hubungan kandungan gas dan komposisi gas · pdf filepada profil gambut, ... (flood plain), dan...
TRANSCRIPT
III-1
Bab III Genesa Batubara
Pembentukan batubara merupakan proses yang komplek yang harus dinilai dan
dipelajari dari berbagai segi. Ada bermacam-macam proses penyebab terbentuknnya
batubara dalam suatu cekungan. Proses-proses tersebut saling mempengaruhi dan
juga saling tergantung satu dengan lainnya. Gambar III.1 menyajikan secara skematik
hubungan dari proses-proses tersebut beserta 10 faktor pembetuk batubara.
Akumulasi batubara hanya terjadi bila terdapat keseimbangan yang tepat dari
parameter-parameter tersebut. Lingkungan pembentukan batubara dapat berupa
lingkungan paralik (air payau) atau limnik (air tawar), tetapi pada umumnya terjadi
pada lingkungan pantai.
Pembentukan tanaman menjadi gambut dan batubara melalui dua tahap yaitu tahap
penggambutan (peatification) dan tahap pembatubaraan (coalification). Tahap
penggambutan disebut juga dengan tahap biokimia dengan melibatkan perubahan
kimia dam mikroba, sedangkan tahap pembatubaraan disebut juga dengan tahap
geokimia atau fisika-kimia yan melibatkan perubahan kimia dan fisika serta
menghasilkan batubara dari lignit sampai antrasit (Cook,1982).
III.1 Penggambutan
Proses penggambutan merupakan salah satu dari tahap pembatubaran biokimia, yaitu
proses ubahan terhadap sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi di dalam suatu rawa
gambut (moor) hingga terbentuknya gambut. Alterasi berlangsung pada permukaan
gambut hingga kedalaman 0,5 meter. Lapisan ini disebut sebagai peactigeic layer
(Teichmueller, 1975). Pada lapisan ini bakteri anaerob, actinomyces, dan jamur
menjadi aktif. Dengan bertambahnya kedalaman, keberadan mikroorganisme tersebut
berkurang dan digantikan oleh bakteri anaerob. Pada kondisi ini proses perubahan
yang berlangsung adalah perubahan kimiawi terutama kondensasi, polimerisasi,
reduksi.
III-2
Gambar III.1. Hubungan faktor-faktor pembentuk batubara (Schlatters 1973)
Proses yang paling penting selama penggambutan adalah pembentukan substansi-
substansi humik. Humifikasi berlangsung dengan adanya suplai oksigen dan
meningkatnya temperatur gambut di bawah lingkungan alkalin. Derajat humufikasi
ini selanjutnya bergantung terhadap fasies dan tidak tergantung kepada kedalaman
(teichmueller dan teichmueller, 1975). Pada profil gambut, kandungan karbon dari
atas ke bawah semakin besar sebagai akibat substansi-substansi yang relatif kaya
akan oksigen pada peatigenic layer, khususnya selulosa dan hemiselulosa
terdekoposisi secara mikrobiologi mengakibatkan pengkayaan lignin yang kaya akan
karbon dan terbentuknya asam humik. Sebaliknya, karena bertambahnya kedalaman
maka tekanan akan meningkat dan kandungan air akan berkurang secara cepat.
Berkurangnya kandungan air ini merupakan parameter yang baik dalam diagnesa
III-3
gambut. Keterdapatan selulosa bebas (tidak terikat secara baik dengan lignin) juga
merupakan indikator yang penting untuk penentuan derajat penggambutan. Untuk
membedakan gambut dengan batubara lunak dapat dipakai beberapa parameter antara
lain kandungan karbon dan air, kehadiran selulosa bebas ,dan kemudahan gambut
untuk dipotong . Perbedaan ini tidak selalu sempurna ketepatannya, karena transisi
dari gambut ke brown coal berlangsung secara gradual sehingga sukar untuk
menentukan batasan yang tepat. Batas antara gambut dengan brown coal umumnya
terjadi pada kedalaman pemendaman antara 200-400 mater (Teichmueller dan
Teichmueller,1975).
III.2 Fasies Batubara
III.2.1 Faktor-faktor Penentu Fasies Batubara
Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik primer (fasies) batubara antara lain :
1. Tipe Pengendapan
Tipe pengendapan dibedakan atas autochtonous dan allochtonous. Batubara
autochtonous berkembang dari tumbuhan yang ketika tumbang akan
membentuk gambut di tempat dimana tumbuhan itu pernah hidup tanpa
adanya proses transportasi yang berarti. Batubara allochtonous terendapkan
secara detrital dimana sisa-sisa tumbuhan hancur dan tertransportasi kemudian
terendapkan di tempat lain. Batubara allochtonous akan lebih banyak
mengandung mineral oleh karena penambahan material-material lain selama
transportasi.
2. Rumpun Tumbuhan Pembentuk
Berdasar rumpun tumbuhan pembentuk dikenal empat macam tipe rawa yaitu:
• Daerah air terbuka dengan tumbuhan air
• Rawa ilalang terbuka
III-4
• Rawa Hutan
• Rawa Lumut
Pada daerah iklim sedang dan lembab urutan-urutan tipe rawa diatas terdapat
pada gambut yang berkembang di danau (Gambar III.2).
Gambar III.2. Urutan tipe rawa pada gambut yang berkembang di danau
(Taylor et.al., 1998)
3. Lingkungan Pengendapan
Lingkungan pengendapan telmatis (terestial) akan menghasilkan gambut yang
tidak terganggu dan tumbuh secara insitu. Batubara yang terendapkan pada
lingkungan telmatis dan limnik (subakuatik) sulit untuk dibedakan karena
pada rawa hutan (forest swamp) biasanya ada bagian yang berada di bawah
air. Batubara yang terendapkan pada lingkungan payau atau marine dicirikan
oleh tingginya kandungan abu, sulfur, N, dan mengandung fosil laut.
4. Persediaan makanan
Rawa eutrophic, mesotrophic, dan oligotrophic dibedakan dari banyak
sedikitnya bahan makanan yang bisa digunakan. Low moor biasanya
III-5
eutrophic (kaya makanan) karena menerima air dari air tanah yang banyak
mengandung makanan terlarut. High moor adalah oligotrophic (miskin
makanan) karena sirkulasi hanya mengandalkan air hujan. Di bawah kondisi
hidrologi yang seragam maka tumbuhan rawa eutrophic banyak spesiesnya.
Oligotrophic di daerah iklim sedang pada umumnya berupa sphagnum
sedangkan untuk daerah tropis bisa ditumbuhi oleh hutan kayu tetapi tidak
banyak spesiesnya karena rawa jenis ini akan asam (pH 3,5 – 4) dan
kandungan mineralnya sangat rendah.
5. PH, Aktivitas bakteri, dan sulfur
Keasaman gambut sangat mempengaruhi keberadaan bakteri sehingga dengan
demikian akan sangat mempengaruhi sisa tumbuhan. Disamping tipe batuan
dasar dan air yang mengalir masuk ke rawa maka keasaman rawa tergantung
pada rumpun tumbuhan yang ada, suplai O2
, dan konsentrasi asam humin
yang sudah terbentuk. Bakteri hidup dengan baik pada kondisi netral (pH 7-
7,5), jika makin asam maka bakteri akan semakin sedikit dan struktur kayu
akan terawetkan dengan lebih baik.
6. Temperatur
Temperatur permukaan gambut memegang peran yang sangat penting untuk
proses dekomposisi primer. Pada iklim yang hangat dan basah membuat
bakteri hidup dengan baik sehingga proses kimia akinat bakteri bisa berjalan
baik.
III.2.2 Fasies Pengendapan Batubara
Terbentuknya batubara bermula dari pengendapan tumbuh-tumbuhan membentuk
rawa gambut. Rawa gambut dilihat dari jenis tumbuhan pembentuk menurut Martin
dan Glooschenko (1984) dalam Diessel (1982) dibedakan menjadi empat yaitu :
III-6
1. Bog, yaitu sebagai lokasi rawa yang banyak ditumbuhi oleh tanaman lumut
atau tanaman merambat yang miskin kandungan makanan (Damman &
French, 1987).
2. Fen, yaitu lokasi rawa yang kaya akan tumbuhan perdu dan beberapa jenis
pohon lainnya. Umumnya terletak pada lingkungan yang ombrogenik yaitu
transisi antara daerah yang selalu melimpah kandungan air dengan daerah
yang terkadang kering.
3. Marsh, yaitu rawa yang didominasi oleh tumbuhan perdu atau tanaman
merambat yang sering terdapat di sekitar pinggir danau atau laut.
4. Swamp, yaitu daerah basah pada iklim tropis hingga dingin yang tumbuh rawa
yang didominasi tanaman berkayu.
Lingkungan tempat terbentuknya gambut umumnya merupakan tempat yang
mengalami depresi lambat dengan sedikit sekali atau tidak ada penambahan material
dari luar. Pada kondisi tersebut muka air terus mengikuti perkembangan akumulasi
gambut dan mempertahankan tingkat kejenuhannya. Kejenuhan tersebut mencapai
90% dan kandungan air menurun drastis hingga 60% pada saat terbentuknya brown
coal.
Sebagian besar lingkungan yang memenuhi kondisi tersebut diatas adalah berupa
rawa gambut topogenik (low moor). Pada beberapa tempat yang mempunyai curah
hujan sangat tinggi bisa terbentuk rawa gambut onbrogenik (high moor)
Rawa gambut yang besar terbentuk di dataran pantai yang rata (flat coastal plain)
yang umumnya terlindungi oleh tumpukan pasir dalam laguna atau daerah delta.
Batubara yang terbentuk pada lingkungan ini disebut batubara paralik.
Lingkungan pengendapan yang lebih ke arah daratan yaitu di sepanjang sungai, danau
(lakustrin) atau depresi yang lain disebut lingkungan limnik (Teichmuller, 1989).
III-7
Diessel (1992) mengelompokkan tempat terakumulasikannya rawa gambut menjadi
lima kategori yang didasarkan pada penelitian terhadap batubara humik bituminous.
Tiga diantaranya merupakan tipe rawa gambut topogenik yaitu high watertable
dengan kondisi asam, high watertable dengan kondisi netral, dan variable watertable.
Sementara dua kategori yang lain termasuk tipe rawa gambut ombrogenik yaitu
continously wet dan intermittenly dry.
Kategori high watertable terbagi menjadi dua yaitu suasana asam dan netral. Rawa
gambut dengan air melimpah dan suasana asam merupakan lingkungan air tawar.
Sementara rawa gambut dengan air melimpah dan suasana netral merupakan
lingkungan payau atau laut. Kategori dengan muka air yang berubah-ubah (variable
watertable) umumnya terjadi pada dataran banjir yang kadang-kadang pada masa
tertentu kering.
Kategori continuously wet merupakan rawa gambut yang tumbuh berkembang karena
suplai air yang berasal dari curah hujan yang sangat tinggi (daerah tropis). Kategori
intermittenly dry merupakan rawa gambut yang hampir sama dengan kondisi
continuously wet tetapi pada masa-masa tertentu kadang diselingi musim kering.
Kedua kategori ini sangat tergantung terhadap suplai air hujan sehingga lingkungan
pengendapannya cenderung bersifat asam.
Tipe rawa gambut topogenik akan lebih kaya suplai makanan (eutropi) yang berasal
dari material yang dibawa oleh aliran air tawar. Sementara tipe rawa gambut
ombrogenik akan lebih miskin suplai makanan (oligotropi) karena air yang terkadang
di dalamnya didominasi oleh air hujan yang tidak banyak mengandung mineral.
Diessel (1992) membagi lingkungan sedimenter tempat terbentuknya batubara
menjadi 5 bagian yaitu :
III-8
1. Braid Plain
Merupakan dataran aluvial intramontana yang pada daerah ini terendapkan
sedimen kasar (>2mm). Batubara yang terbentuk pada daerah ini merupakan hasil
diagnesa gambut ombrogenik yang mempunyai penyebaran lateral terbatas
dengan ketebalan rata-rata 1,5 m.
Kandungan abu dan sulfur total umumnya rendah, sementara kandungan vitrinit
umumnya tinggi pada daerah tropis. Pada bagian tengah lahan gambut umumnya
kaya akan maseral inertinit (28%) karena suplai makanan yang sedikit. Kadang-
kadang juga ditemukan batubara dengan kandungan abu yang tinggi sampai 20%.
Kandungan abu tersebut kemungkinan berasal dari adanya banjir musiman.
Karena inertinit yang besar maka nilai TPI (Tissue Preservation Index) akan
tinggi yang dapat menunjukkan bahwa tumbuhan asalnya didominasi oleh bahan
kayu. Sementara itu nilai GI (Gelification Index) akan rendah dan secara
makroskopis batubara kelihatan kusam yang dapat menunjukkan bahwa secara
periodik permukaan gambut telah mengalami kekeringan dan teroksidasi.
2. Alluvial Valley and Upper Delta Plain
Dua lingkungan pengendapan ini sulit untuk dibedakan karena adanya kesamaan
litofasies dan sifat batubara yang terbentuk. Transisi dari lembah dan dataran
aluvial dengan dataran delta biasanya melalui sungai stadium dewasa yang
banyak memiliki meander. Endapan sedimen umumnya berupa batupasir yang
berselang-seling dengan batulumpur.
Gambut dapat terakumulasi pada berbagai morfologi seperti rawa-rawa, dataran
banjir (flood plain), dan cekungan banjir (flood basin), bagian terluar dari saluran
sungai, dan lain-lain. Permukaan gambut cenderung selalu basah dan jarang
III-9
mengalami periode kemarau sehingga menghasilkan batubara yang mengkilap
dengan nilai TPI dan GI yang tinggi.
Batubara yang terendapkan dalam lingkungan ini umumnya didominasi oleh
maseral humotelinit. Disamping itu batubara tersebut juga mempunyai kandungan
abu dan sulfur yang relatif jauh lebih rendah dibandingkan batubara yang
terbentuk dalam lingkungan pengendapan lainnya.
2. Lower Delta Plain
Lingkungan pengendapan ini dibedakan dengan upper delta plain dari tingkat
pengaruh air laut terhadap sedimentasi. Batas antara kedua lingkungan
pengendapan tersebut adalah batas tertinggi dari air pasang. Endapan sedimen
pada lower delta plain terutama terdiri dari batulanau, batulempung, dan serpih
yang diselingi oleh batupasir halus.
Pada saat pasang naik, air laut akan membawa makanan ke dalam rawa gambut
sehingga memungkinkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Di sisi lain
dengan naiknya batas pasang maka akan terendapkan sedimen klastik halus yang
akan menjadi pengotor dalam batubara. Disamping itu pengaruh laut akan
meningkatkan kandungan pirit dalam batubara yang terbentuk dari reduksi sulfat
yang terdapat dalam air laut.
Menurut Horne & Ferm (1987), batubara yang terendapkan dalam lingkungan ini
memiliki penyebaran luas tetapi mempunyai ketebalan yang relatif tipis. Batubara
ini memiliki kandungan inertinit yang rendah dengan nilai GI yang tinggi.
Kandungan huminit terutama didominasi oleh humodetrinit sehingga akan
mempunyai nilai TPI yang rendah. Hal ini menunjukan tingginya proporsi
tumbuhan dengan jaringan lunak dan tingginya biodegredasi pada kondisi Ph
yang relatif tinggi.
III-10
3. Barrier Beach
Morfologi garis pantai dikontrol oleh rasio sedimentasi dengan energi pantai
yaitu gelombang, pasang, dan arus. Jika nilai rasio tinggi maka akan terbentuk
delta namun jika nilai rasio rendah maka sedimentasi akan terdistribusi di
sepanjang pantai.
Rawa gambut pada barrier beach memiliki permukaan yang relatif lebih rendah
terhadap muka air laut sehingga sering kebanjiran. Gambut akan terakumulasi di
suatu tempat jika fluktuasi air pasang tidak tinggi sehingga timbunan material
gambut tidak berpindah tempat. Dengan demikian rawa gambut pada lingkungan
ini sangat dipengaruhi oleh regresi dan trangresi air laut.
Batubara yang terbentuk selama proses regresi dicirikan oleh nilai GI dan TPI
yang rendah dengan kandungan sulfur total yang relatif lebih rendah. Batubara
yang terbentuk selama proses transgresi dicirikan oleh nilai GI dan TPI serta
kandungan sulfur yang lebih tinggi.
5. Estuari
Jika nilai rasio antara sedimentasi dengan energi pantai sangat rendah maka tidak
akan terbentuk endapan delta tetapi yang terbentuk adalah estuari. Sedimen pada
lingkungan pengendapan ini terutama berupa perselingan laminasi batulanau dan
batupasir halus. Batubara yang terbentuk biasanya sangat tipis dan penyebaran
tidak menerus.
III.3 Pembatubaraan
Proses pembatubaraan adalah proses pengubahan gambut menjadi lignit, sub
bituminous, semi antrasit, antrasit, hinga meta antrasit (Tabel III.1).. Tahapan yang
III-11
dicapai oleh batubara dalam deret pembatubaraan ini disebut sebagai peringkat
batubara. Proses perubahan ini biasanya dipisahkan ke dalam dua tahapan, yaitu tahap
biokimia atau diagnesa dan geokimia atau metamorfosis.
III.3.1 Pembatubaraan Biokimia
Merupakan proses pengubahan bahan-bahan organik dari tanaman menjadi gambut
yang di mulai dari proses pembusukan tumbuhan sampai terbentuknya brown coal.
Tahap ini merupakan syarat mutlak pembentukan batubara. Di lingkungan endapan
gambut terbentuk, maka secara vertikal proses biokimia terjadi pada dua zona, yaitu
zona permukaan yang umumnya perubahan berlangsung dengan bantuan oksigen dan
zona tengah sampai kedalaman 0,5 m yang disebut dengan peatigenic layer. Pada
zona peatigenic ini terdapat bakteri aerob, lumut serta actinomyces yang aktif.
Bertambahnya kedalaman, maka bakteri aerob (butuh udara) akan berkurang dan
akan diganti bakteri anaerob (tidak butuh udara). Pada kedalaman 10 m atau lebih,
kehidupan bakteri berkurang dan hanya terjadi perubahan kimia, terutama kondensasi
primer, polimerisasi dan reaksi reduksi. Apabila ditinjau secara vertikal, maka
lapisan gambut paling atas mempunyai pertambahan kandungan karbon relatif cepat
sesuai dengan kedalamannya sampai peatigenic layer, yakni 45%-50% sampai 55%-
60%. Pada kedalaman selebihnya pertambahan kandungan karbon cenderung konstan
dengan kandungan karbon maksimum 64%. Kandungan karbon yang tinggi pada
peatigenic layer ini disebabkan karena pada posisi tersebut kaya akan substansi yang
mengandung oksigen terutama, selulosa dan hemiselulosa yang dirubah secara
mikrobiologi menjadi bentuk baru. Dari keseluruhan proses yang berlangsung, maka
proses yang terpenting adalah proses pembentukan substansi humus. Derajat
humifikasi tergantung pada fasies dan tidak semata-mata bergantung pada kedalaman.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi proses humufikasi agar beraktifitas dengan
baik adalah :
1. Keasamaan air, bakteri akan hidup dengan baik pada Ph 7,0-7,5
2. Kedalaman , bakteri aerob akan aktif pada kedalaman berkisar 0,5 m
III-12
3. Suplai oksigen, akan menurun sejalan dengan kedalaman
4. Temperatur lingkungan, temperatur yang hangat akan mendukung kehidupan
bakteria
Menurut Cook (1982), tahap biokimia atau awal pembatubaraan (kimia-fisika) akan
menentukan tipe batubara. Tipe batubara berhubungan dengan jenis material yang
berasal tumbuhan dan perubahan selama pemisahan material tersebut pada tahap
biokimia serta tidak tergantung dari tahap kimia-fisika. Berbagai senyawa yang
berasal dari tumbuhan terawetkan dalam sedimen atau gambut dengan tingkat yang
berbeda-beda. Senyawa-senyawa protein dan gula cenderung terhidrolisa, pertama
selulosa akan diubah menjadi glukosa dengan cara hidrolisis. Jika suplai oksigen
berlangsung terus, maka proses ini akan menuju pada penguraian lengkap dari
senyawa organik. Selanjutnya bagian-bagian dari material-material tumbuhan
tersebut cenderung membentuk koloid dan umumnya disebut sebagai asam humus
(humic acid). Pada tahap ini, lemak dan material resin umumnya mengalami
perubahan sedikit.
III.3.2 Pembatubaraan Geokimia
Proses pembatubaraan geokimia adalah perkembangan gambut menjadi lignit, sub-
bituminous, bituminous, antrasit, sampai metaantrasit. Tahapan yang dicapai oleh
batubara dalam deret pembatubaraan ini disebut sebagai peringkat batubara (Tabel
III.1). Pada tahap pembatubaraan ini yang berperan adalah temperatur, waktu dan
tekanan yang mendukung perubahan-perubahan struktur kimia dan físika.
Tekanan yang bertambah besar pada proses pembatubaraan akan menyebabkan
penurunan porositas dan anisotropi ini pararel dengan bidang pelapisan dan bisa
dikorelasikan dengan tekanan overburden. Selanjutnya derajat pembatubaraan
ditentukan oleh perubahan komposisi kimianya (C, H, O dan VM) atau dengan sifat
optis (reflektansi Vitrinit).
III-13
Selama tahap hard brown coal (lignit-sub bituminous) maka sisa terakhir dari
selulose dan lignin ditransformasikan menjadi material humik. Asam humik
terkondensasi menjadi molekul yang lebih besar dan kehilangan sifat keasamannya
membentuk humin yang tak larut dalam alkali.
Perubahan paling menonjol pada batas antara peringkat sub bituminous C dan B
adalah perubahan petrografis yang disebabkan oleh proses gelifikasi geokimia
(vitrinisasi) dari substansi humik yang berubah menjadi hitam mengkilap.
Pada tahap antrasit di cirikan oleh turunnya hidrogen dan perbandingan H terhadap C
secara drastis, bertambah kuatnya reflektivitas dan anisotropisme.
III.3.3 Penyebab Pembatubaraan
Faktor-faktor biokimia merupakan bagian yang penting pada petunjuk awal dari
proses pembatubaraan. Dekomposisi mikrobiologi, hanya dapat berlangsung selama
jamur dan bakteri mampu menjadi perusak material. Padahal aktifitas jamur ini hanya
berlangsung pada peatigenic layer (kurang dari 50 cm dari permukaan). Pembentukan
lignit tidak dapat dipengaruhi oleh organisme lain. Efek perlakuan bakteri ini
berkurang dengan cepat bila kedalaman bertambah. Pada kedalaman yang ekstrim
proses dekomposisi bakterial tidak akan memungkinkan lagi. Proses pembatubaraan
selanjutnya diakibatkan karena adanya kenaikan temperatur dan tekanan serta
lamanya proses ini berlangsung (teichmueller dan teichmueller,1975).
III.3.3.1 Pengaruh temperatur
Bukti adanya pengaruh temperatur terhadap pembatubaran dapat diamati pada
batubara yang mengalami kontak metamorfisme. Kenaikan peringkat batubara juga
dapat diamati pada kedalaman yang lebih besar (Hukum Hilt) yang disebabkan oleh
kenaikan temperatur akibat bertambahnya kedalaman. Menurut Hilt, kecepatan
III-14
peningkatan peringkat bergantung pada gradien geothermal. Pergerakan tektonik
yang cepat sepanjang sesar mungkin menyebabkan pembatubaraan setempat akibat
panas gesekan, namun umumnya pergerakan ini lambat sehingga panas gesek tersebut
habis sebelum mempengaruhi batubara.
Tabel III.1. Peringkat (rank) batubara (Stach et. Al., 1982)
RANK German USA
Refl. Rmoil
Vol.M d.a.f %
Carbon d.a.f
Vitrinite Cal. Value
Btu/Lb (Kcal/Kg)
Applicability of Different Rank Parameter
Torf Peat
Weich-
Matt-
Glanz-
Flamm-
Gasflamm-
Gas-
Fett-
Ess-
Mager-
Anthrazit
Meta-Anthr
S t e I n k o h l e
B r a u n k o h l e
Lignite
Sub- Bit.
C B A
C B
A H i g h V o l . B i t u m i n o u s
Medium Volatile
Bituminous
Low Volatile
Bituminous
Semi Anthracite
Anthracite
Meta Anthracite
0.2
0.3
0.4
0.5 0.6 0.7 0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8
2.0
3.0 4.0
ca.60
ca.71
ca.77
ca.87
ca.91
ca.75
ca.25
ca.8-10
Bed Moisture
ca.35 7200 (4000)
9900 (5500)
12600 (7000)
15500 (8650)
15500 (8650)
B e d M o i s t u r e ( a s h - f r e e )
C a l o r i f i c V a l u e ( m o i s t a s h - f r e e )
H y d r o g e n ( d . a . f )
V o l a t i l e m a t t e r ( d r y a s h - f r e e )
C a r b o n ( d r y a s h - f r e e )
R e f l e c t a n c e o f v i t r i n i t e
M o i s t X - r a y
D i f f r 4
8
12
16
20
24
28
32
36
40
44
48
52
56
60
64
68
III-15
Gambar III.3. Peningkatan tahap pembatubaraan dengan bertambahnya kedalaman
dan hubungannya dengan parameter-parameter kualitas batubara
(Teichmueller dan Teichmueller,1975)
III.3.3.2 Pengaruh Waktu
Pengaruh waktu dalam pembatubaraan dijelaskan oleh Teichmueller dan
Teichmueller (1975) berdasarkan hasil penyelidikannya terhadap batubara di Gulf
Coast, Lousianan dan Jerman barat daya. Dari hasil analisis terhadap contoh dari
kedua daerah tersebut yang di ambil pada kedalaman yang sama ternyata memberikan
peringkat yang bebeda karena batubara yang pertama berumur miosen atas
sedangkan yang kedua berumur karbon.
III.3.3.3 Pengaruh tekanan
Pengaruh tekanan akibat lapisan tanah penutup merupakan salah satu faktor penyebab
pembatubaraan. Tekanan mempunyai efek pada kekompakan sehingga dengan
sendirinya juga kadar air batubara menjadi berkurang.
III-16
III.4 Maseral dalam Batubara
Material organik pembentuk batubara disebut maseral dan dapat dianalogikan dengan
mineral sebagai pembentuk batuan. Pengelompokan maseral ditentukan pada
kenampakan optis di bawah mikroskop berdasarkan perbedaan morfologi, ukuran,
relief, struktur dalam, komposisi kimia, warna pantulan, intensitas pantulan, dan
tingkat pembatubaraan. Heterogenitas maseral ini dikelompokkan menjadi tiga
kelompok maseral yang terbagi lagi menjadi beberapa sub kelompok maseral,
masing-masing sub kelompok maseral terdiri atas maseral-maseral. Dasar klasifikasi
maseral yang digunakan dalam tulisan ini adalah International Comite for Coal
Petrology (1985) (Tabel III.3).
III.4.1 Grup Maseral Huminit/Vitrinit
Grup ini berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung serat kayu seperti batang,
dahan, akar, dan serat daun. Huminit merupakan bahan utama penyusun batubara
Indonesia (>80%). Terdiri dari humotelinit yang berasal dari jaringan tumbuhan
phytoclass, humodetrinit yang berupa detritus berasal dari pecahan huminit lainnya,
dan humokolinit yang terbentuk dari jaringan berstruktur koloid. Di bawah
mikroskop grup maseral ini memberikan warna pantul yang lebih terang daripada
kelompok liptinit, namun lebih gelap daripada kelompok inertinit, berwarna mulai
dari abu-abu tua sampai abu-abu sangat muda. Kenampakan warna di bawah
mikroskop tergantung dari tingkat ubahannya., semakin tinggi ubahannya maka
warnanya akan lebih terang. Grup huminit mengandung unsur hidrogen dan zat
terbang yang presentasenya berada di antara inertrinit dan liptinit.
III.4.2 Grup Maseral Liptinit
Grup ini berasal dari jenis tanaman tingkat rendah seperti spora dan ganggang serta
bagian kecil dari tumbuhan seperti kutikula, resin dan lain-lain. Terdiri dari 9 jenis
III-17
maseral yaitu alginit (alga), sporinit (spora dan butiran pollen), kutinit (kutikula),
resinit (resin), eksudatinit (maseral sekunder yang terbentuk pada awal peringkat
bituminous), suberinit (serat gabus), liptodetrinit (berasal dari detrius liptinit lainnya),
fluorinit, dan bituminit.
Kenampakan di bawah mikroskop berwarna kuning muda hingga kuning tua di
bawah sinar fluoresen, sedangkan di bawah sinar biasa kelompok ini terlihat
berwarna abu-abu hingga gelap. Grup liptinit mempunyai kandungan hidrogen paling
banyak di antara dua grup maseral lainnya.
Tabel III.2. Klasifikasi maseral menurut ICCP (1985).
III-18
III.4.3 Grup Maseral Inertinit
Grup maseral ini diduga berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar (charcoal) dan
sebagian dari hasil proses oksidasi maseral lainnya yang disebabkan oleh jamur dan
bakteri.
III.4.4 Proses pembatubaraan pada grup maseral
Selama proses pembatubaraan, grup maseral vitrinit dan liptinit akan mengalami
pengkayaan kandungan karbon Gambar III.4. Dengan meningkatnya pembatubaraan,
oksigen dan zat-zat terbang berkurang dan kandungan karbon meningkat. Hidrogen
bertambah dalam jumlah yang sedikit, kemudian berkurang setelah melewati tahap
coking coal. Proses aromatisasi akan meningkat secara progresif dan fraksi-frsaksi
non aromatik akan berkurang.
Proses pembatubaraan pada maseral vitrinit/huminit berlangsung dalam empat tahap
(Teichmueller, 1982 dalam Bustin et al., 1983) keempat tahap yang dilalui oleh
maseral vitrinit/huminit dalam proses pembatubaraan tersebut adalah :
1. Selama tahap high volatile bituminous, yang berhubungan dengan tingkat
kematangan bahan-bahan organik.
2. Pada tahap medium volatile bituminous yang berhubungan dengan reduksi
oksigen dan awal pembentukan metana.
3. Batas antara semiantrasit dan antrasit yang berhubungan dengan pelepasan
hidrogen dan metana dalam jumlah besar.
4. Batas antara antrasit dengan metaantrasit yang berhubungan dengan pelepasan
hidrogen lebih lanjut dan meningkatnya aromatisasi.
Sifat-sifat petrografis maseal huminit/vitrinit berubah secara teratur dengan
meningkatnya proses pembatubaraan. Di bawah sinar pantul, reflektansinya akan
meningkat, sedangkan pada sinar tembus akan berwarna gelap hingga opak. Struktur
III-19
sel dan jaringan pada tahap awal akan mudah dikenali. Pada tahap low volatile
bituminous, hanya sedikit struktur sel yang dapat dikenali dan pada tahap semi
antrasit-antrasit, struktur sel hanya dapat dikenali dengan pengetsaan.
Liptinit baru menunjukan perubahan setelah melewati tahap sub bituminous dengan
adanya reduksi terhadap zat-zat terbang dan kenaikan kandungan karbon. Pada tahap
medium volatile bituminous, liptinit mengalami proses pembatubaraan kedua akibat
reduksi hidrogen dan zat-zat terbang. Di bawah sinar pantul, liptinit lebih gelap
daripada maseral huminit/vitrinit pada peringkat rendah. Dengan meningkatnya
pembatubaran, liptinit berkembang menjadi lebih terang hingga kadang-kadang sukar
dibedakan dengan vitrinit pada peringkat yang tinggi. Di bawah sinar ultra violet
intensitas total fluoresen liptinit menurun secara progresif dengan meningkatnya
kematangan. Pada batubara low volatile bituminous, intensitas fluoresen liptinit
sangat lemah. Di bawah sinar tembus liptinit pada awalnya berwarna kuning muda,
kemudian berkembang menjadi lebih gelap hingga akhirnya dapat menjadi opak.
Gambar III.4. Diagram Van Krevelen yang menunjukkan perbandingan oksigen dan
hidrogen ketiga grup maseral dengan karbon (Tissot dan Welte, 1978.
Sumber, Bustin et al., 1983)
III-20
III.5 Indikator Fasies Batubara
III.5.1 Pengawetan Struktur Jeringan dan Derajat Gelifikasi
Diessel (1992) telah memperkenalkan sebuah diagram dengan menggunakan dua
parameter utama yaitu Tissue Presevation (TPI) dan Gelification Index (GI). Kedua
parameter tersebut dapat dihitung dengan menggunakan rumusan yang
dimodifikasikan untuk batubara rank rendah sebagai berikut:
TPI menunjukkan perbandingan struktur jaringan yang masih terjaga terhadap
struktur jaringan yang sudah terdekomposisi. GI merupakan perbandingan komponen
yang tergelifikasi terhadap komponen yang terfusinitkan. TPI juga dapat
menunjukkan tingkat humifikasi gambut dalam proses penggambutan. Sementara itu
GI berhubungan dengan kontinuitas kelembaban gambut. Lamberson et.al. (1991)
melakukan modifikasi terhadap GI bahwa disamping menunjukkan tingkat gelifikasi
juga merupakan kebalikan indeks oksidasi.
Dalam penelitian ini akan digunakan modifikasi yang telah dilakukan oleh
Lamberson et.al. (1991). Disamping itu modifikasi tambahan juga diperlukan untuk
menyesuaikan dengan batubara daerah penelitian yang mempunyai rank rendah (sub-
bituminous).
Harga TPI > menunjukkan batubara lebih cenderung berasal dari tumbuhan kayu.
Dalam kasus TPI < 1 maka huminit akan disertai oleh cutinit yang biasanya sangat
cepat terhancurkan oleh air laut. Kombinasi antara kandungan densinit/detrogelinit
dan kutinit yang banyak dengan kandungan telinit dan telocolinit yang sedikit
rinitInertoitDesmocolinrinitVitroitFuitSemifuinitPseudovitrtTelocoliniTelinitTPI
detdetsinsin
++++++
=
)(min
macrinitkecualiInertinitnitGeloinertiitHu
GI−
+=
III-21
memberikan gambaran bahwa batubara berasal dari serat lunak tumbuhan perdu pada
suatu lingkungan marsh. Harga TPI yang tinggi mengidentifikasikan suatu keadaan
banyaknya jaringan tumbuhan terawetkan dengan baik. Sementara itu harga TPI yang
tinggi juga dapat menggambarkan tingginya kandungan maseral semifusinit dan
fusinit yang merupakan hasil dari proses oksidasi menerus atau pembakaran.
Gelifikasi akan memberikan tiga gambaran utama yaitu:
1. Tingkat gelifikasi menunjukkan basah/keringnya kondisi pembentukan
batubara. Hal ini terjadi karena gelifikasi membutuhkan keadaan lembab yang
menerus.
2. Tingkat gelifikasi merupakan indikator pH relatif karena efektivitas aktivitas
mikroba membutuhkan keadaan asam yang rendah.
3. Tingkat gelifikasi dapat juga menjadi ukuran proses diagenesa selama
gelifikasi biokimia, sebagian bagian dari humifikasi singenetik yang
kemudian digantikan oleh gelifikasi epigenetik.
Harga GI juga akan mengidentifikasikan tingkat oksidasi. Harga GI yang berkurang
mengidentifikasikan kenaikan tingkat oksidasi. Kombinasi TPI dan GI juga akan
menunjukkan tingkat dekomposisi. Harga TPI dan GI yang tinggi (>1) akan
mengidentifikasikan tingkat dekomposisi aerobik yang rendah. Sedangkan tingkat
dekomposisi anaerobik atau dekomposisi aerobik yang terbatas atau menengah
dicirikan dengan harga GI yang tinggi dan TPI yang rendah.
III-22
Gambar III.5. Diagram pengawetan struktur jaringan dan tingkat gelifikasi
(Lamberson, 1991)
III.5.2 Pengaruh Airtanah Terhadap Gambut dan Batubara
Salah satu parameter untuk pembentukan suatu lahan gambut adalah kondisi tingkat
pengaruh pengaruh airtanah yang direpresentasikan melalui nilai GWI (groundwater
index). Pengaruh ini berhubungan dengan kontinuitas air hujan dan suplai nutrisi/ion
yang terdapat dalam air (Kulczynski, 1949; Grosse-Brauckmann, 1979; Tallis, 1983;
Moore, 1987 dalam Calder et.al, 1991).
Faktor-faktor utama pengaruh airtanah terhadap pembentukan maseral vitrinit di
dalam proses degradasi gambut adalah:
III-23
1. Kerentanan beberapa jaringan tumbuhan terhadap proses penghancuran
kondisi fisik (Teichmuller, 1989).
2. Ketahanan jaringan tumbuhan proses penghancuran biokimia (gelifikasi).
3. Terbukanya jaringan tumbuhan terhadap kondisi yang baik didalam proses
gelifikasi biokimia (Teichmuller, 1989).
Pada lingkungan rawa yang berkembang menjadi kondisi rawa di bawah pengaruh air
tanah yang semakin berkurang akan menghasilkan gambut yang lebih baik (Grosse-
Brauchmann, 1979; Tallir, 1983; Moore, 1987; dalam Calder et.al, 1991). Bukti
kondisi ini dapat terlihat pada lapisan batubara yang menunjukkan perubahan-
perubahan tendensi umum secara vertikal. Perubahan tendensi umum tersebut
diantaranya adalah penurunan kadar abu dan sulfur, kenaikan pengawetan jaringan
tumbuhan, penurunan gelifikasi biokimia, dan penurunan maseral liptinit yang
berasal dari lingkungan air (Calder et.al, 1991).
Perbandingan antara substansi yang tergelifikasi kuat seperti gelinit dan korpohuminit
dengan yang tergelifikasi lemah seperti humotelinit dan humodtrinit digunakan untuk
merefleksikan derajat gelifikasi. Derajat gelifikasi tergantung pada persediaan air dan
pH (Calder et.al, 1991). Gelokolinit adalah produk gelifikasi biokimia dari lignin
(Teichuller, 1982) yang terdapat dalam tumbuhan berkayu. Sedangkan detrogelinit
dan densinit adalah produk dari pohon-pohonan perdu yang dikenal kaya akan
selulose (Teichmuller, 1989).
III-24
Gambar III.6. Diagram pengaruh air tanah dan derajat vegetasi dalam pembentukan
gambut (Calder, 1991).
Pada hutan gambut resen oleh Esterle et.al (1989) menemukan bahwa kandungan
selulose ke arah permukaan gambut semakin naik walaupun menurut Casagrande
(1985) selulose seharusnya berkurang akibat pengahancuran secara aerobik.
Kebalikan ini terjadi dimana jaringan yang tergelifikasi kuat adalah juga merupakan
produk bahan asal yang memang lebih banyak tumbuhan perdu sehingga semakin ke
atas semakin tinggi kandungan selulosenya. Formula yang telah dimodifikasi untuk
batubara rank rendah yang menunjukkan perbandingan substansi tergelifikasi tersebut
adalah sebagai berikut:
itdesmokolinttelokoliniteliniteralitcorpokolintgelokoliniGWI
++++
=min
III-25
Tumbuhan asal yang kaya dengan lignin akan diubah menjadi batubara dengan
kandungan humotelinit, fusinit, dan semifusinit yang tinggi. Dalam kondisi ini
suberinit dan resinit adalah maseral penyerta. Tumbuhan asal perdu melalui proses
pembatubaraan akan membentuk batubara yang kaya akan detrogelinit, inertodetrinit,
dan liptodetrinit (Teichmuller, 1989). Kondisi subaquatik seharusnya akan
diindikasikan oleh kehadiran maseral alginit sporinit dan kutinit mempunyai
distribusi yang sama pada batubara yang terbentuk dari tumbuhan bawah air.
Dalam penelitian ini diinterpretasikan maseral detrogelinit merupakan hasil gelifikasi
dari maseral densinit, sementara maseral telogelinit merupakan hasil gelifikasi dari
eu-ulminit. Dengan demikian harga VI dapat ditentukan dengan formula yang telah
dimodifikasikan untuk batubara rank rendah sebagai berikut :
III.6 Gas dalam Batubara
III.6.1. Batubara sebagai asal gas metana (source gas metana)
Coalbed Methane (Gas Metana Batubara) adalah “an inherent by product gas” yang
dihasilkan dari proses alami, gas metana (CH4) yang terperangkap dan terserap di
dalam permukaan internal batubara (pori-pori batubara) selama masa pembatubaraan
(coalification) (USGS, 2006). Proses Pembatubaraan sebagai proses transformasi dari
gambut menjadi batubara ditandai oleh menurunnya proses biokimia. Proses yang
mulai berperan proses fisikakimia yang diakibatkan tekanan overburden dan gradien
temperatur. Selama proses, gas (terutama gas metana) terbentuk oleh proses biogenik
(dekomposisi material organik) dan proses termogenik (peningkatan temperatur). Gas
Metana (CH4
) terbentuk pada awalnya dengan Biogenic Process yang selanjutnya
dipengaruhi oleh Thermogenic Process..
cutinitsporinitrinitliptorinitinertoitdesmokolinitresuberinititsemifuitfuttelokolinitelinitVI
+++++++++
=detdet
sinsinsin
III-26
Lignite Sub-Bituminous GraphiteAnthraciteBituminous
Modified from Hunt(1979)
200 C 1500 C 2000 C
Biogenic Methane
Thermally Derived Methane
Metana dapat terbentuk dalam 2 proses (Gambar III.7), yaitu :
• Metana Termogenik (Thermogenic methane), yaitu gas metana yang terbentuk
selama proses pembatubaraan, akibat kenaikan suhu dan tekanan.
• Metana Biogenik (microbial methane), yaitu gas metana yang terbentuk akibat
aktifitas mikrobiologi. Terbentuk pada fase awal proses pembatubaraan, dengan
temperatur rendah.
Gambar III.7. Hubungan antara Gas in Place dengan rank batubara (USGS, 2006)
Sumber karbon dari metana termogenik adalah murni dari batubara, sedangkan
metana biogenik dapat berasal dari fosil atau biomass masa kini. Umumnya
kedalaman adalah antara 1500 feet ( 450 m) sampai dengan 4500 feet ( 1400 m).
Gas biogenik dihasilkan akibat aktifitas bakteri di dalam CO2, dimana metabolisme
methanogens (bakteri anaeorobik) menggunakan H2 dan CO2
untuk mengkonversi
acetate menjadi metana.
Mekanisme hidrologi juga merangsang pertumbuhan aktifitas bakteri di dalam air
tanah yang melewati permukaan batubara. Kemudian unsur oksigen dalam air
mendukung proses aerobik bakteri. Ketika oksigen, nitrat, oksida dan sulfat dalam
airtanah terkonsumsi, maka proses anaerobik bakteri mulai tumbuh.
III-27
Gambar III.8. Pembentukan metana (USGS, 2006)
Potensi pembentukan metana secara langsung akan berkaitan dengan komposisi
maseral, maseral yang mengandung banyak hidrogen akan lebih banyak
menghasilkan metana. Sebagai contoh berdasarkan data dari Levine (1992), batubara
dengan komposisi yang hampir seluruhnya vitrinit menghasilkan sekitar 4700 scf/ton
(147 cm3/gram) dengan reflektansi vitrinit antara 0,5 %-2%. Batubara dengan
komposisi 90% vitrinit dan 10% sporinit akan menghasilkan 5900 scf/ton ( 183
cm3
/g) dengan reflektansi vitrinit yang sama. Estimasi ini adalah berdasarkan pada
asumsi bahwa hanya metana dan karbondioksida yang dihasilkan selama proses
pembatubaraan. Batubara yang kaya akan inertrinit tidak akan menghasilkan metana
yang banyak karena inertrinit relatif berpotensi kecil untuk menghasilkan
hidrokarbon.
Maseral vitrinit yang terdapat dalam batubara peringkat rendah dapat dengan mudah
terhidrogenisasi, sedangkan untuk batubara peringkat tinggi harus melalui proses
khusus. Maseral liptinit cocok untuk proses hidrogenisasi karena liptinit mempunyai
III-28
kandungan hidrogen yang tinggi. Maseral Inertinit dalam hampir semua batubara
tidak cocok untuk proses hidrogenisasi karena kandungan hidrogen yang rendah.
Berdasarkan cara eksploitasinya, gas metana batubara dibagi menjadi:
1. Coalbed methane (CBM): adalah gas metana yang dihasilkan melalui lubang bor
pada lapisan batubara yang belum ditambang.
2. Coalseam methane (CSM): adalah gas metana yang dihasilkan dari tambang
batubara aktif.
3. Coalmine methane (CMM): adalah gas metana yang keluar atau dihasilkan dari
tambang yang telah ditinggalkan.
III.6.2. Batubara sebagai penyimpan gas (reservoir gas)
Kemampuan dari suatu lapisan batubara dalam menyimpan gas sangat bervariasi,
yang merupakan fungsi dari:
1. Temperatur dan tekanan reservoir
2. Komposisi dan sifat-sifat batubara
3. Struktur micro-pore dan sifat permukaan dari batubara
4. Sifat molekuler dari gas yang terserap/tersimpan.
Menurut Saghafi (2001), penentuan karakter batubara sebagai resevoir gas tergantung
pada beberapa parameter yaitu:
1. Batubara sebagai penyimpan gas
a. Kandungan gas (gas content)
b. Sorption isotherm
c. porositas
2. Batubara dalam mengalirkan gas
a. difusitas
b. permeabilitas
III-29
Sedangkan porositas batubara itu sendiri dibagi 2 jenis, yaitu:
1. Pori mikro (micropores) yaitu matrik batubara dimana terdapat permukaan
internal.
2. Pori makro (macropores) yaitu sistem rekahan/kekar (cleats) batubara.
Sebagian besar pori batubara (kurang lebih 85%) merupakan matrik (pori mikro)
yang mempunyai permukaan internal yang luas. Dibandingkan dengan reservoir gas
konvensional batubara dapat menyimpan gas yang lebih besar karena disamping gas
bebas yang berada dalam pori, batubara juga menyerap gas dalam permukaan internal
pori mikro (Gambar III.9). Batubara yang terdiri dari maseral-maseral berfungsi
sebagai source dan sekaligus reservoir. Metana terperangkap dalam batubara secara
adsorpsi yaitu suatu proses dimana molekul gas dikelilingi oleh arus listrik lemah dan
terikat pada molekul organik solid pembentuk batubara. Terikatnya molekul gas
dalam permukaan internal matrik adalah karena beberapa gaya ikat berikut ini:
1. gaya dispersi (Ikatan Van der Walls)
2. gaya repulsi
3. gaya electrostatic (ikatan dipole-dipole)
4. ikatan kimia
Gas diserap dalam permukaan internal yang luas, walaupun volume pori sangat kecil,
namun permukaan pori dalam batubara sangat luas. Untuk beberapa batubara
permukaan internal dapat mencapai ratusan m2
per gram-nya, sehingga dapat
menyerap gas yang banyak. Banyaknya gas yang diserap adalah fungsi dari tekanan
gas terhadap volume pori. Dan total volume gas yang diserap tergantung pada pori-
pori yang belum terisi (bebas) (Gambar III.10) . Hubungan antara jumlah gas yang
diserap dan tekanan pada suatu temperatur disebut sebagai adsorbtion isotherm
(Gambar III.11), dan ini merupakan dasar dari sifat dan karakteristik batubara sebagai
penyimpan gas.
III-30
Gambar III.9. Porositas dan penyerapan gas pada permukaan internal (matrik)
batubara (Saghafi, 2001)
Gambar III.10. Perubahan porositas berdasarkan Rank (Faiz et.al, 2004)
Jika tekanan gas dalam batubara yang insitu tiba-tiba menurun sesuai dengan tekanan
udara luar, maka gas akan keluar dari batubara sampai mencapai kesetimbangan baru
antara tekanan dan kandungan gas. Waktu yang dibutuhkan untuk semua gas keluar
sehingga mencapai kesetimbangan tergantung dari karakteristik batubara dalam
mengalirkan gas.
III-31
Gambar III.11. Sorption Isotherm CH4
(disederhanakan) untuk berbagai tingkatan
Rank (Kim, 1977)
Gambar III.12. Hubungan antara jumlah gas dengan rank batubara (USGS, 2006)
III-32
Gambar III.13. Hubungan antara batubara sebagai penghasil gas dan sebagai
penyimpan gas (dimodifikasi dari Rice, 1993; Sumber: USGS,
2006)
Gas terperangkap dalam batubara bersama air pada sistem rekahan batubara sebagai
permeabilitas primer. Rekahan-rekahan tersebut terbentuk bersamaan dengan proses
pembatubaraan (Syngenetic). Rekahan tersebut disebut cleats, cleats terbentuk pada
kondisi regangan akibat memadatnya matrik batubara selama proses dewatering dan
devolatilization. Cleats tersebut umumnya orthogonal dan hampir tegak lurus dengan
perlapisan. Selain rekahan syngenetic, rekahan dapat terjadi secara post-genetic akibat
pengaruh tektonik.
Secara geometri rekahan pada batubara dibagi 2 :
1. Rekahan yang bersifat lebih menerus disebut face cleats sebagai rekahan
primer.
2. Rekahan yang kurang menerus disebut butt cleats
III-33
Gambar III.14. Diagram ilustrasi cleats didalam batubara (USGS dan Schlumberger,
2006).
Komposisi maseral akan menentukan jumlah gas yang diserap. Maseral yang
mempunyai permukaan internal yang luas, dapat menyerap mencapai ratusan m2
per
gram-nya. Grup maseral vitrinit dan atau inertinit pada umumnya mempunyai
proporsi yang besar dalam batubara, sedangkan liptinit mempunyai proporsi yang
kecil. Untuk itu beberapa ahli telah melakukan penelitian dalam membandingkan
banyaknya kandungan gas metana yang dapat diserap antara maseral Vitrinit dengan
Inertinit, seperti Tabel III.8. Batubara Indonesia dan Buanajaya pada khususnya
mempunyai komponen vitrinit yang sangat besar di bandingkan inertinit (<2%)
maupun liptinit (<2%), sehingga dalam studi ini lebih diarahkan ke hubungan
parameter-parameter dengan prosentase vitrinit, sedangkan inertinit dan liptinit
digunakan sebagai data pembanding saja.
III-34
Tabel III.3. Perbandingan banyaknya kandungan gas metana antara maseral vitrinit
dan inertinit menurut beberapa peneliti (Faiz et.al, 2004)
III.6.3. Pengukuran Kandungan Gas
Ada dua cara untuk mengestimasi jumlah kandungan gas di dalam lapisan batubara,
yaitu:
1. Metoda tidak langsung, dimana data desorption (pengukuran gas yang dapat
diserap oleh suatu volume batubara) tidak tersedia, sehingga data storage
capacity, coal rank dan kedalaman reservoir yang digunakan untuk mengestimasi
kandungan gas.
2. Metoda langsung, menggunakan batubara yang langsung diambil dari inti bor dan
dimasukkan ke dalam canister yang tertutup rapat untuk kemudian dilakukan
pengukuran, hingga diperoleh volume gas yang dapat diserap oleh sampel
batubara tersebut.
III-35
Metoda pertama untuk menghitung jumlah maksimum gas yang dapat diserap oleh
suatu batubara, dilakukan metoda adsorption isotherm. Batubara yang telah
dihancurkan, dimasukkan kedalam suatu tabung dan kemudian gas metana
diinjeksikan ke dalam tabung tersebut hingga jenuh untuk suatu tekanan tertentu.
Jumlah gas yang diinjeksikan tersebut merupakan jumlah maksimum gas yang dapat
diserap.
Metoda kedua yaitu gas desorption adalah cara untuk menentukan jumlah gas yang
terkandung didalam suatu sampel batubara. Peralatan yang dibutuhkan dalam uji ini
adalah sebagai berikut:
1. Canister, tempat untuk meletakkan sampel (core) yang baru diambil dari
pemboran. Pada bagian atas canister ini terdapat gas release valve dan lubang
kecil untuk mengukur temperatur di bagian dalam. Pada bagian bawah, ditutup
oleh plug, sehingga tidak ada gas yang dapat keluar dari canister
2. Water bath, berguna untuk menyesuaikan temperatur (memanaskan) sampel
sehingga kondisinya akan sama dengan temperatur aktual dibawah permukaan
(reservoir). Water bath ini diisi dengan air hingga menutupi canister, dan untuk
mengontrol temperaturnya digunakan pemanas (water heater), termometer dan
pengaduk air (circulator).
3. Pengukur waktu, barometer tekanan, dan pengukur temperatur lingkungan
4. Thermometer digital
5. Inverted graduated cylinder & quick release connector
Setelah dilakukan uji gas desorption, perlu juga dihitung residual gas, yaitu jumlah
gas yang tertinggal di dalam sampel batubara walaupun sudah dilakukan uji gas
desorption. Residual gas ini diukur dengan menghancurkan 200 gram sampel
batubara yang telah diukur melalui uji gas desorpsi di dalam jar mill, kemudian
diukur tekanan dan jumlah gasnya.