hewan endemik sulawesi mm

Upload: yanri-hilarius-tangke-alla

Post on 18-Jul-2015

538 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HEWAN ENDEMIK SULAWESI1. Kuskus Beruang Sulawesi dan Kuskus Beruang TalaudKuskus Beruang Sulawesi dan Kuskus Beruang Talaud adalah dua spesies anggota genus Kuskus Beruang (genus Ailurops) yang hidup endemik di Sulawesi. Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) hanya dapat ditemukan di daratan pulau Sulawesi, Peleng, Muna, Buton, dan Togian. Sedangkan saudaranya, Kuskus Beruang Talaud (Ailurops melanotis), merupakan hewan endemik yang hanya hidup di pulau Salibabu, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Kuskus Beruang (Ailurops sp.) merupakan anggota famili Phalangeridae (kuskus) dan merupakan salah satu mamalia berkantung (marsupialia) yang terdapat di Indonesia selain kanguru. Seperti halnya kanguru, setelah melahirkan anaknya, kuskus merawat dan membawa anaknya di dalam kantung yang terdapat di perutnya. Kuskus Beruang yang terdiri atas dua jenis ini merupakan spesies kuskus terbesar. Mungkin lantaran tubuhnya yang besar hingga berukuran satu meter itu, genus kuskus ini dinamai Kuskus Beruang. Selain itu Kuskus Beruang disebut juga sebagai Kuse. Seperti halnya jenis Kuskus lainnya, Kuskus Beruang merupakan hewan pendiam dan pemalu. Binatang ini nyaris tidak bersuara kecuali kalau sedang merasa terganggu yang akan mengeluarkan suara menyerupai decak diselai-selain suara engahan. Dan mungkin lantaran sifatnya yang pendiam ini kemudian banyak orang yang menyamakan Kuskus dengan Kukang. Kuskus Beruang atau Kuse dewasa hidup secara soliter (sendiri-sendiri) dan merupakan hewan arboreal (lebih banyak aktif di atas pohon). Untuk membantu aktifitasnya di atas pohon, Kuskus Beruang dilengkapi dengan ekor prehensil. Seperti pada Binturong, ekor prehensil itu berfungsi layaknya sebagai kaki kelima yang mampu mencengkram benda dan melilit dahan pohon saat berpindah tempat. Berbeda dengan berbagai jenis Kuskus lainnya yang umumnya nokturnal (aktif di malam hari), Kuskus Beruang merupakan hewan diurnal alias beraktifitas di siang hari meskipun aktifitasnya lebih banyak digunakan untuk tidur. Hewan ini baru terjaga jika merasa lapar. Kuskus Beruang terdiri dua spesies yang kemudian dinamai berdasarkan lokasi atau daerah sebarannya yakni Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) dan Kuskus Beruang Talaud (Ailurops melanotis). Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus). Kuskus Beruang Sulawesi yang mempunyai nama latin Ailurops ursinus ini dalam bahasa Inggris di kenal sebagai Bear Cuscus, Bear Phalanger, Sulawesi Bear Cuscus. Daerah sebarannya mulai dari pulau Sulawesi, pulau Muna, pulau Peleng, pulau Togian, dan pulau Buton. Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) mempunyai ukuran tubuh mencapai 60 cm dengan ekor yang panjangnya hampir sama dengan panjang tubuhnya. Berat tubuh Kuskus Beruang Sulawesi dewasa mencapai 8 kg. Warna bulunya hitam, kecoklatan, dan abu-abu. Meskipun masih bisa ditemui di beberapa tempat seperti Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (Sulawesi Utara) dan TN. Lore Lindu (Sulawesi Tengah), populasi Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) diyakini mengalami penurunan drastis. Oleh karenanya IUCN Red List memasukkan Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) dalam kategori Vulnerable.

Kuskus Beruang Talaud (Ailurops melanotis). Kuskus Beruang Talaud (Ailurops melanotis) pernah dianggap sebagai sub-spesies dari Kuskus Beruang Sulawesi. Kuskus yang dalam bahasa Inggris disebut Talaud Bear Cuscus ini mempunyai daerah persebaran yang terbatas di pulau Salibabu (Kepulauan Talaud) dan Sangihe di Sulawesi Utara saja. Ciri-ciri fisik Kuskus Beruang Talaud hampir menyerupai saudaranya Kuskus Beruang Sulawesi hanya saja memiliki ukuran tubuh yang rata-rata lebih kecil serta dari warna bulunya yang lebih coklat kepucatan. Populasi Kuskus Beruang Talaud diyakini lebih terancam kepunahan dibandingkan saudaranya di daratan Sulawesi. Oleh karena itu, IUCN Red List memasukkan hewan spesies endemik pulau Talaud ini dalam status konservasi Critically Endangered, yang merupakan status keterancaman tertinggi sebelum dinyatakan punah. Menurunnya populasi Kuskus Beruang, baik Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) maupun Kuskus Beruang Talaud (Ailurops melanotis) disebabkan oleh deforestasi hutan akibat pembukaan lahan untuk konversi hutan dan pembalakan liar. Selain itu juga diakibatkan oleh aksi perburuan liar baik untuk diambil dagingnya sebagai bahan makanan maupun diperdagangkan sebagai binatang peliharaan. Klasifikasi ilmiah: Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Diprotodonti Famili : Phalangeridae Genus : Ailurops Spesies : Ailurops ursinus dan Ailurops melanotis

2. Burung MaleoBurung Maleo yang dalam nama ilmiahnya Macrocephalon maleo adalah sejenis burung yang berukuran sedang, dengan panjang sekitar 55cm. Burung Maleo adalah satwa endemik Sulawesi, artinya hanya bisa ditemukan hidup dan berkembang di Pulau Sulawesi, Indonesia. Selain langka, burung ini ternyata unik karena anti poligami. Selain sebagai satwa endemik Burung Maleo (Macrocephalon maleo) ini yang mulai langka dan dilindungi ini juga merupakan burung yang unik. Keunikannya mulai dari struktur tubuh, habitat, hingga tingkah lakunya yang salah satunya adalah anti poligami. Makanya tidak mengherankan jika sejak tahun 1990 berdasarkan SK. No. Kep. 188.44/1067/RO/BKLH tanggal 24 Pebruari 1990, Burung Maleo ditetapkan sebagai Satwa Maskot provinsi Sulawesi Tengah. Burung Maleo (Macrocephalon maleo) memiliki bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah berwarna merah-muda keputihan. Di atas kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam. Jantan dan betina serupa. Biasanya betina berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung jantan. Populasi terbanyaknya kini tinggal di Sulawesi Tengah. Salah satunya adalah di cagar alam Saluki, Donggala, Sulawesi Tengah. Di wilayah Taman Nasional Lore Lindu ini, populasinya ditaksir tinggal 320 ekor. Karena populasinya yang kian sedikit, burung unik dan langka ini dilindungi dari kepunahan. Maleo dikategorikan sebagai terancam punah di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan dalam CITES Appendix I.

Populasi Maleo terancam oleh para pencuri telur dan pembuka lahan yang mengancam habitatnya. Belum lagi musuh alami yang memangsa telur Maleo, yakni babi hutan dan biawak. Habitatnya yang khas juga mempercepat kepunahan. Maleo hanya bisa hidup di dekat pantai berpasir panas atau di pegununungan yang memiliki sumber mata air panas atau kondisi geothermal tertentu. Sebab di daerah dengan sumber panas bumi itu, Maleo mengubur telurnya dalam pasir. Keunikan Burung Maleo Beberapa keunikan dari Burung Maleo (Macrocephalon maleo) antara lain: Tonjolan di kepala; Maleo memiliki tonjolan (tanduk atau jambul keras berwarna hitam) dikepala. Pada saat masih anak dan remaja, tonjolan di kepala ini belum muncul, namun pada saat menginjak dewasa tonjolan inipun mulai tampak. Diduga tonjolan ini dipakai untuk mendeteksi panas bumi yang sesuai untuk menetaskan telurnya (Meskipun hal ini masih memerlukan pembuktian secara ilmiah). Tidak suka terbang. Meskipun memiliki sayap dengan bulu yang cukup panjang, namun lebih senang jalan kaki dari pada terbang. Habitat dekat sumber panas bumi. Maleo hanya bisa hidup di dekat pantai berpasir panas atau di pegununungan yang memiliki sumber mata air panas atau kondisi geothermal tertentu. Sebab di daerah dengan sumber panas bumi itu, Maleo mengubur telurnya dalam pasir. Telur yang besar. Maleo memiliki ukuran telur yang besar, mencapai 5 kali lebih besar dari telur ayam. Beratnya antara 240 hingga 270 gram. per butirnya. Maleo tidak mengerami telurnya. Telur burung endemik ini dikubur sedalam sekitar 50 cm dalam pasir di dekat sumber mata air panas atau kondisi geothermal tertentu. Telur yang ditimbun itu kemudian ditinggalkan begitu saja dan tak pernah diurus lagi. Suhu atau temperatur tanah yang diperlukan untuk menetaskan telur maleo berkisar antara 32-35 derajat celsius. Lama pengeraman pun membutuhkan waktu sekitar 6285 hari. Perjuangan anak Maleo. Anak maleo yang telah berhasil menetas harus berjuang sendiri keluar dari dalam tanah sedalam kurang lebih 50cm (bahkan ada yang mencapai 1 m) tanpa bantuan sang induk. Perjuangan untuk mencapai permukaan tanah akan membutuhkan waktu selama kurang lebih 48 jam. Inipun akan tergantung pada jenis tanahnya. Sehingga tak jarang beberapa anak maleo dijumpai mati ditengah jalan. Anak yang mandiri. Anak yang baru saja mencapai permukaan tanah sudah memiliki kemampuan untuk terbang dan mencari makan sendiri (tanpa asuhan sang induk). Monogami. Maleo adalah monogami spesies (anti poligami) yang dipercaya setia pada pasangannya. Sepanjang hidupnya, ia hanya mempunyai satu pasangan. Burung ini tidak akan bertelur lagi setelah pasangannya mati.

3. Kuskus Beruang Sulawesi dan Kuskus Beruang TalaudKuskus Beruang Sulawesi dan Kuskus Beruang Talaud adalah dua spesies anggota genus Kuskus Beruang (genus Ailurops) yang hidup endemik di Sulawesi. Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) hanya dapat ditemukan di daratan pulau Sulawesi, Peleng, Muna, Buton, dan Togian.

Sedangkan saudaranya, Kuskus Beruang Talaud (Ailurops melanotis), merupakan hewan endemik yang hanya hidup di pulau Salibabu, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Kuskus Beruang (Ailurops sp.) merupakan anggota famili Phalangeridae (kuskus) dan merupakan salah satu mamalia berkantung (marsupialia) yang terdapat di Indonesia selain kanguru. Seperti halnya kanguru, setelah melahirkan anaknya, kuskus merawat dan membawa anaknya di dalam kantung yang terdapat di perutnya. Kuskus Beruang yang terdiri atas dua jenis ini merupakan spesies kuskus terbesar. Mungkin lantaran tubuhnya yang besar hingga berukuran satu meter itu, genus kuskus ini dinamai Kuskus Beruang. Selain itu Kuskus Beruang disebut juga sebagai Kuse. Seperti halnya jenis Kuskus lainnya, Kuskus Beruang merupakan hewan pendiam dan pemalu. Binatang ini nyaris tidak bersuara kecuali kalau sedang merasa terganggu yang akan mengeluarkan suara menyerupai decak diselai-selain suara engahan. Dan mungkin lantaran sifatnya yang pendiam ini kemudian banyak orang yang menyamakan Kuskus dengan Kukang. Kuskus Beruang atau Kuse dewasa hidup secara soliter (sendiri-sendiri) dan merupakan hewan arboreal (lebih banyak aktif di atas pohon). Untuk membantu aktifitasnya di atas pohon, Kuskus Beruang dilengkapi dengan ekor prehensil. Seperti pada Binturong, ekor prehensil itu berfungsi layaknya sebagai kaki kelima yang mampu mencengkram benda dan melilit dahan pohon saat berpindah tempat. Berbeda dengan berbagai jenis Kuskus lainnya yang umumnya nokturnal (aktif di malam hari), Kuskus Beruang merupakan hewan diurnal alias beraktifitas di siang hari meskipun aktifitasnya lebih banyak digunakan untuk tidur. Hewan ini baru terjaga jika merasa lapar. Kuskus Beruang terdiri dua spesies yang kemudian dinamai berdasarkan lokasi atau daerah sebarannya yakni Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) dan Kuskus Beruang Talaud (Ailurops melanotis). Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus). Kuskus Beruang Sulawesi yang mempunyai nama latin Ailurops ursinus ini dalam bahasa Inggris di kenal sebagai Bear Cuscus, Bear Phalanger, Sulawesi Bear Cuscus. Daerah sebarannya mulai dari pulau Sulawesi, pulau Muna, pulau Peleng, pulau Togian, dan pulau Buton. Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) mempunyai ukuran tubuh mencapai 60 cm dengan ekor yang panjangnya hampir sama dengan panjang tubuhnya. Berat tubuh Kuskus Beruang Sulawesi dewasa mencapai 8 kg. Warna bulunya hitam, kecoklatan, dan abu-abu. Meskipun masih bisa ditemui di beberapa tempat seperti Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (Sulawesi Utara) dan TN. Lore Lindu (Sulawesi Tengah), populasi Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) diyakini mengalami penurunan drastis. Oleh karenanya IUCN Red List memasukkan Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) dalam kategori Vulnerable. Kuskus Beruang Talaud (Ailurops melanotis). Kuskus Beruang Talaud (Ailurops melanotis) pernah dianggap sebagai sub-spesies dari Kuskus Beruang Sulawesi. Kuskus yang dalam bahasa Inggris disebut Talaud Bear Cuscus ini mempunyai daerah persebaran yang terbatas di pulau Salibabu (Kepulauan Talaud) dan Sangihe di Sulawesi Utara saja.

Ciri-ciri fisik Kuskus Beruang Talaud hampir menyerupai saudaranya Kuskus Beruang Sulawesi hanya saja memiliki ukuran tubuh yang rata-rata lebih kecil serta dari warna bulunya yang lebih coklat kepucatan. Populasi Kuskus Beruang Talaud diyakini lebih terancam kepunahan dibandingkan saudaranya di daratan Sulawesi. Oleh karena itu, IUCN Red List memasukkan hewan spesies endemik pulau Talaud ini dalam status konservasi Critically Endangered, yang merupakan status keterancaman tertinggi sebelum dinyatakan punah. Menurunnya populasi Kuskus Beruang, baik Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) maupun Kuskus Beruang Talaud (Ailurops melanotis) disebabkan oleh deforestasi hutan akibat pembukaan lahan untuk konversi hutan dan pembalakan liar. Selain itu juga diakibatkan oleh aksi perburuan liar baik untuk diambil dagingnya sebagai bahan makanan maupun diperdagangkan sebagai binatang peliharaan. Klasifikasi ilmiah: Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Diprotodonti Famili : Phalangeridae Genus : Ailurops Spesies : Ailurops ursinus dan Ailurops melanotis

4. TarsiusPara tarsius kerdil (Tarsius pumilus), juga dikenal sebagai tarsier gunung atau tarsier spektral yang lebih rendah, adalah malam primata ditemukan di pusat kota Sulawesi , Indonesia , di daerah dengan rendah vegetatif keanekaragaman spesies dari dataran rendah hutan tropis . Tarsier kerdil diyakini telah punah pada awal abad 20. Tak lama setelah berita itu keluar bahwa tarsius kerdil itu kembali ditemukan pada tahun 2008 spesies mengembangkan kultus berikut di Amerika Serikat. Kelompok ini memiliki pertemuan rutin, t-shirt, anggota dari seluruh dunia dan sebuah kelompok Facebook yang disebut Tarsier Pygmy Fan Club, yang didirikan oleh Chip Worthington dan Matt Munoz. Tarsier kerdil memiliki panjang kepala-tubuh 95-105 mm (sekitar 4 inci), dan berat kurang dari 57 gram (2 ons). T. pumilus memiliki ciri-ciri morfologi yang sangat berbeda, panjang tubuh yang lebih kecil dari lainnya tarsius spesies, dan berat badan yang kecil. Ia juga memiliki telinga yang lebih kecil dari sisa genus, dan bulu adalah cokelat atau abu-abu dominan dengan penggemar atau pewarna merah kecoklatan. Ekornya sangat berambut dan rentang 135-275 mm. Fitur yang paling nyata dari T. pumilus adalah mata yang besar, sekitar 16 mm. Tarsier kerdil juga memiliki kuku pada semua lima digit masing-masing tangan dan di atas dua digit masing-masing kaki. Cakar seperti kuku bantuan dalam kekuatan menggenggam dan juga digunakan sebagai bantuan dalam kebutuhannya akan dukungan vertikal untuk makan dan gerakan. Klasifikasi ilmiah. Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Kera Keluarga : Tarsiidae

Genus Spesies

: Tarsius : Tarsius pumilus

Tarsius tarsier (Binatang Hantu/Kera Hantu/Monyet Hantu) adalah suatu jenis primata kecil, memiliki tubuh berwarna coklat kemerahan dengan warna kulit kelabu, bermata besardengan telinga menghadap ke depan dan memiliki bentuk yang lebar. Nama Tarsius diambil karena ciri fisik tubuh mereka yang istimewa, yaitu tulang tarsal yang memanjang, yang membentuk pergelangan kaki mereka sehingga mereka dapat melompat sejauh 3 meter (hampir 10 kaki) dari satu pohon ke pohon lainnya. Tarsius juga memiliki ekor panjang yang tidak berbulu, kecuali pada bagian ujungnya. Setiap tangan dan kaki hewan ini memiliki lima jari yang panjang. Jari-jari ini memiliki kuku, kecuali jari kedua dan ketiga yang memiliki cakar yang digunakan untuk grooming. Klasifikasi ilmiah Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Primata Famili : Tarsiidae Genus : Tarsius Spesies: : Tarsius tarsier

5. AnoaAnoa, sejenis sapi kerdil yang hidup di hutan tropis Sulawesi. Anoa memiliki nama yang berbeda sesuai dengan etnis yang ada. Di Minahasa dan sekitarnya anoa disebut Buulu Tutu, Bandogo Tutu dan di Gorontalo disebut Sapi Utan, Dangko atau Langkau. Di bagian tengah Sulawesi Suku Kaili menyebutnya Nuua dan di Dampelas disebut Baulu. Etnis Kulawi di dataran tinggi Sulawesi Tengah menamainya Lupu, di Buol Toli-Toli anoa dinamai Bukuya. Di bagian tenggara Sulawesi, dalam bahasa daerah Tolaki, anoa dikenal dengan nama Kadue. Di daerah Malili termasuk sekitar Danau Matano penduduk menyebut anoa dengan nama Anuang. Dalam bahasa Indonesia, satwa ini dikenal dengan nama anoa, namun ada juga yang menyebutnya sapi hutan atau sapi cebol (Mustari, 2003). a. Morfologi Anoa adalah hewan berkuku genap, bentuk kepala menyerupai kepala sapi, tanduk mengarah ke belakang. Tinggi badan berkisar 69 cm sampai 106 cm. Saat ini, ada dua jenis anoa (Bubalus spp.) yang kita kenal, yakni Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan Anoa gunung (Bubalus quarlesi). Anoa dataran rendah memiliki warna putih di bagian metacarpal, panjang ekor mencapai lutut, rambut lebih jarang pada individu dewasa, potongan melintang pangkal tanduk triangular atau bersegi tiga dan terdapat wrinkled atau berupa spiral pada bagian dasar sampai pertengahan panjang tanduk, panjang tanduk 27,137,3 cm pada anoa jantan dan 183-260 mm pada anoa betina; panjang tengkorak 29,8-32,2 cm pada jantan dan 290-300 mm pada betina. Anoa gunung memiliki warna tungkai sama dengan warna badan, ekor pendek, tidak mencapai lutut, potongan melingkar pangkal ekor bulat, tidak ada wrinkled atau garis-garis cincin pada setengah panjang tanduk, panjang tanduk berkisar 14,6-19,9 cm, dan panjang tengkorak 24,4-29 cm. Anoa gunung memiliki rambut warna coklat cerah, terdapat bercak putih kecil di bagian atas kuku, rambut panjang, lembut dan menyerupai wool, ekor pendek, sekitar 18 cm, jarang mencapai lebih dari setengah panjang pangkal ekor ke lutut belakang, bagian dalam telinga berwarna coklat tua. Tinggi bahu 63 cm, dan panjang tanduk 15-25 cm.

b. Klasifikasi Ilmiah

Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Klas : Mammalia Subklas : Theria Infraklas : Metatheria Ordo : Artiodactyla Subordo : Ruminantia Famili : Bovidae Genus : Bubalus Subgenus : Anoa Spesies : Bubalus depressicornis, Bubalus quarlesi

c. Habitat dan Penyebaran Anoa (Bubalus spp.) merupakan penghuni hutan yang hidupnya berpindah-pindah tempat dan apabila menjumpai musuhnya anoa akan mempertahankan diri dengan mencebur ke rawa-rawa dan apabila terpaksa akan melawan dengan menggunakan tanduknya. Habitatnya di hutan tropika dataran, savanna, kadang-kadang dijumpai di rawa-rawa. Anoa memiliki kebiasaan berkubang atau berendam digenangan air di hutan pantai yang berbatasan langsung dengan hutan bakau pada siang hari yang terik. Satwa ini juga termasuk perenang dan pendaki gunung yang ulet, mereka sering dijumpai berenag dipantai. Kebiasaan anoa yang lain yaitu mengasah atau meruncingkan tanduknya pada pohon-pohon tertentu, menggaruk tanah di sekitar tempat pembuangan kotorannya disepanjang lintasannya di dalam hutan. Satwa tersebut aktif baik pada siang hari maupun pada malam hari. Tambahan lagi makhluk ini termasuk satwa liar yang sangat peka, gangguan sedikit saja menyebabkan satwa ini menjauh. d. Populasi Sedikit data yang bisa didapatkan mengenai jumlah populasi pasti dari Anoa Pegunungan. Saat ini diperkirakan jumlah populasi dari seluruh Anoa Pegunungan sekitar 3000 hingga 5000 ekor. Populasinya menurun dari tahun 1900, hal ini diakibatkan oleh berkurangnya habitat, perburuan dan penembakan illegal. Diperkirakan kurang dari 2.500 ekor individu dewasa. Populasi dari anoa sudah sangat mengkhawatirkan, karena subpopulasinya yang berada pada area hutan lindung seperti Taman Nasional Lore Lindu juga mengalami penurunan jumlah populasi yang diakibatkan oleh tingginya perburuan. Ada tiga area dimana jumlah populasi anoa menurun drastis, yaitu di Gorontalo, Buol, dan kabupaten Tolitoli (Wikipedia Ensiklopedia Bebas, 2010)

5. Kura-kura Hutan Sulawesi (Leucocephalon yuwonoi)Kura-kura hutan Sulawesi atau kura-kura paruh betet (Sulawesi Forest Turtle) yang dalam bahasa latin disebut Leucocephalon yuwonoi memang kura-kura langka. Kura-kura hutan sulawesi (kura-kura paruh betet) termasuk salah satu dari 7 jenis reptil paling langka di Indonesia. Kura-kura hutan sulawesi yang dipertelakan pada tahun 1995 ini sering disebut juga sebagai kura-kura paruh betet. Ini lantaran bentuk mulutnya yang meruncing menyerupai paruh burung betet. Dalam bahasa Inggris kura-kura hutan sulawesi yang endemik pulau Sulawesi ini disebut sebagai Sulawesi Forest Turtle. Sedangkan resminya, kura-kura ini mempunyai nama latin Leucocephalon yuwonoi (McCord, Iverson & Boeadi, 1995) yang bersinonim dengan Geoemyda yuwonoi (McCord, Iverson & Boeadi, 1995) dan Heosemys yuwonoi (McCord,

Iverson and Boeadi, 1995). Dahulunya kura-kura hutan sulawesi digolongkan dalam genus Heosemys, namun sejak tahun 2000 dimasukkan dalam genus tunggal Leucocephalon. Kata yuwonoi dalam nama ilmiahnya merujuk pada Frank Yuwono yang kali pertama memperoleh spesimen pertama kura-kura hutan sulawesi ini di pasar di Gorontalo Sulawesi. Ciri-ciri. Kura-kura hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) berukuran sedang dengan karapas sepanjang 28 31 cm (jantan) dan 20 25 cm (betina). Daerah sebarannya hanya terdapat di pulau Sulawesi bagian utara. Karenanya hewan langka ini merupakan hewan endemik pulau Sulawesi, Indonesia dan tidak ditemukan di daerah lain. Tidak banyak yang diketahui tentang perilaku alami kura-kura hutan sulawesi ini. Kura-kura hutan sulawesi yang merupakan hewan diurnal banyak menghabiskan waktu di hutan dan hanya berpindah ke air ketika malam untuk beristirahat dan melakukan perkawinan. Populasi dan Konservasi. Pada tahun 1990-an diperkirakan populasi kura-kura hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) masih sangat melimpah namun saat ini diperkirakan populasinya di alam liar tidak mencapai 250 ekor. Ancaman utama populasi kura-kura langka ini adalah perburuan dan perdangan bebas sebagai bahan makanan dan hewan peliharaan. Pada awal tahun 1990-an, sekitar 2.000 3.000 ekor diperkirakan diperdagangkan ke China sebagai bahan makanan. Selain itu kura-kura hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) juga banyak diekspor ke Eropa dan Amerika sebagai hewan peliharaan. Selain perburuan, rusaknya habitat akibat kerusakan hutan (penebangan kayu komersial, pertanian skala kecil, dan pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit) juga menjadi ancaman bagi kelangsungan populasi kura-kura hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi). Hal ini diperparah oleh rendahnya tingkat reproduksi kura-kura hutan sulawesi (Sulawesi Forest Turtle). Klasifikasi ilmiah. Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Reptilia Ordo : Testudines Famili : Geoemydidae Genus : Leucocephalon Spesies : Leucocephalon yuwonoi.

6. Monyet Macaca nigraMacaca nigra termasuk diantara monyet Sulawesi terbesar. Berat badan Macaca nigra betina kira-kira 7 kg, sementara Macaca nigra jantan dapat mencapai 11kg. Moncong panjangnya tampak mencolok karena tulang pipi menonjol yang pada pejantan dewasa merupakan tempat dudukan gigi taring berbentuk bagus yang sering diperlihatkan sebagai pameran senjata. Bulu tubuhnya yang hitam mengkilap dihiasi warna kontras oleh bantalan kulit berwarna merah muda pada pantatnya. Tetapi bagian paling mencolok pada penampilannya adalah potongan rambut kepalanya. Makakus hitam berjambul seperti namanya , mempunyai jambul panjang dikepalanya. Macaca nigra hidup dari memakan tumbuhan, sebagian besar makanannya terdiri dari buah-buahan, bunga, serangga, dan telur. Macaca nigra mendapatkan makanan mereka di manapun baik di dalam hutan atau di lahan pertanian disekitar tempat Macaca nigra hidup.

Macaca nigra hanya ditemukan di Indonesia pada sebagian besar pulau Sulawesi. Pulau ini terletak di utara garis katulistiwa. Daerah Biogeografi Macaca nigra yaitu daerah oriental (kediaman asli). Kebanyakan Macaca nigra ditemukan di dalam daerah yang dilindungi (kawasan lindung) di timur laut Sulawesi (Pulau Bacan). Macaca nigra dapat dijumpai pada hutan primer atau sekunder dataran rendah (pesisir) hingga dataran tinggi hingga 2000 mdpl. Mereka sering turun keperkebunan penduduk untuk mencari makan dan dapat merusak panen, sehingga sering dianggap sebagai hama tanaman. Macaca nigra lebih menyukai daerah diantara hutan primer dan sekunder, karena cocok untuk tempat tidur dan mencari makan. Genus Macaca merupakan salah satu dari primata yang mempunyai penyebaran sangat luas. Di dunia ada sekitar 20 jenis yang tersebar mulai dari gurun pasir di Afrika, hutan tropik di Asia, hingga pegunungan salju di Jepang. Macaca Sulawesi mencakup beberapa spesies, semuanya berekor pendek; moncong panjang menjulur ke depan. Warna umumnya gelap. Macaca nigra berkerabat dengan jenis macaca lainnya yang paling dekat kekerabatannya adalah Macaca nigrescens, Macaca hecki, Macaca tonkeana, Macaca ochreata, Macaca brunnescens, Macaca togeanus, Macaca maura (Supriatna, 2000). Kingdom Phylum Subphylum Class Orderse Family Subfamily Genus Species : Animalia : Chordata : Vertebrata : Mammalia : Primates : Cercopithecidae : Cercopithecinae : Macaca : Macaca nigra

Penyebaran Mulai dari Cagar Alam Tangkoko Batuangus di bagian utara hingga ke Sungai Onggak Dumoga, yang berbatasan dengan penyebaran Macaca nigrescens. Di Sulawesi Utara sendiri dapat dijumpai di Cagar Alam Dua Saudara, Pulau Bacan, Manembo Nembo, Kotamubagu dan Modayak. Monyet ini telah diintroduksi di Pulau Bacan Maluku sehingga populasinya mencapai ratusan ribu ekor, lebih banyak dibandingkan dengan populasi aslinya (Supriatna, 2000). Tangkoko adalah salah satu kubu pertahanan terakhir bagi populasi Macaca nigra yang terus menyusut di Sulawesi Utara. Di sana terdapat kira-kira 3000 ekor yang tetap berada di dalam cagar alam. Populasi di Tangkoko telah mengalami penurunan 75% sejak tahun 1979 sebagai akibat perburuan dan perusakan habitat Macaca nigra hanya ditemukan di Indonesia pada sebagian besar pulau Sulawesi. Pulau ini terletak di utara garis katulistiwa (Hamada, 1994). Daerah Biogeografi Macaca nigra yaitu daerah oriental (kediaman asli). Kebanyakan Macaca nigra ditemukan di dalam daerah yang dilindungi (kawasan lindung) di timur laut Sulawesi (Pulau Bacan) (Sugardjito, 1989). Whitten (1987) menyatakan bahwa hanya satu diantara empat jenis monyet yang tampaknya serupa di Sulawesi, yaitu Macaca nigra. Selain itu, rata-rata besar kelompok Macaca nigra sebesar 30 ekor per kelompok dan kerapatannya 300 ekor/km2 (di daerah Tangkoko-Batuangus). Menurut MacKinnon (1983) dalam Whitten (1987) menyatakan bahwa sisa habitat Macaca nigra sekitar 4800 Ha, taksiran jumlah populasi sebesar 144.000 ekor, populasi yang dilindungi dalam Cagar Alam sebanyak 82.500 ekor dan total populasi yang berada di Cagar Alam sebesar 57%.

7. Babi RusaKlasifikasi ilmiah: Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Artiodactyla Famili : Suidae Genus : Babyrousa Spesies : Babyrousa babyrussa Babirusa (Babyrousa babirussa) hanya terdapat di sekitar Sulawesi, Pulau Togian, Malenge, Sula, Buru dan Maluku. Habitat babirusa banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Hewan ini gemar melahap buah-buahan dan tumbuhan, seperti mangga, jamur dan dedaunan. Mereka hanya berburu makanan pada malam hari untuk menghindari beberapa binatang buas yang sering menyerang. Panjang tubuh babirusa sekitar 87 sampai 106 sentimeter. Tinggi babirusa berkisar pada 6580 sentimeter dan berat tubuhnya bisa mencapai 90 kilogram

TUGAS INDIVIDU SISTEMATIK VERTEBRATA

NAMA NIM

: YANRI HILLARIUS T.A :H41110009

JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012