hub suhu, do terhadap aktivitas ikan.doc

32
PENGARUH PERBEDAAN TEMPERATUR DAN DO (Dissolved Oxygen) TERHADAP AKTIVITAS IKAN MAS (Cyprinus carpio L) LAPORAN PRAKTIKUM EKOFISIOLOGI Oleh: Ernest 103244012 UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 1

Upload: ernest-no-yuutsu

Post on 09-Feb-2016

25 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

monggo di dunlut tapi jangan lupa like atau comment ya...FREE FOR ALL, ALL FOR FREE

TRANSCRIPT

Page 1: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

PENGARUH PERBEDAAN TEMPERATUR DAN DO (Dissolved Oxygen) TERHADAP AKTIVITAS IKAN MAS (Cyprinus carpio L)

LAPORAN PRAKTIKUM EKOFISIOLOGI

Oleh:

Ernest

103244012

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN BIOLOGI

2012

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 1

Page 2: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Makhluk hidup memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi

lingkungannya. Kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya disebut dengan adaptasi.

Adaptasi dapat berupa adaptasi morfologi, fisiologis dan tingkah laku. Pada lingkungan perairan,

faktor fisika, kimiawi dan biologis berperan dalam pengaturan homeostatis yang diperlukan bagi

pertumbuhan dan reproduksi biota perairan. Keberhasilan suatu organisme untuk bertahan hidup

dan bereproduksi mencerminkan keseluruhan toleransinya terhadap kondisi lingkungan yang

dihadapi organisme tersebut (Campbell, 2004).

Suhu merupakan faktor penting dalam ekosistem perairan (Ewusie. 1990; 180). Hal ini

disebabkan karena suhu mempengaruhi kecepatan reaksi kimiawi dalam tubuh dan sekaligus

menentukan kegiatan metabolisme. Reaksi enzimatis juga sangat berpengaruh pada suhu karena

aktivitas metabolisme di berbagai jaringan organisme bergantung pada kemampuan untuk

mempertahankan suhu yang sesuai dalam tubuhnya (Yuliani, 2012).

Kenaikan suhu air dapat akan menimbulkan kehidupan ikan dan hewan air lainnya

terganggu (Kanisius. 1992; 22). Menurut Soetjipta (1993; 71), Air memiliki beberapa sifat termal

yang unik, sehingga perubahan suhu dalam air berjalan lebih lambat dari pada udara. Selanjutnya

Soetjipta menambahkan bahwa walaupun suhu kurang mudah berubah di dalam air daripada di

udara, namun suhu merupakan faktor pembatas utama, oleh karena itu mahluk akuatik sering

memiliki toleransi yang sempit.

Ikan Mas termasuk dalam hewan ektoterm yang berarti suhu tubuh ikan berasal dari suhu

disekelilingnya, suhu lingkungan merupakan sumber panas tubuhnya (Yuliani, 2012). Ikan

mempunyai derajat toleransi terhadap suhu dengan kisaran tertentu yang sangat berperan bagi

pertumbuhan, inkubasi telur, konversi pakan dan resistensi terhadap penyakit. Secara

kesuluruhan ikan lebih toleran terhadap perubahan suhu air, beberapa spesies mampu hidup pada

suhu air mencapai 290C, sedangkan jenis lain dapat hidup pada suhu air yang sangat dingin, akan

tetapi kisaran toleransi masing-masing individu berbeda (Sukiya, 2005). Ikan akan mengalami

stress manakala terpapar pada suhu diluar kisaran yang dapat ditoleransi. Pada lingkungan

perairan, faktor fisik, kimiawi dan biologis berperan dalam pengaturan homeostatis yang

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 2

Page 3: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

diperlukan bagi pertumbuhan dan reproduksi ikan. Perubahan-perubahan faktor tersebut hingga

batas tertentu dapat menyebabkan stress dan timbulnya penyakit. Faktor fisik tersebut mencakup

suhu, dan intensitas cahaya.

   Ikan yang hidup di dalam air yang mempunyai suhu relatif tinggi akan mengalami kenaikan

kecepatan respirasi (Kanisius. 1992; 23). Hal tersebut dapat diamati dari perubahan gerakan

operculum ikan. Kisaran toleransi suhu antara spesies ikan satu dengan lainnya berbeda,

misalnya pada ikan salmonid suhu terendah yang dapat menyebabkan kematian berada tepat

diatas titik beku, sedangkan suhu tinggi dapat menyebabkan gangguan fisiologis ikan (Tunas.

2005; 16-17).

Suhu air dipengaruhi oleh suhu udara. Tinggi rendahnya suhu juga berpengaruh terhadap

aktivitas ikan. Tingginya suhu air akan mempengaruhi kadar oksigen terlarut (DO). Keadaan

suhu air dan DO akan mempengaruhi terhadap aktivitas ikan (Yuliani dan Raharjo, 2009).

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian eksperimental

dengan judul “Hubungan Suhu Air dan DO terhadap Aktivitas ikan” untuk mengetahui pengaruh

suhu air terhadap aktivitas ikan dan mengetahui pengaruh DO terhadap aktivitas ikan, sehingga

diharapkan dapat mengetahui konsep respon hewan terhadap perubahan lingkungan.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dapat diambil dari latar belakang diatas adalah sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah pengaruh suhu air terhadap aktivitas ikan ?

2. Bagaimanakah pengaruh DO terhadap aktivitas ikan ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari percobaan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaruh suhu air terhadap aktivitas ikan.

2. Untuk mengetahui pengaruh DO terhadap aktivitas ikan.

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 3

Page 4: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Hewan Endoterm, Ektoterm, dan Heteroterm

Makhluk hidup dapat diklasifikasikan atas dasar sumber panas bagi tubuhnya. Endoterm

adalah kelompok hewan yang mampu memproduksi sendiri panas yang diperlukan untuk

tubuhnya. Sedangkan suhu tubuh kelompok hewan Ektoterm berasal dari suhu di sekelilingnya

yang merupakan sumber panas tubuh. Kelompok hewan ketiga adalah Heteroterm, tubuh hewan

ini dapat memproduksi panas seperti halnya pada endoterm, tetapi tidak mempertahankan suhu

tubuhnya dalam kisaran suhu yang sempit (Yuliani dan Raharjo, 2009).

Pada kondisi suhu lingkungan yang ekstrim rendah di bawah batas ambang toleransinya

hewan ektoterm akan mati. Hal ini karena praktis enzim tidak aktif bekeria sehingga

metabolisme berhenti. Pada suhu yang masih bisa ditolerir, yang lebih rendah dari suhu optimum

laju metabolisme tubuhnya dan segala aktifitas pun rendah, akibatnya gerakan hewan tersebut

menjadi sangat lamban sehingga akan memudahkan pemangsa atau predator untuk memangsa

hewan tersebut.

Sebenarnya hewan ektoterm berkemampuan untuk mengatur suhu tubuhnya namun daya

mengaturnya sangat terbatas dan tidak fisiologis sifatnya melainkan secara perilaku. Apabila

suhu lingkungan terlalu panas hewan ektotermik akan berlindung di tempat-tempat teduh,

apabila suhu lingkungan menurun, hewan tersebut akan berjemur dipanas matahari untuk

menghangatkan tubuh.

Pada suhu sekitar 10oC dibawah atau diatas suhu normal suatu jasad hidup dan khususnya

pada hewan ektoterm dapat mengakibatkan penurunan atau kenaikan aktifitas jasad hidup

tersebut menjadi kurang lebih dua kali pada suhu normalnya. Sedangkan perubahan suhu yang

tiba-tiba akan mengakibatkan terjadinya kejutan atau shock.

2.2 Ikan Mas (Cyprinus caprio)

Pisces memiliki keanekaragaman yang sangat besar (Sukiya, 2005). dengan jumlah

spesies lebih dari 27,000 di seluruh dunia. Taksonomi menempatkan ikan dalam kelompok

paraphyletic dimana hubungan kekerabatannya masih diperdebatkan. Ikan Mas (Cyprinus

caprio) termasuk dalam anggota vertebrata poikilotermik (berdarah dingin). Secara keseluruhan

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 4

Page 5: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

lebih toleran terhadap perubahan suhu air, seperti vertebrata poikiloterm lain suhu tubuhnya

bersifat ektotermik, artinya suhu tubuh sangat tergantung dari suhu lingkungan (Sukiya, 2005).

Gambar 2.1. Ikan MasSumber : http://aneka-usahaperikanan.blogspot.com/2012/10/pembenihan-ikan-mas-usaha-pembibitan.html.

Pisces yang memiliki habitat di dalam perairan mendapatkan oksigen yang terlarut dalam

air. Insang pisces merupakan komponen penting dalam pertukaran gas, insang terbentuk dari

lengkungan tulang rawan yang mengeras, dengan beberapa filamen insang di dalamnya (Fujaya.

1999). Pisces melakukan respirasi dengan menyaring air yang masuk melalui mulut

menggunakan insangnya, di insang terjadi pengikatan oksigen dan pelepasan karbondioksida

kemudian air keluar melalui celah insang. Lamela insang berupa lempengan tipis yang

diselubungi epitel pernapasan menutup jaringan vaskuler dan busur aorta, sehingga

memungkinkan terjadinya pertukaran udara. Organ insang pada pisces ditutupi oleh bagian

khusus yang berfungsi untuk mengeluarkan air dari insang yang disebut operculum yang

membentuk ruang operkulum di sebelah sisi lateral insang. Laju gerakan operculum ikan

mempunyai korelasi positif terhadap laju respirasi ikan.

Pisces memiliki beberapa mekanisme fisiologis yang tidak dimiliki oleh hewan darat.

Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-organ ikan disesuaikan dengan kondisi

lingkungan. Pisces yang hidup di dalam air yang mempunyai suhu relatif tinggi akan mengalami

kenaikan kecepatan respirasi (Kanisius. 1992). Hal tersebut dapat diamati dari perubahan

gerakan operculum ikan.

2.3 Pengaruh Suhu Air terhadap Aktivitas Ikan

     Salah satu faktor fisik lingkungan perairan adalah suhu. Perubahan suhu dipengaruhi

oleh letak geografisnya, ketinggian tempat, lama paparan terhadap matahari dan kedalaman

badan air (Tunas, 2005). Suhu adalah ukuran energi gerakan molekul. Suhu merupakan salah

satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme.

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 5

Page 6: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

Kenaikan suhu air akan dapat menimbulkan beberapa akibat sebagai berikut, (a) Jumlah

oksigen terlarut di dalam air menurun, (b) Kecepatan reaksi kimia meningkat, (c) Kehidupan

ikan dan hewan air lainnya terganggu, (d) Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan

hewan air lainnya mungkin akan mati.

   Peningkatan suhu air menyebabkan penurunan kelarutan gas-gas, tetapi meningkatkan

solubilitas senyawa-senyawa toksik seperti polutan minyak mentah dan pestisida, serta

meningkatkan toksisitas logam berat, sebagai contoh bahwa pada air tawar (salinitas 0%)

peningkatan suhu dari 250C menjadi 300C menyebabkan penurunan kelarutan oksigen dari 8,4

menjadi 7,6 mg/liter.

Suhu merupakan suatu faktor pembatas penting di ekosistem perairan tawar karena jasad-

jasad akuatik seringkali kurang dapat menoleransi perubahan-perubahan suhu (bersifat

stenothermal). Akibat adanya pencemaran panas yang ringanpun akan dapat berakibat luas. Juga

perubahan-perubahan suhu menghasilkan sirkulasi dan stratifikasi suhu yang khas yang sangat

berpengaruh terhadap kehidupan akuatik (Soegianto, 2009).

Setiap makhluk hidup memerlukan suhu lingkungan tertentu. Hal ini dapat diterima

karena dalam tubuh makhluk hidup berlangsung proses kimia, oleh karena itu semua makhluk

hidup yang hidup di manapun berada selalu menghindar suhu lingkungan terlalu tinggi dan

terlalu rendah untuk mendapatkan suhu lingkungan yang optimum.

Suhu merupakan faktor yang sangat menentukan aktivitas enzim di dalam tubuh

organisme. Peningkatan suhu tubuh pada rentang kisaran toleransi hewan akan menyebabkan

kenaikanaktivitas enzim dalam membantu reaksi metabolisme. Suhu yang ekstrim tinggi

menyebabkan protein, sebagai komponen utama penyusun enzim akan rusak atau denaturasi dan

menyebabkan enzim tidak mampu lagi dalam melakukan fungsinya sebagai biokatalisator.

Demikian juga jika suhu tubuh turun sangat ekstrim bahkan di bawah kisaran toleransinya akan

menyebabkan aktivitas enzim sangat rendah.

Air memiliki beberapa sifat termal yang unik, perubahan suhu dalam air berjalan lebih

lambat dari pada udara, walaupun suhu kurang mudah berubah di dalam air daripada di udara,

namun suhu merupakan faktor pembatas utama. Oleh karena itu pisces sering memiliki toleransi

suhu yang sempit (Soetjipta, 1993). Daerah tropis memiliki kisaran suhu antara 27oC dan 32oC.

Kisaran suhu ini adalah normal untuk kehidupan biota laut di perairan Indonesia. Suhu alami

tertinggi diperairan tropis berada dekat ambang batas penyebab kematian biota laut. Oleh karena

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 6

Page 7: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

itu, peningkatan suhu yang kecil saja dari alam dapat menimbulkan kematian atau paling tidak

gangguan fisiologis biota air. Kisaran suhu di daerah tropis sedemikian rupa sehingga banyak

organisme hidup dekat dengan batas suhu tertinggi (Anonim, 2010).

Organisme sungai khususnya beberapa makroinvertebrata memiliki reaksi terhadap suhu

yang berbeda-beda antara 28oC sampai 34oC. Suhu yang dimiliki oleh anggota dalam suatu

species tertentu berbeda-beda, sehinga adanya pengaruh termal pada lingkungan dapat

menimbulkan median batas toleransi. Jika spesies tertentu mempunyai median batas toleransi 24

jam 30oC, maka 50 % spesies tersebut akan mengalami kematian dalam jangka waktu 24 jam

jika suhu 30 derajat (Sastrawijaya, 2000).

Populasi termal pada organisme air terjadi pada suhu tinggi. Kenaikan suhu air akan

menimbulkan beberapa akibat sebagai berikut :

a. Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun

b. Kecepatan reaksi kimia meningkat

c. Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu

d. Jika batas suhu mematikan terlampui, ikan dan hewan air lainnya mungkin akan mati.

Suhu juga dapat menyebabkan terjadinya stratifikasi atau tingkat pelapisan air di kolam

dimana suhu air dilapisan permukaan lebih panas dari pada lapisan air dibawahnya karena

adanya penyinaran matahari, sehingga air permukaan yang suhunya lebih tinggi akan lebih

ringan dibanding air di bawahnya. Air di lapisan permukaan yang lebih panas disebut Epilimnion

dan di bawahnya yang lebih dingin disebut hypolimnion. Diantara epilimnion dan hypolimnion

terdapat lapisan Thermocline (ditandai dengan penurunan suhu yang sangat tajam).

Pada umumnya ikan mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan suhu yang

mendadak sehingga pemindahan ikan secara mendadak ketempat yang suhunya jauh lebih tinggi

atau sangat rendah (5oC) perlu dihindari karena bisa membuat ikan menjadi stress atau

menyebabkan kematian pada ikan. Pengaruh buruk yang lebih nyata terjadi apabila pemindahan

mendadak itu dilakukan dari tempat yang dingin ke tempat yang lebih panas (Alvi, 2009).

Proses metabolisme ikan umumnya meningkat jika suhu naik hingga dibawah batas yang

mematikan.  Berdasarkan hukum Van’t Hoff, kenaikan suhu sebesar 10°C akan menyebabkan

kecepatan reaksi metabolisme meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan pada kondisi normal.  

Kebutuhan protein pada ikan untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimum sangat

dipengaruhi oleh suhu (Musida, 2008).

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 7

Page 8: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

Pada ikan yang merupakan hewan ektoterm (hewan yang suhu tubuhnya diperoleh dari

suhu di sekelilingnya/lingkungan), peningkatan metabolisme pengaruhi oleh peningkatan suhu

tubuhnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada proses metabolisme melibatkan reaksi yang

dipacu oleh enzim. Bila suhu tubuh meningkat maka enzim akan lebih aktif memecah substrat

sehingga metabolisme naik. Bila metabolisme naik maka akan menghasilkan semakin banyak

metabolit. Semakin banyak metabolit maka darah akan melakukan transport metabolit untuk

diedarkan ke seluruh tubuh menjadi lebih cepat sehingga frekuensi denyut jantung juga menjadi

meningkat yang akan berpengaruh pada semakin cepatnya operculum untuk membuka dan

menutup. Apabila suhu yang berada di sekitar atau lingkungan rendah maka terjadi penurunan

aktivitas tubuh, karena proses metabolisme tubuh tersebut melibatkan reaksi yang dikendalikan

oleh enzim. Enzim akan menurunkan aktivitas sel apabila berada pada suhu yang rendah. Oleh

karena itu, aktivitas ikan pada suhu air yang rendah atau dingin akan lebih turun atau lambat

dibandingkan bila berada di lingkungan suhu air yang tinggi.

2.4 Pengaruh DO (Oksigen Terlarut) terhadap Aktivitas Ikan

Atmosfer bumi mengandung oksigen sekitar 210 ml/L. Oksigen merupakan salah satu

gas yang terlarut dalam perairan. Oksigen  terlarut  merupakan  kebutuhan  dasar  untuk 

kehidupan  makhluk hidup didalam   air   maupun   hewan   teristrial.   Penyebab   utama  

berkurangnya oksigen terlarut  di  dalam  air  adalah  adanya  bahan-bahan  buangan  organik 

yang banyak mengonsumsi  oksigen  sewaktu  penguraian  berlangsung  (Hadic dan Jatna, 1998).

Konsentrasi oksigen terlarut yang aman bagi kehidupan diperairan sebaiknya harus diatas titik

kritis dan tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun, konsentrasi  oksigen  minimum sebesar 

2  mg/l  cukup  memadai  untuk  menunjang secara normal komunitas akuatik di periaran

(Pescod, 1973). Kandungan oksigen terlarut untuk menunjang usaha budidaya adalah 5 – 8 mg/l

(Mayunar et al., 1995; Akbar, 2001).

Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di

dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut tergantung dari kemampuan air untuk

mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya (Fardiaz,

1992). Oksigen terlarut dapat berasal dari proses fotosintesis tanaman air, dimana jumlahnya

tidak tetap tergantung dari jumlah tanamannya, dan dari atmosfer (udara) yang masuk ke dalam

air dengan kecepatan terbatas (Fardiaz, 1992). Oksigen terlarut dalam air dimanfaatkan oleh

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 8

Page 9: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

organisme perairan untuk respirasi dan penguraian zat-zat organik oleh mikroorganisme.

Konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaan jenuh bervariasi tergantung dari suhu dan tekanan

atmosfer (Fardiaz, 1992).

Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk

pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk

pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-

bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan

berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup

dalam perairan tersebut. Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung dari beberapa faktor,

seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang,

dan pasang surut. Odum (1993), menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air akan bertambah

dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Pada lapisan

permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air dengan udara

bebas serta adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan

kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada

banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik.

Oksigen merupakan faktor pembatas dalam penentuan kehadiran makhluk hidup di dalam

air. Kepekatan oksigen terlarut bergantung kepada :

a) Suhu.

b) Kehadiran tanaman fotosintesis.

c) Tingkat penetrasi cahaya bergantung kepada kedalaman dan kekeruhan air.

d) Tingkat kederasan aliran air.

e) Jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang mati atau limbah

industri (Sastrawijaya, 2000).

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 9

Page 10: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan adanya ciri variabel kontrol,

variabel manipulasi, dan variabel respon.

3.2 Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam melakukan percobaan ini antara lain :

a. Variabel kontrol : Volume media air yaitu 750 mL, jumlah ikan pada tiap media air yaitu 1

ekor ikan

b. Variabel manipulasi : Suhu media air

c. Variabel respon : Kadar DO (Oksigen Terlarut), respirasi atau membuka menutupnya

operculum ikan, pergerakan ikan

3.2 Alat dan Bahan

a. Alat

1. Termometer suhu 1 buah

2. Toples 4 buah

3. Botol winkler 2 buah

4. Erlenmeyer 2 buah

5. Buret 1 buah

6. Pipet 5 buah

7. Gelas ukur 2 buah

8. Alat pemanas air (hitter) 1 buah

b. Bahan

1. Air suhu kamar 1500 mL

2. Air panas (80oC) ± 500 mL

3. Air es ± 1000 mL

4. Ekor ikan mas dengan ukuran ± 8 cm 8 ekor

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 10

Page 11: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

5. MnSO4 ± 20 mL

6. KOH-KI ± 20 mL

7. H2SO4 ± 20 mL

8. Na2S2O3 ± 40 mL

9. Larutan amilum 1% ± 10 mL

3.3 Langkah Kerja

a. Pembuatan media air.

1. Pada media air A, mengisi sebanyak 750 mL air suhu kamar, kemudian mengukur suhu air

awal dan kadar DO awal sebelum memasukkan 1 ekor ikan ke dalam toples.

2. Pada media air B, mengisi sebanyak 1000 mL air panas (80oC) dan 500 mL air suhu kamar,

kemudian mengukur suhu air awal dan kadar DO awal sebelum memasukkan 1 ekor ikan ke

dalam toples.

3. Pada media air C, mengisi sebanyak 800 mL air es dan 700 mL air suhu kamar, kemudian

mengukur suhu air awal dan kadar DO awal sebelum memasukkan 1 ekor ikan ke dalam

toples.

4. Pada media air D, mengisi sebanyak 1200 mL air es dan 300 mL air suhu kamar, kemudian

mengukur suhu air awal dan kadar DO awal sebelum memasukkan 1 ekor ikan ke dalam

toples.

b. Pengukuran Kadar DO

Pengukuran suhu air dan DO (oksigen terlarut) dari masing-masing media air dengan

langkah-langkah sebagai berikut :

1. Pengukuran suhu

a) Memasukkan termometer pada masing-masing media air, kemudian mencatat hasilnya ke

dalam tabel. Pengukuran suhu dilakukan 2 kali yaitu sebelum memasukkan ikan ke dalam

toples dan setelah pengamatan respirasi (membuka menutupnya operculum) dan pola

pergerakan ikan.

b) Pengukuran kadar DO (Dissolved Oxygen) atau Oksigen Terlarut

1. Mengambil sampel air dengan menggunakan botol winkler sekitar permukaan air. Kemudian

menutup masing-masing botol sewaktu di dalam air. Mengusahakan tidak ada O2 yang

terperangkap dalam botol winkler.

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 11

Page 12: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

2. Membuka botol Winkler, air hasil tampungan diberi MnSO4 sebanyak 2 mL dengan

menggunakan pipet ukur dengan ujung pipet di bawah permukaan air, sehingga tidak

menimbulkan gelembung.

3. Menambahkan 2 mL KOH-KI dengan cara yang sama.

4. Menutup botol winkler kembali dengan membolak-balikkan selama 5 menit.

5. Membiarkan selama 10 menit agar terjadi pengikatan oksigen terlarut dengan sempurna

dengan ditandai timbulnya endapan di dasar botol.

6. Mengambil dan membuang 2 mL larutan di permukaan atas botol tanpa menyertakan

endapan kemudian menambahkan 2 mL H2SO4 pekat dengan pipet ukur.

7. Menutup botol dan membolak-balikkan sehingga endapan larut dan larutan menjadi warna

kuning kecoklatan.

8. Untuk satu botol Winkler, mengambil larutan dan memasukkannya ke dalam erlenmeyer

masing-masing sebanyak 10 mL, larutan siap untuk dititrasi dengan Na2S2O3.

9. Larutan dalam erlenmeyer dititrasi dengan Na2S2O3 hingga berwarna kuning muda.

Mengukur Na2S2O3 yang digunakan.

10. Memasukkan 10 tetes amilum 1 % ke dalam erlenmeyer hingga larutan menjadi biru muda.

11. Larutan dititrasi lagi hingga warna biru hilang, Na2S2O3 yang digunakan pada langkah kerja

h-j dijumlahkan.

12. Dua kali rata-rata jumlah mL larutan Thiosulfat terpakai ekivalen dengan kadar O2 terlarut

(mg/L) dalam air, atau (mg/L x 0,698).

Rumus DO = 8000 x N x a mg/L (ppm)

V-4

Keterangan :

a = volume titrasi Na2S2O3 yang dipakai

N = konstanta 0,025

V = volume botol winkler

13. Melakukan pengukuran kadar DO sebelum ikan dimasukkan ke dalam toples dan setelah

pengamatan respirasi (membuka menutupnya operculum) dan pola pergerakan ikan.

14. Mencatat hasilnya ke dalam tabel pengamatan.

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 12

Page 13: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

3.4 Rancangan Percobaan

a. Tahap Persiapan

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 13

Mengisi toples A (beker gelas) dengan air suhu kamar 750 ml, kemudian memasukkan 1 ekor ikan ke dalam toples tersebut.

Mengisi toples B (beker gelas) dengan air panas (80oC) yang dicampur dengan perbandingan volume 2 : 1 total volume ± 750 ml, kemudian memasukkan 1 ekor ikan ke dalam toples tersebut.

Mengisi toples C (beker gelas) dengan air es sebanyak 400 ml yang dicampur dengan air suhu kamar sebanyak 350 ml, kemudian memasukkan 1 ekor ikan ke dalam toples tersebut.

Page 14: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

c. Tahap Pengukuran

1. Pengukuran suhu

2. Pengukuran kadar DO

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 14

-750

-500

-250

-0

-750

-500

-250

-0

-750

-500

-250

-0

-750

-500

-250

-0

A B C D

Mengambil sampel air dengan botol winkler gelap, usahakan tidak ada O2 yang terperangkap

Mengisi toples D (beker gelas) dengan air es sebanyak 600 ml yang dicampur dengan air suhu kamar sebanyak 150 ml, kemudian memasukkan 1 ekor ikan ke dalam toples tersebut.

Page 15: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 15

KOH-KI 2 ml

MnSO4 2 ml

H2SO4

2 ml

Menambahkan MnSO4 dan KOH KI masing-masing sebanyak 2 ml dengan membuka botol winkler secara hati-hati, kemudian mengocoknya dengan pelan. (membolak-balik botol secara hati-hati hingga pereaksi tercampur dengan sampel air). Mendiamkannya hingga terbentuk 2 lapisan.

Menambahkan H2SO4 pekat sebanyak 2 ml ke dalam botol secara hati-hati, kemudian megocok botol hingga larutan tercampur

Mengambil 100 ml sampel yang telah mendapat perlakuan tadi kemudian memasukkannya ke dalam erlenmeyer. Melakukan titrasi dengan larutan Na2S2O3 sampai terjadi perubahan warna (dari coklat menjadi kuning). Kemudian menambahkan (1%) 10 tetes hingga tampak biru dan melanjutkan titrasi dengan Na2S2O3 sampai warna biru hilang.

Page 16: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

Berdasarkan percobaan tentang hubungan air dan DO terhadap aktivitas ikan yang

dilakukan di laboratorium Fisiologi Unesa, didapatkan hasil pengamatan sebagai berikut.

Tabel 4.1. Hasil Pencatatan dan Penghitungan Suhu, DO, dan Respirasi pada Toples A, B, C, dan D.

Media Air

Suhu (oC) DO (ppm)

Respirasi @menit Pola Gerakan Ikan Mas

T0 T1

A 27 30 2.03 105.67 Ikan terlihat bergerak leluasa, terlihat normal

B 80 67 1.86 0 Sesaat setelah ikan dimasukkan, ikan mengalami kejang, sesaat kemudian mati

C 18 19 3.33 76Ikan terlihat mengalami penurunan

kecepatan gerak. Operculum membuka semakin lambat.

D 6 7 4.88 12.33 Ikan mengalami perlambatan gerak, operculum tidak bereaksi kemudian mati.

Keterangan:

Toples A : 750 ml air suhu kamar + 2 ekor ikan

Toples B : 500 ml air 80Oc + 250 ml air suhu kamar + 2 ekor ikan

Toples C : 400 ml air 80oC + 350 ml air suhu kamar + 2 ekor ikan

Toples D : 600 ml air 80Oc + 150 ml air suhu kamar + 2 ekor ikan

To : Suhu awal

T1 : Suhu setelah 3 menit

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 16

Page 17: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

Gambar 4.1. Grafik pengaruh suhu terhadap respirasi ikan.

Gambar 4.2. Grafik pengaruh DO terhadap respirasi ikan.

5.2 Analisis

Pada percobaan ini terdapat 4 media air dengan 3 media air sebagai perlakuan dan 1

media air sebagai kontrol. Pada media air A diisi air 750 ml dengan suhu kamar (27 oC) sebagai

kontrol, kemudian diisi ikan 1 ekor. Pengukuran suhu dan DO diperoleh nilai suhu awal sebesar

29°C dan suhu akhir tetap 30°C. Pengukuran DO diperoleh rata-rata sebesar 2.03 ppm. Nilai

respirasi ikan diperoleh dari banyaknya membuka dan menutupnya operculum pada setiap menit

sebanyak 3 kali pengamatan sebagai pengulangan, diperoleh rata-rata respirasi ikan sebanyak

105.67 kali. Pola pergerakan ikan, terlihat gerakannya lebih leluasa dan terlihat normal.

Pada media air B diisi air 500 ml dengan suhu 80 oC ditambah 250 ml air suhu kamar

(27°C) dan diisikan 1 ekor ikan. Pada pengukuran suhu diperoleh nilai suhu awal sebesar 80 °C

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 17

Page 18: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

dan suhu akhir 67°C. Pengukuran DO diperoleh rata-rata sebesar 1.86 ppm. Nilai respirasi ikan

diperoleh dari banyaknya membuka dan menutupnya operculum pada setiap menit sebanyak 3

kali pengamatan sebagai pengulangan tidak didapat data. Pergerakan ikan sesaat setelah

dimasukkan ke dalam toples, ikan mengalami kejang, sesaat kemudian mati.

Pada media air C diisi air 400 ml dengan suhu 18 oC ditambah 350 ml air suhu kamar

(27°C) dan diisikan 1 ekor ikan. Pada pengukuran suhu diperoleh nilai suhu awal sebesar 18 °C

dan suhu akhir 19°C. Pengukuran DO diperoleh rata-rata sebesar 3.33 ppm. Nilai respirasi ikan

diperoleh dari banyaknya membuka dan menutupnya operculum pada setiap menit sebanyak 3

kali pengamatan sebagai pengulangan, diperoleh rata-rata respirasi ikan sebanyak 76 kali. Pola

pergerakan Ikan terlihat mengalami penurunan kecepatan gerak. Operculum membuka semakin

pelan, namun ikan tidak mati.

Pada media air D diisi air 600 ml dengan suhu 6 oC ditambah 150 ml air suhu kamar

(27°C) dan diisikan 1 ekor ikan. Pada pengukuran suhu diperoleh nilai suhu awal sebesar 6°C

dan suhu akhir 7°C. Pengukuran DO diperoleh rata-rata sebesar 4.88 ppm. Nilai respirasi ikan

diperoleh dari banyaknya membuka dan menutupnya operculum pada setiap menit sebanyak 3

kali pengamatan sebagai pengulangan, diperoleh rata-rata respirasi ikan sebanyak 12.33 kali.

Pola pergerakan ikan mengalami perlambatan gerak kemudian mati.

5.3 Pembahasan

Dari hasil pengamatan dan analisis data dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh suhu

air dan kadar DO terhadap aktivitas ikan. Dimana kadar DO sendiri dipengaruhi oleh tingginya

suhu air. Pada media air A yang berisi 750 mL air suhu kamar dengan suhu 27oC, DO 2.03 ppm

didapatkan nilai rata-rata respirasi atau membuka menutupnya operculum tertinggi dibandingkan

pada media B, C dan D serta pola pergerakan ikan yaitu bergerak sangat aktif. Hal ini karena

pada suhu tersebut yaitu 27oC merupakan suhu normal bagi kehidupan ikan sehingga proses

fisiologi dan enzimatis yang terjadi dalam tubuh berjalan normal, yang mengakibatkan proses

metabolisme tidak terganggu oleh suhu lingkungan. Selain suhu lingkungan (air), kadar DO

(oksigen terlarut) juga berpengaruh terhadap proses metabolisme tubuh. Dengan semakin

tingginya kadar DO maka semakin baik laju metabolisme karena adanya suplai oksigen yang

tinngi yang digunakan untuk respirasi dan metabolisme.

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 18

Page 19: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

Pada media air B dengan suhu sebesar 80oC dengan kadar DO sebesar 1.86 ppm yang

merupakan media air dengan suhu tertinggi dibandingkan media air yang lain. Pada media B ini

didapatkan nilai respirasi ikan terendah karena selang beberapa saat setelah ikan dimasukkan ke

dalam toples ikan berenang cepat kemudian mati.

Pada media air C dengan suhu awal dan akhir sebesar 18oC, dan DO sebesar 3.33 ppm.

Pada media ini pergerakan serta aktifitas membuka-menutup operculum ikan melambat tetapi

ikan masih dalam keadaan hidup. Pada media air D dengan suhu sebesar 6oC, dan DO sebesar

4.88 ppm, didapatkan nilai respirasi yang tidak terlalu besar dibandingkan pada media A dan

pola pergerakan ikan yang teramati adalah ikan bergerak aktif lalu diam. Hal tersebut

dikarenakan suhu yang dingin atau rendah. Apabila suhu yang berada di sekitar atau lingkungan

rendah maka terjadi penurunan aktivitas tubuh, karena proses metabolisme tubuh tersebut

melibatkan reaksi yang dikendalikan oleh enzim. Reaksi enzimatis sangat bergantung pada suhu,

karenanya aktivitas metabolisme di berbagai jaringan atau kehidupan suatu organisme

bergantung kepada kemampuan untuk mempertahankan suhu yang sesuai dalam tubuhnya. Pada

berbagai jenis hewan, apabila terjadi kondisi luar yang kurang cocok atau stress, misalnya terjadi

perubahan suhu lingkungan (dingin atau panas) akan menimbulkan usaha (secara fisiologi atau

morfologi) untuk mengimbangi stress tersebut (Yuliani dan Raharjo, 2009).

Enzim akan menurunkan aktivitas sel apabila berada pada suhu yang rendah. Oleh karena

itu, aktivitas ikan pada suhu air yang rendah atau dingin akan lebih turun atau lambat

dibandingkan bila berada di lingkungan suhu air yang tinggi. Proses metabolisme ikan umumnya

meningkat jika suhu naik hingga dibawah batas yang mematikan.  Berdasarkan hukum Van’t

Hoff, kenaikan suhu sebesar 10°C akan menyebabkan kecepatan reaksi metabolisme meningkat

2-3 kali lipat dibandingkan pada kondisi normal (Musida, 2008).

Pada ikan yang merupakan hewan ektoterm (hewan yang suhu tubuhnya diperoleh dari

suhu di sekelilingnya/lingkungan), peningkatan metabolisme dipengaruhi oleh peningkatan suhu

tubuhnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada proses metabolisme melibatkan reaksi yang

dipacu oleh enzim. Bila suhu tubuh meningkat maka enzim akan lebih aktif memecah substrat

sehingga metabolisme naik. Bila metabolisme naik maka akan menghasilkan semakin banyak

metabolit. Semakin banyak metabolit maka darah akan melakukan transport metabolit untuk

diedarkan ke seluruh tubuh menjadi lebih cepat sehingga frekuensi denyut jantung juga menjadi

meningkat yang akan berpengaruh pada semakin cepatnya operculum untuk membuka dan

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 19

Page 20: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

menutup. Hal ini berkebalikan dengan suhu yang dingin atau rendah. Apabila suhu yang berada

di sekitar atau lingkungan rendah maka terjadi penurunan aktivitas tubuh, karena proses

metabolisme tubuh tersebut melibatkan reaksi yang dikendalikan oleh enzim. Enzim akan

menurunkan aktivitas sel apabila berada pada suhu yang rendah. Oleh karena itu, aktivitas ikan

pada suhu air yang rendah atau dingin akan lebih turun atau lambat dibandingkan bila berada di

lingkungan suhu air yang tinggi.

Selain suhu yang merupakan faktor pembatas dalam kehidupan organisme di perairan,

terdapat faktor lain yang juga ikur berpengaruh terhadap aktivitas ikan antara lain yaitu DO

(oksigen terlarut), kadar CO2, pH, dan salinitas. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO)

dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat

yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen

juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik.

Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan

hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut.

Kehidupan di air dapat bertahan jika terdapat oksigen terlarut minimal sebanyak 5 ppm

Selebihnya bergantung kepada ketahanan organisme, derajat keaktifannya, kehadiran bahan

pencemar, suhu, pH, ketersediaan bahan organik, mineral, dan sebagainya. Oleh karena itu dalam

percobaan ini aktivitas ikan sangat bergantung kepada suhu air dan juga kadar DO, dimana

semakin tinggi atau rendahnya suhu air dan kadar DO juga akan menyebabkan tinggi atau

rendahnya proses metabolisme tubuh. Tingginya suhu air dapat menyebabkan semakin cepatnya

proses metabolisme dan dapat mengakibatkan kematian pada organisme seperti ikan yang

digunakan dalam percobaan ini. Dengan semakin rendahnya suhu maka proses metabolisme

tubuh juga akan menurun yang dapat diketahui dengan lambatnya aktivitas tubuh. Suhu

merupakan suatu faktor pembatas penting di ekosistem perairan tawar karena jasad-jasad akuatik

seringkali kurang dapat menoleransi perubahan-perubahan suhu (bersifat stenothermal).

Setiap makhluk hidup memerlukan suhu lingkungan tertentu. Hal ini dapat diterima

karena dalam tubuh makhluk hidup berlangsung proses kimia, oleh karena itu semua makhluk

hidup yang hidup di manapun berada selalu menghindar suhu lingkungan terlalu tinggi dan

terlalu rendah untuk mendapatkan suhu lingkungan yang optimum.

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 20

Page 21: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:

a. Suhu air berpengaruh terhadap aktivitas Ikan Mas (Cyprinus caprio L.) yaitu dapat

mempengaruhi respirasi (membuka menutupnya operculum) dan aktivitas (pola pergerakan)

ikan. Semakin tinggi suhu air maka semakin cepat aktivitas ikan dan dapat membunuh ikan,

dan semakin rendah suhu maka semakin lambat aktivitas ikan.

b. DO berpengaruh terhadap aktivitas Ikan Mas (Cyprinus caprio L.) yaitu dapat dapat

mempengaruhi respirasi (membuka menutupnya operculum) dan aktivitas (pola pergerakan)

ikan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adaptasi Hewan terhadap         Lingkungannya. www. google.co.id . Diakses pada tanggal 28 April 2013

Campbell. 2004. Biologi, Edisi Kelima-Jilid 3. Jakarta. Penerbit Erlangga 

Fujaya, Yushinta. 2004. Fisisologi Ikan. Jakarta. Penerbit P.T Rineka Cipta 

Kanisius. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogjakarta. Penerbis Kanisius 

Odum, E.P. 1993. Basic Ecologi (Dasar-dasar Ekologi). Yogyakarta : Universitas Gajah Mada Press.

Tunas, Arthama Wayan. 2005. Patologi Ikan Toloestei. Yogjakarta. Penerbit Universitas Gadjah Mada 

Yuliani dan Raharjo. 2012. Panduan Praktikum Ekofisiologi. Surabaya : Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA Unesa.

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 21

Page 22: hub suhu, DO terhadap aktivitas ikan.doc

LAMPIRAN

Gambar 1. Ikan mas dalam media air dengan suhu awal 6°C dan 80°C

Gambar 2. Ikan mas dalam media air dengan suhu ruangan (27°C)

Laporan Ekofisiologi Biologi 2010 tahun 2013 Halaman 22