hasil dan pembahasan gambaran umum desa blongko 4... · jumlah penduduk menurut umur dan jenis...
TRANSCRIPT
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Desa Blongko
Desa Blongko terdapat di Kecamatan Sinonsanyang yang masuk dalam
daerah administratif Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara. Desa
ini berhadapan langsung dengan Laut Sulawesi dan banyak dipengaruhi oleh
karakteristik laut. Desa Blongko berbatasan di sebelah utara dengan Desa Sapa, di
sebelah selatan dengan Desa Boyong Pante, sebelah barat Laut Sulawesi dan
sebelah timur Desa Paku Ure I dan Desa Paku Ure II (Profil Desa, 1997).
Kawasan Desa Blongko ditandai dengan pegunungan dan pepohonan menghijau
terbentang di sepanjang desa. Jalan Trans Sulawesi membelah desa, memisahkan
permukiman penduduk, sebagian mengarah ke pantai dan sebagian mengarah ke
perbukitan. Desa ini memiliki topografi, kontur, dan iklim yang bervariasi.
Desa Blongko adalah desa hasil pemekaran dari Desa Boyong Pante.
Sebelum tahun 1991 blongko masih didalam lingkup administrasi Desa Boyong
Pante. Selama masih menjadi satu administrasi dengan Desa Boyong Pante,
Blongko berstatus sebagai jaga jao (jaga jauh) sejak tahun 1942 dan pada waktu
itu masih satu jaga. Pada tahun 1973 diadakan pemekaran menjadi dua jaga dan
kemudian pada tahun 1974 dimekarkan lagi menjadi tiga. Pemekaran ini
didasarkan pada pertambahan jumlah penduduk.
Pada tahun 2000 Desa Blongko mengalami pemekaran dan bergabung
dengan Kecamatan Sinonsayang, yang sebelumnya masuk dalam wilayah
Kecamatan Tenga Kabupaten Minahasa. Setelah adanya otonomi daerah pada
tahun 2004, Kecamatan Sinonsayang masuk dalam wilayah Kabupaten Minahasa
Selatan sampai dengan saat ini.
Geografi
Jenis pantai yang terdapat di Desa Blongko adalah jenis pantai berpasir
yang merupakan kombinasi dari akumulasi material yang terbawa oleh aksi
gelombang. Selain itu masukan material pasir dan lumpur juga banyak terdeposisi
di pantai yang berasal dari sungai (run off ) yang ada di desa ini.
Desa Blongko mempunyai tiga sungai yang bermuara ke Teluk Blongko,
yaitu Kuala Batu Tulu, Kuala Air Kecil, dan Kuala Air Panas. Sungai ini
26
digunakan masyarakat untuk kegiatan pertanian apabila datang musim pancaroba
tiba. Kondisi sungai dari tahun ke tahun mengalami penyempitan dan
pendangkalan diakibatkan tingkat erosi yang tinggi dan sedimentasi. Pembukaan
lahan perkebunan di perbukitan yang tidak memperhatikan lingkungan,
merupakan masalah yang sampai saat ini belum dapat tertanggulangi. Sedimen
yang berasal dari ketiga sungai ini memberikan dampak negatif terhadap
ekosistem pesisir diantaranya terumbu karang, padang lamun, dan mangrove yang
ada di pantai.
Geomorfologi Pantai
Bentuk lereng pantai Desa Blongko termasuk dalam kriteria datar dan
landai (1,03%-5,02%). Corak lahan daerah perlindungan pantai ini
mereprensentasikan bentuk lahan konstruksional dengan luas 76.200 m2 berupa
lahan gisik belakang bakau (2,61%), lahan hutan bakau (29,87%), lahan lamun
(41,84%), dan terumbu karang (25,68%).
Hamparan lahan pantai tergolong datar pada lahan terumbu dan lahan
bakau. Komposisi sedimen yang dominan mempunyai kriteria pasir halus dan
pasir sedang. Pada lahan gisik yang lerengnya tergolong miring komposisi
sedimen tergolong pada kriteria pasir halus.
Menurut Sutikno (1993), proses geomorfik yang bekerja pada mintakat
pantai, secara garis besar dapat dibedakan menjadi : proses destruksional dan
proses konsruksional. Proses destruksional yang berwujud dalam pelapukan dan
erosi, menghasilkan bentuklahan destruksional berupa pantai tebing dan pantai
berpelataran datar. Proses konstruksional berlangsung dengan adanya gerakan dan
deposisi sedimen, baik oleh tenaga alam maupun oleh aktivitas organik,
menghasilkan bentuk lahan konstruksional, antara lain berupa gisik, delta, hutan
mangrove, padang lamun dan terumbu karang.
Distribusi granulometri sedimen yang teranalisis dengan variabel rataan
empirik yang dominan tergolong pada pasir sedang dan kasar. Keberadaan lahan
pantai yang tercakup sebagai DPL ini, secara luas ditentukan oleh serangkaian
proses konstruksional yang diperani oleh biota pantai (karang, lamun, dan bakau).
Sebagai media sekaligus fluida pengangkut, faktor hidro-oseanografi adalah agen
geomorfogenesis yang berkontribusi tidak saja dalam mendukung
27
keberlangsungan hidup biota, tapi juga dalam menyediakan energi gerak untuk
mengangkut, mendeposisikan sedimen, dan memicu perkembangan lahan pantai
ini (Pelle, 2002).
Dipandang dari segi litologi formasi jenis batuan yang mendominasi
adalah aluvium. Hal ini termuat dalam penyelidikan Pusat Penelitian Geologi
Kelautan (PPGK, 1996) yang menyatakan bahwa secara geologi formasinya
merupakan aluvium dan endapan danau dengan dengan relief rendah, sedang, dan
tinggi. Sedangkan proses yang mendominasi pantai ini adalah poses marin atau
aktivitas laut dan masuk dalam kategori pantai tipe III (PPGK, 1996).
Abrasi yang terjadi pada daerah ini sampai pada saat ini masih terjadi.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini sudah sekitar 10 m pergeseran garis
pantai ke arah darat. Menurut Pelle (2002), panjang lereng yang berada di dekat
pemukiman adalah 229,64 m. Panjang lereng ini diukur pada saat pasang tertinggi
dan surut terendah saat bulan baru. Hal yang sama dilakukan pada tahun 2007 dan
mendapatkan adanya perbedaan sekitar 10 m ke arah darat dari tahun 2002 yaitu
sebesar 240 m. Abrasi ini lebih diakibatkan oleh fenomena alam serta
menurunnya jumlah vegetasi pantai. Selain abrasi, sedimentasi pada muara sungai
di Desa Blongko beberapa tahun terakhir terus meningkat seiring banyaknya
pembukaan lahan untuk kegiatan perkebunan. Melalui wawancara dengan
penduduk, peningkatan abrasi pantai dari tahun ke tahun seiring meningkatnya
penurunan jumlah tumbuhan pantai, khususnya mangrove. Pada stasiun satu yang
dahulu terdapat mangrove yang banyak, sekarang mengalami penurunan jumlah.
Hal ini mengakibatkan perumahan yang ada di belakang ekosistem mangrove
terancam abrasi dan intrusi air laut (Foto 14, Lampiran 2).
Tipe pasang surut (pasut) di Desa Blongko adalah tipe pasut semi diurnal
yang dalam 24 jam terjadi dua kali pasang dan dua kali surut. Arus yang
mendominasi pada perairan Desa Blongko adalah arus susur pantai. Arus ini
dipengaruhi oleh pasut dan angin sebagai faktor pembangkit arus. Menurut Wyrtki
(1961) pola angin mengalir dari arah barat dan barat daya pada bulan Agustus dan
September, angin yang adalah salah satu tenaga pembangkit gelombang dan arus
mengakibatkan arus permukaan lepas pantai, sebaliknya pada bulan Januari
sampai Apil angin berhembus dari arah utara.
28
Penggunaan Lahan
Sebagai salah satu desa yang sebagian masyarakatnya menggantungkan
hidup pada kegiatan pertanian, Desa Blongko memiliki lahan daratan seperti
layaknya desa lainnya yang digunakan untuk berbagai keperluan seperti
perkebunan kelapa, baik perkebunan milik rakyat ataupun perkebunan milik
negara, hortikultura, dan padi ladang. Adapun pembagian luasan menurut
penggunaan lahan seperti yang terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Penggunaan Lahan Daratan di Desa Blongko
Lahan Luas (ha)
Permukiman umum 35,00 Bangunan Perkantoran 0,03 Sekolah 0,05 Tempat ibadah 1,00 Kuburan 2,00 Kebun Kelapa (Masyarakat) 175,00 Kebun Kelapa (Negara) 277,00 Cengkeh 20,00 Hutan Lindung 237,00 Hutan Produksi 205,50 Mangrove 15,00 Rekreasi/olahraga 0,80 Lain-lain : Tanah Kritis 51,00
Total 1 019,38 Sumber : Kantor Desa Blongko, 2007
Perkebunan kelapa milik rakyat terhampar dari pinggiran pesisir sampai
ke arah timur pada batas dengan ladang terletak pada ketinggian sekitar 150 m di
atas permukaan laut (APL). Hal ini memperlihatkan dengan jelas bahwa
permukiman penduduk ada di bawah perkebunan kelapa. Ke arah timur setelah
areal perkebunan wilayah desa ini masih ditumbuhi hutan belukar yang belum
dikelola sebagai hutan milik desa atau hutan produksi desa. Hutan belukar berada
pada ketinggian sekitar 150 – 200 m APL (Profil Desa, 1997).
Luasan hutan di Desa Blongko sekitar 457,50 ha dan luas perkebunan
daerah ini adalah 472 ha, akan tetapi masih ada 51 ha tanah kritis. Tanah kritis ini
29
justru berada di beberapa perbukitan di sekitar desa, sehingga dari areal inilah
erosi sering terjadi yang mengakibatkan sedimentasi ke arah muara sungai.
Organisasi dan Tatanan Kelembagaan
Lembaga sosial adalah pola aktivitas yang terbentuk guna memenuhi
berbagai kebutuhan hidup manusia. Organisasi/lembaga sosial yang ada di Desa
Blongko terdiri atas lembaga pemerintah, lembaga agama, dan organisasi sosial.
Lembaga pemerintah adalah lembaga-lembaga yang berhubungan dengan
pemeliharaan ketertiban dan perlindungan kelompok terhadap masyarakat luar.
Pemerintah tertinggi di Desa Blongko adalah Kepala Desa, yang dibantu oleh
perangkat desa dan kepala–kepala jaga. Selain itu ada juga Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (LKMD) yang mempunyai tujuan untuk menggerakkan
pembangunan di desa.
Selain lembaga-lembaga yang disebutkan tadi, ada pula Badan Perwakilan
Desa (BPD) sebagai pelaksana rencana pengelolaan di tingkat desa di bawah
koordinasi dan pengawasan dari kepala desa. BPD wajib memberikan
pertanggungjawaban kegiatan yang dikelola oleh badan dan kelompok pengelola.
Pertanggungjawaban ini dilakukan dalam musyawarah pembangunan desa
(MUSBANG) bersama BPD.
BPD merupakan badan yang terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat yang
dipilih oleh rakyat untuk mewakili rakyat dalam perencanaan kegiatan
pembangunan di desa. BPD bersama pemerintah desa melaksanakan kegiatan
perencanaan dan membuat aturan-aturan desa. Selama BPD belum terbentuk di
desa maka LKMD dapat berperan dalam menjalankan peran dan tanggungjawab
BPD.
Badan Pengelola adalah badan pelaksana rencana pengelolaan desa yang
terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat yang dipilih dan dipercaya oleh masyarakat
melalui suatu musyawarah umum. Musyawarah pemilihan pengurus dan anggota
Badan Pengelola dilaksanakan oleh pemerintah desa dan BPD dengan jangka
waktu kepengurusan tertentu (5 tahun) atau sesuai dengan dengan kebutuhan
masyarakat. Badan Pengelola bertanggung jawab kepada pemerintah desa (kades)
dan BPD. Peran dan tugas Badan Pengelola adalah bertanggung jawab dalam
30
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
Jumlah Penduduk (Jiw
a)
1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007
Tahun
pelaksanaan dan mengkoordinasikan dengan instansi-instansi terkait dan
masyarakat dalam musyawarah pembangunan desa dan rapat koordinasi lainnya.
Keadaan Penduduk
Desa Blongko dalam perkembangannya mengalami beberapa kali perubahan
dalam sistem pemerintahan, akibat adanya pemekaran dan otonomi daerah. Sampai
pada tahun 2007 jumlah penduduk Desa Blongko mencapai 1.711 jiwa, dengan
rincian jumlah penduduk pria 885 jiwa (51,7%) dan wanita 826 jiwa (48,3%). Jumlah
penduduk terbanyak ada pada kisaran usia 19-25 tahun sebanyak 297 jiwa (17,36%).
Hal ini menunjukkan bahwa Desa Blongko memiliki masyarakat yang berusia
berproduktif yang baik. Sedangkan persentasi terendah berada pada kisaran usia lebih
dari 76 tahun yaitu sebanyak 9 jiwa (0,53%).
Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin (jiwa) Jumlah Total Kelompok
Pria Wanita Jiwa %
<1 tahun 5 18 23 1,34 1-4 tahun 49 43 92 5,38 5-6 tahun 67 65 132 7,71 7-12 tahun 115 101 216 12,62 13-15 tahun 68 52 120 7,01 16-18 tahun 73 58 131 7,66 19-25 tahun 145 152 297 17,36 26-35 tahun 139 129 268 15,66 36-45 tahun 115 120 235 13,73 46-50 tahun 42 36 78 4,56 51-60 tahun 42 31 73 4,27 61-75 tahun 20 17 37 2,16 >76 tahun 5 4 9 0,53 Jumlah 885 826 1 711 100,00
Sumber : Kantor Desa Blongko, 2007
Gambar 4. Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Blongko
31
Sebagian besar penduduk Desa Blongko merupakan penduduk pendatang, yang
umumnya berasal dari Sangihe dan Talaud (69%), Minahasa (19%), dan Bolaang
Mongondow (2%). Kebanyakan orang memilih untuk datang dan tinggal di Desa
Blongko memiliki alasan untuk bertani karena di desa ini lahan perkebunan masih luas
dan subur. Perkembangan jumlah penduduk dari tahun ke tahun di Desa Blongko
bervariasi. Dari histogram pada gambar 4 terlihat bahwa pada tahun 1999, 2001, 2003,
2004, dan 2006 data jumlah penduduk desa ini tidak dibuat. Adanya fluktuasi jumlah
penduduk diakibatkan oleh imigrasi dan emigrasi serta angka kelahiran dan kematian.
Selain hal tersebut adanya pendatang dari daerah lain membuat desa ini banyak
mengalami perubahan pada jumlah penduduknya. Petani musiman dari daerah lain juga
memengaruhi keadaan penduduk di desa ini. Setiap musim panen besar tiba biasanya
masyarakat luar daerah memilih desa ini sebagai tempat mencari nafkah. Selain itu
keadaan penduduk juga mengalami perubahan diakibatkan oleh kurangnya lapangan
pekerjaan tetap di desa ini. Sebagian orang memilih bekerja sebagai buruh harian di
daerah lain sampai ke Papua, Kalimantan, dan Makassar.
Keadaan Ekonomi Masyarakat
Mata pencaharian masyarakat di Desa Blongko berkembang seiring dengan
perkembangan desa dan pertambahan jumlah penduduk. Kondisi sekarang
mengindikasikan bahwa jumlah masyarakat yang bekerja sebagai petani memiliki jumlah
terbanyak yaitu 586 jiwa (65,40%), hal ini dikarenakan tersedianya lahan di Desa
Blongko yang membuka kesempatan kerja bagi mereka. Berbeda halnya dengan pegawai
swasta yang ada di desa ini yang hanya berjumlah 12 jiwa (1,34%). Tabel 5
memperlihatkan keadaan jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian masyarakat.
Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Jumlah Mata Pencaharian Jiwa % Petani 586 65,40 Nelayan 173 19,31 Pegawai Negeri/TNI 34 3,79 Peternak 29 3,24 Tukang 43 4,80 Pedagang 19 2,12 Pegawai Swasta 12 1,34 Jumlah 896 100,00
Sumber : Kantor Desa Blongko, 2007
32
Melihat akan besarnya potensi sumberdaya alam dan jumlah petani yang
ada maka sudah sewajarnya apabila peningkatan pemberdayaan di sektor
pertanian menjadi hal penting untuk diperhatikan dan dikembangkan demi
meningkatkan taraf hidup masyarakat, serta mengembangkan kegiatan pertanian
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Permukiman Penduduk
Keadaan rumah penduduk Desa Blongko terdiri atas empat kategori, yaitu
: golongan prasejahtera I, prasejahtera II, prasejahtera III dan sejahtera. Golongan
prasejahtera I yaitu rumah dengan keadaan lantai masih tanah, dinding terbuat dari
bambu dan atapnya dari daun rumbia, dan biasanya fondasinya terbuat dari
bambu. Golongan prasejahtera II keadaan lantainya terbuat dari bambu atau dari
batang janur yang dibelah, atapnya dari bahan seng, dan fondasinya dari bahan
kayu. Golongan prasejahtera III yaitu keadaan lantai terbuat dari beton, sedangkan
dinding terbuat dari beton yang menggunakan batu kali/batu pecah. Rumah
sejahtera yaitu dengan keadaan lantai beton, dinding terbuat dari batu-bata,
atapnya menggunakan seng dan fondasinya dari beton yang menggunakan batu
dari kali. Biasanya rumah golongan prasejahtera I dan II belum memiliki sarana
mandi cuci kakus (MCK). Dengan adanya bantuan Proyek Pesisir setiap dua
rumah yang belum memiliki fasilitas ini dibangun dengan biaya proyek.
Tabel 6. Keadaan Rumah Penduduk Desa Blongko
Jumlah Golongan Rumah Unit %
Prasejahtera I 123 30,07 Prasejahtera II 134 32,76 Prasejahtera III 109 26,65 Sejahtera 43 10,51
Jumlah 409 100,00 Sumber : Data Primer, 2007
Dari Tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa golongan rumah prasejahtera II
memiliki jumlah terbanyak (32,76%), sedangkan yang paling sedikit adalah
rumah dengan golongan sejahtera (10,51%). Penyebab dari rendahnya rumah
sejahtera yang ada di Desa Blongko adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh
rendahnya tingkat pendapatan masyarakat. Masyarakat Desa Blongko belum bisa
33
mengelola dengan baik sumberdaya yang mereka miliki untuk meningkatkan
kesejahteraan.
Meningkatnya kebutuhan tempat tinggal berdampak langsung bagi
ekosistem yang ada di pantai. Sebagian masyarakat masih menggunakan kayu
yang berasal dari hutan mangrove sebagai tiang rumah dan perabot rumah tangga.
Masyarakat lebih memilih mengambil kayu pada daerah di luar DPL karena
merasa bahwa itu tidak perlu dilindungi. Selain itu penggunaaan batu karang
sebagai fondasi dan pembuatan septic tank masih sering dijumpai di desa ini.
Dalih yang mereka berikan adalah bahwa semua sumberdaya itu diambil di luar
DPL. Sempitnya pemahaman tentang DPL membuat masyarakat
menyalahgunakan potensi sumberdaya alam yang ada di luar DPL. Pentingnya
sosialisasi tentang menjaga kelestarian sumberya alam yang dimiliki desa
dirasakan masih perlu dilakukan untuk meluruskan persepsi masyarakat yang
salah akan DPL.
Tingkat Pendidikan
Keadaan pendidikan masyarakat Desa Blongko disajikan pada Tabel 7.
Rendahnya tingkat pendidikan di Desa Blongko dikarenakan kurangnya kesadaran
dari masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi bekal hidup dan kurangnya
perhatian pemerintah dalam hal penyediaan sarana dan prasarana pendidikan.
Selain itu masalah ekonomi membuat sebagian masyarakat memilih untuk tidak
melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Adapun pemikiran sempit
yang ada di desa ini bahwa setiap anak perempuan tidak perlu melanjutkan studi
karena nantinya hanya akan menjadi ibu rumah tangga.
Melalui pendidikan, masyarakat dapat diajak berpikir maju dan
meningkatkan kualitas hidup serta meningkatkan status sosial. Dengan pendidikan
yang baik perubuhan dapat dirasakan pada semua aspek kehidupan. Pada
hakekatnya pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan didalam maupun diluar sekolah. Pentingnya penyuluhan dan
peningkatan ekonomi dalam menunjang pendidikan di desa ini masih perlu
dilakukan dan dijadikan prioritas bagi pengembangan sumberdaya manusia.
Selain itu melalui pendidikan diharapkan siswa dapat lebih mengerti tentang arti
pentingnya melestarikan sumberdaya alam.
34
Tabel 7. Tingkat Pendidikan Masyarakat di Desa Blongko Jumlah Tingkat
Pendidikan Jiwa % Tidak tamat SD 526 55,54Tamat SD 218 23,02Tamat SMP 112 11,83Tamat SMA 86 9,08Perguruan Tinggi 5 0,53
Jumlah 947 100,00 Sumber : Kantor Desa Blongko. 2007 Infrastruktur dan Fasilitas Pelayanan Kepada Masyarakat
Sarana Transportasi
Desa Blongko terletak pada daerah yang dilalui jalan trans Sulawesi. Desa
ini berada sekitar 32 Km dari ibu kota Kabupaten Minahasa Selatan, Amurang.
Keadaan jalan di Desa Blongko sudah baik, akan tetapi sarana jalan yang ada pada
bagian dalam desa sampai saat ini belum dibuat, bahkan dapat dikatakan dalam
keadaan yang memprihatinkan. Sarana transportasi yang biasa digunakan
masyarakat adalah mobil angkutan kota, bus dan sepeda motor (ojek). Selain itu
sarana alternatif lain yang digunakan adalah perahu dan gerobak sapi sebagai alat
transportasi antar desa dan ke daerah perkebunan.
Sarana Pendidikan
Desa Blongko memiliki tiga sarana dan prasarana pendidikan, yaitu TK
Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), SD Inpres Blongko, dan SMP Negeri
3 Sinonsanyang. SD Inpres mempunyai jumlah guru 6 orang, pegawai 1 orang dan
jumlah murid 324 orang. Bagi kepala sekolah disediakan satu unit rumah dinas
dan bagi guru-guru disediakan tiga unit rumah dinas. Untuk melanjutkan sekolah
ke jenjang SMA biasanya masyarakat harus ke desa tetangga yang memiliki SMA
yaitu Desa Ongkauw. Untuk sementara ini bangunan kantor desa digunakan oleh
siswa SMP untuk kegiatan belajar mengajar sambil menunggu pembangunan
gedung sekolah selesai.
Sarana Peribadatan
Masyarakat Desa Blongko mayoritas beragama Kristen Protestan (Tabel
8). Hal ini dikarenakan penduduk Blongko kebanyakan berasal dari kepulauan
Sangihe dan Talaud yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Beberapa
aliran dari agama kristen berkembang di Desa Blongko seperti Gereja Masehi
35
Injili di Minahasa (GMIM), Gereja Pentakosta di Indonesia (GPDI), Gereja
Pantekosta, Gereja Segala Bangsa (GESBA), dan Geraja Katolik. Selain itu
terdapat pula mesjid yang ada di sisi kanan jalan trans Sulawesi di Desa Blongko.
Masing-masing kelompok agama ini memiliki satu tempat ibadah. Beragamnya
agama dan kepercayaan di Desa Blongko tidak pernah menimbulkan perpecahan
di antara masyarakat. Rasa kekeluargaan dan tenggang rasa antar masing-masing
penganut kepercayaan membuat suasana di Desa Blongko semakin lebih baik dari
tahun ke tahun.
Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Agama
Jumlah Penduduk Golongan Agama
Jiwa % GMIM 1112 64,99 GPDI 127 7,42 Gereja Pentakosta 112 6,55 GESBA 87 5,08Katolik 153 8,94Islam 120 7,01Jumlah 1711 100,00
Sumber : Data Primer, 2007
Sarana Informasi dan Pemerintahan
Desa Blongko menyediakan pusat informasi tentang kondisi desa dan
DPL. Pusat informasi ini berada berdekatan dengan kantor desa. Minimnya dana
dan perhatian pihak pengelola membuat pusat informasi tidak terawat. Biaya
operasional dan perawatan yang mahal membuat beberapa bagian dari bangunan
ini menjadi rusak. Bangunan ini dibuat oleh masyarakat dengan bantuan dana dari
kegiatan proyek pesisir. Kantor Desa Blongko yang ada saat ini melayani
keperluan masyarakat seperti pembuatan Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga
dan surat-surat penting lainnya. Kondisi bangunannya cukup baik dengan
peralatan pelayan yang cukup memadai.
Sarana Air Bersih
Salah satu faktor yang penting dalam kehidupan manusia adalah air.
Tingginya permintaan akan sumberdaya air membuat air menjadi komoditas yang
sangat vital bagi kelangsungan hidup semua organisme di muka bumi ini.
Keadaan air di Desa Blongko sampai saat ini sudah cukup baik. Hal ini
diindikasikan dengan adanya pipa saluran air bersih yang berasal dari mata air
36
pegunungan yang terdistribusi kepada seluruh konsumen, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Dikatakan secara langsung karena masyarakat dapat
menikmati langsung air bersih dirumah masing-masing dengan bantuan selang air,
sedangkan secara tidak langsung bagi sebagian masyarakat hanya memperoleh air
di tempat-tempat umum.
Di desa ini terdapat tiga sumber mata air yang dimanfaatkan oleh
masyarakat, akan tetapi sejak tahun 1999 ketiga mata air ini menurun kondisinya
baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Penurunan kualitas mata air dikarenakan
adanya pembukaan lahan di perbukitan sehingga air yang dulunya bening
sekarang sudah menjadi keruh. Dan dari segi kuantitas debit air yang dihasilkan
sudah semakin menurun dan apabila musim kemarau tiba, maka air ini akan
menjadi kering. Penurunan kualitas air sumur mulai juga dirasakan oleh
masyarakat. Kadar garam air sumur milik masyarakat dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan. Meningkatnya kadar garam ini diakibatkan oleh intrusi
air laut yang masuk melalui akuifer tanah akibat dari abrasi pantai. Berkurangnya
mangrove di desa ini memberikan dampak yang berarti bagi kondisi pantai dan
ketersedian air tawar bagi masyarakat desa.
Sarana Pelayanan Kesehatan
Sarana pelayanan kesehatan yang ada di Desa Blongko berjumlah dua unit.
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) terletak di tengah Desa Blongko, sedangkan
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) terletak di ibukota kecamatan
Sinonsayang tepatnya di Desa Ongkaw. Posyandu yang ada di desa ini memiliki
kondisi fisik yang kurang baik. Minimnya dana operasional dan tenaga medis
membuat pelayanan di Posyandu hanya untuk keperluan program keluarga
berencana dan imunisasi balita. Tenaga medis yang tersedia di Posyandu hanyalah
bidan dan seorang mantri, sedangkan tenaga dokter masih belum tersedia.
Puskesmas di Desa Ongkaw menyediakan dokter untuk pelayanan umum baik
anak dan orang dewasa. Minimnya pengetahuan tentang arti pentingnya kesehatan
di Desa Blongko dapat diindikasikan oleh sedikitnya sarana MCK. Masyarakat
Desa Blongko sampai saat ini masih manggunakan obat tradisional dari beberapa
tumbuhan mangrove, padahal fungsi mangrove sebagai bahan obat-obatan belum
banyak diketahui orang. Melihat akan potensi mangrove ini, kedepannya perlu
37
dikembangkan penelitian untuk memanfaatkan mangrove sebagai bahan obat-
obatan yang dapat diketahui dan digunakan oleh masyarakat luas.
Potensi Perkebunan
Desa Blongko memiliki luas lahan perkebunan produktif sebesar 472 ha.
Luas perkebunan ini terbagi dalam tiga kelompok besar yaitu perkebunan kelapa
milik rakyat sebesar 175 ha, perkebunan milik negara 277 ha dan kebun cengkeh
sebesar 20 ha. Total produksi untuk kegiatan perkebunan dapat mencapai 5.000
ton per tahun untuk komoditas kelapa. Melihat akan potensi perkebunan yang
tinggi di desa ini maka diharapkan adanya kebijakan dan peningkatan teknologi
untuk mengembangkan potensi perkebunan dalam meningkatkan taraf hidup serta
kesejahteraan masyarakat yang berwawasan lingkungan.
Potensi Perikanan
Potensi perikanan yang ada di Desa Blongko yaitu perikanan tangkap dan
tiga ekosistem penting di pesisir yaitu mangrove, padang lamun, terumbu karang.
Ketiganya merupakan ekosistem pesisir yang penting untuk dijaga dan
dilestarikan. Kerusakan pada salah satu ekosistem dapat berdampak pada
ekosistem lainnya. Fungsi ekologis masing-masing ekosistem mendukung
terciptanya suatu lingkungan perairan yang baik. Luasan hutan mangrove
memberikan kontribusi yang besar bagi kelangsungan mahluk hidup yang ada
disekitarnya.
Menurut Kusen et al (1999), kondisi tutupan karang di Desa Blongko
masih dalam keadaan baik. Penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa total
karang hidup sebesar 43,25% lebih besar dibandingkan total karang mati (0,08%).
Indikasi kondisi terumbu karang yang sehat juga dapat dilihat dari
ditemukannya 11 famili ikan terumbu karang dengan 21 spesies ikan karang. Dari
keseluruhan famili ikan terumbu karang, ada 5 famili kelompok ikan yang
mempunyai nilai ekonomis penting. Ikan-ikan yang dimaksud adalah ikan
Lutjanidae, Caesionidae, Mullidae, Scaridae, dan Siganidae. Selain itu pada
ekosistem terumbu karang juga terdapat ikan yang biasanya digunakan sebagai
indikator ekologis atau biologis dari ketersedian karang ataupun terumbu karang
dengan kondisi yang baik ataupun cukup baik. Famili ikan itu antara lain adalah
Chaetodontidae, Pomacentridae, dan Acanthuridae. Tabel 9 berikut
38
memperlihatkan jenis-jenis ikan karang yang teridentifikasi pada perairan Desa
Blongko dengan menggunakan metode sensus visual ikan yang dilakukan oleh
Kusen et al, (1999).
Tabel 9. Jenis-Jenis Ikan Karang Yang Berasosiasi Dengan Terumbu Karang
Jenis Ikan Famili Spesies Chaetodontidae Chaetodon ornatissimus
Chaetodon ulietensis Chaetodon kelini Chaetodon trifasciatus Chaetodon longirostris Chaetodon citrinelus Heniochus varius
Pomacentridae Chromis spp. Abudefduf spp. Amphiprion spp. Pomacentrus spp.
Indikator
Acanthuridae
Acanthurus spp. Naso spp.
Ekonomis
Serranidae Lutjanidae Caesionidae Mullidae Scaridae Zanclidae Siganidae Nemipteridae
Anthias spp. Plectorinchus spp. Caesio spp. Parupeneus spp. Scarus spp. Zanclus sp Siganus spp. Scolopsis spp.
Sumber : Kusen et al, 1999
Dahuri et al, (2004) mengelompokkan kegiatan perikanan tangkap menjadi
tiga kelompok berdasarkan lokasi kegiatan penangkapan, yaitu (1) Perikanan
lepas pantai (Offshore Fisheries), (2) Perikanan pantai (Coastal Fisheries), dan
(3) Perikanan darat (Inland Fisheries). Penangkapan ikan yang dilakukan di desa
ini berdasarkan uraian di atas adalah kegiatan perikanan pantai dan perikanan
lepas pantai. Dikatakan demikian karena dalam melakukan kegiatan penangkapan
dengan alat tangkap, perahu, dan sarana pendukung lainnya yang masih tergolong
sederhana dan tradisional.
Sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap di Desa Blongko
banyak mengalami perubahan selama 40 tahun terakhir ini. Indikator menurunnya
jumlah tangkapan dan ukuran ikan oleh para nelayan dilihat dari hasil tangkapan
yang menurut informasi sudah banyak mengalami penurunan. Lokasi
39
penangkapan ikan yang sudah semakin jauh dari pantai juga merupakan indikasi
bahwa potensi perikanan tangkap wilayah perairan Desa Blongko mengalami
degradasi. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, menurunnya
kualitas perairan, dan minimnya teknologi adalah kendala besar yang dihadapi
masyarakat khususnya nelayan untuk mengembangkan potensi perikanan. Pemantauan
hasil tangkapan ikan yang dibuat oleh masyarakat bersama dengan proyek pesisir
Sulawesi Utara sampai pada saat ini tidak berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari
ketidakseriusan masyarakat dan pihak pengelola DPL dalam mencatat hasil tangkapan
ikan, padahal kegiatan ini telah diprogramkan pada awal pembentukan DPL. Tabel 10
memperlihatkan alat tangkap beserta jenis ikan hasil tangkapan.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan terlihat adanya indikasi penurunan
jumlah hasil tangkapan pada sembilan tahun terakhir ini. Hasil tangkapan ini diamati
pada saat bulan mati dengan kondisi cuaca cerah dan kondisi laut yang relatif tenang
pada waktu penelitian. Hasil tangkapan ini tidak selamanya seperti ini tergantung
musim dan cuaca. Hasil yang didapat biasanya dijual di pasar yang ada di Amurang
dan sebagian digunakan untuk dikonsumsi sendiri. Selain potensi-potensi besar yang
disebutkan tadi Desa Blongko juga memiliki potensi peternakan dan pertanian sawah,
namun potensi ini kecil dibandingkan perkebunan dan perikanan.
Tabel 10. Alat Tangkap, Jenis Ikan Target, dan Hasil Tangkapan
Jenis Ikan yang Tertangkap Hasil tangkapan (per trip) Jenis Alat Tangkap
Nama Lokal Nama Umum Nama Ilmiah 1998 2007 Cakalang Cakalang Katsuwonus pelamis Malalugis Layang Decapterus sp.
Soma Pajeko (Pukat Cincin) Deho Tongkol Euthynus sp.
18-22 kas 10-15 kas
Malalugis Layang Decapterus sp. Sardin Lemuru Sardinella sp.
Soma Dampar (Jaring hanyut) Dehi Tongkol Euthynus sp.
100-200 kg 80-100 kg
Biji nangka Biji nangka Upeneus sp. Bobara Kuwe Caranx sp.
Pancing Malalugis Layang Decapterus sp.
13-15 kg 7-10 kg
kakatua kakatua Scarus sp. Biji nangka Biji nangka Upeneus sp. ekor kuning ekor kuning Caesio sp. Bobara Kuwe Caranx sp.
Jubi (Panah) Goropa Kerapu Epinephelus sp.
11-12 kg 5-10 kg
Goropa Kerapu Epinephelus sp. kakatua kakatua Scarus sp.
Igi (Bubu) Bobara Kuwe Caranx sp.
2-5kg 2-5kg
Sumber : Pogalin (1998) dan data primer 2007
40
Kondisi Ekosistem Mangrove Desa Blongko
Fauna Pada Ekosistem Mangrove
Fauna yang diamati pada lokasi penelitian terbagi atas dua bagian yaitu :
fauna akuatik dan fauna terestrial. Pada ekosistem mangrove dijumpai beberapa
jenis burung, Crustacea, Molusca, dan ikan yang semuanya hidup dan berasosiasi
di ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove menyediakan makanan dan tempat
perlindungan serta tempat tinggal bagi fauna dan satwa tersebut.
Selama penelitian ini berlangsung, fauna yang banyak dijumpai adalah
kepiting (Uca sp.) dan kepiting bakau (Scylla serrata) untuk fauna akuatik
sedangkan pada fauna terestrial fauna yang sering dijumpai adalah kadal
(Limnonectes spp.) dan kodok (Bufo spp.). Kondisi yang memprihatinkan adalah
burung maleo (Macocephalon maleo) dan burung rangkong (Rhyticeros casidix)
yang pada beberapa tahun terus menurun populasinya. Pengambilan telur burung
untuk konsumsi dan hiasan menjadikan fauna jarang lagi ditemukan. Hal serupa
terjadi pula terhadap monyet hitam (Macaca nigra). Harganya berkisar 1.000.000-
1.500.000 rupiah membuat perburuan akan hewan ini untuk dijual semakin
meningkat. Melihat akan potensi fauna serta banyaknya ancaman yang dihadapi
maka pelestarian terhadap fauna yang terancam punah harus menjadi bagian dari
program DPL.
Tabel 11. Jenis-Jenis Fauna Pada Ekosistem Mangrove Desa Blongko.
Fauna Nama Ilmiah Nama Lokal Anadara sp. Kerang Darah Corbiculata sp. Lokan Mugil sp. Belanak Palaemonetes spp.. Udang Putih Scylla serrata Kepiting Bakau
Akuatik
Uca spp. Kepiting Bufo spp. Kodok Homalopsis bucatta Ular Air Limnonectes spp. Katak Mabouya spp. Kadal Macaca nigra Monyet hitam Macocephalon maleo Burung Maleo Rhyticeros casidix Burung Rangkong
Teresterial
Varanus salvator Biawak Sumber : Data primer 2007
41
Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Blongko
Vegetasi mangrove di Desa Blongko terdiri atas empat famili, dengan
tujuh spesies. Famili mangrove tersebut adalah Avicenniaceae, Meliaceae,
Rhizophoraceae, dan Sonneratiaceae. Sedangkan spesies mangrove yang ada di
desa ini adalah Xylocarpus granatum, Avicennia lanata, Avicennia marina,
Avicennia officinalis, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, dan
Sonneratia alba . Hal ini berbeda dengan DPL Desa Talise yang hanya memiliki
dua famili mangrove yaitu Avicenniaceae dan Rhizophoraceae. Selain itu dari
jumlah spesies Desa Talise hanya memiliki enam spesies diantaranya adalah
Avicennia marina, Bruguiera cylindrica, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizhopora
apiculata, Rhizhopora mucronata, dan Rhizhopora stylosa (Wantasen, 2002).
Dari hasil pengamatan pada tiga stasiun di ekosistem mangrove, total
individu yang masuk dalam garis berpetak sebanyak 560 individu. Jumlah
individu terbanyak terlihat pada jenis Avicennia officinalis sebanyak 211 individu
(37,68%) dan yang paling sedikit adalah jenis Bruguiera gymnorrhiza 13 individu
(2,32%). Rendahnya jenis Bruguiera gymnorrhiza pada ekosistem mangrove desa
ini lebih diakibatkan oleh adanya eksploitasi yang berlebihan pada tahun 1972.
Pembuatan jalan trans sulawesi memaksa eksploitasi terhadap jenis ini sangat
tinggi. Oleh masyarakat sekitarnya jenis ini juga sering digunakan dalam
keperluan rumah tangga khususnya untuk kayu bakar. Jenis ini dibandingkan jenis
yang lainnya lebih cepat kering dan baik untuk dijadikan kayu bakar.
Jumlah jenis Avicennia officinalis, Avicennia marina, dan Sonneratia alba
pada masing-masing kelompok mengindikasikan bahwa jenis ini memiliki jumlah
populasi yang baik dan dapat beregenerasi dengan baik. Lain halnya dengan
beberapa jenis mangrove yang memiliki jumlah individu yang sedikit pada
kelompok pancang dan semai. Jenis Avicennia lanata, Rhizophora apiculata, dan
Xylocarpus granatum memiliki jumlah individu yang sangat sedikit pada
kelompok semai. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis ini kurang mampu
bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan. Eksploitasi yang berlebihan
mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah masing-masing kelompok (Tabel
12).
42
Tabel 12. Jumlah Individu Mangrove Pada Masing-masing Jenis
Jumlah Individu Jenis Famili
Pohon Pancang Semai Σ %
Avicennia lanata Avicenniaceae 11 8 5 24 4,29 Avicennia marina Avicenniaceae * 25 45 70 12,50 Avicennia officinalis Avicenniaceae 80 58 73 211 37,68 Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae 13 * * 13 2,32 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae * 16 7 23 4,11 Sonneratia alba Sonneratiaceae 69 62 64 195 34,82 Xylocarpus granatum Meliaceae 2 15 7 24 4,29
Jumlah 175 184 201 560 100,00 Sumber : Hasil olahan data primer 2007
Famili Avicenniaceae adalah famili yang memiliki jumlah individu
terbanyak dalam struktur vegetasi mangrove. Penelitian Kusen et al. (1999)
menjelaskan bahwa famili Avicenniaceae adalah jenis yang mendominasi pada
ekosistem mangrove Desa Blongko. Pada laporan proyek pesisir tahun 1999
dikatakan bahwa di Desa Blongko terdapat tiga famili mangrove yaitu
Avicenniaceae, Rhizophoraceae, dan Sonneratiaceae, sedangkan penelitian ini
menunjukkan ada empat famili mangrove yang terdapat pada ekosistem mangrove
di desa ini.
Kelompok pohon jenis yang banyak ditemukan adalah Avicennia
officinalis 80 individu kemudian diikuti oleh jenis Sonneratia alba, Bruguiera
gymnorrhiza, Avicennia lanata, dan yang paling sedikit adalah jenis Xylocarpus
granatum dengan jumlah individu masing-masing jenis secara berurutan adalah
69, 13, 11, dan 2 individu. Pada kelompok pohon tidak didapati adanya jenis
Avicennia marina dan Rhizhopora apiculata. Melalui hasil wawancara diketahui
bahwa dulu ditempat ini banyak ditumbuhi oleh Avicennia marina dan
Rhizhopora apiculata akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya jenis ini mulai
hilang dan digantikan jenis yang lain. Penyebab menurunnya jenis ini dikarenakan
oleh adanya tekanan terhadap lingkungan yang menyebabkan jenis ini tidak bisa
bertahan. Tekanan ini dapat saja datang dari lingkungan itu sendiri ataupun akibat
dari pemanfaatan yang bersifat merusak. Tekanan yang datang dari alam seperti
arus, gelombang, erosi, intrusi, dan sedimentasi sangat memengaruhi ekosistem
mangrove. Selain itu penebangan mangrove, pembuangan sampah dan hajat, serta
pembukaan lahan yang dilakukan oleh manusia adalah faktor terjadinya degradasi
43
pada ekosistem mangrove. Faktor penyebab terjadinya degradasi ekosistem
mangrove ini juga terjadi pada beberapa DPL dan ekosistem lainnya. Pada DPL
Desa Talise, menurut Wantasen (2002), penurunan kualitas dan kuantitas
ekosistem mangrove banyak dipengaruhi oleh kegiatan antropogenik
dibandingkan oleh gejala alam. Selain itu penurunan jumlah hasil tangkapan ikan
demersal juga diakibatkan oleh menurunnya vegetasi mangrove yang ada pada
suatu daerah pesisir (Manembu, 2004). Nazili (2004) dan Gunarto (2004)
berpendapat bahwa konservasi terhadap ekosistem mangrove akan sangat
berpengaruh terhadap sumberdaya hayati perikanan pantai dan semua ekosistem
yang ada di pesisir.
Pada kelompok pancang jenis yang banyak masuk dalam garis berpetak
adalah jenis Sonneratia alba yaitu sebanyak 62 individu diikuti oleh Avicennia
officinalis 58 individu, Avicennia marina 25 individu, Rhizophora apiculata 16
individu, Xylocarpus granatum 15 individu, dan Avicennia lanata 8 individu.
Pengamatan pada kelompok pancang tidak mendapati adanya jenis Bruguiera
gymnorrhiza. Jenis ini sudah jarang ditemukan. Pada stasiun tiga yang berlokasi
di zona inti DPL jenis ini masih dapat dilihat dengan jumlah yang sangat sedikit.
Kelompok semai adalah kelompok yang paling banyak memiliki jumlah
individu. Dari 201 jenis individu, jenis Avicennia officinalis adalah jenis yang
paling banyak didapati pada ke tiga stasiun di ekosistem mangrove Desa Blongko,
jenis ini berjumlah 211 individu, diikuti oleh jenis Sonneratia alba, Avicennia
marina, Xylocarpus granatum, Rhizophora apiculata, dan Avicennia lanata.
Nilai kerapatan relatif pada ekosistem mangrove Desa Blongko berkisar
antara 1,14% - 4,715% untuk tingkat pohon, 4,35% - 33,70% untuk tingkat
pancang, dan 2,49-% - 36,32% untuk tingkat pancang (Tabel 13). Kerapatan
relatif tertinggi untuk tingkat pohon dan semai terdapat pada jenis Avicennia
officinalis dengan nilai masing-masing tingkat adalah 45,71 dan 36,32%,
sedangkan pada tingkat pancang Sonneratia alba memiliki nilai tertinggi yaitu
33,70%. Kerapatan relatif terendah untuk tingkat pohon terdapat pada jenis
Xylocarpus granatum (1,14%), dan untuk tingkat pancang dan semai jenis
Bruguiera gymnorrhiza tidak ditemukan, hal ini membuat nilai kerapatan relatif
kedua tingkat ini tidak ada. Hal serupa juga dapat dilihat pada jenis Avicennia
44
marina dan Rhizophora apiculata yang tidak terdapat pada tingkat pohon.,
Avicennia lanata adalah jenis yang memiliki kerapatan relatif yang rendah untuk
tingkat pancang dan semai yaitu masing-masing sebesar 4,35% dan 2,49%. Nilai
kerapatan relatif pada jenis Avicennia officinalis yang besar menunjukkan bahwa
jenis ini adalah jenis yang paling mendominan pada kawasan mangrove Desa
Blongko. Sedangkan jenis Avicennia lanata, adalah jenis yang jarang ditemukan
hal yang sama untuk jenis Bruguiera gymnorrhiza yang sudah sangat jarang
ditemukan.
Kerapatan pada suatu ekosistem mangrove berpengaruh pada biota yang
berasosiasi didalamnya. Dalam Skilleter and Warren (1999), ekosistem mangrove
digunakan sebagai tempat perlindungan biota yang hidup didalamnya seperti,
ikan, moluska. Kerapatan vegetasi mangrove dalam suatu ekosistem memberikan
perlindungan terhadap biota yang menempati tempat ini dari faktor alam dan
hewan predator. Hal ini membuat ekosistem mangrove sering digunakan sebagai
tempat memijah dan mengasuh bagi berbagai organisme yang berasosiasi
didalamnya. Hal ini dibuktikan oleh Crowder and Cooper (1979, 1982) dalam
Spitzer, et al (1999) yang menyatakan bahwa kepadatan makropita memengaruhi
pertumbuhan ikan. Pertumbuhan ini dipengaruhi oleh hewan predator dan
pemanfaatan yang berlebihan. Melihat akan kedua studi diatas maka dapat
disimpulkan bahwa kerapatan mempunyai manfaat tak langsung yang berarti bagi
organisme yang ada didalamnya
Tabel 13. Kerapatan Dan Kerapatan Relatif Jenis Mangrove
Pohon Pancang Semai Jenis
Di RDi Di RDi Di RDi Avicennia lanata 26,19 6,29 19,05 4,35 11,90 2,49 Avicennia marina * * 59,52 13,59 107,14 22,39 Avicennia officinalis 190,48 45,71 138,10 31,52 173,81 36,32 Bruguiera gymnorrhiza 30,95 7,43 * * * * Rhizophora apiculata * * 38,10 8,70 16,67 3,48 Sonneratia alba 164,29 39,43 147,62 33,70 152,38 31,84 Xylocarpus granatum 4,76 1,14 35,71 8,15 16,67 3,48
Sumber : Hasil olahan data primer 2007
Nilai dari frekuensi relatif dapat menggambarkan penyebaran suatu spesies
yang ada pada satu ekosistem. Hasil analisis tertera pada Tabel 14. Nilai frekuensi
45
tertinggi pada tingkat pohon ada pada jenis Avicennia officinalis (42,37%)
sedangkan nilai terendah berasal dari jenis Xylocarpus granatum (1,69%). Lain
halnya pada tingkat pancang nilai tertinggi ada pada jenis Sonneratia alba
(36,36%) dan yang terendah ada pada jenis Avicennia lanata (5,45%), sedangkan
untuk tingkat semai nilai frekuensi tertinggi ada pada jenis Avicennia officinalis
dan Sonneratia alba sebesar (35,14%) dan nilai terendah ada pada jenis Avicennia
lanata (5,14%). Tingginya nilai frekuensi pada Avicennia officinalis dan
Sonneratia alba mengindikasikan bahwa jenis ini melimpah pada ekosistem
mangrove sedangkan jenis Avicennia lanata dan Xylocarpus granatum jarang
ditemukan di ekosistem mangrove Desa Blongko. Hal yang serupa diperlihatkan
dengan tidak ditemukannya jenis Bruguiera gymnorrhiza yang hanya terdapat
pada tingkatan pohon.
Tabel 14. Frekuensi dan Frekuensi Relatif Jenis Mangrove Pohon Pancang Semai
Jenis Fi RFi Fi RFi Fi RFi
Avicennia lanata 0,10 6,78 0,07 5,45 0,05 5,41
Avicennia marina * * 0,14 10,91 0,14 16,22
Avicennia officinalis 0,60 42,37 0,33 25,45 0,31 35,14
Bruguiera gymnorrhiza 0,14 10,17 * * * *
Rhizophora apiculata * * 0,14 10,91 0,05 5,41
Sonneratia alba 0,55 38,98 0,48 36,36 0,31 35,14
Xylocarpus granatum 0,02 1,69 0,14 10,91 0,02 2,70
Sumber : Hasil olahan data primer 2007
Penutupan relatif tertinggi pada tingkat pohon terlihat pada jenis Sonneratia alba
(64,32%) diikuti oleh jenis Avicennia officinalis , Avicennia lanata, Bruguiera
gymnorrhiza, dan Xylocarpus granatum yang nilai dari masing-masing jenis secara
berurutan adalah 23,42%, 7,35%, 3,06%, dan nilai yang terendah 1,85%. Sedangkan pada
tingkat pancang nilai tertinggi terlihat pada jenis Avicennia officinalis (45,48%) diikuti oleh
jenis Sonneratia alba (28,39%), Avicennia marina (9,92%), Rhizophora apiculata (7,22%),
Xylocarpus granatum (6,60%) dan yang terkecil adalah Avicennia lanata (2,40%) (Tabel
15). Jenis yang dominan memiliki produktivitas yang besar dimana dalam menentukan
suatu jenis vegetasi dominan yang perlu diketahui adalah diameter batang (Odum, 1994).
Jenis dan umur dari pohon sangat menentukan besarnya diameter batang yang
memengaruhi penutupan dan penutupan relatif, selain itu faktor alam dan ketersedian
46
nutrien di ekosistem mangrove juga merupakan salah satu faktor pendukungnya.
Penutupan relatif yang kecil yang terlihat pada beberapa jenis diakibatkan karena jenis-
jenis tersebut oleh masyarakat sering digunakan dalam keperluan sehari-hari. Mangrove
dengan diameter batang yang besar akan lebih mudah dikeringkan untuk keperluan rumah
tangga dibandingkan mangrove yang diameter pohonnya kecil.
Tabel 15. Penutupan dan Penutupan Relatif Jenis Mangrove Pohon Pancang
Jenis Ci RCi Ci RCi
Avicennia lanata 3.47 7.35 0.03 2.40 Avicennia marina * * 0.11 9.92 Avicennia officinalis 11.08 23.42 0.50 45.48 Bruguiera gymnorrhiza 1.45 3.06 * * Rhizophora apiculata * * 0.08 7.22 Sonneratia alba 30.42 64.32 0.32 28.39 Xylocarpus granatum 0.88 1.85 0.07 6.60
Sumber : Hasil olahan data primer 2007
Indeks nilai penting (INP) yang ada pada suatu ekosistem mangrove akan
menggambarkan pengaruh dan peranan suatu jenis dalam suatu komunitas. Indeks
nilai penting yang tertinggi pada tingkatan pohon adalah jenis Sonneratia alba
(142,73%) dan yang terendah adalah Xylocarpus granatum (4,69%). Lain halnya
ditingkat pancang, INP tertinggi terlihat pada jenis Avicennia officinalis
(102,45%) dan yang terendah adalah jenis Avicennia lanata (12,20%). Pada
tingkatan semai INP tertinggi terlihat pada jenis Avicennia officinalis (71,45) dan
yang terendah adalah jenis Xylocarpus granatum (6,19%). Rendahnya INP pada
jenis tertentu mengindikasikan bahwa jenis ini kurang mampu bersaing dengan
lingkungan yang ada disekitarnya serta jenis lainnya. Rendahnya ketahanan
terhadap gejala alam serta besarnya eksploitasi mengakibatkan jenis-jenis tersebut
berkurang dari tahun ke tahun. Dalam Tokuyama dan Arakaki (1988) penurunan
jumlah vegetasi pada beberpa jenis mangrove sepanjang Sungai Nakama di
Jepang dikarenakan beberapa jenis mangrove tidak mampu bertahan akibat
adanya pencemaran.
Indeks nilai penting pada ekosistem mangrove Desa Blongko dipengaruhi
oleh jumlah individu yang ada pada ekosistem ini, hal ini dapat dilihat pada Tabel
12 dan 16 dimana angka tertinggi dan terendah masing-masing kelompok juga
47
spesies terlihat sama. Tabel 16 akan memperlihatkan indeks nilai penting dari
masing-masing tingkatan dan jenis mangrove Desa Blongko.
Tabel 16. Indeks Nilai Penting Masing-masing Tingkatan dan Jenis.
Nilai Penting Spesies (IVi) Jenis Pohon Pancang Semai
Avicennia lanata 20,41 12,20 7,89 Avicennia marina * 34,41 38,60 Avicennia officinalis 111,51 102,45 71,45 Bruguiera gymnorrhiza 20,66 * * Rhizophora apiculata * 26,82 8,89 Sonneratia alba 142,73 98,45 66,98 Xylocarpus granatum 4,69 25,66 6,19
Jumlah 300,00 300,00 200,00 Sumber : Hasil olahan data Primer 2007.
Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominasi
Gambaran mengenai struktur organisme berupa persekutuan (assemblages)
spesies dalam komunitas dapat dilihat dari indeks keanekaragaman. Pada penelitian
ini hasil analisis terhadap vegetasi mangrove di Desa Blongko menunjukkan indeks
keanekaragaman sebesar 1,01. Dari hasil yang diperoleh maka dapat dikatakan
bahwa keanekaragaman jenis mangrove di Desa Blongko masih rendah. Rendahnya
keanekaragaman di desa ini dikarenakan rentannya ekosistem ini terhadap tekanan
yang datang dari kegiatan manusia dan gejala alam. Adanya jenis mangrove yang
dijadikan target dalam pemanfaaatan membuat jenis tertentu mengalami penurunan
jumlah populasi. Jenis Bruguiera sp adalah jenis yang sudah jarang ditemukan.
Menurut cerita masyarakat jenis ini dulunya ada beberapa macam, akibat dari
seringnya ditebang maka ada jenis yang sudah tidak didapati lagi sekarang ini.
Faktor-faktor pembatas seperti faktor fisika dan kimia serta kompetisi
interspesies sangat memengaruhi nilai keanekaragaman (Odum, 1994). Dengan
memperhatikan keanekaragaman dalam komunitas maka dapat diperoleh
gambaran tentang kedewasaan organisasi suatu komunitas, makin tinggi
organisasi di dalam suatu komunitas tersebut maka keadaannya lebih baik.
Dengan indeks keanekaragaman yang stabil maka masing-masing jenis akan
berkesempatan untuk dapat melangsungkan daur hidup yang lebih teratur, efisien,
dan produktif (Soeriatmadja, 1981 dan Kramadibrata, 1975 )
48
Keanekaragaman spesies cenderung rendah dalam ekosistem-ekosistem
yang secara fisik dan kimia mendapat tekanan dan akan cenderung tinggi apabila
dalam ekosistem diatur oleh alam dan kurang mendapat tekanan. Nilai
keanekaragaman yang kecil terdapat pada daerah dengan lingkungan yang
ekstrem, sedangkan nilai keanekaragaman yang sedang dan tinggi akan
memberikan kesempatan terhadap masing-masing jenis untuk melangsungkan
daur kehidupan yang lebih teratur, efisisen, dan produktif (Resosoedarmo, et al.
1980). Dalam Tokuyama dan Arakaki (1988) menurunnya keanekaragaman jenis
pada ekosistem mangrove diakibatkan oleh perubahan fisik dan kimia ekosistem
mangrove, akibatnya beberapa jenis mangrove mati dan terjadi dominasi pada
jenis mangrove yang mampu bertahan pada situasi yang ekstrim ini. Sukardjo
(2002) menambahkan bahwa beberapa faktor yang mengakibatkan menurunnya
keanekaragaman mangrove di Indonesia adalah pemanfaatan jenis mangrove
tertentu oleh masyarakat pesisir dan akibat perubahan yang ekstrim terhadap
ekosistem itu sendiri.
Nilai keseragaman yang dianalisis pada vegetasi mangrove yang ada di
Desa Blongko menunjukkan angka 0,72. Nilai keseragaman ini menunjukkan
bahwa jumlah individu setiap jenis tidak jauh berbeda. Hal ini juga
digambarkan oleh nilai dominasi sebesar 0,42 yang mengindikasikan bahwa
tidak ada jenis yang mendominasi pada kawasan mangrove ini.
Kondisi Fisik dan Kimiawi Perairan Ekosistem Mangrove
Data salinitas, suhu, dan derajat keasaman dapat dilihat pada Lampiran 1.
Suhu lingkungan dan perairan pada ekosistem mangrove berkisar antara 29oC –
31,5oC, sedangkan untuk derajat keasaman berkisar antara 6,5 – 7, dan untuk
salinitas berkisar antara 27 PSU – 35 PSU. Kondisi fisik ini dipengaruhi oleh
beberapa aliran sungai yang bermuara di Teluk Blongko.
Mangrove merupakan tumbuhan yang memiliki kemampuan toleransi
terhadap kisaran salinitas yang luas. Mereka juga dapat bertahan hidup pada
lingkungan pantai yang sering kali tidak digenangi oleh air laut . Avicennia spp.
merupakan jenis yang paling memiliki kemampuan toleransi tinggi terhadap
kisaran salinitas yang luas dibandingkan dengan jenis lainnya. Avicennia marina
49
mampu tumbuh dengan baik pada salinitas yang mendekati air tawar sampai
dengan salinitas 90 PSU. Pada kondisi salinitas yang ekstrim ini, pohon tumbuh
kerdil, kemampuan untuk menghasilkan buah menjadi hilang (McNae dalam Noor
et al.1999). Namun demikian, tumbuhan mangrove tidak dapat bertumbuh pada
lingkungan yang benar-benar tawar. Kondisi ini juga dapat dilihat pada ekosistem
mangrove di Desa Blongko dimana jenis Avicennia officinalis dan Avicennia
marina memiliki jumlah individu yang banyak dibandingkan yang lain.
Kemampuan jenis ini beradaptasi dengan lingkungan membuat jenis ini memiliki
jumlah individu yang stabil pada masing-masing kelompok.
Kondisi fisik yang ada pada ekosistem mangrove di Desa Blongko dapat
dikatakan dalam kondisi yang baik. Semua variabel yang diukur memberikan
gambaran bahwa kondisi fisik perairan ekosistem mangrove belum banyak
mendapatkan tekanan fisik, baik oleh alam ataupun pencemaran.
Pelestarian Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat
Karakteristik Masyarakat
Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat di pesisir
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Karakteristik masyarakat adalah salah satu
faktor yang memengaruhi partisipasi masyarakat pesisir terhadap pengelolaan
sumberdaya alam yang ada disekitar kawasan tersebut. Beberapa indikator
karakteristik masyarakat diamati dalam penelitian ini khususnya karakteristik
yang berhubungan dengan pelestarian ekosistem mangrove di Desa Blongko.
Pendidikan
Dalam penelitian ini tingkat pendidikan yang dilihat adalah tingkat
pendidikan formal dari responden. Peningkatan kecerdasan dan ketrampilan
seseorang sangat dipengaruhi oleh pendidikan formal yang didapati semasa
hidupnya. Melalui pendidikan seseorang diharapkan dapat berpikir rasional,
sistematis dan bijaksana dalam menyikapi berbagai masalah yang ada. Seseorang
yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan lebih peka
terhadap menganalisis suatu kegiatan terhadap hasil yang akan diperoleh.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat Desa
Blongko hanya mendapatkan pendidikan sampai tingkat SD. Hal ini dilihat dari
persentasi responden yang menunjukkan 53% dari responden hanya sampai pada
50
tingkat SD, dan lebih memprihatinkan lagi ada sekitar 12% responden yang tidak
sempat mendapat pendidikan ataupun menamatkan sekolah dasar. Pada tingkat
SMP, SMA, dan perguruan tinggi secara berurutan persentasi masing-masing
adalah 20%, 12%, dan 3% (Tabel 17). Tingkat pendidikan masyarakat Desa
Blongko masih tergolong rendah, mengakibatkan kemampuan berfikir dan
berinisiatif masih sangat terbatas dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada. Salah
satu kendala dalam pengembangan partisipasi masyarakat dalam strategi
pelestarian ekosistem mangrove adalah rendahnya tingkat pendidikan. Hal ini
akan berdampak terhadap perilaku masyarakat yang kurang memperdulikan
lingkungan sebagai habitat hidupnya serta rendahnya kesadaran masyarakat untuk
berperan aktif dalam berbagai kegiatan yang menyangkut pelestarian ekosistem
mangrove.
Tabel 17. Karakteristik Responden Jumlah Karakteristik Uraian Jiwa %
Petani 64 64 Nelayan 20 20 Pegawai Negeri/TNI 4 4 Peternak 3 3 Tukang 5 5 Pedagang 2 2
Pekerjaan
Pegawai Swasta 2 2 Kurang dari 20 20 20 21 – 30 31 31 31 – 40 29 29 41 – 50 11 11
Umur (Tahun)
Lebih dari 50 9 9 Tidak sekolah/tidak tamat SD 12 12 SD 53 53 SMP 20 20 SMA 12 12
Pendidikan
Perguruan Tinggi 3 3 Kurang dari 500.000 44 44 500.000-1000.0000 46 46 Penghasilan
(Rp/bulan) diatas 1000.000 10 10 Kurang dari 10 13 13 11 - 20 tahun 35 35 21 - 30 tahun 42 42 Lama Tinggal
Lebih dari 30 10 10 Sumber : Hasil olahan data primer 2007
Mata Pencaharian
Masyarakat Desa Blongko sebagian besar bermata pencaharian sebagai
petani. Ketergantungan terhadap musim dan kondisi lingkungan menjadi faktor
pembatas pada masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan.
51
Daerah perbukitan yang subur serta ketersediaan sumberdaya perairan yang
melimpah adalah alasan mengapa penduduk desa ini lebih memilih pekerjaan ini.
Jumlah responden yang bermata pencaharian sebagai petani sebesar 64%, angka
ini adalah yang tertinggi diikuti oleh nelayan (20%), tukang (5%), pegawai
negeri/TNI (4%), peternak 3(%), dan yang terendah adalah pedagang dan swasta
sebesar 2% (Tabel 17).
Selain pekerjaan-pekerjaan pokok tersebut ada beberapa responden yang
memiliki pekerjaan sampingan. Sebagai contoh pada musim ombak sebagian
nelayan beralih profesi sebagai petani musiman walaupun hanya sebagai buruh
harian. Kondisi masyarakat yang memiliki beragam mata pencaharian tentunya
menyebabkan tingkat partisipasi dan pelestarian terhadap ekosistem mangrove
yang berbeda. Partisipasi masyarakat untuk pelestarian ekosistem mangrove
dirasakan dapat memengaruhi waktu kerja pada masing-masing sektor. Selain itu
manfaat dari berpartisipasi dirasakan kurang menguntungkan dibandingkan
dengan bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Penghasilan
Tabel 17 memperlihatkan bahwa jumlah penghasilan responden yang
terbanyak berkisar antara Rp.500.00-Rp.1.000.000. Untuk masa sekarang dengan
peningkatan harga kebutuhan pokok yang tinggi, tentu saja jumlah penghasilan ini
tergolong rendah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Empat puluh empat
persen dari jumlah responden hanya berpenghasilan kurang dari Rp.500.000 per
bulan. Sedangkan yang berpenghasilan diatas Rp.1.000.000 hanya 10% dari total
responden. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa penghasilan rata-rata masyarakat
Desa Blongko masih terlalu rendah. Penghasilan yang minim membuat
ketergantungan terhadap sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup
semakin tinggi dan menjadi ancaman terhadap sumberdaya yang ada.
Umur
Kisaran umur responden pada penelitian ini adalah 18 tahun sampai
dengan 63 tahun. Responden yang terbanyak berkisar 21-30 tahun sebanyak 31%,
diikuti usia 31-40 tahun (29 %), kurang dari 20 tahun (20%), 41-50 tahun (11%),
dan yang terendah adalah usia diatas 50 tahun (9%) (Tabel 17).
52
Tingginya persentasi responden yang berusia 21–40 tahun
mengindikasikan bahwa desa ini memiliki tingkat produktifitas yang baik dalam
ketersedian sumberdaya manusia yang poduktif. Angka ini sangat memengaruhi
partisipasi masyarakat dalam kegiatan pelestarian ekosistem mangrove dan
kegiatan pembangunan lainnya yang ada di desa ini. Pada usia produktif ini
masyarakat akan lebih mudah untuk menerima masukan ataupun saran untuk
kemajuan mereka di masa depan. Dalam hubungannya dengan partisipasi
masyarakat dalam kegiatan pelestarian orang berusia produktif akan lebih mudah
diajak untuk bergabung dibandingkan orang yang berusia lanjut. Alasan untuk
meningkatkan pendapatan menuju kepada masa depan yang lebih baik melalui
pelestarian ekosistem mangrove dapat menjadi pemicu untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat desa ini.
Lama Tinggal
Penelitian ini menunjukkan bahwa 42% responden telah menghuni desa ini
selama 21-30 tahun. Diikuti oleh 35% responden yang lama tinggalnya berkisar 11-20
tahun, 13% dibawah 10 tahun, dan 10% diatas 30 tahun (Tabel 17). Sebagian responden
menunjukkan angka yang sama terhadap umur responden itu sendiri. Hal ini
mengindikasikan penduduk yang tinggal di Desa Blongko merupakan penduduk asli dan
hanya sebagian yang merupakan pendatang di Desa Blongko. Faktor lama tinggal
seseorang pada suatu daerah akan memungkin orang tersebut memiliki status sosial
ataupun status ekonomi tertentu.
Lama tinggal seseorang pada suatu tempat akan memengaruhi tingkat partisipasi
dalam kegiatan bermasyarakat. Seseorang yang telah lama menempati suatu tempat akan
lebih memahami pola pikir masyarakat setempat, baik dalam kerjasama antar warga
ataupun antar desa. Dari penelitian ini dapat diindikasikan bahwa orang yang memiliki
lama tinggal yang lebih lama lebih aktif dalam berpartisipasi untuk menjaga dan
melestarikan lingkungan.
53
Partisipasi dan Pemahaman Masyarakat Terhadap Ekosistem Mangrove
Partisipasi yang diidentifikasi dalam penelitian ini diartikan sebagai
keikutsertaan atau keterlibatan masyarakat Desa Blongko dalam kegiatan
pengelolaan ekosistem mangrove berupa upaya pemanfaatan yang lestari demi
keberlanjutan sumberdaya yang ada di ekosistem mangrove. Beberapa kriteria
penilaian dibuat untuk mempermudah identifikasi terhadap tahapan kegiatan
pelestarian dan pemahaman masyarakat terhadap ekosistem mangrove. Penilaian
terhadap kriteria ini adalah dengan menggali informasi tentang semua kegiatan
yang menyangkut usaha pelestarian yang pernah dilakukan di Desa Blongko
dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir ini. Ada tiga kegiatan yang dilaksanakan
dalam upaya pelestarian yaitu pada tahun 2000, 2003, dan 2006. Kegiatan-
kegiatan ini masih diprakarsai oleh pemerintah dalam hal ini Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) dibantu LSM dan Perguruan Tinggi sebagai
lembaga-lembaga yang mendampingi DPL di Desa Blongko.
Sosialisasi, perencanaan, dan pelatihan
Partisipasi pada tahap ini dilihat dari keikutsertaan masyarakat dalam
kegiatan-kegiatan awal sebelum suatu program dilaksanakan. Dalam tahap ini
masyarakat diminta aktif untuk memberikan saran, sanggahan ataupun pertanyaan
yang menyangkut kegiatan yang akan dilaksanakan. Selain itu juga keterlibatan
para responden pada tahapan sosialisasi, perencanaan, dan pelatihan dinilai dari
keterlibatan dalam mengikuti organisasi, turut ambil bagian dalam seluruh
rangkaian kegiatan perencanaan dana turut mengikuti diskusi-diskusi yang
menyangkut kegiatan pelestarian ekosistem mangrove serta kegiatan pelatihan
teknik penanaman mangrove. Dari Tabel 18 dapat dilihat bahwa pada tahapan
sosialisasi masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi tinggi sangat sedikit
dibandingkan yang sedang dan rendah. Hanya 12% dari responden yang memiliki
kepekaan yang tinggi pada tahap ini, sedangkan masyarakat yang memiliki tingkat
partispasi yang rendah masih mencapai 35%, dan yang paling besar adalah tingkat
partisipasi masyarakat yang sedang (53%).
Tingkat partisipasi yang rendah pada tahap sosialisasi, perencanan, dan
pelatihan disebabkan informasi terhadap kegiatan ini biasanya hanya berpusat
pada masyarakat yang tinggal di dekat kantor desa ataupun rumah kepala desa.
54
Adanya kecemburuan sosial diantara masyarakat terjadi karena kurang melibatkan
masyarakat yang tinggal jauh dari pusat desa, membuat sebagian masyarakat merasa
bahwa kegiatan ini kurang begitu penting untuk diikuti. Selain itu juga adanya pro dan
kontra masyarakat terhadap DPL membuat tahapan ini kurang begitu berhasil dalam
pelaksanaannya. Pada tahapan ini masyarakat akan mendapatkan imbalan uang dari
pihak pelaksana kegiatan apabila hadir dan mengisi daftar hadir. Hal ini membuat
masyarakat selalu berpikir bahwa usaha pelestarian itu hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari masih sangat rendahnya inisiatif sendiri dari
masyarakat untuk ambil bagian dalam kegiatan pelestarian ekosistem mangrove.
Pemahaman yang salah tentang konsep daerah perlindungan laut berbasis masyarakat
membuat masyarakat berpikir DPL akan dikelola apabila ada dana dari pemerintah
ataupun bantuan proyek untuk biaya operasional DPL. Pemahaman ini harus dibenahi
agar konsep PSWP-BM dapat terlaksana dengan baik.
Ketidakberhasilan DPL yang ada di Sulawesi Utara disebabkan oleh rendahnya
pemahaman masyarakat tentang arti pentingnya pelestarian ekosistem pesisir bagi
lingkungan dan manusia. Dalam Wantasen (2002) dan Manembu (2004) dapat dilihat
bahwa kendala yang dihadapi DPL Desa Talise, Pulau Gangga, dan Pulau Bangka
adalah rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya pelestarian ekosistem
pesisir serta rendahnya tingkat partisipasi berbasis masyarakat.
Tabel 18. Partisipasi Masyarakat dan Tingkat Pemahaman Terhadap Ekosistem Mangrove
Jumlah Responden Kriteria Penilaian
Tingkat Partisipasi Jiwa % Kategori
Tinggi 12 18,00 Sedang 53 47,00 Sosialisasi, Perencanaan
dan pelatihan Rendah 35 35,00 Rendah
Tinggi 15 15,00 Sedang 51 51,00 Pelaksanaan Program Rendah 34 34,00
Rendah
Tinggi 8 8,00 Sedang 24 24,00 Evaluasi dan pengawasan Rendah 68 68,00
Rendah
Tinggi 3 3,00 Sedang 18 18,00 Inisiatif sendiri Rendah 79 79,00
Rendah
Tinggi 31 31,00 Sedang 35 35,00 Pemahaman terhadap
ekosistem mangrove Rendah 34 34,00 Rendah
Sumber : Hasil olahan data analisis,2007
55
Pelaksanaan Program
Pada tahap ini yang menjadi penilaian terhadap partisipasi masyarakat
adalah keterlibatan dalam kegiatan penanaman mengrove. Diawali dari survei
lokasi penanaman, pemilihan bibit, sampai pada teknik penanaman. Frekuensi
dalam tahap pelaksanaan kegiatan, pelibatan anggota keluarga dan tetangga
menjadi salah satu kriteria penilaian dalam penentuan tingkat partisipasi
masyarakat.
Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan program
sangat dipengaruhi oleh tingkat partisipasi masyarakat pada tingkat perencanaan.
Disebabkan minimnya dana untuk kegiatan ini maka jumlah masyarakat yang
diikut sertakan juga terbatas. Walaupun angka partisipasi masyarakat pada tingkat
tinggi mengalami kenaikan 3% dibandingkan tahap perencanaan, tetapi pada
tingkat yang sedang mengalami penurunan 2% atau hanya 51% dan tingkat rendah
mengalami penurunan 1% (34%) (Tabel 18). Walaupun demikian masyarakat
yang tidak diikut sertakan dalam tahap perencanaan terkadang mengambil bagian
dalam kegiatan pelaksanaan ini dengan harapan akan mendapat uang setelah
kegiatan ini selesai. Sebagai hasilnya masyarakat yang tidak terdaftar dalam
kegiatan ini tidak diberikan uang karena alokasi dana hanya diperuntukkan bagi
mereka yang namanya terdaftar dalam daftar hadir yang telah ditentukan oleh
pihak penyelenggara. Pengalaman ini yang membuat partisipasi masyarakat pada
kegiatan-kegiatan pelestarian berikutnya mengalami penurunan jumlah partisipan.
Menurut beberapa responden yang kecewa terhadap kinerja pelaksana kegiatan
bahwa masyarakat yang sering diikut sertakan hanyalah terangkat desa dan orang-
orang terdekatnya sedangkan masyarakat jaga 1 sampai jaga 4 kurang dilibatkan.
Masalah yang terjadi akibat adanya kecemburuan sosial antar masyarakat dan
pengelola dapat dilakukan dengan perbaikan terhadap sistem dalam pengelolaan
DPL berbasiskan masyarakat yang seharusnya dapat mewakili semua lapisan
masyarakat. Dengan perbaikan sistem dan peningkatan penyadaran kepada
masyarakat tentang arti penting dari pelestarian mangrove niscaya tingkat
partisipasi masyarakat akan meningkat pada tahun-tahun yang akan datang.
56
Evaluasi dan Pengawasan
Tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan evaluasi dan pengawasan
terhadap program yang telah dilaksanakan dilihat dari keterlibatan dalam
pemeliharaan, pengawasan, mengganti bibit yang mati setelah ditanam, dan
intensitas kehadiran dalam pertemuan untuk mengevaluasi hasil kegiatan. Tabel
18 memperlihatkan tingkat partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi dan
pengawasan terhadap kegiatan pelestarian ekosistem mangrove di Desa Blongko.
Dapat dikatakan bahwa partisipasi masyarakat di Desa Blongko pada tahap ini
tergolong rendah. Hanya 8% yang masuk dalam kategori partisipasi yang tinggi,
24% untuk kategori sedang, dan 68% untuk kategori rendah. Evaluasi yang
dilakukan terhadap seluruh DPL selama ini tidak dilakukan dengan baik. Ini
diindikasikan dengan kurangnya data dari seluruh program yang telah ditetapkan
sebelumnya seperti data hasil tangkapan, dan data keberhasilan penanaman
mangrove.
Rendahnya partisipasi masyarakat pada tahap ini disebabkan tahapan ini
hanya diprakarsai oleh aparat desa dan pengelola DPL. Masyarakat kurang
mengambil bagian pada tahap ini karena pada kegiatan ini pembagian uang seperti
tahap-tahap sebelumnya sudah tidak ada lagi. Masyarakat beranggapan bahwa
tahap evaluasi dan pengawasan ini hanya menjadi tanggung jawab aparat desa dan
pengelola DPL saja, padahal pada tahap ini sangat dibutuhkan partisipasi dari
semua masyarakat untuk mengawasi hasil kegiatan selama ini.
Peningkatan partisipasi pada tahap ini dapat dilakukan dengan cara
pendekatan terhadap kelompok-kelompok agama seperti kelompok pengajian,
kelompok nelayan, ataupun petani dalam mengevaluasi semua kegiatan yang telah
dilakukan. Hasil dari pertemuan di kelompok kecil ini kemudian dibahas dalam
rapat desa yang dihadiri oleh semua masyarakat. Masyarakat dituntut untuk aktif
dan berperan serta dalam kegiatan ini mengingat semua permasalahan yang timbul
dari kegiatan pelstarian ekosistem mangrove menjadi tanggung jawab bersama.
Peningkatan pada tahap evaluasi akan menimbulkan rasa memiliki dan tanggung
jawab terhadap semua kegiatan yang telah dilakukan demi keberhasilan suatu
program pelestarian. Hal yang ini sering terjadi pada beberapa desa pesisir di
Sulawesi Utara, antara lain desa Likupang II dan Desa Gangga, Talise, dan
57
Bangka serta pada masyarakat di kawasan Teluk Pangpang Banyuwangi. Dimana
pada tahap ini partisipasi masyarakat sangat rendah dibandingkan tahap-tahap
lainnya (Manembu, 2004 dan Nazili, 2004).
Partisipasi Atas Inisiatif Sendiri
Partisipasi masyarakat atas inisiatif sendiri dinilai dari inisiatif melakukan
penanaman, memelihara, dan menyediakan bibit tanaman mangrove serta aktif
dalam mengikuti pertemuan-pertemuan yang diadakan di balai desa tanpa dibayar
ataupun ada pengumuman sebelumnya. Masyarakat yang memiliki inisiatif ini
kebanyakan bermata pencaharian sebagai nelayan yang sudah mulai mengerti arti
pentingnya mangrove untuk melindungi pantai, serta mempunyai fungsi ekologis
lainnya yang berdampak terhadap tempat tinggal juga mata pencaharian mereka.
Partisipasi masyarakat atas inisiatif di Desa Blongko masih sangat rendah.
Hal ini terlihat dari 79% responden tergolong pada tingkat rendah dalam
partisipasi masyarakat, 18% pada tingkat sedang, dan hanya 3% pada tingkat
partisipasi yang tinggi. Peningkatan pemahaman akan fungsi dari ekosistem
mangrove, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memiliki
inisiatif dalam upaya melestarikan sumberdaya pesisir khususnya ekosistem
mangrove.
Pemahaman Terhadap Ekosistem Mangrove
Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya suatu ekosistem
pesisir akan meningkatkan keberhasilan pengelolaan serta pembangunan pada
suatu kawasan. Penilaian terhadap pemahaman masyarakat terhadap ekosistem
mangrove dilihat dari pengetahuan masyarakat dan tanggapan masyarakat
terhadap kondisi sekarang dan masa lalu, pengetahuan akan peraturan yang
berlaku terhadap ekosistem mangrove, dan pengetahuan akan fungsi mangrove
bagi lingkungan dan manusia yang memanfaatkan mangrove serta bahaya dari
degradasi kawasan mangrove. Tabel 18 menunjukkan 31% masyarakat memiliki
tingkat pemahaman yang tinggi terhadap ekosistem mangrove, 35% memiliki
tingkat pemahaman yang sedang dan 34% masih rendah pemahamannya terhadap
ekosistem mangrove.
58
Hasil ini mengkategorikan tingkat pemahaman masyarakat Desa Blongko
terhadap ekosistem mangrove dalam kategori rendah. Pemahaman akan fungsi
ekosistem mangrove dari hasil wawancara mengindikasikan bahwa masyarakat
Desa Blongko memiliki pengetahuan yang belum baik, akan tetapi untuk masalah
peraturan yang berlaku di desa ini terdapat sedikit kesalahpahaman yang ada di
masyarakat. Sampai saat ini masyarakat masih beranggapan bahwa kawasan yang
perlu dilindungi hanyalah kawasan DPL sedangkan di luar itu dapat dimanfaatkan.
Selain itu juga manfaat ekosistem mangrove seperti daerah asuhan dan
pembenihan, pelindung pantai, dan penyuplai nutrien terhadap kawasan pesisir
masih kurang dipahami oleh sebagian masyarakat. Hampir semua pemahaman
masyarakat terhadap fungsi ekosisitem mangrove lebih mengarah pada fungsi
ekosistem mangrove dari sudut pandang ekonomi. Pemahaman ini yang membuat
tekanan terhadap ekosistem mangrove yang telah melebihi daya dukung yang
dimiliki suatu kawasan mangrove, akibatnya adalah degradasi terhadap ekosistem
mangrove yang berdampak terhadap lingkungan dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat itu sendiri.
Ekosistem mangrove yang terdapat pada kawasan pesisir Desa Blongko
dalam kegiatan pelestarian memerlukan strategi. Melalui penelitian ini dapat
dilihat bahwa kinerja suatu strategi dapat ditentukan oleh kombinasi beberapa
faktor berbagai dimensi. Pelestarian ekosistem mangrove memerlukan proses
analisis yang berkesinambungan dan dapat mengakomodir semua aspek yang
berkaitan didalamnya. Dimensi pembangunan berkelanjutan seperti ekologi,
ekonomi, sosial, dan governance diarahkan untuk menuju ke pengelolaan
ekosistem mangrove. Data pendukung yang telah diperoleh dari masing-masing
indikator pembangunan berkelanjutan akan membantu dalam pembuatan strategi
pelestarian ekosistem mangrove yang terdapat di Desa Blongko. Setelah strategi
pelestarian ekosistem mangrove dibuat maka penjabaran masing-masing strategi
ini diperlukan untuk mengatasi berbagai ancaman dan kendala dalam pelestarian
ekosistem mangrove di Desa Blongko.
59
Faktor Penyebab Kerusakan Ekosistem Mangrove
Pemanfataan ekosistem mangrove yang bersifat destruktif
Tingkat kerusakan mangrove yang diakibatkan oleh kegiatan antropogenik
lebih besar dibandingkan oleh gejala alam. Penebangan hutan mangrove oleh
masyarakat diakibatkan meningkatnya kebutuhan kayu bakar ditengah mahalnya
bahan bakar minyak (BBM). Selain itu mangrove juga digunakan sebagai bahan
untuk pengawetan tali untuk keperluan perahu ataupun kapal, dan lebih ironis lagi
mangrove ditebang hanya untuk membuat jalan masuk bagi perahu masyarakat.
Kawasan mangrove Desa Blongko sering dijadikan lahan untuk tempat
pembuangan sampah, bahkan beberapa rumah tangga yang belum memiliki
fasilitas MCK menggunakan kawasan mangrove sebagai tempat membuang hajat.
Pengambilan kayu oleh masyarakat melalui wawancara dari responden
mengindikasikan bahwa pemanfaatan kayu oleh masyarakat masih menjadi
alternatif dalam pemenuhan keperluan rumah tangga. Dari 100 responden 43
orang masih menggunakan kayu sebagai bahan bakar, pemakaian kayu setiap
bulannya dapat mencapai 3 – 4 karung. Penggunaan kayu oleh masyarakat
diakibatkan oleh ketidakmampuan masyarakat untuk membeli minyak tanah
sebagai bahan bakar. Yang lebih memprihatinkan 76% dari jumlah responden
tidak memiliki tempat pembuangan sampah dan menjadikan ekosistem mangrove
sebagai tempat sampah. Setiap harinya sekitar 3 – 4 Kg sampah organik dan
nonorganik dibuang pada ekosistem mangrove. Budaya masyarakat yang belum
menyadari akan fungsi ekosistem mangrove ini telah berlangsung lama bahkan
sudah turun temurun.
Satwa yang memiliki nilai tinggi untuk dieksploitasi seperti burung maleo
terancam keberadaannya di daerah pesisir Desa Blongko. Telur burung maleo
biasanya dikonsumsi dan oleh sebagian masyarakat dipercaya dapat mengobati
berbagai macam penyakit. Kepiting bakau dan beberapa jenis kerang yang hidup
didaerah mangrove sering juga diambil untuk dikonsumsi ataupun dijual.
Bahayanya pengambilan fauna dan satwa yang ada di tempat ini menggunakan
cara-cara yang destruktif dan tidak memperhatikan daya regenerasi dari biota-
biota yang dimanfaatkan. Penurunan jumlah satwa yang ada pada ekosistem
mangrove sangat dirasakan oleh masyarakat yang sering memanfaatkannya. Salah
60
satu contoh adalah menurunnya jumlah hasil tangkapan kepiting bakau, udang,
dan kerang darah. Empat puluh dua persen dari jumlah responden mengatakan
bahwa pada tahun-tahun sebelumnya jumlah tangkapan kepiting bakau dalam dua
hari menggunakan lima perangkap dapat mencapai 5 – 7 Kg sedangkan pada masa
sekarang hanya bisa mencapai 2 – 4 Kg. Penyebab penurunan hasil tangkapan ini
adalah rusaknya habitat dan intensitas pemanfaatan yang tinggi oleh masyarakat.
Masyarakat belum memahami pentingnya regenerasi suatu biota dalam suatu
ekosistem.
Abrasi, Erosi, Sedimentasi, dan Intrusi Air Laut
Abrasi yang terjadi di Desa Blongko selain diakibatkan oleh gejala alam,
faktor lain dikarenakan hilangnya mangrove yang dulunya ada di barisan depan
pantai sebagai salah satu penahan aksi laut. Abrasi yang terjadi pada pantai Desa
Blongko dapat dilihat pada Lampiran 2. Abrasi pantai di desa pada tahun 2007
telah mendekati pemukiman warga.
Erosi pada daerah perbukitan dan sekitar sungai lebih diakibatkan oleh
ulah manusia yang membuka lahan tanpa memperhatikan lingkungan. Erosi ini
dapat dilihat pada beberapa bagian di tepian sungai yang sampai saat ini masih
sering terjadi. Akibat dari penggundulan lahan dan erosi, sedimentasi pada daerah
pesisir desa tidak dapat dihindarkan.
Sedimentasi dapat menjadi ancaman bukan saja terhadap ekosistem
mangrove tetapi juga terhadap ekosistem pesisir lainnya seperti pada terumbu
karang dan padang lamun. Sedimentasi ini juga mengakibatkan pendangkalan dan
penyempitan aliran sungai, yang berdampak pada geometri ruang aliran sungai
yang mempunyai fungsi untuk menahan material dari hulu. Kecepatan arus dari
hulu akan meningkat seiring dengan penyempitan dan pendangkalan aliran
sungai.
Selain ketiga hal tadi, intrusi air laut melalui akuifer tanah ke sumur-sumur
milik masyarakat mulai dirasakan. Oleh masyarakat sekitar peningkatan kadar
garam di sumur-sumur milik masyarakat mulai meresahkan, sebelumnya air
sumur-sumur ini digunakan untuk keperluan memasak, mandi, dan lainnya tetapi
pada saat ini air ini hanya digunakan untuk mencuci saja. Selain oleh gejala yang
ditimbulkan alam, kerusakan ekosistem mangrove dan pembukaan lahan
61
perbukitan untuk kegiatan perkebunan menyebabkan abrasi, erosi, dan
sedimentasi.
Peningkatan jumlah penduduk
Peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun di Desa Blongko
diakibatkan oleh peningkatan angka kelahiran dan penambahan jumlah pendatang
(Gambar 4). Bertambahnya jumlah penduduk maka akan mendorong peningkatan
kebutuhan manusia itu sendiri. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya
kegiatan di sektor pertanian, perikanan, dan kehutunan. Jumlah penduduk yang
bekerja di sektor pertanian dan perkebunan mencapai 65,40% dari total jumlah
penduduk. Peningkatan jumlah penduduk yang tidak diiringi dengan peningkatan
daya dukung lingkungan alam yang sifatnya terbatas hal ini yang menjadi kendala
dalam pengelolaan. Terjadinya konflik pemanfaatan antar sektor menyebabkan
penurunan kuantitas dan kualitas potensi sumberdaya alam. Dengan meningkatnya
pemanfaatan sumberdaya di sektor pertanian, dampak langsung terhadap
lingkungan dan ekosistem pesisir adalah sedimentasi dan erosi. Penyebab masalah
peningkatan jumlah penduduk adalah kurangnya sosialisasi tentang pentingnya
program keluarga berencana (KB) dan minimnya fasilitas juga tenaga penyuluh
kesehatan di desa ini.
Rendahnya pemahaman masyarakat tentang ekosistem mangrove
Pemahaman masyarakat akan fungsi dan peran ekosistem mangrove di
wilayah pesisir Desa Blongko sampai saat ini masih tergolong rendah. Hal ini
diindikasikan oleh minimnya pengetahuan masyarakat akan fungsi ekologi dan
ekonomi ekosistem mangrove, baik itu manfaat langsung ataupun tidak langsung.
Rendahnya pemahaman masyarakat ini disebabkan oleh tidak meratanya sosialisi
dan pelatihan masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove. Pelibatan
masyarakat dalam program-program pelestarian biasanya diambil dari masyarakat
yang berada di sekitar kantor desa ataupun orang-orang terdekat dari aparat desa.
Terbatasnya pengetahuan akan ekosistem mangrove memberi kesan pada
masyarakat bahwa ekosistem mangrove adalah ekosistem yang kurang berguna
dan kurang memberikan manfaat bagi mereka. Oleh sebagian masyarakat
mangrove hanya dijadikan tempat untuk membuang sampah bahkan hajat, tentu
saja hal ini memberikan dampak negatif terhadap ekosistem mangrove. Selain itu
62
dampak aktivitas masyarakat ini juga berdampak pada kesehatan lingkungan pada
umumnya dan kesehatan masyarakat khususnya.
Kendala Pelaksanaan Pelestarian Ekosistem Mangrove
Dualisme masyarakat tentang daerah perlindungan laut
Adanya pemahaman yang berbeda tentang konsep DPL membuat beberapa
program DPL selalu menimbulkan konflik di masyarakat. Pelibatan masyarakat
yang tidak merata membuat pihak yang diikut sertakan menjadi pihak oposisi
terhadap semua kebijakan yang dibuat. Pihak oposisi adalah pihak yang selalu
merasa kurang dilibatkan dalam kegiatan yang dilakukan oleh pengelola DPL, hal
ini membuat pihak ini merasa tidak bertanggungjawab terhadap DPL yang ada.
Dari responden yang dipilih 60% tidak dilibatkan dalam proses pembentukan DPL
dan perencanaan program di Desa Blongko. Biasanya yang mewakili masyarakat
adalah pemuka-pemuka agama, tokoh masyarakat dan aparat desa. Hal ini
membuat sebagian masyarakat merasa kurang dilibatkan dalam proses
perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring untuk semua program di DPL.
Pelibatan masyarakat yang tidak merata diakibatkan oleh minimnya dana
operasional pada saat suatu kegiatan dilaksanakan. Padahal oleh sebagian
masyarakat keikutsertaan mereka dalam suatu proses pembelajaran tentang
pengelolaan sumberdaya pesisir adalah hal yang tidak menuntut upah,
kesenjangan ini terjadi karena pendekatan terhadap masyarakat oleh pihak
penyelenggara belum bisa mengakomodir seluruh aspirasi dan pola pikir
masyarakat. Ketidaksiapan masyarakat untuk mengelola secara mandiri DPL yang
telah dibuat disebabkan oleh belum adanya inisiatif untuk memperoleh dana demi
keberlanjutan program-program DPL. Hal ini membuat Desa Blongko lebih
banyak menggantungkan biaya operasional dari bantuan Pemda, LSM, Perguruan
Tinggi, dan sumber dana yang lainnya. Adanya sikap pro dan kontra pada
masyarakat membuat aparat desa tidak bisa mengambil kebijakan untuk
pengadaan biaya operasional dari masyarakat. Biaya pemeliharan dan pengawasan
DPL ini sebenarnya tidak besar, hanya masyarakat belum terbiasa dengan situasi
dan kondisi dimana masyarakat harus mampu mengelola DPL secara mandiri.
Selain hal-hal di atas, ketidaksabaran masyarakat dalam menunggu hasil dari DPL
seperti peningkatan hasil tangkapan dan peningkatan kesejahteraan, membuat
63
masyarakat memilih untuk kembali memanfaatkan sumberdaya pesisir yang ada
tanpa memperhitungkan daya dukung sumberdaya tersebut.
Kegagalan dalam program penanaman mangrove
Kesalahan pemilihan bibit dan tempat penanaman membuat usaha
restorasi kawasan mangrove kurang berhasil. Hanya sekitar 20% mangrove yang
ditanam bertahan hidup sampai sekarang. Selain itu belum tersedianya bibit
mangrove di desa ini membuat bibit-bibit mangrove harus didatangkan dari
daerah lain dengan biaya yang relatif mahal. Kurangnya informasi ilmiah untuk
dalam program rehabilitasi mangrove membuat kegagalan penanaman mangrove
desa ini sering terjadi. Evaluasi dan monitoring yang rendah terhadap program ini
membuat tingkat keberhasilan suatu usaha rehabilitasi sangat kecil.
Rendahnya tingkat pendidikan dan kemiskinan
Tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah di Desa Blongko
mengakibatkan masyarakat desa ini tidak memiliki pilihan lain selain
mengeksploitasi sumberdaya yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Dengan pengetahuan yang rendah tentang pentingnya suatu keberlanjutan
pengelolaan membuat masyarakat tidak memikirkan dampak yang dapat menjadi
ancaman bagi ketersedian sumberdaya tersebut dimasa yang akan datang.
Lemahnya hukum dan kelembagaan
Sampai sejauh ini tindakan yang diberikan oleh pengelola DPL terhadap
pelanggar aturan di DPL hanya sebatas teguran. Peraturan yang ada dipandang
hanya sebagai peraturan desa yang lemah kekuatan hukumnya dibandingkan
dengan peraturan pemerintah ataupun undang-undang. Ketidakjelasan status
hukum dan daerah konservasi membuat DPL ini lemah dimata hukum. Hal ini
memperlihatkan bahwa kondisi sistem hukum, norma, dan peraturan masih sangat
lemah. Kegiatan masyarakat seperti membuang sampah, menebang pohon, dan
kegiatan yang bersifat destrukif lainnya masih sering dilakukan. Banyak alasan
yang diberikan oleh masyarakat yang melakukan kegiatan diatas, antara lain
adalah untuk pemenuhan kebutuhan hidup ataupun pengembangan kegiatan
perkebunan. Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan antara sumberdaya
pada ekosistem mangrove dan budaya masyarakat. Budaya yang berkembang di
64
masyarakat Desa Blongko belum bisa mengimbangi potensi sumberdaya yang
dimilikinya, akibatnya kemiskinan dan kerusakan lingkungan terus-menerus
terjadi dan tidak bisa dihindari.
Kurangnya informasi ilmiah mengenai kondisi dan potensi sumberdaya pesisir dan arah pengelolaannya.
Informasi ilmiah tentang kondisi dan potensi sumberdaya pesisir Desa
Blongko dirasakan masih kurang. Hal ini dilihat dari tidak adanya data dan
informasi yang akurat tentang tingkat pemanfaatan sumberdaya dan daya dukung
suatu ekosistem. Selain itu informasi valuasi ekonomi dari masing-masing
ekosistem alam belum tersedia di desa ini. Informasi yang dibutuhkan untuk arahan
pengelolaan bukan saja informasi populasi dan ekosistem melainkan informasi
mengenai faktor-faktor yang mengancam kelestarian suatu ekosistem, terutama
yang berasal dari kegiatan antropogenik. Selain itu pertukaran informasi antara
masyarakat, instansi pemerintah, dan peneliti dari perguruan tinggi belum tercipta
dengan baik. Masyarakat sering dianggap sebagai objek penelitian sehingga untuk
memperoleh informasi masyarakat sering dinomor duakan, padahal masyarakat
adalah pihak yang paling merasakan dampak dari suatu permasalahan yang hadapi.
Begitu juga ketersediaan data yang ada di tingkat kabupaten/Provinsi, berbagai
instansi dan departemen tidak bersifat informatif sehingga kebutuhan akan data
untuk suatu arahan pengelolaan jarang ditemukan.
Masalah antara pembangunan dan konservasi
Masalah antara pembangunan dan konservasi yang ada di Desa Blongko
terjadi pada sektor perkebunan dan konservasi sumberdaya pesisir. Sukardjo (2002)
menyatakan bahwa kerusakan mangrove di Indonesia juga diakibatkan oleh adanya
industri pada bagian hulu sungai yang membuang limbah ke sungai. Selain itu
pembukaan lahan perkebunan mengakibatkan erosi dan sedimentasi pada aliran
sungai dan muara sungai. Disatu pihak, pengembangan kegiatan perkebunan sangat
dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi masyarakat, tetapi di pihak lain
berdampak terhadap ekosistem pesisir yang lainnya. Sebagai ekosistem yang tidak
memberikan keuntungan langsung terhadap pembangunan, ekosistem mangrove
sering dianggap lahan yang tidak potensial, asumsi ini mengakibatkan ekosistem
mangrove sering diabaikan apabila terkena dampak pembangunan, padahal nilai
65
intrinsik ekosistem ini sangat besar baik itu daerah pemijahan dan asuhan ikan,
penyuplai nutrien ke perairan, penyerap bahan beracun, dan pelindung pantai dari
aksi laut.
Belum adanya penataan ruang pesisir
Pengelolaan pesisir tidak terlepas dari penataan ruang suatu kawasan.
Ancaman terhadap sumberdaya pesisir dapat diminimalkan dengan adanya
penataan ruang. Kawasan Desa Blongko yang memiliki topografi yang bervariasi
membuat kawasan ini memerlukan suatu penataan ruang dalam pemanfaatan
lahan agar dapat meminimalkan dampak terhadap lingkungan dan sumberdaya
yang ada. Pengelolaan sumberdaya yang bersifat sektoral dan tidak terpadu akan
berdampak pada kerusakan terhadap sumberdaya itu sendiri dan menimbulkan
adanya konflik pemanfaatan. Masing-masing pihak baik di sektor perkebunan
ataupun perikanan mempunyai perencanaan sendiri-sendiri dalam
pengembangannya, hasilnya terjadi perbedaan tujuan, sasaran, dan rencana
pengelolaan, ini akan memicu terjadinya konflik lintas sektoral dan tumpang
tindih pengelolaan wilayah pesisir.
Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove
Rendahnya partisipasi masyarakat erat kaitannya dengan pemahaman
masyarakat akan fungsi dan peran mangrove pada suatu ekosistem pesisir.
Seseorang akan turut serta dalam suatu kegiatan yang bersifat partisipatif apabila
orang itu mengerti akan tujuan dan manfaat dari kegiatan tersebut. Dari informasi
yang diperoleh, partisipasi masyarakat Desa Blongko dari tahap perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat Desa
Blongko masuk dalam kategori yang rendah. Hal ini tentu saja menjadi kendala
yang berarti bagi pengembangan dan pelaksanaan program pelestarian ekosistem
mangrove itu sendiri.
Faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove serta kendala yang
dihadapi dalam pelaksanaan ekosistem mangrove menggambarkan begitu
kompleksnya masalah yang dihadapi Desa Blongko. Indikator keberhasilan
tujuan, strategi, dan kegiatan pengelolaan DPL Desa Blongko akan dinilai dari
empat dimpensi pembangunan wilayah pesisir, dimensi-dimensi itu antara lain
66
adalah dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi ekologi, dan dimensi pengaturan
(governance). Tabel 19 menyajikan indikator pembangunan berkelanjutan yang
ada di Desa Blongko.
Tabel 19. Indikator Pembangunan Berkelanjutan Sumberdaya Ekosistem Mangrove
Dimensi Indikator Bobot Keterangan Nilai Skor
Ekonomi Pendapatan masyarakat Produksi perikanan Investasi di sektor perikanan
5 3 2
Pendapatan masyarakat Desa Blongko tergolong rendah apabila dihubungkan dengan meningkatnya kebutuhan primer rumah tangga saat ini. Pendapatan masyarakat sebelum dan sesudah adanya DPL tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan. Hasil tangkapan ikan ataupun biota di ekosistem mangrove mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Jumlah kapal penangkapan ikan jenis pukat cincin menurunan akibat kenaikan BBM dan mahalnya biaya operasional.
B
C
C
10 3 2
Jumlah 15 Ekologi Vegetasi mangrove
Kerusakan lingkungan pesisir Kualitas perairan Hasil tangkapan dan kelimpahan spesies target. Dampak pemanfaatan
3 3 2 1 1
Masih adanya indikasi kerusakan ekosistem mangrove. Indikasi terjadinya abrasi dapat dilihat dari peningkatan jangkauan aksi laut ke arah darat. Erosi pada sempadan sungai dan sedimentasi masih terlihat di sepanjang sungai dan intrusi air laut mencapai ke sumur-sumur masyarakat. Perairan ekosistem mangrove masih baik dan mendukng kehidupan biota yang berasosiasi didalamnya Penangkapan biota dan ikan pada sekitar ekosistem mangrove mengalami penurunan baik kuantitas dan kualitas. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya jumlah tangkapan kepiting bakau dan kerang darah serta burung maleo dan monyet hitam Penebangan dan pembuangan limbah rumah tangga ke ekosistem mangrove masih terjadi..
C
C
A
C
C
3 3 6 1 1
Jumlah 14 Sosial Pemahaman akan
ekosistem mangrove Tingkat pendidikan formal Pemahaman akan kesehatan dan lingkungan Peningkatan jumlah penduduk
4 3 2 1
Masih tergolong rendah karena kurangnya sosialisasi, evaluasi, dan monitoring. Jumlah masyarakat yang tidak tamat SD serta banyaknya anak yang putus sekolah masih cukup tinggi. Minimnya sarana dan prasarana kesehatan serta keterbatasan tenaga medis membuat masyarakat kurang mendapat pelayanan kesehatan. Indikasi lainnya adalah anak-anak di desa ini masih banyak yang kekurangan gizi. Meningkatnya jumlah penduduk membuat tekanan terhadap ekosistem semakin besar.
C
C
C
C
4 3 2 1
Jumlah 10 Pengaturan (Governance)
Partisipasi masyarakat Ketaatan terhadap peraturan DPL
6 4
Minimnya pengetahuan dan pemahaman, serta dualisme masyarakat tentang DPL membuat partisipasi masyarakat masih rendah. Indikasi adanya penurunan ketaatan terhadap peraturan yang ada di DPL terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini,dapat dilihat dari kegiatan pemanfaatan yang bersifat destruktif di ekosistem mangrove. Hal ini meningkat seiring dengn kenaikan harga barang dan BBM. Selain itu setelah proyek pesisir berakhir pihak pngelola DPL kurang memperhatikan pelanggaran di DPL.
C
C
6 4
Jumlah 10 Keterangan : A = Membaik, B = Konstan/tetap, C = Menurun/memburuk.
67
Strategi pelestarian ekosistem mangrove Desa Blongko
Dengan melihat indikator pembangunan berkelanjutan pada sumberdaya
ekosistem mangrove maka tindak lanjutnya adalah membuat alternatif strategi
pelestarian untuk meminimalkan kerusakan mangrove dan kendala yang telah
dianalisis sebelumnya. Hasil analisis terhadap semua indikator tersebut dapat
menggambarkan kondisi ekosistem mangrove dan pengelolaannya saat ini. Untuk
dimensi yang semakin memburuk kondisinya maka tindakan-tindakan perbaikan
harus segera dilakukan untuk mencegah meluasnya dampak, sebaliknya untuk
dimensi yang konstan/membaik, maka program-program pemeliharaan dan
pengembangan harus terus dikembangkan. Hal ini diharapkan dapat
meminimalkan ancaman dan kendala dalam pelestarian ekosistem mangrove.
Strategi yang digunakan dalam mengatasi masalah ini yaitu :
pengembangan sumberdaya manusia, perlindungan dan pelestarian sumberdaya
alam, serta penegakan hukum dan kelembagaan di Desa Blongko. Ketiga strategi
besar ini dijabarkan dalam beberapa alternatif strategi pelestarian. Dari skor yang
diperoleh maka dimensi sosial dan pengaturan (governance) mendapatkan
peringkat pertama dalam penentuan alternatif strategi pelestarian ekosistem
mangrove, diikuti dengan dimensi ekonomi dan ekologi.
Beberapa alternatif strategi pelestarian ekosistem mangrove adalah sebagai
berikut :
1. Strategi pelestarian pada dimensi sosial
a) Peningkatan pemahaman tentang ekosistem mangrove melalui
pendidikan dan keagamaan serta peningkatan partisipasi masyarakat.
Pengembangan teknologi berwawasan lingkungan di sektor pertanian
dan perikanan untuk menghindari kerusakan ekosistem dan konflik
pemanfaatan.
b) Pengembangan potensi wisata bahari khususnya wisata rohaniah.
2. Strategi pelestarian pada dimensi pengaturan (governance)
a) Merevisi peraturan tentang DPL dengan didasari oleh undang-undang
pendukung Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-ulau kecil.
68
b) Evaluasi dan pengawasan terhadap program dan kegiatan pengelolaan
sumberdaya pesisir serta aturan yang telah ditetapkan untuk menjaga
dan melestarikan ekosistem mangrove.
3. Strategi pelestarian pada dimensi ekologi
a) Penataan ruang pesisir untuk menghindari konflik pemanfaatan ruang
serta menekan laju kerusakan lingkungan akibat kegiatan manusia.
b) Rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak dengan melibatkan
masyarakat dalam pelaksanaannya.
4. Strategi pelestarian pada dimensi ekonomi
a) Pengembangan usaha alternatif di sektor perkebunan dan perikanan
b) Pelibatan pihak swasta dan pemerintah dalam pengembangan usaha di
bidang perkebunan, perikanan, dan wisata.
Hasil analisis strategi pelestarian ekosistem mangrove di atas
menunjukkan bahwa konsep daerah perlindungan laut yang ada di Desa Blongko
masih perlu dibenahi untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam
kegiatan-kegiatan pelestarian ekosistem mangrove. Hal ini terlihat dari kurangnya
kesadaran masyarakat akan arti pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan
dan sumberdaya yang ada. Partisipasi masyarakat sampai saat ini tergantung pada
kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh pemerintah ataupun LSM, sehingga
kemandirian yang direncanakan pada awal pembuatan DPL belum tercapai.
Pengembangan Sumberdaya Manusia
Pendekatan melalui pembelajaran dengan memberikan bentuk pada sebuah
program yang dirancang dan komitmen untuk melestarikan ekosistem mangrove
dapat dilakukan dengan peningkatan partisipasi masyarakat. Sampai saat ini
inisiatif untuk kegiatan-kegiatan pelestarian mangrove seperti penanaman
kembali dan loka karya masih diprakarsai oleh pemerintah dan LSM. Selain itu
juga kegiatan ini hanya menitik beratkan kepada penanaman mangrove.
Pengembangan potensi yang dimiliki oleh Desa Blongko dapat dilakukan
dengan beberapa strategi. Panorama pantai dan keanekaragaman sumberdaya yang
dimiliki desa ini dapat menjadi modal dalam pengembangan wisata bahari.
Ketersedian lahan dan keinginan masyarakat untuk menigkatkan pendapatan dapat
dijadikan pemicu untuk pengembangan disektor ini. Kegiatan wisata di Desa ini
69
dapat berupa wisata religi dan wisata ilmiah. Alasan pemilihan kedua kegiatan
wisata ini adalah dampak terhadap lingkungan dan sumberdaya yang ada.
Tekanan yang diberikan akibat dari kedua kegiatan wisata tersebut masih dapat
ditoleransi dan dikendalikan dibandingkan kegitan wisata lain. Perbaikan
infrastruktur, ketersedian sarana dan prasarana untuk umum, ketersediaan air
bersih, dan keamanan adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pengembangan kawasan wisata ini. Pendampingan pemerintah daerah dan pihak
swasta untuk menunjang kegiatan ini dirasakan sangat penting mengingat masih
minimnya sumberdaya manusia yang ada di desa ini.
Peningkatan pendapatan bagi masyarakat yang bermata pencaharian
nelayan merupakan salah satu strategi penting dalam pelestarian ekosistem
mangrove. Pengembangan di sektor perikanan antara lain dilakukan dengan cara
pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan, pembelajaran tentang cara
penangkapan ikan yang tidak merusak lingkungan, penambahan armada
penangkapan, ketersediaan bahan bakar minyak dan teknik pemasaran. Sampai
saat ini teknik penangkapan ikan masih bersifat tradisional dan sangat tergantung
pada musim dan keadaan bulan. Keterbatasan teknologi mengakibatkan daerah
penangkapan ikan tidak jauh dari tempat tinggal, hal ini untuk mengurangi
pengeluaran yang besar terhadap bahan bakar. Beberapa cara penangkapan seperti
penggunaan panah dan teknik penggunaan bubu yang salah masih sering dijumpai
di desa ini padahal secara tidak langsung hal ini menjadi ancaman terhadap
kelestarian ekosistem pesisir. Minimnya pengetahuan akan fungsi dari terumbu
karang mengakibatkan masyarakat masih menggunakan cara-cara yang merusak
untuk mendapatkan ikan atau biota lainnya yang hidup pada daerah pesisir.
Kegiatan di sektor perikanan yang ada di desa ini hanya pada perikanan
tangkap saja. Kegiatan seperti pengolahan hasil perikanan dan budidaya belum
terlihat ada di desa ini. Alternatif strategi untuk pengembangan sektor perikanan
adalah pelatihan tentang pengembangan budidaya rumput laut dan
pengembangan tambak udang. Pengembangan kedua alternatif kegiatan perikanan
ini didasarkan pada posisi geografis desa yang kurang mendapat pengaruh dari
aktifitas laut seperti arus dan gelombang. Selain itu pencemaran yang ada di desa
ini masih belum berpengaruh besar terhadap lingkungan perairan yang ada. Lokasi
70
budidaya rumput yang disarankan adalah daerah di depan zona inti.
Keterlindungan dari arus dan kualitas perairan yang masih baik memungkinkan
kegiatan budidaya ini dikembangkan di desa ini. Selain itu pengembangan tambak
dengan pendekatan rekayasa terhadap ekosistem mangrove diharapkan dapat
menjadi solusi alternatif dalam pengembangan sektor perikanan di desa ini. Mina
hutan sebagai salah satu alternatif rekayasa ekologi memiliki peranan penting
dalam pelestarian ekosistem mangrove di samping nilai manfaat yang harapkan
juga tinggi. Beberapa pola tambak yang ada di Indonesia seperti pola empang
parit dan pola komplangan dirasakan dapat diterapkan pada daerah ini. Tentu saja
untuk menerapkan semua alternatif strategi ini diperlukan kajian yang lebih
mendalam tentang semua dampak yang akan ditimbulkan dari kegiatan ini.
Kemampuan daya dukung lingkungan terhadap perubahan yang nantinya akan
diberikan pada daerah ini, menjadi salah satu pertimbangan dalam pengembangan
strategi ini. Bantuan serta pendampingan dari pemerintah sangat dibutuhkan
dalam kegiatan ini, selain itu pelibatan pihak swasta juga dapat memberikan
kontribusi yang berarti dalam pengembangan di sektor perikanan yang ada di
Desa Blongko.
Perkebunan yang menjadi sektor andalan desa ini, sektor ini memberikan
tekanan yang cukup besar bagi lingkungan dan sumberdaya yang ada.
Keterbatasan teknologi dan pengetahuan membuat kegiatan perkebunan desa ini
belum maksimal. Diharapkan dengan penataan ruang di desa ini maka dapat
meminimalkan tekanan terhadap ekosistem yang ada. Masalah sedimentasi dan
erosi yang terjadi terus menerus diakibatkan pembukaan lahan yang tidak
memperhatikan kontur tanah. Daerah perkebunan yang terletak pada daerah bukit
membuat tingkat sedimentasi sangat tinggi pada muara sungai. Pengembangan
usaha alternatif selain kopra dan cengkih dapat dilakukan dengan cara
pengembangan pembuatan nata de coco. Alternatif usaha ini dapat dikembangkan
mengingat potensi kelapa yang ada di desa ini sangat besar dibandingkan
komoditi lain. Usaha ini tidak memerlukan modal yang besar dan pemasarannya
mudah untuk dilakukan. Bahan dasar dari pembuatan nata de coco adalah air
kelapa. Karena keterbatasan informasi dan teknologi sampai saat ini air kelapa
belum digunakan dan hanya menjadi limbah dari pembuatan kopra. Selain itu
71
pengembangan pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) didesa ini masih belum
terlihat padahal produk ini menjadi konsumsi masyarakat dunia sebagai suplemen
makanan. Harganya yang mahal membuat beberapa tempat di Indonesi telah
memulai untuk mengembangkan produk ini. Bahan dasar dari pembuatan VCO ini
adalah buah kelapa. Pengembangan beberapa alternatif usaha untuk
pengembangan diesektor perkebunan ini tentunya dengan memperhatikan
beberapa kriteria dalam pelaksanaannya. Kegitatan ini harus mampu
meminimalkan dampak terhadap ekosistem dan sumberdaya alam yang ada serta
mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat yang ada di Desa Blongko.
Beberapa usaha alternatif pengembangan potensi yang ada di desa ini
diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat Desa Blongko. Secara
tidak langsung hal ini dapat mengurangi tekanan langsung terhadap ekosistem
mangrove. Peningkatan kesejahteraan diikuti dengan pengurangan angka
kemiskinan serta meningkatnya tingkat pendidikan menjadi tujuan jangka panjang
dari alternatif usaha-usaha ini.
Penegakan Hukum dan Kelembagaan
Pelibatan seluruh masyarakat diharapkan dapat mengurangi adanya
kecemburuan sosial dikalangan masyarakat dan penerapan semua kebijakan yang
disepakati tidak menimbulkan adanya perbedaan persepsi dan konflik di
masyarakat. Dasar pertimbangan dari pembuatan peraturan desa didasari pada
beberapa undang-undang yang ada seperti undang-undang pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil (UU No.27 Tahun 2007), undang-undang tentang
penataan ruang (UU No.26 Tahin 2007), undang-undang kehutanan, dan undang-
undang lain yang dirasakan relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan
pembuatan peraturan desa. Peraturan ini mempunyai tujuan untuk mengurangi
tekanan terhadap seluruh sumberdaya alam yang ada dipesisir Desa Blongko
khususnya ekosistem mangrove. Merevisi peraturan desa yang mengatur tentang
pemanfaatan sumberdaya ekosistem mangrove yang lestari dan bekelanjutan
adalah suatu langkah bijak dalam hal penegakan hukum dan penguatan
kelembagaan. Hal ini didukung oleh adanya kewenangan desa dalam membuat
peraturan desa melalui rapat desa yang melibatkan seluruh masyarakat
72
Perlindungan Dan Pelestarian Sumberdaya Alam
Pelestarian ekosistem mangrove tidak terlepas dari partisipasi masyarakat
untuk ikut dalam setiap kegiatan yang telah diprogramkan. Rehabilitasi kawasan
mangrove yang adalah bagian dari tahap perencanaan dalam pengelolaan DPL
menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan dari pengelolaan sumberdaya alam
desa ini. Pelaksanaan rehabilitasi mangove harus melibatkan seluruh masyarakat
yang ada di Desa Blongko. Pentingnya pengetahuan tentang cara penanaman
mangrove yang baik untuk menghindari kegagalan dalam penanaman dilakukan
dengan cara pembelajaran bersama seluruh masyarakat tentang cara penanaman,
pemilihan bibit, penentuan lokasi sampai pada pemeliharaan mangrove.
Evaluasi dan pengawasan terhadap semua program serta rencana kegiatan
pengelolaan sumberdaya pesisir adalah bagian penting yang harus dilakukan. Hal
ini untuk menilai seberapa jauh keberhasilan suatu program yang dijalankan
untuk mengurangi kerusakan ekosistem pada umumnya dan mangrove khususnya.
Selah satu kelemahan pada DPL Blongko adalah kurangnya evaluasi terhadap
semua program yang telah dibuat selama ini. Kedepannya diharapkan semua
program yang akan dijalankan akan dievaluasi secara berkala. Evaluasi ini akan
memberikan gambaran tentang sejauh mana program ini memberikan dampak
terhadap masyarakat sebagai pelaksana program dan ekosistem mangrove sebagai
objek yang dilestarikan.