hubungan antara kanker nasofaring dengan otitis …digilib.unila.ac.id/55367/3/skripsi tanpa bab...

77
HUBUNGAN ANTARA KANKER NASOFARING DENGAN OTITIS MEDIA DI POLI TELINGA HIDUNG TENGGOROK DAN KEPALA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2019 LEHER RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PERIODE JANUARI-DESEMBER 2017 (Skripsi) Oleh AGTARA LIZA ASTHRI

Upload: buidung

Post on 01-Jul-2019

270 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

HUBUNGAN ANTARA KANKER NASOFARING DENGAN OTITIS

MEDIA DI POLI TELINGA HIDUNG TENGGOROK DAN KEPALA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2019

LEHER RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK

PERIODE JANUARI-DESEMBER 2017

(Skripsi)

Oleh

AGTARA LIZA ASTHRI

HUBUNGAN ANTARA KANKER NASOFARING DENGAN OTITIS

MEDIA DI POLI TELINGA HIDUNG TENGGOROK DAN KEPALA

LEHER RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PERIODE JANUARI-

DESEMBER 2017

Oleh

AGTARA LIZA ASTHRI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2019

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 25 Oktober 1997,

sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak H. Ahmad Ahsan,

S.H dan Ibu Hj. Rosmery Rosya, M.M.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Kartika II-31

Bandar Lampung pada tahun 2003. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan

di SD Kartika II-6 Bandar Lampung pada tahun 2009, Sekolah Menengah

Pertama (SMP) diselesaikan di SMP Negeri 4 Bandar Lampung pada tahun 2012

dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA Negeri 2 Bandar

Lampung pada tahun 2015.

Pada tahun 2015, Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Bersama Masuk

Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjaadi Asisten Dosen

Biokimia, Biomol, dan Fisiologi tahun 2017/2018. Penulis juga berkontribusi

dalam acara Medical Gathering pada tahun 2015 dan Dies Natalis Fakultas

Kedokteran ke 14.

2

“Allahumma inni astawdi’uka ma

qara’tu wa ma hafiztu faruddahu

ilayya ‘inda haajati ilayh.”

-Spesial teruntuk Mama, Papa, Cici, Daing dan orang-

orang yang selalu mendukungku-

i

SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan

hidayah–Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu

tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Skripsi ini yang berjudul “Hubungan Antara Kanker Nasofaring dan Otitis Media

di Poli Telinga Hidung Tenggorok dan Kepala Leher RSUD DR. H. Abdul

Moeloek Periode Januari-Desember 2017” adalah salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P selaku Rektor Universitas Lampung;

2. Dr. dr. Muhartono, S.Ked, M.Kes., Sp.PA selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung sekaligus Pembahas Skripsi penulis yang bersedia

meluangkan waktu, memberikan masukan, kritik, saran dan nasihat yang

bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini;

3. dr. Mukhlis Imanto, S.Ked., M.Kes., Sp.THT-KL selaku Pembimbing Utama

penulis, yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, pikiran serta selalu

memberikan dorongan kepada penulis. Terimakasih arahan dan nasihat yang

tidak pernah putus diberikan selama proses penyusunan skripsi ini;

ii

4. dr. Dian Isti Angraini, S.Ked., M.P.H selaku Pembimbing Kedua penulis,

yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, pikiran serta selalu memberikan

dorongan kepada penulis. Terimakasih arahan dan nasihat yang tidak pernah

putus diberikan selama proses penyusunan skripsi ini;

5. Dr. dr. Susianti, S.Ked., M.Sc selaku Pembimbing Akademik penulis yang

bersedia meluangkan waktu, tenaga, pikiran serta motivasi kepada penulis

dari awal perkuliahan di universitas lampung.

6. Kedua orang tua, Papa H. Ahmad Ahsan, SH dan Mama Hj. Rosmery Rosya,

SE, MM atas segala cinta dan kasih sayangnya. Tidak ada hentinya Papa dan

Mama selalu mengingatkan, membimbing, memberikan arahan, serta nasihat

selama hidup adek. Mama dan Papa adalah alasan utama adek untuk tidak

menyerah dalam menyelesaikan studi ini. Terimakasih sekali lagi, untuk

setiap keringat yang mama dan papa teteskan demi kelancaran adek dalam

menyelesaikan studi;

7. Kakak-Kakaku Tercinta, Agista Sari, SE.,MM, Ariza Harry Chanra, SH,

Hamzah, SE, Aulia Rahmi, S.Si dan Yudith Darmawan, Terimakasih selalu

menjaga, memberikan contoh serta membimbing agar selalu menjadi pribadi

yang lebih baik setiap harinya, selalu bersedia membantu tanpa mengeluh,

serta semangat yang selalu diberikan dalam menyelesaikan studi;

8. Ketiga keponakan ku Tersayang, Modiesta Azkadina Hamzah, Kamil

Abdullah Hamzah dan Mikaila Shalena Harrychanra, Terimakasih atas

kelucuan, kasih sayang serta hiburan yang kakak, adin dan nana berikan

selama ini, semoga kalian bertiga tumbuh menjadi sosok pribadi yang baik

serta soleh dan soleha;

iii

9. Seluruh keluarga besar lainnya yang mungkin tidak bisa penulis ucapkan satu

persatu, terimakasih selalu mendoakan dan memberikan dukungan kepada

penulis selama masa studi;

10. Teman-teman satu bimbingan “THT Squad”, Zhafran R.Tobing, Lidya

Angelina, Abimanyu Darmawan dan M.Pridho, Terimakasih atas suka, duka

dan cerita-cerita kita selama proses penelitian dari blok riset sampai skripsi;

11. Teman-teman bimbingan 2, Edmundo Caesario, Habibi Duarsa, Syfa D. Putri,

Alvin Widya Ananda, Robby Cahyo, dan Lefranc Galuh, Terimakasih atas

dukungannya selama ini;

12. Ketiga Sahabatku, Cindy Carolin L. Syarief, S. Tantri Handayani Idrus dan

Ayu Budi Sayati yang selalu menjadi tumpahan penulis dalam keadaan

senang, sedih, suka, cita sejak dulu hingga titik akhir dalam penyelesaian

studi ini. Semoga persahabatan kita tetap terjalin hingga nanti.

13. Teman-teman semasa perkuliahan Rachmi Rukmono, Maya Nadira, Arini

Meronica, Achisna Rachmatika, Fidya Cahya, Nanda Salsabila Itsa, Annisa

Adietya, Febri Nadyanti, Asy Syadzali, Bagus Nitei Ago, Muhammad

Muizzulatif dan Habibi Duarsa. Terimakasih sudah melengkapi dan memberi

warna dalam studi yang dilaksanakan penulis. Kalian mampu memberikan

motivasi, masukan serta menyelipkan canda tawa disaat bersamaan. Dengan

kalian, proses studi ini terasa lebih mudah dan menyenangkan;

14. Seluruh teman angkatan ku, ENDOM15IUM, terimakasih untuk tahun-tahun

sulit yang sudah kita lewati bersama. Semoga suka dan duka yang kita hadapi

kemarin akan selalu menjadi memori indah di kemudian hari. Terus jaga

kekompakan kita, ENDOM15IUM;

15. Teman-teman SMP dan SMA penulis, Annisa PL, Dita, Adli, Febi, Arrahma,

Rani, Shalsa, Nanov, Della, Eca, Femi, Arun, Mentari A, Mentari S, Intan,

iv

Novia, Mita, Mia dan Visi yang selalu memberikan dukungan, tempat cerita,

dan berkeluh kesah, yang walaupun terpisahkan jarak tetap menjadi tempat

bercerita dan memberikan dukungan selama penyelesaian studi ini;

16. Mas danang rocket, terimakasih atas bantuannya dalam proses skripsi ini

semoga selalu sukses.

17. Terimakasih kepada dr. Surya Puspa, Ibu Endang, Ibu Tati, Ibu Iren, Bapak

Rusli dan seluruh staf RSAM yang telah memberikan izin dan bersedia

meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam proses penelitian

skripsi ini;

18. Segenap jajaran dosen dan civitas FK Unila atas segala bantuan yang telah

diberikan selama penulis menjalani proses perkuliahan;

19. Rekan Asisten Dosen Biokimia, Biomol dan Fisiologi 2017/2018 atas

kerjasamanya selama 1 tahun.

20. And last but not least, thankyou M. Rifki Pratama for always right there when

I need the most, struggle in ups and downs for this college life.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Akan tetapi, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna

bagi kita semua. Aamiin.

Bandarlampung,15 Januari 2019

Penulis,

Agtara Liza Asthri

ABSTRACT

ASSOCIATION BETWEEN NASOPHARYNGEAL CANCER AND

OTITIS MEDIA IN OTORHINOLARYYNGOLOGY-HEAD AND NECK

SURGERY CLINIC RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK HOSPITAL

PERIOD OF JANUARY-DESEMBER 2017

By

AGTARA LIZA ASTHRI

Background: Nasopharyngeal cancer is one of the highest causes of death in

Indonesia. One of the symptom is the ear problem caused by enlargement of the

tumor that spreads through the eustachian tube that cause otitis media.

Objective: This study is to determine the correlation between nasopharyngeal

cancer and otitis media.

Method: This research used a Cohort study with retrospective using total

sampling technique. To find the correlation between these two variables dividing

by the same population on the factors that have risk and not. Based on the risk

factors is nasopharyngeal cancer, compared with not the risk factors is the patient

of non nasopharyngeal cancer the effects that occur in both groups is otitis media.

Data were tested by chi-square test.

Result: The result were obtained from 12 subjects (44.4%) had nasopharyngeal

cancer and otitis media, 15 subjects (55.6%) had nasopharyngeal cancer and did

not suffer otitis media, 11 subjects (20.4%) had no nasopharyngeal cancer and had

otitis media, 43 subjects (79.6%) did not suffer both. The result of chi square

analysis showed the variables had a correlation with P=0,0045.

Conclusion: There is a association between nasopharyngeal cancer and otitis

media in otorhinolaryngology-head and neck surgery clinic RSUD DR. H. Abdul

Moeloek period of January-desember 2017.

Keyword: nasopharyngeal cancer, otitis media.

ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KANKER NASOFARING DENGAN OTITIS

MEDIA DI POLI TELINGA HIDUNG TENGGOROK DAN KEPALA

LEHER RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PERIODE JANUARI-

DESEMBER 2017.

Oleh

AGTARA LIZA ASTHRI

Latar belakang: Kanker nasofaring merupakan salah satu penyebab kematian

tertinggi di Indonesia. Salah satu gejala kanker nasofaring adalah gejala pada

telinga disebabkan perbesaran dari tumor yang menyebar melalui tuba eustachius.

dan menyebabkan otitis media

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kanker

nasofaring dengan otitis media.

Metode: Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Cohort dengan pendekatan

retrospective dan teknik pengambilan data total sampling. Untuk mencari

hubungan antara 2 variabel tersebut dilakukan dengan cara membagi suatu

populasi yang sama pada faktor yang memiliki resiko dan tidak. Berdasarkan

faktor yang memiliki resiko yaitu pasien kanker nasofaring, dibandingkan dengan

faktor yang tidak memiliki resiko yaitu pasien bukan kanker nasofaring kemudian

dinilai efek yang terjadi pada kedua kelompok berupa otitis media. Data diuji

menggunakan chi-square.

Hasil: Terdapat hasil 12 subyek (44,4%) menderita kanker nasofaring dan otitis

media, 15 subyek (55,6%) menderita kanker nasofaring dan tidak menderita otitis

media, 11 subyek (20,4%) tidak menderita kanker nasofaring dan menderita otitis

media, 43 subyek (79,6%) tidak menderita keduanya. Hasil uji chi square

didapatkan P= 0,045.

Kesimpulan: Terdapat hubungan antara kanker nasofaring dengan otitis media di

poli telinga hidung dan tenggorok RSUD Dr. H. Abdul Moeloek periode januari

sampai desember 2017.

Kata Kunci: kanker nasofaring, otitis media.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ........................................................................................................... i

DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5

1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 5

1.4.1 Bagi Penulis ..................................................................................... 5

1.4.2 Bagi Instansi Terkait........................................................................ 6

1.4.3 Bagi Peneliti Lain ............................................................................ 6

1.4.4 Bagi Pasien ...................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi..................................................................................................... 7

2.1.1 Nasofaring ....................................................................................... 7

2.1.2 Telinga Tengah ................................................................................ 8

2.1.3 Tuba Eustachius............................................................................. 10

2.2 Kanker Nasofaring .................................................................................. 13

2.2.1 Definisi Kanker Nasofaring ........................................................... 13

2.2.2 Epidemiologi ................................................................................. 14

2.2.3 Etiologi .......................................................................................... 15

2.2.4 Klasifikasi ...................................................................................... 18

2.2.5 Stadium .......................................................................................... 19

2.2.6 Diagnosis Kanker Nasofaring (KNF) ............................................ 20

2.2.7 Tatalaksana .................................................................................... 24

2.3 Otitis Media ............................................................................................ 25

2.3.1 Definisi .......................................................................................... 25

2.3.2 Epidemiologi ................................................................................. 27

2.3.3 Etiologi .......................................................................................... 28

ii

2.3.4 Klasifikasi Otitis Media ................................................................. 29

2.3.5 Patogenesis .................................................................................... 30

2.3.6 Diagnosis ....................................................................................... 32

2.3.7 Tatalaksana .................................................................................... 36

2.4 Hubungan Kanker Nasofaring dengan Otitis Media ............................... 40

2.5 Kerangka Teori ....................................................................................... 41

2.6 Kerangka Konsep .................................................................................... 44

2.7 Hipotesis ................................................................................................. 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian .............................................................................. 45

3.2 Lokasi dan waktu penelitian ................................................................... 46

3.2.1 Lokasi Penelitian ........................................................................... 46

3.2.2 Waktu penelitian ............................................................................ 46

3.3 Populasi dan sampel penelitian ............................................................... 46

3.3.1 Populasi penelitian......................................................................... 46

3.3.2 Sampel penelitian .......................................................................... 46

3.4 Identifikasi Variabel Penelitian............................................................... 48

3.5 Instrumen Penelitian ............................................................................... 48

3.6 Metode pengambilan data ....................................................................... 48

3.7 Prosedur Penelitian ................................................................................. 49

3.8 Definisi Operasional ............................................................................... 50

3.9 Pengolahan dan Analisis data ................................................................. 51

3.9.1 Pengolahan Data ............................................................................ 51

3.9.2 Analisis Data ................................................................................. 52

3.10 Etika Penelitian ....................................................................................... 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian ....................................................................................... 54

4.1.1 Karakteristik berdasarkan Jenis Kelamin ...................................... 54

4.1.2 Karakteristik berdasarkan Usia ...................................................... 57

4.2 Analisis Univariat ................................................................................... 59

4.2.1 Jumlah Kanker Nasofaring ............................................................ 59

4.2.2 Jumlah Otitis Media ...................................................................... 60

4.3 Analisis Bivariat...................................................................................... 61

4.4 Pembahasan............................................................................................. 62

4.5 Keterbatasan Penelitian ........................................................................... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 69

5.2 Saran ....................................................................................................... 69

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Klasifikasi Kanker Nasofaring ....................................................................... 18

2. Pembagian Stadium pada KNF ...................................................................... 19

3. Klasifikasi Otitis Media ................................................................................. 30

4. Definisi Operasional ...................................................................................... 50

5. Distribusi data berdasarkan jenis kelamin ..................................................... 54

6. Distribusi subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin dan otitis media ..... 55

7. Distribusi subyek berdasarkan usia ................................................................ 57

8. Distribusi subyek berdasarkan usia dan otitis media ..................................... 58

9. Analisis univariat kanker nasofaring.............................................................. 60

10. Analisis univariat otitis media........................................................................ 60

11. Analisis bivariat ............................................................................................. 61

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Anatomi THT-KL ............................................................................................ 8

2. Anatomi Nasofaring ......................................................................................... 8

3. Ruangan pada Telinga tengah .......................................................................... 9

4. Anatomi Telinga Tengah ............................................................................... 10

5. Saluran Tuba Eustachius ................................................................................ 11

6. Patogenesis Otitis Media ................................................................................ 32

7. Gambaran Otoskop Otitis Media Akut .......................................................... 34

8. Gambaran Otoskop Otitis Media Supuratif Kronik ....................................... 35

9. Gambaran Otoskop Otitis Media Non Supuratif ........................................... 36

10. Kerangka Teori Hubungan antara kanker nasofaring dengan otitis media .... 43

11. Kerangka Konsep ........................................................................................... 44

12. Skema Rancangan Penelitian “Hubungan Kanker Nasofaring dengan

Otitis Media” .................................................................................................. 45

13. Prosedur Penelitian ........................................................................................ 49

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian

Lampiran 2. Surat Persetujuan Etik

Lampiran 3. Hasil Analisis Data Penelitian

Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker nasofaring (KNF) merupakan penyakit keganasan yang sering

menyebabkan kematian di berbagai belahan dunia (Adham et al., 2012).

Menurut Global Burden of Cancer/Globocan (2012) terdapat 87.000 kasus

kanker nasofaring di dunia muncul setiap tahunnya, dengan kasus kematian

51.000 yaitu 36.000 pada laki-laki dan 15.000 pada perempuan.

Insiden penyakit KNF tertinggi terjadi di Asia yaitu provinsi Guangdong Cina

Selatan, yang terdiri dari 28,3 kasus per 100.000 penduduk di tiap tahunnya

(Forman, 2014). Indonesia merupakan salah satu negara dengan insiden

tertinggi dari KNF, yaitu 5,6 dari 100.000 penduduk/tahun (Globocan, 2012).

Daerah endemis kanker nasofaring di Indonesia terdapat di pulau jawa

sebanyak 28,4% dengan rasio pria:wanita adalah 3:1 (Adham et al., 2012). Di

beberapa rumah sakit rujukan di pulau jawa seperti Rumah Sakit Hasan

Sadikin terdapat 493 kasus tumor nasofaring pada tahun 2006-2010 (Esha,

2011). Berdasarkan penelitian di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar

Lampung pada tahun 2013-2014 terdapat 81 kasus tumor nasofaring

(Purwanto, 2015).

2

Tumor yang timbul pada nasofaring hampir sebagian bersifat ganas dan

sering bermanifestasi bersamaan dengan otitis media (Maruyama et al.,

2014). Tumor ganas nasofaring atau kanker nasofaring (KNF) adalah kanker

yang berasal dari epitel permukaan nasofaring, kanker ini dapat berkembang

di sekitar ostium tuba eustachius dan sulit untuk terdeteksi (Cahyadi dan

Dewi, 2014). Keberadaan kanker nasofaring sulit terdeteksi karena nasofaring

tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar

tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting (Efiaty et al.,

2014). Letak nasofaring yang sulit terdeteksi sering mengakibatkan

penanganan terlambat dan menyebabkan penyakit ini termasuk dalam satu

dari lima tumor ganas penyebab kematian terbanyak dalam bidang Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher (THT-KL)

(Adham et al., 2012).

Kanker nasofaring secara umum disebabkan oleh virus Epstein-Barr, karena

pada semua pasien kanker nasofaring didapatkan titer virus anti Epstein-Barr

(Efiaty et al., 2014). Virus Epstein-Barr bukan satu-satunya faktor, karena

banyak faktor lain yang berhubungan seperti zat nitrosamin, keadaan sosial

ekonomi rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup, berkontak dengan zat

karsinogenik, ras dan keturunan serta radang kronis pada daerah nasofaring

(Firdaus dan Prijadi, 2009).

Sebagian besar dari pasien kanker nasofaring datang berobat pada stadium

lanjut, hal ini disebabkan karena gejala klinik yang bermacam-macam dan

sulit untuk terdiagnosis (Tabuchi et al., 2011). Gejala kanker nasofaring dapat

3

dibagi menjadi 4 kelompok yaitu gejala nasofaring,gejala telinga, gejala mata

dan saraf serta pembesaran kelenjar getah bening (Efiaty et al., 2014).

Sebagian besar penderita kanker nasofaring (KNF) mengalami gejala pada

telinga, hal ini disebabkan karena adanya hubungan antara telinga tengah dan

nasofaring oleh tuba eustachius (Maruyama et al., 2014). Gejala pada telinga

seringkali muncul pada awal pasien terdiagnosis KNF atau pada saat pasien

mulai mendapatkan terapi lanjutan (Kein et al., 2009). Tumor dari penderita

KNF menyebar melalui tuba eustachius dan mengakibatkan tekanan negatif di

telinga tengah sehingga terjadi efusi telinga tengah hingga barotrauma

melalui tuba eustachius (Cahyadi dan Dewi, 2014).

Disfungsi tuba eustachius akibat kanker nasofaring dapat menyebabkan

keluhan telinga terasa tersumbat yaitu rasa tidak nyaman, tinitus, dan otitis

media (Chen, 2012). Gangguan pada fungsi tuba eustachius adalah salah satu

faktor penyebab otitis media yang memiliki peranan penting dalam

patogenesis terjadinya otitis media supuratif dan non supuratif. Saat tuba

eustachius tersumbat, mikrosirkulasi pada mukosa telinga tengah yang terus-

menerus menyerap udara pada rongga telinga tengah akan menimbulkan

tekanan negatif yang akan berakibat pada transudasi cairan ke rongga telinga

(Rusly et al., 2015).

Gejala klinik awal yang biasa timbul pada penyumbatan tuba oleh tumor

nasofaring adalah terbentuknya cairan pada telinga tengah (otitis media) oleh

karena itu setiap pasien dewasa dengan kanker nasofaring kemungkinan

mengalami otitis media (Ballenger dan Snow, 2010).

4

Otitis media merupakan peradangan yang terjadi pada sebagian atau seluruh

mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid

(Djaafar dan Restuti 2008). Otitis media terbagi atas otitis media supuratif

dan otitis media non supuratif. Otitis media supuratif adalah sumbatan tuba

eustachius dengan tanda tanda infeksi yang terdiri dari otitis media akut

(OMA) dan otitis media supuratif kronik (OMSK). Otitis media non supuratif

adalah keadaan dimana terdapatnya sekret di telinga tengah tanpa kerusakan

membran timpani (Efiaty et al., 2014).

Pada penelitian Van et al., (2013) penyakit kanker nasofaring (KNF) akan

mengalami komplikasi otitis media akut (OMA) bersamaan dengan infeksi

saluran pernafasan atas. Otitis media akut (OMA) yang telah terjadi lebih dari

3 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul disebut dengan otitis media

supuratif kronik (OMSK). Menurut Ho et al., (2008) sebanyak 26-46%

penderita KNF akan mengalami otitis media efusi pada stadium awal.

Berdasarkan penelitian Noorizan et al., (2008) kanker nasofaring (KNF)

memiliki korelasi dengan otitis media, yaitu sebagian besar penderita kanker

nasofaring akan mengalami otitis media karena adanya saluran tuba

eustachius yang menghubungkan antara telinga tengah dan nasofaring.

Menurut data penelitian Huang et al., (2012) didapatkan data yaitu sebagian

besar penderita otitis media memiliki hubungan dengan penyakit kanker

nasofaring. Penelitian Kaur et al., (2014) mendapatkan kultur bakteri positif

yang biasa menyebabkan otitis media pada penderita Kanker Nasofaring,

sehingga hasil yang didapatkan terdapat hubungan antara kanker nasofaring

dengan kejadian otitis media.

5

Maka dari itu peneliti tertarik mengetahui tentang hubungan antara kanker

nasofaring dengan otitis media di poli telinga hidung tenggorok dan kepala

leher RSUD Dr. H. Abdul Moeloek periode Januari-Desember 2017.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada pernyataan di atas, maka peneliti merumuskan masalah

dalam penelitian ini yaitu “Apakah terdapat hubungan antara kanker

nasofaring dengan otitis media di poli telinga hidung tenggorok dan kepala

leher RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Periode Januari-Desember 2017?”

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kanker

nasofaring dengan otitis media di poli telinga hidung tenggorok dan kepala

leher RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Periode Januari-Desember 2017.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Penulis

Dapat menambah pengetahuan tentang penulisan karya ilmiah yang

baik dan benar, serta dapat menambah wawasan mengenai kanker

nasofaring dan penyakit otitis media.

6

1.4.2 Bagi Instansi Terkait

Dapat memaksimalkan pelayanan kesehatan dengan pasien kanker

nasofaring dan otitis media yaitu dalam penegakkan diagnosis serta

pencegahan terjadinya komplikasi yang lebih lanjut

1.4.3 Bagi Peneliti Lain

Dapat menjadi acuan dalam mengembangkan dan melengkapi

kekurangan dari penelitian ini.

1.4.4 Bagi Pasien

Pasien dapat memahami dan mengetahui hubungan antara kedua

penyakit.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

2.1.1 Nasofaring

Nasofaring adalah suatu ruangan yang dilapisi oleh epitel kolumnar

mukosiliar berlapis dan berstruktur kuboid. Letak nasofaring disebelah

lateral dibatasi oleh lamina medialis processus pterygoidei, pada

superior nasofaring terdapat os sphenoideum, di anterior berbatasan

dengan daerah hidung yaitu koana dan vomer tengah, di posterior oleh

clivus dan di inferior oleh palatum molle. Tuba eustachius bermuara ke

arah posterolateral dan dikelilingi oleh suatu struktur kartilago.

Dibelakang tuba eustachius adalah lekuk-lekuk mukosa yang disebut

sebagai Fossa rosenmuller (Khoa dan Gady, 2012).

Rongga nasofaring merupakan dinding kaku, rongga ini terdiri dari sisi

atas, belakang, depan dan lateral. Pada Gambar 1 bagian depan ronga

berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, sehingga keluhan

yang terjadi jika terdapat perbesaran nasofaring adalah sumbatan

hidung. Pada sisi atas, dapat terjadi metastasis ke arah kepala dan dapat

menimbulkan ganggu pada saraf otak. Pada Gambar 2 penyebaran

8

tumor ke lateral akan menyumbat muara tuba eustachius dan akan

mengganggu pendengaran serta menimbulkan cairan di telinga tengah

(Ballenger dan Snow, 2010).

Gambar 1. Anatomi THT-KL Sumber : (Tamrin, 2014)

Gambar 2. Anatomi Nasofaring

Sumber : (Raghavan et al., 2014)

2.1.2 Telinga Tengah

Telinga tengah merupakan ruang irregular yang berisi udara yang

terletak di dalam bagian petrosa tulang temporal, diantara kanalis

9

auditori eksternus dan telinga dalam. Terdapat beberapa kompartemen

pada kavitas ini, yaitu epitimpani (pada batas superior membran

timpani), mesotimpani (pada batas membran timpani), dan hipotimpani

(pada batas di bawah membran timpani). Pada gambar 3 tersaji

gambaran telinga tengah yang normalnya terisi udara dan terdapat

rantai tulang pendengaran (maleus, inkus, dan stapes) (Ballenger dan

Snow, 2010).

Gambar 3. Ruangan pada Telinga tengah Sumber : (Ballenger dan Snow, 2010)

Telinga tengah dilapisi oleh mukosa tipis yang terutama berepitel

kuboid tak bersilia melapisi periosteum, termasuk tulang pendengaran

dan ligamen-ligamen. Pada daerah mesotimpani mukosa ini kaya akan

sel goblet dan kelenjar musin. Pada bagian membran timpani

mukosanya berepitel selapis gepeng, sedangkan pada tuba eustachius

mukosanya dilapisi oleh epitel berlapis semu (pseudostratified

10

epithelium), yang mengandung sel bersilia, sel goblet, sel basal serta sel

endokrin (Dhingra, 2014).

Pada Gambar 4, tersaji gambaran membran mukosa telinga tengah dan

mastoid yang merupakan kelanjutan dari membran mukosa pada

nasofaring melalui tuba eustachius. Sel pada membran mukosa dalam

kavum timpani bervariasi dari sel tinggi, sel kolumner dengan sel goblet

yang tersebar, sampai sel kuboid pendek pada bagian posterior

promontorium dan aditus ad antrum (Marieb, 2015).

Gambar 4. Anatomi Telinga Tengah Sumber : (Marieb, 2015)

2.1.3 Tuba Eustachius

Tuba eustachius terdiri atas tulang rawan pada 2/3 ke arah nasofaring

dan sepertiganya terdiri atas tulang. Ukuran tuba pada anak berbeda

11

dengan orang dewasa, tuba pada anak lebih pendek, lebih lebar dan

kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang dewasa. Panjang tuba

pada anak di bawah 9 bulan adalah 17,5 mm dan orang dewasa 37,5

mm (Djaafar dan Restuti, 2008).

Tuba eustachius terdiri dari tiga bagian yaitu kartilago, osseus, dan

pertemuan antara kedua bagian tersebut. Saluran ini berbentuk S

terbalik dan melengkung. Lumen tuba dilapisi oleh epitel kolumner

pseudostratified bersilia, yang berfungsi untuk membantu pembersihan

material ke nasofaring. Lapisan mukosa tuba bagian inferior memiliki

lipatan, dan kelenjar yang dapat menebal yang dapat menyebabkan

obstruksi tuba. Pada tuba eustachius seperti tersaji pada gambar 5

terdapat empat otot yang berhubungan yaitu tensor veli palatina, levator

veli palatina, tensor timpani, dan salfingofaringeus. Otot tensor veli

palatina memiliki peran utama pada pembukaan lumen tuba (Smith et

al., 2016).

Gambar 5. Saluran Tuba Eustachius Sumber : (Ballenger dan Snow, 2010)

12

Tuba eustachius merupakan saluran yang menghubungkan antara

rongga telinga tengah dengan nasofaring dan berfungsi menjaga

tekanan antara keduanya. Tuba eustachius memiliki tiga fungsi utama,

fungsi pertama adalah menyeimbangkan tekanan telinga tengah dengan

tekanan atmosfer. Fungsi kedua adalah sebagai jalur drainase

pembersihan mukosilier sekresi telinga tengah. Fungsi ketiga adalah

mencegah retrograde suara saat bicara dan mencegah refluks sekret

dari nasofaring yang mengandung patogen. Kegagalan fungsi-fungsi

diatas disebut sebagai disfungsi tuba eustachius. Dari ketiga fungsi

fisiologis tuba eustachius tersebut, fungsi yang paling penting adalah

fungsi ventilasi, dalam keadaan tekanan telinga tengah yang seimbang

dengan tekanan atmosfer, fungsi pendengaran akan optimal (Bylander

et al., 2009).

Terbentuknya tekanan negatif di dalam telinga tengah, menimbulkan

transudasi cairan dan respon proinflamasi obstruksi tuba dapat terjadi

oleh berbagai kondisi, seperti peradangan di nasofaring, peradangan

adenoid atau tumor nasofaring. Gejala klinik awal yang timbul pada

penyumbatan tuba oleh tumor adalah terbentuknya cairan pada telinga

tengah (otitis media). Setiap pasien dewasa dengan otitis media harus

dipikirkan kemungkinan adanya kanker nasofaring (KNF) (Huang et

al., 2012).

Sumbatan tuba eustachius dapat terjadi secara sekunder oleh tumor

yang terdapat pada ostium tuba eustachius, menyebabkan kelainan

13

sirkulasi pada tekanan telinga tengah. Akibat perubahan anatomi

tersebut, pasien akan mengeluhkan masalah telinga seperti tinitus,

telinga terasa penuh, dan penurunan pendengaran (Wei et al., 2017).

Sumbatan juga dapat disebabkan oleh bakteri dan virus seperti pada

penyakit tonsilitis, laringitis dan epiglotitis (Pusparani, 2012; Anderson,

2015; Sadiq, 2018)

Pembengkakan mukosa yang sering disebabkan oleh lesi seperti kanker

nasofaring dapat menyebabkan disfungsi tuba eustachius, sehingga

fungsi fisiologis terbatas yaitu fungsi ventilasi, drainase sekresi telinga

tengah, dan proteksi dari tekanan suara yang berlebih serta adanya

perubahan tekanan. Kondisi tersebut menyebabkan penurunan

kemampuan mendengar, infeksi atau penyakit telinga tengah yaitu otitis

media (Kaur et al., 2014).

2.2 Kanker Nasofaring

2.2.1 Definisi Kanker Nasofaring

Kanker adalah pertumbuhan sel abnormal yang mengakibatkan sel

kanker berkembang biak dalam organ tubuh secara tidak terkendali

yang menghasilkan bentuk, sifat, dan fungsi sangat berbeda dari

sebelumnya (Khoa dan Gady, 2012).

Nasofaring adalah struktur kuboid yang dilapisi oleh epitel kolumnar

mukosiliar berlapis. Pada bagian anterior nasofaring terdapat rongga

hidung, bagian atas merupakan lengkung depan dari atlas sementara

14

dinding samping terdapat muara tuba eustachius dan bagian belakang

terdapat Fossa rosenmuller. Fossa rosenmuller adalah tempat tersering

untuk tumbuhnya tumor nasofaring (Sudoyo et al., 2014).

Kanker nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari epitel

permukaan nasofaring dan dapat berkembang disekitar ostium tuba

eustachius yang berada pada dinding lateral nasofaring (Cahyadi dan

Dewi, 2014).

2.2.2 Epidemiologi

Kanker nasofaring (KNF) adalah penyakit keganasan yang cukup

langka, diperkirakan sekitar kurang dari 1/100.000 kejadian per tahun.

Namun penyakit ini merupakan salah satu penyakit dengan kasus

kematian tertinggi di dunia (Adham et al., 2012).

Data dari Globocan (2012) didapatkan 87.000 kasus kanker nasofaring

yang diantaranya terdapat 61.000 kasus terjadi pada laki-laki serta

26.000 pada perempuan. Untuk kasus kematian yang tercatat terdapat

36.000 pada laki-laki dan 15.000 pada perempuan, dengan rasio 2:1.

KNF banyak ditemukan di daerah pantai karena tingginya konsumsi

ikan asin sehingga lebih dari setengah insiden seluruh kanker terjadi

pada daerah tersebut. Benua Asia merupakan benua dengan insiden

tertinggi dan biasa ditemukan di Asia Selatan tepatnya di provinsi

Guangdong Cina Selatan, yang terdiri dari 28,3 kasus per 100.000

penduduk di tiap tahunnya (Forman, 2014). Frekuensi menengah

15

tertinggi ditemukan di Asia Tenggara yaitu di Indonesia dan Filipina

(Sudoyo et al., 2014).

Menurut Globocan (2012) didapatkan insiden kejadian kanker

nasofaring di Indonesia mencapai 5,6 dari 100.000 penduduk/ tahun.

Daerah endemis KNF terdapat di pulau jawa dan sering mengenai

penduduk usia produktif.

KNF memiliki dua puncak insiden yaitu pada usia 15-25 tahun dan

pada usia 50-59 tahun, pada laki-laki insiden KNF jauh lebih tinggi

dibandingkan jenis kelamin perempuan (Adyta et al., 2015).

2.2.3 Etiologi

Kanker Nasofaring (KNF) masih belum diketahui penyebab pasti.

Penyebab dari penyakit ini multifaktor dikarenakan beberapa faktor

yang saling terkait. Virus Epstein-Barr adalah salah satu penyebab

KNF, Virus Epstein-Barr dapat masuk dan tinggal didalam dan

menyebabkan kelainan pada tubuh dalam jangka waktu yang lama,

keterkaitan virus ini tidak terlepas dari adanya faktor lain yang dapat

memicu terjadi KNF. Contoh faktor lain tersebut adalah zat nitrosamin,

lingkungan dan kebiasaan hidup, berkontak dengan zat yang bersifat

karsinogen, ras dan keturunan, radang kronis di daerah nasofaring

(Firdaus dan Prijadi, 2009).

16

a. Zat Nitrosamin

Nitrosamin terbentuk dari reaksi antara nitrat/nitrit dengan amina.

Nitrosamin dapat terbentuk di dalam tubuh apabila makanan yang

dikonsumsi mengandung prekursor dari nitrosamin. Suasana

lambung yang asam akan menyebabkan nitrit/nitrat yang berada di

dalam nitrosamin bereaksi dengan amina dan mengakibatkan

terjadinya mutasi DNA. Ambang dasar paparan nitrosamin pada

manusia antara 2,5 µg/m3 - 15 µg/m3. Makanan yang diawetkan dan

diasinkan merupakan sumber utama dari zat nitrosamin, salah

satunya adalah ikan asin. Ikan asin selain mengandung zat

nitrosamin juga mengandung bakteri mutagen dan komponen yang

dapat mengaktivasi virus Epsteinn-Barr (Rahman et al., 2015).

b. Keadaan sosial ekonomi rendah, lingkungan dan kebiasaan

hidup

Keadaan sosial ekonomi yang rendah erat kaitannya dengan

lingkungan yang kurang baik dan kebiasaan hidup. Sebagai contoh

ventilasi udara yang penuh asap di rumah-rumah dengan sosial

ekonomi rendah selain itu pembakaran sampah pada daerah-daerah

tertentu berperan dalam pemicu KNF (Firdaus dan Prijadi, 2009).

c. Berkontak dengan zat karsinogenik

Zat yang dianggap bersifat karsinogen antara lain Benzopyrene,

Benzoathracene (Hidrokarbon dalam arang batubara), asap industri,

17

asap kayu, gas kimia dan ekstrak tumbuh-tumbuhan (Tabuchi et al.,

2011).

d. Ras dan keturunan

Human leucocyte antigen (HLA) merupakan gen pembawa dari

kanker nasofaring yaitu HLA-B13. Selain itu kelainan genetik pada

metabolisme enzim, yaitu enzim sitokrom P450 2EI (CYP2EI),

sitokrom P450 2A6 (CYP2A6), GSTT1, serta ketidakadaan dari

enzim glutathione S-transferase M1 (GTM1) berkontribusi untuk

terjadinya kanker nasofaring (KNF). Selain kelainan genetik baik

gen dan metabolisme enzim, keberadaan dari PIGR (Polymeric

Immunoglobulin Receptor) yaitu reseptor permukaan pada sel epitel

nasofaring yang berfungsi untuk masuknya virus Epstein-Barr

(Rahman et al., 2015).

e. Radang kronis daerah nasofaring

Peradangan pada mukosa nasofaring menyebabkan kerentanan

terjadinya paparan karsinogen lingkungan lebih tinggi seperti otitis

media, sinusitis, trauma nasal dan tonsillitis berulang (Sudoyo et al.,

2014).

18

2.2.4 Klasifikasi

Menurut klasifikasi gambaran histopatologi oleh World Health

Organization (WHO) terdapat 2 tipe, yaitu tipe I adalah tipe keritinizing

squamous-cell carcinomas dan tipe II adalah tipe non-keratinizing

squamous carcinoma yang terdiri dari tipe diferensiasi dan tidak

diferensiasi dijelaskan sebagai berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Kanker Nasofaring

Tipe I: Karsinoma Sel Skuamosa

Berkeratinisasi

(Keratinizing Squamous Cell

Carcinoma).

Tipe ini merupakan tipe karsinoma invasif

dengan tingkat diferensiasi yang

digolongkan menjadi diferensiasi baik,

diferensiasi moderat, dan diferensiasi

buruk.

Ditemukkan gambaran diferensiasi

skuamosa yang jelas melalui mikroskop

cahaya. Terdapat jembatan interseluler

atau keratinisasi pada sebagian besar

tumor.

Tipe II: Karsinoma Non-Keratinisasi

(Non-Keratinizing Carcinoma).

Terdapat dua subtipe yaitu tipe diferensiasi

(diffierentiated) dan tidak diferensiasi

(undifferentiated).

a. Tipe differentiated

Sel tumor mengalami diferensiasi sesuai

urutan maturasi sel dan menyebabkan sel

yang terdiferensiasi tidak terlihat jelas

pada mikroskop cahaya

b. Tipe undifferentiated

Sel tumor memiliki nukleus berbentuk

oval atau vesikuler dan nukeloli prominen.

Tepi sel tidak jelas dan susunan sel tampak

lebih syncytial dibandingkan tersusun rapi.

Klasifikasi disesuaikan oleh gambaran

subtipe, yang didapat atau apabila

didapatkan keduanya dapat disebut sebagai

karsinoma non-keratinisasi dengan kedua

subtipe.

Sumber: (Wei et al., 2017)

19

2.2.5 Stadium

Pembagian stadium pada kanker nasofaring (KNF) dibedakan sebagai

berikut:

Tabel 2. Pembagian Stadium pada KNF

Klasifikasi Stadium Tumor KNF

T Menggambarkan keadaan tumor primer besar dan perluasannya

T1 Tumor hanya di nasofaring

T2 Tumor meluas sampai orofaring dan fossa nasal

T2a Tumor meluas namun tidak sampai parafaring

T2b Tumor meluas sampai parafaring

T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan sinus paranasal

T4 Tumor meluas ke intrakranial dan mengenai syaraf

Klasifikasi Nodul KNF

N Menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional

N0 Tidak terdapat pembesaran

N1 Perbesaran pada kelenjar ipsilateral < 6 cm

N2 Perbesaran pada kelenjar bilateral < 6 cm

N3 Perbesaran kelenjar >6 cm atau ekstensi ke supraklavikula

Klasifikasi Metastase KNF

M Menggambarkan metastase

M0 Tidak ada metastase jauh

M1 Terdapat metastase jauh

Pembagian stadium KNF berdasarkan tumor, nodul, metastase

Stadium 0 Tis dengan N0 dan M0

Stadium I T1, N0, M0

Stadium IIA T2, N0, M0

Stadium IIB T1/T2, N1 dan M0

Stadium III

Stadium IVA

Stadium IVB

Stadium IVC

T1/T2, N1/N2, M0 atau T3 dan N, N0/N1/N2 dan M0

T4 dan N0/N1 dan M0 atau T dan N2 dan M0

T1/T2/T3/T4 dan N3A/N3B dan M0

T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1

Sumber : (Primadina dan Mukhlis, 2017)

20

2.2.6 Diagnosis Kanker Nasofaring (KNF)

1. Anamnesis

Pada anamnesis ditanyakan kepada pasien yaitu terkait gejala kanker

nasofaring yang dapat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu gejala

nasofaring, gejala telinga, gejala mata dan saraf serta pembesaran

kelenjar getah bening (Efiaty et al., 2014). Gejala nasofaring dapat

berupa epistaksis ringan atau sumbatan pada hidung. Pada telinga

dijumpai tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di

telinga (otalgia) dan gangguan pendengaran, sedangkan gejala mata

dan saraf merupakan gejala lanjut dari kanker nasofaring. Penjalaran

tumor nasofaring akan mengenai saraf otak ke III, IV, V dan VI

sehingga pasien terdiagnosis oleh dokter mata sebagai diplopia.

Penjalaran tumor tersebut akan terus berlanjut hingga mengenai

saraf otak ke IX, X, XI dan XII dan mengakibatkan pasien

terdiagnosis sindrom Jackson (Kemenkes RI, 2014).

Dari anamnesis, pasien akan mengalami beberapa gejala diatas

secara bersamaan dan berulang (Sudoyo et al., 2014).

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada pasien kanker nasofaring yaitu melalui

status generalis dan status lokalis. Diperlukan pemeriksaan khusus

dengan pasien kanker nasofaring dikarenakan lokasi yang sulit

terjangkau (American Cancer Society, 2015). Pemeriksaan yang

dapat dilakukan untuk melihat nasofaring adalah : (Kemenkes RI,

2014).

21

1. Rinoskopi posterior

Untuk melihat massa pada nasofaring, digunakan kaca

tenggorok yang dipanaskan dengan lampu spritus. Dengan

menggunakan spatula lidah, kaca tenggorok dimasukan melalui

mulut sampai ke arah uvula dengan kaca mengarah ke atas.

Melalui sinar lampu diarahkan ke kaca tenggorok dan dapat

terlihat septum nasi bagian belakang, konka superior, media dan

inferior serta daerah nasofaring yang meliputi fossa

rossenmuller dan tuba eustachius.

2. Laringoskopi (direk/indirek)

Pemeriksaan laringoskopi merupakan pemeriksaan untuk

melihat keadaan dari laring. Pemeriksaan ini terbagi menjadi

dua yaitu laringoskopi direk dan laringoskopi indirek, kedua

pemeriksaan ini biasanya dilakukan bersamaaan. Laringoskopi

indirek dilakukan untuk melihat laring dari luar dengan cara

palpasi diketahui adanya nyeri tekan, gerakan laring saat

menelan dan limfonodi leher yang teraba serta melihat keadaan

laring dari faring. Untuk laringoskopi direk dilakukan dengan

pemeriksaan langsung laring melalui spekulum.

3. Nasofaringoskopi

Pemeriksaan nasofaringoskopi atau dapat disebut endoskopi

nasofaring. Alat yang digunakan adalah endoskop yaitu alat

yang dimasukkan kedalam nasofaring, berbentuk tabung tipis

dengan lensa kamera dan cahaya.

22

4. Pemeriksaan nasoendoskopi dengan Narrow Band Imaging

(NBI)

Pemeriksaan dengan teknik optikal terkini yang mampu

meningkatkan kemampuan diagnostik endoskopik dalam

menentukan karakteristik jaringan dengan menggunakan

narrow-bandwidth filters pada sistem video endoskopi.

3. Pemeriksaan Histopatologi

Diagnosis KNF didapatkan dengan melakukan pemeriksaan yaitu

mengambil sel abnormal lalu diperiksa dengan mikroskop, atau

biasa disebut pemeriksaan biopsi. Dilakukan teknik biopsi

bermacam–macam tergantung pada area abnormal, yaitu :

(American Cancer Society, 2015)

1. Endoscopic biopsy

Alat semacam tang biopsi yang dimasukkan melalui mulut atau

hidung dengan mengikuti tuntunan rinoskopi posterior atau

nasofaringoskopi.

2. Fine Needle Aspiration (FNA) Biopsy

Prosedur yang digunakan adalah jarum suntik tipis dan

berongga. Jarum tersebut ditempatkan di massa yang abnormal

selama 10 detik selanjutnya diambil beberapa fragmen jaringan

atau tetes cairan dari massa tersebut. Setelah itu sel diamati

dibawah mikroskop.

23

4. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan Radiologis yang sering dilakukan untuk mendeteksi

Kanker nasofaring yaitu : (American Cancer Society, 2015)

1. Chest x-ray

Untuk mengetahui apakah sel kanker sudah menyebar pada paru-

paru penderita.

2. CT – Scan

Gambaran CT-Scan pada kepala dan leher dapat menunjukkan

informasi tentang besar, bentuk dan posisi serta melihat

perbesaran kelenjar limfe yang mungkin disebabkan oleh tumor.

CT–Scan dapat digunakan untuk mengetahui gambaran tumor

yang sudah berkembang sampai ke basis cranii.

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan

Seperti pada CT–Scan, MRI dapat digunakan untuk menentukan

apakah sel kanker telah berkembang ke struktur lain disekitar

nasofaring. MRI dapat lebih baik dalam menampilkan jaringan

lunak disekitar leher dan tenggorokan namun kurang baik dalam

menggambarkan tulang yang merupakan tempat tersering untuk

tumor berkembang.

4. Positron Emission Tomography (PET) scan

Pemeriksaan ini dilakukan apabila ada kecurigaan sel tumor telah

menyebar ke kelenjar limfe. Pemeriksaan ini juga dapat

24

digunakan untuk menegakkan diagnosis apabila ditemukan

kecurigaan sel kanker dari rontgen dada. PET scan juga dapat

digunakan dalam kasus kecurigaan tumor mengalami metastasis

tapi belum diketahui lokasinya.

2.2.7 Tatalaksana

Tatalaksana untuk pasien dengan kanker nasofaring adalah :

1. Radioterapi

Radioterapi ialah pengobatan utama, sedangkan pengobatan

tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian

tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin

dan anti virus. Pada pasien kanker nasofaring dosis yang diberikan

adalah 200 rad/hari sampai mencapai 6000-6600 rad untuk tumor

primer, untuk kelenjar leher yang membesar diberikan 6000 rad. Jika

tidak ada pembesaran diberikan juga radiasi elektif sebesar 4000 rad

(Khoa dan Gady, 2012).

2. Kemoterapi

Kemoterapi adalah pengobatan kanker yang dilakukan dengan obat-

obatan. Pengobatan ini menjalar melalui tubuh dan dapat membunuh

sel kanker dimanapun di dalam tubuh. Akan tetapi kemoterapi dapat

merusak sel normal dan sehat, terutama sel sehat dalam lapisan

mulut dan sistem gastrointestinal, sumsung tulang serta kantung

rambut (American Cancer Society, 2015).

25

3. Terapi kombinasi

Terapi yang digunakan dengan cara mengkombinasikan cara

pengobatan satu dengan yang lainnya (Khoa dan Gady, 2012).

4. Operasi

Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih

ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar,

dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih

(Primadina dan Mukhlis, 2017).

2.3 Otitis Media

2.3.1 Definisi

Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa

telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.

Otitis media terdiri atas otitis media supuratif dan otitis media non

supuratif. Otitis media supuratif adalah sumbatan tuba eustachius

dengan tanda tanda infeksi yang terdiri dari otitis media akut (OMA)

dan otitis media supuratif kronik (OMSK). Otitis media non supuratif

adalah keadaan dimana terdapatnya sekret di telinga tengah tanpa

kerusakan membran timpani (Efiaty et al., 2014).

OMA umumnya bersifat cepat dan singkat yaitu kurang dari 2 minggu

dengan gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara

lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual,

26

muntah, diare, serta otorea, apabila telah terjadi perforasi membran

timpani maka disebut dengan OMSK (Djaafar dan Restuti, 2008).

OMSK adalah infeksi kronis di telinga tengah yang terjadi terus

menerus, terjadi akibat otitis media akut dengan perforasi yang

berlangsung lebih dari 2 bulan. OMSK terbagi atas OMSK tipe aman

dan OMSK tipe bahaya. OMSK tipe aman terjadi pada mukosa dan

jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya, OMSK tipe bahaya

yaitu OMSK yang disertai kolesteatoma. Kolesteatoma adalah suatu

kista epiterial yang berisi deskuamasi epitel (keratin) yang sering

berlanjut pada komplikasi yang berbahaya (Efiaty et al., 2014).

Otitis media non supuratif terjadi karena adanya sekret di telinga tengah

dengan membran timpani yang utuh. Sekret tersebut berhubungan erat

dengan fungsi dari tuba eustachius. Tuba eustachius berfungsi sebagai

pengatur keseimbangan antara tekanan udara di tekanan udara luar

telinga, telinga tengah dan dan telinga bagian dalam, serta sebagai

pelindung dengan sekret nasofaring ke telinga tengah, dan saluran

sekret telinga tengah ke nasofaring. Apabila terjadi kerusakan pada alur

tuba eustachius maka akan terjadi gangguan ventilasi, tekanan udara di

dalam telinga tengah menjadi negatif karena udara akan diabsorbsi oleh

mukosa telinga tengah yang mengakibatkan cairan dari pembuluh darah

kapiler dapat tertarik keluar memasuki telinga tengah dan menyebabkan

akumulasi cairan di telinga tengah. Sehingga cairan ini merupakan

media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Kerusakan pada fungsi

tuba eustachius akan menyebabkan nyeri telinga, berdengung, rasa

27

penuh di telinga hingga vertigo yang menyebabkan rasa tidak nyaman

dan dapat memengaruhi kualitas hidup penderita (Anugrahani et al.,

2015).

2.3.2 Epidemiologi

Otitis media akut (OMA) merupakan penyakit kedua tersering dalam

bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan

Leher dan sering terjadi pada masa kanak-kanak dan penyebab

kematian dari 51.000 anak usia kurang dari lima tahun di negara

berkembang. Prevalensi di dunia tertinggi terjadi pada anak–anak

berumur satu sampai empat tahun (60,99%) dan anak berusia kurang

dari satu tahun (45,28%). Angka kejadian OMA menurun pada orang

dewasa tetapi meningkat sebesar 2,3% setelah usia 75 tahun.

Setidaknya setengah sampai tiga perempat populasi di dunia pernah

mengalami satu kali episode otitis media selama hidupnya (Monasta et

al., 2012). Di Indonesia otitis media akut merupakan penyebab utama

morbiditas pada telinga tengah (Munilson dan Edward, 2008).

Prevalensi OMSK tertinggi di dunia ada di negara Tanzania, India,

Soloman Island, Guam, Australian Aboriginies, Greenland (Telischi et

al., 2015). Di Indonesia terdapat 6,6 juta penderita OMSK dari 220 juta

penduduk. Jumlah penderita ini akan terus bertambah setiap tahunnya

mengingat kondisi ekonomi, hygiene, dan kesadaran masyarakat akan

kesehatan yang masih kurang (Aboet, 2008).

28

Pada otitis media non supuratif atau dapat disebut otitis media serosa,

otitis media efusi, otitis media mukoid (glue ear), tercatat sebanyak

90% anak usia di bawah 10 tahun pernah menderita otitis media non

supuratif di Amerika Serikat. Di Inggris, terdapat 80% anak-anak usia

sampai 4 tahun pernah menderita otitis media non supuratif. Di

Indonesia sendiri terdapat 26 kasus otitis media non supuratif pada

7005 anak sekolah di usia 6 tahun sampai 15 tahun (Aquinas, 2017).

2.3.3 Etiologi

Otitis media akut disebabkan oleh bakteri dan virus. Bakteri yang

paling sering ditemukan adalah Streptococcus pneumaniae, diikuti oleh

Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus grup A,

dan Staphylococcus aureus. Virus terdeteksi pada sekret pernafasan

pasien dengan OMA dan cairan telinga tengah pasien dengan OMA.

Virus tersering yaitu respiratory syncytial virus (Munilson dan Edward,

2008).

Etiologi pada otitis media supuratif kronik (OMSK) dikarenakan

penanganan kasus otitis media akut yang buruk atau penanganan yang

telah berhasil namun tidak didukung lingkungan dan keadaan kesehatan

pasien contohnya seperti pasien otitis media yang menderita penyakit

lain sebelumnya. Selain itu, lebih banyak pasien dengan kelainan

kraniofasial (misalnya sumbing bibir / selera, ketidakmampuan otot

velopalatine) cenderung lebih memiliki kecenderungan otitis media

kronik serta genetik (Telischi et al., 2015).

29

Otitis media efusi disebabkan disfungsi tuba eustachius dari

pembesaran adenoid, infeksi saluran pernapasan atas, cacat bawaan

(misalnya sumbing bibir dan selera), alergi, barotrauma, tumor

nasofaring rinitis dan rinosinusitis. Faktor-faktor lain yang bisa yang

menyebabkan OME dapat berupa intubasi nasotrakeal berkepanjangan,

kepala dan leher operasi seperti maxillectomy, radioterapi kepala dan

gangguan leher dan immunodeficiency seperti multiple myeloma, cystic

fibrosis dan Human Immunodeficiency Virus/Acquired

Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) (Ibekwe dan Nwaorgu,

2011).

2.3.4 Klasifikasi Otitis Media

Menurut Efiaty et al., (2014) otitis media terdiri atas otitis media

supuratif dan otitis media non supuratif, Otitis media supuratif adalah

sumbatan pada telinga dengan adanya tanda-tanda infeksi sedangkan

otitis media non supuratif merupakan sumbatan pada telinga tengah

tanpa adanya tanda-tanda infeksi. Klasifikasi otitis media tersaji pada

tabel di bawah ini.

30

Tabel 3. Klasifikasi Otitis Media

Klasifikasi Keterangan

Otitis Media Akut Infeksi peradangan akut pada mukosa telinga

tengah yang melibatkan sel-sel mastoid dan

didominasi pada masa kanak-kanak. Terjadi karna

faktor pertahanan tubuh yang terganggu

diakibatkan sumbatan pada tuba eustachius.

Sumbatan tersebut mengakibatkan telinga tengah

terganggu sehingga kuman masuk ke dalam

telinga tengah dan terjadi peradangan .

Terdiri atas 5 stadium

1. Stadium oklusi tuba eustachius

2. Stadium hiperemis

3. Stadium supurasi

4. Stadium perforasi

5. Stadium resolusi Otitis Media Supuratif

Kronik

Otitis media supuratif kronik adalah otitis media

yang bersifat permanen dikarenakan perforasi

pada membran timpani setelah infeksi telinga

tengah yang lama sehingga menyebabkan sekret

keluar dari telinga tengah terus menerus

Otitis media non supuratif

(Nama lain : otitis media non

supuratif adalah otitis media

serosa, otitis media efusi,

otitis media mukoid (glue

ear))

Dapat akut dan kronik

Keadaan terdapatnya sekret non purulen dalam

telinga tengah, sedangkan membran timpani utuh.

Adanya cairan di telinga tengah disebut dengan

otitis media efusi, apabila efusi tersebut encer

disebut otitis media serosa dan apabila kental

disebut otitis media mukoid (glue ear)

Sumber : (Efiaty et al., 2014)

2.3.5 Patogenesis

Otitis media biasanya dimulai dari infeksi saluran pernapasan atas

(ISPA) atau alergi dan sumbatan pada telinga dari tuba eustachius

sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran napas atas,

termasuk nasofaring dan tuba eustachius. Tuba eustachius menjadi

sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah.

Bila keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks

dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah

melalui tuba eustachius (Noorizan et al., 2008).

31

Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba eustachius untuk mengatur

proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi

gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi

kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah yang

merupakan faktor pencetus terjadinya otitis media (Efiaty et al., 2014).

Bila tuba eustachius tersumbat akan mengakibatkan drainase telinga

tengah terganggu, lalu telinga tengah mengalami infeksi serta terjadi

akumulasi sekret yang kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen

pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin

dan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan

disfungsi tuba eustachius. Virus respiratori juga dapat meningkatkan

kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imun

pasien dengan infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak

dari proses inflamasi lokal, pendengaran dapat terganggu karena

membran timpani dan tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak

bebas dengan getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya

dapat merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi

(Ibekwe dan Nwaorgu, 2011).

32

Gambar 6.Patogenesis Otitis Media Sumber : (Efiaty et al., 2014)

2.3.6 Diagnosis

Diagnosis otitis media dibuat berdasarkan pada pemeriksaan membran

timpani. Dari pemeriksaan otoskopi didapatkan gerakan membran

timpani yang berkurang, cembung, kemerahan dan keruh, dapat juga

dijumpai sekret purulen. Adanya penurunan gerak dari membran

timpani merupakan dasar kecurigaan pada otitis media akut. Bila

diagnosis masih meragukan, perlu dilakukan tindakan aspirasi dari

telinga tengah. Pemeriksaan otoskopi dapat mengurangi kesalahan yang

terjadi dijelaskan melalui gambaran klinis dari membran timpani

Etiologi:

infeksi saluran

pernapasan

atas (ISPA)

atau alergi, dan

sumbatan pada

telinga

Gangguan tuba Tekanan telinga

negatif Efusi

Sembuh/normal

OME

OMA

Sembuh OME OMSK

33

dengan memperhatikan gerak dan posisi membran timpani (Ikatan

Dokter Indonesia, 2014).

Pada pemeriksaaan otitis media kronik dapat ditemukan gangguan

pendengaran konduktif, otorea yang berbau busuk. Dengan

pemeriksaan otoskop akan terlihat perforasi dan ditemukan pada telinga

yang kering. Terdapat inflamasi kronik, kalsifikasi, area atrofi, retraksi

atau destruksi osikular pada membran timpani dan telinga tengah.

Dapat dilakukan manuver valsava untuk melihat kerusakan pada tuba

eustachius, manuver valsava dapat menyebabkan munculnya

gelembung udara pada sekret (Anissa, 2017).

1. Otitis Media Akut

Gambaran klinis pada otitis media akut adalah penyakit muncul

mendadak (akut), ditemukan tanda efusi di telinga tengah. Efusi

dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, yaitu

menggembungnya gendang telinga, terbatas/tidak adanya gerakan

gendang telinga, adanya bayangan cairan di belakang gendang

telinga, cairan yang keluar dari telinga. Selain itu adanya tanda /

gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya

salah satu di antara tanda berikut kemerahan pada gendang telinga,

nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal (Munilson

dan Edward, 2008).

Gejala otitis media dapat dibagi menjadi sistemik (umum) dan lokal

(telinga). Gejala sistemik adalah demam tinggi (40-41°C), menolak

34

makan, teriakan terus-menerus dan mudah tersinggung, sedangkan

gejala yang berhubungan dengan telinga diantaranya sakit telinga

(otalgia), kebisingan di telinga (tinitus) dengan kesulitan dalam

pendengaran (konduktif gangguan pendengaran), dan adanya

discharge penuh pada telinga. Gambaran klinis lainnya yang

terdeteksi melalui otoskop tersaji pada Gambar 7 membran timpani

hiperemis dan menggembung (karna adanya eksudat dalam telinga

tengah). Terlihat debris mukopurulen atau purulen dan tampak

berdenyut selaras dengan denyut nadi pasien (Ibekwe dan Nwaorgu,

2011).

.

Gambar 7. Gambaran Otoskop Otitis Media Akut Sumber : (Ibekwe dan Nwaorgu, 2011)

2. Otitis Media Supuratif Kronik

Gambaran klinis yang dapat terlihat pada otitis media kronik tidak

khas seperti otitis media lainnya. Gejala yang tidak spesifik tersebut

dapat berupa demam, dengan kelainan telinga yang terisi penuh dan

dialami sejak lama atau berulang dan ditandai dengan kotoran telinga

35

yang berbau busuk. Otitis media kronik dapat bersifat unilateral atau

bilateral yang ditandai dengan otalgia. Gangguan pendengaran dapat

berjenis konduktif dan campuran (konduktif dan sensorineural).

Pemeriksaan otoskop pada Gambar 8 menunjukkan membran

timpani perforasi, gendang telinga yang menggembung, perubahan

warna gendang telinga menjadi kemerahan atau agak kuning dan

suram, serta cairan di telinga (Munilson dan Edward 2016).

Gambar 8.Gambaran Otoskop Otitis Media Supuratif Kronik Sumber : (Ibekwe dan Nwaorgu, 2011)

3. Otitis Media Non Supuratif/OME

Gambaran klinis yang sering terdapat pada OME adalah gangguan

pendengaran konduktif. Besarnya gangguan pendengaran biasanya

ringan sampai sedang (≤40 dB). Hal ini biasanya paling lazim pada

anak-anak di bawah usia 5 tahun. Dapat dideteksi secara kebetulan

pada saat tes audiometri (Screening test). Tekanan dari efusi bisa

menimbulkan otalgia (sakit telinga). Otitis media efusi pada masa

kanak-kanak biasanya dapat diawali dengan kesulitan berbicara

karena anak membutuhkan pendengaran yang tepat untuk pada saat

36

memulai memahami kata-kata di usia awal perkembangan. Temuan

pada otoskop terlihat membran timpani suram dan retraksi, kadang

kekuningan, atau efusi kebiruan. memperlihatkan warna membran

timpani yaitu coklat sampai kuning. Membran timpani menunjukkan

tingkat cairan dan / atau gelembung udara jika efusi adalah serosa,

tampak adanya bulging. Pada Gambar 9 membran timpani dapat

menunjukkan derajat tertentu retraksi ketika ada cairan kental dalam

telinga tengah (Aquinas, 2017).

Gambar 9. Gambaran Otoskop Otitis Media Non Supuratif Sumber : (Ibekwe dan Nwaorgu, 2011)

2.3.7 Tatalaksana

Umumnya setelah diagnosis otitis media ditegakkan, penatalaksanaan

yang dilakukan adalah mencegah dan mengurangi gejala. Otitis media

umumnya sembuh secara spontan dan diberikan terapi suportif, namun

untuk otitis media yang membutuhkan penanganan dan indikasi tertentu

maka dilakukan operasi yang sesuai indikasi. Terapi suportif yang biasa

dilakukan adalah analgesik sistemik yaitu ibuprofen dan parasetamol.

selain itu pemakaian antibiotik dan antihistamin dapat diberikan pada

37

pasien otitis media Penatalaksanaan otitis media dilakukan berdasarkan

klasifikasi yang spesifik yaitu otitis media akut, efusi dan kronik

menurut Ibekwe dan Nwaorgu (2011).

1. Otitis Media Akut

Penatalaksanaan Otitis Media Akut (OMA) harus memasukkan

penilaian adanya nyeri. Jika terdapat nyeri, harus memberikan terapi

untuk mengurangi nyeri tersebut. Penanganan nyeri harus dilakukan

terutama dalam 24 jam pertama onset OMA tanpa memperhatikan

penggunaan antibiotik. Penanganan nyeri telinga pada OMA dapat

menggunakan analgesik seperti asetaminofen, ibuprofen, preparat

topikal seperti benzokain, naturopathic agent, homeopathic agent,

analgesik narkotik dengan kodein atau analog, dan

timpanostomi/miringotomi. Tergantung pada stadium penyakit yaitu:

(Munilson dan Edward, 2008)

1. Stadium Oklusi: diberikan obat tetes hidung HCL efedrin 0,5%,

dan pemberian antibiotik.

2. Stadium Presupurasi: analgesik, antibiotika (biasanya golongan

ampisilin atau penisilin) dan obat tetes hidung.

3. Stadium Supurasi: diberikan antibiotika dan obat-obat

simptomatik. Dapat juga dilakukan miringotomi bila membran

timpani menonjol dan masih utuh untuk mencegah perforasi.

4. Stadium Perforasi: Diberikan H2O2 3% selama 3-5 hari dan

diberikan antibiotika yang adekuat

38

2. Otitis Media Non Supuratif/OME

Penggunaan topikal vasokonstriktor/dekongestan nasal untuk

mengurangi edema pada tuba eustachius, hidung dan mukosa telinga

tengah. Penggunaan obat anti-alergi untuk kasus alergi

diidentifikasi/atopi dan latihan fisik yang relevan misalnya rahang

(melalui permen karet) dan manuver valsava untuk meningkatkan

keseimbangan telinga tengah. Ketika manajemen konservatif tidak

cukup untuk penyelesaian masalah, operasi diindikasikan. Penyebab

pertama persetujuan untuk operasi mungkin memerlukan perbaikan

bedah tertentu atau manuver untuk menyelesaikan OME dan

mencegah kejadian masa depan. Sebagai contoh sumbing perbaikan

bibir atau langit-langit, antrostomy dan wash out (jika perlu di

rhinosinusitis), adenoidectomy atau tonsilektomi. Penyebab kedua

dalam situasi di mana efusi adalah kental atau besar, myringotomy

diindikasikan untuk evakuasi tersebut. sayatan vertikal biasanya

ditempatkan baik di antero-inferior atau di segmen antero-superior

dari membran timpani untuk prosedur ini, sementara micro-pipetting

diterapkan untuk evakuasi penyisipan tabung cairan dan

tympanostomy untuk aerasi. Bukti menunjukkan hasil yang lebih

baik dan lebih rendah komplikasi pada OME dikelola dengan tabung

tympanostomy (Aquinas, 2017).

39

3. Otitis Media Supuratif Kronik

Prinsip terapi OMSK tipe benigna ialah konservatif atau dengan

medikamentosa. Bila sekret yang keluar terus menerus, maka

diberikan obat pencuci telinga, berupa larutan H2O2 3% selama 3-5

hari. Setelah sekret berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan

memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotik dan

kortikosteroid. Otitis media kronis dengan infeksi efektif diobati

dengan tetes telinga yang mengandung garamisin, polimiksin, atau

neomisin. Tetesan yang mengandung antibiotik yang efektif

melawan Pseudomonas sp dan Staphylococcus aureus. Tetes telinga

yang mengandung zat ototosik (antibiotik aminoglikosida), hanya

untuk digunakan menangani pembengkakan akut dan hanya boleh

digunakan dalam waktu singkat (tidak lebih dari 3 hari). Obat tetes

mengandung asam asetat 0,5% - 2% juga efektif tetapi dapat

menimbulkan rasa nyeri. Pencitraan radiologi (sinar-X, CT scan)

seperti otitis media sangat penting untuk mengetahui tingkatan

penyakit dan untuk memberikan panduan operasi, di tempat yang

ditentukan. Antibiotik (topikal dan sistemik), dekongestan nasal dan

suplemen vitamin (vitamin C dan A) untuk meningkatkan

penyembuhan. Operasi dilakukan berdasarkan luasnya penyakit dan

keadaan pasien (Anissa, 2017).

40

2.4 Hubungan Kanker Nasofaring dengan Otitis Media

Kasus Otitis Media terjadi dikarenakan adanya faktor yang menyebabkan

disfungsi tuba eustachius. Disfungsi tuba eustachius menyebabkan terjadinya

penurunan dari fungsi membran timpani dan fungsi telinga tengah. Pada

keadaan normal mukosa telinga tengah akan selalu mensekresi mukus yang

akan dibersihkan oleh mekanisme mukosilier ke nasofaring melalui tuba

eustachius. Apabila kondisi ini terganggu akibat peningkatan produksi

mukus, gangguan pembersihan mukus dari telinga tengah, atau gabungan dari

keduanya, akan terbentuk efusi pada telinga tengah dan berkembang menjadi

Otitis Media. Otitis Media seringkali dikaitkan dengan pasien Kanker

Nasofaring (KNF), pasien KNF menyebabkan kerusakan yang menimbulkan

jaringan parut pada ujung tuba eustachius yang menyebabkan gangguan

proses pembersihan sekret oleh mukosilia pada tuba eustachius, fibrosis otot

tensor veli palatini, juga inflamasi telinga tengah (Rusly et al., 2015).

Perluasan tumor KNF akan menyebar tanpa diketahui oleh penderita hingga

tumor tersebut menyebar luas, salah satunya dengan mendesak tuba

eustachius (Hutajulu et al., 2011). Pendesakan tuba eustachius akibat kanker

nasofaring dapat menyebabkan keluhan telinga terasa tersumbat yaitu rasa

tidak nyaman dan terjadi tinitus, tumor akan menyebar dan menyebabkan

otitis media (Chen, 2012).

41

2.5 Kerangka Teori

Kanker nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari epitel

permukaan nasofaring dan dapat berkembang disekitar ostium tuba eustachius

yang berada pada dinding lateral nasofaring (Cahyadi dan Dewi, 2014).

Pembengkakan mukosa yang disebabkan oleh kanker nasofaring dapat

menyebabkan disfungsi tuba eustachius, sehingga fungsi fisiologis terbatas

yaitu fungsi ventilasi, drainase sekresi telinga tengah, dan proteksi dari

tekanan suara yang berlebih serta adanya perubahan tekanan (Kaur et al.,

2014).

Gangguan pada fungsi tuba eustachius adalah salah satu faktor penyebab

otitis media yang memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya

otitis media supuratif dan non supuratif. (Rusly et al., 2015). Disfungsi tuba

eustachius dapat disebabkan dari pembesaran adenoid, infeksi saluran

pernapasan atas, cacat bawaan (misalnya sumbing bibir dan selera), alergi,

barotrauma, tumor nasofaring rinitis dan rhinosinusitis, intubasi nasotrakeal

berkepanjangan, kepala dan leher operasi seperti maxillectomy, radioterapi

kepala dan gangguan leher dan immunodeficiency seperti multiple myeloma,

cystic fibrosis dan Human Immunodeficiency Virus/Acquired

Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) (Ibekwe dan Nwaorgu, 2011).

Sumbatan tuba eustachius juga dapat terjadi pada penyakit tonsilitis, laringitis

dan epiglotitis dikarenakan bakteri dan virus (Pusparani, 2012; Anderson,

2015; Sadiq, 2018). Kelainan kraniofasial (misalnya sumbing bibir / selera,

42

ketidakmampuan otot velopalatine) cenderung lebih memiliki kecenderungan

otitis media kronik serta genetik (Telischi et al., 2015).

Bila keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan

aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah melalui

tuba eustachius (Noorizan et al., 2008). Penyebaran tumor ke lateral akan

menyumbat muara tuba eustachius dan akan mengganggu pendengaran serta

menimbulkan cairan di telinga tengah (Ballenger dan Snow, 2010).

Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba eustachius untuk mengatur

proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan

akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan

terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah yang merupakan faktor pencetus

terjadinya otitis media (Efiaty et al., 2014)

Gambar 10.Kerangka Teori Hubungan antara kanker nasofaring dengan otitis media

Otitis Media

Pembengkakan pada daerah

tuba eustachius menyebabkan

disfungsi tuba eustachius

Refluks cairan yang menumpuk

akan menyumbat muara tuba

Eustachius dan akan

mengganggu pendengaran serta

menimbulkan cairan di telinga

tengah

Tonsillitis, laringitis,

epiglotitis

Kanker Nasofaring

ISPA, Cacat bawaan, ,

Rinitis, Rinosinusitis,

Barotrauma Intubasi

Nasotrakeal

berkepanjangan seperti

pada operasi

maksilektomi,

radioterapi kepala dan

gangguan leher.

Imunodefisiensi seperti

multiple myeloma,

cystic fibrosis dan

penderita Acquired

Imunodeficiency

Syndrome (AIDS)

Kelainan Kraniofasial,

Gangguan fungsi tuba

eustachius

Terjadi refluks dan aspirasi

virus atau bakteri dari tuba

eustachius ke dalam telinga

tengah

Keterangan:

= Diteliti

= Tidak diteliti

= Mempengaruhi

44

2.6 Kerangka Konsep

Gambar 11. Kerangka Konsep

2.7 Hipotesis

Terdapat hubungan antara kanker nasofaring dengan otitis media di poli

telinga hidung tenggorok dan kepala leher RSUD Dr. H. Abdul Moeloek

Periode Januari-Desember 2017.

Variabel dependen

Variabel independen

Kanker Nasofaring

Otitis Media

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Desain penelitian yang dilakukan adalah Cohort dengan pendekatan

retrospective. Penelitian dengan jenis Cohort retrospective adalah penelitian

menelusur kebelakang untuk mengidentifikasi faktor resiko mempengaruhi

terjadinya efek. Faktor resiko dalam penelitian ini adalah kanker nasofaring

dengan efek yaitu otitis media. Untuk mencari hubungan antara 2 variabel

tersebut dilakukan dengan cara membagi suatu populasi yang sama pada

faktor yang memiliki resiko dan tidak. Berdasarkan faktor yang memiliki

resiko yaitu pasien kanker nasofaring, dibandingkan dengan faktor yang tidak

memiliki resiko yaitu pasien bukan kanker nasofaring kemudian dinilai efek

yang terjadi pada kedua kelompok.

Gambar 12. Skema Rancangan Penelitian “Hubungan Kanker Nasofaring

dengan Otitis Media”

Bukan Kanker Nasofaring

Otitis Media

Bukan Otitis Media

Kanker Nasofaring

Otitis Media

Bukan Otitis Media Pasien THT-KL

46

3.2 Lokasi dan waktu penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek (RSAM)

Bandar Lampung.

3.2.2 Waktu penelitian

Penelitian ini berlangsung pada bulan Oktober sampai November 2018.

3.3 Populasi dan sampel penelitian

3.3.1 Populasi penelitian

Populasi menurut Notoatmodjo (2010) adalah keseluruhan objek

penelitian. Populasi yang diambil adalah semua pasien rawat jalan dan

rawat inap di Poli THT RSAM Bandar Lampung pada Januari sampai

Desember tahun 2017.

3.3.2 Sampel penelitian

Sampel menurut Nursalam (2008) adalah suatu cara yang ditempuh

untuk pengambilan sampel dari populasi yang benar-benar sesuai dari

keseluruhan objek penelitian dan dianggap mewakili seluruh populasi.

Sampel dalam penelitian ini diambil berdasarkan teknik total sampling.

Teknik total sampling merupakan jenis non-probability yaitu jumlah

sampel sama dengan jumlah populasi. Penggunaan total sampling

47

dengan perbandingan 1:2 dari kelompok faktor resiko dan kelompok

faktor yang tidak memiliki resiko.

Kriteria sampel meliputi kriteria inklusi dan eksklusi, dimana kriteria

tersebut menentukan dapat dan tidaknya sampel tersebut dapat

digunakan. Pasien yang memenuhi kriteria metode pemilihan sampel ini

yaitu sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi

1. Pasien kanker nasofaring yang melakukan follow up lebih dari 2

kali dan tercatat di rekam medis dengan data rekam medis

lengkap serta catatan pemeriksaan patologi anatomi.

2. Pasien selain kanker nasofaring yang melakukan follow up lebih

dari 2 kali dan tercatat di rekam medis.dengan data rekam medis

lengkap.

b. Kriteria eksklusi

1. Pasien penderita kanker nasofaring yang langsung mendapatkan

tindakan operasi tanpa follow up.

2. Pasien penderita kanker nasofaring yang telah dirujuk ke rumah

sakit lain.

3. Pasien penderita kanker nasofaring di poli onkologi RSAM

4. Pasien tonsilitis, laringitis, epiglotitis, ISPA, kelainan

kraniofasial, rinitis, rinosinusitis, pasien radioterapi kepala dan

gangguan leher dan pasien imunodefisiensi.

48

3.4 Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu sebagai berikut:

a. Variabel Bebas (Independen)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pasien kanker nasofaring di

RSAM Bandar Lampung pada tahun 2017.

b. Variabel Terikat (Dependen)

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pasien otitis media di RSAM

Bandar Lampung pada tahun 2017.

3.5 Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini digunakan alat bantu dalam pengumpulan data agar

pengolahan data dapat dilakukan secara sistematis dan mudah, yaitu:

a. Alat tulis

b. Lembar pencatatan data

3.6 Metode pengambilan data

Data yang diambil pada penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder

yaitu catatan rekam medis pasien kanker nasofaring dan bukan kanker

nasofaring diambil dari rekam medis pada Januari sampai Desember 2017 di

RSAM. Data juga diambil menggunakan data primer pada rekam medis

pasien yang tidak lengkap, dilakukan wawancara terhadap pasien melalui

media elektronik seperti telepon dan email. Setelah data terkumpul, analisis

data dilakukan dengan metode statistik.

49

3.7 Prosedur Penelitian

Gambar 13. Prosedur Penelitian

Pengumpulan data pasien di Poli THT-KL Januari sampai

Desember 2017

Pengambilan data rekam medis pada tahun 2017

Pengolahan data dari data-data yang

memenuhi kriteria

Data yang telah diolah dilakukan pengelompokkan sesuai

dengan atau tanpa otitis media pada rekam medis

Analisis data

Pasien kanker nasofaring

Pasien bukan kanker

nasofaring

Wawancara pasien yang memiliki data

rekam medis tidak lengkap

Laporan penelitian

50

3.8 Definisi Operasional

Untuk memudahkan penelitian ini maka definisi operasional sebagai berikut:

Tabel 4. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat

Ukur

Kriteria Objektif Skala

1 Kanker

Nasofaring

Tumor ganas sel

skuamosa yang

berasal dari epitel

permukaan nasofaring

(Cahyadi dan Dewi,

2014). Diagnosis

telah ditegakkan oleh

dr. Sp.PA serta

tercatat di rekam

medis di RSAM.

Rekam

medis

0. : Kanker

Nasofaring

1. : Bukan Kanker

Nasofaring

nominal

2 Otitis

Media

Peradangan yang

terjadi pada sebagian

atau seluruh mukosa

telinga tengah,tuba

eustachius, antrum

mastoid dan sel

mastoid (Efiaty et al.,

2014).

Status Otitis Media

telah ditegakkan oleh

dr. Sp.THT dan

tercatat pada rekam

medis di RSAM

Rekam

medis

0. : Otitis Media

1. : Bukan Otitis

Media

nominal

51

3.9 Pengolahan dan Analisis data

3.9.1 Pengolahan Data

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif

analitik dengan pendekatan cohort retrospective. Data yang diperoleh

dari pengumpulan data akan diubah ke dalam bentuk tabel, lalu data

diolah dengan menggunakan program komputer yang terdiri dari

beberapa langkah:

a. Editing untuk memeriksa kembali kebenaran data yang sudah

diperoleh. Editing dapat dilakukan pada saat pengumpulan data atau

setelah data terkumpul

b. Coding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang

dikumpulkan selama penelitian ke dalam kode yang cocok untuk

keperluan analisis. Dengan pemberian kode angka pada data lalu

dimasukkan ke dalam table kerja agar memudahkan pengolahan

Pada penelitian ini, menggunakan coding sebagai berikut:

1. Kanker Nasofaring

a. Kode “0”, untuk kelompok “Kanker Nasofaring”

b. Kode “1”, untuk kelompok “Bukan Kanker Nasofaring”

2. Otitis Media

a. Kode “0”, untuk kelompok “Otitis Media”

b. Kode “1”, untuk kelompok “Bukan Otitis Media”

c. Data entry yaitu memasukkan data ke dalam komputer.

52

d. Verifikasi untuk memasukkan data pemeriksaan secara visual

dengan data yang telah dimasukkan ke dalam komputer.

e. Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh komputer

kemudian dicetak.

3.9.2 Analisis Data

Analisis statistika untuk mengolah data yang diperoleh akan

menggunakan program komputer dimana akan dilakukan 2 macam

analisa data, yaitu analisa univariat dan analisa bivariat.

a. Analisis Univariat

Analisis ini digunakan untuk memperoleh gambaran distribusi dan

frekuensi pada variabel independen dan dependen dan yang diteliti.

Analisis data menggunakan SPSS 23.0 for windows.

b. Analisis Bivariat

Digunakan Uji Chi-Square untuk mengetahui hubungan antara

variabel yang diteliti pada tingkat kepercayaan 95% yaitu antara

kanker nasofaring dengan otitis media. Uji ini dipilih karena data

yang didapatkan adalah jenis data nominal, sehingga dapat

digunakan untuk menganalisis data. Syarat uji ini antara lain jumlah

sampel harus cukup besar yakni ≥ 30, pengamatan harus bersifat

independen, dan hanya dapat digunakan pada data diskrit atau data

kontinu yang telah dikelompokkan menjadi kategori. Sedangkan

untuk hipotesis apabila nilai P<0.05 (5%) maka hipotesis penelitian

53

diterima dan apabila nilai P>0.05 (5%) berarti hipotesis penelitian

ditolak.

Jika pada hasil penelitian tidak mencukupi syarat Chi square, maka

nilai sig. (p) dilihat dengan uji alternatif yaitu Fischer Exact.

3.10 Etika Penelitian

Data yang diperoleh merupakan data sekunder rekam medis pasien di

RSAM Bandar Lampung Dalam penelitian berpedoman pada norma dan

etika penelitian dengan tidak mencantukan nama responden yaitu anonimity

(tanpa nama) dan menuliskan inisial pada lembar pengumpulan data juga

menjaga kerahasiaan (confidentiality) agar tidak tersebar luas mengenai

identitas responden. Penelitian ini telah melalui kaji etik dan mendapatkan

surat kelayakan etik untuk melakukan penelitian dari Komisi Etik Penelitian

Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan nomor surat

5056/UN26.18/PP.05.02.00/2018.

.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka terdapat hubungan antara kanker

nasofaring dengan otitis media di poli telinga hidung tenggorok dan kepala

leher RSUD dr. H. Abdul Moeloek periode Januari-Desember 2017.

5.2 Saran

Diharapkan mampu memberikan informasi ilmiah mengenai kanker

nasofaring dengan otitis media, juga bagi peneliti selanjutnya dapat

melakukan penelitian dengan cakupan sampel yang lebih banyak dan dalam

rentang waktu lebih lama sehingga tingkat keakuratan hasil penelitian akan

lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Aboet A. 2008. Radang telinga tengah menahun bidang Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Medan: FK Universitas

Sumatera Utara.

Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo

S., et al. 2012. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: Epidemiology,

incidence, signs, and symptoms at presentation. Chinese Journal of

Cancer. 31(4): 185–96.

Adyta PD, Sekarutami SM, Witjaksono F. 2015. Radioterapi dan onkologi

Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia

(PORI). 6(2): 50–92.

Alni D, Wiwit A, Harianto. 2016. Distribusi keganasan nasofaring berdasarkan

pemeriksaan histopatologi pada rumah sakit di kota pekanbaru tahun

2009-2013. JOM FK. 3(1):1-3.

American Cancer Society. 2015. Nasopharyngeal cancer. New York: American

Cancer Society

Anderson B. 2015. Epiglottitis. Pediatrics intensive care unit starship hospital.

2:1-4.

Anissa N. 2017. Karakteristik pasien otitis media supuratif kronik [skripsi].

Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasannudin.

Anugrahani A, Madiadipoera T, Dermawan A. 2015. Korelasi otitis media dengan

temuan nasoendoskopi pada penderita rinosinusitis akut. ORLI. 45(2).2-3

Arania R, Puji SM, Jayanti. I. 2014. Hubungan faktor usia, jenis kelamin dan

gejala klinis dengan kejadian karsinoma nasofaring di RSUD DR.H.

Abdul Moeloek. Jurnal Ilmu Kedokteran dan Kesehatan. 1(3):1-15.

71

Aquinas R. 2017. Tatalaksana Otitis Media Efusi pada Anak. Cermin Dunia

Kedokteran. 44(7):472–477.

Ballenger JJ, Snow JB. 2010. Otorhinolaryngology head and neck surgery.

Ontario: BC Decker Inc.

Bylander A, Ivarsson A, Tjernstrom O. 2009. Eustachian tube function in normal

children and adults. Acta Oto-Laryngologica. 92(1–6): 481–91.

Cahyadi I. Dewi YA. 2014. Status pendengaran pada penderita karsinoma

nasofaring. Bandung: Fakultas Kedokteran UNPAD.

Chen, SS. 2012. Carcinogenesis, diagnosis, and molecular targeted treatment for

nasopharyngeal carcinoma. Croatia: InTech.

Chin L, Mao C, Chia H, Suey S. 2012. New therapeutic strategy for treating otitis

media with effusion in postirradiated nasopharyngeal carcinoma patients.

Journal of The Chinese Medical Association. 75(1): 329-34.

Dhingra PL. 2014. Disease of ear, nose, and throat & head and neck surgery.

India: Elsevier.

Djaafar ZA, Restuti RD. 2008. Kelainan telinga tengah. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny R. 2014. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Esha BP. 2011. Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Di Departemen

Ilmu Kesehatan Tht-Kl RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode

Tahun 2006 - 2010 [Skripsi]. Bandung: FK UNPAD

Firdaus MA, Prijadi J. 2009. Kemoterapi Neoadjuvan pada Karsinoma

Nasofaring. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Forman DBF. 2014. Cancer incidence in five continents. WHO Press.

Friedel S, Zilora S, Bogaard D, Casey JR, Pichichero ME. 2014. Five-year

prospective study of paediatric acute otitis media ini rochester, NY:

modelling analysis of the risk of pneumococcal colonization in the

nasopharynx and infection. Cambridge university. 1 (2):2186-94.

72

Globocan. 2012. Estimated cancer incidence, mortality, prevalence and disability-

adjusted life years (DALYs) Worldwide. IARC Cancer Base No. 11.

Diakses tanggal 4 september 2018.

Glynn F, Keogh IJ, Ali TA. 2008. Routine nasopharyngeal biopsy in adults

presenting with isolated serous otitis media. Journal of otolaryngology-

head & neck surgery. 120(6):439-41.

Ho KY, Lee KW, Chai CY, Kuo WR, Wang HM, Chien CY, et al. 2008. Early

recognition of nasopharyngeal cancer in adults with only otitis media

with effusion. Journal of otolaryngology - head & neck surgery. 37(3):

362–65.

Huang WY, Lin CC, Jen YM, Lin KT, Yang MH, Chen CM, et al. 2012.

Association between adult otitis media and nasopharyngeal cancer: A

nationwide population-based cohort study. Elsevier Ireland Ltd. 104(3):

338–42.

Hutajulu SH, Indrasari SR, Indrawati LP, Harijadi A, Duin, S, Haryana SM., et al.

2011. Epigenetic markers for early detection of nasopharyngeal

carcinoma in a high risk population. Molecular Cancer BioMed Central

Ltd. 10(1): 48-9.

Ibekwe TS, Nwaorgu OGB. 2011. Classification and management challenges of

otitis media in a resource-poor country. Nigerian Journal of Clinical

Practice. 14(3):262–69.

Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Otitis Media Akut. Edisi ke-2. PPK Fasyankes.

406–8.

Kaur R, Czup K, Casey JR, Pichichero ME. 2014. Correlation of nasopharyngeal

cultures prior to and at onset of acute otitis media with middle ear fluid

cultures. BMC Infectious Diseases. 14(1): 640-41.

Kein W, Low C, Rangabashyam M. 2009. Ear-Related Issues in Patients with

Nasopharyngeal Carcinoma. Singapore: Department of Otolaryngology

Singapore General Hospital.

Kemenkes. 2015. Panduan Nasional Penanganan Kanker. Jakarta: Kemenkes RI.

Kementrian Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi Kesehatan. 2014. Komite

Penanggulangan Kanker Nasional. Jakarta : Kemenkes RI

73

Khoa D, Gady E. 2012. Kanker Kepala dan Leher. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Kuo C, Wang M, Chu C, Suey S. 2012. New therapeutic strategy for treating otitis

media with effusion in postirradiated nasopharyngeal carcinoma patients.

Journal of the chinesse medical association. 2(3): 329-34.

Linda C, Ede, James B, Tasne C, Yimei H, Janak A. 2013. Lactate dehydrogenase

as a marker of nasopharyngeal inflammatory injury during viral upper

respiratory infection: implications for acute otitis media. International

Paediatric Research Foundation. 73(3):1-2.

Marieb EN. 2015. Human anatomy & physiology. Boston: Pearson Education Inc.

Maruyama A, Tsunoda A, Takahashi M, Kishimoto S, Suzuki M. 2014.

Nasopharyngeal pleomorphic adenoma presenting as otitis media with

effusion: Case report and literature review. American Journal of

Otolaryngology - Head and Neck Medicine and Surgery. 35(1): 73–6.

Monasta L, Ronfani L, Marchetti F, Montico M, Brumatti LV, Bavcar AG, et al.

2012. Burden of disease caused by otitis media. Systematic review and

global estimates. PLoS ONE 7(4): e36226.

Munilson J, Edward Y. 2008. Penatalaksanaan otitis media akut. Padang: Fakultas

Kedokteran UNAND

Noorizan Y, Chew YK, Khir A, Brito-Mutunayagam S. 2008. Nasopharyngeal

carcinoma: Recognizing it early in children with otitis media with

effusion. Medical Journal of Malaysia. 63(3): 261–62.

Notoatmodjo S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan

Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta:

Salemba Medika.

Primadina MA, Imanto M. 2017. Tumor nasofaring dengan diplopia pada pasien

usia 44 tahun. Jurnal Medula. 7(4) 181-86.

Purwanto H. 2015. Hubungan usia dan jenis kelamin dengan kejadian karsinoma

nasofaring di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun

2013-2014. Jurnal Medika Malahayati. 2(3): 146-50.

74

Pusparani A. 2012. Hubungan tonsilitis dengan otitis media supuratif akut

(OMSA) di Rumah Sakit Umum Daerah Jombang 1 Januari-31

Desember 2011. Jurnal Universitas Muhammadiyah Malang. 2: 2-3.

Raghavan P, Mukherjee S, Jameson MJ, Wintermark M. 2014. Manual of head

and neck imaging. Volume 2. 53–71.

Rahman S, Budiman BJ, Subroto H. 2015. Faktor risiko non viral pada karsinoma

nasofaring. Jurnal Kesehatan Andalas. 4(3): 988–95.

Rusly RF, Anggraeni R, Dewi YA, Boesoirie SF. 2015. Pemasangan grommet

pada pasien otitis media efusi dengan riwayat karsinoma nasofaring

pasca radioterapi. Bandung: Fakultas kedokteran UNPAD.

Sadiq ST. 2018. Isolation and identification of some bacterial genes from otitis,

pharyngitis and laryngitis in dual infections and testing their

susceptibility to some antibiotic in laboratory. Izmir Katip Celebi

University Journal. 2: 1-2.

Smith ME, Scoffings DJ, Tysome JR. 2016. Imaging of the eustachian tube and

its function: a systematic review. Neuroradiology. 58(6): 543–56.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MSS. 2014. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Edisi ke-3. Jakarta: Interna Publishing.

Tabuchi K, Nakayama M, Nishimura B, Hayashi K, Hara A. 2011. Early detection

of nasopharyngeal carcinoma. International journal of otolaryngology.

201: 1-6.

Tamrin AMH. 2014. Deteksi waktu transportasi mukosilier pada perokok dan non

perokok dengan uji sakharin [skripsi]. Jakarta: FK Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah

Telischi FF, Eshraghi AA, Yan D, Yao Q, Lisi, CV Mittal R., et al. 2015. Current

concepts in the pathogenesis and treatment of chronic suppurative otitis

media. Journal of Medical Microbiology. 64(10): 1103-16.

Van Dongen TMA, Van Der Heijden GJMG, Van Zon A, Bogaer D, Sanders

EAM, Schilder AGM. 2013. Evaluation of concordance between the

microorganisms detected in the nasopharynx and middle ear of children

with otitis media. Pediatric Infectious Disease Journal. 32(5): 549–52.

Wei KR, Zheng RS, Zhang SW, Liang ZH, Li ZM, Chen WQ. 2017.

Nasopharyngeal carcinoma incidence and mortality in China. Chinese

Journal of Cancer BioMed Central. 36(1): 90-1.