hubungan frekuensi konsumsi bahan makanan …eprints.ums.ac.id/55364/11/naskah publikasi.pdf · 1...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN FREKUENSI KONSUMSI BAHAN MAKANAN SUMBER
GLUTEN DAN KASEIN DENGAN PERILAKU AUTISTIK ANAK AUTIS
USIA 5-12 TAHUN
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada
Jurusan Ilmu Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan
Oleh:
HAJAR TARWIYAH
J 310 120 027
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
i
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa naskah publikasi ini adalah
hasil pekerjaan saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan
tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara
tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan
saya di atas, maka akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.
Surakarta, 04 Mei 2017
Penulis
HAJAR TARWIYAH
1
HUBUNGAN FREKUENSI KONSUMSI BAHAN MAKANAN SUMBER
GLUTEN DAN KASEIN DENGAN PERILAKU AUTISTIK ANAK AUTIS
USIA 5-12 TAHUN
Abstrak
Pendahuluan : Autis adalah suatu kondisi yang mempengaruhi kerja otak anak,
yang berakibat tidak dapat berkomukasi dan adanya gangguan perilaku.
Makanan merupakan satu hal yang harus diperhatikan bagi penyandang autis,
karena pengaturan makan dapat meringankan kondisi anak. Menghindari
makanan yang mengandung gluten maupun kasein merupakan salah satu upaya
mengurangi perilaku autis.
Tujuan : Mengetahui hubungan frekuensi konsumsi bahan makanan sumber
gluten dan kasein dengan perilaku autistik anak autis usia 5 – 12 tahun.
Metode penelitian : Penelitian ini bersifat observasional, dengan rancangan
cross sectional. Sampel yang digunakan sebanyak 26 anak yang memenuhi
kriteria inklusi. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan pada tahun 2016, dengan
lokasi penelitian yang bertempat di Mutiara Center, Pusat Layanan Autis
Surakarta dan Mitra Ananda Karanganyar. Data skor pola konsumsi gluten dan
kasein diperoleh dengan metode FFQ yang telah dimodifikasi, sedangkan data
perilaku autistik diperoleh dengan kuisioner pengamatan perilaku yang diisi oleh
terapis. Uji statistik menggunakan Pearson Product Moment.
Hasil : Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan yang bermakna
antara frekuensi konsumsi bahan makanan sumber gluten dan kasein dengan
perilaku autistik anak autis usia 5 – 12 tahun (p=0,005). Distribusi skor frekuensi
konsumsi antara 50 – 100 sebesar 65,4% dengan penurunan perilaku autis
sebesar 73%. Makanan yang paling sering dikonsumsi adalah wafer, mie dan es
krim dengan rata-rata konsumsi antara 1 – 3x/ minggu.
Kesimpulan : Ada hubungan antara frekuensi konsumsi bahan makanan sumber
gluten dan kasein dengan perilaku autistik anak autis usia 5 – 12 tahun.
Kata kunci : Anak autis, gluten, kasein, perilaku autistik.
Abstract
Introduction : Autism is one of conditions that affects how brain works, which
causes problem to communicate and the presence of nuisance behaviour. Food
should be carefully choosen for autistic children, because controling the diet can
improve the condition of the child. Avoiding foods that contain gluten or casein
is one of efforts to reduce autistic behaviours.
Objective : to know the relationship between frequency of gluten and casein
consumption with autistic behavior in autistic children aged 5 – 12 years old.
Research methods : The research was an observational , using cross-sectional
design. Research subjects were 26 children who met the criteria for inclusion.
The research was carried out for four months in the year 2016, with the location
of the studies in Mutiara Center, Surakarta Autism Service Center, and Mitra
Ananda of Karanganyar. Consumption patterns of gluten and casein score data
2
were obtained using FFQ method which have been modified, while the autistic
behavioral data were obtained through observation of behaviour using
questionnaire filled in by therapists. Statistic test used pearson product moment.
Result : Result of the bivariate analysis showed that there was relationship
between food consumption frequency sources of gluten and casein with autistic
behaviour of autistic children aged 5 – 12 years old (p=0,005). Distribution of
consumption frequency between score 50 – 100 was 65.4% with decrease in
autistic behavior amounted to 73%. The most commonly consumed foods were
wafer, ice cream and noodles with an average consumption between 1 –
2x/week.
Conclusion : There was correlation between frequency of gluten and casein
consumption with autistic behaviour in autistic children aged 5 – 12 years old.
Keyword : Autism children, gluten, casein, autistic behaviour.
1. PENDAHULUAN
Autisme adalah gangguan perkembangan otak pada anak yang berakibat
tidak dapat berkomunikasi dan tidak dapat mengekspresikan perasaan dan
keinginannya sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu (Sastra,
2011). Menurut Global Prevalence of Autism and Other Pervasive Developmental
Disorders disebutkan rata-rata kejadian autistic disorder di Asia Tenggara
khususnya Indonesia adalah sebesar 11.7/ 10.000 anak (Elsabbagh, dkk, 2012).
Permasalahan pada penyandang autisme dibutuhkan penanganan oleh tim
ahli dan beberapa terapi yang dapat dilakukan yaitu terapi wicara, terapi
biomedik, terapi perilaku dan terapi makanan (Rahayu, 2014). Makanan
merupakan satu hal yang harus diperhatikan bagi penyandang autis, karena
pengaturan makan dan gizi dapat meringankan kondisi anak. Pengaturan diet yang
disarankan oleh para ahli adalah diet bebas gluten dan bebas kasein
(Kusumayanti, 2011).
Diet GFCF merupakan diet eliminasi dengan menghilangkan semua jenis
makanan yang mengandung gluten (protein yang terkandung pada gandum) dan
casein (protein yang terkandung pada susu) dalam menu makanan (National
Institute of Mental Healt, 2010).
Menghindari makanan yang mengandung gluten maupun kasein merupakan
salah satu upaya mengurangi perilaku autis. Gluten dan kasein merupakan peptida
yang mampu mempengaruhi neurotransmitter di susunan saraf pusat. Gluten dan
3
kasein mampu menembus sawar darah otak akibat terabsorbsi dari usus yang
mengalami defisiensi enzim sulfotransfase. Gluten dan kasein yang beredar di
sirkulasi menduduki reseptor opioid, menyebabkan serabut saraf pusat terganggu.
Serabut saraf pusat ini mengatur fungsi persepsi, kognitif, emosi dan tingkah laku.
Sehingga, mengakibatkan penderita ASD akan mengalami hiperaktif atau terlalu
senang akibat diet gluten dan kasein yang tidak terkontrol (Ginting, dkk, 2004).
Oleh karena itu pada anak ASD perlu dipertimbangkan konsumsi makanan yang
mengandung gluten dan kasein.
Hasil survei yang dilakukan Knivsberg et al (2003), melaporkan bahwa
adanya perubahan positif pada perilaku autis setelah melakukan diet bebas gluten
dan bebas kasein. Pada beberapa lembaga atau sekolah autis di kota Solo, orang
tua anak berkebutuhan khusus sudah membatasi konsumsi gluten dan kasein sejak
mengetahui bahwa sang anak memiliki pantangan dalam makan.
Berdasarkan dengan yang telah diuraikan diatas, maka penulis melakukan
penelitian dengan judul “Hubungan Frekuensi Konsumsi Bahan Makanan Sumber
Gluten dan Kasein dengan Perilaku Autistik Anak Autis Usia 5 – 12 Tahun”.
Banyak orang tua yang masih kurang memperhatikan asupan makanan anaknya
yang seharusnya sesuai dengan diet yang dianjurkan dokter. Diet bebas gluten dan
bebas kasein yang dapat dilaksanakan dengan teratur diharapkan mengurangi
perilaku autis pada anak yang juga memiliki status gizi baik.
2. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional, dengan
pendekatan crossectional. Variabel bebas yang digunakan adalah frekuensi
konsumsi bahan makanan sumber gluten dan kasein, sedangkan perilaku autistik
anak autis sebagai variabel terikat. Sampel dalam penelitian ini adalah anak autis
yang bersekolah di Mutiara Center, Pusat Layanan Autis Surakarta dan Mitra
Ananda Karanganyar beserta orangtua anak penyandang autis yang berjumlah 26
sampel.
Variabel yang diteliti adalah pola konsumsi gluten dan kasein dan perilaku
autis. Data-data yang dikumpulkan antara lain skor frekuensi asupan gluten dan
kasein menggunakan kuesioner FFQ yang telah dimodifikasi, dan data perilaku
4
autistik dengan kuesioner pengamatan perilaku yang diisi oleh terapis sesuai
dengan data perkembangan perilaku dari terapis dengan jumlah 25 soal perilaku
autis. Analisis dilakukan secara univariat dan bivariat. Analisis univariat
memberikan deskripsi tentang frekuensi konsumsi bahan makanan sumber gluten
dan kasein, dan perilaku autistik anak autis. Berdasarkan uji kolmogorov
smirnov, data skor frekuensi konsumsi bahan makanan sumber gluten dan kasein,
dan perilaku autistik berdistribusi normal. Uji hubungan antara frekuensi
konsumsi bahan makanan sumber gluten dan kasein dengan perilaku autistik
menggunakan pearson product moment.
3. HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Pengambilan data untuk penelitian ini dilakukan pada 3 tempat, yaitu di
sekolah luar biasa Mutiara Center, Pusat Layanan Autis Surakarta, dan Yayasan
Mitra Ananda Karanganyar. Sistem pelayanan di ketiga lembaga ini memiliki 4
model pelayanan terpadu, yaitu : okupasi terapi, terapi wicara, fisioterapi dan
terapi edukasi.
Sekolah luar biasa Mutiara center memiliki tenaga pengajar yang meliputi
paedagogis, terapis okupasi, terapis fisio, dan psikolog, sedangkan pusat layanan
autis surakarta memiliki 9 terapis dan 2 psikolog. Mitra ananda memiliki 14
pendidik, yang terdiri dari 5 guru lulusan pendidikan luar biasa, 4 psikolog, 2
fisioterapis, 2 terapis okupasi, dan 1 terapis wicara.
Karakteristik subjek penelitian berdasarkan usia dan jenis kelamin dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel
Distribusi Usia Berdasarkan Jenis Kelamin
Usia (tahun) Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
5 – 6 10 38,46 1 3,8 11 42,26 7 – 8 6 23,07 2 7,69 8 30,76
9 – 10 2 7,69 2 7,69 4 15,38 11 –12 2 7,69 1 3,8 3 11,49 Total 20 80 6 20 26 100
5
Berdasarkan tabel dapat diketahui presentase terbesar subjek adalah pada
usia 5 – 6 tahun, yaitu sebesar 42,26%.
Frekuensi lama melakukan diet pada subjek, dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel
Distribusi Lama Melakukan Diet
Lama melakukan diet (bulan) n %
2 1 3,8 5 1 3,8 6 3 11,5
12 4 15,4 24 7 26,9 30 2 7,7 36 6 23,1 48 2 7,7
Total 26 100
Tabel 6 menunjukkan persentase tertinggi pada distribusi lama subjek
melakukan diet bebas gluten dan bebas kasein adalah selama 24 bulan, yaitu
sebanyak 26,9%.
Konsumsi makanan sumber gluten dan kasein pada subjek, diperoleh
melalui skor FFQ yang telah dimodifikasi, skor FFQ dapat menggambarkan
asupan makanan yang dikonsumsi subjek. Berikut adalah tabel frekuensi
konsumsi makanan sumber gluten :
Tabel
Frekuensi Konsumsi Makanan Sumber Gluten
Frekuensi Total
Jenis
makananan
Tidak
pernah
<1x/
Minggu
1-2x/
minggu
3x/
minggu 1x/ hari >1x/hari
n % n % n % n % n % n % n %
Bakso 4 15,4 9 34,6 7 26,9 6 23,1 0 0 0 0 26 100
Wafer 9 34,6 9 34,6 3 11,5 4 15,4 1 3,8 0 0 26 100
Mie 9 34,6 7 26,9 10 38,5 0 0 0 0 0 0 26 100
Biskuit 11 42,3 4 15,4 3 11,5 4 15,4 2 7,7 2 7,7 26 100
Ayam gorerg
tepung 11 42,3 5 19,2 2 7,7 8 30,8 0 0 0 0 26 100
Bakwan 12 46,2 7 26,9 6 23,1 1 3,8 0 0 0 0 26 100
Tempe mendoan 12 46,2 5 19,2 5 19,2 0 0 4 15,4 0 0 26 100
Roti 14 53,8 2 7,7 8 30,8 1 3,8 1 3,8 0 0 26 100
Makaroni 15 57,7 3 11,5 4 15,4 3 11,5 0 0 1 3,8 26 100
6
Tahu goreng tepung 18 69,2 3 11,5 2 7,7 2 7,7 1 3,8 0 0 26 100
Bolu 18 69,2 5 19,2 3 11,5 0 0 0 0 0 0 26 100
Donat terigu 19 73,1 2 7,7 4 15,4 1 3,8 0 0 0 0 26 100
Cake 19 73,1 3 11,5 3 11,5 1 3,8 0 0 0 0 26 100
Risoles 20 76,9 4 15,4 1 3,8 1 3,8 0 0 0 0 26 100
Kue basah 21 80,8 3 11,5 1 3,8 1 3,8 0 0 0 0 26 100
Hasil penelitian pada tabel 7 menunjukkan jenis pangan sumber gluten yang
paling banyak dikonsumsi adalah bakso (84,6%) dengan frekuensi konsumsi
paling banyak <1x/minggu, sedangkan makanan yang masih sering dikonsumsi
setiap harinya adalah wafer dan mie (65,4%) serta biskuit dan ayam goreng
(57,37%) yang mempunyai frekuensi konsumsi <1x/minggu sampai 3x/minggu,
sedangkan beberapa makanan sumber gluten yang jarang dikonsumsi adalah
donat, cake, risoles dan kue basah.
Pembuatan roti, mie, pasta, dan donat menggunakan tepung terigu yang
memiliki kandungan gluten tinggi, yaitu sebesar 11 - 13%. Tepung terigu dengan
kandungan gluten yang sedang (8 – 10%), biasanya digunakan dalam pembuatan
bakso, sedangkan tepung yang memiliki kandungan gluten rendah (6 - 8%)
digunakan dalam pembuatan cake, wafer, dan juga kue kering (Rahmayuni, 2013).
Tabel
Frekuensi Konsumsi Sumber Kasein
Frekuensi Total
Jenis makananan Tidak pernah <1x/
Minggu
1-2x/
minggu
3x/
minggu 1x/ hari >1x/hari
n % n % n % n % n % n % n %
Eskrim 9 34,6 9 34,6 4 15,4 4 15,4 0 0 0 0 26 100
Coklat 13 50,0 6 23,1 3 11,5 2 7,7 2 7,7 0 0 26 100
Susu Sapi 17 65,4 0 0 5 19,2 0 0 3 11,5 1 3,8 26 100
Yoghurt 17 65,4 7 26,9 1 3,8 0 0 1 3,8 0 0 26 100
Mentega 17 65,4 1 3,8 3 11,5 3 11,5 2 7,7 0 0 26 100
Susu kental manis 21 80,8 1 3,8 2 7,7 0 0 1 3,8 1 3,8 26 100
Jus buah 19 73,1 3 11,5 2 7,7 1 3,8 1 3,8 0 0 26 100
Keju 21 80,8 3 11,5 1 3,8 1 3,8 0 0 0 0 26 100
Susu Skim 23 88,5 0 0 1 3,8 0 0 1 3,8 1 3,8 26 100
Pudding 23 88,5 2 7,7 1 3,8 0 0 0 0 0 0 26 100
Susu Kambing 25 96,2 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3,8 26 100
7
Berdasarkan tabel 8 jenis pangan sumber kasein yang paling banyak
dikonsumsi adalah es krim (65,4) dengan frekuensi konsumsi antara <1x/ minggu
sampai 3x/ minggu, coklat (50%) dengan frekuensi konsumsi <1x/ minggu sampai
1x/ hari. Persentase yoghurt, susu sapi, permen, mentega, keju, jus buah, dan susu
kental manis antara 19,2% sampai 34,6%. Sedangkan sumber kasein yang paling
jarang dikonsumsi adalah susu skim dan pudding yaitu 11,5% serta susu kambing
(3,8%). Kandungan kasein yang terdapat pada susu sapi adalah sebesar 27,9
mg/ml (Saleh, 2004).
Distribusi skor frekuensi konsumsi makanan sumber gluten dan kasein
dengan perilaku anak autis dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 9
Disrtribusi Skor Frekuensi Konsumsi Makanan Sumber Gluten dan
Kasein dengan Perilaku Autistik
Skor FFQ
Pengamatan perilaku Total
Perilaku autis berkurang Perilaku autis tetap
n % n % n %
50 – 100 16 61,5 1 3,8 17 65,4
101 – 150 3 11,5 3 11,5 6 23
151 – 200 0 0 1 3,8 1 3,8
>200 0 0 2 7,7 2 7,7
Total 19 73 7 27 26 100
Tabel 9 menerangkan bahwa distribusi skor FFQ berdasarkan pengamatan
perilaku yang paling banyak yaitu pada skor FFQ 50 – 100 dengan perilaku autis
berkurang sebanyak 61,5% dan 3,8% perilaku autis tetap, dan pada skor FFQ >
200 berdasarkan pengamatan perilaku terdapat 7,7% yang memiliki perilaku autis
tetap. Subjek yang memiliki skor nilai FFQ antara 50 – 100 memiliki kebiasaan
konsumsi makanan sumber gluten dan kasein tidak lebih dari 3kali/minggu,
sedangkan subjek yang memiliki skor 101-150, 151-200 dan >200 memiliki
kebiasaan konsumsi sangat bervariasi. Skor frekuensi yang semakin tinggi pada
makanan dengan sumber gluten dan kasein menunjukkan bahwa makanan sumber
gluten dan kasein yang dikonsumsi oleh anak penyandang autis semakin
bervariasi. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, dapat diketahui bahwa bahan
makanan yang masih banyak dikonsumsi oleh subjek penelitian bermacam –
8
macam, antara lain bakso, wafer, biskuit, ayam goreng tepung dan juga mi.
Makanan sumber kasein yang masih banyak dikonsumsi adalah es krim dan
coklat.
Besar persentase perilaku autis berkurang yaitu sebanyak 73%, dan
sebanyak 27% tidak memiliki perubahan pada perilaku autis/ perilaku autis tetap.
Perilaku autis diantaranya seperti kontak mata yang kurang, menangis atau
tertawa tanpa sebab, kurang hubungan sosial dan emosional timbal balik, ada
gerakan-gerakan yang aneh ,khas dan diulang-ulang. Pada umumnya perilaku
autis yang berkurang berupa menurunnya sikap hiperaktif dari subjek dan juga
dapat menuruti instruksi dari terapis. Penilaian skor perilaku dilakukan oleh
terapis yang memiliki profesi sebagai seorang psikolog, penilaian perilaku autis
dilakukan kepada anak yang sudah menjalani terapi di sekolah lebih dari 3 bulan,
terapis diminta untuk mengisi form perubahan perilaku yang sudah diberikan pada
saat awal penelitian.
Hasil analisis hubungan skor frekuensi konsumsi makanan sumber gluten
dan kasein dengan perilaku autistik.
Tabel
Distribusi Skor Frekuensi Konsumsi Makanan Sumber Gluten dan Kasein
dengan Perilaku
Min Max Mean Std. Deviation P Value
Skor Konsumsi
Gluten dan Kasein 50,0 243,0 103,19 42,38
0,005 Perubahan Skor
Perilaku 0 17,00 4,88 4,08
Dari tabel 10, menunjukkan bahwa nilai rata-rata skor pola konsumsi gluten
dan kasein adalah 108,6±48,66, jumlah ini termasuk dalam rentang skor rendah
(50 – 100) menurut Pratiwi (2013). Hal ini menunjukkan sebagian besar subjek
sudah mulai mengurangi asupan makanan dengan sumber gluten dan kasein. Dari
hasil wawancara sebanyak 96,7% orang tua sudah menerapkan diet bebas gluten
dan bebas kasein yang sebelumnya pernah diberikan konseling/ penjelasan oleh
dokter mengenai diet tersebut. Sebagian subjek yang masih mengkonsumsi
makanan sumber gluten dan kasein rata- rata memiliki frekuensi konsumsi antara
<1x/ minggu dan 3x/ minggu. Nilai rata- rata skor perubahan perilaku adalah
9
4,88. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar subjek memiliki
perilaku autis yang berkurang, dari hasil perhitungan kuesioner sebanyak 40%
anak autis memiliki perubahan perilaku dalam aspek tidak menengok ketika
dipanggil. Menurut wawancara yang dilakukan dengan orangtua subjek perilaku
yang terlihat sangat berkurang adalah perilaku hiperaktif pada anak. Hal tersebut
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nazni (2008) kepada sejumlah anak
penyandang autis, menemukan bahwa adanya perbaikan dalam perilaku autis
seperti perbaikan pada perhatian anak, berkurangnya gangguan tidur, juga
hiperaktif dalam kelompok anak yang menjalankan diet bebas gluten dan bebas
kasein. Reaksi anak penyandang autisme terhadap makanan sumber gluten dan
sumber kasein yang dikonsumsinya dapat langsung terlihat, dapat terlihat setelah
beberapa jam, bahkan beberapa hari (Kessick, 2011). Hasil wawancara kepada
beberapa orang tua menyatakan bahwa mengkonsumsi makanan yang
mengandung gluten dan kasein dapat berpengaruh kepada perilaku autistik
(Rahmah, 2015). Menurut Candles (2003), jumlah gluten maupun kasein yang
sangat sedikit sekalipun tetap saja akan menyebabkan kemunduran pada kesehatan
anak penyandang autis.
Berdasarkan analisis menggunakan uji Pearson Product Moment
menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pola konsumsi gluten dan
kasein dengan perilaku autis, yang dibuktikan dengan p = 0,005; r= -0,529 atau
nilai (p<0,05). Nilai korelasi menunjukkan bahwa antara pola konsumsi gluten
dan kasein memiliki hubungan yang sedang dengan perubahan skor perilaku, dan
nilai tersebut merupakan korelasi negatif, yang berarti ketika frekuensi konsumsi
makanan sumber bebas gluten dan kasein naik, maka perubahan skor perilaku
akan turun. Perubahan skor perilaku anak autis yg menurun, berarti apabila anak
mengkonsumsi gluten dan kasein semakin banyak, maka skor perilaku yang
berubah akan berkurang (perilaku autis tetap).
Susu sapi mempunyai protein yang disebut kasein, sedangkan protein dari
gandum disebut gluten, kedua jenis protein ini termasuk yang agak sulit dicerna.
Protein ini terdiri dari rangkaian asam amino yang panjang, bila pencernaan bagus
maka seluruh rangkaian itu dipecah menjadi butiran-butiran asam amino yang
10
sangat berguna bagi pertumbuhan anak. Namun apabila pencernaan terganggu,
maka rangkaian asam amino tersebut tidak lepas sempurna sehingga masih ada
beberapa asam amino yang bergandengan disebut peptide. Peptide inilah yang
diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya gangguan perilaku pada anak autis
(Dharmana, 2002).
Susu sapi dan gandum bagi penyandang autis (ASD) tertentu bersifat
morfin. Pasalnya, protein susu (kasein) dan protein gandum (gluten) membentuk
kaseomorfin dan gluteomorfin, sehingga terjadi gangguan perilaku seperti
hiperaktif. Hal itu terjadi karena kebocoran saluran cerna (leaky gut syndrome)
sebagai akibat dari tidak seimbangnya bakteri dan jamur. Akibatnya bisa terjadi
gangguan susunan dan fungsi otak yang mengakibatkan gangguan tingkah laku,
gangguan perkembangan dan gangguan proses belajar. Selain itu, pada anak autis
terjadi gangguan pencernaan, seperti enzim Dipeptidyl peptidase IV (DPP IV)
yang berfungsi menguraikan peptid sehingga pencernaan protein terganggu.
Protein susu dan protein gandum tidak akan tercerna sempurna. Kedua peptide itu
akan diserap saluran cerna anak autis yang mempunyai kerusakan barier selaput
lendir usus, dan didalam otak akan bertidak sebagai neurotransmitter palsu dan
berikatan dengan reseptor morfin sehingga terjadi gangguan perilaku (Astuti,
2016).
Menurut Whiteley (2010) peptida gluten dan kasein yang memasuki otak
dan menstimulasi reseptor opioid dapat mempengaruhi perilaku, emosi,
kemampuan kognitif, kemampuan berbicara, kemampuan belajar dan batas
ambang nyeri. Beberapa fungsi otak yang terganggu saat peptide ditangkap oleh
opioid adalah pada bidang persepsi, vokalisasi dan menumpulnya rasa (antara lain
rasa sakit).
4. PENUTUP
Ada hubungan antara frekuensi konsumsi makanan sumber gluten dan
kasein dengan perilaku autistik anak autis usia 5 – 12 tahun.
11
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, AT. 2016. Hubungan Antara Pola Konsumsi Makanan Yang Mengandung
Gluten dan Kasein dengan Perilaku Anak Autis pada Sekolah Khusus
Autis di Yogyakarta. Jurnal Medika Respati. Vol XI. No 1. Hal 41-53
Candles, MC. 2003. Children with Starving Brains- Anak-Anak dengan Otak yang
Lapar. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
Elsabbagh, M. et al. 2012. Global Prevalence of Autism and Other Pervasive
Developmental Disorders. 5(3): 160-179
Ginting SA, Ariani A, Sembiring T. 2004. Terapi diet pada autisme. Sari Pediatri.
Knivsberg AM, Reichelt KL, Hoein T, Nodland M., 2003. Effect of a Dietary
Intervention on Autistic Behavior. Focus on Autism and Other
Developmental Disabilities, 18(4):247-256.
Kusumayanti, Dewi. 2011. Pentingnya Pengaturan Makanan Bagi Anak Autis.
Jurnal Ilmu Gizi: Jurusan Gizi Poltekkes Denpasar. Vol. 2 No 1.
Muhartomo, H. 2004. Faktor-Faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Autisme. Semarang : Universitas Diponegoro
National Institute of Mental Health. 2010. Autism spectrum disorder (pervasive
developmental disorder). New York: United State Department of Health
and Human Service
Nazni P, et al. 2008. Impact of Casein and Gluten Free Dietary Intervention on
Selected Autistic Children. Journal of Iran Pediatr, 18(3):244-250
Pratiwi RA. 2013. Hubungan Skor Frekuensi Diet Bebas Gluten Bebas Casein
Dengan Skor Perilaku Autis. Jounal Of Nutrition Collage.
Rahayu, SM. 2014. Deteksi dan Intervensi dini pada Anak Autis. Jurnal
pendidikan Anak. Vol 3. No :1.
Rahmah J, Diani N, Rachmawati K. 2015. Kepatuhan Orang Tua Tentang Diet
Gluten Free dan Casein Free dengan Perilaku Anak Autis. Universitas
Lambung Mangkurat.
Rahmayuni NI. 2013. Uji Kesukaan Hasil Jadi Kue Brownies Menggunakan
Tentang Terigu dan Tepung Beras. Bina Nusantara University
12
Saleh, Eniza. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Sumatera
Utara : Universitas Sumatera Utara Press.
Sastra, Gusdi. 2011. Neurolinguistik Suatu Pengantar. Bandung : CV.Alfabeta
Whiteley P, et al. 2010. The Scanbrit Randomized, Controlled Single Blind Study
Of A Gluten- and Casein-Free Dietary Intervension for Children with
Autism Spectrum Disorders. Nutritional Neuroscience. 13(2) : 87-100.