berhenti pada angka 9, seperti jumlah
wali sembilan. Nah seharusnya jumlah sultan juga sembilan. Oleh karena
itu sebagian masyarakat berkeyakinan bahwa sultan kesepuluh terlalu
memaksakan kehendaknya. Sejak masa Sultan Hamengku Buwono X
banyak dilakukan penggusuran mukim masyarakat untuk dibangun hotel-
hotel, rencana pertambangan diizinkan, dan telah diagendakan untuk
pembangunan bandara. Sultan mengatasnamakan kesejahteraan
masyarakat. Sejahtera apanya? Wong tanah kami mau diambil. Kami ya
sejahtera jika kami bisa menanam, gak diganggu, harga cabai gak
dimainkan. Kami itu udah sejahtera. Padahal pesisir Kulon Progo itu
pernah mendapatkan penghargaan dari pemerintah karena pertanian dan
teknologi pertanian lahan pasir yang kami kembangkan, kok aneh
sekarang tanah kami mau ditambang. Mereka pikir kami bisa hidup
dengan makan hasil tambang. Kami hidup ya dari hasil pertanian.
Harusnya kan Sultan itu mensejahterakan rakyat, memikirkaan
bagaimana rakyat itu bisa sejahtera, mandiri, bukannya malah mau
merampas kesejahteraan rakyat.
Perubahan hubungan masyarakat pesisir dengan Keraton Yogkarta
berakibat pada perubahan nilai-nilai gender yang terdapat dalam tradisi adat Jawa.
Mobilisasi-mobilisasi yang dilakukan petani pesisir dalam perlawanan menuntut
perempuan tampil di dalamnya. Hal ini juga lah yang mendorong peran
perempuan pesisir Desa Bugel dalam gerakan petani.
Ikhtisar
Perempuan terlibat secara sadar di dalam perjuangan, namun secara umum
pembagian kerja di dalam gerakan petani di Kulon Progo masih mengikuti
pembagian kerja gender tradisional. Perempuan terlibat aktif dalam perlawanan-
perlawanan lingkup lokal, diantaranya adalah aksi-aksi memblokade jalur lalu
lintas rencana pertambangan untuk menghalangi aktivitas rutin pihak penguasa
81
pertambangan pasir besi, aksi penutupan jalan menuju pilot plan proyek
pertambangan pasir besi, dan aksi pencegatan pekerja pilot priyek PT. JMI (Jogja
Magasa Iron) oleh masyarkat Gupit. Aksi-aksi tersebut bersifat spontan, tanpa ada
perencanaan, dan setiap warga berkesempatan untuk ikut serta. Namun beda
halnya dengan aksi-aksi demontrasi di UGM dan kantor DPR, baik DPRD
Kabupaten Kulon Progo maupun DPR RI. Aksi-aksi tersebut merupakan aksi-aksi
yang direncanakan, membutuhkan koordinasi dan kerjasama. Aksi-aksi ini banyak
melibatkan laki-laki dalam hal perencanaan melalui diskusi-diskusi dan rapat.
Perempuan juga terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan panen raya,
mujadahan, syawalan, dan Ulang Tahun PPLP-KP. Namun beda halnya dalam
aksi-aksi solidaritas dan diskusi, baik dalam lingkup lokal, nasional maupun
internasional, perempuan menyerahkan hal tersebut kepada laki-laki. Namun,
bukan berarti perempuan tidak terlibat di dalamnya. Dukungan perempuan
diwujudkan dalam bentuk kesediaannya untuk tetap menjalankan kelangsungan
hidup keluarganya melalui kesepatakan pembagian kerja antara laki-laki dan
perempuan. Secara normatif tidak ada pembatasan keterlibatan perempuan.
Namun secara riil harus ada pengaturan peran yang dibatasi oleh kegiatan
pertanian yang bersifat biologis. Dalam hal ini pembagian pekerjaan tradisional
mengemuka dan menempatkan peranan perempuan lebih dominan di aspek
“lokal” dan “dapur”. Hal ini berdampak pada kontrol yang lemah dari perempuan
di dalam kegiatan gerakan-gerakan petani. Pola ini akan menghambat peranan dan
pengetahuan perempuan secara umum di ranah politik. Tetapi, peran “dapur” dari
perempuan di dalam gerakan, tidak berarti perempuan kurang kesadaran
politiknya. Keterlibatan perempuan dalam gerakan petani juga dipengaruhi oleh
pengaruh dari perkembangan politik-ekonomi skala besar dan cepat, dalam hal ini
adalah penambangan pasir besi dan perubahan hubungan masyarakat pesisir
dengan Keraton Yogkarta berakibat pada perubahan nilai-nilai gender yang
terdapat dalam tradisi adat Jawa. Mobilisasi-mobilisasi yang dilakukan petani
pesisir dalam perlawanan menuntut perempuan tampil di dalamnya. Hal ini juga
lah yang mendorong peran perempuan pesisir Desa Bugel dalam gerakan petani.
82
83
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan tujuan penelitian ini, maka dapat dirusmuskan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Perempuan Desa Bugel berpendapat bahwa konflik yang terjadi di Kulon
Progo merupakan konflik perampasan ruang hidup ribuan masyarakat
pesisir yang menggantungkan hidupnya pada pertanian lahan pasir. Selain
itu, juga merubah tatanan sosial masyarakat. Masyarakat menjadi terkotak-
kotak ke dalam tiga kelompok, yakni kelompok masyarakat pro
pertambangan, netral, dan kontra pertambangan. Namun di sisi lain,
konflik juga yang menyatukan masyarakat desa pesisir satu dengan desa
pesisir lainnya di sepanjang pantai selatan Kulon Progo.
2. Peran reproduktif dominan dilakukan oleh perempuan; peran produktif
dilakukan secara bersama-sama khususnya pada pertanian komoditas cabai
keriting, semangka atau melon; dan peran sosial dominan dilakukan oleh
laki-laki. Sementara itu, akses dan kontrol antara perempuan dan laki-laki
terhadap sumberdaya fisik/material cenderung sama pada masyarakat
pesisir Desa Bugel; akses dan kontrol terhadap sumberdaya sosial dan
budaya serta pasar dan tenaga kerja didominasi oleh laki-laki; dan akses
dan kontrol terhadap manfaat didominasi bersama.
3. Pembagian peran ini berhubungan dengan peran-peran yang diberi dan
diambil oleh perempuan dalam gerakan petani. Perempuan terlibat secara
sadar dalam gerakan, namun secara umum pembagian kerja di dalam
gerakan petani masih mengikuti pembagian kerja gender tradisional.
Perempuan terlibat aktif dalam setiap aksi-aksi yang berada dalam lingkup
lokal, dimana aksi-aksi tersebut bersifat spontan, tanpa ada perencanaan,
dan setiap warga berkesempatan untuk ikut serta. Di dalam gerakan,
perempuan berperan lebih besar dalam aspek kerja reproduktif, seperti
menyediakan memasak dan mempersiapkan konsumsi untuk aksi-aksi
demonstrasi. Perempuan juga berperan untuk menggantikan peran laki-laki
dalam kerja produktif ketika aksi-aksi berlangsung. Selain itu, juga
dipengaruhi oleh perkembangan politik-ekonomi skala besar dan cepat
(penambangan pasir besi yang merupakan bagian dari proyek MP3EI) dan
perubahan hubungan masyarakat pesisir dengan Keraton Yogyakarta yang
berakibat pada perubahan nilai gender yang terdapat dalam tradisi Jawa.
4. Secara normatif tidak ada pembatasan keterlibatan perempuan, namun
secara riil harus ada pengaturan peran yang dibatasi oleh kegiatan
kerumahtangaan dan kegiatan pertanian. Hal ini berdampak pada kontrol
yang lemah dari perempuan di dalam kegiatan-kegiatan gerakan petani.
Pola ini akan menghambat peranan dan pengetahuan perempuan secara
umum di ranah politik. Tetapi peran kerja reproduktif dan produktif dari
perempuan di dalam gerakan, tidak berarti perempuan kurang kesadaran
politiknya. Akses yang besar yang dimiliki oleh perempuan terhadap lahan
pertanian, hasil pertanian, dan manfaat bersama membuat perempuan
memiliki rasa kepemilikan yang besar terhadap lahan pasir. Walaupun
perempuan memiliki akses dan kontrol yang lemah terhadap kegiatan-
kegiatan pertanian yang berada dalam kelompok tani.
85
DAFTAR PUSTAKA
Aji GB. 2005. Tanah Untuk Penggarap: Pengalaman Serikat Petani Pasundan
Menggarap Lahan-lahan Perkebunan dan Kehutanan. Bogor: Pustaka Latin.
Aini FN. 2014. Analisis Gender dalam Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani
Hutan Rakyat. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
Aprianto TC. 2008. Wajah Prakarsa Partisipatif: Dinamika Gagasan Reforma
Agraria dan Gerakan Sosial di Indonesia Pasca 1998. [Jurnal]. Jurnal Ilmu
Sosial dan Politik. Volume 12, Nomor 1.
Boras S dan Franco JC. Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga: Perubahan Pola-
Pola Mobilisasi Petani untuk Tanah dan Demokrasi di Filipina. Yogyakarta:
Resist Book.
Budirahayu, dkk. 2011. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada
Media Group.
Bungin B. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif Edisi Kedua. Jakarta: Kecana
Prenada Media Group.
Chambers R. 1987. Pembangunan Desa; Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES.
Fakih M. 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial: Analisis Gender dan
Ketidakadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fauzi N. 1999. Petani dan Penguasa. Yogyakarta: Insist, KPA bekerjasama
dengan Pustaka Pelajar.
Hafid JOS. 2001. Perlawanan Petani Kasus Tanah Jenggawah: Strategi dan Taktik
Perlawanan. Bogor: Pustaka Latin.
Hubeis AVS. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor (ID):
IPB Press.
[ILO] International Labour Organization. [Internet]. [diunduh 2014 Feb 25];
Tersedia pada:
http://www.ilo.org/public/english/region/asro/mdtmanila/training/unit1/harv
rdfw.htm.
Kedzior S. 2006. A Political Ecology of the Chipko Movement: Women’s
Participation in the Chipko Movement. [Master Theses]. University of
Kentucky, Uknowledge.
86
Kinseng RA dan Ariendi GT. 2011. Strategi Perjuangan Petani dalam
Mendapatkan Akses dan Penguasaan atas Lahan. [Jurnal]. Sodality. Vol. 05,
No.01, Hal. 13-31.
Landsberger HA. 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial: Pergolakann
Petani, Beberapa Tema dan Variasinya. Jakarta: CV. Rajawali.
Moyo S. 2005. Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga: Gerakan Pendudukan
Tanah dan Demokratisasi di Zimbabwe: Kontradiksi Neoliberalisme.
Yogyakarta: Resist Book.
Purwandari H. 2006. Perlawanan Tersamar Organisasi Petani (Upaya Memahami
Gerakan Sosial Petani). [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.
Rahayu, dkk. 2005. Gerakan Rakyat untuk Pembaruan Agraria. Garut: Serikat
Petani Pasundan.
Routledge P. 2005. Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga: Pekik Kaum
Terkutuk: Perlawanan di Tengah Pengenyahan Lembah Narmada.
Yogyakarta: Resist Book.
Sukesi K. 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan: Wanita dalam Perkebunan
Rakyat: Hubungan Kekuasaan Pria-Wanita dalam Perkebunan Tebu.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suryochondro S. 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan: Timbulnya dan
Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Wahyuni ES. 2007. Perempuan Petani dan Penanggulangan Kemiskinan. [Jurnal].
Agrimedia. Vol.12, No.1. hal:26-32
87
LAMPIRAN
88
89
Lampiran 1 Peta Desa Bugel
Gambar 2 Peta Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo
90
Lampiran 2 Jadwal kegiatan penelitian
Kegiatan Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Okt
Penyusunan
proposal
skripsi
Kolokium
Perbaikan
proposal
penelitian
Pengambilan
data
lapangan
Pengolahan
data dan
analisis data
Penulisan
draft skripsi
Sidang
skripsi
Perbaikan
skripsi
91
Lampiran 3 Kerangka responden
No Nama Umur
1 Katem Kurniyawati 40
2 Rukinem 57
3 Ny.Duljabar 88
4 Ny.Wardani 62
5 Ny.Rumsiyah S 82
6 Kun Dwi Andani 44
7 Lia Daru Calista 20
8 Anita Arum Sukma 19
9 WWI 44
10 Dwi Haryantiani 24
11 Tri Widiawati 22
12 TSB 41
13 Ny. Marto Wiyono 67
14 Sumiyati 48
15 Murjiyem 54
16 Rahayu 31
17 Hj. Mukirah 64
18 Kartinah 44
19 Lufiana R.P 23
20 Saijem 68
21 Ny. Rujinah 52
22 Ny. Wongsodiharjo 77
23 Sartinem 34
24 Pariyah 69
25 Warnipah 29
26 Egy Wulandari 21
27 Ny.Kasan W.A.S 84
28 Ny. Tuminah 73
29 Ny. Ngadinah K.D 83
30 Ane Widyantari 28
31 RNA 25
32 Karni 53
33 Ngadinah 83
34 Sutriyati 44
35 Kania Dewi Astuti 20
36 Sutriyati 38
37 Sri Wasono P 64
38 Hj. Sukartinah 66
39 Sarinah 64
40 Ny. Kromoyadi 99
41 Pariyah 56
42 Paradita 17
43 Dra Supraptinah 53
44 Maharani Cintya D 19
45 Sri Hidayati 41
46 Ninik E.S 36
47 Wasini 46
48 Dina Supangga 19
49 Jiyem 67
50 Kusilah 83
51 Sumarsi 49
52 Sri Puruhitani 46
53 Wiwara S 24
54 Pratista A 18
55 Suyatun 27
56 Tukijem 53
57 Musaroh D 37
58 Lyta 35
59 Aminah K.T 81
60 Ny. Udi W 69
61 Sukarni 37
62 Jumiyatun 48
63 Siti Budi Astuti 35
64 Supiyem 59
65 Dian Heri Ariana 19
66 Asriyah 44
67 Giyem 83
68 TSN 21
69 Sri Suharni 49
70 Ny Rono J.A.M 100
71 Subandiyah 47
72 Payem 67
73 Saniyem 58
74 Katiyem 50
75 Lilia M.U 18
76 Sri Muryani 48
77 Anis Fitriani 26
78 Ny Samirah M. W 81
79 Riyana Rurita 29
80 Nur Aini Latifah 27
81 Rumanti 24
82 Suparmi 42
83 Kemirah 59
84 Tri Mulyani 26
85 Keminem 63
86 Senen 53
92
87 Tri Purwanti 23
88 Rubinem 52
89 Sri Endang R 48
90 Endah Suci Lestari 19
91 Nur Khasanah 26
92 Sukarni 45
93 Yuliyanti 41
94 Warsinem 33
95 Srimarlena 29
96 Endang Wulandari 31
97 Sumarsih 46
98 Arsiati Widiyantari 44
99 Puput Arni Astuti 19
100 Esti Sukamsih 46
101 Varida Maryatun 50
102 Ery Safitri W 24
103 Warsilah 46
104 Ginah 68
105 Rubinem 36
106 Ny. Harjo Wiyono 76
107 Daliyem 58
108 Samirat 82
109 Ngatiyem 59
110 Suratmi 32
111 Kasinah 49
112 Rusiyem 58
113 Keminem 54
114 Suminem 49
115 Ny. Sastro W 74
116 Jariyah 38
117 Nnrika M 20
118 Kartini 42
119 Subandini 37
120 Dian Septi P 18
121 Nasilem 35
122 Poniyem 79
123 Saminem 56
124 Sumaryatun 44
125 Rubiyem 40
126 Ny. Sadini 73
127 Mukinem 44
128 Nurmawati 49
129 Suyatni 40
130 Sri Murtiningsih 45
131 Iriani R. R 17
132 Winda Dwiastuti 17
133 Ngatini 45
134 Ruminah 44
135 Yatinem 74
136 Tuti Ismawati 37
137 Iskawati 24
138 Sugiyarti 27
139 Ngaipah 45
140 Ratun 54
141 Ny. Lasiyem P. U 67
142 SMF 41
143 Dwi Astuti 28
144 Kasilah 54
145 Ulfa M.A 17
146 Dwi Wahyuningsih 44
147 Marjiyati 38
148 Kurnia Cipta D 24
149 Anik Rahayu 31
150 Pariyem 37
151 Rini Ernawati 24
152 Kartika Dewi H 27
153 Sukiyem 67
154 Soerjana 48
155 Parjiyati 36
156 Tinuk Wasmiyati 45
157 Siti Rokhana 18
158 RMN 45
159 Suryanto 38
160 Semi Puryani 38
161 Ny. Amat S 79
162 Mursiyem 43
163 Surati 31
164 Muryani 31
165 Sutriantini 42
166 Cacik M.I 20
167 Ngadilah 74
168 Aris Sukayati 34
169 Purwanti 32
170 Ngatemi 46
171 SST 32
172 Hartini 43
173 Sukinem 55
174 Siti Astuti 31
175 Tusiyani 22
176 Sumini 38
177 MSH 31
178 Wainah 44
93
179 Siti Romlah 30
180 Estri Mursilah 38
181 Wartini 37
182 Jariyah 35
183 Markilah 25
184 MYT 39
185 Tuyem 76
186 Sarminah 34
187 Kaminten 79
188 Subiyah 67
189 LKM 59
190 Kuntarsih 31
191 Ny. Tuginem S.W 73
192 Rubiyem 85
193 Tiyasi Karni 31
194 Suwarti 39
195 Wakinem 60
200 Mamik Anggreani 23
201 Tunem 61
202 Suryati 41
203 Isnarni 25
204 Dwi Yuli Yani 24
205 Suwarni 48
206 Ny.Sunti Saliman 53
207 Siti Resiyah 33
208 Minem 48
209 Sri Nurhayati 35
210 Sri Subekti 27
211 Latifa Sari 25
212 Pebri Sisulowati 23
213 Rini Ernawati 24
214 Kosiatun 34
215 Fauziah 23
216 Sarinah 48
217 Yanti K.H 37
218 Deviana Arista 22
219 Sunarsih 45
220 Sudarti 40
221 Waljuni Astuti 19
222 Arum Setyaningsih 17
223 Suryani 36
224 JMN 41
225 Sumiyatun 32
226 Sunimi 60
227 Siti Rohayah 23
228 Saminten 43
229 Istiyem 40
230 Riska Ratnasari 18
231 Sarmi 53
232 Kartinem 65
233 Sri Marfuah 40
234 Satiyem 71
235 Peni Arumsasi 18
236 DRT 46
237 Nurkhayati 23
238 Sugiyem 45
239 Tumirah 79
240 Siti Anisah 42
241 Waijem 65
242 Sumidah 57
243 Sri Lestari 28
244 Satini 75
245 Ngaisah 71
246 Poniyem 58
247 Tri Yaningsih 29
248 Epon Winarsih 40
249 Waginah 60
250 Suratini 48
251 Krisnanti 43
252 Ana Rizki P 19
253 Kadilah 73
254 Mijem 70
255 Sugiyem 57
256 Rahmi Nastiti 36
257 Helda Kurnia Sari 17
258 Suprapti 36
259 Erika A 18
260 Ayusnah 37
261 Warsiti 40
262 Sri Purwaningsih 30
263 Sudiyah 64
264 Rukiyati 34
265 Ngatijem 72
266 Mujiyem 74
267 Suharti 38
268 Fahmi Rahmawati 31
269 Siti Badriyah 39
270 Rusmiyati 37
271 Purwati 37
272 Sujimah 73
273 Jeminten 42
274 Rubinem 64
94
275 Suratin 47
276 Susi Rahmawati 18
277 Sri Suwarni 42
278 Kuspriyati 43
279 Natalia S 24
280 Suyatmi 27
281 Irma Nuryani 18
282 Sariyati 38
283 Rubinah 44
284 SGT 27
285 Sunarni 37
286 Sukarni 30
287 Wagiyem 71
288 Dwi Lestari 21
289 Sainah 54
290 Emy Cornia 28
291 Tumirah 28
292 Paimah 50
293 Tumijah 36
294 Maryani 36
295 Sutirah 42
296 TantMaryani 18
297 Lestari 36
298 Sarmi 29
299 Sumini 57
300 Tri Susanti 38
301 Purwaningsih 64
302 Murtiah 60
303 Ina hidanah 37
304 Tita Fitriyana 19
305 Erlina E.S 24
306 Kamini 46
307 Wiyanti 43
308 Sumiyati 44
309 Sumiyem 49
310 Tri Purwanti 44
311 Saparilah 44
312 Mustini 40
313 Supiyem 39
314 Nur Suryati AMD 34
315 Tumijem 67
316 Sumartini 43
317 Muhyati 42
318 Upi Wiyanti 35
319 Ngadiyem 84
320 Kasihati 52
321 Munfangatun 26
322 Murtinem 51
323 Tukinah 83
324 Semi 73
325 Suparinah 56
326 Sudiyem 35
327 Ngadiyem 69
328 Rahmawati 19
329 NDH 49
330 Kartinem 61
331 Subandilah 55
332 Sri Widayati 59
333 ELT 29
334 Suratmi 63
335 Prihandari 34
336 Sri Cahyana S 17
337 Hartiyah 43
338 Parinem 71
339 Sugi 74
340 Sutinem 44
341 Wafiratul Janah 19
342 Tumilah 73
343 SRM 46
344 Sirep 82
345 Uminem 57
346 Musiyem 59
347 Dwi Apriliani 18
348 Rebyuk Rubiati 46
349 Tika Fitriana 20
350 Ginem 57
351 Ngadinah 55
352 STY 33
353 Mariana Ulfah 20
354 Tumijem 64
355 Sutilah 77
356 Kasiyati 34
357 Titin Agustiyani 19
358 Lafi Marsuti 44
359 Karwinih 59
360 Sutarti 43
361 Nadhatul Mari’ah 28
362 Sumirah 76
363 Suprihatin 34
364 Nunik 25
365 Temu Wahyuni 38
366 Wuryanti 34
95
367 Nurjanah Isman 23
368 Sumiyem 75
369 Kemiyem 63
370 Ndari Purwanti 37
371 Ny. Weryo 79
372 Supiyah 83
373 Mujiyem 33
374 Suyati 43
375 Siti Robiah 17
376 Desi Wahyuningsih 31
377 Parinah 50
378 Martini 27
379 Titin A.M 33
380 Sudiyati 49
381 Sri Rika 17
382 Sunarti 36
383 Hariyani 44
384 Wagirah 35
385 Samiyem 72
386 Tuminem 81
387 Tukinah 77
388 Suprihatin 33
389 Rubiyem 57
390 Wuryaningsih 61
391 Yeni M.K 21
392 Waliyem 44
393 Fitri Patimah 18
394 Lestari 17
395 Eny Widarti 53
396 Rukini 56
397 TKM 42
398 Rubiyah 62
399 Indah N.R 18
400 Sutarti Dra 48
401 Sri Suryati 35
402 Keminem 67
403 Wasini 64
404 Sarinah 66
405 Istikhomah 18
406 Sariyah 49
407 SKN 41
408 KTY 54
409 RYN 38
410 Suparmi 39
411 Sumini 48
412 Rusiana Lestari 24
413 Lilik Sunarti 32
414 Martini 61
415 Puji Astuti 34
416 Sri Khayati 35
417 PWT 42
418 Kadiyem 54
419 Sri Maryati 30
420 Sutinah 58
421 Eko Siti Soleha 20
422 MRY 46
423 Sarinah 54
424 RYT 26
425 Suwarti 48
426 Murtini 47
427 Ninng Pratiwi 23
428 Salbiyah 44
429 Nur Agus T.W 21
430 Tutik Nasihah 54
431 Parjiyem 58
432 DES 30
433 Tumiyem 60
434 PDL 50
435 Radiyem 71
436 Sumarni 52
437 Satiyem 74
438 Yunitasari 24
439 Soyem 73
440 Erna K 35
441 RML 34
442 SNY 39
443 Estri Mursilah 38
444 Erni Ernawati 26
445 Sudinem 32
446 Legiyem 31
447 Sutiyah 33
448 Karini 28
449 Isnawati 25
450 RSY 45
451 Erna Hartuti 33
452 Rusmini 40
453 RR.Ramadhani B 21
454 Indarsih 34
455 Kamirah 59
456 Ani Ana F 37
457 Nanik Ekatini 36
458 SMR 34
96
Lampiran 4 Kuesioner penelitian
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
PERAN PEREMPUAN DALAM GERAKAN PETANI
LAHAN PASIR KULON PROGO
Nomor responden
Hari, tanggal survei
Tanggal entri data
Identitas Karakteristik Responden
1 Nama ………………………………………………
2 Umur ……………………………………………… tahun
3 Jenis kelamin ……………………………………………………………
4 Agama ……………………………………………………………
5 Alamat ………………………………………………………
6 Nomor telepon …………………………………………………………
7 Pendidikan (1) Tidak Tamat SD
(2) Tamat SD
(3) Tamat SLTP/SMP
(4) Tamat SLTA/SMA
(5) Perguruan Tinggi
(6) Lainnya:………………………………………
8 Pekerjaan Utama …………………………………………………………
9 Pekerjaan
Sampingan/
Tambahan
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………............
Saya, Fika Fatia Qandhi, mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Program
Studi Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Sehubungan dengan
penelitian yang saya lakukan, saya meminta kesediaan
Saudara/Saudari/Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner ini dengan keadaan yang
sebenar-benarnya. Jawaban Saudara/Saudari/Bapak/Ibu akan dijamin
kerahasiaannya dan digunakan semata-mata hanya untuk kepentingan penelitian
ini. Terima kasih.
Petunjuk :
Berilah centang (√) pada kolom yang telah disediakan
Untuk kolom yang di dalamnya terdapat titik-titik, maka isilah sesuai
dengan informasi
yang ditanya
97
II. Analisis Gender
(Berikan tanda (√) pada kondisi yang sesuai)
*) P: Dominan perempuan/istri
L: Dominan laki-laki/suami
B: Bersama
PERAN (PEMBAGIAN KERJA) GENDER
No Pertanyaan Pelaku
P L B
Pembagian kerja reproduktif
1 Siapa yang berbelanja kebutuhan rumah sehari-hari?
2 Siapa yang memilih pangan yang akan dikonsumsi?
3 Siapa yang memasak?
4 Siapa yang membereskan rumah?
5 Siapa yang menyetrika pakaian?
6 Siapa yang mengasuh anak-anak?
7 Siapa yang merawat orang sakit?
8 Siapa yang mencuci pakaian?
JUMLAH
Pembagian kerja produktif (pertanian komoditas cabai keriting)
1 Siapa yang melakukan pengolahan lahan?
2 Siapa yang melakukan pembersihan lahan?
3 Siapa yang mencangkul?
4 Siapa yang membuat petak-petak tanaman/bedengan?
5 Siapa yang menyebar pupuk dasar (5 kompos)?
6 Siapa yang melakukan pemasangan mulsa dan
penyempurnaan kompos?
7 Siapa yang melakukan penanamn?
8 Siapa yang menyiram tanaman?
9 Siapa yang melakukan penyiangan tanaman?
10 Siapa yang melakukan pengendalian hama dan penyakit
tanaman?
11 Siapa yang melakukan pemupukan susulan?
12 Siapa yang melakukan pemetikan hasil panen?
JUMLAH
Pembagian kerja produktif (pertanian komoditas melon)
1 Siapa yang mengolah lahan?
2 Siapa yang membersihkan lahan?
3 Siapa yang mencangkul dan melakukan pemupukan
dasar?
4 Siapa yang menanam?
5 Siapa yang menyiram tanaman?
6 Siapa yang menyiang tanaman?
7 Siapa yang mengendalikan hama/menyemprot pestisida?
8 Siapa yang memupuk tanaman?
98
9 Siapa yang melakukan pemetikan hasil panen dan
penjarangan buah?
JUMLAH
Pembagian kerja produktif (perdagangan)
1 Siapa yang menjaga toko/warung/berjualan di pasar?
2 Siapa yang membeli barang/bahan baku?
3 Siapa yang membuat produk?
4 Siapa yang mengatur keuangan?
JUMLAH
Pembagian kerja produktif (peternakan)
1 Siapa yang membersihkan kandang?
2 Siapa yang menyiapkan makan ternak?
3 Siapa yang memberi makan ternak?
4 Siapa yang menggembalakan ternak?
5 Siapa yang merawat ternak?
6 Siapa yang melakukan pemasaran hasil?
JUMLAH
Pembagian kerja produktif (sektor jasa, dll)
1 Siapa yang mengajar?
2 Siapa yang menarik ojek?
3 Siapa yang bekerja sebagai kuli bangunan?
4 Siapa yang bekerja di pabrik?
5 Siapa yang bekerja di kantor?
JUMLAH
Pembagian kerja social
1 Siapa yang mengikuti kegiatan keagamaan?
2 Siapa yang mengikuti kegiatan PNPM?
3 Siapa yang mengikuti kegiatan kelompok
tani/GAPOKTAN?
4 Siapa yang mengikuti kegiatan gotong-royong?
5 Siapa yang mengikuti rapat RT/lainnya?
6 Siapa yang mengikuti penyuluhan?
7 Siapa yang menghadiri hajatan?
JUMLAH
AKSES
No Pertanyaan Pelaku
P L B
Akses terhadap sumberdaya fisik/material
1 Siapa yang memiliki kesempatan untuk memanfaatkan
lahan pertanian?
99
2 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menggunakan
modal uang untuk pemenuhan kebutuhan keluarga?
3 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menggunakan
modal uang untuk pemenuhan kegiatan pertanian?
4 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menggunakan
sarana produksi pertanian?
5 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menggunakan
hasil pertanian untuk pemenuhan kebutuhan keluarga?
JUMLAH
Akses terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja
1 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menyediakan
(membeli) bibit dan saprotan?
2 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menentukan
waktu penjualan hasil pertanian?
3 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menentukan
tempat penjualan hasil pertanian?
4 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menentukan
jumlah hasil pertanian yang akan dijual?
5 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menentukan
jumlah buruh tani yang akan digunakan ketika panen
berlangsung?
6 Siapa yang memiliki kesempatan untuk pengelolaan
lahan pertanian?
7 Siapa yang memiliki kesempatan untuk pengelolaan
usaha non pertanian?
JUMLAH
Akses terhadap sumberdaya sosial-budaya
1 Siapa yang memiliki kesempatan untuk mengeyam
pendidikan?
2 Siapa yang memiliki kesempatan untuk mengikuti
kegiatan penyuluhan pertanian?
3 Siapa yang memiliki kesempatan untuk mengikuti
kegiatan penyuluhan lainnya?
4 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menentukan
tanaman apa yang akan ditanami pada musim-musim
tertentu?
5 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menentukan
strategi pengelolaan pertanian?
JUMLAH
Akses terhadap manfaat
1 Siapa yang memiliki kesempatan atas pemanfaatan
hasil pendapatan?
2 Siapa yang memiliki kesempatan atas pemanfaatan
kekayaan bersama?
100
3 Siapa yang memiliki kesempatan atas pemanfaatan
kebutuhan dasar?
4 Siapa yang memiliki kesempatan atas pendidikan di
kelurga?
JUMLAH
KONTROL
No Pertanyaan Pelaku
P L B
Kontrol terhadap sumberdaya fisik/material
1 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) atas penggunaan lahan pertanian?
2 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) atas modal uang untuk pemenuhan
kebutuhan keluarga?
3 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) atas modal uang untuk pemenuhan kegiatan
pertanian?
4 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) atas sarana produksi pertanian?
5 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) atas hasil pertanian untuk pemenuhan
kebutuhan keluarga?
JUMLAH
Kontrol terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja
1 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) untuk menyediakan (membeli) bibit dan
saprotan?
2 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) untuk menentukan waktu penjualan hasil
pertanian?
3 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) untuk menentukan tempat penjualan hasil
pertanian?
4 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) untuk menentukan jumlah hasil pertanian
yang akan dijual?
5 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) untuk menentukan jumlah buruh tani yang
akan digunakan ketika panen berlangsung?
6 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) untuk pengelolaan lahan pertanian?
7 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) untuk pengelolaan usaha non pertanian?
101
JUMLAH
Kontrol terhadap sumberdaya sosial-budaya
1 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) untuk menentukan siapa yang berhak
mengeyam pendidikan?
2 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) untuk mengikuti kegiatan penyuluhan
pertanian?
3 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) untuk mengikuti kegiatan penyuluhan
lainnya?
4 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) untuk menentukan tanaman apa yang akan
ditanami pada musim-musim tertentu?
5 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) untuk menentukan strategi pengelolaan
pertanian?
JUMLAH
Kontrol terhadap manfaat
1 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) atas pemanfaatan hasil pendapatan?
2 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) atas pemanfaatan kekayaan bersama?
3 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) atas pemanfaatan kebutuhan dasar?
4 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil
keputusan) atas pendidikan di kelurga?
JUMLAH
AKTIVITAS PEREMPUAN DALAM GERAKAN PETANI
No Pertanyaan Jawaban
Posisi Peran Ya Tidak
Kegiatan dalam PPLP-KP (Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo)
1 Apakah Saudari ikut dalam proses
inisiasi pembentukan PPLP?
2 Apakah Saudari mengikuti diskusi
terkait rencana penambangan pasir
besi di awal pembentukan PPLP?
3 Apakah Saudari ikut memberikan
pendapat ketika diskusi berlangsung?
4 Apakah Saudari ikut dalam
mengambil keputusan ketika
menentukan sikap terkait perencanaan
penambangan pasir besi?
102
5 Apakah Saudari ikut dalam kegiatan
perayaan hari terbentuknya PPLP-KP?
Kegiatan diskusi dan menjalin solidaritas
6 Apakah Saudari mengikuti kegiatan
diskusi tentang perjuangan masyarakat
pesisir di kampus-kampus?
7 Apakah Saudari ikut dalam
pementasan teater di kampus Atma
Jaya, Jakarta?
8 Apakah Saudari mengikuti kegiatan
diskusi tentang perjuangan masyarakat
pesisir di beberapa kumpulan
masyarakat yang juga
memperjuangkan lahan pertaniannya?
9 Apakah Saudari ikut dalam
pementasan teater di kampus
Universitas Gajah Mada?
10 Apakah Saudari ikut dalam kunjungan
ke Kebumen dalam rangka menjalin
solidaritas?
11 Apakah Saudari ikut dalam proses
pembentukan kesenian teater “unduk
gurun”?
12 Apakah Saudari ikut dalam proses
pembentukan FKMA (Forum
Komunikasi Masyarakat Agraris)
13 Apakah Saudari ikut dalam diskusi di
Gerbang Revolusi, Garongan?
14 Apakah Saudari menjalin hubungan
dengan seniman terkait strategi
perlawanan penambangan pasir besi?
15 Apakah Saudari menjalin hubungan
dengan agamawan terkait strategi
perlawanan penambangan pasir besi?
16 Apakah Saudari menjalin hubungan
dengan akademisi terkait strategi
perlawanan penambangan pasir besi?
17 Apakah Saudari ikut dalam proses
kampanye permasalahan petani di
dunia maya?
18 Apakah Saudari menjalin solidaritas
dengan masyarakat pendukung
penolakan penambangan pasir besi
yang bertempat di Australia?
19 Apakah Saudari menjalin solidaritas
dengan CAF (Casual Anarchist
Federalism) yang berada di Inggris?
Kegiatan aksi dan demonstrasi
103
20 Apakah Saudari ikut memblokade
jalur lalu lintas rencana penambangan
untuk menghalangi aktivitas rutin
pihak penguasa pertambangan pasir
besi?
21 Apakah Saudari ikut dalam aksi
penutupan jalan menuju pilot plan
proyek penambangan pasir besi?
22 Apakah Saudari ikut dalam
pencegatan pekerja pilot proyek PT.
Jogja Magasa Iron (JMI) oleh warga
masyarakat Gupit?
23 Apakah Saudari ikut mendatangi
gedung-gedung pemerintahan?
24 Apakah Saudari ikut serta dalam
kampanye penolakan pertambangan
pasir besi di Filipina?
25 Apakah Saudari mengikuti aksi-aksi
demosntrasi ?
26 Apakah Saudari ikut andil dalam
proses pembuatan surat untuk presiden
yang pertama?
27 Apakah Saudari ikut andil dalam
proses pembuatan surat untuk presiden
yang kedua?
28 Apakah Saudari ikut andil dalam
proses pembuatan surat untuk presiden
yang ketiga?
29 Apakah Saudari mengikuti aksi demo
di pemerintah Kabupaten Kulon
Progo?
30 Apakah Saudari mengikuti aksi demo
di kantor DPR yang pertama?
31 Apakah Saudari mengikuti aksi demo
di kantor DPR yang kedua?
32 Apakah Saudari mengikuti aksi demo
di kantor DPR yang ketiga?
33 Apakah Saudari mengikuti aksi demo
di kantor DPR yang keempat?
34 Apakah Saudari mengikuti aksi demo
di kantor DPR yang kelima?
35 Apakah Saudari ikut bertugas
mengorganisir petani-petani ketika
sebelum dan saat aksi-aksi demontrasi
berlangsung?
JUMLAH
104
Akses terhadap Kegiatan-kegiatan dalam Gerakan Petani
No Pertanyaan Jawaban
Ya Tidak
1 Apakah Saudari memiliki kesempatan untuk mengikuti diskusi-
diskusi terkait rencana penolakan penambangan pasir besi?
2 Apakah Saudari memiliki kesempatan untuk mengikuti
pertemuan dengan kelompok gerakan petani lainnya?
3 Apakah Saudari memiliki kesempatan untuk mengikuti diskusi
dengan kelompok gerakan petani lainnya?
4 Apakah Saudari memiliki kesempatan untuk menjalin
solidaritas dengan kelompok gerakan petani lainnya?
5 Apakah Saudari memiliki kesempatan untuk menjalin
solidaritas dengan individu-individu lainnya (seniman, dan lain-
lain)?
6 Apakah Saudari memiliki kesempatan untuk mengikuti aksi-
aksi, demonstrasi, atau kampanye terkait rencana penolakan
penambangan pasir besi?
7 Apakah Saudari memiliki kesempatan untuk mengikuti
kegiatan-kegiatan gerakan petani lainnya (pementasan drama,
penjegatan pihak penambang, dll)
JUMLAH
Kontrol terhadap Kegiatan-kegiatan Gerakan Petani
No Pertanyaan Jawaban
Ya Tidak
1 Apakah Saudari memiliki kewenangan (mengambil keputusan)
dalam kegiatan diskusi-diskusi terkait rencana penolakan
penambangan pasir besi?
2 Apakah Saudari memiliki kewenangan (mengambil keputusan)
dalam pertemuan dengan kelompok gerakan petani lainnya?
3 Apakah Saudari memiliki kewenangan (mengambil keputusan)
dalam kegiatan diskusi dengan kelompok gerakan petani
lainnya?
4 Apakah Saudari memiliki kewenangan (mengambil keputusan)
dalam menjalin solidaritas dengan kelompok gerakan petani
lainnya?
5 Apakah Saudari memiliki kewenangan (mengambil keputusan)
dalam menjalin solidaritas dengan individu-individu lainnya
(seniman, dan lain-lain)?
6 Apakah Saudari memiliki kewenangan (mengambil keputusan)
di setiap kegiatan aksi-aksi, demonstrasi, atau kampanye terkait
rencana penolakan penambangan pasir besi?
7 Apakah Saudari memiliki kewenangan (mengambil keputusan)
dalam kegiatan-kegiatan gerakan petani lainnya (pementasan
drama, penjegatan pihak penambang, dll)
JUMLAH
105
Lampiran 5 Panduan Pertanyaan Wawancara Mendalam
1. Pedoman Wawancara Mendalam Kepada Tokoh Gerakan Petani
(Perempuan)
Hari, Tanggal Wawancara :
Lokasi Wawancara :
Nama dan Umur Informan :
Pekerjaan :
Pertanyaan Penelitian :
a. Sejak kapan Ibu mengikuti kegiatan-kegiatan gerakan petani?
b. Bagaimana bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh petani?
c. Bagaimana keterlibatan perempuan di masa-masa awal terbentuknya
gerakan petani?
d. Kapan terakhir kali Ibu melakukan aksi terhadap rencana
penambangan pasir besi? Seperti apa aksi yang dilakukan?
e. Bagaimana pendapat Ibu mengenai konflik yang terjadi antara petani
dan pihak penambang pasir besi?
f. Bagaimana pendapat Ibu mengenai perlawanan yang telah dilakukan
oleh petani?
g. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi keterlibatan perempuan dalam
gerakan petani?
h. Menurut Ibu, apakah laki-laki dan perempuan memiliki hak dan
kewajiban yang sama dalam kehidupan sehari-hari?
i. Menurut Ibu, apakah laki-laki dan perempuan memiliki peran yang
sama dalam masyarakat?
j. Apakah ada aturan di masyarakat lahan pasir Kulon Progo yang
membedakan antara laki-laki dan perempuan?
2. Pedoman Wawancara Mendalam Kepada Tokoh Gerakan Petani
Hari, Tanggal Wawancara :
Lokasi Wawancara :
Nama dan Umur Informan :
Pekerjaan :
Pertanyaan Penelitian :
a. Bagaimana sejarah kepemilikan lahan pasir Kulon Progo?
b. Bagaimana kronologi asal mula adanya rencana penambangan pasir
besi yang memicu munculnya konflik agraria?
c. Faktor-faktor apa saja yang mendorong terjadinya gerakan petani?
d. Bagaimana kronologi perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh
petani?
e. Bagaimana bentuk strategi perlawanan yang dilakukan oleh petani?
f. Bagaimana keterlibatan perempuan dalam setiap gerakan petani?
g. Bagaimana bentuk solidaritas antara petani dengan paguyuban petani
lainnya?
h. Bagaimana proses pembentukan PPLP-KP (Paguyuban Petani Lahan
Pasir Kulon Progo)?
i. Kegiatan-kegiatan apa saja yang telah dilakukan oleh PPLP-KP?
106
Lampiran 6 Dokumentasi penelitian
Gambar 3 Salah satu ladang cabe
keriting di Desa Bugel
Gambar 4 Tanaman cabe
keriting di Kulon Progo
Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 5 Kegiatan konvoi Ulang
Tahun PPLP Tahun 2014
Gambar 6 Penyablonan baju
(kegiatan fundrising PPLP)
Gambar 7 Wawancara dengan
petani Kulon Progo
Gambar 8 Masyarakat pesisir saat
memeriahkan Ulang Tahun PPLP
107
Gambar 9 Hasil lukisan bertema
perlawanan petani oleh seniman
Gambar 10 Wawancara dengan
petani Kulon Progo
Gambar 11 Perempuan Desa
Bugel ketika menyiangi tanaman
Gambar 12 Aksi Solidaritas
Petani Kulon Progo di titik 0 KM
Jogjakarta
Gambar 13 Perempuan memetik
cabai ketika panen raya
Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 14 Kegiatan panen raya
di Garongan
Sumber: Dokumen PPLP-KP
108
Gambar 15 Aksi demonstrasi
petani Kulon Progo pada 22
Desember 2010
Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 16 Aksi demonstrasi
petani Kulon Progo pada 22
Desember 2010
Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 17 Aksi demonstrasi
petani Kulon Progo pada 22
Desember 2010
Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 18 Aksi demonstrasi
petani Kulon Progo pada 22
Desember 2010
Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 19 Aksi demonstrasi
petani Kulon Progo pada 15
Desember 2010
Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 20 Aksi demonstrasi
petani Kulon Progo pada 15
Desember 2010
Sumber: Dokumen PPLP-KP
109
Gambar 21 Aksi demonstrasi
petani Kulon Progo pada 15
Desember 2010
Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 23 Aksi demonstrasi
petani Kulon Progo pada 15
Desember 2010
Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 24 Aksi demonstrasi
petani Kulon Progo pada 15
Desember 2010
Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 25 Kegiatan diskusi
petani Kulon Progo di Bandung
Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 26 Kegiatan menonton
film perjuangan petani Trisik
Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 22 Kegiatan Ulang
Tahun PPLP tahun 2014
110
111
RIWAYAT HIDUP
Fika Fatia Qandhi dilahirkan di Langsa, pada tanggal 27 September 1992.
Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara, pasangan Saiful Fikri dan
Elidawati, yang kini bermukim di Kampung Jawa Belakang, Kota Langsa,
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pendidikan formal yang penulis jalani
diantaranya sekolah dasar di SD Negeri 1 Langsa (1998-2004), dilanjutkan
dengan SMP Negeri 1 Bireuen (2004-2007) dan SMA Negeri 1 Sumbawa Besar,
Nusa Tenggara Barat (2007-2010). Pada tahun 2010 penulis melanjutkan
pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (SNMPTN). Kuliah di bidang ilmu sosial yang jauh berbeda
dengan latar belakang jurusan yang diambil penulis ketika SMA
mengharuskannya untuk belajar lebih tekun dan gigih lagi.
Selama di Institut Pertanian Bogor, penulis tidak hanya aktif dalam
kegiatan perkuliahan, tetapi juga aktif dalam berorganiasi dan kegiatan
kepanitiaan. Penulis tercatat dalam bidang kepanitiaan, antara lain sebagai
sekretaris Manajemen Fundrising Leadership and Enterpreneurship Schools
(LES), staf divisi acara Open House Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan
Mahasiswa Tanah Rencong (IMTR) 2011, staf divisi humas gebyar nusantara
IMTR 2011, sekretaris Gebyar Nusantara IMTR 2011, anggota kegiatan 1000
mahasiswa Turun Desa I-Share 2012, staf divisi pengajar Himasiera Pengajar
2012, staff divisi medis Masa Perkenalan Fakultas, Fakultas Ekologi Manusia
2012, ketua kadiv konsumsi Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat 2012, staf divisi konsumsi Sunatan Massal Fema
Care and Share 2013, staf divisi konsumsi Donor Darah Fema Care and Share
2013, staf divisi sponsorship dan dana usaha Kemah riset 2013, dan staf divisi
dana usaha Indonesian Ecology Expo 2013. Selain itu, penulis juga tercatat
sebagai sekretaris Divisi Internal Forum Silaturahmi Mahasiswa (FOSMA) IPB,
Anggota Divisi Sosial Lingkungan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi
Manusia (BEM FEMA) periode 2012-2013, Koordinator Divisi Pendidikan Anak
Desa Mitra Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (Samisaena BEM FEMA)
2013, dan ketua Bedah Desa Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi
Manusia (BEM FEMA) 2013.