hasmayati - jurnalpostulate.files.wordpress.com...creating bright futures analisis pengaruh kinerja...
TRANSCRIPT
Creating Bright Futures
Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Terhadap Surplus/ Defisit
Pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015 – 2019
Hasmayati
ABSTRAK
Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kinerja keuangan pemerintah daerah terhadap surplus/ deficit pada Pemetintah Provinsi DKI Jakarta ditinjau dari hasil perhitungan Rasio Keuangan : 1) Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, 2) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, 3) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, 4) Rasio Efektifitas Pendapatan Asli Daerah dan 5) Rasio Efisiensi Pendapatan Asli Daerah. Subjek penelitian ini adalah Pemerintah Provisi DKI Jakarta, sedangkan untuk objeknya adalah laporan keuangan Pemerintah Provisi DKI Jakarta tahun 2015 – 2019. Pengumpulan data diambil dengan menggunakan teknik library research (penelitian kepustakaan) dan juga online research. Data yang diambil dari penelitian ini adalah data sekunder, dan metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis asosiatif dan metode kuantitatif. Alat analisis yang digunakan adalah program SPSS versi 23.0. Hasil analisis kinerja keuangan pemerintah daerah pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai dari rasio derajat desentralisasi fiskal adalah sangat baik, rasio kemandirian keuangan daerah adalah sangat tinggi dengan pola hubungan delegatif, rasio ketergantungan keuangan daerah adalah sedang, rasio efektifitas pendapatan asli daerah adalah efektif dan rasio efisiensi pendapatan asli daerah cukup efisien. Dari hasil penelitian, secara bersama-sama atau secara simultan kinerja keuangan pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta dari variabel rasio derajat desentralisasi fiscal, rasio efektifitas pendapatan asli dan rasio efisiensi pendapatan asli daerah adalah berpengaruh terhadap surplus/ defisit pada. Sedangkan secara parsial dari variabel rasio kemandirian keuangan daerah maupun rasio ketergantungan keuangan daerah tidak berpengaruh terhadap surplus/ defisit pada pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Kata kunci : Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, Terhadap Surplus/ Defisit, Rasio Derajat Desentralisasi, Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah, Rasio Efektifitas Pendapatan Asli Daerah dan Rasio Efisiensi Pendapatan Asli Daerah.
Creating Bright Futures
Analysis of the Influence of Regional Government Financial Performance on Surplus / Deficit in the DKI Jakarta Provincial Government in 2015 - 2019
Hasmayati
ABSTRACT
This study aims to determine the effect of local government financial performance on the surplus / deficit in the DKI Jakarta Provincial Government in terms of the calculation of Financial Ratios: 1) Fiscal Decentralization Degree Ratio, 2) Regional Financial Independence Ratio, 3) Regional Financial Independence Ratio, 4) Ratio Regional Original Income Effectiveness and 5) Original Regional Income Efficiency Ratio. The subject of this research is the DKI Jakarta Provisional Government, while the object is the financial statements of the DKI Jakarta Provision Government for 2015 - 2019. Data collection was taken using library research techniques (library research) and also online research. The data taken from this research is secondary data, and the data analysis methods used are associative analysis methods and quantitative methods. The analysis tool used is the SPSS version 23.0 program. The results of the analysis of local government financial performance in the Provincial Government of DKI Jakarta are judged by the ratio of the degree of fiscal decentralization to be very good, the ratio of regional financial independence is very high with a delegative relationship pattern, the ratio of regional financial dependence is moderate, the ratio of effectiveness of local revenue is effective and the ratio of efficiency local revenue is quite efficient. From the research results, jointly or simultaneously the financial performance of the regional government of DKI Jakarta Province from the ratio variable of the degree of fiscal decentralization, the effectiveness ratio of original income and the efficiency ratio of regional original income is an effect on the surplus / deficit in. Meanwhile, partially, the ratio of regional financial independence and the ratio of regional financial dependence has no effect on the surplus / deficit in the DKI Jakarta Provincial Government.
Keywords : Regional Government Financial Performance, Against Surplus / Deficit, Decentralization Degree Ratio, Regional Financial Independence Ratio, Regional Financial Dependency Ratio, Regional Original Income Effectiveness Ratio and Original Regional Original Income Efficiency Ratio.
Creating Bright Futures
1. PENDAHULUAN
Akuntansi keuangan daerah
merupakan salah satu bidang dalam
akuntansi sektor publik yang mendapat
perhatian besar dari berbagai pihak.
Keuangan daerah mempunyai arti yang
sangat penting dalam rangka
pelaksanaan pemerintahan dan
kegiatan pembangunan oleh pelayanan
kemasyarakatan di daerah. Oleh karena
itu, keuangan daerah diupayakan untuk
berjalan secara berdaya guna dan
berhasil guna.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 105 Tahun
2000 tentang Pengelolaan
Pertanggungjawaban Keuangan
Daerah menegaskan bahwa
pengelolaan keuangan daerah harus
dilakukan secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan yang
berlaku, efisien, efektif, transparan dan
bertanggung jawab dengan
memperhatikan asas keadilan dan
kepatuhan. Kemampuan pemerintah
daerah dalam mengelola keuangan
dituangan dalam APBD yang langsung
maupun tidak langsung mencerminkan
kemampuan pemerintah daerah dalam
membiayai pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan sosial masyarakat.
Laporan keuangan pada
hakikatnya merupakan sebuah alat
yang menjadi bentuk
pertanggungjawaban sebuah entitas
atas pengelolaan sumber daya ekonomi
yang dimiliki. Bagi instansi
Pemerintah, laporan keuangan
menggambarkan pertanggungjawaban
instasi atas pelaksanaan anggaran dan
pengelolaan sumber daya. Pemerintah
melakukan pertanggungjawaban
melalui laporan keuangan karena
Pemerintah dikenal sebagai pelaku
ekonomi yang besar, di mana ia banyak
melakukan pengeluaran dan
mendapatkan penerimaan dari pajak
Creating Bright Futures
yang dipungut dari masyarakat.
Dengan demikian, laporan keuangan
digunakan oleh Pemerintah untuk
memenuhi ekspektasi masyarakat
untuk mengungkapkan posisi
keuangan dan kinerjanya.
Secara umum, terdapat dua
basis pencatatan akuntansi yaitu basis
kas dan basis akrual. Dalam basis kas,
transaksi akan dicatat pada saat kas
diterima atau dikeluarkan yang
mengakibatkan hanya penerimaan dan
pengeluaran kas yang dicatat.
Akibatnya, neraca hanya akan
menunjukkan posisi kas. Pembaca
laporan keuangan tidak dapat
mengetahui nilai persediaan, aset tetap,
dan utang suatu organisasi. Berbeda
dengan basis kas, basis akrual
mengharuskan transaksi dicatat pada
saat terjadi, sehingga utang, piutang,
dan aset perusahaan dapat terlihat jelas
dalam laporan keuangan. Sektor
swasta mengadopsi basis akrual dalam
standar akuntansi karena basis ini
dapat mencerminkan kegiatan dan
dapat memperlihatkan posisi keuangan
yang sebenarnya.
Berdasarkan ketentuan umum
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 71 Tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintah,
Dalam rangka peningkatan kualitas
informasi pelaporan keuangan
pemerintah dan untuk menghasilkan
pengukuran kinerja yang lebih baik,
serta memfasilitasi manajemen
keuangan/aset yang lebih transparan
dan akuntabel, maka perlu penerapan
akuntansi berbasis akrual yang
merupakan best practice di dunia
internasional.
Standar Akuntansi
Pemerintahan sebagaimana amanat
dari Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 71 Tahun 2010
tentang standar akuntansi
pemerintahan, bahwa setiap entitas
Creating Bright Futures
pelaporan dan entitas akuntansi pada
pemerintah pusat harus menerapkan
basis akrual untuk penyusunan laporan
keuangan pemerintah, mau tak mau
semua pengelolaan keuangan pada
satuan kerja pemerintah pusat harus
mampu daerah untuk
menerapkan basis akrual.
Salah satu hasil studi yang
dilakukan oleh IFAC Public Sector
Committee dalam Kementerian
Keuangan Republik Indonesia (2014)
menyatakan bahwa pelaporan berbasis
akrual bermanfaat dalam mengevaluasi
kinerja pemerintah terkait biaya jasa
layanan, efisiensi, dan pencapaian
tujuan. Dengan pelaporan berbasis
akrual, pengguna
dapat mengidentifikasi posisi
keuangan pemerintah dan
perubahannya, bagaimana pemerintah
mendanai kegiatannya sesuai dengan
kemampuan pendanaannya sehingga
dapat diukur kapasitas pemerintah
yang sebenarnya. Akuntansi
pemerintah berbasis akrual juga
memungkinkan pemerintah untuk
mengidentifikasi kesempatan dalam
menggunakan sumber daya masa
depan dan mewujudkan pengelolaan
yang baik atas sumber daya tersebut.
Provinsi DKI Jakarta sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia, sebagai pusat pemerintahan,
dan sebagai daerah otonom berhadapan
dengan karakteristik permasalahan
yang sangat kompleks dan berbeda
dengan provinsi lain.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Standar
Akuntansi Pemerintahan
Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP) harus mengacu
Creating Bright Futures
pada Peraturan Pemerintah yang
berlaku, dalam hal ini Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010
tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan yang merupakan
pengganti Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan.
Sampai dengan tahun anggaran 2013,
pemerintah daerah masih menerapkan
SAP berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005
tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan
2.2 Peraturan Pemerintah
Dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 2010 menyatakan
bahwa, SAP Berbasis Akrual adalah
SAP yang mengakui pendapatan,
beban, aset, utang, dan ekuitas dalam
pelaporan finansial berbasis akrual,
serta mengakui pendapatan, belanja,
dan pembiayaan dalam pelaporan
pelaksanaan anggaran berdasarkan
basis yang ditetapkan dalam
APBN/APBD. SAP Berbasis Kas
Menuju Akrual adalah SAP yang
mengakui pendapatan, belanja, dan
pembiayaan berbasis kas, serta
mengakui aset, utang, dan ekuitas dana
berbasis akrual. Laporan keuangan
pokok terdiri dari: (a) Laporan
Realisasi Anggaran; (b) Neraca; (c)
Laporan Arus Kas; (d) Catatan atas
Laporan Keuangan. Selain laporan
keuangan pokok tersebut, entitas
pelaporan diperkenankan menyajikan
Laporan Kinerja Keuangan dan
Laporan Perubahan Ekuitas
2.3 Standar Peraturan Pemerintah
Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP) merupakan standar yang harus
diikuti dalam laporan keuangan
instansi pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Pengguna laporan
keuangan akan menggunakan SAP
untuk memahami informasi yang
disajikan dalam laporan keuangan.
Laporan pertanggungjawaban
keuangan daerah (LPJ keuangan
Creating Bright Futures
daerah) dan laporan
pertanggungjawaban kinerja kepala
daerah (LPJ kinerja) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap atas
akuntabilitas publik pemerintah daerah
dan penerapan IPSAS berpengaruh
positif terhadap akuntabilitas publik
pemerintah.
2.4 Akuntansi Keuangan Daerah
Tanjung (2009:35)
mendefinisikan akuntansi keuangan
daerah adalah proses pencatatan,
penggolongan, pengikhtisaran dengan
cara tertentu dalam ukuran moneter,
transaksi dan kejadian-kejadian yang
umumnya bersifat keuangan dan
termasuk pelaporan hasi-hasilnnya
dalam penyelenggaraan urusan
pemerintah menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.5 Penjelasan Akuntansi
Keuangan Daerah
Menurut Halim (2013:56)
dalam konteks akuntansi keuangan
daerah pun terdapat sistem akuntansi
pemerintahan daerah. Konsep sistem
akuntansi pemerntahan daerah ini
termaktub dalam pasal 1 ayat (11)
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 71 Tahun 2010
tentang SAP yang menyebutkan bahwa
Sistem Akuntansi Pemerintahan adalah
rangkaian sistematik dari prosedur,
penyelenggara, peralatan, dan elemen
lain untuk mewujudkan fungsi
akuntansi sejak analisis transaksi
sampai dengan pelaporan keuangan di
lingkungan organisasi pemerintahan.
Dari beberapa pengertian
di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa Sistem
Akuntansi Keuangan Daerah
Creating Bright Futures
(SAKD) merupakan sistem
akuntansi yang terdiri dari
seperangkat kebijakan, standard
dan prosedur yang dapat
menghasilkan laporan yang
relevan, andal dan tepat waktu
untuk menghasilkan informasi
dalam bentuk laporan keuangan
yang akan digunakan oleh pihak
intern dan ekstern pemerintah
daerah untuk mengambil
keputusan ekonomi.
Sistem akuntansi
merupakan faktor utama
pendorong agar manajemen dapat
menghasilkan informasi akuntansi
yang terstruktur dan mengandung
arti. Maka dari itu, untuk dapat
menentukan kapan suatu transaksi
harus dicatat, digunakan sistem
prosedur berbagai basis/dasar
akuntansi atau sistem pencatatan
yaitu basis kas dan basis akrual.
a. Basis Kas
Basis Kas (Cash Basis) merupakan
salah satu konsep yang sangat
penting dalam akuntansi, dimana
pencatatan basis kas (cash basis)
adalah teknik pencatatan ketika
transaksi terjadi dimana uang benar-
benar diterima atau dikeluarkan.
Dengan kata lain metode Cash
Basis adalah basis akuntansi yang
mengakui pengaruh transaksi dan
peristiwa lainnya pada saat kas atau
setara kas diterima atau dibayar
yang digunakan untuk pengakuan
pendapatan, belanja dan
pembiayaan.
Berdasarkan PSAP 01
Paragraf 8 Akuntansi berbasis
kas adalah basis akuntansi
yang mengakui pengaruh
transaksi dan peristiwa
lainnya pada saat kas atau
setara kas diterima atau
dibayar.
Bastian (2006:114),
Creating Bright Futures
akuntansi berbasis kas
mampu menyediakan
informasi penting dan
obyektif. Tetapi di sisi lain,
informasi pendapatan dan
modal serta biaya operasional
selama periode tertentu tidak
dapat dimunculkan.
Keuntungan dan kerugian
merupakan hal yang penting
bagi organisasi baik sektor
publik maupun sektor swasta.
b. Basis Akrual
Basis Akrual (Accrual
Basis) adalah teknik
pencatatan transaksi yang
memiliki fitur pencatatan
dimana transaksi sudah dapat
dicatat, karena transaksi
tersebut memiliki implikasi
uang masuk atau keluar di
masa depan. Transaksi dicatat
pada saat terjadinya walaupun
uang belum benar-benar
diterima atau dikeluarkan.
Dengan kata lain basis akrual
digunakan untuk pengukuran
aset, liabilitas/kewajiban dan
aset neto. Basis akrual
mengakui pengaruh transaksi
dan peristiwa lainnya pada
saat transaksi dan peristiwa
itu terjadi tanpa
memperhatikan saat kas atau
setara kas diterima atau
dibayar.
Menurut Halim
(2013:54), Basis Akrual
(Accrual Basis) adalah dasar
akuntansi yang mengakui
transaksi dan peristiwa
lainnya pada saat transaksi
dan peristiwa itu terjadi (dan
bukan hanya pada saat kas
atau setara kas diterima atau
dibayar). Oleh karena itu,
transaksi-transaksi dan
Creating Bright Futures
peristiwa-peristiwa dicatat
dalam catatan akuntansi dan
diakui dalam laporan
keuangan pada periode
terjadinya.
Permendagri Nomor
64 Tahun 2013 Pasal 1 ayat
(10) menjelaskan bahwa
Basis akrual adalah basis
akuntansi yang mengakui
pengaruh transaksi dan
peristiwa pada saat transaksi
dan peristiwa itu terjadi, tanpa
memperhatikan saat kas atau
setara kas diterima atau
dibayar.
c. Basis Akrual
Basis Akrual (Accrual
Basis) adalah teknik
pencatatan transaksi yang
memiliki fitur pencatatan
dimana transaksi sudah dapat
dicatat, karena transaksi
tersebut memiliki implikasi
uang masuk atau keluar di
masa depan. Transaksi dicatat
pada saat terjadinya walaupun
uang belum benar-benar
diterima atau dikeluarkan.
Dengan kata lain basis akrual
digunakan untuk pengukuran
aset, liabilitas/kewajiban dan
aset neto. Basis akrual
mengakui pengaruh transaksi
dan peristiwa lainnya pada
saat transaksi dan peristiwa
itu terjadi tanpa
memperhatikan saat kas atau
setara kas diterima atau
dibayar.
Menurut Halim
(2013:54), Basis Akrual
(Accrual Basis) adalah dasar
akuntansi yang mengakui
transaksi dan peristiwa
lainnya pada saat transaksi
dan peristiwa itu terjadi (dan
Creating Bright Futures
bukan hanya pada saat kas
atau setara kas diterima atau
dibayar). Oleh karena itu,
transaksi-transaksi dan
peristiwa-peristiwa dicatat
dalam catatan akuntansi dan
diakui dalam laporan
keuangan pada periode
terjadinya.
Permendagri Nomor
64 Tahun 2013 Pasal 1 ayat
(10) menjelaskan bahwa
Basis akrual adalah basis
akuntansi yang mengakui
pengaruh transaksi dan
peristiwa pada saat transaksi
dan peristiwa itu terjadi, tanpa
memperhatikan saat kas atau
setara kas diterima atau
dibayar.
3. Perbedaan Laporan Keuangan
Berbasis Kas dan Akrual
Perbedaan laporan
keuangan pemerintah daerah
berbasis kas dengan berbasis
akrual adalah sebagai berikut:
Laporan Keuangan Berbasis Kas Laporan Keuangan Berbasis Akrual
Creating Bright Futures
LAPORAN PERUBAHAN
SAL
Tidak ada laporan tersendiri
NERACA
Ekuitas Dana terbagi:
1) Ekuitas Dana Lancar: selisih
antara aset lancar dan
kewajiban jangka pendek,
termasuk sisa lebih
pembiayaannggaran/saldo
anggaran lebih
2) Ekuitas Dana Investasi:
mencerminkan kekayaan
pemerintah yang tertanam
dalam investasi jangka
panjang, aset tetap, dan aset
lainnya, dikurangi dengan
kewajiban jangka panjang
3) Ekuitas Dana Cadangan:
mencerminkan kekayaan
pemerintah yang dicadangkan
untuk tujuan tertentu sesuai
dengan peraturan perundang-
LAPORAN PERUBAHAN SAL
Laporan Perubahan SAL
menyajikan secara komparatif
dengan periode sebelumnya pos-
pos berikut:
1) Saldo Anggaran Lebih awal
2) Penggunaan Saldo Anggaran
Lebih
3) Sisa Lebih/Kurang Pembiayaan
Anggaran tahun Berjalan
4) Koreksi Kesalahan Pembukuan
tahun Sebelumnya dan lain lain
5) Saldo Anggaran Lebih Akhir
NERACA
Hanya Ekuitas, yaitu kekayaan
bersih pemerintah yang merupakan
selisih antara aset dan kewajiban
pemerintah pada tanggal laporan.
Saldo ekuitas di Neraca berasal
dari saldo akhir ekuitas pada
Laporan Perubahan Ekuitas.
LAPORAN ARUS KAS
Creating Bright Futures
undangan.
LAPORAN ARUS KAS
1) Disajikan oleh unit yang
mempunyai fungsi
perbendaharaan
2) Arus masuk dan keluar kas
diklasifikasikan berdasarkan
aktivitas operasi, investasi
aset non keuangan,
pembiayaan, dan non
anggaran
LAPORAN KINERJA
KEUANGAN
1) Bersifat optional
2) Disusun oleh entitas
pelaporan yang menyajikan
laporan berbasis akrual
3) Sekurang-kurangnya
menyajikan pos-pos:
a) Pendapatan dari kegiatan
operasional
b) Beban berdasarkan
1) Disajikan oleh unit yang
mempunyai fungsi
perbendaharaan umum
2) Arus masuk dan keluar kas
diklasifikasikan berdasarkan
aktivitas operasi, investasi,
pendanaan, dan transitoris
LAPORAN OPERASIONAL
1) Merupakan laporan keuangan
pokok
2) Menyajikan pos-pos sebagai
berikut
a) Pendapatan-LO dari
kegiatan operasional
b) Beban dari kegiatan
operasional
c) Surplus/defisit dari
Kegiatan Non Operasional,
bila ada
d) Pos luar biasa, bila ada
e) Surplus/defisit-LO
Creating Bright Futures
klasifikasi fungsional dan
klasifikasi ekonomi
c) Surplus atau defisit
LAPORAN PERUBAHAN
EKUITAS
1) Bersifat optional
2) Sekurang-kurangnya
menyajikan pos-pos:
a) Sisa Lebih/Kurang
Pembiayaan Anggaran
b) Setiap pos pendapatan
dan belanja beserta
totalnya seperti
diisyaratkan dalam
standar-standa lainnya,
yang diakui secara
langsung dalam ekuitas
c) Efek kumulatif atas
perubahan kebijakan
akuntansi dan koreksi
kesalahan yang mendasar
diatur dalam suatu
LAPORAN PERUBAHAN
EKUITAS
1) Merupakan Laporan Keuangan
Pokok
2) Sekurang-kurangnya
menyajikan pos-pos:
a) Ekuitas awal;
b) Surplus/defisit-LO pada
periode bersangkutan;
c) Koreksi-koreksi yang
langsung
menambah/mengurangi
ekuitas, misalnya: koreksi
kesalahan mendasar dari
persediaan yang terjadi
pada periode-periode
sebelumnya dan perubahan
nilai aset tetap karena
revaluasi aset tetap.
d) Ekuitas akhir
CALK
Creating Bright Futures
standar terpisah
CALK
Pada dasarnya hampir sama
dengan PP baru
Perbedaan yang muncul hanya
dikarenakan komponen laporan
keuangan yang berbeda dengan PP
lama
C. Laporan Keuangan Pemerintah
1. Pengertian Laporan Keuangan
Pemerintah
Tanjung (2012:12),
menyatakan pelaporan keuangan
pemerintah seharusnya
menyajikan informasi yang
bermanfaat bagi para pengguna
dalam menilai akuntabilitas dan
membuat keputusan baik
keputusan ekonomi, sosial,
maupun politik dengan
menyediakan informasi sebagai
berikut:
a. Menyediakan informasi
tentang sumber, alokasi, dan
pengguna sumber daya
keuangan.
b. Menyediakan informasi
mengenai kecukupan
penerimaan periode berjalan
untuk membiayai seluruh
pengeluaran.
c. Menyediakan informasi
mengenai jumlah sumber
daya ekonomi yang
digunakan dalam kegiatan
entitas pelaporan serta hasil-
hasil yang telah dicapai.
d. Menyediakan informasi
mengenai bagaimana entitas
pelaporan mendanai seluruh
kegiatannya dan mencukupi
kebutuhan kasnya.
e. Menyediakan informasi
mengenai posisi keuangan
Creating Bright Futures
dan kondisi entitas pelaporan
berkaitan dengan sumber-
sumber penerimaannya, baik
jangka pendek maupun
jangka panjang, termasuk
yang berasal dari pungutan
pajak dan pinjaman.
f. Menyediakan informasi
mengenai perubahan posisi
keuangan entitas pelaporan,
apakah mengalami kenaikan
atau penurunan, sebagai
akibat kegiatan yang
dilakukan selama periode
pelaporan.
2. Tujuan Laporan Keuangan
Pemerintah
Halim (2009:20), menyatakan
bahwa tujuan umum laporan
keuangan adalah menyajikan
informasi mengenai posisi
keuangan, realisasi anggaran,
arus kas, dan kinerja
keuangan suatu entitas
pelaporan yang bermanfaat
bagi para pengguna dalam
membuat dan menevaluasi
keputusan mengenai alokasi
sumber daya secara spesifik.
3. Komponen Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah
Berdasarkan Peraturan
Gubernur Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 204 Tahun
2016 Tentang Kebijakan
Akuntansi Pemerintah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
Komponen Laporan Keuangan
pokok terdiri dari:
a. Laporan Realisasi
Anggaran (LRA)
Laporan Realisasi
Anggaran menyajikan ikhtisar
sumber, alokasi, dan
pemakaian sumber daya
ekonomi yang dikelola oleh
pemerintah daerah, yang
Creating Bright Futures
menggambarkan
perbandingan antara anggaran
dan realisasinya dalam satu
periode pelaporan.
b. Laporan Perubahan Saldo
Anggaran Lebih (SAL)
Laporan Perubahan
Saldo Anggaran Lebih
menyajikan informasi
kenaikan atau penurunan
Saldo Anggaran Lebih tahun
pelaporan dibandingkan
dengan tahun sebelumnya.
c. Neraca
Neraca menggambarkan
posisi keuangan suatu entitas
pelaporan mengenai aset,
kewajiban, dan ekuitas pada
tanggal tertentu. Unsur yang
dicakup oleh neraca terdiri dari
aset, kewajiban, dan ekuitas.
d. Laporan Operasional (LO)
Laporan operasional
menyajikan ikhtisar sumber daya
ekonomi yang menambah ekuitas dan
penggunananya yang dikelola oleh
pemerintah daerah untuk kegiatan
penyelenggaraaan pemerintahan
dalam suatu periode pe Unsur yang
dicakup secara langsung dalam
Laporan Operasional terdiri dari
pendapatan-LO, beban, transfer, dan
pos-pos luar biasa
e. Laporan Arus Kas (LAK)
Laporan Arus Kas
menyajikan informasi kas
sehubungan dengan aktivitas
operasional, investasi, pendanaan,
dan transitoris yang menggambarkan
saldo awal, penerimaan, pengeluaran,
dan saldo akhir kas pemerintah
daerah selama periode tertentu. Unsur
yang dicakup dalam Laporan Arus
Kas terdiri dari penerimaan dan
pengeluaran kas
f. Laporan Perubahan Ekuitas
(LEK)
Laporan Perubahan Ekuitas
Creating Bright Futures
menyajikan informasi kenaikan atau
penurunan ekuitas tahun pelaporan
dibandingkan dengan tahun
sebelumnya.
g. Catatan atas Laporan
Keuangan (CaLK)
Catatan atas Laporan
Keuangan meliputi penjelasan naratif
atau rincian dari angka yang tertera
dalam Laporan Realisasi Anggaran,
Laporan Perubahan SAL, Laporan
Operasional, Laporan Perubahan
Ekuitas, Neraca, dan Laporan Arus
Kas. Catatan atas Laporan Keuangan
juga mencakup informasi tentang
kebijakan akuntansi yang
dipergunakan oleh entitas pelaporan
dan informasi lain yang diharuskan
dan dianjurkan untuk diungkapkan di
dalam kebijakan akuntansi
pemerintahan serta ungkapan-
ungkapan yang diperlukan untuk
menghasilkan penyajian laporan
keuangan secara wajar.
Analisis Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah
a. Rasio Derajat
Desentralisasi Fiskal
Tingkat desentralisasi
fiskal adalah ukuran untuk
menunjukkan tingkat
kewenangan dan tanggung
jawab yang diberikan
pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk
melaksanakan pembangunan.
Derajat desentralisasi
dihitung berdasarkan
perbandingan antara jumlah
Pendapatan Asli Daerah
dengan total penerimaan
daerah. Rasio ini
menunjukkan derajat
kontribusi PAD terhadap total
pendapatan daerah. Semakin
Creating Bright Futures
tinggi kontribusi PAD maka
semakin tinggi kemampuan
pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan
desentralisasi. Rasio ini
dirumuskan sebagai berikut :
Derajat Desentraslisasi
Fiskal =
Pendapatan Asli Daerah
Total Pendapatan
Daerah
Derajat desentralisasi
fiskal khususnya komponen
PAD dibandingkan dengan
total pendapatan daerah,
menurut Tim Fispol UGM
menggunakan skala interval
seperti pada tabel berikut:
Tabel 2.2
Skala Interval Rasio Derajat
Desentralisasi Fiskal
Sumber : Tim Litbang Depdagri – Fisipol UGM, 1991 dalam I Dewa Gde Bisma dan Hery Susanto (2010:78)
b. Rasio Kemandirian
Keuangan Daerah
Tingkat kemandirian
keuangan daerah adalah
ukuran yang menunjukkan
kemampuan keuangan
pemerintah daerah dalam
membiayai sendiri kegiatan
pemerintahan, pembangunan,
dan pelayanan kepada
masyarakat yang telah
membayar pajak dan retribusi
sebagai sumber pendapatan
yang diperlukan daerah.
Skala Interval Derajat
Desentralisasi Fiskal (%)
Kemampuan Keuangan Daerah
00,00 – 10,00 Sangat Kurang
10,01 – 20,00 Kurang
20,01 – 30,00 Sedang
30,01 – 40,00 Cukup
40,01 – 50,00 Baik
> 50,00 Sangat Baik
Creating Bright Futures
Rasio kemandirian daerah
dihitung dengan cara
membandingkan jumlah
penerimaan Pendapatan Asli
Daerah dibagi dengan jumlah
pendapatan transfer dari
pendapatan pusat dan provinsi
serta pinjaman daerah. Rasio
ini dirumuskan sebagai
berikut :
Rasio Kemandirian
Keuangan Daerah
=
Pendapatan Asli Daerah
Bantuan Pemerintah Pusat dan Pinjaman
Rasio Kemandirian
Keuangan Daerah
menggambarkan
ketergantungan daerah
terhadap sumber dana ekstern.
Semakin tinggi rasio
kemandirian mengandung arti
bahwa tingkat ketergantungan
daerah terhadap bantuan
pihak ekstern (terutama
pemerintah pusat) semakin
rendah, demikian pula
sebaliknya. Rasio
kemandirian juga
menggambarkan tingkat
partisipasi masyarakat dalam
pembangunan daerah.
Semakin tinggi rasio
kemandirian, semakin tinggi
partisipasi masyarakat dalam
membayar pajak dan retribusi
daerah yang merupakan
komponen utama pendapatan
asli daerah. Semakin tinggi
masyarakat membayar pajak
dan retribusi daerah akan
menggambarkan tingkat
kesejahteraan masyarakat
yang semakin tinggi.
Tabel 2.3
Skala Interval Rasio Kemandirian
Keuangan Daerah
Creating Bright Futures
Kemampuan Keuangan
Kemandirian (%)
Pola Hubungan
Rendah Sekali 0% – 25% Instruktif
Rendah 25% – 50% Konsultatif
Sedang 50% – 75% Pastisipatif
Tinggi 75% – 100% Delegatif
Sangat Tinggi > 100% Delegatif Sumber : Halim (2007:169) dalam Ratna Wulaningrum
c. Rasio Ketergantungan
Keuangan Daerah
Tingkat ketergantungan
daerah adalah ukuran tingkat
kemampuan daerah dalam
membiayai aktifitas
pembangunan daerah melalui
optimalisasi PAD. Rasio
ketergantungan keuangan
daerah dihitung dengan cara
membandingkan jumlah
pendapatan transfer yang
diterima oleh penerimaan
daerah dengan total
penerimaan daerah. Semakin
tinggi rasio ini maka semakin
besar tingkat ketergantungan
pemerintah daerah terhadap
pemerintahan pusat dan/atau
pemerintah provinsi. Rasio ini
dirumuskan sebagai berikut :
Rasio Ketergantungan
Keuangan Daerah
=
Pendapatan
Transfer
Total Pendapatan Daerah
d. Rasio Efektifitas
Pendapatan Asli Daerah
Rasio efektifitas
Pendapatan Asli Daerah
(PAD) menggambarkan
kemampuan pemerintah
daerah dalam merealisasikan
PAD yang direncanakan
dibandingkan dengan target
yang ditetapkan berdasarkan
potensi riil daerah. Rasio
efektifitas PAD dihitung
dengan cara membandingkan
realisasi penerimaan PAD
dengan target penerimaan
Creating Bright Futures
PAD (dianggarkan). Rasio ini
dirumuskan sebagai berikut:
Rasio Efektifitas
PAD =
Realisasi Penerimaan PAD x
100% Target Penerimaan PAD
Surplus/ Defisit
Surplus APBD merupakan
selisih lebih antara Pendapatan Daerah
dan Belanja Daerah pada tahun
anggaran yang sama. Surplus terjadi
bila jumlah pendapatan lebih besar
daripada jumlah belanja. Apabila
APBD mengalami surplus tidak selalu
berarti daerah tersebut memiliki
kelebihan kas, namun hal tersebut
terjadi karena anggaran pendapatan
daerah lebih besar dari anggaran
belanja daerah. Surplus anggaran
pendapatan tersebut dapat dianggarkan
oleh daerah untuk pembayaran pokok
utang, penyertaan modal (investasi)
daerah, pemberian pinjaman kepada
pemerintah pusat/daerah lain, dan
pembentukan dana cadangan
(misalnya : untuk dana Pilkada, untuk
pembangunan infrastruktur).
Defisit secara harfiah berarti
adalah kekurangan dalam kas
keuangan. Defisit biasa terjadi ketika
suatu organisasi (biasanya pemerintah)
memiliki pengeluaran lebih banyak
daripada penghasilan.
Metode Penelitian
I Made Wirartha (2006:68)
Metode Penelitian adalah Suatu cabang
ilmu pengetahuan yang membicarakan
atau mempersoalkan cara-cara
melaksanakan penelitian (yaitu
meliputi kegiatan-kegiatan mencari,
mencatat, merumuskan, menganalisis
sampai menyusun laporannya)
berdasarkan fakta-fakta atau gejala-
gejala secara ilmiah.
Metode analisis yang
digunakan untuk menjawab rumusan
masalah dalam penelitian ini
Creating Bright Futures
menggunakan metode analisis asosiatif
dan metode kuantitatif.
Metode penelitian kuantitatif
menekankan pada pengujian teori-teori
melalui pengukuran variabel-variabel
penelitian dengan angka dan
melakukan analisis data dengan
prosedur statistik.
Sedangkan penelitian asosiatif
merupakan penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui hubungan antara dua
variabel atau lebih. Dengan penelitian
ini maka akan dapat dibangun suatu
teori yang dapat berfungsi untuk
menjelaskan, meramalkan dan
mengontrol suatu gejala. Pada
penelitian ini menggunakan hubungan
kausal.
Hubungan kausal adalah
hubungan antara dua variabel atau
lebih yang bersifat mempengaruhi
antara variabel yang satu (variabel
bebas) terhadap variabel lain (variabel
terikat). Dalam bentuk hubungan ini
diketahui dengan pasti atau dapat
dibedakan variabel bebas (variabel
yang mempengaruhi) dengan variabel
terikat (variabel yang dipengaruhi),
dengan kata lain hubungan ini
diartikan sebagai hubungan sebab
akibat, bila X maka Y. Bentuk
hubungan kausal dapat dilihat pada
gambar 3.1 dibawah ini:
Gambar 3.1
Hubungan Kausal akibat X
Mempengaruhi Y
Penelitian ini menguji
pengaruh Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah terhadap Surplus/
Defisit Pada Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta periode 2015-2019. Peneliti
akan memberikan gambaran terlebih
dahulu mengenai bagaimana kinerja
keuangan pemerintah daerah selama
periode 2015 – 2019 pada Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta, lalu dianalisa
X Y
Creating Bright Futures
bagaimana pengaruhnya dengan
surplus/ defisit.
Objek Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas
objek/subjek yang mempunyai
kuantitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya. Populasi
dalam penelitian ini berjumlah 34
Provinsi di Indonesia
2. Sampel
sampel yang digunakan
berjumlah 5 tahun yaitu
pada tahun 2015 – 2019
dari Provinsi DKI
Jakarta. Adapun data
yang diambil berupa
laporan keuangan pada
tahun 2015 sampai
dengan tahun 2019.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data
merupakan langkah yang paling
utama dalam penelitian. Pada
penelitian ini, jenis data yang
diperlukan yaitu data kuantitatif.
Data kuantitatif tersebut diperoleh
melalui website resmi Pejabat
Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID) yaitu
www.ppid.jakarta.go.id.
Metode data penilitian dibahas
berdasarkan sumber data sekunder
dan primer.
Pada penelitian ini, data sekunder
diambil dari data sekunder yang
berupa laporan keuangan tahunan
Provinsi DKI Jakarta periode 2015
sampai dengan 2019 melalui
website resmi Pejabat Pengelola
Informasi dan Dokumentasi
(PPID) yaitu
www.ppid.jakarta.go.id
4. Variabel Penelitian
Creating Bright Futures
Menurut Sugiono (2016:38)
Variabel penelitian adalah Segala
sesuatu yang berbentuk apa saja yang
ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari sehingga diperoleh informasi
tentang hal tersebut, kemudian ditarik
kesimpulannya.
Pada penelitian ini terdapat 4
(empat) variabel yang berisi 3 (tiga)
variabel bebas (independen) dan 1
variabel terikat (dependen). Adapun
variabel – variabel tersebut sebagai
berikut:
1. Variabel Independen (X)
Menurut Sugiono (2016:39),
Variabel Independen sering disebut
sebagai variabel stimulus, prediktor,
antecedebt. Dalam bahasa Indonesia
sering disebut sebagai variabel bebas.
Variabel bebas adalah merupakan
variabel yang mempengaruhi atau yang
menjadi sebab perubahannya atau
timbulnya variabel dependen (terikat).
Dalam penelitian ini terdapat 5
(lima) variabel independen, yaitu
sebagai berikut :
Tabel 3.1 Variabel Independen
Penelitian Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal X1
Rasio Kemandirian Keuangan
Daerah
X2
Rasio Ketergantungan Keuangan
Daerah
X3
Rasio Efektifitas Pendapatan Asli
Daerah
X4
Rasio Efisiensi Pendapatan Asli
Daerah
X5
2. Variabel Dependen (Y)
Menurut Sugiono (2016:39),
Variabel Dependen sering disebut
sebagai variabel output, kriteria,
konsekuen. Dalam bahasa
Indonesia sering disebut sebagai
variabel terikat. Variabel terikat
merupakan variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi
akibat, karena adanya variabel
bebas.
Creating Bright Futures
Variabel dependen disebut juga dengan
variabel tergantung, dikarenakan
variasinya tergantung terhadap variasi
variabel lainnya
Tabel 3.2 Variabel Dependen Penelitian
Teknik Analisis Data
Dalam melakukan suatu
penelitian sangat perlu dilakukan
perencanaan dan perancangan
penelitian, agar penelitian yang
dilakukan dapat berjalan dengan baik
dan sistematis.
Berikut metode pengujian data
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik dilakukan untuk
melihat atau menguji suatu model
yang termasuk layak atau tidak
layak digunakan dalam penelitian
2. Analisis Regresi Linier Berganda
Regresi linier berganda adalah
analisis yang menjelaskan
hubungan antara perubahan respon
(variabel dependen) dengan faktor-
faktor yang mempengaruhi lebih
dari satu prediktor (variabel
independen)
Y = Variabel Dependen (Surplus/ Defisit)
α = Konstanta
X1 = Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
X2 = Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
X3 = Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah
X4 = Rasio Efektifitas Pendapatan Asli
Daerah
X5 = Rasio Efisiensi Pendapatan Asli Daerah
β1….. β5 = Koefisien Regresi Variabel
Bebas
e = Error Term
3. Pengujian Hipotesis
Uji hipotesis dilakukan untuk
memperoleh gambaran mengenai
hubungan antara variabel
independen dengan variabel
dependen. Secara statistik,
Surplus/ Defisit Y
Y = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + e
Creating Bright Futures
setidaknya ini dapat diukur dari
nilai koefisien determinasi, nilai
statistik F dan nilai statistik t.
perhitungan statistic disebut
signifikan secara statistik apabila
nilai uji statistiknya berada dalam
daerah kritis (daerah dimana Ho
ditolak). Sebaliknya disebut tidak
signifikan bila nilai uji statistiknya
berada dalam daerah dimana Ho
diterima.
a. Koefisien Determinasi (R2)
b. Uji Signifikan Parameter
Individual (Uji Statistik t)
c. Uji Signifikan Keseluruhan
dan Regresi Sample (Uji
Statistik F)
Kerangka Pemikiran
Kerangkan pemikiran untuk
penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Gambar 3.2
Kerangka Pemikiran
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Daerah Khusus Ibukota
Jakarta (DKI Jakarta) adalah ibu
kota negara dan kota terbesar di
Indonesia. Jakarta merupakan satu-
satunya kota di Indonesia yang
memiliki status setingkat provinsi.
Jakarta terletak di pesisir bagian
barat laut Pulau Jawa. Dahulu
pernah dikenal dengan beberapa
nama di antaranya Sunda Kelapa,
Jayakarta, dan Batavia.
Sejak kemerdekaan sampai
sebelum tahun 1959, Djakarta
merupakan bagian dari Provinsi
Jawa Barat. Pada tahun 1959, status
Kota Djakarta mengalami
X1 = Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
X2 = Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
X3 = Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah
X4 = Rasio Efektifitas Pendapatan Asli Daerah
X5 = Rasio Efisiensi Pendapatan Asli Daerah
(Laporan Keuangan 2012-2017)
Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta
Y = Surpus/ Defisit
Creating Bright Futures
perubahan dari sebuah kotapraja di
bawah wali kota ditingkatkan
menjadi daerah tingkat satu (Dati I)
yang dipimpin oleh gubernur. Yang
menjadi gubernur pertama ialah
Soemarno Sosroatmodjo, seorang
dokter tentara. Pengangkatan
Gubernur DKI waktu itu dilakukan
langsung oleh Presiden Sukarno.
Pada tahun 1961, status Djakarta
diubah dari Daerah Tingkat Satu
menjadi Daerah Khusus Ibukota
(DKI) dan gubernurnya tetap
dijabat oleh Sumarno.
Semenjak dinyatakan
sebagai ibu kota, penduduk Jakarta
melonjak sangat pesat akibat
kebutuhan tenaga kerja
kepemerintahan yang hampir semua
terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5
tahun penduduknya berlipat lebih
dari dua kali.
Pada masa pemerintahan
Soekarno, Jakarta melakukan
pembangunan proyek besar, antara
lain Gelora Bung Karno, Masjid
Istiqlal, dan Monumen Nasional.
Pada masa ini pula Poros Medan
Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai
dikembangkan sebagai pusat bisnis
kota, menggantikan poros Medan
Merdeka-Senen-Salemba-
Jatinegara. Pusat permukiman besar
pertama yang dibuat oleh pihak
pengembang swasta adalah Pondok
Indah (oleh PT Pembangunan Jaya)
pada akhir dekade 1970-an di
wilayah Jakarta Selatan.
Jakarta memiliki luas sekitar
661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²),
dengan penduduk berjumlah
10.374.235 jiwa (2017). Wilayah
metropolitan Jakarta (Jabodetabek)
yang berpenduduk sekitar 28 juta
jiwa, merupakan metropolitan
terbesar di Asia Tenggara atau
urutan kedua di dunia.
Jakarta merupakan kota
Creating Bright Futures
dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi yang cukup pesat. Saat ini,
lebih dari 70% uang negara beredar
di Jakarta. Perekonomian Jakarta
terutama ditunjang oleh sektor
perdagangan, jasa, properti, industri
kreatif, dan keuangan. Beberapa
sentra perdagangan di Jakarta yang
menjadi tempat perputaran uang
cukup besar adalah kawasan Tanah
Abang dan Glodok. Kedua kawasan
ini masing-masing menjadi pusat
perdagangan tekstil serta dengan
sirkulasi ke seluruh Indonesia.
Bahkan untuk barang tekstil dari
Tanah Abang, banyak pula yang
menjadi komoditi ekspor.
Sedangkan untuk sektor keuangan,
yang memberikan konstribusi
cukup besar terhadap perekonomian
Jakarta adalah industri perbankan
dan pasar modal. Untuk industri
pasar modal, pada bulan Mei 2013
Bursa Efek Indonesia tercatat
sebagai bursa yang memberikan
keuntungan terbesar, setelah Bursa
Efek Tokyo. Pada bulan yang sama,
kapitalisasi pasar Bursa Efek
Indonesia telah mencapai USD
510,98 miliar atau nomor dua
tertinggi di kawasan ASEAN.
Pada tahun 2012,
pendapatan per kapita masyarakat
Jakarta sebesar Rp 110,46 juta per
tahun (USD 12,270). Sedangkan
untuk kalangan menengah atas
dengan penghasilan Rp 240,62 juta
per tahun (USD 26,735), mencapai
20% dari jumlah penduduk. Di sini
juga bermukim lebih dari separuh
orang-orang kaya di Indonesia
dengan penghasilan minimal USD
100,000 per tahun. Kekayaan
mereka terutama ditopang oleh
kenaikan harga saham serta properti
yang cukup signifikan. Saat ini
Jakarta merupakan kota dengan
tingkat pertumbuhan harga properti
Creating Bright Futures
mewah yang tertinggi di dunia,
yakni mencapai 38,1% Selain
hunian mewah, pertumbuhan
properti Jakarta juga ditopang oleh
penjualan dan penyewaan ruang
kantor. Pada periode 2009-2012,
pembangunan gedung-gedung
pencakar langit (di atas 150 meter)
di Jakarta mencapai 87,5%. Hal ini
telah menempatkan Jakarta sebagai
salah satu kota dengan pertumbuhan
pencakar langit tercepat di dunia.
Pada tahun 2020, diperkirakan
jumlah pencakar langit di Jakarta
akan mencapai 250 unit. Dan pada
saat itu Jakarta telah memiliki
gedung tertinggi di Asia Tenggara
dengan ketinggian mencapai 638
meter (The Signature Tower).
HASIL PENELITIAN
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Tabel 4.1
Resume Laporan Realisasi Anggaran
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun
2012-2017
Berdasarkan tabel 4.1
diatas, untuk pendapatan asli daerah
tahun 2012-2017 terlihat selalu
mengalami kenaikan. Pendapatan
asli daerah pada tahun 2012 sebesar
Rp 22.040.801.447.924
menjadi pendapatan asli daerah
terendah, sedangkan pendapatan
asli daerah tertinggi terjadi pada
tahun 2017 yaitu sebesar Rp
43.901.488.807.743.
Untuk pendapatan transfer
tahun 2012-2017 terlihat fluktuatif
karena terjadi kenaikan dan
penurunan. Pada tahun 2012 sampai
dengan tahun 2015 selalu
mengalami penuruan setiap
2012 2013 2014Laporan Realisasi Anggaran
Pendapatan Asli Daerah 22.040.801.447.924 26.852.192.452.636 31.274.215.885.719 Pendapatan Transfer 13.334.647.270.804 11.517.024.305.153 12.160.469.922.272 Lain-Lain Pendapatan Yang Sah 3.731.333.261 1.148.327.253.901 389.614.752.674 Total Pendapatan 35.379.180.051.989 39.517.544.011.690 43.824.300.560.665 Jumlah Belanja Daerah 31.558.706.898.925 38.301.502.396.759 37.799.664.298.459 Surplus / Defisit 3.820.473.153.064 1.216.041.614.931 6.024.636.262.206
2015 2016 2017Laporan Realisasi Anggaran
Pendapatan Asli Daerah 33.686.176.815.708 36.888.017.587.716 43.901.488.807.743 Pendapatan Transfer 8.642.378.398.086 15.271.661.452.714 18.969.291.389.929 Lain-Lain Pendapatan Yang Sah 1.880.682.954.789 1.625.027.272.083 1.953.107.172.148 Total Pendapatan 44.209.238.168.583 53.784.706.312.513 64.823.887.369.820 Jumlah Belanja Daerah 43.031.322.947.557 47.128.810.245.854 51.066.081.379.887 Surplus / Defisit 1.177.915.221.026 6.655.896.066.659 13.757.805.989.933
TAHUN
TAHUN
Creating Bright Futures
tahunnya, kemudian mulai tahun
2016 dan 2017 kembali mengalami
kenaikan. Pendapatan transfer pada
tahun 2015 sebesar Rp
8.642.378.398.086 menjadi
pendapatan transfer terendah,
sedangkan pendapatan asli daerah
tertinggi terjadi pada tahun 2017
yaitu sebesar Rp
18.969.291.389.929.
Untuk lain-lain pendapatan
yang sah tahun 2012-2017 juga
terlihat fluktuatif karena terjadi
kenaikan dan penurunan. Pada
tahun 2012 sampai dengan tahun
2014 selalu mengalami penuruan
setiap tahunnya, kemudian pada
tahun 2015 mengalami kenaikan
menjadi sebesar Rp
1.880.682.954.789. Lalu pada tahun
2016 kembali mengalami
penurunan menjadi sebesar Rp
1.625.027.272.083. Adapun pada
tahun 2017 mengalami kenaikan
kembali menjadi sebesar Rp
1.953.107.172.148. Lain-lain
pendapatan yang sah pada tahun
2014 sebesar Rp 389.614.752.674
menjadi lain-lain pendapatan yang
sah terendah, sedangkan lain-lain
pendapatan yang sah tertinggi
terjadi pada tahun 2017 yaitu
sebesar Rp 1.953.107.172.148.
Untuk total pendapatan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
selama tahun 2012 hingga 2017
selalu meningkat setiap tahunnya.
Total pendapatan pada tahun 2012
menjadi total pendapatan terendah
selama tahun 2011-2016 yaitu
sebesar Rp 35.379.180.051.989,
sedangkan total pendapatan pada
tahun 2017 menjadi total
pendapatan tertinggi selama tahun
2012-2017 yaitu sebesar Rp
64.823.887.369.820.
Jumlah belanja daerah setiap
tahun juga mengalami kenaikan.
Creating Bright Futures
Jumlah belanja daerah pada tahun
2012 sebesar Rp
31.558.706.898.925 dan jumlah
belanja daerah pada tahun 2017
sebesar Rp 51.066.081.379.887.
Analisis Data dan Pembahasan
1. Analisis Data yang Berkaitan
Dengan Kinerja Keuangan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
a. Posisi Rasio Derajat Desentralisasi
Fiskal Tabel 4.2
Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012 – 2017
Berdasarkan pada tabel
4.2 diatas, dapat diketahui
bahwa kinerja keuangan
pemerintah daerah Provinsi
DKI Jakarta dapat
dikategorikan sangat baik. Hal
ini ditunjukkan pada
peningkatan nilai rasio derajat
desentralisasi fiskal selama 4
tahun karena nilai
perbandingan antara
Pendapatan Asli Daerah
dengan Total Pendapat tidak
terlalu jauh. Namun, terjadi
penurunan selama 2 tahun yaitu
pada tahun anggaran 2016 dan
2017 yang disebabkan oleh
pendapatan asli daerah yang
nilainya berbanding jauh
dengan total pendapatan
daerah, tetapi meskipun terjadi
penurunan nilai rasio tersebut
masih dalam kriteria yang
sangat baik.
Grafik 4.1
Grafik Rasio Derajat Desentralisasi
Fiskal Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2012 – 2017
Tahun Anggaran
Pendapatan Asli Daerah
(Rp)
Total Pendapatan Daerah
(Rp)
Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
(%)
Kemampuan Keuangan
Daerah
2012 22.040.801.447.924 35.379.180.051.989 62,30 Sangat Baik
2013 26.852.192.452.636 39.517.544.011.690 67,95 Sangat Baik
2014 31.274.215.885.719 43.824.300.560.665 71,36 Sangat Baik
2015 33.686.176.815.708 44.209.238.168.583 76,20 Sangat Baik
2016 36.888.017.587.716 53.784.706.312.513 68,58 Sangat Baik
2017 43.901.488.807.743 64.823.887.369.820 67,72 Sangat Baik
69,02
62,30
76,20
Rata-Rata
Nilai Terendah
Nilai Tertinggi
Creating Bright Futures
b. Posisi Rasio Kemandirian Keuangan
Daerah
Berikut ini adalah perhitungan rasio
kemandirian keuangan daerah
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
selama 6 tahun mulai tahun 2012
sampai 2017 beserta tingkat
pertumbuhannya:
Tabel 4.3
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012 – 2017
Berdasarkan pada tabel 4.3 diatas,
dapat diketahui bahwa kemampuan
keuangan derah Provinsi DKI Jakarta
sangat tinggi dan pola hubungannya
delegatif. Hal ini ditunjukkan pada
peningkatan nilai rasio kemandirian
keuangan daerah selama 4 tahun
karena nilai pendapatan asli daerah
lebih besar dari pendapatan transfer.
Meskipun terjadi penurunan karena
nilai pendapatan transfer meningkat
selama 2 tahun yaitu pada tahun
anggaran 2016 dan 2017, tetapi nilai
rasio tersebut masih dalam kriteria
yang sangat baik.
Grafik 4.2
Grafik Rasio Kemandirian Keuangan
Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2012 – 2017
c. Posisi Rasio Ketergantungan
Keuangan Daerah
Tabel 4.4
Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah
Pemerintah
Tahun Anggaran
Pendapatan Asli Daerah
(Rp)
Pendapatan Transfer(Rp)
Rasio Kemandirian
Keuangan Daerah
Kemampuan Keuangan
Pola Hubungan
2012 22.040.801.447.924 13.334.647.270.804 165% Sangat Tinggi Delegatif
2013 26.852.192.452.636 11.517.024.305.153 233% Sangat Tinggi Delegatif
2014 31.274.215.885.719 12.160.469.922.272 257% Sangat Tinggi Delegatif
2015 33.686.176.815.708 8.642.378.398.086 390% Sangat Tinggi Delegatif
2016 36.888.017.587.716 15.271.661.452.714 242% Sangat Tinggi Delegatif
2017 43.901.488.807.743 18.969.291.389.929 231% Sangat Tinggi Delegatif
253%
165%
390%
Rata-Rata
Nilai Terendah
Nilai Tertinggi
Creating Bright Futures
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012 – 2017
Berdasarkan pada tabel 4.3 diatas,
dapat diketahui tingkat ketergantungan
keuangan derah Provinsi DKI Jakarta
berdasarkan hasil perhitungan yang
membandingkan jumlah pendapatan
transfer dengan yang diterima oleh
pemerintah daerah dengan total
pendapatan daerah menunjukkan
peningkatan yang persentase yang
fluktuatif. Terlihat pada tahun anggaran
2012 termasuk dalam kriteria cukup
karena nilai pendapatan transfer terlihat
cukup banyak jika dibandingkan dengan
total pendapatan daerah. Sedangkan pada
2 tahun anggaran selanjutnya yaitu 2013
dan 2014, mengalami peningkatan kriteria
menjadi sedang karena adanya penurunan
nilai pendapatan transfer. Lalu pada tahun
anggaran 2015 tingkat ketergantungan
keuangan daerah kembali meningkat
menjadi rendah karena nilai pendapatan
transfer termasuk rendah jika
dibandingkan dengan total pendapatan
daerah. Kemudian terjadi penurunan yang
cukup signifikan pada tahun anggaran
2016 dan 2017, hal ini dikarenakan nilai
pendapatan transfer yang diterima
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terjadi
peningkatan sehingga tingkat
ketergantungan keuangan daerah kembali
menjadi ke tingkat yang sedang.
Grafik 4.3
Grafik Rasio Ketergantungan Keuangan
Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2012 – 2017
d. Posisi Rasio Efektifitas Pendapatan
Asli Daerah Tabel 4.5
Rasio Efektifitas Pendapatan Asli Daerah Pemerintah
Tahun Anggaran
Pendapatan Transfer(Rp)
Total Pendapatan Daerah
(Rp)
Rasio Ketergantungan
Keuangan Daerah
Ketergantungan Keuangan
Daerah
2012 13.334.647.270.804 35.379.180.051.989 37,69 Cukup
2013 11.517.024.305.153 39.517.544.011.690 29,14 Sedang
2014 12.160.469.922.272 43.824.300.560.665 27,75 Sedang
2015 8.642.378.398.086 44.209.238.168.583 19,55 Rendah
2016 15.271.661.452.714 53.784.706.312.513 28,39 Sedang
2017 18.969.291.389.929 64.823.887.369.820 29,26 Sedang
28,63
19,55
37,69Nilai Tertinggi
Rata-Rata
Nilai Terendah
Creating Bright Futures
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012 – 2017
Berdasarkan pada tabel 4.3 diatas,
dapat diketahui bahwa rasio efektifitas
pendapatan asli daerah Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta terlihat berfluktuatif pada
tahun 2012 hingga 2017. Presentase pada
tahun anggaran 2012 dan 2013 termasuk
dalam kriteria yang sangat efektif karena
nilai realisasi pendapatan asli daerah
melampaui nilai target pendapatan asli
daerah. Namun, pada tahun anggaran 2014
menjadi terjadi penurunan yang signifikan
karena nilai realisasi pendapatan asli daerah
terlampau jauh bahkan tidak mencapai nilai
target pendapatan asli daerah yang telah
ditentukan sehingga persentase tersebut
termasuk dalam kriteria yang kurang
efektif. Kemudian pada tahun 2015
mengalami kenaikan menjadi cukup
efektif, hal ini dikarenakan nilai realisasi
pendapatan asli daerah tidak terlampau jauh
dari nilai target pendapatan asli daerah
meskipun nilai realisasi belum mencapai
nilai targer. Lalu, pada tahun 2016 terjadi
peningkatan nilai realisasi kembali
sehingga kriteria rasio efektifitas
pendapatan asli daerah meningkat menjadi
efektif. Adapun pada tahun anggaran 2017
mengalami kenaikan yang cukup signifikan
menjadi sangat efektif karena nilai realisasi
pendapatan asli daerah melampaui target
pendapatan asli daerah.
Grafik 4.4
Grafik Rasio Efektifitas Pendapatan
Asli Daerah Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2012 – 2017
e. Posisi Rasio Efisiensi Pendapatan
Asli Daerah
Berikut ini adalah perhitungan Rasio
Efisiensi Pendapatan Asli Daerah
Tahun Anggaran
Realisasi PAD(Rp)
Target PAD(Rp)
Rasio Efektifitas PAD
Kriteria
2012 22.040.801.447.924 20.523.433.370.351 107% Sangat Efektif
2013 26.852.192.452.636 26.304.097.561.000 102% Sangat Efektif
2014 31.274.215.885.719 39.757.308.437.000 79% Kurang Efektif
2015 33.686.176.815.708 37.965.616.304.000 89% Cukup Efektif
2016 36.888.017.587.716 38.501.784.839.738 96% Efektif
2017 43.901.488.807.743 41.687.387.826.535 105% Sangat Efektif
96%
79%
107%
Nilai Terendah
Nilai Tertinggi
Rata-Rata
Creating Bright Futures
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selama
6 tahun mulai tahun 2012 sampai 2017
beserta tingkat pertumbuhannya:
Tabel 4.6
Rasio Efisiensi Pendapatan Asli
Daerah Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2012 – 2017
Berdasarkan pada tabel 4.3 diatas, dapat
diketahui bahwa rasio efisiensi
pendapatan asli daerah Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta terlihat berfluktuatif
pada tahun 2012 hingga 2017. Pada tahun
anggaran 2012 termasuk dalam kriteria
yang cukup efisien karena nilai belanja
daerah cukup rendah jika dibandingkan
dengan pendapatan daerah. Kemudian
pada tahun anggaran 2013 tingkat
presentasi mengalami kenaikan yang
menyebabkan kriteria pada tahun ini
menjadi kurang efisien, hal ini disebabkan
oleh nilai belanja daerah mendekati nilai
pendapatan daerah. Pada tahun anggaran
2014 presentase menjadi turun sehingga
tingkat presentase kembali menjadi
kriteria yang cukup efisien karena nilai
belanja daerah cukup rendah jika
dibandingkan dengan pendapatan daerah.
Adapun pada tahun 2015 mengalami
kenaikan presentase kembali sehingga
menjadi kurang efisien karena nilai
belanja hampir mendekati nilai
pendapatan daerah. Namun, pada tahun
2016 presentase kembali menurun dan
termasuk dalam kriteria Cukup Efisien
karena nilai belanja daerah cukup rendah
jika dibandingkan dengan pendapatan
daerah pada tahun tersebut. Adapun pada
tahun anggaran 2017 presentase
mengalami penurunan yang signifikan
sehingga menjadi kriteria yang efisien
karena nilai belanja daerah lebih rendah
jika dibandingkan dengan nilai
pendapatan asli daerah.
Grafik Rasio Efisiensi Pendapatan Asli
Tahun Anggaran
Realisasi Belanja Daerah
(Rp)
Realisasi Pendapatan Daerah
(Rp)
Rasio Efisiensi PAD (%)
Kriteria
2012 31.558.706.898.925 35.379.180.051.989 89,20 Cukup Efisien
2013 38.301.502.396.759 39.517.544.011.690 96,92 Kurang Efisien
2014 37.799.664.298.459 43.824.300.560.665 86,25 Cukup Efisien
2015 43.031.322.947.557 44.209.238.168.583 97,34 Kurang Efisien
2016 47.128.810.245.854 53.784.706.312.513 87,62 Cukup Efisien
2017 51.066.081.379.887 64.823.887.369.820 78,78 Efisien
89,3578,7897,34
Nilai TerendahNilai Tertinggi
Rata-Rata
Creating Bright Futures
Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2012 – 2017
1) Uji Hipotesis
Uji Koefisien Determinasi
Hasil uji koefisien determinasi
akan disajikan pada tabel 4.24
dibawah ini:
Tabel 4.24
Hasil Uji Koefisien Determinasi
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2012 – 2017
Sumber : IBM SPSS for Windows Ver 23
Berdasarkan tabel 4.24 diatas, pada
kolom Adjusted R Square diperoleh nilai
koefisien determinasi sebesar -0,216 yang
artinya variabel rasio ketergantungan
keuangan daerah tidak mempengaruhi
surplus/ defisit.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian dan
pembahasan yang dilakukan oleh
penulis mengenai pengaruh kinerja
keuangan pemerintah daerah terhadap
surplus/ defisit pada Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta selama kurun
waktu 6 (enam) tahun yaitu dari tahun
2012 sampai dengan tahun 2017, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Untuk posisi rasio derajat
desentralisasi fiskal pada
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
posisi terendah berada pada tahun
2012 yaitu sebesar 62,30%,
sedangkan posisi tertinggi berada
pada tahun 2015 sebesar 76,20%
dan rata-rata rasio derajat
desentralisasi fiskal Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta selama
periode 2012 hingga 2017 adalah
69,02%. Berdasarkan hasil
R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 ,164a ,027 -,216 5.164.214.236.883,18500
Model
a. Predictors: (Constant), Rasio Ketergantungan Keuangan Daerahb. Dependent Variable: Surplus/ Defisit
Model Summaryb
Creating Bright Futures
perhitungan dapat dilihat bahwa
kinerja keuangan Pemerintah
Daerah Provinsi DKI Jakarta jika
dilihat dari rasio derajat
desentralisasi fiskal dapat
dikategorikan sangat baik. Hal ini
berarti bahwa PAD memiliki
kemampuan yang sangat baik
dalam membiayai pembangunan
daerah. Pendapatan Asli Daerah
(PAD) DKI Jakarta memberikan
kontribusi yang besar terhadap
total pendapatan daerah.
2. Untuk posisi rasio kemandirian
keuangan daerah posisi terendah
berada pada tahun 2012 yaitu
sebesar 165%, sedangkan posisi
tertinggi berada pada tahun 2015
sebesar 390% dan rata-rata rasio
kemandirian keuangan daerah
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
selama periode 2012 hingga 2017
adalah 253%. Berdasarkan hasil
perhitungan, kemampuan
keuangan pemerintah daerah
Provinsi DKI Jakarta sangat tinggi
dan pola hubungannya termasuk
pola hubungan delegatif di mana
campur tangan pemerintah pusat
sudah tidak ada karena daerah
telah benar-benar mampu dan
mandiri dalam melaksanakan
urusan otonomi daerah.
3. Untuk posisi rasio ketergantungan
keuangan daerah posisi terendah
berada pada tahun 2015 yaitu
sebesar 19,55 %, sedangkan posisi
tertinggi berada pada tahun 2012
sebesar 37,69 % dan rata-rata rasio
ketergantungan keuangan daerah
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
selama periode 2012 hingga 2017
adalah 28,63%. Hal ini berarti
bahwa tingkat ketergantungan
daerah terhadap bantuan dari
pihak ekstern (terutama bantuan
Creating Bright Futures
dari pemerintah pusat) adalah
sedang.
4. Untuk posisi rasio efektifitas
pendapatan asli daerah pada
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
posisi terendah adalah 79% pada
tahun 2014, posisi tertinggi pada
tahun 2011 sebesar 107% dan rata-
rata rasio efektifitas pendapatan
asli daerah Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta selama periode 2012
hingga 2017 adalah 96%. Oleh
karena itu, kinerja keuangan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
berdasarkan rasio efektifitas
pendapatan asli daerah selama
2012-2017 berada pada kriteria
yang efektif.
5. Untuk posisi rasio efisiensi
pendapatan asli daerah pada
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
posisi terendah adalah 78,78%
pada tahun 2016, posisi tertinggi
pada tahun 2015 sebesar 97,34%
dan rata-rata rasio efisiensi
pendapatan asli daerah Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta selama
periode 2012 hingga 2017 adalah
89,35%. Oleh karena itu, kinerja
keuangan Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta berdasarkan rasio
efisiensi pendapatan asli daerah
selama 2012-2017 berada pada
kriteria yang cukup efisien.
6. Kinerja keuangan pemerintah
daerah terhadap surplus/ defisit
pada Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta selama periode 2012
sampai dengan 2017 jika diuji
secara parsial menggunakan
variabel rasio derajat
desentralisasi fiskal, rasio
efektifitas pendapatan asli daerah
dan rasio efisiensi pendapatan asli
daerah memperoleh hasil yang
Creating Bright Futures
berpengaruh terhadap surplus/
defisit. Sedangkan jika diuji secara
sederhana menggunakan rasio
kemandirian keuangan daerah
maupun rasio ketergantungan
keuangan daerah masing-masing
variabel memperoleh hasil yang
tidak berpengaruh terhadap
surplus/ defisit.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian
dan pembahasan serta kesimpulan
yang telah dikemukakan, berikut ini
adalah beberapa saran yang diharapkan
dapat memberikan manfaat bagi pihak-
pihak yang berkenaan dengan
pengaruh kinerja keuangan pemerintah
daerah terhadap surplus/ defisit,
sebagai berikut:
1. Sebaiknya Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta mempertahankan atau
meningkatkan jumlah pendapatan
asli daerah disetiap tahunnya agar
kinerja keuangan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta berdasarkan
rasio derajat desentralisasi fiskal
tetap berada pada tingkat yang
sangat baik dan kemampuan
keuangan pemerintah daerah
Provinsi DKI Jakarta tetap berada
di tingkat yang sangat tinggi
dengan pola hubungan delegatif.
2. Sebaiknya Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta mengurangi dana
perimbangan atau pendapatan
transfer dan meningkatkan
pendapatan asli daerah agar
Pemerintah Provinsi DKI tidak
selalu bergantung terhadap
bantuan dari pihak ekstern,
terutama bantuan dari pemerintah
pusat.
3. Sebaiknya Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta membuat
perencanaan target pendapatan
asli daerah dengan baik agar nilai
Creating Bright Futures
realisasi pendapatan asli daerah
tidak terlalu jauh dari target yang
telah direncanakan karena jika
nilai pendapatan asli daerah tidak
jauh dari target dapat
meningkatkan kinerja keuangan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
berdasarkan rasio efektifitas
pendapatan asli daerah menjadi
kriteria yang sangat efektif.
4. Sebaiknya Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta mengurangi jumlah
belanja dalam memperoleh
pendapatan asli daerah agar
kinerja keuangan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta berdasarkan
rasio efisiensi pendapatan asli
daerah bisa termasuk dalam
kriteria yang efisien atau sangat
efisien.
5. Untuk peneliti selanjutnya
disarankan agar meneliti
pemerintah daerah lainnya yang
ada di Indonesia agar lebih terlihat
jelas kinerja keuangan pada setiap
pemerintahan daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Hafiz Tanjung. 2009. Akuntansi Pemerintahan Daerah: Konsep dan Aplikasi Sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan. Bandung: ALFABETA.
Adhi, Daniel Kartika dan Yohanes
Suhardjo. 2013. Pengaruh Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Dan Kualitas Aparatur Pemerintah Daerah Terhadap Kualitas Laporan Keuangan (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Tual). Jurnal Stie Semarang. Volume 5, Nomor 3, Edisi Oktober 2013.
Bastian, Indra. 2006. Akuntansi Sektor
Publik: Suatu Pengantar Edisi Pertama. Jakarta : Erlangga.
Bisma, I Gde Dewa dan Susanto, H. 2010.
Evaluasi kinerja keuangan daerah pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun anggaran 2003-2007. Jurnal Akuntansi. Volume 4 Nomot 3, Desember 2010.
Deddy, Nordiawan dan Hertiati
Ayuningtyas. 2009. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat.
Halim, Abdul. 2002. Akuntansi Sektor
Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta : Salemba Empat.
Halim, Abdul. 2004. Akuntansi Sektor
Publik: Akuntansi Keuangan Daerah.
Creating Bright Futures
Edisi Revisi. Jakarta : Salemba Empat.
Halim, Abdul. 2009. Akuntansi Keuangan
Daerah. Edisi Revisi. Jakarta : Salemba Empat.
Halim, Abdul. 2013. Akuntansi Keuangan
Daerah. Jakarta : Salemba Empat. Harahap, Sofyan Syafri. 2011. Analisis
Kritis Atas Laporan Keuangan. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Gade, Muhammad. 2000. Akuntansi
Pemerintahan. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Kusreni, Sri dan Sultan Suhab. 2009
Kebijaksanaan APBD dan Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi Sulawesi Selatan. DIE – Jurnal Ilmu Ekonomi dan Manajemen. Volume 5 Nomor 3, April 2009.
Mahmudi. 2016. Analisis Lapoan
Keuangan Pemerintah Daerah. Edisi Ketiga. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Manangkalangi, Kurniawan M. 2013.
Analisis Penyajian Laporan Keuangan Daerah Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal EMBA, Vol.1 No.3 September 2013, Hal. 22-31.
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan
Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No.
12 Tahun 2014 Tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 204 Tahun 2016 Tentang Kebijakan Akuntansi Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59
Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor 64 Tahun 2013 Tentang Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual Pada Pemerintah Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
Prastowo, Dwi. 2011. Analisis Laporan
Keuangan : Konsep dan Aplikasi. Jakarta: UPP STIM YKPN.
Sahri, Dian Rahma. 2018. Pengaruh
Struktur Modal dan Likuiditas Terhadap Profitabilitas Pada PT. Agung Podomoro Land Tbk dan PT Alam Sutera Realty Tbk Tahun 2011 – 2016. Skripsi. Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Azzahra, Jakarta.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitataif dan
Creating Bright Futures
Kombinasi (Mixed Methods. Bandung: Alfabeta.
Tanjung, Abdul Hafis. 2012. Akuntansi
Pemerintahan Daerah Berbasis Akrual. Bandung: Alfabeta.
Wirartha, I Made. 2006. Metode Penelitian
Sosial Ekonomi. Yogyakarta : Andi Offset.
Wulaningrum, Ratna. 2017. Analisis
Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 1 Nomor 2.
Zeyn, Elvira. 2011. Pengaruh good
governance dan standar akuntansi pemerintahan terhadap akuntabilitas keuangan dengan komitmen organisasi sebagai pemoderasi. Jurnal Reviu Akuntansi dan Keuangan, Vol. 1 No. 1, April 2011 Pp 21-37.
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Jakar
ta (Diakses pada tanggal 07 April 2019)
https://id.scribd.com/document/345681579
/Anggaran-Surplus-Dan-Defisit-Negara (Diakses pada tanggal 19 April 2019)
http://ppid.jakarta.go.id/laporan-keuangan-
pemerintah-daerah (Diakses pada tanggal 25 November 2018)
http://www.djpk.kemenkeu.go.id/?ufaq=ap
a-yang-dimaksud-dengan-surplus-apbd-dan-bagaimana-tindak-lanjutnya (Diakses pada tanggal 19 April 2019)