hubungan letak lesi terhadap kelemahan pada pasien post stroke
DESCRIPTION
LETSK LESITRANSCRIPT
HUBUNGAN LETAK LESI TERHADAP KELEMAHAN
PADA PASIEN POST-STROKE
Tugas Referat
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Program Profesi Dokter
Stase Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Diajukan Oleh:
Okky Irtanto, S. Ked
J 500 060 044
Pembimbing : Pembimbing :
dr. Eddy Raharjo, Sp. S
dr. Listyo Asist, Sp. S
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu dan penyebab
kematian nomor tiga setelah penyakit jantung koroner dan penyakit kanker.
(Feigin, 2006) Tercatat lebih dari 4,6 juta meninggal di seluruh dunia, dua dari
tiga kematian terjadi di Negara sedang berkembang . Angka kejadian stroke di
Indonesia meningkat dengan tajam. Bahkan, saat ini Indonesia merupakan
Negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia (Maliya A & Purwanti
OS, 2008) Dari jumlah tersebut, sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga
lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga
sisanya mengalami gangguan fungsional berat (Yastroki, 2006).
Dari hasil penelitian di Indonesia, didapatkan hasil bahwa rata-rata klien yang
terserang stroke berumur antara 18 – 95 tahun dengan gejala dan tanda klinis
terbesar adalah gangguan motorik (90.5%), kemudian nyeri kepala (39.8%),
disartria (35.2%), gangguan sensorik (22.3 %) dan disfasia (15.6 %) (Sunardi,
2007).
Fokus pemeriksaan fisik yang harus dilakukan pada pasien dengan
stroke adalah status neurologis yaitu fungsi sistem persarafan secara
keseluruhan, baik saraf cranial, reflek dan juga kekakuan motorik pasien. Hal
ini diperlukan untuk mengidentifikasi area otak yang mana saja yang
mengalami masalah atau terjadi kerusakan karena dari respon atau adanya
tanda-tanda manifestasi klinik yang terjadi dapat diprediksikan daerah mana
yang terjadi kerusakan (Sunardi, 2007).
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam referat ini akan dibahas
mengenai hubungan letak lesi terhadap kelemahan pada pasien post stroke.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Topografi lesi pada stroke bergantung pada daerah vaskularisasi yang
terpengaruh. Daerah vaskularisasi arteri cerebri posterior adalah lokasi ischemik yang
sering. Sedangkan banyak infark yang melibatkan arteri cerebri media, infark jarang
terjadi di daerah yang mendapat vaskularisasi arteri cerebri anterior karena aliran
kolateralnya relatif sangat baik, dan apabila ada disebabkan karena spasme fokal
setelah terjadinya perdarahan subarachnoid. Sedangkan stroke lakuner lebih lazim
terjadi di capsula interna, nucleus lentiformis, dan thalamus (Victor, 2000)
Gejala stroke ditentukan oleh tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah
yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut:
a. Penyumbatan pada arteri cerebri media yang sering terjadi mengakibatkan
kelemahan otot dan spasitas kontralateral, serta defisit sensorik (hemianastesia)
akibat kerusakan girus lateral presentralis dan post sentralis. Akibat selanjutnya
adalah deviasi ocular (akibat kerusakan area motorik pengelihatan), hemianopsia
(radiasi optikus), gangguan bicara motorik dan sensorik (area bicara Broca dan
Wernicke dari hemisfer dominan), gangguan persepsi spasial, apraksia dan
hemineglect (lobus parietalis).
b. Penyumbatan arteri cerebri anterior menyebabkan hemiparesis dan defisit sensorik
kontralateral (akibat kehilangan gyrus presentralis bagian medial), kesulitan
berbicara (akibat kerusakan area motorik tambahan) serta apraksia pada lengan kiri
jika korpus calosum anterior dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks
motorik kanan terganggu. Penyumbatan bilateral pada arteri serebri anterior
menyebabkan apatis karena kerusakan dari system limbik.
c. Penyumbatan arteri cerebri posterior menyebabkan hemianopsia kontralateral
parsial (korteks visual primer) dan kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain
itu, akan terjadi kehilangan memori (lobus temporalis bagian bawah).
d. Penyumbatan arteri carotis atau basilaris dapat menyebabakan defisit di daerah
yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid anterior
tersumbat, ganglia basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesia), dan traktus
opticus (hemianopsia) akan terkena. Penyumbatan pada cabang arteri comunikans
posterior di thalamus terutama akan menyebabkan defisit sensorik.
e. Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralysis semua ekstrimitas
(tetraplegia) dan otot-otot mata serta koma. Penyumbatan pada cabang arteri
basilaris dapat menyebabakan infark pada cerebelum, mesencephalon, pons, dan
medulla oblongata (Silbernagl, 2003).
Cortex cerebri merupakan bagian terluar dari hemispherium cerebri. Pada
permukaan cortex cerebri terdapat alur–alur atau parit–parit, yang dikenal dengan
sulcus. Sedangkan bagian yang terletak diantara alur–alur atau parit–parit ini
dinamakan gyrus. Sulcus dan gyrus ini membagi otak menjadi lobus-lobus yang
namanya sesuai dengan nama tulang tengkorak yang menutupinya. (Chusid, 1993).
Berikut beberapa daerah yang penting ; (1) lobus frontalis : area 4 merupakan
daerah motorik yang utama. Terletak di sebelah anterior sulkus sentralis. Lesi daerah
ini akan menghasilkan parese atau paralysis flaccid kontralateral pada kelompok otot
yang sesuai. Area 6 merupakan bagian sirkuit traktus extrapiramidalis. Spasitas lebih
sering terjadi jika area 6 mengalami ablatio. Area 8 berhubungan dengan pergerakan
mata dan perubahan pupil. Area 9, 10, 11, 12 adalah daerah asosiasi frontalis. (2)
Lobus parietalis : area 3, 1, dan 2 merupakan daerah sensorik post sentralis yang
utama. Area 5 dan 7 adalah daerah asosiasi sensorik. (3) Lobus temporalis : Area 41
adalah daerah auditorius primer. Area 42 merupakan kortek auditorius sekunder atau
asosiasi. Area 38, 40, 20, 21, dan 22 adalah daerah asosiasi, disini terjadi pemrosesan
bentuk-bentuk masukan sensorik yang lebih elemental. (4) Lobus occipitalis : Area 17
yaitu kortek striata, kortek visual yang utama, Area 18 dan 19 merupakan daerah
asosiasi visual (Duss, 1996).
Gambar 1. Cortex cerebri (Duus, 1996)
BAB III
KESIMPULAN
Kelemahan pada pasien stroke merupakan hal yang penting di ketahui oleh
seorang dokter untuk dapat menjelaskan perjalanan penyakit dan program pengobatan
yang akan dilakukan. Kita dapat memprediksi kelemahan dari melihat gambaran
radiologis, namun bila tidak ada fasilitas itu kita dapat mengetahuinya dari
pemeriksaan fisik neurologis.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Chusid, JG 1993; Neuroanatomi Korelatif Dan Neurologi Fungsional. Gajah Mada
University Press, Yogyakarta.
Duus, Peter .1996; Diagnosis Topik Neurologi: Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala.
Jakarta: EGC
Maliya A & Purwanti OS, 2008; Rehabilitasi klien pasca stroke. Surakarta:
UMS. eprints.ums.ac.id/1027/1/2008v1n1-08.pdf
Silbernagl, Stefan et al. 2003. Teks dan atlas berwarna patofisiologi. EGC: Jakarta.
Sunardi. 2007. “Computed Tomography Scan dan Magnetic Resonance Imaging pada
sistem neurologist”. Forum Penelitian
Victor, Maurice et al, 2000, Adams and Victor’s Principles of Neurology 7th ed, united
States of America: Mc Graw-hill Companies
Yayasan Stroke Indonesia. Stroke, Pembunuh No. 3 di Indonesia. Diperoleh dari
http://medicastore.com/stroke/Stroke_Pembunuh_No_3_di_Indonesia.php