hasil penelitian dan analisa data 3.1. gambaran umum...
TRANSCRIPT
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA
3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Wilayah penelitian yang akan digunakan ada dua, yaitu GKPB jemaat Galang
Ning Hyang di Abianbase dan GKPB jemaat PNIEL di desa Blimbingsari. Abianbase
merupakan desa di kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung di Bali. Daerah Abianbase
termasuk dalam daerah urban, karena letak Abianbase berada pada peralihan kota dengan
desa. Agama yang dianut oleh warga di daerah Abianbase ini adalah Kristen Protestan,
Katolik dan Hindu. Sebagian besar warga Abianbase menganut agama Hindu. Pekerjaan
warga di Abianbase pada awalnya sebagian besar adalah petani, namun sekarang
sebagian besar pekerjaan warga Abianbase sudah berkembang yaitu menjadi Pegawai
Negeri Sipil (PNS), sekitar 30% sisanya sebagai petani dan pedagang.
Wilayah penelitian yang ke dua ialah di daerah Blimbingsari. Blimbingsari adalah
sebuah desa yang terletak di Kabupaten Jembrana. Agama yang dianut oleh para warga di
desa Blimbingsari adalah 100% Kristen Protestan. Namun desa ini berkembang menyatu
bersama dengan lingkungan masyarakat yang mayoritas beragama Hindu dan Islam.1
Sebagian besar pekerjaan dari masyarakat di desa Blimbingsari ini ialah sebagai petani,
20% sisanya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
3.2. GKPB jemaat Galang Ning Hyang di Abianbase
3.2.1. Sejarah GKPB jemaat Galang Ning Hyang, Abianbase2
Kehidupan para orang Kristen saat pertama hadir di Abianbase tidaklah mudah.
Pada saat itu, mereka belum memiliki tempat beribadah yang tetap. Mereka biasa
beribadah dengan berpindah-pindah dari satu desa ke desa yang lainnya. Pada saat giliran
Abianbase menjadi lokasi ibadah, tempat yang biasa digunakan di wilayah Dalang
dengan menggunakan balai “pamiasan” atau sanggah milik alm. Bapak I Made Tebing.
Setiap hari Minggu, kul-kul dibunyikan pertanda ibadah akan dimulai. Tidak jarang
jemaat saat itu menerima ejekan dari warga sekitar pada saat mereka akan berangkat
beribadah dan juga pada saat mereka berjalan pulang setelah melaksanakan ibadah.
Ejekan-ejekan itu sengaja diberikan agar orang Kristen merasa tidak betah dan kembali
lagi masuk menjadi orang Hindu. Biasanya orang-orang non kristen mencuri kul-kul yang
biasa digunakan sebagai tanda bahwa ibadah akan dilaksanakan, selain itu mereka juga
mengambil kursi-kursi yang digunakan untuk beribadah.
Pada tahun 1932 orang Kristen dipanggil oleh pemerintah untuk menghadapi
residen. Pada saat mereka menghadap residen, mereka ditanya mengenai kebenaran berita
yang mengabarkan bahwa mereka telah percaya kepada Tuhan Yesus. Orang Kristen
pada saat itu pun menjawab dengan sangat tegas bahwa benar mereka telah percaya
1 Ketut, Suyaga Ayub, Blimbingsari the Promised Land, (Yogyakarta:Penerbit Andi, 2014), 1
2 Sejarah GKPB jemaat Galang Ning Hyang, Abianbase (PDF)
kepada Tuhan Yesus. Mendengar keteguhan iman para orang Kristen pada saat itu,
residen pun mengancam bahwa mereka tidak akan mendapat tanah untuk menguburkan
jasad mereka, pada saat mereka meninggal. Tetapi apa yang menjadi ancaman dari
resdien tidaklah membuat hati orang Kristen menjadi takut dan gentar. Sehingga setelah
mendengar kesungguhan mereka, pada saat itu juga orang Kristen tidak lagi mengalami
perlakuan yang kasar dari penduduk sekitar.
Pada tahun 1932 terjadi keributan berkenaan dengan Suka Duka3. Pada saat itu
orang Kristen dikeluarkan dari perkumpulan Banjar. Tetapi ada salah satu tokoh non
Kristen yang benar-benar berjasa, karena orang itu mengingatkan warga sesamanya
bahwa tidak ada untungnya jikalau mereka selalu berselisih. Orang itu pun meminta agar
orang Kristen diberikan satu banjar untuk mereka dapat melaksanakan setiap kegiatan
mereka. Mendengar hal itu, maka warga non Kristen setuju untuk memberikan banjar
yang berbeda kepada orang Kristen dan Suka Duka yang terpisah. Sehingga tempat
beribadah pun dipindahkan dari Dalang ke pekarangan rumah alm. I Ketut Yahya hingga
saat ini.
Semenjak memiliki tempat ibadah dan Suka Duka tersendiri, jumlah pengikut
menjadi orang Kristen pun semakin bertambah banyak. Hal tersebut terjadi oleh karena
orang Kristen yang semakin semangat untuk menyebarkan ajaran agama Kristen lewat
setiap percakapan dengan masyarakat. Melihat kenyataan itu, maka warga desa pun
semakin khawatir dan mereka mengakali agar warga lainnynya tidak masuk Kristen,
maka mereka yang belum masuk agama Kristen disumpah di Pura agar tidak masuk
agama Kristen. Upaya yang mereka buat pada saat itu sia-sia saja, karena tetap ada begitu
banyak orang yang mau masuk Kristen.
Keadaan semacam ini membuat warga semakin membenci orang Kristen dan
kembali mereka dengan menggunakan segala macam cara mengganggu orang Kristen
pada saat mereka sedang beribadah, diantaranya seperti melempari batu ke tempat
beribadah, mencuri tanaman orang Kristen dan yang lebih parahnya lagi para warga
berani masuk gereja dan mencuri barang di saku para orang Kristen pada saat mereka
berdoa. Sehingga pada puncaknya gereja dibakar oleh warga. Sayangnya sekalipun api
sudah lama berkobar tetapi api sama sekali tidak menyebar ke gedung gereja. Api hanya
berkobar di bagian atap gereja.
Baptisan pertama di Abianbase pun dilaksanakan pada tanggal 1 dan 2 Desember
1934. Ada sekitar kurang lebih 89 orang yang turut serta dalam baptisan ini. Sehinggga
pada tanggal-tanggal tersebut, jemaat Galang Ning Hyang Abianbase merayakan hari
ulang tahun gereja mereka. Baptisan pertama itu bukan hanya para orang yang berasal
dari Abianbase tetapi banyak juga diantara mereka berasal dari desa tetangga yaitu
Carangsari, Dalung dan Tuka. Tetapi sebenarnya kehidupan berjemaat sudah mereka
3 Suka Duka adalah istilah lain dari “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Dimana dalam hal suka seperti
menikah dan duka seperti kedukaan, semua itu dianggap sebagai tanggungjawab bersama bukan hanya
tangungjawab keluarga mulai dari persiapan acara sampai acara selesai. Pengurus dari Suka Duka ini biasa disebut
dengan “Pesamuan Adat Suka-Duka”
mulai sebelum tanggal pembaptisan tersebut. Jemaat Abianbase pun berkembang ke
Sading, Penataran, Lalanglinggah, Ulun Uma dan Anggungan Carangsari.
Saat ini GKPB jemaat di Galang Ning Hyang, Abianbase adalah salah satu gereja
yang masuk dalam kategori gereja yang berjemaat besar. Secara daftar statistic terdapat
anggota jemaat sejumlah 153 Kepala Keluarga (KK),4 dengan berbagai macam bentuk
latar belakang pekerjaan. Ada yang menjabat sebagai karyawan bank, karyawan di
Kantor Sinode GKPB, menjadi guru, menjadi dosen, purna bakti, Ibu Rumah Tangga,
petani, dll.
3.2.2. Kehidupan Jemaat GKPB jemaat Galang Ning Hyang, Abianbase
Dari sejarah diketahui bahwa sebagian besar hampir seluruh jemaat dari GKPB
Galang Ning Hyang adalah penduduk asli Bali, mereka juga adalah penduduk asli di
Abianbase. Dalam kehidupan jemaat di Abianbase terlihat masih sangat kental
kebudayaannya. Hal ini disebabkan oleh karena relasi yang mereka miliki adalah warga
sekitar adalah orang Hindu yang sangat menghormati adat dan budaya dari Bali itu
sendiri, untuk mewujudkan visi GKPB yaitu “Bumi Berdamai Sejahtera dalam Damai
Sejahtera” maka jemaat Galang Ning Hyang di Abianbase harus dapat menjalin relasi
yang baik bukan saja hanya dengan para anggota jemaat tetapi juga warga sekitar.5 Hal
mengenai melakukan serta membudayakan budaya Bali dalam kehidupan bersama juga
bukanlah suatu hal yang susah karena jemaat sendiri adalah memang orang asli Bali dan
itu termasuk sebagai tanggung jawab mereka sebagai penduduk yang tidak mau
budayanya sampai hilang.6
Gereja di Abianbase memiliki jadwal ibadah Minggu dengan menggunakan
bahasa Bali setiap di minggu pertamanya. Selain itu hal yang mencerminkan gereja ini
membudayakan budaya Bali ialah lewat setiap ibadah penting yang dilaksanakan selalu
bertemakan adat Bali, baik dari pakaian yang digunakan, dekorasi yang ada juga
mencerminkan budaya Bali.7 Gereja juga memiliki pengurus yang disebut dengan nama
pesamuan adat Suka Duka sehingga pada saat ada acara baik itu pernikahan ataupun
kematian, bukan keluarga sendiri yang bekerja tetapi seluruh jemaat akan turut ambil
bagian di dalamnya, mulai dari persiapan sampai akhir dari semua acara. Salah satu
contohnya, jika ada salah satu anggota jemaat yang meninggal, maka ada kelompok yang
4 GKPB Galang Ning Hyang, “Laporan Pelaksanaan Program Pelayanan dan Realisasi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Tahun 2014 dan Program Kerja Tahun 2015” (Abianbase,2015), 139-151 5 Putu, Sri Sutarsih, Penginjil GKPB jemaat Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase, 18 Agustus 2015, pukul
18.00 WITA) 6 Luh, Pujisihani, Penatua GKPB Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase, 18 Agustus 2015, pukul 16.00
WITA) 7 Putu, Tini, anggota jemaat GKPB jemaat Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase, 18 Agustus 2015, pukul
14.00 WITA)
bertugas untuk begadang di rumah duka, sampai mayat dari yang meninggal itu
dikuburkan.8
Terlihat memang sangat kental setiap budaya Bali yang diadopsi oleh gereja di
Abianbase. Budaya Bali lainnya yang paling kental adalah budaya patriaki, tetapi
berbicara mengenai budaya ini secara organisasi di dalam gereja, gereja tidak menganut
budaya ini secara menyeluruh. Namun bagaimana pun juga para jemaat di gereja
Abianbase adalah orang Bali asli yang sudah biasa terdidik dengan adat budaya mereka
sejak kecil, salah satunya ialah budaya patriaki ini. Dengan demikian, secara pribadi baik
sadar ataupun tidak sadar, budaya itu masih melekat di beberapa jemaat. Selain itu, gereja
Abianbase bertempatdi tempat dimana para warganya yang masih sangat kental dengan
adat dan budaya patriaki. Oleh karena anggota jemaat yang sangat besar dan penduduk
tetangga yang kental sekali dengan budaya patriaki adalah sebagai pertimbangan untuk
ditugaskannya seorang pendeta9 perempuan di gereja ini.
10 Tetapi untuk saat ini, Sinode
sudah mencari cara supaya seluruh pendeta dapat merasakan tempat pelayanan di seluruh
gereja, juga seluruh warga jemaat dapat merasakan bagaimana pelayanan kepemimpinan
pendeta dengan seluruh latar belakang yang berbeda termasuk di dalamnya adalah
perbedaan jenis kelamin, maka dilakukan system bergilir.11
Tidak semua jemaat masih menganut adat patriaki secara kental, karena mereka
sadar bahwa “perempuan tidak mampu memimpin” itu hanya pandangan budaya yang
bisa diubah, sekalipun belum pernah ada pendeta perempuan sebagai pemimpin jemaat di
gereja Abianbase, gereja ini selalu mencoba untuk ada keterwakilan perempuan dalam
kegiatan apapun.12
Mulai dari keanggotaan Majelis Jemaat, sejak dulu hingga saat ini
selalu ada wakil dari perempuan yang menjadi anggota dari Majelis Jemaat. Selain itu
sudah pernah juga ditempatkan vikaris perempuan di gereja ini, dengan maksud
memperlihatkan bahwa memang jemaat di Abianbase adalah jemaat yang terbuka serta
memperkenalkan bagi warga sekitar bahwa perempuan juga dapat menjadi seorang
pemimpin.13
Hal utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin jemaat yang terpenting
bukanlah siapa dia, apakah dia seorang perempuan atau dia seorang laki-laki. Hal yang
8 Pengamatan dengan hidup secara langsung bersama jemaat GKPB Galang Ning Hyang, selama melaksanakan PPL
6 (4 bulan) 9 Sinode yang menominasi para Pendeta yang akan ditempatkan, setelah itu keputusan penempatan pendeta
ditentukan dalam rapat bersama seluruh Majels Jemaat GKPB. 10
Putu, Sri Sutarsih, Penginjil GKPB jemaat Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase, 18 Agustus 2015, pukul
18.00 WITA) 11
Wayan, Kurnia Mulyawan, Diaken GKPB jemaat Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase, 17 Agustus 2015,
pukul 17.30 WITA) 12
Pengamatan dengan hidup secara langsung bersama jemaat GKPB Galang Ning Hyang, selama melaksanakan
PPL 6 (4 bulan) 13
Nengah, Ripa, Pendeta Jemaat GKPB jemaat Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase, 16 Agustus 2015,
pukul 16.00 WITA)
paling terpenting menjadi seorang pemimpin jemaat adalah memiliki hati seorang
pelayanan yang benar-benar mau melayani14
, pemimpin jemaat mampu memiliki waktu
untuk selalu mengadakan kunjungan ke seluruh jemaat, bukan hanya jemaat tertentu15
selain itu juga bagaimana seorang pendeta atau pemimpin jemaat mampu memberitakan
Firman Tuhan yang benar-benar dapat menjawab setiap pertanyaan kehidupan jemaat
dalam kehidupan sehari-hari.16
GKPB Galang Ning Hyang di Abianbase adalah contoh bagaimana budaya
patriaki ditetapkan secara ketat di kalangan masyarakat Bali secara keseluruhan, karena
di dalam gereja ini sebenarnya sudah tidak menjadi sebuah masalah besar mengenai
pemimpin seorang perempuan, namun oleh karena tekanan warga masyarakat yang
sangat kuat, disitulah sulit sekali untuk ada pendeta perempuan.
3.3. GKPB Jemaat PNIEL, Blimbingsari
3.3.1. Sejarah GKPB jemaat PNIEL, Blimbingsari17
Berkumpulnya kelompok orang Kristen di desa Blimbingsari ini berawal oleh
karena kemarahan orang Hindu yang merasa telah dikhianati oleh mereka yang telah
masuk Kristen. Pada saat itu orang Kristen menolak segala sesuatu yang berhubungan
dengan dewa-dewa yang dianggap mereka kafir. Mereka memiliki pemikiran bahwa
menjadi Kristen haruslah lahir secara baru sehingga segala sesuatu yang berbau Hindu
dibuang dan harus dihancurkan. Orang Kristen sama sekali tidak mau berpartisipasi
dalam hal apapun jikalau itu berbau hindu.
Melihat segala kelakuan dari pada orang Kristen maka timbulah perlawanan yang
sangat kuat dari saudara yang beragama hindu dan timbul kekacauan dimana saja Kristen
berada. Akhirnya orang Kristen dibuang dari keluarga dan dikucilkan, tidak boleh
mendapat air, untuk sawah, isi lumbung mereka diambil, dicaci maki dan lain sebagainya.
Melihat hal itu semua maka pemerintah Belanda memutuskan orang Kristen dibawa di
hutan angker Blimbingsari di Jembrana, Bali Barat untuk tinggal disana.
Blimbingsari diberikan oleh Pemerintah Belanda kepada orang-orang Kristen Bali
yang baru percaya dan dibuka pada 30 November 1930. Tanah yang diberikan pada saat
itu seluas 420 hektar. Tanah Blimbingsari pada saat itu masih berupa hutan belantara
yang termasuk kategori hutan kecil, penuh dengan nyamuk malaria, harimau, buaya dan
tempat-tempat keramat. Tetapi orang Kristen percaya bahwa tanah tersebut sebagai tanah
14
Luh, Pujisihani, Penatua GKPB Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase, 18 Agustus 2015, pukul 16.00
WITA) 15
Wayan, Kurnia Mulyawan, Diaken GKPB jemaat Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase, 17 Agustus 2015,
pukul 17.30 WITA) 16
Rai, Sri Handayati, warga jemaat GKPB Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase 17 Agustus 2015, pukul
15.00 WITA) 17
Ketut, Suyaga Ayub, Blimbingsari the Promised Land, (Yogyakarta:Penerbit Andi, 2014), Kata Pengantar
perjanjian sama seperti Tuhan Allah yang melepasakan bangsa Israel dari jabatan budak
di tanah Mesir, keluar menuju tanah Kanaan yang berlimpah dengan susu dan madu.
Gereja di Blimbingsari diberi nama “PNIEL” dengan arti bahwa bertemu muka dengan
muka Allah.
3.3.2. Kehidupan Jemaat GKPB jemaat PNIEL, Blimbingsari
Kehidupan jemaat GKPB jemaat PNIEL di Blimbingsari dapat dikatakan
kehidupan yang sejahtera, oleh karena mereka adalah warga jemaat yang juga sebagai
warga satu desa sehingga rasa kekeluargaan yang mereka rasakan sudah sangat erat
antara satu dengan yang lainnya. Tetapi sekalipun mereka hidup dalam satu desa sendiri
yang hanya terdapat mereka sebagai warga tetapi dalam kehidupan mereka, mereka sama
sekali tidak bisa terlepas dari kebudayaam Bali. Budaya yang ada di GKPB PNIEL
Blimbingsari masih terasa sangat kental. Mulai dari gedung gereja yang dibangun dengan
menyerupai Pura, mulai dari atap, lukisan, bangunan dengan ruang terbuka. Semua
memiliki masing-masing makna yang dimana maknanya sangat kental dengan makna
adat orang Bali.18
Selain itu, hingga saat ini di gereja Blimbingsari, biasa mengadakan
ibadah kontekstual yang biasa diadakan setiap Minggu pertama. Dimana dalam ibadah ini
seluruhnya benar-benar bernuansa Bali, mulai dari pakaian, lagu, musik, hingga
khotbahnya pun menggunakan bahasa Bali.19
Hal lain yang biasa dilakukan oleh gereja di
Blimbingsari, dimana saat ada kedukaan maka pengurus Suka Duka sebagai penaggung
jawab untuk mengatur tugas, seperti ada jemaat yang bertugas untuk turut serta
“begadang” di rumah duka, dengan mewujudnyatakan istilah “menyama braya”.20
Gereja di Blimbingsari biasanya saat ibadah pada saat natal, paskah dan sidi juga
dikemas dalam bentuk budaya Bali. Selain itu, gereja di Blimbingsari juga memiliki
group yang disebut dengan “sekhe gong” yang terbagi dalam tiga kelompok, yaitu
kelompok ibu-ibu, bapak-bapak dan anak. Biasanya group ini akan mengisi dalam acara
serimonial yang berbau kebudayaan Bali.21
Jika dilihat memang di gereja Blimbingsari
masih sangat memperhatikan dan sangat kental dengan budaya Bali, sehingga mereka
sendiri merasa sangat perlu untuk melestarikan budaya Bali itu sendiri.
Sekalipun terlihat bahwa memang para anggota jemaat di gereja Blimbingsari
sangat kental dengan kebudayaan, mereka tidak sembarang melestarikan budaya Bali
yang ada. Salah satu budaya Bali yang gereja coba untuk mengubahnya adalah budaya
18
Ketut, Suyaga Ayub, Blimbingsari the Promised Land, (Yogyakarta:Penerbit Andi, 2014), 90-98 19
Nyoman, Sukabagia, jemaat GKPB jemaat PNIEL Blimbingsari, wawancara, (Blimbingsari, 11 Agustus 2015,
pukul 10.00 WITA) 20
“Menyama Braya” adalah istilah di Bali dengan arti kata “Bersaudara” 21
Priyasti, Penatua GKPB jemaat PNIEL Blimbingsari, wawancara, (Blimbingsari, 12 Agustus 2015, pukul 13.00
WITA)
patriaki.22
Secara umum, di Bali memang masih sangat kental dengan budaya tersebut.
Budaya patriaki juga masih sangat mempengaruhi kehidupan jemaat GKPB jemaat
PNIEL Blimbingsari dalam kehidupan bermasyarakat lainnya.23
Hal mengenai gereja di Blimbingsari mencoba mengubah budaya patriaki
diperkuat dengan kenyataan bahwa jemaat di Blimbingsari saat ini sedang dimpin oleh
seorang pendeta perempuan, dimpimpin oleh pendeta perempuan pun bukanlah
pengalaman pertama bagi jemaat di Blimbingsari karena ini adalah sudah ketiga kalinya
jemaat di Blimbingsari dimpimpin oleh seorang pendeta perempuan.24
Selain itu, di
gereja Blimbingsari dalam pemilihan pengisian anggota Majelis Jemaat sangat
disarankan harus ada keterwakilan dari kaum perempuan. Dimana itu semua memang
saran yang berasal dari Sinode GKPB yang telah disepakati bersama dan jemaat di
Blimbingsari pun sangat setuju dan mendukung dengan apa yang menjadi syarat dari
Majelis Jemaat tersebut. 25
Dalam menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin jemaat
di gereja Blimbingsari ini, tidak melihat dari jenis kelamin mereka apa, tetapi bagaimana
kualitas pelayanan mereka kepada para jemaat.26
Perempuan juga memiliki kualitas
tersendiri dalam hal menjadi seorang pemimpin, dilihat dari mengurus Rumah Tangga
saja mereka dapat lakukan dengan sangat baik, perempuan punya rasa kasih sayang serta
ketelitian yang jarang dimiliki oleh seorang laki-laki, sehingga kepemimpinan seorang
perempuan pun tidak kalah bagus jika dibandingkan dengan laki-laki, menurut
bagaimana dari masing-masing pribadi.27
Di desa Blimbingsari sebenarnya masih dipimpin kuat oleh budaya patriaki,
karena di dalam keluarga di jemaat ini masih laki-laki yang memegang otoritas kuat,
dimana ayah masih menjadi kepala keluarga, keputusan keluarga sekalipun dibicarakan
bersama namun keputusan sang kepala keluarga yang akan dijalankan. Sekalipun
masyarakat di desa Blimbingsari yang juga sekaligus sebagai jemaat GKPB PNIEL
masih sangat dipengaruhi oleh budaya patriaki, pada aras gereja mereka sudah memiliki
pandangan yang sangat maju. Pada tatanan tertentu mereka sudah melihat bahwa pendeta
perempuan bukan menjadi sesuatu yang tabu. Jemaat di desa Blimbingsari sudah dengan
sangat berani untuk mendukung kepemimpinan seorang pendeta perempuan.
22
Nyeneng, Pendeta Emeritus perempuan Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), wawancara, (Blimbingsari, 13
Agustus 2015, pukul 09.00 WITA) 23
Christiana, Welda Putranti, Pendeta jemaat PNIEL Blimbingsari, wawancara, (Blimbingsari, 10 Agustus 2015,
pukul 10.00 WITA) 24
Suserah, mantan Majelis Jemaat GKPB jemaat PNIEL Blimbingsari, wawancara, (Blimbingsari, 13 Agustus 2015,
13.00 WITA) 25
Christiana, Welda Putranti, Pendeta jemaat PNIEL Blimbingsari, wawancara, (Blimbingsari, 10 Agustus 2015,
pukul 10.00 WITA) 26
Made, Suwiriya, Penatua GKPB jemaat PNIEL Blimbingsari, wawancara, (Blimbingsari, 13 Agustus 2015, 18.00
WITA) 27
Suserah, mantan Majelis Jemaat GKPB jemaat PNIEL Blimbingsari, wawancara, (Blimbingsari, 13 Agustus 2015,
13.00 WITA)
GKPB jemaat PNIEL di Blimbingsari telah memberikan model kehidupan secara
adil dan setara yang baik di dalam hal pemilihan serta penempatan pendeta perempuan di
tengan masyarakat Bali yang masih begitu kental dengan budaya patriakalnya. Tetapi
model yang baik itu harus ditarik juga untuk kehidupan pribadi jemaat PNIEL di
Blimbingsari mulai dari keluarga yang sadar jender sampai pada masyarakat yang sadar
jender dan kehidupan gereja dalam aras Sinode yang sadar jender.
3.4. Kedudukan perempuan dalam kepemimpinan GKPB jika dilihat dari perspektif
budaya
Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) secara keseluruhan menghormati serta
melestarikan budaya Bali yang ada dilakukan dengan berbagai macam cara dilakukan. Memang
ada yang hanya sebatas dengan membangun bangunan gereja dengan bentuk bangunan adat Bali,
ada yang juga gereja yang benar-benar memperhatikan secara detail setiap kebudayaan dari Bali
itu bagaimana. Biasanya itu semua juga disesuaikan dengan tempat dari masing-masing gereja
berada.28
Ada gereja yang bertempat di penduduk yang memang benar-benar kental dengan adat
dan budaya (seperti GKPB jemaat Galang Ning Hyang di Abianbase) dan ada juga gereja yang
bertempat dimana penduduknya tidak terlalu kental akan adat dan budaya Bali (seperti
GKPBjemaat PNIEL di Blimbingsari). Bagaimana pun juga Kristen di Bali tetap dianggap
sebagai pendatang, sehingga harus mampu menyesuaikan diri tanpa harus kehilangan jati diri.29
Dari dulu sebenarnya kedudukan perempuan sebagai seorang pemimpin jemaat atau
pendeta itu tidak dipersulit oleh pihak GKPB, tetapi yang kerapkali menjadi hambatan dan
halangan itu ialah warga sekitar yang masih sangat kuat dengan budaya patriakinya.30
Hanya
keberanian untuk melangkah maju yang membuat adanya keterwakilan perempuan di dalam
GKPB itu ada.31
Oleh karena hanya ada sedikit perempuan yang berani mengambil keputusan
dengan resiko besar, membuat pendeta perempuan pada awalnya sangat sedikit, hanya terdapat
dua orang pendeta perempuan. Setelah dua pendeta perempuan pertama ini ada, GKPB harus
menunggu kurang lebih 21 tahun, barulah GKPB kembali mendaptkan seorang pendeta
perempuan.
GKPB tidak secara langsung membawa budaya patriaki ke dalam organisasi pelayanan
jemaat, karena GKPB harus mampu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan di Bali. Secara
organisasi, budaya patriaki masih sangat kental, karena dalam organisasi terdapat anggota yang
28
Nyoman, Murdita, Ahli Budaya di Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), wawancara, (Buduk, 16 Agustus
2015, pukul 17.00 WITA) 29
Si Luh, Nestari, Pendeta Emeritus perempuan di Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), wawancara, (Monang-
Maning, 18 Agustus 2015, pukul 16.00 WITA) 30
Nyeneng, Pendeta Emeritus perempuan Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), wawancara, (Blimbingsari, 13
Agustus 2015, pukul 09.00 WITA) 31
Si Luh, Nestari, Pendeta Emeritus perempuan di Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), wawancara, (Monang-
Maning, 18 Agustus 2015, pukul 16.00 WITA)
masih sangat memegang teguh budaya patriaki32
, hal semacam itu pun dapat menghambat
keterlibatan seorang perempuan di GKPB.
Budaya patriaki di Bali bukan hanya dianut oleh kaum laki-laki, tetapi budaya itu juga
sudah benar-benar mendarah daging di pribadi para perempuan Bali saat itu. Ada beberapa
perempuan yang masih belum menyadari bahwa stereotip mereka selama ini adalah pengaruh
budaya, bukan kodrat mereka sebagai perempuan. Seiring berjalannya waktu, pribadi masing-
masing mulai menyadari bahwa budaya yang mereka anut itu bisa saja berubah lewat pribadi
masing-masing.33
Hingga saat ini, terlihat begitu pesat peningkatan jumlah pendeta perempuan,
selain itu juga, jumlah Vikaris di GKPB saat ini didominasi oleh kaum perempuan, begitu juga
jika dilihat dari jumlah mahasiswa yang sedang menempuh studi di fakultas Teologi juga
didominasi oleh kaum perempuan. GKPB sangat membuka kesempatan yang besar bagi para
bagi para perempuan yang untuk mau menjadi seorang pendeta untuk melayani di jemaat.
Bentuk dukungan GKPB terhadap kaum perempuan juga bisa dilihat dari setiap peraturan
gereja yang ada. GKPB sama sekali tidak membuat peraturan khusus baik yang ditujukan bagi
kaum laki-laki atau kaum perempuan. GKPB benar-benar memperlihatkan bahwa antara laki-laki
dan perempuan itu adalah sama, mereka memiliki kemampuan yang sama dalam hal menjadi
seorang pemimpin.34
Hal yang menjadi tolak ukur biasanya adalah kualitas yang dimiliki oleh
seseorang, jikalau kualitas laki-laki lebih di bawah perempuan, tidak menjadi suatu masalah yang
besar jika memang perempuanlah yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding laki-laki.35
Dengan mulai berkembangnya jumlah mahasiswi fakultas teologi, vikaris perempuan
serta pendeta perempuan semuanya itu sebenarnya adalah dukungan kuat yang telah mereka
dapatkan dari keluarga mereka masing-masing. Oleh karena keluarga sangat mendukung dan
memiliki kesadaran jender yang membuat para keluarga mengijinkan masing-masing anggota
keluarga mereka yang perempuan untuk terjun ke dalam lingkungan publik, yaitu menjadi
seorang pendeta yang diawali dengan menempuh studi yang ada. Budaya yang ada di tengah-
tengah masyarakat benar-benar dapat berubah dan bergeser dimulai dari didikan di dalam
keluarga.
Bertambahnya jumlah pendeta perempuan, vikaris perempuan serta mahasiswi teologi,
itu semua memang dapat dikatakan bahwa pemikiran orang Kristen mengenai perempuan sudah
sedikit maju, namun kedudukan perempuan masih sangat dipengaruhi oleh budaya patriaki
karena sampai saat ini kebanyakan perempuan hanya dapat ditemukan di aras jemaat.
32
Dalam hal ini, budaya yang dimaksudkan ialah budaya patriaki. 33
Ni Gusti, Ayu Stiti, Bendahara Yayasan Panti Asuhan Widhya Asih, wawancara, (Kapal, 19 Agustus 2015, pukul
11.00 WITA) 34
Nyeneng, Pendeta Emeritus perempuan Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), wawancara, (Blimbingsari, 13
Agustus 2015, pukul 09.00 WITA) 35
Nyoman, Murdita, Ahli Budaya di Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), wawancara, (Buduk, 16 Agustus
2015, pukul 17.00 WITA)
Kedudukan perempuan di GKPB tertinggi hingga saat ini ialah sebatas sekretaris bidang di
Sinode.
3.5. Penyebab Pendeta perempuan tidak pernah menjabat sebagai seorang Bishop di
GKPB
Salah satu syarat untuk menjadi seorang Bishop di GKPB adalah mempunyai masa
pengabdian di lingkungan GKPB sekurang-kurangnya 16 (enam belas) tahun.36
Salah satu syarat
itulah yang menajadi kunci Penulis dalam menjawab tujuan kedua dari penelitian permasalahan
ini. Pada awal GKPB berdiri, tidak ada pendeta perempuan. Setelah 15 tahun GKPB berdiri dan
diakui sebagai anggota dalam PGI, barulah muncul 2 (dua) orang pendeta perempuan yang
melayani di GKPB. Setelah muncul dua pendeta perempuan ini, GKPB membutuhkan waktu
sekitar 21 tahun lagi barulah GKPB kembali memiliki pendeta perempuan.
Melihat kenyataan di Bali yang masih sangat kental dengan budaya patriaki merupakan
penyebab utama mengapa pada saat itu GKPB sangat sedikit dengan pendeta perempuan. Dalam
pemikiran masyarakat pada saat itu pendeta adalah sesosok tokoh yang harus siap untuk
berkomunikasi dengan masyarakat luas. Sedangkan masyarakat Bali masih sangat kental dengan
budaya patriakinya, maka kekhawatiran bahwa seorang pendeta perempuan tidak dapat
menghadapi semua itu, menjadi alasan sehingga masyarakat tidak berani mengambil resiko
untuk masuk sekolah teologi dan menjadi seorang pendeta, hal itu pun berdampak juga pada
setiap anak perempuan yang ada. Sampai saat ini di GKPB sendiri belum pernah merasakan
seorang pemimpin gereja tertinggi yaitu Bishop diduduki oleh seorang perempuan, karena
hingga saat ini baru 3 (tiga) pendeta perempuan yang memenuhi salah satu syarat penting untuk
menjadi seorang Bishop, yaitu “mempunyai masa pengabdian di lingkungan GKPB sekurang-
kurangnya 16 tahun”. GKPB harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga
GKPB juga menganut budaya patriaki.
Melihat kenyataan saat ini, dimana semakin bertambahnya pemimpin jemaat atau pendeta
dari kalangan perempuan menunjukan bahwa budaya itu memang dapat berubah, asalkan juga
sesuai dengan kesepakatan bersama, karena budaya itu sendiri terbentuk dari kesepakatan
masyarakat sendiri. Jika melihat di masa yang akan datang, pemimpin gereja dari kaum
perempuan pasti akan ada, karena jemaat akan mencari bagaimana kualitas seorang calon
pemimpin mereka, bukan siapakah mereka apakah mereka perempuan ataukah laki-laki. Namun
satu hal kekuatan yang akan dimiliki oleh seorang perempuan untuk dapat menjadi pemimpin
utama gereja yaitu dukungan penuh dari keluarga sendiri,37
karena bagaimanapun juga secara
biologis perempuan memiliki kelemahan saat menjadi seorang pemimpin gereja yaitu pada saat
mereka melahirkan dan merawat anak yang baru lahir sehingga pada masa tersebut akan
36
Tata Gereja GKPB 2014, 18 37
Ni Gusti, Ayu Stiti, Bendahara Yayasan Panti Asuhan Widhya Asih, wawancara, (Kapal, 19 Agustus 2015, pukul
11.00 WITA)
mengganggu pelayanan seorang pemimpin yang harus memiliki waktu secara penuh bagi setiap
jemaat yang ada di seluruh GKPB.38
Pemikiran Esensialisme mengenai berkurangnya intensitas pekerjaan seorang perempuan
oleh karena sifat “keperempuanannya” secara biologis seperti melahirkan dan berlaku pada
semua perempuan dimanapun mereka berada sangat tidak sesuai dengan kenyataan yang ada,
karena tidak semua perempuan dapat melahirkan. Tidak juga dapat berlaku pada semua
perempuan yang dapat melahirkan karena ada pemimpin perempuan yang sekalipun ia
mengambil cuti untuk melahirkan, namun ia tetap ada di tempat jika dibutuhkan, ia siap untuk
melayani. Beberapa pemimpin perempuan yang tahu bahwa dirinya akan mengambil cuti untuk
melahirkan juga sudah mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk ke depannya pada
saat masa cutinya.39
Maka pemikiran dari kelompok esensialisme tidak dapat dibenarkan jika
pemikiran itu diberlakukan kepada seluruh perempuan yang ada.
Pemikiran esensialisme sebenarnya dapat dikatakan sebagai pendukung dari budaya
patriaki di Bali. Memikirkan bahwa keadaan “keperempuanan” secara biologis dapat
menghambat intensitas kepemimpinan seorang perempuan juga dipikirkan oleh beberapa
perempuan di Bali. Hal inilah yang dikatakan bahwa tanpa disadari bahwa bukan hanya laki-laki
sebagai pelaku budaya patriaki tetapi malah perempuan. Perempuan tidak berani untuk
menerima tanggung jawab yang lebih besar seperti menjadi seorang pemimpin gereja yaitu
Bishop karena berpikiran bahwa perempuan itu tidak layak, karena keadaan biologis mereka
sebagai perempuan hanya laki-lakilah yang layak.
38
Rai, Sri Handayati, warga jemaat GKPB Galang Ning Hyang, wawancara, (Abianbase 17 Agustus 2015, pukul
15.00 WITA) 39
Made, Suwiriya, Penatua GKPB jemaat PNIEL Blimbingsari, wawancara, (Blimbingsari, 13 Agustus 2015, 18.00
WITA)