hubungan kista dentigerous dengan gigi molar ketiga yang ektopik di sinus maksilaris
TRANSCRIPT
BEDAH MULUT II
OLEH:
Maulia Septiari
04101004013
Dosen Pembimbing:
drg. Adiprabowo, Sp. BM
Hubungan Kista Dentigerous dengan Gigi Molar Tiga yang
Ektopik di Sinus Maksilaris: Sebuah laporan kasus dan kajian
literatur
Program Studi Kedokteran Gigi
Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya
2012/2013
Hubungan Kista Dentigerous dengan Gigi Molar Tiga yang Ektopik di Sinus Maksilaris: Sebuah laporan kasus dan kajian literatur
Abstrak
Kista dentigerous adalah jenis kista yang paling sering ditemukan dari kista odontogenik,
pada tahap perkembangan yang terkena dampak adalah mahkota gigi yang impaksi, tertanam,
atau tidak erupsi. Ada sekitar 20% dari semua kista epitel berlapis dari rahang. Gigi yang
paling sering terlibat adalah gigi molar tiga mandibula dan gigi caninus maksila. Sekitar 70%
dari kista dentigerous terjadi pada mandibula dan 30% terjadi pada maksila. Kista
dentigerous terkait dengan gigi ektopik dalam sinus maksilaris terjadi cukup langka, dan
hanya 20 kasus telah dilaporkan di Medline sejak tahun 1980. Dalam jurnal ini, dilaporkan
terdapat kasus kista dentigerous tambahan terkait dengan gigi molar ketiga yang ektopik
didalam sinus maksilaris. Patogenesis dari gigi ektopik, peranan pencitraan canggih,
diagnosis banding, dan manajemennya juga akan di bahas.
Kata kunci : Kista dentigerous, Gigi ektopik, Sinus maksilaris, Molar tiga
Pendahuluan
"kista dentigerous" Istilah ini diciptakan oleh Paget pada tahun 1853. Kista ini adalah jenis
yang paling sering ditemukan dari kista odontogenik dimana kista ini berkembang dari
mahkota gigi yang impaksi, tertanam, atau tidak erupsi. Kista ini merupakan lesi kistik kedua
yang paling umum terjadi pada rahang setelah kista radikuler. Arti harfiah dari dentigerous
adalah 'bantalan gigi` yang paling sering dikaitkan dengan mahkota gigi permanen, meskipun
pada kasus yang jarang ditemukan ada kaitannya dengan mahkota gigi desidui, kompleks
odontoma, dan gigi supernumerary. Kista dentigerous yang terjadi akibat gigi supernumerary
dilaporkan sekitar 5-6% dari seluruh kista dentigerous dan sekitar 90% berkaitan dengan gigi
mesiodens maksila.
Menurut teori kista merupakan hasil dari akumulasi cairan di antara gigi yang tidak erupsi
dan dikelilingin oleh epitel enamel yang berkurang. Hal ini dua kali sering terjadi pada laki-
laki dari pada perempuan. Sekitar 70% dari kista dentigerous terjadi pada mandibula dan 30%
pada maksila. Gigi taring maksila dan molar ketiga mandibula adalah gigi yang paling sering
terlibat, diikuti premolar mandibula dan gigi molar ketiga maksila.
Kista dentigerous berhubungan dengan gigi yang ektopik dalam sinus maksilaris terjadi
cukup langka, dan hanya 20 kasus telah dilaporkan di Medline sejak tahun 1980 termasuk 3
kasus yang dilaporkan oleh Buyukkurt et al. yang mengkaji laporan literatur terkait kondisi
ini sejak tahun 1980 hingga 2009. Dalam tulisan ini, dilaporkan kasus kista dentigerous
tambahan yang terkait dengan ektopik molar tiga dalam sinus maksilaris.
Laporan Kasus
Seorang pria 22 tahun yang belum menikah dilaporkan ke departemen Oral Medicine dan
Radiologi, dengan keluhan utama terdapat pus di daerah atas kanan posterior rahang dan
daerah nostril kanan sejak 3 tahun terakhir. Riwayat rinci pasien mengungkapkan bahwa hal
tersebut dimulai sejak terdapatnya pus pada rongga mulut 3 tahun yang lalu, saat itu ia hanya
menggunakan obat-obatan dari dokter umum selama lebih dari setahun tetapi tidak terlihat
adanya perubahan, dan kondisi semakin memburuk ketika jumlah pus bertambah pada nostril
sebelah kanan yang dimulai 6 bulan yang lalu. Kemudian, ia berkonsultasi ke dokter gigi dan
mendapatkan resep obat-obatan selama satu minggu. Karena tetap tidak menemukan hasil
yang baik, ia dirujuk ke rumah sakit pendidikan.
Dari pemeriksaan ekstra-oral menunjukan adanya penyebaran difuse, palpasi kontur yang
lembut, dan pembengkakan disebelah atas kanan sinus maksilaris [Gambar 1]. Pemeriksaan
intra-oral menunjukan tidak adanya gigi molar tiga atas, dan pus terlihat dari bagian distal
kanan atas molar kedua, pada saat diberikan tekanan dengan jari di ruang depan bukal.
Diagnosis sementara dianggap sebagai infeksi sinus maksilaris disebelah kanan.
Evaluasi radiografis meliputi IOPA dari molar kedua atas kanan, OPG, Waters view,
cephalogram lateral, dan CT scan. OPG menunjukan molar ketiga atas kanan terdapat di
dalam sinus maksilaris dekat aspek posterosuperiornya [Gambar 2]. Pada pemeriksaan CT
scan, lesi kistik meluas terlihat pada sinus maksilaris sebelah kanan dengan mahkota gigi
yang tidak erupsi di dalamnya. Bony defect terlihat di dinding terendah yang memungkinkan
kista untuk berhubungan dengan atap rongga mulut [gambar 3].
Biopsi insisional dilaporakan adanya indikasi dari kista dentigerous. Pasien dirujuk ke
departemen Bedah maxillo-facial dimana akan dilakukan enukleasi lesi kistik di bawah GA
dilakukan melalui pendekatan Caldwell-Luc, dan jaringan dikirim untuk pemeriksaan
histopatologi, yang dikonfirmasi sebagai hasil laporan biopsi insisional [Gambar 4]. Setelah
pasca-operasi penyembuhan terlihat lancar, dan pasien tersebut difollow-up selama 2 tahun
berikutnya [Gambar 5] dan tampak tidak ada gejala [Gambar 6].
Gambar 4. Photomicrograph menunjukkan lesi kistik dibatasi oleh
epitel squamosa non-keratin Gambar 5. Keadaan pasien
setelah post - operatif
Gambar 1. Gambaran ekstra-oral menunjukan adanya pembengkakan yang difuse di atas sinus maksilaris sebelah kanan
Gambar 2. OPG menunjukan molar ketiga atas kanan terdapat di dalam sinus maksilaris dekat aspek
posterosuperior
Gambar 3. Gambar koronal CT menunjukkan lesi kistik
meluas sekitar mahkota molar tiga pada sinus maksilaris
sebelah kanan
Pembahasan
Gigi ektopik adalah gigi yang terletak tidak pada tempatnya di rahang atau daerah lain selain
lengkung alveolar. Erupsi ektopik merupakan keadaan yang jarang ditemukan, namun ada
laporan beberapa gigi ditemukan di hidung, kondilus mandibula, prosesus coronoideus, dan
sinus maksilaris, yang juga merupakan sinus terbesar dari sinus paranasal.
Erupsi ektopik dapat terjadi sebagai akibat dari 1 dari 3 proses yang berbeda dijelaskan di
bawah ini, atau mungkin idiopatik.
Gangguan pada perkembangan gigi :
Odontogenesis merupakan proses yang kompleks, dan interaksi jaringan abnormal
antara epitel mulut dan jaringan mesenchymal yang menjadi dasar selama
perkembangan yang berpotensi mengakibatkan perkembangan gigi ektopik dan
erupsi.
Proses patologis :
Hal ini diyakini bahwa perpindahan dari tooth buds dikarenakan ekspansi
perkembangan yang progresif dari kista dentigerous yang menyebabkan berpindahnya
gigi ke tempat lain. Dalam kasus ini, faktor etiologi dari kista dentigerous juga
menentukan.
Iatrogenik :
Selama ekstraksi gigi molar ketiga, perpindahan iatrogenik ke dalam antrum
maksilaris dapat terjadi. Bonder et al. telah melaporkan kasus mengenai adanya suatu
perpindahan iatrogenik dari molar tiga kanan atas ke antrum maksilaris yang terjadi
pada wanita 40-tahun selama ekstraksi gigi tersebut.
Gambar 6. OPG post-operatif
Meskipun kasus kista dentigerous dilaporkan pada anak-anak, mereka biasanya hadir dalam
dekade kedua atau ketiga kehidupan dan jarang terjadi di masa kanak-kanak. Insiden lebih
tinggi pada laki-laki dari pada perempuan (M : F - 1.84 : 1).Kista dentigerous biasanya
merupakan lesi tunggal. Beberapa kista bilateral telah dilaporkan pada pasien dengan sindrom
seperti sindrom nevus sel basal, mucopolysaccharidosis dan displasia cleidocranial serta pada
pasien non-sindromik.
Kista dentigerous berlangsung lambat dan mungkin ada selama beberapa tahun tanpa
diketahui. Ketika sinus maksilaris terlibat, gejala biasanya menjadi lambat. Hal ini dapat
menyebabkan sakit kepala, obstruksi sinus, epiphora karena obstruksi saluran nasolacrimal,
sinusitis berulang, rhinorrhea purulen, elevasi lantai orbital, dan patah tulang. Lesi pada lantai
orbital dapat menyebabkan diplopia dan mungkin menyebabkan kebutaan.
Pada pemeriksaan radiografis, kista dentigerous muncul sebagai radiolusen unilokular dengan
berbagai ukuran, dibatasi dinding sklerotik terkait dengan mahkota gigi yang belum erupsi.
Jika ruang folikuler pada radiografi lebih dari 5 mm, hal ini dapat dicurigai sebagai kista
odontogenik. Teknik Waters view, OPG, dan cephalogram lateral merupakan proyeksi
sederhana dan murah untuk evaluasi radiografi gigi ektopik di sinus maksilaris. Meski mahal,
CT dan MRI tentu memiliki keunggulan dalam radiografi konvensional. CT scan
memberikan detail tulang yang baik, membantu dalam penentuan ukuran dan luasnya lesi,
dan berguna untuk membedakan lesi asal antral maksila dari lesi ekstra-antral. Bonder et al
menemukan bahwa CT lebih unggul untuk melihat adanya ankilosis, menentukan bedah yang
tepat (sayatan crestal atau pendekatan Caldwell-Luc), serta dalam memprediksi prognosis
atau komplikasi.
Diagnosa banding dari kista dentigerous meliputi unicystic ameloblastoma, adenomatoid
odontogenic tumor (AOT), Kista Gorlin tahap awal / calcifying epithelial odontogenic tumor
(CEOT), ameloblastic fibroma, ameloblastic fibro-odontoma, and odontogenic keratocyst.
Histologi, kista dentigerous dilapisi oleh lapisan epitel skuamosa berlapis non-keratin, dengan
dikelilingi dinding jaringan ikat tipis yang mengandung epitel odontogenik. Kasus
ameloblastoma atau karsinoma epidermoid berkembang dari epitel lapisan kista dentigerous
secara memadai didokumentasikan, sedangkan karsinoma mucoepidermoid kurang
terdokumentasi dengan baik. Juga, karsinoma sel skuamosa dapat berkembang dari epitel
lapisan kista dentigerous. Pengobatan standar untuk kista dentigerous adalah enukleasi dan
ekstraksi gigi yang terkait melalui prosedur Caldwell-Luc. Pada kista yang besar, sebuah
marsupialisasi awal untuk mengurangi adanya cacat osseus, diikuti oleh enukleasi dan
ekstraksi gigi sangat dianjurkan. Kerugian utama dari marsupialisasi adalah kekambuhan.
Pendekatan endoskopik untuk manajemen kista juga dijelaskan dalam literatur, yang terkait
dengan tingkat operasi yang lebih rendah serta morbiditas pasca-operasi.
Kesimpulan
Terjadinya gigi ektopik di sinus maksilaris dan hubungannya dengan kista dentigerous
merupakan fenomena yang jarang terjadi. Pada awal kehadirannya mungkin tanpa gejala
dengan manifestasi klinis, struktur yang berdekatan juga dapat terpengaruh. Radiografi
konvensional dapat menentukan diagnosis, dengan pencitraan yang canggih dapat berguna
dalam menentukan perencanaan pengobatan.